BAB 2 LANDASAN TEORI
2.1 Levels of Strategy Menurut www.quickmba.com terdapat 3 tingkatan dalam strategi, yakni: 1. Corporate Level Strategy This level fundamentally is concerned with the selection of businesses in whicht the company should compete and coordination of that portfolio of businees. Tingkatan ini umumnya untuk perusahaan korporat yang bergerak di berbagai bidang dalam bisnisnya.. 2. Business Level Strategy This level is more about developing and sustaining a competitive advantage for the goods and services that are produced. 3. Functional Level Strategy This level is about the level of the operating divisions and departments, such as: marketing, finance, opertions, R&D etc. Involved in higher level strategies by providing input intu the business unit level, such as informing information resources and capabilities.
2.2 Strategic Planning Process Perusahaan harus menyusun strategic planning yang dengan jelas menjabarkan tujuan dan memperhatikan baik lingkungan internal maupun eksternal untuk menyusun,
27 mengimplementasikan, mengevalusai progress, dan membuat penyesuaian terhadap strategi supaya tetap pada jalurnya (www.quickmba.com). Adapun proses perencanaan strategi seperti di bawah ini : Mission & Objectives
Environmental Scanning
Strategy Formulation
Strategy Implementation
Evaluation & Control
Gambar 2.1 Proses Perencanaan Strategi Sedangkan menurut Thompson (2001, p6) dalam menyusun strategi terdapat 5 tugas utama yang saling berkaitan dengan tugas manajemen, seperti di bawah ini :
Developing a Strategic Vision &Business Mission
Setting Objectives
Crafting a Strategy to Achieve the Objective
Implementing & Executing the Strategy
Gambar 2.2 Five Tasks of Strategic Management
Evaluating Performance, Corrective Adjustments
28 2.3 Penyusunan Strategi Dalam penyusunan atau formulasi suatu strategi untuk mencapai tujuan, perlu diperhatikan
faktor-faktor
yang
mempengaruhinya.
Thompson
(2001,
p60)
mengungkapkan faktor –faktor tersebut seperti pada gambar berikut di bawah ini : Strategy-Shaping Factors External To The Company Economic, Societal, Political Regulatory
Competitive conditions & Overall industry attractiveness
Company opportunities & threats to the company’s wellbeing
The Mix Of Considerations That Determines A Company Strategic Situation
Company resource, strength, weakness, competencies
Personal ambition, business philosophies, ethical principles
Conclusion how internal & external factors implicate the strategy
Identification & evaluation of strategy alternatives
Crafting a strategy that fits the overall situation
Shared values and company culture
Strategy-Shaping Factors Internal To The Company
Gambar 2.3 Shaping-Factor of Company’s Strategy Choice Dari diagram di atas kita mengetahui bahwa ada faktor internal dan eksternal yang berpengaruh dalam penyusunan suatau strategi. Untuk itu, kita perlu melakukan identifikasi dan analisis terhadap masing-masing faktor tersebut atau bisa juga disebut environmental scanning.
29 2.4 Identifikasi Faktor Internal Untuk mengetahui faktor apa saja yang penting untuk dipertimbangkan dalam melakukan analisa internal, penulis menggunakan Key Success Factors. Key Success Factors (KSF) are those things that most affect industry member’s ability to prosper in the marketplace (Thompson, 2001, p106) Adapun yang termasuk Key Success Factors adalah sebagai berikut: a. Technology-related KSF Berkaitan dengan teknologi, seperti: inovasi produk, keunggulan dalam penguasan teknologi, innovative improvements dalam proses produksi. b. Manufacturing-related KSF Berkaitan dengan kegiatan manufaktur, seperti: kualitas produk, produktivitas tinggi, biaya produksi rendah. c. Distribution-related KSF Berkaitan dengan jaringan distribusi, seperti: biaya distribusi rendah, waktu pengirman yang singkat, jaringan distribusi yang kuat. d. Marketing-related KSF Berkaitan dengan kegiatan pemasaran produk, seperti : breadth of product line, clever advertising, attractive styling or packaging . e. Skills-related KSF Berkaitan dengan kemampuan dan keahlian khusus, seperti: superior workforce talent, quality control know-how, ability to develop innovative products and product improvements. f. Organizational capability
30 Berkaitan dengan keunggulan dalam organisasi, seperti: superior information systems, managerial experience, ability to respond quickly to shifting market conditions. g. Other types of KSF Faktor lainnya yang berpengaruh, seperti: favorable image or reputation with buyers, convenient locations, access to financial capital, patent protection.
In the beer industry, the KSF are full utilization of brewing capacity (to keep manufacturing costs low), a strong network of wholesale distributors (to gain access to access to as many retail outlets as possible), clever advertising (to induce beer drinkers to buy a particular brand and thereby pull beer sales through the established wholesale/retail channels) (Thompson, 2001, p106) Identifikasi Faktor Internal ini memberi informasi mengenai kekuatan (positive internal strategy shaping-factors) dan kelemahan (negative internal strategy shapingfacotrs). Di mana strength is something a company is good at doing or a characteristic that gives it enhanced competitiveness (Thompson 2001, p117). Sedangkan weakness (kelemahan) is something a company lacks or does poorly or a condtion that puts it at a disadvantage Thompson (2001, p119),
2.5 Identifikasi Faktor Eksternal Lingkungan eksternal sendiri menurut Pearce (2000, p 93) terdiri dari 3 bagian : 1. Lingkungan Jauh (Remote Environement) Yang termasuk di dalamnya adalah faktor ekonomi, sosial, politik, teknologi dan faktor ekologi. Lingkungan ini memberi peluang, ancaman, dan kendala bagi perusahaan.
31 2. Lingkungan Industri (Global dan Domestik) Yang termasuk di dalamnya adalah
hambatan masuk, kekuatan pemasok,
kekuatan pembeli, ketersediaan substitusi dan persaingan antar perusahaan. 3. Lingkungan Operasional (Global dan Domestik) Berbeda dengan dua lingkungan sebelumnya, lingkungan operasional ini lebih dapat dikendalikan atau dipengaruhi oleh perusahaan. Unsur-unsur yang ada di daamnya adalah: posisi bersaing, komposisi pelanggan, reputasi pemasok dan kreditor dan sumber daya manusia (pasar tenaga kerja) Sedangkan di www.quickmba.com, analisis terhadap lingkungan eksternal dibagi menjadi dua: 1. Analysis firm’s industry (task environment) Analisis terhadap lingkungan industri ini dilakukan dengan menggunakan Porter’s Five Force. 2. External macroenvironment (PEST analysis) Sedangkan untuk analisa ini menggunakan PEST analysis. Analisis terhadap lingkungan makro, yang meliputi aspek :Politik, Ekonomi, Sosial dan Teknologi. Identifikasi Faktor Eksternal ini memberi informasi mengenai peluang (positive external strategy shaping-factors) dan ancaman (negative external strategy shapingfactors). Di mana peluang adalah situasi penting yang menguntungkan dalam lingkungan perusahaan. Kecenderungan penting merupakan salah satu sumber peluang, seperti: perubahan pada persaingan ataupun peraturan, perubahan teknologi, serta segmen pasar yagn terabaikan. (Pearce, 2000, p230). Sedangkan ancaman adalah situasi penting yang tidak menguntungkan dalam lingkungan perusahaan. Ancaman merupakan pengganggu
32 utama bagi posisi sekarang atau yang diinginkan perusahaan. Masuknya pesaing baru, lambatnya pertumbuhan pasar, serta peraturan baru atau yang direvisi dapat menjadi ancaman bagi keberhasilan perusahaan (Pearce, 2000, p230).
