BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Penyakit Jantung Koroner PJK adalah istilah umum untuk penumpukan plak di arteri jantung yang dapat menyebabkan serangan jantung (American Heart Association, 2013). PJK juga disebut penyakit arteri koroner (CAD), penyakit jantung iskemik (IHD), atau penyakit jantung aterosklerotik, adalah hasil akhir dari akumulasi plak ateromatosa dalam dinding-dinding arteri yang memasok darah ke miokardium (otot jantung) (Manitoba Centre for Health Policy, 2013). PJK terjadi ketika zat yang disebut plak menumpuk di arteri yang memasok darah ke jantung (disebut arteri koroner), penumpukan plak dapat menyebabkan angina, kondisi ini menyebabkan nyeri dada dan tidak nyaman karena otot jantung tidak mendapatkan darah yang cukup, seiring waktu, PJK dapat melemahkan otot jantung, hal ini dapat menyebabkan gagal jantung dan aritmia (Centers for Disease Control and Prevention, 2009). PJK adalah penyempitan atau tersumbatnya pembuluh darah arteri jantung yang disebut pembuluh darah koroner. Sebagaimana halnya organ tubuh lain, jantung pun memerlukan zat makanan dan oksigen agar dapat memompa darah ke seluruh tubuh, jantung akan bekerja baik jika terdapat keseimbangan antara pasokan dan pengeluaran. Jika pembuluh darah koroner tersumbat atau menyempit, maka pasokan darah ke jantung akan berkurang, sehingga terjadi ketidakseimbangan antara
Universitas Sumatera Utara
kebutuhan dan pasokan zat makanan dan oksigen, makin besar persentase penyempitan pembuluh koroner makin berkurang aliran darah ke jantung, akibatnya timbullah nyeri dada (UPT-Balai Informasi Teknologi lipi pangan& Kesehatan, 2009)
2.2. Anatomi, Fisiologi Jantung dan Arteri Koroner Sistem kardiovaskular dapat dianggap sebagai sistem transportasi tubuh, sistem ini memiliki tiga komponen utama yaitu jantung, pembuluh darah dan darah itu sendiri. Jantung adalah alat pemompa dan pembuluh darah adalah rute pengiriman, darah dianggap sebagai cairan yang mengandung oksigen dan nutrisi yang dibutuhkan tubuh dan membawa limbah yang perlu dibuang (Virtual Medical Centre, 2013). 2.2.1
Struktur dan Fungsi Jantung
2.2.1.1 Struktur Jantung Jantung adalah otot seukuran kepalan tangan dan berbentuk kerucut dengan panjang 12 cm, lebar 9 cm dan tebal 6 cm, terletak di antara dua paru-paru di sebelah kiri dari tengah dada, memiliki empat ruang yaitu atrium kiri, atrium kanan, ventrikel kiri dan ventrikel kanan (Virtual Medical Centre, 2013). 2.2.1.2 Fungsi Jantung berfungsi untuk memompa darah ke seluruh tubuh (Virtual Medical Centre, 2013).
Universitas Sumatera Utara
2.2.1.3 Arteri Koroner Jantung Jantung manusia normal memiliki dua arteri koroner mayor yang keluar dari aorta yaitu right coronary artery dan left main coronary artery, dinamakan koroner karena bersama dengan cabangnya melingkari jantung seperti crown (mahkota corona). Arteri koroner meninggalkan aorta lebih kurang ½ inci di atas katup semilunar aorta, Left main coronary artery bercabang menjadi dua, yaitu left anterior descendens yang memberikan perdarahan pada area anterior luas ventrikel kiri, septum ventrikel dan muskulus papillaris anterior, sementara left circumflex memberikan perdarahan pada area lateral ventrikel kiri dan area right coronary artery dominan kiri. Right coronary artery memberikan perdarahan pada SA node, AV node, atrium kanan, ventrikel kanan, ventrikel kiri inferior, ventrikel kiri posterior dan muskulus papillaris posterior (Kasma, 2011).
2.3. Patogenesis Plak Aterosklerosis Struktur arteri koroner jantung yang sehat terdiri atas 3 lapisan, yaitu: intima, media dan adventitia. Intima merupakan lapisan monolayer sel-sel endotel yang menyelimuti lumen arteri bagian dalam. Sel-sel endotel menutupi seluruh bagian dalam sistem vaskular hampir seluas 700 m2 dan berat 1,5 kg. Sel endotel memiliki berbagai fungsi, diantaranya menyediakan lapisan nontrombogenik dengan menutupi permukaannya dengan sulfat heparan dan melalui produksi derivat prostaglandin seperti prostasiklin yang merupakan suatu vasodilator poten dan penghambat agregasi
Universitas Sumatera Utara
platelet, rusaknya lapisan endotel akan memicu terjadinya aterosklerosis sebagaimana yang akan dijelaskan dibawah ini. Ada beberapa hipotesis yang menerangkan tentang proses terbentuknya aterosklerosis, seperti monoclonal hypothesis, lipogenic hypothesis dan response to injure hypothesis. Namun yang banyak diperbincangkan adalah mengenai response to injure hypothesis sebagai berikut: a.
Stage A : Endothelial Injure Endotelial yang licin berfungsi sebagai barrier yang menjamin aliran darah koroner lancar. Faktor risiko yang dimiliki pasien akan memudahkan masuknya lipoprotein densitas rendah yang teroksidasi maupun makrofag ke dalam dinding arteri. Interaksi antara endotelial injure dengan platelet, monosit dan jaringan ikat
(collagen),
menyebabkan
terjadinya
penempelan
platelet
(platelet
adherence) dan agregasi trombosit (trombosit agregation). b.
Stage B : Fatty Streak Formation Pembentukan fatty streak merupakan pengendapan kolesterol-kolesterol yang telah dioksidasi dan makrofag di bawah endothelium arteri. Low Density Lipoprotein (LDL) dalam darah akan menyerang endotel dan dioksidasi oleh radikal-radikal bebas pada permukaan endotel, lesi ini mulai tumbuh pada masa kanak-kanak, makroskopik berbentuk bercak berwarna kekuningan, yang terdiri dari sel-sel yang disebut foam cells. Sel-sel ini ialah sel-sel otot polos dan makrofag yang mengandung lipid, terutama dalam bentuk ester cholesterol.
Universitas Sumatera Utara
c.
Stage C: Fibrosis Plaque Formation Formasi plak fibrosis terdiri atas inti atau central cholesterol dan tutup jaringan ikat (cap fibrous). Formasi ini memberikan dua gambaran tipe yaitu Stable fibrous plaque dan Unstable fibrous plaque (Kasma, 2011).
