Bab 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Bertetangga merupakan bagian kehidupan manusia yang hampir tidak
bisa ditolak. Sebab manusia memang tidak semata-mata makhluk individu, tapi juga merupakan makhluk sosial. Faktanya, seseorang memang tidak bisa hidup sendirian. Mereka satu sama lain harus selalu bermitra dalam mencapai kebaikan bersama. Dunia yang semakin modern semakin meninggalkan kebiasaan hidup bertetangga. Kehidupan bertetangga sebenarnya masih bisa ditemui di banyak pedesaan, contohnya, LampungPost.com (2012) memberitakan bahwa kegiatan gotong royong maupun kegiatan siskamling (sistem keamanan lingkungan) dan kegiatan lainnya dapat mempererat hubungan atau interaksi dengan tetangga atau lingkungan dekat rumah. Sebagai makhluk sosial, setiap orang tidak akan pernah hidup dengan dirinya sendiri, tanpa bergantung pada orang lain yang ada di sekitarnya. Seseorang akan selalu butuh dengan yang lain, tidak hanya untuk saling bantu dan tolong menolong, tapi juga untuk membangun komunitas sosial yang saling mendukung dan bekerja sama untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Pada kehidupan jaman sekarang kehidupan bertetangga tidak sama dengan kehidupan bertetangga pada jaman dahulu, terlihat pada fenomenafenomena yang ada di masyarakat tentang kerenggangan hubungan bertetangga dalam kehidupan sehari - hari.
Kohesivitas merupakan sebuah kelekatan antar anggota kelompok atau komunitas. Beberapa teori mempertimbangkan kohesivitas sebagai sebuah ketertarikan personal (Lott & Lott, 1965). Kohesi sosial yang melemah dapat dilihat diantara lain, karena kian mengecilnya ruang untuk saling menyapa, saling berbagi, dan membuka diri dengan sesama. Ruang-ruang itu mengecil oleh persaingan dan pola kerja, prosedur resmi, hedonisme, sikap ortodoks, serta kian canggihnya alat telekomunikasi yang membuat manusia merasa jauh meski dekat dan tidak adanya sense of belonging antar sesama membuat seseorang merasa dirinya tidak di terima dan tidak diakui sebagai bagian dari suatu komunitas (Kompas.com ,2012).
Menurut Perry (2001) menyatakan kohesi sosial juga bisa disebut social bonding, bahwa social bonding merupakan hubungan antara seseorang dengan orang yang lain dan melalui social bonding terbentuklah attachment (ikatan kasih sayang). Pada kehidupan bertetangga saat ini terlihat berkurangnya kelekatan sosial seperti contoh kasus pembunuhan yang terjadi di Jawa Timur. Antarajatim.com (2012) memberitakan karyawan bank ditemukan tewas dibunuh, korban dipendam di lahan halaman belakang rumah korban, korban ditemukan setelah beberapa hari korban menghilang. Menurut sejumlah tetangga korban tidak begitu akrab dengan korban. Pada kasus ini korban yang jarang sekali berkomunikasi dengan para tetangga
dari kerenggangan tetangga tersebut
korban baru diketahui bahwa korban meninggal karena terciumnya bau tidak sedap dilahan perkarangan korban. Contoh yang dapat dilihat dari kurangnya kelekatan dengan tetangga terjadi pada kasus sebagai berikut. Pada 19 Oktober 2010 terjadi perkelahian antara tetangga yang berujung pidana. Kasus ini terjadi karena hal yang sederhana, karena seorang mahasiswi yang sedang menjaga warung ibunya disangka oleh tetangganya memandang ke arahnya secara terus
menerus. Tetangga ini memukuli mahasiswi tersebut dan terjadi perkelahian antara ibu korban dan tetangganya, dan kasus ini dibawa sampai ke polsek karena tetangga lainnya tidak dapat berhasil melerainya (PBH PERADI, 2010)
Kohesi sosial terdapat dalam grup besar maupun kecil. Ada 3 karakteristik kohesi sosial, yaitu (1) komitmen individu untuk norma dan nilai umum, (2) kesaling-tergantungan yang muncul karena adanya niat untuk berbagi (shared interest), dan (3) individu yang mengidentifikasi dirinya dengan grup tertentu menurut
Mitchell
(1994,
dalam Maharani 2009). Kehidupan
bertetangga adalah salah satu kelompok kecil yang diungkapkan Buckner (1988). Kehidupan bertetangga adalah hal yang penting namun sering diremehkan terutama oleh penduduk di kota besar. Penduduk kota besar terutama yang berada di kawasan elit cenderung hidup secara individualis dan kurang menjalin sosialisasi dengan masyarakat sekitar. Padahal menjalin hidup bermasyarakat tidak bisa dilepaskan dari hidup bertetangga. Apalagi tetangga adalah lingkungan yang terdekat dengan rumah kita. Tentunya akan lebih menyenangkan hidup dengan saling mengenal daripada bersikap acuh atau berpura-pura tidak melihat terhadap tetangga. Kerenggangan bertetangga pada jaman ini terlihat pada beberapa fenomena sebagai berikut: kasus penembakan ketua RT (Rumah Tangga) yang terjadi di Solo, dimana ketua RT tersebut telah di tembak oleh preman kampung namun tetangga tidak mengetahui kejadian tersebut (Solo.pos, 2012).
