BAB 2 LANDASAN TEORI
2.1 Ketentuan Umum Perpajakan 2.1.1 Pengertian Pajak
Menurut Andriani yang telah diterjemahkan oleh R. Santoso Brotodiharjo (1991: 2), Perpajakan Indonesia, (Waluyo) Edisi 10 – Buku 1, hlm. 2: “Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum yang berhubung dengan tugas negara yang menyelenggarakan pemerintahan”.
2.1.2 Fungsi Pajak Sebagaimana telah diketahui ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak, terlihat adanya lima fungsi pajak menurut (Ilyas & Burton) 2010, hlm. 12: 1. Fungsi penerimaan (budgeter) Pajak berfungsi sebagai sumber dana yang diperuntukkan bagi pembiayaan pengeluaran-pengeluaran pemerintah. 2. Fungsi Pembiayaan Pajak yang sudah masuk ke kas negara dipergunakan untuk membiayai kegiatan negara atau pembangunan.
9
3. Fungsi mengatur (regulerend) Pemerintah bisa mengatur pertumbuhan ekonomi melalui kebijaksanaan pajak. Dengan fungsi mengatur, pajak bisa digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan. 4. Fungsi Stabilitas Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga. 5. Fungsi redistribusi pendapatan Pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan untuk membiayai semua kepentingan umum. 2.1.3 Sistem pemungutan pajak (Waluyo) 2011, hlm. 17, menyatakan bahwa dalam memungut pajak dikenal beberapa sistem pemungutan pajak yaitu: 1. Official assessment system Adalah suatu sistem pemungutan yang memberikan wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang. 2. Self assessment system Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar. 3. Sistem Pemotongan dan/atau Pemungutan (Withholding system) Adalah suatu pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.
10
2.1.4 Hukum Perpajakan Menurut (Waluyo) 2011, hlm. 11, Hukum pajak atau hukum fiskal dirumuskan sebagai keseluruhan dari peraturan-peraturan yang meliputi wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkan kembali pada masyarakat dengan melalui kas negara, sehingga ia merupakan bagian dari hukum publik, yang mengatur hubungan-hubungan hukum antara negara dan orang-orang atau badanbadan (hukum) yang berkewajiban membayar pajak. Hukum perpajakan dibedakan menjadi dua, yaitu Hukum Pajak Material (Material Tax Law) dan Hukum Pajak Formal (Formal Tax Law). - Hukum Pajak Material adalah hukum yang memuat ketentuan-ketentuan tentang siapa-siapa yang dikecualikan dari pengenaan pajak, apa saja yang dikenakan pajak dan berapa pajak yang harus dibayar. - Hukum Pajak Formal adalah hukum pajak yang memuat ketentuan-ketentuan bagaimana mewujudkan hukum pajak material menjadi kenyataan. 2.2 Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 2.2.1 Pengertian Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23
Menurut (Waluyo) 2011, hlm. 283, Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 adalah: “Pajak penghasilan yang dipotong atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau penyelenggara kegiatan selain yang telah dipotong PPh Pasal 21 yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah atau subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya”.
11
2.2.2 Pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 Pemotong PPh Pasal 23 adalah pihak-pihak yang membayarkan penghasilan yang terdiri atas : 1. Badan Pemerintah. 2. Subjek pajak badan dalam negeri. 3. Penyelenggara kegiatan. 4. Bentuk usaha tetap. 5. Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya. 6. Orang Pribadi sebagai Wajib Pajak Dalam Negeri yang telah mendapat penunjukkan dari Direktorat Jenderal Pajak untuk memotong Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 yang meliputi: a) Akuntan, arsitek, dokter, notaris, pejabat pembuat Akta Tanah (PPAT) kecuali PPAT tersebut adalah camat, pengacara, dan konsultan, yang melakukan pekerjaan bebas. b) Orang pribadi
yang
menjalankan
usaha
yang menyelenggarakan
pembukuan.
