1
BAB I PENGANTAR
A. Remaja
merupakan
Latar Belakang
generasi
penerus
bangsa
yang
menentukan
kelangsungan pembangunan negara. Negara Indonesia membutuhkan generasi muda yang kreatif dan mampu berdaya guna sesuai dengan keahlian dan kemampuan masing-masing. Meskipun remaja Indonesia sekarang, hidup di era globalisasi dengan ditandai pesatnya perkembangan teknologi dan informasi, diharapkan remaja tetap berpegang teguh melestarikan budaya bangsa. Oleh karena itu, negara Indonesia berusaha memajukan pendidikan formal maupun nonformal
dengan
tujuan
meningkatkan
kemampuan
intelektual,
moral,
mengembangkan keahlian dan melestarikan budaya bangsa. Fenomena yang terjadi akhir-akhir ini mencoreng nama pendidikan di Indonesia. Polda Metro Jaya mencatat sejak bulan Januari hingga September 2012, terdapat tujuh kasus tawuran antar pelajar yang menelan lima orang korban jiwa dan puluhan korban luka-luka di Jakarta. Rata-rata penyebab tawuran adalah dendam turun menurun antara siswa sekolah tertentu. Korban luka dan meninggal bukan orang yang bersangkutan secara langsung dengan masalah yang menyebabkan tawuran, melainkan tidak ada hubungannya dengan masalah apapun bahkan tidak mengetahui mengapa tiba-tiba korban mendapat serangan. Alasan mengapa menjadi korban, tidak lain adalah karena korban merupakan siswa dari sekolah X yang dikenal musuh bebuyutan dari pelaku tawuran siswa sekolah Y (Wahyu, 2012).
2
Pelajar seharusnya adalah remaja berpendidikan, memiliki kecerdasan intelektual yang tinggi, mampu berpikir kreatif dan melakukan kegiatan yang positif untuk mengembangkan diri. Fenomena tersebut memperlihatkan sisi lain dari pelajar Indonesia sekaligus mencoreng dunia pendidikan tanah air yang secara tidak langsung membuktikan kegagalan pendidikan di Indonesia. Selain perilaku tawuran dengan mengandalkan kontak fisik yang menelan korban jiwa, tidak kalah mengejutkan adalah penindasan yang terjadi melalui media sosial internet. Kemajuan teknologi yang sejatinya untuk kesejahteraan umat manusia, kini sudah bergeser dari tempat yang semestinya. Perkembangan teknologi informasi sebagai sarana pengetahuan dan media sosial, ternyata mempunyai dampak negatif bagi perkembangan remaja yang secara emosi masih labil. Dampak negatif itu ditandai dengan munculnya perilaku cyberbullying terhadap para remaja yang terlibat dalam jejaring media sosial internet. Cyberbullying dapat berupa umpatan, kata-kata yang melecehkan atau penyebaran video di internet sehingga berakibat merugikan orang lain. Sebuah survei global yang digelar oleh lembaga riset Ipsos bekerjasama dengan Reuters mengemukakan hasil survey yaitu 10% orang tua di seluruh dunia mengakui bahwa anak-anak mereka pernah jadi target penindasan di internet. Delapan belas ribu orang dewasa di 24 negara yang disurvei (6.500 di antaranya memiliki anak) menyatakan merasa anaknya pernah menjadi korban, cyberbullying mencapai 25%. Sebanyak 60% responden menyebutkan cyberbullying terjadi di sejumlah
laman
media
sosial
terkemuka
seperti
facebook,
perangkat
telekomunikasi bergerak (mobile devices) dan percakapan di internet (online chat rooms). Survei tersebut juga menyatakan bahwa tingkat kesadaran terhadap adanya cyberbullying di Indonesia adalah yang paling tinggi. Sebanyak 91% dari
3
para responden Indonesia, mengaku telah mengetahui praktik cyberbullying. Persentasenya lebih tinggi dibanding Australia (87%) dan Amerika Serikat (82%). Menurut data dari KPAI, sepanjang tahun 2011, telah terjadi 12 laporan penculikan anak dengan pemicu dari internet (Firman & Ngazis, 2012) Fenomena-fenomena di atas menunjukkan bahwa remaja Indonesia tidak berada dalam keadaan emosi yang sejahtera, hal tersebut terlihat dari keadaan remaja mudah dikuasai oleh kemarahan, mudah diprofokasi dan sering kali meluapkan kemarahan dalam bentuk perilaku negatif. Perilaku negatif seperti tawuran, penindasan dan penganiayaan merupakan gambaran jelas kurangnya keterampilan sosial pada remaja. Tawuran dan cyberbullying merupakan contoh pengambilan
keputusan
dan
pemecahan
masalah
yang
tidak
tepat.
