BAB 2 LANDASAN TEORI Bab ini menguraikan definisi, teori, dan kerangka berfikir yang dijadikan landasan penulis dalam melakukan penelitian berkaitan dengan gambaran emosi positif pada mahasiswa/I Bina Nusantara yang mengikuti semester pendek. Penjelasan yang akan diutarakan sepanjang bab dua ini antara lain adalah definisi dari EP dan unsur-unsur pembentuknya, tahapan dewasa muda.
2.1 Emosi Positif 2.1.1 Definis Emosi Positif Emosi memiliki unsur perasaan, indrawi, pemikiran, dan tindakan (Seligman, 2002). Baumgardner (2010) mengatakan jika dievaluasi berdasarkan efek psikologis dan phisiologis, emosi dapat dibagi menjadi dua bentuk, yaitu afek positif dan afek negatif.
Afek positif mengacu pada emosi seperti:
keriangan, kedamaian, kepuasan, dan kebahagiaan. Afek negatif mengacu pada emosi, seperti: amarah, takut, kesedihan, rasa bersalah, jijik, dan penghinaan. (hal. 39) Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa EP adalah suatu keadaan mental yang memiliki unsur perasaan, indrawi, pemikiran dan tindakan yang dapat menghasilkan afek-afek positif, seperti: keriangan, kedamaian, kepuasan, dan kebahagiaan. Sedangkan Emosi negatif [singkat EN] adalah kebalikannya, yaitu suatu keadaan mental yang memiliki unsur perasaan, indrawi, pemikiran dan tindakan yang dapat menghasilkan afek-afek negatif, seperti: amarah, takut, kesedihan, rasa bersalah, jijik, dan penghinaan.
8
2.1.2 Manfaat Emosi Positif Seligman (2002) mengatakan EP dapat membantu individu untuk memaknai hidupnya, memberikan kehidupan yang menyenangkan, karena kehidupan yang menyenangkan adalah hidup yang berhasil mendapatkan EP masa sekarang, masa lalu, dan masa depan. Kemudian EP akan mengerahkan kekuatan khas yang merupakan jalan alami untuk menuju kehidupan yang baik. Kehidupan yang baik adalah dimana individu menggunakan kekuatan personal untuk memperoleh gratifikasi semaksimal mungkin pada wilayah-wilayah utama kehidupan. Kehidupan yang baik sendiri merupakan sebuah komponen penting untuk membawa individu pada kehidupan yang bermakna. Kehidupan yang bermakna adalah menggunakan kekuatan khas dan kebajikan untuk melayani sesuatu yang lebih akbar dari diri sendiri. Jika individu dapat mengalami kedua kehidupan tersebut diatas, maka individu tersebut dapat mengalami kehidupan yang utuh. Kehidupan yang utuh adalah mengalami EP tentang masa lalu dan masa sekarang, menghayati perasaan positif dari kenikmatan, memperoleh banyak
gratifikasi
dengan
cara
mengerahkan
kekuatan
pribadi,
dan
menggunakan kekuatan ini untuk melayani sesuatu yang lebih akbar demi memperoleh makna hidup. (hal. 334-336) Selain itu, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dr. Alice Isen dan seorang mahasiswa Universitas Cornell (2000). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Estrada, dkk (dalam Seligman, 2002) ditemukan bahwa EP juga dapat membuat individu menjadi lebih kreatif dan mengalami lejitan intelektual. Penelitian tersebut juga menemukan bahwa para partisipan tidak terjebak kedalam pembuatan kesimpulan prematur atau bentuk-bentuk pemrosesan intelektual (hal 46). EP membuat individu memiliki cara berfikir yang sama sekali berbeda dengan cara berpikir yang berasal dari EN. EP membuat individu 9