2.6 Quanitfied Internal External Strategy-Shaping Factor Analytical Method AHP (Analytical Hierarchy Process) measures the relative importance of each internal and external factors in this hierarchy (Kandakoglu, 2007, p1). Utilizing AHP yields analytical priorities for the factors included and make them commensurable. (Kurttila et al.,2000). Penggunaan metode ini telah diaplikasikan di berbagai area, seperti : manajemen proyek, agrikultur, pariwisata dan berbagai bidang lainnya. Adapun tahap-tahap dari pendekatan metode ini adalah sebagai berikut: STRATEGY SHAPING FACTOR ANALYSIS
HIERARCHY
CRITERION
AHP
STRATEGY DEVELOPMENT
STRATEGY EVALUATION
Gambar 2.4 Urutan proses Quantified Internal External Strategy-Shaping Factor Analytical Method ¾ Strategy Shaping- Factor Analysis Faktor-faktor (baik internal dan eksternal) yang berpengaruh terhadap penyusunan strategi dianalisis seluruhnya. ¾ HIERARCHY CRITERION Strategy Shaping-Factor disusun dalam bentuk hirarki. ¾ AHP (Analytical Hierarchy Process) Melakukan pairwise comparison untuk menentukan local dan global weight dari kriteria dalam hirarki
33 ¾ STRATEGY DEVELOPMENT Strategi disusun berdasarkan kondisi keseluruhan dari perusahaan dan target yang ingin dicapai, serta dinilai relevansinya dengan Strategy Shaping- Factor ¾ STRATEGY EVALUATION Strategi kemudian diurutkan untuk melihat dan memilih bobot tertinggi dari masingmasing alternatif strategi yang telah disusun.
2.7 AHP (Analytical Hierarchy Method) A. Pengertian dasar AHP AHP atau proses analsis bertingkat dikembangkan oleh Thomas L.Saaty pada tahun 1970, merupakan metode untuk membuat urutan alternative keputusan dan memilih yang terbaik pada saat pengambil keputusan memiliki beberapa tujuan atau kriteria (Taylor, 2005, p 17) Pada AHP, pengambil keputusan menentukan nilai atau “skor” tiap alternative untuk suatu kriteria dengan perbandingan berpasangan atau pairwise comparison (Taylor ,2001, p 19). Adapun standar skala preferensi yang digunakan pada AHP adalah sebagai berikut: Tabel 2.1 Tingkat Preferensi Perbandingan Berpasangan Nilai
Tingkat Preferensi
Angka 1
Sama (kuat/disukai)
3
Cukup (kuat/disukai)
5
Sangat disukai(kuat/disukai)
34 7
Amat Sangat(kuat/disukai)
9
Luar biasa (kuat/disukai)
2, 4, 6, dan 8 dipakai ketika terdapat keraguan atau membutuhkan kompromi antaranya Sumber: www.boku.ac.at/mi/ Contoh Kasus AHP ( Taylor, 2005, p18) Misalkan terdapat 3 lokasi A, B dan C. Kita akan memilih lokasi yang terbaik, berdasarkan 4 kriteria utama, yakni berdasarkan: pangsa pasar, tingkat pendapatan, infrastruktur, dan transportasi. Mengembangkan Preferensi dalam Kriteria ¾ Sintesis Langkah pertama kita membandingkan tiap lokasi berdasarkan pangsa pasar. Pangsa Pasar Lokasi
A
B
C
A
1
3
2
B
1/3
1
1/5
C
1/2
5
1
Total
11/6
9
16/5
- Pemberian nilai berdasarkan tabel 3.1 Perbandingan Berpasangan. - A-B= 3 artinya pangsa pasar A cukup kuat/disukai dibanding B Sedangkan untuk sebaliknya B-A angkanya tinggal dibalik saja menjadi 1/3 - Untuk lokasi yang sejenis, misalnya A-A; B-B atau C-C nilainya adalah 1
35 ¾ Matriks Normalisasi Lokasi
A
B
C
A
6/11
3/9
5/8
B
2/11
1/9
1/16
C
3/11
5/9
5/16
- Sel A-A= 6/11, didapat dari 1(A-Atabel sintesis): 11/6(total tabel sintesis) - Sel C-B = 5/9, didapat dari 5(C-B tabel sintesis): 9 (total tabel sintesis) ¾ Vektor A
B
C
Rata-rata Baris
A
0.5455
0.3333
0.6250
0.5012
B
0.1818
0.1111
0.0625
0.1185
C
0.2727
0.5556
0.3125
0.3803
Lokasi
- Sel A-A=0.5455, merupakan desimal dari 6/11. - Total rata-rata baris harus sama dengan 1 ¾ Vektor Preferensi Preferensi untuk kriteria pangsa pangsar adalah : A= 0.5012 B = 0.1185 C = 0.3803 Untuk kriteria yang lainnya, lakukan dengan urutan yang sama dimulai dari sintesis hingga vektor.
36 Misalkan untuk kriteria yang lain telah dihitung dan didapat masing-masing hasilnya, maka dapat disusun dalam matriks sebagai berikut: Lokasi
Pasar
Pendapatan
Infrastruktur
Transportasi
A
0.5012
0.2819
0.1790
0.1561
B
0.1185
0.0598
0.6850
0.6196
C
0.3803
0.6583
0.1360
0.2243
Merangking Kriteria ¾ Sintesis Tahap berikutnya untuk menentukan kepentingan dari tiap kriteria. Kriteria mana yang lebih penting, mana yang kurang atau tidak penting. Pasar
Pendapatan
Infrastruktur
Transportasi
Pasar
1
1/5
3
4
Pendapatan
5
1
9
7
Infrastruktur
1/3
1/9
1
2
Transportasi
1/4
1/7
1/2
1
Kriteria
- Pemberian nilai berdasarkan tabel 3.1 Perbandingan Berpasangan. - Sel Pendapatan-Pasar = 5, artinya kriteria pendapatan sangat kuat/disukai dibanding kriteria pasar. Sedangkan Pasar-pendapatan cukup dibalik=1/5 - Sel Pasar-Pasar, Pendapatan-Pendapatan dan sejenisnya nilainya adalah 1. ¾ Matriks Normalisasi Caranya sama dengan bagian di atas dan agar lebih singkat penjelasan langsung ke Vektor saja.
37 ¾ Vektor Kriteria
Pasar
Pendapatan
Infrastruktur
Transportasi
Ratarata
Pasar
0.1519
0.1375
0.2222
0.2857
0.1993
Pendapatan
0.7595
0.6878
0.6667
0.500
0.6535
Infrastruktur
0.0506
0.0764
0.0741
0.1429
0.860
Transportasi
0.0380
0.0983
0.0370
0.0714
0.0612
¾ Vektor Preferensi Preferensi dari masing –masing kriteria adalah sebagai berikut: Pasar
0.1993
Pendapatan
0.6535
Infrastruktur 0.860 Transportasi 0.0612 Mengembangkan Rangking Keseluruhan ¾ Matriks Preferensi tiap lokasi Lokasi
Pasar
Pendapatan
Infrastruktur
Transportasi
A
0.5012
0.2819
0.1790
0.1561
B
0.1185
0.0598
0.6850
0.6196
C
0.3803
0.6583
0.1360
0.2243
¾ Vektor Preferensi tiap kriteria Pasar
0.1993
Pendapatan
0.6535
38 Infrastruktur 0.860 Transportasi 0.0612 ¾ Skor keseluruhan Skor
lokasi
A=0.1993(0.5012)+
0.6535(0.2819)+
0.860(0.1790)+
0.0612(0.1561) = 0.3091 Skor
lokasi
B
=
0.1993(0.1185)+
0.6535(0.0598)+
0.860(0.6850)+
0.0612(0.6196) = 0.1595 Skor
lokasi
C
=
0.1993(0.3803)+
0.6535(0.6583)+
0.860(0.1360)+
0.0612(0.2243) = 0.5314 Dari skor di atas dapat dilihat bahwa lokasi C adalah yang tertinggi dan dipilih berdasarkan AHP.
B.
