BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan teknologi kian maju dewasa ini, khususnya pada perkembangan teknologi komputer. Dari yang digunakan hanya untuk mengetik hingga sekarang penggunaan komputer sudah menjadi sumber pencarian informasi bagi banyak orang. Apalagi kini komputer sudah dilengkapi dengan fitur canggih yang dikenal dengan sebutan internet. Menurut Elia (dalam Pratama, 2012) penggunaan internet semula untuk menjadi sistem komunikasi militer yang kemudian berkembang menjadi penghubung banyak komputer sekaligus kepada satu jaringan. Kini internet bukan lagi hanya sebagai alat pengiriman, pertukaran, dan pengambilan data, namun juga untuk memenuhi fungsi lainnya, seperti kemudahan berbisnis, berkarir, berkomunikasi, menjalankan proses belajar-mengajar, menjadi relasi, menyiarkan berita, hingga berkampanye. Tentu saja bisa dipastikan bahwa jumlah pengguna internet akan terus bertambah seiring dengan semakin mudahnya koneksi internet, meluasnya jaringan, serta semakin lengkapnya peralatan komputer, telepon genggam, hingga iPhone dan Blackberry. Banyaknya pengguna internet seperti ini, tentu saja sudah menjadi fenomena yang tidak terhindarkan bahwa penggunaan internet menimbulkan hasil yang positif maupun yang negatif. Pemakaian internet juga sangat luas, mulai dari pencarian informasi, media sosial, komunikasi online dan lain-lain. Internet sebagai perlengkapan studi dan alat bantu pekerjaan membuat internet turut berperan dalam cara kita berpikir, berkomunikasi, berelasi, berekreasi, bertingkah laku, dan mengambil keputusan sudah semakin tidak terhindarkan (Dyah dalam Pratama, 2012).
1
Tentu saja internet dapat memiliki efek yang positif pada kebahagiaan, jika digunakan kepada aktifitas yang memang berelasi (Penard & Suere, 2011). Namun, dapat kita bayangkan sendiri jika terjadi pemakaian internet yang tidak sesuai dengan manfaatnya. Penggunaan internet bisa saja menjadi sebuah efek negatif pada kebahagiaan manusia, apalagi jika mengingat pengguna internet serta teknologi yang terus berkembang. Sebuah penelitian mengatakan bahwa seseorang yang merasa bahwa “dia mengatur web” lebih bahagia dibandingkan dengan mereka yang merasa “diatur oleh web” (cnn.com, 2009). Terdapat juga penelitian yang dilakukan oleh Universitas Stanford menyatakan bahwa anak perempuan berusia delapan sampai 12 tahun menghabiskan lebih banyak waktu untuk menggunakan multimedia, merasa kurang bahagia dan kurang kenyamanan secara sosial dibandingkan dengan kelompok yang mengatakan bahwa mereka menghabiskan waktu lebih sedikit di depan layar (NYtimes.com, 2012). Apalagi kini jejaring sosial kian merajalela di kalangan masyarakat, salah satunya seperti Facebook. Facebook merupakan sebuah alat online sosial yang dapat membantu manusia untuk berkomunikasi lebih efisien dengan teman-teman, keluarga, serta kerabat mereka (Facebook, 2010 dalam O’Brien. S. J, 2011). Semenjak kemunculan Facebook di tahun 2004 (Facebook, 2011 dalam O’Brien.S.J, 2011), ternyata Facebook mendapatkan sambutan yang meriah di kalangan masyarakat dari segala penjuru, termasuk Indonesia. Hal ini nampak dari sebuah kenyataan bahwa pengguna Facebook di Indonesia mencapai 48.134.040 orang di bulan April 2013 menurut SocialBakers. Walaupun jumlah ini telah mengalami penyusutan dibandingkan jumlah pengguna Facebook di bulan Januari 2013 yaitu 51juta lebih, angka 48.134.040 tidak bisa dianggap remeh (Merdeka.com, 2013). Angka yang telah dipaparkan tentu saja merupakan bukan jumlah yang sedikit. Apalagi jika melihat sebuah fakta lainnya yang dinyatakan oleh Facebook (2011 dalam Kim. J & Lee. J.R, 2011) sendiri bahwa terdapat lebih dari 500 juta anggota yang menghabiskan waktu sebanyak 700 milyar menit 2
