BAB 2 LANDASAN TEORI
2.1 Balanced Scorecard 2.1.1 Definisi Balance scorecard (BSC) adalah suatu konsep untuk mengukur apakah aktivitas-aktivitas operasional dalam suatu perusahaan sejalan dengan visi dan strategi perusahaan dalam mencapai tujuannya. BSC pertama kali digunakan terhadap perusahaan Analog Devices pada tahun 1987. Tidak hanya berfokus pada hasil finansial melainkan juga masalah sumber daya manusia, BSC membantu memberikan pandangan yang lebih menyeluruh pada suatu perusahaan, yang pada akhirnya akan mengarahkan dan membantu organisasi untuk berjalan sesuai tujuan jangka panjangnya. Pada
tahun 1992, Robert
S.
Kaplan dan David
P.
Norton
mempublikasikan BSC melalui artikel-artikel, jurnal dan buku The Balanced Scorecard. Sejak diperkenalkannya konsep BSC, BSC menjadi lahan subur untuk pengembangan teori dan penelitian. Lalu Kaplan dan Norton sendiri melakukan tinjauan ulang terhadap konsep ini sepuluh tahun kemudian berdasarkan pengalaman penerapan konsep yang mereka lakukan. Balanced Scorecard membantu organisasi untuk menghadapi dua masalah fundamental, yaitu mengukur kinerja organisasi secara efektif dan menerapkan strategi dengan sukses. Secara tradisional, pengukuran terhadap bisnis berkisar pada pengukuran financial perspective. Namun ukuran finansial tidak konsisten dengan lingkungan bisnis saat ini, punya daya prediktif yang lemah, sehingga pada akhirnya menghambat cara berpikir jangka panjang, dan tidak relevan bagi kebanyakan level organisasi. Pengukuran kinerja yang hanya mempertimbangkan financial perspective akan membuat penilaian menjadi tidak seimbang. Pernyataan ini sesuai dengan pendapat Ghodratolah Talebnia pada jurnal “The Major Perspectives Weighted Model for Balanced Scorecard Sistem In The Case Of Auto Industry” yang ditulis pada tahun 2012. Mengimplementasikan strategi secara efektif menjadi permasalahan tersendiri. Setidaknya terdapat empat pembatas implementasi strategi di
5
organisasi, yaitu pembatas visi, pembatas manusia, pembatas sumber daya, dan pembatas manajemen. Balanced Scorecard memberikan organisasi elemen yang dibutuhkan untuk berpindah dari paradigma ‘always financial’ menuju metode baru, dimana hasil scorecard menjadi titik awal untuk mengulas, mempertanyakan, dan belajar tentang strategi yang dimiliki organisasi. Balanced Scorecard akan menerjemahkan visi dan strategi ke dalam serangkaian ukuran koheren dalam empat perspektif yang berimbang. Keempat Perspective itu adalah customer perspective, internal business process perspective, dan learning and growth perspective.
. 2.1.2 Keunggulan Balanced Scorecard Menurut Mulyadi (2007, p.18) balanced scorecard memiliki beberapa keungguluan, yaitu: 1. Komprehensif Memperluas perspective yang tercakup dalam perencanaan strategik, yang yang sebelumnya hanya terbatas pada strategi keuangan, lalu meluas ke tiga perspective lainnya, yaitu customer perspective, internal business perspective, dan learning and growth perspective. Perluasan perspective ini akan bermanfaat untuk: •
Menjanjikan kinerja keuangan menjadi berlipat ganda dan berjangka panjang.
•
Perusahaan jadi memilki kemampuan untuk memasuki lingkungan bisnis yang kompleks.
Untuk menghasilkan kinerja keuangan yang lebih baik, perusahaan juga harus mewujudkan sasaran dari perspective customer. Itu berarti perusahaan harus menghasilkan barang dengan value yang sesuai dengan ekspektasi customer dari proses produksi yang efektif dan efisien. Kekompeherensifan sasaran strategik merupakan respon yang sesuai untuk memasuki lingkungan bisnis yang kompleks dan penuh tantangan. 2. Koheren Kekoherenan
sasaran
strategik
memotivasi
personel
untuk
bertanggung jawab dalam mencari inisiatif strategik yang mempunyai
6
manfaat bagi perwujudan tujuan strategik pada financial perspective, customer perspective, internal business perspective, dan learning and growth perspective. Kekoherenan juga berarti dibangunnya hubungan sebab-akibat diantara output yang dihasilkan sistem perumusan strategi dengan output yang dihasilkan sistem strategik planning. Sasaran strategik yang dirumuskan dalam sistem perencanaan strategik merupakan terjemahan dari visi, tujuan, dan strategi yang dihasilkan perumusan strategi. 3. Terukur Keterukuran sasaran startegik menjanjikan tercapainya berbagai sasaran strategik yang dihasilkan oleh sistem tersebut. Dan BSC mengukur sasaran strategik yang pantas untuk diukur. Sasaran-sasran di customer perspective, internal business perspective, dan learning and growth perspective. Ketiga aspek ini merupakan sasaran yang tidak mudah diukur. Namun dalam konsep BSC, sasaran dari ketiga perspective ini dibuat ukurannya agar dapat dikelola, agar dapat diwujudkan. Dengan demikian, kinerja keuangan akan berlipat ganda. 4. Seimbang Keseimbangan sasaran strategik yang dihasilkan oleh sistem perencanaan strategik penting untuk menghasilkan kinerja keuangan dan perusahaan secara keseluruhan.