2.4. Patofisiologi PJK Aterosklerosis atau pengerasan arteri adalah kondisi pada arteri besar dan kecil yang ditandai penimbunan endapan lemak, trombosit, neutrofil, monosit dan makrofag di seluruh kedalaman tunika intima (lapisan sel endotel), dan akhirnya ke tunika media (lapisan otot polos). Arteri yang paling sering terkena adalah arteri koroner, aorta dan arteri-arteri sereberal. Langkah pertama dalam pembentukan aterosklerosis dimulai dengan disfungsi lapisan endotel lumen arteri, kondisi ini dapat terjadi setelah cedera pada sel endotel atau dari stimulus lain, cedera pada sel endotel meningkatkan permeabelitas terhadap berbagai komponen plasma, termasuk asam lemak dan triglesirida, sehingga zat ini dapat masuk kedalam arteri, oksidasi asam lemak menghasilkan oksigen radikal bebas yang selanjutnya dapat merusak pembuluh darah. Cedera pada sel endotel dapat mencetuskan reaksi inflamasi dan imun, termasuk menarik sel darah putih, terutama neutrofil dan monosit, serta trombosit ke area cedera, sel darah putih melepaskan sitokin proinflamatori poten yang kemudian memperburuk situasi, menarik lebih banyak sel darah putih dan trombosit ke area lesi, menstimulasi proses pembekuan, mengaktifitas sel T dan B, dan melepaskan senyawa kimia yang berperan sebagai chemoattractant (penarik kimia) yang
Universitas Sumatera Utara
mengaktifkan siklus inflamasi, pembekuan dan fibrosis. Pada saat ditarik ke area cedera, sal darah putih akan menempel disana oleh aktivasi faktor adhesif endotelial yang bekerja seperti velcro sehingga endotel lengket terutama terhadap sel darah putih, pada saat menempel di lapisan endotelial, monosit dan neutrofil mulai berimigrasi di antara sel-sel endotel keruang interstisial. Di ruang interstisial, monosit yang matang menjadi makrofag dan bersama neutrofil tetap melepaskan sitokin, yang meneruskan siklus inflamasi. Sitokin proinflamatori juga merangsan ploriferasi sel otot polos yang mengakibatkan sel otot polos tumbuh di tunika intima. Selain itu kolesterol dan lemak plasma mendapat akses ke tunika intima karena permeabilitas lapisan endotel meningkat, pada tahap indikasi dini kerusakan teradapat lapisan lemak diarteri. Apabila cedera
dan inflamasi terus berlanjut, agregasi trombosit
meningkat dan mulai terbentuk bekuan darah (tombus), sebagian dinding pembuluh diganti dengan jaringan parut sehingga mengubah struktur dinding pembuluh darah, hasil akhir adalah penimbunan kolesterol dan lemak, pembentukan deposit jaringan parut, pembentukan bekuan yang berasal dari trombosit dan proliferasi sel otot polos sehingga pembuluh mengalami kekakuan dan menyempit. Apabila kekakuan ini dialami oleh arteri-arteri koroner akibat aterosklerosis dan tidak dapat berdilatasi sebagai respon terhadap peningkatan kebutuhan oksigen, dan kemudian terjadi iskemia (kekurangan suplai darah) miokardium dan sel-sel miokardium sehingga menggunakan glikolisis anerob
untuk memenuhi kebutuhan energinya. Proses
pembentukan energi ini sangat tidak efisien dan menyebabkan terbentuknya asam laktat sehinga menurunkan pH miokardium dan menyebabkan nyeri yang berkaitan
Universitas Sumatera Utara
dengan angina pectoris. Ketika kekurangan oksigen pada jantung dan sel-sel otot jantung berkepanjangan dan iskemia miokard yang tidak tertasi maka terjadilah kematian otot jantung yang di kenal sebagai miokard infark (Corwin, 2009). Patofisiologi PJK Cedera sel endotel Permeabelitas Kematian zat masuk arteri Nyeri Arteri MCI Reaksi inflamasi
Asam laktat terbentuk
Proinflamatori
Sel darah putih menempel di arteri imigrasi keruang interstisial
monosit
makrofag
sel otot polos tumbuh Lapisan lemak
pembuluh kaku & sempit
Aliran darah
Pembentukan Trombus
Gambar 2.1. Patofisiologi Penyakit Jantung Koroner Sumber : Ariesti, 2011. Universitas Sumatera Utara
2.5 Gejala PJK Gejala PJK yang biasanya timbul adalah: 1. Dada terasa sakit, terasa tertimpa beban, terjepit, diperas, terbakar dan tercekik. Nyeri terasa di bagian tengah dada, menjalar ke lengan kiri, leher, bahkan menembus ke punggung. Nyeri dada merupakan keluhan yang paling sering dirasakan oleh penderita PJK. 2. Sesak nafas 3. Takikardi 4. Jantung berdebar-debar 5. Cemas 6. Gelisah 7. Pusing kepala yang berkepanjangan 8. Sekujur tubuhnya terasa terbakar tanpa sebab yang jelas 9. Keringat dingin 10. Lemah 11. Pingsan 12. Bertambah berat dengan aktivitas Tapi kebanyakan orang yang menderita PJK tidak mengalami beberapa gejala di atas, tiba-tiba saja jantung bermasalah dan dalam kondisi yang kronis (UPT-Balai Informasi Teknologi lipi, 2009).
Universitas Sumatera Utara
2.6. Klasifikasi PJK Menurut Braunwald (2001), PJK memiliki beberapa klasifikasi sebagai berikut: 1. Angina Pektoris Stabil Angina pektoris stabil adalah keadaan yang ditandai oleh adanya suatu ketidaknyamanan (jarang digambarkan sebagai nyeri) di dada atau lengan yang sulit dilokalisasi dan dalam, berhubungan dengan aktivitas fisik atau stres emosional dan menghilang dalam 5-15 menit dengan istirahat dan atau dengan obat nitrogliserin sublingual (Yusnidar, 2007). Angina pektoris stabil adalah rasa nyeri yang timbul karena iskemia miokardium yang merupakan hasil dari ketidakseimbangan antara suplai oksigen dan kebutuhan oksigen miokard. Iskemia miokard dapat disebabkan oleh stenosis arteri koroner, spasme arteri koroner dan berkurangnya kapasitas oksigen di dalam darah (Aladdini, 2011). 2. Angina pektoris tak stabil adalah angina pektoris (atau jenis ekuivalen ketidaknyamanan iskemik) dengan sekurang-kurangnya satu dari tiga hal berikut; a. Timbul saat istirahat (atau dengan aktivitas minimal) biasanya berakhir setelah lebih dari 20 menit (jika tidak diberikan nitrogliserin). b. Lebih berat dan digambarkan sebagai nyeri yang nyata dan merupakan onset baru (dalam 1 bulan). c. Timbul dengan pola crescendo (bertambah berat, bertambah lama, atau lebih sering dari sebelumnya). Pasien dengan ketidaknyamanan iskemik dapat datang dengan atau tanpa elevasi segmen ST pada EKG (yusnidar, 2007).
Universitas Sumatera Utara
Istilah angina tidak stabil pertama kali digunakan 3 dekade yang lalu dan dimaksudkan untuk menandakan keadaan antara infark miokard dan kondisi lebih kronis dari pada angina stabil. Angina tidak stabil merupakan bagian dari sindrom koroner akut, dimana tidak ada pelepasan enzim dan biomarker nekrosis miokard. Angina dari sindrom koroner akut (SKA) cenderung merasa lebih parah dari angina stabil, dan biasanya tidak berkurang dengan istirahat beberapa menit atau bahkan dengan tablet nitrogliserin sublingual. SKA menyebabkan iskemia yang mengancam kelangsungan hidup otot jantung. Kadang-kadang obstruksi menyebabkan SKA hanya berlangsung selama waktu yang singkat dan tidak ada nekrosis jantung yang terjadi, SKA memiliki dua dua bentuk gambaran EKG yantu: 1. Infak Otot Jantung tanpa ST Elevasi (Non STEMI) Non STEMI merupakan tipe infark miokard tanpa elevasi segmen ST yang disebabkan oleh obstruksi koroner akibat erosi dan ruptur plak, erosi dan ruptur plak ateroma menimbulkan ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen. Pada non STEMI, trombus yang terbentuk biasanya tidak menyebabkan oklusi menyeluruh pada lumen arteri koroner. Non STEMI memiliki gambaran klinis dan patofisiologi yang mirip dengan angina tidak stabil, sehingga penatalaksanaan keduanya tidak berbeda. Diagnosis Non STEMI ditegakkan jika pasien dengan manifestasi klinis angina tidak stabil menunjukkan bukti adanya nekrosis miokard berupa peningkatan biomarker jantung.
Universitas Sumatera Utara
2. Infark Miokard Akut dengan Elevasi ST (STEMI) STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah oklusi trombus pada plak aterosklerosis yang sudah ada sebelumnya (Kasma, 2011). Bagan dibawah 2.2. memperlihatkan suatu reorganisasi manifestasi klinis infark miokard akut yang sekarang disebut sindroma koroner akut. Sindroma Koroner Akut
Tanpa Elevasi ST
Angina tak stabil
Elevasi ST
Infark miokard
Gambar 2.2. Nomenklatur Sindroma Koroner Akut Sumber : Braunwald. Acute myocardial Infarction. Heart Disease. 2001
2.7. Komplikasi PJK Adapun komplikasi PJK adalah: 1. Disfungsi ventricular 2. Aritmia pasca STEMI 3. Gangguan hemodinamik 4. Ekstrasistol ventrikel
Universitas Sumatera Utara
5. Takikardi dan fibrilasi atrium dan ventrikel 6. Syok kardiogenik 7. Gagal jantung kongestif 8. Perikarditis 9. Kematian mendadak (Karikaturijo, 2010).
2.8. Epidemiologi PJK PJK merupakan penyakit tidak menular (noncommunacable disease) yang tidak hanya menyerang laki-laki saja, namun wanita juga berisiko, meskipun kasusnya tidak sebesar pada laki-laki. Pada orang yang berumur > 65 tahun ditemukan 20 % PJK pada laki-laki dan 12 % pada wanita (Supriyono, 2008). Penyakit jantung adalah penyakit negara maju atau negara industri, lebih tepatnya, penyakit ini disebut sebagai penyakit masyarakat modern, dengan pola hidup modern. Karena itu penyakit jantung tidak saja monopoli negara maju, tetapi juga di negara yang sedang berkembang yang menunjukkan kecendrungan peningkatannya sesuai dengan kecundrungan modernisasi masyarakatnya. Hal ini disebabkan karena penyebab penyakit jantung berkaitan dengan keadaan dan perilaku masyarakat maju misalnya tingginya stres, salah makan dan gaya hidup modern seperti rokok dan minum alkohol yang berlebihan (Bustam, 2007). Sementara itu PJPD di negara-negara sedang berkembang termasuk Indonesia cenderung meningkat sebagai modernisasi yang meniru gaya hidup negara sudah berkembang. PJPD pada dasarnya bukanlah penyakit menular yang disebabkan oleh
Universitas Sumatera Utara
suatu organisme tertentu, namun penularan penyakit ini melalui peniruan gaya hidup sehingga penyakit ini ada yang menyebut sebagai ‘new communicable disease’. Menurut WHO (1990), kematian karena PJPD adalah sebesar 12 juta jiwa pertahun, sehingga dianggap sebagai pembunuh nomor satu umat manusia jika dibandingkan dengan kematian yang disebabkan oleh penyakit lain seperti diare 5 juta jiwa, kanker 4,8 juta jiwa, dan TBC 3 juta jiwa/tahun. Padahal dikatakan bahwa PJPD ini adalah suatu prevantable disease (penyakit yang dapat dicegah), di mana 50% kematian dini dapat dicegah dengan upaya-upaya memodifikasi gaya hidup (Bustam, 2007). Menurut PERKI (2004), PJPD saat ini menempati urutan pertama sebagai penyebab kematian di Indonesia. Berdasarkan hasil survei kesehatan rumah tangga (SKRT) yang dilakukan secara berkala oleh departeman kesehatan menunjukkan bahwa PJPD memberikan kontribusi sebesar 19,8% dari seluruh penyebab kematian pada tahun 1993 dan meningkat menjadi 24,4% pada tahun 1998 (Muttaqin, 2009).
