BAB 2 LANDASAN TEORI
2.1
Kinerja Karyawan Pengertian kinerja yaitu suatu hasil kerja yang dihasilkan oleh seorang karyawan
diartikan untuk mencapai tujuan yang diharapkan. M enurut Anwar Prabu M angkunegara (2000), pengertian kinerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang karyawan dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikannya. Untuk menetapkan tingkat kinerja karyawan, dibutuhkan penilaian kinerja. Penilaian kinerja yang adil membutuhkan standar. Patokan yang dapat digunakan sebagai perbandingan terhadap kinerja antar karyawan. M enurut Simamora (2004), semakin jelas standar kinerjanya, makin akurat tingkat penilaian kinerjanya. Agar berdaya guna, setiap standar harus dinyatakan secara cukup jelas sehingga manajer dan bawahan atau kelompok kerja mengetahui apa yang diharapkan dan apakah telah tercapai atau tidak. Hal ini dikarenakan bahwa tugas pekerjaan dan standar kinerja saling berkaitan. M enurut Agus Dharma (2003), hampir semua cara pengukuran kinerja mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut.
Kuantitas, yaitu jumlah yang harus diselesaikan atau dicapai. Pengukuran kuantitatif melibatkan perhitungan keluaran dari proses atau pelaksanaan kegiatan. Ini berkaitan dengan jumlah keluaran yang dihasilkan.
30
Kualitas, yaitu mutu yang harus dihasilkan (baik tidaknya). Pengukuran kualitatif keluaran mencerminkan pengukuran ”tingkat kepuasan”, yaitu seberapa baik penyelesaiannya. Ini berkaitan dengan bentuk keluaran.
Ketepatan waktu, yaitu sesuai tidaknya dengan waktu yang direncanakan. Pengukuran ketepatan waktu merupakan jenis khusus dari pengukuran kuantitatif yang menentukan ketepatan waktu penyelesaian suatu kegiatan.
2.2
Produktivitas dan Kaitannya dengan Sistem Produksi Produktivitas pada dasarnya akan berkaitan erat pengertiannya dengan sistem
produksi, yaitu sistem dimana faktor-faktor semacam:
Tenaga kerja
M odal atau kapital berupa mesin, peralatan kerja, bahan baku, bangunan pabrik, dan lain-lain.
Dikelola dalam suatu cara yang teroganisir untuk mewujudkan barang (finished goods product) atau jasa (service) secara efektif dan efisien. Bertitik tolak dari hal tersebut, maka kita akan selalu berusaha memanfaatkan semua sumber daya tersebut untuk mewujudkan sesuatu secara maksimal dengan memadukan sumber dan hasil dalam bentuk optimal. Tenaga kerja manusia disamping modal dan sumber produksi lainnya adalah sumber daya yang harus dimanfaatkan secara penuh dan terarah. Proses produksi perdefinisi dapat dinyatakan sebagai serangkaian aktivitas yang diperlukan untuk mengelolah ataupun merubah sekumpulan masukan (input) menjadi sejumlah keluaran (output) yang memiliki nilai tambah (added value). Pengelolahan ataupun perubahan tersebut bisa terjadi di sini secara fisik maupun non fisik, dimana perubahan tersebut bisa terjadi terhadap bentuk, dimensi maupun sifat-sifatnya.
31 M engenai nilai tambah yang dimaksud disini adalah nilai keluaran yang ”bertambah” dalam pengertian fungsional (kegunaan) dan atau nilai ekonomisnya. Secara sederhana proses produksi dapat digambarkan dalam bagan input-output sebagai berikut:
Gambar 2.1 Bagan Input-Output dalam Sebuah Proses Produksi Sumber : Sritomo Wignjosoebroto (2003)
2.3
Produktivitas Kerja Manusia dan Cara Pengukurannya Berbicara mengenai produktivitas kerja, hal ini akan selalu dikaitkan dengan
pengertian efektivitas dan efisiensi kerja. M enilik pengertian umum, produktivitas diidentifikasi dengan efisiensi dalam suatu rasio antara keluaran (output) dan masukan (input). Rasio keluaran dan masukan ini dapat juga dipakai untuk menghampiri usaha yang dilakukan oleh manusia. Sebagai ukuran efisiensi atau produktivitas kerja manusia, maka rasio tersebut umumnya berbentuk keluaran yang dihasilkan oleh aktivitas kerja dibagi jam kerja (man hours) yang dikontribusikan sebagai sumber masukan dengan nilai rupiah atau unit produksi lainnya sebagai dimensi tolak ukurnya. Selanjutnya bisa dinyatakan bahwa seseorang telah bekerja dengan produktif jikalau telah menunjukkan output kerja yang paling tidak telah mencapai suatu ketentuan ini didasarkan atas besarnya keluaran yang dihasilkan secara normal dan diselesaikan
32 dalam jangka waktu yang layak pula. Dari uraian ini maka dapat disimpulkan bahwa di sini ada dua unsur yang dimasukkan sebagai kriteria produktivitas, yaitu:
Besar atau kecilnya keluaran yang dihasilkan, dan
Waktu kerja yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan itu.
Waktu kerja disini adalah suatu ukuran umum dari nilai masukan yang harus diketahui guna melaksanakan penelitian dan penilaian mengenai produktivitas kerja manusia.
2.4
Cara Pengukuran dan Pencatatan Waktu Kerja Ada tiga metode umum yang digunakan untuk mengukur elemen-elemen kerja
dengan menggunakan jam henti (stop-watch) yaitu : 1.
Pengukuran waktu secara terus-menerus (continuous timing) Pengamat kerja akan menekan tombol stop-watch pada saat elemen kerja pertama dimulai dan membiarkan jarum penunjuk stop-watch berjalan secara terus-menerus sampai periode atau siklus kerja selesai berlangsung. Di sini pengamat kerja terus mengamati jalannya jarum stop-watch dan mencatat pembacaan waktu yang ditunjukkan setiap akhir dari elemen-elemen
kerja pada lembar pengamatan.
Waktu sebenarnya dari masing-masing elemen diperoleh dari pengurangan pada saat pengukuran waktu selesai dilaksanakan. 2.