berpikir kreatif, toleran, konstruktif, murah hati, tidak defensif, dan lateral. Cara berpikir ini tidak berjalan dengan mendeteksi kesalahan karena tidak melakukan sesuatu, tetapi dengan mengasah kebajikan dari perbuatan. Cara berfikir individu dengan EP dan individu yang berfikir dengan EN bahkan mungkin timbul dibagian otak yang berbeda dan memiliki neurokimiawi yang berbeda pula (Davidson, 1999). Barbara (dalam Seligman, 2002) menemukan EP juga dapat menetralkan EN. Ostir (dalam Seligman, 2002) mengatakan bahwa EP melindungi individu dari kondisi-kondisi buruk yang mengiringi penuaan. 2.1.3 Pembagian Emosi Positif Seligman (2002) membagi EP menjadi tiga jenis dilihat dari masa waktunya, yaitu: EP yang ditujukan pada masa lalu, EP yang ditujukan pada masa depan, dan terakhir EP yang ditujukan pada masa kini. Perlu diketahui bahwa ketiga jenis EP ini berbeda dan tidak mesti berhubungan erat, karena ketiga EP ini terbentuk pada tiga masa waktu yang berbeda. Waktu adalah sebuah satuan yang terus berubah, bahkan tiap detiknya. Oleh sebab itu, penulis mendefinisikan; masa lalu sebagai satuan waktu yang telah dilalui individu, masa depan sebagai satuan waktu yang akan dilalui individu, dan masa kini adalah satuan waktu yang sedang dialami individu. Tentu saja, karena waktu yang terus dinamis dan pengalaman individu ditiga masa waktu tidak pernah sama. Maka sangat wajar jika individu memiliki pengalaman emosi yang bisa saja jauh berbeda dari tiap masa waktunya dan tidak memiliki hubungan yang erat.
10
Berdasarkan Seligman (2002) EP sendiri terdiri dari beragam emosi, misalnya: 1. Emosi Positif (masa lalu): puas, bangga, tenang, memaafkan, bersyukur, kesuksesan, kelegaan. 2 . Emosi Positif (masa depan): optimisme, harapan, percaya diri, kepercayaan, keyakinan, kepercayaan. 3. Emosi Positif (masa kini): kenikmatan, kegembiraan, ekstase, rasa senang, flow, ketenangan, semangat, gratifikasi.
2.1.3.1 Masa Lalu Terdapat hubungan antara pikiran dan emosi yang menjadi perdebatan. Sesuai yang dibahas oleh Seligman (2005), penulis akan membahas dua sudut pandang mengenai hubungan antara pikiran dan emosi tentang masa lalu. Emosi tentang masa lalu bisa meliputi: kelegaan, kepuasan, dendam, kegetiran, dan lain-lain. Pandangan pertama oleh kalangan Freudian klasik mengatakan, bahwa isi pikiran disebabkan oleh emosi dan hal ini ditegaskan oleh Teasdale. Menurut Teasdale 1997 (dalam Seligman, 2002) hal ini terjadi karena pada saat individu mengalami depresi, lebih mudah baginya untuk mengenang pengalaman atau kenangan yang menyedihkan dari pada kenangan yang membahagiakan. Emosi negatif inilah yang kemudian mendorong pikiran untuk bergerak kearah negatif pula. (Seligman, 1970). menemukan bahwa, muntah dan mual menciptakan kebencian akan cita rasa makanan terakhir yang dimakan, bahkan walaupun individu tersebut tahu bahwa yang menjadi penyebab muntah bukan makanan tersebut (hal. 406-418).
