BAB 1 PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Pesatnya perkembangan media komunikasi, baik cetak maupun elektronik dipengaruhi oleh teknologi yang semakin canggih. Film merupakan salah satu bagian media komunikasi, yakni komunikasi massa. Sebagai media komunikasi massa film mempunyai fungsi menyampaikan informasi, mendidik dan menghibur melalui cerita yang disajikan. Karena, Film merupakan karya seni estetika sekaligus sebagai alat informasi yang terkadang bisa menjadi alat penghibur, alat propaganda, serta medium untuk menyampaikan pesan (Kurnia, 2008, p. 7 & 138). Film dapat memproduksi pesan yang akan dikomunikasikan lewat pemanfaatan teknologi kamera, warna, dialog, musik dan suara menjadi tampilan audio dan visual yang terekspresikan menjadi sebuah karya seni dan sastra, yaitu antara adegan satu dengan adegan lainnya dirangkai membentuk cerita film sehingga isi pesan yang disampaikan dapat dengan mudah dipahami oleh audience-nya. Peredaran film pada saat ini memang jauh lebih berkembang daripada beberapa dekade lalu. Melihat sejarah perkembangan perfilman di Indonesia, pada tahun 1980-an adalah salah satu masa kejayaan dimana tema-tema yang diangkat adalah tema-tema bernuansa percintaan seperti Catatan Si Boy, Blok M dan lain-lain. Namun, setelah itu perfilman Indonesia mengalami masa suram yakni diawal dekade 1990-an sampai dengan awal dekade 2000-an perfilman Indonesia mengalami mati suri yang 1
2
ditandai dengan menurunnya jumlah produksi film nasional. Hal ini disebabkan krisis ekonomi yang melanda Indonesia serta maraknya sinetron di televisi-televisi swasta, sehingga membuat semua aktor dan aktris panggung dan layar lebar beralih ke layar kaca. Selain itu, kehadiran Laser Disc, VCD dan DVD yang semakin memudahkan masyarakat untuk menikmati film impor. Pasca mati suri, kini film Indonesia telah bergerak kembali, banyak bermunculan film dengan tema dan genre yang beragam bahkan booming dengan jumlah penonton yang sangat banyak. Seperti film Petualangan Serina dan Ada Apa Dengan Cinta menjadi pelopor kebangkitan film Indonesia dan memunculkan film-film dengan genre roman remaja yang menampilkan seputar percintaan remaja. Selain genre film roman ramaja, genre horror, dan komedi serta drama juga banyak bermunculan seperti kisah tentang perjuangan hidup, nlai-nilai moral dan masalah sosial. Pada rentang waktu lima tahun terakhir, film-film bertemakan permasalahan sosial marak di produksi. Salah satu permasalahan sosial yang seringkali ditampilkan dalam film adalah tentang masalah kemiskinan. Film menggambarkan kemiskinan dengan beragam latar dan alur cerita. Hal ini dikarenakan film turut dipengaruhi oleh pandangan hidup berbagai pihak yang berada di belakang layar. Film adalah arsip sosial yang menangkap jiwa zaman (zeitgeist) masyarakatnya (Imanjaya, 2006, p. 29). Dalam merepresentasikan kemiskinan film memiliki ciri khasnya masing-masing berbeda antara satu
3
dan yang lain tergantung tujuan dari pembuatnya. Penelitian yang dilakukan oleh Khrishna Sen yang tertulis dalam bukunya yang berjudul “Kuasa Dalam
Sinema”
menjelaskan
bagaimana
film-film
tahun
1970-an
merepresentasikan masyarakat kelas bawah sebagai pihak yang minor dalam strata sosial ekonomi. Seperti yang diketahui, pada dekade 1970-an memang sinema Indonesia cukup akrab dengan eksploitasi kemiskinan, sebut saja Yatim (1974), Sebatang Kara (1974), Jangan Biarkan Mereka Lapar (1975), Ratapan Si Miskin (1975), dan Nasib Si Miskin (1977). Modus ceritanya adalah melodrama yang ditunjukkan hingga menguras air mata. Protagonis dalam cerita adalah anak kecil atau remaja, yang di awal film kesulitan karena kemiskinannya dan makin sulit karena pada satu titik mengalami suatu bencana yang membuatnya yatim piatu. Protagonis pun merosot status kesulitannya dari kemiskinan menjadi kesengsaraan. Kemudian pada dekade 1980-an, dirilislah film Langitku Rumahku (1989) film ini melihat kemiskinan dengan sudut pandang yang berbeda, bercerita tentang persahabatan Andri dan Gempol. Andri adalah anak orang kaya dan Gempol berasal dari keluarga pemulung. Masih menampilkan protagonis dengan sosok anak remaja yang memiliki moral yang baik, etos kerja yang tinggi serta tidak mempunyai niat jahat untuk memanfaatkan Andri temannya yang kaya dan pada akhir cerita ternyata tidak membawa si miskin menjadi seseorang yang sukses. Mobilitas sosial yang sebelumnya
4
selalu dihamparkan dalam film-film bertema kemiskinan tidak ditunjukkan disini. Pada tahun 1998 film bertemakan kemiskinan yang tak kalah menarik adalah Daun di Atas Bantal karya Garin Nugroho, menceritakan tentang perjuangan warga miskin dalam mempertahankan hidupnya, bergelut dengan hiruk piuk kehidupan kota Yogyakarta, tiga anak jalanan yang memerankan tokoh sentral di film ini cukup menampilkan realitas kemiskinan di zamannya. Berdasarkan pernyataan di atas, diketahui bahwa setiap zaman memiliki konteks yang berbeda dalam penggambaran kemiskinan. Pada tahun-tahun terakhir ini dunia perfilman Indonesia pun memiliki beberapa film yang bertemakan kemiskinan yang mengambil sudut pandang yang berbeda dengan latar anak jalanan sebagai bagian dari kaum pinggiran, diantaranya Sepuluh (2009), Rumah Tanpa Jendela (2009), Rindu Purnama (2010), “Alangkah Lucunya (Negeri Ini)” (2010), Sang Lentera Menembus Keggelapan (2013). Penggambaran anak jalanan dalam film adalah salah satu bentuk realitas yang ada pada masyarakat zaman ini, memposisikan masyarakat miskin sebagai pihak yang tidak berdaya secara sosial. Fenomena anak jalanan ada dan dijumpai dalam masyarakat saat ini dan ini merupakan suatu fenomena sosial yang ada dalam masyarakat dalam jangka waktu yang cukup lama. Kehidupan keseharian mereka sering nampak dari tingkah laku mereka yang tidak sesuai dengan norma dan nilai sosial yang ada dalam masyaraka pada umumnya (Soetomo, 1995, p. 4).
5
Fenomena yang terjadi banyak anak jalanan yang berperilaku menyimpang, seperti membuat onar, ngelem, napzah dan bahkan seks bebas. Anak jalanan sebagai bagian dari kaum pinggiran kota adalah kelompok yang selalu tersisihkan bahkan terbuang. Anak jalanan umumnya merupakan pihak yang menerima dampak, menderita akibat adanya ketidakmerataan dan kualitas hidup masa depan terancam oleh karena tidak tercukupinya gizi, pemerataan kesehatan dan pendidikan. Sama halnya dengan pengemis dan pengamen, anak jalanan dianggap sebagai gangguan. Anak jalanan bukan hanya merupakan gangguan terhadap keamanan akan tetapi juga dianggap sebagai sampah masyarakat yang dapat mengancam masa depan suatu bangsa (Atmasamita, 1998, p. 7). Melihat mereka seakan merupakan sisi buruk dari wajah kota yang harusnya tertata bersih dan rapi. Keadaan ini adalah upaya membentuk mitos kota yang maju, bersih, rapi dan tertata, maka bagian yang menjadi pengganggu adalah hal yang tidak diinginkan kota. Anak jalanan adalah sisi yang tak pernah diinginkan oleh kota, namun mereka selalu ada dari semenjak jaman kemerdekaan hingga sekarang. Bahkan, keberadaannya tidak hanya tersebar di kota-kota besar saja, di daerah-daerah pun saat ini bisa kita temui anak jalanan. Meningkatnya anak jalanan dipicu oleh meningkatnya angka penduduk miskin di Indonesia. Oleh karenanya, keberadaan anak jalanan di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari dua isu global yaitu isu pekerja anak dan isu hak anak. Untuk mengatasi persoalan mengenai pekerja anak yang
6
berada dalam posisi dieksploitasi, sejak tanggal 2 September 1990, Persatuan Bangsa Bangsa menggunakan pendekatan hak anak (Anonym, Petunjuk Pelaksanaan Pembangunan Kesejahteraan Sosial Anak Jalanan Di 12 (Dua Belas) Provinsi, 2009, p. 3). Pada umumnya anak jalanan mengalami masalah ganda seperti kesulitan ekonomi, kurang perhatian dan kasih sayang orangtua, tidak bisa mendapat layanan pendidikan secara maksimal dan lain sebagainya. Kondisi ini didasari karena kondiri makro sosial ekonomi yang belum kondusif dan pada sisi lain ternyata masih terdapat pemahaman yang rendah mengenai arti penting anak oleh masyarakat, serta komitmen dan tanggung jawab orang tua atau keluarga yang cukup rendah, sehingga menyebabkan keterlantaran pada anak. Memang masalah anak jalanan saat ini seringkali divisualisasikan kedalam bentuk media komunikasi massa, seperti dalam film. Terlepas dari bahan propaganda atau tidak, terkadang sebuah film muncul memanfaatkan fenomena yang sedang hangat terjadi di masyarakat. Gearson dan Robert Flaherty dalam Prakosa memberi makna bahwa film sebagai alat perekam kehidupan empiris suatu masyarakat, serta memberikan pernyataan nilai film sebagai media naratif yang merekam secara jujur nilai-nilai sisoal yang terjadi dalam suatu masyarakat (Prakosa, 1997, pp. 19-20). Sejalan dengan hal itu, Sobur mengungkapkan bahwa selain membentuk kontruksi masyarakat akan suatu hal, film juga merupakan rekaman realitas yang tumbuh
dan
berkembang
dalam
masyarakat
dan
kemudian
7
memproyeksikannya ke atas layar (Sobur, Semiotika Komunikasi, 2006, p. 127). Film yang dipilih sebagai objek kajian pada penelitian ini adalah film cerita, yang berjudul “Alangkah Lucunya (Negeri Ini)”. Film “Alangkah Lucunya (Negeri Ini)” merupakan film yang diproduksi pada tahun 2010 yang disutradarai oleh Deddy Mizwar. Cerita dari film ini ditulis oleh Musfar Yasin, dan diperankan oleh Reza Rahadian, tika Bravani, Asrul Dahlan, Deddy Mizwar, Tio Pakusadewo, Slamet Rahardjo, Jaja Mihardja, Sakurta Ginting, M. Irfan Siagian, Angga Putra, Rina Hassim, Edwin “Bejo”, Robby Tumewu. Menyaksikan film “Alangkah Lucunya (Negeri Ini)”, audience diajak untuk masuk ke dalam gambaran sisi yang tak diinginkan yaitu anak jalanan. Bentuk dari sebuah kehidupan yang seringkali tidak ingin didengar, bahkan untuk dimasuki. Hidup menjadi anak jalanan bukanlah pilihan hidup yang diinginkan oleh siapapun, melainkan keterpaksaan yang harus mereka terima karena, adanya sebab tertentu. Film “Alangkah Lucunya (Negeri Ini)” diawali dengan seorang pemuda yang bernama Muluk, yang diperankan oleh Reza Rahadian. Ia merupakan sarjana managemen yang melamar pekerjaan di berbagai perusahaan namun ditolak. Pada suatu siang hari ketika melintasi pasar dikala mencari pekerjaan, Muluk memergoki seorang anak kecil mencopet dompet. Dengan geram muluk meringkus anak tersebut
dan
mengancam
melaporkannya
kepada
pihak
berwajib.
