LAPORAN PENELITIAN
Penegakan Hukum (Law Enforcement) Monopoli dan Persaingan Usaha Atas Produksi dan Pemasaran Barang dan/atau Jasa Bagi Pelaku Usaha
Oleh : August P. Silaen, SH, MHum
LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN MEDAN-2011
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR
.............................................................................
RINGKASAN
………………………………………………….. IV
DAFTAR ISI
.............................................................................. i-ii
BAB I PENDAHULUAN
..............................................................................
1
A. Latar Belakang
..............................................................................
1
B. Permasalahan
.............................................................................. 10
C. Tujuan Penelitian
............................................................................... 10
D. Manfaat Penelitian
............................................................................... 11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
............................................................................... 12
BAB III METODE PENELITIAN ..............................................................................
I
24
3.1. Ruang Lingkup Penelitian
…………………………………………………..
24
3.2. Data
…………………………………………………..
24
3.3. Sumber Data
…………………………………………………..
24
3.4. Metode Pengumpulan Data ..............................................................................
24
3.5. Metode Analisis
............................................................................... 25
BAB IV PEMBAHASAN A. Konsep dan Konteks Pengawasan Terhadap Pelanggaran Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha .................................................... .................
26
B. Eksistensi Perangkat Hukum dan Peraturan Terhadap Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha
............................................................................... 36
C. Tatacara Penanganan dan Penerapan Sanksinya Bagi Pelanggaran Persaingan Usaha
...............................................................................
D. Penerapan Pendekatan Rule of Reason dan Per Se Illegal Dalam Penegakan
45
Hukum Persaingan Usaha
…………………………………………………...
59
E. Penegakan Hukum Praktek Monpolid dan Persaingan Usaha Di Indonesia
………………………………………….………..
69
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan
…………………………………………………… 75
B. Saran-Saran
…………………………………………………… 76
DAFTAR PUSTAKA
…………………………………………………..
77
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur peneliti panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Kuasa atas kasih dan karuniaNya serta rahmatNya sehingga penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik. Penelitian ini berjudul Penegakan Hukum (Law Enforcement) Monopoli dan Persaingan Usaha Atas Produksi dan Pemasaran Barang dan/atau Jasa Bagi Pelaku Usaha. Penelitian ini merupakan aplikasi dari salah satu pelaksanaan Tri Dharma Peguruan Tinggi yaitu setiap insan akademik Dosen diwajibkan melaksanakan penelitian. Pelaksanaan penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan meneliti bagi seorang dosen dengan latar belakang jenjang pendidikannya masing-masing apakah di bidang eksakta maupun non eksakta. Mulai dari rencana pembuatan proposal penelitian hingga selesai penulisan laporan hasil penelitian ini, peneliti memperoleh banyak dorongan, dukungan dan masukan dari berbagaibagai pihak. Dalam kesempatan ini dengan segala kerendahan hati dan dengan hati yang setulusnya menyampaikan terima kasih banyak kepada : 1. Bapak DR. IR. Jongkers Tampubolon, MSc, selaku Rektor Universitas HKBP Nommensen yang dengan panjang sabar terus mendorong dan memotivasi para staf pengajarnya untuk melakukan pengabdian kepada masyarakat dan penelitian baik secara intern, khusus maupun dengan luar biasa. 2. Bapak Prof. DR. Ir. Hasan Sitorus, MS, selaku Ketua Lembaga Penelitian Universitas HKPB Nommensen yang turut juga memotivasi dan mendorong staf dosen pengajar di Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen melaksanakan penelitian.
3. Bapak DR. Haposan Siallagan, SH, MH, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen dengan tidak bosan-bosannya merangkul, memotivasi,memberikan semangat dan fasilitas memadai yang berkaitan dengan proses pembuatan proposal hingga penyunan laporan hasil penelitian ini dapat disusun sedemikian rupa. 4. Seluruh rekan-rekan staf pengajar Bapak/Ibu Dosen dilingkungan Fakultas Hukum Universitas HKBP Nomensen yang turut memberikan saran konstruktif dan masukanmasukan yang sangat berharga dalam rangka penyelesaian Laporan Hasil Penelitian ini. 5. Teristimewa buat Isteriku yang tercinta Fetty Bettarina Simanjuntak, SE, berikut dengan anak-anakku Binsar Rizky Perdana Silaen, Dwi Putra Tonggo Aprinaldo Silaen, Tri Daniel Leonardo Silaen, dan Dian Agty Elizabeth Silaen yang dengan setia, panjang sabar, serta kasih sayang dan cintanya memberikan dorongan moril dan doa bagi peneliti dalam mencapai cita-cita kehidupan yang bermakna. 6. Kepada seluruh kerabat, sahabat dan saudara peneliti yang secara langsung maupun tidak langsung telah memberikan dukungan dan saran serta kritikan yang membangun kepada peneliti. Peneliti menyadari dan yakin bahwa apa yang disajikan dalam bentuk Laporan Hasil Penelitian ini belumlah sempurna dan masih jauh dari kesempurnaan penelitian, untuk itu peneliti mengharapkan dan menyambut baik segala bentuk saran konstruktif dan masukan-masukan yang sangat berharga yang diberikan oleh pembaca maupun peneliti lainnya demi menuju kesempurnaan dikemudian hari. Akhir kata kiranya Laporan Hasil Penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca maupun peneliti lainnya dan menambah khasanah perbendaharaan bahan bacaan serta sumber ilmu pengetahuan di bidang hukum khususunya ilmu pengetahuan hukum bisnis serta dalam
rangka mewujudkan pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi di lingkungan kampus Universitas HKBP Nommensen.
Medan, Medio Augustus 2011 Peneliti,
August P. Silaen, SH, MHum
RINGKASAN
Ekonomi persaingan usaha dapat ditelaah dari dua sisi yaitu Pertama dari sisi pelaku usaha atau produsen yang memproduksi suatu barang dan/atau jasa dan kedua dari sisi konsumen. Dari sisi pelaku usaha, ekonomi persaingan usaha menyangkut hal bagaimana perusahaan menentukan strategi bersaing, apakah dilakukan dengan cara sehat atau saling melumpuhkan. Dalam prakteknya persaingan usaha sangat terpengaruh oleh berbagai kebijakan pemerintah atau kebijakan publik. Seharusnya kebijakan publik tersebut dibuat dengan wawasan yang berpihak kepada masyarakat, baik kepada produsen maupun kepada konsumen, namun kenyata annya banyak kebijakan yang menyangkut sektor usaha yang diwarnai dengan berbagai kepen tingan terselubung dari pihak tertentu. Latar belakang penelitian ini adalah adanya Praktek Monopoli dan Persaingan tidak sehat atau persaingan curang diantara para pelaku usaha di Indonesia sejak masa orde baru bahkan sampai saat inidampaknya masih sangat merugikan konsumen dan pelaku bisnis yang lain, khu susnya bagi industri yang kurang bonafid secara finansial meskipun persaingan itu sendiri sangat diperlukan dalam berbagai jenis usaha untuk menambah kreativitas, efektivitas dan kualitas serta daya saing dalam industri itu sendiri.Tetapi karena sistem birokrasi dan perekonomian di Indonesia sarat dengan sistem persengkongkolan yang tidak sehat, maka persaingan itu sendiri menjadi terdistorsi. Kesempatan yang diperoleh oleh industri kecil untuk mendapat akses dan masuk kedalam industri dan pasar yang ada sangat minim, tetapi yang sangat menguntungkan bagi industri kecil mereka masih dapat eksis karena memiliki keistimewaan produksinya ti dak bisa ditiru oleh pengusaha industri besar.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan memperoleh kejelasan tentang latar belakang terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang berlaku dalam proses bisnis di Indonesia, baik itu bisnis dalam bentuk konglomerasi maupun dalam bentuk indus tri kecil serta untuk memperoleh penjelasan adakah terjadi perubahan kondisi persaingan bisnis di Indonesia sesudah disahkannya Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (yang selanjutya disebut dengan UULPM & PUTS). Dengan keluarnya UULPM & PUTS ini juga diharapkan para pelaku usaha yang bermodal kuat tidak akan bertindak sewenang-wenang dan melakukan praktek-praktek bisnis curang yang mematikan atau merugikan pelaku usaha lainnya. Pelaku usaha yang melakukan pelangga ran terhadap UULPM & PUTS ini akan diberi sanksi hukum yang jelas dengan demikian apa yang menjadi tujuan diciptakannya UU ini akan tercapai. Pendek kata UU ini akan membuat efek jera dan ”mati kutu” semua pelaku usaha yang selama tiga puluh dua tahun berkuasanya rezim orde baru menjadi besar dan menikmati fasilitas monopoli yang diberikan pemerintah ter masuk praktek bisnis curang.Ini semua pada akhirnyatelah menghantarkan bangsa ini pada kon kondisi turbulensi ekonomi secara nasional dan memberikan sadaran baru mengenai penting nya persaingan sehat (fair business competition) dalam berusaha dilindungi dengan menciptakan UU yang khusus untuk itu. Pada saat ini kita dapat mengamati, melihat dan merasakan bahwa penegakan hukum khususnya persaingan usaha berada dalam posisi yang tidak menggembirakan. Masyarakat mempertanyakan kinerja aparat penegak hukum dalam berbagai masalah-masalah hukum. Mungkin benar apabila dikatakan bahwa perhatian masyarakat terhadap lembaga-lembaga hukum telah berada pada titik nadir. Hampir setiap saat kita dapat menemukan berita, informasi, laporan
atau ulasan yang berhubungan dengan lembaga-lembaga hukum kita. Salah satu permasalahan yang perlu mendapat perhatian kita semua adalah merosotnya rasa hormat masyarakat terhadap wibawa hukum. Mengingat begitu sentralnya kedudukan dari UULPM & PUTS dalam dunia bisnis dan karena hukum persaingan usaha ini menduduki tempat dalam inner circle di dalam dunia hukum bisnis, maka peneliti menganalisis secara mendalam dan hati-hati yang akhirnya hasil renungan tersebut dituangkan kedalam Laporan Hasil Penelitian ini. Penelitian ini bersifat diskriptif dan analitis juridis yang didukung oleh studi kepustakaan karena secara spesifik penelitian ini bertujuan memberikan gambaran mengenai praktek monopoli dan persaingan usaha di Indonesia sekaligus juga memberikan gambaran tentang sejauhma na telah dilakukan penegakan hukum (law enforcement) terhadap praktek monopoli dan persaingan usaha dibidang produksi dan atau pemasaran atas barang dan/atau jasa khusus bagi pelaku usaha dalam proses bisnis di Indonesia serta bagaimana pengaruh dan pengaturan dari penegakan hukum tersebut terhadap praktek monopoli dan persaingan usaha sebelum dan sesudah keluarnya UULPM & PUTS tersebut. Penegakan hukum pada hakekatnya merupakan interaksi antara berbagai perilaku manusia yang mewakili kepentingan-kepentingan yang berbeda dalam bingkai aturan yang telah disepakati bersama. Oleh karena itu, penegakan hukum tidak dapat semata-mata dianggap sebagai proses menerapkan hukum. Namun proses penegakan hukum mempunyai dimensi yang lebih luas, karena dalam penegakan hukum akan melibatkan dimensi perilaku manusia. Dengan pemahaman tersebut maka kita dapat mengetahui bahwa problem-problem hukum yang akan sela lu menonjol adalah problem ”law in action” bukan pada ”law in the books”
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubunganhubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ditinjau dari sudut subjek nya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subjek yang lebih luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum itu melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melaku kukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Penegakan hukum itu kurang lebih merupakan upaya yang dilakukan untuk menjadikan hukum baik dalam artian formil yang sempit maupun dalam artian materil yang luas, sebagai pedoman perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh para subjek hukum yang bersangkukutan maupun oleh aparatur penegak hukum yang resmi diberi tugas dan kewenangan oleh Undang-undang untuk menjamin berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Haruslah kita sadari benar bahwa upaya penegakan hukum tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Kejadian-kejadian yang sekarang menimpa lembaga hukum hanyalah satu pro ses untuk menuju terciptanya wibawa hukum. Sudah saatnya lembaga-lembaga penegak hukum melakukan berbagai pembenahan dan perbaikan serta evaluasi berkesinambungan atas semua program dan kebijaksanaan yang sudah dicanangkan, agar dapat mengurangi kendala yang diha dapi. Pemahaman yang sama terhadap suatu konstruksi hukum akan sangat mendukung keberha silan proses penegakan hukum. Koordinasi dan penyamaan persepsi antar aparatur penegakan hukum (polisi, jaksa, hakim, advokat/penasehat hukum/pengacara) harus dikembangkan sejak di ni. Pembenahan paling dini dapat dimulai dari sistem rekrutmennya.
Metode penelitian dipergunakan dalam penulisan penelitian ini adalah dengan menggunakan metode Penelitian Kepustakaan (Library Research) dimana peneliti mencari dan mengum pulkan bahan data tertulis dari bahan buku-buku bacaan, perangkat peraturan perundang- undangan, hasil penelitian dalam bentuk disertasi, tesis, skripsi maupun makalah dan juga bersumber dari media elektronika berupa internet yang berkaitan dengan judul, permasalahan yang diteliti untuk dijadikan landasar kerangka berfikir dan tolok ukur bagi peneliti menganalisa masa lah-masalah dalam penulisan penelitian ini. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebenarnya monopoli dan persaingan usaha da pat berjalan secara seiring dalam kegiatan bisnis, karena monopoli bisa bersifat ”natural” yaitu dari kegiatan bisnis yang kecil dapat menjadi bisnis yang besar atau sekaligus bisnis raksasa ( multinasional). Hanya kendalanya industri kecil di Indonesia masih berjalan secara konvensional dan tradisional dan kurang greget mencari akses pangsa pasar termasuk akses modal maupun pemasarannya. Oleh karena itu dapat direkomendasikan bahwa pemerintah harus secara terus menerus memperbaiki struktur perekonomian Indonesia agar pelaku usaha dan bisnis dapat berkompetisi secara sehat, fair, dan sistem birokrasi harus ditata dengan lebih baik dan profesional serta memberikan pembinaan dan akses masuk kedalam ”industri” kepada pelaku bisnis dengan modal lemah/industri kecil.
BAB I. PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang. Sistem perekonomian masa kini yang mengglobal dan sangat terintergrasi memberikan peluang dan masalah bagi bangsa Indonesia. Secara umum, kekayaan sumber daya alam Indonesia dan dimensi pasarnya menjanjikan sejumlah keuanggulan dalam persaingan global, investasi asing dan pasar ekspor. Namun perkembangan perekonomian dunia yang semakin kompleks telah menimbulkan persaingan yang ketat dalam perdagangan internasional, baik perdagangan barang maupun jasa. Berbagai praktek unutk memenangkan persaingan sering dilakukan oleh para pelaku bisnis diberbagai Negara di dunia termasuk dengan menggunakan praktek-praktek perdagangan yang tidak wajar (unfair trade practices). Menurut Alfa Aprias bahwa : “Pesatnya perkembangan dunia usaha adakalanya tidak diimbangi dengan “penciptaan” rambu-rambu pengawasan. Dunia usaha yang berkembang terlalu pesat sehingga meninggalkan rambu-rambu yang ada jelas tidak akan menguntungkan pada akhirnya. Apabila hukum tidak ingin dikatakan tertinggal dari perkembangan bisnis dan dunia usaha, maka hukum dituntut untuk merespon segala seluk beluk kehidupan dunia usaha yang melingkupinya sebagai suatu fenomena atau kenyataan sosial. Itu berarti, peran hukum menjadi semakin penting dalam menghadapi problema-problema dunia usaha yang timbul seperti monopoli dan persaingan usaha tidak sehat” (Alfa Alprias, 2010 : 1) Lebih lanjut Alfa Aprias mengatakan “monopoli menggambarkan suatu keadaan dimana terdapat seseorang atau sekelomok orang yang menguasai suatu bidang tertentu secara mutlak, tanpa memberikan kesempatan kepada orang lain untuk ikut ambil bagian. Monopoli diartikan sebagai hak istimewa (previlege), yang menghapuskan persaingan bebas, yang tentu pada akhirnya juga akan menciptakan penguasaan pasar. Persaingan usaha tidak sehat adalah suatu bentuk yang dapat diatikan secara umum terhadap segala tindakan ketidakjujuran atau menghilangkan persaingan dalam setiap bentuk transaksi atau bentuk perdagangan dan komersial. Adanya persaingan tersebut mengakibatkan lahirnya perusahaan-perusahaan yang mempunyai keinginan yang tinggi untuk mengalahkan pesaing-pesaingnya agar menjadi perusahaan yang besar dan paling kaya”
Ekonomi yang kuat dan efisien adalah kata yang sangat mahal pada masa orde baru. Sebab, pada masa ini, pembangunan yang dilakukan tidak berdasarkan pada teori hukum pembangunan. Teori hukum pembangunan yang pendekatan pemikiran hukumnya sering disebut normative
sosiologis. Dalam kajian ekonomi dipahami bahwa strategi ekonomi
pembangunan pada saat itu lebih berorientasi pada pertumbuhan (growth) yang antara lain menggunakan strategi substitusi. Adapun dalam hal pendistribusian barang dan/atau jasa hanya dikuasai oleh orang-orang tertentu saja. Puncaknya pada tahu 1998 terjadi krisis monoter di Asia, mulai dari Thailand dan merambat ke Indonesia. Krisis tersebut terus berlanjut pada krisis yang bersifat multidimensi terutama kondisi politik yang berakibat jatuhnya kekuasaan rezim orde baru. Dampak dari situasi tersebut para pelaku ekonomi dan pasar serta konglomerat yang tidak mempunyai pijakan ekonomi yang kuat yang berdasarkan inovasi, kreasi dan produktivitas serta pertumbuhan yang berbasis sektor riil menjadi ambruk. Para pengusaha yang bermain di pasar uang mengalami guncangan yang maha dahsyat. Bagi pelaku usaha perbankan yang dengan menggunakan utang dalam bentuk dollar dan biasanya dalam jangka pendek telah jatuh tempo, sehingga menjadikan dollar melambung. Dengan situasi demikian, pemerintah mengambil kebijakan untuk mem-bail out atau me nanggung beban utang swasta terutama pada bank-bank ”bermasalah”, maka lahirlah Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang bertugas mengambil alih utang-utang bank swasta nasional dengan dana talangan yang berasal dari International Monetery sebesar $ US 43 miliar yang bersifat jangka panjang. Pemberian dana talangan oleh IMF bukanlah tanpa syarat, secara regulatif utang dapat dikucurkan dengan persyaratan Indonesia harus melakukan reformasi sistem ekonomi dan hukum ekonomi tertentu diantaranya dengan UULPM & PUTS Dengan kehadiran UULPM & PUTS di Indonesia ini merupakan prasyarat prinsip ekonomi modern dengan prinsip yang dapat memberikan kesempatan yang sama bagi setiap orang untuk bersaing secara jujur dan terbuka dalam berusaha. Dengan Undang-Undang ini, pelaku usaha, ekonomi dan bisnis diharapkan menyadari kepentingan untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya tetapi harus dilakukan dengan cara persaingan yang jujur tanpa melakukan praktek monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat.
”Dari konsiderans menimbang Undang-Undang Anti Monopoli, dapat diketahui falsafah yang melatar belakangi kelahirannya dan sekaligus memuat dasar pikiran perlunya disusun Undang-Undang tersebut, setidaknya memuat tiga hal, yaitu bahwa : 1. Pembangunan bidang ekonomi harus diarahkan kepada terwujudnya kesejahteraan rakyat berdasarkan Pancasla dan Undang-Undang Dasar 1945 ; 2. Demokrasi dalam bidang ekonomi menghendaki adanya kesempatan yang sama bagi setiap warga Negara untuk berpartisipasi di dalam proses produksi dan pemasaran barang dan/atau jasa, dalam iklim usaha yang sehat, efektif dan efisien sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan bekerjanya ekonomi pasar yang wajar”. 3. Setiap orang yang berusaha di Indonesia harus berada dalam situasi persaingan yang sehat dan wajar, sehingga tidak menimbulkan adanya pemusatan kekuatan ekonomi pada pelaku usaha tertentu, dengan tidak terlepas dari kesepakatan yang telah dilaksanakan oleh negara Republik Indonesia terhadap perjanjian-perjanjian internasional” (Rachmadi Usman, 2004 : 7) Menurut Kelik Pramudy sebagaimana dikutip dari Arie Siswanto (2002), bahwa ”secara etimologi, kata ”monopoli” berasal dari kata Yunani ’monos’ yang berarti sendiri dan ’polein’ yang berarti penjual. Dari akar kata tersebut secara sederhana orang lantas memberi pengertian monopoli sebagai suatu kondisi dimana hanya ada satu penjual yang menawarkan (supplay) suatu barang atau jasa tertentu” (Kelik Pramudy, 2008 : 1-2) Selanjutnya Kelik Pramudy menjelaskan ’disamping istilah monopoli di USA sering digunakan kata ”antitrust” untuk pengertian yang sepadan dengan istilah ”anti monopoli” atau istilah ”dominasi” yang dipakai masyarakat Eropah yang artinya juga sepadan dengan arti istilah ”monopoli”. Disamping itu terdapat istilah yang artinya hampir sama yaitu ”kekuatan pasar”. Dalam praktek keempat kata tersebut yaitu ”monopoli”, ”antitrust”, ”kekuatan pasar” dan istilah ”dominasi” saling dipertukarkan pemakaiannya. Keempat istilah tersebut dipergunakan untuk menunjukkan suatu keadaan dimana seseorang menguasai pasar,dimana di pasar tersebut tidak tersedia lagi produk substitusi yang potensial dan terdapatnya kemampuan pelaku pasar tersebut untuk menerapkan harga produk tersebut yang lebih tinggi tanpa mengikuti hukum persaingan usaha atau hukum tentang permintaan dan penawaran” Usaha ( Menurut Mustafa Kamal Rokan dalam bukunya Hukum Persaingan (Teori dan Prakteknya di Indonesia) mengatakan ”monopoli berarti kondisi penguasaan atas produksi
dan pemasaran oleh satu kelompok pelaku usaha tertentu. Sedangkan praktek monopoli menekankan pada pemusatan kekuasaan sehingga terjadi kondisi pasar yang monopoli. Karenanya, praktek monopoli tidak harus langsung bertujuan menciptakan monopoli, tetapi istilah ini pada umumnya menggambarkan suatu usahamencapai atau memperkuat posisi dominan di pasar. Dalam hak praktek monopoli, yang berarti menekankan pada proses monopoli dapat melihat beberapa hal sebagai berikut, yakni penentuan mengenai pasar bersangkutan, penilaian terhadap keadaan pasar dan adanya kegiatan yang dilakukan oleh pelaku untuk menguasai pasar.” (Mustafa Kamal Rokan, 2010 : 8-10). Lebih lanjut Mustafa Kamal Rokan menjelaskan ” bahwa UU No.5 Tahun 1999 menekan kan pada proses terjadinya monopoli bersaing secara tidak sehat. Lebih tegas, praktek monopoli adalah proses pemusatan, sedangkan monopoli adalah kondisi pasar akibat dari praktek monopoli. Menekankan pada praktek monopoli berarti mengabaikan monopoli yang terjadi secara alamiah”. Selanjutnya Mustafa Kamal Rokan menambahkan ” monopoli dapat terjadi dengan dua cara yaitu, pertama, monopoli alamiah (natural monopoly) yang terjadi akibat kemampuan seseorang atau sekelompok pelaku usaha yang mempunyai satu kelebihan tertentu sehingga membuat pelaku usaha lain kalah bersaing. Satu pelaku usaha pada pasar sepatu yang mempunyai kualitas yang sangat baik dapat menekan biaya produksi, pemasaran yang prima tentu akan diminati oleh komsumen, sehingga secara ”alamiah” akan menguasai pasar sepatu. Jika sesuatu kelebihan yang dimiliki pelaku usaha tersebut didaftarkan dalam hak paten, maka penemuan atau kelebihan yang dimilikinya adalah ” hak eksklusifnya. Kedua, monopoli berdasarkan hukum (monopoly by law), yakni monopoli yang berasal dari pemberian negara se perti yang termaktub dalam Pasal 33 UUD 1945 yang selanjutnya di lindungi oleh UU dan pera turan dibawahnya. Misalnya pada perusahaan listrik negara, Pertamina, Pelni dan sebagainya” Monopoli memberikan suatu kesan bagi masyarakat luas, yang secara konotatif tidak baik dan merugikan kepentingan banyak orang. Banyaknya persepsi yang ada, tidak hanya di kalangan masyarakat awam, melainkan juga dikalangan dunia usaha dan bisnis yang dilakukan kalangan pelaku usaha dan ekonomi, telah membuat makna monopoli bergeser dari pengertiannya semula. Perkataan “monopoli” seringkali menghantui benak kita dengan suatu keadaan dimana seseorang atau sekelompok orang melakukan penguasaan atas suatu bidang
kegiatan usaha dan ekonomi tertentu secara mutlak tanpa memberikan kesempatan kepada orang lain untuk turut serta mengambil bagian. Monopoli adalah suatu situasi dalam pasar dimana hanya ada satu atau segelintir perusahaan yang menjual produk aatau komoditas tertentu yang tidak punya pengganti yang mirip dan ada hambatan bagi perusahaan atau pengusaha lain untuk masuk dalam bidang industri atau bisnis tersebut. “Dengan monopoli suatu bidang, berarti kesempatan untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya untuk kepentingan kantong sendiri. Di sini monopoli bagai suatu kekuasaan untuk menentukan tidak hanya harga, melainkan juga kualiatas dan kuantitas suatu kegiatan usaha dan ekonomi atau produk barang dan/atau jasa tertentu yang ditawarkan kepada masyarakat konsumen. Masyarakat tidak memiliki kesempatan untuk menentukan pilihan, baik mengenai harga, mutu kualitas maupun jumlahnya. Kalau mau silahkan dan kalau tidak mau tidak ada pilihan lain” (Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, 1999 : 2). Hal tersebut diatas, langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan kecemburuan sosial, yang pada akhirnya dapat mengakibatkan distorsi ekonomi secara nasional dengan dampak juga dapat merugikan kepentingan masyarakat banyak, kepentingan bangsa dan negara. Praktek monopoli hal yang biasa dilakukan oleh para pelaku usaha, ekonomi dan bisnis besar yang mempuyai kekuatan untuk mengontrol pasar market. Apabila terjadi hal tersebut maka harga akan semakin meningkat dikarenakan kelangkaan produksi barang dan/atau jasa. Akibat dari monopolu adalah dapat menguntungkan disatu pihak saja dan akan dapat mematikan uasaha-usaha lain yang kecil dan sederhana yang bergerak dalam bidang yang sama. Praktek monopoli dapat juga dikatakan teknik pengisapan darah masyarakat selaku konsumen yang pernah dilakukan penjajah VOC zaman dahulu sebelum kemerdekaan kita. Persaingan usaha tidak sehat adalah suatu bentuk yang dapat diartikan secara umum terhadap segala tindakan ketidak juuran atau menghilangkan persaingan dalam setiap bentuk transaksi atau bentuk perdagangan dan konersial. Adanya persaingan tersebut mengakibatkan lahirnya perusahaan-perusahaan yang mempunyai pelaku keinginan
yang tinggi untuk
mengalahkan pesaing-pesaingnya agar menjadi perusahaan yang besar dan paling kaya. Persaingan usaha tidak sehat adalah suatu persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan
dengan cara-cara yang tidak jujur atau dengan cara melawan hukum atau menghambat persaingan usaha. Di dalam fenomena persaingan usaha nasional selalu terdapat issue kondisi
struktur
ekonomi, issue perilaku pro-persaingan atau anti persaingan dari para pelaku usaha nasional, serta issue kebijakan persaingan usaha nasional. Dalam issue pertama, perspektif ekonomi sangatlah menonjol, untuk issue yang kedua, perspektif ekonomi terkait dengan masalah motif ekonomi dari perilaku tersebut dan perspektif hukum akan membahas ada atau tidaknya aturan (code of conduct) dari perilaku tersebut, sedangkan issue yang ketiga sangat menonjol perspektif hukumnya. Oleh karena itu dalam pembahasan issue persaingan usaha pastinya akan terdapat perspektif ekonomi dan perspektif hukumnya. Pengertian Kebijakan Persaingan Usaha (competition Policy) melingkupi pula pengetian dari Hukum Persaingan Usaha (Competition Law) atau dengan kata lain bidang Hukum Persaingan Usaha merupakan salah satu cabang pembahasan dalam Kebijakan Persaingan Usaha. Sedangkan pengertian dan ruang lingkup dari Hukum Persaingan Usaha tidak melingkupi seluruh pengertian dan bidang dalam Kebijakan Persaingan Usaha. Kebijakan Persaingan Usaha disamping melingkupi Hukum Persaingan Usaha, juga meling kupi perihal deregulasi, foreign direct investment, serta kebijakan lain yang ditujukan untuk mendukung persaingan usaha seperti pengurangan pembatasan kuantifikasi impor dan juga melingkup aspek kepemilikan intelktual (intellectual property). Sehingga apabila di dalamnya digunakan istilah ”Kebijakan Persaingan Usaha maka berarti termasuk pula di dalamnya ”Hukum Persaingan Usaha” Hukum persaingan usaha sebenarnya mengatur tentang pertentangan kepentingan antar pelaku usaha yang merasa dirugikan oleh tindakan dari pelaku usaha lainnya. Oleh karenanya hukum persaingan usaha pada dasarnya merupakan sengketa perdata. Penegakan hukum persaingan usaha antar pelaku usaha dapat dilakukan oleh pelaku usaha sendiri, apabila masalah tersebut tidak terdapat unsur-unsur publiknya. Penegakan hukum oleh pelaku usaha akan memenuhi berbagai hambatan apabila tidak ada kesukarelaan untuk melaksanakan putusan dari pihak yang dikalahkan. Hal ini karena sebuah asosiasi tidak berwenang untuk melakukan penyitaan ataupun menjatuhkan sanksi yang bersifat publik. Kebijakan persaingan usaha domestik yang sehat merupakan salah satu agenda reformasi ekonomi nasional saat ini. Kebijakan ini menjadi sangat penting disatu pihak, karena selama 53
tahun Indonesia merdeka belum ada kebijaksanaan maupun undang-undang yang khusus mengatur tentang antimonopoli ataupun tentang persaingan usaha. Di lain pihak, karena berbagai bentuk usaha dan praktek monopoli yang ada di Indonesia saat ini cenderung menghasilkan eksploitasi ekonomi yaitu berupa usaha mencari keuntungan yang besar dan membatasi produk yang dihasilkan. Kebijakan persaingan usaha domestik yang sehat sangat diperlukan karena dengan adanya kebijkan ini proses alokasi sumberdaya ekonomi melalui produksi dan distribusi barang dan/atau jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan menjadi efisien.dan ini berarti mengoptimalkan kesejahteraan konsumen. Dengan adanya kebijaksanaan persaingan usaha domestik, maka upaya untuk m eningkatkan keberhasilan di pasar global dan perkembangan teknologi maupun inovasi akan mudah tercapai. Sebaliknya, persaingan ekonomi pasar yang bebas dapat menimbulkan kecenderungan perusahaan atau kelompok perusahaan berusaha memperoleh kekuatan ekonomi yang berlebihan, memperbesar skala usaha untuk mencari keuntungan yang besar, melakukan konspirasi dalam menentukan harga, membatasi produksi dan mengeksploitasi tenaga kerja. Semuai ini akan merugikan masyarakat. Iklim persaingan usaha yang sehat merupakan suatu condition sine qua non bagi terselenggaranya ekonomi pasar. Karena itu Undang-Undang (UU) larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat merupakan suatu kebutuhan dan menduduki posisi kunci dalam ekonomi pasar secara marketing. UU ini akan memberikan aturan main yang jelas dan tegas kepada para pelaku usaha dan ekonomi dalam melaksanakan aktivitas usaha, ekonomi dan bisnis mereka. Persaingan antara pelaku usaha salah satunya adalah persaingan dalam merebut pasar dan mendapat konsumen sebanyak-banyaknya. Persaingan sebenarnya merupakan kondisi ideal yang memiliki banyak aspek positif.Meskipun demikian,persaingan akan dapat berjalan dengan baik sesuai dengan fungsinya apabila tidak terjadi perbuatan curang yang justru merugikan dan menimbulkan aspek negatif. Di dalam fenomena persaingan usaha nasional selalu terdapat isu kondisi struktural ekonomi, isu perilaku mendukung persaingan atau tidak mendukung persaingan dari para pelaku usaha nasional, serta isu kebijakan persaingan usaha nasional. Dalam isu pertama, perspektif ekonomi sangatlah menonjol, untuk isu yang kedua, perspektif ekonomi terkait dengan masalah motif ekonomi dari perilaku tersebut dan sudut pandang hukum akan
membahas ada atau tidaknya turan dari perilaku tersebut, sedangkan isu yang ketiga, sangat menonjol perspektif hukumnya. Oleh karenanya, dalam pembahasan isu persaingan usaha pastinya akan terdapat perspektif ekonomi dan perspektif hukumnya. ”Sebagai bentuk penguasaan pasar atas produk tertentu, monopoli bukan saja dapat menarik keuntungan sebesar-besarnya tetapi juga dapat mengganggu dan merusak sistem dan mekanisme perekonomian yang sedang berjalan sebagai akibat distorsi ekonomi yang ditaburkannya, seiring dengan semakin besarnya penguasaan atas pangsa pasar produk tertentu. Sebuah atau beberapa perusahaan yang memonopoli produk tertentu dapat menentukan harga suatu produk sesuka hatinya, karena mekanisme pasar sudah tidak berjalan lagi. Apalagi produk yang dimonopoli itu merupakan kebutuhan primer. Dapat dipastikan mereka dapat mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya. Masyarakat tidak ada pilihan lain kecuali membeli produk monopoli itu” ( Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, 1999 : 3) Desakan untuk memiliki suatu regulasi perangkat peraturan perundang-undangan yang membatasi konglomerasi bergaung dengan kencang sejak dekade tahun 1980-an. Berkaitan dengan hal tersebut diatas, maka Pemerintah pada tanggal 5 Maret 1999 telah mengeluarkan UULPM & PUTS). Dengan dikeluarkannya UULPM & PUTS ini, maka praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat menjadi momok yang menakutkan bagi kalangan pelaku usaha, ekonomi dan bisnis. Sehingga kedua aktivitas kegiatan usaha, ekonomi dan bisnis yang tidak fair ini dapat dieleminasi. Di Indonesia essensi keberadaan UULPM & PUTS ini memer lukan suatu badan sebagai pengawasan dalam rangka implementasinya. Berlakunya UULPM & PUTS sebagai landasan kebijakan persaingan (competition policy) diikuti dengan berdirinya Komisi Pengawas Persaingan Usaha (yang selanjutnya disebut dengan KPPU) guna memastikan dan melakukan pengawasan terhadap dipatuhinya ketentuan yang diatur dalam UULPM & PUTS. Undang-Undang Anti Monopoli sangat banyak bersinggungan dengan sektor ekonomi. Akan tetapi seperti biasanya dalam hukum bisnis, maka asal saja hukum itu ditulis dengan bahasa yang benar, maka para ahli hukum tidak usah terlalu cemas jika tidak menguasai bidang ekonomi. Karena begitu hukum ditulis, maka menjadi kewenangan orang-orang hukumlah untuk menafsirkannya. Banyak ahli hukum anti monopoli atau pengacara dan hakim yang memutuskan perkara-perkara anti monopoli di seantero dunia adalah ahli hukum yang tidak pernah belajar ekonomi.Toh mereka dapat bekerja dengan baik. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa
anti monopoli, jangan segan bertanya dan berdiskusi, termasuk dengan para ekonom. Undang-Undang Anti Monopoli merupakan sebuah Undang-Undang yang secara khusus mengatur tentang persaingan dan praktek monopoli, yang sudah sejak lama dipikirkan oleh para pakar, partai politik, lembaga swadaya masyarakat serta instansi pemerintah.Sebagai contoh misalnya Partai Demokrasi Indonesia pada tahun 1995 telah mengeluarkan gagasan tentang konsep Rancangan Undang-Undang tentang Anti Monopoli. Namun demikian, semua gagasan dan usulan tersebut tidak mendapat tanggapan positif, karena pada masa itu belum ada komitmen maupun political will dari elite politik yang berkuasa untuk mengatur masalah persaingan usaha. Menurut Raha bahwa ”jika ditinjau daru UULPM & PUTS , tindakan pelaku usaha dalam melakukan praktek penguasaan pasar tersebut akan sangat merugikan tidak hanya bagi konsumen tetapi juga bagi pelaku usaha yang lainnnya untuk ikut berpartisipasi dalam pasar yang sama” (Raha, 2011 : 1-2). Lebih lanjut Raha menjelaskan ”dengan mengutip pasal 19 UULPM & PUTS tentang penguasaan pasar, pelaku usaha dilarang untuk melakukan satu atau beberapa kegiatan baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/ atau persaingan usaha tidak sehat”. Seperti yang disebutkan dalam bagian umum dari penjelasan atas UULPM & PUTS dan di tegaskan kembali dalam Pasal 3 dari Undang-Undang tersebut, bahwa UU mengambil landasan kepada suatu demokrasi ekonomi berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. ”Kristalisasinya adalah berupa menjaga keseimbangan antara kepentingan si pelaku usaha dengan kepentingan umum dengan tujuan untuk : 1. Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi serta melindungi konsumen. 2. Menumbuhkan iklim usaha yang kondusif melalui terciptanya persaingan usaha yang sehat dan menjamin kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi setiap orang. 3. Mencegah praktek-praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan pelaku usaha. 4. Menciptakan efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha dalam rangka meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat”. (Munir Fuady :2003 : 2).