Menurut Donald T.Rocen, George M, Clarke III dan Garret A. Fenton (2010:35) mengatakan “Withholding agents who fail to withhold or properly document why they did not withhold can be personally liable for under withheld tax. Withholding agents also have reporting requirements”. “Agen Pemotongan yang gagal untuk menahan atau dokumen yang tepat mengapa mereka tidak bisa menahan bertanggung jawab secara pribadi untuk di bawah pajak yang dipotong. Agen Pemotongan juga memiliki persyaratan pelaporan”. 12
2.2.3 Objek dan Tarif Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 244/PMK.03/2008 per 1 Januari 2009 penghasilan yang dipotong PPh Pasal 23 adalah:
Tabel 2.2.3.1 Daftar Objek dan Tarif PPh Pasal 23 Jenis Penghasilan 1-4 5 6
Dividen, Bunga, Royalti, Hadiah dan penghargaan Bunga simpanan koperasi yang melebihi Rp 240.000 sebulan (PPh Final) Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta khusus kendaraan angkutan darat untuk jangka waktu tertentu berdasarkan kontrak atau perjanjian tertulis atau perjanjian tertulis ataupun tidak tertulis. 7 Sewa & penghasilan lain terkait penggunaan harta khusus kendaraan angkutan darat untuk jangka waktu tertentu berdasarkan kontrak / perjanjian tertulis / perjanjian tertulis / tidak tertulis, kecuali sewa & penghasilan lain terkait persewaan tanah dan atau bangunan yang telah dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final. 8 - 13 Jasa Teknik, Manajemen, Penilai, Aktuaris, Akuntansi, atau jasa Perancang 14 Jasa pengeboran (jasa drilling) dibidang penambangan minyak dan gas bumi (migas), kecuali yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap 15 Jasa penunjang di bidang penambangan migas 16 Jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang penambangan selain migas 17 Jasa penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara 18-21 Jasa penebangan hutan, pengolahan limbah, perantara, atau jasa penyedia tenaga kerja 22 Jasa di bidang perdagangan surat-surat berharga, kecuali yang dilakukan oleh Bursa Efek, KSEI dan KPEI 23 Jasa custodian / penyimpanan / penitipan, kecuali yang dilakukan oleh KSEI 24-25 Jasa pengisian suara atau Jasa mixing film 26 Jasa sehubungan dengan software komputer, termasuk perawatan, pemeliharaan dan perbaikan 27 Jasa instalasi / pemasangan mesin, listrik / telepon / air / gas / AC / TV Kabel; kecuali dilakukan oleh pengusaha konstruksi 28 Jasa instalasi / pemasangan peralatan; kecuali dilakukan oleh pengusaha konstruksi 29 Jasa instalasi/ pemasangan mesin, listrik / telepon / air / gas / AC/ TV Kabel 30 Jasa perawatan / pemeliharaan / perbaikan peralatan 31 Jasa perawatan / pemeliharaan / perbaikan alat-alat transportasi / kendaraan 32 Jasa perawatan / pemeliharaan / perbaikan bangunan 33-36 Jasa maklon, penyelidikan dan keamanan, penyelenggara kegiatan / event organizer, atau Jasa pengepakan 37 Jasa penyediaan tempat dan/atau waktu dlm media massa, media luar ruang / media lain untuk penyampaian informasi. 38-40 Jasa pembasmian hama, kebersihan / cleaning service, catering Sumber: Website Kementerian Keuangan RI Jaringan dokumentasi dan informasi hukum.
pra 2009 15 15 1,5
sejak 2009 15 10 2,0
4,5
2,0
4,5 4,5
2,0 2,0
4,5 4,5 4,5 4,5
2,0 2,0 2,0 2,0
4,5
2,0
4,5 4,5 4,5
2,0 2,0 2,0
4,5
2,0
4,5 4,5 4,5 4,5 4,5 3,0
2,0 2,0 2,0 2,0 2,0 2,0
1,5
2,0
1,5
2,0
13
2.2.4 Pengecualian Objek Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 Penghasilan yang tidak dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 adalah : a. Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank. b. Sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi. c. Dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f UU PPh dan dividen yang diterima oleh orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2c) UU PPh. d. Bagian laba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf i UU PPh. e. Sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya. g. Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan yang meliputi: 1) Akuntan, arsitek, dokter, notaris, pejabat pembuat Akta Tanah (PPAT) kecuali PPAT tersebut adalah camat, pengacara, dan konsultan, yang melakukan pekerjaan bebas. 2) Orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan.