8
Berdasarkan inilah diangkatnya film bertajuk “Alangkah Lucunya (Negeri Ini)”. Suatu perjuangan yang keras bagi anak negeri ini. Ada beberapa ketertarikan peneliti yang dijadikan alasan dalam pemilihan film. Pertama, film yang mengandung unsur komedi namun aspek permasalahan sosial khususnya masalah anak jalanan yang terekontruksi di dalam film “Alangkah Lucunya (Negeri Ini)” sangat ditonjolkan dan dikemas sangat nyata. Kedua, film ini mendapatkan sorotan yang besar diberbagai media tanah air ketika film ini dirilis pada tahun 2010 dan menyedot penonton terbanyak diantara film yang bertemakan anak jalanan. Ketiga, ditahun yang sama berhasil meraih banyak penghargaan pada Festival Film Indonesia 2010 dan 2011. Keempat, film “Alangkah Lucunya (Negeri Ini)” menjadi film yang paling diunggulkan diantara film yang bertemakan anak jalanan (http://filmindonesia.or.id/movie/title/). Memang film “Alangkah Lucunya (Negeri Ini)” bukan kategori film baru dan sudah ada penelitian yang dilakukan kalangan akademisi terkait film “Alangkah Lucunya (Negeri Ini)”. Temuan-temuan kajian yang diperoleh dalam penelitian terdahulu digunakan sebagai inspirasi dan pijakan dalam penelitian ini. Penelitian sebelumnya, yang objeknya menyoroti seputar representasi kekerasan dan kritik sosial dalam film “Alangkah Lucunya (Negeri Ini)” menjadi kajian yang menarik. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Esti Retnowati tentang “Analisis Potret Kemiskinan Dalam Film “Laskar Pelangi” Dan “Alangkah Lucunya (Negeri
Ini)”,
penelitian
ini
menggunakan
analisis
hermeneutika,
9
berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan diperoleh bahwa kritik sosial yang terepresentasi pada kedua film terfokus pada wacana kemiskinan pada tataran struktural, yakni sebuah kondisi dimana kemiskinan yang dialami tokoh merupakan akibat dari kebijakan system masyarakat yang dianggap tidak adil. Hasil yang memberi pernyataan adanya konteks kemiskinan tersebut pada film “Laskar Pelangi” dan “Alangkah Lucunya (Negeri Ini)” memberi gambaran realitas kelompok masyarakat tertentu dengan kondisi ekonomi yang tidak memadai, dengan unsur kritik kepada pemerintah. Penelitian berikutnya adalah “Representasi Kekerasan Pada Anak (Analisis Semiotika Dalam Film “Alangkah Lucunya (Negeri Ini)”)” oleh Vetriani Maluda tahun 2013. Metode semiotik yang digunakan peneliti adalah metode semiotik dari John Fiske. Representasi kekerasan dilihat melalui tiga level yang dikemukakan oleh John Fiske, yaitu level realitas, level representasi dan level ideologi. Pertama, level realitas. Bagian yang mencakup pada level tersebut adalah penampilan, kostum, tata rias, lingkungan, tingkah laku, cara bicara, gerak tubuh dan ekspresi. Kedua, level representasi. Level representasi mencakup kamera, pencahayaan, editing,
musik. Ketiga,
level
ideologi.
Level
ideologi
mencakup
individualisme, patriarki, ras, kelas, materialisme, kapitalisme. Dengan teknik representasi tersebut Hasil dari penelitian ditemukan banyak macam representasi kekerasan oleh Bang jarot terhadap anak-anak copet didikannya dalam film “Alangkah Lucunya (Negeri Ini)”, antara lain memperlihatkan bahwasannya representasi kekerasan yang dilakukan oleh Bang Jarot
10
terhadap anak-anak copetnya, yakni dengan cara anak dipukul menggunakan koran, ditendak, dibentak, diremehkan, ditonjol bagian kepalanya hingga jatuh dan anak ditunjuk-tunjuk. Makna yang dapat dijelaskan dari hasil ini, kekerasan yang diperoleh anak jalanan bukan hanya pada jenis kekerasan fisik namun juga mendapat kekerasan verbal. Pernyataan yang terungkap dari beberapa penelitian tersebut menjadi aspek yang mendorong untuk melakukan kajian mendalam menyangkut bagaimana gambaran kehidupan anak jalanan dalam suatu konteks kemiskinan yang krusial dalam artian, adanya unsur ketidakadilan dalam sistem masyarakat. Bukan hanya membahas persoalan tindak kekerasan fisik dan verbal yang dialami oleh anak jalanan. Dalam penelitian ini anak jalanan dalam Film “Alangkah Lucunya (Negeri Ini)” dilihat dari sisi dan sudut pandang yang merujuk pada konteks kemiskinan yang terjadi di Indonesia sebagai suatu realitas sosial. Secara metode penelitian ini menggunakan semiotika Pierce dan secara substansi dari metode semiotika tersebut peneliti bermaksud mengungkap gambaran anak jalanan dalam berbagai sudut pandang. Plot cerita film “Alangkah Lucunya (Negeri Ini)” yang kental dengan keadaan anak jalanan yang setiap harinya berprofesi sebagai pencopet yang tinggal disuatu tempat yang kumuh yang dipimpin oleh seseorang dan anak jalanan tidak memperoleh pendidikan dalam sekolah formal membawa peneliti untuk meneliti mengenai gambaran anak jalanan dalam konteks kemiskinan pada film “Alangkah Lucunya (Negeri Ini)” yang berfokus pada
11
kegiatan, perilaku serta kondisi anak jalanan. Gambaran anak jalanan dalam kajian ini nantinya akan dilihat dari karakteristik yang juga merupakan kesehari-harian anak jalanan yang direpresentasikan dalam film “Alangkah Lucunya (Negeri Ini)” yang belum pernah mendapat perhatian peneliti lain sebelumnya. Pentingnya penelitian ini dilakukan karena, melihat sebuah permasalah sosial yang cukup krusial di masyarakat, yakni fenomena anak jalanan dan kemiskinan, serta film dengan cerminan realitas tersebut yang memberikan pesan sosial sebagai media informasi. Gambaran anak jalanan dalam film yang dikaji dari berbagai aspek ini sebagai suatu cerminan realitas yang ada dimasyarakat dapat membantu menciptakan landasan berpikir dan konsep dalam berbagai tindakan berkaitan dengan permasalahan sosial tersebut. Sedangkan pada asepk kajian semiotik yang dilakukan membantu memahami praktik representasi khususnya film terhadap fenomena tertentu yang ada di masyarakat. B.
Rumusan Masalah Dari pemaparan latar belakang di atas maka rumusan masalahnya adalah Bagaimana Representasi Anak Jalanan Pada Konteks Kemiskinan Di Indonesia Dalam Film “Alangkah Lucunya (Negeri Ini)” ?. untuk menjawab rumusan masalah di atas maka, dibuatlah pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana karakteristik fisik anak jalanan yang direpresentasikan dalam film “Alangkah Lucunya (Negeri Ini)”?
12
2. Bagaimana karakteristik psikis anak jalanan yang direpresentasikan dalam film “Alangkah Lucunya (Negeri Ini)”? 3. Bagaimana
situasi
konflik
yang
dihadapi
anak
jalanan
yang
direpresentasikan dalam film “Alangkah Lucunya (Negeri Ini)”? C.
Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui representasi anak jalanan pada Konteks Kemiskinan dalam film “Alangkah Lucunya (Negeri Ini)”.
D.
Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis Penelitian ini pada aspek kajian semiotik yang dilakukan diharapkan dapat memberi kontribusi dalam khasanah ilmu komunikasi dan media khususnya dalam representasi film, serta membantu dalam memahami praktik representasi dari suatu fenomena dalam sebuah medium khususnya medium berupa film. Dalam artian memahami praktik representasi dalam membentuk makna yang dapat menimbulkan konsensus-konsensus terhadap suatu kelompok atau golongan
yang
direpresentasikan oleh suatu medium film, melalui sistem tanda dan simbol yang diracik menjadi suatu kode tertentu yang dapat dimengerti oleh penontonnya. Hasil
juga
merupakan
satu
bagian
infomasi
menyangkut
permasalahan sosial, yang beresensikan gambaran anak jalanan pada konteks kemiskinan di Indonesia. Gambaran ini harapannya dapat
13
memberikan kontribusi dalam menginterpretasikan bagaimana kehidupan keseharian anak jalanan yang mencerminkan realitas permasalahan sosial, introspeksi terhadap stereotype anak jalanan sehingga anak jalanan tidak hanya dipandang sebelah mata oleh masyarakat dan menjadi landasan pemikiran menuju arah perbaikan dari segi sistem dan kebijakan pemerintah khususnya terkait anak jalanan. Serta, dapat menjadi inspirasi dalam penelitian-penelitian selanjutnya berkaitan dengan anak jalanan. 2. Manfaat praktis Hasil penelitian ini diharapkan: 1) Memberi tambahan informasi kepada berbagai pihak yang terkait dalam konstruksi kebijakan dalam penyelesaian permasalah sosial, seperti kemiskinan khususnya anak jalanan, melalui makna dari hasil penelitian yang dilakukan, khususnya dalam tindakan pemerataan pendidikan, kesejahteraan, serta perlindungan terhadap anak. 2) Membantu memberi dorongan kepada masyarakat dalam tindakan memperhatikan serta terlibat dalam penyelesaian permasalahan sosial khusunya kemiskinan berkaitan dengan anak jalanan. Dapat menjadi landasan pemikiran dalam melakukan segala bentuk keterlibatan berkaitan dengan anak jalanan. 3) Menjadi informasi yang mendukung dalam tindakan refleksi terhadap pihak produsen film, menjadi indikator dalam aspek ketersampaian pesan, melalui kompilasi makna secara general dari hasil kajian.
14
E.
Kerangka Pemikiran Sub bab ini akan memaparkan mengenai pemikiran dan teori yang dikemukakan oleh para ahli, sehingga diharapkan mampu membantu peneliti untuk menelaah dan mengkonstruksikan kerangka berpikir terkait dengan representasi permasalahan sosial dalam film. Untuk menjelaskan hal tersebut maka beberapa teori dan konsep yang akan digunakan adalah sebagai berikut: 1. Film Indonesia sudah mengenal film sejak abad ke-19 saat masih dijajah oleh pemerintah Hindia-Belanda. Menurut catatan sejarah, film Indonesia yang pertama adalah film bisu “Loetoeng Kasaroeng” pada tahun 1926 (Kurnia, 2008, p. 110). Saat ini ada berbagai macam film dengan cara pendekatan yang berbeda-beda, meskipun demikian film mempunyai sasaran, yaitu menarik perhatian masyarakat mengenai masalah-masalah dalam kehidupan sehari-hari apalagi jika hal tersebut berkaitan erat dengan realitas sosial. Film “Alangkah Lucunya (Negeri Ini)” adalah film yang mengangkat tema permasalahan sosial khususnya anaka jalanan yang nyata terjadi dilingkungan masyarakat Indonesia. Film diamati dan diteliti berdasarkan pembentuknya. Dua unsur utama pembentuk film adalah unsur naratif dan unsur sinematik. Untuk dapat menjadi sebuah film tentunya kedua unsur tersebut harus saling berinteraksi dan berkesinambungan satu sama lain. Unsur naratif berhubungan dengan aspek cerita atau tema film, seperti unsur tokoh
15
masalah, lokasi, waktu dan lain-lain, yang akan membentuk sebuah rangkaian peristiwa yang memiliki maksud dan tujuan (Brata, 2007, p. 33). Seluruh jalinan peristiwa tersebut terikat oleh sebuah aturan kausalitas atau sebab akibat. Aspek kausalitas bersama unsur ruang dan waktu inilah yang menjadi elemen-elemen pokok pembentuk naratif. Sedangkan, unsur sinematik merupakan aspek-aspek teknis dalam produksi film (Brata, 2007, pp. 34-35). Film dibangun dengan banyak tanda, namun yang terpenting adalah gambar dan suara. Sandar dan Loon dalam Sobur mengatakan bahwa film dan televisi memiliki bahasanya sendiri dengan sintaksis dan tata bahasa yang berbeda. Film pada dasarnya melibatkan bentuk simbol visual dan linguistic untuk mengkodekan pesan yang sedang disampaikan (Sobur, 2006, p. 103). Tata bahasa itu terdiri atas berbagai macam unsur yang akrab, misalnya seperti pemotongan (cut), pemotretan jarak dekat (close-up), pemotretan dua (twoshot), pemotretan jarak jauh (long shot), pembesaran gambar (zoom-in), pengecilan gambar (zoom-out), memudar (fade), pelarutan (dissolve), gerakan lambat (slow motion), gerakan yang dipercepat (speedded-up), dan efek khusus (special effect). Bahasa tersebut juga mencangkup kode-kode representasi yang lebih halus, yang tercangkup dalam kompleksitas dari penggambaran visual yang harfiah sehingga sombol-simbol yang paling abstrak dan arbiter serta metafora. Metafora visual sering menyinggung objek-objek dan simbol-simbol dunia nyata serta mengkonotasikan makna-makna sosial dan budaya.
16
Begitulah sebuah film pada dasarnya bisa melibatkan bentuk-bentuk simbol
visual dan linguistik
mengodekan
pesan
yang sedang
disampaikan (Sobur, 2006, p. 131). Dalam konsep Pierce dikenal adanya ikon, indeks dan simbol. Tanda-tanda inilah yang termasuk ke berbagai sistem tanda yang bekerjasama dengan baik untuk mencapai efek yang diharapkan terhadap suatu makna atau pesan yang ingin disampaikan oleh film sebagai media komunikasi massa. a. Unsur naratif Struktur naratif film terdiri dari tiga macam unsur, yaitu cerita dan plot, ruang dan waktu (Brata, 2007, p. 33). Jika, sebuah novel diadaptasi menjadi sebuah film, maka tidak semua isi cerita di dalam novel tersebut akan dimunculkan dalam film. dalam sebuah novel suasana sore hari yang teduh dapat dideskripsikan hingga beberapa puluh kata, namun di dalam film hal tersebut dapat dilakukan dengan hanya dengan satu shot saja. Artinya, Sineas dapat memilih serta meninggalkan bagian cerita tertentu tanpa meninggalkan inti alur cerita serta hukum kausalitas. Sineas dapat melompati bagian-bagian cerita yang dianggap penting. Sebuah cerita tidak mungkin terjadi tanpa adanya ruang. Ruang adalah tempat para pelaku cerita bergerak dan beraktivitas. Sebuah film biasanya terjadi pada suatu tempat atau lokasi dengan dimensi ruang yang jelas, yaitu dengan menunjuk pada lokasi dan wilayah
17
yang tegas, seperti di rumah si A, di kota B atau negara C. Latar cerita dapat menggunakan lokasi yang sesungguhnya ataupun rekaan. Dalam sebuah film dalam adegan pembukaan seringkali diberi keterangan dimana cerita film tersebut berlokasi untuk memperjelas penonton. Sebuah cerita tidak mungkin terjadi tanpa adanya unsur waktu. Terdapat 3 (tiga) aspek waktu yang berhubungan dengan naratif sebuah film, yakni urutan waktu, durasi waktu dan frekuensi waktu. Urutan waktu menunjuk pada pola berjalannya waktu cerita dari sebuah film. Pola ini ada dua, yaitu pola linier dan non linier. Pola linier adalah waktu yang berjalan sesuai dengan urutan peristiwanya tanpa adanya interupsi waktu yang signifikan. Sedangkan, pola non linier adalah pola yang memanipulasi urutan berjalannya waktu kejadian dengan merubah urutan plotnya sehingga membuat hubungan kausalitas menjadi tidak jelas (Brata, 2007, p. 34). Durasi waktu film rata-rata berkisar 90-120 menit, namun durasi cerita dalam film bisa memiliki rentang waktu yang panjang. Durasi cerita dapat memiliki rentang waktu hingga beberapa jam, hari, minggu, bulan bahkan tahun. Frekuensi waktu sebuah adegan umumnya hanya ditampilkan sesekali saja sepanjang cerita film, tetapi dalam beberapa kasus melalui penggunaan teknik kilas balik dan kilas depan, adegan yang sama dapat muncul kembali bahkan hingga berkali-kali.
18
b. Unsur sinematik Unsur sinematik terbagi menjadi 4 (empat) elemen pokok, yaitu: mise-en-scene, sinematografi, editing dan suara (Brata, 2007, p. 35). Mise-en-scene adalah segala hal yang terjadi di depan kamera yang akan diambil gambarnya dalam sebuah produksi film. Mise-enscene bagian dari unsur sematik yang paling mudah dikenali karena hampir seluruh gambar yang kita lihat dalam film adalah bagian dari unsur ini. Mise-en-scene ini memiliki 4 (empat) elemen pokok, yakni: 1) setting atau latar, 2) lighting atau tata cahaya, 3) make up atau kostum beserta tata rias akenakan pemain dengan seluruh aksesoris pernak-perniknya, 4) acting atau pergerakan pemain. Sinematografi mulai berperan disaat seluruh aspek mise-enscene telah tersedia dan sebuah adegan telah siap untuk diambil gambarnya. Unsur sinematografi dibagi menjadi 3 (tiga) aspek, yaitu: 1) kamera dan film, 2) framing, 3) durasi gambar. Dalam film terdapat beberapa teknik pengambilan gambar, seperti gambar yang diambil sedekat mungkin dengan objek (extreme close up), pengambilan gambar jarak dekat (close up), pengambilan gambar dari kepala sampai dada (medim close up), pengambilan gambar dari kepala sampai pinggang (medium shot), pengambilan gambar jarak jauh (long shot), pengambilan gambar seluruh badan objek (full shot) (Berger, 2010, p. 32).