2.9. Faktor Risiko PJK Faktor risiko seseorang untuk menderita SKA ditentukan melalui interaksi dua atau lebih faktor risiko yaitu faktor yang tidak dapat dimodifikasi (nonmodifiable factors) dan faktor yang dapat dimodifikasi (modifiable factors), Faktor yang dapat dimodifikasi yaitu; merokok, aktivitas fisik, diet, dislipidemia, obesitas, hipertensi dan DM. Sedangkan faktor yang tidak dapat dimodifikasi adalah usia, jenis kelamin, suku/ras, dan riwayat penyakit keluarga (Bender et al, 2011).
Universitas Sumatera Utara
2.9.1 Faktor Risiko yang tidak dapat Dimodifikasi 2.9.1.1 Keturunan Fakta menyebutkan bahwa faktor keturunan telah lama dikenal memainkan peran terhadap kejadian PJK, Sebuah studi yang dipimpin oleh Profesor Kristina Sundquist dari Pusat Penelitian Perawatan Kesehatan Primer di Malmo (Swedia) yang diterbitkan dalam American Heart Journal. Penelitian ini dimulai pada tahun 1973 sampai 2008, terdiri dari laki-laki dan perempuan dengan jumlah 80.214 responden yang diadopsi pada tahun≤ 1932. Penelitian ini mengungkapkan bahwa individu yang memiliki setidaknya satu orang tua biologis yang menderita PJK memiliki risiko 40-60% terkena PJK jika dibandingkan dengan anak yang orang tuanya tidak memiliki riawayat PJK, meskipun kedua orang tua angkatnya menderita PJK. Kemudian Profesor Sundquist menyimpulkan
bahwa hasil penelitian
menunjukkan bahwa risiko PJK tidak ditransfer melalui gaya hidup yang tidak sehat dalam keluarga, melainkan melalui gen. Akan tetapi bukan berarti gaya hidup seseorang bukanlah faktor risiko terhadap peningkatan kejadian PJK (Medical New Today, 2011). 2.9.1.2 Umur PJK berkembang semakin bertambahnya umur seseorang, Semakin bertambah usia semakin besar kemungkinan untuk menderita PJK dan menderita serangan jantung fatal. Setelah umur 40 tahun risiko terkena PJK adalah 49% untuk laki-laki dan 32% untuk perempuan. Lebih dari 4/5 atau 81% orang-orang yang meninggal akibat PJK adalah ≥ 65 tahun. Data statistik ini melaporkan bahwa bertambahnya usia
Universitas Sumatera Utara
merupakan faktor risiko yang membuat orang-orang merasa agak tidak berdaya dalam memerangi PJK (Garko, 2012). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Delima dkk (2009), dengan menggunakan studi kasus kontrol dengan tingkat kepercayaan 95% (CI 95%), jumlah responden 661.165 orang, menyebutkan bahwa risiko menderita penyakit jantung cenderung meningkat dengan bertambahnya umur, risiko cenderung meningkat hingga > 2,2 kali pada kelompok umur > 55 tahun, 2,49 kali pada kelompok umur > 75 tahun jika dibandingkan dengan kelompok umur 15-24 tahun. 2.9.1.3 Jenis Kelamin American Heart Association (AHA) (2004), melaporkan bahwa 1 dari 3 wanita dewasa menderita PJPD, sejak tahun 1984 jumlah kematian akibat PJPD pada perempuan lebih tinggi dari pada pada laki-laki. sekitar tiga juta wanita memiliki riwayat serangan jantung akibat PJK. 38% wanita yang menderita serangan jantung akan meninggal lebih awal dalam waktu satu tahun dibandingkan dengan laki-laki hanya 25%, meskipun wanita memiliki serangan jantung pada usia yang lebih tua daripada laki-laki, perempuan mungkin meninggal dalam beberapa minggu setelah menderita PJK. Namun 64% dari wanita yang meninggal mendadak akibat PJK tidak mengalami gejala sebelumnya. Peningkatan kejadian PJK pada wanita itu terjadi setelah menopause dan kematian 2-3 kali lebih besar daripada wanita sebelum menopause. Oleh karena itu, wanita pasca-menopause harus ekstra waspada terhadap PJK. Usia rata-rata untuk laki-laki yang memiliki serangan jantung pertama akibat PJK adalah usia 65,8 tahun sedangkan usia rata-rata untuk perempuan adalah 70,4
Universitas Sumatera Utara
tahun. Risiko PJK meningkat setelah umur > 40 tahun pada laki-laki yaitu 49% dan perempuan 32%, meskipun kejadian PJK bagi perempuan lebih lambat 10-20 tahun dari pada laki-laki, namun pada wanita yang lebih serius mengalami serangan jantung dan kematian mendadak (Garko dan Michael, 2012). Prevalensi penyakit jantung di Indonesia menunjukkan perempuan lebih tinggi dari pada laki-laki. Hasil SKRT (2001) menunjukkan prevalensi penyakit jantung pada populasi semua umur lebih tinggi pada perempuan dibanding laki-laki (4,9% vs 3,4%), hasil SKRT (2004), prevalensi penyakit jantung menurut gejala pada populasi umur ≥ 15 tahun juga lebih tinggi pada perempuan (2,3% vs 1,3%), Bahkan hasil penelitian tahun 1985 di masyarakat pedesaan di Kabupaten Semarang berbeda dengan gambaran di rumah sakit saat itu, ternyata prevalensi penyakit jantung iskemik pada wanita lebih tinggi dibanding laki-laki (Delima dkk, 2009). 2.9.1.4 Ras/Etnis Studi statistik menunjukkan bahwa ras/etnis memiliki peran penting terhadap kejadian PJK. Pada orang Afrika, Meksiko, India, Hawaii asli dan beberapa orang Asia memiliki risiko lebih tinggi untuk PJK dari pada pada orang Kaukasia (Inggris) dan Jepang (Asia Timur). Hal ini terjadi karena orang kulit hitam (terutama Afrika) memiliki faktor risiko kelebihan berat badan dan obesitas lebih tinggi, DM dan hipertensi merupakan salah satu faktor risiko yang paling serius bagi PJK (Garko dan Michael, 2012).
Universitas Sumatera Utara
2.9.2 Faktor Risiko yang dapat Dimodifikasi Adapun faktor risiko PJK yang dapat dimodifikasi adalah: 2.9.2.1 Merokok Merokok dalam jangka waktu yang lama akan meningkatkan risiko PJK dan serangan jantung, merokok memicu pembentukan plak pada arteri, beberapa penelitian menunjukkan bahwa merokok dapat meningkatkan risiko PJK dengan cara menurunkan level kolesterol HDL (Hight density lifid). Semakin banyak merokok semakin besar risiko terkena serangan jantung. Studi menunjukkan jika berhenti merokok selama setahun maka akan menurunkan setengah dari risiko serangan jantung (Ramandika, 2012). Menurut Depkes (2007), Penggunaan rokok merupakan salah satu faktor risiko terbesar pada penyakit tidak menular. Menurut data Susenas tahun 2001, jumlah perokok di Indonesia sebesar 31,8%. Jumlah ini meningkat menjadi 32% pada tahun 2003, dan meningkat lagi menjadi 35% pada tahun 2004. Pada tahun 2006, The Global Youth Survey (GYTS) melaporkan 64,2% atau 6 dari 10 anak sekolah yang disurvei terpapar asap rokok selama mereka di rumah. Lebih dari sepertiga (37,3%) pelajar biasa merokok dan yang lebih mengejutkan lagi adalah 30,9% atau 3 diantara 10 pelajar menyatakan pertama kali merokok pada umur dibawah 10 tahun. Data Riskesdas tahun 2007 juga memperlihatkan tingginya prevalensi penduduk yang merokok. Jumlah perokok aktif umur > 15 tahun adalah 35,4% (65,3% laki-laki dan 5,6% perempuan), berarti 2 diantara 3 laki-laki adalah perokok aktif. Lebih bahaya lagi 85,4 % perokok aktif merokok dalam rumah bersama anggota keluarga sehingga
Universitas Sumatera Utara
mengancam
keselamatan
kesehatan
lingkungan.