2.2.5 Saat terutang Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 Pemotongan pajak penghasilan oleh pihak-pihak sebagai pemotong pajak sebagaimana dimaksud pada pasal 23 Undang-undang Pajak Penghasilan yaitu terutang pada akhir bulan dilakukan pembayaran atau akhir bulan terutangnya penghasilan bersangkutan tergantung tergantung pada peristiwa yang terjadi terlebih dahulu. 14
2.2.6 Penghitungan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 terhadap jumlah bruto a. Penghitungan PPh Pasal 23 atas Dividen Atas penghasilan berupa dividen akan dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 sebesar 15% dari jumlah bruto. PPh Pasal 23 = 15% x Bruto
b. Penghitungan PPh Pasal 23 atas bunga, termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang.
1) Atas penghasilan berupa bunga dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 sebesar 15% dari jumlah bruto. PPh Pasal 23 = 15% x Bruto
2) Atas penghasilan berupa bunga simpanan koperasi yang jumlahnya melebihi Rp.240.000,- dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 sebesar 15% dari jumlah bruto. PPh Pasal 23 (final) = 15% x bruto
c. Penghitungan PPh Pasal 23 atas royalti Atas penghasilan yang berupa royalti akan dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 sebesar 15% dari jumlah bruto. PPh Pasal 23 = 15% x Bruto
15
d. Penghitungan PPh Pasal 23 atas hadiah dan penghargaan, bonus, dan sejenisnya Atas hadiah atau penghargaan yang diberikan melalui suatu perlombaan atau adu ketangkasan yang diterima oleh Wajib Pajak termasuk BUT dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 sebesar 15% dari jumlah bruto.
PPh Pasal 23 = 15% x Bruto
e. Penghitungan PPh Pasal 23 atas sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta Atas penghasilan sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta (kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan persewaan tanah dan atau bangunan) dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 sebesar 2% dari jumlah bruto tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
PPh Pasal 23 = 2% x Bruto
f. Penghitungan PPh Pasal 23 atas imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konsultan pajak, dan jasa lain. Atas penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konsultan pajak, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21 dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 sebesar 2% dari jumlah bruto tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai PPh Pasal 23 = 2% x Bruto
16
2.2.7 Tata Cara pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 1. Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau pada akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan yang dimaksud dengan saat terutangnya penghasilan yang bersangkutan adalah saat pembebanan sebagai biaya oleh pemotong pajak sesuai dengan metode pembukuan yang dianutnya.
2. Pajak Penghasilan Pasal 23 harus disetor oleh Pemotong Pajak selambatlambatnya tanggal 10 takwin berikutnya setelah bulan saat terutangnya pajak. Jika batas waktu pada tanggal 10 jatuh pada hari libur. Maka berkewajiban membayar atau harus melunasi sebelum tanggal jatuh tempo. Jika lebih dari tanggal 10 maka akan dikenakan sanksi administrasi 2%/bulan.
3. Pemotong PPh Pasal 23 diwajibkan menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa selambat-lambatnya 20 hari setelah Masa Pajak berakhir. Jika batas waktu tanggal 20 jatuh pada hari libur. Maka boleh melaporkan pada tanggal berikutnya atau akan lebih baik sebelum tanggal lapor tersebut.
4. Pemotongan PPh Pasal 23 harus memberikan tanda bukti pemotongan kepada orang pribadi atau badan yang dibebani membayar Pajak Penghasilan yang dipotong.
5. Pelaksanaan pemotongan, penyetoran, dan pelaporan PPh Pasal 23 dilakukan secara desentralisasi artinya dilakukan ditempat terjadinya pembayaran atau terutangnya penghasilan yang merupakan objek PPh Pasal 23, hal ini dimaksudkan untuk mempermudah pengawasan terhadap pelaksanaan pemotongan PPh Pasal 23 tersebut. Transaksi-transksi yang merupakan objek pemotongan PPh Pasal 23 yang pembayarannya dilakukan oleh kantor pusat, PPh Pasal 23 dipotong, disetor dan dilaporkan oleh kantor pusat, cabang, misalnya sewa kantor cabang, PPh Pasal 23 dipotong, disetor, dan dilaporkan oleh kantor cabang yang bersangkutan.
