BAB 1 PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Masalah Peningkatan sumber daya manusia bertitik tolak pada upaya pembangunan
di bidang pendidikan. Pengembangan sumber daya manusia didasarkan pada kenyataan bahwa perbaikan “human factor” akan memberikan kontribusi yang besar pada laju pertumbuhan sehingga peningkatan sumber daya manusia di pandang sebagai kunci keberhasilan dalam pembangunan yang dapat menjamin kemajuan dan kestabilan ekonomi. Menurut teori human capital kualitas sumber daya manusia selain ditentukan oleh kesehatan, juga ditentukan oleh pendidikan. Sebagai negara yang sedang berkembang, Indonesia menerapkan salah satu strategi dalam peningkatan sumber daya manusia adalah peningkatan pendidikan. Pendidikan dipandang tidak hanya dapat menambah pengetahuan tetapi juga meningkatkan keterampilan (keahlian) tenaga kerja, pada gilirannya dapat meningkatkan produktivitas (Effendi, 1995). Sebab itu, investasi haruslah diarahkan untuk meningkatkan “human capital stock” dan “physical capital stock”. Pengembangan kualitas manusia dipandang penting untuk mengentaskan kemiskinan dengan cara menggencarkan program pendidikan. Namun dalam kenyataan, di Indonesia menunjukkan bahwa pembangunan kualitas manusia melalui bidang pendidikan masyarakat kurang mendapat perhatian pemerintah secara serius. Hal ini terbukti dengan rendahnya alokasi dana pendidikan yang kurang dari 5 persen dari APBN tahun 2001.
1
2
Salah satu persoalan mendasar yang dihadapi dalam proses pembangunan di negara yang sedang berkembang, seperti Indonesia, adalah tidak tersedianya dana yang cukup. Keterbatasan dana tersebut menyebabkan pemerintah hanya memberikan prioritas pada bidang-bidang tertentu. Selama ini orientasi pembangunan adalah peningkatan pertumbuhan ekonomi yang difokuskan pada pengembangan sektor industri, sementara sektor lain termasuk pendidikan belum banyak mendapat perhatian . Dengan keterbatasan dana yang dimiliki pemerintah, memperlihatkan bahwa peran negara yang selama ini besar ternyata tidak dapat menyelesaikan masalahmasalah yang dihadapi. Hal ini menyebabkan bergesernya pemahaman akan peran negara yang tidak dapat sepenuhnya ditangani oleh pemerintah menjadi pemahaman akan pentingnya keberadaan berbagai komponen dalam masyarakat untuk ikut peduli dengan berbagai persoalan bangsa. Dengan demikian, pada kondisi ketika negara tidak sepenuhnya dapat mengatasi permasalahan maka peranan masyarakat yang terwujud dalam suatu institusi atau suatu lembaga berupa yayasan yang bergerak secara independen sangat dibutuhkan untuk memperingan sekaligus menutup celah-celah yang belum tertangani oleh pemerintah. Sementara sejak terjadinya krisis ekonomi telah menyebabkan menurunnya kemampuan ekonomi rakyat Indonesia. Berdasarkan hasil pendataan yang dilakukan oleh BKKBN Jawa Timur pada tahun 2001 menunjukkan kenaikan yang tajam dalam hal jumlah dan presentasi keluarga pra sejahtera dan sejahtera I.
