BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Anak merupakan potensi dan penerus untuk mewujudkan kualitas dan keberlangsungan bangsa, sebagai generasi penerus bangsa anak harus dipersiapkan sejak dini dengan upaya yang tepat, terencana, intensif dan berkesinambungan agar tercapai kualitas tumbuh kembang fisik, mental, sosial, dan spritual tertinggi. Salah satu upaya mendasar untuk menjamin pencapaian tertinggi kualitas tumbuh kembangnya dan memenuhi hak anak adalah pemberian makan yang terbaik sejak lahir hingga umur dua tahun yaitu dengan pemberian Air Susu Ibu (ASI) yang terbukti dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian pada bayi (Kepmenkes RI, 2010). Langkah awal untuk berhasilnya pemberian ASI pada bayi dengan pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini (IMD). IMD pada satu jam pertama sangat membantu dalam keberlangsungan pemberian ASI Eksklusif dan lama menyusui. Pelaksanaan IMD dilakukan sebelum bayi dibersihkan dan tidak dipisahkan dari ibunya, ibu langsung mendekap dan memberikan kesempatan kepada bayi untuk mulai menyusu sendiri segera setelah bayi lahir (Roesli, 2008). Menurut Edmond dalam penelitiannya di Ghana pada bulan Juni 2003 sampai Juni 2004, dari 10.947 bayi baru lahir menunjukkan bahwa 16 % kematian bayi dapat dicegah melalui pemberian ASI pada bayi sejak hari pertama kelahirannya. Angka ini 1
meningkat menjadi 22% jika pemberian ASI dimulai dalam 1 jam pertama setelah kelahiran dan lebih dari sepertiga kematian anak terjadi pada bulan-bulan pertama kehidupan. Menyusu sejak dini atau hari pertama kelahiran merupakan salah satu upaya agar bayi memperoleh asupan gizi yang terbaik guna melindungi bayi terhadap penyakit yang mematikan seperti infeksi pernafasan, diare, alergi, sakit kulit, asma, dan obesitas. Bahkan melalui pemberian IMD dapat membentuk perkembangan intelegensia, rohani, perkembangan emosional pada bayi (Maryunani, 2012). Fakta yang ada, praktek IMD di Indonesia masih sangat rendah bila dibanding negara-negara maju. Di Bolivia dan Madagaskar tahun 2004, IMD dalam 1 jam setelah lahir mencapai 88% (Baker dkk, 2006). Sementara di Indonesia menurut Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat Depkes tahun 2003 menyatakan bahwa pemberian ASI pada 30 menit pertama bayi baru lahir hanya 8,3 %, 4-36% pada satu jam pertama bayi baru lahir, 3,7% bayi yang memperoleh ASI pada hari pertama. Data Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007 hanya 43,9% bayi yang mendapat ASI satu jam pertama setelah lahir, dan 62% yang mendapat ASI pada hari pertama setelah lahir (BPS, 2007). Sedangkan hasil Riskesdas (2013) menunjukkan bahwa proses pemberian ASI kepada bayi dalam kurun waktu kurang dari satu jam mengalami kenaikan dari 29,3% pada tahun 2010 menjadi 34,5% pada tahun 2013. IMD yang tertinggi terdapat di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) sebesar 52,9%, sedangkan terendah di Provinsi Papua Barat sebesar 21,7%, dan terdapat 18 provinsi cakupannya di bawah angka nasional, dan Sumatera Utara merupakan salah satu provinsi cakupan IMD di bawah angka nasional sebesar 34,5%.
