BAB 2 LANDASAN TEORI
2.1. Mahasiswa 2.1.1. Pengertian Menurut Ruslan abdulgani (1987), dalam pidato Dies Natalis Universitas Wijaya Kusuma-Surabaya (dalam Hasti, 1994:8), secara formil fungsional, mahasiswa adalah setiap individu yang sedang menuntut ilmu pengetahuan dalam salah satu perguruan tinggi. Lebih jauh menurut Sarwono (1979) mahasiswa adalah suatu kelompok dalam masyarakat yang memperoleh statusnya, selalu
dalam
ikatannya dengan perguruan tinggi. Berdasarkan pengertian tersebut seseorang dapat disebut mahasiswa hanya jika ia belajar di salah satu perguruan tinggi. 2. 1. 2. Tahap Perkembangan Mahasiswa Gunarsa dan Ny. Gunarsa (2004) menjelaskan bahwa, pengertian kedewasaan sebagai suatu fase dalam perkembangan yang dipandang dari beberapa segi sebetulnya kurang tepat. Salah satu ciri yang melekat pada mahasiswa adalah intelektual, yaitu berpikir logis. Berpikir logis, artinya berpikir dengan menggunakan logika-logika tertentu yang bisa diterima dengan akal pikiran yang jernih dan sehat. Tindakan logis, artinya tidak melakukan sebuah tindakan terlebih dahulu, sebelum tindakan itu dipertimbangkan matang-matang melalui alam pikiran, nalar yang sehat, mempunyai pikiran yang luas, dan mereka juga sudah bisa memilih mana yang baik dan buruk. Bila dilihat dari tahap perkembangan Erikson (dalam Turner & Helms, 1987, dalam Lutfi, 1999), mahasiswa masuk dalam tahapan intimacy versus 8
9 isolation. Sedangkan bila dilihat dari pembagian usia menurut Levinson (Turner & Helms, 1978, dalam Lutfi, 1999), mahasiswa berada pada tahap early adult transition (17-22 tahun), dan memilki 2 tugas utama, yaitu: •
Menghilangkan struktur hidup remaja, dimana seseorang mulai merubah prioritas, kebiasaan, serta pola hidup sehingga dapat mencapai tujuan hidupnya.
•
Meninggalkan dunia sebelum kedewasaan, yang berarti berkurangnya ketergantungan terhadap keluarga. Pemenuhan tugas-tugas ini terjadi dalam bentuk eksternal: pindah atau
keluar rumah dari orangtua, mandiri secara financial, memasuki peran baru, dan pengaturan hidup dimana mahasiswa menjadi lebih mandiri dan bertanggung jawab. Berpisah dari dunia sebelum kedewasaan juga dapat terjadi secara internal, yaitu meningkatnya perbedaan diri mahasiswa dengan orangtua, jarak psikologis yang melebar dari keluarga dan berkurangnya ketergantungan secara emosional pada dukungan keluarga (Levinson, 1987, dalam Lutfi, 1999). Dalam proses tersebut, mahasiswa mendapatkan rasa percaya diri yang lebih besar akan kemampuan mereka dan pikiran mereka akan menjadi lebih sistematis dan analitis (Turner& Helms, 1987, dalam Lutfi, 1999). Erikson (dalam Biehler, 1976, dalam lutfi, 1999) menyatakan bahwa intimasi tidak mungkin dapat dicapai konflik psikososial dari tahapan remaja (identity versus role confussion) belum terpecahkan yaitu sampai terbentuknya identitas diri. Bila individu merasa aman dengan dirinya sendiri barulah ia berani
10 terlibat dengan orang lain. Kegagalan dalam membina intimasi akan mengakibatkan isolasi individu. (Turner dan Helms ,1987, dalam Lutfi, 1999) mengemukakan ciri-ciri tahapan dewasa muda sebagai berikut: •
Sistem nilai yang telah berkembang dengan baik, konsep diri yang akurat. Tingkah laku emosi yang stabil dan hubungan sosial yang memuaskan.
