BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Bahasa merupakan alat komunikasi yang digunakan oleh manusia untuk berinteraksi sosial. Setiap manusia menggunakan bahasa untuk berhubungan dengan sesamanya. Dalam hal ini, pembelajaran bahasa sangat diperlukan oleh setiap anak, baik itu anak-anak yang memiliki keterbatasan fisik dan mental maupun tidak. Khususnya untuk anak-anak yang memiliki keterbatasn, kelainan atau gangguan tersebut dapat berpengaruh terhadap seluruh aspek kehidupan. Berkaitan dengan pentingnya bahasa untuk komunikasi bagi orang yang mempunyai kelainan atau gangguan, diperlukan adanya suatu pembelajaran bagi anak dengan kelainan bicara dan bahasa. Hal ini sebelumnya telah dilakukan oleh Brown (1973) yang meneliti perkembangan tiga anak, Adam, Eve, dan Sarah untuk mengetahui bagaimana sistem gramatikal mereka berkembang. Untuk bahasa Indonesia, Dardjowidjojo (2000) telah mengikuti perkembangan cucunya dari lahir sampai umur lima tahun. Khusus dalam bidang fonologi, Yulianto (2001) juga telah melakukan kajian bagaimana anak memperoleh fonologi bahasa Indonesia dari umur 1,0 – 2,6 (Dardjowijojo, 2003:228). Selain itu, ada hipotesis yang menyebutkan bahwa pembelajaran bahasa perlu dilakukan pada anak yang mempunyai kelainan atau gangguan. Secara lengkap hipotesis tersebut menyatakan bahwa anak yang mempunyai kebutuhan khusus memerlukan bentuk pelayanan pendidikan khusus yang disesuaikan
1
2
dengan kemampuan dan potensi mereka. Contohnya, bagi tunanetra, mereka memerlukan modifikasi teks bacaan menjadi tulisan Braille dan tunarungu berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat. Bahasa itu sendiri merupakan bunyi-bunyi yang membentuk suku kata; dari suku kata terbentuklah kata; rentetan kata yang mengikuti kaidah tertentu membentuk frasa, dan dari frasa-frasa itu terbentuklah klausa. Setelah diberi intonasi, klausa ini menjadi kalimat. Deretan kalimat yang memiliki hubungan makna membentuk wacana (Djarwowidjojo, 2003:59). Wacana-wacana tersebut tersusun secara teratur dan bekerja sama serta saling berhubungan dalam mewujudkan sebuah tuturan. Akan tetapi, dalam suatu pertuturan seseorang perlu mengingat sistem berbahasa (kaidah bahasa) untuk berkomunikasi serta dituntut mampu
menggunakannya.
mengklasifikasikan
Dalam
kemampuan
hal
ini
orang
berbahasanya.
tersebut Penentu
harus
bisa
kemampuan
menggunakan bahasa dalam berkomunikasi (kompetensi komunikatif) adalah perilaku petuturan. Menurut psikolog, pemerolehan tindak tutur merupakan prasarat dalam memperoleh bahasa; pada umunya dalam pemerolehan bahasa terdapat keterkaitan antara bahasa dengan pikiran. Untuk
mengetahui
kemampuan
penyandang
tunagrahita
dalam
menggunakan bahasa perlu dilakukan pengkajian terhadap perilaku pertuturan yang dilontarkan oleh penderita karena penentu kemampuan menggunakan bahasa dalam berkomunikasi (kompetensi komunikatif) adalah perilaku pertuturan. Oleh karena itu, kita dapat melihat perkembangan kemampuan berbahasa seseorang.
3
Adapun penelitian sejenis pernah dilakukan Rosmayanti (2005) yang berjudul “Kajian terhadap Tuturan Kosakata Dasar pada Anak Penderita Autis di SLB Negeri 2 Kota Kabupaten Garut: Suatu Kajian Fonetis”. Penelitian ini berisi tentang kemampuan anak autis dalam memahami kosakata dasar sangat kurang. Hal itu terjadi karena sebagian besar anak autis sulit untuk berkonsentrasi. Ditemukan pula semua bunyi vokal pada bagian awal, tengah, dan akhir dapat dilafalkan dengan baik, tetapi pada penguasaan bunyi konsonan dibagian awal anak autis mengalami kesulitan. Selain penelitian tentang tuturan kosakata dasar di atas, ditemukan pula penelitian terbaru oleh Kusuma (2005) tentang “Tindak Tutur Direktif Anak Usia 4-5 Tahun” yang mengemukakan bahwa anak usia 4-5 tahun lebih banyak menggunakan tindak tutur direktif yang bersifat meminta, menyuruh, dan melarang. Hal ini muncul karena ketiga jenis tindak tutur tersebut langsung menunjukkan efek ilokusinya begitu si anak bertutur. Penelitian tentang tindak tutur banyak dilakukan peneliti sebelumnya. Namun, penelitian tentang tindak tutur penyandang tunagrahita belum pernah peneliti dengar sebelumnya. Oleh karena itu, peneliti mengadakan penelitian ini untuk mengetahui sejauh mana penderita tunagrahita mampu bertindak tutur direktif.
1.2 Masalah Penelitian Pada masalah penelitian ini akan dibahas identifikasi masalah, batasan masalah, dan rumusan masalah. Berikut ini pemaparan dari ketiga hal tersebut.