11
Pandangan kedua disampaikan sekitar tiga puluh tahun lalu saat revolusi psikologi kognitif terjadi. Ditegaskan oleh Aaron T. Beck (dalam Seligman, 2002), pakar teori terkemuka tentang terapi kognitif, bahwa emosi selalu ditimbulkan oleh kognisi, bukan sebaliknya. Pikiran tentang hal negatiflah yang kemudian menciptakan emosi negatif. Contohnya: pikiran tentang bahaya menimbulkan ketakutan, pikiran tentang kehilangan menimbulkan kecemasan. Pada individu yang mengalami depresi pikirannya didominasi oleh interpretasi negatif yang berujung pada pemunculan emosi negatif. Dua pandangan yang sangat berbeda, namun ditemukan bahwa ternyata keduanya terkadang saling berganti peran (Seligman, 2002).Interpretasi individu tentang apa yang terakhir dia rasakan dari pengalamannya merupakan faktor penting dalam menanggapi apa yang dialaminya. Poin terpentingnya agar individu mampu melalui masa lalu dengan EP adalah memiliki kepuasan akan masa lalu dan tidak terpenjara didalamnya. Pemahaman negatif dan penghayatan yang tidak memadai tentang masa lalu merupakan kunci EN pada masa lalu. Terlalu menekan peristiwa buruk juga merupakan biang keladinya. Ada
dua cara untuk membawa emosi-emosi
tentang masa lalu ini keranah kelegaan dan kepuasan. Memiliki EP bersyukur dan EP memaafkan adalah cara yang paling menjanjikan. Bersyukur menambah penghayatan dan pemahaman terhadap peristiwa baik pada masa lalu dan menulis ulang sejarah dengan disertai rasa maaf dan kegetiran peristiwa buruk (dan bahkan bisa mengubah kenangan buruk menjadi kenangan indah).
12
2.1.3.1.1 Memaafkan Memaafkan adalah kesediaan untuk menetralkan kenangan negatif. Fincham & Kashdan, 2004; McCullough, Pargament, & Thoresen, 2000; McCullough & Witvliet, 2002; Worthington, 1998 (dalam Baumgarder, 2010) memaafkan dapat menurunkan efek dari amarah dan rasa ingin balas dendam. Rasa marah dan benci dibuat oleh perasaan pribadi yang bisa merusak hubungan dan memenjarakan individu dalam penumbuhan emosi negatif yang obsesif terhadap pelaku. Memaafkan bukanlah melupakan atau membiarkan memori tentang pelaku menghilang. Hingga saat ini belum ditemukan cara untuk meningkatkan secara langsung proses melupakan dan menekan memori buruk. Ditambah lagi, upaya untuk menekan pemikiran negatif merupakan suatu upaya yang kontra-produktif, karena hanya akan membuat individu terus teringat hal yang ingin dilupakan (Wegner & Zanakos, 1994). Memaafkan juga berbeda dengan rekonsiliasi, karena tidak dibutuhkan persetujuan dari kedua belah pihak (McCullough & Witvliet, 2002). Fincham & Kashdan, 2004; McCullough et al., 2000; McCullough & Witvliet, 2002; Peterson & Seligman, 2004 (dalam Baumgardner, 2010) belum ada definisi konsensus tentang memaafkan, karena memaafkan sendiri masih sangat bersifat subjektif. Oleh karena atu-satunya cara untuk menata ulang EN tentang masa lalu adalah dengan memaafkan (Seligman, 2002). Sebuah tindakan yang membiarkan masa lalu tetap utuh, tetapi EN yang telah dirasakan ditransofrmasikan. penulis mendefinisikan memaafkan sebagai kesediaan untuk menetralkan kenangan negatif. Memaafkan tidak selamanya dapat menstransformasi EN menjadi EP, tapi setidaknya selalu mampu mengubah EN menjadi netral, dan dengan demikian memungkinkan individu untuk memperoleh kepuasan hidup yang lebih besar. 13
Memaafkan memiliki perasaan positif dan tindakan nyata terhadap pelaku atau setidaknya tidak memiliki EN terhadap kenangan tersebut. Memaafkan tidak mengarah pada penghapusan, melainkan memberikan kesan baru terhadap kenangan. Didapati bahwa memaafkan menurunkan amarah, stress berkurang, optimisme bertambah, kesehatan meningkat, kesediaan untuk memaafkan bertambah, dan efek-efek tersebut dapat diukur Harris et al. (dalam Seligman, 2002) 2.1.3.1.2 Bersyukur Bersyukur merupakan penerimaan terhadap masa lalu yang diwujudkan dengan rasa terima kasih akan segala sesuatu yang telah diterima. Penelitian membuktikan bahwa bersyukur menghasilkan EP yang dapat membuat individu merasa bahagia, damai, dan mau berpendapat (Bono et al., 2004; Emmons, & McCullough, 2004). Rasa bersyukur dapat ditunjukan dengan mengucapkan terima
kasih
setiap
harinya.
