BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah Kebutuhan akan penerapan suatu bisnis yang tidak hanya mengutamakan
profit semata, namun juga people dan planet semakin meningkat. Suatu organisasi dituntut untuk meningkatkan kualitas pelaporan keuangan melalui etika dan penerapan pengendalian internal yang efektif. Sistem pengendalian internal (SPI) dibutuhan oleh pihak internal maupun eksternal organisasi. Pihak internal membutuhkan SPI untuk mencegah terjadinya penyimpangan, sementara pihak eksternal, terutama auditor eksternal, memerlukan SPI dalam melaksanakan audit. Manajemen merupakan pihak yang bertanggung jawab untuk merancang dan mengimplementasikan SPI. Namun, kompleksitas aktivitas operasional organisasi menjadikan manajemen membutuhkan suatu fungsi/departemen baru yang disebut audit internal. Audit internal merupakan fungsi penilaian independen yang dibentuk dalam perusahaan untuk memeriksa dan mengevaluasi aktivitasnya sebagai jasa yang diberikan kepada perusahaan (Sawyers et al., 2005). Fungsi audit internal merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan pengendalian internal. Melalui pengendalian internal yang efektif, tujuan organisasi baik finansial maupun nonfinansial dapat dicapai. Oleh karena itu, diperlukan suatu sistem untuk menyampaikan penyimpangan, wrongdoing,bahkan fraud yang terjadi di dalam organisasi. Sistem ini telah diperkenalkan di luar negeri, jauh sebelum kasus yang menggemparkan dunia bisnis seperti WorldCom
1
2
dan Enron terekspos yaitu whistleblowing system (Gundlach et al., 2003). Dampak dari kasus WorldCom dan Enron memaksa regulator pasar modal Amerika Serikat mengeluarkan peraturan yaitu Sarbanes Oxley Act of 2002 (SOX). Melalui SOX perusahaan publik diwajibkan menerapkan prosedur penanganan
pengaduan
(whistleblower).
Perusahaan
dianjurkan
untuk
mengembangkan kebijakan whistleblowing dan kebijakan ini dijadikan sebagai bagian dari sistem pengendalian internal (Brennan dan Kelly, 2007). Penerapan whistleblowing system menuntut peran serta karyawan dalam upaya meningkatkan efektivitas pengendalian internal dan memperkuat good corporate governance. Mesmer dan Viswesvaran (2005) melakukan meta analisis dari 26 penelitian dengan hasil yang berbeda terkait intensi whistleblowing. Hasilnya yaitu karyawan yang melakukan whistleblowing cenderung memiliki kinerja yang baik, berpendidikan tinggi, posisi yang baik, dan penalaran moral yang lebih tinggi. Selanjutnya, ditemukan hubungan yang kuat antara karakteristik personal, kontekstual, pelanggaran dan intensi whistleblowing. Penerapan whistleblowing system di Indonesia telah dilakukan di beberapa perusahaan go public seperti Telkom, Pertamina, Bank Negara Indonesia, Bank Rakyat Indonesia, dan Astra Group, serta di sektor publik, yaitu Direktorat Jenderal Pajak. Whistleblowing system diperlukan untuk mengungkapkan pelanggaran atau perbuatan yang melanggar hukum, tidak etis atau tidak bermoral yang dilakukan oleh karyawan atau pimpinan organisasi kepada pihak yang berwenang (internal atau eksternal), demi terwujudnya praktik bisnis yang beretika dalam mewujudkan good governance dan clean government.