4
1.2.1
Identifikasi Masalah Pengenalan terhadap masalah dengan judul penelitian “Tindak Tutur
Direktif Penyandang Tunagrahita (Studi Kasus pada Anak Golongan C1 SLB ABC & Autis YPLAB Lembang)” dikumpulkan dalam identifikasi masalah sebagai berikut. 1) Penyandang tunagrahita memiliki kemampuan berbeda dalam menguasai bentuk tindak tutur direktif. 2) Adanya perbedaan tekanan ilokusi yang diperlihatkan penyandang tunagrahita pada saat melakukan tindak tutur direktif. 3) Adanya keanekaragaman wujud tindak tutur direktif yang diperlihatkan penyandang tunagrahita.
1.2.2
Batasan Masalah Setiap penyandang tunagrahita memiliki kemampuan berbeda dalam
menggunakan bentuk tindak tutur direktif. Selain itu, perbedaan usia sangat mempengaruhi tindak tutur yang digunakan penyandang tunagrahita dalam menguasai fungsi direktif. Dalam penelitian ini peneliti membatasi pembahasan hanya pada tindak tutur direktif pada penyandang tunagrahita mengingat keterbatasan waktu, biaya, dan tenaga. Hal-hal yang dibatasi dalam penelitian ini salah satunya adalah peneliti hanya meneliti bentuk tindak tutur direktif saja mengingat penelitian-penelitian sebelumnya banyak yang membahas semua jenis tindak tutur. Responden yang dipilih adalah anak penyandang tunagrahita taraf ringan satu lelaki dan satu perempuan pada golongan C1 yang berada di SLB ABC & Autis YPLAB
5
Lembang. Hal ini dilakukan karena pada golongan C1 responden sudah menguasai bahasa lengkap sehingga menarik untuk diteliti.
1.2.3
Rumusan Masalah Berdasarkan identifikasi batasan masalah di atas, penulis merumuskan
permasalahan yang berhubungan dengan persoalan yang diteliti dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut. 1) Bentuk tindak tutur direktif apa saja yang digunakan oleh penyandang tunagrahita golongan C1 di SLB ABC & Autis YPLAB Lembang? 2) Tekanan ilokusi seperti apa yang diperlihatkan oleh penyandang tunagrahita golongan C1 di SLB ABC & Autis YPLAB Lembang? 3) Wujud tindak tutur direktif apa saja yang diperlihatkan oleh penyandang tunagrahita golongan C1 di SLB ABC & Autis YPLAB Lembang?
1.3 Tujuan penelitian Berdasarkan ruang lingkup permasalahan sebagaimana dirumuskan sebelumnya, penelitian mengenai “Tindak Tutur Direktif Penyandang Tunagrahita (Studi Kasus pada Anak Golongan C1 SLB ABC & Autis YPLAB Lembang)” memiliki tujuan umum, yaitu untuk mengetahui karakteristik tindak tutur penyandang tunagrahita ringan. Sementara itu, tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hal-hal sebagai berikut: 1) bentuk tindak tutur direktif apa saja yang dikuasai oleh penyandang tunagrahita di SLB ABC & Autis YPLAB Lembang;
6
2) tekanan ilokusi yang diperlihatkan oleh penyandang tunagrahita di SLB ABC & Autis YPLAB Lembang; 3) wujud dari bentuk tindak tutur direktif yang digunakan oleh penyandang tunagrahita di SLB ABC & Autis YPLAB Lembang.
1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian mengenai tindak tutur direktif penyandang tunagrahita di SLB ABC & Autis YPLAB Lembang ini diharapkan dapat bermanfaat, baik secara teoretis maupun secara praktis.
1.4.1
Secara Teoretis Dari segi teoretis penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan
dalam pengembangan ilmu bahasa, khususnya dalam bidang pragmatik.
1.4.2
Secara Praktis Adapun secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi
orang tua dalam memberikan dukungan bagi perkembangan anak, khususnya dalam hal pembelajaran bahasa. Alasannya, pembelajaran bahasa penting dilakukan oleh setiap orang termasuk orang yang mempunyai anak dengan kemampuan intelektual di bawah rata-rata, khususnya penyandang tunagrahita. Bagi lembaga, hasil penelitian ini diharapkan dapat membuka cakrawala untuk mengembangkan potensi anak yang mempunyai kemampuan intelektual di bawah rata-rata, khususnya penyandang tunagrahita dari segi kebahasaan.
7
Bagi peneliti, hasil penelitian ini merupakan tambahan pengetahuan dan pengalaman sehingga dapat mengoptimalkan teori yang diteliti untuk mencoba menganalisis fakta, data, gejala, dan peristiwa yang terjadi untuk dapat ditarik kesimpulan secara objektif dan alamiah.
1.5 Definisi Operasional Adapun konsep utama yang perlu didefinisikan dalam penelitian adalah sebagai berikut. 1 ) Tindak tutur direktif adalah tindak tutur yang digunakan penyandang tunagrahita agar orang melakukan sesuatu seperti meminta, menyuruh, melarang, mengingatkan, mengusulkan. Wujud tindak tutur direktif dapat berupa pertanyaan secara lugas, sedikit menyuruh, atau memerintah secara langsung. 2 ) Penyandang tunagrahita adalah seseorang yang mempunyai kemampuan mental dan tingkah lakunya setingkat dengan anak normal usia 8-12 tahun. 3 ) Golongan C1 adalah pengelompokan penyandang tunagrahita ringan yang berada di SLB ABC & Autis YPLAB Lembang. 4 ) SLB ABC & Autis YPLAB Lembang adalah sekolah yang dikhususkan untuk anak yang memerlukan pelayanan pendidikan khusus.