Kesejahteraan emosi dan keterampilan sosial mempunyai peranan penting untuk menghasilkan seberapa baik pemecahan suatu masalah dan pembuatan keputusan secara dewasa oleh remaja (Declimente, Santelli & Crosby, 2009). Sejahtera secara emosi adalah keseimbangan afek positif dan negatif yang berkaitan dengan peristiwa yang dialaminya (Lopez & Snyder, 2007). Allen dan Sheeber (2009) menjelaskan remaja merupakan periode dimana sering berada dalam situasi yang melibatkan emosi. Situasi tersebut adalah situasi dengan stresor normatif seperti pindah ke sekolah yang baru, tertarik dengan hubungan romantis maupun mengalami patah hati, terjadi percekcokan atau konflik dengan keluarga, teman, kesulitan dalam belajar di sekolah yang membuat stres. Perkembangan emosi remaja menunjukkan sifat sensitif dan reaktif yang sangat kuat terhadap berbagai peristiwa, emosi yang dimiliki bersifat negatif dan temperamental. Tawuran antar pelajar menunjukkan luapan yang berlebihan atas emosi negatif kemarahan dan berakibat pada tindakan kriminalitas.
4
Berdasarkan hasil wawancara dengan enam siswa Sekolah Menengah Atas Negeri 4 Magelang pada tanggal 22 September 2012 ditemukan keterangan bahwa konflik dengan orang tua, teman dan guru merupakan faktor yang memengaruhi emosi negatif remaja. Orang tua dianggap kurang memahami remaja karena bersikap otoriter dan terlalu mengekang sehingga remaja merasa tidak bebas dalam mengekspresikan diri dan berujung pada konflik. Konflik dengan guru terjadi jika remaja sering mengobrol di kelas dan mendapat nilai yang tidak diharapkan. Konflik dengan teman sering terjadi misalnya, kesalah pahaman yang menimbulkan kondisi emosi negatif dan berakibat pada perilaku percekcokan, pengucilan dan perkelahian secara fisik, malas dalam belajar, enggan melakukan aktifitas dan tidak dapat berkonsentrasi dalam menerima pelajaran di kelas. “Itu mbak.. saya merasa sangat sedih kadang juga marah, soalnya orang tua saya tidak mau mengerti kegiatan saya, mengekang saya. Saya harus langsung pulang ke rumah ketika pulang sekolah.. padahal saya ingin ikut temanteman dalam kegiatan osis atau organisasi yang lain. Orang tua takut nilai saya turun kalau saya ikut kegiatan organisasi di sekolah” “Saya pernah dimarahi guru pas saya ngobrol di kelas, itu membuat saya merasa sangat bersalah, belum lagi nilai saya jelek pas pelajaran itu juga... rasanya saya tidak berguna. Kadang tanpa sadar saya ingin segera bercerita pada teman tentang satu peristiwa yang saya alami, tapi saya gak sadar situasinya gak tepat”. “Saya pernah terlibat masalah dengan teman saya, awalnya Ibu saya tidak tahu. Tapi karena saya murung, menyendiri di kamar dan malas melakukan beraktivitas, kemudian Ibu saya tanya.. saya cerita kejadian yang membuat saya seperti itu. Saya terlibat percekcokan dengan teman karena pacar teman saya suka dengan saya. Saya merasa bersalah, sedih dan bingung harus bagaimana ?” Remaja dalam keadaan tersebut lebih suka menyendiri daripada terlibat aktif dengan teman-teman. Tidak hanya emosi negatif saja, namun emosi positif juga mereka rasakan. Ketika emosi positif tidak dapat diseimbangkan dengan emosi negatif maka akan mengganggu aktivitas belajar pada remaja.
