Bab 2 Landasan Teori 2.1
Pengertian Pendidikan
Pendidikan mempengaruhi perkembangan seluruh aspek kepribadian seseorang, baik perkembangan fisik, mental, emosi, sosial dan bahkan etikanya ( Kazuhiro, 1998 : 3 ). Melalui pendidikan, seseorang belajar untuk bersosialisasi dengan sekelilingnya. Menurut Suparlan ( 1997 : 106 ) pendidikan juga merupakan suatu proses yang mendorong terwujudnya pemikiran – pemikiran dan tindakan – tindakan kreatif yang menyebabkan terjadinya perubahan dan kemajuan kebudayaan. Seorang peneliti pendidikan Jepang, Taura ( 1990 : 3 ) dalam bukunya yang berjudul Kyouiku Gaku Gairon menjelaskan pendapatnya mengenai pendidikan. 教育は、文化の体系や社会の動態、人間の成長.発達との相互関連する領 域.過程で、人間をより望ましいめあてに向かって育成していく働きであ る。 Terjemahannya : Pendidikan adalah hubungan timbal balik pada wilayah pertumbuhan masyarakat dengan susunan kebudayaan dan dinamika masyarakat, pekerjaan yang prosesnya menuju tujuan pembinaan yang lebih diinginkan manusia. Nakamura, seorang tokoh pendidikan di Zaman Meiji, meneliti sistem pendidikan formal yang sudah ada dan beliau juga meneliti sebuah metode pengajaran yang baru, yang lebih memikirkan kondisi kejiwaan anak – anak yang mendapat pendidikan. Haruji Nakamura menentang sikap para pendidik Zaman Meiji yang menghancurkan hasrat belajar anak – anak.
Baginya, itu merupakan ketidakefektifan dari sistem
pendidikan yang akhirnya menyebabkan para pendidik memperlakukan anak – anak
seperti benda. 中村は、明治期の教育家こそが子どもの「自発的精神」を滅却させたの だと批判し、それは「教育の不徹底」のゆえだとする。そしてその原因 は子どもを物品扱いし、「子どもに精神があることを考えもせず、ただ機 械的にコップに水を注ぐように注入する」注入主義にあるとする。 ( Komuro, 2005 : 23 ) Terjemahannya : Nakamura menentang dengan tegas sikap para tokoh pendidikan Zaman Meiji yang menghancurkan hasrat belajar anak – anak, hal itu merupakan hasil dari ketidakefektifan pendidikan. Selanjutnya, hal itu membuat mereka meperlakukan anak – anak seperti benda, melakukan prinsip penanaman tanpa memikirkan bahwa anak – anak mempunyai kondisi kejiwaan, mereka melakukan penanaman hanya seperti dengan mesin menuang air ke dalam gelas. Beliau juga menegaskan pendapatnya mengenai keefektifan hasil belajar. Menurut Nakamura, untuk mendapatkan hasil yang efektif dari pendidikan dibutuhkan semangat kejiwaan yang baik dari anak – anak yang mengikuti pendidikan tersebut. 教育の効果を上げるためには教育の徹底が必要であり、教育の徹底のた めには教育を受ける子どもの精神状態を整える必要がある。( Komuro, 2005 : 23 ) Terjemahannya : Demi meningkatkan hasil dari pendidikan, dibutuhkan keefektifan pendidikan, demi mencapai keefektifan dari pendidikan, diperlukan tersedianya semangat kejiwaan anak – anak yang mendapatkan pendidikan tersebut. 2.2
Metode Pendidikan Humanistik Menurut Carl Rogers
Menurut Teori pendidikan humanistik, tujuan belajar adalah untuk memanusiakan manusia. Proses belajar dianggap berhasil jika si pelajar memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Siswa dalam proses belajarnya harus berusaha agar lambat laun ia
mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik – baiknya. Teori belajar ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan dari sudut pandang pengamatnya. Rogers ( 1994 : 152 ) menyatukan pemikiran dan pengalamannya mengenai pendidikan dan pengajaran menjadi sebuah buku yang ditujukan bagi para pendidik dan pengajar.
