BAB 2 LANDASAN TEORI
2.1
Peta Aliran Proses (Flow Process Chart) Peta aliran proses merupakan suatu peta yang menggambarkan semua aktivitas, baik aktivitas yang produktif (operasi dan inspeksi) maupun tidak produktif (transportasi, menunggu, dan menyimpan), dimana kegiatan yang terlibat dalam proses pelaksanaan kerja diuraikan secara detail dari awal hingga akhir. Dengan peta aliran proses, maka akan dapat diperoleh keuntungan antara lain (Wignjosoebroto, 2009, pp. 104, 105): 1. Meminimalkan operasi-operasi yang tidak perlu atau mengkombinasikannya dengan operasi lainnya. 2. Meminimalkan aktivitas handling yang tidak efisien. 3. Mengurangi jarak perpindahan material dari satu operasi ke operasi yang lain (langkah ini nantinya akan menjadi dasar pemikiran dalam hal pengaturan tata letak fasilitas pabrik). 4. Mengurangi waktu yang terbuang sia-sia karena kegiatan yang tidak produktif, seperti menunggu atau transportasi. Untuk keperluan pembuatan peta operasi ini, American Society of Mechanical Engineers (ASME) membuat beberapa simbol standar yang menggambarkan jenis aktivitas dalam proses produksi, yaitu:
Tabel 2.1 Simbol yang Digunakan dalam Pembuatan Peta Proses (ASME Standard) Simbol Nama Definisi Kegiatan ASME Kegiatan Kegiatan operasi terjadi jika sebuah objek (benda kerja/ bahan baku) mengalami Operasi perubahan bentuk baik secara fisik maupun kimiawi, atau perakitan dengan objek lainnya. Kegiatan inspeksi terjadi jika sebuah objek Inspeksi mengalami pengujian ataupun pengecekan ditinjau dari segi kuantitas maupun kualitas. Kegiatan transportasi terjadi jika suatu objek Transportasi dipindahkan dari satu lokasi ke lokasi lain. Kegiatan menunggu terjadi jika material, Menunggu benda kerja, operator atau fasilitas kerja (Delay) dalam keadaan berhenti atau tidak mengalami kegiatan apapun. Proses penyimpanan terjadi jika objek Menyimpan disimpan dalam jangka waktu yang cukup (Storage) lama. Aktivitas ganda untuk menunjukkan Aktivitas kegiatan yang secara bersama dilakukan ganda oleh operator pada stasiun kerja yang sama pula. Sumber: (Wignjosoebroto, 2009, pp. 98, 99) 5
6
2.2
Uji Kecukupan Data Uji kecukupan data digunakan untuk menentukan bahwa jumlah sampel data yang diambil telah cukup dan mampu merepresentasikan populasinya untuk digunakan sebagai data pada proses selanjutnya. Pengujian dilakukan dengan menggunakan persamaan (Harahap, Sinulingga, dan Ariswoyo, 2014, pp. 278, 279):
k 2 2 s N ∑ X i − (∑ X i ) N' = ∑ Xi
2
Dimana, N’ = Jumlah sampel yang dibutuhkan N = Jumlah sampel yang diambil Xi = Data pengamatan s = Derajat ketelitian. Jika tingkat kepercayaan 99%, maka s = 1% Jika tingkat kepercayaan 95%, maka s = 5% k = Tingkat kepercayaan dalam pengamatan. Jika tingkat kepercayaan 99%, maka k = 2,58 ≈ 3 Jika tingkat kepercayaan 95%, maka k = 1,96 ≈ 2 Apabila N’ ≤ N, maka jumlah data sudah cukup. Apabila N’ > N, maka jumlah data belum cukup. 2.3
Tata Letak Menurut Wignjosoebroto (2009), tata letak merupakan suatu landasan utama dalam dunia industri. Tata letak pabrik (plant layout) atau tata letak fasilitas (fasilities layout) dapat didefinisikan sebagai tata cara pengaturan fasilitas-fasilitas pabrik yang bertujuan untuk menunjang kelancaran proses produksi. Pengaturan tersebut akan memanfaatkan luas area (space) untuk penempatan mesin atau fasilitas penunjang produksi lainnya, kelancaran gerakan perpindahan material, penyimpanan material (storage), baik yang bersifat temporer maupun permanen, personel pekerja dan sebagainya. Dalam tata letak pabrik terdapat dua hal yang diatur letaknya, yaitu pengaturan mesin dan pengaturan departemen yang ada di pabrik.
