8
BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Kepuasan Kerja Kepuasan kerja adalah apa yang individu rasakan tentang pekerjaannya dan berbagai aspek dari pekerjaannya (Spector, 1997). Kepuasan kerja menurut Kinicki et al (dalam Schultz, 2006) lebih mengacu pada perasaan positif dan negatif dan sikap pekerja pada pekerjaannya. Pernyataan yang berbeda dikatakan oleh George dan Jones (2005), kepuasan kerja dinyatakan sebagai kumpulan perasaan dan kepercayaan dan pikiran yang dimiliki seseorang tentang bagaimana mereka berprilaku dengan penuh penghargaan atas pekerjaannya . Sedangkan Menurut Colquitt, Lepine, dan Wesson (2009), kepuasan kerja adalah suatu pernyataan emosi yang menyenangkan yang dihasilkan dari penghargaan terhadap pekerjaan seseorang dan apa yang anda pikirkan tentang pekerjaan anda. Berdasarkan definisi – definisi kepuasan kerja tersebut, peneliti memilih menggunakan definisi yang dijelaskan oleh George dan Jones (2002) sebagai pendekatan untuk membuat alat ukur penelitian. George dan Jones (2002) melihat faktor-faktor penentu kepuasan kerja lebih berdasarkan kepada faktor psikologis individu yang terdiri dari kepribadian, nilai-nilai kerja, situasi kerja dan pengaruh sosial. Peneliti menggunakan definisi yang dipaparkan oleh George dan Jones (2002), dikarenakan peneliti menggunakan faktor-faktor penentu kepuasan kerja berdasarkan pernyataan George dan Jones sebagai indikator kuisioner. Dalam hal ini faktor-faktor penentu kepuasan kerja tersebut dipilih karena dapat menggambarkan keadaan tempat kerja secara menyeluruh berdasarkan aspek kepribadian, nilai, situasi kerja dan pengaruh sosial.
9
2.1.1
Faktor penyebab Kepusan Kerja Faktor yang menentukan kepuasan karyawan menurut George &
Jones (2002) adalah : Kepribadian Cara seseorang merasakan, berpikir, dan berperilaku
Situasi Kerja
Kepuasan Kerja
Nilai
Pekerjaan itu sendiri, rekan kerja, atasan, dan bawahan
Sekumpulan perasaan , kepercayaan, dan pikiran seseorang tentang bagaimana berperilaku dengan penuh penghargaan kepada pekerjaannya
Nilai kerja intrinsik
Kondisi lingkungan fisik, jam kerja, bayaran, dan keamanan kerja
Nilai kerja ekstrinsik
Pengaruh sosial Rekan kerja Kelompok Kebudayaan
Gambar 2.1 Faktor-faktor yang menentukan kepuasan kerja
1.
Kepribadian (Personality) Kepribadian merupakan cara bagaimana seseorang merasakan, berfikir, dan berperilaku tentang pekerjaan mereka atau kepuasan kerja yang didapat. Kepribadian individu mempengaruhi tingkat positif ataupun negatif dari pemikiran dan perasaan tentang pekerjaan mereka. Individu yang extraversion yang tinggi biasanya memiliki tingkat kepuasan kerja yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang memiliki sifat extraversion yang rendah. Kecenderungan kepribadian membantu seseorang menentukan kepuasan mereka dalam bekerja dan kepribadian tersebut dapat
10
diturunkan secara genetik. Penelitian yang dilakukan Richard Arvey (dalam George & Jones, 2006) terhadap 34 subyek kembar identik yang dibesarkan secara terpisah menunjukan bahwa, faktor genetik turut menyumbang sekitar 30% dari perbedaan tingkat kepuasan kerja mereka. Tetapi terdapat temuan lainnya yang menunjukan bahwa kembar identik tersebut cenderung memiliki pekerjaan yang serupa dalam kompleksitas, kemampuan motorik, dan tuntutan fisik pekerjaan. Serta 70 % lainnya dipengaruhi oleh hal-hal lainnya termasuk dipengaruhi oleh manager. 2.