2.1.3 The Balanced Scorecard Perspective Kerangka kerja penerjemahan berbagai strategi dalam empat perspective Balanced Scorecard akan digambarkan pada gambar 2.1 berikut
7
Gambar 2.1 Balanced Scorecard Framework Sumber: SWOT Balanced Scorecard (Freddy Rangkuti, 2011; p216)
2.1.3.1 Financial Perspective Dengan tolak ukur profit yang maksimal, tujuan utama dari tahap ini adalah memaksimumkan arus kas positif yang masuk ke perusahaan, sebagai bentuk umpan balik dari kinerja keuangan di masa lalu. Tujuan finansial biasanya berhubungan dengan profitabilitas melalui pengukuran ROE (Return on Equity), ROA (Return on Asset), dan laba operasi. Semua ukuran ini menunjukan tujuan keuangan klasik, yaitu tingkat pengembalian modal investasi yang tinggi. Selain itu, Yuanhong Zhen, Thomas Lin dan Zengbiao Yu dalam jurnal “How ZYSCO Use the Balanced Scorecard” pada tahun 2015 berpendapat untuk mengukur kinerja perusahaan dari financial perspective, dapat dilihat gross profit margin, asset turnover, dan net income.
1. Gross profit margin Gross profit margin dijelaskan oleh Linda Pinson dalam buku “Anatomy of a Business Plan: A Step by Step to Bulid Your Business and 8
Securing Your Company’s Future” sebagai “Indicating percentage of each sales dollar remaining after a business has paid for its goods.” (2008; p.115). Ini berarti, gross profit margin menunjukan persentase dari setiap rupiah penjualan yang tersisa setelah seluruh barang dan atau jasa dibeli konsumen. Dan persentase dari setiap rupiah penjualan yang tersisa merupakan keuntungan yang didapat perusahaan dari seluruh produk dan atau jasa yang telah dibeli konsumen. Dan keuntungan tersebut merupakan salah satu sumber utama pendapatan perusahaan.
Gambar 2.2 Gross Profit Margin Sumber: Anatomy of a Business Plan: A Step by Step to Bulid Your Business and Securing Your Company’s Future (2009)
Keterangan gambar: Revenue
= Rupiah yang didapat dari hasil penjualan seluruh barang dan atau jasa
COGS
= Cost of Goods Sold. Biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi barang dan atau jasa.
Paul. D. Kimel dan Weygandt Jerry berpendapat dalam buku “Accounting: Tools for Decision Making” (2009; p.243), untuk meningkatkan gross profit margin, perusahaan dapat melakukan: •
Mengontrol biaya produksi
•
Meningkatkan gross profit rate Mengontrol biaya produksi juga dapat dilakukan dengan cara
membeli bahan baku dengan jumlah yang lebih banyak, agar mendapatkan potongan harga dari supplier dan cara ini juga akan menghemat biaya pengiriman bahan baku. Atau dengan mencari supplier yang harga bahan bakunya lebih murah, tapi kualitas bahan baku sama. (Inc. The Staff of Entrepreneur Media (2015; p.677)) Peter Stimpson dan Alistair Farquharson berpendapat dalam buku “Cambridge International AS and A-Level Business Coursebook” untuk meningkatkan gross profit 9
margin dapat dengan cara meningkatkan pendapatan tanpa meningkatkan biaya produksi. Contohnya dengan menaikan harga produk dan atau jasa dengan memberikan layanan yang lebih baik kepada konsumen.
2. Asset turnover Asset turnover mengindikasikan seberapa efektif suatu perusahaan menggunakan asset mereka untuk menghasilkan penjualan, artinya berapa Rupiah penjualan yang perusahaan hasilkan dari setiap rupiah yang dinvestasikan perusahaan. (Paul. D. Kimel dan Weygandt Jerry. J. (2009; p.450)). Ini berarti semakin banyak rupiah penjualan yang perusahaan hasilkan, berarti semakin banyak pula rupiah yang kembali dari investasi yang perusahaan lakukan. Jika rupiah penjualan yang masuk lebih banyak dari rupiah yang perusahaan investasikan (dalam satu periode yang telah ditentukan), maka perusahaan dikatakan mengalami keuntungan. Semakin besar keuntungan yang perusahaan dapatkan akan membuat perusahaan semakin sejahtera. Dan sebaliknya, jika rupiah penjualan yang masuk lebih sedikit dari rupiah yang perusahaan investasikan (dalam satu periode yang telah ditentukan), maka perusahaan dikatakan mengalami kerugian. Semakin besar kerugian yang perusahaan dapatkan akan membuat perusahaan semakin jauh dari sejahtera.
Gambar 2.3 Asset Turnover Sumber: Accounting: Tools for Decision Making. (2009)
Paul. D. Kimel dan Weygandt Jerry berpendapat dalam buku “Accounting: Tools for Decision Making” (2009; p.451), untuk meningkatkan asset turnover, perusahaan dapat memilih: •
Meningkatkan volume penjualan, atau
•
Meningkatkan rupiah yang diinvestasikan
10
James Wahlen, Stephen Baginski, & Mark Bradsha mengatakan dalam buku “Financial Reporting, Financial Statement Analysis and Valuation”,
beberapa
tahun
terakhir
banyak
perusahaan
yang
meningkatkan proporsi produksi outsourcing untuk perusahaan lain. Maksudnya, perusahaan membeli komponen dari perusahaan lain untuk bahan produksi mereka sendiri. Contohnya adalah perusahaan PepsiCo yang membeli botol kemasan untuk produk mereka dari perusahaan lain pada tahun 2010. Dan tindakan ini membuat perusahaan mendapatkan keuntungan yang lebih besar dibanding perusahaan berinvestasi dengan membeli komponen sendiri untuk membuat botol kemasan. (2014; p.288).