5
“Saya merasa senang dan berbunga-bunga ketika jatuh cinta. Saya akan sering memikirkan orang yang saya cintai dalam keadaan apapun, bahkan ketika pelajaran di kelas. Saya jadi ngomongin dia terus. Gak tau kenapa? Ya mungkin itu cinta ya mbak? Saya kadang juga sering mengkhayal akan masa depan saya dengan orang yang saya cintai, bagaimana membahagiakannya dan menjadi seseorang yang istimewa dihadapannya. Begitu mbak... saya sering sms atau kirim pesan lewat facebook, BBM-an, twitter. Isi pesan itu ya.. sesuatu yang membahagiakan, pernyataan sayang, cinta dan banyak lagi”. Remaja mengaku tidak dapat mengendalikan pikiran dan emosinya ketika tertarik dengan lawan jenis. Hal itu ditandai dengan meningkatnya intensitas pembicaraan mengenai individu yang menarik bagi diri remaja dan ketika proses belajar berlangsung individu tetap teringat dengan teman lawan jenisnya sehingga sulit untuk fokus dalam proses belajar di kelas. Berbeda ketika individu mengalami emosi negatif, individu yang mengalami emosi positif lebih kreatif mengekspresikan emosinya dalam membuat tulisan romantis. Emosi positif yang meluap-luap kadang membuat individu sering berimajinasi dan berkhayal tentang romantisme. Pengalaman-pengalaman positif dan negatif selama masa remaja dapat menimbulkan suatu reaksi emosi yang kuat dan jelas hal itu berisiko juga terhadap kondisi psikologis remaja. Realitanya kesehatan mental remaja dipengaruhi oleh pengalaman afektif remaja itu sendiri (Simsek, 2010). Maksudnya, kestabilan dan keseimbangan afek positif maupun negatif pada masa remaja sangat dibutuhkan untuk mencapai kesehatan mental, kepuasan hidup dan kebahagiaan. Tidak jarang remaja yang emosinya masih labil dan tidak memiliki kemampuan dalam mengekspresikan emosi secara positif akan mengalami depresi, kecemasan, gangguan makan, gangguan tidur dan berakibat pada perilaku menyimpang seperti merokok, menggunakan obat-obatan terlarang, konsumsi alkohol dan melakukan tindakan kekerasan. Hal tersebut didukung oleh Zimmer-Gembeck, Lees dan Skinner (2011) yang menyatakan
6
bahwa emosi sangat berperan dalam hubungan sosial individu, emosi marah yang tidak dapat dikontrol akan berakibat pada stres interpersonal dan berpengaruh pada keberlangsungan hubungan sosial individu. Individu yang memiliki kesejahteraan emosi rendah akan rentan mengalami kecemasan sehingga akan kesulitan dalam berhubungan sosial dengan orang di lain (Crawford & Manassis, 2011). Individu yang dapat meregulasi emosi dengan baik akan mencapai kesejahteraan emosi dan terbukti dapat memahami emosi orang lain sehingga akan memperlancar interaksi dengan orang lain (Por, Barriball, Fitzpatrick, & Roberts, 2011). Kesejahteraan
emosi
mempunyai
dampak
positif
pada
remaja.
Berdasarkan penelitian Sznitman, Reisel dan Romer, (2010) terbukti bahwa kesejahteraan emosi berpengaruh pada prestasi akademik siswa di sekolah. Remaja dengan kesejahteraan emosi akan lebih produktif, kreatif dan percaya diri dalam mencari jati dirinya. Remaja yang sejahtera secara emosi dapat dikatakan mempunyai kematangan emosi. Magai dan McFadden (1996) mengemukakan bahwa individu yang matang emosinya atau yang memiliki penyesuaian emosional ditandai oleh karakteristik adekuasi emosi dan kontrol emosi. Adekuasi emosi ditandai dengan bersikap optimis dalam menghadapi masa depan, tidak apatis dalam menjalani kehidupan, bersikap respek terhadap diri sendiri dan orang lain, dan bersikap altruis (mau memperhatikan kepentingan orang lain). Kontrol emosi ditandai dengan mampu merespon situasi frustrasi secara wajar (realistik), bersikap tabah dalam menghadapi masalah, tidak bersikap agresif, tidak mudah terpengaruh oleh orang lain, dan mampu mengendalikan diri dari dorongan seksual.