•
Memiliki persepsi yang akurat tentang realitas termasuk mengetahui kekuatan dan kelemahan dirinya.
•
Pada tahapan ini kemampuan untuk menguasai dan menggunakan ilmu pengetahuan
telah
mendekati
kapasitas
maksimumnya,
kemampuan
memecahkan masalah lebih sistematis dan canggih serta menunjukkan level baru dari pemikiran kreatif. 2. 2. Prasangka Sosial Menurut Sarwono (2006), prasangka adalah praduga yang bisa berkonotasi positif atau negatif terhadap suatu objek. Meskipun prasangka pada awalnya maknanya adalah netral, bisa positif juga negatif, dalam sejumlah kajian psikologi seakan kata prasangka terjadi penyempitan makna. Prasangka cenderung dimaknai dengan praduga yang berkonotasi negatif terhadap objek tertentu diakibatkan oleh bias karena kurang lengkapnya informasi, dan semakin diperparah dengan adanya penilaian yang negatif dan merendahkan terhadap objek atau kelompok yang bukan bagian dari identitas diri. Selain itu
menurut
Gerungan (2004) prasangka sosial merupakan sikap perasaan orang-orang terhadap manusia tertentu, golonga ras atau kebudayaan yang berbeda dengan
11 golongan orang yang berprasangka itu. Prasangka sosial terdiri atas sikap-sikap sosial yang negatif terhadap golongan lain dan tidak mempengaruhi tingkah lakunya terhadap golongan manusia lain tadi. Prasangka sosial yang pada awalnya hanya merupakan sikap-sikap perasaan negatif itu lambat laun menyatakan dirinya dalam tindakan-tindakan yang diskriminatif terhadap orangorang yang termasuk golongan-golongan yang diprasangkai itu tanpa terdapat alasan yang objektif pada pribadi orang yang dikenai tindakan-tindakan diskriminatif. Tindakan-tindakan diskriminatif diartikan sebagai tindakantindakan yang bercorak menghambat, merugikan perkembangan, bahkan karena mereka kebetulan termasuk golongan yang diprasangkai itu. Sebuah contoh mengenai prangsangka sosial adalah sikap orang Jerman terhadap keturunan Yahudi di negaranya sejak akhir abad ke-19 dan mencapai puncaknya pada masa Jerman-Hitler dengan tidakan-tindakan yang bertujuan untuk memberantas keturunan Yahudi di sana. Gejala-gejala
dan
peristiwa-peristiwa
yang
bercorak
tindakan-
tindakan diskriminatif terhadap segolongan manusia tanpa terdapat alasan- alasan yang
obyektif
pada
pribadi-pribadi
orang
itu
satu
persatu
yang
membenarkan tindakan-tindakan diskriminasi seperti itu menunjukan adanya prasangka sosial itu dapat ditunjukakan pada berbagai masyarakat merdeka di dunia (dalam masyarakat kolonial, prasangka sosial itu sudah mendarah daging dimana kaum penjajah secara terus-menerus memupuk prasangka sosial terhadap kaum yang dijajah demi kelangsungan penjajahnya). Misalnya, di beberapa negara Eropa dan Amerika, masih terdapat gejala antisemitisme atau anti-Yahudi walaupun tindakan diskriminatifnya tidak
12 sekejam yang terjadi di Jerman pada masa Hilter. Lebih nyata bahwa di Amerika serikat terdapat prasangka sosial terhadap golongan orang kulit hitam dan bukan orang kulit hitam yang telah sadar untuk menghilangkannya. Di indonesia juga pernah
terjadi
cetusan-cetusan
tidak
wajar
yang
merupakan
tindakan