Dalam hal penanganan perkara/kasus/sengketa praktek monpoli dan persaingan usaha, peran KPPU telah diatur secara jelas dalam UULPM & PUTS, bahkan KPPU dapat membuat aturan pelaksanaan dari Undang-Undang tersebut, sedangkan peran lembaga peradilan dalam menangani keberatan terhadap putusan KPPU tidak diatur secara rinci dalam Undang-undang tersebut. Kerjasama dengan pengadilan yang menangani eksepsi atau pemeriksaan keberatan terlapor berakibat pada kualitas dan lambatnya penegakan hukum praktek monopoli dan persaingan usaha. Selain melakukan pembenahan sumber daya manusia di bidang hukum sebagai bagian dari brainware system , penting pula kiranya untuk membenahi perangkat hukum sebagai bagian dari software system. Oleh karena itu diperlukan pergeseran paradigma dari hukum yang teknokratis struktural menuju hukum humams patisipatoris yang dimulai dari proses hukum yang paling awal karena terdapat hubungan yang erat antara perencanaan hukum, pembentukan hukum, penegakan hukum dan pendayagunaan hukum. Dalam konteks penegakan hukum tidak lain adalah mewujudkan isi, jiwa dan semangat undang-undang/peraturan ke dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, siapapun yang telah mewujudkan isi, jiwa dan semangat undangundang dalam kehidupannya sehari-hari, maka dirinya adalah sesungguhnya menjadi penegak hukum. Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka peneliti melakukan Penelitian mengenai Penegagakan Hukum (law enforcement) Monopoli dan Persaingan Usaha Atas Produksi dan Pemasasaran Barang dan/atau Jasa Bagi Pelaku Usaha ini merupakan penelitian hukum normatif. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui penegakan hukum yang dilakukan oleh KPPU, terutama yang berkaitan dengan kedudukan KPPU dalam UULPM & PUTS serta kekuatan mengikat dan pelaksanaan putusannya.
B. Permasalahan 1. Apa dan Bagaimana Pengawasan yang dilakukan terhadap Pelangaran Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat di Indonesia ? 2. Bagaimana Tatacara Penanganan Perkara dan Sanksi Apa Yang Diterapkan Bila Terjadi Pelanggaran Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha ? 3. Bagaimana Penegakan Hukum (Law Enforcement) dilakukan jika terjadi Pelanggaran Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat di Indonesia ?
C. Tujuan Penelitian Penulisan karya ilmiah Penelitian ini bertujuan memberikan suatu pemecahan terhadap masalah yang hendak diteliti yaitu : 1. Apa dan Bagaimana Pengawasan yang dilakukan Terhadap Pelanggaran Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat di Indonesia ? 2. Bagaimana Tatacara Penanganan Perkara dan Sanksi Apa Yang Diterapkan Bila Terjadi Pelanggaran Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha ? 3. Bagaimana Penegakan Hukum (Law Enforvement) dilakukan jika terjadi Pelanggaran Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat di Indonesia ?
D. Manfaat Penelitian Penyuguhan penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat demi : 1. Menambah, memperkaya dan sumbangsih sederhana ilmu pengetahuan di bidang hukum khusunya ilmu pengetahuan hukum bisnis bagi perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri maupun bagi mahasiswa, pemerhati, peneliti lainnya. 2. Sumbangsih pemikiran sederhana tentang Penegakan Hukum (law enforcement) Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Penguasaan Atas Produksi dan Pemasaran Barang dan/atau Jasa Bagi Pelaku Usaha kepada para pelaku usaha, ekonomi dan bisnis khususnya dan bagi seluruh masyarakat luas pada umumnya.
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA (KERANGKA TEORETIS).
”Sebelum dikeluarkan UULPM & PUTS, sebenarnya pengaturan mengenai persaingan usaha tidak sehat didasarkan pada Pasal 1365 KUH Perdata mengenai perbuatan melawan hukum (onrechtmatigdaad) dan Pasal 382 bis KUH Pidana”. (Lintang Asmara 2011 : 1) Menurut KUH Perdata, ”Tiap-tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena
salahnya menerbitkan kerugian itu
mengganti kerugian tersebut” (Pasal 1365 KUH Perdata). Selanjut Lintang Asmara menguraikan, ”Barang siapa yang mendapatkan, melangsungkan atau memperluas hasil perdagangan atau perusahaan milik sendiri atau orang lain, melakukan perbuatan curang untuk menyesatkan khalayak umum atau seseorang tertentu, diancam karena persaingan curang dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak tiga belas ribu lima ratus rupiah, bila perbuatan itu dapat menimbulkan kerugian bagi konkuren-konkuren orang lain”. (Pasal 382 bis KUH Pidana). Dari rumusan Pasal 382 bis KHU Pidana ini terlihat bahwa seseorang dapat dikenakan sanksi pidana atas tindakan ”persaingan curang” dan harus memenuhi beberapa kriteria sebagai berikut : 1. Adanya tindakan tertentu yang dikategorikan sebagai persaingan curang. 2. Perbuatan persaingan curang itu dilakukan dalam rangka mendapatkan, melangsungkan dan memperluas hasil dagangan atau perusahaan. 3. Perusahaan yang diuntungkan karena persaingan curang tersebut,baik perusahaan si pelaku maupun perusahaan lain. 4. Perbuatan pidana persaingan curang dilakukan dengan cara menyesatkan khalayak umum atau orang tertentu. 5. Akibat dari perbuatan persaingan curang tersebut telah menimbulkan kerugian bagi konkorennya dari orang lain yang diuntungkan dengan perbuatan si pelaku” (Lintang Asmara, 2011 : 1). Sebetulnya sudah sejak lama masyarakat Indonesia, khususnya para pelaku bisnis merindukan sebuah undang-undang uang secara komprehensif mengatur persaingan sehat. Keinginan itu didorong oleh munculnya praktek-praktek perdagangan yang tidak sehat, terutama karena penguasa sering memberikan perlindungan ataupun priveleges kepada para
pelaku bisnis tertentu, sebagai bagian dari praktek-praktek kolusi, korupsi, kroni dan nepotisme. Dikatakan secara komprehensif , karena sebenarnya secara pragmentasi, batasanbatasan yuridis terhadap praktek-praktek bisnis yang tidak sehat atau curang dapat ditemukan secara tersebar di berbagai hukum positif. Tetapi karena sifatnya yang sektoral, perundangundangan tersebut sangat tidak efektif untuk (secara konseptual) memenuhi berbagai indikator sasaran yang ingin dicapai oleh undang-undang persaingan sehat tersebut. Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha. Pengertian dan pemahaman yang salah akan persaingan dan pasar bebas mengakibatkan tibulnya sikap skeptis para pembuat kebijakan dan penegak hukum ketika ULPM & PUTS ini disahkan. Pertanyaan yang timbul adalah dapatkah Undang-Undang anti monopoli ini memberikan manfaat bagi masyarakat Indonesia mengingat selama ini Indonesia mengalami pembangunan dengan sistem ekonomi diperintah dan terencana. Selain itu persaingan selalu dikaitkan dengan individualisme yang bertolak belakang dengan kultur masyarakat yang komunal dimana segala sesuatunya dilakukan atas dasar kekeluargaan dan gotong royong. Hal ini dikuatkan oleh Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 bahwa cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Ayat lainnya menyatakan perekonomian Indonesia dilandaskan pada demokrasi ekonomi kerakyatan. Adanya sikap skeptis ini dapat menjadi hambatan bagi terwujudnya tujuan yang ingin dicapai Undang-Undang antimonopoli ini mengingat adanya relevansi yang kuat antara hukum dan pembangunan ekonomi. Hukum merupakan alat rekayasa sosial yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi suatu negara. Hukum persaingan usaha di Indonesia dapat menjalankan tugasnya sebaga alat rekayasa sosial apabila terdapat keadaan yang cukup kondusif yaitu stabilitas, prediktabilitas, keadilan, pendidikan dan kemampuan aparat penegak hukum. Dengan demikian hukum persaingan usaha mampu menempatkan dirinya tidak saja sebagai alat rekayasa sosial namun juga sebagai tool of economic development. Menurut Munir Fuady sebagaimana dikutip dari pendapat Frank Fishwick (1995 : 21), kata ”monopoli berasal dari kata Yunani yang berarti ”penjual tunggal”. Disamping itu istilah monopoli di negara United State of America (USA) sering digunakan kata ”antitrust” untuk pengertian yang sepadan dengan istilah ”anti monopoli” atau istilah “dominasi” yang dipakai
oleh masyarakat Eropah yang artinya juga sepadan dengan arti isitilah “monopoli”. Di samping itu terdapat lagi istilah yang artinya mirip-mirip yaitu istilah “kekuatan pasar”. Dalam praktek keempat istilah tersebut yaitu isitilah ”monopoli”, ”antitrust”, kekuatan pasar” dan ”isitilah ”dominasi” saling dipertukarkan pemakaiannnya. Keempat isitilah tersebut dipergunakan untuk menunujukkan suatu keadaan dimana seseorang atau sekelompok orang menguasai pasar, dimana di pasar tersebut tidak tersedia lagi produk atau produk subsitusi yang potensial dan terdapatnya kemampuan pelaku pasar tersebut untuk menerapkan harga produk tersebut yang lebih tinggi, tanpa mengikuti hukum persaingan pasar atau hukum permintaan dan penawaran pasar. Dapat dipahami mengapa dalam pasar bebas harus dicegah penguasaan pasar oleh satu, dua atau beberapa pelaku usaha saja (monopoli dan oligopoli), karena dalam pasar yang hanya dikuasai oleh sejumlah pelaku usaha maka terbuka peluang untuk menghindari dan mematikan bekerjanya mekanisme pasar (market mechanism) sehingga harga-harga ditetapkan secara sepihak dan merugikan konsumen. Pelaku usaha yang jumlahnya sedikit dapat membuat berbagai kesepakatan untuk membagi wilayah pemasaran, mengatur harga, kualitas dan kuantitas barang dan atau jasa yang ditawarkan guna memperoleh keuntungan yang setinggitingginya dalam waktu yang relatif singkat. Persaingan usaha di antara para pelaku usaha juga dapat terjadi secara curang (unfair competition) sehingga merupakan konsumen, bahkan negara. Oleh karena itu, pengaturan hukum untuk menjamin terselenggaranya pasar bebas secara adil mutlak diperlukan. Meskipun monopoli harus dicegah tapi sampai pada saat ini belum ada suatu perangkat hukum dan peraturan perundang-undangan dibidang hukum dan bisnisyang mampu untuk mencegah terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Bahkan monopoli yang dilakukan oleh BUMN saat ini cenderung merugikan masyarakat ketimbang mmberi manfaat sulit untuk diawasi. Keterbukaaan informasi yang kurang menyebabkan praktek monopoli semakin merajalela dan masyarakatpun tidak mampu berbuat apa-apa karena tidak mengetahuinya. Jika berbicara mengenai monopoli, kita tidak dapat melepaskan perhatian dengan gejala perkembangan konglomerasi yang banyak menimbulkan reaksi dari kalangan masyarakat dan para ahli hukum dan ekonomi. Pendapat merekapun tidak selamanya sama. Suara sumbang mengenai monopoli memang banyak terdengar. Adanya kelompok tertentu yang memonopoli
suatu bidang atau produk tertentu mulai mejangkiti dan mewabah di Indonesia. Sebagai bentuk penguasaan pangsa pasar atau produk tertentu, monopoli bukan saja dapat menarik keuntungan sebesar-besarnya tetapi dapat mengganggu sistem dan mekanisme perekenomian yang sedang berjalan sebagai akibat distorsi ekonomi yang ditaburkannya, seiring dengan semakin besarnya penguasaan atas pangsa pasar dan produk tertentu. Pada dasarnya praktek monopoli ini merupakan pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan/atau pemasaran barang dan atau jasa tertentu sehingga dapat menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Berdasarkan definisi monopoli tersebut di atas dapat kita ambil unsur-unsur dari praktek monopoli yaitu : a. Terjadinya pemusatan kekuatan ekonomi pada satu atau lebih pelaku usaha. b. Terdapat penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan ataua jasa tertentu. c. Terjadi persaingan usaha tidak sehat, serta d. Tindakan tersebut dapat merugikan kepentingan umum (Andi Fahmi Lubis dkk, 2001 : 132-133) Saiful Akbar menjelaskan bahwa ”di dalam fenomena persaingan usaha nasional selalu terdapat isu kondisi struktural ekonomi, isu perilaku mendukung persaingan atau tidak mendukung persaingan dari para pelaku usaha nasional serta isu kebijakan persaingan usaha nasional. Dalam isu pertama, perspektif ekonomi sangatlah menonjol, untuk isu kedua, perspektif ekonomi terkait dengan masalah motif ekonomi dari perilaku tersebut dan sudut pandang hukum akan membahas ada atau tidaknya aturan dari perilaku tersebut, sedangkan isu ketiga, sangat menonjol perspektif hukumnya. Oleh karenanya, dalam pembahasan isu persaingan usaha pastinya akan terdapat perspektif ekonomi dan perspektif hukumnya” (Saiful Akbar, 2011 : 2). ”Dalam literatur ilmu hukum bisnis anti monopoli, biasanya yang diartikan anti persaingan sehat adalah dampak negatif tindakan tertentu terhadap : 1. harga barang dan/atau jasa 2. kualitas barang dan/atau jasa 3. kuantitas barang dan/atau jasa” (Munir Fuady : 2003 : 5). Selanjutnya Munir Fuady mengatakan kepada pengertian ”Pemusatan Kekuatan Ekonomi
, Undang-Undang Anti Monopoli memberi arti sebagai penguasaan yang nyata atas suatu pasar bersangkutan oleh satu atau lebih pelaku usaha sehingga dapat menentukan harga barang dan/atau jasa. Lebih lanjut lagi Munir Fuady menjelaskan ”kepada pengertian ” posisi dominan” Undang-Undang Anti Monopoli memberi arti sebagai suatu keadaan di mana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar yang bersangkutan dalam kaitannya dengan pang sa pasar yang dikuasai atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi di antara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan,serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang dan /atau jasa tertentu. Dengan demikian Undang-Undang Anti Monopoli (UULPM & PUTS) dalam memberikan arti kepada posisi dominan atau perbuatan anti persaingan lainnya mencakup baik kompetisi yang interbrand, maupun kompetisi yang intrabrand. Yang dimaksud dengan kompetisi yang interbrand adalah kompetisi di antara produsen produk yang generiknya sama (same generic product). Dilarang misalnya jika satu perusahaan menguasai 100 % (seratus persen) pasar televise atau yang disebut dengan isitilah “monopoli”. Sedangkan yang dimaksud dengan kompetisi yang intrabrand adalah kompetisi di antara distributor (wholesale maupun eceran) atas produk dari produsen tertentu. Sementara yang dimaksud dengan “pelaku usaha” adalah setiap perorangan atau sekelompok orang atau juga badan usaha,baik yang berbentuk badan hukum maupun tidak berbadan hukum, didirikan atau berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah Republik Indonesia yang menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi. Jadi dalam hal ini ke dalam kategori “pelaku usaha” termasuk : 1). Orang perorangan, 2). Badan Usaha berbentuk Badan Hukum, 3). Badan Usaha Bukan Berbentuk Badan Hukum. Undang-Undang anti monopoli UULPM & PUTS masih melihat suatu pelaku usaha dalam arti suatu bentuk usaha, baik berbadan hukum maupun yang bukan berbadan hukum. Jadi, jika dalam suatu kelompok usaha ada dua badan hukum misalnya, maka hal tersebut dianggap sebagai dua pelaku usaha. Karena itu, bagi Undang-Undang anti monopoli (UULPM & PUTS) tersebut, tidak begitu relevan misalnya memperbedakan apakah suatu distribusi ganda (dual distribution) berbentuk “sejajar” atau berbentuk “campuran” (myriad distribution)
Yang dimaksud dengan distribusi ganda yang sejajar adalah jika ada satu perusahaan yang mengangkat distributornya lebih dari satu, tetapi kedua perusahaan distribusi tersebut berada di luar grup dan saling bersaing satu sama lain. Sementara itu yang dimaksud dengan distribusi ganda campuran adalah dimana seorang produsen mengangkat dua distributor, satu merupakan distributor dalam satu kelompok usaha dengan produsen tersebut, sementara distributor yang satunya lagi adalah distributor bebas, yakni yang berada di luar kelompok usaha yang bersangkutan. Sehingga dalam distribusi ganda yang campuran terebut terancam baik persaingan usaha yang vertikal maupun yang horizontal. Disamping itu, ada juga yang mengartikan kepada tindakan monopoli sebagai suatu keistimewaan atau keuntungan khusus yang diberikan kepada seorang atau beberapa orang atau peru sahaan yang merupakan hak atau kekuasaaan yang eksklusif untuk menjalankan bisnis atau per dagangan tertentu atau memproduksi barang-barang khusus atau mengontrol penjualan terhadap seluruh suplai barang tertentu. Dalam hukum Inggris kuno, monopoli diartikan sebagai suatu izin atau keistimewaan yang dibenarkan oleh raja untuk membeli, menjual, membuat, mengerjakan atau menggunakan apapun secara keseluruhan dimana tindakan monopoli tersebut secara umum dapat mengekang kebebasan berproduksi atau berdagang (trading). Atau monopoli dirumuskan juga sebagai suatu tindakan yang memiliki atau mengontrol bagian besardari suplai di pasar atau output dari komo ditas tertentu yang dapat mengekang kompetisi, membatasi kebebasan perdagangan yang memberikan kepada pemonopoli kekuaaan pengontrolan terhadap harga. Menurut Abdurrachman A, ada lagi yang mengartikan kepada tindakan monopoli (yang umum) sebagai suatu hak atau kekuasaan hanya untuk melakukan suatu kegiatan atau aktivitas yang khusus, seperti membuat suatu produk tertentu. Memberikan suatu jasa dan sebagainya. Atau suatu monopoli (dalam dunia usaha) diartikan sebagai pemilikan atau pengendalian persediaan akan atau pasaran untuk suatu produk atau jasa yang cukup banyak untuk mematahkan atau memusnahkan persaingan, untuk mengendalikan harga atau dengan cara lain membata si perdagangan (Abdurrachman A, 1991 : 700) . Pengertian Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat menurut UULPM & PUTS adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibat dikuasainya produksi dan/atau pemasaran atas barang dan/atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat mengakibatkan kerugian kepentingan umum.