Nilai (Values) Nilai memiliki dampak terhadap level kepuasan kerja karena mereka merefleksikan keyakinan karyawan tentang hasil yang seharusnya terjadi dan bagaimana seseorang berprilaku saat bekerja. Seseorang dengan nilai intrinsik yang kuat dalam bekerja (hal-hal yang terkait dengan sifat pekerjaan itu sendiri) lebih mungkin merasakan kepuasan dalam bekerja dibandingkan dengan seseorang dengan nilai intrinsik yang lemah, meskipun pekerjaan mereka cenderung menarik dan memiliki makna pribadi (seperti pekerja sosial) tetapi membutuhkan jam kerja yang panjang dengan upah yang tidak baik. Sedangkan seseorang dengan nilai ekstrinsik (berkaitan dengan kosekuensi dari pekerjaannya) yang kuat lebih mungkin merasakan kepuasan dalam bekerja dibandingkan seseorang dengan nilai ekstrinsik yang rendah, meskipun mereka mendapatkan upah yang baik dengan pekerjaan yang monoton.
3. Situasi Kerja (Work Situation) Sumber kepuasan kerja yang paling penting adalah situasi kerja itu sendiri – bagaimana seseorang dalam bekerja (menarik atau
11
membosankannya pekerjaan mereka), orang-orang yang berinteraksi disekitar mereka (konsumen, bawahan, supervisor), lingkungan dimana seseorang bekerja (tingkat kebisingan, keramaian, dan temperatur), dan bagaimana organisasi memperlakukan karyawannya (jam kerja karyawan, keamanan kerja, uang lembur & keuntungan, kebijaksanaan atau keadilan). Setiap aspek dalam pekerjaan merupakan bagian dari situasi kerja dan dapat mempengaruhi kepuasan kerja. Bahkan kebanyakan pekerja merasakan kepuasan dalam bekerja jika memiliki gaji yang memuaskan dan hal tersebut cenderung aman dibandingkan dengan pekerja yang memiliki gaji yang rendah. 4. Pengaruh Sosial (Sosial Influence) Salah satu faktor penentu kepuasan kerja adalah pengaruh sosial atau pengaruh yang dimiliki perseorangan atau kelompok terhadap sikap dan perilaku pekerja. Sekelompok rekan kerja, sebuah kelompok dimana seseorang terlibat dan kultur dimana seseorang bertumbuh dan hidup didalamnya, semua memiliki potensi untuk mempengaruhi kepuasan kerja. Pengaruh sosial dari rekan kerja dapat menjadi penentu kepuasan seseorang dalam bekerja, dikarenakan rekan kerja selalu berada disekeliling mereka saat bekerja yang terkadang memiliki tipe pekerjaan serupa ataupun latar belakang pendidikan. Level kepuasan kerja karyawan juga dipengaruhi oleh kelompok dimana mereka turut menjadi bagian dari kelompok tersebut misalnya kelompok keagamaan tertentu, yang meresa tidak puas jika mendapatkan tugas pada hari sabtudan minggu. Dan keluarga tempat tumbuh berkembangnya seseorang dapat mempengaruhi kepuasan kerja saat memasuki dunia kerja. Hal
12
tersebut dipengaruhi oleh gaya hidup mereka ketika kanak – kanak. Selain itu kultur tempat seseorang tumbuh dan tinggal di dalamnya dapat menyebabkan level kepuasan kerja karyawan. Karyawan yang bertumbuh dalam kultur (misalnya kultur Amerika) yang menekankan pentingnya pencapaian individu dan prestasi, biasanya lebih puas dengan pekerjaan yang memberikan tekanan kepada prestasi dan menyediakan bonus serta bayaran yang lebih bagi pencapaian individu. Sedangkan karyawan yang tumbuh dalam kultur (Jepang misalnya) yang menekankan pentingnya melakukan apa yang baik bagi semua orang, mungkin akan lebih terpuaskan dengan pekerjaan yang menekankan kompetensi dan pencapaian individu. 2.1.2 Tiga Teori dari Kepuasan Kerja 1.