2.3.1 Tujuan Tata Letak Pabrik Berdasarkan aspek dasar, tujuan, dan keuntungan yang bisa didapatkan dalam tata letak pabrik yang terencana dengan baik, maka dapat disimpulkan enam tujuan dasar dalam tata letak pabrik, yaitu sebagai berikut (Wignjosoebroto, 2009, p. 72): 1. Integrasi secara menyeluruh dari semua faktor yang mempengaruhi proses produksi. 2. Perpindahan jarak yang seminimal mungkin. 3. Aliran kerja berlangsung secara lancar melalui pabrik. 4. Semua area yang ada dimanfaatkan secara efektif dan efisien. 5. Kepuasan kerja dan rasa aman dari pekerja dijaga sebaik-baiknya. 6. Pengaturan tata letak harus cukup fleksibel.
7
2.3.2 Tata Letak Proses (Process Layout) Tata letak proses atau tata letak fungsional adalah penyusunan tata letak, dimana alat yang sejenis atau yang memiliki fungsi sama ditempatkan dalam bagian yang sama. Misalnya, mesin-mesin bubut dikumpulkan pada daerah yang sama, demikian pula mesin-mesin potong diletakkan pada bagian yang sama, seperti contoh pada gambar 2.1. Mesin-mesin itu tidak dikhususkan untuk produk tertentu melainkan dapat digunakan untuk berbagai jenis produk (Herjanto, 2007, pp. 139, 140).
Sumber: (Herjanto, 2007, p. 139) Gambar 2.1 Tata Letak Proses
Model ini cocok untuk discrete production dan jika proses produksi tidak baku, yaitu jika perusahaan membuat berbagai jenis produk yang berbeda atau suatu produk dasar yang diproduksi dalam berbagai variasi. Kelebihan dari tata letak proses, antara lain sebagai berikut: 1. Memungkinkan utilitas mesin yang tinggi. 2. Memungkinkan penggunaan mesin-mesin yang multi guna, sehingga dapat dengan cepat mengikuti perubahan jenis produksi. 3. Memperkecil terhentinya produksi yang diakibatkan oleh kerusakan mesin. 4. Sangat fleksibel dalam mengalokasikan personel dan peralatan. 5. Memungkinkan spesialisasi supervisi. 2.3.3 Group Technology Group Technology (GT) adalah filosofi manufaktur yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas dengan mengelompokkan part dan family produk yang memiliki karakteristik serupa dalam keluarga dan membentuk sel-sel produksi dengan sekelompok mesin dan proses yang berbeda. Kondisi dimana terdapat variasi dalam produksi dan tingkat permintaan untuk setiap part adalah moderat, maka akan lebih baik untuk menerapkan sistem ini. Sistem ini juga disebut dengan cellular manufacturing (Rajabi dan Maleki, 2013, p. 143). Menurut Hadiguna (2008), group technology adalah suatu metode yang digunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang mempunyai kemiripan yaitu dengan cara mengelompokkan masalah-masalah yang mirip menjadi satu sel sehingga pemecahan masalah tersebut dapat menghemat waktu dan upaya. Ide dasar dari GT adalah untuk menguraikan sistem manufaktur menjadi subsistem. Penerapan GT dapat mengurangi lead time produksi, work-in process, tenaga kerja, perkakas, pengerjaan ulang, barang bekas, waktu set-up,
