BAB 2 LANDASAN TEORI
2.1. Pengertian Sumber Daya Manusia Menurut Nawawi dalam Gaol (2014:44), Sumber Daya Manusia adalah orang yang bekerja dan berfungsi sebagai aset organisasi/perusahaan yang dapat dihitung jumlahnya (kuantitatif), dan SDM merupakan potensi yang menjadi penggerak organisasi. Menurut Sutrisno (2014:3), sumber daya manusia merupakan satu-satunya sumber daya yang memiliki akan perasaan, keinginan, keterampilan, pengetahuan, dorongan, daya, dan karya (rasio, rasa, dan karsa). Semua potensi SDM tersebut berpengaruh terhadap upaya organisasi dalam mencapai tujuan. Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa sumber daya manusia adalah aset terpenting di sebuah organisasi yang membantu organisasi untuk beroperasi dan mencapai tujuan.
2.2 Pengertian Disiplin Disiplinan merupakan salah satu faktor terpenting untuk tercapainya hasil yang maksimal dalam setiap organisasi baik dalam bentuk formal atau non formal, maupun organisasi dalam bentuk profit atau non profit, sehingga peraturan mengenai kedisiplinan di setiap organisasi pasti selalu ada dan wajib dipatuhi, hal ini disebabkan karena betapa pentingnya pengaruh kedisiplinan terhadap prosees pencapaian tujuan organisasi. Pengertian disiplin yang dikemukakan oleh para ahli diantaranya adalah sebagai berikut: Menurut Hasibuan (2005:193) kedisiplinan merupakan fungsi operatif MSDM yang terpenting karena semakin baik disiplin karyawan, semakin tinggi prestasi kerja yang dapat dicapainya. Tanpa disiplin yang baik, sulit bagi organisasi perusahaan mencapai hasil yang optimal. Kedisiplinan adalah kesadaran dan kesediaan 11
12
seseorang menaati semua peraturan perusahaan dan norma-norma sosial yang berlaku. Menurut Terry,
dalam Sutrisno (2014:87), mengatakan bahwa disiplin
merupakan alat penggerak karyawan. Agar tiap pekerjaan dapat berjalan dengan lancar, maka harus diusahakan agar ada disiplin yang baik. Terry kurang setuju jika disiplin hanya dihubungkan dengan hal-hal yang kurang menyenangkan (hukuman), karena sebenarnya hukuman merupakan alat paling akhir untuk menegakkan disiplin. Peraturan disiplin Pegawai Negeri Sipil yang telah dimuat di dalam Bab II Pasal (2) UU No.43 Tahun 1999, ada beberapa keharusan yang harus dilaksanakan yaitu: 1. Mentaati segala peraturan perundang-undangan dan peraturan kedinasan yang diberikan oleh atasan yang berhak. 2. Melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya serta memberikan pelayanan yang baik terhadap masyarakat sesuai dengan bidang tugasnya. 3. Menggunakan dan memelihara barang-barang dinas dengan sebaik-baiknya. 4. Bersikap dan bertingkah laku sopan santun terhadap masyarakat, sesama Pegawai Negeri Sipil dan atasannya. Sutrisno (2014:89) menyimpulkan bahwa disiplin pegawai adalah perilaku seseorang yang sesuai dengan peraturan, prosedur kerja yang ada atau disiplin adalah sikap, tingkah laku, dan perbuatan yang sesuai dengan peraturan dari organisasi baik tertulis maupun yang tidak tertulis. Disiplin yang baik mencerminkan besarnya tanggung jawab seseorang terhadap tugas-tugas yang diberikan kepadanya. Hal ini mendorong gairah kerja, semangat kerja, dan terwujudnya tujuan perusahaan. Melalui disiplin akan mencerminkan kekuatan, karena biasanya seseorang yang berhasil dalam karyanya adalah mereka yang memiliki disiplin tinggi. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa disiplin merupakan kesadaran dan kepatuhan karyawan terhadap peraturan yang berlaku dan bersedia untuk menerima dan mematuhi peraturannya serta bertanggung jawab terhadap tugas-tugas yang diberikan.
13
2.2.1 Macam-macam Disiplin Menurut Mangkunegara (2013:129), ada 2 bentuk disiplin kerja, yaitu disiplin preventif dan disiplin korektif. 1. Disiplin Preventif Disiplin preventif adalah suatu upaya untuk menggerakkan pegawai mengikuti dan mematuhi pedoman kerja, aturan-aturan yang telah digariskan oleh perusahaan. Tujuan dasarnya adalah untuk menggerakkan pegawai berdisiplin diri. Dengan cara preventif, pegawai dapat memelihara dirinya terhadap peraturan-peraturan perusahaan. Disiplin preventif merupakan suatu sistem yang berhubungan dengan kebutuhan kerja untuk semua bagian sistem yang ada dalam organisasi. Jika sistem organisasi baik, maka diharapkan akan lebih mudah menegakkan disiplin kerja. 2. Disiplin Korektif Disiplin korektif adalah suatu upaya menggerakkan pegawai dalam menyatukan suatu peraturan dan mengarahkan untuk tetap mematuhi peraturan sesuai dengan pedoman yang berlaku pada perusahaan. Pada disiplin korektif, pegawai yang melanggar disiplin perlu diberikan sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku. Tujuan pemberian sanksi adalah untuk memperbaiki pegawai pelanggar, memelihara peraturan yang berlaku, dan memberikan pelajaran kepada pelanggar.