Hal ini disebabkan karena kurangnya pelayanan konseling laktasi dan dukungan dari petugas tentang pemberian ASI pada satu jam pertama setelah lahir menyebabkan kurangnya keberhasilan pelaksanaan IMD. Bahkan ada juga sikap petugas kesehatan yang langsung memberikan susu botol pada bayi baru lahir ataupun tidak mau mengusahakan agar ibu mampu memberikan ASI kepada bayinya (Baskoro, 2008). Pengetahuan dan pemahaman akan pentingnya IMD pada bayi baru lahir menjadi suatu kebutuhan bagi semua petugas kesehatan dan masyarakat luas terutama ibu-ibu yang sedang hamil, demikian juga persepsi dan pendapat masyarakat yang salah tentang IMD juga menjadi penghambat keberhasilan program pemerintah, sehingga informasi yang benar tentang program IMD perlu disosialisasikan pada masyarakat luas agar tujuan program pemerintah dapat tercapai dengan baik. Meskipun pengetahuan ibu baik tentang IMD, tetapi tindakannya belum sepenuhnya dilakukan secara maksimal. Hal ini dikarenakan tidak adanya dukungan dan kesadaran penuh dari petugas kesehatan yang menolong persalinan, sehingga peran dan dukungan petugas kesehatan merupakan salah satu faktor penunjang terlaksananya IMD (Hikmawati, 2008). Berhasil atau tidaknya penyusuan dini di tempat pelayanan sangat tergantung pada petugas kesehatan membantu ibu bersalin melakukan penyusuan dini. Petugas kesehatan harus memahami tatalaksana laktasi yang baik dan benar, petugas kesehatan diharapkan mempunyai sikap yang positif terhadap penyusuan dini, dapat meluangkan waktu untuk memotivasi dan membantu ibu bersalin untuk penyusuan
dini, serta bersedia melaksanakan IMD. Peran rumah bersalin, rumah sakit umum dan puskesmas sangat menentukan pelaksanaan penyusuan dini. Peraturan Pemerintah telah banyak mendukung pelaksanaan penyusuan dini yaitu melarang produsen susu buatan mencantumkan kalimat promosi produk yang memberikan kesan bahwa susu buatan sama mutunya dengan ASI atau lebih dari ASI, serta melarang promosi susu buatan di semua sarana pelayanan kesehatan termasuk posyandu, dan meningkatkan kemampuan petugas kesehatan dalam hal ASI sehingga petugas tersebut terampil dalam melaksanakan penyuluhan tentang ASI kepada masyarakat (Umar, 2000). Menurut Suryoprayogo (2009), metode IMD telah dilakukan di Indonesia, namun tidak dengan cara yang benar. Kesalahan yang biasanya dilakukan saat akan memulai metode IMD, biasanya bayi baru lahir sudah diselimuti sebelum diletakkan di dada ibunya sehingga tidak terjadi skin to skin contact, kesalahan lain yaitu bayi bukan menyusu melainkan disusui. Pada dasarnya, praktek IMD sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor yang mendukung (enabling factor) berupa fasilitas rumah bersalin yang mendukung IMD dan faktor yang memperkuat (reinvorcing factor) berupa peran tenaga kesehatan, jika tenaga kesehatan tidak mempunyai kesadaran, keahlian dan pengetahuan mengenai IMD maka tidak akan terlaksana program IMD (Depkes, 2009). Hal ini sesuai dengan penelitian Dayati (2011) menyatakan bahwa peran tenaga kesehatan sangat dibutuhkan dalam membantu terlaksananya proses IMD. Bidan sebagai salah satu petugas kesehatan mempunyai waktu yang banyak untuk berinteraksi dengan pasien bersalin, sehingga bidan mempunyai peran yang penting
untuk keberhasilan pelaksanaan IMD. Hal ini didukung oleh penelitian Amalia (2007) di RSUD Kabupaten Cianjur menemukan bahwa faktor yang paling dominan berhubungan dengan pemberian ASI segera setelah bayi lahir adalah penolong persalinan. Penolong persalinan di Indonesia paling banyak dilakukan oleh bidan. Bidan diakui sebagai tenaga profesional yang bertanggung jawab dan akuntabel yang bekerja sebagai mitra perempuan untuk memberi dukungan, asuhan dan nasehat selama hamil, masa persalinan, masa nifas, memimpin persalinan atas tanggung jawab sendiri dan memberi asuhan kepada bayi. Bidan juga mempunyai tugas penting dalam konseling dan pendidikan kesehatan, tidak hanya pada perempuan tetapi keluarga dan masyarakat (Depkes, 2008). Bidan sebagai ujung tombak dari pembangunan kesehatan yang berhubungan langsung dengan