Bab 2 LANDASAN TEORI
Di dalam bab 2 ini penulis akan membagi menjadi beberapa sub bab sesuai dengan teori yang akan penulis gunakan untuk menganalisis data pada bab selanjutnya. 2.1 Konsep Pernikahan di Jepang Menurut Watanabe (2010: 4) menjelaskan bahwa dua tipe mula-mula keluarga Jepang terbentuk, yaitu: 1. Keluarga yang tidak dapat kita pilih (orang tua)
「定位家族・原家族(family of orientation)」
2. Keluarga yang terbentuk dengan keinginan individu (menikah)
生殖家族(family of procreation)
Mula-mulanya dalam masyarakat Jepang, menikah dan mempunyai anak adalah 1 set pernikahan, tetapi seiring dengan perkembangan jaman, makna menikah bagi orang Jepang-pun berubah. Walaupun menikah, tidak selalu setiap keluarga mempunyai anak. Watanabe (2010: 4) menjelaskan bahwa ada tiga tipe keluarga, yaitu keluarga yang menunda menikah, keluarga yang terbentuk diluar nikah, dan tidak menikah.
晩婚化] (bankonka)
1. Penundaan Pernikahan [
Menurut Watanabe (2010: 5) keterangan bankonka sekarang ini adalah sebagai berikut:
年代を経るにつれて 20~24 歳間での初婚が減って 30~34 歳間での初婚 が増え、平成 21 年にはどちらも 3 割近くと均衡してきている。
Terjemahan: Tingkat pernikahan pada usia 20 hingga 24 tahun mengalami penurunan, dilanjutkan tingkat pernikahan pertama pada usia 30 sampai 34 tahun mengalami kenaikan, yang keduanya memiliki presentase hampir 30% pada tahun 2009. 2. Tidak Menikah Menurut Watanabe (2010: 4) keterangan bankonka sekarang ini adalah sebagai berikut: 6
7
子どもが出来ても正式な結婚はせず事実婚のままでいるカップルもい れば、結婚しても子どもは持たない夫婦のかたちもあるという具合に、 「結婚」と「子どもをもつこと」が順序だったものともセットとも限 らなくなってきた。 Terjemahan: Ada beberapa pasangan yang tidak terikat pernikahan tetapi mempunyai anak, ada juga pasangan suami istri yang menikah tanpa memiliki anak format keluarga tidak lagi terbatas pada (pernikahan) & (memiliki anak) 2.1.1 Ideologi Pernikahan Jepang Konsep keluarga di Jepang disebut system ‘ie’. Sistem ‘ie’ ini tumbuh dan bertahan sangat kuat pada masyarakat Jepang, Sistem ‘ie’ merupakan salah satu kebudayaan Jepang. Sistem keluarga Jepang yang dipandang ideal sepanjang abad ke-20 adalah keluarga berdasarkan sistem ‘ie’, Ronald dan Alexy (2011: 1-20) mengungkapkan bahwa ada dua macam penyebutan sistem keluarga di Jepang: 1. Sistem ‘ie’ Ciri-ciri anggota keluarga Jepang dalam sistem ‘ie’ adalah Patrilineal 1. Laki-laki sebagai kepala keluarga a. Mempunyai hak atas property dan nama keluarga b. Bertanggung jawab terhadap anggota keluarga 2. Wanita sebagai ibu rumah tangga seutuhnya a. Mengurus suami dan anak b. Melakukan pekerjaan rumah 2. Sistem kazoku Dalam sistem keluarga modern, banyak dari keluarga-keluarga yang menyebut kazoku dibandingkan katei. Sebagai kebudayaan yang khas, konsep ‘ie’ tidak hanya mengatur sistem keluarga Jepang, tetapi juga mengatur interaksi sosial masyarakat. Hal ini terlihat dengan mendapatnya pengakuan sistem ‘ie’ dalam UUD Meiji (1899) Penerapan sistem ‘ie’ dihapuskan ketika Jepang mengalami kekalahan dan berada dibawah kekuasaan Amerika Serikat. Akan tetapi karena sistem ‘ie’ itu sudah tertanam dalam diri orang Jepang dalam kurun waktu yang panjang, walaupun sudah dihapusnya sistem tersebut mereka masih menerapkan sistem ‘ie’ dalam berbagai aspek kehidupan.