diskriminatif terhadap golongan keturunan tionghoa, seperti peristiwa kerusuhan mei pada tahun 1998. Biasanya tindakan-tindakan diskriminatif yang berdasarkan prasangka sosial merugikan masyarakat negara itu sendiri, sudah jelas pula karena dengan demikian perkembangan potensi-potensi manusia masyarakat itu sendiri sangat dihambat. Maka, di negara-negara yang bersangkutan telah pula diupayakan untuk mengubah dan menghilangkan prasangka-prasangka sosial yang picik dan yang menghambat perkembangan masyarakat dengan wajar. 2.2.1. Stereotip Adanya prasangka sosial bergandengan pula dengan stereotip yang merupakan gambaran atau tanggapan tertentu mengenai sifat-sifat dan watak pribadi orang golongan lain yang bercorak negatif. Stereotip mengenai orang lain sudah terbentuk pada orang yang berprasangka sebelum ia mempunyai kesempatan untuk bergaul sewajarnya dengan orang-orang lain yang dikenai prasangka itu. Biasanya, stereotip terbentuk padanya berdasarkan keterangan-keterangan yang kurang lengkap dan subjektif. Sebuah contoh mengenai stereotip mengenai sifat dan watak orang kulit hitam dimana antara lain terdapat anggapan bahwa semua orang kulit hitam itu bodoh, kurang ajar, dan tidak berkesusilaan. Peranan stereotip menentukan sikapnya terhadap semua orang kulit hitam itu. Sementara itu, stereotip pada orang yang berprasangka itu sangat besar dalam pergaulan
13 sosialnya dengan orang kulit hitam, terlepas dari tingkat-tingkatan pendidikan, sosial-ekonomi atau tingkatan kebudayaannya pada umumnya. Gambaran stereotip tidak mudah berubah serta cenderung untuk dipertahankan oleh orang berprasangaka, juga apabila mereka pernah bergaul dengan orang kulit hitam yang intelijen, berwatak tinggi, terdidik, dan maju dalam perkembangannya. Dalam hal itu, mereka yang berprasangka menganggap orang kulit yang maju itu sebagai suatu pengecualian dari orang kulit hitam Amerika pada umumnya yang mempunyai sifat-sifat seperti itu yang tercantum dalam stereotip itu. Dan di indonesia sifat-sifat stereotip di tujukan kepada warga etnis Tionghoa, bahwa etnis Tionghoa itu pelit, licik, tidak perduli dengan perkembangan atau masalah bangsa Indonesia, dan lain-lain. Namun apabila warga Tionghoa yang sudah berjasa pada bangsa Indonesia, dalam hal itu mereka yang berprasangka menganggap sebagai pengecualian juga. Meskipun demikian, stereotip dan prasangka sosial dapat berubah, yaitu dengan usaha-usaha intensif secara langsung atau karena perubahan keadaan masyarakat pada umumnya, misalnya katena peperangan dan revolusi. Prasangka sosial selain menyatakan diri dalam tindakan-tindakan diskriminatif terhada golongan-golongan tertentu dan dalam stereotip-stereotip terhada golongan-golongan tertentu dan dalam stereotip-stereotip tertentu juga dapat kita temukan dengan cara riset yang khusus. Untuk itu, dapat digunakan bermacam-macam teknik riset seperti wawancara, angket, dan skala-skala sikap. Dari uraian di atas, bahwa Skala sikap memiliki 3 komponen yang saling menunjang ( Mar’at, 1982 dan Zanden, 1984 dalam Hastati, 1994), yaitu:
14 a. Komponen kognitif (pikiran) Menyangkut cara individu mempersepsikan suatu objek melalui pikiran (thoughts), gagasan (ideas), dan keyakinan (believes), berkaitan dengan pengetahuan yang memiliki individu terhadap objek baik yang bersifat evaluatif (baik buruknya objek) maupun pemahaman terhadap objek itu sendiri. b. Komponen afeksi (perasaan) komponen ini terdiri dari emosi-emosi yang berhubungan dengan objek, berkaitan dengan perasaan like-dislike atau favorable unfavorable terhadap objek, misalnya satu objek dianggap menyenangkan dan disukai atau tidak menyenangkan dan tidak disukai. Komponen ini merupakan hasil evaluasi dari respon kognitif dan perasaan terhadap objek sikap. c. Komponen konatif (perilaku) Komponen ini berupa kecenderungan menerima atau menolak obyek dan bertingkah laku tertentu sehubungan dengan obyek. 2. 2. 2. Sumber Prasangka Dalam upaya
untuk
menghindari
tindakan-tindakan
diskriminatif
yang