Affectivity Theory Teori ini berdasarkan anggapan dari Judge & Hulin et al (dalam Hughes et al., 2006) bahwa kepuasan kerja mempunyai kecenderungan terhadap bagaimana seseorang bereaksi terhadap stimulus dalam sikap emosi yang konsisten. Menurut Judge & Hulin et al.,(dalam Hughes et al., 2006) individu mempunyai dua kecenderungan dalam bereaksi yaitu: seseorang dengan kecenderungan negative affectivity cenderung bereaksi konsisten pada perubahan peristiwa atau situasi yang dialami dengan tanggapan yang negatif. Sedangkan seseorang dengan positive affectivity secara konsisten bereaksi pada perubahan peristiwa atau situasi yang dialami dengan tanggapan sikap yang positif. Seseorang dengan positive affectivity menurut Judge & Hulin et al,.(dalam Hughes et al,.2006) cenderung mendapatkan kegembiraan, selalu
13
optimis ketika menghadapi situasi yang baru dan lebih memiliki kepuasan dalam bekerja dan orang dengan negative affectivity cenderung mengalami ketidakpuasan kerja. Judge & Hulin et al,.(dalam Hughes et al,.2006) berpendapat bahwa kebahagiaan seseorang tidak pernah sama apapun keadaan mereka dan yang lainnya terlihat menjaga pandangan positif ketika dalam keadaan yang buruk. 2. Herzberg’s Two-Factor Theory Herzberg (dalam Hughes et al,.2006) membagi teori menjadi dua bagian yaitu, kepuasan dalam bekerja yang disebut motivators dan ketidakpuasan kerja yang disebut hygiene factor. Menurut two-factor theory, usaha untuk meningkatkan hygiene factor tidak akan meningkatkan motivasi ataupun kepuasan karyawan. Memberikan sumber yang terbatas pada pemimpin perusahaan, adalah kunci untuk meningkatkan tingkat kepuasan followers menurut two-factor theory hanya cukup memenuhi hygiene factor memaksimalkan motivasi untuk pekerjaan tertentu. Dan yang terpenting bagi kondisi kerja adalah harus mencukup banyak pengakuan, tanggung jawab, dan kemungkinan untuk maju. 3. Organizational Justice Merupakan pendekatan kognitif berdasarkan penyimpulan dari pernyataan beberapa orang yang diperlakukan tidak adil dan kehilangan produktivitas, kepuasan dan komitmen untuk organisasi mereka (Hughes et al,.2006). Disamping itu menurut Sheppard, Lewicki, & Minton (dalam Hughes et al,.2006) individu-individu tersebut lebih menyukai penggabungan perilaku dan terlibat dalam kontra kinerja dalam kinerja mereka. Berdasarkan Trevino (dalam
14
Hughes et al,.2006), keadilan organisasi dibuat berdasarkan tiga komponen yang saling berhubungan yaitu: a) Interactional Justice Mencerminkan tingkatan bagaimana seseorang diberikan informasi tentang prosedur pemberian reward yang berbeda dan diperlakukan dengan rasa wibawa dan penuh hormat. b) Distributive Justice Berhubungan dengan persepsi followers dan bahwa apakah tingkatan dari reward atau punishment sudah setara dengan kinerja individu atau pelanggaran yang dilakukannya. Ketidakpuasan terjadi ketika followers percaya bahwa seseorang sudah menerima sedikit atau banyaknya reward ataupun punishment. c) Procedural Justice Meliputi proses dimana reward atau punishment dilaksanakan. Jika seseorang diberikan punishment kemudian jika seseorang harus dihukum, maka followers akan lebih puas jika orang yang sedang dihukum telah diberikan peringatan yang memadai dan telah mendapatkan kesempatan untuk menjelaskan tindakannya, dan jika hukuman telah diberikan secara tepat waktu dan konsisten. Penelitian telah dilakukan menurut McFarlin & Sweeney et al.,(dalam Hughes et al., 2006) menunjukkan bahwa komponen yang berbeda terhadap keadilan organisasi berhubungan pada kepuasan dengan pemimpin, gaji, promosi, dan pekerjaan itu sendiri.