19
Editing adalah proses pemilihan dan penyambungan gambargambar yang telah diambil dan teknik-teknik yang digunakan untuk menghubungkan tiap shotnya. Transisi shot dalam film dilakukan dalam empat bentuk, yaitu cut (transisi shot ke shot), fade in dan fade out (transisi shot secara bertahap dimana gambar perlahan intensitasnya bertambah gelap atau bertambah terang), dissolve (transisi shot dimana pada shot sebelumnya selama sesaat bertumpuk dengan shot setelahnya), serta wipe (transisi shot dimana frame sebuah shot bergeser kearah, kiri, kanan, atas, bawah atau lainnya hingga berganti menjadi shot baru). Tekning editing memungkinkan para sineas untuk memilih atau mengontrol empat wilayah dasar, yakni kontinuitas grafik, aspek ritmik, aspek spasial dan aspek temporal. Kontinuitas grafik dapat dibentuk oleh usur mise-en-scene dan sinematografi, dengan menggunakan aspek bentuk, warna, komposisi, pergerakan, set, kostum, tata cahaya dan sebagainya. melalui aspek ritmik sineas dapat mengatur ritme editingnya melalui durasi shot yang sama, semakin pendek atau panjang. Aspek spasial memungkinkan bagi sineas untuk memanipulasi ruang dan waktu. Berdasarkan aspek temporal editing dapat dibagi menjadi editing continue
dan
editing
discontinue.
Editing
continue
adalah
perpindahan shot langsung tanpa terjadi lompatan waktu dan sebaliknya.
20
Suara dalam film dapat kita pahami sebagai seluruh suara yang keluar dari gambar, yag terdiri atas: 1) dialog, bahasa komunikasi verbal yang digunakan semua karakter atau tokoh di dalam maupun di luar cerita film (naskah), 2) musik, salah satu elemen penting dalam memperkuat nuansa serta suasana sebuah film, 3) Efek suara atau noise, suara tambahan selain suara dialog lagu dan musik. 2. Representasi Mampu menjadi sebuah media representasi adalah salah satu kelebihan dari film. Sebagai media representasi, film mampu mengkontruksi dan menghadirkan kembali realitas yang ada di dalam masyarakat melalui system kode, konveksi, mitos dan ideologi budaya masyarakat secara spesifik. Pembuat film menggunakan konvensikonvensi representasi dan segala perlengkapan yang tersedia di dalam kebudayaannya untuk membuat sesuatu yang segar tapi familiar, baru tapi bersifat umum, individual namun representative (Turner, 1999, pp. 152-153). Istilah
representasi
merupakan
proses
dimana
realitas
dikomunikasikan melalui kata-kata, bunyi dan kombinasinya (John, 2004, p. 282). Representasi dapat pula berarti penggambaran dunia sosial dengan cara yang tidak lengkap dan sempit. Meskipun, kadang-kadang produk media yang sifatnya fantasi dan fiksi, tetapi berpotensi untuk memberikan gambaran pada khalayak tentang masyarakat. Di satu sisi, film merujuk pada realitas sosial dan dari sisi lain film memperkuat
21
persepsi yang direkontruksi media (Currie, 1995, p. 110). Representasi menurut Hall: “Pada hakikatnya menghubungkan antara sesuatu, konsep dan tanda dalam sebuah proses produksi makna lewat bahasa yang secara sederhana dipahami sebagai suatu proses produksi makna tentang konsep yang ada dalam pikiran kita lewat bahasa” (Hall, 1997, p. 15) Artinya representasi merupakan bagian penting dari sebuah proses pertukaran makna, dimana makna diproduksi dan dipertukarkan antara anggota melalui budaya. Pengertian representasi bukan semata tentang kehadiran sesuatu melalui medium tertentu. lebih dari itu, representasi adalah sebuah kehadiran makna melalui tanda dalam beragam bentuk, dari tanda tersebut seseorang bisa memberikan makna tentang sesuatu kepada orang lain yang berada dalam sesuatu kebudayaan. Dalam proses tersebut ada penggunaan bahasa, tanda-tanda dan tampilan gambar untuk mewakili atau merepresentasikan sesuatu. Misalnya, ketika kita melihat piring, kita dapat memahami makna benda tersebut yaitu wadah yang biasa digunakan untuk makan. Di dalam proses tersebut, persepsi visual terhadap fisik benda itu di-decode dipikiran kita dan dikaitkan dengan konsep-konsep yang sudah kita miliki sehingga akhirnya kita dapat mengartikan benda itu sebagai piring untuk makan. Sehingga, dapat diartikan bahwa representasi merupakan sebuah proses sosial pemaknaan melalui system penandaan.
22
Terdapat 2 (dua) jenis proses representasi. Pertama, representasi mental, yaitu suatu konsep yang ada di kepala kita masing-masing (peta konseptual). proses represntasi mental memungkinkan kita untuk memahami
dunia
dengan
mengkonstruksi
seperangkat
rantai
korespondensi antara sesuatu dengan sistem “peta konseptual” kita. Jenis yang kedua, representasi bahasa, yang berperan penting dalam konstruksi makna. Bahasa merupakan salah satu media yang mampu menjadi wadah dalam merepresentasikan pemikiran, ide, perasaan di dalam budaya. Konsep abstrak yang ada dalam kepala kita harus diterjemahkan dalam bahasa yang lazim, supaya kita dapat menghubungkan konsep dan ideide kita tentang sesuatu dengan tanda dan simbol-simbol tertentu. Dalam
proses
representasi
bahasa,
kita
mengkonstruksi
seperangkat. rantai korespondensi antra “peta konseptual” dengan bahasa atau simbol yang berfungsi merepresentasikan konsep-konsep kita tentang sesuatu. relasi antara “sebuah konsep”, “peta konseptual” dan “bahasa/simbol” merupakan jantung dari produksi makna lewat bahasa. proses yang menghubungkan ketiga element secara bersama-sama itulah yang dinamakan representasi. Dalam pemahaman ini, bila dijabarkan secara sederhana, representasi merupakan praktek dalam membuat makna. makna dibentuk dengan menggunakan tanda dan simbol melalui bahasa untuk membuat kode yang bermakna.
23
3. Anak jalanan dan kemiskinan Realitas sosial adalah kenyataan sosial atau peristiwa sosial yang terjadi secara nyata. Realitas sosial dalam sinema menunjukkan sebuah peristiwa yang terjadi di dunia nyata yang diimajinasikan kembali oleh sutradara dalam sebuah karya film. Salah satu realitas sosial yang sering hadir dalam film adalah mengenai permasalahan sosial. Film Indonesia bertumpu pada realism formal yang bergantung di suatu masyarakat tertentu, penggambaran suatu masyarakat inilah yang dimaksud dengan penggambaran sosial. Film yang dihasilkan sebagian besar menggambarkan kondisi masyarakat Indonesia dengan segala masalahnya, seperti pendidikan, kesehatan, politik, kemiskinan dan sebagainya. Kemiskinan merupkan masalah sosial yang bersifat global, artinya kemiskinan merupakan masalah yang dihadapi dan menjadi perhatian banyak orang di dunia ini. Permasalahan yang dihadapi oleh setiap Negara, termasuk Indonesia. Kemiskinan menurut PBB dalam Gujarati didefinisikan sebagai kondisi seseorang tidak dapat menikmati segala macam pilihan dan kesempatan dalam pemenuhan kebutuhan dasarnya, seperti tidak dapat memenuhi kesehatan, standar hidup, kebebasan, harga diri dan rasa dihormati seperti orang lain (Gujarati, 1995, p. 18). Kemiskinan di Indonesia secara klasifikasi tersebar di 3 (tiga) wilayah, yaitu perdesaan, pesisir dan perkotaan. Samir Ridwan dan Torkel Alfthan dalam Sumardi menjelaskan bahwa keperluan minimum dari seorang
24
individu, yaitu makan, pakaian, perumahan, kesehatan, pendidikan, air dan sanitasi, transportasi, partisipasi (Sumardi M. , 1982, p. 2). Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dalam Wiratama memberi definisi kemiskinan sebagai suatu kondisi yang seseorang atau sekelompok orang tidak mampu hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar tersebut, diantaranya: 1) terpenuhinya kebutuhan pangan, 2) kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan, 3) rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan, 4) hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial politik (Wiratama, 2014, p. 11). Menurut Suryawati dalam Sudrajat menyatakan kemiskinan sebagai suatu intergrated concept dengan 5 (lima) dimensi, yaitu: 1) kemiskinan, 2) ketidakberdayaan, 3) kerentanan
menghadapi
situasi
darurat,
4)
ketergantungan,
5)
keterasingan baik secara geografis maupun secara sosiologis. Bukan hanya persoalan ekonomi namun, aspek pendidikan dan kesehatan yang rendah, perlakuan tidak adil dalam hukum, kerentanan terhadap kriminalitas, dan ketidakberdayaan merupakan deminesi kemiskinan (Sudrajat, 2014, p. 9). Beban kemiskinan paling besar terletak pada kelompok-kelompok tertentu, kaum anak pada umumnya merupakan pihak yang dirugikan. Dalam keluarga anak-anak merupakan pihak yang seringkali menerima dampak, menderita akibat adanya ketidak merataan dan kualitas hidup
25
masa depan mereka terancam oleh karena tidak tercukupinya gizi, pemerataan kesehatan dan pendidikan (Bahri, 2005, p. 9). Saat ini kondisis kemiskinan di Indonesia diperjelas dengan begitu banyaknya pengangguran, sehingga menjadi begitu banyak para orangtua yang tidak mampu untuk menyekolahkan anak-anaknya, sehingga para anak-anak tersebut menjadi anak jalanan, tidur di jalan, mengamen, meminta-minta, bahkan mengambil dari yang bukan hak mereka. Berkaitan dengan kondisi kemiskinan Lewis menyatakan penyebab seorang anak menjadi anak jalanan adalah akibat gejala tertentu yang didasari oleh adanya budaya kemiskinan, baik dalam domain keluarga maupun individu. Lewis dalam Adirahayu menjelaskan ciri-ciri dari budaya kemisikinan pada domain keluarga, yakni: masa kanak-kanak yang singkat dan kurang pengasuhan dari orang tua, tingginya kejadian perpisahan antara ibu dan anak-anaknya, serta longgarnya nilai-nilai perkawinan. Sedangkan pada domain individu ciri-ciri yang tampak yakni: kuatnya perasaan tidak berharga, rendah diri dan kecenderungan untuk bergantung dengan orang lain, lemahnya kepribadian dan seringkali terdapat kekacauan indentitas, serta berbagai gangguan jiwa, kurangnya penguasaan diri, kurang sabar, cepat menyerah dan berorientasi hanya pada kondisi yang ada sekarang (Adirahayu, 2005, pp. 101-102). Makna dibuat dalam representasi dan dipertukarkan oleh anggota masyarakat dalam kebudayaan yang sama. Maka, untuk pemahaman
