7
BAB 2 LANDASAN TEORI
2.1 Tinjauan Umum
2.1.1 Terminologi Judul Judul proyek ini adalah “Rumah Tenun Ikat Indonesia Timur” yang merupakan sarana semacam museum yang menyimpan koleksi beragam tenun ikat dari Indonesia bagian Timur dan beragam informasi pendukungnya sebagai upaya pelestarian seni dan budaya. “Rumah Tenun Ikat Indonesia Timur” dalam arti per kata adalah sebagai berikut:
A. Rumah Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tahun 2008, rumah merupakan bangunan untuk tempat tinggal. Menurut Frick (2006:1), dalam pengertian yang luas, rumah bukan hanya sebuah bangunan (struktural), melainkan juga tempat kediaman yang memenuhi syarat-syarat kehidupan yang layak, dipandang dari berbagai segi kehidupan
masyarakat.
Rumah
dapat
dimengerti
sebagai
tempat
perlindungan, untuk menikmati kehidupan. Di dalam rumah, penghuni memperoleh kesan pertama dari kehidupannya di dalam dunia ini. Pada karya tulis dan perancangan ini, kata “Rumah” dipilih daripada “Museum” untuk memberikan kesan yang lebih dekat dengan kehidupan masyarakat serta mencerminkan budaya Indonesia yang hangat dan ramah tamah. Hal ini juga sebagai upaya agar semua kalangan lebih tertarik untuk berkunjung.
B. Tenun Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) tahun 2008, tenun merupakan hasil kerajinan yang berupa bahan (kain) yang dibuat dari benang (kapas, sutra, dsb.) dengan cara memasuk-masukkan benang pakan (benang horizontal) secara melintang pada lungsi/lungsin (benang vertikal).
8
C. Ikat Salah satu jenis tenun adalah tenun ikat. Yang dimaksud dengan teknik ikat adalah mengikat beberapa bagian benang supaya tidak terwarna oleh celupan. Istilah ikat didalam menenun ini menurut Loeber dan Haddon (1936) diperkenalkan di Eropa oleh Prof. A.R Hein pada tahun 1880 dan menjadi istilah dalam bahasa Belanda yang disebut ikatten dan dalam bahasa Inggris kata ikat berarti hasil selesai dari kain dengan teknik ikat dan to ikat untuk arti proses dari tekniknya. (Kartiwa, 1989: 5)
D. Indonesia Timur Secara geografis dan kawasan pembangunan, menurut GBHN (Garisgaris Besar Haluan Negara) tahun 1993, Indonesia Timur terdiri dari Sulawesi, Kepulauan Maluku, Kepulauan Nusa Tenggara, dan Papua.
Peta 2.1 Batas Indonesia Bagian Barat dan Timur
(Sumber: http://en.wikipedia.org)
2.1.2 Museum
A. Pengertian Museum Secara etimologis, museum berasal dari kata Yunani mouseion, yang sebenarnya merujuk kepada nama kuil untuk sembilan Dewi Muses, anakanak
Dewa
Zeus
yang
melambangkan
(http://id.wikipedia.org/wiki/Museum)
ilmu
dan
kesenian.
9
Kesembilan
gadis
angkasa
yang
merupakan
keturunan
dari
Mnemosyne dengan Zeus, dewa tertinggi Yunani sebagaimana yang terdapat dalam mitologi Yunani itu adalah para penguasa cabang-cabang seni dan ilmu pengetahuan,
seperti
Calliope,
Cleio,
Erato,
Euterpe,
Melpomene,
Polyhymnia, Terpsichore, Thaleia, dan Urania. Mereka bersemayam di Pegunungan Olympus. (http://id.wikipedia.org/wiki/Mitologi_Yunani) Definisi museum menurut International Council of Museum (ICOM), yakni: “A museum is a non-profit, permanent institution in the service of society and its development, open to the public, which acquires, conserves, researches, communicates and exhibits the tangible and intangible heritage of humanity and its environment for the purpose of education, study and enjoyment”. Museum adalah lembaga non-profit yang bersifat permanen yang melayani masyarakat dan perkembangannya, terbuka untuk umum, yang
bertugas
untuk
mengumpulkan,
melestarikan,
meneliti,
mengkomunikasikan, dan memamerkan warisan sejarah kemanusiaan yang berwujud benda dan tak-benda beserta lingkungannya, untuk tujuan pendidikan, penelitian, dan hiburan. Sedangkan di Indonesia pengertian museum tercantum dalam Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 1995 tentang Pemeliharaan dan Pemanfaatan Benda Cagar Budaya di museum. Dalam peraturan pemerintah tersebut dijelaskan bahwa museum adalah lembaga tempat menyimpan, merawat, mengamankan, dan memanfaatkan benda-benda bukti material hasil budaya manusia serta alam lingkungannya, guna menunjang upaya perlindungan dan pelestarian kekayaan budaya bangsa untuk kepentingan generasi yang akan datang. (PP RI No.19, 1995:3)
B. Sejarah Museum Museum pada awalnya merupakan tempat menyimpan koleksi pribadi orang-orang kaya, lembaga seni, dan benda-benda alam langka atau artefak. Benda-benda tersebut biasanya dipajang dalam ruang penyimpanan yang disebut Cabinet of Curiosities atau dikenal juga dengan nama Wonder Rooms.
10
Wonder Rooms ini hanya dapat diakses oleh sebatas orang-orang terhormat dan atas izin pemiliknya.
Gambar 2.1 Ilustrasi Cabinet of Curiosities Kolektor Denmark Ole Worm
(Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/Cabinet_of_curiosities)
Museum publik pertama adalah Museum Capitoline di Roma, Italia pada masa Renaissance yang menyimpan berbagai koleksi seni dan arkeologi. Bermula pada tahun 1471 ketika Paus Sixtus IV menyumbangkan sekelompok patung kuno penting kepada orang-orang Roma. Museum tertua kedua di dunia adalah Museum Vatikan, bermula dari ditampilkannya koleksi patung Paus Julius II kepada publik pada tahun 1506. Museum tertua lainnya berada di London, Inggris yaitu Royal Armouries di Tower of London yang dibuka untuk umum pada tahun 1660. (http://en.wikipedia.org/wiki/Museum)
Gambar 2.2 Interior Palazzo Nuovo Museum Capitoline
(Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/Capitoline_Museums)
11
Sedangkan cikal bakal museum di Indonesia diawali George Edward Rumphius (1628-1702), seorang naturalis yang mengoleksi benda-benda yang dikumpulkannya selama proses penelitian. Rumphius mendirikan sebuah museum pada tahun 1662 di Ambon, yakni De Amboinsch Raritenkaimer. Namun disayangkan, museum tersebut tidak dapat dilacak lagi sisa peninggalannya melainkan hanya tertinggal sebuah buku yang ditulisnya. Buku tersebut kini berada di Museum Nasional. Sejarah perkembangan museum di Indonesia secara kelembagaan bermula pada tahun 1778. Pada 24 April 1778 di Batavia (sekarang Jakarta) didirikan Bataviaasch Genootschap van Kunstenen Wetenschaapen (Museum of The Royal Batavian Society of Arts and Sciences) oleh Pemerintah Belanda. Lembaga ini memiliki slogan “Ten Nuttle van het Algemeen” yang artinya “Untuk Kepentingan Masyarakat Umum”. Slogan itu mendorong lembaga tersebut tidak hanya menghimpun benda-benda sebagai sarana penelitian tetapi di tahun-tahun berikutnya juga dapat berkembang menjadi museum. Museum secara resmi dibuka pada tahun 1868.
Gambar 2.3 Museum of The Royal Batavian Society of Arts and Sciences
(Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/)
Setelah Republik Indonesia Merdeka, pada tanggal 26 Januari 1950, Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschaapen berganti nama menjadi Lembaga Kebudayaan Indonesia. Semboyan lembaga tersebut berubah menjadi: “Memajukan Ilmu-ilmu Kebudayaan yang Berfaedah untuk Meningkatkan Pengetahuan tentang Kepulauan Indonesia
12
dan Negeri-negeri sekitarnya”. Pada tanggal 17 September 1962, Lembaga Kebudayaan
Indonesia
menyerahkan
pengelolaan
museum
kepada
pemerintah Indonesia di bawah pengawasan Direktorak Jenderal yang kemudian menjadi Museum Pusat. Sejak tahun 1979, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, museum ini menggunakan nama Museum Nasional atau yang lebih banyak dikenal dengan Museum Gajah. (Akbar, 2010)
Gambar 2.4 Museum Nasional
(Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/ National_Museum_(Indonesia))
Sejak diserahkan ke pemerintah pusat, museum-museum di Indonesia semakin berkembang. Bahkan museum baru pun bermunculan, baik diselenggarakan oleh pemerintah maupun oleh yayasan-yayasan swasta. Perubahan politik akibat gerakan reformasi yang dipelopori oleh para mahasiswa pada 1998, telah mengubah tata negara Republik Indonesia. Perubahan ini memberikan dampak terhadap permuseuman di Indonesia. Direktorat Permuseuman diubah menjadi Direktorat Sejarah dan Museum di bawah Departemen Pendidikan Nasional pada 2000. Pada 2001, Direktorat Sejarah dan Museum diubah menjadi Direktorat Permuseuman. Susunan organisasi diubah menjadi Direktorat Purbakala dan Permuseuman di bawah Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata pada 2002. Direktorat Purbakala dan Permuseuman diubah menjadi Asdep Purbakala dan Permuseuman pada 2004. Akhirnya pada 2005, dibentuk kembali Direktorat
13
Museum di bawah Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Data terakhir menurut Direktorat Museum, hingga tahun 2009 terdapat sedikitnya 281 museum di Indonesia. Museum-museum tersebut ada yang berada di bawah naungan Direktorat Museum, kementerian atau departemen atau lembaga pemerintahan, pemerintah daerah, badan-badan usaha milik Negara, perusahaan swasta, yayasan dan badan-badan lainnya, serta perorangan atau pribadi. (Direktorat Permuseuman, 2009)
C. Fungsi Museum Museum mengalami perubahan dalam arti fungsi museumnya. Dari fungsi awal sebagai gudang barang, tempat menyimpan benda warisan budaya yang bernilai luhur, hingga meluas fungsinya pada pemeliharaan, pengawetan, penyajian atau pameran. Selanjutnya fungsi museum diperluas lagi sampai pada fungsi pendidikan dalam rangka untuk kepentingan umum. Menurut hasil musyawarah umum ke-11 (11th General Assembly) International Council of Museum (ICOM) pada tanggal 14 Juni 1974 di Denmark, dapat dikemukakan 9 fungsi museum sebagai berikut: 1. Pengumpulan dan pengamanan warisan alam dan budaya 2. Dokumentasi dan penelitian ilmiah 3. Konservasi dan preservasi 4. Penyebaran dan perataan ilmu untuk umum 5. Pengenalan dan penghayatan kesenian 6. Pengenalan kebudayaan antar-daerah dan antar-bangsa 7. Visualisai warisan alam dan budaya 8. Cermin pertumbuhan peradaban umat manusia 9. Pembangkit rasa bertakwa dan bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa
D. Jenis Museum Dari Sutaarga (1989:32), Direktorat Permuseuman pada tahun 1980 mengelompokkan museum berdasarkan disiplin ilmunya menjadi museum umum dan museum khusus.
14
1. Museum umum, yaitu museum yang koleksinya terdiri dari kumpulan bukti material manusia dan lingkungannya yang berkaitan dengan berbagai cabang seni, disiplin ilmu dan teknologi. 2. Museum khusus, yaitu museum yang koleksinya terdiri dari kumpulan bukti material manusia atau lingkungannya berkaitan dengan satu cabang seni, satu cabang ilmu atau satu cabang teknologi. Berdasarkan lingkup wilayah, museum dapat dibedakan menjadi museum nasional, museum provinsi, dan museum lokal. 1. Museum nasional, yaitu sebuah museum yang koleksinya terdiri dari kumpulan benda yang berasal, mewakili dan berkaitan dengan bukti material manusia dan atau lingkungannya dari seluruh wilayah Indonesia yang bernilai nasional. 2. Museum provinsi, yaitu sebuah museum yang koleksinya terdiri dari kumpulan benda yang berasal, mewakili dan berkaitan dengan bukti material manusia dan atau lingkungannya dari wilayah propinsi dimana museum berada. 3. Museum lokal, yaitu sebuah museum yang koleksinya terdiri dari kumpulan benda yang berasal, mewakili dan berkaitan dengan bukti material manusia dan atau lingkungannya dari wilayah kabupaten atau kotamadya dimana museum tersebut berada. Sedangkan berdasarkan status hukum, museum dibedakan menjadi museum pemerintah dan museum swasta. 1. Museum pemerintah, jika dibiayai oleh pemerintah setempat, dan untuk semua keperluannya disediakan anggaran-anggaran tahunan di departemen yang menyelenggarakannya. 2. Museum swasta, jika didirikan dan dikelola oleh pihak swasta itu sendiri.
E. Struktur Organisasi Museum Sebagaimana telah diketahui, penyelenggara museum dapat dibagi menjadi dua, yaitu pemerintah dan swasta. Museum swasta, walaupun dimiliki dan dikelola sendiri, harus berstatus badan hukum agar museum ini dapat penanganan atau pengelolaannya tidak terombang-ambing. Dalam akte
15
pendiriannya perlu dicantumkan satu pasal peralihan, yang menyebutkan suatu tindakan hukum akan diambil dalam hal berakhirnya masa berdirinya yayasan atau perkumpulan tersebut, kepada siapa miliknya (museum) itu akan diserahkan
demi
kesinambungan
penyelenggaraan,
pengelolaan
dan
pemanfaatan. (Sutaarga, 1989:31). Badan penyelenggara museum swasta jika digambarkan struktur organisasinya dalam kaitannya dengan museum yang diselenggarakannya, adalah sebagai berikut:
Bagan 2.1 Struktur Organisasi Museum dengan Penyelenggara Swasta
(Sumber: Sutaarga, 1989:31)
Bagan 2.2 Struktur Organisasi Museum dengan Penyelenggara Pemerintah
(Sumber: Sutaarga, 1989:32)
Untuk museum pemerintah, badan pemerintah (Departemen atau Lembaga non-Departemen) sebagai penyelenggara yang bertanggung jawab atas tersedianya dana, sarana dan tenaga museum tersebut. Yang mengelola museum adalah kepala museum yang diangkat dan diberhentikan oleh
16
pemerintah,
Menteri,
atau
Ketua
Lembaga
non-Departemen
yang
bersangkutan. Unit Pembina teknis bertanggung jawab atas perencanaan, pengaturan,
pengawasan,
pengendalian
program-program
kegiatan
pelaksanaan dan museum-museum itu sebagai obyek pembinaan merupakan unit-unit pelaksanaan teknis di bidang kegiatan museum sebagai saran ilmiah, pusat studi dan kegiatan edukatif-kultural. (Sutaarga, 1989:32) Sedangkan struktur organisasi internal museum pada umumnya dapat digambarkan secara berikut:
Bagan 2.3 Struktur Organisasi Internal Museum
(Sumber: Sutaarga, 1989:34)
Bagan di atas menggambarkan suatu struktur organisasi medium. Semua unit yang merupakan: • Unsur pimpinan • Unsur penunjang ketata-usahaan • Unsur penunjang perpustakaan • Unsur kegiatan pokok pengadaan dan penelitian koleksi • Unsur kegiatan pokok perawatan dan pemeliharaan • Unsur kegiatan pokok pameran koleksi • Unsur kegiatan pokok bimbingan kegiatan edukatif-kultural sudah termasuk dalam bagan struktur organisasi museum madya tersebut. Untuk museum yang lebih besar atau yang lebih kecil tentu diperlukan struktur organisasi yang disesuaikan dengan kenyataan yang diperlukan. Untuk museum yang lebih kecil, biasanya kepala museum
17
merangkap tugas kurator yang bertanggung jawab atas penangan koleksi. Ia dapat dibantu oleh petugas ketata-usahaan. Demikian, seorang kurator museum kecil, diperlukan manager yang berpendidikan ilmiah dan pandai mengelola museum, oleh karena itu sebenarnya museum kecil diperlukan kurator-kurator paripurna. (Sutaarga, 1989:35)
F. Persyaratan Museum Persyaratan
museum
menurut
Pedoman
Pendirian
Museum
(1999/2000), terdapat beberapa persyaratan yang harus diperhatikan dalam perencanaan suatu museum, antara lain: 1) Lokasi yang Strategis a. Lokasi yang dipilih bukan untuk kepentingan pendirinya, tetapi untuk masyarakat umu, pelajar, mahasiswa, ilmuwan, wisatawan dan masyarakat umu lainnya. b. Lokasi harus sehat Lokasi yang tidak terletak di daerah industri yang banyak pengotoran udara, bukan daerah yang berawa atau tanah pasi, elemen iklim yang berpengaruh pada lokasi itu antara lain: kelembaban udara setidaknya harus terkontrol mencapai netral, yaitu 55-65 %. 2) Persyaratan Bangunan Persyaratan umum yang mengatur bentuk ruang museum yang bisa dijabarkan sebagai berikut: a. Bangunan dikelompokkan dan dipisahkan sesuai : - Fungsi dan aktivitas - Ketenangan dan keramaian - Keamanan b. Pintu masuk utama diperuntukkan bagi pengunjung. c. Pintu masuk khusus (servis utama) untuk bagian pelayanan, perkantoran, rumah jaga serta ruang-ruang pada bangunan khusus. d. Area semi-publik terdiri dari bangunan administrasi termasuk perpustakaan dan ruang rapat. e. Area privat terdiri dari:
18
- Laboratorium Konservasi - Studio Preparasi - Storage f.
Area publik terdiri dari: - Bangunan utama, meliputi pameran tetap, pameran temporer, dan peragaan. - Auditorium, keamanan, toko suvernir, kafetaria, ticket box, penitipan barang, lobby/ruang istirahat, dan tempat parkir.
Persyaratan khusus yang mengatur bentuk ruang museum yang bisa dijabarkan sebagai berikut: a. Bangunan utama, yang mewadahi kegiatan pameran tetap dan temporer, harus dapat: - Memuat benda-benda koleksi yang akan dipamerkan. - Mudah dalam pencapaiannya baik dari luar atau dalam. - Merupakan bangunan penerima yang harus memiliki daya tarik sebagai bangunan utama yang dikunjungi oleh pengunjung museum. - Memiliki sistem keamanan yang baik, baik dari segi konstruksi, spesifikasi ruang untuk mencegah rusaknya benda-benda secara alami ataupun karena pencurian. b. Bangunan auditorium, harus dapat: - Dengan mudah dicapai oleh umum. - Dapat dipakai untuk ruang pertemuan, diskusi, dan ceramah. c. Bangunan khusus, harus: - Terletak pada tempat yang kering. - Mempunyai pintu masuk yang khusus. - Memiliki sistem keamanan yang baik (terhadap kerusakan, kebakaran, dan pencurian). d. Bangunan administrasi, harus: - Terletak di lokasi yang strategis baik dari pencapaian umum maupun terhadap bangunan lainnya. 3) Persyaratan Ruang Persyaratan ruang pada ruang pamer sebagai fungsi utama dari museum. Beberapa persyaratan teknis ruang pamer sebagai berikut:
19
a. Pencahayaan dan Penghawaan Pencahayaan dan penghawaan merupakan aspek teknis utama yang perlu diperhatikan untuk membantu memperlambat proses pelapukan dari koleksi. Untuk museum dengan koleksi utama kelembaban yang disarankan adalah 50% dengan suhu 21o C 26o C. Berdasarkan sensitvitas koleksi terhadap cahaya, terdapat 3 kelompok koleksi, yaitu: - Koleksi sangat sensitif; yaitu tekstil, kertas, lukisan cat air, foto berwarna. Kekuatan terhadap cahaya adalah 50 lux untuk 3000 jam pameran/tahun atau 150 lux untuk 250 jam/tahun. - Koleksi sensitif; yaitu koleksi cat minyak, foto hitam putih, tulang, kayu. Kekuatan terhadap cahaya adalah 200 lux untuk 3000 jam pameran/tahun. - Koleksi kurang sensitif; yaitu koleksi batu, logam, gelas, keramik. Koleksi jenis ini tahan terhadap cahaya. b. Ergonomi dan Tata Letak Untuk memudahkan pengunjung dalam melihat, menikmati, dan mengapresiasi koleksi, maka peletakan peraga atau koleksi turut berperan.