Pengukuran waktu secara berulang-ulang (repetitive timing) Kadang-kadang disebut snap-back method. Di sini jarum penunjuk stop-watch akan selalu dikembalikan (snap-back) lagi ke posisi nol pada setiap akhir dari elemen kerja yang diukur. Setelah dilihat dan dicatat waktu kerja diukur kemudian ditekan lagi dan segera jarum penunjuk bergerak untuk mengukur elemen kerja berikutnya. Demikian seterusnya sampai akhir dari elemen tombol ditekan lagi dan
33 untuk mengembalikan jarum ke nol. Dengan cara demikian maka data waktu untuk setiap elemen kerja yang diukur akan dapat dicatat secara langsung tanpa ada pekerjaan tambahan untuk pengurangan seperti yang dijumpai dalam metode pengukuran terus-menerus. Dengan melihat data waktu setiap elemen secara langsung maka pengamat akan bisa mengetahui variasi data waktu selama proses kerja berlangsung untuk setiap elemen kerja. Variasi yang terlalu besar dari data waktu yang bisa diakibatkan oleh kesalahan membaca atau menggunakan stopwatch ataupun bisa pula karena penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam pelaksanaan kerja. 3.
Pengukuran waktu secara penjumlahan (accumulative timing) Di sini akan digunakan dua atau lebih stop-watch yang akan bekerja secara bergantian. Dua atau tiga stop-watch dalam hal ini akan didekatkan sekaligus pada papan pengamatan dan dihubungkan dengan suatu tuas. Apabila stop-watch pertama dijalankan, maka stop-watch nomor dua dan tiga berhenti (stop) dan jarum tetap pada posisi nol. Apabila elemen kerja sudah berakhir, maka tuas ditekan yang akan menghentikan gerakan jarum dari stop-watch pertama dan menggerakkan stop-watch kedua untuk mengukur elemen kerja berikutnya. Dalam hal ini stopwatch nomor tiga tetap pada posisi nol. Pengamat selanjutnya bisa mencatat data waktu yang diukur oleh stop-watch pertama. Apabila elemen kerja sudah berakhir maka tuas ditekan lagi, yang mana hal ini akan menghentikan jarum penunjuk pada stop-watch kedua pada posisi waktu yang diukur dan selanjutnya akan menggerakkan stop-watch ketiga untuk mengukur elemen kerja berikutnya lagi. Gerakan tuas ini selain menghentikan jarum penunjuk stop-watch kedua, menggerakkan stop-watch pertama kembali ke posisi nol (untuk bersiap-siap
34 mengukur elemen kerja yang lain). Demikian seterusnya. M etode akumulatif memberikan keuntungan di dalam hal pembacaan akan mudah dan lebih teliti karena jarum stop-watch tidak dalam keadaan bergerak pada saat pembacaan waktu dilaksanakan seperti halnya yang dijumpai untuk pengukuran kerja dengan menggunakan satu stop-watch.
2.5
Faktor Penyesuaian dan Kelonggaran
2.5.1 Maksud Melakukan Penyesuaian Setelah pengukuran berlangsung, pengukur harus mengamati kewajaran kerja yang ditunjukkan operator. Ketidakwajaran dapat saja terjadi misalnya bekerja tanpa kesungguhan, sangat cepat seolah-olah diburu waktu, atau karena menjumpai kesulitan kesulitan seperti karena kondisi ruangan yang buruk. Sebab-sebab seperti ini mempengaruhi kecepatan kerja yang berakibat terlalu singkat atau terlalu panjangnya waktu penyelesaian. Hal ini jelas tidak diinginkan karena waktu baku yang dicari adalah waktu yang diperoleh dari kondisi dan cara kerja yang baku yang diselesaikan secara wajar. Andai kata ketidakwajaran ada maka pengukur harus mengetahuinya dan menilai seberapa jauh hal itu terjadi. Penilaian perlu diadakan karena berdasarkan inilah penyesuaian dilakukan. Jadi jika pengukur mendapatkan harga rata-rata siklus yang diketahui diselesaikan dengan kecepatan tidak wajar oleh operator, maka agar harga rata-rata tersebut menjadi wajar, pengukur harus menormalkannya dengan melakukan penyesuaian. Biasanya penyesuaian dilakukan dengan mengalikan waktu siklus rata-rata dengan suatu harga p yang disebut faktor penyesuaian. Besarnya harga p tentunya sedemikian
35 rupa sehingga hasil perkalian yang diperoleh mencerminkan waktu yang sewajarnya atau yang normal. Operator yang bekerja di atas normal (terlalu cepat) maka harga p nya akan lebih besar dari satu (p > 1), sebaliknya jika operator dipandang bekerja di bawah normal maka harga p akan lebih kecil dari satu (p < 1). Seandainya operator bekerja dengan wajar maka harga p nya sama dengan 1 (p = 1).
2.5.2 Beberapa Cara Menentukan Faktor Penyesuaian Ketidakwajaran yang dilakukan oleh operator dalam bekerja harus disesuaikan terlebih dahulu sebelum memulai perhitungan waktu baku. Ada beberapa cara dalam menentukan faktor penyesuaian, antara lain : 1.
Cara persentase Cara persentase merupakan cara yang paling awal digunakan dalam melakukan penyesuaian. Besarnya faktor penyesuaian ditentukan oleh pengukur melalui pengamatannya selama melakukan pengukuran. Jadi sesuai dangan pengukuran, pengukur menentukan harga p yang menurut pendapatnya akan menghasilkan waktu normal bila harga ini dikalikan dengan waktu siklus. M isalnya pengukur berpendapat bahwa p = 110%. Jika waktu siklusnya sama dengan 14.6 menit, maka Waktu normal = 14.6 × 1.1 = 16.6 menit. Namun, cara ini memiliki kekurangan dalam ketelitian akibat dari “kasarnya” cara penilaian.
2.
Cara Shumard Cara Shumard memberi patokan penilaian melalui kelas-kelas performance kerja dimana setiap kelas memiliki nilai-nilai tersendiri, yakni sebagai berikut: Tabel 2.1 Penyesuaian Shumard Kelas
Penyesuaian
36 Superfast Fast + Fast Fast Excellent Good + Good Good Normal Fair + Fair Fair Poor
100 98 90 85 80 75 70 65 60 55 50 45 40
Sumber: Sutalaksana (1979)
Seorang yang dipandang bekerja normal diberi nilai 60, dengan nama performance kerja yang lain dibandingkan untuk menghitung faktor penyesuaian. Bila performance seorang operator dinilai excellent maka dia mendapat nilai 80, dan karenanya p = 80/60 = 1.33. Jika Waktu siklus = 276.4 dati, maka waktu normal = 276.4 × 1.33 = 367.6 detik. 3.