setiap bulannya pada Facebook. Diantara 500 juta anggota Facebook itu sendiri terdapat sebesar 30% anggota dari total populasi pengguna yang merupakan mahasiswa berusia 18 dan 25 tahun. Telah dilaporkan pula bahwa pengguna berusia mahasiswa tersebut dinyatakan menggunakan Facebook kurang lebih 28 menit sehari, menjadikan hal ini dekat dengan kehidupan mereka (Kim. J & Lee. J. R, 2011). Facebook menjadi sangat diminati karena dilengkapi fitur-fitur menarik yang mudah untuk digunakan, seperti dengan keberadaan fitur chat, notes, atau sistem tag foto, merupakan inovasi yang ditawarkan Facebook untuk memanjakan penggunanya (Nasution, 2008 dalam Juditha, 2011). Pola komunikasi internet melalui Facebook ini, jika berada pada sebuah tahap tertentu dapat menimbulkan sebuah kecanduan yang dapat memberi pengaruh pada dunia nyata. (Jerald J, 2008 dalam Juditha, 2011). Dikatakan pada sebuah survey yang dilakukan oleh Universitas Ohio, bahwa mahasiswa yang kerap menggunakan Facebook ternyata menjadi malas dan bodoh. (Juditha, 2011). Menurut statistik pada tahun 2011, pengguna Facebook di Indonesia menduduki peringkat kedua di dunia dengan pengguna yang memiliki rata-rata usia yang paling muda yaitu 20 tahunan (Kompas.com, 2011). Penggunaan Facebook di Indonesia juga tergolong cukup aktif, dengan 1,29 juta posting-an setiap harinya, dengan rata-rata 15 posting setiap detik. Seluruh aktifitas tersebut sebanyak 87% dilakukan lewat media ponsel, tablet, atau laptop (beritasatu.com, 2013). Ternyata bukan hanya itu saja, Jakarta yang selama ini dikenal hanya menjadi ibukota negara Indonesia, berkat jumlah penggunanya yang fantastis yaitu mencapai 17,48 juta pengguna, Jakarta pun disebutkan menjadi ibukota di Facebook. Angka tersebut melewati kota-kota besar lainnya seperti New York yang hanya tercatat memiliki 4,3 juta pengguna (Kompas.com, 2012).
3
Menyadari bahwa Facebook merupakan sebuah produk yang juga berbasis internet dan banyak digemari oleh pengguna internet di Indonesia termasuk kalangan mahasiswa, maka tidak menutup kemungkinan bahwa Facebook juga memiliki permasalahanpermasalahan sendiri terkait penggunaan internet yang tentu saja menarik untuk diulas. Apalagi kini masyarakat termasuk mahasiswa telah mendapatkan akses tidak terbatas untuk menggunakan internet dengan alat-alat tanpa kabel (wi-fi) demi kelancaran berhubungan melalui internet. Mahasiswa sendiri memiliki kecenderungan untuk menghabiskan waktu untuk online, maka dari itu mereka memiliki potensi yang signifikan untuk mengalami tandatanda dari problematic internet use (PIU). Misalnya seperti melakukan online lebih lama dibanding dengan waktu yang sudah ditentukan sebelumnya (Chen, 2012). Penggunaan internet oleh mahasiswa sekarang ini banyak yang mengacu kepada tujuan sosial, aktifitas yang menimbulkan kesenangan, pencarian informasi, dan belanja online (Morgan & Cotten, 2003 dalam Chen, 2012). Namun dinyatakan juga bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara banyaknya waktu penggunaan internet secara keseluruhan dengan kepuasan hidup (Green dkk, 2005 dalam Chen, 2012). Penggunaan internet secara berlebihan pada penelitian yang banyak dilakukan sekarang ini , didefinisikan sebagai sebuah jumlah penggunaan yang dilihat oleh partisipan sebagai waktu yang normal untuk melakukan online. Di sisi lain, penggunaan secara kompulsif melibatkan kesulitan untuk mengontrol aktifitas online yang satu dengan perasaan bersalah tentang kurangnya kontrol. Istilah problematic internet use (PIU) adalah untuk mengkategorikan kognisi maladaptif dan perilaku terkait penggunaan internet yang menghasilkan akademik yang negatif, profesional, dan konsekuensi sosial (Caplan, 2003). Mahasiswa di seluruh dunia dilaporkan mengalami sosial, psikologis, serta permasalahan akademis terkait dengan perilaku berinternet (O’ Brian, 2012). Para peneliti membangun penelitian di beberapa negara seperti Pakistan (Suhail & Bargess, 2006 dalam O’Brian, 4