2.2.2 Dimensi dalam Disiplin Kerja Menurut Singodimedjo (dalam Sutrisno, 2014:89), dimensi yang mempengaruhi disiplin kerja pegawai adalah : a. Besar kecilnya pemberian kompensasi. Besar kecilnya kompensasi dapat mempengaruhi tegaknya disiplin. Para karyawan akan mematui segala peraturan yang berlaku, bila ia merasa mendapat jaminan balas jasa yang setimpal dengan jerih payahnya yang telah
14
dikontribusikan bagi perusahaan. Bila ia menerima kompensasi yang memadai, mereka akan dapat bekerja dengan sebaik-baiknya. Namun demikian, pemberian kompensasi yang memadai belum tentu pula menjamin tegaknya disiplin. Karena pemberian kompensasi hanyalah merupakann salah satu cara meredam kegelisahan para karyawan, di samping banyak lagi halhal yang di luar kompensasi yang harus mendukung tegaknya disiplin kerja dalam perusahaan. b. Ada tidaknya keteladanan pemimpin dalam perusahaan. Keteladanan pemimpin sangat penting sekali, karena dalam lingkungan perusahaan, semua karyawan akan selalu memerhatikan bagaimana pimpinan dapat menegakkan disiplin dirinya dan bagaimana ia dapat mengendalikan dirinya dari ucapan, perbuatan, dan sikap yang dapat merugikan aturan disiplin yang sudah ditetapkan. Peranan keteladanan pimpinan sangat berpengaruh besar dalam perusahaan, bahkan sangat dominan dibandingkan dengan semua faktor yang mempengaruhi disiplin dalam perusahaan, karena pimpinan dalam suatu perusahaan masih menjadi panutan setiap hari. c. Ada tidaknya aturan pasti yang dapat dijadikan pegangan. Pembinaan disiplin tidak akan dapat terlaksana dalam perusahaan, bila tidak ada aturan tertulis yang pasti untuk dapat dijadikan pegangan bersama. Disiplin tidak mungkin ditegakkan bila peraturan yang dibuat hanya berdasarkan instruksi lisan yang dapat berubah-ubah sesuai dengan kondisi dan situasi. Bila aturan disiplin hanya menurut selera pimpinan saja, atau berlaku untuk orang tertentu saja, jangan diharap bahwa para karyawan akan mematuhi aturan tersebut. d. Keberanian pimpinan dalam mengambil tindakan. Bila ada seorang karyawan yang melanggar disiplin, maka perlu ada keberanian pemimpin untuk mengambil tindakan yang sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dibuatnya. Dengan adanya tindakan terhadap pelanggar disiplin, sesuai dengan sanksi yang ada, maka semua karyawan akan merasa terlindungi, dan dalam hatinya berjanji tidak akan berbuat hal yang serupa.
15
e. Ada tidaknya pengawasan pimpinan. Dalam setiap kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan perlu ada pengawasan, yang akan mengarahkan para karyawan agar dapat melaksanakan pekerjaan dengan tepat dan sesuai dengan yang telah ditetapkan. Orang yang paling tepat melaksanakan pengawasan terhadap disiplin ini tentulah atasan langsung para karyawan yang bersangkutan. Hal ini disebabkan para atasan langung itulah yang paling tahu dan paling dekat dengan para karyawan yang ada dibawahnya. Pengawasan yang dilaksanakan atasan langsung ini sering disebut WASKAT. Pada tingkat mana pun ia berada, maka seorang pimpinan bertanggung jawab melaksanakan pengawasan melekat ini, sehingga tugas-tugas yang dibebankan kepada bawahan tidak menyimpang dari apa yang telah ditetapkan. f. Ada tidaknya perhatian kepada para karyawan. Karyawan adalah manusia yang mempunyai perbedaan karakter antara yang satu dengan yang lain. Seorang karyawan tidak hanya puas dengan penerimaan kompensasi yang tinggi, pekerjaan yang menantang, tetapi juga mereka masih membutuhkan perhatian yang besar dari pimpinannya sendiri. Pimpinan yang berhasil memberi perhatian yang besar kepada para karyawan akan dapat menciptakan disiplin kerja yang baik. g. Diciptakan kebiasaan-kebiasaan yang mendukung tegaknya disiplin. Kebiasaan-kebiasan positif itu antara lain: 1. Saling menghormati, bila bertemu di lingkungan pekerjaan, 2. Melontarkan pujian sesuai dengan tempat dan waktunya, sehingga para karyawan akan turut merasa bangga dengan pujian tersebut. 3. Sering mengikutsertakan karyawan dalam pertemuan-pertemuan. 4. Memberi tahu bila ingin meninggalkan tempat kepada rekan sekerja dengan menginformasikan, ke mana dan untuk urusan apa, walaupn kepada bawahan sekaligus.
16
Sedangkan menurut Hasibuan (2005:194), dimensi-dimensi yang mempengaruhi tingkat kedisiplinan di antaranya: a. Tujuan dan Kemampuan Tujuan dan kemampuan ikut mempengaruhi tingkat kedisiplinan karyawan. Tujuan yang akan dicapai harus jelas dan ditetapkan secara ideal serta cukup menantang bagi kemampuan karyawan. b. Teladan Pimpinan Teladan pimpinan sangat berperan dalam menentukan kedisiplinan karyawan karena pimpinan dijadikan teladan dan panutan oleh para bawahannya. Pimpinan harus memberi contoh yang baik, berdisiplin baik, jujur, adil, serta sesuai kata dengan perbuatan. c. Balas Jasa Balas jasa (gaji dan kesejahteraan) ikut mempengaruhi kedisiplinan karyawan karena balas jasa akan memberikan kepuasan dan kecintaan karyawan terhadap perusahaan/pekerjaannya. Jika kecintaan karyawan semakin baik terhadap pekerjaan, kedisiplinan mereka akan semakin baik pula. d. Keadilan Keadilan ikut mendorong terwujudnya kedisiplinan karyawan, karena ego dan sifat manusia yang selalu merasa dirinya penting dan minta diperlakukan sama dengan manusia lainnya. e. Waskat Waskat (pengawasan melekat) adalah tindakan nyata dan paling efektif dalam mewujudkan kedisiplinan karyawan perusahaan. Dengan waskat berarti atasan harus aktif dan langsung mengawasi perilaku, moral, sikap, gairah kerja, dan prestasi kerja bawahannya. f. Sanksi Hukuman Sanksi hukuman berperan penting dalam memelihara kedisiplinan karyawan. Dengan sanksi hukuman yang semakin berat, karyawan akan semakin takut
17
melanggar peraturan-peraturan perusahaan, sikap, dan perilaku indisipliner karyawan akan berkurang. g. Ketegasan Ketegasan pimpinan dalam melakukan tindakan akan mempengaruhi kedisiplinan karyawan perusahaan. Pimpinan
harus berani dan tegas, bertindak untuk
menghukum setiap karyawan yang indisipliner sesuai dengan sanksi hukuman yang telah ditetapkan.