pelayanan kesehatan masyarakat dapat menjadi faktor pendukung atau pendorong, namun dapat menjadi faktor penghambat keberhasilan program IMD. Bidan dalam melaksanakan IMD memerlukan pengetahuan dan keterampilan yang memadai dapat diperoleh melalui pendidikan formal maupun informal, khususnya bagi bidan praktek swasta yang tidak bekerja di suatu instansi. Pengetahuan IMD pada bidan praktek swasta dapat diperoleh melalui proses belajar informal dan pengalaman melalui seminar, dan pelatihan (Kepmenkes RI, 2010). Hal ini dapat diperjelas dari pendapat Notoatmodjo (2003) bahwa pengetahuan diperoleh melalui pengalaman sendiri maupun orang lain. Pemerintah Indonesia mendukung kebijakan WHO dan UNICEF yang merekomendasikan IMD sebagai tindakan “penyelamatan kehidupan”, karena IMD
dapat menyelamatkan 22 persen dari bayi yang meninggal sebelum umur satu bulan dan sebanyak 30.000 kematian bayi di Indonesia dapat dicegah melalui pemberian ASI secara eksklusif selama enam bulan sejak kelahirannya, tanpa harus memberikan makanan dan minuman tambahan kepada bayi. Menyusu satu jam pertama kehidupan yang diawali dengan kontak kulit antara ibu dan bayi dinyatakan sebagai indikator global bagi Indonesia dan termasuk dalam program pemerintah, sehingga semua tenaga kesehatan di semua tingkatan pelayanan kesehatan baik swasta maupun masyarakat dapat mensosialisasikan, melaksanakan, dan mendukung suksesnya program tersebut agar tercapai sumber daya Indonesia berkualitas (Roesli, 2008). Dukungan politis dari pemerintah berkaitan dengan IMD dan ASI antara lain, telah dicanangkannya GNPP-ASI (Gerakan Nasional Peningkatan Penggunaan Air Susu Ibu) pada tahun 1990, ditetapkannya Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 450/MENKES/IV/SK/2004 tentang Pemberian ASI secara eksklusif pada bayi Indonesia, dan yang terbaru Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 tahun 2012 tentang pemberian ASI Eksklusif, yang memuat 10 (sepuluh) langkah menuju keberhasilan menyusui diantaranya berisi tentang membuat kebijakan tertulis kepada semua staf pelayanan kesehatan tentang menyusui, melatih semua staf pelayanan dalam keterampilan untuk menerapkan kebijakan menyusui tersebut, membantu ibu menyusui dini dalam waktu 60 (enam puluh) menit pertama persalinan, serta beberapa langkah lainnya (Kepmenkes RI, 2010). Bahkan Ikatan Bidan Indonesia (IBI) telah menetapkan 58 langkah dalam program Asuhan Persalinan Normal (APN) yang didalamnya terdapat pelatihan IMD.
IMD menjadi begitu penting untuk dilakukan karena sejak tahun 2008 diterapkan dalam APN. APN merupakan standar asuhan persalinan normal yang bersih dan aman bagi semua ibu bersalin yang harus diterapkan oleh penolong persalinan. Tujuan APN adalah untuk menjaga kelangsungan hidup dan derajat kesehatan yang tinggi bagi ibu dan bayi yang dilahirkannya (Depkes RI, 2008). Pelatihan APN sangat erat hubungannya dengan pelaksanaan IMD. Hal ini dapat dilihat dari beberapa penelitian seperti Dayati (2011) di Kendari menyatakan bahwa ada hubungan bermakna antara pelatihan APN dengan pelaksanaan IMD. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Rusnita (2008) menyatakan bahwa melakukan IMD bukan karena adanya SOP IMD tetapi karena telah mengikuti pelatihan tentang IMD. Berdasarkan hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2002-2003 menunjukkan cakupan ASI Eksklusif pada bayi di Indonesia sebesar 39,5% dan mengalami penurunan pada tahun 2007 sebesar 32% (BPS, 2007). Sedangkan cakupan ASI Eksklusif yang ditargetkan dalam Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) dan Strategi Nasional Program Peningkatan Cakupan Air Susu Ibu (PP-ASI) adalah 80%. Menurut data dari Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara tahun 2012, cakupan persentase bayi yang diberi ASI Eksklusif dari tahun 2004-2012 cenderung menurun secara signifikan, dan pencapaian tahun 2012 sebesar 20,33% merupakan pencapaian terendah selama kurun waktu 2004-2012. Sedangkan data dari Dinas Kesehatan Kota Binjai, cakupan persentase bayi yang diberi ASI Eksklusif tahun 2013 sebesar 25,6% dan mengalami penurunan pencapaian tahun 2014 sebesar 17,7%. Hal ini menunjukkan keadaan yang cukup
