Bab 1 Pendahuluan 1.1
Latar Belakang Masalah Pemerintah sebagai organisasi sektor publik mempunyai tugas utama untuk
menciptakan kesejahteraan masyarakat. Salah satu cara untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat adalah menciptakan penyelenggaraan pemerintah yang baik. Penyelenggaraan pemerintahan negara untuk mewujudkan tujuan bernegara menimbulkan hak dan kewajiban negara yang perlu dikelola dalam suatu sistem pengelolaan keuangan negara. Pengelolaan keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perlu dilaksanakan secara profesional, terbuka, dan bertanggung jawab untuk kepentingan rakyat, yang diwujudkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintah negara yang telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam rangka pengelolan keuangan negara, Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara menjalankan fungsinya melalui Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan
Kementerian
Keuangan
yang
berada
di
bawah
dan
bertanggung jawab langsung kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan. Sedangkan kementerian negara/lembaga melalui Satuan Kerja (Satuan kerja) merupakan bagian dari suatu unit organisasi pada kementerian negara/lembaga yang melaksanakan satu atau beberapa kegiatan dari suatu organisasi yang membebani dana APBN. Anggaran negara merupakan
1
motor penggerak yang digunakan oleh pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan. Dalam prakteknya pelaksanaan penganggaran berbasis kinerja yang mengusung semangat reformasi keuangan negara masih sering tidak berjalan sebagaimana mestinya. Adanya keterlambatan penyerapan dana APBN oleh kementerian negara/lembaga dan satuan kerja di bawahnya masih terjadi, meskipun undang-undang tentang keuangan negara telah dihasilkan. Fenomena pola penyerapan anggaran yang terjadi pada saat ini adalah cenderung rendah pada awal tahun anggaran kemudian merata sampai dengan pertengahan tahun anggaran, tetapi selanjutnya melonjak pada periode akhir triwulan keempat. Trend penyerapan anggaran tersebut telah menjadi pola yang terjadi pada setiap pelaksanaan tahun anggaran. Pada awal tahun anggaran, penyerapan anggaran rendah disebabkan karena perintah pembayaran tagihan yang diajukan satuan kerja kepada Kantor Wilayah Perbendaharaan Negara (KPPN) hanya terbatas pada kegiatan operasional yang bersifat rutin seperti tagihan pembayaran belanja pegawai, belanja barang dan jasa, ataupun belanja pemeliharaan. Rendahnya penyerapan anggaran pada awal tahun terjadi karena banyak kegiatan yang sudah ditetapkan dalam DIPA yang belum dapat dilaksanakan oleh satuan kerja. Hal yang berbeda pada periode akhir triwulan keempat, yaitu terdapat penumpukan pengajuan perintah pembayaran tagihan atas kegiatan-kegiatan yang secara serentak dilaksanakan oleh satuan kerja.
2
Berdasarkan
data
dari
Unit
Kerja
Presiden
Bidang
Pengawasan
Pengendalian Pembangunan (UKP4), diketahui bahwa sampai dengan triwulan II Tahun 2012 tingkat rata-rata penyerapan anggaran Kementerian Negara / Lembaga
untuk
belanja
keseluruhan
adalah
31,98%.
Kementerian
Negara/Lembaga dengan penyerapan tertinggi adalah BKKBN sebesar 46,14%, sedangkan yang terendah adalah Kementerian Perumahan Rakyat 2,39%. Dari total penyerapan anggaran tersebut, realisasi pada belanja modal hanya 19,84%. Apabila dibandingkan dengan tingkat penyerapan anggaran tahun-tahun sebelumnya, yaitu bahwa tingkat penyerapan anggaran akan melonjak pada triwulan terakhir (triwulan IV). Secara umum pola penyerapan anggaran yang cenderung terakumulasi pada triwulan IV, selain akan menjadi pemicu inflasi dikhawatirkan juga terjadi inefektivitas dan inefisiensi kegiatan yang boros tanpa memperhatikan output dan outcome-nya. Sindrom akhir tahun anggaran ini cenderung buruk bagi kinerja birokrasi di Indonesia. Pembelanjaan bukan sepenuhnya didasari pencapaian kinerja, melainkan lebih karena penghabisan/penyerapan anggaran. Kinerja tidak lagi efektif, sehingga dampak pembangunan dan pertumbuhan di berbagai sektor menjadi tersendat dan cenderung tidak tepat sasaran. Pola pencairan anggaran sebagian besar terjadi di akhir tahun anggaran yang
disebabkan
oleh
keterlambatan
dalam
proses
awal
pelaksanaan,
keterlambatan Satker dalam proses pembayaran, dan preferensi dari banyak kontraktor untuk menyampaikan tagihan-tagihan pembayaran menjelang akhir tahun fiskal. Pencairan pertamaumumnya dilakukan pada akhir triwulan pertama
3
dan kemudian bervariasi sesuai dengan sifat dari proyek. Terdapat berbagai inkonsistensi ketika membandingkan antara rencana pencairan dengan realisasi keuangan dan antara rencana kemajuan fisik dengan realisasi kemajuan fisik. Inkonsistensi
tersebut
disebabkan
oleh
tantangan-tantangan
yang
telah
teridentifikasi di atas selama penyusunan anggaran, pengadaan, dan pelaksanaan. Bagi proyek-proyek bukan konstruksi dan kurang dari satu tahun (yaitu proyek yang tidak melibatkan pembebasan tanah), Satker dapat mulai proses pencairan untuk uang muka di bulan Maret hingga Mei, sementara pencairan bagi proyekproyek konstruksi dan proyek yang lebih dari satu tahun (yaitu pengadaan berskala besar dan rumit yang membutuhkan pre-kualifikasi, jaminan bank, dll.) dimulai cukup lambat pada bulan Agustus atau September. Selain itu, juga terdapat perbedaan ketika membandingkan antara kemajuan fisik dan keuangan. Hal ini disebabkan oleh preferensi kontraktor untuk menunda penyerahan tagihantagihan hingga triwulan terakhir, yang disebabkan oleh rumitnya prosedur pembayaran. Beberapa kontraktor juga memiliki sumber daya dan kapasitas yang terbatas untuk menyiapkan dokumen-dokumen yang dibutuhkan untuk meminta pembayaran. Selain itu, keterlambatan dalam kemajuan keuangan dibanding kemajuan fisik juga dapat disebabkan oleh keterlambatan proses di Satker. Sistem pemantauan yang jelas masih belum ada dan kurangnya dorongan untuk memantau proses penerbitan perintah pembayaran oleh Satker kepada KPPN. Selain itu, perbedaan itu juga dapat disebabkan oleh prinsip anggaran yang mengharuskan bahwa pembayaran hanya dapat dilakukan setelah pembangunan dilakukan ataubarang-barang/jasa-jasa telah diterima.