2.2.3 Pendekatan Disiplin Kerja Menurut Mangkunegara (2013:130) ada tiga macam pendekatan dalam disiplin kerja yang dilaksanakan dalam suatu organisasi atau lembaga, antara lain: a. Pendekatan Disiplin Modern Maksud dari disiplin modern adalah mempertemukan sejumlah keperluan atau kebutuhan baru di luar hukuman. Pendekatan ini memiliki beberapa asumsi, yaitu: 1. Disiplin modern merupakan suatu cara menghindarkan bentuk hukuman secara fisik. 2. Melindungi tuduhan yang buruk untuk diteruskan pada proses hukum yang berlaku. 3. Keputusan-keputusan yang diambil terhadap kesalahan atau prasangka yang harus diperbaiki dengan mengadakan proses penyuluhan berdasarkan faktafaktanya. 4. Melakukan protes terhadap keputusan yang berat sebelah terhadap kasus disiplin. b. Pendekatan disiplin tradisi Disiplin tradisi adalah pendekatan disiplin dengan cara memberikan hukuman. Pendekatan ini berasumsi sebagai berikut: 1. Disiplin dilakukan oleh atasan kepada bawahan dan tidak pernah ada peninjaua kembali bila telah diputuskan.
18
2. Disiplin adalah hukuman untuk memberikan pelajaran kepada pegawai lainnya. 3. Peningkatan perbuatan pelanggaran diperlukan hukuman yang lebih keras. 4. Pemberian hukuman terhadap pegawai yang melanggara kedua kalinya harus diberi hukuman yang lebih berat. c. Pendekatan Disiplin Bertujuan Pendekatan disiplin bertujuan memiliki asumsi bahwa: 1. Disiplin kerja harus dapat diterima dan dipahami oleh semua pegawai. 2. Disiplin bukanlah satu hukuman, tetapi merupakan pembentukan perilaku. 3. Disiplin ditujukan untuk perubahan perilaku yang baik. 4. Disiplin pegawai bertujuan agar pegawai bertanggung jawab terhadap perbuatannya.
2.3 Pengertian Motivasi Menurut Hasibuan (dalam Sutrisno, 2014:110), motivasi mempersoalkan bagaimana cara mendorong gairah kerja bawahan, agar mereka mau bekerja keras dengan memberikan semua kemampuan dan keterampilan untuk mewujudkan tujuan perusahaan. Moorhead dan Griffin (2013:86) menjelaskan bahwa motivasi adalah serangkaian kekuatan yang menyebabkan orang untuk terlibat dalam suatu perilaku, bukan beberapa perilaku lainnya. Mangkunegara
(2013:93)
mengatakan
motivasi
adalah
kondisi
yang
menggerakkan pegawai agar mampu mencapai tujuan dari motifnya. Motif merupakan suatu dorongan kebutuhan dalam diri pegawai yang perlu dipenuhi agar pegawai tersebut dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungannya. Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa motivasi adalah kesediaan individu untuk mengerahkan segala usahanya dalam pencapain tujuan organisasi dan suatu dorongan bagi individu untuk melaksanakan tugas-tugas yang menjadi tanggung jawab mereka. Maka dari itu seorang pimpinan harus memberikan
19
motivasi yang tinggi kepada bawahannya untuk melaksanakan tugas-tugasnya. Walaupun motivasi bukan satu-satunya faktor yang mempengaruhi prestasi kerja seseorang.
2.3.1 Tujuan Motivasi Tujuan motivasi menurut Hasibuan (dalam Hartatik, 2014:162) adalah sebagai berikut: a. Meningkatkan moral dan kepuasan kerja karyawan. b. Meningkatkan kerja produktivitas karyawan. c. Mempertahankan kestabilan karyawan perusahaan. d. Meningkatkan kedisiplinan karyawan. e. Mengefektifkan pengadaan karyawan. f. Menciptakan suasana dan hubungan kerja yang baik. g. Meningkatkan loyalitas, kreativitasm dan partisipasi karyawan. h. Meningkatkan kesejahteraan karyawan. i. Mempertinggi rasa tanggung jawab karyawan terhadap tugas-tugasnya. j. Meningkatkan efisiensi penggunaan alat-alat dan bahan baku.