26
lebih lanjut mengenai representasi anak jalanan pada konteks kemiskinan ini. Kita harus melihat bagaimana makna mengenai anak jalanan itu sendiri di Negara ini, Indonesia. Sebagai suatu fenomena yang berskala internasional, anak jalanan adalah masalah yang muncul disetiap generasi dihampir setiap Negara. Di Indonesia, anak jalanan adalah sebuah fenomena sosial yang cukup serius. Sampai saat ini, populasi anak jalanan di kota-kota besar di indonesia terus bertambah dan semakin beragam aktifitasnya. di berbagai kota besar nyaris disetiap tempat umum dan perempatan lampu merah sangat banyak ditemui anak jalanan yang terus berkembang (Suyanto & Dwinarwoko, 2010, p. 182). Sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, yang dimaksud seorang anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Anak jalanan adalah anak yang berada pada rentang usia wajib belajar 9 (sembilan) tahun (di bawah 18 tahun) yang mengahabiskan sebagian waktunya atau seluruh waktunya dijalanan dengan melakukan kegiatan-kegiatan untuk mendapatkan uang atau guna mempertahankan hidupnya (Ishaq, 1998, p. 2). Anak jalanan sendiri pada umumnya merupakan anak yang berasal dari latar belakang yang berbeda-beda. Menurut Nugroho yang harus diingat jika kita menggunakan istilah anak jalanan maka, ada 2 (dua) pengertian yang harus dipahami. Pertama, pengertian sosiologis, yaitu menunjuk pada aktivitas kelompok yang berkeluyuran di jalan-jalan,
27
orang awam mengatakan sebagai kenakalan anak dan perilaku mereka dianggap mengganggu ketertiban sosial. kedua, pengertian ekonomi menunjuk pada aktivitas sekelompok anak (pekerja anak) yang terpaksa mencari nafkah di jalan karena, kondisi ekonomi orangtua yang miskin (Nugroho, 2003, p. 97). Departemen Sosial dalam Pardede menjelaskan bahwa anak jalanan adalah anak yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mencari nafkah dan berkeliaran di jalan-jalan dan tempat-tempat umum lainnya. Senada dengan hal itu, Martini dan Agustina dalam Pardede secara umum mengungkapkan bahwa pendapat yang berkembang di masyarakat mengenai anak jalanan adalah anak-anak yang berada di jalanan untuk mencari nafkah dan menghabiskan waktu untuk bermain, tidak bersekolah dan kadang kala ada pula yang menambahkan bahwa anak-anak jalanan mengganggu ketertiban umum dan melakukan tindak kriminal (Pardede, 2008, p. 147). Berdasarkan Modul Pelayanan Sosial Anak Jalanan, seorang anak dikatakan anak jalanan bilamana mempunyai indikasi, yakni: 1) usia dibawah 18 tahun, 2) orientasi hubungan dengan keluarga adalah hubungan yang sekedarnya, tidak ada komunikasi yang rutin diantara mereka, ada yang hubungan sosialnya bertemu sesekali bahkan ada yang sama sekali tidak berhubungan dengan keluarganya, 3) orientasi waktu, masa kini dan waktu yang dihabiskan di jalanan lebih dari 4 (empat) jam setiap harinya, 4) orientasi tempat tinggal, ada yang tinggal bersama
28
orang tua, tinggal dengan teman sekelompoknya, tindak mempunyai tempat tinggal, tidur disembarang tempat, 5) orientasi tempat berkumpul mereka adalah tempat-tempat yang kumuh dan kotor, tempat berkumpulnya orang-orang. Misalkan pasar, terminal bus, stasiun kereta api, 6) orientasi aktivitas pekerjaan, aktivitas yang mereka kerjakan adalah aktivitas yang berorientasi pada kemudahan mendapatkan uang sekedarnya untuk menyambung hidup, seperti menyemir sepatu, mengasong, menjajakan koran/ majalah, menjadi pemulung, mengamen, dan menjadi penghubung atau penjual jasa, 7) pendanaan dalam aktivitasnya berasal dari modal sendiri, kelompok, majikan ataupun bantuan, 8) permasalahan-permasalahan yang dihadapi anak jalanan, seperti: korban eksploitasi seks, terlibat criminal, konflik dengan kelompok lain atau teman kelompok, potensi kecelakaan lalu lintas, ditolak masyarakat, 9) kebutuhan-kebutuhan anak jalanan, seperti: rasa aman, kasih sayang, kebutuhan sandang, pangan dan kesehatan, kebutuhan pendidikan, bimbingan keterampilan, bantuan usaha dan harmonisasi hubungan social dengan keluarga dan masyarakat (Anonym, 2005, p. 12). Karakteristik anak jalanan sering dilihat dari penampakan fisik dan kondisi psikis mereka. Fisik meliputi warna kulit kusam, rambut kemerah-merahan, kebanyakan berbadan kurus, pakaian tidak terurus. Psikis meliputi mobilitas tinggi, acuh tak acuh, sangat sensitif, berwatak keras, sulit diarahkan, berani mengambil resiko, mandiri (Anonym,
29
1996, p. 3). Kondisi fisik adalah kondisi semua keadaan yang terdapat disekitar tempat hidup yang akan berpengaruh pada individu tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung dan kondisi psikis atau psikologis adalah kondisi karakteristik psikofisik manusia sebagai individu yang dinyatakan dalam berbagai bentuk perilaku dalam interaksinya dengan lingkungan (Sukmadinata, 2005, p. 50). Dalam tulisan yang berjudul “Anak yang Membutuhkan Pendidikan Layanan Khusus” memaparkan tentang karakteristik anak jalanan secara kompleks, yaitu: mempunyai pribadi yang unik, hidupnya bebas/liar, semaunya sendiri, penampilannya kucel dan lusuh, hidup tidak teratur dan sulit melaksanakan peraturan, memiliki mobilitas yang tinggi, mengalami dewasa sebelum waktunya, gairah hidup rendah, dan cenderung tidak menghargai hidup, minat belajar rendah, ada kemungkinan frustasi terhadap pendidikan, konsentrasi kurang memiliki loyalitas dan solidaritas tinggi terhadap orang yang dipercayainya, cenderung membentuk sebuah komunitas tersendiri, memiliki kreatifitas yang tinggi, dan memiliki kemandirian serta survival yang tinggi. Sedangkan, yang berkaitan dengan problema yang dihadapi oleh anak jalanan yakni, sering berkelahi dengan sesama anak jalanan lainnya, ekploitas kerja terlibat tindakan criminal, kekerasan seksual, rawan kecelakaan lalu lintas, rawan pengedaran obat-obat terlarang/narkoba, sering berurusan dengan tramtib/razia, perkembangan kejiwaan kurang
30
baik, ditolak oleh masyarakat, dan rawan penyakit menular (HIV/AIDS) (Nandi, 2006, pp. 15-16). Perilaku anak jalanan dapat juga digambarkan sebagaimana tabel berikut1: Tabel 1. Perilaku sosial anak jalanan Aspek
Anak yang hidup di jalan
Waktu Ruang lingkup Tempat tinggal Hubungan dengan orangtua Latar belakang
24 Jam Semua fasilitas jalan dan public space Jalanan dan public space Terputus Non ekonomi, kekerasan, penolakan, penyiksaan, perceraian dan lain-lain Aktivitas Berkeliaran dan berganti-ganti pekerjaan, mengamen, mencopet, mengasong, mengemis, menyemir sepatu dan lain-lain Sifat hidup Berpindah-pindah Sikap Curiga, susah diatur, liar, sensitif, reaktif, tertutup, bebas Perilaku/ norma Mengembangkan nilai subkultur jalanan untuk survival Jenis masalah Eksploitas pekerjaan, kriminalitas, seksual, kesehatan Frekuensi masalah Sering dan banyak terjadi, kurang/ tidak ada kontrol orangtua Sumber: Dinas Sosial Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Dari pemaparan mengenai pengertian dan karakteristik anak jalanan di atas dapat memberikan menggambarkan mengenai anak jalanan yang secara umum dapat dilihat dari aspek fisik, psikis, dan permasalahan yang dihadapi oleh anak jalanan. Pertama, aspek fisik pada anak jalanan dapat dilihat berdasarkan kondisi dari tampilan tubuh, 1
Hasil wawancara kepada Bpk Yosef staf Dinas Sosial Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada bulan Juni 2014
31
tempat tinggal dan tempat berkumpul serta berkaitan dengan aspek kebutuhan anak jalanan seperti pada konsepsi yang telah dipaparkan dalam Anonym 20052. Karakteristik anak jalanan pada aspek ini meliputi tempat yang kumuh dan kotor, kondisi tubuh yang kumal, tidak terurus yang berkaitan erat dengan pemenuhan kebutuhan hidup. Kedua, aspek psikis, yakni meliputi sikap dan perilaku anak jalanan dalam menghadapi berbagai keadaan baik berkaitan dengan diri sendiri maupun interaksi dengan orang lain. Karakteristik psikis anak jalanan meliputi watak yang keras, tertutup, susah untuk diarahkan, curiga, bebas, liar, sensitif dan reaktif. Ketiga, aspek permasalahan yang dihadapi adalah kehidupan anak jalanan dengan ciri yang cenderung memiliki konflik sosial dan berada pada kondisi yang dirugikan. Situasi konflik yang dihadapi anak jalanan berdasarkan konsep yang telah dijelaskan, yakni mencakup latar permasalahan yang dihadapi anak jalanan, diantaranya mengalami eksploitasi, terjerat perilaku kriminal, dan mengalami tindak kekerasan fisik dan mental. Situasi konflik yang dihadapi oleh anak jalanan tersebut tentunya berkaitan dengan aktivitas yang dilakukan dengan orientasi tertentu yang dimiliki serta keterkaitan dengan pihak tertentu, seperti orientasi bertahan hidup dijalanan dengan melakukan perilaku taat kepada subkultural jalanan untuk survive yang juga menjadi penyebab situasi konflik tersebut.