Merokok
dapat
merubah
metabolisme khususnya dengan meningkatnya kadar kolersterol darah, di samping itu dapat menurunkan HDL. Tingginya kadar kolesterol darah mempunyai pengaruh yang besar terhadap terjadinya PJK (Arief, 2011). Menurut laporan WHO (2002), tingkat merokok di Asia pada laki-laki (sekitar > 40%) jauh lebih tinggi dari pada laki-laki di Barat (30-40%). Sebaliknya, tingkat merokok di Asia pada perempuan (< 20%) jauh lebih rendah dibandingkan pada wanita Barat (20-40 %). Merokok merupakan faktor risiko untuk stroke dan PJK. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Badan Kesehatan Korea dengan menggunakan metode Prospektive Cohort Study dengan jumlah 648.346 laki-laki Korea usia ≥10 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah rokok yang dihisap perhari semakin tinggi risiko terjadinya PJK
dan penyakit
penyakit lain yang ber hubungan dengan PJPD (Hata dan Kiyohara, 2013).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.3. Hazart Rasio Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah pada Perokok Sumber : Hata dan Kiyohara, 2013 Dari gambar diatas maka dapat dijelaskan bahwa ada kecenderungan linier yang kuat dari peningkatan risiko stroke iskemik, perdarahan subarachnoid dan MI akibat dari banyaknya jumlah rokok yang dihisap per hari. Namun merokok tidak berhubungan dengan perdarahan intraserebral. Dalam penelitian APCSC (Asia Pacific Cohort Studies Collaboration) tahun 2005 dengan desain studi kohort dan CI 95% membandingkan antara perokok dengan bukan perokok, hasil penelitian tersebut
Universitas Sumatera Utara
menunjukkan hasil resiko relatif (RR) 1,32 (1,24 -1.40) untuk stroke dan 1,60 (1,491,72) untuk PJK. Ada hubungan dosis-respons yang jelas antara jumlah rokok dihisap per hari dengan kejadian stroke dan PJK. Untuk mantan perokok, dibandingkan dengan perokok saat ini dengan hasil RR 0,84 (0,76-0,92) untuk stroke dan 0,71 (0,64-0,78) untuk PJK, jadi dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa berhenti merokok memiliki manfaat yang jelas (Hata dan Kiyohara, 2013). Menurut penelitian Supriyono (2008), dengan design kasus kontol, dari hasil analisisi bivariat menunjukkan bahwa kebiasaan merokok memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian PJK (p = 0,011), kebiasaan merokok juga berisiko untuk terjadinya PJK pada usia > 45 tahun sebesar 2,4 kali dibandingkan dengan yang tidak merokok (OR=2,4 ; 95% CI=1,3-4,5). Penelitian Framingham dalam Anwar (2004), memaparkan bahwa kematian mendadak akibat PJK pada laki-laki perokok 10x lebih besar dari pada bukan perokok dan pada perempuan perokok 4,5x lebih tinggi dari pada bukan perokok. Hal ini disebabkan meningkatnya beban miokard yang dipicu oleh katekolamin dan menurunnya komsumsi O2 akibat inhalasi CO sehingga menimbulkan takikardi, vasokonstriksi pembuluh darah, merubah permeabilitas dinding pembuluh darah dan merubah 5-10% Hb menjadi karboksi -Hb. Semakin sering menghisap rokok akan menyebabkan kadar HDL kolesterol makin menurun. Efek merokok ini akan berdampak langsung pada peningkatan tingkat diabetes disertai obesitas dan hipertensi, sehingga orang yang merokok cenderung lebih mudah terjadi proses aterosklerosis dari pada yang bukan perokok (Arief, 2011).
Universitas Sumatera Utara
Ringkasnya, merokok merupakan faktor risiko untuk PJK dan stroke (stroke iskemik) pada orang Asia. Karena tingkat merokok pada orang Asia jauh lebih tinggi dibandingkan dengan orang Barat, berhenti merokok sangat penting untuk pencegahan PJPD di Asia (Hata dan Kiyohara, 2013). 2.9.2.2 Aktivitas Fisik Aktifitas fisik dianjurkan terhadap setiap orang untuk mempertahankan dan meningkatkan kesegaran tubuh. Aktifitas fisik berguna untuk melancarkan peredaran darah dan membakar kalori dalam tubuh (Hermansyah, 2012). Aktivitas fisik secara teratur bermanfaat untuk mengatur berat badan dan menguatkan sistem jantung dan pembuluh darah. Kegiatan aktivitas fisik dikategorikan cukup apabila kegiatan dilakukan terus-menerus sekurangnya 10 menit dalam satu kegiatan tanpa henti dan secara kumulatif 150 menit selama lima hari dalam satu minggu. Namun hampir separuh penduduk (47,6%) kurang melakukan aktivitas fisik (Riskesdas Sumsel, 2007). Latihan/olahraga merupakan suatu aktivitas aerobik, yang bermanfaat untuk meningkatkan dan mempertahankan kesehatan dan daya tahan jantung, paru, peredaran darah, otot-otot dan sendi-sendi. Suatu latihan olahraga yang dilakukan secara teratur akan memberikan pengaruh yang besar terhadap tubuh kita. Latihan fisik dengan pembebanan tertentu akan mengubah faal tubuh yang selanjutnya akan mengubah tingkat kesegaran jasmani. Aktivitas aerobik teratur menurunkan risiko PJK meskipun hanya 11% laki-laki dan 4% perempuan (Salim dan Nurrohmah, 2013).
Universitas Sumatera Utara
Hasil penelitian Febriani (2011), Hariadi dan Ali (2005), menjelaskan bahwa orang yang tidak mempunyai kebiasaan olahraga beresiko lebih besar terkena PJK daripada orang yang mempunyai kebiasaan olahraga, serta olahraga teratur bisa mengurangi risiko PJK (Salim dan Nurrohmah, 2013). Menurut penelitian Salim dan Nurrohmah (2013), di RSUD dr. Moewardi menyebutkan bahwa responden yang tidak rutin melakukan olah raga berisiko mengalami kejadian PJK 2.250 lebih besar dibandingkan dengan responden yang rutin melakukan olah raga. Menurut Pusat Promosi Kesehatan Departemen Kesehatan RI (2006), Aktivitas fisik secara teratur memiliki efek yang menguntungkan terhadap kesehatan yaitu: 1. Terhindar dari penyakit jantung, stroke, osteoporosis, kanker, tekanan darah tinggi, DM dan lain-lain 2. Berat badan terkendali 3. Otot lebih lentur dan tulang lebih kuat 4. Bentuk tubuh menjadi ideal dan proporsional 5. Lebih percaya diri 6. Lebih bertenaga dan bugar 7. Secara keseluruhan keadaan kesehatan menjadi lebih baik (Rizki, 2011).
Universitas Sumatera Utara
Beberapa kegiatan yang dapat dipilih seperti: a. Berjalan kaki, misalnya turunlah dari bus lebih awal menuju tempat kerja kira-kira menghabiskan 20 menit berjalan kaki dan saat pulang berhenti di halte yang menghabiskan 10 menit berjalan kaki menuju rumah b. Lari ringan/jogging c. Push-up d. Naik turun tangga e. Mengikuti kelas senam terstruktur dan terukur (fitness) f. Berkebun g. Menimba air h. Berkebun/bercocok tanam i. Mencangkul j. Bermain tenis k. Bermain bulu tangkis l. Bermain Sepak bola/basket/ volly m. Senam aerobik n. Berenang o. Bersepeda p. Latihan beban seperti dumble dan modifikasi lain q. Mendaki gunung r. Dan lainnya (Rizki, 2011).