7
Manusia tidak lepas dari hubungan sosial, termasuk remaja. Masa remaja adalah masa memperluas hubungan sosial dan mencari banyak pengalaman. Remaja membutuhkan keterampilan sosial untuk dapat memahami nilai sosial dan melakukan interaksi sosial. Keterampilan sosial adalah pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki individu dalam menggunakan berbagai perilaku sosial yang tepat untuk berinteraksi secara positif dengan orang lain (Krapp & Wilson, 2005). Keterampilan sosial sangat penting bagi remaja karena di masa remaja individu memasuki dunia yang lebih luas dimana pengaruh teman-teman dan lingkungan sosial sangat menentukan. Remaja dewasa ini hidup berkembang bersama dengan kemajuan teknologi seperti media sosial online. Media sosial online menawarkan aktivitas sosial melalui dunia maya. Mishna, Saini, dan Solomon (2009) menjelaskan kemajuan teknologi informasi seperti media sosial internet mempunyai sisi positif dan
negatif. Media sosial online dapat dijadikan tempat bagi remaja untuk
memperluas hubungan sosialnya dengan mudah tanpa batas. Media sosial online juga menjadi sarana komunikasi baik dengan teman yang sudah dikenal secara nyata maupun tidak. Namun di sisi lain media sosial online adalah sarana yang penuh dengan resiko. Media sosial facebook misalnya, media ini tidak hanya menjadi sarana berkomunikasi namun juga dilengkapi dengan fitur permainan online yang membuat remaja bertahan lama berada di depan komputer dan kehilangan waktu luang berkumpul bersama teman maupun keluarga dalam kehidupan nyata. Dampak positifnya adalah media sosial tersebut memberikan sarana hiburan bagi individu namun, di sisi lain dapat berpengaruh pada perilaku agresivitas, isolasi sosial dan rendahnya kemampuan membaca situasi dalam interaksi
8
secara nyata (Arnett, 2007a). Penelitian Chih-Hung, Ju-Yu, Liu, Huang, Chi-Fen, dan Yen (2009) menunjukkan bahwa remaja usia sekolah menenengah pertama dan sekolah menengah atas berisiko dalam melakukan tindakan kekerasan melalui internet (cyberbullying) setelah menonton tindakan kekerasan di internet dan sangat dimungkinkan remaja juga melakukan tindakan kekerasan di dunia nyata. Hubungan sosial yang terwujud melalui media sosial online memiliki keterbatasan dibandingkan hubungan sosial secara langsung. Interaksi sosial diantara pengguna media sosial online tidak secara tatap muka langsung, melainkan berhadapan dengan komputer atau alat telekomunikasi. Individu tidak dapat menangkap respon verbal maupun nonverbal secara lebih akurat. Hal ini menyebabkan terjadinya banyak kesalah pahaman dalam menerima informasi sehingga berujung pada konflik. Jelas hubungan sosial melalui media sosial online tidak dapat menggantikan hubungan sosial secara langsung dan berpengaruh pada keterampilan sosial yang dimiliki remaja. Kegagalan remaja dalam menguasai keterampilan-keetrampilan sosial akan menyebabkan individu tidak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya, menyebabkan rasa rendah diri, dikucilkan dari pergaulan, cenderung berperilaku kurang normal dan bahkan dalam perkembangan lebih ekstrim akan menyebabkan gangguan jiwa, kenakalan remaja, tindakan kriminal serta tindakan kekerasan (Greene & Burleson, 2003). Dewasa ini dunia pendidikan tidak hanya fokus dalam peningkatan kemampuan akademik siswa namun sudah memulai untuk memperhatikan keterampilan sosial yang dimiliki siswa di sekolah. Siswa dengan keterampilan sosial yang bagus akan mudah untuk berkomunikasi dan berhubungan dengan
9
guru maupun teman. Keterampilan sosial tersebut antara lain adalah kemampuan bagaimana siswa mengekspresikan pendapat pribadi dalam kelas, bertanya, memimpin diri sendiri dan kepercayaan diri sehingga berpengaruh terhadap prestasi akademiknya (Arnett, 2007b). Penelitian Asoodeh dan Zarepour (2012) menyatakan bahwa keterampilan sosial melalui belajar bersama tidak hanya berakibat terhadap peningkatnya prestasi akademik namun juga dapat meningkatkan penerimaan sosial, kepercayaan diri dan kemampuan mental. Penelitian Kõiv (2012) menyatakan bahwa keterampilan sosial dapat mencegah terjadinya tindakan kekerasan di lingkungan sekolah. Ditambahkan oleh Babakhani (2011) bahwa keterampilan sosial tidak hanya menurunkan tingkat agresivitas secara verbal dan nonverbal namun juga meningkatkan kepercayaan diri pada remaja, remaja dapat berperilaku dengan cara efektif tergantung situasi untuk mendukung kelangsungan hubungan sosial yang baik. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kesejahteraan emosi dan keterampilan sosial saling berkaitan dimana individu yang sejahtera secara emosi akan lebih terampil dalam keterampilan sosial. Kesejahteraan emosi dan keterampilan sosial dibutuhkan untuk memenuhi tugas perkembangan individu, mencapai prestasi akademik yang baik, memecahkan berbagai permasalahan, mencegah perilaku agresif dan menjadi individu yang sehat secara mental. Oleh karena itu dibutuhkan usaha secara bersama – sama dengan masyarakat dan instansi pendidikan untuk menciptakan kondisi yang memungkinkan para remaja dapat memenuhi kriteria perkembangan yang sehat dan tepat tujuan. Beberapa
intervensi
yang
pernah
dilakukan
untuk
meningkatkan
kesejahteraan emosi dan keterampilan sosial antara lain adalah Mindfulness-
10
Based Stress Reduction terbukti dapat meningkatkan kesejahteraan emosi dan menurunkan stres (Maryam, Mohammadia, Alizadeha & Imania, 2011). Intervensi lain adalah metode belajar secara bersama-sama (cooperative learning) untuk meningkatkan ketrampilan sosial. Metode cooperative learning terbukti dapat meningkatkan keterampilan sosial dibandingkan dengan metode tradisional (Lavasania, Afzalia, Borhanzadeha, Afzalia & Davoodi, 2011). Mukhtar (2005) menggunakan intervensi art therapy secara berkelompok dengan menggunakan metode ceramah, diskusi, permainan dan menggambar untuk meningkatkan keterampilan sosial pada anak dengan gangguan perilaku. Tehnik terapi musik interaktif (improvisasi instrumental, bernyanyi) sama efektifnya dengan teknik terapi musik reseptif (mendengarkan musik). Keduanya terbukti efektif untuk meningkatkan suasana hati yang positif, menurunkan stres, rasa sakit, tingkat kecemasan, meningkatkan relaksasi. Terapi musik juga efektif dalam mendukung perawatan pasien kanker dan merupakan program perawataan atau pemulihan untuk meningkatkan kesejahteraan emosi dan kualitas hidup (Stanczyk, 2011). Penelitian Kirschner dan Tomasello (2010) menggunakan kegiatan bermusik (bermain musik, menyanyi dan menari) dan terbukti efektif untuk meningkatkan keterampilan sosial pada anak umur empat tahun. Berdasarkan intervensi yang pernah dilakukan, peneliti berusaha untuk mengupayakan suatu pendekatan inovatif yang santai, mempunyai sentuhan budaya yang kental namun dikemas dalam program yang menarik sehingga disinyalir dengan pendekatan yang baru tersebut dapat meningkatkan kesejahteraan emosi remaja yang merangsang remaja untuk lebih terampil dalam berhubungan sosial.
11
Dunia
remaja
identik
dekat
dengan
fitur-fitur
yang
mayoritas
menitikberatkan pada pencarian kesenangan. Musik merupakan salah satu bentuk fitur kesenangan yang dekat dengan remaja. Remaja sangat gemar dalam bermusik, baik sebagai pendengar ataupun sebagai pemain alat musik. Alasan mengapa remaja menggemari musik antara lain adalah musik merupakan fitur kesenangan dan dengan musik remaja dapat mengekspresikan perasaan atau emosinya. Begitu juga sebaliknya musik dapat digunakan untuk memengaruhi kondisi emosi seseorang. Ekspresi emosi melalui musik muncul karena seseorang memiliki perasaan yang sangat kuat dan tidak dapat diekspresikan menggunakan sesuatu yang lain, mungkin karena individu itu sendiri tidak dapat mengetahui seberapa dalam emosi yang dirasakan (Reevy, 2010). Komposisi musik sangatlah komplek dan beragam, tidak semua jenis musik dapat menumbuhkan hal-hal positif dan konstruktif (metal dan rap misalnya). Musik dengan ritme yang santai dan teratur dapat menumbuhkan kondisi dan keadaan yang positif seperti gamelan Jawa. Gamelan Jawa salah satu alat musik tradisional yang merupakan hasil gagasan, ide dan kreativitas budaya masyarakat Jawa. Musik gamelan Jawa memiliki sejarah dan nilai-nilai tersendiri dalam kehidupan masyarakat Jawa. Gamelan Jawa merupakan alat musik elit kaum restrokat kerajaan Yogyakarta dan Surakarta yang sering dimainkan pada acara-acara tertetu seperti Sekaten maupun penyambutan tamu agung di keraton. Gamelan Jawa juga dimainkan untuk mengiringi pewayangan dan tarian khas Jawa (Woodward, 2011). Gamelan digambarkan sebagai warisan budaya yang memiliki filosofi tinggi yang seharusnya dilestarikan generasi muda.