3. Net income
Gambar 2.4 Ilustrasi Net Income Sumber: Financial Accounting: An Introduction to Concepts, Methods and Uses. (2012)
Dari gambar 2.4 di atas, diketahui net income didapatkan dari gross profit dikurang expenses (biaya-biaya operasional perusahaan). Itu berarti net income merupakan keuntungan bersih yang didapatkan perusahaan. Joanne M. Flood mengatakan dalam buku “Wiley GAAP 2015: Interpretation and Application of Generally Accepted Accounting Principles 2015”, bahwa uang merupakan bahasa dari laporan keuangan. Dan laporan keuangan ini memberikan informasi yang dapat digunakan sebagai salah satu pertimbangan saat melaksanakan penilaian kinerja kerja perusahaan. Informasi yang dimaksud adalah informasi mengenai revenue, biaya-biaya ataupun net income yang diperoleh perusahaan 11
(2015; p.1259). Bahkan Rich Gildersleeve berpendapat bahwa net income sering digunakan oleh managers dan investor sebagai indikator untuk menentukan
potensi
keuntungan
perusahaan
setelah
mereka
mempertimbangkan seluruh sumber income dan biaya (2009; p.19). Untuk meningkatkan net income dapat dilakukan pengurangan servis yang tidak terlalu diperlukan (kurang efektif dan efisien), sehingga mengurangi cost & expense (Foad Nahai (2015; p.215)). Cara lain adalah dengan menjual lebih banyak produk dan atau jasa, menaikan harga produk dan atau jasa dan mengurangi biaya langsung dan tak langsung untuk memproduksi barang dan atau jasa (Rich Gildersleeve (2009; p.19)). Berbeda dengan pendapat Don Hansen, Maryanne Mowen dan Liming Gua, mereka menyarankan untuk memberikan kompensasi kepada karyawan (divisi marketing) berdasarkan target penjualan produk dan atau jasa yang telah ditetapkan perusahaan. Sehingga tim marketing akan bekerja lebih giat dalam menjual produk dan jasa yang diproduksi perusahaan.
Dan
penjualan
yang
meningkat
diharapkan
akan
meningkatkan net income perusahaan. (2007; p.348).
2.1.3.2 Customer Perspective Merupakan salah satu perspektif BSC yang sangat penting. Karena sudut pandang pelanggan terhadap perusahaan dan produknya sangat diperhitungkan sebagai salah satu aspek yang penting dalam perusahaan mencapai tujuan. Perusahaan haruslah mengetahui apa yang dinginkan dan dibutuhkan pelanggan, dan membuat produk yang dapat memuaskan mereka. Bahkan Anwar El-Homsi dan Jeff L. Slutsky mengatakan dalam buku “Corporate Sigma: Optimizing The Health Of Your Company with Sistem Thinking”, bahwa “if customers are not satisfied, they will eventually find other suppliers that will meet their needs.” Dan ini akan menjadi suatu ancaman bagi masa depan perusahaan, meskipun perusahaan memiliki sumber daya finansial yang sangat baik (2009; p.348). Untuk mengatasi hal itu, maka perusahaan harus menentukan target konsumen seperti apa yang ingin dikuasai perusahaan dan menganalisa karakter mereka. Dari situ akan didapatkan informasi apa kebutuhan dan keinginan mereka. 12
Maka untuk mengetahui tingkat kepuasan customer, perlu diketahui tingkat retensi pelanggan, tingkat kepuasan pelanggan, dan persentase penjualan produk. (Yuanhong Zhen, Thomas Lin dan Zengbiao Yu (2015, p.4)). 1. Tingkat Retensi Pelanggan Retensi pelanggan adalah kecenderungan pelanggan untuk setia kepada suatu perusahaan beserta produk dan atau jasa dari perusahaan tersebut. Sehingga para pelanggan tersebut akan kembali membeli produk dan atau jasa dari perusahaan yang sama. Definisi ini diungkapkan oleh Abukar Hassan Omar dalam jurnal yang berjudul “The Relationship between Employee Satisfaction and Customer Retention in Somalia Companies” pada tahun 2013. Beliau juga menjelaskan bahwa, retensi pelanggan dapat menggambarkan seberapa puas para pelanggan terhadap produk dan atau jasa yang diberikan perusahaan. Dari definisi di atas, retensi pelanggan merupakan tolak ukur kesetiaan pelanggan terhadap perusahaan. Agar kesetian pelanggan terjaga, maka tingkat retensi pelanggan juga harus dijaga atau ditingkatkan. Berikut adalah beberapa cara untuk meningkatkan retensi pelanggan (Süphan Nasir (2015; p.261)): •
Memberikan servis yang superior untuk pelanggan.
•
Menjamin semangat setiap pegawai dalam memberikan layanan yang sangat baik kepada pelanggan.
•
Menciptakan budaya perusahaan “customer oriented”.