2.3.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi Faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Berikut adalah faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi: a. Faktor Intern, faktor intern yang dapat mempengaruhi motivasi seseorang adalah sebagai berikut: 1. Keinginan untuk dapat hidup Keinginan dapat hidup merupakan keinginan manusia sebagai makhluk sosial. Keinginan untuk dapat hidup meliputi kebutuhan untuk:
20
a. Memperoleh kompensasi yang memadai, b. Pekerjaan yang tetap walaupun penghasilan tidak begitu memadai, c. Kondisi kerja yang aman dan nyaman. 2. Keinginan untuk dapat memiliki. Keinginan untuk dapat memiliki sesuatu baik barang maupun suatu posisi atau status dapat mendorong seseorang untuk mau melakukan suatu pekerjaan. 3. Keinginan untuk memperoleh penghargaan. Seseorang mau bekerja disebabkan adanya keinginan untuk diakui, dan dihormati oleh orang lain. 4. Keinginan untuk memperoleh pengakuan. Keinginan untuk memperoleh sebuah pengakuan meliputi: a. Adanya penghargaan terhadap prestasi. b. Adanya hubungan kerja yang harmonis dan kompak. c. Pimpinan yang adil dan bijaksana. d. Perusahaan tempat bekerja dihargai oleh masyarakat. 5. Keinginan untuk berkuasa. Keinginan untuk berkuasa akan mendorong seseorang untuk bekerja. Terlebih lagi apabila keinginan tersebut merupakan sebuah hal yang positif. b. Faktor ekstern Faktor ekstern yang dapat mempengaruhi motivasi seseorang adalah sebagai berikut: 1. Kondisi lingkungan kerja Lingkungan kerja adalah keseluruhan sarana kerja yang ada ditempat karyawan yang sedang melakukan pekerjaan. 2. Kompensasi yang memadai. Kompensasi yang memadai merupakan alat motivasi yang paling ampuh bagi perusahaan untuk mendorong para karyawan bekerja dengan baik. 3. Supervisi yang baik. Fungsi supervisi dalam suatu pekerjaan adalah memberikan pengarahan, membimbing kerja para karyawan, agar dapat melaksanakann kerja dengan baik tanpa membuat kesalahan.
21
4. Adanya jaminan pekerjaan. Jaminan pekerjaan sangat penting bagi karyawan, karena karyawan bekerja bukan hanya untuk hari itu saja tetapi untuk hari-hari selanjutnya. 5. Status dan tanggung jawab. Status atau kedudukan dalam jabatan tertentu merupakan keinginan setiap karyawan dalam bekerja. Dengan menduduki jabatan, seseorang akan merasa dirinya dipercaya, diberi tanggung jawab, dan wewenang yang besar untuk melakukan kegiatan-kegiatan. 6. Peraturan yang fleksibel. Biasanya peraturan bersifat melindungi dan dapat memberikan motivasi para karyawan untuk bekerja lebih baik.
2.3.3 Dimensi Teori Motivasi Prestasi Teori motivasi prestasi dikembangkan oleh David McClelland, dimana dalam teori ini ada 3 komponen dasar yang dapat digunakan untuk memotivasi orang bekerja, yaitu: a. Kebutuhan akan Pencapaian ( Need for achievement) Kebutuhan ini muncul dari keinginan individu untuk menyelesaikan sasaran atau tugas secara lebih efektif dibandingkan dengan yang dilakukan pada masa lalu. Individu-individu yang mempunyai kebutuhan tinggi akan pencapaian cenderung menetapkan sasaran yang cukup sulit dan mengambil keputusan-keputusan yang lebih beresiko. Pencapaian berkebutuhan tinggi juga menginginkan umpan balik spesifik dengan segara terhadap kinerja mereka. Pencapaian kebutuhan tinggi cenderung memikul tanggung jawab pribadi untuk menyelesaikan berbagai hal. Mereka sering mengerjakan tugas-tugas ekstra secara sukarela dan merasa sulit untuk mendelegasikan bagian dari pekerjaan ke orang lain. Oleh karena itu, mereka memperoleh perasaan pencapaian ketika mereka telah melakukan lebih banyak pekerjaaan dibandingkan dengan rekan-rekan mereka tanpa bantuan orang lain.
22
b. Kebutuhan akan Afiliasi ( Need for affiliation ) Kebutuhan ini adalah kebutuhan manusia akan pertemanan. Individu dengan kebutuhan tinggi cenderung menginginkan kepastian ulang dan persetujuan dari orang lain dan biasanya secara tulus memperhatikan perasaan orang lain. Mereka kemungkinan bertindak dan berpikir seperti yang mereka yakini diinginkan oleh orang lain, khususnya oleh mereka dengan siapa individu-individu tersebut mempunyai identifikasi dan keinginan persahabatan yang kuat. Orang-orang dengan kebutuhan kuat akan afiliasi sering kali bekerja dalam pekerjaan dengan banyak kontrak antarpersonal, seperti posisi penjualan dan guru. c. Kebutuhan akan Kekuasaan (Need for power) Kebutuhan yang ketiga adalah kebutuhan akan kekuasaan, keinginan untuk mengendalikan lingkungan seseorang termasuk finansial, material, informasi, dan sumber daya manusia. Beberapa individu menghabiskan lebih banyak waktu dan energi mencari kekuasaan; yang lainnya menghindari kekuasaan sebisa mungkin.
2.3.4 Prinsip-prinsip dalam Memotivasi Kerja Menurut. Mangkunegara (2013:100) ada beberapa prinsip dalam memotivasi kerja karyawan, yaitu: a. Prinsip partisipasi Dalam upaya memotivasi kerja, pegawai perlu diberikan kesempatan ikut berpatisipasi dalam menentukan tujuan yang akan dicapai oleh pemimpin. b. Prinsip komunikasi Pemimpin mengkomunikasikan segala sesuatu yang berhubungan dengan usaha pencapaian tugas. Dengan informasi yang jelas, pegagawai akan lebih mudah dimotivasi kerjanya. c. Prinsip pengakuan andil bawahan Pemimpin mengakui bawahan (pegawai) mempunyai andil dalam usaha pencapaian tujuan. Dengan pengakuan tersebut, pegawai akan lebih mudah dimotivasi kerjanya.