3
Whistleblowing merupakan fenomena yang kompleks karena merupakan interaksi antara situasi, pelapor dan terlapor, serta organisasi. Kasus di Indonesia yang memperkenalkan istilah whistleblower yaitu peran Vincentius A.Sutanto sebagai akuntan manajemen PT.Asian Agri dalam mengekspos pelanggaran perpajakan PT.Asian Agri. Namun, ketidakjelasan sistem hukum di Indonesia, Vincent sebagai whistleblower dipenjara atas kasus yang berbeda. Sedangkan, kasus penggelapan pajak yang dilaporkan bergulir lama (antara tahun 2006-2013). Tuanakotta
(2012)
memaparkan
beberapa
kasus
terkait
peran
whistleblower, tidak hanya di sektor swasta, namun juga sektor publik terkait korupsi. Misalnya Arifin Wardiyanto, melaporkan dugaan korupsi dalam urusan perizinan wartel di Yogyakarta pada tahun 1996; Maria Leonita melaporkan dugaan suap oleh Zainal Agus, Direktur Mahkamah Agung, pada tahun 2001; Khairiansyah Salman, mantan auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), melaporkan kasus suap yang akan diberikan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) atas audit yang dilakukan BPK. Masih banyak kasus lainnya yang menunjukkan peran penting karyawan, auditor, pengacara, dan masyarakat untuk melaporkan pelanggaran yang diketahui. Namun nasib yang sama dialami para whistleblower tersebut, yaitu mereka dijebloskan ke dalam penjara, sementara kasus yang dilaporkan ditangani dalam waktu yang lama. Ketidakjelasan sistem hukum yang melindungi whistleblower merupakan pertimbangan bagi individu untuk melaporkan perbuatan tidak etis di dalam suatu organisasi. Peraturan yang secara khusus mengatur mengenai whistleblowing sampai sekarang belum ada di Indonesia. Secara implisit, hal ini diatur dalam
4
Undang-undang No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban serta Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan terhadap Pelapor Tindak Pidana (whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerja Sama (LPSK, 2011). Penerapan whistleblowing di Indonesia telah dilakukan di sektor swasta dan sektor publik. Namun, efektivitas dari whistleblowing system menjadi pertanyaan ketika tidak ada peraturan yang mengatur secara jelas mekanisme whistleblowing dan perlindungan hukum terhadap whistleblower. Dampak dari ketidakjelasan sistem hukum ini akan mengakibatkan whistleblower dapat dipindahkan atau diturunkan posisinya, bahkan sampai pemutusan hubungan kerja. Namun, hal yang demikian tidak selamanya dihadapi oleh whistleblower. Misalnya saja, pemberian Integrity Award oleh Transparency International (TI) terhadap whistleblower yaitu Khairiansyah Salman. Pemberian award dianggap perlu karena peran whistleblower yang cukup besar untuk membongkar sebuah kasus. Namun, pemberian award harus mempertimbangkan motif individu dalam melakukan whistleblowing. True whistleblower harus dilihat dari motif pengungkapan kasus, terutama sejauh apa keterlibatannya dalam kasus tersebut.Agar pengembalian award seperti Khairiansyah Salman tidak terjadi lagi. Tindakan individu untuk melakukan whistleblowing dipengaruhi oleh faktor internal maupun faktor eksternal. Auditor internal berfungsi untuk memberikan nilai tambah bagi organisasi, terutama dalam hal pengendalian internal. Demikian juga jika dikaitkan dengan whistleblowing, auditor internal diharapkan menjadi pihak pertama yang dapat mendeteksi jika terdapat red flag bahwa telah terjadi tindakan yang tidak etis atau fraud. Kasus yang telah
5
menunjukkan peran penting dari auditor internal yaitu Cynthia Cooper dalam membongkar kasus WorldCom. Auditor internal memiliki kewenangan formal untuk melaporkan adanya ketidakberesan dalam organisasi. Ketika auditor internal menemukan bukti bahwa informasi laporan keuangan telah menyesatkan publik, auditor internal harus memutuskan apakah melaporkan peristiwa tersebut dan kepada siapa dia harus melaporkan (Miceli et al., 1991) Siegel dan Marconi (1989) menyatakan bahwa variabel personalitas merupakan variabel yang berhubungan dengan perilaku auditor. Faktor karakteristik personalitas antara lain yaitu komitmen profesional dan locus of control. Setiap individu akan memiliki dua komponen dari locus of control yaitu internal dan external locus of control. Namun, salah satunya akan lebih dominan dan berpengaruh terhadap perilaku individu termasuk pengambilan keputusan. Berbagai penelitian telah memberikan bukti empiris berkaitan dengan pengaruh locus of control terutama terhadap kinerja individu. Karyawan yang memiliki internal locus of control akan memiliki kinerja yang lebih baik dibandingkan dengan karyawan yang memiliki external locus of control. Namun, jika dikaitkan dengan intensi untuk melakukan whistleblowing masih memberikan bukti empiris yang bervariasi. Hasil penelitian Jalil (2012) menjadikan locus of control sebagai variabel pemoderasi antara komitmen profesional auditor terhadap intensi melakukan whistleblowing tidak memberikan bukti empiris mengenai hubungan variabel-variabel tersebut. Hasil penelitian berbeda dipaparkan oleh Chiu (2003) yaitu adanya variabel pemoderasi locus of control memperkuat hubungan antara ethical judgment dan intensi untuk melakukan whistleblowing.