Universitas Sumatera Utara
2.9.2.3 Diet Diet dapat didefenisikan sebagai usaha seseorang dalam mengatur pola makan dan mengurangi makan untuk mendapatkan berat badan yang ideal. Diet terbagi 2 yaitu : 1. Diet sehat 2. Diet tidak sehat Diet tidak sehat terbagi dua macam a. Makanan Tinggi Lemak Makan tinggi lemak sangat berhubungan dengan tingginya jumlah kolesterol dalam darah. Makanan orang Amerika rata-rata mengandung lemak dan kolesterol yang tinggi sehingga kadar kolesterol cenderung tinggi, sedangkan orang Jepang umumnya berupa nasi, sayur-sayuran dan ikan sehingga orang Jepang rata-rata memiliki kadar kolesterol rendah sehingga prevaleni PJK lebih rendah di Jepang dari pada Amerika (Malau, 2011). b. Kurang Konsumsi Sayuran dan Buah-buahan Menurut Reine (2005), Sayuran dan buah-buahan
merupakan makanan
rendah kalori, kaya serat vitamin dan mineral untuk menjaga kesehatan (Dewi, 2013). Perilaku makan sehat merupakan perilaku mengkonsumsi beberapa variasi kelompok makanan yang direkomendasikan yaitu karbohidrat, protein, lemak, Sayuran dan buah-biahan secara universal (Ogden, 2010). Data frekuensi dan porsi asupan sayuran dan buah dikumpulkan dengan menghitung jumlah hari konsumsi dalam seminggu dan jumlah porsi rata-rata dalam sehari. Penduduk dikategorikan cukup konsumsi
Universitas Sumatera Utara
sayuran dan buah-buahan apabila makan sayur dan atau buah minimal 5 porsi per hari (400 g) selama 7 hari dalam seminggu. Dikategorikan kurang apabila konsumsi sayuran dan buah-buahan kurang dari ketentuan di atas. Secara keseluruhan, penduduk umur > 10 tahun kurang konsumsi sayuran dan buah-buahan sebesar 97,0%. (Riskesdas Sumatera Selatan, 2007). Riskesdas (2007), menyebutkan bahwa hanya 5,5 % warga Sumatera Utara usia > 10 tahun yang mengonsumsi Sayuran dan buah yang mengandung serat sesuai anjuran WHO (Starberita Medan, 2012). Menurut Almatsier (2004), porsi sayuran dalam bentuk tercampur yang dianjurkan sehari untuk orang dewasa adalah sebanyak 150 – 200 gram dan porsi buah yang dianjurkan sehari untuk dewasa adalah sebanyak 200-300 gram (Gustiara, 2012). Dalam jangka panjang sedikit konsumsi sayuran dan buah-buahan dapat menyebabkan penyakit kronis misalnya hipertensi, kanker, PJK, diabetes dan obesitas (Ogden, 2010). Dalam penelitan studi meta-analisis, yang diterbitkan pada tahun 1992 dan 2004 menunjukkan bahwa konsumsi > 5 porsi buah dan sayuran/hari (> 391 g) menyebabkan 17% penurunan risiko PJK (p < 0,001). kemudian penelitian serupa yang dilakukan He dkk (2007), dengan menggunakan metode studi metaanalisis yang diterbitkan tahun sebelumnya menunjukkan bahwa konsumsi buah dan sayuran > 5 porsi/hari akan menyebabkan penurunan risiko PJK sebesar 4% (Produse for Better Health Foudatian, 2011).
Universitas Sumatera Utara
Sejak studi meta-analisis diatas dipublikasikan maka Nikolic dkk (2008), melakukan sebuah studi di Serbia dengan menggunakan metode kasus-kontrol yang terdiri dari 290 responden (67% laki-laki dan 33% perempuan usia 23-79 tahun), dari hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa, subyek yang mengkonsumsi sedikit sayuran (< 1 cawan per minggu p < 0,01) akan mengalami 3 kali kemungkinan lebih tinggi terkena PJK jika dibandingkan dengan subjek yang mengkonsumsi lebih dari satu cawan perhari dan untuk buah/jus buah, studi meta-analisis independen menunjukkan bahwa orang yang mengkonsumsi sedikit buah/jus buah akan mengalami 1,78 kali terjadinyan PJK (P < 0,05 , < 0.001) jika dibandingkan dengan orang yang banyak mengkonsumsi buah/jus buah (>1 porsi perhari) (Produse for Better Health Foudatian, 2011). 2.9.2.4 Dislipidemia (Kolestrol dalam Darah) Pada buku Hurst’s dijelaskan bahwa kolesterol merupakan prasyarat terjadi PJK, kolesterol akan berakumulasi di lapisan intima dan media pembuluh arteri koroner. Jika hal tersebut terus berlangsung maka akan membentuk plak sehingga pembuluh arteri koroner yang mengalami inflamasi atau terjadi penumpukan lemak kemudian mengalami aterosklerosis (Fuster dkk, 2010). Hiperlipidemia juga disebabkan karena abnormal lipoprotein dalam darah, hal ini disebabkan karena meningkatnya LDL dan menurunnya HDL (Kumar dkk, 2010). Pada awalnya di negara-negara Barat, PJK berhubungan dengan kolesterol yang tinggi, sedangkan di negara-negara Asia, kolesterol total (TC) umumnya lebih rendah dan kejadian PJK juga rendah. Namun dengan adanya industrialisasi dan
Universitas Sumatera Utara
urbanisasi tumbuh di Asia, maka kadar kolesterol total pada negara-negara Asia mengalami peningkatan selama 50 tahun terakhir. Misalnya, studi Hisayama di Japan melaporkan bahwa prevalensi hiperkolesterolemia (total kolesterol ≥[TC] 5,7 mmol/L) meningkat dari 2,8% menjadi 25,8% pada pria dan dari 6,6% menjadi 41,6% pada wanita selama tahun 1961-2002. Peningkatan kolesterol di negara-negara Asia dapat dikaitkan dengan peningkatan dalam asupan makanan yang berlemak. Banyak penelitian epidemiologi di Asia telah memberikan informasi tentang hubungan kolesterol dengan risiko PJPD. Studi kohort yang dilakukan oleh Korean National Health selama 11 tahun yang terdiri dari 787.442 pria dan wanita berusia 30-64 tahun, untuk hubungan antara kolesterol dengan peningkatan kejadian stroke iskemik, MI, stroke hemoragik, seperti pada gambar 2.4.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.4. Hazart Rasio PJPD pada Penderita Hyperdislipidemia Sumber : Hata dan Kiyohara, 2013. Gambar diatas menggunakan design meta-analisis study dengan CI 95%, menjelaskan bahwa peningkatan 1 mmol/L kolesterol maka HR akan menjadi 1,20 (1,16-1,24) untuk stroke iskemik, HR 0,91 (0,87-0,95) untuk stroke hemoragik dan HR 1,48 (1,43-1,53) untuk infark. Penelitian APCSC dengan design studi kohort selama 5,5 tahun dengan
CI 95%, menjelaskan bahwa adanya hubungan TC
(kolesterol total) dengan kejadian PJPD dan menginformasikan bahwa peningkatan≥ 1 mmol/L akan menyebabkan terjadinya peningkatan risiko PJPD, dengan RR 1,35 (1,26-1,44), stroke iskemik fatal dan stroke iskemik non fatal dengan RR 1,25 (1,13-
Universitas Sumatera Utara
1,40), penurunan risiko stroke hemoragik fatal RR 0,80 (0,70-0,92 ) (Hata dan Kiyohara, 2013). Penelitan Hisayama di Jepang (2009), menunjukkan bahwa risiko terkena infark pada otak nonembolic dan PJK megalami peningkatan pada responden dengan LDL yang tinggi, tetapi tidak ada hubungan yang jelas dengan kejadian stroke hemoragik. Penelitan arteriosklerosis yang dilakukan di Jepang pada tahun 2010 dengan mengunakan longitudinal cohort study melaporkan bahwa non–highdensity lipoprotein (non- HDL) lebih dapat dipercaya sebagai prediktor untuk peningkatan terjadinya MI akut dari pada TC, singkatnya, hiperkolesterolemia umumnya merupakan faktor risiko untuk penyakit aterosklerotik seperti stroke iskemik dan MI pada orang Asia. Karena prevalensi hiperkolesterolemia telah meningkat di Asia selama setengah abad terakhir, oleh karena itu pentingnya manajemen kolesterol untuk mencegah penyakit aterosklerosis di masa depan (Imamura dkk, 2009). Menurut Yayasan Jantung Indonesia (2003), kadar kolesterol dikatakan tinggi apabila kadar kolesterol total ≥ 240 mg/L. Menurut laboratorium RS Islam Malahayati, kadar kolesterol dikatakan tinggi apabila : 1. Kadar kolesterol total > 200 mg/dl. 2. Kadar kolesterol LDL ≥ 160 mg/dl. 3. Kadar kolesterol HDL ≤ 55 mg/dl. 4. Kadar trigliserida > 150 mg/dl.
Universitas Sumatera Utara
2.9.2.5 Obesitas Obesitas sudah menjadi sebuah epidemi di negara maju, ukuran objektif obesitas biasanya dinilai dari nilai IMT, dimana ukuran international untuk obesitas adalah IMT ≥ 30 kg/m 2, sedangkan untuk ukuran orang Asia obesitas didefinisikan dengan nilai IMT ≥ 25 kg/m
2
(WHO/IOTF/IASO, 2011). Obesitas memiliki
hubungan yang erat dengan tingginya kejadian PJPD. Obesitas dapat meningkatkan kadar trigliserida yang buruk untuk kesehatan jantung dan menurunkan kadar HDL yang bersifat kardioprotektif (Nursalim, 2011). Selain itu, seiring meningkatnya obesitas, maka hipertensi juga meningkat. Obesitas juga dapat menyebabkan disfungsi diastolik dan berhubungan dengan memburuknya fungsi sistolik (Artham, 2009). Berdasarkan data WHO (2008), prevalensi obesitas pada usia dewasa di Indonesia sebesar 9,4% dengan pembagian pada laki-laki mencapai 2,5% dan pada perempuan 6,9%. Survey sebelumnya pada tahun 2000, persentase penduduk Indonesia yang obesitas hanya 4,7% (±9,8 juta jiwa).Ternyata hanya dalam 8 tahun, prevalensi obesitas di Indonesia telah meningkat dua kali lipat, Sehingga kita perlu mewaspadai peningkatan yang lebih pesat dikarenakan gaya hidup sekarang yang semakin sedentary (santai dan bermalas-malasan) sebagai akibat dari kemudahan teknologi. Obesitas merupakan faktor risiko terhadap kejadian PJPD. Kelebihan berat badan mempengaruhi faktor resiko penyakit kardiovaskular seperti peningkatan level LDL, trigliserida, tekanan darah, kadar gula darah dan menurunkan kadar HDL serta meningkatkan resiko perkembangan PJK, gagal jantung, stroke dan aritmia.