4
Dalam pelaksanannya, banyak proyek-proyek yang ternyata tidak dapat diselesaikan tepat waktu sampai dengan tanggal 31 Desember sehingga memerlukan penyelesaian sisa pekerjaan di tahun anggaran berikutnya. Faktor yang menyebabkan keterlambatan dalam penyelesaian pekerjaan salah satunya adalah karena kendala alam ataupun kendala teknis lainnya. Penyerapan anggaran yang terlambat perlu mendapat perhatian yang serius dari pemerintah. Banyak faktor-faktor yang mempengaruhi keterlambatan penyerapan anggaran antara lain dari proses perencanaan, proses pelaksanaan, prosws pengadaan barang dan jasa, hingga faktor-faktor internal dari pengguna anggaran. Pemerintah telah berupaya untuk mempercepat proses penyerapan anggaran antara lain dengan perbaikan kelembagaan, perbaikan bisnis proses, penataan sumber daya manusia hingga perbaikan penghasilan/remunerasi untuk meningkatkan kinerja pelayanan terutama yang berhubungan dengan penyerapan anggaran. Untuk lebih mengoptimalkan perencanaan penarikan/penyerapan anggaran oleh satker/pengguna anggaran, Pemerintah telah menerbitkan PMK No 192/PMK 05/2009 tentang Perencanaan Kas. PMK tersebut memberikan pedoman kepada pengguna anggaran dalam melakukan perencanaan penarikan dana. Dengan adanya perencanaan yang baik diharapkan dapat memeberikan peningkatan kualitas
dalam
penyerapan
anggaran
satker.
Namun
kenyataannya
proyeksi/perencanaan penarikan dana yang dilaporkan satker kepada BUN tidak akurat, bahkan terdapat satker yang tidak melaporkan rencana penarikan dana. Hal
5
ini disebabkan tidak ada sanksi yang nyata apabila satker tidak mengirim laporan proyeksi penarikan dana (Hendris Herriyanto, 2012). 1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan masalah penelitian ini adalah
bagaimana tingkat keterlambatan penyerapan anggaran belanja pada Kementerian Negara/Lembaga di wilayah kerja KPPN Yogyakarta TA 2014. 1.3
Tujuan Penulisan Dengan mengacu rumusan masalah tersebut maka tujuan penulisan ini
adalah sebagai berikut 1. Mengetahui tingkat keterlambatan penyerapan anggaran belanja pada Kementerian Negara/Lembaga di wilayah kerja KPPN Yogyakarta TA 2014. 2. Mengetahui permasalahan dalam tahapan proses realisasi yang menjadi penyebab keterlambatan penyerapan anggaran belanja Kementerian Negara/Lembaga di wilayah pembayaran KPPN Yogyakarta tahun 2014. 1.4
Kerangka Penulisan Kerangka Penulisan Laporan Tugas Akhir dibagi menjadi 4 (empat) bab
sebagai berikut : 1. BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini dijelaskan latar belakang, perumusan masalah, tujuan, dan kerangka penulisan yang diterapkan dalam memaparkan tugas akhir. 2. BAB II GAMBARAN UMUM PENULISAN
6
Pada bab ini dijelaskan Kondisi umum topik penulisan, Tinjauan Pustaka atau Kajian Sebelumnya, Metodologi, dan Jenis dan/atau Sumber Data. 3. BAB III ANALISIS dan PEMBAHASAN Pada bab ini dijelaskan mengenai hasil analisis penyerapan anggaran pada Kementerian/Lembaga di wilayah kerja KPPN Yogyakarta Tahun Anggaran 2014. 4. BAB IV KESIMPULAN dan SARAN Pada bab ini dijelaskan mengenai kesimpulan yang didapatkan dari seluruh proses pengerjaan tugas akhir beserta saran untuk proses pengembangan selanjutnya.
7