berdasarkan prasangka sosial itu, perlu mengetahui bagaimana terjadinya prasangka sosial dan apa sebab-sebab prasangka sosial dipertahankan yang sudah berprasangka itu. Sikap-sikap manusia tidak dibawa sejak dilahirkan, tetapi bermacammacam sikap itu dipelajari dan dibentuk pada manusia selama perkembangannya. Anak kecil tidak mempunyai sikap, tetapi ia memperoleh pertama-tama dari orangtua dan keluarganya yang merupakan kelompok primer (primary group) baginya yang pertama-tama mendidiknya atau merupakan lingkungan sosial
15 pertama tempat anak itu berkembang sebagai manusia sosial. Demikian pula halnya dengan prsangka sosial yang tidak dibawa sejak dilahirkan tetapi terbentuk selama perkembangannya, salah satunya melalui didikan orang-orang lain yang sudah berprasangka. Dalam beberapa penelitian dan observasi tampak bahwa di sekolahsekolah internasional tidak terdapat sedikitpun prasangaka sosial pada anak-anak sekolah yang berasal dari bermacam-macam golongan, ras atau kebudayaan. Mereka baru akan memperolehnya di dalam perkembangannya apabila mereka bergaul erat dengan orang-orang yang telah berprasangka sosial. Hal ini berlangsung dengan sendirinya dan pada taraf tidak sadar melalui proses-proses imitasi, sugesti, identifikasi, dan simpati yang memegang peranan utama di dalam interaksi itu. Sementara itu, secara tidak sadar mereka lambat laun mungkin memperoleh sikap-sikap tertentu terhadap golongan-golongan tertentu yang lambat laun dapat melahirkan stereotip-stereotip. Dilihat dari sudut psikologi perkembangan, terbentuknya prasangka sosial pada manusia itu merupakan kelangsungan yang tidak berbeda dengan perkembangan sikap-sikap lainnya pda diri manusia itu, kalau dan apabila anak-anak itu kebetulan bergaul erat dengan orang-orang yang sudah berprasangka. Pembentukan prasangka semacam itu dapat berlangsung terus sebagaimana digambarkan hingga orang itu menjadi dewasa dan dengan demikian ikut memiliki juga sikap-sikap peranan dan stereotip-stereotip terhadap golongan tertentu yang dapat digunakan oleh orang-orang tertentu yang berkepentingan (Gerungan , 2004).
16 2. 2. 3. Terjadinya Prasangka Sosial Menurut Gerungan (2004), Terjadinya prasangka sosial semacam ini dapat juga disebut pertumbuhan prasangka sosial dengan tidak sadar dengan yang berdasarkan kekurangan pengetahuan dan pengertian akan fakta-fakta kehidupan yang sebenarnya dari golongan-golongan orang yang dikenai stereotip-stereotip itu. Suatu faktor lainnya yang lebih sadar dan yang dapat mempertahankan serta memupuk prasangka sosial dengan gigih adalah faktor kepentingan perseorangan atau golongan tertentu yang akan memperoleh keuntungan atau rezekinya apabila mereka memupuk prasangka sosial itu seperti yang diuraikan oleh Prof. A. M. Rose (14) dalam brosur Unesco, The Roots of Prejudice, 1951. Prasangka sosial dengan demikian digunakan untuk mengeksploitasi golongangolongan lainnya demi kemajuan perseorangan atau golongan sendiri. Hal ini tampak pada zaman penjajahan ketika kaum penjajah menggunakan dan memupuk prasangka-prasangka sosial antara golongan-golongan yang dijajah demi keselamatan kelompoknya sendiri (devide et impera). Dalam uraian Rose, terdapat pula contoh mengenai seorang Amerika yang tidak mempunyai prasangka sosial terhadap orang Yahudi, tetapi yang menyatakan bahwa ia akan menjadi anti-semitis juga apabila atasannya mempunyai prasangka sosial terhadap kaum Yahudi. Dan faktor makin jauh jarak sosial yang dirasakan diantara orang-orang dari dua golongan yang berlainan, makin mendalam prasangka sosialnya di antara golongan-golongan itu, yang mukin berada pada taraf yang sadar, mungkin pula pada taraf yang tidak sadar.