2. Tingkat Kepuasan Pelanggan Nigel Hill dan Jim Alexander (2006; p.214) berpendapat dalam buku “The Handbook of Customer Satisfaction and Loyalty Measurement”, untuk dapat mengetahui tingkat kepuasan pelanggan, salah satu caranya adalah mengetahui jumlah pelanggan yang komplain. Komplain pelanggan adalah salah satu bentuk ketidakpuasan yang diungkapkan pelanggan terhadap perusahaan atas produk dan atau jasa yang digunakan mereka. Menurut Nigel Hill, Greg Roche & Rachel Allen, untuk meningkatkan kepuasan pelanggan dapat dilakukan dengan memahami keinginan dan kebutuhan pelanggan, serta fokus terhadap target pelanggan yang telah ditetapkan perusahaan (2007; p.186). Meningkatkan kepuasan pelanggan 13
dapat juga dilakukan dengan cara mengembangkan distribusi produk (James A. Tompkins, Jerry D. Smith (2013; p.140)). Tzu-Hui Chen berpendapat, kepuasan pelanggan ditentukan oleh hubungan mereka dengan karyawan perusahaan. Maksudnya, semakin baik hubungan yang terjalin antara pelanggan dan karyawan, akan semakin tinggi pula kepuasan pelanggan terhadap produk dan atau jasa yang pelanggan gunakan. Maka karyawan perusahaan (khusunya yang berhubungan langsung dengan pelanggan) sebaiknya memberikan servis yang memuaskan bagi pelanggan dan mampu berkomunikasi dengan baik (2008; p.3).
3. Persentase Penjualan Produk Produk yang mutunya tinggi adalah produk yang menggunakan bahan baku yang terbaik dengan metode yang tepat dan juga sesuai dengan kebutuhan dan keinginan pelanggan. Dengan mutu yang tinggi, produk akan jauh lebih mudah terjual, karena kondisi produk sesuai dengan harapan pelanggan. Maka untuk meningkatkan penjualan produk, mutu produk juga harus ditingkatkan. (Bobby Hull (2010; p.4)). William Pride, Robert Hughes, Jack Kapoor menjelaskan dalam buku “Business”, untuk meningkatkan mutu produk dapat dengan menerapkan Total Quality Management (TQM). Program TQM ini mengkordinasikan seluruh usaha dalam meningkatkan kepuasan pelanggan, meningkatkan partisipasi karyawan, dan mempererat hubungan dengan supplier, dan memfasilitasi organisasi untuk melakukan perbaikan mutu secara terusmenerus. Atau perusahaan dapat menjalankan program Six Sigma. Dalam program ini tidak hanya kualitas produk saja yang diperbaiki, tapi juga keseluruhan kinerja. Six Sigma merupakan suatu pendekatan ilmu yang mengacu pada data statistik dan metode yang dikembangkan untuk mengurangi cacat produk. Perusahaan juga dapat mengejar sertifikat ISO 9000. ISO atau International Organization for Standardarization merupakan sebuah standar internasional yang menjamin sebuah produk dan atau jasa aman, terpercaya dan bermutu tinggi. ISO 9000 merupakan sertifikat standar untuk mutu produk dan atau jasa (2011; p.234).
14
2.1.3.3 Internal Business Process Perspective Proses bisnis internal adalah serangkaian aktivitas yang ada dalam bisnis kita secara internal yang kerap disebut dengan value chain (Suwardi Luis Prima A. Biromo, (2007; p.34)). Itu berarti perusahaan harus mengidentifikasikan proses bisnis yang tepat dan melakukan itu dengan tepat, agar tercapai kepuasan pelanggan. Dan tugas para manager untuk memfokuskan perhatiannya pada proses bisnis internal yang mempengaruhi kepuasan pelanggan. Rudianto membagi proses bisnis internal menjadi beberapa proses (2013; p.242): 1. Proses inovasi Perusahaan menganalisa target customer. Di tahap ini perusahaan akan menemukan informasi mengenai kebutuhan mereka, dan perusahaan akan berusahaa membuat produk yang sesuai. 2. Proses operasi Proses untuk membuat dan menyampaikan produk terdiri dari dua proses, yaitu proses pembuatan produk dan penyampaian produk kepada customer. 3. Proses layanan purna jual Merupakan proses pelayanan yang terjadi setelah barang atau jasa sudah sampai kepada pelanggan. Didalamnya terdapat feedback dari pelanggan. Contoh: garansi produk.