Universitas Sumatera Utara
Mencapai dan menjaga berat badan yang sehat selama hidup merupakan salah satu faktor utama untuk menurunkan resiko PJPD. (Dinkes Prov Yogyakarta, 2014). Data dari Framingham (2008), menunjukkan bahwa apabila setiap individu mempunyai berat badan optimal, maka akan terjadi penurunan kejadian PJK sebanyak 25% dan stroke/cerebro vascular accident (CVA) sebanyak 3,5%. Penurunan berat badan diharapkan dapat menurunkan tekanan darah, memperbaiki sensitivitas insulin, pembakaran glukosa dan menurunkan dislipidemia (Malau, 2011). Laporan FAO/WHO/UNU (1985), menyatakan bahwa batasan berat badan normal orang dewasa ditentukan berdasarkan nilai Body Mass Index (BMI). Di Indonesia istilah Body Mass Indeks diterjemahkan menjadi Indeks Massa Tubuh (IMT). IMT merupakan alat yang sederhana untuk memantau status gizi orang dewasa khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan, maka mempertahankan berat badan normal memungkinkan seseorang dapat mencapai usia harapan hidup lebih panjang penggunaan IMT berlaku untuk orang yang berumur > 18 tahun (Lutfah, 2013). Adapun rumus perhitungan IMT menurut Lutfah (2013) adalah sebagai berikut: IMT =
Berat Badan (kg) Tinggi Badan (m)x Tinggi Badan (m)
Menurut Waspadji (2003), obesitas merupakan faktor independen terhadap PJK, berhubungan erat dengan kadar kolesterol serum, tekanan darah, dan toleransi
Universitas Sumatera Utara
glukosa. Pada penelitiannya menunjukkan bahwa penderita yang memiliki IMT >25 lebih banyak yang menderita PJK dari pada kontrol (Arief, 2011). 2.9.2.6 Hipertensi Hipertensi merupakan suatu kondisi peningkatan tekanan darah arterial yang menetap (Dorlan, 2002). Pada tahun 2003, JNC VII mengklasifikasikan tekanan darah sistolik normal < 120 mmHg dan tekanan darah diastolik < 80 mmHg (Fuster dkk, 2010). menurut Eighth Joint National Committee (JNC VIII), tekanan darah dikatakan tinggi apabila tekanan sistolik ≥ 140 dan diastolik ≥ 90 mmHg (Culpeper, 2013). Menurut penelitian Hata dan Kiyohara (2013), menyebutkan bahwa hipertensi merupakan faktor risiko yang kuat terhadap kejadian stroke dan PJK. Prevalensi hipertensi pada usia dewasa berjumlah 38,3% di Jepang, 27,7% di Cina, 23,7% di Taiwan, 21,7% di Thailand, 23,8 % di India Utara (urban) dan 30,7% di India Barat (daerah perkotaan). Prevalensi hipertensi di Jepang tampaknya lebih tinggi dari pada di negara-negara Asia lainnya, tetapi sulit untuk membuat akurat perbandingan karena metode untuk pengumpulan data dan pengukuran tekanan darah yang tidak standar antara studi memeriksa masalah ini. Dalam hal apapun kita dapat menyimpulkan secara kasar bahwa seperempat atau sepertiga dari populasi orang dewasa di Asia memiliki hipertensi. Prehipertensi terbukti menjadi faktor predisposisi untuk hipertensi di masa depan, dan lebih jauh lagi, sudah ada beberapa studi yang telah menjelaskan hubungan langsung antara prehipertensi dan risiko PJK. Penelitain APCSC lebih dari 7 tahun dengan jumlah responden yang cukup besar, mengunakan
Universitas Sumatera Utara
studi meta-analisis dari design 44 studi kohort dengan 600.000 responden dari Asia (Cina, Hong Kong, Taiwan, Jepang, Korea Selatan, Singapura dan Thailand) dan Oceania (Australia dan Selandia Baru) untuk mencari pengaruh tekan darah tinggi terhadap kejadian stroke dan PJK. Penelitian ini menggunakan kategori tekan darah normal (TDS (tekanan darah sistolik) < 120 mmHg dan TDD (tekanan darah diastolik) < 80 mmHg ) , prehipertensi (TDS 120-139 mmHg dan TDD 80-89 mmHg), hipertensi diastolik terisolasi (TDS < 140 mmHg dan DBP ≥ 90 mmHg ), hipertensi sistolik terisolasi (TDS ≥ 140 mmHg dan DBP < 90 mmHg ) dan hipertensi sistolik-diastolik (TDS ≥ 140 mmHg dan TTD ≥ 90 mmHg ).
Gambar 2.5. Hazart Rasio PJPD pada Penderita Hipertensi Sumber : Arima dkk, 2012
Universitas Sumatera Utara
Dari gambar diatas dapat dipahami bahwa hazart rasio (HR) dari multivariabel dengan CI 95%, maka kejadian PJK adalah 1,41 (1,31-1,53) untuk prehipertensi, 1,81 ( 1,61-2,04 ) untuk hipertensi diastolik terisolasi, 2,18 ( 2,00-2,37) untuk hipertensi sistolik terisolasi dan 3,42 (3,17-3,70) untuk hipertensi sistolik-diastolik jika dibandingkan dengan tekanan darah yang normal. Dalam analisis yang lain, keadaan prehipertensi dan hipertensi itu sendiri akan mengakibatkan terjadinya peningkatan PJPD seperti stroke iskemik, stroke hemoragik dan PJK. Hisayama Study (2012) melakukan penelitian dengan design cohort study selama 19 tahun yang dimulai pada tahun 1988 dengan total responden 2.634 usia ≥ 40 tahun menggunakan standar JNC7 untuk klasifikasi tekanan darah dengan CI 95%, melaporkan bahwa adanya hubungan antara tingkatan tekanan darah dengan kejadian PJPD dengan hasil RR 1,58 (1,11– 2,26) untuk penderita prehipertensi, 1,70 (1,18–2,44) pada responden yang memiliki tekanan darah prehipertensi, 1,93 kali (1,37–2,72) pada responden yang menderita hipertensi derajat satu, 2,78 (1,93–4,01) pada responden yang menderita hipertensi derajat dua jika dibandingkan dengan responden yang tidak menderita hipertensi, setelah dilakukan standarisari dari faktor perancu. Hipertensi lebih sering megakibatkan stroke hemoragik dari pada stroke iskemik dan PJK. Temuan ini menunjukkan bahwa tidak hanya hipertensi tetapi juga prehipertensi merupakan faktor risiko penting untuk PJPD di Asia. Untuk itu modifikasi gaya hidup seperti diet rendah garam, latihan fisik dan berhenti merokok dianjurkan untuk mengurangi prevalensi prehipertensi dan hipertensi dimasa yang akan datang (Hata dan Kiyohara, 2013).