17 2. 2. 4. Ciri Pribadi Orang Berprasangka Perkemabangan prasangka sosial dapat disebabkan oleh faktor-faktor ekstern pribadi orang, tetapi terdapat pula beberapa faktor intern dari pribadi orang yang mempermudah bertahannya prasangka sosial padanya, antara lain pada orangorang yang berciri tidak toleransi, kurang mengenal akan dirinya sendiri, kurang berdaya cipta, tidak merasa aman, memupuk khayalan-khayalan yang agresif dan lain-lain. 2. 3. Tionghoa 2. 3. 1. Pengertian Tionghoa Dalam artikel Tionghoa-Indonesia menyatakan Tionghoa adalah istilah yang dibuat sendiri oleh orang Indonesia, berasal dari kata Cung Hwa dari Tiongkok. Istilah Tionghoa dari Tiongkok lahir dari lafal Melayu (Indonesia) dan Hokkian. Jadi secara linguistik, Tionghoa dan Tiongkok memang tidak dikenal (diucapkan dan terdengar) diluar masyarakat Indonesia. Tionghoa adalah khas Indonesia, oleh sebab itu di Malaysia, Singapur, dan Thailand tidak dikenal istilah ini. Menurut Budiman (dalam Susetyo 2007), Sebagai orang keturunan Tionghoa mengakui bahwa dikalangan orang Tionghoa sendiri ada keinginan kuat untuk menggantikan istilah Cina dengan Tionghoa, terutama setelah kejatuhan Soeharto dan orde barunya. Istilah Cina sebenarnya merupakan ”hukuman” yang diberikan oleh pemerintahan Orde Baru yang dirasakan sangat menyakitkan. 2. 3. 2. Sejarah keberadaan warga keturunan Tinghoa di Indonesia Bangsa Tinghoa telah ribuan tahun mengunjungi kepulauan Nusantara. Salah satu catatan-catatan tertua ditulis oleh para agamawan Fa Hsien pada abad ke-4 dan terutama I Ching pada abad ke-7. I Ching ingin datang ke India untuk
18 mempelajari agama Buddha dan singgah dulu di Nusantara untuk mempelajari bahasa Sansekerta dahulu. Di Jawa ia berguru pada seseorang bernama Jnanabhadra. Kemudian dengan berkembangnya negara-negara kerajaan di tanah Jawa mulai abad ke-8, para imigran Tionghoa pun mulai berdatangan. Pada prasasti-prasasti dari Jawa, Tionghoa disebut-sebut sebagai warga asing yang menetap disamping nama-nama suku bangsa dari Nusantara, daratan Asia Tenggara dan anak benua India. Dalam prasasti-prasasti ini orang-orang Tionghoa disebut sebagai Cina dan seringkali jika disebut, dihubungkan dengan sebuah jabatan bernama Juru Cina atau kepala orang-orang Tionghoa. Maka sukubangsa Tionghoa di Indonesia adalah salah satu etnis penting dalam percaturan sejarah Indonesia jauh sebelum Republik Indonesia dideklarasikan dan terbentuk. Setelah negara Indonesia terbentuk, maka otomatis orang Tionghoa yang berkewarganegaraan Indonesia haruslah digolongkan menjadi salah satu suku dalam lingkup nasional Indonesia
setingkat
dan
sederajat
dengan suku-suku bangsa lainnya yang membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tionghoa di Indonesia merupakan keturunan dari leluhur mereka yang berimigrasi secara periodik dan bergelombang sejak ribuan tahun lalu. Catatancatatan literatur Tiongkok menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara telah berhubungan erat dengan Dimasti-dinasti yang berkuasa di Tiongkok. Faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas barang maupun manusia dari Tiongkok ke Nusantara dan sebaliknya. (Dalam artikel Tionghoa-Indonesia)
