BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Anak merupakan aset bangsa yang berharga, generasi penerus yang kelak akan
memajukan negara. Untuk menjadi generasi penerus bangsa, tentunya harus menjadi anak yang sehat. Anak yang sehat tidak hanya sehat secara fisik, namun juga psikis dan bagaimana dia bersosialisasi dengan masyarakat. Sehat secara fisik dapat dilihat dari sehatnya badan dan pertumbuhan jasmani yang normal; sehat secara psikis dapat dilihat dari berkembanganya jiwa secara wajar, semakin cerdas, perasaan yang peka, serta kemampuan bersosialisasi yang baik; dan sehat secara sosialisasi dapat dilihat dari aktif, gesit, gembira, dan dapat beradaptasi dengan lingkungan (Tabloid Nakita, 2012). Selain sebagai aset bangsa yang berharga, anak adalah anugerah yang diberikan oleh Tuhan kepada setiap pasangan suami-istri. Pria dan wanita yang mempunyai hubungan serius tentunya mereka akan membuat suatu komitmen untuk menempuh jenjang yang lebih jauh lagi yaitu pernikahan, di mana masing-masing mengucapkan janji setia sehidup-semati kepada pasangannya yang disaksikan oleh para pemuka agama, saksi, undangan yang hadir, dan terutama Tuhan. Saat mereka sudah bersatu menjadi sepasang suami-istri, selanjutnya mereka akan mendambakan seorang anak. Setiap orang tua tentunya mempunyai keinginan dan berharap anaknya kelak akan menjadi anak yang sehat, bahagia, mandiri, dan sukses, tidak hanya di dalam keluarga, tetapi juga di masyarakat. Namun, pada kenyataannya, terdapat beberapa orang tua yang dianugerahi anak dengan kebutuhan khusus. Anak berkebutuhan khusus (ABK) mencakup ruang lingkup yang cukup luas, seperti
keterbelakangan mental, ketidakmampuan belajar atau gangguan atensi, gangguan emosi atau perilaku, hambatan fisik, hambatan berkominikasi, autisme, traumatic brain injury, hambatan pendengaran, hambatan penglihatan, atau special gifts or talents (Mangunsong, 2009). Peneliti memberikan perhatian khusus pada penelitiannya yaitu pada anak usia 4 sampai 7 tahun dengan gangguan autistik. Gangguan autistik merupakan bagian dari Aksis I menurut klasifikasi dari DSM IV-TR yang khususnya masuk dalam bagian “Gangguan yang biasanya mulai tampak pada bayi, kanak, atau remaja” (Davison, Neale, & Kring, 2010). Gangguan autistik itu sendiri merupakan gangguan perkembangan yang pervasif (Matson dalam Hadis, 2006). Seorang anak dapat dikatakan memiliki gangguan autistik jika anak tersebut mempunyai masalah atau gangguan dalam bidang komunikasi, interaksi sosial, gangguan sensoris, pola bermain, perilaku, dan emosi (Depdiknas dalam Hadis, 2006). Oleh karena kondisi yang anak tersebut alami, beberapa orang tua tidak dapat menerima kenyataan yang ada dengan mudah dan mengalami peningkatan stress. Penelitian yang dilakukan oleh Davis dan Carter (2008) kepada ibu dan ayah dari 52 balita dengan Autism Spectrum Disorders (ASD) mendapatkan hasil, dikarenakan kondisi anak dengan ASD yang memiliki kekurangan atau keterlambatan dalam social relatedness berdampak pada tingkat stress orang tua. Selain itu, bahkan terdapat orang tua-orang tua yang justru menolak anak tersebut. Menurut penelitian yang sudah dilakukan oleh Novia dan Kurniawan (2007), terdapat salah satu faktor yang menimbulkan penolakan orang tua terhadap anaknya yang memiliki gangguan autistik, yaitu sang anak yang tidak menunjukkan kemajuan seperti yang diharapkan.