EP
bersyukur
akan
lebih
kuat
jika
jasa/keuntungan/pertolongan yang diterima diperoleh secara cuma-cuma dan saat pemberi pertolongan mengorbankan sesuatu (Emmons & Shelton, 2002). Bersyukur juga disertai dengan perilaku membalas budi sebagai tanda bahwa apa yang telah dilakukan penolong merupakan hal yang berarti baginya. Dari penelitian yang dilakukan oleh Robert Emmons & Mike McCullough (2002) yang menugaskan secara acak individu-individu untuk membuat jurnal harian selama dua minggu. Sebagian ditugasi mencatat kejadian yang mereka syukuri, yang lainnya mencatat kejadian mengganggu, atau sekadar peristiwa hidup
biasa.
Hasilnya,
pada
kelompok
tang
bersyukur,
kegembiraan,
kebahagiaan, dan kepuasan hidup bertambah.
14
2.1.3.2 Masa Depan EP tentang masa depan antara lain optimisme, harapan, percaya diri, kepercayaan, keyakinan, kepercayaan. Diantara EP tersebut, optimisme dan harapanlah yang paling sering menjadi tema penelitian dan pembahasan empiris (Seligman 2002). Seligman (Baumgardner, 2010) Optimisme dan harapan memberikan daya tahan lebih baik dalam menghadapi depresi , memberikan kinerja yang lebih tinggi, dan kesehatan fisik menjadi lebih baik. Dengan pertimbangan diatas, peneliti memilih untuk berfokus pada optimisme dan harapan. 2.1.3.2.1 Optimisme Seligman (2002) mengatakan optimis adalah pemikiran atau ekspektasi positif terhadap masa depan. Individu yang optimis merupakan individu yang dapat melihat peluang yang ada, memiliki pandangan positif, mengacu pada fakta logis, percaya diri, dan bisa menghadapi tantangan. Sedangkan individu pesimis merupakan individu yang memiliki pandangan negatif, melihat apa yang tidak tersedia, meragukan kemampuan diri, dan mudah menyerah(Baumgardner, 2010). Berdasarkan dimensinya, Seligman (2002) membagi optimisme menjadi dua: 1.
Optimisme Permanen
2.
Optimisme Pervasif Seligman (2002) menjelaskan individu yang mudah menyerah percaya
bahwa penyebab kejadian-kejadian buruk yang menimpa mereka bersifat permanen,
kejadian
buruk
itu
akan
terus
berlangsung,
selalu
hadir
mempengaruhi hidup mereka. Individu yang melawan ketidak berdayaan percaya bahwa penyebab kejadian buruk itu bersifat sementara. Jika individu memikirkan 15
hal-hal yang buruk dengan kata “selalu” dan “tidak pernah” disertai ciri-ciri yang menyertainya, individu tersebut memiliki gaya pesimistis yang permanen. Jika individu
berpikir
dalam
istilah
“kadang-kadang”
dan
“akhir-akhir
ini”,
menggunakan kata sifat, dan menyalahkan hal-hal yang sementara sifatnya, individu tersebut mempunyai gaya optimistis. Individu yang percaya peristiwa baik memiliki penyebab yang permanen lebih optimistis dari pada mereka yang percaya bahwa penyebabnya temporer. Individu yang optimistis menerangkan peristiwa dengan mengaitkannya dengan penyebab permanen, contohnya watak dan kemampuan. Orang yang pesimistis menyebutkan penyebab sementara seperti suasana hati dan usaha. Individu yang meyakini bahwa peristiwa baik memiliki penyebab permanen, ketika berhasil, mereka berusaha lebih keras lagi pada kali berikutnya. Orang-orang yang menganggap peristiwa baik disebabkan oleh alasan temporer mungkin menyerah bahkan ketika berhasil, karena mereka percaya itu hanya suatu kebetulan. Orang yang paling bisa memanfaatkan keberhasilan dan terus bergerak maju begitu segala sesuatu mulai berjalan dengan baik adalah orang yang optimis (hal. 115-117). 1.