Cara Westinghouse Cara Westinghouse mengarahkan penilaian pada 4 faktor yang dianggap menentuk kewajaran atau ketidakwajaran dalam bekerja, antara lain : 1. Keterampilan (skill) Keterampilan adalah suatu kemampuan untuk mengikuti cara kerja yang ditetapkan. 2. Usaha (effort) Usaha adalah kesungguhan yang ditunjukkan atau diberikan operator ketika melakukan pekerjaannya. 3. Kondisi kerja (condition)
37 Kondisi kerja adalah kondisi fisik lingkungan seperti keadaan pencahayaan, temperatur, dan kebisingan ruangan. 4. Konsistensi (consistency) Angka-angka pengukuran waktu yang dicatat tidak pernah sama dan selalu berubah-ubah. Selama variabilitas angka tersebut masih dalam batas kewajaran, maka tidak akan timbul masalah, tetapi jika variabilitas angka tersebut tinggi maka konsistensi sangat perlu diperhatikan.
38 Tabel 2.2 Penyesuaian Westinghouse Faktor Ketrampilan
Kelas Superskill Excellent Good Average Fair Poor
Usaha
Excessive Excellent Good Average Fair Poor
Lambang A1 A2 B1 B2 C1 C2 D E1 E2 F1 F2
Penyesuaian + 0.15 + 0.13 + 0.11 + 0.08 + 0.06 + 0.03 0.00 - 0.05 - 0.10 - 0.16 - 0.22
A1 A2 B1 B2 C1 C2 D E1 E2 F1 F2
+ 0.13 + 0.12 + 0.10 + 0.08 + 0.05 + 0.02 0.00 - 0.04 - 0.08 - 0.12 - 0.17
Kondisi kerja
Ideal Excellenty Good Average Fair Poor
A B C D E F
+ 0.06 + 0.04 + 0.02 0.00 - 0.03 - 0.07
Konsistensi
Perfect Excellent Good Average Fair Poor
A B C D E F
+ 0.04 + 0.03 + 0.01 0.00 - 0.02 - 0.04
Sumber: Sutalaksana (1979)
39 p = 1, Sedangkan terhadap penyimpangan dari keadaan ini harga p nya ditambah dengan angka-angka yang sesuai dengan keempat faktor di atas. Sebagai contoh jika waktu siklus rata-rata sama dengan 124.6 detik dan waktu ini dicapai dengan: Ketrampilan
: Fair (E1)
= - 0.05
Usaha
: Good (C2)
= + 0.02
Kondisi
: Excellent (B) = + 0.04
Konsistensi
: Poor (F)
Jumlah
:
= - 0.04 - 0.03
Jadi p = (1 - 0.03) atau p = 0.97 sehingga waktu normal = 124.6 × 0.97 = 120.9 detik 4.
Cara objektif Cara objektif dilakukan oleh pengukur dengan menilai semua faktor yang dianggap berpengaruh sekaligus. Cara objektif memperhatikan 2 faktor, yaitu kecepatan kerja dan tingkat kesulitan pekerjaan. Angka yang ditunjukkan di dalam tabel adalah dalam perseratus.
40 Tabel 2.3 Penyesuaian Objektif Keadaan Anggota terpakai Jari Pergelangan tangan dari jari Lengan bawah, pergelangan tangan dan jari Lengan atas, lengan bawah, dan seterusnya Badan M engangkat beban dari lantai dengan kaki Pedal kaki Tanpa pedal, atau satu pedal dengan sumbu di bawah kaki Satu atau dua pedal dengan sumbu tidak di bawah kaki
Lambang
Penyesuaian
A B C D E E2
0 1 2 5 8 10
F
0
G
5
Penggunaan Tangan Keadaan tangan saling bantu atau bergantian Kedua tangan mengerjakan gerakan yang sama pada saat yang sama
H
0
H2
18
Koordinasi mata dengan tangan Sangat sedikit Cukup dekat Konstan dan dekat Sangat dekat Lebih kecil dari 0.04 cm
I J K L M
0 2 4 7 10
Peralatan Dapat ditangani dengan mudah Dengan sedikit kontrol Perlu kontrol dan penekanan Perlu penanganan dan hati-hati M udah pecah dan patah
N O P Q R
0 1 2 3 5
B-1 B-2 B-3 B-4 B-5 B-6 B-7 B-8 B-9
Tangan Kaki 2 1 5 1 6 1 10 1 13 1 15 3 17 4 19 5 20 6
Berat beban (kg) 0.45 0.90 1.35 1.80 2.25 2.70 3.15 3.60 4.05
41 Tabel 2.3 Penyesuaian Objektif (lanjutan) Keadaan
Lambang
Berat beban (kg) 4.50 4.95 5.40 5.85 6.30
B-10 B-11 B-12 B-13 B-14
Penyesuaian Tangan Kaki 22 7 24 8 25 9 27 10 28 10
Sumber: Sutalaksana (1979)
Jadi jika untuk suatu pekerjaan diperlukan gerakan-gerakan lengan bagian atas siku, pergelangan tangan dan jari (C), tidak ada pedal kaki (F), kedua tangan bekerja bergantian (H), koordinasi mata dengan tangan sangat dekat (L), alat yang dipakai hanya memerlukan sedikit kontrol (O) dan berat benda yang ditangani 2.3 kg maka: Bagian badan yang dipakai
:C
=2
Pedal kaki
:F
=0
Cara menggunakan kekuatan tangan
:H
=0
Koordinasi mata dengan tangan
:L
=7
Peralatan
:O
=1
Berat
: B-5
= 13
Jumlah
= 23
Sehingga p 2 = (1 + 0.23) atau p 2 = 1.23 Faktor penyesuaian dihitung dengan: p = p 1 (cara persentase)× p 2 (cara objektif) Besarnya nilai p 1 diasumsikan sama dengan 0.9 maka p = 0.9 × 1.23 = 1.11
42 5.
Cara Bedaux dan sintesa Pada dasarnya cara Bedaux tidak jauh berbeda dengan cara Shumard. Perbedaannya hanya terletak pada cara penulisan nilai. Nilai-nilai pada cara Bedaux dinyatakan dalam “B”. Sedangkan pada cara sintesa, waktu penyelesaian setiap elemen gerakan dibandingkan dengan harga-harga yang diperoleh dari tabeltabel data waktu gerakan untuk kemudian dihitung harga rata-ratanya.