15
2.1.3
Karakteristik Personal yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja Disain ulang lingkungan kerja sangat mungkin dilakukan untuk
mengatur peningkatan kepuasan kerja dan produktivitas (Schultz, 2006). Menurut Schultz (2006) ada berbagai macam karakteristik personal pada tempat kerja dapat berakibat pada kepuasan kerja, diantaranya: 1. Usia (Age) Secara umum, kepuasan kerja dipengaruhi oleh usia. Kepuasan kerja yang rendah lebih banyak dialami para pekerja yang lebih muda, karena mereka tidak menemukan tantangan dan tanggung jawab yang cukup pada dunia pekerjaan yang baru mereka. Sedangkan pada pekerja yang lebih tua lebih memiliki kesempatan dalam menemukan pemenuhan diri, aktualisasi diri, dan adanya peningkatan dalam keyakinan, kompetensi, penghargaan serta tanggung jawab yang dapat membuat mereka lebih merasa kepuasan dalam bekerja. 2. Jenis Kelamin (Gender) Perbedaan gender dalam pekerjaan lebih kepada ketidak jelasan pola dalam kepuasan kerja. Sebagai contoh, pekerja wanita mempunyai upah yang lebih kecil dibandingkan pria untuk pekerjaan yang sama dan tingkat promosi pada pekerja wanita lebih sedikit dibandingkan pria. Tetapi dalam bekerja, para pekerja wanita percaya bahwa mereka mampu bekerja lebih baik dari pada pekerja pria sebelum mereka menerima rewards dan keyakinan tersebut mempengaruhi kepuasan kerja.
16
3. Ras (Race) Secara umum pekerja kulit putih lebih banyak melaporkan tentang kepuasan kerja mereka dibandingkan pekerja kulit hitam. 4. Kemampuan Kognitif (Cognitive Ability) Kemampuan kognitif bukanlah merupakan sesuatu penentu yang signifikan dari kepuasan kerja, tetapi kemampuan kognitif sangat penting jika dihubungkan dengan tipe pekerjaan yang memerlukan kecerdasan yang tinggi dan menuntut kinerja yang tinggi. Seseorang yang memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi untuk tipe pekerjaan yang tidak menantang, cenderung mengalami kebosanan dan ketidak puasan dalam bekerja. 5. Pengalaman Kerja (Job Experience) Pekerja yang baru memasuki dunia pekerjaan cenderung lebih puas terhadap pekerjaannya. Adanya dorongan dan tantangan dari pengembangan skill dan kemampuan dalam bekerja menyebabkan kepuasan tersendiri bagi para pekerja, karena hal tersebut merupakan pengalaman yang baru. Tetapi jika para pekerja baru tersebut tidak menerima feedback pada kemajuan kerja mereka, maka akan menyebabkan penurunan semangat pekerja dan dapat mengurangi tingkat kepuasan kerja mereka. 6. Keahlian Pekerjaan (Use of Skills) Keluhan utama untuk para lulusan baru pada jurusan tekhnik dan science adalah bahwa mereka tidak dapat mengaplikasikan pengetahuan mereka yang mereka dapat dari bangku kuliah pada pekerjaan mereka. Pada sebuah penelitian, pekerja yang bahagia dipekerjaannya adalah pekerja yang dapat mengaplikasikan kemampuannya dalam dunia pekerjaannya.