Menurut Ditha Wiradiputra mengatakan bahwa : ”Bagi negara berkembang seperti Indonesia, implementasi hukum persaingan usaha bukanlah pekerjaan yang mudah. Terlebihlebih masih adanya anggapan dikalangan negara berkembang yang mengatakan bahwa implementasi hukum persaingan usaha yang berlebihan dapat mengganggu aktivitas bisnis pela ku usaha, dan kurang menguntungkan bagi perusahaan-perusahaan nasional, ditambah biaya yang dibutuhkan dalam proses investigasi dugaan terjadi praktek anti persaingan usaha juga tidaklah murah” (Ditha Wiradiputra, 2010 : 1). Lebih lanjut Ditha Wiradiputra menjelaskan bahwa ”efektifitas implementasi dari hukum persaingan usaha merupakan tugas yang sulit serta memerlukan tingkat pengetahuan dan keahlian yang tinggi. Kondisi struktur awal yang terjadi dalam ekonomi transisi dari proteksi ke liberalisasi,khususnya pada negara berkembang membuat implementasi hukum persaingan men jadi tugas yang lebih menantang daripada implementasi hukum persaingan usaha pada negara yang telah maju. Hambatan masuk yang timbul dari konsentrasi pasar yang tinggi, kontrol dan kepemilikan pemerintah, hambatan administrasitif, semuanya tinggi di ekonomi transisi. Dan tidak hanya itu, implementasi hukum persaingan usaha juga tidak akan terlepas dari tekanan secara politik maypun sosial. Ditha Wiradiputra menambahkan : ”namun untuk melihat bagaimana efektifitas dari penegakan hukum persaingan usaha terhadap berbagai sektor industri yang ada bukanlah tugas yang mudah dan juga tidak dapat dilakukan dalam jangka waktu yang relatif singkat”. Menurut Irna Irmalina dalam Tesisnya berjudul Tinjauan Terhadap Fungsi dan Kedudukan KPPU Dalam Penegakan Peraturan Persaingan Usaha mengatakan : ”dalam prakteknya persaingan usaha sangat terpengaruh oleh berbagai kebijakan pemerintah atau kebijakan publik. Seharusnya kebijakan publik tersebut dibuat dengan wawasan yang berpihak kepada mayarakat sebagai konsumen, baik kepada produsen maupun kepada konsumen, namun kenyataannya banyak kebijakan yang menyangkut sektor usaha yang diwarnai dengan berbagai kepentingan yang terselubung dari ihak tertentu. Suatu kebijakan mengenai tata niaga komoditi tertentu misalnya, ternyata menciptakan hambatan masuk yang memberi peluang kepada kelompok tertentu untuk melakukan praktek monopoli dan menutup pesaing untuk masuk” Selanjutnya Irna Irmalina sebagaimana mengutip dari pendapat Hasan M. Fadli, (2005) menjelaskan : ” di masa pemerintahan orde baru, banyak dijumpai praktek persaingan yang tidak sehat. Hasan M. Fadli mengatakan, secara umum ciri praktek usaha pada masa orde baru
adalah : (1). Unregulated, atau nyaris tanpa aturan, ciri ini berkaitan dengan struktur kekuasaan yang memusatkan pada diri seorang presiden. Saat itu hampir tidak ada kebijakan tentang praktek usaha yang berwawasan kepentingan publik, (2). Concentrated, atau terpusat baik berupa monopoli, ataupun oligopoli. Pada masa itu praktek perekonomian terpusat hanya pada beberapa gelintir pelaku usaha melalui proses nepotisme, (3). Protected dan No Competition atau dilindungi dan tanpa persaingan. Sebagian besar dunia usaha industri yang memperoleh hak monopoli dan ologopoli diproteksi sedemikian rupa dengan kebijakan pemerinta. Proteksi ini tidak hanya terbatas pada komoditi strategis yang menguasai hajat hidup orang banyak, melainkan meluas pada berbagai komoditi lainnya”, (4). Priveledge, atau perlakuan khusus. Diantara yang memperoleh perlakuan khusus dari kebijakan pemerintah adalah keluarga pejabat mulai dari level paling atas hingga sampai paling bawah”. Irna Irmalina menambahkan bahwa :”implikasi dari struktur ekonomi orde baru seperti itu yang paling nyata adalah alokasi sumber daya ekonomi yang timpang antar sektor, antar kelompok usaha dan antar daerah. Masyarakat menanggung beban harga yang klebih mahal dari yang seharusnya. Disamping itu perburuan rente dan praktek-prakek kolusi tidak dapat dihindarkan, dan transparansi serta good governance sebagai paradigma penyelenggaraan kepemerintahan sama sekali tidak diwujudkan” Kehadiran UULPM & PUTS dimaksudkan untuk memberikan jaminan kepastian hukum, perlindungan hukum yang sama kepada setiap pelaku usaha dalam berusaha dan penegakan hukum dengan cara mencegah timbulnya praktek-praktek monopoli dan/atau persaingan usaha yang tidak sehat lainnya dengan harapan dapat menciptakan iklim usaha yang kondusif dimana setiap pelaku usaha dapat bersaing secara wajar dan sehat. Untuk itu diperlukan aturan hukum yang pasti dan jelas yang mengatur larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat lainnya. Dengan keluarnya UULPM & PUTS peraturan ini sebagai tool of social control and a tool of social engineering yang tiada lain adalah merupakan sebagai alat control social dan berusaha menjaga kepentingan umum dan mencegah praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Selanjutnya juga merupakan alat rekayasa social berusaha untuk meningkatkan efisiensi ekonomi nasional, mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat dan berusaha menciptakan efektivitas dan efisiensi
dalam kegiatan usaha serta akan membawa nilai positif bagi perkembangan iklim usaha di Indonesia yang selama ini dikatakan jauh dari kondisi ideal. Salah satu tujuan diberlakukannya UULPM & PUTS ini adalah untuk memastikan bahwa mekanisme pasar dapat bekerja dengan baik dan konsumen menikmati hasil dari proses persaingan atau surplus konsumen. Dalam UU ini diatur mengenai larangan perjanjian, kegiatan dan penyalahgunaaan posisi dominan yang dapat mengarah pada persaingan usaha tidak sehat. Disamping itu UULPM & PUTS juga menjamin dan memberi peluang yang besar kepada pelaku usaha yang ingin berusaha (sebagai akibat dilarangnya praktek monopoli dalam bentuk penciptaan barrier toentry). Dampak positif lain adalah terciptanya pasar yang tidak terdistorsi, sehingga menciptakan peluang usaha yang semakin besar bagi pelaku usaha. Keadaan ini akan memaksa para pelaku usaha untuk lebih innovatif dalam memciptakan dan memasarkan produk (barang dan/atau jasa). Rachmadi Usman dalam bukunya berjudul Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia me ngatakan bahwa : ”Lembaga yang akan menjadi penjaga untuk tegaknya peraturan persaingan usaha merupakan syarat mutlak agar peraturan persaingan usaha dapat lebih operasional. Pemberian kewenangan khusus kepada suatu komisi untuk melaksanakan suatu peraturan di bidang persaingan merupakan hal yang lazim dilakukan oleh kebanyakan negara. Contoh di negara Amerika Serikat (USA), Departemen Kehakimannya mempunyai divisi khusus, yaitu Antitrust Division untuk menegakkan undang-undang anti monopoli yang dikenal dengan nama Sherman Act. Departemen Kehakiman bersama-sama Federal Trade Commission juga bertugas menegak kan Clayton Act. Sedangkan tugas untuk menegakkan Robinson Patman Act, khususnya yang menyangkut tindakan penggabungan, peleburan dan pengambilalihan, diserahkan kepada Fede ral Trade Commission : Jepang, Koreadan Taiwan dengan Fair Trade Commission” (Rachmadi Usman, 2004 : 78-79). Selanjutnya Rachmadi Usman menjelaskan “demikian pula yang terjadi di Indonesia, Penegakan hukum persaingan diserahkan kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), di samping kepolisian, kejaksaan dan peradilan. Penegakan pelanggaran hukum peraingan harus dilakukan terlebih dahulu dalam dan melalui Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Setelah itu, tugas dapat diserahkan kepada penyidik/penyelidik kepolisian, kemudian diteruskan ke pengadilan, jika pelaku usaha tidak bersedia menjalankan putusan yang telah
dijatuhkan KPPU. Sebenarnya, penegakan hukum persaingan usaha dapat saja dilakukan oleh kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Pengadilan merupakan tempat penyelesaian perkara yang resmi dibentuk negara.Namun untuk hukum persaingan usaha,pada tingkat pertama penye lesaian sengketa/perkara antar pelaku usaha tidak dilakukan oleh pengadilan. Alasan yang dapat dikemukakan adalah karena hukum persaingan usaha membutuhkan orang-orang spesialis yang memiliki latar belakang dan/atau mengerti betul seluk beluk bisnis dalam rangka menjaga mekanisme pasar.Institusi yang melakukan penegakan hukum persaingan usaha harus beranggo takan orang-orang yang tidak saja berlatar belakang hukum, tetapi juga ekonomis dan bisnis. Hal ini sangat diperlukan, mengingat masalah persaingan usaha sangat terkait erat dengan ekonomi dan bisnis’. Lebih lanjut Rachmadi Usman menambahkan : ” alasan lain mengapa diperlukan institusi yang secara khusus menyelesaikan kasus praktek monopoli dan peraaingan usaha tidak sehat adalah agar berbagai perakara/sengketa tidak bertumpuk di pengadilan. Institusi yang secara khusus menyelesaikan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dapat dianggap seba gai suatu alternatif penyelesaian sengketa, spenjang pengertian alternatif di sini adalah quasi judikatif sudah lama dikenal”. Hukum terutama dapat dilihat bentuknya melalui kaidah-kaidah yang dirumuskan secara eksplisit. Di dalam kaidah-kaidah atau peraturan-peraturan hukum tersebut terkandung tindakantindakan yang harus dilaksanakan seperti penegakan hukum.Kehendak-kehendak hukum dilaku kan melalui manusia-manusia, manusia yang menjalankan penegakan hukum benar-benar menempati kedudukan yang penting dan menentukan. Apa yang dikatakan dan dijanjikan oleh hukum, pada akhirnya akan menjadi kenyataan melalui tangan orang-orang tersebut. Pada hakekatnya hukum mengandung ide atau konsep-konsep yang dapat digolongkan seba gai sesuatu yang abstrak. Ke dalam kelompok yang abstrak termasuk ide tentang keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial. Apabila berbicara tentang penegakan hukum, maka pada hakekatnya berbicara tentang penegakan ide-ide serta konsep-konsep yang notabene adalah abstrak tersebut. Dirumuskan secara alain, penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide dan konsep-konsep tersebut menjadi kenyataan. Proses perwujudan ideide dan konsep-konsep tersebut merupakan hakekat dari penegakan hukum. Apabila berbicara mengenai perwujudan ide-ide dan konsep-konsep yang abstrak menjadi kenyataan, maka sebetulnya sudah memasuki bidang manajemen.
Penegakan hukum merupakanfungsi dari bekerjanya pengaruh-pengaruh tersebut.Kita tidak dapat menutup mata terhadap kenyataan para penegakan hukum, sebagai kategori manusia dan bukan sebagai jabatan, akan cenderung memberikan penafsiran sendiri terhadap tugas-tugas yang harus dilaksanakan sesuai dengan tingkat dan jenis pendidikan, kepribadian dan masih banyak faktor pengaruh yang lain Penegakan hukum selalu melibatkan manusia di dalamnya dan melibatkan juga tingkah laku manusia. Hukum tidak dapat tegak dengan sendirinya, artinya hukum tidak mampu mewujudkan sendiri janji-janji serta kehendak-kehendak yang tercantum dalam (peraturan-peraturan) hukum. Janji dan kehendak tersebut, misalnya untuk memberikan hak kepada seseorang, memberikan perlindungan kepada seseorang yang memenuhi persyaratan tertentu dan sebagainya. Dalam penegakan hukum persaingan usaha, KPPU memegang peranan yang sangat sentral. Menurut Pasal 30 UULPM &PUTS ditentukan bahwa komisi dibentuk untuk mengawasi pelak sanaan undang-undang ini. Komisi merupakan lembaga independen yang terlepas dari pe ngaruh dan kekuasaan serta pihak lain independensi itu ditegaskan kembali dalam Keppres dalam menerapkan undang-undang, namun demikian komisi tidak hanya terbebas dari pengaruh lain, seperti lembaga kemasyarakatan, kelompok pemegang kekuasaan keuangan, dan pihak-pihak lainnya. Dalam melaksanakan tugas-tugas komisi, menurut Pasal 33 UULPM & PUTS Komisi mem punyai wewenang menerima laporan, melaksanakan penelitian, penyelidikan, pemanggilan pela ku usaha, saksi-saksi, saksi ahli, instansi pemerintah, meminta bantuan penyidik, meminta dan menilai alat-alat bukti, memutuskan serta menjatuhkan sanksi berupa tindakan administrasi. Komisi dalam melaksanakan tugasnya disamping berdasarkan laporan masyarakat juga dapat bertindak atas dasar wewenangnya yaitu patut menduga ada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap UULPM & PUTS. Komisi wajib menetapkan perlu tidaknya dilakukan pemeriksaan pendahuluan paling lama 30 hari setelah menerima laporan. Selanjutnya pemeriksaan lanjutan dilakukan dalam waktu 60 hari dan dapat diperpanjang 30 hari lagi. Komisi wajib memberikan putusan telah terjadi atau tidak terjadi pelanggaran persaingan usaha paling lambat 30 hari setelah pemeriksaan lanjutan. Putusan komisi ini berupa sanksi tindakan administrasi dan dapat berupa : 1) penetapan pembatalan perjanjian, 2). perintah kepada pelaku usaha menghentikan integrasi vertical, 3).
perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan yang terbukti menimbulkan praktek monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat dan atau merugikan masyarakat, 4). perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan penyalahgunaan posisi dominan, 5). penetapan pembatalan atas penggabungan atau pelebuan badan usaha dan pengambilalihan saham, 6). penetapan pembayaran ganti rugi, 7). pengenaan denda kepada pelaku usaha yang telah terbukti bersalah melakukan pelanggaran terhadap UULPM &PUTS. . Berdasarkan UULPM & PUTS mengatur bahwa satu-satunya upaya hukum yang tersedia bagi pelaku usaha yang telah terbukti bersalah dan telah diputus oleh KPPU dapat melakukan perlawanan terhadap putusan KPPU adalah dengan mengajukan keberatan terhadap putusan KPPU tersebut (vide Pasal 44 ayat 2 UULPM & PUTS). Hukum persaingan usaha sebenarnya mengatur tentang pertentangan kepentingan antar pela ku usahayangmerasa dirugikan oleh tindakan dari pelaku usaha lainnya.Oleh karenanya hukum persaingan usaha pada dasarnya merupakan sengketa perdata. Penegakan hukum persaingan an tar pelaku usaha dapat dilakukan oleh pelaku usaha sendiri, apabila masalah tersebut tidak terdapat unsur-unsur publiknya. Penegakan hukum oleh pelaku usaha akan memenuhi berbagai hambatan apabila tidak ada kesukarelaan untuk melaksanakan putusan dari pihak yang dikalahkan. Hal ini karena sebuah asosiasi tidak berwenang untuk melakukan penyitaan ataupun menjatuhkan sanksi yang bersifat publik. Dalam perkembangannya, ternyata penegakan hukum persaingan usaha tidak semata-mata merupakan sengketa perdata. Pelanggaran terhadap hukum persaingan mempunyai unsur-unsur pidana bahkan administrasi negara. Hal ini disebabkan peanggaran terhadap hukum persaingan pada akhirnya akan merugikan masyarakat dan merugikan perekonomian negara. Oleh karenanya disamping penegakan hukum secara perdata juga secara pidana. Sebenarnya dalam hal penegakan hukum persaingan dapat dilakukan oleh kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Penegakan hukum merupakan tempat penyelesaian sengketa/perkara yang resmi dibentuk oleh negara. Namun khusus untuk hukum persaingan, pada tingkat pertama penyelesaian sengketa antar pelaku usaha tidak dilakukan oleh pengadilan. Alasan yang dapat dikemukakan adalah karena hukum persaingan membutuhkan functionaries specialistic yang memiliki atar belakang hukum, tetapi juga ekonomi dan bisnis. Hal ini mengingat masalah usahansangat terkait erat dengan ekonomi dan bisnis.
Penegakan hukum adalah proses dilakukannnya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubunganhubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ditinjau dari sudut subjeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subjek yang luas dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum itu melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau sudah melakukan penegakan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi subjeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegak hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya paksa. Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut objeknya yaitu dari segi hukumnya sendiri. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pada nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Tetapi dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja.Karena itu penerjemahan perkataan ”Law Enforcement” ke dalam bahahasa Indonesia dalam menggunakan perkataan ”Penegakan Hukum” dalam arti luas dapat pula digunakan istilah ”Penegakan Peraturan” dalam arti sempit. UULPM & PUTS pada prinsipnya tidak mengatur mengenai aspek gugatan perdata dari tindakan antimonopoli. Karena itu untuk gugatan perdata terhadap tindakan antimonopoli ini berlaku kaida-kaidah hukum perdata umum yang bersumber dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Di Indonesia hanya mengenal ganti rugi apa adanya sesuai dengan kerugian yang diderita bahkan jika pengadilan perdata mengabulkan permohonan ganti rugi perdata lewat prosedur gugatan perdata biasa, maka orang tersebut tidak mungkin mendapat ganti rugi se cara double dari ganti rugi via Pasal 47 ayat 2 huruf g UULPM & PUTS. Penggugat sebagai pihak yang dirugikan hanya tinggal memilih ganti rugi yang mana diantara kedua jenis ganti rugi tersebut yang dia inginkan. Tidak mungkin didapat kedua ganti rugi tersebut.
BAB III METODE PENELITIAN
1. Ruang Lingkup Penelitian. Ruang lingkup penelitian ini dengan maksud adalah memberikan batasan pada penelitian yang akan datang, maka ruang lingkup penelitian ini adalah menyangkut penegakan hukum (law enforcement) terhadap praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat penguasaan atas produksi dan pemasaran barang an/atau jasa bagi pelaku usaha
2. Data. 2.1. Sumber Data. 2.1.1. Bahan Hukum Primer. Data/bahan hukum primer terdiri dari perangkat peraturan perundang-undangan, catatancatatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan hakim serta yang berkaitan dengan penegakan hukum praktek monopoli dan persaingan usaha penguasaan atas produksi dan pemasaran barang dan/atau jasa bagi pelaku usaha sebagai data dalam penelitian ini. 2.1.2. Bahan Hukum Sekunder. Data sekunder yaitu data yang mendeskripsikan, menginterpresatasikan, menganalis dan mengevaluasi data primer, memberikan komentar dan membahas bukti-bukti dari data primer. Data atau bahan hukum sekunder terdiri dari berbagai UU, buku pustaka bacaan, Putusan KPPU, literatur, artikel, makalah, skripsi, thesis dan disertasi, pendapat pakar, hasil penelitian, hasil seminar yang berhuibungan dengan Hukum Persaingan Usahadan Hukum Anti Monopoli, serta situs-situs internet yang terkait dengan pokok permasalahan. 2.2. Metode Pengumpulan Data. Pembahasan penelitian ini, datanya dikumpulkan melalui penelitian kepustakaan (library
research) yakni dengan membaca, mempelajari dan menganalisis serta mencoba untuk memahami data-data yang berhubungan dengan penelitian, buku-buku bacaan yang terkait dengan penelitian, buku-buku laporan/jornal ilmiah yang berkaitan dengan penegakan hukum praktek monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat penguasaan atas produksi dan pemasaran barang dan/atau jasa bagi pelaku usaha, perangkat peraturan perundang-undangan yang berlaku seperti Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, buku-buku bacaan lain yang terkait dengan penelitian ini karangan para ahli dalam bentuk disertasi, tesis, skripsi dan karya ilmiah yang tertata dalam media internet dan kesemua ini pada akhirnya terangkum dalam Daftar Pustaka.
3.Metode Analisis. Metode analisis penelitian ini dengan memakai penelitian normatif juridis yaitu meneliti tentang bagaimana penegakan hukum (law enforcement) praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat penguasaan produksi dan pemasaran atas barang dan/atau jasa bagi pelaku usaha. Dengan data sekunder tersebut dipelajari dan dikaji sedalam mungkin menurut normanorma hukum dan sejumlah perangkat peraturan perundang-undangan yang berlaku secara gradual hirarchie peraturan .
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN.
A. KONSEP DAN KONTEKS PENGAWASAN TERHADAP PELANGGARAN HUKUM PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA Konsep dan kebijakan persaingan dalam arti luas menurut Benny Pasaribu “dapat didefini finisikan sebagai rangkaian kebijakan ekonomi yang lebih memberikan kesempatan pada meka nisme pasar untuk mengalokasikan sumber daya ekonomi. Hal ini biasanya dilakukan biasanya dilakukan dengan yakin bahwa peningkatan kesejahteraan dapat terjadi karena mekanisme pasar lebih unggul dalam hal pertumbuhan ekonomi, efisiensi, innovasi, produktivitas dan kualilitas pelayanan public. Persingan sehat diyakioni mampu menyediakan variasi pilihan jenis dan kualitas produk serta tingkat harga yang relatif rendah dan stabil bagi konsumen” (Benny Pasa ribu, 2009 : 6-7). Lebih lanjut Benny Pasaribu menjelaskan “biasanya, negara menetapkan peraturan perundang-undangan sebagai acuan
dalam membuat kebijakan persaingan dan sekaligus
sebagai standar untuk mengawasi jalannya persaingan di lapangan. Maka, di dalam prakteknya, kita menemukan undang-undang tentang persaingan (sebagai dasar hukum), kebijakan pemerintah, regulasi dan penegakan hukum. Semua ini menjadi instrumen kebijakan persaingan dalam sebuah system ekonomi Negara. Sehingga dalam arti sempit, kebijakan persaingan sering didefinisikan sebagai bagian dari hukum persaingan, yang menegakkan prinsip-prinsip persaingan yakni melarang praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat, seperti kartel, merger dan akuisisi yang merugikan konsumen, penyalahgunaaan posisi dominasi dan sebagainya” Ekonomi abad 21 yang ditandai dengan globalisasi ekonomi merupakan proses kegiatan ekonomi dan perdagangan dimana negara-negara dari seluruh dunia menjadi satu kekuatan pasar yang semakin terintegrasi dengan tanap rintangan batas teritorial negara.Globalisasi menun tut adanya efisiensi dan daya saing dalam dunia usaha. Globalisasi menuntut persaingan bebas yang menganut konsep dkonsentrasi. Mau tidak mau perusahaan-perusahaan lokal harus berdaya saing internasional.Daya saing ini bukan hanya menyangkut kemampuan bersaing memasok produk ke pasar internasional tetapi juga di dalam pasar domestik untuk menghadai pesaing da ri luar negeri. Persaingan yang sehat dalam ekonomi pasar bebas memberikan empat keuntungan yaitu :1)
Persaingan akan memberikan harga yang kompetitif, 2). Adanya peningkatan kualitas hidup oleh karena inovasi yang terus menerus, 3). Mendorong dan meningkatkan mobilitas masyarakat, 4). Adanya efisiensi baik efisiensi produktif maupun efisiensi alokatif. Menurut Andi Fahmi Lubis dkk menjelaskan bahwa : ”Kebijakan persaingan juga diarahkan untuk untuk membatasi perilaku penyalahgunaan (abusive) yang dilakukan oleh perusahaan, terutama perusahaan dominan. Persaingan juga diarahkan untuk membatasi dan mengurangi hambatan untuk masuk ke dalam pasar. Selain hambatan yang dilakukan oleh perusahaan dominan di pasar, hambatan masuk ke pasar juga seringkali bersumber dari regulasi pemerintah. Sehingga kebijakan persaingan diharapkan dapat menjadi konsideran utama bagi pemerintah ketika akan mengeluarkan regulasi yang berpotensi menimbulkan dampak di pasar”. (Andi Fahmi Lubis dkk, 2001 : 40) Lebih lanjut Andi Fahmi Lubis dkk menegaskan bahwa : ”secara umum kebijakan persaingan terdiri dari dua elemen yaitu : 1). Hukum persaingan usaha (competition law) dan 2) Advokasi persaingan (competition advocacy). Andi Fahmi Lubis dkk menambahkan bahwa “advokasi persaingan usaha juga merupakan bagian terpenting dari kebijakan persaingan, terutama implementasi kebijakan persaingan di negara berkembang yang membutuhkan pemahaman dari semua pihak termasuk pemerintah. Penegakan hukum persaingan usaha dan kegiatan advokasi persaingan tidak dapat mencapai tujuan kebijakan persaingan secara instan, melainkan membutuhkan proses yang terkadang memakan waktu bertahun-tahun lamanya. Oleh karena itu dampak positif yang ditimbulkan oleh kebijakan persaingan tidak dapat dilihat hanya dari hasil akhir (final outcome), melainkan juga dari perubahan kecenderungan perilaku dari pelaku usaha di pasar yang merupakan bagian dari proses” Kebijaksanan persaingan usaha domestik yang sehat merupakan salah satu agenda reformasi ekonomi saat ini. Kebijaksanaan ini menjadi sangat penting disatu pihak, karena selama 66 tahun Indonesia merdeka belum ada kebijaksanaan maupun undang-undang yang khusus mengatur tentang antimonopoli ataupun tentang persaingan usaha. Di lain pihak, karena berbagai bentuk usaha dan praktek monopoli yang ada di Indonesia saat ini cenderung menghasilkan eksploitasi ekonomi yaitu berupa usaha mencari keuntungan yang besar dan membatasi produk yang dihasilkan.
Kebijakan persaingan usaha domestik yang sehat sangat diperlukan karena dengan adanya kebijakan ini proses alokasi sumberdaya ekonomi melalui produksi dan distribusi barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan menjadi efisien. Dan ini berarti mengoptimal kan kesejahteraan konsumen. Dengan adanya kebijaksanaan persaingan usaha domestik, maka upaya untuk meningkatkan keberhasilan di pasar global dan perkembangan teknologi maupun inovasi akan mudah tercapai. Sebaliknya, persaingan ekonomi pasar yang bebas dapat menimbulkan kecenderungan perusahaan/kelompok perusahaan berusaha memperoleh kekuatan ekonomi yang berlebihan,memperbesar skala usaha untuk mencari keuntungan yang besar, melaku kan konspirasi dalam menentukan harga, membatasi produksi dan mengeksploitasi tenaga kerja. Semua ini akan merugikan masyarakat. Hukum persaingan usaha merupakan prasyarat ekonomi pasar bebas yang memberikan em pat keuntungan dalam pembangunan ekonomi Indonesia.Yaitu, terciptanya harga yang kompetitif, peningkatan kualitas hidup oleh karena inovasi yang terus menerus, mendorong dan meningkatkan mobilitas masyarakat serta adanya efisiensi produktif maupun alokatif. Namun demikian, keuntungan tersebut dapat kita nikmati hanya jika terdapat faktor-faktor penentu yaitu stabilitas dan prediktabilitas hukum, keadilan, pendidikan dan kemampuan aparat penegak hukum. UULPM & PUTS (UU Antimonopoli) bagi suatu merupakan instrumen yang sangat penting untuk menjaga kebebasan ekonomi dan free enterprise. Intervensi negara di dunia usaha dlam persaingan hanya sebagai pihak yang memberikan level playing field, hanyalah pihak yang menerbitkan perangkat hukum mengenai persaingan termasuk pemberian sanksi pidana mau pun administratif terhadap para pelaku usaha yang melakukan persaingan usaha tidak sehat. Adalah suatu keniscayaan, bahwa pembangunan ekonomi suatu negara, terutama di negara berkembang, hukum memiliki peranan yang besar untuk memberikan peluang pembangunan ekonomi. Untuk terciptanya persaingan usaha sebagaimana dimaksud tentunya membutuhkan suatu aturan dan keadaan yang cukup kondusif di mana hukum dan pembangunan dapat saling menyokong satu sama lain. Ada beberapa faktor penentu agar hukum mampu memberikan kondisi yang kondusif untuk membantu pembangunan ekonomi yaitu :stabilitas, prediktabilitas tas, keadilan, pendidikan dan kemampuan aparat penegak hukum. Menurut Cenuk Widiyastrisna Sayekti, “pengertian dan pemahaman yang salah akan per saingan dan pasar bebas mengakibatkan timbulnya sikap skeptis para pembuat kebijakandan pe
negak hukum ketika Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat ini disahkan” (Cenuk Widiyastrisna Sayekti, 2011 : 1-2). Lebih lanjut Cenuk Widiyas trisna Sayekti menjelaskan bahwa Undang-Undang No. 5 Tahun 19999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU LPM & PUTS) kini tengah memasuki arena penegakan hukum dan diharapkan mampu memberikan manfaat bagi masyarakat ser ta menciptakan efisiensi bagi pelaku usaha yang tentu saja akan membawa kesejahteraan bagi konsumen. Adanya sikap skeptis dapat menjadi hambatan bagi terwujudnya tujuan yang ingin dicapai. Undang-undang antimonopoli ini mengingat ada relevansi yang kuat antara hukum dengan pembangunan ekonomi. Lebih lanjut Cenuk Widyastrina Sayekti menambahkan dengan mengutip pendapat Max Weber bahwa “hukum persaingan usaha di Indonesia dapat menjalankan tugasnya sebagai alat rekayasa sosial apabila terdapat keadaan yang cukup kondusif, yaitu stabilitas, prediktabilitas, keadilan, pendidikan dan kemampuan aparat penegak hukum”. Dengan demikian hukum persai ngan usaha mampu menempatkan dirinya tidak saja sebagai alat rekayasa sosial namun juga sebagai tool of economic development” Persaingan sehat sebagai prasyarat mekanisme pasar ini dibutuhkan sebuah negara dengan kebijakan baik pasar bebas ataupun ekonomi terencana memiliki dasar argumen tersendiri mengapa salah satunya dipilih sebagai landasan kebijakan. Selama lebih dari dua dekade bangsa Indonesia mengalami pembangunan ekonomi dengan system ekonomi yang diperintah dan pada akhir tahun 1990 an mengalami transisi ekonomi pada mekanisme pasar adalah hal baru baik bagi pemerintah, para pelaku usaha maupun konsumen. Sistem ekonomi terencana tidak memberikan ruang gerak yang bebas bagi para pelaku usaha dalam berbisnis dan mengembang usaha dan bisnisnya sendiri. Penguasaan produksi dari hulu hingga ke hilir oleh pelaku usaha besar mematikan pelaku usaha kecil. Menurut Fauzi bahwa ”arti penting dan peranan persaingan usaha yang sehat sangat dibutuhkan pada saat ekonomi abad 21 yang ditandai dengan globalisasi ekonomi merupakan proses kegiatan ekonomi dan perdagangan dimana negara-negara dari seluruh dunia menjadi satu kekuatan pasar yang semakin terintegrasi dengan tanpa rintangan batas teritotial negara. Globalisasi menuntut adanya efisiensi dan daya saing dalam dunia usaha. Globalisasi menuntut persaingan bebas yang menganut konsep dekonsentrasi. Mau tidak mau perusahaan-perusahan lokal harus berdaya saing internasional. Daya saing ini bukan hanya menyangkut kemampuan
bersaing memasok produk ke pasar internasional tetapi juga di dalam pasar domestik untuk menghadapi pesaing dari luar negeri” (Fauzi : 2010 : 4). Lebih lanjut Fauzi menambahkan bahwa : ”persaingan yang sehat dalam ekonomi pasar be bas memberikan 4 (empat) keuntungan.Pertama, persaingan akan memberikan harga yang kom petitif. Kedua, adanya peningkatan kualitas hidup oleh karena inovasi yang terus-menerus. Ketiga, mendorong dan meningkatkan mobilitas masyarakat. Keempat, adanya efisiensi produktif maupun alokatif”. Menurut Andi Fahmi Lubis dkknya dalam bukunya berjudul ”Hukum Persaingan Usaha Antara Teks & Konteks mengatakan bahwa : ”dalam pasar bebas semua sumber ekonomi harus bergerak secara bebas,tidak ada hambatan oleh batasan negara.Oleh karena ituTraktat Ro ma menetapkan empat kebebasan (four freedoms) yang mengikat yaitu kebebasan perpindahan barang, kebebasan berpindah tempat kerja, kebebasan memilih tempat tinggal dan lalu lintas ja sa yang bebas, lalu lintas modal yang bebas” (Andi Fahmi Lubis dkk, 2009 : 12-13) . Selanjut Andi Fahmi Lubis menjelaskan bahwa ”pasar bebas mempunyai kebijakan yang komersial umum, relasi komersial dengan negara-negara ketiga dan kebijakan persaingan. Salah satu dari ketentuan-ketentuan khusus yang mengatur pasar bebas yang mempunyai peranan sangat penting bagi Masyarakat Eropah adalah hukum persaingan usaha. Dasar kebijakan hukum persaingan usaha oleh masyarakat Eropah diatur dalam pasal 3 (g) EC Treaty, bahwa persaingan dijamin di pasar antara anggota masyarakat Uni Eropah tidak distorsi” Lebih lanjut Andi Fahmi Lubis dkk menambahkan : ”dalam konsep dasar persaingan usaha menurut ilmu ekonomi tedapat struktur pasar (structure market), terdapat kebijakan persaingan usaha (competition of policy), terdapat paradigma dalam organisasi industri, terdapat peri laku strategis penentuan harga pasar, terdapat pasar bersangkutan (relevant market)” Munculnya persaingan menjadikan setiap pelaku pasar dituntut untuk terus menerus menemukan metode produksi yang baru untuk memperbaiki kualitas dan harga barang dan atau jasa yang dihasilkannya,sehingga terciptalah efisiensi ekonomi yang berarti pelaku usaha dapat men jual barang dan atau jasa tersebut dengan harga yang wajar. Hal ini akan sangat menguntungkan bagi konsumen, karena dapat menikmati barang dan atau jasa yang tinggi kualitasnya dengan harga yang seimbang. Menurut Pandu Soetjitro dalam Tesisnya yang berjudul ”Praktek Monopoli Di Indonesia Pra dan Pasca Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Mo-
nopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat mengatakan bahwa : ”hukum persaingan diciptakan dalam rangka mendukung terbentuknya sistem ekonomi pasar, agar persaingan antar pelaku usaha dapat tetap hidup dan berlangsung secara sehat, sehingga konsumen dapat terlindungi dari ajang ekploitasi bisnis” (Pandu Soetjitro, 2007 : 4-7). Selanjutnya Pandu Soetjitro menjelaskan : ”meskipun persaingan usaha sebenarnya merupakan urusan antar pelaku usaha, dimana pemerintah tidak perlu ikut campur, namun untuk dapat terciptanya aturan main dalam persaingan usaha,maka pemerintah perlu ikut campur tangan untuk melindungi konsumen. Karena bila hal ini tidak dilakukan maka tidak menutup kemungkinan akan terjadi persengkongkolan (kolusi) antar pelaku bisnis yang kan menjadikan inefisien ekonomi yang pada akhirnyakonsumen yang akan menanggung beban yaitu membeli barang dan atau jasa dengan harga dan kualitas yang kurang memadai”. Lebih lanjut Pandu Soetjitro menambahkan : ”dalam dunia bisnis selalu terjadi tarik mena rik antara pendapat yang cenderung menyukai sistem pasar yang bebas dengan pasar yang diatur oleh pemerintah. Akhirnya digunakan jalan tengah yaitu prinsip kebebasan pasar yang diatur oleh pemerintah, dimana persaingan yang terjadi antar pelaku bisnis menimbulkan persaingan yang sehat dengan cara meningkatkan efisiensi dan produktivitas serta penemuan-penemu an yang baru atas barang dan atau jasa. Sebaliknya persaingan usaha yang tidak sehat akan dapat mengganggu dan merusak sistim dan tatanan perekonomian negara dan pada akhirnya akan dapat merugikan masyarakat luas”. Sebuah atau beberapa perusahaan yang memonopoli produk tertentu dapat menentukan har ga suatu produk sesuka hatinya, karena mekanisme pasar tidak berjalan lagi. Apalagi produk yang dimonopoli kebutuhan primer.Dapat dipastikan mereka akan mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya. Masyarakat tidak ada pilihan lain kecuali membeli produk monopoli tersebut. Monopoli dapat terjadi dalam setiap sistem ekonomi. Dalam sistem ekonomi kapitalisme dan liberalisme dengan instrumen adanya kebebasan pasar, kebebasan keluar masuk tanpa restriksi, serta informasi dan bentuk pasarnya yang atomistik dan monopolistik telah melahirkan monopoli sebagai anak kandungnya. Adanya persaingan tersebut mengakibatkan lahirnya perusahaaan-perusahaan yang secara naluriah ingin mengalahkan pesaing-pesaingnya agar menjadi yang paling besar, paling hebat dan yang paling kaya. Dalam sistem ekonomi sosialisme dan komunisme, monopoli juga terjadi dengan bentuk yang khas. Dengan nilai instrumental peren-
canaan ekonomi yang sentralistik, mekanistik dan pemilikan faktor produksi secara kolektif, segalanya dimonopoli negara dan diatur dari pusat. Sedangkan jika kita bandingkan dengan Indonesia dengan sistem ekonomi pancasila, kita mencobamenghilangkan ciri-ciri negatif yang terkandung dalam sistem liberalisme dan sosialis me. Ciri-ciri negatif seperti free figh liberalism, yang membenarkan eksploitasi terhadap manusia, etatisme di mana negara beserta aparatur ekonomi negara bersifat dominan serta mendesak dan meminimumkan potensi dan daya kreasi unit ekonomi di luar sektor negara dan pemusatan ekonomi pada salah satu kelompok dalam bentuk monopoli yang merugikan masyarakat. Menurut Gunawan Widjaja dalam bukunya berjudul Merger Dalam Perspektif Monopoli mengatakan bahwa : “monopoli telah memberikan suatu kesan bagi masyarakat luas, yang secara konotatif tidak baik dan merugikan kepentingan banyak orang. Banyaknya persepsi yang ada, tidak hanya di kalangan masyarakat awam, melainkan juga kalangan dunia usaha, telah membuat makna monopoli bergeserdari pengertiannya semula.Perkataan “monopoli” sering kalimenghantui benak kita dengan suatu keadaan dimana seseorang atau sekelompok orang me lakukan penguasaan atas suatu bidang kegiatan tertentu secara mutlak tanpa memberikan kesempatan kepada orang lain untuk turut serta mengambil bagian” (Gunawan Widjaja, 2002 : 1-3). Lebih lanjut Gunawan Widjaja menjelaskan dengan monopoli suatu bidang tertentu, berarti kesempatan untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya untuk kepentingan kantong sendiri. Di sini monopoli bagai suatu kekuasaan untuk menentukan tidak hanya harga, me lainkan juga kualitas dan kuantitas suatu kegiatan atau produk yang ditawarkan kepada masyarakat konsumen.Masyarakat tidak memiliki kesempatan untuk menentukan pilihannya, baik me ngenai harga, mutu maupun jumlah yang dibutuhkan. Kalau mau silahkan dan kalau tidak mau tidak ada pilihan. Hal tersebut di atas, langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan kecem buruan sosial yang pada akhirnya mengakibatkan distorsi ekonomi secara nasional yang merurugikan kepentingan masyarakat banyak dan negara. Gunawan Widjaja menambahkan ”secara umum, monopoli sangat ditakuti terutama pada negara-negara yang baru mulai berkembang dan mencoba memasuki arena perdagangan dunia yang bebas, karena : 1).Monopoli dikhawatirkan akan dapat meninggikan harga dan membatasi jumlah produksi (output) dibanding dengan pasar dengan persaingan, 2). Monopoli dianganggap mempunyai kemampuan untuk berproduksi pada suatu tingkat jumlah yang keuntung
annya paling besar dan ini berarti pendapatan dari monopolist diperoleh dengan mengambil tenaga beli milik konsumen (masyarakat), 3). Monopoli dapat mencegah terciptanya alokasi sum ber daya ekonomi yang optimal, karena monopolist akan berproduksi tidak pada tingkat di mana biaya rata-rata paling rendah (tidak efisien), berbeda dengan pasar persaingan sempurna, 4). Praktek monopoli menentukan harga jual sepihak, menghambat perbaikan teknologi, membatasi perusahaan masuk industri tersebut dan karena berkuasa dalam pasar, maka monopolist bisa mempermainkan pasar”. Menurut Abdulkadir Muhammad dalam bukunya berjudul Pengantar Hukum PerusahaanIndonesia mengatakan: ”dalam duniaperusahaan, persaingan usaha salah satu bentuk per buatan yang dapat memberikan keuntungan dan menimbulkan kerugian. Apabila persaingan dilakukan secara jujur tidak akan merugikan pihak manapun. Sebab persaingan merupakan pen dorong pengusaha untuk menciptakan mutu sebaik-baiknya dengan penemuan-penemuan baru dan teknik-teknik menjalankan perusahaan yang serba canggih. Persaingan ini disebut persaingan jujur/sehat. Persaingan jujur/sehat dihargai oleh hukum” (Abdulkadir Muhammad, 19 95 : 227-231). Lebih lanjut Abdulkadir Muhammad menjelaskan ”sebaliknya adalah persaingan yang tidak jujur yang dilakukan secara tidak wajar, melawan hukum, merugikan orang lain. Dalam ke pustakaan hukum, persaingan semacam ini disebut persaingan melawan hukum yang termasuk dalam perbuatan melawan hukum yang diatur oleh undang-undang (onrechtmatige daad). Abdulkadir Muhammad menambahkan ”dari segi ekonomi,persainganmenimbulkan man faat antara lain menghasilkan produk yang bermutu, memperlancar distribusi karena pelayanan yang baik dan cepat, menguntungkan perusahaan karena kepercayaan masyarakat konsumen pa da barang dan atau jasa hasil produksi dan menguntungkan masyarakat karena produk yang ber mutu. Akan tetapi dari segi hukum, dalam persaingan selalu ada kecenderungan untuk saling menjatuhkan antara sesama pengusaha dengan cara melawan hukum”. Dalam kegiatan usaha bisnis adanya persaingan usaha merupakan hal yang biasa terjadi. Persaingan usaha yang sehat dapat membawa akibat positif bagi para pengusaha yang saling bersaing karena dapat menimbulkan upaya-upaya peningkatan efisiensi, produktivitas dan kualitas produk yang dihasilkan. Sementara itu, konsumen juga mendapatkan manfaat dari adanya persaingan tersebut karena dapat berakibat pada penurunan harga dan peningkatan kualitas pro-
duk barang dan atau jasa tertentu yang dikomsumsi. Sebaliknya apabila persaingan yang terjadi tidak sehat, akan dapat merusak perekonomian negara yang pada akhirnya juga merugikan masyarakat konsumen. Menurut Sanusi Bintang dan Dahlan dalam bukunya berjudul Pokok-Pokok Hukum Ekonomi dan Bisnis dalam praktek monopoli dan persaingan usaha ”diperlukan adanya perangkat hukum yang dapat memfasilitasi persaingan sehat dan mencegah atau melarang terjadinya persaingan tidak sehat.Perangkat hukum tersebut diharapkan dapat menjadi saran pencapai an demokrasi ekonomi, yang memberikan peluang yang sama bagi semua pengusaha untuk ber partisipasi dalam proses produksi barang dan atau jasa dalam iklim usaha yang sehat, efektif, dan efisien sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi pasar yang wajar” (Sanusi Bintang dan Dahlan, 2000 : 97-98). Lebih lanjut Sanusi Bintang dan Dahlan dengan mengutip dan dengan tegas Pasal 3 UULPM & PUTS menjelaskan bahwa tujuan pembentukan undang-undang tersebut adalah sebagai berikut : 1). Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efiisiensi ekonomi nasional se bagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, 2). Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah dan pelaku usaha kecil, 3). Mencegah praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha, dan 4). Terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegatan usaha”. Menurut Teguh Sulistia dalam makalahnya mengatakan bahwa ”Undang Undang No.5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat adalah meru pakan salah satu perangkat hukum untuk menunjang kegiatan bisnis yang sehat dalam upaya menghadapi sistem ekonomi pasar bebas dengan bergulirnya era globalisasi dunia dan demokra si ekonomi yang diberlakukan di tanah air” (Teguh Sulistia, 2010 : 1). Lebihlanjut Teguh Sulistia menjelaskan ”selain itu, Undang-Undang ini juga mengatur ten tang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang dapat merugikan kegiatan ekonomi orang lain bahkan bagi bangsa dan negara ini dalam globalisasi ekonomi. Keberadaan Undang-Undang anti monopoli ini menjadi tolok ukursejauh mana pemerintah mampu me ngatur kegiatasn bisnis yang sehat dan pengusaha mampu bersaing secara wajar dengan para pesaingnya”.
Teguh Sulistia menambahkan ”semua ini untuk mendorong upaya efisiensi, investasi dan kemampuan adaptasi ekonomi bangsa dalam rangka menumbuhkembangkan potensi ekonomi rakyat,memperluas peluang usaha di dalam negeri (domestik) dan kemampuan bersaing dengan produk negara asing memasuki pasar tanah air yang terbuka dalam rangka perdagangan bebas ( free trade). Pada waktu bersamaan diharapkan pengusaha nasional mampu untuk bersaing dengan”sehat”di pasar-pasar regional dan internasional pada iklim globalisasi ekonomi sebagai ta ta ekonomi dunia baru. Pengaturan persaingan bisnis juga bertujuan untuk menjamin usaha mikro dan usaha kecil mempunyai kesempatan yang sama dengan usaha menengah dan usaha besar atau konglomerasi dalam perkembangan ekonomi bangsa. Pengaturan ini melindungi konsu men dengan harga yang bersaing dan produk alnernatif dengan mutu tinggi mengingat pengatu ran tersebut mencakup pada bidang manufaktur, produksi, tranportasi, penawaran, penyimpangan barang dan pemberian jasa-jasa”. Persaingan pasar berjalan dengan baik apabila tidak ada tindakan diskriminatif atau restriktif oleh suatu negara terhadap produk negara lain yang dihadapi. Tindakan diskriminatif dan restriktif ini dapat menimbulkan distorsi pasar bagi produsen negara-negara maju di pasar negara berkembang. Kebijakan ekonomi negara-negara berkembang dan miskin tentu ingin menyelamatkan produk dalam negeri yang berlawanan dengan perdagangan bebas, karena pengusaha negara berkembang belum siap menghadapi persaingan pasar bebas dengan meningkatkan serbuan produk barang/jasa dari negara-negara maju. Praktek penguasaan bisnis berupa monopoli (monopoly) dan persaingan usaha tidak sehat (unfair competition) yang sangat menonjol biasanya terdapat dalam sistem ekonomi kapitalis dibandingkan pada sistem ekonomi yang direncanakan secara terpusat dan sistem ekonomi campuran. Sebab pada kedua sistem ekonomi terakhir ini, kontrol pemerintah terhadap kegiatan ekonomi relatif kuat dalam perdagangan dengan adanya regulasi dan kebijaksanaan ekonomi pemerintah yang cukup ketat. Sebaliknya dengan sistem ekonomi kapitaslis dalam masyarakat liberal biasanya kontrol pihak pemerintah terhadap kegiatan ekonomi relatif lebih longgar, karena adanya mekanisme pasar yang memberikan kebebasan seluasnya kepada produsen dan konsumen untuk menentukan harga.
B. EKSISTENSI PERANGKAT HUKUM DAN PERATURAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA DI INDONESIA.
Pesatnya dinamika bidang ekonomi nasional, tidak dapat dipungkiri telah pula memacu per kembangan bidang hukum yang merupakan perangkat hukum dan peraturan perundangundangan dari kegiatan ekonomi. Berbagai perangkat hukum di bidang ekonomi sebelum ini yang berbasis kepada KUH Perdata, KUH Dagang dan KUH Pidana yang tidak lain merupakan peninggalan pemerintah Kolonial Hindia Belanda yang berkiblat kepada mazhab Eropah Konti nental tidak lagi mampu mengakomodasi permasalahan dari dinamika kegiatan ekonomi yang ada. Oleh karenanya kecenderungan penyusunan berbagai produk peraturan perundang-undadangan yang khusus (lex specialist) di bidang ekonomi tidak lagi dapat terbendung. Kekhasan yang sangat menonjol dari produk perundang-undangan yang khusus ini adalah kondisi karakteristik substansialnya dimana telah terlingkupi seluruh aspek dari bidang-bidang hukum yang selama ini dikenal (hukum perdata dan hukum publik) di dalam sistem hukum nasional. Sehingga sebagian pakar hukum Indonesia menyatakan bahwa pembidangan hukum yang selama ini dianut (hukum perdata dan hukum publik) dalam sistem hukum nasional sudah tidak relevan lagi untuk dipertahankan. Pada akhirnya, masih sebagaian pakar hukum tadi, kini pembidangan hukum seharusnya didasarkan pembidangan dari kegiatan yang terkait, misalnya untuk kegiatan di bidang ekonomi maka hukumnya adaah hukum ekonomi. Akbar Saiful sebagaimana mengutip pendapat dari Agus Brosusilo berpendapat bahwa pembidangan hukum dalam bidang hukum publik dan hukum perdata seperti sekarang ini tidak dapat dipertahankan lagi, karena dalam kenyataanya kini hampir tidak ada lagi bidang kehidupan yang terlepas dari campur tangan negara yang dalam hal ini diwakili oleh pemerintah. Dengan demikian untuk keperluan pengkajian ilmiah, bidang hukum dapat dibedakan sebagai berikut : 1). Hukum Tata Negara, 2). Hukum Administrasi Negara, 3). Hukum Perorangan (Pribadi), 4). Hukum Harta Kekayaan : (a) Hukum Benda : i). Hukum Benda Tetap, ii) Hukum Benda Lepas, (b). Hukum Perikatan : i). Hukum Perjanjian, ii). Hukum Penyelewengan Perdata, iii). Hukum Perikatan lainnya, (c) Hukum Hal Immaterial, 5). Hukum Keluarga, 6). Hukum Waris, 7). Hukum Pidana (Saiful Akbar, 2011 : 4-7). Lebih lanjut Saiful Akbar menjelaskan ; ”masing-masing bidang hukum terdiri dari hukum ajektif (formil) dan hukum substantif (material). Pembedaan tersebut di atas bukan merupakan pengkotak-kotakan, karena seringkali suatu sikap tindak melibatkan lebih dari satu bidang hukum. Hal ini terjadi karena semakin banyak aspek-aspek kehidupan bersama yang diatur oleh hukum. Perkembangan tersebut menimbulkan berbagai spesialisasi baru di bidang hukum, mi-
salnya saja, dikenal adanya hukum lingkungan, hukum kependudukan, hukum kedokteran, hukum kesehatan dan sebagainya. Ciri-ciri bentuk hukum baru ini tampak sangat nyata di bidang ekonomi, yaitu seringkali bidang hukum baru ini tidak secara ketat mengikuti pembidangan. Su atu bidang spesialisasi hukum kadang-kadang mencakup beberapa bidang tatahukum sekaligus Saiful Akbar menambahkan bahwa : “memang hukum ekonomi memiliki dimensi baik hukum publik dan hukum perdata (privat). Oleh karena hukum persaingan usaha merupakan bagian dari hukum ekonomi, maka dapat dikatakan pula bahwa hukum persaingan usaha juga memi liki dimensi bidang hukum tata negara (menyangkut lembaga dan instansi resmi, pusat dan dae rah seperti eksistensi Departemen dan Dinas Perindustrian dan perdagangan dan eksistensi KP PU; hukum administrasi negara (menyangkut pelaksanaan peranan kelembagaan tersebut); bidang hukum perdata (seperti eksistensi perjanjian dan kontrak di dalam kasus-kasus persaingan usaha); dan ada bidang pidananya (menyangkut sanksi pidana dalam UULPM & PUTS)”. Dengan demikian dapatdisimpulkan bahwa dalam kerangka sistem hukum nasional, hukum persangan usaha sebagai bagian dari hukum ekonomi tidak hanya berdimensi hukum perdata sa ja tapi jauh lebih luas lagi yaitu melingkupi juga hukum publik yaitu hukum negara dan hukum pidana. Praktek monopoli ataupun praktek-praktek persaingan curang (unfair competition) dalam berusaha (praktek dagang atau praktek bisnis) di Indonesia tidak dilarang. Larangan-larangan terhadap praktek monopoli ataupun praktek persaingan tidak jujur dalam berusaha tersebut sebenarnya sudah ada meskipun masih tercecer dalam berbagai peraturan hukum perdata ( privat) dan hukum publik (tatanegara dan pidana). Beberapa perangkat hukum dan peraturan perundang-undangan tentang praktek monopoli dan persaingan usaha yang sehat di Indonesia yang tercecer di luar UULPM & PUTS, baik yang umum (seperti KUH Perdata, KUH Pidana) maupun sektoral (seperti UU Tentang Persero an Terbatas dll) yang memiliki substansi yang secara signifikan menyinggung issue persaingan usaha. Terdapat aturan perundang-undangan yang sifatnya mendukung kebijakan pro persaisaingan maupun yang menghambat atau potensial menghambat persaingan. Menurut Syamsul Maarif dan B. C. Rikrik Rizkiyana mengatakan : “Kebanyakan praktek usaha yang menghambat persaingan usaha atau praktek usaha tidak sehat selama ini, sebagi an besar mendapat legitimasi dari peraturan di bawah undang-undang (seperti peraturan pemerintah, peraturan pengganti undang-undang, keputusan presiden, instruksi presiden, keputusan menteri, instruksi menteri dst). Semakin umum substansi pengaturan dari sebuah undang-
undang (yang merupakan produk hukum hasil kesepakatan lembaga eksekutif dan legiaslatif), semakin besar potensi penyimpangan akan terjadi di tingkat peraturan pelaksanaannya (yang merupakan produk hukum dari lembaga eksekutif)” (Syamsul Maarif dan B.C. Rikrik Rizkiyana, 2004 : 13-20). Lebih lanjut Syamsul Maarif dan B.C. Rikrik Rizkiyana menjelaskan bahwa : “rata-rata produk hukum setingkat undang-undang selama ini secara normatif sangat baik dan tidak banyak yang mendistorsi secara langsung dunia persaingan usaha Indonesia, karena memang distorsi itu terjadi pada produk hukum yang menjadi peraturan pelaksanaannya.” Beberapa perangkat hukum dan peraturan perundang-undangan tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tersebut antara lain : Pertama, Pasal 382 bis KUH Pidana (WvS) yang menyebutkan bahwa persaingan tidak jujur merupakan perbuatan pidana. Pasal tersebut selengkapnya berbunyi sebagai berikut : “Barangsiapa untuk mendapatkan, melangsungkan atau memperluas hasil perdagangan atau perusahaan milik sendiri atau orang lain, melakukan perbuatan curang untuk menyesatkan khalayak umum atau seorang tertentu,diancam karena persaingan curang dengan pidana penjara paling la ma satu tahun empat bulan atau pidana dendapaling banyak tiga belas ribu lima ratus rupiah, bi la perbuatan itu menimbulkan kerugian bagi kongkuren-kongkuren orang lain itu” Kedua, disamping instrumen hukum pidana persaingan curang itu juga dapat digugat sebagai perbuatan melawan hukum melalui ketentuan dalam Pasal 1365 KUH Perdata (BW)dengan berbunyi “bahwa setiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian tersebut karena salahnya untuk mengganti kerugian itu” Ketiga, dari substansi Pasal 5 Undang-Undang No. 11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan - ke tentuan Pokok Pertambangan (Umum)menyatakan bahwa“usaha pertambangan dapat dilaksana kan oleh instansi pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri; perusahaan negara; perusahaan daerah; perusahaan dengan modal bersama antara negara dan daerah; koperasi; badan atau perseorangan swasta yang memenuhi suarat-syarat; perusahaan dengan modal bersama antara negara, dan/atau daerah dengan koperasi dan/atau badan/perseorangan swasta yang memenuhi syarat; dan pertambangan rakyat; yang nota bene seluruh pelaku usaha, maka dapat dikatakan bahwa secara umum, undang-undang ini pro-kompetisi. Adapun beberapa persyaratan dan kualifikasi bidang pertambangan sejauh ini dapat ditolelir.
Keempat, pada hakekatnya bidang pertambangan adalah bidang yang terbuka akan kompe tisi para pelaku usaha, namun dengan adanya Undang-Undang No. 8 Tahun 1971 Tentang Peru sahaan Pertambangan Minyak dan gas bumi (migas) bidang pertambangan ini minyak dan gas bumi (migas) menjadi tertutup.Selanjutnya menurut pasal 11 UU No8 Tahun 1971 menyatakan bahwa “kepada Pertamina (Badan Usaha Milik Negara) disediakan seluruh wilayah hukum per tambangan Indonesia sepanjang mengenai pertambangan migas”. Artinya bahwa Pertamina memiliki hak monopoli mutlak terhadap seluruh lahan (termasuk pula) usaha pertambangan mi gas”.Lebih lanjut UUini mengatur mengenai eksistensi ”Production Sharing Contract (PSC) se suai dengan Pasal 12 yang menyatakan diserahkan sepenuhnya kepada Pertamina apakah akan membuatnya atau tidak.Dan kepada pihak mana Pertamina akan membuat PSC juga diserahkan keputusannya kepada Pertamina. Namun begitu PSC tersebut baru berlaku apabila telah mendapat persetujuan dari Presiden”. Kelima, di dalam Pasal 7 Undang-Undang No. 5 Tahun 1984 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Perindustrian menyatakan bahwa “Pemerintah melakukan pengaturan industri, untuk me wujudkan perkembangan industri yang lebih baik secara sehat dan berhasil guna; mengembang kan persaingan yang baik dan sehat,mencegah persaingan tidak jujur; dan mencegah pemusatan atau penguasaan industri oleh satu kelompok atau perorangan dalam bentuk monopoli yang me rugikan masyarakat” lebih lanjut UU ini dalam Pasal 12 menyatakan bahwa “untuk mendorong pengembangan cabang-cabang industri dan jenis-jenis industri tertentu di dalam negeri, Pemerintah dapat memberikan kemudahan dan/atau perlindungan yang diberikan oleh Pemerintah un tuk mendorong pengembangan cabang industri dan jenis industri adalah antara lain dalam bidang perpajakan,permodalan dan perbankan,bea masuk dan cukai, sertifikasi ekspor dan lain se bagainya”. Namun Pasal 12 ini menjadi “biang keladi” legitimasi bagi praktek-praktek persaingan usaha yang negatip di bidang industri dari pemerintah. Otoritas pemerintah untuk melakukan tindak perlindungan tersebut tidak memiliki batasan dan dapat diinterprestasikan “seenak” oleh pemerintah. Untuk beberapa kasus, tindakan perlindungan memang diperlukan, seperti untuk infant industry, namun selama ini dilakukan secara objektif dalam kriterianya, transparan dan tidak diskriminatif serta jelas batas waktunya” Keenam,pada hakekatnya Undang-Undang No.15 Tahun1985 TentangKetenagalistrikan se bagaimana diatur dalam Pasal 7 menganut prinsip pemberian monopoli usaha kelistrikan kepada Badan Usaha Milik Negara yaitu PT.PLN sebagi representasi negara melalui pemberian
rian kuasa usaha ketenagalistrikan. Namun jikalau untuk daerah-daerah tertentu BUMN ini tidak bisa/belum sanggup untuk menyediakan listrik, maka barulah diberi kesempatan kepada pihak koperasi atau swasta untuk menyediakan listrik melalui mekanisme pemberian izin Usaha Ketenagalistrikan oleh Pemerintah”. Ketujuh, substansi aturan dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal yang menyinggung permasalahan persaingan usaha,khususnya persaingandalam kegiatan pasar modal.Dalam substansi beberapa aturan ditegaskan adanaya kebutuhan akan kegiatan pasar mo dal yang wajar (fair) dan menjunjung persaingan yang sehat seperti yang diatur dalam Pasal 4, Pasal 7 (1), Pasal 10, Pasal 14 (1) dan (2). Selain itu ada 8 Pasal (Pasal 35-Pasal 42) yang mengatur pedoman perilaku di pasar modal seperti perusahaan efek dan penasehat investasi dilarang untuk mengadakan tekanan kepada nasabah,mengungkapkan informasi mengenai nasabah , memberikan informasi salah kepada nasabah, berkolusi dengan pihak yang terafiliasi yang me rugikan pihak yang tidak terafiliasi dll. Pasal 84 menyatakan bahwa “emitten” atau perusahaan publik yang melakukan penggabungan,peleburan dan pengambilalihan,keterbukaan, kewajaran dan pelaporan yang ditetapkan oleh Bapepam dan peraturan perundang-undangan yang berlaku Sedangkan pada Bab XI undang-undang ini diatur tentang masalah penipuan, manipulasi pasar dan perdagangan orang dalam (insider trading)” Kedelapan, Undang-Undang No. 9 Tahun 1995 Tentang Usaha Kecil pun dalam pengaturannya menyinggung masalah persaingan usaha antara lain dalam Bab VI tentang Iklim Usaha pada Pasal 6 dan Pasal 8.Pasal 8 menyatakan bahwa“Pemerintah menumbuhkan iklim usaha de ngan menetapkan peraturan perundang-undangan dana kebijaksanaan antara lain untuk mencegah pembentukan struktur pasar yang dapat melahirkan persaingan yang tidak wajar dalam bentuk monopoli, oligopoli dan monopsoni yang merugikan Usaha Kecil dan mencegah terjadi nya penguasaan pasar dan pemusatan usaha oleh orang-perseorangan atau kelompok tertentu yang merugikan Usaha Kecil” Kesembilan, dalam beberapa aturan menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 1997 Tentang Perdagangan Berjangka Komoditi ini diungkapkan adanya kebutuhan kegiatanperdagangan ber jangka yang wajar (fair) seperti yang diatur dalam Pasal 5, Pasal 16 dan pasal 57.Sedangkan pe raturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini yaitu Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1999 Tentang Penyelengaraan Perdagangan Berjangka Komoditi juga dinyatakan adanya larangan “conflict of interest” dari pihak-pihak yang terafiliasi seperti pada Pasal 10”
Kesepuluh, melihat Pasal 10 dan Pasal 11 Undang-Undang No.10 Tahun 1998 jo UndangUndang No.7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, ketentuan dalam peraturan ini dalam kaitan dengan issue persaingan usaha, menyatakan larangan akan adanya “conflict of interest” yang menyebabkan kegiatan perbankan menjadi tidak wajar (unfair). Selanjutnya dalam Pasal 16 dinya takan bahwa ada kebutuhan akan persaingan yang sehat (fair) di dalam kegiatan perbankan. Se lain dari itu Pasal 28 diatur mengenai mekanisme merger, konsolidasi, dan akuisisi di dalam ke giatan usaha perbankan. Kesebelas, issue mengenai persaingan usaha dan perlindungan konsumen disatukan dalam satu produk peraturan perundang-undangan. Hal tersebut dapat dimaklumi karena memang kedua issue itu sangatlah dekat yaitu terkait dengan perlindungan kepentingan ekonomi konsu men. Karena salah satu tujuan dari kebijakan persaingan usaha adalah untuk memberi keuntungan kepada konsumen misalnya berupa harga dan pelayanan yang kompetitif. Biasanya pengadopsian issue perlindungan konsumen di dalam produk hukum persaingan usaha ialah melalui segmen ”unfair business practices” atau dengan terjemahan bebasnya “praktek usaha tidak jujur/sehat”.Kalaupun di beberapanegara kebijakan persaingan usaha dan kebijakan perlindungan konsumen terpisah ke dalam dua produk perundang-undangan, namun banyak negara yang menganut pemisahan tersebut menyerahkan penanganan pengawasan dan pembinaan ke satu badan yang sama seperti di Perancis, Rusia dan Amerika Serikat. Berkaitan dengan eksistensi UULPM &PUTS, issue ”unfair business practices” ternyata pe nekanannya hanya pada hubungan antar pelaku usaha tidak melingkupi hubungan dengan konsumen. Namun begitu, kenyataannya adalah bahwa terkadang pelaku usahapun berperan sebagai ”konsumen” pada saat memerankan diri sebagai ”pembeli” meskipun masuk ke dalam kate gori ”konsumen antara”. Sedangkan di dalam UU No.8 Tahun 1999 lingkup konsumen yang di atur adalah konsumen dalam kategori ”konsumen akhir”. Keduabelas, Pasal 17 (ayat 1) Undang-Undang No. 18 Tahun1999 Tentang Jasa Konstruksi menyatakan bahwa “ Pengikatan dalam hubungan kerja jasa konstruksi dilakukan berdasarkan prinsip persaingan yang sehat melalui pemilihan penyedia jasa dengan cara pelelangan umum atau terbatas”.Selanjutnya dalam Pasal 17(ayat 3) dinyatakan bahwa “dalam keadaan ter tentu, penetapan penyedia jasa dapat dilakukan dengan cara pemilihan langsung atau penunjujukan langsung” lebih lanjut UU ini dalam Pasal 20 menyatakan bahwa “pengguna jasa kons truksi dilarang memberikan pekerjaaan kepada penyedia jasa yang terafiliasi untuk mengerja-
jakan satu pekerjaan konstruksi pada lokasi dan dalam kurun waktu yang sama tanpa melalui pelalangan umum ataupun pelelangan terbatas”. Ketigabelas, Pasal 10 dariUndang-Undang No.36 Tahun 1999Tentang Telekomunikasi me nyatakan bahwa “dalam penyelenggaraan telekomunikasi dilarang melakukan kegiatan yang da pat mengakibatkan terjadinya prakrek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat di antara penyelenggara telekomunikasi”.Selanjutnya dalam Penjelasan Pasal 10dimaksud agar terjadi kom petisi yang sehat antar penyelenggara telekomunikasi dalam melakukan kegiatannya”. Keempatbelas, Pada hakekatnya Undang-Undang No40 Tahun2007 TentangPerseroan Ter batas disinggung masalah persaingan usaha antara lain pada BabVIITentang Penggabungan , Peleburan dan Pengambilalihan, tepatnya pada Pasal 104 yang menyatakan bahwa perbuatan hukum penggabungan, peleburan dan pengambilalihan perseroan harus memperhatikan kepentingan perseroan, pemegang saham minoritas dan karyawan perseroan dan kepentingan masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan usaha”Dan penggabungan, peleburan dan pengam bilalihan perseroan tidak boleh mengurangi hak pemegang saham minoritas untuk menjual sahamnya dengan harga yang wajar”.Ketentuan dalam UU ini kemudian dipertegas dan dielabora si di dalam Pasal 4 Peraturan Pemerintah No.27 Tahun1998 Tentang Penggabungan, Peleburan ran dan Pengambilalihan Perseoan Terbatas”. Selanjutnya Pasal 5 PP ini pun menyatakan bahwa “Penggabungan, peleburan dan pengambilalihan juga memperhatikan kepentingan kreditur” Kelimabelas, Peraturan Pemerintah No. 70 Tahun 1992 Tentang Bank Umum. Dalam PP ini khusus yang berkaitan dengan tatacara dan syarat-syarat untuk mengadakan merger (pengga bungan), konsolidasi (peleburan) dan akusisi (pengambilalihan) di sektor perbankan. Selanjutnya dalam Pasal 15 PP ini dikatakan bahwa merger, konsolidasi dan akuisisi hanya dapat dilakukan setelah terlebih dahulu memperoleh izin dari Menteri Keuangan yang sebelumnya telah mendengar pertimbangan dari Bank Indonesia (BI) Keenambelas, Pasal 36 Peraturan Pemerintah No73 Tahun 1992 Tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian mengatur mengenai tidakan merger,dan konsolidasi di antara perusahaanperusahan yang bergerak di bidang asuransi dan reasuransi.DalamPasal ini dilakukan pembatasan bahwa kegiatan rstrukturisasi usaha hanya dapat dilakukan oleh perusahaan asuransi kerugi an dengan perusahaan asuransi kerugian atau dengan perusahaan reasuransi, untuk membentuk perusahaan asuransi kerugian;perusahaan reasuransi dengan perusahaan reasuransi atau dengan perusahaan asuransi kerugian, untuk membentuk perusahaan reasuransi; atau perusahaan asu-
ransi jiwa dengan perusahaan asuransi jiwa untuk membentuk perusahaan asuransi jiwa”. Ketujuhbelas, Peraturan Pemerintah No 34 Tahun 1996 Tentang Bea Masuk Antidumping dan Bea Masuk Imbalan memiliki substansi yang mengatur mengenai tindakan dumping dan subsidi dalam kerangka persaingan usaha trans-nasional.Dinyatakan dalam peraturan ini bahwa impor barang yang dilakukan dengan cara dumping atau mengandung subsidi dari negara pengekspor dapat dikenakan bea masuk antidumping dana bea masuk imbalan (untuk impor bersubsidi) jika menyebabkan kerugian.Kerugian tersebut didefinisikan dalam Pasal 1(11) “dengan ke rugian industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis; atau ancaman terjadinya kerugi an industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis; atau terhalangnya pengembangan industri barang sejenis di dalam negeri, meskipun aturan ini dinilai pro persaingan, namun tetap dianggapmemiliki potensi anti persaingan seperti bila pengenaan bea tambahan tersebut jus tru ditujukan untuk proteksi bagi kepentingan kelompok usaha di bidang industri tertentu”. Kedelapanbelas, Pasal4 Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1998 mengatur tentang Penggabungan, Peleburan dan Pengambilaalihan Perseroan Terbatas yang pada intinya mengatur me ngenai syarat-syarat, tata cara untuk melakukan ketiga jenis kegiatan tersebut diatas. Selanjutnya dalam Paal 5 PP ini pun menyatakan bahwa “Penggabungan, peleburan dan pengambilalihan juga memperhatikan kreditor” Kesembilanbelas, Pasal17Kepmenkeu No.222/KMK.017/1993 Tentang Persyaratan dan ta tacaraMerger,Konsolidasi dan Akuisisi Bankmenyatakan bahwa”akusisi bank yang wajib mem peroleh izin dari Menkeu ialah : 1) Akuisisi Bank Umum yang mengakibatkan penguasan kepe milikan saham Bank Umum lebih dari 50 % dari seluruh saham Bank Umum yang diambilalih; 2) Akusisi Bank Perkreditan Rakyat yang melebihi 50 % dari seluruh saham Bank Perkreditan Rakyat yang diambilalih . Izin Akuisis bank tersebut dari Menkeu tersebut diberikan setelah ter lebih dahulu mendengar pertimbangan dari BI”. Pemahaman terhadap eksistensi dan persepsi kepentingan dan kepastian hukum yang sama baik bagi penegak keadilan maupun masyarakat adalah penting dalam menentukan kebijaksana an ataupun keputusan yang menyangkut perdagangan, perekonomian, industri, sosial dan politik. UULPM&PUTS menjadi parameter penegakan hukum ekonomi tersendiri dalam dunia usa ha di Indonesia. UU ini mengamanatkan pembentukan suatu komisi yang berkompoten melaku kan pengawasan terhadapa pelaksanaan UU ini yaitu KPPU. Sebagaimana komisi independen lain yang dihadapkan dengan perbagai reaksi dan ekspektasi, kinerja KPPU patut dicermati ka-
rena merupakan elemen penting dalam proses penegakan hukum. Seluruh peraturan yang ada diatas masih berlaku dan tidak dengan otomatis digantikan oleh UULPM& PUTS, karena pada pada dasarnya UU ini mengatur tentang persaingan usaha dalam lam pasar dengan konteks yang lebih terperinci dan bahkan kompleks karena melibatkan teori ekonomi dan perhitungan yang rumit dan bukan hanya dibatasi pada persaingan curang saj, teta pi bahkan sampai masuk pada konteks pasar yang menjadi terdistorsi akibat tidak berjalannya suatu proses persaingan dengan baik. Ketidakpastian kebijakan ekonomi dan peraturan, ketidakstabilan ekonomi makro yang masih menonjol,serta korupsi di Indonesia merupakan permasalahan pokok yang menimbulkan ke raguan pada banyak pihak baik pelaku usaha maupun masyarakat akan sistem hukum. Ada tiga alasan kenapa hal ini terjadi yaitu : 1) hakim masih kerap terlibat dan melakukan korupsi, 2) ha kim tidak memahami dengan baik isi peraturan perundang-undangan,dan3) pelaksanaan hukum yang tidak konsisten.