8 delivery time, dan kertas kerja. Ide di balik GT adalah untuk meningkatkan efisiensi dengan memanfaatkan kesamaan. Penerapan GT mempengaruhi kekuatan waktu operasi, WIP persediaan, pemindahan material, kepuasan kerja, jig and fixture, waktu set-up, ruang yang diperlukan, kualitas, produk jadi, dan biaya tenaga kerja. Konsep ini telah berhasil digunakan dalam cellular manufacturing, dimana, part dengan persyaratan pengolahan yang sama diidentifikasi dan dikelompokkan ke dalam part family, dan kemudian mesin dengan kapasitas pengolahan yang berbeda ditempatkan di dalam sebuah sel (Shahin dan Janatyan, 2010, p. 108). 2.3.4 Jalan Lintasan (Aisle) Jalan lintasan (aisle) dalam pabrik dipergunakan terutama untuk dua hal yaitu komunikasi dan transportasi. Perencanaan jalan lintasan yang baik akan banyak menentukan proses gerakan perpindahan dari personel, bahan, ataupun peralatan produksi dari satu lokasi ke lokasi yang lain. Dengan demikian jalan lintasan dalam pabrik akan dipergunakan antara lain untuk hal-hal seperti (Wignjosoebroto, 2009, p. 221): 1. Material handling. 2. Gerakan perpindahan personel. 3. Finished goods products handling. 4. Pembuangan sekrap dan limbah industri lainnya. 5. Pemindahan peralatan produksi baik untuk pergantian alat baru maupun untuk perawatan. 6. Kondisi-kondisi darurat, seperti kebakaran dan lain-lain. Salah satu alokasi ruang yang diperlukan dalam perancangan tata letak pabrik adalah alokasi ruangan untuk peralatan pemindahan barang melakukan maneuvering. Ruang ini disediakan antara bagian belakang dockboard dan awal dari buffer atau staging areas. Ruang untuk maneuvering tergantung dari jenis peralatan pemindahan barang yang digunakan.
Tabel 2.2 Minimal Kelonggaran Manuevering untuk Area Penerimaan dan Pengeluaran Material Handling Minimum Maneuvering Equipement Utilized Allowance (feet) Tractor 14 Platform truck 12 Forklift 12 Narrow-aisle truck 10 Handlift (jack) 8 Four-wheel hand truck 8 Two-wheel hand truck 6 Manual 5 Sumber: (Tompkins, White, Bozer, dan Tanchoco, 2010, p. 406)
Jalan lintasan harus ditandai dengan jelas dan lurus, dengan sudut membulat atau diagonal pada titik perputaran. Jika jalan lintasan untuk mengakomodasi perjalanan kendaraan, maka lebar jalan lintasan setidaknya harus 3 feet lebih lebar daripada dua kali lebar kendaraan yang paling lebar.
9 Ketika lalu lintas hanya untuk satu arah, maka lebar jalan lintasan 2 feet lebih lebar daripada kendaraan yang paling lebar sudah memenuhi syarat. Secara umum, jalan lintasan harus memiliki setidaknya 10 fc (100x) pencahayaan. Warna harus digunakan disepanjang lintasan untuk mengidentifikasi kondisikondisi yang berbahaya (Freivalds dan Niebel, 2009, p. 363).
Tabel 2.3 Rekomendasi Warna Warna Digunakan untuk: Contoh Kotak alarm kebakaran, lokasi alat Peralatan perlindungan pemadam kebakaran dan selang Merah kebakaran, bahaya, dan kebakaran, pipa sprinkler, tabung gas, sebagai sinyal berhenti. tanda bahaya, tombol berhenti darurat. Bagian berbahaya dari Inside of movable guards, tombol Jingga mesin dan bahaya memulai pengamanan, tepi bagian lainnya. terbuka dari peralatan yang bergerak. Konstruksi dan peralatan pemindahan material, tanda untuk sudut, tepi Menunjukkan untuk platform, lubang, tapak tangga, Kuning hati-hati, bahaya fisik proyeksi. Garis-garis hitam atau pengecekan dapat digunakan bersama dengan kuning. Lokasi peralatan pertolongan pertama, Hijau Keselamatan masker gas, safety deluge showers. Menunjukkan untuk Bendera peringatan pada titik awal hati-hati pada saat mesin, kontrol listrik, katup tangki Biru hendak memulai atau dan boiler. menggunakan peralatan Kontainer untuk bahan atau sumber Ungu Bahaya radiasi radioaktif. Hitam Lokasi jalan lintasan, arah tandaLalu lintas dan tanda dan tanda, area lantai yang jelas sekitar untuk housekeeping Putih peralatan darurat. Sumber: (Freivalds dan Niebel, 2009, p. 364).