8
Torioge Hiroyuki (1985) menjelaskan bahwa ‘ie’ merupakan suatu unit dasar bagi kehidupan orang Jepang yang mempunyai ciri: 1) Menpunyai harta sebagai warisan dan berdasarkan harta warisan itu diselenggarakan suatu unit usaha yang berkaitan dengan perekonomian keluarga. 2) Secara periodik menyelenggarakan upacara pemujaan arwah leluhur dan menjaga kelangsungan keturunan dari generasi kegenerasi terutama yang berhubungan dengan kesinambungan nama keluarga (myoji). 2.2 Konsep Sejahtera bagi Orang Jepang dalam Hal Finansial Midgley (2000: xi) mendefinisikan kesejahteraan sosial sebagai “…a condition or state of human well-being.” Kondisi sejahtera terjadi manakala kehidupan manusia aman dan bahagia karena kebutuhan dasar akan gizi, kesehatan, pendidikan, tempat tinggal, dan pendapatan dapat dipenuhi; serta manakala manusia memperoleh perlindungan dari resiko-resiko utama yang mengancam kehidupannya. Konsep sejahtera bagi orang Jepang dalam hal finansial pun, dapat dilihat dalam alasan untuk permasalahan penikahan berikut, yang berarti jika masalah berikut telah dapat dipenuhi akan menjadi kondisi sejahtera bagi orang Jepang. Seperti yang dijelaskan oleh Suzuki, Nawada, Muraoka, 2009: 4) bahwa:
「福祉のサロン」では、社会福祉について、「制度・政策、機関・機 能、サービス等全ての資源を動員して、人権主体としての人間の充足 状態を保障すること」と定義している。 Terjemahan: “Kesejahteraan Sosial adalah keadaan dimana adanya jaminan terpenuhinya organsisasi, lembaga, fasilitas, dan semua service yang dibutuhkan sebagai hak individu”.
Dalam Watanabe (2010: 7) dipaparkan bahwa alasan individu tidak ingin menikah, terbagi menjadi dua kategori, yaitu: 1. Golongan yang bisa menikah tetapi menjadi tidak menikah, karena ada perubahan sudut pandang terhadap pernikahan a. Ingin menjadi lebih bermanfaat didunia kerja b. Tidak ingin kehilangan kebebasan sebagai single c. Masih ada hal prioritas lain disbanding keluarga d. Bisa hidup bersama pasangan saja sudah cukup
9
2. Golongan yang ingin menikah tetapi tidak bisa menikah, karena adanya keterbatasan dalam hal ekonomi, mempertimbangkan kesejahteraannya akan terpenuhi jika masalah berikut terpenuhi. Berdasarkan gender: a.) Laki-laki: Tidak percaya diri dengan kemampuan ekonominya b.) Wanita: Belum menemukan pasangan yang mapan (kemampuan ekonomi) (pekerjaan) Keluarga akan dapat dikatakan sejahtera jika aliran peran di dalam keluarga dapat terpenuhi, seoerti dalam system ‘ie’ untuk peran masing-masing anggota keluarga. Watanabe (2010: 6) menjelaskan bahwa:
家族を養えることは一種のステータスであり、男性は経済的な柱になる ことを当然のように求められる。女性は無収入でも「家事手伝い」や 「専業主婦」という職業があるのだ。 Terjemahan: “kesejahteraan keluarga adalah jika peran laki-laki yang menjadi pilar pencari nafkah terpenuhi dan wanita yang bekerja seutuhnya sebagai ibu rumah tangga terpenuhi.”
2.3 Konsep Wakamono no Hinkonka 2.3.1 Definisi Wakamono no Hinkonka 1. Secara harafiah di jelaskan oleh Matsura (2005: 1153; 285; 389)
若者) yang berarti pemuda, hinkon (貧困) yang berarti miskin atau kemiskinan, ka (化) yang berarti berkembang terus.
a. wakamono ( b. c.
2. Ogura, Inuyama, dan Yamaguchi (2008: 14) o wakingu pua (Wakamono no Hinkonka; kenaikan pemuda miskin di jepang) 2.3.2
Perkembangan Wakamono no Hinkonka
Ogura, Inuyama, dan Yamaguchi (2008: 14) menjelaskan perkembangan wakamono no hinkonka sebenarnya sudah ada sejak lama, tetapi baru mulai muncul sebaking wakamono no hinkonka pada tahun 2000-an. 1. wakingu pua (wakamono no hinkonka; kenaikan pemuda miskin di jepang) menyebar dan dikenal beberapa tahun belakangan ini. Sejak lama masalah wakingu pua ini, sudah ada.