Penolakan yang ditunjukkan oleh orang tua tentunya memberikan dampak yang tidak baik terhadap anak yang bersangkutan. Salah satu hal yang akan berdampak tidak baik adalah tahapan perkembangan dari anak yang merupakan kebutuhan utama. Menurut Erik Erikson (dalam Feist & Feist, 2008), kebutuhan utama satu tahun pertama kehidupan adalah adanya rasa percaya terhadap pengasuh utama, biasanya ibu. Rasa percaya pada tahap pertama ini berhubungan erat pada kebutuhan sensori-oral dari seorang bayi. Rasa percaya dapat timbul dengan memberikan perhatian kepada anak, seperti menyediakan atau memberikan makan disaat lapar, memberikan perlindungan, ataupun kebutuhan-kebutuhan lainnya. Selain itu, mendengar suara ibu yang ramah secara konsisten juga dapat mengembangkan
dan
memperkuat
rasa
percaya.
Elemen
kritis
dalam
mengembangkan rasa percaya adalah perawatan yang sensitif, responsif, dan konsisten (Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Kasus penolakan orang tua terhadap anaknya yang memiliki gangguan autistik/ASD dialami oleh Phillip dan Stephen, di mana sang ayah memilih untuk meninggalkan mereka saat diagnosis ditegakkan. Namun beruntung, ibu kedua anak tersebut masih setia dan terus berjuang demi kelangsungan hidup mereka (Thomas & Brozek, 2012). Selain itu, dilihat dari salah satu gejala utama yang juga merupakan kelemahan dari anak dengan gangguan autistik/ASD yaitu interaksi sosial, serupa dengan gambaran yang terjadi pada anak ASD di lapangan. Peneliti melakukan wawancara kepada salah satu psikolog sebuah klinik di Jakarta Barat dan mendapatkan fenomena bahwa anak dengan gangguan autistik/ASD merupakan individu yang pasif (interaksi sosial lemah), dengan kepasifannya tersebut, yang berarti kurangnya responsif terhadap orang lain, orang tua dari anak tersebut pun menjadi individu yang
pasif (V.Susanty, personal communication, November 10, 2012). Mereka tidak tahu bagaimana cara untuk berinteraksi dengan anaknya, bahkan mereka kehilangan cara bermain dengan anak karena disaat orang tua mencoba melakukan interaksi, anak tidak memberikan timbal balik atau respon untuk menjawab interaksi tersebut. Namun, hal tersebut tidak semata-mata karena kesalahan dari anak atau tidak sematamata karena kelemahan dari anak dengan gangguan autistik/ASD. Ketidaktahuan orang tua mengenai cara bermain dengan anak juga merupakan hal yang perlu diperhatikan. Orang tua cenderung membanjiri anak dengan pertanyaan-pertanyaan, bukan mengajak anak bermain dalam arti sebenarnya. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh orang tua seperti, “ini apa?”, “ini warna apa?”, “ini angka berapa?”, dan sebagainya. Dikarenakan keadaan seperti itu, tidak sedikit orang tua yang justru lebih memilih untuk menyerahkan anaknya kepada pihak-pihak yang terkait atau pihakpihak yang mendalami gangguan autistik/ASD, seperti psikolog, psikiater, atau terapis. Sedangkan, untuk membantu perkembangan anak dengan gangguan autistik/ASD tidak dapat hanya dengan terapi, namun keikutsertaan orang tua juga sebagai pendorong keberhasilan yang tentunya sangat diharapkan. Selain itu, menurut Newell (dalam Dolloff, 2008), orang tua adalah terapis terbaik yang dapat membantu berkembang dan jalannya fungsi dari otak bagi anak penderita down syndrome, gangguan konsentrasi, autis, cerebral palsy, gangguan belajar, dan juga gangguan penglihatan, serta gangguan pendengaran. Peran dari keikutsertaan orang tua dapat dilihat dari kasus yang terjadi pada salah satu anak bernama Andi (bukan nama sebenarnya) berusia kurang lebih 10 tahun. Andi seorang anak dengan gangguan autistik/ASD. Tahun 2012, tepatnya sebelum lebaran, perkembangan dari terapi yang sudah dia lakukan mengalami
