BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Kebudayaan merupakan sebuah cara hidup yang dimiliki oleh sekelompok
masyarakat dan diwariskan secara turun temurun dari generasi kegenerasi berikutnya. Indonesia merupakan sebuah negara yang terdiri dari bermacammacam suku bangsa dan kaya akan budaya. Keanekaragaman budaya tersebut menjadi identitas yang menunjukkan karakter dari masing-masing budaya yang ada di Indonesia. Keragaman budaya Indonesia memiliki lebih dari 1000 suku bangsa bermukim di wilayah yang tersebar di ribuan pulau terbentang dari Sabang sampai Merauke. Masing-masing dari suku bangsa tersebut memiliki nilai budaya yang berbeda-beda pula dan dijadikan sebagai pedoman dan pendorong perilaku yang dianggap memberikan manfaat bagi pada masyarakat penganutnya. Wujud dari kebudayaan itu sendiri tampak jelas pada pelaksanaan upacara-upacara adat yang senantiasa dipertahankan oleh masyarakat yang dianggap sebagai sebuah kewajiban yang harus selalu dilaksanakan. Sebagian besar suku bangsa yang ada di Indonesia melaksanakan berbagai bentuk upacara tradisional. Berbagai bentuk dan corak yang dilakukan dalam pelaksanaan upacara tersebut, mulai dari yang profan sampai ke hal-hal yang bernuansa sakral (Hotmaida, 2014). Salah satu suku yang masih mempertahankan kebudayaannya adalah suku Batak Toba. Seluruh tahapan kehidupan masyarakatnya diikuti dengan kegiatan adat,
mulai dari dalam kandungan, kelahiran, pernikahan, bahkan sampai
kematian. Kegiatan adat tersebut wajib diikuti oleh seluruh anggota masyarakat baik itu dari pihak penyeleggara kegiatan adat tersebut maupun dari sanak saudara dan kerabat-kerabatnya. Sama halnya yang terjadi di Tapanuli Utara, hingga saat ini masyarakatnya masih berpedoman pada pandangan hidup ideal Batak Toba, serta masih tetap menjalankan kegiatan-kegiatan adat tersebut. Mengingat bahwa wilayah ini merupakan salah satu daerah asal suku Batak toba. Masyarakat Batak Toba sendiri memiliki beberapa pandangan hidup yang merupakan pedoman dan didalamnya terkandung konsep nilai kehidupan yang dicita-citakan oleh masyarakatnya, yakni: 1.
Hagabeon, berarti bahagia dan sejahtera. Kebahagiaan yang dimaksudkan di sini adalah kebahagiaan dalam hal keturunan. Keturunan dipandang sebagai pemberi harapan hidup, karena keturunan itu adalah suatu kebahagiaan yang tidak ternilai bagi orang tua, keluarga dan kerabat. Kebahagiaan akan terasa lengkap dalam sebuah keluarga apabila keluarga itu memiliki anak laki-laki dan perempuan. Keturunan dalam budaya Batak Toba dianggap sebagai harta yang paling berharga (Harahap dan Siahaan, 1987). Keberadaan anak yang sangat didambakan oleh keluarga suku Batak Toba adalah untuk, pencapaian tujuan hidup yang ideal, pelengkap adat Dalihan Na Tolu, penambah wibawa orangtua, pewaris harta kekayaan, penerus garis keturunan (marga).
2.
Hamoraon, yaitu kepemilikan harta yang berwujud materi maupun non materi yang di peroleh melalui usaha sendiri ataupun dari warisan yang diterimanya.
3.
Hasangapon, yaitu pengakuan dan penghormatan atas wibawa dan martabat seseorang.