23
d. Prinsip pendelegasian wewenang Pemimipin yang memberikan otoritas atau wewenang kepada pegawai untuk sewaktu-waktu
dapat
mengambil
keputusan
terhadap
pekerjaan
yang
dilakukannya, akan membuat pegawai yang bersangkutan menjadi termotivasi untuk mencapai tujuan yang diharapkan pemimpin. e. Prinsip memberi perhatian Pemimpin yang memberikan perhatian terhadap apa yang diinginkan pegawai, akan memotivasi pegawai tersebut dalam bekerja sesuai dengan harapan pemimpin.
2.4 Pengertian Stres Kerja Menurut Gaol (2014:650), stres kerja adalah suatu kondisi ketegangan yang menciptakan adanya ketidakseimbangan fisik dan psikis yang mempengaruhi emosi, proses berpikir, dan kondisi seorang karyawan. Stres yang terlalu besar dapat mengancam kemampuan seseorang untuk menghadapi lingkungannya. Sebagai hasilnya, pada diri para karyawan berkembang berbagai macam gejala stres yang dapat mengganggu pelaksanaan kerja mereka. Menurut Mangkunegara (2013:67), prestasi kerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dala melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Menurut Moorhead dan Griffin (2013:175), mendefinisikan stres (stress) sebagai respon adaptif seseorang terhadap rangsangan yang menempatkan tuntutan psikologis atau fisik secara berlebihan kepadanya. Berdasarkan tiga pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa stres kerja timbul karena adanya tuntutan-tuntutan dari luar lingkungan yang mengharuskan seorang memenuhi tuntutan tersebut. Tuntutan yang dimaksud dapat berupa secara fisik dan psikis
24
2.4.1 Dimensi Stres Kerja Moorhead dan Griffin (2013:179), mengemukakan dua kategori besar, yaitu stressor organisasi dan stressor kehidupan, sebagai berikut: a. Stressor Organisasi (organiztional stressor) adalah berbagai faktor di tempat kerja yang dapat menyebabkan stres. Berikut adalah empat rangkaian umum stressor organisasi: 1. Tuntutan Tugas (task demands) Tuntutan tugas adalah stressor yang berkaitan dengan tugas spesifik yang dilakukan oleh seseorang. Beberapa pekerjaan mempunyai sifat lebih menimbulkan stres daripada yang lainnya. Dalam stressor tuntutan tugas ada kelebihan beban. Kelebihan beban terjadi ketika seseorang mempunyai lebih banyak pekerjaan dari yang dapat ia tangani. Kelebihan beban dapat bersifat kuantitatif dan kualitatif. Lalu ada tuntutan tugas rendah yang dapat menyebabkan kebosanan dan apatis seperti halnya kelebihan beban dapat menyebabkan ketegangan dan kegelisahan. 2. Tuntutan Fisik (physical demands) Tuntutan fisik dari sebuah pekerjaan adalah persyaratan fisik pada pekerjaannya; tuntutan ini merupakan fungsi dari karakteristik fisik dari situasi dan tugas fisik yang dibutuhkan dalam pekerjaan. 3. Tuntutan Peran (role demands) Sebuah peran (role) adalah serangkaian perilaku yang diharapkan sehubungan dengan posisi tertentu dalam sebuah kelompok atau organisasi. Dengan demikian, peran mempunyai persyaratan formal dan informal. Orang-orang dalam suatu organisasi atau kelompok kerja mengharapkan seseorang dengan peran tertentu untuk bertindak dengan cara tertentu. a. Ambiguitas Peran (role ambiguity) Ambiguitas peran muncul ketika suatu peran tidak jelas. Dalam situasi kerja, ambiguitas peran dapat disebabkan oleh deskripsi kerja yang buruk, instruksi dari pengawas yang samar-samar, atau petunjuk yang tidak jelas dari rekan kerja yang buruk.
25
b. Konflik Peran (role conflict) Konflik peran terjadi ketika pesan dan petunjuk orang lain mengenai peran tersebut jelas, tetapi berkontrakdiksi atau saling ekslusif. Konsekuensi dari struktur peran yang lemah adalah kelebihan peran (role overload), yang terjadi ketika ekspektasi untuk peran tersebut melampaui kemampuan individual. 4. Tuntutan Antarpersonal (interpersonal demands) Tuntutan antarpersonal: tekanan kelompok, kepemimpinan, dan konflik antarpersonal. Tekanan kelompok dapat meliputi tekanan untuk membatasi hasil, tekanan untuk mematuhi norma kelompok, dan sebagainya. Gaya kepemimpinan juga dapat menyebabkan stres. Begitu juga dengan kepribadian dan perilaku yang berkonflik dapat menyebabkan stres. b. Stressor Kehidupan Stres dalam situasi organisasi juga dapat dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa yang terjadi di luar organisasi. Stressor kehidupan dapat dikategorikan dalam hal perubahan kehidupan dan trauma kehidupan. 1. Peubahan Kehidupan Perubahan kehidupan (life change) adalah semua perubahan berarti dalam situasi pribadi atau kerja seseorang. Holmes dan Rahe berpendapat bahwa perubahan besar dalam kehidupan seseorang dapat menimbulkan stres dan akhirnya penyakit. 2. Trauma Kehidupan Trauma kehidupan (life trauma) adalah semua pergolakan dalam kehidupan individu yang mengubah sikap, emosi atau perilakunya. Keith Davis dan Gibson (dalam Suharsono, 2012:172) mengemukakan paling tidak stres menyangkut beberapa dimensi sebagai berikut: a. Kondisi Ketegangan. Suatu kondisi ketegangan yang berlebihan yang terjadi pada individu sebagai konsekuensi logis dalam melaksanakan pekerjaannya yang pada gilirannya mempengaruhi emosi maupun fisik.