peningkatan yang cukup memuaskan, seperti mulai dapat melakukan kontak mata dengan orang lain, adanya respon yang dia berikan, dan sebagainya. Keberhasilan tersebut tidak hanya karena peran dari terapis, melainkan adanya campur tangan dari orang tua, khususnya ibu, seperti ikut mengantar anak menjalani terapi, ikut kegiatan anak saat sedang bermain, ikut aktif membantu anak saat terapi di rumah, dan lain sebagainya. Namun saat lebaran tiba, babysitter yang biasa menemani Andi dan adiknya pulang ke kampung halamannya. Kondisi tersebut mengakibatkan sang ibu lebih memfokuskan diri pada adiknya yang pada saat itu masih bayi. Dikarenakan berkurangnya peran ibu tersebut, kondisi perkembangan dari Andi mengalami penurunan dan cukup mengagetkan pihak klinik dan orang tua (V.Susanty, personal communication, November 10, 2012). Di dalam 20 sampai 30 tahun terakhir, jumlah penyandang gangguan autistik/ASD semakin meningkat (Moekdas, Sukadi, & Yuniati, 2010). Namun, di Indonesia sendiri belum ada penelitian yang mendalam, sehingga jumlah penyandang gangguan autistik/ASD belum diketahui dengan tepat (Yayasan Autisma Indonesia, 2008). Seperti pernyataan yang diutarakan oleh Dr. Ika Widyawati (Wijaya, 2010), Beliau hanya memperkirakan dan tidak terdapat perhitungan yang tepat. Beliau memperkirakan terdapat kurang lebih 6.900 anak dan jumlah tersebut meningkat setiap tahunnya. Selain itu, sensus penduduk pada tahun 2010 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik, sudah terdapat pengelompokan untuk topik Kesejahteraan Sosial pada tingkat kesulitan mengingat atau berkonsentrasi, namun penyandang gangguan autistik/ASD tidak dikategorikan sendiri, melainkan digabungkan dengan tunarungu/wicara. Berdasarkan berbagai studi yang sudah dilakukan, menunjukkan bahwa gangguan autistik/ASD empat kali lebih banyak terjadi pada anak laki-laki
dibandingkan pada anak perempuan (Volkamr, Szatmari, & Sparrow dalam Davison, Neale, & Kring, 2010). Namun, anak perempuan penyandang gangguan autistik/ASD biasanya mempunyai gejala yang lebih berat dan hasil tes inteligensinya lebih rendah dibandingkan dengan anak laki-laki (Widyawati dalam Mangunsong, 2009). Banyak asumsi yang salah mengenai penyebab gangguan autistik/ASD (Davison, Neale, & Kring, 2010). Faktor penyebab yang sebenarnya masih terus dicari dan masih dilakukan penelitian sampai saat ini. Namun, faktor genetika memegang peran penting menurut beberapa teori terakhir (Hadis, 2006). Hal tersebut terlihat dari kemiripan gangguan autistik/ASD yang sama pada bayi kembar satu telur (Hadis, 2006). Selain itu juga dapat disebabkan oleh virus rubella, toxo, herpes, jamur, nutrisi yang buruk, pendarahan, dan keracunan makanan saat masa kehamilan yang dapat menghambat pertumbuhan pada sel otak (Depdiknas dalam Hadis, 2006). Menurut Semiun (2006), gangguan autistik/ASD memiliki tiga gejala utama. Gejala pertama, kurangnya responsif terhadap orang lain. Anak dengan gangguan autistik bukan menarik diri dari masyarakat, namun sejak awal mereka memang tidak pernah sepenuhnya bergabung dengan masyarakat (Davison, Neale, & Kring, 2010). Menurut Mangunsong (2009), saat bayi atau balita, anak dengan gangguan autistik/ASD tidak menunjukkan respon saat diangkat atau dipeluk. Tidak adanya perbedaan respon saat berhadapan dengan orang terdekat dan orang lain. Mereka juga memiliki tatapan mata yang berbeda, bahkan terkadang menghindari kontak mata dengan orang lain. Gejala kedua, gangguan komunikasi. Mengoceh atau babbing jarang dilakukan saat bayi (Ricks dalam Davison, Neale, & Kring, 2010). Babbing adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan ucapan bayi sebelum mereka mulai mengucapkan kata-kata yang sebenarnya (Davison, Neale, & Kring, 2010). Selain itu, anak dengan gangguan autistik/ASD mengalami abnormalitas