Metode pencapaian pandangan hidup ini diatur oleh struktur sosial “Dalihan Na Natolu”.Ketiga unsur kehidupan ideal tersebut harus berjalan bersamaan dan diaplikasikan dalam kepercayaan dan adat istiadatnya. Hasangapon yang sesungguhnya akan terlihat pada saat seseorang mati. Kematian dalam budaya suku Batak Toba mendapatkan perlakuan adat yang berbeda-beda berdasarkan umur dan status dari orang tersebut. Seseorang yang mati dengan mencapai ketiga unsur tersebut dianggap telah mencapai sebuah kedudukan terhormat yang merupakan dambaan dari setiap masyarakat Batak Toba. Adanya pandangan hidup ideal seperti ini membawa dampak positif bagi masyarakatnya, karena setiap anggota masyarakat akan berusaha mencapai kedudukan tersebut. Sebagaimana kita ketahui, dalam setiap masyarakat akan dijumpai lapisanlapisan sosial, karena setiap masyarakat mempunyai sikap menghargai yang tertentu terhadap bidang-bidang tertentu pula. (Soerjono Soekanto, 2012). Adanya pandangan hidup ideal yang dianut oleh masyarakat Batak Toba memunculkan penggolongan anggota masyarakat ke dalam lapisan-lapisan sosial yang terlihat dari klasifikasi upacara kematiannya. Jenis kematian tersebut terbagi atas dua karena memiliki perbedaan makna, yang pertama adalah upacara adat sebagai given, yang memiliki arti bahwa upacara kematian itu merupakan suatu kegiatan yang wajib dilaksanakan oleh masyarakatnya karena sudah terikat pada sebuah aturan yang telah dianut secara turun-temurun. Perlakuan adat yang akan di terima oleh orang mati tersebut dilakukan sebagai ungkapan penghormatan terakhir.
Berikut ini adalah pembagian posisi kematian seseorang yang diatur dalam adat Batak: a.
Mate di Bortian, sebutan bagi anak yang meninggal dalam kandungan ibunya. Kematian ini belum menadapatkan perlakuan adat.
b.
Mate Poso-poso adalah meninggal ketika masih bayi.
c.
Mate Dakdanak adalah meninggal ketika masih anak-anak.
d.
Mate Bulung adalah meninggal saat remaja.
e.
Mate Ponggol adalah meninggal ketika sudah dewasa tapi belum menikah).
f.
Mate Mangkar, kematian jenis ini terbagi lima, yaitu: 1. Mate Matompas Tataring sebutan bagi Ibu yang telah berumah tangga dengan meninggalkan anak yang masih kecil-kecil. 2. Mate Namatipul Ulu sebutan bagi Ayah yang telah berumah tangga dengan meninggalkan anak yang masih kecil-kecil. 3. Mate naso marpahompu dope, yaitu mati dengan belum memiliki cucu. 4. Mate Punu, sebutan bagi orang yang hanya memiliki anak perempuan. 5. Mate Pupur, sebutan bagi orang yang tidah mempunyai anak lakilaki dan perempuan. (T.M. Sihombing, 1989)
Selanjutnya, ada pula jenis kematian yang tidak hanya semata-mata mendapatkan perlakuan adat tetapi juga menunjukkan prestise ataupun kehormatan. Prestise sendiri merupakan pengakuan sosial terhadap kedudukan tertentu pada posisi-posisi yang dihormati. Prestise akan diperoleh pada saat
seseorang berhasil memperoleh kedudukan dengan perjuangan dan usaha-usaha yang disengaja dilakukannya. Hal ini sama seperti apa yang ada dalam pandangan hidup ideal dalam masyarakat Batak Toba, seseorang akan berusaha memiliki hagabeon, hamoraon, serta hasangapon, dan hal tersebut akan terlihat pada saat dia mati. Jenis kematian yang menunjukkan prestise seseorang, yakni: a.
Mate Sari Matua, sebutan bagi seseorang yang sudah mempunyai cucu dari anak laki-laki dan anak perempuannya. Tidak menjadi masalah apabila masih ada diantara anak-anaknya yang belum menikah.
b.
Mate Sori Matua, sebutan bagi orang yang semua anaknya sudah menikah dan memiliki cucu, namun sudah ada anaknya yang meninggal sebelum dia (tilaha)
c.
Mate Saur Matua, sebutan bagi seseorang yang semua anaknya sudah menikah dan telah mempunyai cucu. Seseorang dapat juga dikatakan Mate Saur Matua meskipun masih ada diantara anaknya yang belum memiliki anak.
d.
Mate Mauli Bulung, sebutan bagi seserorang semua anaknya sudah menikah, memiliki cucu, serta nini dan nono. Dalam pelaksanaan upacara kematiannya, pihak keluarga harus mampu melaksankan pesta besar.