C. TATACARA PENANGANAN DAN PENERAPAN SANKSI BAGI PELANGGARAN LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA DI INDONESIA. Sebagaimana disebut diatasbahwa pengertian praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat menurut UULPM & PUTS adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pela ku usaha yang mengakibatkan dikuasainyaproduksi dan atau pemasaran atas barang dan/atau ja sa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Sementara yang dimaksud dengan ”praktek monopoli” adalah suatu pemusatan ke kuatan ekonomi oleh salah satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan/atau jasa tertentu sehingga menimbulkan suatu persaingan usaha secara tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Latar belakang dan tujuan UULPM & PUTS ini adalah bertujuan untuk memelihara pasar kompetitif dari pengaruh kesepakatan dan konspirasi yang cenderung mengurangi dan/atau menghilangkan persaingan. Kepedulian utama dari UULPM&PUTS ini adalah promoting com petition dan memperkuat kedaulatan konsumen. Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.
Di samping itu tujuan utama pembentukan UULPM& PUTS ini adalah untuk : a). Menjaga ga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahreraan rakyat, b). Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturabn persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian hukum dan kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah dan pelaku usaha kecil, c). Mencegah praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha, d). Terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha. Dankesemuanya ini lembaga yang berwenang untuk itu dipercayakan kepada suatu Ko misi yang dikenal dengan KPPU. Komisi ini adalah sebuah lembaga independen di Indonesiayang notabene Komisi dibentuk untuk memenuhi amanat dari UULPM & PUTS. Lembaga Komisi inilah yang akan menjadi penjaga untuk tegaknya peraturan praktek monopoli dan persaingan usaha yang merupakan syarat mutlak agar peraturan persaingan usaha dapatdijalankan secara profesional. Penegakan hukum persaingan usaha diserahkan kepada lembaga komisi ini, di samping lembaga lainnya seperti kepolisian, kejaksaan, kehakiman dan peradilan. Penegakan pelanggaran hukum persa ingan harus dilakukan terlebih dahulu dalam dan melalui lembaga KPPU, setelah itu tugas da pat diserahkan kepada penyidik kepolisian dan kemudian ditindaklanjuti oleh pengadilan negeri setempat. Di dalam UU LPM & PUTS terdapat kata-kata melarang mencakup dalam hal : 1). Perbuatan yang dilarang, 2). Perjanjian yang dilarang dan, 3). posisi dominan” (Agung Yuriandi, 2009 : 1-2). Lebih lanjut Agung Yuriandi menjelaskan ” praktek monopoli hal yang biasa dilakukan oleh para pelaku bisnis besar yang mempunyai kekuatan besar untuk mengontrol pasar. Apabila terjadi hal tersebut, maka harga akan meningkat dikarenakan kelangkaan barang. Akibat dari monopoli adalah dapat menguntungkan satu pihak saja dan dpat mematikan usaha-saha kecil yang bergerak dalam bidang yang sama.Praktek monopoli dapat juga dikatakan teknik pengisapan darah masyarakat yang dilakukan pada zaman penjajahan VOC dulu”. Agung Yuriandi menambahkan, bahwa”praktek monopoli merupakan salah satu perbuatan yang dilarang di dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Namun, hal tersebut tetap dilakukan oleh para pelaku usa ha demi mencari keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa memperhatikan dampak yang terja-
di pada masyarakat. Kurangnya kesadaran masyarakat akan hukum dan moral merupakan salah satu penyebab hal itu terjadi dalam konteks ini” Perbuatan/kegiatan yang dilarang yaitu melakukan kontrol produksi dan/atau pemasaran atas barang dan/atau jasa melalui pengaturan pasokan, pengaturan pasar yang dapat menyebabkan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Perjanjian yang dilarang yaitu me lakukan perjanjiandengan pihak lain untuk secara bersama-sama mengontrol produksi dan/atau pemasaran atas barang dan/atau jasa yang dapat menyebabkan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat seperti perjanjian penetapan harga, diskriminasi harga, boikot, perjan jian tertutup, oligopoli, predatory pricing, pembagian wilayah, kartel, trust (persekutuan) dan perjanjian dengan pihak luar negeri yang dapat menyebabkan persaingan usaha tidak sehat. Posisi dominan, pelaku usaha yang menyalahgunakan posisi dominan yang dimilikinya untuk membatasi pasar, menghalangi hak-hak konsumen atau menghambat bisnis pelaku usaha lain KPPU dibentuk dengan tugas antara lain untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksana an UU LPM & PUTS yang memuat ketentuan tentang : a). perjanjian yang dilarang, b). Kegiatan/perbuatan yang dilarang, c) Posisi dominan, d). KPPU dan Penegakan hukum (law enforcement) dan menyangkut ketentuan sanksinya. Menurut Pasal 36 UULPM & PUTS (anti monopoli) menyebutkan bahwa salah satu wewenang KPPU adalah ”melakukan penelitian, penyelidikan, dan penyidikan serta menyimpulkan berdasarkan hasil penyelidikan mengenai ada atau tidaknya praktek monopoli dan pelanggaran atas monopoli dan persaingan usaha tidak sehat”. Hukum Acara Persidangan Persaingan Usaha boleh dikatakan masih bersifat sumir karena belum diatur secara rinci sebagaimana dengan hukum acara lainnya. Dalam hal penegakan hukum persaingan usaha, terdapat beberapa peraturan yang menjadi dasar untuk penanganan perkara terhadap persaingan usaha, diantaranya adalah : 1) UULPM&PUTS (terdapat dalam Pasal 38 s/d Pasal 49), 2) Keputusan Presiden RI No. 75 Tahun 19999 Tentang Komisi Pengawas Per saingan Usaha (KPPU), 3) Peraturan Mahkamah Agung RI No.3 Tahun 2005 Tentang Tata Ca ra Pengajuan Upaya Hukum Keberatan terhadap Putusan KPPU, 4) Peraturan KPPU No. 1 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara di KPPU, 5) HIR/RBg yaitu Hukum Acara Perdata yang digunakan di tingkat Pengadilan negeri, ketika pelaku usaha mengajukan keberatan terhadap putusan KPPU, 6) KUHAP yaitu ketentuan Hukum Acara Pidana, jika perkara ter
sebut dilimpahkan ke penyidik (terdapat dalam Pasal 44 ayat 4 UULPM &PUTS), 7) UU No. 14 Tahun1985 Tentang Mahkamah Agung jo UU No.5 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung jo UU No.3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Undang-Undang No.14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung. Dalam penegakan hukum persaingan usaha, KPPU memegang peranan yang sangat sentral. Dalam Pasal 30 UULPM & PUTS ditentukan bahwa Komisi dibentuk untuk mengawasi pelaksanaan undang-undang ini.Komisi merupakan lembaga independen yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan serta pihak lain. Independensi itu ditegaskan kembali dalam Keppres No. 75 Tahun 1999 yang menyebutkan kewajiban pemerintah untuk tidak mempengaruhi komisi dalam menerapkan undang-undang; namun demikian komisi tidak hanya terbebas dari pengaruh pihak lain, seperti lembaga kemasyarakatan, kelompok pemegang kekuasaan keuangan dan pihak lainnya. Tata cara penanganan perkara diatur dalam Bab VII mulai dari pasal 38 sampai dengan pasal 46. Dari rumusan ketentuan pasal 38 dapat kita ketahui bahwa tidak hanya pihak yang dirugikan saja, sebagai akibat dari terjadinya pelanggaran terhadap undang-undang ini, yang dapat melaporkan secara tertulis kepada KPPU dengan keterangan yang lengkap dan jelas tentang telah terjadinya pelanggaran serta kerugian yang ditimbulkan, dengan menyertakan identitas pela por, melainkan juga setiap orang yang mengetahui telah terjadi atau patut diduga telah terjadi pelanggaran terhadap undang-undang ini dapat melaporkansecara tertulis kepada KPPUdengan keterangan yang jelas tentang telah terjadinya pelanggaran dengan identitas pelapor. Sampai se jauh ini jelas bahwa pelanggaran yang dilakukan atas undang-undang ini (UULPM&PUTS) bu kanlah merupakan delik yang bersifat aduan (oleh pihak dirugikan membuat laporan pengaduan ke kantor polisi). Menurut UULPM&PUTS memberikan kewenangan pada KPPU untuk dapat melakukan pe meriksaan langsung terhadap pelaku usaha apabila ada dugaan terjadi pelanggaran terhadap undang-undang ini, walaupun tanpa adanya laporan.Pasal 39ayat1 mewajibkanKPPU untuk ber dasarkan laporan yang disampaikan dan diterima melakukan pemeriksaan pendahuluan. Dari hasil pemeriksaan pendahuluan tersebut, dalam jangka waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak KPPU menerima laporan, KPPU wajib menetapkan perlu ada tidaknya dilakukan pemerikaan lanjutan. Jika KPPU menetapkan perlunya untuk dilakukan pemeriksaan lanjutan, maka dalam pemeriksaan lanjutan tersebut KPPU wajib melakukan pemeriksaan terha
dap pelaku usaha yang dilaporkan. Selanjutnya jika diperlukan oleh KPPU dalam rangka peme riksaan lanjutan, UU LPM & PUTS memberikan hak kepada KPPU untuk mendengar keterangan terlapor, keterangan saksi, saksi ahli dan atau pihak lainnya yang dianggap penting. Sebagai jaminan atas diri pelapor, KPPU wajib merahasikan identitas pelapor, terutama pelapor yang bukan pelaku usaha yang dirugikan. Demikian juga sebaliknya sebagai jamainan ke selamatan bagi pelaku usaha yang diperiksa, KPPU juga diwajibkan untuk menjaga kerahasiaan atas segala informasi yang diperoleh KPPU dari pelaku usaha yang dikategorikan sebagai ra hasia perusahaan. Pelaku usaha dan atau pihak lain yang diperiksa wajib menyerahkan alat bukti yang diperlukan dalam penyelidikan dan atau pemeriksan. Pelaku usaha yang dilarang menolak diperiksa, menolak memberikan informasi yang diperlukan dalam penyelidikan dan atau pemeriksaan atau menghambat proses penyelidikan dan atau pemeriksaan. Jika pelaku usaha melakukan pelanggaran terhadap ketentuan tersebut, maka KPPU wajib menyerahkan hal tersebut kepada pihak penyidik kepolisian untuk dilakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dalam melaksanakan tugas-tugas komisi, menurut Pasal 33 UU LPM & PUTS mempunyai wewenang menerima laporan, melaksanakan penelitian, penyelidikan, pemanggilan pelaku usa ha, saksi-saksi, saksi ahli, instansi pemerintah, meminta bantuan penyidik, meminta dan menilai alat-alat bukti,membuat keputusan atau memutuskan serta menjatuhkan sanski berupa tindakan administrasi. Komisi dalam melaksanakan tugasnya disamping berdasarkan laporan masya rakat juga dapat bertindak atas dasar wewenangnya yaitu patut menduga ada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap UULPM & PUTS. Komisi wajib menetapkan perlu tidaknya dilakukan pemeriksaan pendahuluan paling lama 30 hari setelah menerima laporan. Selanjutnya pemeriksaan lanjutan dilakukan dalam 60 hari dan dapat diperpajang 30 hari lagi.Komisi wajib memberikan putusan telah terjadi pelanggaran peraingan usaha paling lambat 30 hari setelah pemeriksaan lanjutan. Putusan komisi ini berupa sanksi tindakan administrasi dan dapat berupa : -) penetapan pembatalan perjanjian, -) perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan integrasi vertikal, -) perintah kepada pelaku usaha menghentikan kegiatan yang terbukti menimbulkan praktek monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat dan atau merugikan masyarakat, -) perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan penyalahgunaan posisi dominan, -) penetapan pembatalan atas penggabungan atau peleburan badan usaha dan pengambilalihan saham, -) penetapan pembayaran ganti rugi, -). Pe
ngenaan denda. Beberapa tahapan harus ditempuh oleh KPPU dalam memeriksa perkara pelanggaran praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat sebagaimana yang diatur dalam UULPM & PUTS. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa keseluruhan prosedur pemeriksaan perkara yang ditempuh oleh KPPU adalah antara lain : 1) menerima laporan kepada KPPU, 2) Pemeriksaan Pendahuluan, 3) Pemeriksaan Lanjutan, 4) Mendengar keterangan saksi dan/atau saksi saksi ah li serta si pelaku sendiri dan memeriksa alat bukti lainnya,5) Menyerahkan kepada BadanPenyi dik dalam hal-hal tertentu, 6) Memperpanjang Pemeriksaan Lanjutan, 7) Memberikan Kepututusan kepada Pelaku Usaha, 8) Memberikan Keputusan Komisi, 9) Pelaksanaan Keputusan Ko misi oleh Pelaku Usaha, 10) Pelaporan pelaksanaan Keputusan Komisi oleh Pelaku Usaha kepa da Komisi Pengawas, 11) Menyerahkan kepada Badan Penyidik jika Putusan Komisi tidak di laksanakan dan/atau tidak diajukan keberatannya oleh pihak Pelaku Usaha, 12) Badan Penyidik melakukan Penyidikan, dalam hal Pasal 44 ayat 5, 13) Pelaku Usaha mengajukan keberatan ke pada Pengadilan terhadap putusan Komisi Pengawas,14) Pengadilan Negeri memeriksa kebera tan pelaku usaha,15) Pengadilan Negeri memberikan Putusan atas keberatan pelaku usaha, 16) Kasasi ke Mahkamah Agung atas Putusan Pengadilan Negeri, 17) Putusan Mahkamah Agung, 18) Permintaan Penetapan Eksekusi kepada Pengadilan Negeri, 19) Penetapan Eksekusi oleh Pengadilan Negeri, 20) Pelaksanaan Eksekusi oleh Pengadilan Negeri. Proses pasca pembacaan putusan, ditentukan oleh sikap pelaku usaha untuk itu terdapat 4 kemungkinan yaitu 1) perkara dinyatakan selesai; pelaku usaha tidak mengajukan keberatan dan dilaksanakan secara sukarela (Pasal 44 ayat 1 UULPM &PUTS, 2) pemeriksaan dilanjutkan; ini terjadi bila pelaku usaha mengajukan keberatan ke PN. Berdasarkan permohonan terse but PN melakukan pemeriksaan, tetapi dalam hal ini apakah PN memeriksa fakta hukum sebagai ”peradilan tingkat kedua” atau ”judex factie”sekaligus penerapan hukumnya atau hanya me meriksa penerapan hukumnya (Pasal 44 ayat 2 UULPM & PUTS); 3) eksekusi PN; ini biasa ter jadi apabila pelaku usaha mengajukan keberatan terhadap putusan KPPU. Untuk itu KPPU me ngajukan permohonan penetapan eksekusi ke PN, berdasarkan penetapan tersebut putusan KPPU dengan bantuan juru sita dilaksanakan.Menurut UULPM&PUTS penetapan tersebut bisa di keluarkan oleh pengadilan karena putusan KPPU yang tidak diajukan keberatan diposisikan se bagai putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (Pasal 44 ayat 3 UULPM & PUTS); 4) pemeriksaan secara pidana; ini terjadi apabila pelaku usaha tidak melaksanakan pu-
tusan KPPU yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan KPPU menyerahkan putu san tersebut kepada penyidik (Pasal 44 ayat 4 UULPM & PUTS). Penyerahan perkara kepada penyidik bisa juga dilakukan KPPU sebelum putusan diambil yaitu ketika setelah melalui berbagai upaya pelaku usaha tidak bersedia memenuhi panggilan KPPU untuk diperiksa. Apabila ini terjadi maka pemeriksaan perkara bisa dilakukan penyidik sejak awal (Pasal 41 ayat 2 UULPM & PUTS). Proses penanganan perkara praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, berbeda de ngan penanganan perkara biasa yang pada umumnya penanganan perkara biasa pada tingkat pertama adalah Pengadilan Negeri. Namum untuk kasus-kasus pelanggaran terhadap UULPM & PUTS ini yang berwenang pertama kali menanganinya adalah KPPU. Jadi tidak dapat langsung diajukan ke Pengadilan negeri. Pihak-pihak yang dirugikan(konsumen)maupun pihak pelaku usaha yang dirugikan dan bah kan masyarakat atau setiap orang yang mengetahui telah terjadi atau patut diduga telah terjadi segala bentuk pelanggaran terhadap UULPM & PUTS ini, dapat melaporkan secara tertulis kepada KPPU tentang terjadinya pelanggaran dengan menyatakan indentitas pelapor secara resmi. Tatacara penanganan perkara diatur dalam Bab VII mulai dari pasal 38 sampai dengan pasal 46 UULPM& PUTS. Dari rumusan ketentuan pasal 38 tersebut dapat kita ketahui bahwa tidak hanya pihak yang dirugikan saja, sebagai akibat dari terjadinya pelanggaran terhadap UU LPM&PUTS ini, yang dapat melaporkan secara tertulis kepada KPPU dengan keterangan yang lengkap dan jelas tentang telah terjadinya pelanggaran serta kerugian yang ditimbulkan, melain kan juga setiap orang yang mengetahui telah terjadi atau patut diduga telah terjadi pelanggaran terhadap UULPM&PUTSinidapat melaporkan secara tertulis kepada KPPU dengan keterangan yang jelas tentang telah terjadinya pelanggaran tersebut, dengan menyertakan identitas pelapor. Sampai sejauh ini jelas bahwa pelanggaran yang dilakukan atas UULPM & PUTS ini bukanlah delik yang bersifat aduan (oleh pihak yang dikorbankan/dirugikan). Sebagai keterangan bagi KPPU, UULPM & PUTS juga memberikan kewenangan pada KPPU untuk dapat melakukan pemeriksaan langsung terhadap pelaku usaha, apabila ada dugaan terjadi pelanggaran terhadap UULPM & PUTS ini, walaupun tanpa adanya laporan. Menurut Gunawan Widjajadalambukunya Seri Hukum Bisnis. Alternatif Penyelesaian
Sengketa mengatakan ”tata cara penerimaan dan penelitian laporan diatur dalam Keputusan Komisi pada Pasal 11 hingga Pasal 13. Pada Pasal 11 Keputusan Komisi menentukan bahwa se mua laporan yang masuk ke Komisi diterima dan dibaca oleh Ketua Komisi terlebih dahulu dan selanjutnya dalam waktu selambat-lambatnya 2 (dua) hari kerja setelah menerima laporan, Ketua Komisi melalui nota dinas menugaskan Sekretariat Komisi untuk melakukan penelitian kelengkapan laporan. Selanjutnya pada pasal 12 menentukan lebih lanjut bahwa Sekretariat Ko misi wajib meneliti kelengkapan laporan dan menyelesaikannya selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja setelah menerima nota dinas dari Ketua Komisi. Setelah itu Sekretariat Komisi mencatat laporan yang sudah lengkap kedalam Buku Daftar Perkara (Buku I) dan membuat resume laporan” (Gunawan Widjaja, 2001 : 61-62). Lebih lanjut Gunawan Widjaja mengatakan ”selanjutnya Sekretariat Komisi menyampaikan berkas laporan lengkap dan resume laporan kepada SidangKomisi melalui KetuaKomisi se lambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak diterimanya nota dinas dari Ketua Komisi. Sekretariat Komisi memberitahukan kepada Pelapor tentang hari dan tanggal dimulainya persidangan pemeriksaan Pendahuluan” Selanjutnya Gunawan Widjaja menambahkan ” dalam hal ditemukan laporan tidak lengkap, sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat 1 Keputusan Komisi menentukan bahwa SekretariatKomisi menentukan bahwa SekretariatKomisi harus memberitahukan kepada Pelapor selam bat-lambatnya 5 (lima) hari kerja terhitung sejak diterima laporan. Apabila dalam waktu 10 (se puluh) hari kerja sejak tanggal diterimanya laporan, Komisi tidak memberitahukan Pelapor ten tang kekurangan/ketidaksempurnaan laporan, maka laporan dianggap sudah lengkap. Dalam su rat pemberitahuan tersebut Sekretariat Komisi menguraikan tentang ketidaklengkapan laporan dan meminta Pelapor untuk melengkapi laporannya.Kelengkapan yang diminta ini harus disam paikan kepada Sekretariat Komisi selambat-lambatnya 10 (sepulu) hari kerja sejak diterimanya pemberitahuan. Apabila dalam waktu tersebut Pelapor tidak melengkapi laporannya, maka lapo ran dimaksud diangap sebagai laporan tidak lengkap. Kemudian Sekretariat Komisi mencata la poran tidak lengkap tersebut kedalam Buku Daftar Laporan (Buku II). Selanjutnya Komisi me nentukan tindak lanjut penanganan Laporan Tidal Lengkap. Andi Fahmi Lubis dkk dalam bukunya berjudul Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks mengatakan bahwa proses pemeriksaan terdapat beberapa tahapan yang dilakukan oleh KPPU yaitu : a) Tahap Pemanggilan, sebelum proses pemeriksaan dilaksanakan
KPPU terlebih dahulu menyampaikan panggilan kepada pelaku usaha, saksi atau pihak lain yang dianggap perlu untuk hadir dalam proses pemeriksaan. Surat panggilan dari KPPU biasanya memuat tanggal, hari, jam sidang serta tempat persidangan yang akan dilaksanakan, b) Tahap Pemeriksaan, i) Tahap pemeriksaan ini yang diperiksa adalah administrasi (prosedur administratif meliputi pemeriksaan identitas dan pembacaan hak yang dimiliki oleh pelaku usaha, saksi atau pihak lain dan berhak didampingi oleh kuasa hukumnya masing-masing), ii) Tahap Pemeriksaan Pokok Masalah (dalam pemeriksaan pokok permasalahan terdapat dua tahap yaitu pemeriksaaan oleh KPPU dan pemberian kesempatan pada pelaku usaha untuk menyampaikan keterangan atau dokumen, Pelaku usaha diberi kesempatan untuk memeriksa dan membaca BAP pemeriksaan dan memberikan koreksi atas BAP tersebut dengan terlebih dahulu mendapat persetujuan oleh Komisi), dan iii) Tahap Pemeriksaan Pembuktian (menurut pasal 42 UU No.5/1999 menentukan bahwa yang dapat dijadikan sebagai alat bukti dalam pemeriksaan oleh KPPU terdiri dari : keterangan terlapor/saksi pelaku usaha, keterangan saksi, saksi ahli, surat atau dokumen,petunjuk.Sanski ahli dapat dihadirkan atas inisiatif pelaku usaha maupun KPPU, c) Tahap Pembacaan Putusan (Putusan komisi harus dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum dan segera diberitahukan kepada pelaku usaha dan sekaligus menyampaikan petikan putusan komisi kepada pelaku usaha atau kuasa hukumnya)”. Lebih lanjut Andi Fahmi Lubis dkkmenjelaskan bahwa”memahami hukum acara yang ber laku dalam persidangan proses pemeriksaan akan memudahkan pemahaman terhadap isi putusan karena putusan KPPU mencoba untuk menggambarkan tahapan-tahapan yang dilalui di dalam hukum acara yang berlaku sehingga berpengaruh terhadap struktur putusan KPPU”. Selanjutnya Andi Fahmi Lubis dkk menambahkan: ”namun demikian, hukum acara untuk permasalahan hukum persaingan hanya diatur dalam UU Antimonopoli dan Keputusan KPPU No.5 Tahun 2000 tentang Tatacara Penyampaian Laporan dan Penanganan dugaan Pelanggaran terhadap UU No. 5 Tahun 1999. Tidak dijelaskan apakah apabila dalam praktek ketentuan terse but tidak memadai dapat digunakan hukum acara berdasarkan ketentuan KUHAP.KUHAP diru juk dalam hal ini karena fungsi penyelidikan dan pemeriksaan tidak dikenal dalam Hukum Aca ra Perdata. Selain juga karena yang ingin dicari oleh KPPU adalah kebenaran formil. Dalam mencari kebenaran materiil, diperlukan keyakinan KPPU bahwa pelaku usaha melakukan atau tidak melakukan perbuatan yang menyebabkan terjadinya praktek monopoli dan atau persai ngan usaha tidak sehat”
Pasal 39 ayat 1 mewajibkan KPPU untuk, berdasarkan laporan yang telah disampaikan ter sebut melakukan pemeriksaan pendahulan.Dari hasil pemeriksaan pendahuluan tersebut, dalam jangka waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak KPPU menerima laporan ,KPPU wajib menetapkan perlu ada tidaknya dilakukan pemeriksaan lanjutan.Jika KPPU mene tapkan perlunya untuk dilakukan pemeriksaan lanjutan, maka dalam pemeriksaan lanjutan terse but,KPPU wajib melakukan pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang dilaporkan.Selanjutnya ji ka diperlukan oleh KPPU, dalam rangka pemeriksaan lanjutan, UULPM & PUTS memberikan hak kepada KPPU untuk mendengarkan keterangan saksi, keterangan pelaku, keterangan saksi ahli dan atau pihak lainnya yang dianggap perlu dan penting. Sebagai jaminan atas diri pelapor KPPU wajib merahasikan identitas pelapor, terutama pela por yang buka pelaku usaha yang dirugikan.Demikian juga sebaliknya sebagai jaminan bagi pe laku usaha yang diperiksa, KPPU juga diwajibkan untuk menjaga kerahasiaan atas segala infor masi yang diperoleh KPPU dari pelaku usaha yang dikategorikan sebagai rahasia perusahaan. Pelaku usaha dan atau pihak lain yang diperiksa wajib menyerahkan alat bukti yang diperlukan dalam penyelidikan dan atau pemeriksaan.Pelaku usaha yang dilarang menolak diperiksa , menolak memberikan informasi yang diperlukan dalam penyelidikan dan/atau pemeriksaan, atau menghambat proses penyelidikan dan atau pemeriksaan. Jika pelaku usaha melakukan pe langgaran terhadap ketentuan tersebut, maka KPPU wajib menyerahkan hak tersebut kepada pe nyidik untuk dilakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Yang diserahkan oleh Komisi kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan tidak hanya perbuatan aau tindakan pidana diatas yaitu menolak diperiksa dan memberikan informasi serta menghambat proses penyelidikan dan atau pemeriksaan; tetapi juga termasuk pokok perkara yang sedang diselidiki dan diperiksa oleh Komisi. Selanjutnya KPPU diwajibkan menyelesaikan pemeriksaan lanjutan selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari sejak dilakukan pemeriksaan lanjutan. Jika diperlukan jangka waktu pemerik saan lanjutan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari. Setelah itu KPPU wajib memutuskan telah terjadi atau tidak terjadi pelanggaran terhadap UU ini selam bat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak selesainya pemeriksaan lanjutan. Keputusan ini dilakukan dalam suatu sidang Majelis yang beranggotakan sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang anggota Komisi. Putusan KPPU harus dibacakan dalam suatu sidang yang dinyatakan terbuka untuk umum