12
Gamelan Jawa selain mempunyai nilai seni, budaya dan sejarah namun juga memiliki pengaruh bagi individu yang mendengarkan ataupun memainkan alat musiknya. Musik gamelan Jawa memiliki keteraturan melodi atau ritme secara berulang sehingga membangun lapisan-lapisan secara berturut-turut dari bunyi nada rendah ke tinggi dan dengan melodi yang kompleks (Green, 1997). Menjelaskan lebih jauh, bahwa musik gamelan Jawa terdiri dari berbagai alat instrumen yang menghasilkan nada khas. Bunyi yang dihasilkan dari alat musik gamelan Jawa mencerminkan pencerahan bagi pendengarnya. Gendhing gamelan mencerminkan nuansa yang sangat luas seperti meditatif, kelincahan, ketenteraman, kegembiraan, ketegangan hingga nuansa sendu. Berbagai suasana yang diciptakan gendhing ini menggambarkan bahwa gamelan dapat mengekspresikan keseluruhan perilaku manusia, membawakan rasa dan pengalaman manusia yang luas, termasuk bersifat keagamaan, keduniawian, intelektual dan emosional (Sumarsam, 2003). Penelitian Djohan (2008) menjelaskan bahwa menikmati musik gamelan Jawa secara implisit dapat diidentikkan dengan makna terapi jampi stres. Berbagai respon emosi yang terungkap adalah senang, tenang, damai, tenteram, nyaman, enjoy setelah mendengarkan musik gamelan Jawa. Hal tersebut
membuktikan
bahwa
gamelan
merupakan
alat
musik
yang
menghasilkan nada dengan tempo yang teratur, menghasilkan keselarasan bunyi yang lembut dan menenangkan. Musik gamelan memberikan efek sedatif yang mampu menenangkan emosi pendengarnya. Penelitian Chan, Chan dan Mok (2010) bahwa musik yang lembut akan diterima oleh indera pendengaran kemudian diproses dalam sistem limbik otak yang berfungsi untuk respon emosi, perasaan dan sensasi. Penelitian Chan, Yang dan Thayala (2011) membuktikan
13
bahwa gejala depresi berangsur-angsur menurun secara signifikan selama tiga minggu karena pengaruh dari mendengarkan musik yang memiliki alunan nada teratur dan lembut. Bermain musik membutuhkan kemampuan fisik, emosi, kognitif serta kebutuhan
sosial
individu
dalam
segala
usia
yang
berfungsi
untuk
menyembuhkan dan mencegah risiko stres pada individu (Prashyanusorn, Pavaganuna & Yupapin, 2010). Musik gamelan Jawa tidak dimainkan secara individual namun dimainkan oleh beberapa orang pemain yang memainkan serangkaian alat musik gamelan Jawa dan berkerjasama untuk menghasilkan harmonisasi nada. Bermain musik dapat membangkitkan perasaan pada sekelompok pemainnya. Bermain musik secara bersama-sama membutuhkan pemain yang mau saling menerima kehadiran satu dengan yang lainnya. Ketika bermain bersama, berarti individu dapat saling mendukung untuk mendengarkan dan sadar akan bunyi yang pemain lain mainkan untuk memperoleh satu keserempakan. Jika dilakukan secara berulang kali dengan orang yang sama maka akan mengembangkan kemampuan untuk memberikan tempat kepada orang lain, kekompakan dan menyerahkan tempat individu kepada individu lain, antusiasme dan spontanitas (Gilboa & Ben-Shetrit, 2009). Selain itu dalam penelitian Shayan, AhmadiGatabb, Jeloudar dan Ahangar (2011) diperoleh hasil bahwa aktivitas bermusik dengan mengerahkan kemampuan pikiran, emosi, kemahiran fisik dapat meningkatkan kepercayaan diri individu. Hal ini membuktikan bahwa harmonisasi nada yang dihasilkan ketika dimainkan adalah produk dari proses kerja sama, saling memahami, mengerti, beradaptasi,
14
memecahkan
masalah
dan
kepercayaan
diri
yang
dapat
mengasah
keterampilan sosial. Penelitian-penelitian
sebelumnya
menunjukkan
adanya
keterikatan
bermain gamelan dengan kesejahteraan emosional dan keterampilan sosial. Gamelan Jawa, tidak hanya menawarkan suatu kondisi emosi yang stabil bagi yang
mendengarkan
alunan
nada
yang
dihasilkannya,
namun
juga
menyuguhkan suatu kerjasama sosial yang apik dalam pernampilannya.. Berdasarkan uraian di atas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan memberikan Program Kelompok Bermain Gamelan Jawa kepada remaja. Peneliti berasumsi bahwa melalui Program Kelompok Bermain Gamelan Jawa dapat meningkatkan kesejahteraan emosi dan keterampilan sosial pada remaja. B.