3
Lebih rinci gambaran tentang perkembangan tahapan keluarga dapat dilihat dalam tabel berikut ini. Tabel 1.1 Distribusi Persentasi Tahapan Keluarga Sejahtera Hasil Pendataan Keluarga Tahun 1994 s/d 2001 Propinsi Jawa Timur Tahun
1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000-1 2001-11 2001
Pra Sejahtera
42.00 35.60 29.90 25.34 22.35 29.35 29.37 29.05 29.27
KS-I
22.80 21.40 18.30 17.95 17.32 20.57 22.58 22.69 22.46
KS-II
20.00 19.70 23.60 24.81 24.73 21.83 21.82 21.95 21.22
KS-III
11.40 18.10 22.00 25.23 28.21 22.47 20.81 20.77 22.26
KS-III Plus
3.80 5.20 6.20 6.67 7.39 5.88 5.42 5.54 4.05
Total
100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0
Jumlah Keluarga
7.808.456 8.078.945 8.279.894 8.476.006 8.650.468 8.845.631 9.060.112 9.222.570 9.515.848
Untuk kota Surabaya, dengan jumlah 525.302 Kepala Keluarga, jumlah keluarga yang termasuk pra sejahtera sebanyak 20,617 (3.92 persen) dan yang termasuk keluarga sejahtera I sebanyak 157.373 (29.96 persen). Data kependidikan yang ada di Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Departemen Pendidikan Nasional menunjukkan bahwa lulusan SLTP dan MTs tahun 1998/1999 berjumlah 2,66 juta orang. Dari jumlah ini, yang melanjutkan
ke SLTA sebanyak 1.778.100 siswa (66,9%) dan yang tidak
melanjutkan pendidikan sebanyak 881.900 orang (33,1%). Jumlah ini semakin besar bila ditambah dengan jumlah anak yang putus sekolah di SLTA, yaitu sebanyak 243.100 siswa dari 5.160.000 siswa (9,03%). Di Jawa Timur sendiri sekitar 17,8 persen anak usia SD dan SLTP belum bisa menempuh pendidikan. Secara absolut, jumlah anak yang tidak mampu menempuh pendidikan dasar sembilan tahun mencapai 700 ribu jiwa. Sebanyak
4
400 ribu merupakan anak yang semestinya bersekolah di jenjang SD dan 300 ribu lainnya adalah anak-anak yang seharusnya melanjutkan ke jenjang SLTP. Salah satu penyebab utama para siswa tersebut tidak melanjutkan pendidikan adalah terbatasnya kemampuan finansial masyarakat (orang tua), terlebih selama terjadinya krisis moneter yang melanda Indonesia. Akibat krisis moneter, jumlah rakyat miskin semakin bertambah. BPS mencatat, hingga akhir tahun 1998 penduduk miskin menjadi 49,5 juta dari jumlah penduduk yang ada. Untuk mengatasi masalah kemiskinan yang menyebabkan bertambahnya jumlah anak putus sekolah karena berkurangnya kemampuan ekonomi orangtua, pemerintah telah memberikan bantuan pendidikan atau beasiswa pada siswa dari keluarga kurang mampu. Namun jumlah siswa dari keluarga kurang mampu masih sangat banyak untuk ditangani oleh pemerintah, sehingga bantuan masyarakat sangat diperlukan sebagai mitra mengatasi masalah kemiskinan. Kemudian pada kenyataanya banyak keluarga kurang mampu tidak dapat sepenuhnya mendukung agar anak-anak dapat mengenyam pendidikan. Biaya hidup sering hanya tercukupi bila seluruh anggota keluarga terlibat dalam aktivitas ekonomi atau aktivitas yang mendukungnya. Sementara dewasa ini biaya pendidikan menjadi sangat mahal bagi keluarga kurang mampu. Sehingga dapat dikatakan bahwa bantuan pendidikan yang diberikan untuk membantu pendidikan bagi keluarga kurang mampu tidak memecahkan masalah secara tuntas. Untuk itu yang harus dilakukan adalah memberdayakan keluarga agar menjadi sejahtera yang pada gilirannya kemudian diharapkan keluarga-keluarga tersebut dapat lebih peduli dengan perkembangan dan peningkatan pendidikan
5
anak-anak mereka. Pemberdayaan ekonomi keluarga merupakan program yang memberikan kesempatan kepada keluarga kurang mampu untuk berusaha (belajar berwirausaha) dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Suyono mengasumsikan bahwa keluargalah penyebab munculnya masalah kemiskinan. Keluarga kurang mampu akan melahirkan masyarakat miskin, karena itu untuk mengentaskan kemiskinan, keluargalah yang perlu diberikan perlakuan atau treatment (Warta Demografi, 1997). Ada dua keuntungan yang bisa diraih dengan