Konsistensi AHP Proses analisa beringkat (AHP) dilakukan berdasarkan perbandingan pasangan
yang digunakan untuk menetapkan preferensi antara alternatif keputusan untuk berbagai kriteria. Maka validitas dan konsistensi pernyataan menjadi penting, oleh karena itu terdapat suatu Indeks Konsistensi (CI) untuk mengukur tingkat inkonsistensi dalam perbandingan pasangan. Contohnya adalah sebagai berikut: ¾ Matriks dari sintesis dikali dengan vektor preferensi kriterianya
Pasar
Pendapatan
Infrastruktur
Transportasi
Pasar
1
1/5
3
4
Pendapatan
5
1
9
7
Infrastruktur
1/3
1/9
1
2
Kriteria 0.1993 X
0.6535 0.086
39 Transportasi
1/4
1/7
1/2
1
X
Kriteria 0.0612
Hasil perkaliannya: (1) (0.1993) + (1/5) (0.6535) + (3) (0.0860) + (4) (0.0612)
= 0.8328
(5) (0.1993) + (1) (0.6535) + (9) (0.0860) + (7) (0.0612)
= 2.8524
(1/3) (0.1993) + (1/9) (0.6535) + (1) (0.0860) + (2) (0.0612) = 0.3474 (1/4) (0.1993) + (1/7) (0.6535) + (1/2) (0.0860) + (1) (0.0612) = 0.2474 ¾ Masing-masing nilai dibagi dengan vektor preferensi kriteria 0.8328 / 0.1993
= 4.1786
2.8524 / 0.6535
= 4.3648
0.3474 / 0.0860
= 4.0401
0.2474 / 0.0612
= 4.0422 16.6257
16.6257 dibagi 4 = 4.1564 ¾ Indeks Konsistensi CI = (4.1564 – n) / (n-1) Di mana : n = jumlah item yang diperbandingkan 4.1564 adalah nilai rata-rata yang dihitung sebelumnya CI = (4.1564 – 4) / (4-1) = 0.0521 ¾ Penentuan Konsistensi Tingkat konsistensi dapat ditentukan dengan membandingkan CI dengan RI (Random Index) . Nilai RI dapat dilihat pada tabel 3.2 berikut :
40 Tabel 2.2 Nilai RI Menurut Jumlah Item n
2
3
4
5
6
7
8
9
10
RI
0
0.58
0.9
1.12
1.24
1.32
1.41
1.45
1.51
CI / RI = 0.0521 / 0.9 = 0.0580 Secara umum tingkat konsistensi adalah memuaskan jika CI / RI < 0.1 Jika CI / RI > 0.1 terdapat inkonsistensi dan hasil AHP mungkin tidak berarti.
C. Menggabungkan bobot dari masing-masing responden Dari perbandingan berpasangan yang dilakukan oleh responden umumnya akan menghasilkan bobot yang berbeda terhadap masing-masing faktor tersebut. Untuk mencari rata-ratanya digunakanlah rata-rata Geometri,
n
X 1. X 2 (Indrawan,
2004, p 58). Di mana n adalah jumlah dari faktor yang diperbandingkan.
2.8 Strategy Development and Evaluation Matrix
Internal (Kekuatan & Kelemahan) dan External (Peluang & Ancaman) StrategyShaping Factor yang telah diolah secara kuantitatif, digunakan untuk penentuan strategi operasional dan implementasinya dengan tujuan utamanya: memanfaatkan secara optimal faktor-faktor yang sifatnya positif dan meminimalkan dampak dari faktor yang sifatnya negatif untuk mencapai keunggulan atau kemenangan (Kandakogulu, 2007, p6). Global weight didapatkan dari weight dikali local weight. Angka weight maupun local weight keduanya didapatkan dari hasil perhitungan bobot perbandingan berpasangan AHP. Contoh: global weight S1 adalah 0.181, didapat dari 0.474(weight) dikali 0.380 (local weight).
41
Di mana: Ti
: total weight of the i strategy
Gj
: global
weight of the j factor
Rij
: degree
of relationship between i strategy and j factor
n
: number of factors
Contoh Strategi Attack total bobotnya adalah 4.246, didapat dari: (nilainya 9) dikali dengan global weight S1 (nilainya 0.181) = 1.629 (nilainya 5) dikali dengan global weight S2 (nilainya 0.129) = 0.645 hingga
(nilainya 1) dikali dengan global weight T3(0.084) = 0.084
Setelah semua faktor strategi dikalikan, lakukan penjumlahan penjumlahan ke bawah untuk mengetahui total bobot dari strategi Attack. Lakukan yang sama pada strategi lainnya untuk menghitung total bobotnya.
SWOT Group
Weight
Strengths
0,474
Weaknesses
0,205
Opportunities
0,189
Threats
0,130
SWOT Factors S1 S2 S3 S4 S5 W1 W2 W3 O1 O2 O3 O4 T1 T2 T3
Local Global Weight Weight 0,380 0,181 0,271 0,129 0,083 0,040 0,185 0,088 0,077 0,037 0,162 0,033 0,309 0,063 0,529 0,109 0,362 0,069 0,284 0,054 0,233 0,044 0,121 0,023 0,238 0,031 0,121 0,016 0,641 0,084
Strategies Attack U z
U
{ U U U {
Defend U { { z U z { z
Total Weight
4,246
z { U { { U 2,800
Relative Importance (%)
0,355
Ranking
1
{
Delay z { { U U { z { { z z z {
Withdraw z { z z z z U
z
z z z z { z
2,383
2,515
0,234
0,200
0,211
2
4
3
Gambar 2.5 Contoh Strategy Development and Evaluation Matrix
42 Tabel 2.3 Degree of relationship,symbol, and their corresponding number Degree of relationship
Symbol
Number
No
0
Very Weak
1
Weak
3
Medium
5
Strong
7
Very Strong
9
Intinya, semakin kuat suatu faktor dapat mendukung strategi yang diterapkan perusahaan, maka nilainya semakin besar. Jika faktor tersebut sama sekali tidak ada kaitannya dengan strategi yang diterapkan maka nilainya sama dengan nol. Sebagai contoh: W3, faktor tersebut memiliki skala sangat lemah dalam mendukung strategi attack. T3, faktor ancaman memberikan pengaruh yang lemah dalam mendukung strategi delay.
2.9 Strategi Yang Relevan Dengan PT MBI A. Sebagai Industry Leader
MBI saat ini merupakan market leader untuk industri bir di Indonesia. Menyikapi hal tersebut, alangkah baiknya jika kita dalam menyusun suatu strategijuga mengacu pada kondisi yang dialami perusahaan tersebut sebenarnya, agar apa yang disusun dan direncanakan juga sesuai dengan apa yang dihadapi di dalam kondisi riil. Yakni strategi apa yang harus disusun oleh suatu perusahaan ketika telah menjadi industry leader.
43 Thompson (2001, p265) mengungkapkan beberapa contoh strategi yang sebaiknya dijalankan oleh perusahaan yang telah menjadi industry leader, salah satunya Anheuser-Busch, industry leader untuk produk bir. Berikut adalah strateginya : 1. Stay on the offensive strategy
Quality enhancement, ways to cut operating costs, promoting more frequent use, attracting new users of product, new families of products. 2. Fortify and defend strategy
Dengan cara membuat penantang ataupun perusahaan baru sulit untuk masuk. Tujuan utamanya adalah mempertahankan market share sekarang ini, memperkuat posisi di pasar. Contoh spesifiknya: memperbesar budget iklan, memperkenalkan lebih banyak produk atau merk untuk mengimbangi merek penantang atau pun celah (niche), menjaga harga agar tetap reasonable dan kualitas yang menarik, menandatangani kontrak eksklusif dengan pemasok ataupun distributor. 3. Muscle-flexing strategy
Strategi ini lebih ke arah etika ataupun aspek hukum, sebagai contoh : melengkapi tenaga penjual (sales person) dengan informasi kelemahan
produk
pesaing,
membajak
eksekutif
dari
mengenai pesaing,
mengkomunikasikan secara gencar tentang perbandingan antara produknya dengan pesaing. Strategi ini umumnya dipakai untuk produk teknologi.