2.5.3 Kelonggaran Kelonggaran digunakan untuk mengukur waktu baku. Kelonggaran dibagi menjadi 3, antara lain : 1.
Kelonggaran untuk kebutuhan pribadi (personal allowance) Setiap pekerja harus diberikan kelonggaran untuk kebutuhan yang bersifat pribadi, seperti minum sejedarnya untuk menghilangkan rasa haus, pergi ke kamar kecil, bercakap-cakap dengan rekan kerja untuk menghilangkan ketegangan dalam kerja, dan lain sebagainya. Besarnya kelonggaran tersebut berbeda-beda antara satu pekerjaan dengan pekerjaan yang lain karena setiap pekerjaan memiliki karakteristik yang berbeda. Besarnya kelonggaran tersebut dapat ditentukan dengan cara melaksanakan aktivitas time study satu hari kerja penuh atau dengan metode sampling kerja.
2.
Kelonggaran untuk melepaskan lelah (fatigue allowance) Rasa lelah (fatigue) dapat tercermin dari menurunnya hasil produksi. Kelelahan fisik manusia dapat disebabkan oleh pekerjaan yang membutuhkan banyak pikiran (lelah mental) dan kerja fisik. Salah satu cara untuk menentukan besarnya kelonggaran ini adalah dengan melakukan pengamatan sepanjang hari kerja dan
43 mencatat saat-saat dimana hasil produksi menurun. Namun, hal ini sangat sulit dilakukan karena penyebab menurunnya hasil produksi bukan hanya disebabkan oleh faktor kelelahan. 3.
Kelonggaran untuk hambatan-hambatan tak terhindarkan (delay allowance) Delay dapat disebabkan oleh berbagai faktor, baik yang sulit dihindarkan (unavoidable delay) maupun yang bisa dihindarkan (avoidable delay). Hambatan yang dapat dihindarkan seperti mengobrol berlebihan dan menganggur dengan sengaja. Sedangkan hambatan yang tak terhindarkan seperti menerima atau meminta petunjuk kepada pengawas, melakukan penyesuaian mesin, mengambil alat-alat atau bahan-bahan khusus dari gudang, mesin berhenti karena matinya aliran listrik dan lain sebagainya. Untuk menentukan kelonggaran ini, biasanya dilakukan sampling pekerjaan.
2.5.4 Menyertakan Kelonggaran dalam Perhitungan Waktu Baku Langkah pertama adalah menentukan besarnya kelonggaran untuk ketiga hal di atas yaitu untuk kebutuhan pribadi, menghilangkan rasa lelah dan hambatan tak terhindarkan. Dua hal yang pertama antara lain dapat diperoleh dari tabel berikut ini, yakni dengan memperhatikan kondisi-kondisi yang sesuai dengan pekerjaan yang bersangkutan. Dengan catatan, kelonggaran untuk kebutuhan pribadi bagi pria = 0 – 2.5% dan wanita = 2 – 5%. Untuk hambatan yang ketiga, dapat diperoleh dari sampling pekerjaan yang pada umumnya dianggap 5%. M isalkan suatu pekerjaan yang sangat ringan yang dilakukan sambil duduk dengan gerakan terbatas, pengawasan mata terputus-putus dengan pencahayaan kurang memadai, temperatur dan kelembaban normal, siklus udara baik dan tidak bising. Serta
44 kelonggaran untuk kebutuhan pribadinya = 2.5%. M aka persentase kelonggarannya = (7 + 0 + 3 + 5 + 2.5 + 0 + 2 + 2.5 )% = 22%. Jika kelonggaran tak terhindarkan diperoleh dari sampling pekerjaan adalah 5% maka kelonggaran total = (22 + 5)% = 27%. Jika Wn = 5.5 menit maka Wb = 5.5 + 0.27 (5.5) = 6.985 menit.
45
Tabel 2.4 Kelonggaran
A. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Faktor Tenaga yang dikeluarkan Dapat diabaikan Sangat ringan Ringan Sedang Berat Sangat berat Luar biasa berat
B. 1. 2. 3. 4. 5.
Sikap kerja Duduk Berdiri di atas dua kaki Berdiri di atas dua kaki Berbaring M embungkuk
C. 1. 2. 3. 4.
Gerakan kerja Normal Agak terbatas Sulit Pada anggota-anggota badan terbatas 5. Seluruh anggota badan terbatas
Contoh Pekerjaan Bekerja di meja, duduk Bekerja di meja, berdiri M enyekop, ringan M encangkul M angayun palu yang berat M emanggul beban M emanggul karung berat Bekerja duduk, ringan Badan tegak, ditumpu dua kaki Satu kaki mengerjakan alat kontrol Pada bagian sisi, belakang atau depan badan Badan dibungkukkan bertumpu pada kedua kaki
Ekuivalen beban Tanpa beban 0.00 – 2.25 kg 2.25 – 9.00 kg 9.00 – 18.00 kg 19.00 – 27.00 kg 27.00 – 50.00 kg Di atas 50 kg
Kelonggaran Pria 0.0 – 6.0 6.0 – 7.5 7.5 – 12.0 12.0 – 19.0 19.0 – 30.0 30.0 – 50.0
0.0 – 1.0 1.0 – 2.5 2.5 – 4.0 2.5 – 4.0 4.0 – 10
Ayunan bebas dari palu Ayunan terbatas dari palu M embawa beban berat dengan satu tangan Bekerja dengan tangan di atas kepala
0 0–5 0–5 5 – 10
Bekerja di lorong pertambangan yang sempit
10 – 15
Wanita 0.0 – 6.0 6.0 – 7.5 7.5 – 16.0 16.0 – 30.0
46
Tabel 2.4 Kelonggaran (lanjutan) Faktor D. Kelelahan mata 1. Pandangan yang terputus-putus 2. Pandangan yang hampir terus menerus 3. Pandangan terus menerus dengan fokus berubah-ubah 4. Pandangan terus menerus dengan fokus tetap E. Keadaan temperatur tempat kerja 1. Beku 2. Rendah 3. Sedang 4. Normal 5. Tinggi 6. Sangat tinggi F. Keadaan atmosfer 1. Baik 2. Cukup 3. Kurang baik 4. Buruk
Contoh Pekerjaan M embawa alat ukur Pekerjaan-pekerjaan yang teliti
-
M emeriksa cacat-cacat pada kain Pemeriksaan yang sangat teliti o Temperatur ( C)