diberdayakannya
ekonomi
keluarga,
yaitu
selain
peningkatan
kesejahteraan keluarga, juga dapat digunakan untuk menyiapkan dana untuk menyekolahkan anak-anaknya, sehingga mutu sumber daya manusia di masa mendatang dapat lebih ditingkatkan agar mampu bersaing dengan sumber daya dari negara lain. Oleh sebab itu alasan mengapa penelitian ini dilakukan adalah, pertama, mengacu pada Keppres No.3 tahun 1996 tentang pembangunan keluarga sejahtera dalam
rangka
penanggulangan
kemiskinan, maka perlu dilakukan dan
ditingkatkan pemberdayaan keluarga melalui sektor ekonomi. Diharapkan dengan perbaikan pada sektor ekonomi tersebut, kebutuhan pokok manusia dapat dipenuhi, termasuk didalamnya peningkatan pendidikan bagi semua anggota keluarga, terutama anak sebagai penerus keturunan yang dapat dijadikan pemutus rantai kemiskinan bagi keluarga kurang mampu. Kedua, karena ketepatan momentum dilakukannya penelitian. Awal tahun 2003 ini adalah merupakan era memasuki pasar bebas (AFTA). Manusia-manusia yang dibutuhkan dalam era tersebut adalah mereka yang memiliki pendidikan dan
6
keterampilan yang memadai. Sementara tidak semua manusia Indonesia dapat mengikuti jenjang pendidikan sesuai anjuran pemerintah yaitu Wajib Belajar 9 Tahun. Sehingga kepedulian semua lapisan masyarakat, baik perorangan, organisasi, yayasan atau LSM di samping pemerintah sendiri perlu lebih intens menggalakan peningkatan pendidikan baik dari segi kuantitas terutama kualitas sumber daya manusia yang dihasilkan dari pendidikan. Disini kemudian peneliti tertarik pada Yayasan Dana Sejahtera Mandiri yang dirikan pada 15 Januari 1996,
sebagai Yayasan yang peduli pada
peningkatan sumber daya manusia melalui bantuan-bantuan pada keluarga kurang mampu, atau banyak melakukan program penanggulangan kemiskinan, khususnya membantu keluarga pra-sejahtera dan sejahtera I di luar program IDT (Inpress Desa Tertinggal) yang berjumlah 11,5 juta keluarga (Ekonomi Keluarga Bangkit, Kemiskinan makin sedikit, 1995, 87). Agar keluarga tersebut dapat mandiri secara ekonomi dan dapat menyiapkan anak-anak mereka sebagai generasi yang mampu menghadapi tantangan di zamannya. Untuk
menyalurkan
bantuan-bantuan
tersebut,
Yamandiri
menjalin
kerjasama kemitraan lewat BKKBN, PT Bank Negara Indonesia (BNI), PT Pos Indonesia, Bank Pemerintah Daerah, Bank Bukopin, Bank Perkreditan Rakyat, dan pihak lain yang terkait. Yayasan dengan memanfaatkan dana yang tersedia untuk mengusahakan peningkatan kesejahteraan baik secara sosial ekonomi maupun pendidikan bagi keluarga Pra Sejahtera dan Keluarga Sejahtera I. Dalam penelitian ini, program bantuan yang diteliti adalah Program Pundi Kencana (Pembinaan Usaha Keluarga Sejahtera Mandiri) atau “Pusaka Mandiri”. Melihat
7
bagaimana nasabah dari kredit tersebut memenuhi kebutuhan pendidikan anakanak mereka. Ketiga, masalah peningkatan sumber daya manusia bertitik tolak pada upaya pembangunan di bidang pendidikan, sementara sejak adanya krisis moneter yang dimulai tahun 1997 membuat kemampuan ekonomi keluarga berkurang yang berdampak pada kemampuan keluarga terutama keluarga kurang mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup, termasuk pendidikan. Di tambah lagi kemampuan pemerintah untuk mengalokasikan dana bagi pendidikan ikut menurun sehingga biaya pendidikan menjadi sangat mahal. Penelitian yang pernah dilakukan sehubungan dengan tujuan pemberdayaan dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat PLAN Indonesia di Gunung Kidul memperlihatkan bahwa karena kondisi keuangan yang selalu kekurangan, menyebabkan penduduk cenderung sangat berhati-hati dan selektif dalam mengalokasikan pendapatan sehingga pengeluaran yang tidak berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan primer, seperti kebutuhan sekolah pada tingkat yang lebih tinggi (SMU/PT), cenderung ditunda atau tidak dilaksanakan. (Faturochman, 2002) Dari penelitian yang pernah dilakukan baik oleh Baydar & Brooks-Gunn (1994), Bergmann (1996), Brooks-Gunn et al. (2000) dan Mc Lanahan et al., (1994) secara keseluruhan menunjukkan bahwa program yang langsung maupun tidak langsung (melalui keluarga) membawa dampak positif bagi anak. Dengan menggunakan indikator-indikator seperti prestasi belajar anak, kemampuan