2
Lihat hal. 28
32
4. Analisis semiotika Pierce Menurut Littlejohn, studi mengenai tanda-tanda dan bahasa merupakan inti utama dari teori komunikasi, karena tidak hanya menunjukkan arah untuk memahami komunikasi, tetapi juga memiliki dampak yang luar biasa pada hampir semua perspektif yang dikerjakan dalam teori komunikasi (Littlejohn, 2002, p. 72). Keberadaan semiotika dalam komunikasi sebenarnya sudah ada sejak diumumkannya “perang aliran” antara kelompok aliran Frankfurt yang dimotori pakar media Marxisme dengan kelompok Chicago. Hal ini terungkap melalui karya Matterlart, How to Read Donald Duck. Matterlart melihat bahwa komik Disney
sebenarnya
memiliki
muatan
ideologi
kapitalisme
dan
imperialism. Kelompok Frankfurt membantah keras anggapan yang menyatakan media semata-mata berwajah netral dan berjasa dalam memberikan informasi penting dan hiburan. Perdebatan teoritik ini menghasilkan dikotomi aliran dalam ilmu komunikasi, yang disebut tradisi atau aliran proses, linier, tradisional atau Laswellian, dan tradisi kritis Marxis, yang banyak dikembangkan oleh pakar media Eropa sehingga disebut tradisi Eropa (Sobur, 2001, p. 122). Semiotika pada dasarnya merupakan sebuah studi atas kode-kode, yaitu system apapun yang memungkinkan kita memandang entitasentitas tertentu sebagai tanda-tanda atau sebagai sesuatu yang bermakna. Premis dasar dari semiotika adalah semua aspek hubungan sosial (tata karma, cara berpakaian) ditunjukkan sebagai tanda yang dibaca atau
33
dimengerti dengan kode yang dimengerti bersama. Jika strukturalisme menitik beratkan pada menemukan makna di bawah permukaan teks (the what), semiotika menitik beratkan pada system yang membentuk makna (the how). Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Peran utama semiotika media adalah untuk mempelajari bagaimana media massa membuat atau mengolah tanda untuk tujuannya masing-masing dengan mempertanyakan apa makna sesuatu atau apa yang
direpresentasikan?,
bagaimana
tanda
tersebut
memperkuat
maknanya?, serta mengapa tanda tersebut memiliki makna seperti itu?. Dalam semiotika ada 2 (dua) aliran, yaitu Pierce yang berangkat dari logika dan Saussure yang bertumpu pada ilmu bahasa. Tradisi semiotika Saussurean sering disebut “semiotika signifikasi” yang berbasis pada elemen-elemen sebuah tanda di dalam sebuah system yang kompleks. Saussure terkenal dengan istilah-istilah dikotomis dalam memahami semiotikanya. Sedangkan Pierce dikenal dengan konsep triadik dan trikotominya. Prinsip dasar dari tanda triadik bersifat representatif. Berdasarkan prinsip ini, tanda menjadi wakil yang menjelaskan sesuatu: Pierce called the perceivable part of the sign a representemen (literally “soothing that does the representing”) and the concept that it encodes the object (hiterally “something cast outside for observation”). He termed the meaning that someone gets from the sign the interpretant. Rumusan ini
34
mengimplikasikan bahwa makna sebuah tanda dapat berlaku secara pribadi, sosial atau bergantung pada konteks khusus tertentu. Adapun alasan penggunaan metode semiotika Pierce pada penelitian ini, yakni bagi Pierce, semiotika bersinonim dengan logika. Logika harus mempelajari bagaimana orang harus bernalar. Penalaran ini menurut hipotesis teori Pierce yang mendasar, dilakukan dengan tanda-tanda. Secara harfiah, Pierce mengatakan bahwa seseorang hanya berpikir dalam tanda. Tanda merupakan unsur komunikasi. Tanda hanya berarti tanda apabila ia berfungsi tanda. Semiotika Pierce merupakan konsep dasar berkaitan dengan tanda dan logika. Teori Pierce menjadi teori mutakhir dan paling banyak dipakai dalam berbagai bidang tidak lepas dari gagasan yang bersifat menyeluruh (mengaitkan unsur tanda secara logis), serta deskripsi struktural dari semua sistem penandaan (Sobur, 2006, p. 97). Selain itu, semiotika Peirce bersifat pragmatik, yakni semiotika yang mempelajari hubungan di antara tanda-tanda dengan interpreternya atau para pemakainya (Budiman, 2011:4). Fungsi esensial sebuah tanda adalah menjadikan relasi yang tidak efisien menjadi efisien, baik dalam komunikasi kita dengan orang lain, maupun dalam pemikiran dan pemahaman kita tentang dunia. Tandatanda memungkinkan kita untuk berpikir, berhubungan dengan orang lain dan memberi makna pada apa yang ditampilkan oleh alam semesta (Zoest, 1996, p. 1). Representamen berfungsi sebagai tanda. Perlu dicatat bahwa secara teoritis, Pierce menggunakan istilah representamen dengan
35
merujuk pada triadik secara keseluruhan. Namun, secara terminologis ia kadang-kadang menggunakan istilah sign alih-alih representamen. Object adalah sesuatu yang diwakili oleh representamen yang berkaitan dengan acuan. Object dapat berupa representasi mental (ada dalam pikiran), dapat juga berupa sesuatu yang nyata di luar tanda. Interpretant merupakan
makna
dari
tanda.
Pada
beberapa
kesempatan,
ia
menggunakan istilah significance, signification atau interpretantion. Tanda sendiri tidak dapat mengungkapkan sesuatu, tanda hanya menunjukkan.
Tugas
penafsir
pemberi
makna
berdasarkan
pengalamannya (Noth, 1995, pp. 42-43). Ketiga elemen yang telah disebutkan, yakni representament, object dan interpretant dapat digambarkan sebagai berikut (Sobur, 2001, p. 116): Object
Representament
Interpretant
Gambar 1. Segitiga semiosi Pierce. Sumber: Alex Sobur. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik Dan Analisis Framing. 2001, p. 116 Dalam konteks semiotika, film menggunakan 3 (tiga) kategori tanda, yaitu ikon (dengan menirukan gambar dan suara), indeks (dengan menampilkan sesuatu yang “nyata”) dan symbol (dengan menampilkan
36
dialog dan tulisan) (Stam, Burgoyne dan Lewis, 1992, p. 31). Pertama, ikon adalah tanda yang hubungan antara penanda dan petanda bersifat besamaan bentuk alamiah, atau dengan kata lain ikon adalah hubungan antara tanda dan objek atau acuan yang bersifat kemiripan misalnya potret dan peta. Lebih jelasnya sebuah tanda bersifat ikonik apabila terdapat kemiripan rupa (resemblance) antara tanda dan hal yang diwakilinya. Di dalam ikon hubungan antara tanda dari objeknya terwujud sebagai “kesamaan dalam beberapa kualitas”, yakni kesamaan atau “kesesuaian” rupa yang terungkap oleh tanda dan dapat dikenali oleh penerimanya. Sebuah diagram, peta atau lukisan misalnya, memiliki hubungan ikonik dengan objeknya sejauh diantara keduanya terdapat keserupaan. Ciri ini juga tampak dalam bahasa sebagai gejala onomatopea, misalnya kukuruyuk didalam bahasa Indonesia yang pada batas tertentu meniru suara ayam (Budiman, 2005, p. 4). Pada dasarnya ikon merupakan tanda yang bisa menggambarkan ciri utama sesuatu meskipun sesuatu yang lazim disebut sebagai objek acuan tersebut tidak hadir. Hubungan antara tanda dengan objek dapat juga direpresentasikan oleh ikon dan indeks, namun ikon dan indeks tidak memerlukan kesepakatan. Ikon adalah suatu benda fisik (dua atau tiga dimensi) yang menyerupai apa yang direpresentasikannya. Kedua, indeks adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda dan petanda atau tanda memiliki hubungan langsung dengan objeknya yang bersifat kausal (sebab akibat), atau tanda
37
yang langsung mengacu pada kenyataan. Lebih jelasnya, sebuah tanda disebut sebagai indeks apabila terdapat hubungan fenomenal atau eksitensial diantara tanda dan hal yang ditandainya. Di dalam indeks hubungan antara tanda dan objek bersifat konkret, aktuan dan biasanya melalui cara yang sekuensial atau kausal. Misalnya jejak-jejak telapak kaki dipermukaan tanah merupakan indeks dari seseorang yang telah lewat disana. Begitu juga dengan ketukan pada pintu yang merupakan indeks dari kehadiran atau kedatangan seseorang (Budiman, 2005, p. 51). Indeks adalah tanda yang hadir secara asosiatif akibat terdapatnya hubungan ciri acuan yang sifatnya tetap. Misalnya kata rokok, memiliki indeks asap. Hubungan indeksial antara rokok dengan asap terjadi karena terdapatnya hubungan ciri yang bersifat tetap antar rokok dengan asap. Kata-kata yang memiliki hubungan indeksial masing-masing memiliki ciri utama secara individual. Ciri tersebut antara yang satu dengan yang lain berbeda dan tidak dapat saling menggantikan. Misalnya ciri utama pada rokok berbeda dengan asap. Ketiga, simbol adalah tanda konvensional jadi simbol adalah tanda yang
menunjukkan
petandanya.