-
Ruang yang berventilasi baik, udara segar Ventilasi kurang baik, ada bau-bauan (tidak berbahaya) Adanya debu-debuan beracun atau tidak beracun tetapi banyak Adanya bau-bauan berbahaya yang mengharuskan memakai alat-alat pernapasan
Di bawah 0 0 – 13 13 – 22 22 – 28 28 – 38 Di atas 38
Kelonggaran Pencahayaan baik 0.0 – 6.0 6.0 – 7.5
Pencahayaan Buruk 0.0 – 6.0 6.0 – 7.5
7.5 – 12.0 12.0 – 19.0 19.0 – 30.0 30.0 – 50.0
7.5 – 162.0 16.0 – 30.0
Kelembaban normal Di atas 10 10 – 0 5–0 0–5 5 – 40 Di atas 40
Berlebihan
0 0–5 5 – 10 10 – 20
Di atas 12 12 – 5 8–0 0–8 8 – 100 Di atas 100
47
Tabel 2.4 Kelonggaran (lanjutan)
G. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Faktor Keadaan lingkungan yang baik Bersih, sehat, cerah dengan kebisingan rendah Siklus kerja berulang-ulang antara 5 - 10 detik Siklus kerja berulang-ulang antara 0 - 5 detik Sangat bising Jika faktor-faktor yang berpengaruh dapat menurunkan kualitas Terasa adanya getaran lantai Keadaan-keadaan yang luar biasa (bunyi, kebersihan, dll)
Sumber: Sutalaksana (1979)
Contoh Pekerjaan
Kelonggaran
-
0 0–1 1–3 0–5 0–5 5 – 10 5 - 15
48 2.6
Tingkat Ketelitian dan Tingkat Keyakinan Tingkat ketelitian dan tingkat keyakinan adalah pencerminan tingkat kepastian
yang diinginkan oleh pengukur setelah memutuskan tidak akan melakukan pengukuran yang sangat banyak. Tingkat ketelitian menunjukkan penyimpangan maksimum hasil pengukuran dari waktu penyelesaian sebenarnya. Hal ini biasanya dinyatakan dalam persen. Sedangkan tingkat keyakinan menunjukkan besarnya keyakinan pengukur bahwa hasil yang diperoleh memenuhi syarat ketelitian. Inipun dinyatakan dalam persen. Jadi tingkat ketelitian 10% dan tingkat keyakinan 95% memberi arti bahwa pengukur membolehkan rata-rata hasil pengukurannya menyimpang sejauh 10% dari rata-rata sebenarnya dan kemungkinan berhasil mendapatkan hal ini adalah 95%. Dengan kata lain jika pengukur sampai memperoleh rata-rata pengukuran yang menyimpang lebih dari 10% seharusnya, hal ini diperbolehkan terjadi hanya dengan kemungkinan 5% (100%-95%). Sebagai contoh, katakanlah rata-rata waktu penyelesaian pekerjaan adalah 100 detik. Harga ini tidak pernah diketahui jika dilakukan tak terhingga kali pengukuran. Paling jauh yang dapat dilakukan adalah memperkirakannya dengan melakukan sejumlah pengukuran. Dengan pengukuran yang tidak sebanyak itu maka rata-rata yang diperoleh mungkin tidak 100 detik, tetapi suatu harga yang lain, misalnya 88.96 atau 100 detik. Katakanlah rata-rata pengukuran yang didapat 96 detik. Walaupun rata-rata sebenarnya (=100 detik) tidak diketahui, jika jumlah pengukuran yang dilakukan memenuhi untuk tingkat ketelitian 10% dan tingkat keyakinan 95%, maka pengukur mempunyai keyakinan bahwa 96 detik itu terletak pada interval harga rata-rata yang sebenarnya dikurangi 10% dari harga rata-rata ini dan harga rata-rata sebenarnya ditambah 10% dari rata-rata ini.
49 M engenai pengaruh tingkat-tingkat ketelitian dan keyakinan terhadap
jumlah
pengukuran yang diperlukan dapat dipelajari secara statistik. Tetapi secara intuitif hal ini dapat diduga yaitu bahwa semakin tinggi tingkat ketelitian dan semakin besar tingkat keyakinan, semakin banyak pengukuran yang diperlukan.
2.7
Uji Keseragaman dan Kecukupan Data
2.7.1 Uji Keseragaman Data Tugas
mengukur
adalah
mendapatkan
data
yang
seragam.
Karena
ketidakseragaman dapat datang tanpa disadari maka diperlukan suatu alat yang dapat ”mendeteksi”. Batas-batas kontrol dibentuk dari data yang merupakan batas seragam tidaknya data. Data yang dikatakan seragam, yaitu berasal dari sistem sebab yang sama, bila berada di antara kedua batas kontrol, dan tidak seragam, yaitu berasal dari sistem sebab yang berbeda, jika berada di luar batas kontrol. Berikut ini akan dijabarkan langkah-langkah uji keseragaman data: 1.
Tentukan jumlah seluruh pengamatan (N), jumlah sub grup (k) dan ukuran sub grup (n) Tabel 2.5 Data Pengamatan dan Rata-rata Sub Grup Data Pengamatan ( x i )
No S ub Grup 1
x1
x2
x3
x4
x5
Rata-rata S ub Grup ( x ) i xI
2
x6
x7
x8
x9
x10
x II
Jumlah Sumber: Sutalaksana (1979)
dimana, x i = data pengama tan ke 1, 2, …..dan seterusnya
Σ xi
50 2.
Hitung rata-rata dari harga rata-rata sub grup ( x ) x=
Σx
i
k
dimana, ∑ x = jumlah rata-rata sub grup i 3.
Hitung standar deviasi sebenarnya dari waktu penyelesaian ( σ )
σ= 4.
Σ(x i − x )2 n −1
Hitung standar deviasi sebenarnya dari distribusi harga rata-rata sub grup (σ ) x σ σ = x n
5.
Tentukan batas kotrol atas dan batas kontrol bawah (BKA dan BKB) BKA = x + (Z × σ ) x BKB = x − (Z × σ ) x dimana, Z = koefisien pada distribusi normal sesuai dengan tingkat keyakinan Perhitungan Z tabel adalah sebagai berikut: ⎡1 − β ⎤ Z = 1− ⎢ ⎣ 2 ⎥⎦ Tingkat keyakinan ( β ) yang sering digunakan, yaitu :
β = 90%, Z tabel = 1.65 β = 95%, Z tabel = 1.96 ≈ 2 β = 99%, Z tabel = 2.58 ≈ 3
51 6.