2.3.5 Rectilinear Matriks rectilinear sering juga disebut dengan Manhattan, right-angle atau rectangular metric. Matriks rectilinear sering digunakan karena lebih mudah dalam perhitungannya, mudah dimengerti, dan lebih tepat untuk diaplikasikan pada masalah-masalah yang praktis, misalnya untuk menentukan jarak antar kota, jarak antar departemen, dan lain sebagainya. Jarak matriks rectilinear diwakili oleh garis-garis horizontal dan vertikal antar pusat massa dari departemen i dan j (Heragu, 2008, p. 48). d ij = x i − x j + y i − y j Keterangan: xi = Koordinat x pada pusat fasilitas i yj = Koordinat y pada pusat fasilitas j dij = Jarak antar pusat fasilitas i dan j
10 2.3.6 Activity Relationship Chart (ARC) Mengukur kegiatan antar departemen adalah salah satu elemen yang paling penting dalam tata letak fasilitas. Untuk mengevaluasi aturan alternatif, hubungan kegiatan harus ditetapkan. Hubungan aktivitas dapat ditentukan dengan cara kuantitatif dan kualitatif. Ukuran kuantitatif dapat mencakup lembar per jam, perpindahan gerak per hari, atau pound per minggu. Langkahlangkah kualitatif mencakup kebutuhan mutlak, bahwa dua departemen menjadi dekat satu sama lain dan sebagai acuan dua departemen tidak boleh dekat satu sama lain (Tompkins, White, Bozer, dan Tanchoco, 2010, p. 113). ARC adalah teknik yang digunakan untuk merencanakan hubungan antara masing-masing kegiatan yang berhubungan satu sama lain. ARC menggunakan simbol skala prioritas sebagai penanda tingkat kedekatan. ARC dilakukan setelah nilai dari hubungan kedekatan telah ditentukan untuk setiap fasilitas (Apple, 1990, p. 226). Langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam membuat ARC, antara lain: 1. Daftar semua departemen pada relationship chart. 2. Melakukan wawancara atau survei dengan orang dari masing-masing departemen yang tercantum pada relationship chart dan dengan manajemen yang bertanggung jawab untuk semua departemen. 3. Tentukan kriteria untuk menetapkan hubungan kedekatan dan merinci, serta merekam kriteria sebagai alasan untuk nilai hubungan pada relationship chart. 4. Menetapkan nilai hubungan dan alasan dari setiap nilai yang diberikan untuk setiap pasang departemen. 5. Beri kesempatan bagi siapapun yang memberikan input untuk melakukan pengembangan relationship chart dalam mengevaluasi dan mendiskusikan perubahan yang terjadi pada grafik. 2.3.7 From-to Chart (FTC) Metode yang paling sering digunakan untuk pengukuran flow secara kuantitatif adalah from-to chart. Menurut Wignjosoebroto (2009), from-to chat atau trip frequency chart atau travel chart adalah suatu teknik konvensional yang umum digunakan untuk perencanaan tata letak pabrik dan pemindahan barang dalam suatu proses produksi. Kegunaan dan keuntungan from-to chart, antara lain (Apple, 1990, pp. 154, 155): 1. Menganalisis perpindahan bahan. 2. Perencanaan pola aliran. 3. Penentuan lokasi kegiatan. 4. Perbandingan pola aliran atau tata letak pengganti. 5. Pengukuran efisiensi pola aliran. 6. Menunjukkan ketergantungan satu kegiatan dengan kegiatan lainnya. 7. Menunjukkan volume perpindahan antar kegiatan. 8. Menunjukkan keterkaitan lintas produksi. 9. Menunjukkan kemungkinan masalah dalam pengendalian produksi. 10. Perencanaan keterkaitan antara beberapa produk, komponen, barang, bahan, dan sebagainya. 11. Menunjukkan hubungan kuantitatif antara kegiatan dan perpindahannya.
