BAB 1 PENDAHULUAN 1.
Latar Belakang Penyakit stroke merupakan penyebab kematian nomor tiga di dunia dan
penyebab paling sering kecacatan pada orang dewasa (Abubakar dan Isezuo, 2012). Stroke juga merupakan penyebab kematian ketiga terbanyak di Amerika Serikat. American Hearth Association tahun 2013 melaporkan sekitar 795.000 orang di Amerika Serikat terserang stroke setiap tahunnya. Dari jumlah ini, 610.000 diantaranya merupakan serangan stroke pertama, sedangkan 185.000 merupakan stroke berulang. Rata-rata seseorang mengalami stroke setiap 40 detik dan mengalami kematian setiap 4 menit. Dari 4 juta orang Amerika Serikat yang hidup pasca stroke, 15-30% diantaranya menderita cacat menetap (Centers for Disease Control and Prevention, 2013). Jumlah penderita stroke terus meningkat setiap tahun, bukan hanya menyerang penduduk usia tua, tetapi juga dialami oleh mereka yang berusia muda dan produktif. (Dinata dkk, 2013). Indonesia tercatat sebagai negara dengan jumlah penderita stroke terbesar di Asia. Riset Kesehatan Dasar (2013) menunjukkan bahwa 7 dari 1000 orang di Indonesia terkena stroke. Riskesdas pada tahun 2007 menunjukkan bahwa stroke merupakan penyebab kematian utama pada semua umur dengan proporsi stroke 15,4%. Menurut WHO, Indonesia telah menempati peringkat ke-97 dunia untuk jumlah penderita stroke terbanyak dengan jumlah angka kematian mencapai 138.268 orang atau 9,70% dari total kematian yang terjadi pada tahun 2011 (Rahayu dkk, 2014). Riset Kesehatan
1
1 Universitas Sumatera Utara
2
Dasar (2013) melaporkan prevalensi stroke di Indonesia berdasarkan diagnosis nakes tertinggi di Sulawesi Utara (10,8‰), diikuti di Yogyakarta (10,3‰), Bangka Belitung dan DKI Jakarta masing-masing 9,7 per mil. Prevalensi stroke di Sumatera Utara mencapai 10, 3%. Data yang didapatkan dari Rumah Sakit Adam Malik Medan pada tahun 2013, yaitu pasien stroke hemoragik 262 orang, stroke iskemik 353 orang, dan semakin bertambah setiap tahunnya. Gangguan yang dialami akibat stroke sangat mempengaruhi dan memberikan dampak terhadap kehidupan. Sepertiga dari stroke memiliki ketidakmampuan jangka panjang (Departemen of Health London, 2007). Ketidakmampuan yang terjadi pada pasien stroke karena kerusakan sel-sel otak saat stroke. Kerusakan sel-sel otak dapat mengakibatkan berbagai macam gangguan dalam fungsi tubuh seperti gangguan fungsi kognitif, gangguan sirkulasi, gangguan kekuatan otot, gangguan fungsi perifer, gangguan fisiologis yang akan berpengaruh pada sistem sensorik dan motorik penderita sehingga dari gangguan tersebut penderita akan mengalami immobilisasi yaitu ketidakmampuan untuk bergerak secara aktif akibat berbagai penyakit atau impairment (gangguan pada alat atau organ tubuh) yang bersifat fisik atau mental (Rahayu dkk, 2014). Penelitian Cooney & Reuler (1991 dalam Guy et al, 2013), pasien stroke dengan gangguan mobilisasi hanya berbaring saja tanpa mampu untuk mengubah posisi
karena
keterbatasan tersebut. Pasien
dengan
immobilisasi
akan
mengakibatkan perubahan pada fungsi fisiologis. Bahaya fisiologis akan mempengaruhi fungsi metabolisme normal, menurunkan laju metabolisme dan menyebabkan gangguan gastrointestinal seperti nafsu makan dan penurunan
Universitas Sumatera Utara
3
peristaltik dengan konstipasi dan impaksi fekal. Tirah baring yang terus-menerus atau selama 5 hari atau lebih dapat menyebabkan konstipasi. Konstipasi didefinisikan sebagai defekasi yang sulit atau jarang. Berdasarkan rekam medik RSUP H. Adam Malik Medan jumlah pasien imobilisasi dari 45 orang pasien tirah baring yang di rawat di RSUP Haji Adam Malik Medan sebanyak 88,8% mengalami konstipasi akibat immobilisasi yang lama dengan diagnosa yang paling banyak adalah pasien stroke sebanyak 33,3%, head injury 11,1%, fraktur 15,6%, sisanya adalah pasien bedrest yang memerlukan perawatan lama (Suheri, 2009). Gangguan sistem gastrointestinal yang sering terjadi di Amerika adalah konstipasi, kira-kira 4,5 juta penduduk mengalami masalah konstipasi (Folden et al, 2002). Pravalensi