Warga Jalan Sunter Selatan Ancol, Tanjung Priok, dikejutkan dengan kematian salah seorang warganya. Soraya meninggal setelah dirawat di Rumah Sakit Persahabatan Jakarta Timur selama 10 hari. Warga sekitar tidak mengetahui penyebab kematiannya. Ternyata korban meninggal karena
terjangkit flu burung. Selama korban sakit, tetangga sekitar tidak mengetahui bahwa korban sakit hingga kematian korban (Tempo.co, 2012). Akibat sengketa lahan pembatas pagar rumah, seorang pria lanjut usia tewas setelah ditebas golok di bagian lehernya oleh tetangganya sendiri. Korban langsung terkapar setelah ditebas golok (Watampone,2012). Lampung Post (2012) memberitakan gotong royong merupakan suatu kegiatan sosial yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia dari jaman dahulu kala hingga saat ini. Rasa kebersamaan ini muncul, karena adanya sikap sosial tanpa pamrih dari masing-masing individu untuk meringankan beban yang sedang dipikul. Hanya di Indonesia, kita bisa menemukan sikap gotong royong ini karena di negara lain tidak ada sikap ini dikarenakan saling acuh tak acuh terhadap lingkungan di sekitarnya. Kegiatan gotong royong di Jakarta terlihat semaking berkurang seperti pemberitaan yang ada di Portal Resmi Provinsi DKI.Jakarta yang menyatakan berkurangnya budaya gotong royong dalam membersihkan rumah. Pappa (1999) menyatakan, kehidupan bertetangga berubah mengikuti kemajuan teknologi. Setiap individu sudah memiliki kepentingan dan urusannya masing-masing. Kebutuhan interaksi terhadap tetanggapun semakin berkurang. Canggihnya mobile phone menciptakan kemudahan interaksi antar pribadi langsung atau face to face semakin berkurang. Canggihnya teknologi mobile phone menciptakan kemudahan berkomunikasi dengan siapa saja melalui telepon genggam atau ponsel. Hal ini juga yang membuat interaksi antar pribadi (face-to-face, body-to-body interaction) semakin berkurang. Masyarakat merupakan sebuah sistem yang terdiri dari berbagai bagian atau subsistem yang saling berhubungan. Bagian-bagian tersebut berfungsi
dalam segala kegiatan yang dapat meningkatkan kelangsungan hidup dari sistem. Berkembangnya mobile phone sebagai kebutuhan primer pada masyarakat, menyebabkan perubahan-perubahan seperti kehidupan bertetangga jaman modern seperti sekarang pengaruh-pengaruh penggunaan teknologi mobile menyebabkan perubahan-perubahan pada manusia. Menurut artikel yang ditulis oleh MetroTv.com (2012), dalam sebuah penelitian yang dikutip dari Ninemsn, ditemukan kesimpulan bahwa telepon seluler yang pada awalnya diperuntukan sebagai alat berkomunikasi, lambat laun berkembang fungsinya sebagai alat hiburan, yang pada akhirnya dapat menyebabkan seseorang egois dan anti sosial saat menggunakannya. Pada penelitian ini menyatakan penggunaan mobile phone terbesar adalah usia produktif yaitu berusia 18-24 tahun. Dimana pada usia ini kebutuhan akan keingintahuan yang besar dan penyerapan akan informasi-informasi. Menurut lembaga riset The Nielsen Company menyatakan kepemilikan mobile phone di Indonesia terus melonjak dan pengguna ponsel tertinggi adalah kelompok usia 18 – 24 tahun (Indotelko, 2011). Pada kelompok usia tersebut adalah mahasiswa yang sedang melakukan jenjang perkuliahan. Responden yang digunakan pada penelitian ini adalah yang menggunakan teknologi mobile phone, menurut Pappa (1999) banyak peneliti khawatir karena ribuan dewasa menjadi egois dalam hubungan interpersonal yang diakibatkan teknologi mobile phone. Dari perubahan tersebut, pengguna mobile phone memiliki dampak positif dan negatif. Dampak positif, pengguna mobile phone dapat lebih cepat dan efisien dalam berkomunikasi walaupun jarak yang begitu jauh, sedangkan dampak negatif yang disebabkan handphone adalah manusia akan malas dalam