44 B. Menyerang Runner-Up Firms
Strategi ini dipakai untuk menyerang balik perusahaan posisi kedua yang selalu berusaha merebut pangsa pasar industry leader. Adapun strateginya sebagai berikut: 1. Blocking the avenues open to challengers
A defender can introduce new feature broaden its product line to close off gaps and vacant niches. (Thompson, 2001, p192) 2. Signaling Challengers that retaliation is Likely
Tujuannya adalah mengingatkan akan resiko yang dihadapi oleh penantang jika mereka menyerang. The resulting battle will be more costly than it’s worth (Thompson, 2001, p192). Adapun cara yang dilakukan sebagai berikut: melakukan paparan publik mengenai kebijakan manajemen atau Publicly announcing management’s commitment to maintaintain the firm’s present market share. Masih menurut Thompson, ia berpendapat bahwa: Runner up firms are an especially attractive target and well suited to exploting their weaknesses.
C. Bersaing di pasar yang dalam kondisi maturity stage
Consumer product seperti bir, otomotif, televisi adalah industri yang berada dalam maturity stage (Dess, 2003, p180). Keunggulan utama berupa kegiatan operasi manufaktur yang efisien menjadi semakin penting untuk menjaga biaya tetap rendah, khususnya bagi konsumen yang semakin peka harga. Strategi yang cocok untuk tahap ini adalah: 1. Diferensiasi atau overall cost leadership
45 Tujuannya adalah mempertahankan market share dan memperpanjang daur hidup produk. Sedangkan menurut Thompson (2001, P258) ketika pasar domestic sudah memasuki tahap matures , perusahaan sebaiknya melihat peluang untuk masuk ke pasar asing di luar negeri di mana tingkat pertumbuhannya masih potensial.
2.10 Definisi Peramalan
Gasperz (2001, p71) mendefinisikan peramalan sebagai fungsi bisnis yang berusaha memperkirakan penjualan dan penggunaan produk sehingga produk dapat dibuat dalam kuantitas yang tepat.
Sedangkan Arman Hakim ( 2006, p235)
mengemukakan bahwa peramalan adalah proses untuk memperkirakan berapa kebutuhan di masa dating yang meliputi kebutuhan dalam ukuran kuantitas, kualitas, waktu dan lokasi yang dibutuhkan dalam rangka memenuhi permintaan barang ataupun jasa.
2.11 Tujuan Peramalan
Render (2006, p150) menjelaskan adapun tujuan dari peramalan adalah mengurangi ketidakpastian dan membuat perkiraan yang lebih baik mengenai apa yang akan terjadi. Terutama dalam kegiatan operasional, seperti investasi, persedian barang dan sebagainya, padahal di sisi lain tingkat penjualan pun tidak ada yang mengetahuinya. Chase (2006, p466) memaparkan forecasts are vital to every business organization and for every significant management dan beberapa baris lanjutan di bawahnya Production and operations personnel use forecast to make periodic decisions involving process selection, capacity planning, facility layout, as well as for continual decisions about production planning, scheduling and inventory.
46 2.12 Jenis-jenis Peramalan
Seperti yang dapat dilihat pada gambar 2.6 , Render (2006, p150) mengklasifikasikan 3 jenis peramalan, yakni: a. Qualitative Model
Jenis peramalan ini didasarkan atas opini para ahli, pengalaman dan penilaian individu, serta pertimbangan subjektif lainnya. Peramalan jenis ini dipakai jika faktor subjektif menjadi sangat penting atau ketika data kuantitatif sulit diperoleh. Peramalan jenis kualitatif dibagi menjadi 4 metode yakni: 1. Delphi method Proses ini dilakukan dengan grup kerja, yang anggotanya terdiri dari: pengambil keputusan, staf anggota, dan responden. Staf anggota membantu pengambil
keputusan
dengan
mempersiapkan,
mengumpulkan kuisioner dan hasil.
membagikan
dan
Sedangkan responden adalah
sekelompok orang yang pendapatnya menjadi bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan. 2. Jury of executive opinion Metode ini menggunakan pendapat dari opini grup kecil,dengan anggotanya para manajer puncak, yang dikombinasikan dengan metode statistic 3. Sales force composite Dalam metode ini setiap tenaga penjual memperkirakan jumlah penjualan yang mungkin tercapai tiap daerah mereka masing-masing. Pekiraan ini akan ditinjau ulang secara nasional untuk memastikan target mereka realistis atau tidak.
47 4. Consumer market survey. Metode ini menggunakan input dari konsumen ataupun calon konsumen tentang rencana pembelian mereka di masa mendatang. Metode ini biasa dipakai untuk membantu pengembangan desain produk dan perencanaan produk baru.
b. Time Series Methods
Metode ini berusaha memprediksikan masa mendatang dengan menggunakan data historis. Jadi, apa yang terjadi selama periode di masa lalu akan menjadi dasar bagi peramalan di masa mendatatang. Render (2006, p151). Pembahasan lebih jauh mengenai metode-metode yang umum digunakan dalam time series ada di dalam bab 2.16.
c. Causal Methods
Dalam melakukan peramalan metode ini berusaha menjelaskan hubungan antara variabel dependen dengan independen. Sebagai contoh, seberapa besar variabel independen seperti cuaca, temperatur rata-rata akan mempengaruhi tingkat penjualan produk. Metode ini dapat dibagi menjadi dua, yakni: analisis regresi dan multiple regresi.
2.13 Rentang Waktu (time horizon) Peramalan
Render (2006, p150) membagi rentang waktu (time horizon) dari peramalan menjadi 3, yakni:
48 a.Jangka pendek (short term)
Berkisar antara 1 sampai 30 hari. Penggunaan dari rentang waktu ini biasanya untuk: perencanaaan distribusi inventori ataupun perencanaan material (Gasperz, 2001, p76)
Forecasting Techniques Qualitative Models
Time Series Methods
Causal Methods
Delphi Method
Regression Analysis
Jury of Executive Opinion
Multiple Regression
Sales Force Composite
Consumer Market Survey
Gambar 2.6 Forecasting Models Discussed Generally b. Jangka menengah (medium term) Berkisar antara 1bulan sampai 1 tahun. Adapun penggunaannya untuk perencanaan anggaran, produksi, dan pembelian dengan menggunakan Blanket Purchase Order (Gasperz, 2001, p76). c. Jangka panjang (long term)
Untuk waktu lebih dari 1 tahun. Penggunaannya untuk investasi modal, perencanaan bisnis dan proyek jangka panjang lainnya(Gasperz, 2001, p 75)
49 2.14 Pola Data Dalam Time Series
Hanke (2006, p58) menyebutkan bahwa salah satu aspek terpenting dari pemilihan metode peramalan yang tepat untuk jenis data time series adalah mengenali pola data yang ada di dalamnya. Adapun pembagian pola datanya adalah sebagai berikut: a. Horizontal (Stasioner) A stationery series was defined whose mean is not changing overtime (Hanke, 2006, p75). Di mana fluktuasi data relatif stabil. b.Trend “Trend is the long term component that represents the growth or decline in the time series over an extended period of time” Hanke (2006, p 59). Data memiliki kecenderungan meningkat ataupun menurun selama periode waktu tertentu. c. Seasonal (Musiman) “Refers to a pattern of change that repeats itself year after year” Hanke (2006, p 59). Pola musiman ini biasa dipengaruhi oleh factor cuaca ataupun calendar kegiatan tahunan, seperti liburan sekolah dan sejenisnya. d. Cyclical (Siklus) “When observations exhibit rises and falls that are not of a fixed period” Hanke
(2006, p 59).