dan segera diberikan kepada pelaku usaha. Pelaku usaha yang menerima pemberitahuan tersebut dapat mengajukan keberatan atas putusan majelis KPPU, pelaku usaha yang tidak mengaju kan keberatan atas putusan KPPU, dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari setelah pemberita huan dianggap telah menerima putusan KPPU dan putusanKPPU tersebut akan berlaku sebagai putusan pada akhir tingkat akhir (final) dan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan sebagai konsekuensinya putusan tersebut bersifat eksekutorial,dengan pengertian bahwa putusan ter sebut dapat dimintakan pelaksanaan penetapan eksekusi kepada Pengadilan Negeri setempat. Selanjutnya UULPM & PUTS ini menentukan bahwa dalam jangka 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak pelaku usaha menerima pemberitahuan putusan KPPU, pelaku usaha wajib melaksanakan putusan tersebut dan menyampaikan laporan pelaksanaannya kepadaKPPU. Jika putusan tersebut tidak dijalankan oleh pelaku usaha dalam jangka waktu yang telah ditentukan, maka K PPU menyerahkan putusan terebut kepada penyidik sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku. Putusan KPPU tersebut berlaku sebagai bukti permulaan yang cukup bagi penyidik un tuk melakukan penyidikan. Pelaku usaha yang tidak menerima putusan KPPU dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan negeri setempat selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah pemberitahuan pu tusan tersebut diterima.Pengadilan Negeri setempat harus memeriksa keberatan yang dilakukan /diajukan oleh pelaku usaha dalam waktu 14 (empat belas)hari sejak diterimanya keberatan tersebut dan harus diberikan keputusan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak dimulainya pemeriksaan keberatan tersebut.Selanjutnya jika terdapat keberatan atas putusanPengadilanNegeri se tempat, maka pihak yang berkeberatan terhadap putusan yang telah dijatuhkan Pengadilan Negeri setempat, dapat mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung dalam waktu 4 (empat) hari ter hitung sejak putusan dijatuhkan dan Makamah Agung harus memberikan putusannya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan kasasi diterima. UULPM&PUTS ini secara tegas memang telah mengatur tenggangwaktu dalam tiap-tiap fa se pemeriksaan maupun pengambilan keputusan, baik pada tingkat Komisi, Pengadilan Negeri maupun Mahkamah Agung, namun terlaksananya ketentuan tersebut juga ditentukan oleh sarana dan prasarana serta sumber daya manusia, baik di lingkungan pemerintah maupun dunia usa ha dan lembaga-lembaga terkait lainnya. Jika sudah dijatuhkan hukuman administrasi, apakah hukuman lain (pidana maupun perdata data) masih dapat dijatuhkan ? Dengan perkataan lain, apakah hukuman administratif ini meru-
pakan hukum alternatif atau hukuman komulatif bersama dengan hukuman-hukuman lainnya. UULPM&PUTS tidak menyebutkan apa-apa tentang hal ini.Karena itu yang berlaku adalah ketentuan hukum pada umumnya di mana antara hukuman perdata, pidana dan administratif bersi fat komulatif. Jadi dapat saja dijatuhkan kepada seseorang pelaku usaha ketiga jenis hukuman tersebut sekaligus. Selanjutnya apakah Komisi Pengawas telah menjatuhkan hukuman denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat 2 huruf g,pada saat yang sama oleh Pengadilan masih dapat djatuh kan hukuman denda dalam pasal 48 ayat 1, sehingga hukuman dendanya menjadi doubling. Hu kuman denda yang doubling ini dapat saja dijatuhkan karena denda dalam pasal 57 ayat 2 huruf g merupakan denda pidana.Jadi kedua jenis denda tersebut adalah berbeda satu sama lain, sehingga kedua-duanya dapat dijatuhkan secara komulatif. Hukuman ganti rugi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat 2 huruf f, apakah jika hukuman ganti rugi perdata lain yang juga diproses melalui gugatan perdata biasa masih bisa di ajukan ? Dengan kata lain, apakah hukuman ganti rugi dalam UULPM & PUTS ini (Pasal 47 ayat 2 huruf f) bersifat alternatif atau komulatif ? dengan hukuman ganti rugi perdata lewat gu gatan perdata biasaberbeda dengan hukuman ganti rugi pada pasal 47 ayat 2 huruf f tersebut bu kanlah hukuman ganti rugi administratif, sebab ganti rugi akan diberikan kepada pihak yang di rugikan. Karena itu pihak yang dirugikan tidak mungkin mendapat ganti rugi dua kali dari orang yang sama dalam kasus yang sama, kecuali ada penyebutan lain dalam peraturan perundang-undangan. Selain dari sanksi-sanksi administratif dan sanksi perdata, maka hukum anti monopoli menyediakan sanksi-sanksi pidana bagi si pelanggar hukum. Sanksi-sanksi pidana anti monopoli dikelompokkan ke dalam dua kategori yaitu : 1). Sanksi Pidana dalam UULPM & PUTS, 2). Sanksi Pidana dalam KUH Pidana. Sungguhpun ada ketentuan pidana (berikut sanksinya) dalam UULPM & PUTS. Tetapi untuk menerapkan sanksi pidana tersebut tetap pejabat penegak hukum umum yaitu kepolisian se bagai penyidik, jaksa sebagai penuntut umum dan hakim untuk mengadilinya. Jadi dalam hal ini, sungguhpun ada KPPU yang dibentuk berdasarkan UULPM &PUTS, tetapi Komisi Pengawas ini hanya bertugas sebatas tugas administrasi saja, termasuk kewenangannya untuk menja jatuhkan sanksi andministrasi. Jadi Komisi Pengawas tidak mempunyai kewenangan di bidang hukum pidana. Sungguhpun apa yang dilakukannya dapat merupakan bukti permulaan yang cu
kup bagi suatu penyidikan perkara pidana. Sanksi yang diberikan dalam UULPM & PUTS secara garis besar dapat dibedakan ke dalam : 1). Tindakan hukum perdata (Pasal 4 ayat 2), Sanksi Pidana Pokok (Pasal 48), 3). Sanksi Pidana Tambahan (Pasal 49). Salah satu tindakan yang dapat diambil oleh pihak berwenang, incasu Komisi Pengawas ter hadap pelaku usaha yang telah terbukti melanggar UULPM &PUTS adalah berupa tindakan pe negakan hukum. Tindakan penegakan hukum ini diatur dalam Pasal 47 UU ini yang menyatakan sebagai berikut :Komisi berwenang menjatuhkan sanksi berupa tindakan adminisratif terha hadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan UUini,tindakan penegakan hukum sebagaimana dimaksudkan dalam ayat 1 dapat berupa : a). Penetapan pembatalan perjanjian, b) Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan integrasi vertikal. Penjelasan resmi menyebutkan bahwa penghentian integrasi vertikal antaralain dilaksanakan dengan pembatalan perjanjian, penga lihan sebagian perusahaan kepada pelaku usaha lain atau perubahan bentuk rangkaian produksi nya,c) Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan yang terbukti menimbulkan praktek monopoli dan atau menyebabkan persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan ma syarakat (penjelasan resmi menyebutkan bahwa yang diperintahkan untuk dihentikan adalah ke giatan atau tindakan tertentu dan bukan kegiatan usaha pelaku usaha secara keseluruhan), d) Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan penyalahgunaan posisi dominan, e) Penetapan pembatalan atas penggabungan atau peleburan badan usaha dan pengambilalihan saham, f) Penetapan pembayaran ganti rugi (Penjelasan resmi menyebutkan bahwa ganti rugi diberikan kepada pelaku usaha dan kepada pihak yang dirugikan,g)Pengenaan denda serendah-rendahnya Rp.1.000.000.000,00(satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp. 25.000.000.000,00 (dua pu luh lima miliar rupiah). Jika sudah dijatuhkan hukuman administrasi, apakah hukuman lain dalam bentuk hukuman pidana maupun perdata masih dapat dijatuhkan ? Dengan perkataan lain,apakah hukuman admi nistratif ini merupakan hukuman alternatif atauhukuman yang komulatif bersama-sama dengan hukuman-hukuman lainnya ? UULPM&PUTS tidak menyebutkan apa-apa tentang hal ini. Ka rena itu yang berlaku adalah ketentuan hukum pada umumnya di mana antara hukuman perdata, pidana dan administratif bersifat komulatif.Jadi dapat saja dijatuhkan kepada seorang pelaku usaha dari ketiga jenis hukuman tersebut sekaligus. Akan tetapi, apakah Komisi Pengawas telah menjatuhkan hukuman denda sebagaimana di-
maksud dalam Pasal 47 ayat 2 huruf g pada saat yang bersamaan oleh pengadilan masih dapat dijatuhkan hukuman denda dalam Pasal 48 ayat 1, sehingga hukuman dendanya menjadi doubling.Hukuman denda yang doubling ini dapat saja dijatuhkan karena denda dalam Pasal 47 ayat 2 huruf g merupakan denda pidana.Jadi kedua jenis denda tersebut adalah berbeda satu sama lain, sehingga kedua-duanya dapat diajtuhkan secara komulatif. Selanjutnya bagaimana pula halnya dengan hukuman ganti rugi seperti yang dimaksud dalam Pasal 47 ayat 2 huruf f, apakah jika hukuman ganti rugi perdata lain yang juga diproses me lalui gugatan perdata biasa masih bisa diajukan ? Dengan kata lain, apakah hukuman ganti rugi dalam UU ini menurut Pasal 47 ayat 2 huruf f bersifat alternatif atau bersifat komulatif dengan hukuman ganti rugi perdata lewat gugatan perdata biasa berbeda dengan hukuman ganti rugi pa da Pasal 47 ayat 2 huruf f tersebut bukanlah hukuman ganti rugi administratif, sebab ganti rugi akan diberikan kepada pihak yang dirugikan. Karena itu pihak yang dirugikan tidak mungkin mendapat ganti rugi dua kali dari orang yang dalam kasus yang sama pula,kecuali ada penyebu tan lain dalam peraturan perundang-undangan. Selain dari sanksi-sanksi administratif dan sanksi perdata, maka hukum anti monopoli juga menyediakan sanksi-sanksi pidana bagi sipelanggar hukum.Sanksi-sanksi pidana anti monopoli ini dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori yaitu:1). Sanksi Pidana dalam Undang-Undang Antimonopoli (UULPM & PUTS), 2). Sanski Pidana dalam KUH Pidana. Sungguhpun ada ketentuan pidana berikut dengan sanksinya dalam UULPM & PUTS, teta pi untuk menerapkan sanksi pidana tersebut tetap dilakukan oleh pejabat penegak hukum umum yaitu aparat kepolisian sebagai penyidik, jaksa sebagai penuntut umum dan hakim untuk mengadili dan memutuskan perkaranya. Jadi dalam hal ini, sungguhpun ada KPPU yang dibentuk berdasarkan UULPM & PUTS , tetapi Komisi ini hanya bertugas sebatas tugas administrasi saja, termasuk kewenangannya untuk menjatuhkan sanksi administrasi. Jadi Komisi tidak mem punyai kewenangan dibidang hukum pidana, walaupun apa yang dilakukannya dapat merupakan bahan bukti permulaan yang cukup bagi suatu penyidikan perkara pidana. Dalam UULPM &PUTS terdapat dua macam sanksi pidana yaitu : 1) Sanksi Pidana Pokok dan 2) Sanki Pidana Tambahan. Yang tergolong ke dalam sanksi pidana pokok antara lain : i) pidana denda, ii) pidana kurungan pengganti denda. Sedangkan yang tergolong kedalam sanksi pidana tambahan adalah : i) dilarangnya pelaku usaha yang telah terbukti bersalah melakukan pelangaran terhadap UULPM & PUTS untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris
sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selama-lamanya 5 (lima) tahun, setelah jangka waktu tersebut dilewati, barulah bisa menduduki lagi jabatan-jabatan tersebut., ii) Tindakan penghenti an terhadap kegiatan-kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian ke pada pihak lain. Sanksi pidana dalam KUH Pidana ada diatur dalam Pasal 382 bis KHUPidana. Menurut Irna Irmalina dalamThesisnyaberjudul Tinjauan Terhadap Fungsi dan Kedu dukan KPPU Dalam Penegakan Peraturan Persaingan Usaha menjelaskan bahwa ”sejauh ini terdapat beberapa peraturan yang menjadi dasar penanganan perkara pelanggaran terhadap UU No.5 Tahun 1999 diantaranya adalah : 1). Keppres No. 75 Tahun 1999 Tentang Komisi pengawas Persaingan Usaha(KPPU), Keputusan Pedoman, maupun Petunjuk Teknis mengenai KPPU, 2). Keputusan KPPU Nomor 5 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Penyampaian Laporan dan Penanganan Adanya Pelanggaran terhadap UUAntimonopoli,3).HIR atau Rbg atau Hukum Acara Perdata yaitu untuk ketentuan hukum acara perdata jikapelaku usaha menyatakan kebera tan atas putusan komisi sesuai dengan Pasal 44 ayat 2 UU No.5 Tahun 1999 atau apabila terdapat gugatan perdata yang didasarkan pada adanya perbuatan melanggar hukum, 4). Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu untuk ketentuan hukum acara pidana jika perkara tersebut dilimpahkan ke pihak penyidik sesuai dengan Pasal 44 ayat 4 UU Antimonpoli (Irna Irmalina, 2006 : 77-79) Lebih lanjut Irna Irmalina menguraikan bahwa ”di dalam UU. No. 5 Tahun 1999 diatur mengenai perbuatan apa saja yang dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap persaingan usaha beserta dengan sanksinya. Sanksi bagi pelanggaran terhadap perbuatan yang berten tangan dengan ketentuan Undang-Undang tersebut dapat berupa sanksi administratif, sanksi pi dana pokok sebagaimana terdapat dalam pasal 48 serta dapat juga diberikan sanksi pidana tam bahan seperti diatur dalam pasal 49” Selanjutnya Irna Irmalina menambahkan bahwa ”apabila diteliti lebih jauh ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang ini, ternyata KPPU sebagai lembaga yang paling bertang gungjawab melaksanakan Undang-Undang ini tidak memiliki kewenangan untuk menjatuhkan sanksi pidana. Sanksi pidana menurut undang-undang ini merupakan yuridis peradilan. Komisi hanya mempunyai wewenang sanksi administratif saja”.
D. PENERAPAN PENDEKATAN ‘PER SE ILLEGAL DAN RULE OF REASON DALAM PENEGAKAN HUKUM PERSAINGAN USAHA.
Kegiatan penguasaan pasar sangat erat kaitannya dengan pemilikan posisi dominan dan ke kuatan pasar yang signifikan di pasar bersangkutan.Penguasaan pasar akan sulit dicapai apabila pelaku usaha, baik secara sendiri maupun bersama-sama, tidak memiliki kedudukan yang kuat di pasar bersangkutan. Penguasaan pasar juga akan sulit direalisasikan apabila pelaku usaha, ba ik secara sendiri maupun bersama-sama, tidak memiliki kekuatan pasar (market power) yang signifikan di pasar bersangkutan.Hal ini berarti di dalam struktur pasar persaingan sempurna pe laku usaha secara individual tidak mempunyai kemampuan menguasai pasar bersangkutan, sedangkan di dalam struktur pasar monopoli, pelaku usaha punya kemampuan yang besar untuk menguasai pasar bersangkutan. Ditinjau dari kedudukan Hukum persaingan usaha dalam sistem Hukum Indonesia, bahwa ruang lingkup hukum persaingan usaha merupakan bagian dari pada Hukum Ekonomi. Bahkan dari sudut pandang materinya diperlukan kajian secara interdispliner dan transnasional, selain mempelajari ilmu pengetahuan hukum juga penting mempelajari ilmu pengetahuan ekonomi khususnya ekonomi industri untuk dapat memahami secara baik hukum persaingan usaha. Dalam menjalankan tugas dan funginya, KPPU menegakkan payung hukum melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat. Pengaturan persaingan usaha jelas sarat dengan pertimbangan ekonomis disamping aspek yuridis, sehingga untuk membangun citra keadilan dalam setiap putusan tentang persaingan usaha diperlukan outlook (wawasan) ekonomi terutama dari seti ap pengambil keputusan seperti pertimbangan dan putusan hakim, pengacara dan pihak-pihak terkait lainnya. Khusus menyangkut penegakan hukum, KPPU dapat bersifat aktif maupun pasif. Aktif arti nya KPPU dapat membuat laporan inisiatif sendiri berdasarkan kajian dan analisa yang dilakukan sendiri oleh KPPU ataupun berdasarkan laporan dari masyarakat. Kedua jenis laporan terse but memiliki kedudukan yang sama dalam penanganannya. Laporan dari masyarakat dapat bera sal masyarakat luas selaku konsumen ataupun dari para pelaku usaha sendiri yang merasa ada persaingan yang tidak sehat diantara mereka, bisa juga berdasarkan info dari media massa baik cetak maupun elektronika. Investigasi atau penyidikan yang dilakukan oleh KPPU awalnya ber sifat tertutup dalam rangka melindungi berbagai pihak yang terkait, baik si penyidik maupun si terlapor.Apabila ditemui pelanggaran maka KPPU dapat memberikan saksi, setelah mendengar paparan dari para penyidik dan pemeriksaan dari terlapor.
Penegakan hukum antimonopoli dan persaingan usaha berada dalam kewenangan KPPU. Namun demikian,tidak berarti bahwa tidak ada lembaga lain yang berwenang menangani perka ra/sengketa praktek monopoli dan persaingan usaha. Pengadilan Negeri (PN) dan Mahkamah Agung (MA) juga diberi wewenang untuk menyelesaikan perkara tersebut.PN diberi wewenang untuk menangani keberatan yang diajukan pelaku usaha yang diduga atau telah terbukti bersalah dan telah dijatuhi hukuman dalam putusan oleh KPPU dan menangani pelanggaran hu kum persaingan yang menjadi perkara pidana karena tidak dijalankannya putusan KPPU yang sudah inkracht. MA diberi kewenangan untuk menyelesaikan perkara pelanggaran hukum per saingan apabila terjadi permohonan kasasi melalui permohonan memori kasasi terhadap keputusan PN tersebut. Sebagai suatu lembaga independen, dapat dikatakan bahwa kewenangan yang dimiliki oleh Komisi Pengawas sangat besar yang meliputi juga kewenangan yang dimiliki oleh lembaga pe radilan. Kewenangan tersebut meliputi penyidikan, penuntutan, konsultasi, memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara/sengketa. Dalam pengaturan persaingan usaha ditetapkan norma larangan memiliki dua sifat atau pen dekatan yang harus digunakan dalam melihat perjanjian atau kegiatan pelaku usaha, yaitu larangan yang bersifat pers se illegal dan yang bersifat rule of reason. Berbagai hukum tentang hu kum persaingan usaha sering disinggung mengenai rule of reason dan per se illegal tersebut. Dalam hukum persaingan usaha tersebut rule of reason dan per se illegal dibahas serba sedikit untuk memberikan pemahaman dan perbandingan hukum persaingan usaha (competition law) yang berlaku di Amerika Serikat (USA).Dikemukakan dalam hukum persaingan usaha tersebut bahwa kedua prinsiptersebut merupakan pendekatan untuk melakukan penilaian terhadap perbu atan-perbuatan yang dilarang oleh Sherman Act,Clayton Act, Federal Trade Commision Act-An ti trust Law. Mustafa Kamal Rokan dalam bukunya berjudul Hukum Persaingan Usaha (Teori dan Prakteknya di Indonesia mengatakan “dalam pengaturan hukum persaingan usaha ditetapkan norma-norma larangan yang memiliki dua sifat atau pendekatan yang digunakan dalam me lihat perjanjian atau kegiatan pelaku usaha, yakni larangan yang bersifat Per Se (Per Se Illegal) dan pendekatan larangan yang bersifat Rule of Reason” (Mustafa Kamal Rokan 2010 : 5972).
Lebih lanjut Mustafa Kamal Rokan menjelaskan “dasar pemikiran kedua pendekatan ini, haruskah seseorang dihukum karena melakukan perjanjian atau perbuatan yang “dianggap” membahayakan persaingan ? Di sisi lain, perlukah pembuktian dengan asumsi mahal, lama dan sulit dilakukan akan adanya pengurangan atau perusakan persaingan terhadap suatu perjanjian atau perbuatan yang hukum pasti telah merugikan atau merusak persaingan ? Dua pertanyaan inilah yang mendasari adanya pendekatan inidengan ketentuan dalam hukum persaingan usaha yang mempunyaidaya jangkau yangsangat luas sehingga memberikan kebebasan kepada hakim untuk menafsirkan apakah seseorang dinyatakan telah melanggar atau tidak melanggar hukum karena menghambat perdagangan. Selanjutnya Mustafa Kamal Rokan menambahkan “namun, kedua pendekatan ini bertujuan akhir sama yakni bagaimana tindakan pelaku usaha tidak menghambat persaingan sehingga inefisiensi dan merugikan konsumen dapat dihindarkan”. Dalam kepustakaan hukum, kata “per se” berasal dari bahasa Latin yang dalam bahasa Inggris disebut sebagai by itself; in self; taken alone; by means of it; through itself; inherently; in isolation; unconnected with other matters; simply as such; atau in its own nature without reference to its relation.Berkaitan dengan penerapannya dalamhukum makadikenal beberapa is tilah, yakni per se doctrine, per se illegal, per se rule, dan per se violation. Larangan-larangan yang bersifat Per Se adalah larangan yang bersifat jelas, tegas dan mut lak dalam rangka hukum kepastian bagi para pelaku usaha. Larangan ini bersifat jelas, tegas dan mutlak disebabkan perilaku yang sangat mungkin merusak persaingan sehingga tidak perlu lagi melakukan pembuktian akibat perbuatan tersebut. Tegasnya, pendekatan per se ini melihat perilaku atau tindakan yang dilakukan adalah bertentangan dengan
okum dan peraturan yang
berlaku. Per se Illegal adalah pendekatan dimana suatu perjanjian atau kegiatan usaha dilarang kare na dampak dari perjanjian tersebut telah dianggap jelas dan pasti mengurangi atau menghilangkan persaingan. Oleh karena itu, dalam pendekatan ini pelaku usaha pelapor tidak perlu membuktikan adanya dampak suatu perjanjian yang dibuat oleh pelaku usaha pesaingnya. Bukti yang diperlukan adalah bahwa perjanjian yang dimaksud telah benar adanya atau bahwa kegiatan bisnis dimaksud telah benar-benar dilakukan oleh pelaku usaha pesaingnya. Pendekatan Per Se Illegal harus memenuhi dua syarat yakni pertama harus ditujukan lebih kepada “perilaku bisnis” daripada situasi pasar, karena keputusan melawan hukum dijatuhkan
tanpa disertai dengan pemeriksaan lebih lanjut, misalnya mengenai akibat dan hal-hal melingkupinya. Hal ini adalah adil jika perbuatan illegal tersebut merupakan tindakan sengaja oleh pe rusahaan yang seharusnya dapat dihindari. Kedua, adanya identifikasi secara cepat dan mudah mengenai praktek atau batasan perilaku yang terlarang. Dengan perkataan lain, penilaian atas tindakan dari perilaku baik di pasar maupun dalam proses pengadilan harus dapat ditentukan de ngan mudah. Meskipun demikian diakui bahwa terdapat perilaku yang terletak dalam batas-ba tas yang tidak jelas antara perilaku terlarang dan perilaku yang sah. Sebab penerapan per se illegal yang berlebihan dapat menjangkau perbuatan yang sebenarnya tidak merugikan bahkan mendorong persaingan. Mengenai jenis perjanjian atau tindakan yang diketegorikan sebagai per se tidaklah selalu sama di setiap tempat atau hukum. Perbedaan ini disebabkan perbedaan dalam menimbang taka ran kepatutan dan keadilan serta kepastian dalam hukum. Selain itu, perbedaan penetapan ini ju ga melihat tingkat efisiensi dan manfaat bagi masyarakat. Pendekatan per se illegal ini mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya antara la in adalah pertama terjadinya kepastian hukum terhadap suatu persoalan hukum antimonopoli yang muncul. Ketika terjadi penetapan harga (price fixing), boycott, horizontal market division dan tying arrangement dilakukan pelaku usaha, maka hakim dapat menggunakan pendekatan ini secara langsung. Kedua, jika suatu perjanjian atau perbuatan yang dilakukan yang hampir pasti merusak dan merugikan persaingan, maka untuk apa lagi bersusah payah melakukan pem buktian, tidak hanya memakan waktu, namun juga biaya yang mahal. Ketiga, pendekatan per se illegal lebih memudahkan hakim memutuskan perkara persaingan usaha. Mengapa hukum persaingan mempunyai daya jangkau yang sangat luas yang memberi kebebasan bagi hakim un tuk menafsirkan secara ”bebas” apakah seorang dinyatakan telah melanggar atau menghambat persaingan.Karenanya, menggunakan pendekatan ini hakim lebih mudah sekaligus cepat memu tuskan perkara persaingan usaha. Namun disisi lain melakukan penerapan pendekatan per se illegal ini secara berlebihan dapat menjangkau perbuatan yang mungkin tidak merugikan atau bahkan mendorong persaingan menjadi salah secara hukum. Sebab, terkadang pendekatan ini tidak selalu akurat menghasilkan pandangan apakah suatu tindakan pelaku usaha benar-benar tidak efisien dan merugikan konsu men.Ternyata hal ini menyebabkan penerapan hukum persaingan usaha menjadi kontra-produk tif.