26
b. Stres berkaitan pula dengan peluang, kendala dan tuntutan. Stres pada dasarnya juga berkaitan dengan suatu peluang yang harus dicapai oleh setiap individu dalam organisasi. Tugas dan tanggung jawab baru disamping merupakan peluang juga sekaligus merupakan tuntutan karena harus mampu melaksanakan tugas itu dengan baik, disisi lain dalam pelaksanaannya terdapat berbagai masalah. c. Hasil yang tidak pasti dan penting. Peluang dan tuntutan dalam kerja sangat diperlukan bagi karyawan, dengan demikian menjadi dorongan bagi individu untuk mencapainya. Dengan pencapaian tuntutan tersebut maka memungkinkan suatu promosi jabatan, tanggungjawab dan gaji yang lebih baik. Disisi lain dalam pencapaian tugas tersebut terdapat berbagai hambatan dalam pencapaian peluang tersebut bahkan sampai yang paling buruk yaitu dipecat.
2.4.2 Dampak Stres dalam Organisasi Stephen Robbins (dalam Suharsono, 2012:176), mengidentifikasikan dampak atau konsekuensi stres sebagai berikut: a. Gangguan Fisiologis Gangguan fisiologis ini terutama merupakan hasil penelitian dari aspek medis (kesehatan). Gangguan yang ditimbulkan antara lain berubahnya metabolisme tubuh, bertambahnya detak jantung dan lain-lain. b. Gejala Psikologis Stres antara lain menimbulkan ketidakpuasan dalam kerja. Selain itu dapat juga berupa ketegangan dalam kerja, perasaan mudah marah, rasa bosan dan akhirnya suka menunda-nunda. c. Gejala Perilaku Perilaku yang sering muncul karena stres misalnya, produktivitas kerja yang menurun, tingkat kemangkiran dan keluar masuknya pegawai yang cukup tinggi. Moorhead dan Griffin (2013:p186) mengkategorikan konsekuensi atau dampak dari stres, sebagai berikut:
27
a. Konsekuensi Individual Konsekuensi individual dari stres adalah hasil yang terutama mempengaruhi individu. Stres dapat menghasilkan konsekuensi keperilakuan, psikologis, dan medis. Konsekuensi keperilakuan dari stres dapat merugikan orang yang terkena stres atau orang lain. Sedangkan konsekuensi psikologis dari stres berhubungan dengan kesehatan dan kesejahteraan mental seseorang. Lalu, konsekuensi medis dari stres mempengaruhi kesejahteraan fisik seseorang. b. Konsekuensi Organisasi Stres mempunyai konsekuensi yang lebih langsung pada organisasi. Hal ini meliputi penurunan dalam kinerja, penarikan diri, dan perubahan sikap yang negatif. Salah satu konsekuensi organisasi nyata dari terlalu banyak stres adalah penurunan dalam kinerja. Perilaku menarik diri juga dapat merupakan akibat dari stres. Bagi organisasi, dua bentuk perilaku penarikan diri yang paling signifikan adalah absensi dan berhenti. Lalu ada sikap, konsekuensi langsung lainnya dari stres karyawan berhubungan dengan sikap. Akibatnya, orang-orang mungkin lebih mudah mengeluh mengenai hal-hal yang tidak penting, hanya melakukan cukup pekerjaan untuk memenuhi syarat, dan sebagainya. c. Kelelahan Kelelahan (burnout) adalah perasaan umum dari keletihan yang berkembang ketika seseorang pada saat yang sama mengalami terlalu banyak tekanan dan terlalu sedikit sumber kepuasan.
2.4.3 Pendekatan Stres Kerja Gaol (2014:651) berpendapat bahwa ada dua pendekatan stres kerja, yaitu pendekatan individu dan perusahaan. Pendekatan individu penting dilakukan karena stres dapat mempengaruhi kehidupan, kesehatan, produktivitas, dan penghasilan. Sementara, pendekatan perusahaan, dilakukan bukan saja karena alasan kemanusiaan, tetapi juga karena pengaruhnya terhadap prestasi semua aspek dan efekivitas dari perusahaan secara keseluruhan. Pendekatan peusahaan dapat dilakukan dengan cara melakukan perbaikan iklim organisasi, melakukan perbaikan
28
terhadap lingkungan fisik, menyediakan sarana olah raga, melakukan analisis dan kejelasan tugas. Menurut Mangkunegara (2013:157) ada empat pendekatan terhadap stres kerja, antara lain: a. Pendekatan Dukungan Sosial Pendekatan ini dilakukan melalui aktivitas yang bertujuan memberikan kepuasan sosial kepada karyawan. b. Pendekatan Melalui Meditasi Pendekatan ini perlu dilakukan karyawan dengan cara berkonsentrasi ke alam pikiran, mengendorkan kerja otot, dan menenangkan emosi. c. Pendekatan Melalui Biofeedback Pendekatan ini dilakukan melalui bimbingan medis. Melalui bimbingan dokter, pskiater, dan psikolog, sehingga diharapkan karyawan dapat menghilangkan stres yang dialaminya. d. Pendekatan Kesehatan Pribadi Pendekatan ini merupakan pendekatan preventif sebelum terjadinya stres. Dalam hal ini karyawan secara periode waktu yang kontinu memeriksa kesehatan, melakukan relaksasi otot, pengaturan gizi, dan olahraga secara teratur.
2.4.4 Mengelola Stres Kerja Moorhead dan Griffin (2013:187) mengemukakan bahwa ada dua strategi untuk mengatasi stres, yaitu strategi untuk mengatasi secara individu dan strategi untuk mengatasi secara organisasi, sebagai berikut: a. Strategi untuk Mengatasi secara Individu Ada lima strategi yang paling populer diantaranya sebagai berikut: 1. Berolahraga, penelitian telah menyatakan bahwa orang-orang yang berolahraga secara teratur merasakan stres dan ketegangan yang lebih sedikit, lebih percaya diri, dan menunjukkan optimisme yang lebih besar.