2.15 Penentuan Metode Peramalan Yang Digunakan
Jika pola trend, cyclical ataupun seasonal dapat dikenali maka langkah selanjutnya kita dapat memilih teknik yang sesuai dengan masing-masing pola data. Adapun menurut pendapat Hanke (2006, p75) teknik peramalan untuk masing-masing pola dapat dibagi sebagai berikut:
50 a. Teknik Peramalan Untuk Data Stasioner
Teknik yang dapat dipertimbangkan ketika melakukan peramalan untuk data stasioner adalah naive method, simple moving average, dan Box-Jenkins method. b. Teknik Peramalan Untuk Data Trend
Teknik yang dapat dipertimbangkan ketika melakukan peramalan untuk pola data yang bersifat trend adalah moving average, Holt’s linear exponential smoothing, simple regression, exponential model, dan Box-Jenkins method. Sebagai tambahan bahwa untuk deret waktu dengan pola trend metode trend projection juga cocok untuk digunakan menurut Render (2006, p164). c. Teknik Peramalan Untuk Data Seasonal
Teknik yang digunakan ketika melakukan peramalan untuk musiman adalah dekomposisi, Census X-12, Winter’s exponential smoothing, multiple regression, dan Box-Jenkins method. d. Teknik Peramalan Untuk Data Cyclical
Sedangkan untuk data dengan pola siklus, teknik yang dapat digunakan adalah dekomposisi, economic indicator, econometric models, multiple regression dan Box-Jenkins method. Tabel 2.4 Teknik Peramalan Untuk Tiap Pola Data Pola Data Teknik
Stasioner
Trend
Naïve
Double
Peramalan
Seasonal Moving Decomposition
Cyclical Decomposition
Average Simple
Exponential
Winter’s
Multiple
Averaging
Smoothing
Exponential
Regression
51 Smoothing Moving
Holt’s Exponential Multiple
Econometric
Average
Smoothing
Mode
Box-Jenkins
Simple Regression Box-Jenkins
Regression
Box-Jenkins
(Trend Projection) Box-Jenkins
Sedangkan untuk data yang memiliki gabungan pola antara trend dan musiman, Chase (2006, p472) mengemukakan bahwa metode Winter’s Exponential Smoothing ataupun regresi dapat digunakan. Bagaimana untuk pola data yang tidak menunjukkan kecenderungan apapun?
Schroeder (2007, p217) mengemukakan
untuk pola data yang tidak konsisten dengan satu pola data tertentu, maka peramalan yang dapat digunakan adalah metode kualitatif. Dikarenakan penulis membatasi penelitian dengan hanya menggunakan peramalan berdasarkan deret waktu (time series), maka teknik peramalan seperti multiple regression, economic indicator ataupun econometric model tidak akan disinggung lebih jauh. Masih menurut pendapat Hanke (2006, p77) kemudahan untuk mengerti dan menginterpretasikan hasil adalah pertimbangan utama dalam memilih suatu teknik peramalan, karena itu simple regression, trend projections, dekomposisi, dan exponential smoothing paling banyak digunakan. Metode Box-Jenkins, teknik ini tidak digunakan dalam penelitian ini meski cukup tepat untuk berbagai jenis pola data, namun metode ini memiliki tingkat kerumitan
52 yang tinggi dan juga jarang digunakan. Pendapat ini juga dikemukan Chase (2006, p472) bahwa metode Box-Jenkins memerlukan persiapan waktu yang panjang dan diperlukan keahlian yang cukup tinggi. Senada dengan Chase, Gasperz (2001, p78) menyertakan data persentase dari metode peramalan yang digunakan oleh 160 perusahaan, metode box-jenkins sedikit sekalidigunakan hanya sekitar 5-6 perusahaan saja.
2.16 Metode Peramalan Time Series a. Naïve Method (untuk stasioner)
Metode yang menggunakan data pada 1 periode persis sebelumnya, sebagai peramalan untuk 1 periode berikutnya. Atau didefinisikan sebagai berikut: Ŷt+1= Yt Misalkan penjualan produk “A” di Januari 2006 adalah 10 botol. Maka peramalan yang digunakan untuk bulan februari adalah 10 botol. Jika ternyata penjualan di Februari 2006 adalah 20 botol, maka angka 20 botol tadi yang akan menjadi peramalan untuk bulan berikutnya yakni Maret 2006. b. Simple Averaging Method (untuk stasioner)
Jenis peramalan ini menggunakan rata-rata atau mean dari seluruh data historis penelitian yang digunakan untuk meramalkan periode berikutnya. Jika dinyatakan dalam rumus adalah sebagai berikut: Ŷt+1 =
1 t ∑ Yi t i =1
Jadi jika kita ingin mencari ramalan penjualan untuk periode 7, maka kita menjumlahkan data historis periode 1-6 dan dibagi 6(sejumlah periode data historis yang ada). Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada contoh perhitungan di bawah ini:
53 Misalkan data penjualan produk ”B” dari bulan Januari- Mei 2006 adalah sebagai berikut : Tabel 2.5 Contoh Data Penjualan Untuk Perhitungan Simple Averaging Method Bulan
Kaleng (ribuan)
Januari (1)
70
Februari(2)
60
Maret (3)
65
April (4)
75
Mei (5)
70
Dengan menggunakan simple averaging method, kita dapat melakukan peramalan penjualan di bulan Juni 2006 dengan cara berikut: Ŷ6 =
70 + 60 + 65 + 75 + 70 = 69 5
Jadi didapatakan peramalan penjualan untuk periode 6 atau bulan Juni 2006 adalah sebesar 69 (ribu) unit.
c. Moving Average (untuk stasioner)
Prinisip dasarnya sama dengan simple average, namun di teori Moving Average atau rata-rata bergerak ini, jika terdapat data yang lebih terkini dan baru maka data yang lebih lama tidak akan disertakan. Dalam teks aslinya Hanke (2006, p107) mengungkapkan “.., a new mean is computed by adding the newest value and
dropping the oldest”. Berikut adalah rumusnya: Ŷt+1 = Yt+Y t-1+...+ Y t-k+1 k
54 Di mana: Ŷt+1= nilai peramalan untuk periode berikutnya Yt = nilai aktual pada periode t
k
= jumlah rata-rata bergerak yang dimasukkan
Semakin kecil nilai k yang dimasukkan, berarti semakin besar bobot yang diberikan kepada nilai yang terbaru. Sebagai tambahan informasi juga, bahwa metode ini menurut Hanke (2006, p108) tidak dapat menangani pola trend dan musiman dengan sangat baik, meski lebih baik dibanding dengan simple average.
d. Double Moving Average
Metode ini digunakan untuk menangani trend linear. Sesuai namanya, begitu
moving average yang pertama selesai dihitung, maka perhitungan yang kedua pun dilakukan sebagai moving average dari hasil perhitungan yang pertama. Rumusnya adalah sebagai berikut: Mt = Ŷt+1 = Yt+Y t-1+...+ Y t-k+1 k Mt ́= Mt+M t-1+...+ M t-k+1 k at = 2 Mt – Mt ́ bt =
2 ( Mt – Mt ́) k −1
Ŷt+p = at + bt p Di mana: Yt = nilai aktual untuk periode t k = jumlah periode dalam rata-rata bergerak
55 p = jumlah periode ke depan yang akan diramalkan
e. Single Exponential Smoothing (untuk trend)
Menurut Hanke (2006, p 114) exponential smoothing is a procedure for continually revising a forecast in the light of more recent experience. Rumusnya adalah sebagai berikut : Ŷt+1 = α Yt + (1- α) Ŷt Di mana: Ŷt+1 = nilai aktual untuk periode t α
= koefisien smoothing (0< α <1)
Yt
= nilai aktual untuk periode t
Ŷt
= peramalan untuk periode t
Semakin kecil nilai α mendekati nol, hasil peramalan akan semakin mirip dengan hasil peramalan periode sebelumnya.