Lihat apakah x I dan x II berada di dalam BKA dan BKB. Jika data berada di dalam batas-batas kontrol maka data dapat dikatakan seragam dan dapat digunakan untuk perhitungan selanjutnya. Jika berada di luar BKA dan BKB sub grup tersebut harus dibuang karena berasal dari sistem sebab yang berbeda. Dengan demikian untuk perhitungan-perhitungan selanjutnya seperti untuk mencari banyaknya pengukuran yang harus dilakukan, semua data dalam sub grup ini tidak turut diperhitungkan.
2.7.2 Uji Kecukupan Data Untuk menetapkan berapa jumlah observasi yang seharusnya dibuat ( N' ) maka disini harus diputuskan terlebih dahulu berapa tingkat kepercayaan atau keyakinan (convidence level) dan derajat ketelitian (degree of accuracy) untuk pengukuran kerja ini. Di dalam aktivitas pengukuran kerja biasanya akan diambil 95% convidence level dan 5% degree of accuracy. Demikian formula dapat dituliskan: ⎡ 2 2 ⎢ Z / s N(∑ x i ) − (∑ xi ) N' = ⎢ ∑x i ⎢ ⎣
⎤ ⎥ ⎥ ⎥ ⎦
⎡ 2 2 ⎢ 40 N(∑ x i ) − (∑ x i ) N' = ⎢ ∑x ⎢ i ⎣
⎤ ⎥ ⎥ ⎥ ⎦
2
2
Dimana N' adalah jumlah pengamatan atau pengukuran waktu yang diperlukan untuk memberikan tingkat keyakinan 95% dan derajat ketelitian 5%. Apabila selanjutnya dikehendaki tingkat kepercayaan 95% dan tingkat ketelitian 10% maka rumus tersebut akan berubah menjadi:
52 ⎡ 2 2 ⎢ 20 N(∑ x i ) − (∑ x i ) N' = ⎢ ∑x ⎢ i ⎣
⎤ ⎥ ⎥ ⎥ ⎦
2
Keterangan: N'
= jumlah pengamatan atau pengukuran yang diperlukan
N
= jumlah pengamatan aktual yang telah dilakukan
xi
= data ke 1, 2, ...dst yang diperoleh dari hasil pengamatan
Σ xi
= total dari x i
Bila nilai N lebih besar daripada N' maka data tersebut sudah cukup dan memenuhi tingkat keyakinan dan derajat ketelitian yang ditentukan. Tapi, apabila diperoleh nilai N' lebih besar dari N, data yang ada harus ditambah lagi supaya diperoleh kemudian memberikan tingkat keyakikan dan derajat ketelitian yang diharapkan.
2.8
Perhitungan Waktu Baku berdasarkan stopwatch time study Cara untuk mendapatkan waktu baku dari data waktu yang terkumpul adalah
sebagai berikut: 1.
Hitung waktu siklus rata-rata:
Ws =
∑Xi k
dimana Xi = rata-rata waktu perakitan tiap stasiun kerja (detik) k = jumlah pengamatan yang dilakukan
53 2.
Hitung waktu normal dengan: Wn = Ws × (1 + p) dimana p adalah faktor penyesuaian. Faktor ini diperhitungkan jika pengukur berpendapat bahwa operator bekerja dengan kecepatan tidak wajar, sehingga hasil perhitungan waktu perlu disesuaikan. Jika pekerja bekerja dengan wajar, maka faktor penyesuaiannya sama dengan 1, artinya waktu siklus rata-rata sudah normal. Jika bekerjanya terlalu lambat, maka untuk menormalkannya pengukur harus memberi harga p < 1 dan sebaliknya p > 1 jika dianggap bekerja terlalu cepat.
3.
Hitung waktu baku dengan: ⎛ 100 % ⎞ Waktu baku (Wb) = waktu normal (Wn) × ⎜⎜ ⎟⎟ ⎝ 100 % − kelonggaran% ⎠ dimana 1 adalah kelonggaran yang diberikan kepada pekerja untuk menyelesaikan pekerjaannya di samping waktu normal. Umumnya kelonggaran dinyatakan dalam persen dari waktu normal.
2.9
Pengertian Takt Time "Takt" adalah asal kata dari Jerman yang berarti mengatur kecepatan irama atau
ketukan dengan bit yang selalu sama. Jadi takt time adalah "beat time", "time rate" atau "heart beat". Bersandar pada produksi menggunakan takt time untuk menilai bahwa produk selesai harus selesai sesuai waktu yang ditetapkan perusahaan dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan pelanggan.
54 Di dalam membuat barang yang hanya dapat dijual, maka standar waktu diperlukan untuk memproduksi barang tersebut. Pengertian takt time ini dipopulerkan pada tahun 1970an dalam Toyota Production System. Takt time adalah satuan waktu dalam menit maupun detik yang dipakai untuk memproduksi satu unit produk per orang. Takt time secara umum berlaku di seluruh proses baik dari proses perakitan maupun sampai proses akhir, yaitu misalnya barang menjadi mobil.
2.10 Pengertian Yamazumi Chart Kata Yamazumi berasal dari Jepang, yang secara harfiah berarti menyimpulkan. Grafik Yamazumi adalah grafik yang menggambarkan keseimbangan antara waktu baku masing-masing operator (cycle time) dengan waktu standar yang ditetapkan perusahaan (takt time). Penggambaran grafik Yamazumi adalah dengan mengkombinasikan grafik balok dengan grafik garis. Dimana grafik balok menandakan waktu baku masing-masing operator (cycle time) dan grafik garis menandakan waktu standar yang ditetapkan perusahaan (takt time). Kelebihannya dibandingkan dengan grafik yang lain adalah dapat membandingkan antara cycle time dan takt time sehingga dapat diketahui operator memiliki kelebihan atau kekurangan waktu dalam bekerja dan dapat mengoptimalkannya.