Buku ini, seperti buku – bukunya yang sebelumnya, ditulis berdasarkan
pengalaman dan penelitiannya di bidang psikoterapi.
Rogers ( 1994 : 152 ) lebih
memfokuskan penulisannya mengenai pendidikan ini pada sikap para pengajar daripada metode atau teknik instruksi.
Rogers ( 1994 : 152 ) dalam pernyataannya
menggambarkan tujuan pendidikan sebagai fasilitas dari pembelajaran. Seperti tampak dalam kutipan berikut ini. We know that the facilitation of such learning rests not upon the teaching skills of the leader, not upon his curricular planning, not upon his use of audiovisual aids, not upon the programmed learning he utilizes, not upon his lectures and presentations, not upon an abundances of books, though each of these might at one time or another be utilized as an important resource. No, the facilitation of significant learning rests upon certain attitudinal qualities which exist in the personal relationship between the facilitator and the learners ( Rogers, 1994 : 152 ). Terjemahannya : Kita tahu bahwa pemberian fasilitas untuk pembelajaran seperti itu tidak hanya tergantung dari kemampuan mengajar si pemimpin, bukan atas rencana kurikulumnya, bukan atas bantuan penggunaan audiovisualnya, bukan atas penggunaan pembelajaran yang terprogram, bukan atas pengajaran dan presentasinya, bukan atas buku yang berlimpah – limpah, walaupun salah satu dari hal – hal tersebut mungkin suatu kali atau beberapa kali digunakan sebagai sumber yang penting. Tidak, pemberian fasilitas dari pembelajaran yang signifikan terletak pada kualitas – kualitas sikap yang ada pada hubungan personal antara fasilitator dan para pembelajar.
Rogers ( 1994 : 152 ) juga menyatakan bahwa metode pendidikan humanistik menempatkan murid sebagai pusat pengajaran ( student centered learning ) secara manusiawi dan unik. Jadi, acuan yang digunakan untuk menjalankan pangajaran di sekolah bukan terletak pada selesai atau tidak selesainya materi sesuai kurikulum, atau bagaimana guru harus terus menerus dipatuhi, melainkan mengacu pada pemenuhan kebutuhan masing – masing siswa akan pengetahuan. Prinsip dasar humanistik adalah manusia mempunyai kemampuan belajar secara alami ( Rogers, 1994 : 20 ). Sehingga, pengalaman dapat diperoleh dengan berbagai cara yang berbeda – berbeda dan dari pengalaman tersebut terjadilah proses belajar. Belajar yang bermakna diperoleh siswa dengan melakukannya.
Belajar diperlancar
apabila siswa dilibatkan dalam proses belajar dan ikut bertanggung jawab terhadap proses belajar tersebut. Belajar atas inisiatif sendiri yang melibatkan pribadi siswa seutuhnya, baik perasaan maupun intelek, merupakan cara yang dapat memberikan hasil yang mendalam. Rogers ( 1994 : 152 ) juga mengutarakan bahwa prinsip – prinsip belajar yang humanistik meliputi : 1. Keinginan ( Hasrat ) untuk Belajar Menurut Rogers ( 1994 : 152 ) manusia mempunyai keinginan ( hasrat ) alami untuk belajar. Hal ini terbukti dengan tingginya rasa ingin tahu anak apabila diberi kesempatan untuk mengeksplorasi lingkungan. Dorongan ingin tahu untuk belajar ini merupakan asumsi dasar pendidikan humanistik. Di dalam kelas yang humanistik anak – anak diberi kesempatan dan kebebasan untuk
memuaskan dorongan ingin tahunya, untuk memenuhi minatnya dan untuk menemukan apa yang penting dan berarti tentang dunia di sekitarnya. Dalam kelas yang menganut pandangan humanistik, anak – anak diberi kebebasan untuk memuaskan rasa ingin tahu mereka, untuk mengikuti minat mereka yang tidak bisa dihalangi, untuk menemukan diri mereka sendiri, serta apa yang penting dan berarti tentang dunia yang mengelilingi mereka. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut ini. Human beings have a natural propensity for learning. They are by nature curious; exploratory; desirous of discovering, knowing, and experiencing. Yet there is an ambivalence toward learning; significant learning involves some pain either connected with the learning itself or with having to relinquish earlier ( earnings ). Learning to walks involves bumps and bruises. But the gains and satisfactions of learning, of developing one’s potentials, are usually greater than the pain, and learning continues ( Rogers, 1994 : 152 ). Terjemahannya : Manusia mempunyai kecenderungan alami untuk belajar. Mereka secara alami ingin tahu, eksplorasi, ingin menemukan, mengetahui dan mengalami. Namun, ada ambivalensi terhadap pembelajaran; belajar yang signifikan melibatkan beberapa rasa sakit, baik terhubung dengan belajar itu sendiri atau dengan keharusan untuk melepaskan apa yang sudah kita punya sebelumnya. Belajar berjalan melibatkan benjol dan memar. Namun, hasil yang didapat dan kepuasan belajar dalam pengembangan potensi seseorang, biasanya lebih besar dari rasa sakitnya dan belajar pun berlanjut. 2. Belajar yang Signifikan Belajar akan mempunyai arti atau makna apabila apa yang dipelajari relevan dengan kebutuhan dan maksud anak. Artinya, anak akan belajar dengan cepat
apabila yang dipelajari mempunyai arti baginya. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut ini. Significant learning takes place when the subject matter is perceived by the student as having relevance for her or his own purposes. A person learns significantly only those things which are perceived as involving the maintenance and enhancement of the self. Two students of equal ability learn quite different things, or amounts, depending on how they perceive the material as relating to their needs and purposes ( Rogers, 1994 : 152 ). Terjemahannya : Belajar yang signifikan terjadi ketika subyek dirasakan oleh siswa mempunyai relevansi untuk dirinya atau kepentingannya sendiri. Seseorang belajar hanya akan signifikan bila terhadap hal – hal yang dianggap melibatkan pemeliharaan dan peningkatan diri. Dua siswa dengan kemampuan yang sama mempelajari hal – hal yang berbeda, tergantung pada bagaimana mereka menganggap materi sebagai sesuatu yang berkaitan dengan kebutuhan dan tujuan mereka. 3. Belajar Tanpa Ancaman Belajar mudah dilakukan dan hasilnya dapat disimpan dengan baik apabila berlangsung dalam lingkungan yang bebas ancaman. Proses belajar akan berjalan lancar manakala murid dapat menguji kemampuannya, dapat mencoba pengalaman – pengalaman baru atau membuat kesalahan – kesalahan tanpa mendapat kecaman yang biasanya menyinggung perasaan. Seperti yang terlihat dalam kutipan berikut ini. Learning which involves a change in self – organization, or the perception of the self, is threatening, and tends to be resisted. Those learnings, which are threatening to the self are more easily perceived and assimilated when external threats are at a minimum. Pressure, ridicule, shaming, and so on, increase resistance. But an accepting, understanding, supportive environment removes or decreases threat and fear and allows the learner
to take a few steps or to try something and experience some success ( Rogers, 1994 : 153 ). Terjemahannya : Belajar yang melibatkan perubahan dalam organisasi diri, atau persepsi diri, adalah mengancam dan cenderung akan dilawan. Pembelajaran – pembelajaran yang mengancam diri lebih mudah dirasakan dan diasimilisasikan apabila ancaman – ancaman dari luar hanya sedikit. Tekanan, ejekan, mempermalukan, dan sebagainya, meningkatkan perlawanan. Tetapi sebuah penerimaan, pengertian, dan lingkungan yang mendukung, dapat menghilangkan atau mengurangi ancaman dan ketakutan, serta memungkinkan para pembelajar untuk mengambil keberhasilan. 