memprihatinkan, sehingga perlu upaya serius dan bersifat segera yang dapat meningkatkan keberhasilan program ASI Eksklusif, maka salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mendukung keberhasilan program pemberian ASI Eksklusif adalah dengan menerapkan program IMD (Roesli, 2008). Rendahnya cakupan ASI Eksklusif sebagaimana tampak pada data di atas, menurut beberapa penelitian sangat ditentukan oleh upaya pemberian ASI kepada bayi dalam dua jam pertama. Pemberian ASI saja pada dua jam pertama tersebut disebut dengan Inisiasi Menyusu Dini. Penelitian Yuko Nakao (2008) di Jepang membuktikan bahwa pemberian ASI saja pada dua jam pertama setelah kelahiran adalah waktu yang sangat menentukan untuk pencapaian pemberian ASI secara eksklusif minimal sampai bayi berumur enam bulan. Penelitian lain di Nigeria juga menunjukkan bahwa kegagalan pemberian ASI secara eksklusif ditentukan oleh enam puluh menit pertama setelah kelahiran (Awi dkk, 2006). Hal ini didukung oleh penelitian Fika dan Syafiq menunjukkan bahwa bayi yang diberi kesempatan IMD, hasilnya delapan kali lebih berhasil dalam pemberian ASI Eksklusif (Roesli, 2008). Kota Binjai merupakan salah satu kota yang belum mampu mencapai target pencapaian ASI Eksklusif sesuai dengan target Propenas yaitu 80 %. Berdasarkan survei awal dilakukan peneliti di Puskesmas Tanah Tinggi Kecamatan Binjai Timur ditemukan bahwa jumlah kelahiran bayi tahun 2013 sebanyak 576 bayi, dan 145 orang (25,2%) bayi diantaranya yang mendapat ASI Eksklusif, angka ini masih dibawah target pencapaian ASI Eksklusif. Hasil wawancara peneliti dengan beberapa orang petugas puskesmas (dokter, bidan, perawat) diperoleh informasi bahwa tidak
berhasilnya ASI Eksklusif disebabkan karena tidak dilakukannya pemberian ASI pada satu jam pertama kelahiran. Kebanyakan ibu menolak dan tidak siap untuk dilakukan IMD karena masih merasakan sakit dan kelelahan pasca persalinan, dan mereka mengatakan bahwa masih ada petugas yang tidak memberikan informasi pada ibu hamil tentang IMD, selain itu masih ditemukan petugas tidak memfasilitasi pelaksanaan IMD pada saat persalinan karena belum mendapatkan sosialisasi atau pelatihan tentang IMD. Petugas puskesmas juga mengatakan bahwa ibu hamil hanya melakukan pemeriksaan kehamilan di puskesmas, dan pertolongan persalinannya lebih sering dibantu oleh bidan praktek swasta. Berdasarkan beberapa masalah diatas, maka perlu dilakukan penelitian yang berjudul “Analisis Faktor Yang Memengaruhi Pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini Pada Bidan Praktek Swasta di Kota Binjai”.
1.2. Permasalahan Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini adalah “bagaimanakah analisis faktor yang memengaruhi pelaksanaan inisiasi menyusu dini pada bidan praktek swasta di Kota Binjai”.
1.3. Tujuan Penelitian Untuk menganalisis faktor yang memengaruhi pelaksanaan inisiasi menyusu dini pada bidan praktek swasta di Kota Binjai.
1.4. Hipotesis Ada pengaruh signifikan antara analisis faktor meliputi umur, pendidikan, masa kerja, pelatihan, pengetahuan, sikap, motivasi yang memengaruhi pelaksanaan inisiasi menyusu dini pada bidan praktek swasta di Kota Binjai.
1.5. Manfaat Penelitian 1. Bagi Dinas Kesehatan Kota Binjai sebagai bahan evaluasi atau rekomendasi untuk mendukung pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini (IMD) dalam setiap pertolongan persalinan sebagai upaya untuk membantu meningkatkan pencapaian target ASI Eksklusif. 2. Sebagai bahan masukan kepada Organisasi Ikatan Bidan Indonesia (IBI), khususnya cabang Kota Binjai agar dapat lebih memotivasi anggotanya untuk melaksanakan IMD dalam setiap pertolongan persalinan dan mengikuti pelatihan IMD. 3. Sebagai bahan masukan kepada petugas kesehatan khususnya bidan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan dan penyuluhan kepada masyarakat tentang pentingnya pelaksanaan IMD sehingga dapat meningkatkan pencapaian jumlah bayi yang diberi ASI secara eksklusif.