19 2. 3. 3. Kondisi Hubungabn Masyarakat Etnis Tinghoa dengan Masyarakat Pribumi Suparlan (1979) warga etnis tionghoa telah datang ke Indonesia selama berabadabad dan terus berdatang sehingga sekarang ke berbagai tempat di Indonesia menempati posisi sebagai tamu dalam prinsip ”dimana bumi dipijak dan langit dijunjung” yang ditekan oleh komuniti dan masyarakat sukubangsa setempat, Karena itu dimasa lampau hampir dapat dikatakan tidak ada konflik antara masyarakat sukubangsa setempat dengan orang Tionghoa. Hubungan kawinkawin antara orang-orang tionghoa dengan perempuan pribumi setempat telah memungkinkan berubahnya status ”tamu” menjadi kerabat dari anggota-anggota masyarakat sukubangsa setempat dan menjadi orang sendiri. Dengan berjalannya waktu terjadilah pecah belah antara etnis Tionghoa dan Pribumi, dan menurut (Yudo Husodo, 1985, Hariyano 1993;1994 dan Kwik,1998, dalam Murti, 1999) pertentangan ini mulai sejak zaman penjajahan, dimana Belanda membuat peraturan-peraturan yang bertujuan utnuk penjajahan, untuk memecah belah. Pada waktu itu, penjajah membedakan status warga Tionghoa
lebih
tinggi
daripada
masyarakat
pribumi.
Dengan
adanya
penggolongan ini masyarakat etnis Tionghoa terutama yang bersal dari golongan elit cenderung untuk tidak menyesuaikan diri dengan masyarakat pribumi, tetapi lebih berasimilasi kepada masyarakat Belanda yang lebih tinggi statusnya. Hal ini menimbulkan rasa perbedaan ras, budaya dan sosial antara kedua masyarakat ini, selain itu seperti yang telah disebutkan diatas, filsafat hidup masyarakat non pribumi Tionghoa banyak dipengaruhi oleh ajaran konfusius yang menekankan pentingnya hubungan kalangan yang erat dan dekat. Hal ini menyebabkan bangsa
20 Tionghoa terkenal sebagai salah satu bangsa yang paling rasialis, dalam arti mereka selalu berusaha menutup diri terhadap ras lain pada akhirnya menimbulkan perasaan pada bangsa Tionghoa sebagai bangsa yang super dan memandang ras lain sebagai ras yang lebih inferior. Sukses dibidang ekonomi dan kelebihan perlakuan Belanda telah makin mengembang perasaan superior dan menjaga jarak terhadap masyarakat pribumi. Selai status sosial, Belanda juga memberi hak kepada orang-orang Tionghoa tertentu utnuk menaikkan pajak rakyat. Siasat pecah belah lainnya adalah dengan memisahkan tempat tinggal. Belanda mendirikan daerah-daerah bagi suku bangsa tertentu, dimana warga kampung hanya boleh bergaul di lingkungannya sendiri. Masyarakat etnis Tionghoa juga ditempatkan di daerah pecinan dan didorong melaksanakan adat istiadat tradisional Tionghoa asli sehingga tetap berbeda identitasnya dari yang lain. Menurut Suryadinata (1985), kesadaran etnis ini lebih diperkuat ketika Jepang menduduki Indonesia. Masyarakat etnis Tionghoa diurus secara terpisah dari penduduk pribumi dan didorong untuk mempertahankan identitasnya. Ketegangan yang ada di antara kedua kelompok ini akhirnya meletus dalam konflik terbuka. Konflik pertama terjadi pada tahun 1911, pada masa sekitar pendirian Serikat Dagang Islam, dimana timbul kegiatan-kegiatan anti Tionghoa sebagai akibat munculnya gerakan diantara masyarakat pribumi untuk menandingi penguasaan ekonomi oleh masyarakat etnis Tionghoa di Indonesia (Yudo Husodo, 1985), pada tahun 1918 dikudus terjadi huru-hara anti Tionghoa yang melibatkan beberapa orang pimpinan Serikat Islam. Pada insiden-insiden