4. Belajar Atas Inisiatif Sendiri Belajar paling bermakna apabila hal itu dilakukan atas inisiatif sendiri dan melibatkan perasaan dan pikiran si pelajar. Belajar atas inisiatif sendiri mengajar siswa untuk menjadi bebas, mandiri, tidak bergantung dan percaya diri. Belajar atas inisiatif sendiri memusatkan perhatian murid baik pada proses maupun hasil belajar. Ketika siswa belajar atas inisiatifnya, mereka mempunyai kesempatan untuk menimbang – nimbang dan membuat keputusan, menentukan pilihan dan melakukan penilaian. Mereka menjadi lebih bergantung pada dirinya sendiri dan tidak selalu mengandalkan bantuan orang lain. Di samping belajar atas inisiatif sendiri, belajar juga harus melibatkan semua aspek pribadi, kognitif dan afektif. Rogers dan para ahli humanistik yang lain menamakan jenis belajar ini sebagai whole – person learning, belajar dengan seluruh pribadi, belajar dengan pribadi yang utuh. Mereka percaya, bahwa belajar dengan tipe ini akan menghasilkan perasaan memiliki ( feeling of
belonging ) pada diri murid. Dengan demikian, murid akan merasa lebih terlibat dalam proses belajar, lebih bersemangat menangani tugas – tugas, dan yang terpenting adalah senantiasa bargairah untuk terus belajar. Seperti yang dikatakan Rogers dalam kutipan berikut ini. Self – initiated – learning which involves the whole person of the learner feelings as well as intellect is the most lasting and pervasive. The learning is the learner’s own, and becomes incorporated in her or him ( Rogers, 1994 : 154 ). Terjemahannya : Belajar dengan inisiatif sendiri yang melibatkan seluruh perasaan pelajar sebagai pribadi yang utuh sebaik dengan intelek adalah yang paling bertahan lama dan meresap. Pembelajaran adalah si pembelajar sendiri, dan tergabung di dalam dirinya sendiri. 5. Experiential Learning Prinsip terakhir yang dikemukakan oleh Rogers ialah bahwa belajar yang paling bermanfaat adalah belajar tentang proses belajar. Menurut Rogers, di waktu – waktu yang lampau, murid – murid belajar mengenai fakta – fakta dan gagasan – gagasan yang statis. Pada saat itu dunia lambat berubah, dan apa yang diperoleh di sekolah sudah dianggap cukup untuk memenuhi tuntutan zaman. Saat ini ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang dengan pesat, apa yang dipelajari di masa lalu tidak cukup untuk bekal di masa yang akan datang. Yang dibutuhkan saat ini adalah individu yang mampu belajar dalam lingkungan yang berbeda. Pembelajaran yang terjadi dalam kehidupan sehari – hari, pengalaman belajar, memiliki makna dan relevansi pribadi. Hal ini diungkapkan oleh Rogers dalam kutipan berikut ini.
Much significant learning is acquired through doing. Experiential involvement with practical or real problems promotes learning. Meaningfullness and relevance are inherent in such situations ( Rogers, 1994 : 154 ). Terjemahannya : Banyak belajar yang signifikan diperoleh dengan melakukannya. Pengalaman keterlibatan dengan praktis atau masalah nyata meningkatkan belajar. Kebermaknaan dan relevansi melekat dalam situasi – situasi seperti itu. Guru menghubungkan pengetahuan akademik ke dalam pengetahuan terpakai seperti mempelajari mesin dengan tujuan untuk memperbaiki mobil. Ini adalah salah satu contoh dari experiential learning.
Rogers menyatakan bahwa
experiential learning menunjuk pada pemenuhan kebutuhan dan keinginan siswa untuk belajar.
Kualitas belajar experiential learning mencakup keterlibatan
siswa secara personal, berinisiatif, evaluasi oleh siswa sendiri, dan adanya efek yang membekas pada siswa. Rogers ( 1994 : 22 ) mengatakan prinsip – prinsip dasar metode pendidikan humanistik tersebut dapat membantu para pengajar sebagai fasilitator untuk dapat mengembangkan potensi anak ( capacity for developing potential ). Menurut Rogers ( 1994 : 22 ), bila kita menanamkan rasa percaya pada manusia, hal itu akan menambah kapasitas mereka untuk terus mengembangkan potensi mereka, memilih jalannya sendiri, dan pemberian kesempatan pada mereka. Hal ini membuat mereka mempunyai kesempatan untuk bisa memilih, mencoba, mengambil keputusan, membuat kesalahan dan mempertanggung jawabkan kesalahan – kesalahan mereka.