Gambar 2.5 Contoh Tata Letak Tidak Ergonomis
(Sumber: Panero & Zelnik, 1983:339)
20
c. Jalur Sirkulasi di Dalam Ruang Pamer Jalur sirkulasi di dalam ruang pamer harus dapat menyampaikan informasi, membantu pengunjung memahami koleksi yang dipamerkan. Penentuan jalur sirkulasi bergantung juga pada alur cerita yang ingin disampaikan dalam pameran. Menurut Wulandari (2014), pada perancangan sebuah ruang pamer, desainer memiliki kemampuan untuk mengatur cepat atau
lambatnya
pengunjung
pengunjung
bergerak
melalui
berjalan
serta
pengaturan
bagaimana
suasana
dan
penampilan setiap ruang. Melalui variasi tinggi langit-langit, permukaan lantai, terang atau gelap ruang, skema warna dan juga variasi furnitur yang tentu saja disesuaikan dengan tema dan suasana pameran yang ingin ditampilkan akan membuat pengunjung lebih bersemangat menjelajahi setiap ruang pamer.
Gambar 2.6 Contoh-Contoh Sirkulasi Ruang Pamer
(Sumber: Panero & Zelnik, 1983:332)
21
Gambar 2.7 Contoh-Contoh Sirkulasi Ruang Pamer
(Sumber: Sumber: McLean, 1993: 125)
G. Koleksi Museum Dari Radia (2012:27), koleksi museum adalah segala sesuatu yang sedang atau akan dipamerkan di museum. Koleksi tersebut dapat disajikan di ruang pameran, disimpan di gudang, dilestarikan di ruang konservasi atau dikaji di ruang peneliti. Terdapat tiga jenis benda koleksi, yaitu: 1. Benda Asli, yakni benda koleksi yang memenuhi persyaratan: - Harus mempunyai nilai budaya, ilmiah dan nilai estetika. - Harus dapat dianggap sebagai dokumen. - Harus dapat diidentifikasi mengenai wujud, asal,tipe, gaya dan sebagainya. 2. Benda Reproduksi, yakni benda buatan baru dengan cara meniru benda asli menurut cara tertentu. Macam benda reproduksi: - Replika: Benda yang tiruan yang diproduksi dengan memiliki sifatsifat benda yang ditiru. - Miniatur: Benda tiruan yang diproduksi dengan memiliki bentuk, warna dan cara pembuatan yang sama dengan benda asli. - Referensi: Rekaman atau fotocopy suatu buku mengenai etnografi, sejarah dan lainnya. - Benda-benda berupa foto yang dipotret dari dokumen/mikro film yang sukar dimiliki. 3. Benda Penunjang, yakni benda yang dapat dijadikan pelengkap pameran untuk memperjelas informasi/pesan yang akan disampaikan, misalnya: lukisan, foto dan contoh bahan.
22
H. Penyajian Koleksi Museum Benda-benda koleksi yang dipamerkan di museum harus diatur dan direncanakan sebelumnya agar pameran yang diselenggarakan dapat berkomunikasi dengan pengunjung. Selain itu juga harus ditentukan tema dan sistem apa yang akan digunakan. Menurut Udansyah (1981:11), untuk mengadakan pameran di museum, hendaknya kita bertolak dari tiga faktor penting, yaitu: 1. Faktor Koleksi Koleksi yang dipamerkan hendaknya ditampilkan secara utuh, sehingga dapat terkesan nilai-nilai hakikatnya disamping juga harus dapat terlihat keindahan fisiknya. Unsur dekorasi berlebihan harus dihindari
agar
tidak
mengganggu
konsentrasi
dan
perhatian
pengunjung akan koleksi museum. Sebaliknya, tata pameran yang sederhana akan menaikkan nilai benda koleksi yang dipamerkan. 2. Faktor Pengunjung Pameran yang disajikan harus dapat memuaskan pengunjung, Suasananya harus dapat memberikan pengarahan serta tata ruangnya memberikan kebebasan pengunjung untuk bergerak. Selain itu pengunjung juga harus dapat tenang menghayati isi pameran yang disajikan. Untuk hal tersebut tentunya harus dihindari adanya gangguan suara bising, gangguan udara yang terlalu panas maupun terlalu dingin, serta gangguan penerangan yang tidak sesuai. Pameran harus mudah dimengerti. Penataan pameran dan penempatan koleksi pameran harus sistematis dan logis, harus terdapat hubungan antara benda yang satu dengan benda lainnya. Agar penjelasan dapat lebih mudah dimengerti dapat ditunjang dengan gambar, foto, atau tulisan yang lebih kreatif. Dalam penyajian ini perlu dipertimbangkan bahwa pengunjung yang berbeda latar belakang pendidikan maupun lingkungan harus dapat terlayani semua. 3. Faktor Sarana Pameran Kedua faktor di atas tentu harus dilengkapi dengan unsur sarana yang baik, sebab bagaimana pun baiknya konsepjika tidak ditunjang dengan faktor sarana yang menarik tentu pameran tidak akan sempurna dan membosankan.
23
Penggantian koleksi pameran secara teratur sangat penting sebagai salah satu daya tarik pengunjung. Dalam hal ini perlu diciptakan sistem tata pameran yang memungkinkan mudahnya perubahan-perubahan koleksi tersebut.
1. Bentuk Pameran Bentuk pameran museum dapat dibagi menjadi tiga, yaitu: a. Pameran tetap, yaitu pameran yang relatif tidak akan berubah-ubah lagi terutama mengenai sistematis penggolongan benda-benda koleksinya. Pameran tetap diselenggarakan dalam waktu sekurang-kurangnya selama 3 tahun. b. Pameran temporer, merupakan pameran yang diadakan dalam waktu tertentu dan dalam variasi waktu yang singkat. Kira-kira antara satu hari sampai satu bulan. Pameran temporer sebenarnya merupakan penunjang pameran tetap yang ada di museum, untuk mengundang lebih banyak pengunjung datang ke museum. c. Pameran keliling, yaitu benda-benda koleksi dipamerkan keliling di luar museum. Pameran keliling umumnya merupakan suatu paket yang dirancang dalam suatu program pameran keliling, lengkap mencakup keseluruhan sarana-sarana pamerannya.
2. Penataan Pameran Dari Udansyah (1981:16), terdapat beberapa sistem dalam menata koleksi dalam pameran, yaitu: a. Berdasarkan fungsi koleksi b. Berdasarkan jenis koleksi c. Berdasarkan material koleksi d. Berdasarkan tempat asal koleksi Sedangkan metode penyajiannya, yaitu: a. Metode pendekatan estetis, yaitu cara penyajian benda-benda koleksi dengan mengutamakan segi keindahan dari benda-benda yang dipamerkan. Hal ini berlaku untuk benda-benda kebudayaan material atau kesenian.
24
b. Metode romantika, yaitu cara penyajian benda-benda koleksi yang mengungkapkan suasana tertentu yang berhubungan dengan bendabenda yang dipamerkan. c. Metode intelektual, yaitu cara penyajian benda-benda koleksi sehingga dapat mengungkapkan dan memberikan informasi ilmu pengetahuan yang bersangkutan dengan benda-benda yang dipamerkan. d. Metode simbolik, yaitu cara penyajian benda-benda koleksi museum dengan menggunakan simbol-simbol tertentu sebagai media interpretasi pengunjung. e. Metode interaktif, yaitu cara penyajian benda-benda koleksi di museum dimana pengunjung dapat berinteraksi langsung dengan koleksi yang dipamerkan. Metode ini dapat juga menggunakan teknologi informasi. I. Penyimpanan dan Perawatan Koleksi Museum Dari Sutaarga (1979:52), beberapa faktor yang dapat merubah kondisi atau yang dapat merupakan gangguan pada koleksi museum, adalah: 1. Iklim dan lingkungan Iklim di Indonesia pada umumnya adalah lembab dan dengan curah hujan yang cukup banyak. Temperatur udara di antara 25 sampai 37 derajat celcius, dengan kadar kelembaban relatif (RH=Relative Humidity) antara 50-100%. Iklim yang terlampau lembab ditambah faktor naik-turunnya temperatur menimbulkan suasana klimatologis yang menyuburkan tumbuh kembangnya jamur (fungi) dan bakteri tetapi iklim yang terlampau kering juga menimbulkan berbagai kerusakan. Karenanya, perlu ada semacam pengendalian iklim. Bila terlampau lembab perlu diusahakan RH yang sesuai bagi berbagai jenis benda koleksi, yakni antara 45-60% dengan suhu antara 20-24 derajat celcius. Hal ini juga berlaku bagi iklim yang terlampau kering. Alat untuk mengurangi kelembaban adalah dehumidifier. Sedangkan alat untuk mengurangi kekeringan adalah humidifier. Selain iklim, faktor lingkungan udara juga perlu diperhatikan. Lingkungan udara terbagi atas dua macam, yakni pertama makro, meliputi wilayah yang luas, dan yang kedua mikro, yakni udara dan
25
iklim di kota dan di dalam gedung museum. Umumnya udara di kota sudah tercemar dengan polusi. Cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak polusi tersebut adalah dengan memanfaatkan fungsi taman lindung. 2. Cahaya Cahaya
baik
alami
maupun
buatan
(artificial)
dapat
menimbulkan kerusakan benda koleksi. Untuk jenis koleksi seperti batu, logam, dan keramik. pada umumnya tidak peka terhadap cahaya tetapi untuk bahan organik seperti tekstil, kertas, peka terhadap pengaruh cahaya. Seperti yang telah dibahas dalam persyaratan museum, sebaiknya intensitas cahaya tidak lebih dari 200 lux, apalagi untuk bahan-bahan organik. Cahaya merupakan bentuk energi elektro-magnetik, memiliki dua jenis radiasi yang terlihat maupun tak terlihat. Radiasi ultraviolet dan inframerah adalah salah dua radiasi yang tidak terlihat oleh mata. Ultraviolet
sangat
membahayakan
benda
koleksi
dan
dapat
menimbulkan perubahan baik bahan maupun warna. Lampu pijar dinyatakan paling banyak mengeluarkan ultraviolet, sedangkan lampu fluorescent dinyatakan paling rendah kadar radiasinya. 3. Serangga dan Mikro-organisme Cara mencegah untuk perusakan benda koleksi yang disebabkan oleh serangga ataupun mikro-organisme, yakni: •
Fumigasi Beberapa jenis zat kimia bisa menguapa pada suhu biasa dan akan menjadi gas yang mematikan bagi serangga, misalnya paradichlro benzene, carbon disulphine, carbon tetrachloride, methyl bromide, dan lain-lain. Fumigasi dapat dilakukan dalam ruangan yang suhunya normal dan kedap udara.
•
Penyemprotan Penyemprotan
insektisida
yang
berupa
larutan
yang
mengandung DDT, gammexane, mercuric chloride, pentachlorophenol,
dan
lain-lain,
insektisida yang cukup memadai.
merupakan
bahan-bahan
26
2.1.3 Tenun Ikat Tenun ikat adalah kriya tenun Indonesia berupa kain yang ditenun dari helaian benang pakan (benang vertikal) dan benang lungsi (benang horizontal) yang sebelumnya diikat dan dicelupkan ke dalam zat pewarna. Alat tenun yang dipakai adalah alat tenun bukan mesin. Sebelum ditenun, helai-helai benang dibungkus (diikat) dengan serat tumbuhan atau tali plastik sesuai dengan corak atau pola hias yang diinginkan. Ketika dicelup, bagian benang yang diikat dengan tali plastik tidak akan terwarnai. Kain ikat dapat dibedakan dari kain songket berdasarkan jenis benang. Songket umumnya memakai benang emas atau perak. Motif kain songket hanya terlihat pada salah satu sisi kain, sedangkan motif kain ikat terlihat pada kedua sisi kain. (http://id.wikipedia.org/wiki/tenun_ikat)
A. Jenis Tenun Ikat Terdapat dua jenis benang dalam tenunan ikat, yakni benang vertikal yang disebut benang lungsi dan benang horizontal yang disebut benang pakan. Dari kedua jenis benang tersebut, tercipta 3 jenis tenun ikat, yakni: 1. Tenun Ikat Lungsi Tenun ikat lungsi adalah produk tenun dengan desain yang terjadi dari kumpulan benang lungsi yang dibentangkan pada alat perentang diikat dengan tali rafia berbagai warna yang disesuaikan dengan ragam hias dan warna yang diinginkan, kemudian dicelup. Setelah mengering pada bagian yang ditandai oleh warna rafia tertentu dibuka ikatannya dan dicolet dengan warna yang diinginkan, dilakukan seterusnya pada ikatan warna rafia yang lain dicolet dengan warna-warna yang diinginkan. Setelah kering, kemudian ditata pada alat tenun dan ditenun dengan benang pakan warna tertentu sesuai dengan warna yang diinginkan secara keseluruhan. Hasil tenun ikat lungsi banyak dijumpai dari daerah NTB, NTT, Maluku, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Sulawesi Barat , Sulawesi Utara, Papua Barat. 2. Tenun Ikat Pakan Tenun ikat pakan proses pembuatannya sama dengan tenun ikat lungsi, tetapi yang diikat adalah kumpulan benang pakan sesuai dengan
27
ragam hias dan warna yang diinginkan, kemudian ditenun pada bentangan benang lungsi yang sudah tertata pada alat tenun dengan warna yang yang diinginkan secara keseluruhan. Hasil tenun ikat pakan banyak dijumpai dari daerah Bengkulu, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, NTB, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah. 3. Tenun Ikat Ganda (Dobel) Kedua
teknik
tersebut
diatas
digabungkan
dalam
proses
penenunannya, sehingga corak akan terbentuk dari persilangan benang lungsi dan benang pakan yang bertumpuk pada titik pertemuan corak yang dikehendaki. Hasil tenun ikat ganda dapat dijumpai dari Bali (Tenganan), Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara.
B. Persebaran Tenun Ikat di Indonesia
Gambar 2.8 Wilayah-Wilayah Penghasil Tenun Ikat di Indonesia
(Sumber: Kartiwa, 1989:vi)
Kebanyakan tenun ikat berasal dari daerah di mana Islam belum merambah sampai batas tertentu. Kepulauan Sunda kecil dan Kepulauan Maluku merupakan daerah penghasil tenun ikat dengan sebagian besar penenunnya beragama Kristen. Wilayah penghasil tenun lainnya adalah Kalimantan yang penenunnya kebanyakan merupakan penaganut animisme, percaya akan roh, kekuatan leluhur dan alam. Sedangkan di Bali, mayoritas beragama Hindu. Di bawah agama Kristen dan Hindu kepercayaan tradisional
28
dapat tetap hidup dengan baik. Leluhur yang dihormati, roh ditakuti dan ditenteramkan, dan kekuatan alam dihormati dengan semangat keagamaan. Jadi sama sekali tidak aneh jika semua orang Indonesia dari semua agama menganggap beberapa jenis tekstil merupakan sesuatu yang suci dan dihormati, terutama tenun ikat. (http://www.ikat.us/ikat_introduction.php) Menurut kartiwa (1989), kain tenun ikat lungsi biasanya berasal dari daerah-daerah yang tidak banyak memperoleh pengaruh budaya
Islam,
sedangkan ikat pakan sebaliknya.
C. Fungsi Tenun Ikat Kartiwa (1989:15) menyebutkan bahwa kain tenun merupakan salah satu perlengkapan hidup manusia yang sudah dikenal sejak zaman prasejarah yang diperoleh dari perkembangan pakaian penutup badan setelah rumputrumputan dan kulit kayu. Kain tenun ikat yang merupakan perkembangan dari kain tenun yang diberi ragam hias ikat, diciptakan untuk melengkapi kebutuhan manusia seperti juga makanan, minuman dan rumah tempat tinggal. Kain tenun dapat digunakan sebagai sarung, selimut, selendang, baju, ikat kepala, ikat pinggang, hingga aksesori di dalam rumah. Selain sebagai salah satu perlengkapan hidup manusia, kain tenun mempunyai fungsi dalam beberapa aspek kehidupan masyarakat pembuatnya. Baik aspek sosial, ekonomi, religi, estetika, dan lain sebagainya. Di mana kain tenun sebagai salah satu kebutuhan masyarakat menyangkut segala keperluan sehar-hari, secara keseluruhan. Tenun
ikat
mempunyai
arti
sosial
dalam
kegunaan
untuk
menunjukkan dan menunjang status sosial anggota masyarakat dari kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat. Pakaian yang dipakai oleh pemimpin adat, kepala suku, tokoh panglima perang, pendeta, orang tua, dan orang muda berbeda-beda. Dalam aspek ekonomi, kain merupakan salah satu yang dipertukarkan untuk memenuhi kebutuhan lain yang diperlukan. Tujuan pertukaran ini merupakan salah satu gerak dinamis masyarakat untuk berkomunikasi dengan kelompok lain di sekitarnya.
29
Fungsi budaya, dari aspek antropologis kain tenun ikat merupakan salah satu barang yang diberikan sebagai penghargaan atau pemberian pada berbagai upacara adat seperti perkawinan, kelahiran, dan kematian.
Gambar 2.9 Gadis Bali Mengenakan Kain Ikat Dobel Geringsing Saat Sebelum Upacara Siklus Hidup
(Sumber: Cita Tenun Indonesia, 2010:20)
Aspek religi dan mitos tampak bahwa ragam hias yang diterapkannya mengandung unsur perlambangan tertentu yang berhubungan dengan unsur kepercayaan atau agama tertentu. Di dalam mitologi suci masyarakat Indonesia pada umumnya mengenal adanya seorang tokoh atau Dewa maupun leluhur yang memberikan dan mengajarkan mereka menenun. Masyarakat kuno menganggap bahwa inspirasi menenun dan menerapkan ragam hias datang dari Tuhan atau leluhur mereka yang didapat dengan cara berdoa atau bersemedi.
Gambar 2.10 Kain Ikat Lungsi Sulawesi Selatan dengan Motif Kait Geometris dan Manusia
(Sumber: Cita Tenun Indonesia, 2010:23)
30
Dari aspek estetika, tampak bahwa keterampilan, ketekunan, dan ketelitian dalam menciptakan suatu karya tenun yang dikerjakan. Tidak sedikit penenun yang menyelesaikan tenunan dalam hitungan tahun dan melahirkan tenun ikat yang indah, mempesona, dan serasi baik dari komposisi jalur, bentuk, motif, dan warna.
D. Ragam Hias Tenun Ikat Menurut Kartiwa (1989), ragam hias yang terdapat pada tenun ikat memiliki pengaruh unsur kebudayaan Neolitikum, Hindu-Budha, serta Islam. Konsepsi unsur-unsur alam yang mempunyai kekuatan magis yang dikenal sejak zaman neolitikum sekitar tahun 2000 SM adalah konsepsi dari agama atau kepercayaan tradisional masyarakatnya. Unsur alam yang memiliki kekuatan magi situ antara lain beberapa jenis fauna dan flora, gunung, sungai, matahari, bintang, dan lainnya. Kepulauan Indonesia yang letaknya di antara dua benua besar di dalam sejarah banyak ditulis bahwa Indonesia sering mengadakan kontak yang luas dengan bangsa-bangsa di luar wilayahnya. Salah satunya yaitu dengan bangsa India yang kemudian membawa agama Hindu ke nusantara. Hal ini mengakibatkan bertambahnya nilai-nilai seni dan budaya di Indonesia. Unsur-unsur baru dalam ragam hias yang muncul pada periode Hindu adalah unsur flora dan fauna yang dihubungkan dengan kepercayaan Hindu, pandangan agama Hindu terhadap alam dan isinya, dan ornamen-ornamen yang dipakai oleh Dewa-Dewa Hindu. Tidak hanya agama Hindu, tetapi agama Budha pun berpengaruh dalam unsur-unsur ragam hias yang ada di nusantara, hal ini karena agama Hindu dan Budha di Indonesia sukar dipisahkan dalam pandangan masyarakat pada waktu itu, karena telah terjadi sinkritisme di antara kedua agama tersebut. Agama Islam yang kemudian datang setelah abad ke-15 juga memperkaya unsur ragam hias nusantara pada umumnya dan khususnya ragam hias pada kain tenun. Ragam hias pengaruh Islam relatif tidak banyak menerapkan unsur manusia di dalamnya, melainkan lebih banyak unsur flora dan tumbuh-tumbuhan, di samping unsur fauna terutama jenis-jenis burung, dan lekuk-lekuk geometris mirip huruf arab.
31
Secara keseluruhan, ragam hias yang umum diterapkan pada tenun ikat dapat dikelompokkan menjadi: 1. Ragam Hias Flora Contoh: Pohon, daun, buah, bunga-bunga liar. 2. Ragam Hias Fauna Contoh: •
Unggas, seperti ayam, bebek, merpati, elang, dan garuda.
•
Binatang Air, seperti udang, ikan, cumi-cumi, dan penyu.
•
Binatang Melata, seperti ular, kadal, cicak, buaya, dan komodo.