11 Tahapan dalam pembuatan from-to chart, antara lain sebagai berikut (Tompkins, 2010, pp. 114,116): 1. Daftar semua departemen pada seluruh tabel baris dan kolom mengikuti pola aliran keseluruhan. 2. Menetapkan frekuensi kunjungan untuk fasilitas secara akurat. 3. Berdasarkan jalur aliran untuk barang, pelanggan, karyawan atau informasi yang akan dipindahkan dan ukuran aliran yang ditetapkan, catat volume aliran pada tabel from-to chart. 2.3.8 Computerized Relative Allocation of Facilities Technique (CRAFT) CRAFT merupakan program tata letak yang dikembangkan dengan bantuan komputer untuk menukar lokasi kegiatan pada tata letak awal untuk menemukan pemecahan yang lebih baik berdasarkan aliran bahan. Pertukaranpertukaran selanjutnya membawa ke arah tata letak yang mendekati biaya minimum (Apple, 1990, p. 363). CRAFT menggunakan pertukaran berpasangan untuk mengembangkan sebuah layout. CRAFT tidak menguji keseluruhan pertukaran berpasangan yang mungkin sebelum menghasilkan tata letak yang di-improve. Input data meliputi dimensi bangunan dan fasilitas, aliran material atau frekuensi perjalanan antara pasangan fasilitas dan biaya per unit beban per unit jarak. Aliran (flow) dan jarak dari suatu produk menimbulkan biaya perpindahan material antara dua fasilitas. Pengurangan biaya ini kemudian dihitung berdasarkan kontribusi pra dan pasca pertukaran biaya pemindahan material (Vaidya, Shende, Ansari, dan Sorte, 2013, p. 503). CRAFT menggunakan strategi 2-opt solution dalam mengembangkan tata letak, tetapi memiliki beberapa perbedaan dalam pelaksanaannya. Datadata yang dibutuhkan dalam CRAFT, antara lain (Heragu, 2008, pp. 113, 114): 1. Dimensi bangunan yang akan ditempatkan. 2. Dimensi setiap departemen. 3. Aliran material atau frekuensi perjalanan antar departemen serta biaya per unit beban per unit jarak. 4. Tata letak awal (initial layout). 5. Pembatasan lokasi departemen, jika dapat diterapkan. Tujuan digunakan CRAFT adalah untuk meminimalkan total biaya transportasi tata letak, dimana biaya transportasi produk didefinisikan sebagai biaya untuk memindahkan beban unit dari departemen i ke departemen j dan jarak antara departemen i dan j. (Nahmias, 2009, p. 570) CRAFT pada dasarnya dibatasi untuk bangunan yang berbentuk segi empat (rectangular). Namun, dengan adanya departemen dummy, CRAFT juga dapat digunakan untuk bangunan yang berbentuk bukan segi empat (nonrectangular). Departemen dummy tidak memiliki aliran (flow) dan interaksi apapun dengan departemen lainnya, tetapi departemen dummy harus berada dalam posisi yang tetap yang telah ditetapkan oleh layout planner. Pada umumnya, pada dasarnya departemen dummy dapat digunakan untuk (Tompkins, White, Bozer, dan Tanchoco, 2010, p. 316): 1. Mengisi bangunan yang tidak beraturan. 2. Merupakan hambatan atau daerah yang tidak dapat digunakan dalam fasilitas (seperti tangga, lift, dan sebagainya). 3. Merepresentasikan ruang ekstra dalam fasilitas. 4. Bantuan dalam mengevaluasi lokasi gang pada tata letak akhir.
12 2.4
Material Handling Menurut Tompkins, White, Bozer, dan Tanchoco (2010), material handling adalah seni atau ilmu yang berkaitan dengan perpindahan, penyimpanan, kontrol, dan proteksi barang dan material selama proses manufaktur, distribusi, konsumsi, dan pembuangan. Material handling juga berarti menyediakan jumlah yang tepat dari material yang tepat, dalam kondisi yang baik, pada tempat yang tepat, posisi yang tepat, urutan yang tepat, serta dengan biaya yang tepat dengan menggunakan metode yang tepat. Adapun tujuan dari material handling, antara lain (Kumar dan Suresh, 2008, p. 66): 1. Meminimalkan biaya material handling. 2. Meminimalkan keterlambatan dan gangguan dengan menyediakan bahanbahan pada area penggunaan. 3. Meningkatkan kapasitas produktif dari fasilitas produksi dengan pemanfaatan yang efektif dari kapasitas dan meningkatan produktivitas. 4. Keselamatan dalam material handling melalui perbaikan kondisi kerja. 5. Pemanfaatan maksimum peralatan material handling. 6. Pencegahan kerusakan material. 7. Investasi yang lebih rendah untuk process inventory.