Gambar 2.5 Perspektif Proses Bisnis Internal: Model Rantai Nilai Generik Sumber: Yuwono.ect (2006, p.41)
15
Yuanhong Zhen, Thomas Lin dan Zengbiao Yu (2015, p15) mengidentifikasi indikator dalam penilaian kinerja dari Internal Business Process Perspective: •
Number of new product
•
Implementation of lean production
•
Manufacturing cost reduction
1. Number of New Product Dalam menciptakan produk baru, terdapat beberapa resiko buruk, diantaranya adalah produk tidak sesuai dengan keinginan target pasar dan proses mengeluarkan banyak biaya. Lawrence Gitman dan Carl McDaniel menjelaskan beberapa langkah untuk menciptakan produk baru agar menjauhi resiko-resiko buruk tersebut, yaitu (2007; p.388): 1) Tetapkan tujuan dari produk baru yang akan diciptakan. 2) Kembangkan ide untuk menciptakan produk baru. Perusahaan yang lebih kecil biasanya bergantung pada pekerja, pelanggan, distributor ataupun investor dalam pengembangan ide. 3) Screen Ideas and Concept. Maksudnya dari seluruh ide-ide yang tertampung, akan dipilih satu ide yang paling sesuai dengan kondisi perusahaan, misalnya ketersediaan sumber daya diperusahaan, teknologi yang diperlukan untuk mewujudkan ide, ataupun potensi penjualan. 4) Mengembangkan konsep. Dari satu ide yang sudah terpilih akan dikembangkan konsep ide tersebut. Pada proses ini akan diciptakan prototype produk serta menguji prototype tersebut dan bersamaan dengan itu, dibangun strategi pemasaran produk. Tipe dan jumlah produk yang dites bervariasi, tergantung dari seberapa sulit prototype dibuat, seberapa sulit pelanggan menggunakan prototype tersebut dan seberapa lama pengalaman perusahaan mengenai produk yang serupa. 5) Test-Market the New Product. Test-marketing adalah menguji produk terhadap target pelanggan. Pada tahap ini menejemen perusahaan mengevaluasi berbagai strategi dan melihat seberapa baik perusahaan harus memutuskan, apakah produk akan diperkenalkan pada basis regional atau nasional. 16
6) Memperkenalkan produk. Setelah produk lulus uji pasar, maka produk siap dipasarkan. Lawrence Gitman dan Carl McDaniel juga menyarankan agar produk baru yang dikeluarkan terkontrol oleh product manager. Product manager adalah orang yang mengembangkan dan menerapkan keseluruhan strategi dan program marketing untuk produk dan brand tertentu (2007; p.390). 2. Implementation of lean production Lean production dapat diartikan sebagai perampingan proses produksi secara keseluruhan. Tujuan utama dari lean production adalah menghemat pemakaian seluruh sumber daya (manusia, tenaga, uang, bahan baku, bahan bakar, dll) tanpa mengurangi kualitas dari produk dan atau jasa yang di produksi. (Lonnie Wilson (2009; p.9)). Beliau juga memberikan contoh salah satu penerapan lean production terbaik adalah Toyota Production System (TPS) yang dikembangkan oleh Taiichi Ohno, Chief Engineer of Toyota pada tahun 1988. Dalam sistem TPS tersebut arti dari “Lean Production” didefinisikan dengan sangat hati-hati. TPS merupakan sistem yang (2009; p.11):
Fokus pada quality control untuk mengurangi biaya dari proses eliminasi sampah-sampah sisa produksi.
Dibangun diatas fondasi yang kuat dari proses dan kualitas produk.
Terintegrasi
Secara terus-menerus dikembangkan
Dipertahankan dengan budaya sehat dan kuat, yang diatur dengan sengaja, terus menerus dan konsisten. Untuk menerapkan lean production, maka perusahaan harus
mengikuti langkah-langkah berikut (2007; p.138):
Menilai masalah mendasar perubahan budaya. Terkadang dalam menerapkan suatu sistem baru dalam organisasi, terdapat beberapa masalah, misalnya ada pihak yang menentang perubahan ataupun tahap adaptasi yang menimbulkan banyak pertanyaan dari banyak karyawan. Tapi lama-kelamaan perubahan budaya ini akan menjadi biasa, dan seluruh karyawan akan dapat menerimanya selama agen perubahan tetap konsisten dalam
17
menjalankan perubahan, serta selalu menunjukan segala kebaikan dari perubahan budaya.
Menyelesaikan evaluasi dengan berbagai keadaan. Evaluasi merupakan tahap yang enting. Karena evaluasi bagaikan cermin untuk perusahaan. Dalam berbagai situasi, bahkan situasi yang paling sulit sekali pun, evaluasi perlu untuk diselesaikan.
Melakukan evaluasi. Evaluasi berguna untuk mengetahui segala kekurangan dan hambatan yang terjadi selama proses perubahan ataupun semua proses. Dari evaluasi ini akan diketahui apa yang selanjutnya baik untuk dilakukan.
Mendokumentasikan kondisi perusahaan terbaru. Dokumentasi dari kondisi perusahaan terbaru dapat digunakan sebagai acuan perubahan dan sebagai informasi mengenai kekurangan perusahaan, serta apa kebutuhan perusahaan.
Perancangan ulang untuk mengurangi sampah atau limbah. Seluruh system produksi dan operasional perusahaan sebaiknya ditata ulang untuk meminimalisir terciptanya sampah.
Evaluasi dan tentukan tujuan untuk tahap ini. Kemudian lakukan evaluasi kembali. Sudah sejauh mana perusahaan berubah kea rah yang lebih baik.
Menerapkan kaizen (perbaikan kualitas produk dan atau jasa yang secara terus-menerus).
Mengevaluasi keadaan yang baru dibentuk. Kembali mengevaluasi keadaan, dengan tujuan yang sama: mencari masukan untuk perusahaan.
3. Manufacturing Cost Reduction Meminimalisir penggunaan biaya untuk proses produksi (tanpa mengurangi kualitas produk dan jasa) merupakan hal yang penting dilakukan dalam internal business process perspective. Salah satu pelaksaan dari cost reduction adalah meminimalisir presentase jumlah produk cacat (Don Hansen dan Marryanne Mowen (2010; p.660)). Michael Pecht berpendapat, sumber produk cacat tidak selalu dapat terlihat, karena cacat produk dihasilkan dari proses yang tidak terdeteksi 18
hingga produk mencapai akhir proses produksi. Maka, jika memungkinkan, proses produksi sebaiknya disederhanakan. Oleh karena itu, proses akan menjadi lebih canggih dan melakukan proses pengawasan dan kontrol untuk setiap tahap proses produksi berjalan (2009; p.136). George Q. Huang, K.L. Mak, Paul G. Maropoulos berpendapat untuk mengurangi cacat produk dengan cara mengumpulkan informasi mengenai produk cacat dan mengembangkan metode operasi (2009; p.1279).