Dalam UULPM & PUTS, pendekatan per se illegal ini biasanya digunakan pada pasal yang menyatakan dengan kalimat ”dilarang” tanpa kalimat tambahan”..... yang dapat mengakibatkan .....” atau dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat, sebagaimana yang disyaratkan dalam pendekatan Rule of Reason. Apabila para pelaku usaha melakukan perjanjian dan atau kegiatan yang dilarang secara per se illegal,maka negara yang dalam hal ini diwakili oleh lembagaKPPUcukup membuktikan bah wa telah terjadi pelanggaran sesuai dengan jenis perjanjian atau perbuatannya. Pelaku usaha di anggap telah melakukan perbuatan yang dilarang tanpa melihat akibat atau efek yang ditimbulkan dari perbuatan tersebut. Menurut Johnny Ibrahim dalam bukunya berjudul Hukum Persaingan Usaha. Filosofi, Teori dan ImplikasiPenerapannya di Indonesia mengatakan bahwa ”Larangan yang bersifat per se illegal adalah bentuk larangan yang tegas dalam rangka memberikan kepastian bagi para pelaku usaha dalam memaknai norma-norma larangan dalam persaingan usaha.Dengan pemaha man norma-norma larangan yang diatur jelas dan tegas tersebut, para pelaku usaha memasuki koridor hukum yang transparan sehingga dapat memberikan arahan bagi mereka guna merenca nakan dan melakukan usahanya tanpa khawatir adanya tuntutan hukum dari instansi terkait dan berhubungan dengan pelangaran terhadap norma-norma larangan tersebut (Johnny Ibrahim, 2007 : 222-228). Lebih lanjut Johnny Ibrahim menjelaskan ”dalam praktek pengaturan ini berguna agar pe laku usaha sejak awal mengetahui rambu-rambu larangan terhadap perbuatan apa saja yang dilarang dan harus dijauhkan dalam praktek usahanya guna menghindari munculnya potensi resiko bisnis yang besar di kemudian hari sebagai akibat pelanggaran terhadap norma-norma larangan tersebut”. Selanjutnya Johnny Ibrahim lebih jauh menambahkan ”Perbuatan-perbuatan sebagai mani festasi perilaku para pelaku usaha yang secara tegas dilarang (Per Se Illegal) antara lain menetapkan berbagai bentuk perjanjian yang dilarang (Bab III) dan kegiatan yang dilarang (Bab IV), tegasnya aturan tersebut dapat ditemukan dalam Pasal 5 ayat 1, Pasal 6, Pasal 15, Pasal 24, Pasal 25 danPasal 26 UULPM&PUTS.Apabila para pelaku usaha tidak mampu mengendalikan di rinya dan telah melanggar ketentuan hukum yang mengaturnya (Per Se Illegal), maka KPPU cukup membuktikan bahwa telah terjadi pelanggaran. Dengan demikian pelaku usaha yang ber sangkutan sudah dianggap telah melakukan perbuatan yang dilarang tanpa melihat efek yang di
timbulkannya.Pelanggaran terhadap larangan yang bersifat per se, ancaman pidana pokok lebih rendah daripada pelangaran terhadap larangan yang bersifat rule of reason (vide Pasal 48). Hal ini dapat dipahami karena proses pembuktiannya tidak serumit proses pembuktian terhadap larangan yang bersifat rule of reason. Doktrin rule of reason berasal dari tradisi common law (case law) yaitu lahir dalam kasus MitchelVs Reynolds.Kasus ini memberikan gambaran bagaimana suatu perjanjian yang bersifat anti persaingan dinyatakan tetap berlaku oleh hakim yang menangani perkara. Perjanjian tersebut dianggap layak dan patut meskipun berifat anti kompetitif karena menjauhkan masyarakat dari manfaat adanya persaingan. Dasar pertimbangan hakim adalah bahwa manfaat jangka pan jang untuk memberikan insentif bagi pengembangan perusahaan sejenis di kemudian hari akan melebihi kerugian yang bersifat terbatas dan sementara terhadap persaingan. Dalam lingkup doktrin rule of reason, jika suatu kegiatan yang dilarang oleh seorang pelaku usaha akan dilihat seberapa jauh efek negatifnya. Jika terbukti secara signifikan adanya hukum yang menghambat persaingan, baru diambil tindakan hukum. Ciri pembeda terhadap larangan yang bersifat rule of reason, pertama adalah bentuk aturan yang menyebutkan adanya per syaratan tertentu yang harus terpenuhi sehingga memenuhi kualifikasi adanya potensi bagi terjadinya praktek monopoli dan atau praktek persaingan usaha yang tidak sehat seperti yang dapat ditemukan dalam Pasal 4, Pasal 9, Pasal 11-13, Pasal 17-18, Pasal 19-20, Pasal 26 dan Pasal 28 UULPM & PUTS. Ciri kedua adalah apabila dalam aturan tersebut memuat anak kalimat “patut diduga atau dianggap”. Pengaturan seperti ini dapat ditemukan dalam Paal 4 angka 2, Pa sal 13 angka 2, Pasal 17 angka 2 dan PasaL 18 angka 2. Perbuatan-perbuatan yang dimaksud jika terbukti merupakan perbuatan yang menghalangi persaingan (antikompetitif) selain menghadapi sanksi hukum perdata (vide Pasal 47) juga diancam sanksi pidana, baik pidana pokok (vide Pasal 48 ayat 1) maupun pidana tambahan (vide Pasal 49) . Pendekatan secara rule of reason adalah kebalikan dari pendekatan yang bersifat per se illegal. Dalam pendekatan ini hukuman terhadap perbuatan yang dituduhkan melanggar hukum persaingan usaha harus mempertimbangkan situasi dan kondisi kasusnya.Karenanya, perbuatan yang dituduhkan tersebut harus diteliti terlebih dahulu, apakah perbuatan itu telah membatasi persaingan usaha secara tidak patut. Untuk itu disyaratkan bahwa penggugat dapat menunjukkan akibat yang ditimbulkan dari perjanjian, kegiatan dan posisi dominan yang telah mengham
bat persaingan usahaatau menyebabkan kerugian. Dengan kata lain, teori pendekatan rule of reason ini mengharuskan pembuktian, mengevaluasi mengenai akibat perjanjian, kegiatan atau posisi dominan tertentu guna menentukan apakah perjanjian atau kegiatan tersebut menghambat atau mendukung persaingan. Dalam melakukan pembuktian harus melihat seberapa jauh tindakan yang merupakan antipersaingan tersebut berakibat kepada pengekangan persaingan usaha di pasar. Dalam teori pendekatan rule of reason ini sebuah tindakan tidak secara otomatis dilarang, meskipun perbuatan yang dituduhkan tersebut kenyataannya terbukti telah dilakukan. Dengan demikian, pendekatan rule of reason ini memungkinkanpengadilan untuk melakukan interpretasi terhadap undang-undang termasuk segala bentuk aturan dan peraturan yang berlaku dan terkait dan juga interpretasi pasar. Dengan asas rule of reason ini dapat diketahui akibat yang tercipta karena tindakan atau per janjian yang mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat dan praktek monopoli sehingga meru gikan pihak lain. Dalam substansi UULPM & PUTS umumnya mayoritas menggunakan pendekatan rule of reason.Penggunaan rule of reason ini tergambardalam konteks kalimat yang mem buka interpretasi bahwa tindakan tersebut harus dibuktikan dulu akibatnya secara keseluruhan dengan memenuhi unsur-unsur yang ditentukan dalam undang-undang apakah telah mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau praktek persaingan usaha tidak sehat. Untuk melihat atau membuktikan bahwa telah terjadi pelanggaran hukum dan atau persengkongkolan yang menghambat perdagangaan atau persaingan dapat dilihat dari kondisi yang ada. Alfa Aprias sebagaimana mengutip dari pendapatAsril Sitompul mendefinisikan rule of re ason adalah suatu pendekatan dengan menggunakan pertimbangan akan akibat suatu perbuatan apakah mengakibatkan praktek monopoli dan akan menimbulkan kerugian dipihak lain. Rule of Reason adalah pertimbangan yang digunakan untuk menentukan suatu perbuatan yang dituduhkan melanggar hukum persaingan dimana penggugat dapat menunjukkan akibat-akibat yang menghambat persaingan atau kerugian nyata terhadap persaingan. Dari dua definisi tersebut da pat ditarik kesimpulan bahwa Rule of Reason merupakan a) suatu pertimbangan hukum oleh ha kim untuk menentukan apakah suatu perbuatantertentu melanggar hukum persaingan atau tidak b) prinsip yang akandigunakan untuk menentukan perbuatan tertentu melanggar atau tidak dida sarkan pada akibat yang muncul dari perbuatan yaitu telah menghambat persaingan atau melahirkan kerugian pada pelaku usaha lain” (Alfa Aprias, 2010 : 6-10) Lebih lanjut Asril Sitompul menjelaskan sebagaimana yang dikutip oleh Alfa Aprias bah-
wa “Per se illegal adalah suatu pendekatan dimana perbuatan dinyatakan sebagai pelangaran dan dapatdihukum tanpa perlu melakukan pertimbangan apakah perbuatan tersebut mengakibat kan kerugian atau menghambat persaingan. Per se illegal sebagai larangan yang jelas dan tegas tanpa mensyaratkan adanya pembuktian mengenai akibatnya atau kemungkinan akibat adanya persaingan”. Rule of Reason adalah suatu larangan yang baru berlaku apabila suatu kegiatan usaha dapat menimbulkan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Larangan yang bersifat Per se Illegal adalah larangan yang memang secara alamiah dilarang tanpa perlu dikaitkan dengan dampak kegiatan tersebut pada persaingan karena pada dasarnya memang menimbulkan kan persaingan usaha tidak sehat. Larangan yang bersifat Per se Illegal adalah bentuk larangan yang tegas dalam rangka memberikan kepastian bagi para pelaku usaha dalam memaknai norma-norma larangan dalam persaingan usaha. Dalam praktek, pengaturan ini berguna agar pelaku usaha sejak awal mengetahui rambu-rambu larangan terhadap perbuatan apa saja yang dilarang dan harus dijauhkan dalam praktek usahanya guna menghindari munculnya potensi resiko bisnis yang besar di kemudi an hari sebagai akibat pelanggaran terhadap norma-norma larangan tersebut. Dalam lingkup doktrin Rule of Reason, jika suatu kegiatan yang dilarang dilakukan oleh se orang pelaku usaha dilihat seberapa jauh efek negatifnya. Jika terbukti secara signifikan adanya unsur yang menghambat persaingan, baru diambil tindakan hukum. Ciri-ciri pembeda terhadap larangan yang bersifat Rule of Reason, pertama adalah bentuk aturan yang menyebutkan adanya persyaratan tertentu yang harus terpenuhi sehingga memenuhi kualifikasi adanya potensi bagi terjadinya praktek monopoli dan atau praktek persaingan usaha yang tidak sehat seperti yang terdapat dalam Pasal 4, Pasal 9,Pasal 11,Pasal 12,Pasal 13, Psal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pa sal 20, Pasal 26 dan Pasal 28 UULPM&PUTS. Ciri kedua adalah apabila dalam aturan tersebut memuat anak kalimat ”patut diduga atau dianggap”. Pengaturan seperti ini dapat ditemukan da lam Pasal 4 angka 2, Pasal 13 angka 2, Pasal 17 angka 2 dan Pasal 18 angka 2 Menurut Rizki Afriadi Wibowo sebagaimana mengutip dari pendapat/pandangan Andi Fahmi Lubis (2009 : 55), mengatakan bahwa ”dalam hukum persaingan usaha secara juridis dikenal dua macam dasar pendekatan yang dapat digunakan untuk menganalisis, apakah suatu perbuatan baik berupa perjanjian maupun kegiatan/perbuatan telah melanggar undang-undang dang atau tidak yaitu dengan pendekatan rule of reason dan per se illegal. Pendekakatan rule of
reason adalah suatu pendekatan yang digunakan oleh lembaga otoritas persaingan usaha untuk membuat evaluasi mengenai akibat perjanjian atau kegiatan usaha tertentu, guna menentukan apakah suatu perjanjian atau kegiatantersebutbersifat menghambat atau mendukung persaingan Sebaliknya, pendekatan per se illegal adalah menyatakan setiap perjanjian atau kegiatan usaha tertentu sebagai illegal, tanpa pembuktian lebih lanjut atas dampak yang ditimbulkan dari perjanjian atau kegiatan usaha tersebut” (Rizki Afriadi Wibowo,
: 55-59)
Dalam pendekatan hukum persaingan usaha ini, peran serta hakim sangat menentukan untuk memutuskan apakah sebuah perkara termasuk dalam per se illegal atau rule of reason. Mengapa ? Hal ini disebabkan praktek bisnis yang mengarah kepada monopoli kerap kali mengala mi perubahan dan modifikasi bentuknya yang merupakan implikasi dari perkembangan dalam bidang ekonomi, hukum dan politik. Oleh karena itu, dalam menetapkan putusan sebuah kasus persaingan usaha peran hakim sa ngatlah vital. Secara umum, pandangan dasar putusan hakim berdasarkan pada tiga hal yakni le bih menekankan pada efisiensi ekonomi, perlindungan kepada pengusaha kecil atau perlindungan terhadap konsumen. Pendekatan rule of reason dalam UULPM &PUTS mempunyai “kekhasan”, sebab standar rule of reason yang digunakan UU ini tercakup dalam unsur “praktek monopoli” dan ”persaingan usaha tidak sehat”. Terdapat dua aspek di dalamnya yakni aspek ”dampak atau hasil” satu perjanjian atau kegiatan usaha dan aspek ”cara” dijalankannya kegiatan. Pada aspek dampak dapat terjadi dua hal yakni terjadinya penghambatan terhadap persaingan dan merugikan kepentingan umum. Menghambat persaingan merupakan salah satu unsur praktek monopoli maupun praktek persaingan usaha tidak sehat. Ini berarti untuk menentukan suatu perjanjian atau aktivitas ekonomi yang dilarang ditentukan telah terjadi penghambatan persaingan. Dalam UULPM & PUTS tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan hambatan persaingan. Hambatan persaingan usaha dalam artian sempit berarti hambatan untuk masuk ke pasar atau hilangnya atau berkurangnya suatupersaingan.Pengertian ini merupakan perwujudan dan dari tujuan hukum persaingan usaha yang menitik beratkan pada persaingan atau terciptanya persaingan.Namun,dalam hambatanpersaingan usaha jugadapat mencakup berbagai macam dampak negatif dari penyalahgunaan kekuatan monopoli termasuk di dalamnya adalah terhambatnya effisiensi. Diterapkan dalam pengertian ini mengingat tujuan UULPM & PUTS bukan hanya menjamin adanya persaingan yang sehat akan tetapi juga effisiensi.
Terdapat kelebihan dan kekuarangan dalam penerapan pendekatan rule of reason. Adapun kelebihan melakukan pendekatan ini adalah menggunakan analisis ekonomi untuk mencapai ef fisensi guna mengetahui dengan pasti apakah suatu tindakan pelaku usaha memiliki implikasi kepada persaingan. Sehingga dengan akurat menetapkan suatu tindakan pelaku usaha efisien atau tidak. Namun disisi lain, pendekatan ini membutuhkan waktu yang panjang dalam rangka membuktikan perjanjian, kegiatan dan posisi dominan yang tidak sehat dan menghambat persai ngan usaha. Pendekatan ini menjadikan kepastian hukum lama didapatkan. Lebih dari itu, terka dang metode ini tidak sama hasil penelitian untuk suatu tindakan yang sama disebabkan tidak samanya akibat yang timbul dari tindakan pelaku usaha tersebut. Beberapa ahli yang tetap concern terhadap hukum persaingan usaha di Indonesia yang mengatakan bahwa dalam UULPM & PUTS terdapat prinsip dan pendekatan Rule of Reason dan Per Se Illegal. Namun pendapat tersebut tidak mempunyai landasan normative dalam UU LPM & PUTS. Karena memang UULPM & PUTS secara eksplisit menyinggung prinsip dan pendekatan Rule of Reason dan Per Se Illegal. Berbagai literature tentang hukum persaingan usaha sering disinggung mengenai Rule of Reason dan Per Se Illegal terebut. Dalam literature tersebut Rule of Reason dan Per Se Illegal dibahas serba sedikit untuk memberikan pemahaman dan perbandingan hukum persaingan usaha (competition Law) yang berlaku di Amerika Serikat (USA). Dikemukan dalam li terature tersebut bahwa kedua prinsip dan pendekatan ini merupakan pendekatan untuk melakukan penilaian terhadap perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Sherman Act, Clayton Act, Federal Trade Commission Act-Antitrust Law. Rule of Reason dan Per Se Illegal merupakan prinsip dan pendekatan yang digunakan hakim sebagai sarana pertimbangan untuk mengadili perbuatan yang diduga telah mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha. Pendefinisian secara terbatas terhadap kedua prinsip dan pendekatan tersebut merupakan implikasi dari substansi yang sebenarnya. Kecenderungan dalammengemukakanrule of reason dan per se illegal adalah dengan menggunakan metode perbandingan hukum, dengan melakukan perbandingan kasus-kasus yang ada di Ame rika Serikat (USA) dan kemudian menganalisisnya bagaimana ketentuan yang terdapat dalam UU Persaingan Usaha atau berdasarkan prinsip rule of reason dan per se illegal mengklasifikasikan suatu ketentuan termasuk dalam klasifikasi tertentu.
D. PENEGAKAN HUKUM PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA DI INDONESIA Hukum terutama dapat dilihat bentuknya melalui kaidah-kaidah yang dirumuskan secara eksplisit. Di dalam kaidah-kaidah atau peraturan-peraturan hukum tersebut terkandung tinda kan-tindakan yang harus dilaksanakan seperti penegakan hukum. Kehendak-kehendak hukum dilakukan melalui manusia-manusia, manusia yang menjalankan penegakan hukum benar-be nar menempati kedudukan yang penting dan menentukan. Apa yang dikatakan dan dijanjikan oleh hukum, pada akhirnya akan menjadi kenyataan melalui tangan orang-orang tersebut. Pada hakekatnya hukum mengandung ide atau konsep-konsep yang dapat digolongkan se bagai sesuatu yang abstrak. Ke dalam kelompok yang abstrak termasuk ide tentang keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial. Apabila berbicara tentang penegakan hukum, maka pada hakekatnya berbicara tentang penegakan ide-ide serta konsep-konsep yang notabene ada lah abstrak tersebut. Dirumuskan secara lain, penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide dan konsep-konsep tersebut menjadi kenyataan. Proses perwujudan ide-ide dan konsep-konsep tersebut merupakan hakekat dari penegakan hukum. Apabila berbicara mengenai perwujudan ide-ide dan konsep-konsep yang abstrak menjadi kenyataan, ma ka sebetulnya sudah memasuki bidang manajemen. Hukum persaingan usaha sebenarnya mengatur tentang pertentangan kepentingan antar pelaku usaha yang merasa dirugikan oleh tindakan dari pelaku usaha lainnya. Oleh karenanya hukum persaingan usaha pada dasarnya merupakan sengketa perdata. Penegakan hukum persaingan usaha antar pelaku usaha dapat dilakukan oleh pelaku usaha sendiri, apabila masalah tersebut tidak terdapat unsur-unsur publiknya. Penegakan hukum oleh pelaku usaha akan me menuhi berbagai hambatan apabila tidak ada kesukarelaan untuk melaksanakan putusan dari pihak yang dikalahkan. Hal ini karena sebuah asosiasi tidak berwenang untuk melakukan penyitaan ataupun menjatuhkan sanksi yang bersifat publik. Implementasi kebijakan persaingan usaha (competition policy) yang efektif dibentuk dari sinergipositif terhadap kewenangan persaingan usaha di suatu negara. Efektitifitas im plemen tasi ini diyakini mampu meningkatkan keberhasilan suatu lembaga persaingan usaha itu sendi ri. Negara yang memiliki hukum persaingan usaha berada dalam kondisi aktual yang berbeda dalam sistem penegakan hukum persaingan dan kewenangan lembaga persaingan usahanya. Di Indonesia, esensi keberadaan UULPM & PUTS pasti memerlukan pengawasan dalam
rangka implementasinya yaitu dengan berdirinya KPPU. KPPU adalah sebuah lembaga yang bersifat independen, dimana dalam menangani, memeriksa dan memutuskankan atau melakukan penyelidikan suatu perkara tidak dapat/boleh dipengaruhi oleh pihak manapun baik pihak pemerintah maupun pihak lain yang memiliki vested interset ataupun conflict of interest, walaupun dalam pelaksanaan wewenang dan tugasnya bertanggung jawab kepada Presiden. KPPU juga adalah lembaga quasi judicialyang mempunyai wewenang eksekutorial terkait kasus /perkara persaingan usaha dan praktek monopoli. Dalam perkembangannya, ternyata penegakan hukum persaingan usaha tidak sematamata merupakan sengketa perdata. Pelanggaran terhadap hukum persaingan usaha mempunyai unsur-unsur pidana dan bahkan administrasi. Hal ini disebabkan pelanggaran terhadap hukum persaingan pada akhirnya akan merugikan masyarakat dan merugikan perekonomian negara. Oleh karenanya disamping penegakan hukum secara perdata, juga penegakan hukum secara pidana. Penegakan hukum merupakan fungsi dari bekerjanya pengaruh-pengaruh tersebut. Kita ti dak dapat menutup mata terhadap kenyataan para penegakan hukum, sebagai kategori manusia dan bukan sebagai jabatan, akan cenderung memberikan penafsiran sendiri terhadap tugas-tugas yang harus dilaksanakan sesuai dengan tingkat dan jenis pendidikan, kepribadian dan masih banyak faktor pengaruh yang lain Penegakan hukum selalu melibatkan manusia di dalamnya dan melibatkan juga tingkah la ku manusia. Hukum tidak dapat tegak dengan sendirinya, artinya hukum tidak mampu mewu judkan sendiri janji-janji serta kehendak-kehendak yang tercantum dalam (peraturan-peraturan) hukum. Janji dan kehendak tersebut, misalnya untuk memberikan hak kepada seseorang, memberikanperlindungan kepada seseorang yang memenuhi persyaratan tertentu dan sebagai nya. Penegakan hukum persaingan usahadi Indonesia memperlihatkan titik terang dalam tercip tanya keadilan pada persaingan menjalankan bisnis di Indonesia. Hal ini terlihak dari makin banyaknya kasus persaingan usaha yang ditangani oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha ( KPPU) yang terbentuk berdasarkan UULPM & PUTS dimana sejak terbentuknya UU ini hingga sampai pada tahun 2010 KPPU telah menangani perkara sebanyak 248 kasus/perkara persaingan usaha (sumber statistik penanganan perkara 2000-2010)NYANG 63,83 % dianta-
nya merupakan perkara tender dan 31,17 % merupakan perkara non tender (sumber diagram laporan masuk KPPU). Maraknya kasus hukum persaingan usaha membuat kita ingin mengetahui lebih dalam la gi mengenai persaingan usaha dan apa tujuan ditegakkannya hukum persaingan usaha. Dalam pembentukannya, hukum persaingan usaha terbentuk dari beberapa faktor umum yang mempengaruhinya antara lain faktor sosial, faktor politik, faktor lingkungan, serta faktor strategi dalam kebijakan industri perdagangan. Di Indonesia, peristiwa yang melatarbekangi terbentuknya hukum persaingan usaha yaitu dibutuhkannya kepastian hukum persaingan usaha akibatnya terjadi monopoli, oligopoly dan perbuatan lain yang menjurus kepada persaingan curang yang terjadi pada masa pemerintahan Orde Baru Soeharto, misalnya monopoli tepung terigu, monopoli cengkeh, monopoli jeruk di Kalimantan, monopoli pengedaran film dan ma sih banyak lagi. Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Penegakan hukum itu sendiri dapat ditinjau dari dua sudut pandang yaitu dari sudut subjeknya dan dari sudut objeknya. Ditinjau dari sudut subjeknya penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subjek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum itu melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan hukum dan atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dari arti sempit, dari segi subjeknya itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan aparatur penegakan hukum itu diperkenankan untuk mengunakan daya paksa. Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut objeknya, yaitu dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan sempit.dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pada nilai-nilai keadilan yang terkandung didalam nya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Tetapi da lam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja. Karena itu, penerjemahan perkataan ”law enforcement” ke dalam bahasa Indonesia dalam menggunakan perkataan ”penegakan hukum” dalam arti luas dapat pula digu-
nakan istilah ”penegakan peraturan” dalam arti sempit, termasuk penegakan hukum persaingan usaha. Penegakan hukum itu sendiri dari segi subjeknya penegakan hukum persaingan usaha ada pada Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Pengadilan Negeri (PN), Mahkamah Agung (MA), Kepolisian dan Kejaksaan. Menurut Sanusi Bintang dan Dahlan dalam bukunya Pokok-Pokok Hukum Ekonomi dan Bisnis mengatakan ”agar tujuan yang hendak diinginkan dapat tercapai, UULPM & PUTS juga mengatur tentang penegakan hukumnya. Penegakan hukum tersebut dilakukan melalui saluran Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)” (Sanusi Bintang dan Dahlan, 2000 : 104-105) Lebih lanjut Sanusi Bintang dan Dahlan menjelaskan "sanksi yang disediakan berupa tindakan administratif (seperti pembatalan perjanjian, penghentian tindakan, pembayaran sejumlah ganti rugi, pengenaan denda), pidana pokok (denda dan kurungan) dan pidana tambahan (misalnya pencabutan izin usaha dan larangan kepada pelaku untuk menduduki jabatan direksi dan komisaris)” Selanjutnya Sanusi Bintang Dan Dahlan menambahkan ” untuk keperluan penegakan hukum tersebut komisi menerima laporan tertulis dari masyaerakat, melakuakan pemeriksaan dan memberikan putusan dalam sidang yang dinyatakan terbuka untuk umum. Terhadap putusan tersebut pelaku usaha dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan negeri selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut. Pihak yang keberatan terhadap putusan Pengadilan negeri tersebut dalam waktu yang sama seperti diatas yaitu selama 14 (empat belas) hari dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia. Apabila putusan komisi tidak terdapat keberatan dianggap sudah mempunyai kekuatan hukum tetap dan dimintakan penetapan eksekusi kepada Pengadilan negeri”. Di Indonesia instansi yang ditugasi untuk menegakkan hukum persaingan usaha, sebagai mana tercantum dalam Pasal 30 UULPM & PUTS adalah Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Komisi ini bersifat independen. Artinya, dalam menjalankan tugas dan kewajibannya, terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerinatah serta pihak lainnya. Komisi ini bertanggung jawab langsung kepada presiden. Proses dan prosedur pencalonan anggota komisi sampai dengan pengangkatannya diatur oleh undang-undang.