f. Holt’s Exponential Smoothing (untuk trend)
Berdasarkan Hanke (2006, p121) Holt’s Exponential Smoothing atau kadang disebut juga dobule exponential smoothing dapat digunakan untuk pola data linear trend dalam deret waktu, serta untuk menghasilkan peramalan. Kelebihan dari metode ini adalah tingkat fleksibilitas dalam memilih tingkat level dan trend yang akan digunakan. Persamaan yang digunakan dalam metode Holt’s adalah sebagai berikut: 1. The current level estimate Lt= α Yt + (1- α) (Lt-1 + Tt-1) 2. The trend estimate
56 Tt = β (Lt – Lt-1) + (1- β) Tt-1 3. Forecast p periods into the future Ŷt+p = Lt + pTt Dimana: Lt = current level estimate α = smoothing constant for the level (0< α <1) Yt = actual value in period t Tt = trend estimate β = smoothing constant for trend estimate (0< β <1) p = periods to be forecasat into the future Ŷt+p= forecast for p periods into the future Konstanta α dan β dapat dipilih secara subjektif atau dengan cara meminimalkan tingkat kesalahan dari hasil peramalan yang dihasilkan seperti MSE. Namun kebanyakan software untuk peramalan telah dlengkapi dengan sistem optimasi algoritma untuk meminimalkan MSE. Kebanyakan kasus lain adalah konstanta α dianggap sama dengan konstanta β, atau α = β.
g. Simple Regression Analysis atau Trend Projection (untuk trend)
Menurut Chase (2006, p482) regression can be define as a functional relationship between two or more correlated variables. Linear regression atau sering disebut juga sebagai simple regression karena persamaannya yang hanya melibatkan satu independen variabel saja. Berbeda dengan multiple regression yang melibatkan 2-3 variabel independen.
57 Linear regression dapat dipakai baik untuk peramalan berdasarkan deret waktu (time series) atau dapat juga digunakan untuk metode hubungan kausal. Ketika variabel dependen (Y) berubah mengikuti perubahan waktu (X) maka linear regression tersebut dapat digunakan untuk peramalan deret waktu. Berikut adalah persamaan Linear regression: Y = a + bx Di mana: Y = Variabel dependen yang dihitung berdasarkan persamaan a = intercept b = slope x = periode waktu Adapun cara menghitung a dan b adalah sebagai berikut : a = Ybar – b.xbar b = ∑ xy – n xbar.ybar ∑X2 – n. xbar2 Di mana: a
= intercept
b
= slope
ybar = rata-rata nilai y (nilai aktual y) xbar = rata-rata nilai x n
= jumlah data
Y
= nilai dependen variabel, hasil perhitungan dari persamaan regresi. Sedangkan menurut Render (2006, p 164) ia menyebut metode ini dengan nama
trend projection. Inti dari metode ini adalah sama di mana berdasarkan data historis
58 yang ada, ia membuat persamaan garis tren lurus yang memproyeksikan keadaan ke depan, itu kenapa metode ini dinamakan trend projection. Yang membedakan hanya cara menyusun persamaan garis linearnya, di mana Chase menjabarkan melalui perhitungan manual, sedangkan Render (2006, p165) menghitung persamaan garis, intercept, dan slope nya dengan Microsoft Excel. Sehingga lebih mudah dan praktis. Tetapi sekali lagi, bahwa inti dari kedua metode ini dan hasilnya adalah sama.
h. Dekomposisi
Pengertian dekomposisi sendiri menurut Chase (2006, p 489) adalah finding the series’ basic components of trend, seasonal and cyclical. Di mana deret waktu diurai menjadi tiap komponen penyusunnya, yakni trend, cyclical, seasonal, dan irregular atau random (Hanke, 2006, p 158). Secara umum dekomposisi terdiri dari dua pendekatan, yakni additive dan multiplicative Adapun perbedaan dari keduanya adalah: 1. Additive The additive components works best when the time series being analyzed has roughly the same variability thorughout the length of the series (Hanke, 2006, p 159). Pendekatan persamaannya adalah: Yt = T t +S t+ I t 2. Multiplicative The multiplicative components works best when the variability of the time series increases with the level (Hanke, 2006, p 159). Pendekatan persamaannya adalah: Yt = T t x S t x I t
59 Masing komponen persamaannya adalah sama, di mana : Yt = nilai yang diobservasi Tt = nilai trend S t = nilai seasonal I t = nilai irregular Secara umum Multiplicative lebih banyak digunakan dalam dekomposisi, karena asumsi bertambah besarnya variabilitas dari deret waktu berdasarkan level lebih realistis dibandingkan dengan asumsi Additive yang menganggap variabilitas dari deret waktu adalah sama. Adapun prosedur perhitungan manualnya terdiri dari 5 langkah seperti di bawah atau dapat dilihat di tabel 2.6: 3. Determine the seasonal factor(or index). Faktor musiman atau index musiman dapat dicari sebagai berikut: a. Cari rata-rata tiap quarter, misalnya rata-rata quarter I didapat dengan: (600+2400+3800)/3 = 2,266.7 (kolom 4) b. Cari rata-rata dari keseluruhan periode waktu, yakni data dari seluruh periode dijumlah dibagi 12. Hasilnya sebesar 2779 c. Angka dari a (2,266.7) dibagi dengan b (2779), hasilnya didapatlah faktor musiman sebesar 0.82 (kolom 5) 4. Deseasonalize the original data. Langkah ini untuk menghilangkan pengaruh musiman pada data. Caranya adalah membagi data aktual (kolom 3) dengan faktor musiman (kolom 5) hasilnya dapat dilihat pada kolom 6.
60 5. Develop a least squares regression line for the deseasonalized data. Tujuan dari langkah ini adalah mengembangkan persamaan garis tren untuk Y= a + bx Berdasarkan hasil perhitungan (Chase, 2004, p490) didapatkan persamaan garis tren yakni : Y= 554.9 + 342.2 x Tabel 2.6 Contoh Perhitungan Menggunakan Dekomposisi
General average of 12 periods <1>
Period (x) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 78
<2>
Quarter
I II II IV I II II IV I II II IV
2779
<3>
<4>
<5>
Actual Demand (y)
Average of the Same Quarter of Each Year 2,266.7 3,050.0 2,700.0 3,100.0
0.82 1.10 0.97 1.12 0.82 1.10 0.97 1.12 0.82 1.10 0.97 1.12
735.7 1412.4 1544.0 1344.8 2942.6 2824.7 2676.2 2599.9 4659.2 4100.4 4117.3 4392.9
12.00
33350.0
600 1550 1500 1500 2400 3100 2600 2900 3800 4500 4000 4900
<7>
<8>
<4> :
<6> Col <3> : Col <5>
2
Col<1>xCol<6>
Seasonal Factor
Deseasonalized Demand (yd)
X2
X x Yd
33350
1 4 9 16 25 36 49 64 81 100 121 144
735.7 2824.7 4631.9 5379.0 14713.2 16948.4 18733.6 20798.9 41932.7 41004.1 45290.1 52714.5 265707.0
6. Project the regression line through the period to be forecast Lakukan proyeksi tren untuk peramalan ke depan, yakni untuk periode 13 dan 16. Untuk periode 13, berarti kita memasukan nilai x sebesar 13 ke dalam persamaan garis tren . Hasilnya dari persamaaan regresi tersebut dapat dilihat pada kolom ke 3, pada tabel 2.7
61 Tabel 2.7 Contoh Hasil Peramalan Menggunakan Dekomposisi Period 13 14 15 16
Quarter 1 2 3 4
Y From Regression Line 5,003.5 5,345.7 5,687.9 6,030.1
Seasonal Factor 0.82 1.10 0.97 1.12
Forecast 4,102.87 5,880.27 5,517.26 6,753.71
7. Create the final forecast by adjusting the regression line by the seasonal factor. Langkah terakhir ini adalah melakukan peramalan untuk periode ke depan yang kita kehendaki. Di mana hasil dari persamaan regresi (kolom 3) dikalikan dengan faktor musiman(kolom4) Hasil akhirnya dapat dilihat pada kolom 5 (forecast).
i. Winter’s Exponential Smoothing
Metode ini adalah pengembangan dari metode Holt’s Exponential Smoothing. Di mana metode ini dapat sekaligus menangani pola musiman dalam deret waktu. Terdapat 4 persamaan yang digunakan dalam Winter’s Exponential Smoothing, yakni : 1. Level estimate Lt = α
Yt +(1- α) (Lt-1 + Tt-1) St − s
2. Trend estimate Tt = β (Lt - Lt-1) + (1- β) Tt-1 3. Seasonality estimate St = γ
Yt + (1-γ) St-s Lt
62 4. Forecast p periods into the future Ŷt+p = (Lt + pTt ) St-s+p Dimana: Lt = current level estimate α = smoothing constant for the level (0< α <1) Yt = actual value in period t Tt = trend estimate β = smoothing constant for trend estimate (0< β <1) γ
= smoothing constant for seasonality estimate
St = seasonal estimate p = periods to be forecasat into the future s
= length of seasonality
Ŷt+p= forecast for p periods into the future Konstanta α, β, dan γ sama seperti yang dilakukan dalam metode Holt’s. Yakni dapat dipilih secara subjektif atau dengan cara meminimalkan MSE. Namun metode ini kebanyakan jarang dipakai karena kesulitan dalam mencoba-coba 3 parameter tadi untuk mencapai nilai MSE yang dikehendaki.