Optimis Pervasif. Optimis pervasif berkaitan dengan masalah “ruang”. Terdapat dua jenis optimis pervasif, yaitu universal dan spesik (Seligman 2002). Dalam menjelaskan
kegagalan,
individu
yang
optimis
universal
akan
mengaitkannya dengan seluruh aspek kehidupan, sedangkan optimis spesifik hanya mengaitkannya dengan satu aspek kehidupan. Seligman (2002) mengatakan bahwa dimensi permanen menentukan berapa lama seseorang menyerah, penjelasan permanen atas kejadian buruk menghasilkan ketidakberdayaan yang berlangsung lama dan 16
penjelasan
temporer
menghasilkan
kelenturan.
Dimensi
pervasif
menentukan apakah ketidak berdayaan melebar ke banyak situasi atau terbatas pada wilayah asalnya saja. Gaya penjelasan optimistis atas peristiwa baik berlawanan dengan penjelasan optimis atas peristiwa buruk. Orang yang optimistis percaya bahwa peristiwa baik akan meningkatkan apapun yang dia lakukan, sedangkan orang yang pesimistis yakin bahwa peristiwa baik disebabkan oleh factor tertentu (hal. 118-119). 2.1.3.2.2 Harapan Harapan adalah kepercayaan bahwa hal yang diinginkan akan terjadi. Harapan merupakan salah satu tabiat positif manusia yang dapat memberikan kekuatan untuk menghadapi cobaan. Harapan berevolusi dari optimisme kedalam bentuk yang lebih besar guna mempertahankan kelangsungan hidupnya.
Seligman
(2002) menjelaskan,
bahwa menemukan
penyebab
permanen dan universal dari peristiwa baik serta menemukan penyebab temporer dan spesifik untuk musibah, adalah seni harapan. Sedangkan menemukan penyebab permanen dan universal dari peristiwa buruk serta penyebab temporer dan spesifik untuk peristiwa baik, adalah perilaku putus asa. Peristiwa buruk dapat diterangkan melalui cara tanpa harapan atau penuh harapan, seperti contoh berikut in Tanpa harapan: “Saya bodoh”, “laki-laki memang penindas” Penuh harapan: “Suasana hati suami saya lagi jelek”
17
Begitu pula dengan peristiwa baik: Tanpa harapan: “Saya beruntung”, “Dosen saya sedang senang” Penuh harapan: “Saya berbakat”, Individu yang membuat penjelasan permanen dan universal untuk kejadian baik, begitu pula penjelasan temporer dan spesifik untuk kejadian buruk, dengan cepat pulih kembali dan dengan mudah kembali melangkah begitu mereka
mendapatkan
sebuah
keberhasilan.
Individu
yang
memberikan
penjelasan temporer dan spesifik untuk keberhasilan, serta penjelasan permanen dan universal untuk kegagalan, cenderung kolaps ketika terkena tekanan, keduanya dalam waktu lama dan menyebar keberbagai dimensi, dan jarang kembali aktif (hal. 120-121)z 2.1.3.3 Masa Sekarang EP tentang masa sekarang antara lain: kenikmatan, kegembiraan, ekstase, rasa senang, flow, ketenangan, semangat, gratifikasi. EP tentang masa sekarang bersifat lahiriah dan batiniah. EP yang bersifat lahiriah bersifat sementara dan dirasakan secara indrawi, sedangkan EP yang bersifat batiniah bertahan lebih lama dan memerlukan interpretasi secara kognitif. EP tentang masa sekarang yang meliputi seluruh unsur batiniah adalah kenikmatan dan EP yang merupakan puncak dari unsur lahiriah adalah gratifikasi, oleh karena itu peneliti memutuskan untuk berkonsentrasi terhadap dua buah EP tersebut. 2.1.3.3.1 Kenikmatan Kenikmatan adalah kesenangan yang memiliki komponen indrawi yang jelas dan komponen emosi yang kuat, yang disebut oleh parah filsuf sebagai perasaan-perasaan dasar (raw feels): Ekstase, gairah, orgasme, rasa senang, riang, ceria, dan nyaman (Seligman, 2002). Untuk mengetahui sesuatu 18