Penegakan hukum merupakan pusat dari seluruh ”aktivitas kehidupan” hukum yang dimulai dari perencanaan hukum, pembentukan hukum, penegakan hukum dan evaluasi hukum. Penegakan hukum pada hakekatnya merupakan interaksi antara berbagai perilaku manusia yang mewakili kepentingan-kepentingan yang berbeda dalam bingkai aturan yang telah dispekati bersama. Oleh karena itu, penegakan hukum tidak dapat semaa-mata dianggap sebagai proses menerapan hukum sebagaimana pendapat kaum legalistik. Namun proses penegakan hukum mempunyai dimensi yang lebih luas daripada pendapat tersebut, karena dalam penegakan hukum akan melibatkan dimensi perilaku manusia. Dengan pemahaman tersebut maka kita dapat mengetahui bahwa problem-problem hukum yang akan selalu menonjol adalah problema ”law in action” bukan pada “law in the books” Pelaksanaan upaya penegakan hukum persaingan usaha sifatnya lebih menekankan kepada suatu permasalahan secara spesifik dalam industri dan atau pada pasar tertentu. Penegakan hukum tetap bertujuan untuk menciptakan persaingan usaha yang sehat dan mengurangi adanya hambatan-hambatan masuk dari pelaku usaha yang berada dalam posisi dominan bahkan menjadi monopolis di pasar bersangkutan. Saatnya untuk mengubah paradigma berpikir pemerintah yang sebelumnya selalu menjadi penentu pasar dan pengaturan persaingan diserahkan pada mekanisme pasar. Kemudian dengan pola bisnis pelaku usaha, dapat diberikan pemahaman bahwa banyak praktek-praktek bisnis yang dilarang semenjak disahkannya UULPM & PUTS. Pengadilan yang merupakan representasi utama wajah penegakan hukum dituntut untuk mampu melahirkan tidak hanya kepastian hukum, melainkan pula keadilan, kemanfaatan hukum dan pemberdayaan hukum melalui putusan-putusan hakimnya. Kegagalan lembaga pe radilan dalam mewujudkan tujuan hukum diatas telah mendorong meningkatnya ketidakpercayaan masyarakat terhadap pranata hukum dan lembaga-lembaga hukum. Menurut I Made Sarjana bahwa ”Penegakan hukum merupakan rangkaian proses untuk menjabarkan nilai, ide, cita-cita, yang cukup abstrak sifatnya dan yang merupakan tujuan hukum. Tujuan hukum atau cita-cita hukum memuat nilai-nilai moral, seperti keadilan dan kebenaran. Nilai-nilai tersebut harus mampu diwujudkan dalam realitas nyata” ( I Made Sarjana, 2010 : 1-2) Lebih lanjut I Made Sarjana dalam karya ilmiahnya yang berjudul Penegakan Hukum Persaingan Usaha Dalam Sistem Peradilan Di Indonesia mengatakan ” bahwa eksistensi
hukum diakui apabila nilai-nilai moral yang terkadung dalam hukum tersebut mampu diimplementasikan. Pada hakekatnya hukum mengandung ide atau konsep-konsep yang dapat digolongkan sebagai sesuatu yang abstrak. Ide abstrak tentang keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial”. Selanjutnya I Made Sarjana menambahkan bahwa ”berbicara tentang penegakan hukum pada hakekatnya berbicara tentang penegakan ide-ide serta konsep-konsep yang nota bene adalah abstrak tersebut. Lembaga penegak hukum yang harus menjalankan tugas dan pekerjaan di tengah-tengah masyarakat tidak dapat mengabaikan peranan dari lingkungan. Hal tersebut lebih disebabkan ; pertama, lembaga penegakan hukum mendapatkan serta menggali sumber dayanya dari lingkungan tersebut baik berupa manusia maupun sumbersumber daya lainnya ; kedua, lembaga tampaknya tidak dapat melaksanakan tugasnya secara ”membuta-tuli” begitu saja melainkan dituntut untuk membuat perhitungan-perhitungan yang realistis yang tidak lain memberikan perhatian terhadap efisiensi kerja lembaga.” Penegakan disini tidak hanya membicarakan dari sudut objeknya saja tetapi juga dari sisi subjeknya. Dari sisi objeknya pengertian penegakan hukum mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam arti luas penegakan hukum mencakup pada nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya, bunyi aturan formal, maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dalam arti sempit penegakan hukum hanya menyangkut penegakan hukum dan peraturan yang formal dan tertulis saja. Dalam penegakan hukum objektif, norma hukum yang hendak ditegakkan mencakup pengertian hukum formal dan hukum material. Hukum formal hanya bersangkutan dengan peraturan perundang-undangan yang tertulis, sedangkan hukum materiil mencakup pengertian nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hukum formal (termasuk hukum beracara) memang benar hanya bersangkutan dengan hukum yang tertulis, tetapi hukum formal juga memerlukan atau mencerminkan nilai-nilai keadilan karena justru hukum formal sebagai pintu gerbang para pencari keadilan untuk mendapatkan haknya; apabila hal ini terlupakan sesungguhnya keadilan sebagai tujuan akan sia-sia saja. Hukum formal hendaknya memberikan hak-hak yang dimiliki para pencari keadilan. UULPM & PUTS kini tengah memasuki arena penegakan hukum dan diharapkan mampu memberikan manfaat bagi masyarakat serta menciptakan efisiensi bagi pelaku usaha yang tentu saja akan membawa kesejahteraan bagi konsumen. Adanya sikap skeptis dapat menjadi
hambatan bagi terwujudnya tujuan yang ingin dicapai UULPM &PUTS ini mengingat ada relevansi yang kuat antara hukum dengan pembangunan ekonomi. Hukum merupakan alat rekyasa sosial yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi suatu bangsa dan negara. Hukum persaingan usaha di Indonesia dapat menjalankan tugasnya sebagai alat rekayasa sosial apabila terdapat keadaan yang cukup kondusif yaitu stabilitas, prediktabilitas, keadilan, pendidikan dan kemampuan aparat penegak hukum. Dengan demikian hukum persaingan usaha mampu menempatkan dirinya tidak saja sebagai alat rekayasa sosial namun juga sebagai tool of economic development. UULPM & PUTS merupakan Undang-Undang yang sarat akan permasalahan ekonomi sehingga untuk memahami UU tersebut membutuhkan tidak saja dalam bidang ilmu hukum namun juga bidang ilmu lain seperti ilmu ekonomi. Selain masalah penguasaan ilmu, adanya integritas dan moral yang kuat dari para penegak hukum di bidang persaingan usaha merupakan dua hal yang menunjang hukum persaingan usaha memainkan peranannya dalam pembangunan ekonomi. Penegak hukum yang dimaksud adalah KPPU, Kepolisian, Kejaksaan, Hakim (Kehakiman). KPPU selaku pengawas atas pelaksanaan UULPM & PUTS memiliki tugas yang maha berat mengingat Undang-Undang ini tergolong baru, sehingga Komisi belum memiliki bekal serta pengalaman yang memadai. Akan tetapi itu bukan merupakan hambatan melainkan sebuah tantangan agar terlaksananya hukum persaingan usaha sesuai dengan tujuannya. KPPU merupakan lembaga negara komplementer (state auxiliary organ) yang mempunyai wewenang berdasarkan UULPM & PUTS untuk melakukan penegakan hukum persaingan usaha. Secara sederhana state auxiliary organ adalah lembaga negara yang dibentuk diluar konstitusi dan merupakan lembaga yang membantu pelaksanaan tugas lembaga negara pokok (Eksekutif, Legilatif dan Yudikatif) yang sering juga disebut dengan lembaga independen semu negara (quasi). Peran sebuah lembaga independen semu negara (quasi) menjadi penting sebagai upaya responsif bagi negara-negara yang tengan transisi dari otoriterisme ke demokrasi menurut sistem Ketatanegaraan perihal status dan kedudukan KKPU sebagai lembaga yang independen. Penegakan hukum dilaksanakan oleh KPPU yang mempunyai kewenangan di bidang penegakan hukum termasuk kewenangannya di bidang penyelidikan alat bukti, penyidikan
dan pemeriksaan perkara. Sanksi yang dikenakan kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan UU LPM & PUTS ini berupa : a.tindakan administratif b. pidana pokok dan c. pidana tambahan Dalam menanggulangi praktek monopoli dan penguasaan pasar, maka pemerintah berdasarkan Pasal 47 UULPM & PUTS dibentuklah suatu lembaga yang disebut dengan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Keberadaan Komisi ini diamanatkan oleh Pasal 30 (1) jo Pasal 34 (1) UULPM & PUTS, telah dibentuk dengan Keputusan Presien Nomor 75 Tahun 1999 yang ditetapkan pada tanggal 8 Juli Tahun 1999. KKPPU dibentuk dengan tugas antara lain untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan UULPM & PUTS yang memuat ketentuan tentang : a. perjanjian yang dilarang b. kegiatan yang dilarang c. posisi dominan d. KPPU dan e.Penegakan hukum (ketentuan sanksi). Ketentuan sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 47 UULPM & PUTS merupakan tindakan administratif yang dijatuhkan kepada pelaku usaha terbukti melanggar ketentuan dalam UULPM & PUTS. Pelanggaran atas hukum persaingan dapat mengakibatkan hilangnya kesejahteraan dari sebagaimana konsumen dan/atau pelaku usaha. Untuk itu, KPPU sebagai lembaga penegakan hukum persaingan, memiliki kewenangan untuk menjatuhkan sanksi tindakan administratif unuk mencegah dan/atau mengembalikan kesejahteraan yang hilang tersebut. KPPU melakukan penelitian dan penyidikan terhadap dugaan telah terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat khususnya mengenai penguasaan pasar berdasarkan laporan dari masyarakat atau pelaku usaha. Penghitungan atas kerugian ekonomis yang ditimbulkan karena pelanggaran ketentuan dalam hukum persaingan memerlukan banyak pertimbangan dan mendasarkan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) merupakan lembaga independen yang memiliki tugas utama untuk menegakkan hukum persaingan
berdasarkan UULPM &PUTS. Dalam
melaksnakan tugas tersebut KPPU diberi wewenang untuk menjatuhkan sanksi tindakan
adiminstratif terhadap para pelaku usaha yang terbukti melanggar hukum persaingan, sanksi pidana pokok dan pidana tambahan. Sebagaimana disadari, setiap pelanggaran hukum persaingan dapat berakibat hukum untuk mencegah dan/atau mengembalikan kesejahteraan yang hilang tersebut. Untuk itu, dalam penjatuhan sanksi tindakan administratif, KPPU perlu mempertimbangkan kerugian ekonomis dari menurunnya kesejahteraan akibat tindakan persaingan tersebut. Penyusunan pedoman sanksi tindakan administratif merupakan bentuk pelaksanaan tugas KPPU sesuai ketentuan Pasal 35 huruf f UULPM & PUTS. Pedoman ini ditujukan untuk memberikan penjelasan pada pihak terkait mengenai pertimbangan KPPU dalam menjatuhkan sanksi tindakan administratif. Pada akhirnya, pedoman ini diharapkan dapat memberi kepastian hukum pada dunia usaha dan meningkatkan rasionalitas pelaku usaha untuk tidak melakukan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Aspek penting yang harus dimiliki oleh KPPU yang bertugas menerapkan hukum persaingan usaha adalah aspek sumber daya manusia, dalam hal ini para anggoata Komisi dan para pegawai sekretariatnya harus memiliki kompetensi yang memadai. Kompetensi diukur dari askpek keterampilan (skill), pengetahuan (knowledge), dan perilaku (attitude). Dengan tingkat kompetensi suatus kepegawaian dari para pegawainya harus jelas. Selain sumber saya manusia, lembaga komisi yang ditugasi untuk menegakkan hukum mengenai persaingan usaha harus mendapatkan sumber pembiayaan yang pasti. Sehingga dalam menjalankan tugasnya tidak terganggu oleh ketidaktersediaan dana, baik dana untuk operasional harian maupun untuk penanganan kasus. Oleh karena itu badan atau komisi yang ditugasi untuk menegakkan aturan persaingan usaha haruslah dapat : 1). menghentikan berbagai praktik usaha masa lalu yang penuh dengan distorsi, 2). mengidentifikasikan masalah dan kebijakan yang mempengaruhi praktek persai-ngan usaha dan dapat memberikan jalan keluar yang adil dan tidak mengganggu mekanisme pasar, 3). membangun
berbagai strategi dan rencana aksi dalam
memasyarakatkan berbagai hal tentang persaingan usaha yang sehat dan 4). harus merdeka dan mandiri (independen) tanpa pengaruh dan campur tangan dari kekuasaan dan kekuatan manapun. Menurut Mustafa Kamal Rokan dalam bukunya berjudul Hukum Persaingan Usaha (Teori dan Praktiknya di Indonesia) mengatakan Hukum persaingan usaha sebenarnya
mengatur tentang pertentangan kepentingan antar pelaku usaha di mana satu pelaku usaha merasa dirugikan oleh tindakan dari pelaku usaha lainnya. Oleh karena itu, hukum persaingan usaha pada dasarnya merupakan sengketa perdata. Lebih dari itu, pelanggaran terdapat hukum persaingan usaha mempunyai unsur-unsur pidana bahkan administrasi. Hal ini disebabkan pelanggaran terhadap hukum persaingan usaha pada akhirnya akan merugikan masyarakat dan merugikan perekenomian negara. Dalam konteks itulah ranah hukum privat menjadi hukum publik” (Mustafa Kamal Rokan, 2010 : 263-264). Selanjutnya Mustafa Kamal Rokan menjelaskan bahwa ”selain penegakan hukum secara perdata, penegakan hukum persaingan usaha dilakukan juga secara pidana. Penegakan hukum persaingan usaha dilakukan oleh para pihak, maka tidak akan menjadi efektif disebabkan tidak adanya alat pemaksa. Oleh karena itu, negara dibutuhkan untuk melakukan pemaksaan dengan sistem perundang-undangan yang dibentuk oleh negara itu sendiri”. Lebih lanjut Mustafa Kamal Rokan menambahkan ”KPPU adalah lembaga yang tepat untuk menyelesaikan persoalan persaingan usaha yang mempunyai peran multifunction dan keahlian sehingga dianggap mampu menyelesaikan dan mempercepat proses penanganan perkara. Sebagaimana amanat UULPM & PUTS, KPPUmempunyai kewenangan yang sangat luas, meliputi wilayah eksekutif, yudikatif, legislatif serta konsultatif. Oleh karena itu, lembaga ini disebut memiliki kewenangan konsultatif, yudikatif, legislatif dan eksekutif. Namun dalam hal menjalankan fungsinya, lembaga ini mempuyai kewenangan yang terkesan tumpang tindih. Sebab dapat bertindak sebagai investigator (investigate function), penyidik, pemeriksa, penuntut (presecuting function), pemutus (adjudication) dan juga fungsi konsultatif (consultative function)”. Penegakan hukum oleh KPPU terhadap larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat cukup lemah. Sebab kedudukan KPPU dalam sistem penegakan hukum Indonesia secara konseptual memiliki kelemahan yang cukup mendasar, mengingat tugas, wewenang dan tatacara penanganan perkara menumpuk di satu organ yaitu KPPU. KPPU menjadi Penyelidik, Penyidik, Penuntut dan Pemutus Perkara (menjadi Hakim) sekaligus. Berdasarkan analisa konsepsional, menunjukkan kedudukan KPPU sesungguhnya dapat dikategorikan sebagai Badan Tata Usaha Negara, anggotanya sebagai Pejabat Tata Usaha Negara, sedangkan tugas dan wewenangnya merupakan tindakan hukum publik (administratif) dan bukan tindakan hukum perdata atau pidana. Hal tersebut berpengaruh pula
pada kekuatan mengikat suatu putusan. Kekuatan mengikat suatu putusan terletak pada diktumnya. Diktum ini hanya mengikat atau berlaku bagi para pihak atau terhukum saja, ini berarti para pihak atau terhukum harus mematuhi dan melaksanakan bunyi diktum tersebut. Diktum dalam putusan KPPU masih belum tegas, karena kedudukan KPPU secara konseptual masih belum jelas apakah sebagai lembaga peradilan ataukah lembaga/Badan Tata Usaha Negara. Hal tersebut berakibat pula pada penegakan hukum oleh KPPU sehubungan larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Lemahnya penegakan hukum ini disebabkan faktor hukumnya, aparat hukumnya, sarana/fasilitas untuk mengawasi perilaku pelaku usaha serta faktor budaya/masyarakat para pelaku usaha dan atau asosiasinya. Menurut Saepudin bahwa ”Hakekat penegakan hukum antara lain : a). menjamin terciptanya kepastian hukum dan kesebandingan hukum, b). menumbuhkan kepercayaan masyarakat kepada sistem hukum yang ada, c). menumbuhkembangkan kepercayaan dan harapan masyarakat terhadap sistem demokrasi di Indonesia, d). mengembalikan kewibawaan hukum di mata masyarakat, e). mengangkat harkat dan martabat bangsa Indoenesia dimata dunia, f). membangun kepemimpinan nasional yang berwibawa”. (Saepudin, 2010 : 2). Lebih lanjut Saepudin menjelaskan bahwa ”prinsip-prinsip penegakan hukum antara lain : a). Adanya landasan hukum yang kuat, b). Adanya pelaksanaan hukum yang proporsional dan profesional, c). Adanya lembaga Peradilan yang independen, d).
Adanya aparatur
penegak hukum yang kredibel, dan visible, professional dan proporsional, e). Adanya sistem hukum yang demokratis”.
BAB V P E N U T U P
A. KESIMPULAN 1. Prinsip Rule of Reason dan Per Se Illegal secara normatif tidak terdapat dalam UULPM & PUTS. Keberadaan kedua prinsip dan pendekatan tersebut merupakan salah satu bentuk adopsi hukum sebagai konsekuensi dari “pencangkokan” terminologi-terminologi hukum persaingan USA (Sherman Act) pada UULPM & UTS. Inisiatif KPPU untuk melakukan identifikasi dengan melakukan penafsiran secara sepihak didasarkan pada pelaksanaan tugas dan wewenang yang diberikan kepada KPPU untuk melakukan penilaian terhadap suatu perbuatan yang dapat menimbulkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Pengklasifikasian tersebut akan mempermudah KPPU dalam menentukan dapat diterapkan prinsip dan pendekatan Rule of Reason atau Per Se Illegal.
2. Tugas KPPU adalah melakukan penilaian apakah telah terjadi perjanjian-perjanjian yang dilarang dan kegiatan usaha yang dilarang, jika komisi menilai telah terjadi perjanjian yang dilarang, maka komisi dapat menggunakan wewenangnya untuk memerintahkan penghentian perjanjian-perjanjian tersebut dan kegiatan-kegiatan usaha yang dilarang terse but. Tata cara penanganan perkara oleh KPPU dengan deskripsi penanganannya ditingkat KPPU antara lain : a). Pemeriksaan
Pendahuluan, b) Pemeriksaan Lanjutan, c).
Perpanjangan waktu pemeriksaan lanjutan, d). Putusan ada tidaknya pelanggaran, e). penyampaian putusan, f). Pelaksanaan Putusan KPPU. Selanjutnya Tata cara penanganan perkara ditingkat Kasasi antara lain : a). Pengajuan Keberatan ke Pengadilan Negeri, b). Pemeriksaan Atas Keberatan, c). Putusan Atas Keberatan oleh Hakim PN, d). Kasasi ke Mahkamah Agung, e). Putusan Kasasi oleh Mahkamah Agung. Sanksi-sanksi yang dapat diajatuhkan menurut UULPM & PUTS antara lain : a). Sanksi/Tindakan administrasi (Pasal 47 atay 2 UULPM & PUTS), b). Sanksi/Tindakan pidana Pokok (Pasal 48 UULPM & PUTS), c). Sanksi/Tindakan Pidana Tambahan (Pasal 49 UULPM & PUTS). Apabila ada pihak yang ingin mengajukan gugatan perdata biasa, maka dapat dilakukan gugatan berdasarkan perbuatan melawan hukum (onrechtmatigdaad) sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KHU Perdata atau Gugatan Wanprestasi.
3. Apabila diteliti lebih jauh ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UULPM & PUTS), ternyata Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sebagai lembaga yang paling bertanggung jawab melaksanakan UULPM & PUTS ini tidak memilik kewenangan untuk menjatuhkan sanksi pidana. Sanksi pidana menurut UULPM & PUTS ini merupakan tugas dan kewenangan jurisdiksi peradilan umum melalui pengadilan negeri setempat. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) hanya memunyai tugas dan wewenang memberikan sanksi adiministatif saja.
4. Penegakan hukum itu kurang lebih merupakan upaya yang dilakukan untuk menjadikan hukum, baik dalam artian formil yang sempit maupun dalam arti materil yang luas, sebagai pedoman perilaku dalam setiap perbuatan hukum baik oleh para subjek hukum yang bersangkutan maupun oleh aparatur penegak hukum yang resmi diberi tugas dan kewenangan oleh undang-undang untuk menjamin berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
5. Penegakan hukum oleh KPPU terhadap larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat cukup lemah. Sebab kedudukan KPPU dalam sistem penegakan hukum Indonesia secara konseptual memiliki kelemahan yang cukup mendasar, mengingat tugas, wewenang dan tatacara penanganan perkara menumpuk di satu organ yaitu KPPU. KPPU menjadi Penyelidik, Penyidik, Penuntut dan Pemutus Perkara (menjadi Hakim) sekaligus. Berdasarkan analisa konsepsional, menunjukkan kedudukan KPPU sesungguhnya dapat dikategorikan sebagai Badan Tata Usaha Negara, anggotanya sebagai Pejabat Tata Usaha Negara, sedangkan tugas dan wewenangnya merupakan tindakan hukum publik (administratif) dan bukan tindakan hukum perdata atau pidana. Hal tersebut berpengaruh pula pada kekuatan mengikat suatu putusan. Kekuatan mengikat suatu putusan terletak pada diktumnya. Diktum ini hanya mengikat atau berlaku bagi para pihak atau terhukum saja, ini berarti para pihak atau terhukum harus mematuhi dan melaksanakan bunyi diktum tersebut. Diktum dalam putusan KPPU masih belum tegas, karena kedudukan KPPU secara konseptual masih belum jelas apakah sebagai lembaga peradilan ataukah lembaga/Badan Tata Usaha Negara. Hal tersebut berakibat pula pada penegakan hukum oleh KPPU
sehubungan larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Lemahnya penegakan hukum ini disebabkan faktor hukumnya, aparat hukumnya, sarana/fasilitas untuk mengawasi perilaku pelaku usaha serta faktor budaya/masyarakat para pelaku usaha dan atau asosiasinya.
B. SARAN-SARAN : 1. Setelah mekanisme pasar berjalan dengan baik begitu juga dengan persaingan usahanya yang dilakukan oleh pelaku usaha, KPPU sebagai lembaga yang bertugas mengawasi jalannya persaingan usaha tersebut harus meningkatkan
kemampuannya secara
kelembagaan untuk mengawasi perilaku anti persaingan, seperti praktek monopoli, persaingan usaha, kartel, kesepakatan harga dan lain-lain baik di tingkat pusat (nasional) maupun ditingkat daerah. Selain juga juga tentunya mengawasi peraturan pemerintah pusat atau daerah yang memberikan peluang perusahaan melakukan tindakan anti persaingan seperti tata niaga yang memberikan hak monpoli/monopsoni.
2. Peraturan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat mengandung sejumlah kelemahan, baik yang mengatur substansi praktek monopoli dan persaingan usaha maupun di dalam mengatur acara pemeriksaan persidangannya (hukum acara yang hendak diterapkan). Sebagai konsekuensi, UULPM & PUTS ini memerlukan review kembali demi penyempurnaan kedepan secara komprehensif. Disamping itu kebijakan anti monopoli dan persaingan usaha tidak sedikit kebijakan pemerintah yang bersifat anti persaingan. Pada gilirannya, kebijakan-kebijakan tersebut menjadi kendala bagi terwujudnya iklim persaingan usaha yang sehat. Guna menyelesaikan masalah ini diperlukan proses harmonisasi kebijakan yang melibatkan berbagai pihak atau instansi terkait yang bertugas dan berwenangan melakukan penegakan hukum .
3. Perlu dengan segera dilakukan revisi terhadap UULPM & PUTS mengenai tugas dan wewe nang KPPU dalam hal penyelidikan, penyidikan, penuntutan, hukum acara persidangan serta pelaksanaan eksekusi, sehingga tidak menumpuk pada satu organ saja. Perlu dibentuk Peradilan Anti Monopoli dan persaingan Usaha sebagai peradilan khusus yang menangani perkara persaingan usaha serta meningkatkan status KPPU sebagai sebuah Komisi yang
bertugas melakukan pengawasan terhadap jalannya UULPM & PUTS yang terbatas pada tindakan menyelidik, menilai dan menetapkan tentang ada tidaknya pelanggaran terhadap UULPM & PUTS. Kemudian hasil kerjanya itu dilaporkan/diajukan kepada Pengadilan Anti Monopoli.
4. Penegakan Hukum yang dilakukan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) tidak terlepas dari sistem hukum yang berlaku di Indonesia. Peran ini telah dilaksanakan oleh KPPU, mulai dari penerimaan laporan, penelitian, penyidikan sampai dengan memberi kan putusan yang mengikat secara hukum. Namun dalam pelaksanaannya tugas dan wewenang KPPU ini masih mendapat hambatan karena pengaturan yang tidak jelas dan rancu, antara lain kurang rincinya mengatur penyelesian kesepakatan harga dan lain-lain baik sengketa/perkara pelanggaran hukum dan perangkat peraturan perundang-undangan yang berlaku, tidak diatur dengan jelasa dan tegas prosedur beracara tentang perkara persaingan usaha dan tidak konsistennya peran lembaga peradilan dalam menangani keberatan terhadap putusan KPPU. Implikasinya, dalam praktek Penegakan Hukum dan perangkat peraturan perundang-undangan yang berlaku tentang praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat terjadi penafisran beraneka ragam dan berbeda-beda terutama dalam proses lanjutan penanganan perkara.
5. Berbagai hambatan dalam Penegakan Hukum Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang dilakukan oleh KPPU telah mengakibatkan kinerja KPPU menjadi tidak dapat berjalan dengan baik dan optimal. Dan oleh karenanya dibutuhkan kemitraan dengan tugas aparat penegak hukum yang lain yaitu kejaksaan, kepolisian, hakim dan pengacara/pe nasehat hukum/advokad. Beberapa peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat selaku sumber hukum utama belum diterbitkan secara rinci, jelas dan tegas. Disamping itu beberapa peraturan teknisnya yang terkait dengan Penegakan Hukum juga belum lengkap dan memadai.
DAFTAR PUSTAKA I. Buku : 1. Abdulkadir Muhammad,
2010, Pengantar Hukum Perusahaan Indonesia, Cetakan Ke IV, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
2. Abdurrahman A,
1991, Ensiklopedia Ekonomi Keuangan dan Perdaga ngan, Penerbit PT. Pradnya Paramita, Jakarta.
3. Abdul Hakim G. Nusantara & Benny K. Harman,
4. Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja,
1999, Analisa dan Perbandingan Undang–UndangAn timonopoli (Undang–Undang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat) Di Indonesia, Cetakan Pertama, Penerbit PT.Elex Media Komputindo, Jakarta.
2006, Seri Hukum Bisnis. Anti Monopoli, Penerbit PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
5. Andi Fahmi, dkk,
2001, Hukum Persaingan Usaha AntaraTeks & Konteks, Penerbit.................................., ....................
6. Sanusi Bintang dan Dahlan,
2000, Pokok - Pokok Hukum Ekonomi dan Bisnis, Cetakan Ke I, Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung.
7. Gunawan Widjaja,
2001, Seri Hukum Bisnis. Alternatif Penyelesaian Sengketa, Cetakan Pertama, Penerbit PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
8. ----------------------------------,
2002, Seri Hukum Bisnis. Merger Dalam Perspektif Monopoli, Cetakan Pertama, Penerbit PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
9. -----------------------------------,
2003, Seri Hukum Bisnis.LISENSI,Cetakan Kedua, Pe nerbit PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
10. Insan Budi Maulana,
11. Johnny Ibrahim,
2000, Catatan Singkat Undang-Undang No.5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Cetakan Ke I, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. 2007, Hukum Persaingan Usaha. Filosofi, Teori dan Implikasi Penerapannya di Indonesia,Cetakan Kedua , April 2007, Penerbit Bayumedia Publishing, Malang.
12. Munir Fuady,
1993, Hukum Bisnis. Dalam Teori Dan Praktek. Buku Kesatu, Cetakan Ke I, Penerbit PT. Citra Aditya Bak ti, Bandung.
13. -----------------------------------,
1994, Hukum Bisnis. Dalam Teori Dan Praktek. Bu ku Kedua, Cetakan I, Penerbit PT. Citra Aditya, Bandung.
14. -----------------------------------,
1996, Hukum Bisnis. Dalam Teori Dan Praktek. Buku Ketiga, Cetakan I, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
15. ----------------------------------,
2003, Hukum Anti Monopoli. Menyongsong Era Persaingan Sehat, Cetakan Ke II, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
16. Mustafa Kamal Rokan,
2010, Hukum Persaingan Usaha (Teori dan Praktek nya di Indonesia), Cetakan ke 1, PT.RajaGrafindo Perda, Jakarta
17. Rachmadi Usman,
2004, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, Cetakan I, Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
18. Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Perlindungan Konsumen, Larangan Praktek Monopoli Dan Hak Cipta, Hak Paten serta Hak Merek,
2001, Edisi 2001, Penerbit Restu Agung, Jakarta.
II. Peraturan : 1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP/WvS), Pasal 382 Bis 2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata/BW), Pasal 1365 3. Undang-Undang No. 11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan (U mum), Pasal 5 4. Undang_Undang No. 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman RI, Pasal 14 5. Undang_undang No. 8 Tahun 1971 Tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bu mi, Pasal 11
6. Undang_undang No. 5 Tahun 1984 Tentang Perindustrian, Pasal 7 dan Pasal 12 7. Undang-Undang No. 15 Tahun 1985 Tentang Ketenagalistrikan, Pasal 7. 8. Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal, Pasal 4, 7 (1), 10, 14 (1) dan (2), Pasal 35-42 9. Undang-Undang No. 9 Tahun 1995 Tentang Usaha Kecil, Pasal 6 dan 8 10. Undang-Undang No 14 Tahun 1997 Tentang Merek, Pasal 81 dan Pasal 82 11. Undang-Undang No.32 Tahun1997 Tentang Perdagangan Berjangka Komoditi, Pasal 5, 16, 57 12. Undang-Undang No 10 tahun 1998 Tentang Perbankan, Pasal 10, 11, 16, 28 13. Undang –UndangNo.5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Disahkan dan Diundangkan tgl 5 Maret 1999, LNRI Nomor 33 Tahun 19 99, TLNRI Nomor 3817. 14. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 7, 18 15. Undang-Undang No. 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi, Pasal 17 (1), dan (3), 20 16. Undang-Undang No.36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi, Pasal 10, 61 (1) dan (2). 17. Undang-Undang No.40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, Pasal 102-109 18. Peraturan Pemerintah No.70 Tahun 1992 Tentang Bank Umum, Pasal 15 ayat 1 19. Peraturan Pemerintah No. 73 Tahun 1992 Tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian, Pasal 36 20. Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 1996 Tentang Bea Masuk Antidumping Dan Bea Masuk Imbalan, Pasal 1 (11) 21. Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1998 Tentang Penggabungan, Peleburan dan Pengambilalihan Perusahaan, Pasal 4 22. Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2010 Tentang Penggabungan, Atau Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham Perusahaan Yang Dapat Mengakibatkan Terjadinya Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Disahkan dan Diundangkan tgl 20 Juli 2010, LNRI Nomor 89 Tahun 2010, TLNRI Nomor 5144. 23. Keppres No.75 Tahun 1999 Tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Disah-
kan dan Diundangkan pada Tanggal 08 Juli 1999. 24. Keppres No.162/M Tahun 2000 Tentang Pengangkatan Anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Periode 2000-2005. 25. Keputusan Menteri Keuangan No. 222/KMK.017/1993 Tentang Persyaratan dan Tata cara Merger, Konsolidasi dan Akuisisi Bank, Pasal 17
III. Disertasi, Tesis, Skripsi, Makalah, Karya Ilmiah, Bulletin, Majalah, Media Cetak/Elek tronik, Internet : 1. Agung Yuriandi, 2009, Undang-Undang No.5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Ditinjau Dari Beberapa Perspektif Teori, file:///K:/Agung%20Yuriandi,% SH.htm, 26 Januari 2009 2. Alfa Aprias, 2010, Ringkasan Hukum Anti Monopoli dan Persaingan Usaha, http://campideal.wordpress.com/2010/08/16/ringkasan-hukum-anti-monpoli-danpersaingan-usaha, 16 Agustus 2010 3. Benny Pasaribu, 2009, Jurnal Persaingan Usaha, Jurnal Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Edisi 2 Tahun 2009, Cetakan Pertama, Nopember 2009, www.kppu.go.id,email
[email protected], hal 6-8. 4. Cenuk Widiyastrisna Sayekti, 2011, Hukum Persaingan Usaha dan Pembangunan Ekonomi di Indonesian, http://saepudinonline.wordpress.com/2011/04/15/hukumpersaingan-usaha dan pembangunan ekonomi di Indonesia, 15 April 2011, hal 1-2. 5. Ditha Wiradiputra, 2010 Mengkaji Efektifitas Implementasi Hukum Persaingan Usaha Terhadap Industri Ritel, http://infohukum kita.wordpress com/2010/06/08/ mengkaji - efektifitas-implementasi-hukum-persaingan-usaha-terhadap-industri-ritel, 8 Juni 2010 6. Fauzi, 2010, http://fauzygallerycalligraphy.wordpress.com/2010/02/19/persainganusaha-dan pembangunan-ekonomi-makro, 19 Februari 2010. 7. I Made Sarjana, Penegakan Hukum Persaingan Usaha Dalam Sistem Peradilan Di Indonesia, fh:wisnuwardhana ac.id, index.php.htm, Rabu, 19 Mei 2010 8. Kelik Pramudy, 2008, file:///f:/anti-monopoli--dan-persaingan-usaha.html, Senin, 04 Augutus 2008. 9. Lintang Asmara, 2011, hal 1, file://E/BAB 10, 16 Mei 2011, ANTI MONOPOLI DAN PERSAINGAN TIDAK SEHAT. 10. Pandu Soetjitro, 2007, Praktek Monopoli Di Indonesia Pra dan Pasca Undang-Un-
dang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Tesis), Program Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Univeritas Diponegoro, Semarang. 11. Raha, 2011, Makalah tentang Hukum Persaingan Usaha, http://rahax.bogspot.com/2011/05/02/makalah-hukum-persaingan-usaha.html, Senin, 02 Mei 2011, hal.1 12. Saiful Akbar, 2011, Kedudukan Hukum Persaingan Usaha Dalam Sistem Hukum Indonesia,akbarsaiful.wordpress.com/kedudukan-hukum-persaingan-usaha. Tembo lok, 22 Juli 2011. 13. Saepudin, 2010, Pengantar Hukum Bisnis, http://saepudinonline.wordpress.com.2, 4 Oktober 2010 14. Syamsul Maarif dan B.C. Rikrik Rizkiyana, Posisi Hukum Persaingan Usaha Dalam Sistem Hukum Nasional, http://www.kppu.go.id/docs/makalah/persainganusaha.pdf, Maret 2004. 15. Teguh Sulistia, 2010, Hukum Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Dalam Ekonomi Pasar Bebas, http://www.kppu.go.id/docs/kompetisi/kompetisi 9 pdf, 08 Mei 2010