•
Binatang lainnya seperti kerbau, kuda, sapi, rusa, anjing, dan singa.
Gambar 2.11 (Kiri) Contoh Ragam Hias Pohon Hayat Gambar 2.12 (Kanan) Contoh Ragam Hias Kuda
(Sumber: Kartiwa, 1989:53)
3. Ragam Hias Geometris Contoh: Belah ketupat, zigzag, garis silang, pilin, kait, meander, dan segitiga.
Gambar 2.13 Contoh Ragam Hias Geometris Belah Ketupat
32
(Sumber: Kartiwa, 1989:53) 4. Ragam Hias Figuratif Contoh: Manusia, abstraksi leluhur, dan dewa.
Gambar 2.14 Contoh Ragam Hias Figur Manusia dari Toraja
(Sumber: Kartiwa, 1989:53)
E. Warna Tenun Ikat Walaupun sudah banyak pewarna sintetis diproduksi, tidak sedikit penenun yang masih menggunakan pewarna alami untuk mewarnai kain ikat. Dari Therik (1989:35), terdapat warna-warna yang umum digunakan pada tenun ikat dari Timur Indonesia, seperti warna: 1. Biru Muda Bahan
yang
digunakan
adalah
daun
tarum.
Bahan
penolongnya adalah kapur sirih, abu, dan buah pohon kemiri. Untuk biru muda caranya cukup mudah. Daun tarum yang cukup tua direndam dalam periuk tanah sampai hancur atau membusuk. Kemudian dibubuhi sedikit kapur sirih. Kapur sirih yang baik mutunya adalah berupa debu atau serbuk kapur hasil bakaran kulit siput, kerang laut, atau karang dan batu apung. Karang yang terbaik adalah karang gunung karena kurang mengandung garam. Daun tarum ini diaduk, diremas sedemikian rupa hingga hancur, serat atau ampasnya dikeluarkan. Benang yang akan diwarnai dimasukkan dalam bahan sari buah kemiri yang ditumbuk halus agar zat warna yang akan dicampur nanti mudah meresap ke dalam benang dan tidak mudah luntur. Sesudah itu benang direndam dalam sari
33
tarum dan diremas-remas untuk memudahkan proses peresapan. Benang didiamkan selama beberapa jam kemudian dikeringkan dengan cara dijemur.
Gambar 2.15 Daun Tarum
(Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Tarum)
2. Biru Tua Bahan untuk membuat warna biru tua sama dengan untuk warna biru muda. Benang yang telah dikeringkan selama beberapa hari diembunkan dan diangin-anginkan. Sesudah itu benang direndam lagi dalam periuk tanah berisi sari tarum. Hasilnya benang akan menjadi biru tua.
Gambar 2.16 (Kiri) Daun Tarum Yang Telah Ditumbuk Gambar 2.17 (Kiri) Proses Pewarnaan
(Sumber: http://baltyra.com)
3. Hitam
34
Proses pembuatan warna hitam pada benang adalah kelanjutan dari warna biru muda dan biru tua. Setelah beberapa kali melakukan perendaman dalam sari tarum maka warna benang akan menjadi hitam. Dari proses pewarnaan benang dengan bahan yang sama dari biru muda, biru tua, kemudian hitam membutuhkan waktu yang cukup lama. 4. Cokelat dan Merah Warna cokelat dan merah untuk berbagai daerah tidak sama, tergantung pada bahan dasar dan bahan penolong yang berbeda-beda sehingga dapat dilihat beberapa warna peralihan seperti cokelat muda, oranye, ungu, dan cokelat tua. Bahan dasar yang digunakan adalah kulit akar pohon mengkudu, kulit pohon loba dan daunnya yang kering, buah sirih, atau buah gambir. Kulit akar mengkudu yang kering ditumbuk dalam lesung. Bahan lain seperti kulit loba dan buah sirih yang kering ditumbuk secara terpisah. Kemudian tepung akar mengkudu dimasukkan ke dalam periuk dan diremas-remas untuk mengeluarkan ampasnya, baru setelah itu dicampurkan dengan bahan penolong.
Gambar 2.18 (Kiri) Daun Loba Kering Gambar 2.19 (Kanan) Proses Pewarnaan Dengan Kulit Akar Mengkudu
(Sumber: http://baltyra.com)
35
Benang yang akan diwarnai dimasukkan dalam adonan tersebut, diremas-remas, dan direndam selama beberapa jam. Kemudian benang dijemur dan dikeringkan. Proses mencelup hingga menjemur dapat dilakukan berulang-ulang hingga menghasilkan warna yang diinginkan. 5. Hijau Warna hijau agak jarang dipakai dalam tenunan ikat. Orang mewarnai benang tenun untuk warna hijau dengan menggunakan daun kelor dan daun pepaya ditambah sejumlah daun hijau lainnya. Daundaun ini ditumbuk dan dimasak bersama benang, lalu dijemur.
Gambar 2.20 (Kiri) Daun Kelor Gambar 2.21 (Kanan) Daun Pepaya
(Sumber: http://teknoku.blogspot.com)
6. Kuning Bahan dasar tradisional untuk memberi warna kuning adalah kunyit. Cara mewarnainya adalah dengan cara menumbuk daun papaya tua kuning dan kunyit secara terpisah kemudian dicampur dan dimasak bersama benang.
Gambar 2.22 (Kiri) Kunyit Gambar 2.23 (Kanan) Benang Yang Sudah Diwarna
36
(Sumber: http://baltyra.com) F. Proses Pembuatan Tenun Ikat Menenun merupakan tradisi turun temurun. Kain tenun rata-rata dikerjakan di rumah (home industry). Hampir setiap rumah memiliki alat tenunnya sendiri. Alat tenun yang digunakan adalah ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin) atau Gedogan. Profesi penenun biasanya hanya dilakoni oleh kaum perempuannya saja, sedangkan para pria bekerja sebagai petani atau nelayan. Hoopen (1981) menjabarkan tahapan-tahapan pembuatan kain tenun ikat yang dibuat secara tradisional sebagai berikut: 1. Memintal Benang Kapas Salah satu keahlian mendasar dalam menghasilkan tenun ikat yang berkualitas tinggi adalah memintal benang kapas. Diperlukan keahlian khusus dalam memintal benang. Kedua tangan, mata, dan perasaan harus bergerak seirama dengan putaran roda alat pintal agar serat kapas dapat terpintal tanpa terputus.
Gambar 2.24 Wanita Flores Sedang Memintal Benang Kapas
(Sumber: http://baltyra.com)
37
Benang-benang yang dihasilkan secara tradisional memiliki kualitas yang lebih bagus dan lebih dihargai dibandingkan benangbenang yang diproduksi oleh mesin pabrik. Kualitas keduanya dapat diketahui melalui tekstur dan ketebalannya.
Gambar 2.25 Kapas dan Benang Kapas
(Sumber: http://baltyra.com)
2. Mengikat Beberapa Bagian Benang Proses mengikat dimulai dengan benang direntangkan pada alat pemidang, didekatkan diperketat jaraknya satu sama lain. Kemudian pola digambar diatasnya secara garis besar menggunakan arang, krayon atau ranting dicelupkan ke dalam pewarna. Di sebagian besar wilayah, pola dan corak kain diimprovisasi berdasarkan kreativitas pribadi penenun namun tetap dalam kerangka tradisional yang sudah ditentukan jumlah garis, lebar, warna dasar, dan pola keseluruhan.
Gambar 2.26 (Kiri) Wanita Flores Merentangkan Benang Gambar 2.27 (Kanan) Wanita Flores Mengikat Benang
38
(Sumber: http://baltyra.com) Setelah
pola
digambar,
benang-benang tersebut
diikat
berdasarkan polanya. Setiap corak yang akan memiliki warna sama akan memiliki jenis ikatan yang sama, entah dari warna pengikat atau jumlah simpul pengikat. Bahan pengikat dahulu terbuat dari serat tumbuhan, biasanya potongan daun kelapa sawit. Namun pada saat ini tali rafia lebih banyak digunakan karena memiliki berbagai macam warna sehingga lebih praktis. 3. Mewarnai Setelah proses mengikat, benang dilepas dari alat pemidang dalam kondisi masih terikat bagian-bagiannya dan dilakukan proses pewarnaan pertama dengan mencelupkan benang ke dalam pewarna. Bagian-bagian yang diikat oleh tali rafia/serat tumbuhan akan tetap memiliki warna asli benang demikian sebaliknya. Setelah itu benang dijemur hingga kering. Setelah kering, proses pewarnaan kedua disiapkan dengan cara melepas ikatan bagian yang akan diwarna kemudian kain dicelupkan ke pewarna kedua. Proses mengikat, mencelupkan ke dalam pewarna, menjemur, dan melepas ikatan dilakukan berulang-ulang sesuai ragam corak yang dikehendaki.
Gambar 2.28 Benang Yang Dijemur Setelah Dicelup ke Pewarna Berwarna Indigo
39
(Sumber: http://ikat.us)
Gambar 2.29 Benang Setelah Dijemur
(Sumber: http://baltyra.com)
4. Mengatur Benang Pada Alat Tenun Langkah selanjutnya sebelum menenun adalah mengatur susunan benang lungsi pada alat tenun sesuai motifnya, hal ini harus dilakukan dengan teliti dan hati-hati sehingga pola terlihat jelas. Pada proses ini motif ikat lungsi pada benang lungsi akan terlihat jelas bahkan sebelum ditenun bersama benang pakan yang polos. Pada ikat pakan motif hanya akan terlihat setelah kedua benang pakan dan lungsi ditenun. Proses pembuatan ikat pakan akan lebih lama dibandingkan ikat lungsi karena dibutuhkan kehati-hatian tinggi dalam menyesuaikan kejelasan pola. Pada ikat ganda, kedua benang lungsi dan pakan sama-sama memiliki pola ragam hias sehingga prosesnya pun akan lebih rumit.
40
Gambar 2.30 Mengatur Benang Lungsi Sebelum Ditenun
(Sumber: http://ikat.us) 5. Menenun Setelah proses-proses di atas, benang lungsi siap ditenun dengan benang pakan dan menghasilkan kain ikat. Alat tenun jenis gedogan atau dikenal juga dengan gendongan (backstrap loom) adalah yang umum digunakan oleh penenun dari Indonesia Timur. Alat tenun gedogan adalah alat tenun tradisional sederhana yang digerakkan oleh tangan. Biasanya penggunaan alat ini pada bagian ujung dipasang pada tiang rumah, pagar, atau pada suatu bentangan papan dengan konstruksi tertentu dan bagian ujung lainnya diikatkan pada badan penenun yang duduk di lantai. Dengan menggunakan alat tenun tradisional yang diikatkan pada badan ini, sang pengrajin mulai menenun untaian benang, menjadi sebuah kain. Kekuatan tubuh pengrajinnya sangat dibutuhkan untuk mendapatkan kain tenun yang kuat. Selain memerlukan kesabaran dan ketelatenan, membuat tenun Gedogan hanya mampu menghasilkan tenunan selebar rentangan tangan pengrajin. (http://tenunikat.etalasekediri.com/2012/12/mengenal-alat-tenuntradisional.html)
Gambar 2.31 Ilustrasi Alat Tenun Gedogan
41
(Sumber: http://kuntharatex.blogspot.com) Gambar 2.32 Wanita dari Sumba Sedang Menenun dengan Gedogan
(Sumber: unesco.org)
Selain gedogan, benang juga dapat ditenun dengan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM). ATBM adalah peralatan yang dapat membuat kain tenun dan digerakkan secara manual dengan tenaga manusia. Selain ketrampilan tangan, alat tenun ini juga digerakkan oleh injakan kaki untuk mengatur naik turunnya benang lungsi pada waktu masuk keluarnya benang pakan, dipergunakan sambil duduk di kursi. Biasanya ATBM digunakan pada industri-industri tenun menengah. Wilayah penghasil tenun yang sudah banyak menggunakan ATBM misalnya Jepara dan Klaten.
42
Gambar 2.33 Wanita dari Tegal Sedang Menenun dengan ATBM
(Sumber: http://antarafoto.com) 2.1.3.1 Tenun Ikat Indonesia Timur Pembahasan
mengenai
tenun
ikat
Indonesia
Timur
dikelompokkan menjadi tujuh bagian, yaitu tenun ikat dari Donggala (Sulawesi Tengah), Toraja (Sulawesi Selatan), Flores, Timor, RoteSawu-Ndao, Sumba, dan Maluku.
A. Donggala (Sulawesi Tengah)
Peta 2.2 Peta Sulawesi Tengah
43
(Sumber: http://sulteng.kemenag.go.id)
Salah satu tempat di Sulawesi Tengah yang mewakili daerah penghasil kain tenun ikat yaitu Donggala selain juga jenis tenun lainnya seperti kain sarung sutera dan songket. Menurut Kartiwa (1989:50), kain tenun Donggala dengan coraknya yang khas motif bunga dengan dedaunan di samping unsurunsur geometris, baik motif dan teknik menunjukkan unsur-unsur persamaan dengan kain tenun Bugis di Sulawesi selatan. Terjadinya unsur-unsur persamaan ini, dapat dihubungankan dengan suatu analisa W. Kaudern yang mengatakan bahwa di antara penduduk Sulawesi adanya unsur-unsur pengaruh mempengaruhi karena adanya suatu migrasi lokal dari satu tempat ke tempat yang lain, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain bencana alam, penyakit, peperangan dan lain sebagainya. Adanya unsur kebudayaan Bugis di daerah pantai juga disebabkan oleh banyaknya pedagang-pedagang Bugis yang datang berdagang, dan singgah dengan kapal-kapalnya di pelabuhan Donggala. Banyak di antaranya yang menetap dan bermukim di sana secara terus-menerus dan turun-temurun, antara lain kampong Wani di Kabupaten Donggala merupakan perkampungan orang Bugis dan banyak di antara penduduk kampung tesebut adalah penenun kain tenun Donggala.
Gambar 2.34 (Kiri) Sarung Bugis Gambar 2.35 (Kanan) Sarung Donggala
44
(Sumber: http://fitinline.com)
Akulturasi kebudayaan Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan ini selain dalam hal kerajinan tenun, juga tampak dalam mite/legenda yang sama yaitu kisah Sawerigading dan Tumanurun. Sawerigading adalah nama seorang tokoh yang keramat yang berasal dari kerjaan Luwu Sulawesi Selatan yang erat hubungannya dengan timbulnya kerajaan-kerjaan kecil di Sulawesi Tengah. Sedangkan Tumanurun atau Monoeroe Laseo adalah tokoh yang turun dari langit yang mengajarkan sejumlah kepandaikan kepada masyarakat. (Pakan, 1977:24) Dalam hal agama tampak jelas bahwa penduduk pantai mayoraitas beragama Islam terutama di sekitar Palu dan Donggala. Pada sekitar abad ke-19 penduduk pantai Sulawesi Tengah telah beragama Islam, sedangkan di daerah pedalaman masih beragama asli animisme. Unsur agama Islam yang kuat ini juga tercermin di dalam kain tenun Donggala yang tidak membuat motif unsur manusia sebagai ragam hias yang dilarang seni Islam. Motif-motif yang banyak diterapkan adalah unsur bunga-bungaan atau flora pada umumnya dan sedikit motif binatang yang diterapkan yakni berbagai jenis burung antara lain burung kakatua. Kain sarung Donggala yang mempunyai ragam hias ikat disebut sarung bomba. Bomba sendiri berarti bunga atau kembang pada kain. Pada kain sarung bomba ini ragam hias ikat terdapat pada bagian benang pakannya. Bentuk bunga yang tampak pada kainnya yang samar ini diakibatkan karena ragam hias yang sudah dibentuk
45
dalam gulungan benang pakan dimasukkan di antar silangan benang lungsi yang memiliki satu atau beberapa warna polos. Bayangan warna ini karena warna dasar yang gelap atau warna tua, sedangkan warna ragam hiasnya terang atau warna muda.
Gambar 2.36 Tenun Ikat Donggala
(Sumber: http://paramudibel.blogspot.com) Ada dua jenis ragam hias dalam setiap kain, yaaitu corak ragam hias yang terdapat pada bagian bidang yang terluas dari kain tersebut yang disebut cura atau badan. Ada corak ragam hias yang khusus diterapkan pada bagian bidang yang terbatas yang dinamakan puncak atau kepala. Ciri-ciri bagian puncak ini terdiri dari antara lain garis-garis diagonal berpotongan berbentuk belah ketupat yang diisi dengan taburan bunga-bunga yang sama bentuknya dengan bungabunga yang terdapat pada bagian cura. Ada macam-macam corak ragam hias dengan nama tumbuhtumbuha atau bunga-bungaan yang terdapat pada kain tenun Donggala seperti antara lain: •
Tavanggadue atau daun keladi.
•
Sesekaranji atau bunga berbuah keranjang.
•
Bomba Kota artinya motif berbentuk kotak-kotak.
•
Bunga Poindo Tava Ronto, bunga poindo artinya bunga yang bentuknya seperti lampu gantung, tava artinya daun, ronto
46
berarti gugur. Arti keseluruhannya adalah bunga yang berbentuk lampu gantung dengan daun-daun yang gugur. •
Tavanempule, tava adalah daun, nempule berarti merambat.
•
Punanununu, berarti pohon beringin.
(Mashuda, 1973:137)
B. Toraja (Sulawesi Selatan) Wilayah penghasil tenun ikat di Sulawesi Selatan adalah Tana Toraja, wilayah yang berada di bagian utara Provinsi Sulawesi Selatan. Di dalam buku-buku etnografi yang ditulis oleh A.C. Kruyt yang pernah tinggal di wilayah Sulawesi selama dua puluh tahun, Toraja terdiri dari Toraja Timur yang meliputi Suku-suku bangsa yang mendiami daerah Poso. Kelompok ini juga disebut Toraja Baree. Toraja Barat yaitu kelompok-kelompok yang mendiami daerah Barat Palu. Kemudian Toraja Selatan yaitu penduduk yang mendiami wilayah kabupaten Tana Toraja sekarang ditambah dengan penduduk dari daerah Mamasa, dan Rongkong, yang sering dinamakan daerah Galumpang. Selain itu yang dikelompokkan dalam suku bangsa Toraja itu termasuk juga penduduk daerah Mori, Bungku dan Kepulauan Banggai, wilayah pantai timur Sulawesi Tengah. (Ichromi 1978:21)
Peta 2.3 Peta Sulawesi Selatan
47
(Sumber: http://ongkirnya.com)
Yang dimaksud dengan Toraja Selatan juga berarti Toraja Sa’dan yaitu wilayah yang dilalui sungai Sa’dan dan wilayah ini disebut juga Tana Toraja yang dapat disingkat dengan kata Tator. Menurut penelitian jumlah penduduknya sekitar 327.000 orang dan kira-kira setengah dari jumlah itu masih hidup dalam alam kepercayaan agama suku. (Ichromi 1978:23) Sedangkan penduduk yang disebut Toraja Barat dan Toraja Timur di wilayah Sulawesi Tengah sendiri tidak pernah menyebut dirinya orang Toraja. Jadi dengan demikian yang dimaksud dengan Toraja yaitu hanya wilayah bagian Utara dari Sulawesi Selatan sekarang. (Pakan, 1977:37; Ichromi 1978:22-23) Sistem pelapisan masyarakat terdiri dari tiga lapisan yaitu lapisan pertama yang disebut golongan Ma’dija, Puang atau Ambe yang mempunyai hak untuk menduduki jabatan-jabatan pemerintahan asli serta dapat dikuburkan dengan cara-cara tertentu serta boleh
48
membuat hiasan-hiasan yang menandakan keturuannya pada rumah adatnya. Pria dari lapisan atas diperkenankan menikah dengan wanita dari lapisan yang lebih rendah, tetapi keturunannya dan istrinya tidak boleh mengikuti status suaminya. Piring dan cangkirnya tidak boleh dipakai oleh istri dan anak-anaknya, istri dan anak-anaknya itu juga tidak diperkenankan untuk dikuburkan pada kuburan keluarga dari pria tersebut. Sebaliknya seorang wanita dari lapisan atas dilarang keras untuk menikah dengan pria dari lapisan bawah. Tentu hal-hal ini resminya tidak berlaku sekarang. Dalam pergaulan sosial dengan terbukanya kemungkinan-kemungkinan kemajuan melalui pendidikan, maka wewenang dari lapisan atas itu mulai kabur dan banyak perkawinan campuran telah terjadi. Lapisan kedua disebut Tomakaka yang berarti orang bebas, dan lapisan ketiga disebut Kaunan orangorang yang harus memberikan pelayanan pada lapisan di atasnya. (Kartiwa, 1989: 54-57) Toraja mempunyai pola perkampungan dengan deretan rumah yang menghadap ke utara, sedangkan deretan lumbungnya menghadap ke arah selatan. Menurut konsepsi agama asli, bagian utara merupakan tempat para dewa bersemayam dan mereka percaya bahwa nenek moyang mereka turun dari berbagi tempat yang datangnya dari langit. Arah Selatan dan Barat adalah tempat dimana arwah dari mereka yang meninggal, yang belum menjadi dewa bersemayam. Dilihat dari bentuk rumahnya, bagian atapnya yang dibuat dari bilah bambu yang disusun sampai lima atau lebih lapisan, bentuknya menyerupai bentuk pelana kuda dan juga menyerupai bentuk perahu. Bentuk perahu ini memperkuat dugaan bahwa nenek moyang mereka berasal dari laut menaiki perahu-perahu berlayar mengikuti sungai Sa’dan. Walaupun mengenai sejarah asal-usul orang Toraja belum diperoleh kesatuan pendapat, tetapi yang menarik bahwa kata untuk desa atau kelompok yang tinggal bersama di daerah tertentu disebut lembang yang juga kata yang berarti perahu.