29
2. Relaksasi, relaksasi yang benar adalah cara efektif untuk beradaptasi. Satu studi menemukan bahwa sikap orang terhadap berbagai karakteristik tempat kerja membaik secara signifikan setelah menjalani liburan. 3. Manajemen Waktu, manajemen waktu sering kali direkomendasikan untuk mengelola stres. Gagasannya adalah bahwa banyak tekanan harian dapat dikurangi atau dihilangkan jika seseorang dapat mengelola waktu dengan lebih baik. 4. Manajemen Peran, satu gagasan yang sedikit berhubungan dengan manajemen waktu adalah gagasan manajemen peran, di mana individu secara aktif bekerja untuk menghindari kelebihan beban, ambiguitas, dan konflik. 5. Kelompok Dukungan, metode terakhir untuk mengelola stres adalah dengan mengembangkan dan memelihara kelompok dukungan. Kelompok dukungan hanyalah sekelompok anggota keluarga atau teman dengan siapa seseorang dapat menghabiskan waktu bersama. b. Strategi untuk Mengatasi secara Organisasi Dua strategi organisasi dasar untuk membantu karyawan mengelola stres adalah program institusional dan program kolateral, sebagai berikut: 1. Program Institusional Program institusioanal untuk mengelola stres dilakukan melalui mekanisme organisasi yang telah ada. Contohnya, pekerjaan yang didesain baik dan jadwal kerja yang baik dapat membantu mengurangi stres. 2. Program Kolateral Program stres kolateral adalah program organisasi yang secara khusus diciptakan untuk membantu karyawan menangani stres. Sedangkan Mangkunegara (2013:158), mengungkapkan ada tiga pola dalam mengatasi stres, yaitu pola sehat, pola harmonis, dan pola psikologis.
30
a. Pola Sehat. Pola sehat adalah pola dalam menghadapi stres yang terbaik yaitu dengan kemampuan mengelola perilaku dan tindakan sehingga adanya stres tidak menimbulkan gangguan, akan tetapi menjadi lebih sehat dan berkembang. b. Pola Harmonis Pola harmonis adalah pola menghadapi stres dengan kemampuan mengelola waktu dan kegiatan secara harmonis dan tidak menimbulkan berbagai hambatan. c. Pola Patologis Pola patologis adalah pola menghadapi stres dengan berdampak berbagai gangguan fisik maupun sosial-psikologis. Dalam pola ini, individu akan menghadapi berbagai tantangan dengan cara-cara yang tidak memilikki kemampuan dan keteraturan mengelola tugas dan waktu.
2.5 Pengertian Prestasi Kerja Menurut Mangkunegara (2013:67), prestasi kerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan padanya. Menurut Hasibuan dalam Nurjaman (2014:169), prestasi kerja adalah hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya, yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman, kesungguhan, dan waktu. Edy Sutrisno (2014:151) berkesimpulan bahwa prestasi kerja adalah sebagai hasil kerja yang telah dicapai seseorang dari tingkah laku kerjanya dalam melaksanakan aktivitas kerja. Dari tiga pendapat diatas, kesimpulan yang bisa saya tarik adalah bahwa prestasi kerja merupakan hasil kerja seorang pegawai yang didapatkan dari bagaimana pegawai tersebut melakukan pekerjaannya.
31
2.5.1 Dimensi Prestasi Kerja Mangkunegara (2013:67) mengemukakan bahwa faktor yang mempengaruhi pencapaian kinerja adalah faktor kemampuan (ability) dan kemampuan motivasi (motivation). a. Faktor Kemampuan Secara psikologis, kemampuan (ability) pegawai terdiri dari kemampuan potensi (IQ) dan kemampuan reality (knowledge + skill). Artinya, pegawai yang memiliki IQ di atas rata-rata dengan pendidikan yang memadai untuk jabatannya dan terampil dalam mengerjakan pekerjaan sehari-hai, maka ia akan lebih mudah mencapai kinerja yang diharapkan. b. Faktor Motivasi Motivasi terbentuk dari sikap (attitude) seorang pegawai dalam menghadapi situasi (situation) kerja. Motivasi merupakan kondisi yang menggerakkan diri pegawai yang terarah untuk mencapai tujuan organisasi (tujuan kerja). Menurut Steers (dalam Sutrisno, 2014:151), dipercayai bahwa prestasi kerja individu merupakan fungsi gabungan dari tiga faktor, yaitu: a. Kemampuan, perangai, dan minat seorang pekerja. b. Kejelasan dan penerimaan atas penjelasan peranan seorang pekerja. c. Tingkat motivasi kerja. Prestasi kerja pada umumnya dikaitkan dengan pencapaian hasil dari standar kerja yang telah ditetapkan. Untuk mengukur prestasi kerja diarahkan pada enam aspek yang merupakan bidang prestasi kunci bagi perusahaan yang bersangkuan. Bidang prestasi kunci tersebut antara lain: a. Hasil kerja. Tingkat kuantitas maupun kualitas yang telah dihasilkan dan sejauh mana pengawasan dilakukan. b. Pengetahuan pekerjaan. Tingkat pengetahuan yang terkait dengan tugas pekerjaan yang akan berpengaruh langsung terhadap kuantitas dan kualitas dari hasil kerja. c. Insiatif. Tingkat inisiatif selama melaksanakan tugas pekerjaan khususnya dalam hal penanganan masalah-masalah yang timbul.
32
d. Kecekatan mental. Tingkat kemampuan dan kecepatan dalam menerima instruksi kerja dan mennyesuaikan dengan cara kerja serta situasi kerja yang ada. e. Sikap. Tingkat semangat kerja serta sikap positif dalam melaksanakan tugas pekerjaan. f. Disiplin waktu dan absensi. Tingkat ketepatan waktu dan tingkat kehadiran.