8
kognitif, kemampuan bahasa, dan perilaku bermasalah pada anak , ternyata intervensi program-program pemberdayaan memberikan hasil yang memuaskan. Pada keluarga yang kurang mampu, bantuan modal yang diberikan juga kadang tidak digunakan untuk meningkatkan pendapatan guna mensejahterkan keluarga, seperti yang diteliti oleh Bagong Suyanto tentang peran berbagai lembaga kredit pedesaan – seperti Perum Pegadaian, BPR, Lembaga KURK, Kredit Usaha Tani, dan IDT – yang sebenarnya dimaksudkan untuk membantu kegiatan produktif masyarakat, menemukan ternyata banyak nasabah yang memanfaatkan kredit yang diperolehnya itu bukan untuk kegiatan produktif, melainkan untuk kegiatan yang sifatnya konsumtif, terutama untuk makan seharihari. Tekanan kebutuhan sehari-hari yang senantiasa mengancam dan kewajiban untuk menghidupi anak dan semacamnya telah membuat banyak keluarga atau golongan masyarakat miskin sulit untuk mengembangkan usahanya. Dengan merujuk pada penelitian-penelitian tersebut, peneliti mencoba melakukan penelitian ini. Goode (1985), seorang tokoh sosiologi pendidikan, mengemukakan bahwa keberhasilan atau prestasi yang dicapai siswa dalam pendidikannya sesungguhnya tidak hanya memperlihatkan mutu dari institusi pendidikan saja. Tapi juga memperlihatkan “keberhasilan” keluarga dalam memberikan anak-anak mereka persiapan yang baik untuk keberhasilan pendidikan yang dijalani. Untuk itu yang harus dilakukan adalah memberdayakan keluarga agar menjadi sejahtera yang pada gilirannya kemudian diharapkan keluarga-keluarga
9
tersebut dapat lebih peduli dengan perkembangan dan peningkatan pendidikan anak-anak mereka. Harus disadari bahwa persoalan kesejahteraan sesungguhnya memiliki sifat multi dimensional yang juga merupakan satu fenomena yang memiliki sifat yang sangat kompleks, dapat bersifat kualitatif dan kuantitatif, dan dapat pula bersifat subyektif. Oleh sebab itu jika membicarakan persoalan kesejahteraan keluarga, maka perlu memperhatikan sistem nilai yang melingkupi kehidupan keluarga tersebut, dan secara makro perlu juga memperhatikan faktor sosial budaya dari masyarakat yang melingkupi keluarga tersebut.
1.2
Rumusan Masalah
1.
Apakah ada pengaruh pemberian skim kredit pundi kencana dari Yayasan Damandiri terhadap tingkat kesejahteraan keluarga.
2.
Apakah kesejahteraan keluarga debitur berpengaruh terhadap pemenuhan kebutuhan pendidikan anak
1.3
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah : 1.
Untuk mengetahui pengaruh skim kredit pundi kencana dari
Yayasan
Damandiri dalam meningkatkan kesejahteraan keluarga kurang mampu . 2.
Mengkaji pengaruh keluarga terhadap peningkatan sumber daya manusia melalui aspek pendidikan bagi anak mereka.
10
1.4 1.4.1
Manfaat Penelitian Bagi
peneliti,
pemberdayaan
untuk
memperoleh
pengetahuan
tentang
usaha
keluarga kurang mampu melalui program Yayasan
Damandiri. 1.4.2. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan dan kebijakan bagi pemerintah, organisasi kemasyarakatan baik berupa LSM ataupun yayasan dalam upaya meningkatkan pengetahuan tentang pemberdayaan keluarga kurang mampu. 1.4.3. Untuk Memperkaya studi dan kajian teoritik tentang kemiskinan terutama mengenai
pemberdayaan
terhadap
keluarga
kurang
peningkatan sumber daya manusia melalui pendidikan.
mampu
dan