17
2.3 Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 2.3.1 Pengertian Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 adalah PPh yang dikenakan/dipotong atas penghasilan yang bersumber dari Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak (WP) luar negeri selain bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia. Bentuk usaha tetap merupakan subjek pajak yang perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak badan. Negara domisili dari Wajib Pajak luar negeri selain yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan usaha melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, adalah Negara tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak luar negeri yang sebenarnya menerima manfaat dari penghasilan tersebut. 2.3.2 Pemotong Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 Adalah pihak-pihak yang membayarkan penghasilan, terdiri dari: a. Badan Pemerintah. b. Subjek pajak dalam negeri. c. Penyelenggara kegiatan. d. Bentuk Usaha Tetap (BUT) e. Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya.
18
2.3.3 Objek dan Tarif Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 Tabel 2.3.3.1 Objek dan Tarif PPh Pasal 26 No. Jenis Penghasilan 1. Deviden, bunga, royalti, imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan dan kegiatan, hadiah dan penghargaan, pensiun dan pembayaran berkala lainnya. 2. • Penghasilan dari penjualan harta di Indonesia selain yang diatur dalam pasal 4 ayat 2 • Premi asuransi yang dibayar kepada perusahaan asuransi luar negeri. Besarnya perkiraan penghasilan netto untuk premi asuransi dan premi reasuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi di luar negeri.
Tarif 20% dari jumlah bruto
• 20% dari perkiraan penghasilan netto • 50% dari jumlah premi yang dibayar oleh tertanggung kepada perusahaan asuransi di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang (makelar = pengantara jual beli).
2.3.4 Tarif Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 atas P3B (Tax Treaty)
Sesuai dengan UU PPh Pasal 32A, Pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan Pemerintah Negara lain untuk penghindaraan pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak yang biasa disebut Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau Tax Treaty.
Perhitungan besarnya PPh Pasal 26 yang didasarkan pada P3B (Tax Treaty) tersebut biasanya dibebaskan dari pengenaan PPh Pasal 26 atau dikenakan PPh Pasal 26 dengan tarif yang lebih rendah.
19
Tabel 2.3.4.1 Tarif PPh Pasal 26 dalam P3B Indonesia No
Negara Treaty Partner
1 Afrika Selatan 2 Australia 3 Austria 4 Belgium 5 Bulgaria 6 Canada Renegosiasi 7 Ceko 8 Denmark 9 Finland 10 France 11 Germany 12 Hungary 13 India 14 Italy 15 Japan 16 Kuwait 17 Luxembourg 18 Malaysia 19 Mauritius 20 Netherland 21 Renegosiasi 22 New Zealand 23 Norway 24 Pakistan 25 Philipina 26 Poland 27 Romania 28 Saudi Arabia 29 Singapore 30 South Korea 31 Srilangka 31 Suriah 32 Sudan 33 Sweden
Berlaku Dividen Dividen Bunga Royalty PPh Pasal 26 Mulai Portofolio Penyertaan Ayat 4 Langsung (Branch Profit Tax) 1-1-99 15% 10% 10% 15% 10% 1-7-93 1-1-89 1-1-75 1-1-93 1-1-80 1-1-99 1-1-97 1-1-87 1-1-90 1-1-81 1-1-92 1-1-94 1-1-88 1-1-96 1-1-83 1-1-99 1-1-95 1-1-87 1-1-99 1-1-71 1-6-94 1-1-89
15% 15% 15% 15% 15% 15% 15% 20% 15% 15% 15% 15% 15% 15% 15% 10% 15% 15% 10% 15% 15% 15%