Rumusan Permasalahan
Berdasarkan pada latar belakang masalah di atas, yang sudah diuraikan sebelumnya maka secara singkat rumusan masalahnya dapat disusun sebagai berikut: apakah ada pengaruh antara Program Kelompok Bermain Gamelan Jawa terhadap kesejahteraan emosi dan keterampilan sosial pada remaja? C.
Tujuan dan Manfaat
Sesuai latar belakang dan rumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh Program Kelompok Bermain Gamelan Jawa terhadap kesejahteraan emosi dan keterampilan sosial pada remaja. Penelitian ini nantinya, diharapkan mampu memberikan sumbangan atau kontribusi yang secara teoritis maupun secara praktis, yaitu : 1. Secara teoritis penelitian ini mampu memberikan sumbangan ilmiah bagi Bidang Psikologi Klinis di Indonesia, khususnya mengenai Program
15
Kelompok Bermain Gamelan Jawa, kesejahteraan emosi dan keterampilan sosial pada remaja. 2. Secara praktis, diharapkan apabila dengan Program Kelompok Bermain Gamelan Jawa dapat meningkatkan kesejahteraan emosi dan keterampilan sosial, maka dapat diusulkan kepada sekolah ataupun masyarakat luas untuk menjadikan Program Kelompok Bermain Gamelan Jawa sebagai salah satu kegiatan yang mempunyai dampak positif pada individu. D.
Keaslian Penelitian
Penelitian ini berbeda dari penelitian sebelumnya. Perbedaan ada pada varibel, karakteristik subyek dan metode yang digunakan. Kesejahteraan emosi pernah diteliti oleh Maryam, Mohammadia, Alizadeha dan Imania (2011). Penelitian tersebut menggunakan Mindfulness-Based Stress Reduction yang terbukti dapat meningkatkan kesejahteraan emosi dan menurunkan stres. Sedangkan kesejahteraan emosi belum banyak diteliti oleh peneliti di Indonesia. Penelitian
mengenai
keterampilan
sosial
oleh
Mukhtar
(2005)
menggunakan intervensi art therapy secara berkelompok dengan menggunakan metode ceramah, diskusi, permainan dan menggambar untuk meningkatkan keterampilan sosial pada anak dengan gangguan perilaku. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa art therapy yang digunakan kurang efektif untuk meningkatkan keterampilan sosial pada anak dengan gangguan perilaku. Penelitian lain mengenai musik sebagai intervensi adalah penelitian Lerik (2004). Penelitian ini meneliti pengaruh terapi musik terhadap depresi diantara mahasiswa. Musik yang digunakan sebagai intervensi adalah musik ciptaan Bethoven (Adagio-Allegro, Conbrio, Larghetto, Scherzo Allegro & Allegro Molto). Penelitian ini menunjukkan bahwa terapi musik efektif untuk menurunkan
16
depresi diantara mahasiswa. Taher (2005) meneliti tentang pengaruh musik gamelan terhadap peningkatan pemahaman bacaan pada pelajar SMP Kanisius Kalasan kelas 1. Hasil dari penelitian tersebut adalah musik gamelan tidak efektif untuk meningkatkan pemahaman bacaan. Merujuk pada keterangan dan penjelasan yang sudah dikemukakan, dengan demikian dapat dinyatakan bahwa penelitian ini memiliki keaslian penelitian dan menurut sepengetahuan peneliti belum ditemukan penelitian yang sama sebelumnya.