Selain menunjukkan hasangapon dari seseorang, mati dengan cara seperti ini akan dilakukan dengan menyelenggarakan pesta besar yang akan semakin menunjukkan status sosial orang tersebut. Jenis kematian ini memberikan kebanggaan tersendiri bagi masyarakat karena dianggap sempurna karena tidak
memiliki tanggungan lagi. Dalam upacara kematian tertinggi dalam masyarakat Batak Toba, biasanya akan di sembelih seekor kerbau yang menunjukkan tingginya status orang meninggal tersebut di dalam adat maupun kehidupan sosial dan ekonominya. Upacara ini biasanya disertai dengan alunan musik khas Batak yaitu Gondang, memberikan piso-piso (sejumlah uang ataupun kebau) kepada pihak hula-hula sebagai tanda penghormatan. Upacara kematian ini akan dilanjutkan dengan penguburan, dimana tempat penguburan ini terbagi menjadi beberapa tingkatan berdasarkan status dari orang mati. Seseorang yang mati dengan telah mencapai pandangan hidup ideal dalam masyarakat Batak Toba berhak dikuburkan di dalam Tugu ataupun Tambak, sementara orang yang mati tanpa memiliki anak laki-laki tidak berhak dimasukkan ke dalam Tugu atau Tambak. Upacara adat yang berupa pesta dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur karena diberikan umur panjang kepada orang yang mati Saur Matua dan Saur Mauli Bulung. Jenis kematian seperti ini pada umumnya diharapkan oleh suku Batak Toba, karena akan menunjukkan sebuah kehormatan. Adanya kecenderungan nilai prestise yang diperoleh dalam tingkatan kematian Saur Matua membuat banyak keluarga maupun kerabat dari orang mati menginginkan agar status dari orang yang mati tersebut dinaikkan dari Sari Matua menjadi Saur Matua meskipun secara adat istiadat dia masih berada dalam tahap Sari Matua dan Sori Matua. Hal seperti ini bisa saja terjadi pada keluarga yang memiliki status ekonomi tinggi, dan memiliki status terhormat yang layak dijadikan sebagai panutan didalam masyarakatnya. Sementara itu, bagi masyarakat
yang
memiliki
tingkat
ekonomi
menengah
kebawah
ada
kecenderungan sulit untuk direalisasikan. Dinaikkannya status kematian seseorang
bisa saja terjadi, misalnya ketika orang tersebut mati dengan memiiki umur yang sangat panjang, terhormat di dalam masyarakat, serta memiliki status ekonomi tinggi, namun dia masih memiliki anak yang belum menikah. Keluarga dapat meminta kepada Raja-raja setempat (Hula-hula, Boru, dan Bius) agar status orang mati tersebut dinaikkan menjadi Mate Saur Matua. Permintaan ini dapat dikabulkan sebagai penghargaan atas jasa-jasanya ataupun jabatan yang membuat dia disegani oleh masyarakat, serta faktor ekonomi ataupun kekayaannya. Sebaliknya, ada orang-orang tertentu yang memilih untuk mempertahankan posisinya sesuai ketentuan adat yang ada, meskipun sudah ada persetujuan dari Raja-raja setempat dan masyarakat untuk menaikkan statusnya menjadi Saur matua, sebagai bentuk balas jasa atau penghormatan atas jasa-jasa yang pernah dilakukannya. Adanya peluang bagi orang yang mati untuk dinaikkan statusnya kedalam tingakatan kematian ideal menjadi indikasi munculnya pergeseran adat istiadat yang yang sebelumnya di anggap baku dan harus ditaati mengalami perubahan.
1.2.
Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka yang menjadi rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana pergeseran tradisi upacara kematian yang terjadi pada masyarakat Etnis Batak Toba karena adanya nilai prestise? 2. Bagaimana masyarakat di Kecamatan Tarutung memaknai pergeseran tradisi pada upacara kematian?
1.3.
Tujuan Penelitian Berdasarkan
rumusan masalah diatas, maka yang menjadi tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pergeseran tradisi upacara kematian pada Etnis Batak Toba, karena adanya nilai prestise dan bagaimana masyarakat memaknai pergeseran tersebut.
1.4.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memiliki manfaat bagi peneliti maupun bagi
orang lain. Khususnya bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Adapun manfaat penelitian ini adalah: 1. Manfaat Teoritis Untuk dapat menambah wawasan kajian ilmiah bagi mahasiswa, khususnya mahasiswa sosiologi serta dapat memberikan kontribusi bagi ilmu sosial dan masyarakat yang membutuhkannya. 2. Manfaat praktis Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan penulis dalam membuat karya tulis ilmiah dapat menambah referensi dari pada hasil penelitian dan dapat dijadikan sebagai bahan rujukan bagi peneliti berikutnya.