2.1.3.4 Learning and Growth Perspective Tujuan dari perspektif ini adalah mendorong tiga perspektif lainnya dengan meningkatkan infrastruktur yang mendorong kinerja jangka panjang. Sumber utama learning and growth perusahaan adalah manusia, sistem dan prosedur perusahaan. Perusahaan harus memberikan karyawan kepuasan dalam bekerja agar setiap karyawan dapat memberikan kontribusi yang maksimal dalam pencapaian tujuan perusahaan. Kepuasan kerja dapat dicapai dengan cara memelihara karyawan dengan memberikan kesejahteraan karyawan serta meningkatkan pengetahuan karyawan. Kepuasan kerja setiap karyawan dapat diukur dari pendapatan karyawan dan tingkat kepuasan karyawan. Ini berarti kepuasan kerja merupakan tingkat kesenangan seorang karyawan atas pekerjaan yang dijalani (Nivia Ayu Sari (2012; p.28)). Kaplan dan Norton menjelaskan ukuran utama karyawan adalah kepuasan kerja, retensi pekerja (turnover karyawan), dan produktivitas kerja. Kepuasan kerja sudah dijelaskan di paragraf sebelumnnya. Sedangkan retensi pekerja adalah sebuah proses dimana pekerja didukung untuk menetap di perusahaan selama mungkin atau hingga proyek selesai dikerjakan. Retensi pekerja dapat dilihat dari tingkat turnover pekerja diperusahaan. Dan produktifitas kerja adalah suatu ukuran hasil yang dituangkan dalam input dibagi output. Produktifitas dapat diukur dengan “Laba bersih dibagi jumlah pekerja” (Anisa Bahri (2013; p.26)). Yuanhong Zhen, Thomas Lin dan Zengbiao Yu (2015, p.15) mengidentifikasi beberapa indikator dalam penilaian kinerja dari learning and growth perspective adalah: 1. Training Evaluation.
19
Traning adalah sebuah program pembelajaran dan pelatihan yang sengaja diselenggarakan perusahaan untuk membekali para karyawannya agar memliki pengetahuan dan kompetensi yang ditetapkan perusahaan. Dari definisi tersebut sudah sangat jelas, bahwa tujuan utama dari training adalah meningkatkan kompetensi karyawan. Tapi training dirancang sesuang dengan kebutuhan karyawan peserta training ditentukan (Duane Schultz & Sydney Ellen Schultz (2009; p.164)). Cara untuk mengukur apakah program training yang telah dilaksanakan bermanfaat atau tidak adalah ditentukan (Duane Schultz & Sydney Ellen Schultz (2009; p.284)): •
Perubahan pada cognitive outcomes, misalnya jumlah informasi yang dipelajari.
•
Perubahan pada skill-based outcomes, seperti pengembangan produksi kuantitatif dan kualitatif.
•
Perubahan pada efective outcomes, seperti sikap yang baik dan peningkatan motivasi. Donald Kirkpatrick dan David Basarab menganjurkan untuk
menerapkan Predictive Evaluation agar meningkatkan training evaluation. Predictive Evaluation (PE) adalah program yang menyediakan data-data menarik mengenai training kepada para executive, termasuk prediksi kesuksesan training, hal yang didaptkan dari training, dampak training, serta menyediakan rekomendasi untuk perbaikan dan pengembangan secara terus menerus (2011; p.2). Nina Muncherji dan Upider Dhar menyarankan agar perusahaan juga mengadakan training berkala agar karyawan memilki kompetensi yang baik dan selalu update (2009; p.275). 2. Number of New Patent Jumlah hak paten yang didapatkan perusahaan juga menjadi salah satu indikator yang dinilai. American Bar Association mendefinisikan paten sebagai dokumen resmi yang diberikan oleh pemerintah kepada pihak yang mengajukan paten, dan dokumen tersebut yang berisi hak eksklusif untuk membuat sebuah benda (dapat berupa tangible dan intangible). Dengan adanya paten, suatu pihak memiliki kekuatan hukum yang mengikat untuk melarang pihak lain mengeksploitasi penemuan benda tersebut. Misalnya, meniru benda yang serupa (2010; p.5).
20
Yuanhong Zhen, Thomas Lin dan Zengbiao Yu berpendapat bahwa banyaknya jumlah paten dapat mengukur perkembangan Research and Development (R&D) suatu perusahaan. Dan untuk mengembangkan R&D sebuah perusahaan harus mampu mencari success factor dari pelangaman R&D sebelumnya atau dari perusahaan dengan produk sejenis (Thomas Lager (2011; p.277)). Lager merangkum beberapa success factor untuk proses inovasi (2011; p.298): •
Perusahaan harus mampu menciptakan iklim yang mendukung untuk proses Development.
•
Tujuan proyek harus diformulasikan dengan baik dan dapat diukur.