2.17 Mengukur Ketepatan Peramalan
Untuk melihat ketepatan teknik peramalan yang digunakan., atau membandingkan dengan teknik peramalan yang lain, nilai hasil peramalan dibandingkan dengan nilai aktual atau sebenarnya (Render, 2006, p154). Kesalahan peramalan atau deviasi didefinisikan sebagai: Error= actual value-forecast value
63 Terdapat 3 metode yang biasa digunakan untuk mengevaluasi ketepatan teknik peramalan, yakni : a. Mean Absolute Deviation (MAD) MAD =
∑ Error n
Metode ini yang paling sering digunakan b. Mean Squared Error (MSE) (error )2 ∑ MSE = n
c. Mean Absolute Percent Error (MAPE)
error
MAPE =
∑ actual n
.100%
2.18 Definisi Perencanaan Agregat
Berdasarkan Arman Hakim (2006, p 255) perencanaan agregat merupakan suatu perencanaan produksi untuk menentukan berapa unit volume produk yang harus diproduksi setiap periode bulanannya dengan menggunakan kapasitas maksimum yang tersedia. Kata agregat menyatakan perencanaan dibuat pada tingkat kasar untuk memenuhi total semua produk yang dihasilkan, bukan per individu produk. Sebagai contoh untuk pabrik cat, perencanaan agregat dinyatakan dalam berapa liter cat yang akan diproduksi meskipun permintaan terdiri dari warna, kualitas dan ukuran kaleng yang berbeda. Chase (2004, p514) mengemukakan bahwa istilah sales and operation planning adalah sama dengan perencanaan agregat atau aggregate planning, yakni kerja lintas
64 fungsional yang melibatkan general management, sales, operations, finance, and product development.
2.19 Fungsi Perencanaan Agregat
Masih dari sumber yang sama (Arman Hakim, 2006, p 255) fungsi dari perencanaan agregat adalah: menyesuaikan kemampuan produksi dalam menghadapi permintaan pasar yang tidak pasti dengan mengoptimumkan penggunaan tenaga kerja dan peralatan produksi yang tersedia sehingga ongkos total produksi dapat ditekan seminim mungkin. Sedangkan menurut Chase (2006, p516) fungsi dari perencanaan agregat adalah menentukan kombinasi yang optimal dari tingkat produksi, jumlah tenaga kerja, dan persedian di tangan. Perencanaan agregat yang tergolong medium range planning dengan periode 6 sampai 18 bulan memegang peranan penting dalam perencanaan operasi secara keseluruhan. Adanya perencanaan agregat dapat mendukung rencana jangka panjang berupa perencanaan strategi kapasitas di masa mendatang ataupun mendukung rencana jangka pendek operasional harian ataupun mingguan untuk perencanaan bahan baku ataupun penjadwalan produksi.
2.20 Perencanaan Produksi
Setelah adanya perencanaan agregat, maka berkaitan dengan itu akan disusun perencanaan produksi atau planning for production. Dalam perencanaan ini Chase (2006, p518) membagi faktor-faktor yang dapat mempengaruhinya menjadi dua,yakni: faktor dari dalam (internal to firm) dan faktor daru luar (external to firm).
65 Faktor dalam atau internal to firm ini memiliki karaketeristik yang controllability. Yakni faktor yang dapat dikendalikan langsung oleh perusahaan, berbeda dengan faktor luar yang bergantung pada kondisi eksternal. Faktor internal inilah yang berkaitan dengan perencanaan agregat ataupun strategi perencanaan produksi nantinya. Untuk lebih jelasnya faktor-faktor tersebut, dapat dilihat pada diagram berikut.
Gambar 2.7 Required Inputs to the Production Planning System
2.12 Strategi Perencanaan Produksi Menurut Render (2001, p118) sebuah perusahaan dapat memilih pilihan kapasitas dasar (produksi) sebagai berikut : 1. Mengubah tingkat persediaan Dengan cara meningkatkan persediaan selama periode permintaan rendah untuk memenuhi permintaan yang tinggi di masa mendatang. Konsekuensinya muncul biaya yang berkaitan dengan penyimpanan (yang umumnya berkisar antara 15%40% dari biaya produksi langsung sebuah barang) 2. Meragamkan
jumlah
memberhentikan
tenaga
kerja
dengan
cara
mengkaryakan
atau
66 Di mana jumlah karyawan disesuaikan dengan tingkat produksi yang diinginkan. Konsekuensinya adalah moral pekerja dan produktivitas yang terpengaruh, serta munculnya biaya pelatihan dan perekrutan. 3. Meragamkan tingkat produksi melalui lembur atau waktu kosong Jumlah tenaga kerja dijaga tetap konstan, namun waktu kerja yang diragamkan dengan mengurangi jam kerja ketika permintaan rendah, dan melakukan lembur ketika permintaan tinggi. Konsekuensinya muncul upah lembur yang lebih tinggi ketimbang upah reguler. 4. Subkontrak Pilihan ini memiliki beberapa kekurangan seperti : harga yang mahal ataupun kualitas dari pemasok subkontrak yang tidak sesuai. 5. Penggunaan karyawan paruh waktu Umumnya di sektor jasa dan untuk kebutuhan tenaga kerja yang tidak terampil. Chase (2006, p518) menjabarkan 3 strategi utama dalam strategi perencanaan produksi, yakni: a. Chase strategy Menyesuaikan tingkat produksi dengan jumlah pesanan yang ada, dengan cara merekrut atau melepas tenaga kerja sesuai kebutuhan produksi. Strategi ini bergantung pada kemudahan perekrutan dan pelatihan tenaga kerja. Namun strategi ini memiliki dampak pada aspek motivasi dan psikis karyawan akibat ancaman pengurangan tenaga kerja sewaktu-waktu. b. Stable workforce-variable work hours
67 Menyesuaikan tingkat produksi dengan penyesuaian jam kerja seperti lembur atau overtime. Dampak utama strategi ini ada pada munculnya biaya lembur untuk produksi. c. Level strategy Mempertahankan tingkat produksi pada volume yang konstan. Kelebihan jumlah yang diproduksi akan disimpan untuk mengantisipasi kekurangan jumlah produksi di periode lainnya. Dampak utama strategi ini adalah munculnya biaya penyimpanan barang jadi, ataupun munculnya resiko persediaan barang menjadi rusak. Ketika perusahaan menggunakan hanya satu dari 3 strategi yang ada, maka dinamakan pure strategy, Sedangkan jika perusahaan menggunakan kedua atau gabungan dari variable ini maka dinamakan mixed strategy. Masih menurut Chase, secara umum terdapat 4 biaya yang berkaitan dengan perencanaan produksi agregat, yakni: a. Basic Production Cost Termasuk didalamnya biaya tenaga kerja langsung maupun tidak langsung. Biaya lembur atau overtime juga termasuk di dalamnya. b. Cost Associated with changes in the production rate Yang termasuk dalam kategori ini adalah biaya perekrutan, pelatihan maupun biaya pelepasan karyawan. c. Inventory holding costs Komponen utama dari biaya ini adalah biaya modal untuk persediaan. Termasuk di dalamnya adalah biaya untuk pajak, asuransi, maupun biaya antisipasi kerusakan produk. d. Backordering costs
68 Biaya karena ketidakmampuan memenuhi pesanan pelanggan. Biaya jenis ini sangat sulit untuk dihitung, yang termasuk biaya jenis ini adalah kehilangan kepercayaan pelanggan, mapupun kehilangan potensi pendapatan.