17
7. Keserasian Pekerjaan (Job Congruence) Berhubungan dengan kecocokan antara tuntutan pekerjaan dengan kemampuan pekerja dalam bekerja. Kepuasan kerja terbesar terdapat pada keserasian yang tinggi pada kesesuaian antara skill individu terhadap tuntutan pekerjaan yang ada. 8. Keadilan Organisasi (Organizational justice) Berhubungan dengan persepsi pekerja dalam merasakan keadilan pada dirinya di perusahaan tempat ia bekerja. Ketika pekerja merasakan ketidakadilan (kesadaran pekerja akan kekurang adilan dalam perusahaan), kinerja, kepuasan kerja, dan komitmen organisasi mereka seperti ditolak. 9. Kepribadian (Personality) Pekerja mengalami kepuasan yang lebih pada pekerjaannya jika mereka memiliki kemampuan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan pekerjaannya dan mempunyai emosi yang stabil. Kepuasan kerja yang tinggi ditunjukan dengan tingkatan yang tinggi dari lingkungan sosial dan kepercayaan dari institusi yang bersangkutan terhadap seseorang dalam organisasi berdasarkan keadilan, kepercayaan dan pretolongan. 10. Mengontrol Pekerjaan (Job Control) Seseorang yang dapat mengontrol pekerjaannya memiliki motivasi yang tinggi untuk menunjukan seberapa baik dan pengalaman yang diterima terhadap kepuasan kerja. 11. Level Pekerjaan (Occupational Level) Pekerja yang memiliki level tinggi dalam pekerjaan akan membuat semakin tingginya kepuasan kerja. Para eksekutif dalam suatu perusahaan cenderung mengekspresikan sikap positif terhadap
18
pekerjaannya dan merasa menjadi supervisor garis depan, yang memiliki kepuasan lebih dibandingkan bawahan mereka. Level pekerjaan yang tinggi memberikan autonomy yang besar terhadap, tanggung jawab dan tantangan dalam bekerja. Kepuasan menurut penilaian Maslow akan kebutuhan aktualisasi diri dapat ditingkatkan dengan setiap tingkatan level dalam organisasi (dalam Schultz,2006). 2.2 Organizational Citizenship Behavior (OCB) Organizational Citizenship Behavior (OCB) didefinisikan sebagai perilaku seseorang yang mempunyai kebebasan untuk memilih, tidak semata-mata dikarenakan oleh sistem upah (reward) yang resmi, dan hal tersebut dilakukan untuk meningkatkan fungsi yang efektif dari organisasi (Organ et al., 2006). Hal yang serupa juga dikemukakan oleh Podsakoff, et al., (dalam Adriansyah, 2008) tentang OCB yang didefinisikan sebagai perilaku individu yang mempunyai kebebasan untuk memilih, yang tidak secara langsung atau eksplisit diakui oleh sistem upah (reward) secara formal, dan memberi konstribusi terhadap keefektifan fungsi bagi organisasi. Sloat (dalam Adriansyah, 2008) juga berpendapat bahwa OCB merupakan tindakan – tindakan yang mengarah pada terciptanya keefektifan fungsi – fungsi dalam organisasi dan tindakan tersebut secara eksplisit tidak diminta (secara sukarela) serta tidak secara formal diberi penghargaan (dengan insentif). Sedangkan Spector (1997) berpendapat bahwa OCB merupakan perilaku yang dilakukan oleh para pekerja yang dimaksudkan untuk membantu rekan kerja dan organisasi mereka. Berdasarkan definisi tersebut OCB dapat dikatakan sebagai tindakan yang secara sukarela dilakukan oleh para pekerja untuk membantu rekan kerja mereka agar dapat meningkatkan keefektifitasan dari organisasi.