Universitas Sumatera Utara
2.9.2.7 Diabetes Melitus DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemi yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya. Diagnosa DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah, pemeriksaan penyaring berguna untuk menjaring pasien DM, toleransi glukosa terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT) sehingga dapat ditentukan langkah yang tepat untuk mereka. Pasien dengan TGT dan GDPT merupakan tahapan sementara menuju DM, Setelah 5-10 tahun kemudian 1/3 kelompok TGT akan berkembang menjadi DM, 1/3 tetap dan 1/3 lainnya kembali normal. Adanya TGT seringkali berhubungan dengan resistensi insulin, pada kelompok TGT ini resiko terjadinya aterosklerosis lebih tinggi dibandingkan kelompok normal. TGT seringkali berkaitan dengan penyakit kardiovaskuler, hipertensi dan dislipidemia. Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan gula darah sewaktu (GDS) atau kadar glukosa darah puasa (GDP) dengan puasa paling sedikit 8 jam, kemudian dapat diikuti dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO) stándar setelah pemberian glukosa 75 gr pada orang dewasa atau 1,75 gr/kgBB untuk anak-anak, kemudian diperiksa kadar glukosa darahnya setelah 2 jam pemberian glukosa (Gustaviani, 2006). Individu dengan DM mudah terjadi penyakit yang berhubungan dengan aterosklerosis dan diyakini bahwa lebih dari dua pertiga kematian pasien DM akibat penyakit arterial. Pada satu penelitian Helsinki policeman study, menjelaskan bahwa angka kematian PJK 3x lipat lebih tinggi pada pasien DM daripada individu normal. Mekanisme yang mungkin adalah berhubungan dengan abnormalitas metabolisme
Universitas Sumatera Utara
lipid yang dapat meningkatkan aterogenesis dan advanced glycation endproducts (AGE) yang menggambarkan metabolisme abnormal pada DM yang berdampak pada injuri endotelium (Ramandika, 2012). Intoleransi glukosa sejak dulu telah diketahui sebagai predisposisi penyakit pembuluh darah (Malau,2011). Penelitian Anwar (2004) menunjukkan bahwa lakilaki yang menderita DM berisiko mengalami PJK sebesar 50% lebih tinggi dari pada orang normal, sedangkan pada perempuan risikonya menjadi 2x lipat. Pada penelitian Waspadji (2003) menunjukkan bahwa adanya hubungan penderita DM dengan kejadian PJK (Arif, 2011). Menurut data APCSC yang representatif (2007), prevalensi DM 2,6% di China, 3,1% di Mongolia, 4,3% di India, 5,1% di Taiwan, 6,4% di Filipina, 6,9% di Malaysia, 5,7% di Indonesia, 8,2% di Singapura, 9,6% di Thailand, 9,7% di Hong Kong dan 10,5% di Korea Selatan. Dalam penelitian Hisayama Study pada penduduk Jepang dengan total 2.421 responden yang diikuti selama selama 14 tahun untuk memperkirakan hubungan antara status toleransi glukosa dengan kejadian peningkatan PJPD. Dalam penelitian tersebut, Status toleransi glukosa ditentukan dengan kriteria WHO tahun 1998, yaitu: 1. Toleransi glukosa normal (puasa glukosa < 6.1 mmol/L dan 2 jam setelah makan < 7,8 mmol/L) 2. Gangguan glikemia puasa (6,1-6,9 mmol/L dan 2 jam setelah makan > 7,8 mmol/L) 3. Toleransi glukosa puasa terganggu < 7,0 mmol/L dan 2 hpg 7,8-11,0 mmol/L)
Universitas Sumatera Utara
4. Diabetes ≥ 7,0 mmol/L dan atau 2 HPG≥ 11,0 mmol/L), Seperti ditunjukkan dalam gambar 2.6
Gambar 2.6. Hazart Rasio PJPD pada Penderita Diabetes Melitus Sumber : Hata dan Kiyohara, 2013 Menurut penelitian APCSC diikuti selama 5,4 tahun untuk mencari hubungan antara DM dengan kejadian PJPD, status DM masing-masing peserta ditentukan berdasarkan riwayat medis dengan menggunakan CI 95% maka nilai RR 2.02 (1,572,59) untuk stroke fatal, 2.19 (1,81-2,66 ) untuk PJK Fatal, 2,09 (1,65-2,64) untuk total (fatal dan nonfatal ) stroke dan 1,73 ( 1,34-2,22 ) untuk total PJK. Untuk semua hasil adalah sama pada populasi Asia baik yang pesisir maupun non-pesisir. Singkatnya, diabetes merupakan faktor risiko penting untuk stroke dan PJK pada
Universitas Sumatera Utara
populasi Asia. Penelitian APCSC menunjukkan bahwa hiperglikemia berhubungan dengan peningkatan risiko PJPD (Hata dan Kiyohara, 2013).
2.10. Pencegahan PJK Untuk berhasilnya upaya pencegahan PJK, tidak hanya diperlukan tenaga medis semata, namun perlu adanya kerja-sama dengan penderita, niat yang kuat dari penderita, kesadaran keluarga, lingkungan dan pekerjaan sangat penting untuk berhasilnya usaha ini. Pencegahan yang berhasil akan dapat menghemat biaya dari pemondokan di rumah sakit, tindakan intervensi jantung baik untuk diagnosa maupun terapi bahkan tindakan operasi jantung dan belum lagi menurunnya kemampuan fisik setelah menderita serangan jantung (Martohusodo, 2007). Penanggulanagan PJK baik dengan obat-obatan atau dengan tindakan lain belum memberi hasil yang memuaskan. Oleh sebab itu, usaha pencegahan adalah yang paling penting untuk menaggulang PJK. Pencegahan PJK dapat dibagi menjadi Pencegahan primer dan pencegahan sekunder. Pencegahan primer adalah usaha menjaga agar orang tidak menderita PJK, usah pencegahan ini harus sudah di mulai sejak dini, yaitu pada masa remaja karena seperti yang telah di ketahui bahwa fatty streat atau proses awal aterosklerosis sudah ditemukan pada usia remaja, sedangkan Pencegahan sekunder adalah usaha yang dilakukan agar tidak terjadi serangan jantung dengan segala komplikasinya bagi mereka yang sudah terkena PJK. Berhubung aterosklerosis pada arteri koroner dipicu oleh berbagai faktor risiko seperti stres, tekanan darah tinggi, DM dan lain-lain yang semuanya dapat diperoleh
Universitas Sumatera Utara
dengan mengubah gaya hidup yang meterialistis, konsumtif dan hedonistis (Kabo, 2008). Dalam pencegahan PJK ada 4 tingkatan yaitu: 2.10.1 Pencegahan Primordial (Pre Primary Prevention) Pencegahan
primordial adalah upaya yang dilakukan untuk mencegah
munculnya faktor predisposisi PJK pada suatu wilayah dimana belum tampak adanya faktor yang menjadi risiko PJK (Bustam, 2007). Dalam Noor (1997), Upaya pencegahan primordial dapat berupa kebijaksanaan nutrisi nasional dalam sektor agrokultural, industri makanan, impor dan ekspor makanan, penanganan konprehensif rokok, pencegahan hipertensi dan promosi aktivitas fisik/olah raga (Nasution, 2012). 2.10.2 Pencegahan Primer (Primary Prevention) Pencegahan primer adalah upaya awal pencegahan PJK sebelum seseorang menderita. Dilakukan dengan pendekatan komuniti berupa penyuluh faktor risiko PJK terutama pada kelompok risiko tinggi. Pencegahan primer ditujukan kepada pencegahan terhadap berkembangnya proses atherosklerosis secara dini (Bustam, 2007). Untuk mencegah berkembangnya atherosklerosis maka ada hal yang harus dilakukan yaitu: 1.
Diet Adapun metode diet yang benar adalah: a.
Baca label makanan dan minuman yang dibeli untuk menentukan pilihan yang terbaik
Universitas Sumatera Utara
b.
Minimalisir asupan makanan dan minuman yang menggunakan pemanis tambahan
b.
Batasi porsi makan
c.
Pilih produk-produk non-fat
d.
Kurangi penggunaan garam dalam makanan dan hindari makanan yang asin, konsumsi makanan tinggi serat dan kaya antioksidan
e.
Tingkatkan konsumsi kacang kedelai, kacang-kacangan, ikan Salmon, alpukat, bawang putih, bayam, margarin dari minyak biji bunga kanola dan teh
f.
Konsumsi ikan sedikitnya dua kali seminggu.