2.11 Pengertian Sumber Daya Manusia, Pelatihan dan Pengembangan M enurut Komarudin (2006), sumber daya manusia adalah kunci emas untuk setiap pelaksanaan bisnis yang berhasil. Tidak ada upaya manusia dapat berhasil tanpa sumber daya manusia yang terlatih dan berpengetahuan yang memadai. Oleh sebab itu, pelatihan
55 dan pengembangan pekerja merupakan sesuatu yang kritis bagi keberhasilan jangka pendek maupun jangka panjang untuk setiap bisnis baik yang berorientasi laba maupun bukan laba. M enurut
James
(1996),
pelatihan
adalah
proses
yang didesain
untuk
mempertahankan atau memperbaiki prestasi kerja saat ini. Sedangkan, pengembangan adalah proses mendesain untuk pengembangan ketrampilan yang perlu demi aktivitas pekerjaan di masa depan. M enurut Komarudin (2006), pelatihan dan pengembangan dapat dianggap sebagai suatu proses penyampaian pengetahuan, ketrampilan, dan pembinaan sikap dan kepribadian para pekerja atau calon pekerja yang dilaksanakan dengan cara terbimbing dan sistematis, dan dengan menggunakan metode yang relevan untuk keduanya. Jika pemahaman tentang pendidikan itu dipusatkan pada pengertian pelatihan, maka beberapa definisi berikut akan dapat membantunya: 1.
Pelatihan adalah salah satu jenis proses pembelajaran untuk memperoleh dan meningkatkan ketrampilan di luar sistem pengembangan sumber daya manusia yang berlaku dalam waktu yang relatif singkat dengan metode yang lebih mengutamakan praktek daripada teori.
2.
Pelatihan adalah suatu proses pendidikan jangka pendek yang menggunakan prosedur yang sistematik dan terorganisasi yang dengan prosedur itu personalia nonmanajerial belajar pengetahuan dan ketrampilan teknis untuk mencapai tujuan tertentu.
3.
Pelatihan adalah suatu proses pembelajaran yang berhubungan dengan upaya pengubahan tingkah laku sumber daya manusia agar tingkah laku itu sesuai dan memadai untuk kebutuhan dan tujuan tertentu.
56 Sedikitnya juga ada dua buah definisi yang menjelaskan arti pengembangan: 1.
Pengembangan adalah proses pendidikan jangka panjang yang meliputi pengajaran dan praktek sistematik yang menekankan pada konsep-konsep teoritis dan abstrak yang dilakukan oleh para penyelia.
2.
Pengembangan, mengacu pada hal yang berhubungan dangan penyusunan satf dan personalia, adalah proses pendidikan jangka panjang yang menggunakan prosedur sistematik dan terorganisasi yang dengan prosedur itu personalia mempelajari pengetahuan konseptual dan teoritis untuk tujuan umum.
2.12 Metode Pelatihan dan Pengembangan Setelah kebutuhan pelatihan organisasi tersebut diketahui, manajer sumber daya manusia harus mengawali usaha pelatihan dengan memadai. M anajer mempunyai berbagai cara pendekatan atau metode pelatihan, yaitu: 1. M etode pelatihan di tempat kerja (on the job training), termasuk rotasi pekerjaan. M etode ini mengharuskan karyawan melakukan sejumlah pekerjaan dalam periode tertentu, sehingga dengan demikian belajar berbagai macam ketrampilan, seperti: internship (pelatihan pekerjaan digabungkan dengan pengajaran di kelas) dan apprenticeship (pemagangan), karyawan dilatih di bawah bimbingan rekan sekerja dengan ketrampilan tinggi. 2.
M etode di luar tempat kerja (off the job training) mengambil tempat di luar tempat kerja tetapi dengan usaha simulasi kondisi tempat kerja yang sebenarnya. Pelatihan tipe ini termasuk vestibule training, di sini karyawan dilatih menggunakan peralatan yang sebenarnya dan pengaturan pekerjaan yang realistik, tetapi di ruang yang berbeda dari tempat mereka akan bekerja. Tujuannya adalah menghindari
57 tekanan yang terjadi di tempat kerja yang mungkin mempengaruhi proses belajar. Dalam behaviorally experienced training, aktivitas seperti latihan simulasi, permainan bisnis (business games), dan kasus yang berpusat pada masalah dipergunakan sehingga para peserta dapat belajar tingkah laku yang sesuai untuk pekerjaan lewat bermain peran (role playing). Pelatihan di luar tempat kerja mungkin difokuskan di ruang kelas, dengan seminar, pengajar dan film, atau mungkin menggunakan instruksi dengan bantuan komputer (computer assisted instruction, CAI). Dimana CAI adalah teknik pelatihan yang menggunakan komputer untuk mengurangi waktu yang diperlukan oleh pelatih untuk melatih dan menyediakan bantuan tambahan bagi para peserta pelatihan.
2.13 Kegunaan Pelatihan dan Pengembangan Ketidakpuasan terhadap hasil-hasil pelatihan dan pengembangan biasanya berkaitan dengan kenyataan bahwa pelatihan dan pengembangan itu tidak relevan dengan kebutuhan praktis para pesertanya. Berikut ini sejumlah kegunaan pelatihan dan pengembangan yang umumnya dapat dipetik oleh pesertanya: 1.
Kegunaan pelatihan dan pengembangan bagi para peserta M anfaat itu berbentuk pengetahuan yang lebih mendalam dan meluas, ketrampilan atau kemahiran yang lebih tepat dengan kebutuhan kelak, kepribadian yang lebih berkarakter dan percaya diri atas kemampuan yang semakin tinggi, sikap professional yang lebih besar, karir yang lebih cerah, produktivitas yang lebih besar yang mendatangkan pendapatan yang juga lebih tinggi dan daya saing di pasar buruh yang lebih pasti, baik lokal, nasional, regional dan global.
58 2.
Kegunaan pelatihan dan pengembangan bagi organisasi Program ini dapat menyediakan tenaga-tenaga ahli dan terampil yang diperlukan untuk mencapai tujuan organisasi dengan cara lebih efisien dan efektif. Kecakapan dan pengetahuan yang lebih besar akan meningkatkan produktivitas sekaligus menambah efisiensi keseluruhan hingga biaya yang dibelanjakan pun akan menurun.
3.
Kegunaan pelatihan dan pengembangan bagi perekonomian Pada saat ini dan di waktu yang akan datang, persaingan nasional dan global yang semakin sengit akan menempatkan fungsi pelatihan dan pengembangan ke tempat yang strategis. Teknologi yang paling canggih pun akan menjadi sia-sia belaka, tanpa sumber daya yang memadai untuk mengoperasikannya. Bahkan penggunaan teknologi yang canggih itu pun akan meningkatkan ketergantungan kepada para ahli asing, jika ahli-ahli domestik tidak dipersiapkan.