Selain itu, Rogers ( 1994 : 23 ) juga mengatakan bahwa untuk mengajarkan anak – anak, tidak perlu dilakukan dengan cara mendikte anak – anak untuk melakukan seperti apa yang kita mau. Kita dapat melakukan dengan cara lain yang tidak membuat anak – anak merasa disalahkan atau dituduh. Bila kita memberi rasa percaya pada anak ( trust ), menghargai ( prizing ) dan menerima mereka ( acceptance ), mereka akan merasa diterima sebagai seseorang yang berharga, individu yang berbeda – beda dan merasa dihargai baik diri mereka, perasaan mereka dan pendapat mereka. Rogers ( 1994 : 23 ) mengatakan, belajar yang sebenarnya adalah membuat anak – anak melihat masalah – masalah yang sebenarnya, masalah – masalah yang nyata. Belajar yang sebenarnya terjadi ketika mereka tanggap pada situasi – situasi yang mereka angap sebagai masalah dan mereka merasa peduli dengan masalah – masalah di sekitar mereka ( awareness of a problem ). Belajar yang sebenarnya membutuhkan situasi yang dianggap nyata oleh anak – anak dengan masalah yang berarti di mana masalah – masalah tersebut membutuhkan keberadaan mereka untuk menyelesaikan masalah – masalah tersebut. Hal – hal seperti ini membuat mereka belajar untuk peduli dengan masalah – masalah yang ada di sekitar mereka dan berusaha membantu untuk menyelesaikannya. Menurut Rogers ( 1994 : 25 ) yang terpenting dalam proses pembelajaran adalah pentingnya guru memperhatikan prinsip pendidikan dan pembelajaran, yaitu : 1. Menjadi manusia berarti memiliki kekuatan yang wajar untuk belajar. 2. Siswa tidak harus belajar tentang hal – hal yang tidak ada artinya.
3. Siswa akan mempelajari hal – hal yang bermakna bagi dirinya. 4. Pengorganisasian bahan pengajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru sebagai bagian yang bermakna bagi siswa. 5. Belajar yang bermakna dalam masyarakat modern berarti belajar tentang proses. Lebih jelasnya lagi Rogers ( 1994 : 25 ) mengatakan sejumlah prinsip – prinsip dasar humanistik yang penting yaitu : a. Manusia itu mempunyai kemampuan belajar secara alami. b. Belajar yang signifikan terjadi apabila materi pelajaran dirasakan murid mempunyai relevansi dengan maksud – maksud sendiri. c. Belajar yang menyangkut perubahan di dalam persepsi mengenai dirinya sendiri dianggap mengancam dan cenderung untuk ditolaknya. d. Tugas – tugas belajar yang mengancam diri ialah lebih mudah dirasakan dan diasimilasikan apabila ancaman – ancaman dari luar itu semakin kecil. e. Apabila ancaman terhadap diri siswa rendah, pengalaman dapat diperoleh dengan berbagai cara yang berbeda – beda dan terjadilah proses belajar. f. Belajar yang bermakna diperoleh siswa dengan melakukannya. g. Belajar diperlancar apabila siswa dilibatkan dalam proses belajar dan ikut bertanggung jawab terhadap proses belajar itu. h. Belajar inisiatif sendiri yang melibatkan pribadi siswa seutuhnya, baik perasaan maupun intelek, merupakan cara yang dapat memberikan hasil yang mendalam dan lestari. i. Kepercayaan terhadap diri sendiri, kemerdekaan, kreativitas, lebih mudah dicapai terutama jika siswa dibiasakan untuk mawas diri dan mengkritik
dirinya sendiri dan penilain dari orang lain merupakan cara kedua yang penting. j. Belajar yang paling berguna secara sosial di dalam dunia modern ini adalah belajar mengenai proses belajar, suatu keterbukaan yang terus menerus terhadap pengalaman dan penyatuannya ke dalam diri sendiri mengenai proses perubahan itu. 2.2.1
Aplikasi Teori Pendidikan Humanistik Terhadap Siswa
Aplikasi teori pendidikan humanistik lebih mengarah kepada spirit selama proses pembelajaran yang mewarnai metode – metode yang diterapkan. Peran guru sebagai fasilitator adalah untuk memberikan motivasi, kesadaran mengenai makna belajar dalam kehidupan siswa.