Gambar 2.37 Rumah Toraja
49
(Sumber: http://travel.detik.com)
Gambar 2.38 Motif pada Rumah Toraja
(Sumber: http://travel.detik.com)
Rumah adatnya biasanya mempunyai hiasan-hiasan yang indah dengan motif yang dominan berada di bagian depan rumah adalah motif matahari dan ayam yang melambangkan rumah perwujudan dari kesatuan kekerabatan atau keluarga luas dari pihak suami dan istri yang pertama-tama mendirikan rumah itu. Rumah milik keluarga luas di sebut tongkonan. Ragam hias pada rumah adat ini antara lain mempunyai unsur-unsur persamaan dengan ragam hias pada kain tenunnya.
Gambar 2.39 Ragam Ukiran Toraja
50
(Sumber: http://yessy-si.blogspot.com)
Ada dua daerah penghasil tenun ikat Toraja yang dibuat oleh orang To Makki di daerah Galumpang Makki kabupaten Mamuju dan tenunan yang dibuat oleh To Rongkong di daerah kabupaten Luwu. Ciri-ciri persamaan tampak dalam unsur-unsur ragam hias yang memiliki corak Neolitikum dan Dongson.
Gambar 2.40 Ragam Hias Sekong (Abstraksi Nenek Moyang)
(Sumber: Tenun Ikat; Indonesian Ikats, 1989:53)
Khususnya
pada
kain
Rongkong
maupun
Galumpang
mempunyai motif dominan. kombinasi kait dan belah ketupat, yang merupakan abstraksi bentuk nenek moyang yang disebut sekong atau sekon. Bentuk badannya dalam bentuk belah ketupat dan kait menyerupai bentuk kedua tangan dan kaki. (Kartiwa, 1989:58)
51
Gambar 2.41 (Kiri) Motif dari Rongkong Gambar 2.42 (Kanan) Motif dari Galumpang
(Sumber: Tenun Ikat; Indonesian Ikats, 1989:55)
Dari Galumpang dan Rongkong, tenun ikat menyebar luas ke seluruh wilayah Tana Toraja. Di kedua tempat asalnya kain tenun tersebut dipakai sebagai kain untuk menyelubungi jenazah dalam upacara kematian. Di lain-lain tempat dipakai sebagai mas kawin, sebagai bagian dari pembayaran denda, digantung di tempat upacaraupacara adat maupun keagamaan. Orang Kulawi dan Bada di Sulawesi Tengah memperoleh kain tenun Toraja dengan menukar sehelai kain ini dengan satu ekor kerbau. Dipakai dalam pakaian adat mereka dilipat bersusun dua atau tiga rok bawah yang dikombinasikan dengan baju dari kulit kayu. (Kartiwa, 1989:58)
Gambar 2.43 (Kiri) Tenun Ikat dari Rongkong Gambar 2.44 (Kanan) Tenun Ikat dari Galumpang
52
(Sumber: http://ikat.us)
Pada dasarnya pola motif kain tenun Galumpang mempunyai unsur yang serupa dengan motif Rongkong dengan warna yang dominan sebagai dasar yaitu merah dengan hiasan motif geometris biru, putih dan hitam yang memenuhi bagian tengah bidang dalam bentuk saling terjalin. Bentuk khas garis geometris yang terjalin itu terutama bentuk kait dan segi empat belah ketupat. Ada juga pendapat bahwa corak kain tenun Toraja menunjukkan unsur-unsur persamaan dengan tenun orang Indian Amerika. (Larson et al, 1976:149)
C. Flores Pulau Flores dengan pulau sekitarnya antara lain Pulau Rinca, Solor, Adonara, Lembata, Lomblen, memiliki sub suku bangsa yang hidup dalam kelompok-kelompok yang memiliki bahasa dan adat istiadat yang berbeda-beda, dan menghasilkan tenun yang berbeda pula. Pada bagian barat meliputi wilayah Manggarai dan sebagian Ngada, penduduk setempat mengembangkan tenun songket, yaitu menambah pakan untuk menambah ornamen. Mulai dari sebagian Ngada sampai ke bagian timur pulau ini masyarakat memelihara dan mengembangkan cara tenun ikat.
53
Peta 2.4 Peta Pulau Flores dan Sekitarnya
(Sumber: http://goseentt.com)
Pembahasan mengenai tenun ikat dari Flores dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu: •
Manggarai
Peta 2.5 Peta Manggarai
(Sumber: http://goseentt.com) Manggarai terletak di bagian barat Pulau Flores. Tenun pada sarung Manggarai disebut Lipa Songke, biasanya menggunakan benang katun. Ragam hias dalam tenunan Manggarai pada umumnya berwarna biru hitam dan pada permukaan sarung tersusun berderet motif geometris secara rapat yang disebut kepala sarung. Lebar deretan kepala sarung
54
dengan hiasan geometris antara 30 hingga 40 cm. Selebihnya satuan motif ditempatkan dalam jarak yang agak jarang. (Therik, 1989:40)
Gambar 2.45 Lipa Songke Jok
(Sumber: http://cs.nga.gov.au)
Gambar 2.46 Sarung Manggarai
(Sumber: http://flickr.com)
Ragam hias geometris khas Manggarai bervariasi, terdiri dari silangan motif kait, belah ketupat atau intan, persegi empat, abstraksi reptil, dan segi tiga. Ragam hias kepala kain memiliki warna yang kontras dengan warna dasarnya, biasanya berwarna hijau, kuning, dan merah sehingga tampak cerah dan meriah. Orang Manggarai
55
umumnya mengembangkan dua tipe tenunan yaitu hiasan dengan motif tersebar dan berderet teratur. Ragam hias tenun Manggarai memiliki pengaruh dari tenun Sulawesi Selatan dan Sumbawa karena letaknya yang berdekatan. Selain itu juga tampak persamaan antara tenun Manggarai dengan tenun Bima dan Minangkabau yaitu berupa latar belakang kotak-kotak kecil. Hal ini karena wilayah Manggarai pada abad ke-17 merupakan wilayah taklukan Kerajaan Bima. (Therik, 1989:42) •
Ngada
Peta 2.6 Peta Ngada
(Sumber: http://goseentt.com)
Kelompok suku Ngada terletak di tengah Pulau Flores sekitar deretan pegunungan berapi. Dalam pembagian daerah administrasi pemerintahan, merupakan Kabupaten Daerah Tingkat II Ngada, dengan ibukota Bajawa. Di daerah ini hidup beberapa kelompok suku yang menghasilkan beberapa jenis bahan hias tenun yang khas yaitu suku Ngada dan daerah sekitar Boa Wae, suku Nage Keo. Corak tenunan tradisional di Soa, bagian utara Bajawa, kurang memiliki hiasan dan umumnya memiliki warna gelap. Kaum wanitanya mengenakan sarung dan blus dari tenunan benang kapas.
56
Wanita Ngada umumnya menggunakan tenunan motif gajah yang disebut Lawo Gaja dan motif kuda yang disebut Lawo Jara Meze. Karena letak Ngada yang agak terisolasi dan transportasi yang belum memadai, tenunannya tidak banyak mendapat pengaruh dari luar. (Therik, 1989:42)
Gambar 2.47 Sarung dari Ngada (Bajawa)
(Sumber: http://ikat.us)
Gambar 2.48 Selimut dari Ngada (Bajawa)
(Sumber: http://ikat.us) Masyarakat Nage Kewo menghasilkan tenun ikat yang terdiri dari tiga bagian yang disebut Lawo Hoba. Kaum wanita memakai blus berwarna hitam dengan hiasan warna merah putih. Pakaian wanita sehari-hari yaitu sarung yang diikat kedua ujungnya pada bahu kiri dan kanan. (Therik, 1989:43)
57
Kaum ningrat di Boa Wae umumnya memakai sarung dengan hiasan pakan tambahan bahan benang kapas berwarna kuning cerah di atas dasar hitam yang menghasilkan kombinasi warna indah. (Therik, 1989:43) •
Ende
Peta 2.7 Peta Ende
(Sumber: http://goseentt.com)
Ende terletak di bagian tengah Pulau Flores. Melalui perdagangan, Ende dikenal oleh bangsa Portugis, Belanda, dan suku-suku Sumba, Sulawesi, dan Sawu. Hubungan dagang ini mengakibatkan terjadinya hubungan kebudayaan antar suku. Di bidang tekstil tradisional, masyarakat Kabupaten Ende mengembangkan tenun ikat. Ciri hiasan pada tenunan Ende adalah motifnya yang kecil, halus, dan rapi. Motif tenun ikat yang dipakai oleh wanita dikenal dengan Zawo Nggaja, bercorak kuda sedangkan pria menggunakan tenun polos berwarna biru tua dengan garis halus biru muda. (Therik, 1989:44) Pengaruh luar yang jelas dalam ragam hias tenunan Ende adalah pengaruh dari Sumba Timur. Sebaliknya di Waingapu, Sumba Timur, tenun corak Ende berkembang dan dikenal dengan nama sarung Ende atau Lau Kawau. Selain itu
58
tenun Ende juga terpengaruh oleh motif patola yang rumit. Motif patola umumnya dipakai oleh kaum bangsawan. Warna dominan tenun Ende adalah merah cokelat, dengan hiasan abstraksi manusia, kadal, kupu-kupu, dan belalang menjadi hiasan yang khas. (Therik, 1989:45)
Gambar 2.49 Sarung dari Ende
(Sumber: http://ikat.us)
Gambar 2.50 Selendang dari Ende
(Sumber: http://ikat.us) •
Sikka Daerah kabupaten Sikka terletak di sebelah timur Ende dan berbatasan dengan Kabupaten Flores Timur. Gaya tenun ikat Sikka terdiri dari empat atau lebih jalur lebar berwarna hitam dengan hiasan abstrak reptil dan bentuk geometris. Di sekitar daerah Nita dan Bola, warna dasar yang disukai adalah
59
biru dan putih, dengan hiasan gambar bunga, kuda, ayam, dan manusia. Sesuai letaknya maka nampak ada pengaruh motif tenunan dengan wilayah sekitarnya seperti Flores Timur. (Therik, 1989:46)
Peta 2.8 Peta Sikka
(Sumber: http://goseentt.com)
Busana wanita dengan gaya Sikka terdiri dari sarung yang disebut Utan(ng). Sarung tenun ini memiliki warna dasar cokelat tua, cokelat muda, biru, dan abu-abu. Sarung dipakai mulai dari pinggang sampai mata kaki dan lipatannya di depan agak pinggir. Baju menyerupai baju kurung, bagian leher bulat dengan sedikit belahan di depan berbentuk huruf V. Untuk pesta, wanita menggunakan sarung dari sutera atau sutera kembang. Cara memakainya yaitu dengan memasukkan melalui leher disampirkan ke bahu sebelah kanan sehingga menutupi lengan. Untuk menguatkan kain diikat di depan dan disisihkan lubang untuk mengeluarkan tangan kanan. (Therik, 1989:47)
Gambar 2.51 Utang
60
(Sumber: http://ikat.us)
Gambar 2.52 Lipa
(Sumber: http://ikat.us)
Pria Sikka menggunakan sarung tenun yaitu Lipa dan kemeja putih. Sarung dikenakan di atas kemeja mulai dari batas pinggang hingga mata kaki, dilipat di tengah kemudian digulung di pinggang agar kuat. Selendang tenun ikat untuk pria dikenakan mulai dari belakang kiri kanan sama panjang kemudian ditarik ke depan, bagian kiri disampirkan ke bahu kanan dan bagian kanan disampirkan ke bahu kiri sehingga di bagian dada berbentuk tanda X dan ujung menjuntai ke belakang. (Therik, 1989:47) Tenun ikat yang terkenal adalah Otang Lema Jalang yang terdiri dari ragam hias abstraksi manusia menunggang kuda dari tampak samping, abstraksi ayam, bintang segi enam, garis lekuk, dan cahaya matahari pagi. Ragam hias Sikka
61
umumnya disusun berderet dalam jalur memanjang. (Therik, 1989: 47)
Gambar 2.53 Wanita Sikka Menata Benang Sebelum Ditenun
(Sumber: http://ikat.us)
•
Flores Timur
Peta 2.9 Peta Flores Timur
(Sumber: http://goseentt.com)
Kabupaten Flores Timur memiliki beberapa pulau yaitu Adonara, Solor, dan Lembata. Daerah ini sangat terkenal karena terdapat benteng peninggalan Portugis tahun 1556 di Lahayong Pulau Solor, dan menjadi basis perkembangan agama Katolik.
62
Walaupun daerah ini terdiri dari gunung berapi dan bukit-bukit, pengembangan seni tenun ikat sebagai tekstil tradisonal tetap terpelihara dan merupakan bagian dari kelengkapan budaya setempat. Tenun ikat suku bangsa Lamaholot berfungsi sebagai mas kawin dan pemberian penghormatan tanda duka cita bagi keluarga yang meninggal, terutama orang tua yang dihormati. Masyarakat juga sangat menghargai tenun ikat. Biasanya mereka membungkus jenazah dengan tenun ikat yang terbaik sebagai pernyataan kasih sayang dan penghormatan bagi orang yang telah meninggal. (Therik, 1989:49) Di Pulau Adonara atau Lembata terdapat sarung adat tenun ikat yang sangat lebar, terdiri dari beberapa lembar tenunan yang dijahit menjadi satu sarung besar. Sarung ini sangat bernilai pada perundingan adat dalam rangka pemberian perkawinan antara keluarga pria dan wanita. (Therik, 1989:48) Warna khas tenun ikat di Lembata yaitu biru dan cokelat, dengan gambar geometris, meander huruf S, dan adaptasi motif Patola. (Therik, 1989:49)
Gambar 2.54 Kewatek (Sarung) Lembata
(Sumber: http://ikat.us) Gambar 2.55 Sarung dari Alor
63
(Sumber: http://ikat.us)
Gambar 2.56 Sarung dari Solor
(Sumber: http://ikat.us)
D. Timor
Peta 2.10 Peta Timor Barat
(Sumber: http://goseentt.com)
64
Pulau yang terbesar di wilayah Nusa Tenggara Timur yaitu Timor. Pulau Timor terdiri dari Timor Barat yang merupakan bagian Negara Republik Indonesia, dan Timor Timur atau Timor Leste. Timor Barat mempunyai ciri-ciri alam yang terdiri dari padang savana yang luas denagn bukit-bukit dan gunung-gunung, serta hutan-hutan primer dan sekunder. Mata pencaharian penduduk Timor Barat pada umumnya berladang menanam jagung, padi huma, kopi, tembakau, ubi kayu, dan sayur-mayur. Mereka juga berternak yang merupakan mata pencaharian yang penting. Jenis ternaknya antara lain kerbau, sapi, kuda, babi, kambing dan unggas. Jenis pekerjaan kerajinan tangan yang ada misalnya anyam-anyaman dan membuat hiasan dari perak, dan menenun. Hasil tenunannya dipakai untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri dan ada di antaranya pekerjaan yang hasilnya dibeli oleh pedagang-pedagang tengkulak yang menjual belikan ke luar Timor. Perdagangan kain-kain Timor ke luar Timor sudah lama dikenal terutama ke daerah-daerah yang tidak menenun kain yaitu antara lain ke Irian. Bahkan di dalam sejarah dicatat bahwa pernah sobekan-sobekan kain Timor diapakai juga sebagai mata uang sebagai alat tukar yang sangat berharga. Jenis-jenis kain Timor dulu dibuat dengan teknik ikat dengan pewarnaan asli dari tumbuh-tumbuhan tetapi sekarang dipakai warna sintetis. Disamping teknik ikat juga dikenal kain tenun dengan ragam hias pakan tambahan. Ciri khas kain tenun ikat Timor Barat ini mempunyai jalur besar di tengah dengan ragam hias ikat dan motif yang dipakai antara lain burung dan kuda yang banyak di sekitar lingkungan mata pencaharian mereka. Terdapat juga motif ikat dengan hiasan jalurjalur kecil seperti yang terdapat pada tenun ikat dari Sawu, Roti, dan Flores. (Kartiwa, 1989:80)
65
Gambar 2.57 Selimut Ikat dari Timor (Atoni)
(Sumber: http://ikat.us)
Gambar 2.58 Selimut Ikat dari Timor
(Sumber: http://ikat.us)
Selain itu ada beberapa tenun ikat Timor Barat dengan ragam hias yang menyerupai ragam hias yang terdapat pada kain kapal Lampung yaitu motif antropomorf (personifikasi) dengan kepala dan tutup kepala berbentuk segi empat, bentuk ini juga menyerupai bentuk kepala burung. Dalam kepercayaan orang Atoni, orang yang sudah meninggal akan menjelma menjadi burung, bahkan burung juga menjadi salah satu wujud totem mereka. (Gittinger, 1979:176)
66
Gambar 2.59 Selimut Ikat dari Timor dengan Motif Ayam
(Sumber: http://ikat.us)
E. Sawu, Rote, dan Ndao
Peta 2.11 Peta Sawu, Rote, dan Ndao
(Sumber: http://tenunikat-ntt.blogspot.com)
Rote, Sawu (atau Sabu), dan Ndao merupakan tiga pulau yang berada di antara Pulau Sumba dan Timor, yang walaupun menunjukkan ciri-ciri kebudayaan yang berbeda-beda tetapi di dalam motif-motif kain tenunnya saling berpengaruh satu sama lain. Di daerah ketiga pulau ini, terdapat anggapan bahwa seorang laki-laki harus tahu bagaimana memperbaiki dan memasang atap
67
rumahnya sama pentingnya bagi seorang wanita yang harus tahu bagaimana cara menenun dan membuat pakaian. Menurut dongengdongeng suci, pengetahuan membuat rumah dan menenun diturunkan oleh dewa pencipta yang sama. (Kartiwa, 1989:82) Rote merupakan pulau yang paling terbuka menerima pengaruh-pengaruh dari luar pulau Rote yang pertama membuka kontak dengan bangsa Eropa pada abad 17 ketika itu datang bangsa Portugis mendirikan misi penyebaran agama Kristen. Bahkan perhubungan perdagangan meluas dengan pedagang-pedagang Gujarat di mana dalam hubungan perdagangan ini hanya golongan elit atau golongan atas dari masyarakat Rote yang lebih banyak berkomunikasi dengan unsur-unsur dari luar.
Gambar 2.60 Selendang Ikat Rote dengan Motif Patola Bunga Bercabang
(Sumber: http://ikat.us)
Barang yang diperdagangkan misalnya hasil rempah-rempah yang ditukar dengan minuman keras, patola dan lain-lainnya.