2.5.2 Penilaian Prestasi Kerja dan Tujuannya Penilaian prestasi kerja yang didefinisikan oleh Gaol (2014:274) adalah sebagai suatu prosedur yang mencakup a. Menetapkan standar kerja; b. Menilai prestasi kerja pegawai secara nyata dibandingkan dengan standar kerja yang telah ditetapkan; c. Memberikan umpan balik kepada pegawai dengan tujuan untuk memotivasi pegawai agar meninggalkan prestasi yang buruk dan mempertahankan, bahkan meningkatkan prestasi yang sudah baik. Menurut Nurjaman (2014:172), penilaian prestasi kerja pegawai bertujuan sebagai berikut: a. Memperoleh dasar pengambilan keputusan promosi, transfer, demosi atau penurunan pangkat, dan pemutusan hubungan kerja; b. Kriteria bagi kesahlian sarana-sarana seleksi dan program-program pelatihan; c. Mengalokasikan imbalan-imbalan bagi para karyawan; d. Meyakinkan
umpan
balik
bagi
perseorangan
yang
dapat
menunjang
pengembangan diri, karir, dan menjamin efektivitas perusahaan. Untuk pegawai negeri sipil, pelaksanaan penilaian prestasi kerja dilaksanakan berdasarkan Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 1 Tahun 2013 dengan landasan hukum sebagai berikut: a. UU Nomor 43 tahun 1999 UU no 8 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian
33
b. Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2011 tentang Penilaian Prestasi Kerja PNS c. Peraturan Pemerintah Nomor 53 tahun 2010 tentang Disiplin PNS d. Peraturan Kepala BKN Nomor 1 tahun 2013 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2011 tentang Penilaian Prestasi Kerja PNS Penilaian prestasi kerja diarahkan sebagai pengendalian perilaku kerja produktif yang disyaratkan untuk mencapai hasil kerja yang disepakati dan bukan penilaian atas kepribadian seorang pegawai.
2.6
Penelitian Terdahulu
Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu No
Pengarang
Judul
Objek
Hasil
1
Dr. Didem Pasogalu Determining the Discipline,
Hasil
(2013)
dari
Difference
preventive
penelitian
between
discipline,
menyatakan
Manager’s
corrective
bahwa
Conception
of discipline
Discipline
ini
kedisiplinan karyawan mengikuti bagaimana cara manajer mereka bertindak.
2.
Muhammad Ph.D (2011)
Jamal, Job Stress, Job Job stres, job Hasil
dari
Performance
performance,
penelitian
and
organizational menyatakan
Organizational
commitment
bahwa
job
Commitment in
stress berkaitan
a Multinational
dengan
Company:
performance
An
Emprical Study
pada
job
orang-
34
in
two
orang
Countries”
yang
bersifat individualitas.
3.
Nhat Nguyen Cong “Effect
of Employee
Hasil penelitian
Ph.D., Dung Nguyen Motivation and motivation,
memperlihatkan
Van, Ph.D (2013)
bahwa
Job satisfaction employee on
Employee’s performance
setiap
faktor motivasi
Performance at
adalah penting
Petrovietnam
dan
Nghe
an
dapat
melancarkan
Construction
pelaksanaan
Joints
pekerjaan
Stock
Corporation (PVNC)” 4.
Muhammad
“Effects of Job Job
Stress, Hasil penelitian
Jehangir, Dr. Nasir Stress on Job Job
menyatakan
Kareem, Dr. Ayaz Performance & Performance,
bahwa
Khan (2011)
Job
Job
meningkatnya
Satisfaction”
Satisfaction
tingkat job stres dapat menurunkan job performance karyawan
dan
menyebabkan timbulnya ketidakpuasan..
5.
Sylvia Indra Loana, “Pengaruh Bambang Gunawan
Motivasi
Swasto, Motivasi Kerja Kerja, Eko dan
Disiplin Disiplin
Hasil
dari
penelitian menyatakan
Kerja Terhadap Kerja, Prestasi bahwa motivasi
35
Nurtjahjono (2014)
Prestasi
Kerja Kerja
kerja disiplin
Karyawan (Studi Karyawan
Pada
dan kerja
secara simultan
PT.
berpengaruh
AXA Financial
signifikan
Indonesia Sales
terhadap
Office Malang)
prestasi
kerja
pada PT. AXA Financial Indonesia.
2.7
Kerangka Pemikiran
Disiplin (X1)
Motivasi (X2)
Prestasi Kerja (Y)
Stres Kerja (X3)
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran
36
2.8 Hipotesis Hipotesis yang diuji dalam penelitian ini adalah: a.
Untuk T-1 Ho = Tidak ada pengaruh yang signifikan antara Disiplin (X1) terhadap Prestasi Kerja (Y) Ha = Ada pengaruh yang signifikan antara Disiplin (X1) terhadap Prestasi Kerja (Y)
b.
Untuk T-2 Ho = Tidak ada pengaruh yang signifikan antara Motivasi (X2) terhadap Prestasi Kerja (Y) Ha = Ada pengaruh yang signifikan antara Motivasi (X2) terhadap Prestasi Kerja (Y)
c.
Untuk T-3 Ho = Tidak ada pengaruh yang signifikan antara Stres Kerja (X3) terhadap Prestasi Kerja (Y) Ha = Ada pengaruh yang signifikan antara Stres Kerja (X3) terhadap Prestasi Kerja (Y)
d.
Untuk T-4 Ho = Tida ada pengaruh yang signifikan antara Disiplin (X1), Motivasi (X2), dan Stres Kerja (X3) terhadap Prestasi Kerja (Y) Ha = Ada pengaruh yang signifikan antara Disiplin (X1), Motivasi (X2), dan Stres Kerja (X3) terhadap Prestasi Kerja (Y).