4.
Kegunaan pelatihan dan pengembangan bagi masyarakat umum Pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh para karyawan melalui programprogram pelatihan dan pengembangan yang tepat akan menyebabkan, bukan saja akan meningkatkan etos kerja, produktivitas dan produksi yang akan membawa kenaikan pendapatan individual, tetapi juga akan menyebabkan bertambahnya koefisien akselerasi dan multiplier perekonomian secara keseluruhan. Di bawah kebijakan makro yang komprehensif dan terintegrasi, tingkat pengangguran pun akan
menurun
dengan
bertambahnya sunber
dikembangkan dan terlatih itu.
daya manusia yang kian
59 2.14 Tujuan Pelatihan dan Pengembangan Tujuan strategis pelatihan dan pengembangan baik
manajemen maupun
nonmanajemen sumber daya manusia adalah untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi organisasi sehingga dapat menyesuaikan diri dengan perubahan dan menghadapi persaingan. Dari tujuan umum tersebut, dapat pula diperinci ke dalam tujuan-tujuan yang lebih konkrit: 1.
Peningkatan produktivitas Pelatihan dan pengembangan sumber daya manusia dilaksanakan bukan hanya kepada karyawan baru tetapi juga orang yang telah berpengalaman. Kenaikan kinerja seringkali dengan langsung membawa kenaikan produktivitas operasional dan kenaikan laba perusahaan.
2.
Peningkatan mutu Pelatihan dan pengembangan yang tepat bukan hanya meningkatkan jumlah keluaran tetapi biasanya juga meningkatkan mutu keluaran tersebut.
3.
Perencanaan sumber daya manusia yang lebih baik Pelatihan dan pengembangan manajemen pekerja yang tepat akan membantu perusahaan untuk memenuhi kebutuhan dan persyaratan personalia di waktu yang akan datang.
4.
M eninggikan moral Iklim dan suasana organisasotis umum biasanya dapat diperbaiki jika programprogram pendidikan (yaitu, program pelatihan dan pengembangan) yang memadai diselenggarakan dalam organisasi. M ata rantai yang tidak berakhir dari reaksi positif dapat terjadi disebabkan oleh program-program instruksional yang direncanakan dengan baik.
60 5.
M emperbesar kompensasi tidak langsung Banyak karyawan, khususnya para manajer, manganggap peluang pendidikan sebagai bagian dari paket balas jasa majikan dan karyawan keseluruhan mereka. M ereka berharap agar perusahaan membayar biaya untuk program yang membawa peningkatan pengetahuan umum dan kemahiran mereka.
6.
Kesehatan dan keamanan yang lebih besar Kesehatan mental dan keamanan fisik karyawan seringkali langsung berkaitan dengan pelaksanaan program-program pelatihan dan pengembangan sumber daya manusia. Pelatihan dan pengembangan yang layak dapat membantu mencegah kecelakaan industri, dan lingkungan kerja yang lebih aman dapat menyebabkan sikap mental karyawan yang lebih stabil. Keadaan mental manajerial pun dapat pula ditingkatkan jika para penyelia memahami bahwa mereka dapat memperbaiki diri melalui program-program pelatihan dan pengembangan yang dirancang oleh perusahaan dengan patut.
7.
M eningkatkan pencegahan keusangan Upaya
pelatihan
dan
pengembangan
sumber
daya
manusia
yang
berkesinambungan dibutuhkan agar para karyawan dapat mengikuti kemajuan yang sedang berlangsung dalam bidang kerjanya masing-masing, baik manajerial maupun mekanis. Pelatihan dan pengembangan sumber daya manusia, karena itu, perlu memutakhirkan keahlian dan ketrampilan para karyawan agar dapat beradaptasi dengan perubahan sosial dan teknologi. Ketrampilan dan gagasan yang terbelakang dapat membangkrutkan organisasi. Program-program pelatihan dan pengembangan sumber daya manusia akan mendorong insiatif dan kreativitas karyawan dan membantu mencegah keusangan karyawan.
61 8.
M eningkatkan pengembangan pribadi Tidak semua manfaat program-program pelatihan dan pengembangan perusahaan hanya dinikmati oleh perusahaan tersebut. Karyawan dilihat dari basis pribadinya juga memperolehnya secara individual dari peluang yang diterima dari pengalaman pendidikan. Program tersebut secara khusus memberikan kepada para partisipan ruang lingkup pengetahuan yang lebih luas, perasaan kompetensi yang meningkat, kesadaran yang besar, kekayaan kemahiran yang lebih luas dan pertimbanganpertimbangan lain yang menandakan pertumbuhan kepribadian.
2.15 Sistematika pengembangan dan pelatihan Berikut ini adalah sistematika dalam pengembangan dan pelatihan: 1.
M enganalisis kebutuhan Para perencana
pengembangan dan pelatihan sumber daya manusia harus
menghimpun informasi untuk dianalisis sehingga kebutuhan pendidikan tersebut dapat ditetapkan dengan definitif. 2.
M enetapkan tujuan pengembangan dan pelatihan Perumusan tujuan pengembangan dan pelatihan sumber daya manusia diperlukan untuk
pengawasan
program
pengembangan
dan
pelatihan,
khususnya
pengevaluasian. 3.
M empersiapkan rencana pengembangan dan pelatihan Di dalam rencana pengembangan dan pelatihan sumber daya manusia disarankan agar dapat mencakup: tujuan pengembangan dan pelatihan, isi pengembangan dan pelatihan dalam bentuk kurikulum yang relevan dengan kebutuhan, lokasi
62 pengembangan dan pelatihan, di luar atau di dalam industri, atau kombinasi dari keduanya, dan waktu yang diperlukan dalam pengembangan dan pelatihan. 4.
M elaksanakan rencana pengembangan dan pelatihan Kegiatan untuk melaksanakan rencana pengembangan dan pelatihan sumber daya manusia meliputi kegiatan pengarahan, pengkoordinasian, pemberian motivasi, dan pengkomunikasian
bagi
segenap
orang
yang
terlibat
dalam
program
pengembangan dan pelatihan tersebut. 5.
M engawasi proses pengembangan dan pelatihan Kegiatan pengawasan proses pengembangan dan pelatihan sumber daya manusia, berturut-turut, dilakukan dengan mengukur status pelaksanaan pengembangan dan pelatihan serta mengevaluasi hasil-hasil pengembangan dan pelatihan