hubungan
Hubungan
alamiah
diantaranya
antara
bersifat
penanda
arbitrer
dengan
atasemena,
hubungan berdasarkan konvensi (perjanjian) masyarakat. Lebih jelasnya lagi simbol merupakan salah satu jenis tanda yang bersifat arbitrer dan konvensional. Dengan demikian berdasarkan pengertian ini, simbol merupakan ekuivalen pengertian tanda dari Saussure. Hal yang paling
38
penting untuk dicatat adalah kedua penemu semiotik ini saling berkesesuaian mengenai masalah yang penting tersebut. Istilah simbol biasa dipergunakan secara luas dengan pengertian yang beraneka ragam dan dengan demikian tentunya harus dipahami secara hati-hati. Kemudian istilah simbol dalam pandangan Pierce dalam istilah seharihari lazim disebut kata (word), nama (name) dan label. Oleh sebab itu tidak mengherankan apabila pengertian tanda, simbol, maupun kata seringkali tumpang tindih (Sobur, 2006, pp. 158-159). Tipologi dasar dari Pierce dapat dilihat pada tabel berikut (Danesi & Perron, 1999, pp. 74-75):
39
Tabel 2. Tipologi dasar Pierce Mode of representation
Firstness: icons (physical substitute for the refents)
Secondness: index (they are not substitute for their referents) Thirdness: symbols (the sign-user and the referent are linked to each other by the force of historical and social convention)
Type of representamen (SIGN)
Relation of the sign to its referent (OBJECT) Qualisign: refers Iconic: to qualities of representation objects through (adjectives, resemblance color, shape, (photo, diagram, etc) image, metaphor, etc) Sinsigns: Indexical: indicate objects representation in timespace through (pointing finger, indication here, there, etc) Legisigns: refer to objects by convention
Symbols: representation by convention (word, symbols, etc)
Type of interpretant the sign evokes Rheme: interpretants of qualisigns
Dicisign: interpretants of sinsigns
Argument: interpretant of legisign
Sumber: M., Danesi & P. Perron. Analyzing Culture, An Introduction And Handbook. 1999, pp. 74-75. Mode of representation berkenaan dengan tingkat keberlakuan tanda yang berkaitan dengan upaya manusia memahami dunianya. Dikatakan firstness karena ikon adalah bentuk representament yang paling lekat dengan objek yang diwakilinya, sehingga tanda dikenali pada tahap awal. Dikatakan secondness, karena indeks merupakan sebab
40
akibat atau ada kontiguitas antara tanda sekunder yang memperingatkan adanya tanda lain yang utama. Tingkat keberlakuan tanda dan pemahaman berhadapan dengan kenyataan, ada pertemuan dengan dunia luar. Pada tingkatan ini tanda masih ditandai secara individual. Sebagai tanda indeks tidak selalu hadir. Ketidakhadirannya juga dapat menjadi tanda, misalnya sepatu yang tidak ada pada tempatnya merupakan tanda bahwa pemiliknya tidak ada dirumah karena sepatu itu dipakainya. Dikatakan thirdness karena representamen yang tidak dapat terlepas dari konteks sejarah/sosial suatu masyarakat adalah simbol yang terbentuk dari kesepakatan, antara simbol dan interpretant tidak ada kaitan apapun. Tingkat keberlakuan tanda dan pemahaman penafsir bersifat sebagai aturan hukum, atau yang sudah berlaku umum, misalnya kata-kata dalam suatu bahasa, seperti bendera kuning-orang meninggal, monas-Jakarta, plat kendaraan warna merah-kendaraan dinas. Type of representamen berkaitan erat dengan type of interpretant the sign evokes. Dari sudut pandang interpretant, sebuah teks adalah rheme apabila teks tersebut tidak lengkap, teks didominasi dengan fungsi ekspresif atau tekstur teks memungkinkan berbagai interpretasi. Dari sudut pandang pragmatik, teks dapat memiliki berbagai interpretant, bergantung pada pengaruhnya terhadap penafsir. Pierce melihat tanda tidak sebagai suatu struktur, tetapi sebagai suatu proses pemaknaan tanda yang disebut semiosis (Hoed, 2011, p. 55). Semiosis adalah proses tiga tahap dan dapat terus berlanjut. Artinya, interpretant pada gilirannya
41
dapat menjadi representamen dan seterusnya. Pierce menyatakan bahwa proses semiosis tidak terbatas tidak bergantung pada pengalaman. Bagi pierce, semiotika bersinonim dengan logika. Logika harus mempelajari bagaimana orang harus bernalar. Penalaran ini, menurut hipotesis teori Pierce yang mendasar, dilakukan melalui tanda-tanda. Tanda merupakan unsur komunikasi.
42
F.
Kerangka Konseptual
Film *Penggambaran Empiris / Realitas
Permasalahan Sosial
Film “Alangkah Lucunya (Negeri Ini)”
Kemiskinan *Anak Jalanan
Semiotika Pierce
Representament
Object
Interpretant
1. Karakteristik fisik 2. Karakteristik psikis 3. Situasi konflik yang dihadapi
4. Perilaku Anjal Representasi Anak Jalanan pada Konteks kemiskinan
Gambar 2. Kerangka konseptual olahan peneliti Dari gambar di atas dapat dijelaskan secara sederhana bahwa film yang
merupakan
bagian
dari
media
komunikasi
massa
mampu
43
mengkonstruksikan dan menghadirkan realitas yang ada. “Alangkah Lucunya (Negeri Ini)” merupakan film yang dijadikan sebagai sebuah medium yang mengkonstruksi khususnya masalah kemiskinan terkait dengan anak jalanan. Untuk merepresentasikan anak jalanan pada konteks kemiskinan tersebut peneliti menggunakan semiotika Pierce sebagai pisau analisisnya. G.
Metodologi Penelitian Sub bab ini akan memaparkan mengenai metode penelitian, sifat penelitian, objek penelitian, metode pengumpulan data dan metode analisis data. 1. Metode penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian, misalnya perilaku, persepsi, tindakan dan lain-lain, secara holistic dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks khusus yang alami dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah (Moleong, 2006, p. 7). Penelitian komunikasi kualitatif tidak dimaksudkan untuk memberikan penjelasan-penjelasan (explanations), mengontrol gejala-gejala komunikasi, mengemukakan prediksi-prediksi, atau untuk menguji teori apapun, tetapi lebih dimaksudkan untuk mengemukakan
gambaran-gambaran
dan
atau
pemahaman
(understanding) mengenai bagaimana dan mengapa suatu gejala atau
44
realitas komunikasi terjadi (Pawito, 2007, p. 35). Dengan menggunakan pendekatan kualitatif, penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran menyeluruh terhadap permasalahan. Penelitian ini adalah penelitian yang menggunakan analisis semiotika. Semiotika adalah gabungan antara linguistic dan ilmu sosial yang berfokus pada analisis tanda dan mempelajari aturan atau bentuk bahasa seperti hubungan antara bahasa dan perilaku manusia (Patton, 2002, p. 113). Metode ini dipilih karena, dalam penelitian ini akan berfokus mengenai tanda-tanda yang terdapat pada film “Alangkah Lucunya (Negeri Ini)”. Untuk membantu memahami bagaimana tandatanda audio visual di dalam film “Alangkah Lucunya (Negeri Ini)” merepresentasikan anak jalanan, penelitian ini memakai strategi penelitian semiotika Charles Sander Pierce. Bagi Pierce tanda dapat dimaknai secara terbuka, tetapi dibatasi oleh konteks, baik teks itu sendiri maupun konteks sosial budaya, serta pengetahuan/pengalaman pembaca. Tanda tidak memiliki makna yang stabil. Teori Pierce berbeda dengan teori Barthes dalam hal perincian pemaknaan. Barthes dengan jelas membelah makna menjadi denotasi dan konotasi. Tidak demikian dengan Pierce. Pierce mengatasnamakan keduanya sebagai konsep interpretant. Bagi Pierce yang penting adalah proses semiosis. Oleh karena itu, dalam analisis, objek amatan memegang peranan dalam menentukan alat yang lebih sesuai: objek berstruktur dan ada perubahan makna denotasi ke konotasi atau
45
merupakan ikon, indeks, simbol. Namun, konsep kedua tokoh (Pierce dan Barthes) bertemu pada titik interpretasi, yakni interpretant dari Pierce sama dengan konsep konotasi dari Barthes. Berdasarkan penjelasan tersebut dalam penciptaan sebuah makna dari tanda yang muncul metode Pierce cenderung simpel dengan tiga unsur yang bersinergi akan dapat dengan mudah menghasilkan makna dari penggunanya. Ketiga unsur segitiga makna tersebut tidak lain adalah representament, object dan interpretant3. Secara spesifik teori semiotik Pierce dengan siklus dan unsur segitiga makna lebih memungkinkan untuk menghasilkan makna yang mendalam menyangkut tanda yang muncul dalam suatu medium representasi. Hal ini disebabkan karena pemilahan tanda, apa yang dirujuk oleh tanda (objek), bagaimana hubungan dari unsur tersebut dan kemudian menghasilkan makna. Selain itu teori Pierce memiliki arah siklus yang cukup sistmatis yang memungkinkan tahap pemaknaan yang lebih dari satu kali untuk mengkaji makna lanjutan dari suatu interpretant yang pada teori semiotiknya dapat menjadi tanda baru, mengarah kepada objek dan menghasilkan makna selanjutnya. Menggunakan metode Pierce dengan sistem penanda dan objek serta menghasilkan suatu interpretant sebagai suatu makna dalam film “Alangkah Lucunya (Negeri Ini)” peneliti bermaksud meneliti tandatanda yang bersifat verbal dan non verbal. yang digunakan dalam film 3
Lihat Gambar 1. Segitiga semiosi Pierce, hal 35
46