2.4.1 Prinsip Material Handling Terdapat sepuluh prinsip dalam material handling, antara lain sebagai berikut (Stephens dan Meyers, 2010, pp. 277-281): 1. Prinsip perencanaan, semua material handling harus merupakan hasil dari sebuah perencanaan yang disengaja dimana kebutuhan, tujuan kinerja, dan spesifikasi fungsional dari metode yang diusulkan benar-benar didefinisikan sejak awal. 2. Prinsip standarisasi, artinya metode, peralatan, control, dan software dalam material handling harus dibakukan dalam batasan pencapaian tujuan kinerja secara keseluruhan tanpa mengorbankan fleksibilitas dan throughput dalam mengantisipasi perubahan kebutuhan masa depan. 3. Prinsip kerja, dimana kerja dalam material handling harus diminimalkan tanpa mengorbankan produktivitas atau tingkat layanan yang diperlukan operasi. 4. Prinsip ergonomic, dimana kemampuan dan keterbatasan manusia harus diakui dan dihormati dalam desain tugas dan peralatan material handling untuk memastikan operasi yang aman dan efektif. 5. Prinsip unit beban, harus memiliki ukuran yang tepat dan dikonfigurasi dengan cara mencapai aliran material dan tujuan persediaan tujuan pada setiap tahapan dalam rantai pasok. 6. Prinsip pemanfaatan ruang, penggunaan yang efektif dan efisien harus dilakukan untuk semua ruang yang tersedia. 7. Prinsip sistem kegiatan, artinya pergerakan dan penyimpanan bahan harus terintegrasi untuk membentuk sistem operasional yang terkoordinasi antara rentang penerimaan, inspeksi, penyimpanan, produksi, perakitan, kemasan, unitizing, pemilihan pesanan, pengiriman, transportasi, dan penanganan pengembalian. 8. Prinsip automasi operasi, artinya material handling harus dimekanisasi dan/ atau otomatis sehingga memungkinkan untuk meningkatkan efisiensi operasional, meningkatkan respon, meningkatkan konsistensi, dan prediktabilitas
13 9.
Prinsip lingkungan, dampak lingkungan dan konsumsi energi harus dipertimbangkan sebagai kriteria ketika merancang atau memilih peralatan alternatif serta sistem material handling. 10. Prinsip life cycle cost, yaitu dalam melakukan analisis ekonomi secara menyeluruh harus memperhitungkan seluruh siklus hidup dari semua peralatan material handling dan sistem yang dihasilkan. 2.4.2 Biaya Material Handling Secara umum, terdapat tiga klasifikasi biaya material handling, yaitu (Wignjosoebroto, 2009, p. 232): 1. Biaya yang berkaitan dengan transportasi raw material dari sumber asalnya, menuju pabrik dan pengiriman produk jadi kepada pelanggan. 2. Biaya pergerakan material dari satu proses ke proses selanjutnya, pergudangan serta pengiriman produk lainnya. 3. Biaya material handling yang dilakukan operator pada mesin atau peralatan kerjanya serta proses perakitan proses perakitan yang berlangsung di atas meja perakitan. 2.5
Quadratic Assigment Problem Quadratic assignment problem (QAP) merupakan salah satu masalah optimasi kombinasi non-deterministic polynomial-time (NP) yang paling sulit. Terdapat satu set n fasilitas dan set n lokasi. Untuk setiap pasangan lokasi, ditentukan oleh jarak dan untuk setiap pasangan fasilitas, ditentukan oleh berat atau aliran (flow). Masalahnya adalah untuk menetapkan semua fasilitas pada lokasi yang berbeda dengan tujuan meminimalkan jumlah jarak dikalikan flow yang berkaitan. QAP dirumuskan sebagai berikut (Said, Mahmoud, dan ElHorbaty, 2014, pp. 1, 2): n = total jumlah fasilitas dan lokasi fik = flow material dari fasilitas i ke fasilitas k djl = jarak dari lokasi j ke lokasi l Fungsi tujuan yaitu meminimalkan total jarak dan flow antar fasilitas. n
n
n
n
min : f(x) = ∑ ∑ ∑ ∑ f ik d jl x ij x kl i =1 j=1 k =1 l =1
n
s.t :
∑ x ij = 1, j=1 n
∑ x ij = 1,
i =1
dimana, 1, jika fasilitas i ditempatka n di lokasi j
x ij = {
0, otherwise Constraint memastikan bahwa setiap fasilitas i ditugaskan tepat untuk satu lokasi j dan masing-masing lokasi j memiliki tepat satu fasilitas yang ditugaskan didalamnya.