6
Selain itu, komitmen profesional auditor merupakan salah satu variabel penting bagi seorang auditor untuk melakukan apa yang terbaik bagi organisasi. Penelitian Taylor dan Curtis (2010) memberikan bukti empiris bahwa moral intensity
auditor
berhubungan
dengan
pelaporan
tindakan
tidak
etis
(whistleblowing) dengan dua pengukuran pelaporan yaitu likelihood of reporting dan perseverance in reporting. Sedangkan, komitmen profesional berpengaruh terhadap whistleblowing likelihood dan komitmen organisasi berpengaruh whistleblowing perseverance. Berbeda dengan hasil penelitian Jalil (2012) yaitu komitmen profesional auditor tidak berpengaruh terhadap intensi whistleblowing. Demikian juga Sagara (2013) yang melakukan pengujian profesionalisme auditor internal dengan menggunakan lima dimensi yaitu afiliasi komunitas, kewajiban sosial, dedikasi terhadap pekerjaan, keyakinan terhadap peraturan sendiri atau komunitas dan tuntutan untuk mandiri. Hanya dimensi tuntutan untuk mandiri yang berpengaruh positif terhadap intensi whistleblowing.
1.2
Rumusan Permasalahan Profesi auditor baik sebagai auditor internal maupun auditor eksternal sering
menghadapi situasi yang menyebabkan dilema etis di mana auditor harus menetapkan keputusan dari alternatif pilihan yang ada, yang tidak jarang akan bertentangan dengan nilai-nilai atau prinsip etika. Di Indonesia banyak kasuskasus manipulasi akuntansi yang dilakukan manajemen perusahaan, misalnya saja kasus Bank Lippo dan kasus Kimia Farma. Munculnya kasus ini sering kali memunculkan pertanyaan dimana fungsi auditor internal untuk mengevaluasi
7
operasional organisasi termasuk mendeteksi fraud. Hal itu dapat terjadi apabila manajemen memanipulasi tugas dan fungsi auditor internal (Sagara, 2013) John McLennan mantan auditor efisiensi internal Westpac Banking Corporation, merupakan whistleblower yang pernah merasakan dilema pada saat mengungkapkan kejahatan perbankan kepada penyelidik perbankan parlemen Australia. John McLennan mengatakan: “Bank dan para pegawainya mencuri uang dari nasabah mereka. Mengambil komisi-komisi secara rahasia dan mengubah kesepakatan adalah tindakan mencuri. Saya tidak bisa memikirkan kasus yang lebih buruk dari bobroknya moral korporasi (LPSK, 2011)”. Dilema etis yang dihadapi auditor internal dan auditor eksternal akan berbeda. Auditor internal sebagai bagian organisasi tidak jarang akan menghadapi konflik kepentingan. Hal ini memaksa auditor internal harus mengambil keputusan yang tidak sesuai dengan kode etik profesi bahkan hati nuraninya. Oleh karena itu, komitmen profesional saja tidaklah cukup. Komitmen profesional harus didukung dengan pemahaman atau kesadaran auditor internal terhadap nilainilai etis, mengingat perannya yang cukup besar untuk mengetahui dan melaporkan pelanggaran yang terjadi dalam organisasi (whistleblowing). Adanya praktik tidak etis seperti penyuapan atau ancaman menyebabkan auditor internal menyembunyikan temuannya. Pertimbangan dan kesadaran etis merupakan hal yang penting dalam pengambilan keputusan profesional seorang auditor internal. Penelitian tentang whsitleblowing di Indonesia masih tergolong sedikit dan memberikan hasil yang bervariasi. Selain itu, penelitian tentang whistleblowing yang melibatkan auditor internal yang bekerja di sektor perbankan sebagai responden tergolong sedikit di Indonesia. Sektor perbankan merupakan sektor
8
bisnis yang dituntut untuk tidak hanya mematuhi peraturan dan kebijakan yang ditetapkan manajemen perusahaan namun juga harus mematuhi peraturan dan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia sebagai Bank Sentral, belum lagi jika bank tersebut sudah terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Penelitian mengenai dilema etis yang dialami auditor eksternal untuk menerima atau menolak permintaan klien telah banyak dilakukan. Terutama yang menguji variabel komitmen profesional, locus of control, dan kesadaran etis. Hasil penelitian Muawanah (2000) memberi bukti empiris bahwa komitmen profesional dan locus of control auditor eksternal berpengaruh dalam situasi konflik audit, dan kesadaran etis sebagai variabel moderasi memperkuat hubungan locus of control dan komitmen profesional terhadap perilaku auditor dalam situasi konflik audit. Perbedaan hasil penelitian Chiu (2003), Taylor dan Curtis (2010), serta Jalil (2012) menjadi sesuatu yang menarik untuk dikaji lebih lanjut. Penelitian Jalil (2012) tidak mampu membuktikan pengaruh komitmen profesional auditor terhadap intensi whistleblowing. Locus of control sebagai variabel pemoderasi tidak dapat memperkuat hubungan variabel-variabel tersebut. Siegel dan Marconi (1989) menyatakan bahwa dalam literatur akuntansi keperilakuan interaksi antara aspek personalitas dengan coginitife style bisa memengaruhi perilaku individu dalam pengambilan keputusan. Komitmen profesional dan locus of control merupakan aspek personalitas yang akan memengaruhi perilaku individu. Oleh karena itu, penelitian ini menambahkan kesadaran etis (aspek kognitif) sebagai variabel pemoderasi yang berbeda dengan penelitian Jalil (2012) dan Chiu (2003).