2012), Turkey ( zcan & Buzlu, 2007 dalam O’Brian, 2012), Taiwan (Chen & Peng, 2008 dalam O’Brian, 2012), dan Cina (Zhang dkk., 2008 dalam O’Brian, 2012) semuanya menemukan gejala problematic internet use pada mahasiswa yang telah mereka teliti. Penelitian yang dilakukan oleh Eijnden, dkk (2008) menunjukan bahwa penggunaan messenger dan chatting di dalam ruang chat memiliki hubungan positif terhadap penggunaan internet enam bulan setelahnya. Selain itu sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh HomeNet (R. Kraut dkk dalam Einjden dkk, 2008), penggunaan instant messenger memiliki keterkaitan positif dengan depresi enam bulan setelahnya. Namun, terdapat hubungan negatif antara loneliness dengan penggunaan instant messenger enam bulan kemudian. Terdapat juga penelitian yang menilai sebuah jangka variabel yang berelasi kepada penggunaan Facebook, dan dicari untuk menentukan bagaimana penggunaan Facebook memiliki relasi dengan problematic internet use (Kittinger., Correia., Irons., Jessica, 2012). Sedangkan Lin dan Tsai (2012, dalam Chen, 2012) mengindikasikan bahwa penggunaan internet mengganggu hubungan interpersonal termasuk fungsi pekerjaan dan belajar, hal ini mengakibatkan pula berkurangnya kebahagiaan pada orang dewasa. Griffths dan Banyard (2005 dalam Chen, 2012) memberikan bukti yang mengindikasikan bahwa problematic internet users memiliki kecenderungan untuk memiliki self-esteem yang rendah. Namun terdapat juga ahli yang percaya bahwa PIU memiliki efek kepada self-esteem, namun tidak memicu secepat rasa depresi atau loneliness (Shaw dan Gant 2002 dalam Chen, 2012). Chen (2012) menyimpulkan dari banyaknya penelitian bahwa PIU memang memiliki keterkaitan dengan self-esteem, kecemasan sosial, loneliness, depresi, dan psychological well-being. Terdapat empat aspek pada well-being, yaitu: 1) arti dari hidup; 2) ketiga “kebutuhan psikologis dasar” dari kompetensi autonomi dan keterhubungan, seperti teori self-determination; 3) spesifik-domain dan kepuasan hidup secara keseluruhan; dan 4) happines (Samman, 2007). Terdapat sebuah penelitian yang mengungkap bahwa jumlah dari 5
teman yang ada pada Facebook seseorang dan self-presentation memiliki asosiasi yang positif terhadap subjective well-being. Namun dukungan sosial yang dirasakan tidak menjadi penengah hubungan positif antara jumlah teman Facebook dengan subjective well-being. Maka dari hal ini ditarik kesimpulan bahwa happiness yang berasal dari jumlah teman Facebook mungkin dikarenakan dari koneksi sosial mereka, dan penguatan atau ketajaman dari self-worth (Kim. J & Lee. J. R, 2011). Well-being memiliki artian kualitas hidup dan seringkali dikaitkan atau disamakan dengan happiness. Pada pengertian ini didenotasikan bahwa hidup adalah baik, namun tidak dispesifikan lagi apa yang baik untuk hidup (Veenhoven, 2006). Seperti yang sudah dituliskan pada paragraf sebelumnya bahwa banyak penelitian yang menghubungkan antara problematic internet use dan well-being. Melihat keadaan ini, penulis tertarik untuk melihat hubungan antara problematic internet use dan happiness, mengingat apa yang dipaparkan oleh Samman (2007) bahwa salah satu aspek dari well-being adalah happiness. Namun terdapat juga ahli lain yang mengukur happiness seseorang dari sebuah kepuasan hidup yang mencakup beberapa domain hidup seperti keluarga atau pekerjaan dan pengalaman emosi yang dialami pada hal-hal tersebut (Carr, 2005). Emosi yang dialami bisa saja banyak sekali ragamnya. Seperti yang dikatakan Averill (1997, dalam Carr, 2005) bahwa terdapat diantara 550-600 kata untuk mengungkapkan pengalaman emosi yang berbeda-beda dalam bahasa Inggris. Namun setelah melakukan beberapa studi, Watson (2000, 2002 dalam Carr, 2005) menemukan bahwa terdapat dua emosi yang penting yaitu positive affectivity dan negative affectivity. Happiness yang difokuskan oleh penulis pada penelitian ini akan ditinjau dari penilaian postive affectivity dan negative affectivity yaitu happiness yang dinilai dari emosi positif dan emosi negatif seseorang. Hal ini didukung karena salah satu domain dari
6
problematic internet use merupakan regulasi perasaan, yang mengacu kepada perubahan emosi seseorang.
1.2 Rumusan Masalah Rumusan masalah yang ada dalam penelitian ini adalah apakah terdapat hubungan antara problematica internet use dengan happiness pada mahasiswa pengguna Facebook di Jakarta? 1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
hubungan antara
problematic internet use pada happiness pada mahasiswa pengguna Facebook di Jakarta.
7