3. Promotion of Value Creation Mengutip pendapat Prof. Dr. Reinhart Schmidt, Nils Hoffmann dalam buku “German Buyouts Adopting a Buy and Built Strategy”, value creation dijelaskan sebagai (2008; p.40): “…describe the extend to which the realized exit value of the company exceeds the total investment, in particular the acquisition price paid.” Dari penjelasan itu, value creation memegang peranan yang penting dalam saham pribadi sejak investor mengharapkan keuntungan yang sangat besar dari investasi mereka. Value creation merupakan tujuan utama dari semua bisnis. Hampir semua perusahaan sukses memahami bahwa tujuan utama sebuah bisnis adalah menciptakan value bagi pelanggan, pegawai, investor dan seluruh pihak kepentingan (Dean R. Spitzer (2007; p.72)). Oleh karena itu, value creation dijadikan salah satu indikator atas pengukuran kinerja perusahaan pada learning and growth perspective. Spitzer juga menjelaskan bahwa value diciptakan ketika perusahaan memberikan benefit bagi stakeholders. Dalam bisnis, value creation diukur oleh profitabilitas dan pertumbuhan jangka panjang. Untuk mencapai tujuan ini, perusahaan haruslah menetapkan proses berkelanjutan untuk mengembangkan dan menirimkan arus produk dan jasa yang stabil, berdasarkan pada model bisnis, yang menawarkan benefit yang unik dan berbeda terhadap target customer. Maka untuk mengukur seberapa besar value yang telah berhasil diciptakan perusahaan kepada para stakeholder, dibutuhkan questionnaire. Michael Gilbert, Francisca Olfetto dan Arch G. Woodside menjelaskan dalam buku Intagible Value In Buyer-Seller Relationship, untuk membuat sebuah 21
quaetionnaire yang akan mengukur value perusahaan terhadap customer, perlu dipertimbangkan beberapa hal (2008; p.73): •
Apakah perusahaan melakukan pendekatan kepada customer secara inovatif?
•
Perusahaan haruslah dapat menciptakan produk baru yang unik.
•
Perusahaan harus dapat mengadaptasikan ide produk dan atau jasa terhadap situasi yang baru.
•
Perusahaan harus dapat mengadaptasikan ide produk dan atau jasa dari satu situasi ke situasi yang lain. Rodney Napier dan Rich McDaniel berpendapat dalam buku
“Measuring What Matters: Simplified Tools for Aligning Teams and Their Stakeholders”, dalam mengukur value yang diciptakan perusahaan bagi para pegawai dapat melibatkan survei berupa pertanyaan-pertanyaan yang memuat pernyataan berikut (2006; p.131): “Who are our employees? What do they value and expect from their work experience? How well is the organization doing in meeting or exceeding their legitimate expectation? Conversely, what does the company value in return, and how well are these employees doing in meeting or exceeding its expectation?” Berikutnya pengukuran value creation bagi pihak investor harus memuat beberapa pertimbangan berikut (Daniela Venanzi (2011; p.17)): •
Merefleksikan hubungan antara sejumlah dana yang diinvestasikan kepada perusahaan dengan hasil yang diterima oleh investor.
•
Merefleksikan resiko yang diambil investor.
•
Mempertimbangkan tuntutan investor dalam hasil yang diharapkan.
4. Financial Decision Support System Financial Decision Support System merupakan sebuah sistem pengambilan keputusan dalam hal keuangan. Misalnya, dana yang disediakan untuk mengadakan program yang berkaitan dengan peningkatan kinerja perusahaan di learning and growth perspective. Semakin besar dana yang disediakan, maka perusahaan akan memiliki fasilitas yang lebih baik dalam menunjang kinerja pada perspective ini. Dan sebaliknya, semakin sedikit dana yang perusahaan anggarkan, maka perusahaan akan memiliki
22
keterbatasan dalam penunjang kinerja kerja dari learning and growth perspective. Itu artinya, untuk meningkatkan financial decision support system, diperlukan peningkatan anggaran untuk mendukung kinerja perusahaan dalam berbagai aspek. Atau perusahaan mencari investor yang mampu mendukung keterjaminan kinerja learning and growth perspective (F. Burstein & C. W. Holsapple (2008; p.168)). 5. System Coverage (Manufacture Information Integration System) Merupakan hal yang diukur dari manufacture information integration system. System coverage merupakan suatu sistem produksi terintegrasi yang digunakan perusahaan untuk memastikan serangkaian proses produksi berjalan dengan lebih baik dan memastikan proses menggunakan bahan baku yang lebih efisien dan efektif serta mengurangi kemungkinan munculnya produk cacat. Demi terciptanya system coverage yang baik tentu diperlukan tenaga ahli untuk menjalankan sistem, maka dibutuhkan perekrutan karyawan dengan kompetensi yang dibutuhkan, serta mengadakan training untuk menjalankan sistem. Dan yang terutama adalah merancang system coverage yang sesuai dengan perusahaan dengan mengadakan peralatan dan properti yang mendukung berjalannya sistem tersebut (Mikell P. Groover (2007; p.49)).
2.2 Sistem Pengukuran Kinerja 2.2.1 Definisi Kinerja Menurut Ismail Nawawi Uha (2013, p.212), kinerja didefinisikan berdasarkan 2 segi, yaitu kinerja individu dan kinerja organisasi. Kinerja individu adalah hasil kerja perseorangan dalam organisasi. Dan kinerja organisasi adalah hasil kerja keseluruhan suatu organisasi dalam mencapai tujuan. Kinerja juga didefinisikan
sebagai
keberhasilan personel dalam
mewujudkan sasaran strategik di empat perspektif balanced scorecard (Mulyadi, 2007, p363). Jadi dapat disimpulkan bahwa kinerja merupakan pencapaian perusahaan dalam mencapai tujuannya dalam memuaskan pelanggan, pertumbuhan yang baik dalam pembelajaran pada setiap tingkat managerial, mencapai keseimbangan finansial melalui proses bisnis yang efektif dan juga efisien.