2. Pola hidup sehat 1. Berolah raga secara teratur 2. Menjaga berat badan yang sehat 3. Mengurang jumlah alkohol 4. Hindari merokok dan asap rokok (UPT-Balai Informasi Teknologi lipi pangan dan Kesehatan, 2009). 2.10.3 Pencegahan Sekunder (Secondary Prevention) Pencegahan sekunder adalah upaya pencegahan pada penderita yang sudah tekena PJK agar tidak berulang atau menjadi lebih berat. Disini diperlukan perubahan pola hidup (terhadap faktor-faktor yang dapat dikendalikan) dan kepatuhan berobat bagi mereka yang sudah menderita PJK. Pencegahan tingkat ketiga ini ditujukan untuk mempertahankan nilai prognostik yang lebih baik dan menurunkan mortalitas
Universitas Sumatera Utara
(Bustam, 2007). Untuk menghindari terjadinya penyakit yang lebih parah atau komplikasi yang tidak diinginkan maka perlu dilakukan penegakan diagnosa dengan cepat dan tepat seperti: 2.10.3.1 Riwayat/Anamnesis Diagnosa adanya suatu SKA harus ditegakkan secara cepat, tepat dan didasarkan pada tiga kriteria, yaitu: gejala klinis nyeri dada spesifik, gambaran EKG (elektrokardiogram) dan evaluasi biokimia dari enzim jantung. Nyeri dada atau rasa tidak nyaman di dada merupakan keluhan dari sebagian besar pasien dengan SKA. Sifat nyeri dada yang spesifik angina sebagai berikut: 1. Lokasi: substermal, retrostermal dan prekordial 2. Sifat nyeri: rasa sakit seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat, seperti ditusuk, rasa diperas dan dipelintir 3. Penjalaran ke leher, lengan kiri, mandibula, gigi, punggung/interskapula dan dapat juga ke lengan kanan 4. Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat atau obat nitrat 5. Faktor pencetus: latihan fisik, stress emosi, udara dingin dan sesudah makan 6. Gejala yang menyertai: mual, muntah, sulit bernafas, keringat dingin dan lemas. Berat ringannya nyeri bervariasi sehingga sulit untuk membedakan antara gejala APTS/NSTEMI dan STEMI. Pada beberapa pasien dapat ditemukan tanda-tanda gagal ventrikel kiri akut, gejala yang tidak tipikal seperti: rasa lelah yang tidak jelas, nafas pendek, rasa tidak nyaman di epigastrium atau mual dan muntah dapat terjadi, terutama pada wanita,
Universitas Sumatera Utara
penderita diabetes dan pasien lanjut usia. Kecurigaan harus lebih besar pada pasien dengan faktor risiko kardiovaskular multipel dengan tujuan agar tidak terjadi kesalahan diagnosis (Departemen Kesehatan, 2006) Tabel 2.1. Tiga Penampilan Klinis Umum Penderita PJK No. Patogenesis 1 Angina saat istirahat
Penamplian klinis Angina terjadi saat istirahat dan terus menerus, biasanya lebih dari 20 menit
2
Angina pertama kali
Angina yang pertama kali terjadi, setidaknya CCS Kelas III
3
Angina yang meningkat
Angina semakin lama makin sering, semakin lama dan lebih mudah tercetus Sumber : Departemen Kesehatan, 2006 2.10.3.2 Pemeriksaan Fisik Tujuan dari pemeriksaan fisik adalah untuk mengidentifikasi faktor pencetus dan kondisi lain sebagai konsekuensi dari NSTEMI seperti: hipertensi tak terkontrol, anemia, tirotoksikosis, stenosis aorta berat, kardiomiopati hipertropik dan kondisi lain, seperti penyakit paru. Keadaan disfungsi ventrikel kiri (hipotensi, ronki dan gallop S3) menunjukkan prognosis yang buruk. Adanya bruit di karotis atau penyakit vaskuler perifer menunjukkan bahwa pasien memiliki kemungkinan penderita PJK (Depkes, 2006). 2.10.3.3 Pameriksaan Penunjang/Pemeriksaan Diagnostik PJK Untuk mendiagnosa PJK secara lebih tepat maka dilakukan pemeriksaan penunjaung diantaranya:
Universitas Sumatera Utara
a.
EKG EKG memberi bantuan untuk diagnosis dan prognosis, rekaman yang dilakukan
saat sedang nyeri dada sangat bermanfaat. Gambaran diagnosis dari EKG adalah : 1. Depresi segmen ST > 0,05 mV 2. Inversi gelombang T, ditandai dengan > 0,2 mV inversi gelombang T yang simetris di sandapan prekordial. Perubahan EKG lainnya termasuk bundle branch block (BBB) dan aritmia jantung, terutama Sustained VT. Serial EKG harus dibuat jika ditemukan adanya perubahan segmen ST, namun EKG yang normal pun tidak menyingkirkan diagnosis APTS/NSTEMI. Pemeriksaaan EKG 12 sadapan pada pasien SKA dapat mengambarkan kelainan yang terjadi dan ini dilakukan secara serial untuk evaluasi lebih lanjut dengan berbagai ciri dan katagori: 1. Angina pektoris tidak stabil; depresi segmen ST dengan atau tanpa inversi gelombang T, kadang-kadang elevasi segmen ST sewaktu nyeri, tidak dijumpai gelombang Q 2. Infark miokard non-Q: depresi segmen ST, inversi gelombang T dalam (Kulick, 2014). b. Chest X-Ray (foto dada) Thorax foto mungkin normal atau adanya kardiomegali, CHF (gagal jantung kongestif) atau aneurisma ventrikiler (Kulick, 2014). c.
Latihan tes stres jantung (treadmill)
Universitas Sumatera Utara
Treadmill merupakan pemeriksaan penunjang yang standar dan banyak digunakan untuk mendiagnosa PJK, ketika melakukan treadmill detak jantung, irama jantung, dan tekanan darah terus-menerus dipantau, jika arteri koroner mengalami penyumbatan pada saat melakukan latihan maka ditemukan segmen depresi ST pada hasil rekaman (Kulick, 2014). d. Ekokardiogram Ekokardiogram menggunakan gelombang suara untuk menghasilkan gambar jantung, selama ekokardiogram dapat ditentukan apakah semua bagian dari dinding jantung berkontribusi normal dalam aktivitas memompa. Bagian yang bergerak lemah mungkin telah rusak selama serangan jantung atau menerima terlalu sedikit oksigen, ini mungkin menunjukkan penyakit arteri koroner (Mayo Clinik, 2012). e. Kateterisasi jantung atau angiografi Kateterisasi jantung atau angiografi adalah suatu tindakan invasif minimal dengan memasukkan kateter (selang/pipa plastik) melalui pembuluh darah ke pembuluh darah koroner yang memperdarahi jantung, prosedur ini disebut kateterisasi jantung. Penyuntikkan cairan khusus ke dalam arteri atau intravena ini dikenal sebagai angiogram, tujuan dari tindakan kateterisasi ini adalah untuk mendiagnosa dan sekaligus sebagai tindakan terapi bila ditemukan adanya suatu kelainan (Mayo Clinik, 2012). f. CT scan (Computerized tomography Coronary angiogram)
Universitas Sumatera Utara
Computerized tomography Coronary angiogram/CT Angiografi Koroner adalah pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk membantu memvisualisasikan arteri koroner dan suatu zat pewarna kontras disuntikkan melalui intravena selama CT scan, sehingga dapat menghasilkan gambar arteri jantung, ini juga disebut sebagai ultrafast CT scan yang berguna untuk mendeteksi kalsium dalam deposito lemak yang mempersempit arteri koroner. Jika sejumlah besar kalsium ditemukan, maka memungkinkan terjadinya PJK (Mayo Clinik, 2012). g. Magnetic resonance angiography (MRA) Prosedur ini menggunakan teknologi MRI, sering dikombinasikan dengan penyuntikan zat pewarna kontras, yang berguna untuk mendiagnosa adanya penyempitan atau penyumbatan, meskipun pemeriksaan ini tidak sejelas pemeriksaan kateterisasi jantung (Mayo Clinik, 2012). h. Pemeriksaan biokimia jantung (profil jantung) Petanda biokimia seperti troponin I (TnI) dan troponin T (TnT) mempunyai nilai prognostik yang lebih baik dari pada CKMB. Troponin C, TnI dan TnT berkaitan dengan konstraksi dari sel miokrad. Susunan asam amino dari Troponin C sama dengan sel otot jantung dan rangka, sedangkan pada TnI dan TnT berbeda. Nilai prognostik dari TnI atau TnT untuk memprediksi risiko kematian, infark miokard dan kebutuhan revaskularisasi dalam 30 hari. Kadar serum creatinine kinase (CK) dan fraksi MB merupakan indikator penting dari nekrosis miokard, risiko yang lebih buruk pada pasien tanpa segment elevasi ST namun mengalami peningkatan nilai CKMB (Depkes, 2006).
Universitas Sumatera Utara
2.10.4 Pencegahan Tersier (Tertiary Prevention) Pencegahan tersier adalah upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya komplikasi yang lebih berat atau kematian. Pencegahan dalam tingkatan ini berupa rehabilitasi jantung, program rehabilitasi jantung ditujukan kepada penderita PJK, atau pernah mengalami serangan jantung atau pasca operasi jantung (Bustam, 2007).
Universitas Sumatera Utara
2.11 Kerangka Teori Penelitian
Riwayat PJK Keluarga
Kolesterol total >200 mg/dl Kolesterol LDL >130 mg/dl
Hipertensi Kolesterol <50 mg/dl Diabetes melitus
Rasio kolesterol total HDL >5 Trigliserida ≥150 mg/dl
Obesitas Dislipidemia Keadaan sosioekonomi Pola diet tak sehat Inaktivitas fisik
Gaya hidup
Riwayat pengguna kontrasepsi oral
Penyakit Jantung Koroner
Gambar 2.7. Kerangka Teori Penelitian Sumber : Hikmawati,2011
Universitas Sumatera Utara
2.12 Kerangka Konsep Kerangka konsep merupakan model konseptual yang berkaitan dengan bagaimana seorang peneliti menyusun teori atau menghubungkan secara logis beberapa faktor yang dianggap penting untuk masalah, kerangka konsep membahas saling ketergantungan antara variabel yang dianggap perlu untuk melengkapi dinamika situasi atau hal sedang atau akan diteliti (Hidayat, 2009). Adapun kerangka konsep dalam penelitian ini adalah seperti gambar dibawah ini. Faktor Risiko A. Faktor yang Dapat Dimodifikasi 1. Merokok 2. Aktivitas fisik 3. Diet 4. Dislipidemia 5. Obesitas 6. Hipertensi 7. Diabates Melitus Penyakit Jantung Koroner B. Faktor yang tidak Dapat Dimodifikasi 1. Usia 2. Jenis Kelamin 3. Ras 4. Riwayat keluarga/ keturunan
Gambar 2.8. Kerangka Konsep
Universitas Sumatera Utara