68
Sehingga kain-kain tenun patola hanya dipakai oleh golongangolongan dan bangsawan pada waktu itu. Namun ketika hubungan perdagangan itu menurun dan patola menjadi sukar didapat, maka mulailah dicoba untuk meniru motif patola untuk pakaian kaum bangsawan di Rote. Lama kelamaan motif ini ditiru terus di ketiga pulau, Rote, Sawu dan Ndao. Diperlukan keahlian khusus dalam menerapkan motif patola yang rumit. Motif bunga yang bersudut delapan dalam lingkaran, merupakan motif yang tetap dipertahankan untuk pakaian kalangan bangsawan. Dalam Kartiwa (1989:82), Gittinger menyebutkan bahwa di Sawu masyarakatnya mempunyai bentuk organisasi kemasyarakatn yang kompleks dimana setiap desa dihuni oleh anggota dari satu klen yang sama. Setiap Individu akan tahu dan mengenal klen atau lineage dari pihak ayahnya di samping ia juga harus mengenal keanggotaan kelompok kerabat dari pihak ibunya. Keanggotaan dari dua paroh masyarakat ini disebut sistem moiety, yang dikenal sebagai “kumpulan bunga”. Ada dua macam kelompok bunga yaitu Hubi Ae, kelompok besar dan Hubi Iki, kelompok kecil. Tiap kelompok bunga ini terbagi lagi dalam enam sub kelompok yang disebut Wini atau biji-bijian. Dalam hal menelurusi hubungan kekerabatan pada umumnya setiap laki-laki hanya mengenal kedudukannya dalam hubungan kekerabatan dalam batas kelompok besar Hubi Ae saja, sedangkan setiap individu perempuan lebih banyak mengenal hubungan kekerabatan secara mendetail dalam keanggotaan Wini yaitu biji atau benih. Hal ini penting dalam hubungannya dengan sistem perkawinan, upacara-upacara sekitar lingkaran hidup dan dalam upacara kematian. Sistem ini tercermin dalam pola motif pada kain tenun yang dibuat oleh wanita Sawu. Pada kain yang dipakai oleh wanita tampak ada
jalur
besar
dengan
motif
bunga
yang
melambangkan
keanggotaanya dalam kelompok bunga besar dan juga kelompokkelompok benih di mana ia termasuk sebagai anggotanya. Untuk kain tenun dengan motif yang mencerminkan suatu keanggotaan dari kelompok klen besar biasanya dilambangkan juga dalam warna yaitu biru tua dan merah terang, sebaliknya kain tenun
69
dengan motif yang mencerminkan keanggotaan dari klen kecil atau kelompok bunga kecil warnanya merah buram.
Gambar 2.61 Selendang Ikat Sawu Hubi Ae
(Sumber: http://ikat.us)
Gambar 2.62 Selendang Ikat Sawu Hubi Iki
(Sumber: http://ikat.us)
70
Rote yang sesuai dengan sifat masyarakatnya yang lebih terbuka, di samping tetap mempertahankan unsur-unsur yang lama juga banyak menerima hal-hal yang baru. Sehingga kain tenun Rote sebenarnya sangat kompleks untuk di kenal sebab motif-motifnya banyak arti. Salah satu ciri kain tenun Rote tersusun dalam jalur simetris, bagian jalur tengah lebar dan dicelup hitam atau gelap. Sedangkan Sawu lebih asimetris. Motif bunga pada kain Rote biasanya bunga dengan daun-daun kecil serta kuncup bunga dengan batang yang saling terjalin. (Kartiwa, 1989:84) Motif tenun ikat di daerah Ndao mengandung unsur motif tenun ikat dari Rote dan Sawu karena banyak orang Ndao yang bekerja secara musiman di pulau Rote dan Sawu. Penenun Ndao juga sering mengerjakan pesanan kain tenun pulau Rote dan Sawu.
Gambar 2.63 Selimut Ikat Ndao
(Sumber: http://ikat.us)
F. Sumba Pulau Sumba terletak di bagian selatan dari deretan kepulauan Nusa Tenggara. Pulau ini agak gersang, berupa alam savana, banyak
71
tumbuh hutan belukar dan padang pengembalaan yang luas. Namun dibalik kegersangan tersebut tumbuh seni tenun yang indah. Pekerjaan menenun biasanya merupakan pekerjaan sambilan untuk keperluan sehari-hari, upacara adat, dan rangkaian acara ritual. Pekerjaan umum bagi masyarakat setempat adalah beternak, nelayan, dan bercocok tanam. Hasil alam yang ada misalnya lontar, kelapa, kapur, dan garam.
Gambar 2.12 Peta Sumba
(Sumber: http://goseentt.com)
Walaupun sebagian besar penduduk setempat memeluk agama Kristen, tingkah laku dan alam pikiran penduduk dipengaruhi oleh aliran kepercayaan leluhur yang disebut Marapu, yaitu para leluhur yang didewakan. Pada kepercayaan Marapu juga dikenal lapisan sosial nyata yang antara lain dibedakan dari jenis pakaian tenunnya. Dulu terdapat tiga golongan sosial yang dikenal masyarakat Sumba, yakni golongan bangsawan yang disebut Maramba, golongan rakyat biasa yang disebut Kabihu, dan golongan budak yaitu orang-orang yang ditangkap sewaktu perang. Golongan budak ini tidak boleh sama sekali mengenakan tenun ikat. (Therik, 1989:75) Pulau Sumba dibagi menjadi dua provinsi, yaitu Sumba Barat dan Sumba Timur. Tenun ikat dari kedua provinsi ini memiliki perbedaan yang terletak pada motifnya. Biasanya motif Sumba Barat
72
lebih statis dan sederhana dengan penggunaan motif garis-garis, anting-anting, geometris, dan flora. Sedangkan Sumba Timur memiliki motif yang lebih megah dan dinamis dengan penggunaan motif hewan seperti rusa, singa, burung, ikan, dan pohon tengkorak.
Gambar 2.64 (Kiri) Hinggi Sumba Barat Gambar 2.65 (Kanan) Hinggi Sumba Timur
(Sumber: http://ikat.us)
Gambar 2.66 Lau Pahudu
(Sumber: http://imamuseum.org)
73
Terdapat jenis tenunan Sumba yang umum dipakai, berbentuk segi empat memanjang yang digunakan sebagai sarung, sepasang dengan kain yang berbentuk sama yang dipakai di bahu. Tenun tersebut disebut Hinggi untuk laki-laki dan Lau untuk perempuan. (Kartiwa, 1989) Dari Therik (1989:76), Marie J. Adams mengungkapkan macam ragam hias tenun Sumba seperti berikut: •
Figur Manusia Figur manusia yang sedang berdiri yang didapatkan pada tenunan-tenunan sumba ditandai dengan adanya sangkarsangkar tulang iga yang berbentuk kerangka, lutut yang ditekuk sedikit, dan lengan yang terangkat ke atas seperti waktu bersembahyang atau Akimbo. Pada sejumlah tenunan, figur laki-laki dan perempuan memiliki hiasan kepala. Laki-laki memakai lamba pada bagian depan kepala atau turban dengan hiasan yang berbentuk seperti pohon, dan yang perempuan memakai sisir kulit penyu berukir atau topi berpuncak. Hiasan-hiasan ini menunjukkan bahwa figur-figur tersebut mungkin merupakan peserta dan penari pada acara-acara penting, terutama yang melaksanakan upacara-upacara keagamaan pada penguburan dari maramba (golongan ningrat).
Gambar 2.67 Figur Manusia dengan Hiasan Kepala (Sumba Timur)
(Sumber: http://imamuseum.org)
74
•
Pohon Tengkorak Pohon tengkorak merupakan rekayasa Sumba yang segera dapat dikenali. Menurut asal usulnya, dahulu di desa-desa besar (Paraing), sebuah pohon tengkorak yang sebenarnya (Andung), yang secara harafiah tiang, tonggak, atau galah, lengkap dengan kepala-kepala penjahat yang diperoleh dari peperangan terpancang di depan setiap rumah keluarga yang berpengaruh. Andung ini merupakan persembahan kepada Marapu (Dewa Perang).
Gambar 2.68 Motif Pohon Tengkorak
(Sumber: Kartiwa, 1989:69)
• Tanaman Hidup Dalam tenunan dikenal beberapa jenis tanaman hidup antara lain pohon kelapa, pohon sukun, pohon enau, dan pohon kapok. •
Udang Dalam tenunan terdapat dua jenis udang yaitu Kurangu Blau atau udang laut dan Kurangu Luku atau udang air tawar. Kedua jenis udang ini pada tenunan dilukis dalam bentuk figur yang besar dengan penjepit. Ciri-ciri lain adalah sebuah moncong, sepasang penjepit yang salah satunya berukuran lebih kecil, dan alat perenang kecil yang dapat digunakan untuk berenang dan menyimpan telur.
75
• Cumi-cumi Cumi-cumi pada tenunan digambar mirip sekali dengan cumicumi asli, yaitu dengan kepala besar dan delapan lengan yang menjulur dengan panjang yang tidak sama. •
Kuda Laut Kuda laut yang dalam bahasa daerah Njara Tehiku, ditempatkan pada jalur pembingkai atau border tenunan.
•
Ikan Ikan sebelah atau Hijang Hakapapa kerap muncul dalam tenunan Sumba. Menurut kepercayaan masyarakat Sumba, roh manusia dan para pendiri suku menampakkan diri sebagai ikan tersebut, oleh karenanya ikan sebelah tidak dimakan oleh orang Sumba. Selain itu terdapat pula jenis ikan lain, baik ikan tawar maupun laut.
•
Kalajengking Kalajengking pada tenunan biasanya digambarkan berupa tampak atas dengan penjepit dan ekor yang melengkung ke satu sisi.
•
Buaya dan Kadal Sama seperti kalajengking, buaya dan kadal biasanya juga digambarkan berupa tampak atas. Dalam tenun ada satu ciri yang membedakan buaya dan kadal yaitu buaya memiliki gigi sedangkan kadal tidak.Pada tampak atas, satu gigi besar muncul di salah satu sisi kepala pada buaya.
•
Rusa Dalam tenunan seringkali rusa digambarkan berada dalam sebuah perburuan. Misalnya pemandangan penunggang kuda yang sedang menombak rusa yang telah dikelilingi anjinganjing si pemburu.
•
Ular Dalam tenun Sumba, kaki-kai kecil yang terdapat pada ularular bukan merupakan kekeliruan karena beberapa ular besar, seperti phyton di Sumba memiliki bekas-bekas kaki. Sekalipun
76
demikian, gambar-gambar pada tenunan biasanya memiliki ciri khayal seprti tanduk-tanduk di kepala atau buntut bercabang. Ular naga bermahkota dikenali sebagai jenis ular yang merupakan suatu makhluk fantasi yang mirip naga di daerahdaerah lain di Indonesia. Terdapat juga ular-ular kecil bermahkota pada pita-pita pembingkai kain tenun.
Gambar 2.69 Motif Ular Naga (Sumba Timur)
(Sumber: ikat.us)
•
Kuda Kuda dalam tenunan selalu dalam sikap kepala mendongak dan buntut naik ke atas sebagaimana yang juga dilakukan kuda Sumba. Kuda Sumba merupakan jenis kuda kerdil Mongol.
Gambar 2.70 Motif Kuda (Sumba Timur)
(Sumber: michaelbackmanltd.com)
77
•
Singa Ornamen bercorak singa yang paling sering di Sumba adalah berupa sepasang singa yang berdiri pada kaki belakangnya. Sebuah ciri yang tetap dari bendera-bendera kapal di akhir abad ke 16, ketika Belanda pertama kali berlayar ke Indonesia, dan kemudian VOC terus memakainya pada bendera mereka. Juga pada tongkat-tongkat kebesaran mereka, sebagaimana juga
bendera-bendera
provinsi
yang
memberikan
kelengkapan/kesamaan dengan kapal-kapal yang berdagang di daerah-daerah tersebut. VOC juga membagikan medali-medali dengan lambang singa berdiri pada kaki belakangnya, kepada penguasa-penguasa setempat. Corak ini juga terdapat di mata uang logam dari Belanda, yang beredar luas di Indonesia pada saat itu.
Gambar 2.71 Koin VOC
(Sumber: http://ebay.com)
Gambar 2.72 Motif Singa (Sumba Timur)
(Sumber: http://ikat.us)
78
•
Kerbau Kerbau di Sumba merupakan lambing gengsi dan kekayaan serta simbol kehidupan masyarakat setempat. Kerbau sering dijadikan sebagai persembahan untuk Marapu dalam upacaraupacara adat seperti pada upacara kematian.
•
Burung Burung merupakan corak yang paling sering dan paling banyak ragamnya pada tenun Sumba Timur. Figur burung pada tenunan Nampak digambarkan dalam bentuk dasar ayam. Beberapa digambarkan memiliki paruh melengkung ke bawah, seperti kakatua dan jenis burung buas.
Gambar 2.73 Motif Berbagai Binatang pada Tenun Ikat Sumba Timur
(Sumber: http://homeinsumba.com)
•
Ayam Ayam dalam bahasa daerah disebut Manu. Keluaerga unggas ini memiliki ciri-ciri khas seperti jambul, gelambir, ekor yang meninggi, tiga tumit depan, dan satu tumit belakang. Tenunan untuk laki-laki sering memiliki figur ayam aduan. Taji yang digunakan pada gambar ayam aduan diletakkan pada bagian lututnya. Figur tersebut menunjukkan pentingnya permainan adu ayam dalam aspek ekonomi masyarakat setempat. Selain
79
itu ayam juga merupakan binatang peramal dan salah satu hewan kurban untuk persembahan. Selain itu juga terdapat ayam jantan berkepala dua yang dalam bahasa daerah disebut Manu Makadambungu Katiku. Jenis ayam lainnya adalah ayam hutan atau Kaluki dalam bahasa daerah. Ayam ini ditandai dengan ekor lurus, tanpa jambul atau gelambir, hidup di hutan dimana ia membangun gundukan besar untuk menyimpan telurnya. Orang-orang Sumba mencari telurnya untuk dimakan untuk kesehatan tubuh. •
Corak Skematis Terdapat dua bentuk dasar yang umum, yaitu corak divergen (memancar keluar) dan konvergen (memusat ke dalam). Corak divergen memiliki beberapa motif namun yang umum adalah terdiri dari sebuah pusat dengan empat cabang sambungan memancar. Sebaliknya, corak konvergen memiliki cabangcabang sambungan yang memusat ke satu titik di tengah.
Gambar 2.74 Motif Skematis pada Hinggi
(Sumber: http://threadsoflife.com) •
Patola Patola merupakan jenis kain ikat ganda yang berasal dari India. Pedagang-pedagang Gujarat yang memperkenalkan kain tersebut
kepada
orang-orang
Nusa
Tenggara.
Seiring
menurunnya hubungan perdagangan, motif pada kain patola yang indah mulai ditiru masyarakat Nusa Tenggara.
80
Gambar 2.75 Kain Patola India
(Sumber: http://imamuseum.org)
Orang-orang Sumba menggunakan istilah Patola untuk sejumlah motif-motif ekstensi. Pada patola, beberapa motif skematis berkombinasi menjadi satu kesatuan yang rumit, seperti belah ketupat dengan spiral dan bentuk bunga dengan empat
daun
dihubungkan
dengan
garis-garis
sehingga
terbentuk seperti jala melingkupi permukaannya. Keragaman warna menambah kerumitannya.Tenun Sumba dengan motif Patola Ratu memiliki peran penting dalam upacara-upacara keagamaan, misalnya upacara penguburan seorang bangsawan atau Maramba.
Gambar 2.76 Tenun Ikat Sumba Motif Patola Ratu
(Sumber: http://ikat.us)
81
G. Maluku Maluku terletak di sebelah timur Sulawesi dan di sebelah barat Irian Jaya. Provinsi Maluku dengan ibukotanya Ambon terdiri dari tiga kabupaten yaitu kabupaten Maluku Utara, Maluku Tengah dan Maluku Tenggara. Penduduk di daerah pantai-pantai pada umumnya adalah campuran dari penduduk asli dengan penduduk pendatang berasal dari Bugis, Makasar, Buton, dan banyak orang Jawa yang sudah lama menetap di Maluku. Sedangkan penduduk yang tinggal di pegunungan biasanya merupakan penduduk yang asli. (Kartiwa, 1989:85)
Peta 2.13 Peta Maluku
(Sumber: http://en.wikipedia.org)
Dahulu Maluku dikenal dengan nama spice islands, terutama oleh Bangsa Eropa karena hasil rempah-rempah seperti cengkeh dan pala yang melimpah. Mata pencaharian penduduk antara lain nelayan, bercocok tanam menanam berbagai jenis rempah, sawit dan cokelat, sedangkan sagu yang menjadi makanan pokok mereka tumbuh di
82
daerah rawa dengan tidak ditanam. Walaupun beras kemudian mulai menggantikan makanan pokok mereka, namun salah satu makanan khas mereka adalah tepung sagu yang menjadikan bubur kental dimakan dengan sayur ikan yang disebut papeda. Salah satu hasil kerajinan tangan yang berhubungan dengan lingkungan alamnya yang dikelilingi lautan yaitu berbagai jenis hasil kerajinan kerang dan mutiara. Perahu dari cengkeh seringkali merupakan hasil kerjanan tangan yang khas dari Malulu dimana kedua-duanya merupakan unsur yang penting bagi msayarakat Maluku. Bahkan unsur perahu merupakan salah satu motif pada kain tenun ikat dikenal yang disebut abo, walaupun bentuknya lebih menyerupai rangkain salur daun. (Joseph, 1989) Dalam agama dan kepercayaan, walaupun pada umumnya masyarakat Maluku sebagaian besar beragama Kristen dan Islam namun terdapat juga unsur-unsur kepercayaan kepada roh-roh leluhur yang dihormati agar tidak mengganggu mereka yang hidup di dunia. Penghasil tenun ikat di Maluku diantaranya adalah Pulau Babar, Kisar, Lakor, Wetar, dan Tanimbar.
Gambar 2.77 Sarung Tenun Ikat dari Pulau Babar
(Sumber: http://ikat.us)
83
Ada beberapa motif khas yang diterapkan pada kain tenun ikat angara lain: Motif ruas-ruas bambu, bermacam-macam ikan yang disebut iyaan, bermacam-macam flora diantaranya yang dominan pohon hayat, burung, babi dan orang. Pada umumnya motif-motif itu terdapat pada jalur-jalur kecil. (Kartiwa, 1989:87) Kain tenun dari pulau Kisar salah satu diantaranya mempunyai motif orang dengan kedua tangan diangkat ke atas, dan didekatnya terdapat motif pohon hayat. Kain dengan motif orang ini disebut kain sinun, menurut keterangan motif orang ini melambangkan kedaan manusia setelah mengalami kematian dan biasanya kain ini dipakai sebagai kain kafan di dalam upacara kematian. Pada waktu sekarang kain sinun ini juga dipergunakan di dalam upacara-upacara adat yang dipakai untuk kain sarung wanita. Unsur motif orang ini menunjukkan persamaannya dengan motif Sumba walaupun ada perbedaan yang jelas yaitu motif kain Sumba dalam bentuk yang besar. Kain tenun Kisar dalam hal ini lebih banyak persamaannya dengan kain tenun ikat Rote, Sawu dan Flores dimana motif-motif itu terdapat di dalam jalur yang relatif kecil di antara jalur-jalur geometris lainnya. Pada kain Kisar motif orang dan pohon hayat ini terdapat pada jalur yang terakhir yang relatif lebih besar daripada jalur-jalur geometris di bidang tengahnya dan setelah jalur akhir ini terdapat jalur hitam polos di kedua ujungnya. (Kartiwa, 1989:87)
Gambar 2.78 Sarung Tenun Ikat Sinun dari Pulau Kisar
(Sumber: http://ikat.us)
84
Warna kain tenun sinun ini biasanya gelap warna hitam atau biru tua, terdapat juga warna-warna meriah seperti merah dan kuning untuk dipakai pada upacara-upacara pesta.
Gambar 2.79 Sarung Tenun Ikat dari Pulau Lakor
(Sumber: http://ikat.us)
Gambar 2.80 Sarung Tenun Ikat dari Pulau Tanimbar
(Sumber: http://ikat.us)
85
2.1.3.2 Tenun Ikat dalam Desain Kontemporer Keberadaan tenun ikat di Indonesia memang belum setenar batik. Namun perlahan tapi pasti tenun Indonesia pun mulai mendapat pengakuan internasional. Hal ini dapat dilihat dari diterimanya ajuan pemerintah Indonesia yang mengajukan tenun Sumba sebagai warisan tak benda bangsa Indonesia ke organisasi UNESCO. Selain itu PBB juga memberika penghargaan Women’s Champion Fashion for Development Awards 2012 kepada Okke Hatta Rajasa, selaku ketua Cita Tenun Indonesia atas usahanya mengangkat derajat para penenun, mengembangkan keahlian mereka, menjadikan mereka sebagai tenaga pengajar, hingga mendatangkan pembeli bagi penenun itu sendiri. Cita Tenun Indonesia (CTI) merupakan asosiasi wanita Indonesia yang tentunya mencintai warisan seni budaya bangsa khususnya tenun Indonesia. Asosiasi ini memiliki tujuan dalam hal pelestarian, pengembangan-pembinaan, dan pemasaran kain tenun Indonesia. Asosiasi ini juga beranggotakan desainer-desainer mulai dari fashion, tekstil, interior, hingga produk. Desainer-desainer ini turut mengaplikasikan tenun khas Indonesia pada rancangannya dengan sentuhan yang lebih modern sehingga dapat lebih mudah menarik perhatian masyarakat.