konstipasi setelah stroke bervariasi dari 30% sampai 60% (Cardin et al, 2010). Kejadian konstipasi sebesar 5,9% pada usia dibawah 40 tahun, sebesar 4 - 6% pada individu yang berusia 70 tahun dan terjadi konstipasi persisten pada usia yang sudah lanjut (Harrari et al, 1996 dalam Folden et al, 2002). Angka kejadian konstipasi juga tinggi pada pasien yang mengalami stroke sebesar 45% dan lansia yang dirawat di rumah sakit sebesar 46% (Folden et al, 2002). Kejadian konstipasi meningkat seiring dengan peningkatan usia, wanita dilaporkan lebih sering mengalami konstipasi daripada laki-laki. Dari hasil penelitian dilaporkan bahwa kejadian konstipasi meningkat sebesar 17 – 15% pada usia dewasa yang mengalami penurunan kemampuan fisik (Emerson & Baines, 2010). Hal ini didukung pula oleh penelitian yang dilakukan oleh
Universitas Sumatera Utara
4
Murakami et al (2007), dimana kejadian konstipasi meningkat pada individu yang mengalami penurunan kemampuan fungsional dan kognitif dan pada usia lanjut. Beberapa faktor resiko terjadinya konstipasi kronis adalah peningkatan usia, obatobatan, kurangnya asupan serat dan cairan sehari-hari, gangguan fungsional dan kognitif (Murakami et al, 2007). Immobilisasi yang terjadi akan mengakibatkan otot-otot menjadi lemah, sementara tonus perut, otot pelvik dan diafragma yang baik penting untuk defekasi. Aktivitas usus juga merangsang peristaltik yang memfasilitasi pergerakan chyme sepanjang kolon sedangkan otot-otot yang lemah sering tidak efektif pada peningkatan tekanan intra abdominal selama proses defekasi (Janice et al, 2006). Immobilisasi yang lama akan menyebabkan penurunan motilitas usus sehingga berdampak pada gangguan pasase feses. Feses yang berada lebih lama di dalam kolon akan menjadi lebih keras sehingga lebih sulit dikeluarkan dari anus hal ini disebabkan oleh proses reabsorbsi air banyak terjadi di kolon (Rubens et al, 2001). Pasien stroke yang mengalami immobilisasi akan mengalami perubahan dalam kebiasaan toileting, dimana defekasi yang biasanya dilakukan di toilet, namun pada saat di rawat di rumah sakit pasien harus buang air besar di atas tempat tidur dengan menggunakan pot. Perubahan kebiasaan toileting ini akan mempengaruhi fisiologis pasien sehingga pasien akan mengalami kesulitan untuk buang air besar saat pasien di rawat di rumah sakit. Menurut Folden et al (2002), beberapa situasi yang menyebabkan seseorang beresiko untuk terjadi konstipasi
Universitas Sumatera Utara
5
akut antara lain penurunan aktivitas fisik, perubahan kebiasaan toileting, perubahan pola makan sehari-hari, obat-obatan dan stress. Penelitian Tania et al ( 2014), menyimpulkan bahwa prevalensi disfungsi usus sebelum stroke 23,9 % tetapi setelah mengalami stroke disfungsi usus meningkat menjadi 55,21% (p<0,0001). Disfungsi usus adalah keluhan gastrointestinal yang paling sering dengan dampak negatif pada kualitas hidup pasien serta membatasi aktivitas sosial mereka (Su et al, 2009). Berdasarkan laporan dari pasien atau pemberi asuhan kemungkinan perkembangan disfungsi usus meningkat menjadi tujuh kali lipat setelah stroke. Disfungsi yang paling sering sebelum stroke adalah konstipasi intestinal (73,91%) dan sisanya pergerakan usus (17,39%). Setelah stroke, konstipasi tetap menjadi disfungsi yang paling sering (50%), diikuti oleh frekuensi pergerakan usus (26,79%), defekasi tidak tuntas (12,50%) dan kurangnya privasi (5,36%). Penggunaan laksatif (obat pencahar) setelah stroke 19,15% tetapi hasilnya tidak terlalu memuaskan (p=0,0736). Terapi laksatif merupakan salah satu medical management untuk mengatasi konstipasi (Smeltzer & Bare, 2007). Penggunaan laksatif dalam jangka pendek memang dapat mengatasi masalah konstipasi yang di alami oleh pasien, namun apabila laksatif digunakan dalam jangka waktu yang lama maka akan menyebabkan penurunan reflex gastrokolik dan duodenokolik. Dengan kata lain, penggunaan laksatif dalam jangka waktu yang lama justru akan menyebabkan masalah konstipasi (Randell et al, 2007).