10
2. Dahulu wakamono no hinkonka dikenal dengan teishotokusha, gezoukaikyu, binbounin, tetapi sekarang menjadi wakingu pua, dan dalam bahasa asli Jepangnya ialah wakamono no hinkonka
2.3.3 Ciri-Ciri Wakamono no Hinkonka Ciri-ciri wakamono no hinkonka menurut Ebihara (2010) dan Kokuzeicho (2005) a. Bekerja sebagai pegawai tidak tetap b. Rentang umur 20-34 tahun c. 5 dari 1 orang Jepang berpenghasilan dibawah 2 juta yen pertahun. d. Tidak terkait antara umur dan jenis kelamin
2.4 Konsep Shoshika 2.4.1 Definisi Shoshika Shoshika ialah, tingkat kelahiran yang terus menerus rendah sehingga antara generasi baru dan lama satu persatu kehilangan populasi pengganti. (Kono, 2007) 2.4.2 Sebab terjadinya Shoshika Dalam Cabinet Office of Japan (Naikakufu)(2004) faktor utama timbul dan meningkatnya shoshika, adalah penundaan pernikahan atau tidak adanya keinginan menikah dikalangan masyarakat Jepang dan rendahnya keinginan untuk mempunyai anak sebuah rata-rata keluarga Jepang. ①
① ①
夫婦の出生率の低下 未婚化の進展 晩婚化の進展
= Penurunan tingkat kelahiran dari pasangan yang sudah menikah
= Naiknya tingkat populasi yang tidak ingin menikah = Naiknya tingkat populasi yang menunda menikah
Naikakufu (2011) memaparkan bahwa proses terjadinya shoshika dikarenakan keadaan dari bermasalahnya proses pernikahan hingga melahirkan anak. Seperti pada gambar berikut, ketika para pemuda Jepang ingin menikah, mereka mempunyai beberapa masalah dan alasan yang menyebabkan tidak adanya keinginan menikah atau, mereka menunda untuk menikah dan penurunan tingkat kelahiran dari pasangan yang sudah menikah.
11
Gambar 2.1 Alur Proses Shoshika (Sumber: Naikakufu, 2011 )
Sebab Shoshika (Rendahnya Tingkat Kelahiran) dan Latar Belakang Rendahnya Tenaga Kependidikan Anak dlm keluarga atau daerah Bertambahnya tingkat individu yang tidak menikah
Bertambahnya “mikonka”
- Tidak PD mengurus anak - Kemandirian mengurus anak - Struktur Keluarga inti - Naiknya keluarga inti
Penurunan tingkat kelahiran dari pasangan yang sudah menikah
-Bertambahnya beban biaya pendidikan/pengasuhan -Beban menjalani dua kegiatan (kerjamengasuh) -Ketidaksertaan ayah mengasuh anak -Bertambahnya beban fisik-jiwa istri -Berkurangnya keberadaan anak stlh tua -Bertambahnya biaya pendidikan/kelahiran
Sependapat
Menikah – Mempunyai anak
Perubahan pandangan pernikahan: tidak menikahpun tdk apa2
-Belum bertemu dengan yg cocok -Senang dengan kehidupan sendiri -Tidak punya biaya pernikahan -Tingginya tingkat wanita career -Bertambahnya biaya kelahiran – pernikahan
Bertambahnya “bankonka”
Pendidikan, kesehatan, anak yang baru lahir
Subsidi pengasuhan, biaya sekolah, asuransi
Biaya TK, libur kerja utk mengasuh anak, dll Melakukan dua pekerjaan sekaligus, yaitu bekerja dan rumah tangga Anjuran keturutsertaan ayah mengasuh anak, mengurangin jam kerja
Bantuan Pengasuhan anak di daerah
Makna Kehidupan, Pemahaman tugas masing2 di dalam keluarga
Perubahan pemikiran pernikahan – tinggal bersama orang tua Bertambahnya “wakamono” yg tidak mapan secara ekonomi
Bantuan Pekerjaan Pemuda
Generasi Muda – Generasi sebelum Menikah
Gambar 2.1 Alur Proses Shoshika (Terjemahan) (Sumber: Naikakufu, 2011 )