Gambar 2.81 Penerapan Tenun Ikat Sumba pada Interior
(Sumber: Martha Stewart Living Indonesia, 2012:50)
86
Gambar 2.82 (Kiri) Penerapan Tenun Ikat Sumba pada Kursi Gambar 2.82 (Kanan) Penerapan Tenun Ikat Sumba pada Tas
(Sumber: Martha Stewart Living Indonesia, 2012:51)
Gambar 2.83 Busana dari Tenun Ikat NTT dengan Sentuhan Kontemporer
(Sumber: http://female.kompas.com)
Selain itu, ada juga Oscar Lawalata menerapkan tenun ikat NTT pada desainnya. Ia mengembangkan dan melatih para penenun yang berasal dari NTT untuk membuat kain tenun ikat yang lebih tipis dari biasanya. Hal ini bukan berarti kain tenun tebal adalah jelek, namun dari sisi industri dan pasar, kain tipis lebih banyak dicari dan dipakai, bukan hanya menjadi hiasan di dalam lemari. Ide membuat tenun yang tipis lahir ketika Oscar menyadari penenun sulit menjual kain tenun yang tebal dan berwarna monoton ke masyarakat luas,
87
kecuali sebagai suvenir dan koleksi. Tenun ikat NTT terlalu panas jika dijadikan pakaian sehari-hari di iklim tropis dan sulit dikreasikan. Padahal motifnya artistik dan tekniknya beragam dengan ciri khas masing-masing daerah. Dengan tetap mempertahankan motif-motif lama, Oscar ingin masyarakat Indonesia lebih banyak orang tahu tentang motif-motif ikat Indonesia yang cantik khususnya dari NTT, kenal falsafahnya, dan mencintai keindahannya sebesar orang-orang NTT mencintai dan bangga akan kain mereka. (Galikano, 2014:176)
2.2 Tinjauan Khusus
2.2.1 Data Survei Lokasi
1.
Museum Tekstil
Gambar 2.85 Tampak Depan Gedung Utama Museum Tekstil
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2014)
Museum Tekstil Jakarta merupakan sebuah lembaga pendidikan kebudayaan yang memiliki cukup banyak koleksi tekstil tradisional Indonesia. Museum ini berlokasi di Jalan Aipda. KS. Tubun No.2-4, Tanah Abang, Petamburan, Jakarta Pusat, Indonesia. Buka setiap Selasa sampai dengan
88
Minggu pukul 09.00 – 15.00. Hari Senin dan hari besar libur. Hari Senin merupakan hari perawatan benda-benda koleksi museum.
A. Sejarah dan Latar Belakang Museum Tekstil Jakarta didirikan pada tahun 1976 sebagai hasil dari upaya bersama, dipelopori oleh Gubernur Jakarta saat itu, Ali Sadikin. Museum ini didirikan untuk menghormati Ibu Tien Soeharto (Istri Presiden Soeharto) yang diresmikan pada tanggal 28 Juni 1976. Pendirian museum dilatarbelakangi oleh menurunnya kuantitas dan kualitas penggunaan dan pemahaman tekstil tradisional pada pertengahan Era 1970-an. Beberapa bahkan menjadi sangat langka. Hal ini memotivasi beberapa warga terkemuka Jakarta untuk mendirikan sebuah lembaga yang didedikasikan untuk pelestarian dan penelitian tekstil Indonesia. Para Himpunan Wastraprema (Masyarakat Pecinta Tekstil) menyumbangkan koleksi dasar yang terdiri dari 500 tekstil berkualitas tinggi. Kemudian pemerintah Provinsi menyediakan akomodasi sebuah bangunan tua di daerah Tanah Abang Jakarta. Inti dari bangunan Museum Tekstil dibangun pada awal abad ke-19 oleh seorang warga Prancis dengan gaya arsitektur Art and Craft sebagai landhuis (villa). Beberapa puluh tahun kemudian dijual kepada Abdul Aziz Al Mussawi Katiri, seorang Konsul Turki di Jakarta. Namun pada tahun 1942 keluarga Al Musawwi Katiri menjualnya ke Dr Karel Christian Crucq. Pada awal 1945 digunakan sebagai markas dari "Perintis Front Pemuda" dan Angkatan Pertahanan Sipil dalam perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan yang baru diproklamasikan Indonesia. Untuk alasan yang terakhir ini, bangunan ini terdaftar sebagai monumen bersejarah. Pada tahun 1947 properti dimiliki oleh Lie Sion Pin yang disewakan kepada Departemen Sosial yang diubah menjadi sebuah lembaga untuk orang tua. Pada tahun 1962 properti diakuisisi oleh Departemen Sosial. Awalnya digunakan sebagai kantor, itu berubah menjadi sebuah asrama karyawan pada tahun 1966. Akhirnya pada tahun 1975, secara resmi diserahkan kepada Pemerintah DKI Jakarta Kota oleh Menteri Sosial. Gubernur Ali Sadikin memutuskan bahwa kebutuhan untuk dilestarikan tradisi tekstil Indonesia lebih besar dari kebutuhan kota untuk ruang penyimpanan arsip, yang bangunan ini
89
telah dialokasikan dan lahirlah Museum Tekstil.
B. Visi dan Misi a. Visi Museum Tekstil sebagai institusi nirlaba yang menjadi pusat pelestarian alam dan budaya, media aktivitas ilmiah, seni dan budaya, pendidikan, informasi dan rekreasi budaya pendidikan yang menjadi salah satu referensi bagi proses pembangunan bangsa. b. Misi Melaksanakan upaya konservasi dalam hal-hal yang berkaitan dengan budaya tekstil di Indonesia, melakukan inventarisasi sumber daya alam dan koleksi tekstil tradisional dari berbagai daerah di Indonesia, dilakukan dokumentasi, kegiatan penelitian dan penyajian informasi dan mengkomunikasikannya kepada masyarakat.
C. Struktur Organisasi
Bagan 2.4 Struktur Organisasi Museum Tekstil Jakarta
(Sumber: Museum Tekstil)
D. Fasilitas Berikut merupakan fasilitas-fasilitas yang ada pada Museum Tekstil Jakarta yang letaknya dapat dilihat pada site plan berikut:
90
Gambar 2.86 Site Plan Museum Tekstil
(Sumber: Museum Tekstil)
•
Huruf A menunjukkan jalan raya utama, Jl. Aipda KS. Tubun.
Gambar 2.87 Keadaan Depan Museum Tekstil Jakarta
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2014)
•
Huruf B menunjukkan Gedung Utama atau sering disebut Ruang Display, merupakan gedung yang terletak di tengah Museum Tekstil Jakarta sekaligus bangunan terbesar di museum ini. Sesuai dengan namanya, gedung ini digunakan sebagai tempat pameran tekstil Indonesia, baik yang merupakan koleksi museum, koleksi para
91
desainer, maupun masyarakat pecinta tekstil.
Gambar 2.88 a dan b Interior Ruang Display Museum Tekstil Jakarta
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2014)
Gambar 2.89 (Kiri) Interior Ruang Display Museum Tekstil Jakarta Gambar 2.90 (Kanan) Kebun Pewarna Alam
(Sumber: http://tripadvisor.co.uk)
•
Huruf C menunjukkan Kebun Pewarna Alam. Menempati lahan terbuka seluas 2.000 m2, taman ini memberikan pengetahuan mengenai berbagai tumbuhan penghasil warna untuk kain tradisional seperti African Tulip Tree, Caesarweed, dan lain sebagainya.
•
Huruf D menunjukkan ruang perkantoran yang diperuntukkan bagi karyawan Museum Tekstil Jakarta.
92
•
Huruf E merupakan ruang Laboratorium Fumigasi, yaitu tempat perawatan koleksi Museum Tekstil Jakarta.
•
Huruf F merupakan pintu masuk kendaraan ke Area Museum Tekstil Jakarta.
•
Huruf G adalah ruang serba guna yang dapat digunakan untuk seminar, rapat, atau pertemuan.
•
Huruf H dan I menunjukkan area terbuka dan kantin yang dilengkapi fasilitas kursi-kursi taman.
•
Huruf J merupakan ruang Perpustakaan yang menyimpan koleksi buku untuk studi literatur mengenai tekstil.
•
Huruf K menunjukkan Ruangan Pengenalan Wastra yang menyajikan koleksi alat tenun dari berbagai daerah dan berbagai informasi mengenai bahan baku serta proses pembuatan kain tradisional Indonesia.
•
Huruf L merupakan Lahan Parkir, dengan luas sekitar 2 hektare.
•
Huruf M menunjukkan Galeri Batik, yaitu ruang pameran koleksi batik dari seluruh Indonesia.
Gambar 2.91 Arsitektur Galeri Batik
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2014)
93
Gambar 2.92 (Kiri) Lobby Galeri Batik Gambar 2.93 (Kanan) Ruang Display Galeri Batik
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2014)
•
Huruf N adalah Musholla, ruangan untuk melaksanakan ibadah bagi pengunjung dan karyawan museum yang beragama Islam.
•
Huruf O adalah Toko Souvernir.
•
Huruf P menunjukkan Pendopo Batik, yaitu sebuah pendopo bergaya Joglo yang terletak di belakang Galeri Batik sebagai tempat workshop pembuatan batik ataupun pelatihan tekstil lainnya.
Gambar 2.94 Pendopo Batik
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2014)
E. Benda Koleksi Koleksi Museum Tekstil berjumlah 2350 koleksi yang terdiri dari 819 kain tenun, 886 koleksi kain batik, 425 kain campuran, 70 koleksi peralatan, 150 koleksi busana dan tekstil kontemporer.
94
Berikut merupakan pembagian kelompok koleksi: 1. Kelompok Koleksi Kain Tenun Kain tenun adalah semua jenis kain yang motifnya dibuat dengan cara menganyam benang-benang lungsi dan pakan untuk dijadikan kain. Kelompok tenun ini dibagi menjadi beberapa jenis: a. Kain Tenun Polos b. Kain Tenun Ikat c. Tenun Pakat Tambahan (Songket) 2. Kelompok Koleksi Kain Batik Berdasarkan tekniknya dibagi menjadi: a. Batik Tulis b. Batik Cap Sedangkan berdasarkan motifnyanya dibagi menjadi: a. Batik Pesisir b. Batik Klasik 3. Kelompok Koleksi Campuran Merupakan koleksi yang mana pembuatannya menggunakan tekhnik selain batik atau tenun seperti tempa, anyam, dsb. Terdiri dari: a. Kain Kulit Kayu atau Kain Tempa b. Kain Ikat Celup (Tye Dye) c. Aplikasi d. Baju Anyaman e. Sulaman 4. Kelompok Koleksi Peralatan Adalah semua jenis koleksi yang biasanya dipergunakan untuk proses pembatikan, pembuatan tenun, proses pembuatan benang dan pewarnaan. 5. Kelompok Koleksi Kontemporer Adalah
kelompok
koleksi
yang
bersifat
non
tradisional
atau
pengembangan dari tradisional baik bahan dasar, teknik maupun fungsinya.
Koleksi-koleksi tersebut ditata penempatannya berdasarkan wilayah asalnya. Terdapat beberapa bentuk sarana display koleksi tekstil pada Museum Tekstil Jakarta, yaitu:
95
•
Vitrin Gambar 2.95 (Kiri) Vitrin Dinding untuk Kain Tenun Gambar 2.97 (Kanan) Vitrin Tengah untuk Kain Batik Gambar 2.96 (Bawah) Vitrin Tengah untuk Alat Membatik
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2014)
•
Panel
Gambar 2.98 a dan b Panel Dinding
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2014)
96
•
Kapstok dan Platform
Gambar 2.99 (Kiri) Kapstok dan Platform untuk Display Kain Gambar 2.100 (Kanan) Kapstok dan Platform untuk Display Pakaian Jadi
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2014)
Beberapa benda koleksi yang berukuran besar cara displaynya hanya diletakkan di lantai dengan dibatasi oleh tiang-tiang pembatas agar tidak dapat disentuh oleh pengunjung, seperti pada koleksi furnitur dan aksesori interior di atas.
Gambar 2.101 a & b Display Furnitur
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2014)
F. Aktivitas Museum Di bawah ini merupakan aktivitas-aktivitas yang dilakukan Museum Tekstil Jakarta berikut penjelasannya:
97
• Perawatan Kain Tekstil Tradisional umumnya berbahan dasar organik, baik yang berasal dari tumbuhan (katun, linen), maupun yang berasal dari hewan (wool, sutera) sehingga mudah mengalami kerusakan terutama di wilayah tropis yang memiliki suhu dan kelembaban tinggi. Oleh karenanya diperlukan perawatan untuk menjaga koleksi tekstil yang dimiliki. Berikut adalah faktor yang diperhatikan dalam merawat tekstil: 1. Cahaya, menyebabkan warna pudar, kain kering dan serat menjadi rapuh. Kerusakan oleh cahaya bersifat kumulatif dan tidak dapat diperbaiki. Oleh karenanya dilakukan peminimalisiran paparan cahaya terhadap kain misalnya dengan tirai atau menutup jendela, serta tidak menggunakan sorot lampu yang kuat. Display juga perlu dirotasi secara berkala, dan jika koleksi dipindahkan harus ditutupi dengan katun. 2. Suhu dan Kelembaban, suhu yang tinggi dan sirkulasi udara yang buruk mempercepat kerusakan tekstil karena jamur dan serangga menjadi mudah berkembang biak. Suhu ideal untuk tekstil adalah 22oC – 25oC dengan kelembapan antara 50% - 60%. Untuk menjaga kelembaban udara digunakan dehumidifier ataupun silica gel atau arang. Fluktuasi suhu yang ekstrim juga dapat menyebabkan ekspansi dan kontraksi pada serat. Sehingga sebaiknya fluktuasi diminimalisir. Kipas Angin juga dapat digunakan untuk sirkulasi udara. 3. Debu dan Kotoran, dapat menyayat serat tekstil dan menyebabkan kerusakan. Oleh karenanya perlu dijaga kebersihan ruang display dan penyimpanan. Pembersihan tekstil secara berkala dengan vacuum perlu dilakukan. 4. Jamur dan Serangga merusak tekstil baik secara fisik maupun kimia. Jamur menyebabkan bercak dan melemahkan struktur tekstil karena hifanya menembus serat. Serangga memakan serat dan menyebabkan lubang pada tekstil dan residunya menyebabkan noda. Serangga yang sering merusak antara lain ngengat, kutu, rayap, kumbang dan kecoa. Oleh karenanya pada koleksi tekstil yang baru datang perlu di periksa keberadaan jamur dan serangga agar tidak menyebar ke tekstil lain. Apabila ada jamur, selama 1-2 jam kain dijemur dibawah matahari
98
setelah itu partiker jamur dibersihkan dengan kuas dan vacuum. Setelah itu jamur dan serangga dapat di basmi dengan cara freezing atau fumigasi. 5. Penyimpanan Tekstil, agar tekstil tidak cepat rusak perlu diperhatikan cara penyimpanannya. Untuk testil yang berukuran besar dilakukan penggulungan diatas pipa PVC yang dilapisi busa dan kain blacu steril. Untuk tekstil berukuran kecil disimpan dengan cara dihampar dan dibungkus dengan kertas bebas asam. Untuk tekstil yang berbentuk busana, dapat digantung dengan menggunakan hanger. Sedangkan untuk tekstil yang memiliki ornamen berat
dapat
dihampar. • Konservasi Tekstil 1. Pembersihan debu dan kotoran, dengan menggunakan vacuum cleaner. Tekstil yang dibersihkan harus dilapisi kain kassa, vacuum cleaner diset dengan kekuatan minimum dan tidak boleh kontak langsung dengan tekstil. Untuk bagian yang sulit dijangkau menggunakan kuas. Pembersihan dilakukan satu arah pada bagian atas juga bawah tekstil. 2. Pencucian, pencucian dilakukan untuk menghilangkan kotoran yang sudah mengendap. Sebelum dilakukan pencucian harus dipastikan bahwa tekstil tersebut tidak luntur. Pencucian menggunakan lerak cair ke dalam air dengan perbandingan 1 liter air untuk 5ml lerak. Ukuran bak cuci seukuran tekstil agar tidak dilipat. Kasa polyethene digunakan untuk mengangkat dan memasukkan tekstil ke bak pencucian. Kuas halus digunakan untuk membersihkan noda. Setelah dicuci, tekstil diletakkan dimeja pengeringan yang dilapisi dengan melinex dengan posisi agak miring agar mudah mengalirkan air. 3. Pembersihan noda, dilakukan dengan menggunakan sumpit yang ujungnya dilapisi kapas yang kemudian dicelup ke dalam pelarut organik (etanol, aseton). Setelah bersih kemudian dinetralisir dengan air dengan cara yang sama. 4. Menisik, tekstil yang sobek dapat disambung kembali dengan distisik (dijahit tangan) dengan benang yang berwarna sama dengan tekstil. 5. Membuat lapisan penguat (back up), tekstil yang rapuh atau banyak
99
lubang diberi penguat dengan pemberian lapisan kain dengan tujuan memperkuat strukturnya dengan menggunakan kain organdi. 6. Freezing, dilakukan untuk mematikan jamur dan serangga dengan cara membungkus tekstil dengan kertas asam dan plastik yg dipress untuk mencegah pengembunan. Kemudian tekstil dimasukkan kedalam lemari pendingin dengan suhu -20oC selama ± 1 minggu. Setelah dikeluarkan ditunggu hingga tidak ada uap air diplastik. Setelah itu divacuum untuk membersihkan bekas jamur dan serangga. 7. Fumigasi, adalah cara menghambat dan menghentikan jamur dan serangga dengan menggunakan pestisida. Tekstil dimasukkan ke dalam ruang fumigasi dan didiamkan selama 1 hari. • Seminar Seminar atau talkshow biasanya diadakan beberapa bulan sekali. Acara ini biasanya diadakan gratis untuk pengunjung yang datang. • Peragaan Busana Peragaan busana yang diadakan oleh museum tekstil biasanya bekerja sama dengan lembaga, yayasan, atau komunitas wastra, dengan sekolah desain busana, ataupun dengan perancang busana. • Workshop Workshop yang diselenggarakan Museum Tekstil Jakarta adalah workshop batik tulis dan workshop batik cetak. Selain itu terdapat juga workshop membuat boneka flannel dan workshop lainnya yang dapat disesuaikan dengan keinginan peserta rombongan. • Pelatihan Pewarnaan Alam Pelatihan warna alam diberikan oleh Museum kepada pengunjung rombongan yang ingin diadakan informasi mengenai hal tersebut dan telah mereservasi terlebih dahulu.
G. Elemen Interior •
Lantai Ruang-ruang pamer di gedung utama Museum Tekstil Jakarta memiliki material lantai berupa keramik dari tanah liat dengan nuansa etnik. Ada juga beberapa bagian ruang yang menggunakan lantai marmer berwarna
100
putih keabu-abuan. Sama halnya pada Galeri Batik, lantai ruang pamernya menggunakan marmer berwarna putih keabu-abuan dan keramik corak etnik. Pada bagian lobby menggunakan parket kayu.
Gambar 2.102 a, b, dan c Material Lantai
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2014)
•
Dinding Dinding pada Museum Tekstil merupakan dinding-dinding beton khas bangunan Eropa yang besar dan kokoh. Hapir semua finishing dinding finishingnya dicat dengan warna putih atau krem. Panel kayu terdapat pada pendopo dan backdrop foyer Galeri batik.
Gambar 2.103 Lobby Galeri Batik Gambar 2.104 Finishing Dinding
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2014)
101
•
Ceiling Ketingian langit-langit keseluruhan cukup tinggi, yaitu sekitar 6 meter dengan material berupa gypsum dan multipleks yang dicat berwarna putih.
Gambar 2.105 Lampu Pendant dan Ceiling Gypsum Gambar 2.106 Lampu Fluorescent dan Ceiling Multipleks
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2014)
H. Sistem Pencahayaan Pencahayaan
yang
digunakan
pada
interior
museum
adalah
pencahayaan langsung yang berasal dari lampu-lampu fluorescent dan beberapa chandelier. Terdapat juga lampu-lampu sorot untuk menyinari benda koleksi namun kebanyakan tidak berfungsi secara maksimal atau bahkan mati sama sekali.
I. Sistem Penghawaan Sistem penghawaan yang digunakan adalah AC central yang disalurkan ke setiap ruangan di dalam gedung. Namun, tingginya langit-langit dan banyaknya kisi-kisi/bukaan pada jendela juga dapat sangat membantu menciptakan hawa yang sejuk ketika AC tidak digunakan.