yang berfokus dalam melihat dan memahami gambaran anak jalanan yang direpresentasikan melalui susunan kode-kode audio visual dalam film tersebut. Adapun langkah-langkah yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Pertama, peneliti mencari dan menetukan film “Alangkah Lucunya (Negeri Ini)” untuk diteliti dan kemudian mendokumentasikannya. Kedua, peneliti mengidentifikasi, mengamati, memahami isi dan mencari makna dari tanda-tanda yang dianggap signifikan dalam sebuah teks dari film dengan cara mengurai anatomi (sequence, scene dan shot)4 film “Alangkah Lucunya (Negeri Ini)”. Ketiga, mengklasifikasikan scene, pengklasifikasian tersebut dibuat berdasarkan unsur-unsur pembentuk representasi anak jalanan yang terdapat di dalam film “Alangkah Lucunya (Negeri Ini)”. Keempat, scene dan shot dari film “Alangkah lucunya (negeri ini)” direkam dalam bentuk gambar dengan cara di saat frame sudah berada pada posisi yang akan dianalisa, direkam (capture) sehingga akan keluar hasil (output), yakni file gambar jpeg yang akan dimasukkan kedalam laporan penelitian untuk dianalisa. Kelima, setelah seluruh data terkumpul, selanjutnya peneliti akan menganalisa dengan menggunakan metode 4
Monaco dalam bukunya How To Read A Film menjelaskan istilah-istilah yang terdapat dalam film. Ketiga istilah sequence, scene dan shot adalah istilah yang menggambarkan bagian-bagian penting dalam film. Sequence atau sekuen adalah serangkaian adegan yang membentuk narasi. Scene adalah kumpulan adegan atau serangkaian adegan yang diambil dalam satu lokasi atau satu aksi. Sedangkan shot adalah adegan tunggal dalam film dan diambil secara continue, sebuah film bisa terdiri dari ribuan shotatau bahkan satu shot saja. Lihat Cinematographical & Film Production Terms. http://www.tagg.org/teaching/mmi/filmtrms.html
47
semiotika Pierce. Sebagai pendukung diggunakan konsep Arthur Asa Berger dengan melihat dari teknik-teknik pengambilan gambar, teknik editing dan pergerakan kamera untuk mendukung analisis ini. Fungsi dari teknik kamera adalah mencoba memahami makna dari objek-objek yang direkam oleh kamera film dan disuguhkan pada penonton. 2. Sifat penelitian Penelitian bersifat deskriptif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang memberikan gambaran atau uraian atas suatu keadaan dengan sejelas mungkin tanpa ada perlakuan terhadap objek yang diteliti. Penelitian deskriptif mempunyai ciri-ciri, yaitu berhubungan dengan keadaan yang terjadi, menguraikan satu variabel saja atau beberapa variabel namun diuraikan satu persatu, variabel yang diteliti tidak dimanipulasi atau tidak ada perlakuan (Kontour, 2003, pp. 105-106). Penelitian ini bersifat deskriptif karena berusaha menggambarkan bagaimana tanda audio visual yang digunakan dalam film “Alangkah Lucunya (Negeri Ini)”. Penelitian deskriptif dipilih peneliti agar dapat menggambarkan secara terperinci bagaimana tanda audio visual diramu menjadi suatu tanda-tanda yang merepresentasikan anak jalanan dalam film “Alangkah Lucunya (Negeri Ini)”. 3. Objek penelitian Objek dalam penelitian ini adalah film yang berjudul “Alangkah Lucunya (Negeri Ini)” karya Deddy Mizwar yang berdurasi 105 menit. Film “Alangkah Lucunya (Negeri Ini)” diteliti karena, film ini dianggap
48
mampu merepresentasikan bagaimana keberadaan anak jalanan dalam kehidupan masyarakat di Indonesia. Terbukti film “Alangkah Lucunya (Negeri Ini)” menjadi film yang mendapatkan sorotan besar dari berbagai media tanah air ketika film ini dirilis pada tahun 2010, menjadi film yang paling diunggulkan dan menyedot penonton terbanyak diantara film yang bertemakan anak jalanan ditahun 2010 dan 2011, berhasil meraih banyak penghargaan pada Festival Film Indonesia 2010 dan 2011 (http://filmindonesia.or.id/movie/title/). 4. Metode pengumpulan data Pengumpulan data ini dilakukan dengan cara mengidentifikasi, mengamati, memahami isi dan mencari makna dari tanda-tanda yang dianggap signifikan dalam sebuah teks dari film dengan cara mengurai sequence, scene dan shot film “Alangkah Lucunya (Negeri Ini)”. Selain itu, dengan melakukan studi kepustakaan, yaitu pengumpulan data yang berdasarkan pada buku-buku literatur yang terkait dengan penelitian. Karena penelitian ini adalah penelitian kualitatif maka analisis data dilakukan oleh peneliti sejak sebelum, sepanjang dan ketika penelitian dilakukan.
Sehingga,
proses
yang
dilakukan
diharapkan
dapat
menjelaskan dan menemukan seberapa jauh dan bagaimana anak jalanan direpresentasikan dalam film “Alangkah Lucunya (Negeri Ini)”. Dari film “Alangkah Lucunya (Negeri Ini)” yang berdurasi 105 menit ada 24 sequence dengan rata-rata sequence yang dimunculkan antara 4 sampai 5 menit. Dari 24 sequence tersebut ada 86 scene dan 646
49
shot. Namun, tidak semua scene dan shot dalam film tersebut digunakan sebagai unit analisis penelitian. Shot-shot dalam film juga beragam, dari extreme close up, close up, medium close up, medium shot, long shot hingga medium long shot. Ada 28 scene dalam film “Alangkah Lucunya (Negeri Ini)” yang terkait dengan anak jalanan yang masuk dalam kriteria dan digunakan sebagai unit analisis dalam penelitian ini. Teknik seperti ini disebut dengan teknik sampling purposif. Sampling purposif merupakan teknik dengan cara menseleksi berdasarkan kriteria atau pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2008, p. 85). Adapun unit analisnya dapat dilihat pada tabel berikut ini:
50
Tabel 3. Unit analisis olahan peneliti
Unit Analisis
Sub Unit Analisis
Anak Jalanan
Simbol-simbol yang menujuk pada karakteristik anak jalanan
Keterangan Karakteristik anak jalanan dapat dilihat berdasarkan 1. Fisik, yakni kondisi yang dapat terlihat dari tampilan tubuh, tempat tinggal, tempat berkumpul serta berkaitan dengan aspek kebutuhan anak jalanan 2. Psikis meliputi sikap dan perilaku anak jalanan dalam menghadapi berbagai keadaan baik berkaitan dengan diri sendiri maupun interaksi dengan orang lain 3. Situasi konflik, yakni kehidupan anak jalanan dengan ciri yang cenderung memiliki konflik sosial dan berada pada kondisi yang dirugikan.
Unit analisis memiliki kriteria didalamnya yang menunjuk pada karakteristik anak jalanan yang meliputi unsur fisik, psikis dan situasi konflik. Pertama, fisik. Tampilan fisik pada anak jalanan dapat dilihat dari kondisi tampilan tubuh, tempat tinggal dan tempat berkumpul, serta berkaitan dengan aspek kebutuhan anak jalanan. Karakter fisik dapat berupa tempat yang kumuh dan kotor, kondisi tubuh yang kumal dan tidak terurus, kurang pemenuhan sandang pangan, kesehatan dan pendidikan. Kedua, psikis. Psikis meliputi sikap dan perilaku anak jalanan dalam menghadapi berbagai keadaan baik berkaitan dengan diri
51
sendiri maupun interaksi dengan orang lain, seperti watak yang keras, tertutup, susah untuk diarahkan, curiga, bebas, liar, sensitif dan reaktif. Ketiga, situasi konflik. Situasi konflik adalah kehidupan anak jalanan dengan ciri yang cenderung memiliki konflik sosial dan berada pada kondisi yang dirugikan, seperti mengalami eksploitasi, terjerat perilaku kriminal dan mengalami tindak kekerasan fisik dan mental. 5. Metode analisis data Metode analisis data pada penelitian kualitatif pada dasarnya dikembangkan dengan maksud hendak memberikan makna (making sense of) terhadap data ke dalam bentuk-bentuk narasi yang kemudian mengarah pada temuan yang bernuansakan proposisi-proposisi ilmiah yang akhirnya sampai pada kesimpulan-kesimpulan final (Pawito, 2007, p. 101). Penelitian ini akan mengurai tanda-tanda yang bersifat verbal dan non verbal melalui segitiga makna Pierce. Scene dan shot dari film “Alangkah lucunya (negeri ini)” direkam dalam bentuk gambar dengan cara di saat frame sudah berada pada posisi yang akan dianalisa, direkam (capture) sehingga akan keluar hasil (output), yakni file gambar jpeg yang akan dimasukkan kedalam laporan penelitian untuk dianalisis. Untuk mempermudah analisis, maka dalam kajian ini peneliti memang tidak menggunakan keseluruhan scene ini, tetapi beberapa scene yang di dalamnya
berfokus
pada
adegan-adegan
yang
dapat
mewakili
52
representasi anak jalanan, seperti yang telah dijelaskan pada bagian metode pengumpulan data5. H.
Sistematika Penulisan Penelitian dengan judul Representasi Anak Jalanan Dalam Film Alangkah Lucunya (Negeri Ini) akan dilaporkan dalam 6 Bab. Rancangan dari penyajian kelima Bab ini adalah sebagai berikut: Bab 1
: Pendahuluan, dalam Bab ini berisikan tentang latar belakang penelitian,
rumusan
masalah,
tujuan
penelitian,
manfaat
penelitian, kerangka pemikiran, metodologi penelitian dan system pelaporan. Bab II
: Literatur, Bab ini diberi judul anak jalanan dan film. terdiri dari sub Bab: munculnya anak jalanan, konstruksi media massa (film) dan sekilas tentang film (Informasi umum, profil dan sinopsis) terkait dengan film Alangkah Lucunya (Negeri Ini).
Bab III
: Bab ini berjudul representasi fisik anak jalanan dalam film Alangkah Lucunya (Negeri Ini). Substansi dari Bab ini adalah hasil penelitian dengan paparan penanda, objek dan interpretant dari scene dan shot yang diambil berkaitan dengan karakter fisik anak jalanan, serta deskripsi yang merupakan analisis dari hasil tersebut
5
Lihat hal 50
53
Bab IV
: Bab ini berjudul representasi psikis anak jalanan dalam Film Alangkah Lucunya (Negeri Ini). Substansi dari Bab ini adalah hasil penelitian dengan paparan penanda, objek dan interpretant dari scene dan shot yang diambil berkaitan dengan karakter psikis anak jalanan, serta deskripsi yang merupakan analisis dari hasil tersebut
Bab V
: Bab ini berjudul representasi situasi konflik yang dihadapi anak jalanan dalam Film Alangkah Lucunya (Negeri Ini). Substansi dari Bab ini adalah hasil penelitian dengan paparan penanda, objek dan interpretant dari scene dan shot yang diambil berkaitan dengan berbagai konflik atau permasalahan yang dihadapi anak jalanan, serta deskripsi yang merupakan analisis dari hasil tersebut
Bab VI
: Penutup, Bab ini akan berisikan kesimpulan dari hasil penelitian serta rekomendasi terhadap hasil penelitian.