dalam intonasi, rate, volume, dan isi bahasa, seperti berbicara layaknya robot atau mengulang perkataan orang lain yang didengarnya (Mangunsong, 2009). Gejala ketiga, perilaku atau minat yang diulang-ulang, seperti berputar-putar dengan cepat (twirling), memutar-mutar objek, mengepak-ngepakkan tangan (flapping), bergerak maju mundur atau kiri kanan (rocking) (Mangunsong, 2009). Dilihat dari ciri-ciri anak dengan gangguan autistik/ASD yang sudah dijelaskan sebelumnya, peneliti ingin melihat bagaimana orang tua mempersepsikan attachment atau kelekatan yang dimiliki oleh anak mereka yang memiliki gangguan autistik/Autism Spectrum Disorder (ADS). Di mana peran orang tua untuk membantu perkembangan anak selayaknya terapis yang baik seperti yang dikatakan Newell (dalam Dolloff, 2008) atau agar perkembangan dari anak dengan gangguan autistik/ASD dapat meningkat, butuh sebuah kedekatan atau kelekatan diantara anak dan orang tua, dalam hal ini tentunya orang tua adalah figur yang penting. Kelekatan atau attachment dapat berkembang jika hubungan antara ibu dan anak terjalin harmonis. Selain itu, attachment juga dapat berkembang dengan baik karena adanya rasa percaya (trust) pada orang-orang di sekitarnya, khususnya orang tua. Rasa percaya (trust) mulai dikembangkan pada masa bayi dan berlanjut hingga sekitar usia 18 bulan (Papalia, Olds, Feldman, 2009). Selain itu, adanya hubungan yang aman dengan figur penting tersebut, anak akan lebih optimal untuk mengeksplorasi lingkungan sekitarnya dalam kondisi yang aman dan mendukung (Ainsworth & Bowlby dalam Naber dkk, 2008). Attachment itu sendiri merupakan ikatan emosional yang kuat dengan orang lain yang signifikan, dalam hal ini adalah orang tua (Taylor, Peplau, & Sears, 2009). Menurut Bowlby (dalam Feist & Feist, 2008), attachment yang terbentuk selama masa kanak-kanak memiliki pengaruh yang penting bagi kepribadian masa dewasa –
pada kasus ini, dapat dipersempit pada keberhasilan terapi yang dijalani anak dengan gangguan autistic/ASD. Setiap anak, bahkan anak dengan gangguan autistik/ASD sekalipun akan mengembangkan keterikatan dengan orang tuanya, namun sifat dari attachment dapat bervariasi. Ainsworth dan rekannya (dalam Taylor, Peplau, & Sears, 2009) mengidentifikasi tiga pola attachment antara orang tua dan anak, yaitu secure attachment, avoidant attachment, dan anxious/ambivalent attachment. Secure attachment terjadi ketika orang tua secara umum hadir dan responsif terhadap kebutuhan anak. Anak yang merasa aman biasanya akan merasa mendapat dukungan dan keamanan. Avoidant attachment terjadi ketika orang tua umumnya bersifat dingin, tidak responsif, atau bahkan menolak. Anak mungkin pada awalnya “protes” terhadap kurangnya perhatian ini, namun kemudian akan menjadi “menjauh” dari pengasuh. Anak yang menghindar ini mungkin akan menekan rasa butuhnya dan menjadi mandiri secara prematur. Anxious/ambivalent attachment terjadi ketika orang tua tampak cemas dan tidak merespon secara konsisten terhadap kebutuhan anak. Orang tua mungkin terkadang responsif, terkadang tidak. Anak mungkin anak menjadi lebih waspada pada tanggapan dan merasa cemas (Taylor, Peplau, & Sears, 2009). Pentingnya attachment yang aman (secure attachment) yang terbentuk dari keharmonisan di antara orang tua dengan anak untuk perkembangan seorang anak, khususnya anak dengan gangguan autistik/ASD seperti yang sudah dijabarkan peneliti pada latar belakang di atas, maka peneliti ingin mengetahui bagaimana gambaran persepsi orang tua tentang pola attachment anak dengan Autism Spectrum Disorder (ASD).
1.2
Rumusan Permasalahan Beralaskan penjelasan pada latar belakang, maka topik utama yang akan
diambil dalam penelitian ini adalah “Persepsi Orang Tua tentang Pola Attachment Anak dengan Autism Spectrum Disorder di Klinik “X” Jakarta Barat” Pertanyaan yang akan dijawab dari penelitian ini adalah: Bagaimana persepsi orang tua tentang pola attachment anak dengan Autism Spectrum Disorder di Klinik “X” Jakarta Barat?
1.3
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat persepsi orang tua tentang pola
attachment anak dengan Autism Spectrum Disorder di Klinik “X” Jakarta Barat.