2.22 Overall Performance Indicator (OPI)
Menuirut Heineken Technical Service, OPI merupakan sebuah indikator bagi manajemen brewery dan PP&C untuk menunjukkan kinerja/performa line packaging yang erat kaitannya dengan laporan, penentuan target dan sebagai pembanding antar brewery. Teori dasarnya mirip dengan konsep Overall Equipment Effectiveness (OEE), namun terdapat sedikit perbedaan di dalamnya. Hal ini akan dibahas dalam bagian 3.14
2.23 Komponen Waktu dalam Overall Performance Indicator(OPI) a. Total time
Merupakan jumlah waktu keseluruhan dalam satu bulan, tanpa mempedulikan mesin beroperasi atau tidak. Contoh: Bulan Oktober terdapat 31 hari, berarti total time nya = 31 x 24 jam atau 744 jam. Jika bulan November berarti total time nya = 720 jam (30 x 24 jam) b. Manned Time
Jumlah waktu di mana lini beroperasi di bawah pengawasan operator. Manned Time didapat dari Total Time dikurangi Unused Time (waktu yang tidak terpakai untuk mengoperasikan mesin, misalnya hari minggu atau libur hari raya) Contoh: Di bulan Oktober terdapat cuti bersama selama 5 hari, berarti unused time nya sebesar 120 jam (5 x 24 jam). Berarti Manned Time nya = 600 jam, yakni 720 jam (total time) dikurangi 120 jam (unused time). Secara singkat dapat dirumuskan sebagai berikut:
69 Manned Time = Total Time- Unused Time c. Operating Working Time
Jumlah waktu operasional mesin. Didapat dari hasil pengurangan Manned Time dengan 3rd party maintenance atau perawatan mesin oleh pihak ketiga. Secara singkat dapat dirumuskan sebagai berikut: Operating Working Time = Manned Time- 3rd party maintenance d. Effective Working Time
Jumlah waktu kerja yang efektif. Didapat dari, hasil pengurangan Operating Working Time dengan NONA. NONA sendiri adalah singkatan dari No Order No Activity, yakni waktu menganggur tidak beraktivitas dikarenakan tidak ada pesanan ataupun karena tidak ada bahan baku untuk berproduksi. Secara singkat dapat dirumuskan sebagai berikut : Effective Working Time = Operating Working Time – NONA e. Available Production Time
Jumlah waktu yang tersedia untuk berproduksi. Didapat dari hasil pengurangan Effective Working Time dengan Change Over Time dan Planned Down Time. Change Over adalah kegiatan penggantian komponen mesin dan berbagai adjustment yang dilakukan ketika terjadi perubahan jenis produk yang akan diproduksi. Sedangkan Planned Down Time adalah berhentinya operasional mesin yang telah direncanakan sebelumnya, seperti weekly cleaning dan sejenisnya. Secara singkat dapat dirumuskan sebagai berikut: Available Production Time = Effective Working Time- Change Over-Planned Down Time f. Operating Time
70 Jumlah waktu mesin beroperasi. Didapat dari hasil pengurangan Available Production Time dengan Breakdown Time (kerusakan yang menyebabkan mesin terhenti lebih dari 30 menit). Secara singkat dapat dirumuskan sebagai berikut: Operating Time = Available Production Time - Breakdown Time g. Production Time
Jumlah waktu yang digunakan untuk berproduksi. Didapat dari hasil pengurangan Operating Time dengan Speed Losses (mesin beroperasi dengan kecepatan di bawah normal) dan Minor Stoppages (kerusakan ringan yang menyebabkan mesin terhenti kurang dari 30 menit). Secara singkat dapat dirumuskan sebagai berikut: Production Time = Operating Time – Speed Losses- Minor Stoppages h. Theoritical Production Time
Jumlah waktu “bersih” secara teoritis untuk berproduksi. Didapat dari hasil pengurangan Production Time dengan Reject dan Rework (waktu yang dilakukan untuk pengerjaan ulang terhadap produk akibat hasil yang kurang sempurna). Secara singkat dapat dirumuskan sebagai berikut : Theoritical Production Time = Production Time – Reject & Rework
2.24 Perhitungan Overall Performance Indicator (OPI)
Overall Performance Indicator dinyatakan dalam bentuk persentase. Terdapat 3 komponen utama dalam penghitungan OPI, yakni : 1. Availability Yakni untuk mengukur ketersediaan lini produksi untuk dioperasikan. Persentase availability dapat dinyatakan dalam rumus sebagai berikut:
71 Availability = Operating Time / Manned Time 2. Performance Yakni untuk mengukur performa selama lini produksi beroperasi. Persentase Performance dapat dinyatakan dalam rumus sebagai berikut: Performance = Production Time / Operating Time 3. Quality Yakni untuk mengukur kualitas dari operasional lini produksi. Persentase Quality dapat dinyatakan dalam rumus sebagai berikut : Quality = Theoritical Production Time / Production Time
Dari 3 komponen tersebut OPI dapat dihitung dengan cara: availability x performance x quality.
Terdapat cara yang lebih sederhana untuk menghitung OPI, yakni: Theoritical Production Hour / Manned Time.
Di mana selain cara yang telah diuraikan di
atas, theoritical production hour dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: Theoritical production hour = actual output / theoritical line speed Actual output adalah jumlah produk yang dihasilkan selama periode tertentu, dinyatakan dalam botol, kaleng atau unit satuan lainnya. Theoritical line speed adalah kecepatan lini produksi secara teoritis, dinyatakan dalam botol per jam, kaleng per jam atau unit satuan per jam.
72 Total time
Unu sed time
Manned time
E f f e c t i v i t y
Nonteam Maint.
Operating working time
Production time
Good product or Theoretical Production time
Theoretical Prod. Time = good product / nom.capacity
Reject & rework
Speed losses & Minor stoppages
Activity
- Set-up and equipment adjustment - Breakdowns (> 5 minutes) - External causes
- Speeds less than nominal capacity - Minor stoppages (< 5 minutes)
maintenance
-No Order No
Break down time
Operating time
- 3rd party maintenance - non-team
Planned Down time
- Idle time - “Extra” cleaning, - Maintenance by teams
- Cleaning - Training - Meetings
- Start-up / Run-out - Meals
- Test runs
- All quality defects including products on hold
Gambar 2.8 Struktur Waktu Penyusun OPI
OPI NONA
E f f i c i e n c y
unmanned - Holidays
OPI
Change over time
Available production time
-Weekends
NONA
Effective working time
- Shift system - Nights unmanned
73
High sophistication for box Jenkins… Belajarin box Jenkins sekilas buat siding juga berdasarkan (Gasperz, 2001, p 71) hanya 5 dari 160 perusahaan yang menggunakan metode ini.
1. render, quantitative analysis management 2. Vincent gaspersz, production planning and inventory control,2001, Gramedia, Jakarta 3. John Hanke, Business Forecasting, 2006 4. Arman Hakim Nasution, Manajemen Industri, 2006 5. Chase, Richard ; Jacobs, Robert ; Aquilano
.
Operations
Management
For
Competitive Advantage, 2004, Mc Graw-Hill 6. Schroeder, Operations Management Contemporary Concept and Cases, Mc Graw Hill, 2007 7. Management Science 8. Rendernya Indah 9. Thompson,2001, Strategic Management Concept and Cases 10. Thomas L.Wheelen dan J.David Hunger, Strategic Management and Business Policy, 2006