J. Sistem Keamanan Sistem keamanan yang digunakan pada Museum Tekstil Jakarta, yaitu: 1.
Pengamanan terhadap vandalisme dengan memberikan CCTV.
102
2.
Pengamanan terhadap kebakaran, dengan menyediakan alat pendeteksi asap kebakaran dan water sprinkle pada ceiling, serta fire distinguisher pada beberapa sudut ruangan.
K. Tabel SWOT Berikut merupakan tabel analisa Museum Tekstil Jakarta berdasarkan sistem SWOT yang disimpulkan setelah dilakukan survei:
Tabel 2.1 Tabel SWOT Museum Tekstil Jakarta STENGHTS (KEKUATAN) •
Letak museum yang cukup
WEAKNESS (KELEMAHAN) • Suasana museum yang cenderung muram dan kurangnya pencahayaan.
strategis dan mudah dicapai. •
•
Biaya masuk museum yang
• Kurangnya penjelasan terhadap
sangat terjangkau, yaitu Rp.
benda koleksi, dan cara display
5000,-.
benda koleksi yang membosankan.
Koleksi museum yang cukup
• Beberapa fasilitas kurang dirawat dan terlihat usang.
lengkap. •
Komplek museum asri dan hijau. OPPORTUNITIES
THREATS (ANCAMAN) •
(KESEMPATAN)
Banyak orang yang belum tertarik
•
Tujuan Study Tour bagi pelajar.
mengunjungi museum karena
•
Menambah pengunjung dengan
dianggap membosankan.
melakukan berbagai event seperti pamer temporer dan iklan pada
•
Banyak tujuan wisata edukasi lain yang lebih menarik.
masyarakat. (Sumber: Penulis, 2014)
2.
Museum Batik Pekalongan Meseum Batik Pekaloongan berada di Jalan Jetayu nomor 1, Pekalongan.
Museum ini merupakan bangunan peninggalan Belanda yang merupakan tempat pemerintahan pada zaman itu. Museum ini memiliki letak yang strategis karena berada di dekat pasar, gereja, masjid, kantor pos dan gedung karsidenan yang merupakan kawasan kota tua Pekalongan.
103
Gambar 2.107 Museum Batik Jalan Jetayu Nomor 1
(Sumber: Museum Batik Pekalongan)
A. Sejarah Sejak abad XIV-XVI Kota Pekalongan telah dikenal batiknya dan membatik merupakan salah satu pokok penghidupan sebagian besar masyarakat
Pekalongan
yang
menghasilkan
beragam
corak
batik,
menginginkan berdirinya Museum Batik sebagai sarana penunjang kota. Tanggal 12 Juli 1972 perwakilan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah, Kepala Bidang Permuseuman didukung oleh Walikota ke sepuluh Drs. R. Soepomo mendirikan Museum Batik di Pekalongan yang terletak di tengah Kota Pekalongan diujung jalan sebelah selatan kawasan Taman Hiburan Rakyat (THR) Gedung Bintang Merdeka yang sekarang dikawasan Pos Penjagaan Polisi (Posis) Jalan Resimen XVIII. Museum Batik dengan luas 40 m2 dan bangunan yang sangat sederhana memamerkan 60 koleksi batik dengan penataan apa adanya. Antara lain wayang beber dari kain batik yang berusia ratusan tahun serta alat tenun tradisional ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin) maupun peralatan untuk proses membuat batik dan dikelola oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Pekalongan. Kondisi Museum Batik yang sangat sederhana berakibat hilangnya beberapa koleksi batik maka pada tahun 1990 Bapak H. Djoko Prawoto (Walikota ke 11) mengambil langkah dengan melakukan pembenahan dengan memindahkan museum batik pada kawasan perkantoran baru Pemerintah Daerah Kota Pekalongan yang beralamat di Jalan Majapahit No. 7A.
104
Gambar 2.108 Museum Batik di Jalan Majapahit
(Sumber: Museum Batik Pekalongan)
Museum yang batik saat itu dianggap kurang layak karena bangunanya sudah tua dan tidak terlalu luas untuk menampung seluruh koleksi, pemerintah memutuskan untuk memindahkannya lagi ke tempat yang lebih besar dan bagus. Untuk itulah dipilih Gedung bekas peninggalan VOC yang terletak di Jalan Jetayu nomor 1 yang dianggap pantas untuk dijadikan Museum Batik Pekalongan. Museum batik ini diresmikan pada tanggal 12 Juli 2006, di Pekalongan oleh Bapak Susilo Bambang Yudhoyono. Museum ini terletak di Jalan Jetayu nomor 1, Pekalongan yang merupakan gedung peninggalan VOC dan dikenal sebagai City Hall.
B. Visi dan Misi Visi dari museum batik pekalongan adalah terwujudnya Museum Batik di Kota
Pekalongan sebagai wadah untuk menggali, melestarikan dan
mengembangkan batik sebagai warisan budaya bangsa Indonesia serta pusat informasi yang perlu dikembangkan, dibina dan dipelihara keberadaannya. Sedangkan misi dari museum batik pekalongan adalah sebagai berikut: •
Mendorong masyarakat Indonesia untuk peduli terhadap keberadaan Museum Batik di kota Pekalongan sebagai wujud turut serta dalam pelestarian budaya Indonesia.
•
Mendorong minat pengusaha / perajin batik untuk terus menggali dan melestarikan motif lama dan menciptakan motif baru.
105
•
Melakukan kegiatan dokumentasi, penelitian dan penyajian informasi serta
mengkomunikasikannya
kepada
masyarakat
agar
dapat
dimanfaatkan sepenuhnya bagi kepentingan masyarakat yang lebih luas •
Memperluas lapangan kerja dan pemasaran.
C. Struktur Organisasi
Bagan 2.5 Struktur Organisasi Museum Batik Pekalongan
(Sumber: Museum Batik Pekalongan)
106
D. Fasilitas
Gambar 2.109 Denah Museum Batik Pekalongan
(Sumber: Museum Batik Pekalongan)
Gambar 2.110 Lobby Museum Batik Pekalongan
(Sumber: Tsaniya Putri, 2014)
• Lobby Lobby merupakan tempat dimana pengunjung dapat membeli tiket untuk masuk ke dalam museum. Di lobby ini terdapat area tunggu yang berupa kursi bangket dan area penitipan barang. Pada area ini material lantai
107
yang digunakan masih keramik asli peninggalan gedung dengan dinding dan ceiling yang di cat berwarna putih. Hampir seluruh pencahayaan dalam area ini menggunakan pencahayaan alami yang berasal dari pintu masuk dan jendela yang berada di atas pintu. Dalam area tersebut hanya terdapat satu lampu chandelier sebagai penerangan tambahan. Penghawaan pada area ini juga sepenuhnya menggunakan penghawaan alami karena area ini termasuk area yang memiliki banyak ruang terbuka. • Ruang Pamer/Koleksi Ruang koleksi museum dibagi dalam tiga ruang koleksi yang masingmasing mempunyai tema sendiri-sendiri, pergantian koleksi batik dilakukan setiap 4 bulan sekali, hal ini dilakukan untuk menghindari kejenuhan. Ruangan ini menggunakan keramik sebagai material lantai dengan dinding yang dan ceiling yang di cat berwarna putih. Pencahayaan dalam ruangan ini menggunakan sedikit pencahayaan alami dan sisanya menggunakan pencahayaan buatan seperti lampu halogen, sedangkan penghawaannya menggunakan penghawaan buatan yang berasal dari ac split.
Gambar 2.111 (Atas) Ruang Pamer 1 Gambar 2.112 (Bawah) Pewarna Batik
(Sumber: Tsaniya Putri, 2014)
108
Gambar 2.113 (Kiri) Ruang Pamer 2 Gambar 2.114 (Kanan) Ruang Pamer 3
(Sumber: Tsaniya Putri, 2014)
Gambar 2.115 Perpustakaan Museum Batik Pekalongan
(Sumber: Tsaniya Putri, 2014)
• Perpustakaan Perpustakaan ini berisi koleksi buku-buku yang berhubungan dengan batik. Saat ini perspustakaan museum batik pekalongan telah memiliki 1000 buah koleksi buku yang terdiri atas buku–buku batik, pengetahuan umum, sejarah, ekonomi, sosial & kebudayaan, teknologi, dan lain sebagainya. Ruangan ini masih menggunakan keramik asli dari bangunan lama sebagai material lantai serta dinding dan ceiling yang ci cat putih.
109
Pencahayaan dalam ruang perpustakaan ini sebagian besar berasal dari pencahayaan alami yang berasal dari jendela besar pada ruangan tersebut, dan sedikit menggunakan cahaya buatan yang berasal dari lampu chandelier. Penghawaan pada ruangan ini sebagian besar menggunakan penghawaan alami yang berasal dari jendela besar yang berada pada satu sisi dinding dengan penghawaan buatan dari ac split yang diletakkan pada salah satu sisi dining dalan ruangan tersebut. • Workshop Merupakan suatu fasilitas yang dapat dijadikan tempat pelatihan serta praktek secara langsung oleh pengunjung. Workshop yang ada di Museum Batik kota Pekalongan juga seringkali dijadikan alternatif tempat praktek membatik bagi siswa–siswi SD hingga SLTA untuk memenuhi tugas– tugas mata pelajaran muatan lokal batik yang kini diajarkan disekolah– sekolah di lingkungan kota Pekalongan.
Gambar 2.116 (Kiri) Area Pewarnaan Gambar 2.117 (Kanan) Area Membatik
(Sumber: Tsaniya Putri, 2014)
• Kedai Batik Kedai Batik adalah salah satu fasilitas di Museum Batik Pekalongan yang menyediakan berbagai produk komoditi batik yang dijual kepada pengunjung. Pada tahap awalnya kedai batik menampung produk–produk batik dari beberapa pengrajin batik yang ada di kota Pekalongan. Namun pada saat ini museum telah mampu memproduksi sendiri beberapa produk
110
batik seperti selendang, taplak, syal, hiasan dinding dan post card dan lain sebagainya. Ruangan ini menggunakan keramik sebagai material lantai dengan dinding yang di cat putih. Terdapat sedikit permainan drop-ceiling yang menggunakan material gypsum yang di cat berwarna putih.
Gambar 2.118 Kedai Batik
(Sumber: Tsaniya Putri, 2014)
• Ruang Pertemuan Ruang pertemuan dimanfaatkan untuk menyambut tamu/pengunjung museum yang hadir secara rombongan. Sebelum mengelilingi dan menyaksikan seluruh ruang koleksi yang ada, tamu – tamu tersebut akan terlebih dahulu diberikan penjelasan mengenai sejarah singkat Museum Batik di kota Pekalongan, koleksi–koleksi yang dipamerkan, tahapan dan proses batik serta penjelasan mengenai peraturan yang harus dipatuhi selama berada di dalam museum. Ruang pertemuan yang ada di Museum Batik juga kerapkali digunakan oleh dinas tertentu untuk melaksanakan suatu kegiatan. Ruangan ini menggunakan keramik bekas peninggalan bangunan ini sebagai material lantainya dengan dining yang di cat putih. Ceiling pada ruangan ini masih menggunakan multipleks yang di cat warna putih. Pencahayaan pada ruangan ini berasal dari pencahayaan alamai yang di dapat dari jendela-jendela kecil yang berasa di satu sisi ruangan dan pencahayaan buatan yang berasal dari 2 buah lampu chandelier.
111
Penghawaan pada ruangan ini menggunakan 3 buah ac split yang diletakkan pada salah satu sisi diding.
Gambar 2.119 Ruang Pertemuan
(Sumber: Tsaniya Putri, 2014)
• Ruang Audiovisual Ruang Audiovisual digunakan untuk melihat tayangan mengenai batik. Ruangan ini memiliki kapasitas 20 orang dengan interior yang modern. Ruangan ini mengunakan material lantai keramik berwarna coklatmerah dengan dinding gypsum yang terdapat motif batik dengan hidden lamp. Ceiling-nya menggunakan gypsum dengan permainan drop-ceiling. Penghawaan pada ruangan ini menggunakan ac split yang dipasang pada kedua sisi ruangan, kemudian pencahayaan pada ruangan ini menggunakan pencahayaan buatan yang berasal dari hidden lamp pada dinding backdrop.
Gambar 2.120 Ruang Audiovisual
(Sumber: Tsaniya Putri, 2014)
112
• Area Penitipan Barang (Locker) Tempat ini merupakan area penitipan barang pengunjung museum yang terletak dekat resepsionis dan ruang pamer 1. Pengunjung dilarang membawa tas kedalam museum.
Gambar 2.121 Area Penitipan Barang
(Sumber: Tsaniya Putri, 2014)
• Ruang Penyimpanan Koleksi Ruang ini ddigunakan untuk menyimpan koleksi kain dan baju museum pemberian dari kolektor. Selain sebagai tempat penyimpanan, ruangan ini juga digunakan untuk memperbaiki koleksi karena belum adanya fasilitas ruang lab pada museum ini. Ruangan ini memiliki suhu 2025o C untuk menjaga kain agak tidak mudah rusak.
Gambar 2.122 (Kiri) Ruang Penyimpanan Koleksi Kain Gambar 2.123 (Kanan) Ruang Penyimpanan Koleksi Pakaian
(Sumber: Tsaniya Putri, 2014)
113
E. Benda Koleksi Museum Batik Pekalongan menyimpan koleksi kain batik yang berasal dari seluruh daerah di Indonesia. Koleksi Museum Batik di Pekalongan berasal dari sumbangan para kolektor batik, pengusaha batik, pengrajin, pemerhati batik, pencinta batik dan paguyuban batik dari seluruh daerah di Indonesia. Sumbangan yang berasal dari luar daerah melalui bantuan Perwakilan Kadin Propinsi. Berikut daftar koleksi Museum Batik Pekalongan:
Tabel 2.2 Koleksi Museum Batik Pekalongan No.
Koleksi
Jumlah
1
Kain Panjang
647
2
Sarung
138
3
Busana Pria
17
4
Busana Wanita
12
5
Selendang
87
6
Bahan Baju
39
7
Hiasan Dinding
63
8
Canting Tulis
30
9
Canting Cap
49
10
Bahan Lilin Batik
7
11
Bahan Pewarna Alami
4
12
Bahan Pewarna Kimia
19
Total
1112
(Sumber: Museum Batik Pekalongan)
F. Sistem Keamanan Sistem keamanan yang digunakan pada Museum Batik Pekalongan, yaitu: 1.
Pengamanan terhadap vandalisme dengan memberikan CCTV.
114
2.
Pengamanan terhadap kebakaran, dengan menyediakan alat pendeteksi asap kebakaran dan water sprinkle pada ceiling, serta fire distinguisher pada beberapa sudut ruangan.
G. Tabel SWOT Berikut merupakan tabel analisa Museum Batik Pekalongan berdasarkan sistem SWOT yang disimpulkan setelah dilakukan survei:
Tabel 2.3 Tabel SWOT Museum Batik Pekalongan STENGHTS (KEKUATAN) •
Letak museum yang strategis dan
WEAKNESS (KELEMAHAN) • Penjelasan terhadap benda
mudah dicapai. •
koleksi yang kurang dan
Koleksi museum yang cukup
• Tidak memiliki fasilitas
lengkap. •
cenderung membosankan.
Fasilitas dan pencahayaan yang
laboratorium sebagai sarana
cukup baik dan terawat.
konservasi dan penelitian.
OPPORTUNITIES (KESEMPATAN)
THREATS (ANCAMAN) •
Banyak orang yang belum
•
Tujuan Study Tour bagi pelajar.
tertarik mengunjungi museum
•
Menambah pengunjung dengan
karena dianggap membosankan.
melakukan berbagai event seperti pamer temporer dan workshop yang
•
Banyak tujuan wisata edukasi lain yang lebih menarik.
lebih menarik perhatian masyarakat. (Sumber: Penulis, 2014)
3.
Museum Nasional Museum Nasional atau juga dikenal dengan Museum Gajah terletak di Jl.
Merdeka Barat 12, Jakarta Pusat. Museum ini merupakan museum pertama dan terbesar di Asia Tenggara. Museum Gajah memiliki banyak koleksi bendabenda kuno dari seluruh Nusantara. Antara lain yang termasuk koleksi adalah arca-arca kuno, prasasti, benda-benda kuno lainnya dan barang-barang kerajinan. Koleksi-koleksi tersebut dikategorisasikan ke dalam etnografi,
115
perunggu, prasejarah, keramik, tekstil, numismatik, relik sejarah, dan benda berharga. Museum ini buka setiap hari Selasa-Jumat pukul 08.00-16.00 dan Sabtu-Minggu pukul 08.00-17.00.
Gambar 2.124 a dan b Arsitektur Museum Nasional
(Sumber : http://en.wikipedia.org/wiki)
A.
Sejarah Eksistensi Museum Nasional diawali dengan berdirinya suatu
himpunan bernama Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, didirikan oleh Pemerintah Belanda pada tanggal 24 April 1778. Pada masa itu di Eropa tengah terjadi revolusi intelektual (the Age of Enlightenment) yaitu dimana orang mulai mengembangkan pemikiran-pemikiran ilmiah dan ilmu pengetahuan. Pada tahun 1752 di Haarlem, Belanda berdiri De Hollandsche Maatschappij der Wetenschappen (Perkumpulan Ilmiah Belanda). Hal ini mendorong orang-orang Belanda di Batavia (Indonesia) untuk mendirikan organisasi sejenis. Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (BG) merupakan lembaga independen yang didirikan untuk tujuan memajukan penetitian dalam bidang seni dan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidangbidang ilmu biologi, fisika, arkeologi, kesusastraan, etnologi dan sejarah, Berta menerbitkan hash penelitian. Lembaga ini mempunyai semboyan "Ten Nutte van het Algemeen" (Untuk Kepentingan Masyarakat Umum). Salah seorang pendiri lembaga ini, yaitu JCM Radermacher, menyumbangkan sebuah rumah miliknya di Jalan Kalibesar, suatu kawasan
116
perdagangan di Jakarta Kota. Kecuali itu ia juga menyumbangkan sejumlah koleksi benda budaya dan buku yang amat berguna, sumbangan Radermacher inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya museum dan perpustakaan. Selama masa pemerintahan Inggris di Jawa (1811-1816), Letnan Gubernur Sir Thomas Stamford Raffles menjadi Direktur perkumpulan ini. Oleh karena rumah di Kalibesar sudah penuh dengan koleksi, Raffles memerintahkan pembangunan gedung baru untuk digunakan sebagai museum dan ruang pertemuan untuk Literary Society (dulu disebut gedung "Societeit de Harmonie"). Bangunan ini berlokasi di jalan Majapahit nomor 3. Sekarang di tempat ini berdiri kompleks gedung sekretariat Negara, di dekat Istana kepresidenan. Jumlah koleksi milik BG terus neningkat hingga museum di Jalan Majapahit tidak dapat lagi menampung koleksinya. Pada tahun 1862, pemerintah Hindia-Belanda memutuskan untuk membangun sebuah gedung museum baru di lokasi yang sekarang, yaitu Jalan Medan Merdeka Barat No. 12 (dulu disebut Koningsplein West). Tanahnya meliputi area yang kemudian di atasnya dibangun gedung Rechst Hogeschool atau "Sekolah Tinggi Hukum" (pernah dipakai untuk markas Kenpetai di masa pendudukan Jepang, dan sekarang Departemen Pertahanan dan Keamanan). Gedung museum ini baru dibuka untuk umum pada tahun 1868. Museum ini sangat dikenal di kalangan masyarakat Indonesia, khususnya penduduk Jakarta. Mereka menyebutnya "Gedung Gajah" atau "Museum Gajah" karena di halaman depan museum terdapat sebuah patung gajah perunggu hadiah dari Raja Chulalongkorn (Rama V) dari Thailand yang pernah berkunjung ke museum pada tahun 1871. Kadang kala disebut juga "Gedung Arca" karena di dalam gedung memang banyak tersimpan berbagai jenis dan bentuk arca yang berasal dari berbagai periode. Pada tahun 1923 perkumpulan ini memperoleh gelar "koninklijk" karena jasanya dalam bidang ilmiah dan proyek pemerintah sehingga lengkapnya menjadi Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Pada tanggal 26 Januari 1950, Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen diubah namanya menjadi Lembaga Kebudayaan Indonesia. Perubahan ini disesuaikan dengan kondisi waktu itu, sebagaimana tercermin dalam semboyan barunya: "memajukan
117
ilmu-ilmu kebudayaan yang berfaedah untuk meningkatkan pengetahuan tentang kepulauan Indonesia dan negeri-negeri sekitarnya". Mengingat pentingnya museum ini bagi bangsa Indonesia maka pada tahun 1962 Lembaga Kebudayaan Indonesia menyerahkan pengelolaan museum kepada pemerintah Indonesia, yang kemudian menjadi Museum Pusat. Akhirnya, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, pada Mei 1979, Museum Pusat ditingkatkan statusnya menjadi Museum Nasional. Kini Museum Nasional bernaung di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (Sumber: http://museumnasional.or.id)
B.