23
2.2.2 Karakteristik dalam Pengukuran Kinerja Tujuan utama pengukuran kinerja adalah untuk memotivasi karyawan dalam pencapaian sasaran organisasi dan dalam mematuhi standar perilaku yang telah ditetapkan agar membuahkan hasil dan tindakan yang diinginkan (Mulyadi, 2007, p.420). Maka dari itu perlu diadakan sistem pengukuran bisnis yang baik, agar mencapai beberapa manfaat berikut (Yuwono,et.all (2007, p.29)): •
Mengidentifikasi berbagai jenis ketidakefisienan yang terjadi dalam perusahaan, untuk kemudian memperbaiki hal tersebut.
•
Membuat tujuan strategis menjadi lebih kongkret agar mempercepat proses pembelajaran organisasi.
•
Memotivasi
pegawai
untuk
melakukan
pelayanan
sebagai
mata rantai pelanggan dan pemasok internal. •
Membangun konsensus untuk melakukan suatu perubahan dengan memberi hadiah (reward) atas perilaku yang diharapkan.
•
Mencari tahu kinerja yang sesuai dengan ekspektasi pelanggan dan membuat seluruh bagian organisasi terlibat dalam proses tersebut. Hal ini membuat seluruh bagian organisasi menjadi lebih dekat dengan pelanggan. Karakteristik yang biasa digunakan oleh world class organization
dalam menggunakan balanced scorecard untuk mengevaluasi sistem pengukuran kinerja organisasi mereka adalah (Gaspersz (2005, p.68-69)): 1. Pengukuran dilakukan pada seluruh sistem perusahaan yang menjadi ruang lingkup BSC. 2. Pengukuran haruslah sederhana yang akan memunculkan data yag mudah dipahami, mudah digunakan dan mudah dilaporkan. 3. Pengukuran harus dapat digunakan untuk menetapkan target, yaitu peningkatan kinerja di masa mendatang. 4. Biaya yang dikelurkan untuk pengukuran tidak lebih besar dari manfaat yang diterima. 5. Pengukuran harus dimulai pada permulaan program Balanced Scorecard.
24
6. Berbagai masalah yang berkaitan dengan kinerja, beserta segala kesempatan yang dapat dirumuskan dengan jelas agar proses pengukuran berjalan dengan lancar. 7. Pengukuran harus terkait langsung dengan tujuan-tujuan strategis 8. Pengukuran harus dapat diulang, agar dapat dibandingkan pengukuran pada satu masa ke masa yang lain. 9. Pengukuran seharusnya melibatkan seluruh anggota yang berada dalam proses yang terkait dengan BSC. 10. Ukuran - ukuran kinerja yang ada dalam program BSC seharusnya sudah dipahami oleh setiap anggota yang terlibat dalam proses pengukuran. 11. Pengukuran berfokus pada tindakan korektif dan peningkatan. 12. Pengukuran harus diterima dan dipercaya sebagai sesuatu yang valid bagi mereka yang akan menggunakannya.
2.3 Key Performance Indicators (KPI) Key performance indicator (KPI) merupakan pengukuran kuantitatif yang menginformasikan sejauh apa pencapaian sasaran organisasi telah dicapai. Ini berarti KPI, menunjukan faktor penting keberhasilan organisasi. KPI juga dapat menjadi ukuran yang menggambarkan kinerja suatu organisasi keseluruhan yang meliputi aset, sistem, departemen, cabang ataupun perusahaan dalam sebuah area performa tertentu (Mather, 2006). KPI dapat berbeda - beda bergantung pada sifat dan strategi organisasi. Dalam penyusunan KPI harus telah ditentukan indikator kinerja yang measureable, jelas dan spesifik. KPI biasanya digunakan untuk mengukur sesuatu
yang
bersifat
intangible,
seperti
keuntungan
pengembangan
kepemimpinan, layanan, atau kepuasan pelanggan. KPI umumnya dikaitkan dengan strategi organisasi yang contohnya diterapkan oleh teknik-teknik seperti balanced scorecard.
2.4 Analytical Hierarchy Process (AHP) AHP adalah salah satu metode pengambilan keputusan dari beberapa alternatif
pilihan
yang
melibatkan
beberapa
kriteria.
Metode
ini
dikembangkan oleh Prof. Thomas L. Saaty (Marimin; (2009, p.18)). AHP 25
mampu memberikan kerangka yang komprehensif dan rasional dalam menstruktrukturkan permasalahan pada proses pengambilan keputusan. Thomas L. Saaty menjelaskan tahap-tahap pelaksaan metode AHP pada buku “Models, Methods, Concepts & Application of the Analytical Hierarchy Process” (2012). Tahap pertama pada metode AHP adalah structuring, yaitu membuat struktur pengambilan keputusan berdasarkan dua komponen utama. Kedua komponen tersebut adalah tujuan dari AHP serta variable yang digunakan, dan alternatif pilihan yang akan diambil untuk mencapai tujuan AHP. Penentuan tujuan, variabel dan alternatif pilihan ditentukan pada tahap ini. Dan tahap berikutnya adalah assessment, yaitu tahap pemberian nilai atau bobot kepada setiap variabel atau alternatif pilihan.
26