membawa kenikmatan atau tidak, hal tersebut tidak perlu diajarkan, karena itu EP jenis ini hanya membutuhkan sedikit interpretasi. Kenikmatan ini mencakup kelima sistem indrawi: meraba, mengecap, menggerakan tubuh, melihat, dan mendengarkan. Kenikmatan hanya bertahan sementara dan sensasi saat pertamakali merasakan kenikmatan yang sama tidak seperti sensasi berikutnya, hal ini terjadi karena terjadi proses pembiasaan. Contoh dari kenikmatan adalah makan, mendengarkan musik, mandi, dan lain-lain. 2.1.3.3.2. Gratifikasi Gratifikasi adalah keadaan menyenangkan yang mengikuti pencapaian hasrat (Seligman, 2002). Kriteria pendefinisian gratifikasi juga meliputi ketiadaan perasaan, hilangnya kesadaran diri, dan keterhanyutan total. Gratifikasi datang dari kegiatan yang sangat kita sukai yang ditopang oleh kekuatan dan kualitas individu, tetapi tidak mesti disertai oleh perasaan-perasaan dasar. Gratifikasi membuat individu terbuai dalam hal yang sedang dilakukannya. Gratifikasi bertahan lebih lama dari pada kenikmatan dan melibatkan lebih banyak pemikiran dan interpretasi. Gratifikasi dibentuk oleh kekuatan diri dan kualitas khas individu. Gratifikasi merupakan keterserapan individu pada kegiatan yang benar-benar ingin dilakukan dan dapat membuat seseorang mencapai sebuah pertumbuhan psikologis. Individu cenderung memilih kenikmatan dari pada gratifikasi, hal itu disebabkan karena gratifikasi membutuhkan usaha yang lebih banyak dan juga memiliki resiko. Contohnya: individu lebih memilih untuk jalan-jalan ke mall ketimbang berlatih judo. Jalan-jalan ke mall merupakan kegiatan tanpa usaha lebih dan tanpa resiko untuk gagal, dibandingkan berlatih judo. Gratifikasi merupakan tantangan, oleh karena itu terbuka kemungkinan untuk gagal.
19
Mike (dalam Seligman, 2002) mengatakan: “Kenikmatan adalah sumber motivasi yang kuat, tetapi tidak menghasilkan perubahan; kenikmatan adalah kekiuatan konservatif yang membuat kita ingin memenuhi kebutuhan, meraih kenyamanan dan relaksasi. Sebaliknya, gratifikasi tidak selalu terasa nikmat dan terkadang bisa betul-betul membuat tegang. Seorang pendaki gunung mungkin menghadapi resiko nyaris membeku, kelelahan luar biasa, jatuh ke jurang tak berdasar, tetapi dia tidak akan menginginkan berada di tempat lain. Meminum cocktail di bawah pohon kelaoa di tepi samudra biru memang menyenangkan, tetapi tidak sebanding dengan kesenangan yang di puncak yang membeku itu. Uraian diatas menunjukan bahwa gratifikasi menyediakan kesenangan yang lebih besar dan bertahan lama, namun lebih sukar untuk diperoleh dibandingkan kenikmatan. Individu yang memiliki gratifikasi akan memiliki kekuatan dan kualitas kehidupan yang lebih utuh.
2.2 Kerangka Berpikir Gambar 2.1 Kerangka berpikir Hasil penelitian Seligman menunjukan bahwa memiliki EP dapat menambah kemampuan menghadapi peristiwa buruk.
Dilakukan pengukuran untuk mengetahui tingkat EP pada mahasiswa/I Bina Nusantara yang sedang mengikuti semester pendek.
Hasil dari Survey dengan schedule menunjukan bahwa mahasiswa/i Bina Nusantara tidak memiliki EP jika prestasi akademisnya buruk.
20