Guru memberikan pengalaman belajar kepada siswa dan
mendampingi siswa untuk memperoleh tujuan pembelajaran. Siswa berperan sebagai pelaku utama ( Student center ) yang memaknai proses pengalaman belajarnya sendiri.
Siswa diharapkan dapat memahami potensi dir,
mengembangkan potensi dirinya secara positif dan mengurangi potensi diri yang bersifat negatif. Tujuan pembelajaran dari metode ini lebih kepada proses belajarnya daripada hasil belajarnya. Proses yang umumnya dilalui adalah : 1. Merumuskan tujuan yang jelas. 2. Mengusahakan partisipasi aktif siswa melalui kontak belajar yang bersifat jelas, jujur, dan positif. 3. Mendorong siswa untuk mengembangkan kesanggupan siswa untuk belajar atas inisiatif sendiri.
4. Mendorong siswa untuk peka, berpikir kritis, memaknai proses pembelajaran secara mandiri. 5. Siswa didorong untuk bebas mengemukakan pendapat, memilih pilihannya sendiri, melakukan apa yang diinginkannya sendiri dan menanggung resiko dari perilakunya. 6. Guru menerima siswa apa adanya, berusaha memahami jalan pikiran siswa, tidak menilai secara normative tetapi mendorong siswa untuk bertanggung jawab atas segala resiko perbuatan atau proses belajarnya. 7. Memberikan kesempatan pada siswa untuk maju sesuai dengan kecepatannya. 8. Evaluasi diberikan secara individual berdasarkan perolehan prestasi siswa. 2.2.2
Implikasi Teori Pendidikan Humanistik
Pendidikan humanistik memberi perhatian penting kepada guru sebagai fasilitator. Berikut ini adalah beberapa contoh hal yang harus dilakukan oleh guru sebagai fasilitator : 1. Fasilitator sebaiknya memberi perhatian kepada penciptaan suasana awal di kelas. 2. Fasilitator membantu untuk memperoleh dan memperjelas tujuan – tujuan perorangan di dalam kelas dan juga tujuan – tujuan kelompok yang bersifat umum. 3. Fasilitator harus mempercayai adanya keinginan dari masing – masing siswa untuk melaksanakan tujuan – tujuan yang bermakna bagi dirinya, sebagai kekuatan pendorong di dalam belajar yang bermakna.
4. Fasilitator mencoba mengatur dan menyediakan sumber – sumber untuk belajar yang paling luas dan mudah dimanfaatkan para siswa untuk membantu mencapai tujuan mereka. 5. Fasilitator menempatkan diri sebagai suatu sumber yang fleksibel untuk dapat dimanfaatkan oleh siswa. 6. Fasilitator harus menanggapi ungkapan di dalam kelompok kelas dan menerima baik isi yang bersifat intelektual dengan perasaan baik dan dengan cara yang sesuai baik bagi individual atau kelompok. 7. Fasilitator dapat berperan sebagai seorang siswa yang turut berpartisipasi, seorang anggota kelompok, dan turut menyatakan pandangannya sebagai seorang individu seperti siswa yang lain. 8. Fasilitator turut mengambil peran serta dalam kelompok, tetapi perasaan dan pikirannya tidak boleh menuntut dan memaksa, melainkan sebagai andil secara pribadi yang boleh saja diterima atau ditolak oleh siswa. 9. Fasilitator harus tetap waspada terhadap ungkapan – ungkapan yang menandakan adanya perasaan yang dalam dan kuat selama belajar. 10. Dalam perannya sebagai fasilitator, guru harus mencoba untuk mengenali dan menerima keterbatasan – keterbatasannya sendiri.