14 2.6
5S Menurut Imai (2012), lima langkah dalam pemeliharaan tempat kerja dalam bahasa Jepang disebut sebagai 5S yakni Seiri (Sort), Seiton (Set in Order), Seiso (Shine), Seiketsu (Standardize), dan Shitsuke (Sustain). Dalam bahasa Indonesia lima langkah pemeliharaan tempat kerja ini disebut sebagai 5R (Ringkas, Rapi, Resik, Rawat, dan Rajin). Di bawah ini merupakan penjabaran mengenai lima langkah 5S, antara lain (Imai, 2012, pp. 66-75): 1. Sort (Ringkas) Membedakan antara yang diperlukan dan tak diperlukan dan menyingkirkan yang tak diperlukan. Membuat tempat kerja ringkas, yang hanya menampung barang-barang yang diperlukan saja. 2. Set in Order (Rapi) Rapi berarti mengelompokkan barang berdasarkan penggunaannya dan menatanya secara memadai, agar upaya dan waktu untuk mencari atau menemukan menjadi minimum. Menata semua barang yang ada setelah ringkas, dengan pola yang teratur dan tertib. 3. Shine (Resik) Resik berarti membersihkan lingkungan kerja, termasuk di dalamnya yakni mesin dan alat kerja, lantai tempat kerja dan berbagai daerah tempat kerja. Menjaga kondisi mesin yang siap pakai dan dalam keadaan bersih. Menciptakan kondisi tempat dan lingkungan kerja yang bersih. 4. Standardize (Rawat) Memperluas konsep kebersihan pada diri pribadi dan terus menerus mempraktekkan tiga langkah terlebih dahulu. Selalu berusaha menjaga keadaan yang sudah baik melalui standar. 5. Sustain (Rajin) Rajin berarti disiplin pribadi. Membangun disiplin diri pribadi dan membiasakan diri untuk menerapkan 5S melalui norma kerja dan standarisasi.
2.7
Pendekatan Ergonomi dalam Perancangan Stasiun Kerja Menurut Wignjosoebroto (2003), perancangan stasiun kerja dalam industri berkaitan dengan beberapa aspek ergonomis yang harus dipertimbangkan, antara lain: 1. Sikap dan posisi kerja. 2. Antropometri dan dimensi ruang kerja. 3. Kondisi lingkungan kerja. 4. Efisiensi ekonomi gerakan dan pengaturan fasilitas kerja. 5. Energi kerja yang dikonsumsi. Dengan adanya kerterbatasan manusia dalam beradaptasi dan berinteraksi dengan komponen-komponen kerja yang ada dalam kegiatan kerja, seperti mesin atau peralatan dan lingkungan kerja, maka displin ergonomi menjadi pertimbangan yang harus dilakukan dalam proses perancangan produk, lingkungan fisik kerja, dan tata letak serta pengaturan area kerja. Pendekatan ergonomi dalam proses perancangan produk, fasilitas ataupun lingkungan fisik kerja akan mampu menghasilkan efektivitas dan efisiensi kerja, disamping juga meningkatkan nilai-nilai manusiawi pekerja dalam bentuk keselamatan, kesehatan, dan kepuasan kerja.