Universitas Sumatera Utara
6
Konstipasi bukan hal yang sederhana karena seseorang yang konstipasi akan mengalami kesulitan buang air besar dan feses yang keras dengan frekuensi buang air besar kurang dari tiga kali dalam seminggu serta merasa tidak puas setelah selesai buang air besar atau dalam pengkajian umum banyak kesulitan untuk defekasi secara tidak tuntas seperti membutuhkan alat bantu jari-jari saat defekasi, mengedan dan membutuhkan waktu yang lama saat buang air besar. Berdasarkan tanda-tanda tersebut seseorang yang menunjukkan 2 atau lebih tanda dan gejala dapat disimpulkan bahwa seseorang sudah mengalami konstipasi (Tania et al, 2014). Konstipasi yang terjadi sesekali, mungkin tidak berdampak pada gangguan tubuh, namun bila konstipasi ini terjadi berulang-ulang dan dalam jangka waktu yang lama dapat menimbulkan beberapa komplikasi, antara lain: hipertensi arterial, impaksi fekal, hemoroid, fisura ani serta megakolon (Smeltzer & Bare, 2007). Konstipasi akan mengakibatkan penarikan secara persisten pada nervus pudendal sehingga akan menyebabkan komplikasi seperti hemoroid, prolaps rektal, atau inkontinensia (Bharucha, 2007). Melihat begitu banyak komplikasi yang dapat terjadi akibat konstipasi, maka setiap individu harus menjaga keteraturan pola defekasi agar tidak terjadi konstipasi. Salah satu upaya pasien stroke untuk mencegah dan mengatasi masalah konstipasi adalah dengan melakukan mobilisasi fisik serta mengkonsumsi makanan yang berserat (Kyle & Gaye, 2006) Berdasarkan fenomena diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian ini karena banyak fenomena yang terjadi terkait perubahan fisiologis pada pasien
Universitas Sumatera Utara
7
stroke yang mengalami immobilisasi sehingga peneliti meneliti lebih lanjut tentang “ Gambaran Perubahan Fisiologis Sistem Gastrointestinal : Konstipasi pada Pasien Stroke yang Immobilisasi di RSUP. H. Adam Malik Medan”. 2.
Pertanyaan Penelitian Berdasarkan uraian dalam latar belakang ditas maka dapat disimpulkan
rumusan masalah penelitian ini adalah “Bagaimanakah gambaran perubahan fisiologis sistem gastrointestinal : konstipasi pada pasien stroke yang immobilisasi di RSUP. H. Adam Malik Medan”. 3.
Tujuan Penelitian Untuk mengetahui gambaran perubahan fisiologis sistem gastrointestinal :
konstipasi pada pasien stroke yang immobilisasi di RSUP. H. Adam Malik Medan. 4.
Manfaat Penelitian
4.1
Praktek Keperawatan Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan pengetahuan yang berharga
bagi praktek keperawatan khususnya perawat yang bekerja di ruangan neurologi tentang gambaran perubahan fisiologis pada pasien stroke yang immobilisasi sehingga perawat dapat memberikan asuhan keperawatan yang optimal. 4.2
Bagi Pasien Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan pengetahuan bagi pasien
khususnya pada pasien stroke yang mengalami immobilisasi agar melakukan mobilisasi fisik (latihan yang cukup) serta mengkonsumsi makanan yang berserat untuk mencegah dan mengatasi masalah konstipasi.
Universitas Sumatera Utara
8
4.3
Bagi Penelitian Selanjutnya Sebagai bahan informasi bagi peneliti selanjutnya dan sebagai bahan
perbandingan apabila ada peneliti yang ingin melakukan penelitian dengan judul yang sama atau ingin mengembangkan penelitian ini lebih lanjut. 4.4
Bagi Rumah Sakit Sebagai masukan bagi Rumah Sakit H.Adam Malik Medan dalam
memberikan asuhan keperawatan yang optimal bagi pasien dan hasil penelitian dapat digunakan dalam rangka upaya menurunkan angka ataupun mencegah terjadinya konstipasi pada pasien stroke yang immobilisasi di RSUP H.Adam Malik Medan.
Universitas Sumatera Utara