bersilahturami atau bertatap muka. Padahal kehadiran fisik seseorang tidak bisa menggantikan betapa canggihnya alat komunikasi. Berdasarkan Kompas (2012), telepon seluler memang membuat kita terhubung dengan teman dan komunitas yang lebih luas. Tetapi, keasyikan kita terhadap ponsel ternyata mengurangi rasa keingintahuan sosial. Bahkan, para pengguna ponsel diketahui lebih egois. Sikap mementingkan diri sendiri yang dimiliki para pengguna ponsel itu, antara lain, disebabkan karena berkurangnya rasa keterhubungan dengan sekitarnya. Penelitian di Malaysia menyatakan teknologi mobile sudah masuk di Malaysia sejak tahun 1998, dimana pengguna terbesar mereka tidak hanya di kalangan dewasa saja tetapi telah merasuk kedalam kalangan remaja. Teknologi mobile phone adalah suatu kebutuhan yang utuh untuk mereka, dengan menggunakan teknologi mobile phone mereka dapat menjaga komunikasi dengan keluarga, teman, dan dapat berbisnis namun disisi lain interaksi tatap muka semakin berkurang menurut Abdullah (2004 dalam jurnal Zulkefly 2009). Hassan
(1999)
mengemukakan
teknologi
komunikasi
cenderung
memungkinkan terjadinya transformasi berskala luas dalam kehidupan manusia. Transformasi tersebut telah memunculkan perubahan dalam berbagai pola hubungan antar manusia (patterns of human communication), yang pada hakikatnya adalah interaksi antar pribadi (interpersonal relations). Pertemuan tatap muka (face to face) secara berhadapan dapat dilaksanakan dalam jarak yang sangat jauh melalui tahap citra (image to image). Banyak peneliti khawatir karena ribuan orang menjadi egois dalam hubungan
interpersonal
yang
diakibatkan
teknologi
yang
berkembang
(Pappa,1999). Dengan berkembangnya teknologi yang semakin maju, dan
penggunaan teknologi mobile phone yang semakin meningkat di khawatirkan masyarakat semakin rendah dalam bertatap langsung atau berinteraksi secara face to face dengan tetangganya. Budyatna (2005), yaitu dengan munculnya penggunaan
ponsel
dapat
mempengaruhi
suatu
proses
yang
bersifat
transaksional dalam interaksi tatap muka. Melihat fenomena-fenomena dan teori – teori yang ada diatas penggunaan mobile phone banyak digunakan oleh usia 18-24 tahun yaitu mahasiswa,
peneliti
tertarik
mengambil
subjek
mahasiswa
dikarenakan
pengguna mobile phone yang terbanyak adalah mahasiswa, yang nantinya akan menjadi orangtua bagi anak-anaknya dan kepedulian tentang kelekatan bertetangga dan menyebarkan budaya pada anak-anaknya. 1.2
Rumusan Masalah Pada penelitian ini peneliti mengambil subjek mahasiswa, menurut
lembaga riset The Nielsen Company menyatakan pengguna mobile phone di Indonesia adalah kelompok usia 18-24 tahun yang dapat dikatakan mereka yang sedang melakukan perkuliahan. Maka pada rumusan masalah ini peneliti ingin melihat, “Apakah terdapat hubungan antara dimensi penerimaan teknologi mobile dengan kohesi bertetangga?”
1.3
Tujuan Penelitian Tujuan dari dilaksanakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui
apakah ada hubungan antara dimensi penerimaan teknologi mobile phone dengan kohesi bertetangga.
1.4
Manfaat Penelitian Dalam penelitian ini peneliti mengharapkan dapat memberikan manfaat
berupa : 1. Orangtua dapat mengontrol penggunaan mobile phone pada anaknya, apabila diperlukan, sehingga anak dapat bersosialisasi dengan tetangga. 2. Dapat memasukan dalam kurikulum sekolah pentingnya mempunyai kelekatan bertetangga meskipun hidup ditengah perkembangan teknologi mobile phone yang berkembang pesat.