19
2.2.1 Dimensi - Dimensi Organizational Citizenship Behavior OCB meliputi usaha extra yang dilakukan para pekerja melebihi tangung jawab minimum yang dibutuhkan dalam pekerjaannya (Schultz, 2006). Contoh lain dari perilaku yang dihasilkan oleh OCB antara lain, membantu rekan kerja, sukarela melakukan kegiatan ekstra ditempat kerja, menghindari konflik dengan rekan kerja, melindungi properti organisasi, menghargai peraturan yang berlaku dalam organisasi dan toleransi pada situasi yang kurang ideal atau yang tidak menyenangkan ditempat kerja, datang tepat waktu dan memberi saran yang membangun ditempat kerja (Robbins, 2003). Untuk memperjelas perilaku OCB, Organ (2006) membaginya kedalam lima dimensi utama yaitu: 1. Altruism Perilaku karyawan dalam menolong rekan kerjanya yang mengalami kesulitan dalam situasi yang sedang dihadapi, baik mengenai tugas dalam organisasi maupun masalah pribadi orang lain. Dimensi ini mengarah kepada memberi pertolongan yang bukan merupakan kewajiban yang ditanggungnya. 2. Conscientiousness Perilaku yang ditunjukkan dengan berusaha melebihi dari apa yang diharapkan perusahaan. Perilaku ini merupakan tindakan sukarela yang bukan merupakan kewajiban atau tugas karyawan. Dimensi ini menjangkau jauh diatas dan jauh ke depan dari panggilan tugas. 3. Sportmanship Perilaku yang memberikan toleransi terhadap keadaan yang kurang ideal dalam organisasi tanpa mengajukan keberatan – keberatan. Seseorang yang mempunyai tingkatan yang tinggi dalam
20
spotmanship akan meningkatkan iklim yang positif diantara karyawan, karyawan akan lebih sopan dan bekerja sama dengan yang lain sehingga akan menciptakan lingkungan kerja yang lebih menyenangkan. 4. Courtesy Menjaga hubungan baik dengan rekan kerjanya agar terhindar dari masalah – masalah interpersonal. Seseorang yang memiliki dimensi ini adalah orang yang menghargai dan memperhatikan orang lain. 5. Civic Virtue Perilaku yang mengindikasikan tanggung jawab pada kehidupan organisasi (mengikuti perubahan dalam organisasi, mengambil inisiatif untuk merekomendasikan bagaimana operasi atau prosedur – prosedur organisasi dapat diperbaiki, dan melindungi sumber – sumber yang dimiliki oleh organisasi). Dimensi ini mengarah pada tanggung jawab yang diberikan organisasi kepada seorang untuk meningkatkan kualitas bidang pekerjaan yang ditekuni. 2.2.2 Manfaat Organizational Citizenship Behavior Keuntungan OCB dapat dirasakan oleh organisasi itu sendiri dan para karyawan yang berada di organisasi tersebut. (Chen et al., 1998) mengatakan bahwa OCB (terutama altruism, conscientiousness, dan spotrmanship) dapat menurunkan tingkat turnover karyawan. Dan dua bentuk OCB lainnya (courtesy dan civic virtue) dapat membuat karyawan lebih lama berada di dalam pekerjaan, kualitas yang tinggi dalam perusahaan, dan membantu kesuksesan peusahaan (Chen et al., 1998). OCB juga dapat membentuk lingkungan kerja organisasi yang baik
21
sehingga memunculkan dedikasi karyawan, tingkat turnover yang rendah, dan kualitas kerja yang baik (Chen et al., 1998). Selain mengurangi tingkat turnover pada karyawan, OCB juga memiliki peran untuk membantu efektifitas perusahaan. Podsakoff & Mckenzie (1997) membuat alasan – alasan mengapa OCB dapat mempengaruhi efektifitas dari organisasi, antara lain, OCB dapat meningkatkan produktifitas rekan kerja, karena karyawan yang menolong rekan kerjanya akan mempercepat proses penyelesaian tugas rekan kerjanya tersebut. Selain itu OCB juga dapat meningkatkan produktivitas manager, dikarenakan para pekerja membantu manager dengan memberikan saran atau umpan balik yang dapat meningkatkan keefektifan unit kerja , menghindari terjadinya konflik dengan rekan kerja dan menolong manager terhindar dari krisis management (Podsakoff & Mckenzie, 1997). 2.3 Kepuasan Kerja dan Organizational Citizenship Behavior (OCB) Penelitian – penelitian terdahulu telah membahas bahwa terdapat hubungan yang kuat antara kepuasan kerja dengan OCB dalam bekerja. Menurut Bateman & Organ kepuasan kerja mungkin lebih terkait erat dengan aspek-aspek lain yang terkait dengan pekerjaan perilaku seperti membantu rekan kerja, melindungi organisasi dan sumber daya, membuat saran konstruktif atau memuji perusahaan di luar organisasi (dalam Deaux & Wrightsman, 1988). Seperti yang dijelaskan sebelumnya, OCB merupakan perilaku yang ditunjukan oleh karyawan melebihi kewajiban kerja mereka tanpa adanya sistem reward atas apa yang mereka lakukan. Perilaku tersebut dimunculkan karyawan berdasarkan rasa kepuasan akan pekerjaan yang mereka jalani.