15% 10% 15% 15% 15% 10% 10% 10% 10% 10% 10% 15% 10% 10% 10% 10% 10% 15% 5% 10% 10% 15%
10% 10% 15% 10% 15% 10% 12,5% 10% 10% 15% 10% 15% 10% 10% 10% 5% 10% 15% 10% 10% 10% 10%
15% 10% 10% 10% 15% 10% 12,5% 15% 15% 10% 15% 15% 15% 15% 10% 20% 12,5% 15% 10% 20% 10% 15%
15% 12% 15% 15% 15% 15% 12,5% 15% 15% 10% 10% 20% 10% 12% 10% 10% 10% 12,5% 10% 9% 9% 20%
1-1-91 1-1-91 1-1-93 1-1-94 1-1-2000 1-1-89
15% 15% 20% 15% 15% 20%
15% 10% 15% 10% 12,5% 20%
10% 15% 15% 10% 12,5% 20%
15% 15% 15% 15% 12,5% 20%
15% 10% 20% 10% 12,5% 20%
1-1-92 1-1-90 1-1-95 1-1-99 7-8-2000 1-1-90
15% 15% 15% 10% 10% 15%
10% 10% 15% 10% 10% 10%
10% 10% 15% 10% 15% 10%
15% 15% 15% 20% 10% 15%
15% 10% 20% 10% 10% 15% 20
34 Switzerland 1-1-90 15% 10% 35 Taiwan 1-1-96 10% 10% 36 Thailand 1-1-82 15% 15% 37 Tunisia 1-1-94 12% 12% 38 United 1-1-76 15% 10% Kingdom Renegosiasi 1-1-95 15% 10% 39 Ukraina 1-1-99 15% 10% 40 Uzbekistan 1-1-99 10% 10% 41 Uni Emirat 1-1-2000 10% 10% Arab 42 USA 1-2-91 15% 15% Renegosiasi 1-1-97 15% 10% 43 Vietnam 1-1-2000 15% 15% 44 Yordania 1-1-99 10% 10% Sumber: Website Direktorat Jenderal Pajak
10% 10% 15% 12% 10%
12,5% 10% 15% 15% 15%
10% 5% 20% 12% 10%
10% 10% 10% 5%
15% 10% 10% 5%
10% 10% 10% 5%
15% 10% 15% 10%
15% 10% 15% 10%
15% 10% 10% 20%
2.3.5 Saat Terutang, Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26
Pajak Penghasilan (PPh) pasal 26 terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau akhir bulan terutangnya penghasilan, tergantung yang mana terjadi lebih dahulu. Pemotong Pajak Penghasilan (PPh) pasal 26 wajib membuat bukti pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) pasal 26 rangkap 3 : -lembar pertama untuk Wajib Pajak luar negeri; -lembar kedua untuk Kantor Pelayanan Pajak; -lembar ketiga untuk arsip Pemotong.
-
Pajak Penghasilan (PPh) pasal 26 wajib disetorkan ke bank Persepsi atau Kantor Pos dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP), paling lambat tanggal 10 bulan takwim berikutnya setelah bulan saat terutangnya pajak.
21
-
SPT Masa PPh Pasal 26, dengan dilampiri SSP lembar kedua, bukti pemotongan lembar kedua dan daftar bukti pemotongan disampaikan ke KPP setempat paling lambat 20 hari setelah Masa Pajak berakhir.
-
Dalam hal jatuh tempo penyetoran atau batas akhir pelaporan PPh Pasal 26 bertepatan dengan hari libur termasuk hari sabtu atau hari libur nasional, penyetoran atau pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.
2.3.6 Pengecualian Objek Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 Badan Usaha Tetap (BUT) dikecualikan dari pemotongan PPh Pasal 26 apabila Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari BUT ditanamkan kembali di Indonesia dengan syarat: -
Penanaman kembali dilakukan atas seluruh penghasilan kena pajak setelah dikurangi PPh dalam bentuk penyertaan modal pada perusahaan yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri, dan;
-
dilakukan dalam tahun berjalan atau selambat-lambatnya tahun pajak berikutnya dari tahun pajak diterima atau diperoleh penghasilan tersebut;
-
tidak
melakukan
pengalihan
atas
penanaman
kembali
tersebut
sekurangkurangnya dalam waktu 2 (dua) tahun sesudah perusahaan tempat penanaman dilakukan, mulai berproduksi komersil. -
Badan-badan Internasional yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
22