21 ini, masing-masing pihak menuduh pihak lawan sebagai pihak memulai huruhara. Pertentangan ini segara mereda antara lain karena kamuan para pemimpin dari keduan golongan untuk persetujuan perdamaian. Menurut Yudo husodo (1985), selain konfik tersebut diantaranya, pada masa-masa revolusi juga timbul kegiatan-kegiatan anti Tionghoa karena adanya kesan pada masyarakat pribumi bahwa seolah-olah masyarakat etnis Tionghoa telah ikut membantu penjajah Belanda. Konflik-konflik lain misalnya peristiwa tahun 1963 di Cerebon yang kemudian menjalar kesepuluh kota
di
Jawa,
yaitu:
Tegal,
Bandung,
Bogor,
Tasikmalaya,
Garut,
Sukabumi,Surabaya, Cianjur dan Yogya. Kerusuhan masal tanggal 1973 di Bandung; November1980, yang bermula di Solo dan seminggu kemudian sudah menjalar kekota-kota di Jawa Timur; tahun 1984 di Tanjung Priok Jakarta; dan akhirnya peristiwa 13-15 mei 1998 di Jakarta. Konflik antara golongan ini diikuti pula oleh perkembangannya sikap negatif antara golongan yang turut memperburuk hubungan antara kedua golongan. Koentjaraningrat (1982) berpendapat bahwa dikalangan masyarakat pribumi kini sudah tertanam prasangka buruk dan sikap curiga terhadap loyalitas nasional masyarakat etnis Tionghoa karena adanya anggapan bahwa sebagian besar dari mereka bersikap acuh tak acuh terhadap perjuangan masyarakat pribumi selama masa-masa revolusi kemerdekaan. Dan dipihak masyarakat etnis Tionghoa sendiri menganggap bahwa masyarakat pribumi lebih rendah derajadnya bila dibandingkan dengan mereka, sekaligus beranggapan bahwa mereka adalah golongan yang paling superior (Yudo Husodo, 1985).
22 Tan (1979) melalui observasi terhadap tingkah laku kedua masyarakat ini di beberapa tempat di Indonesia, menyimpulkan bahwa hubungan kedua masyarakat ini umumnya diwarnai oleh ketegangan da sling curiga. Sedangkan menurut Suryadinata (2002) dalam penelitiannya berdasarkan catatan sejarah, menyimpulkan bahwa persepsi masyarakat pribumi (terutama pemimpinnya) cenderung negatif terhadap masyarakat etnis Tionghoa dimana dipersepsikan sebagai suatu golongan yang berkuasa atas perekonomian Indonesia, mempunyai loyalitas yang tipis terhadap Indonesia dan cenderung berafiliasi ke negara pada sejumlah golongan etnis di Indonesia ke negeri leluhurnya. Penelitian lain yang dilakukan Wanaen (1978) tentang stereotip etnis pada sejumlah golongan etnis di Indonesia memperlihatkan bahwa menurut tujuh golongan etnis di jakarta, stereotip etnis tentang etnis Tionghoa cenderung negatif, antara lain yaitu: curiga, licik, pelit, jorok, percaya takhayul selain stereotip yang positif seperti: rajin, ikatan keluarga kuat. Dari uraian tersebut di atas tampaknya bahwa secara umum masyarakat menilai negatif terhadap masyarakat Tionghoa.