22
Pekerja yang puas terhadap perusahaan dan pekerjaannya akan cenderung membalas atau memberikan sesuatu kembali kepada organisasi dengan terlibat ke dalam beberapa bentuk OCB (George & Jones, 2002). Pekerja yang berada dalam suasana hati positif sangat mungkin untuk melakukan beberapa bentuk dari OCB, seperti membantu pelanggan atau menyarankan ide baru (George & Jones, 2002). Bentuk – bentuk atau domain – domain OCB menurut penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Organ dan Ryan (dalam Jones, 2006) juga menunjukan hubungan yang positif dengan kepuasan kerja. Hal ini dapat dilihat dengan penjabaran sebagai berikut: Korelasi kepuasan kerja dengan altruism sebesar 0.24; kepuasan kerja dengan compliance atau conscientiousness sebesar 0.22; kepuasan kerja dengan courtesy sebesar 0.24, kepuasan kerja dengan civic virtue sebesar 0.21; dan kepuasan kerja dengan sportsmanship sebesar 0.28. Penelitian tersebut dilakukan terhadap 12.192 responden dan pada taraf signifikansi (0, 123 – 0,169). Singkatnya, mereka menyimpulkan penelitian menyediakan dukungan untuk hipotesis bahwa ukuran OCB akan lebih berkaitan dengan kepuasan daripada peran dalam bekerja (in-role behavior) (dalam Jones, 2006). 2.4 Kerangka Berfikir dan Hipotesis 2.4.1 Kerangka Berfikir Kepuasan Kerja Organizational Citizenship Behavior
Ketidakpuasan
(OCB)
Kerja Gambar 2.2 Kerangka Berfikir Penelitian ini dilakukan berdasarkan informasi mengenai permasalahan sikap karyawan PD Almubarak Energy. Adapun Permasalahan yang terjadi pada
23
PD Almubarak Energy adalah adanya tingkat turnover dan tingkat ketidakhadiran yang tinggi yang dilakukan para karyawan. Sikap turnover dan ketidakhadiran tersebut merupakan beberapa prilaku nyata karyawan yang menggambarkan ketidakpuasan dalam bekerja. Tetapi terdapat beberapa pelilaku tidak nyata yang ditunjukan karyawan diantaranya dengan mengurangi perilaku OCB pada saat bekerja. Menurut Chen et al. (1998), seseorang yang tidak puas terhadap pekerjaannya biasanya sering menurunkan kinerja ketika bekerja, dan hal tersebut dapat merugikan bagi dirinya karena perilaku tersebut dapat membuat seseorang mendapatkan sanksi, dan beberapa karyawan yang tidak puas dengan pekerjaannya juga dapat menurunkan perilaku OCB ketika bekerja dan hal tersebut tentunya tidak akan mendapatkan sanksi karena OCB merupakan perilaku yang bebas dan tidak terikat secara resmi. Sedangkan karyawan yang puas akan pekerjaannya cenderung meningkatkan perilaku OCB di tempat kerja mereka. Hal tersebut dikarenakan adanya penelitian yang dilakukan sebelumnya, yang menunjukan bahwa awal kepuasan kerja akan dapat memprediksi bentuk OCB lebih lanjut (Organ, 2006). Berdasarkan pernyataan dan latar belakang tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kepuasan kerja dengan Organization Citizenship Behavior (OCB) pada karyawan PD Almubarak Energy berdasarkan perilaku ketidakpuasan seperti turnover dan absensi pada karyawan PD Almubarak Energy. 2.4.2 Hipotesis Sedangkan hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, dimana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk pertanyaan (Sugiyono, 2009). Adapun hipotesis dalam penelitian ini terdiri dari H0 dan H1 yaitu:
24
H0 = Tidak terdapat hubungan signifikan antara kepuasan kerja OCB pada karyawan PD Almubarak Energy
H1 = Terdapat hubungan signifikan antara kepuasan kerja dengan OCB pada karyawan PD Almubarak Energy