9
1.3
Pertanyaan Penelitian Berdasarkan rumusan permasalahan di atas, maka masalah yang diteliti
dirumuskan dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Apakah komitmen profesional auditor internal berpengaruh terhadap intensi melakukan whistleblowing? 2. Apakah locus of control auditor internal berpengaruh terhadap intensi melakukan whistleblowing? 3. Apakah kesadaran etis memoderasi pengaruh komitmen profesional auditor internal terhadap intensi melakukan whistleblowing? 4. Apakah kesadaran etis memoderasi pengaruh locus of control auditor internal terhadap intensi melakukan whistleblowing?
1.4
Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang serta pertanyaan penelitian yang telah diuraikan
di atas, maka tujuan dari penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Menguji secara empiris pengaruh komitmen profesional auditor internal terhadap intensi melakukan whistleblowing. 2. Menguji secara empiris pengaruh locus of control auditor internal terhadap intensi melakukan whistleblowing. 3. Menguji secara empiris kesadaran etis sebagai pemoderasi pengaruh komitmen profesional auditor internal terhadap intensi melakukan whistleblowing. 4. Menguji secara empiris kesadaran etis sebagai pemoderasi pengaruh locus of control auditor internal terhadap intensi melakukan whistleblowing.
10
1.5
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1.
Manfaat Teoretis Bagi peneliti lanjutan, dapat menjadi bahan referensi untuk melanjutkan penelitian faktor-faktor yang memengaruhi intensi individu untuk melakukan whistleblowing. Penelitian yang melibatkan auditor internal yang bekerja pada sektor bisnis misalnya perbankan masih tergolong jarang. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan literatur terkait perilaku auditor internal dalam mengambil keputusan yaitu berkaitan dengan intensi melakukan whistleblowing di Indonesia.
2.
Manfaat Praktis Bagi perusahaan, memberikan masukan mengenai pentingnya penerapan whistleblowing
system
sebagai
bagian
dari
pengendalian
internal.
Implementasi whistleblowing system akan bermanfaat bagi pihak manajemen suatu organisasi untuk meminimalisasi penyimpangan, pelanggaran bahkan fraud yang terjadi di dalam organisasi. Selain itu, dengan memahami faktor personalitas (locus of control), dapat menjadi pertimbangan bagi manajemen dalam memilih personil yang akan diposisikan sebagai auditor internal.
1.6
Sistematika Penulisan Sistematika penulisan tesis terdiri atas lima bab dan dibagi menjadi
beberapa sub-bab yang menggambarkan sistematika penelitian sebagai berikut :
11
Bab 1 : Pendahuluan Bab 1 merupakan uraian latar belakang masalah pemilihan topik penulisan, rumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan. Bab 2 : Tinjauan Teoretis dan Pengembangan Hipotesis Bab 2 merupakan uraian landasan teori-teori yang menjadi dasar analisis penelitian, yaitu berupa kajian literatur baik secara teoretis maupun empiris dari penelitian terdahulu. Selanjutnya akan diuraikan pengembangan hipotesis disertai kerangka konseptual penelitian. Bab 3 : Metode Penelitian Bab 3 merupakan uraian tentang jenis penelitian, populasi dan sampel penelitian, definisi operasional dan pengukuran variabel penelitian, jenis dan sumber data, metode pengumpulan data, dan metode analisis data berupa uji kualitas data yaitu uji validitas, dan uji reliabilitas, uji asumsi klasik, dan pengujian hipotesis. Bab 4 : Hasil Penelitian dan Pembahasan Bab 4 merupakan uraian mengenai proses pengumpulan data, pengujian data, dan pembahasan hasil survei yang berisi karakteristik responden, statistik deskriptif, uji asumsi klasik, dan pengujian hipotesis. Bab 5 : Kesimpulan, Keterbatasan, dan Saran Bab 5 merupakan bagian terakhir yang akan menyajikan kesimpulan tentang hasil penelitian, hal-hal yang telah dibahas pada bab-bab sebelumnya. Berikut disertakan keterbatasan penelitian, serta saran perbaikan yang diajukan oleh Penulis kepada pihak yang berkepentingan.