Visi dan Misi
a. Visi Terwujudnya Museum Nasional sebagai pusat informasi budaya dan pariwisata yang mampu mencerdaskan kehidupan bangsa, meningkatkan peradaban dan kebanggaan terhadap kebudayaan national, serta memperkokoh persatuan dan persahabatan antar bangsa. b. Misi • Mengembangkan dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang profesional, dan sarana-prasarana di lingkungan Museum Nasional Indonesia yang berdampak pada peningkatan keamanan dan kenyamanan. • Meningkatkan
penyajian
informasi
koleksi
yang
mampu
mencerdaskan kehidupan bangsa serta menumbuhkan daya apresiatif, inovatif, dan imajinatif. • Meningkatkan kualitas pemeliharaan dan penyajian koleksi yang mampu meningkat-kan pelestarian budaya dan apresiasi masyarakat terhadap kebudayaan nasional • Meningkatkan kualitas pelayanan informasi yang berdampak pada peningkatan apresiasi masyarakat dan kunjungan ke Museum Nasional Indonesia. • Meningkatkan kualitas pengelolaan dan pelayanan registrasi dan dokumentasi melalui database koleksi dan kepustakaan yang mudah diakses oleh pengguna data/user baik secara offline maupun online.
118
C. Struktur Organisasi Faktor kesuksesan museum selain pada koleksi dan fasilitasnya, juga terdapat pada struktur organisasinya. Berikut merupakan struktur organisasi museum dan deskripsi tugasnya:
Bagan 2.6 Struktur Organisasi Museum Nasional
(Sumber: Museum Nasional)
1. Tugas bagian tata usaha: a. Subbagian keuangan mempunyai tugas melakukan urusan keuangan. b. Subbagian
kepegawaian
kepegawaian.
mempunyai
tugas
melakukan
urusan
119
c.
Subbagian urusan dalam dan ketertiban mempunyai tugas melakukan urusan surat menyurat, rumah tangga dan perlengkapan, serta ketertiban dan keamanan kantor.
2. Tugas bidang pembinaan koleksi prasejarah dan arkeologi: a. Seksi koleksi prasejarah mempunyai tugas melakukan pengumpulan, penelitian dan pengelolaan koleksi prasejarah. b. Seksi
koleksi
arkeologi
klasik
mempunyai
tugas
melakukan
pengumpulan, penelitian dan pengelolaan koleksi arkeologi. c. Seksi koleksi numismatik, heraldik dan keramik mempunyai tugas melakukan
pengumpulan,
penelitian
dan
pengelolaan
koleksi
numismatik, heraldik dan keramik. 3. Tugas bidang konservasi dan penyajian: a. Seksi
konservasi
dan
restorasi
mempunyai
tugas
melakukan
pengawetan dan pencegahan kerusakan dengan pengendalian terhadap suhu, kelembaban udara dan pengaturan pencahayaan ruang koleksi, serta penanggulangan kerusakan serta perbaikan koleksi. b. Seksi reproduksi mempunyai tugas melakukan pembuatan replika, miniature, diorama, gambar dan foto koleksi. c. Seksi penyajian mempunyai tugas dalam melakukan pembuatan desain dan persiapan tata pameran, serta pembuatan alat peraga untuk menunjang kegiatan edukatif kultural. 4. Tugas bidang bimbingan dan publikasi: a. Seksi bimbingan mempunyai tugas melakukan pemberian bimbingan untuk pelajar dan umum mengenai koleksi. b. Seksi
publikasi
mempunyai
tugas
melakukan
penyelenggaraan
publikasi mengenai koleksi museum baik yang bersifat ilmiah, edukatif maupun informasi. c. Seksi hubungan masyarakat dan pemasaran mempunyai tugas melakukan penyebarluasan informasi dan promosi. 5. Tugas bidang registrasi dan dokumentasi: a. Seksi registrasi mempunyai tugas melakukan inventarisasi, registrasi dan pendistribusian koleksi museum. b. Seksi dokumentasi mempunyai tugas melakukan pencatatan dan pendokumentasian seluruh koleksi serta pengelolaan dokumen, foto,
120
slide, film dan dokumen lain yang berhubungan dengan koleksi museum. c. Seksi
perpustakaan
mempunyai
tugas
melakukan
pengelolaan
perpustakaan.
D.
Fasilitas dan Benda Koleksi Museum Nasional saat ini memiliki dua gedung, yaitu Gedung A
(Gedung Gajah) dan Gedung B (Gedung Arca). Gedung Gajah merupakan bangunan lama yang digunakan untuk memamerkan dan menyimpan (storage) koleksi. Sedangkan Gedung Arca merupakan gedung yang baru diresmikan tahun 2007 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Gedung Arca memiliki 7 lantai, lantai 1-4 digunakan sebagai ruang pameran, auditorium, perpustakaan dan café museum, sedangkan lantai 4-7 merupakan ruang kantor. Berikut merupakan denah gedung dan fasilitas ruang yang ada di dalamnya:
Gambar 2.125 Denah Museum Nasional
(Sumber : Museum Nasional)
121
Gambar 2.126 a dan b Taman Arca
(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2014)
Gedung Gajah memiliki sebuah taman dalam, atau disebut sebagai peristyle dalam arsitektur Romawi. Taman ini dikelilingi teras dengan kolomkolom Doria Yunani. Taman ini kemudian dijadikan taman arca kuno yang dikumpulkan dari kerajaan-kerajaan Hindu-Budha di Indonesia. Saat ini Museum Nasional menyimpan sekitar 141.000 benda-benda bernilai sejarah. Koleksi pada Gedung Gajah dikelompokkan berdasarkan pada jenis koleksi, baik berdasarkan keilmuan, bahan, maupun kedaerahan. Sedangkan pada Gedung Arca digunakan sistem tematik. Berikut merupakan ruang-ruang koleksi yang ada di Museum Nasional: 1. Ruang Pamer Koleksi Prasejarah Ruang pamer koleksi prasejarah menyimpan beberapa artefak zaman batu seperti alat batu, menhir, manik-manik, batu kapak, nekara, senjata kuno, dan lain-lain. Ruang ini terletak di Gedung Gajah tepatnya di belakang taman arca.
Gambar 2.127 Ruang Pamer Koleksi Prasejarah
(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2014)
122
2. Ruang Koleksi Sejarah Ruang bagian depan Gedung Gajah menyimpan peninggalan lama kolonial Indonesia, dari era penjajahan kolonial. Sebagian besar koleksi adalah furnitur antik kolonial. Namun banyak dari koleksi telah dipindahkan ke Museum Sejarah Jakarta di Kota Tua. 3. Ruang Koleksi Arkeologi Ruang pamer koleksi arkeologi berada di lantai 2 Gedung Gajah, menyimpan koleksi emas kuno dan peninggalan berharga yang diperoleh dari temuan arkeologi, sebagian besar berasal dari Jawa kuno.
Gambar 2.128 Ruang Pamer Koleksi Arkeologi
(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2014)
4. Ruang Koleksi Numismatik dan Heraldik Koleksi Numismatik terdiri dari benda-benda seperti koin, uang kertas dan token yang pernah beredar dan digunakan oleh masyarakat, di samping itu juga terdapat alat cetak uang. Koleksi Numismatik Museum Nasional sebagian besar berasal dari masa kerajaan-kerajaan Indonesia kuno, masa kolonial hingga masa kemerdekaan dan beberapa koleksi numismatik yang berasal dari negara lain. Sedangkan koleksi Heraldik yang dimiliki Museum Nasional adalah lambang-lambang seperti medali, cap, dan amulet. Ruang koleksi ini terletak di seberang ruang koleksi sejarah. 5. Ruang Koleksi Keramik Ruang pamer koleksi keramik menyimpan banyak macam keramik mulai dari terakota Majapahit hingga keramik porselen dari Cina, Jepang, Vietnam, Thailand, dan Myanmar.
123
Gambar 2.129 a dan b Ruang Pamer Koleksi Keramik
(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2014)
6. Etnografi Koleksi etnografi terdiri dari berbagai benda yang merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Koleksi diatur sesuai dengan lokasi geografis masing-masing daerah dan pulau-pulau di kepulauan Indonesia. Ruang pamer ini terletak di sebelah utara taman arca.
Gambar 2.130 a dan b Ruang Pamer Koleksi Etnografi
(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2014)
7. Ruang Pamer Tekstil Ruang pamer tekstil di Museum Nasional menyimpan beragam tekstil tradisional nusantara mulai dari kain kulit kayu, tenun ikat, manik-manik, sulam, batik, dan songket, beserta alat-alat yang digunakan untuk
124
membuat tekstil tersebut dan hasil jadinya. Ruang pamer tekstil terletak di sebelah selatan taman arca.
Gambar 2.131 Ruang Pamer Koleksi Tekstil
(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2014)
Gambar 2.132 Ruang Pamer Koleksi Tekstil
(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2014)
8. Ruang Pamer Thailland Ruang ini berada di sebelah ruang tekstil, merupakan ruang yang menyimpan koleksi beberapa seni dan budaya Thailand. 9. Manusia dan Lingkungan Ruang pamer manusia dan lingkungan memberikan informasi mengenai berbagai peristiwa geologis yang membentuk kepulauan Indonesia, jalan migrasi fauna dan manusia purba di nusantara, dan keanekaragaman suku bangsa di Indonesia. Ruang pamer ini terletak di lantai 1 Gedung Arca.
125
Gambar 2.133 a dan b Ruang Pamer Koleksi Manusia dan Lingkungan
(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2014)
Gambar 2.134 Koridor Lantai 1 Gedung Arca
(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2014)
Gambar 2.135 a dan b Ruang Pamer Koleksi Ilmu Pengetahuan, Ekonomi, dan Teknologi
(Sumber : aryawardhana.wordpress.com)
126
10. Ilmu Pengetahuan, Ekonomi, dan Teknologi Ruang pamer ini terletak di lantai 2 Gedung Arca, memberi informasi mengenai berbagai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pernah dikuasai masyarakat Indonesia sejak zaman prasejarah untuk menopang kehidupannya, kemudian aspek ekonomi ditampilkan untuk menggambarkan dinamika kehidupan manusia lewat perdagangan. 11. Organisasi Sosial dan Pola Pemukiman Terletak di lantai 3 Gedung Arca, ruang pamer organisasi sosial dan pola pemukiman menggambarkan strata-strata sosial dalam masyarakat Indonesia karena adanya perbedaan jenis kelamin, profesi/jabatan, dan kasta. Stratifikasi sosial ditampilkan melalui atribut-atribut tertentu misalnya rumah adat, pakaian, perhiasan, makanan, dan sebagainya. Sementara pola pemukiman menggambarkan tata letak tempat tinggal individu atau kelompok, sebagai akibat dari stratifikasi sosial tersebut.
Gambar 2.136 a dan b Ruang Pamer Organisasi Sosial dan Pola Pemukiman
(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2014)
12. Khazanah Emas dan Keramik Asing Lantai 4 Gedung Arca merupakan ruang pamer yang menampilkan kekayaan warisan budaya Indonesia berupa artefak logam, emas dan perak, beberapa diantaranya berhiaskan batu mulia yang berasal dari abad ke 10–17. Terdapat jga koleksi keramik asing yang ditemukan di Indonesia, antara lain berasal dari Cina, Vietnam, Thailand, dan Eropa.
127
E.
Elemen Interior •
Lantai Secara keseluruhan, material lantai pada Gedung Gajah dan Gedung Arca tentunya berbeda karena faktor usia bangunan yang berbeda jauh. Gedung Gajah material lantainya terlihat lebih tua, berupa keramikkeramik batu berukuran 40x40 cm dan 20x20 cm.
Gambar 2.137 a dan b Lantai Teras Dekat Taman Arca, Gedung Gajah
(Sumber: Dokumentasi penulis, 2014)
Gambar 2.138 a dan b Lantai Teras Dekat Taman Arca, Gedung Gajah
(Sumber: Dokumentasi penulis, 2014)
128
Sedangkan pada Gedung Arca, material lantai berupa homogenous tile 60x60 cm dan floor hardener.
Gambar 2.139 Lantai Ruang Kaca, Gedung Arca
(Sumber: Dokumentasi penulis, 2014)
•
Dinding Dinding pada Gedung Gajah terdiri dari dinding-dinding dan tiangtiang beton khas bangunan klasik Eropa, difinishing dengan cat berwarna putih. Sedangkan pada Gedung Arca, terdiri dari dinding beton dengan finishing cat, homogenous tile, stainless steel, dan dinding kaca yang lebih modern.
Gambar 2.140 Hall di Gedung Arca
(Sumber: Dokumentasi penulis, 2014)
129
•
Ceiling Ceiling pada Gedung Gajah secara keseluruhan merupakan gypsum dan beberapa menggunakan multipleks dan cornice kayu. Pada Gedung Arca material ceilingnya merupakan gypsum, gypsum tile, dan permainan material stainless pada beberapa bagian.
F.
Sistem Pencahayaan Pencahayaan
yang
digunakan
pada
interior
museum
adalah
pencahayaan langsung yang berasal dari lampu-lampu fluorescent dan lampulampu sorot untuk menyinari benda koleksi. Juga diterapkan accent lighting pada Gedung Arca berupa pencahayaan tidak langsung di beberapa tempat.
G.
Sistem Penghawaan Sistem penghawaan yang digunakan adalah AC central yang disalurkan
ke setiap ruangan di dalam gedung. Selain AC di Gedung Gajah juga terlihat masih menggunakan kipas angin yang dipasang pada langit-langitnya.
Gambar 2.141 Ceiling di Gedung Gajah
(Sumber: Dokumentasi penulis, 2014)
H.
Sistem Keamanan Sistem keamanan yang digunakan pada Museum Tekstil Jakarta, yaitu:
1.
Pengamanan terhadap vandalisme dengan memberikan CCTV.
130
2.
Pengamanan terhadap kebakaran, dengan menyediakan alat pendeteksi asap kebakaran dan water sprinkle pada ceiling, serta fire distinguisher pada beberapa sudut ruangan.
I.
Tabel SWOT Berikut merupakan tabel analisa Museum Nasional berdasarkan sistem
SWOT yang disimpulkan setelah dilakukan survei:
Tabel 2.4 Tabel SWOT Museum Nasional STENGHTS (KEKUATAN) •
Letak museum yang sangat
WEAKNESS (KELEMAHAN) • Beberapa ruang pamer terutama
strategis. •
pada Gedung Gajah masih memliki
Biaya masuk museum yang terjangkau, yaitu Rp. 5000,- untuk
karena pencahayaan dan fasilitas
turis domestik dan Rp. 10.000,-
displaynya.
untuk turis mancanegara. •
kesan kuno, muram, dan angker
• Kurangnya komunikasi interpersonal
Koleksi museum yang sangat
antara benda koleksi dengan
lengkap. •
pengunjung. (Komunikasi berjalan satu arah, pengunjung menjadi pasif)
Ruang pamer pada Gedung Arca terlihat lebih baik mulai cara display, pencahayaan, dan informasi daripada Gedung Gajah. OPPORTUNITIES
THREATS (ANCAMAN)
(KESEMPATAN) •
Tujuan Study Tour bagi pelajar.
•
Tujuan penelitian bagi turis
•
mengunjungi museum karena dianggap membosankan.
domestik dan mancanegara. •
Menambah pengunjung dengan melakukan berbagai event seperti
Banyak orang yang belum tertarik
•
Banyak tujuan wisata edukasi lain yang lebih menarik.
seminar, pameran, workshop, dll yang lebih menarik serta memperbaiki fasilitas museum. (Sumber: Penulis, 2014)
131
Seperti telah diketahui sebelumnya, ketiga museum tersebut, yakni Museum Tekstil Jakarta, Museum Batik Pekalongan, dan Museum Nasional, memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Secara keseluruhan, Museum Nasional, khususnya Gedung Gajah merupakan yang terbaik karena sistem display dan pencahayaannya yang dikemas lebih modern sehingga tidak menimbulkan kesan muram pada ruangan. Ditinjau dari fasilitas yang disediakan, ketiga museum memliliki fasilitas yang cukup untuk menunjang kebutuhan koleksi dan pengunjung. Museum Nasional merupakan yang terlengkap. Namun sayangnya beberapa fasilitas, kurang dirawat dan perlu adanya revitalisasi agar dapat aktif digunakan lagi. Untuk benda koleksi yang dipamerkan, Museum Nasional juga merupakan yang terlengkap karena juga merupakan museum terbesar di Asia Tenggara. Sedangkan Museum Tekstil dari ketiga museum merupakan terlengkap kedua, karena merupakan museum dengan koleksi khusus kain-kain tekstil Nusantara termasuk diantaranya koleksi batik di Galeri Batik yang sangat lengkap. Sedangkan Museum Batik Pekalongan memiliki koleksi khusus batik-batik pesisir/Pekalongan. Berikut merupakan tabel kesimpulan hasil survei ketiga museum tersebut:
Tabel 2.5 Tabel Kesimpulan Hasil Survei SUBJEK
Museum Tekstil
Museum Batik
Museum Nasional
Koleksi Tata Display Pencahayaan Keamanan Pemeliharaan Akses ke lokasi Fasilitas Penunjang Desain Interior
(Sumber: Penulis, 2014)
132
2.2.2 Data Survei Melalui Kuesioner Untuk melihat seberapa besar dan apa saja faktor yang membuat masyarakat tertarik ketika berkunjung ke museum, serta potensi apabila didirikan semacam sarana museum tenun ikat di Jakarta, penulis membuat sebuah kuesioner yang disebar kepada masyarakat secara acak. Dari 63 responden (23 laki-laki dan 40 perempuan) yang 70%nya merupakan mahasiswa dan pelajar, dan sisanya merupakan pegawai swasta, pegawai negeri, dan wiraswasta, diperoleh hasil survei sebagai berikut: 1.
Apakah anda tertarik mengunjungi museum? Tidak 11%
Ya 89%
2.
Apa tujuan anda ketika pergi ke museum? Lain-lain Edukasi 8% 11% Edukasi 14% Keduanya 67%
3.
Kapan terakhir kali berkunjung ke museum? 3 Bulan Terakhir 4%
3-12 Bulan Terakhir 63%
> 12 Bulan Terakhir 33%
133
4.
Apa yang biasanya membuat anda tertarik datang ke museum? Kegiatan Yang Diadakan Museum 19%
Lainnya 11%
Benda Koleksi 51%
Suasana Museum 19%
5.
Menurut anda, apakah museum di Indonesia saat ini secara keseluruhan sudah cukup baik? Sudah 14%
Belum 86%
6.
Apa yang perlu diperbaiki dari museum-museum di Indonesia? Benda Koleksi 10%
Lain-lain (Keamanan, Sosialisasi) 3%
Fasilitas dan Suasana Museum 87%
7.
Apakah anda mengetahui Indonesia memiliki kain tenun ikat? Tidak 19%
Ya 81%
134
8.
Apakah anda menyukai tenun ikat Indonesia?
Tidak Tahu 25% Tidak 3% Ya 72%
9.
Jika dibuat museum tenun ikat, apakah anda tertarik berkunjung? Tidak Tahu 14%
Tidak 5%
Ya 81%
Dari hasil survei di atas dapat disimpulkan bahwa kebanyakan orang sebenarnya tertarik mengunjungi museum sebagai alternatif tujuan wisata sekaligus rekreasi atau sebagai tujuan keperluan riset dan penelitian yang bersangkutan dengan studi atau pekerjaan mereka. Mereka berpendapat bahwa museum di Indonesia masih banyak yang kurang menarik, apalagi jika dibandingkan dengan museum-museum di luar negeri. Bahkan ada pula yang mencap museum sebagai tempat dengan kesan yang membosankan dan kuno. Mengenai hal yang perlu diperbaiki pada museum yang sudah ada, sebagian besar berpendapat fasilitas bangunan dan sarana serta suasana museum lah yang perlu diperbaiki. Yang lainnya berpendapat barang koleksi, sistem keamanan, dan diperlukan sosialisasi serta pendekatan lebih lanjut kepada masyarakat agar lebih tertarik untuk berkunjung. Sedangkan mengenai tenun ikat, ternyata masih ada yang tidak mengetahui jika Indonesia memiliki tenun ikat. Hampir semua responden yang mengetahui keberadaan tenun ikat, mereka menyukainya dan akan tertarik berkunjung ke Rumah Tenun Ikat Indonesia.