Penunjukan Langsung Pengadaan Barang dan/atau Jasa Pemerintah Dalam Perspektif Hukum Persaingan Usaha
Rizal Rustam
Abstrak Penelitian ini membahas mengenai pengadaan barang dan/atau jasa pemerintah dengan metode penunjukan langsung. Metode penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Metode penunjukan langsung pengadaan barang/jasa dilakukan dengan mengundang satu penyedia barang/jasa untuk memasukkan proposal penawaran, tanpa pengumuman informasi pengadaan dan juga tanpa adanya seleksi penyedia barang/jasa. Tidak ada persaingan dan tidak ada penentuan atau penunjukan pemenang. Pengadaan barang dan/atau jasa pemerintah dengan metode penunjukan langsung berpotensi melanggar Prinsipprinsip persaingan usaha yang sehat dan melanggar Pasal 19 huruf a dan huruf d (perilaku menghambat dan praktek diskriminasi), dan Pasal 22 (larangan persekongkolan tender) UU No. 5/1999. Kata kunci: Pengadaan barang pemerintah, penunjukan langsung, persaingan usaha
Pendahuluan Pertumbuhan ekonomi yang semakin cepat menjadi tuntutan bagi sebuah negara untuk merespon dan mengatur prilaku pasar dan prilaku para pelaku usaha yang dari waktu ke waktu bertambah ketat terutama dalam memperoleh peluang pasar. Sebagai akibat dari bertambah ketatnya persaingan, Pemerintah diharuskan untuk mengantisipasi dampak yang kurang menguntungkan bagi pelaku usaha dengan membuat kebijakan yang mencegah terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat. Setiap kebijakan dari Pemerintah mengenai ekonomi, harus mengedepankan
demokrasi ekonomi1 dan Tap MPR Nomor IV/MPR/1973 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara telah mengamanatkan bahwa dalam demokrasi ekonomi harus dihindarkan monopoli yang merugikan masyarakat.2 Dalam aktivitas bisnis dapat dipastikan terjadi persaingan (competition) di antara pelaku usaha. Pelaku usaha akan berusaha menciptakan, mengemas, serta memasarkan produk yang dimiliki baik barang/jasa sebaik mungkin agar diminati dan dibeli oleh konsumen. Persaingan dalam usaha dapat berimplikasi positif, sebaliknya juga dapat menjadi negatif jika dijalankan dengan prilaku negatif dan sistem ekonomi yang menyebabkan tidak kompetitif.3 Dari sisi manfaat, persaingan dalam dunia usaha adalah cara yang efektif untuk mencapai pendayagunaan secara optimal. Dengan adanya rivalitas akan cenderung menekan ongkos-ongkos produksi sehingga harga menjadi lebih rendah serta kualitasnya semakin meningkat. Bahkan lebih dari itu persaingan usaha dapat menjadi landasan fundamental bagi kinerja di atas rata-rata untuk jangka panjang dan dinamakannya keunggulan bersaing yang lestari (sustainable competitive advantage) yang dapat diperoleh melalui tiga strategi generic, yakni keunggulan biaya, diferensiasi, dan focus biaya.4
1
Demokrasi ekonomi terkait erat dengan pengertian kedaulatan rakyat di bidang ekonomi. Istilah kedaulatan rakyat itu sendiri biasa dikembangkan oleh para ilmuwan sebagai konsep filsafat hukum dan filsafat politik. Sebagai istilah, kedaulatan rakyat itu lebih sering digunakan dalam studi ilmu hukum daripada istilah demokrasi yang biasa dipakai dalam ilmu politik. Namun, pengertian teknis keduanya sama saja, yaitu sama-sama berkaitan dengan prinsip kekuasaan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Gagasan demokrasi ekonomi tercantum eksplisit dalam konstitusi sebagai hukum tertinggi di negara kita. UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memang mengandung gagasan demokrasi politik dan sekaligus demokrasi ekonomi. Artinya, dalam pemegang kekuasaan tertinggi di negara kita adalah rakyat, baik di bidang politik maupun ekonomi. Seluruh sumber daya politik dan ekonomi dikuasai oleh rakyat yang berdaulat. Jimly Asshiddiqie, “Demokrasi Ekonomi,” http://www.jimly.com/makalah/namafile/60/Demokrasi_Ekonomi.pdf, diunduh 7 Oktober 2014. 2 A.M. Tri Anggraini, Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat; Perse Illegal atau Rule of Reason, (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003), hal. 1. 3 Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha Teori dan Praktiknya di Indonesia, (Jakarta: RajaGrafindo, 2010), hal. 8. 4 Jhony Ibrahim, Hukum Persaingan Usaha; Filosofi, Teori dan Implikasi Penerapannya di Indonesia, (Malang: Bayu Media, 2006), hal. 102-103.
Namun di dalam kompetisi para pelaku usaha, jika tidak dikontrol oleh negara dapat menimbulkan kecurangan-kecurangan yang dapat mengakibatkan persaingan usaha yang tidak sehat. Usaha untuk mengatur persaingan sudah dimulai dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian, yang menyebutkan perlunya pengaturan, pembinaan, dan pengembangan industri oleh pemerintah, yang bertujuan antara lain adalah untuk mengembangkan persaingan yang baik dan sehat, mencegah persaingan tidak jujur, serta pemusatan atau penguasaan industri oleh satu kelompok atau perorangan dalam bentuk monopoli yang merugikan masyarakat.5 Jaminan terhadap persaingan usaha tidak sehat kemudian diberikan oleh negara dengan diterbitkannya UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Tujuan pembentukan UU No. 5 Tahun 1999 secara umum bertujuan untuk menjaga iklim persaingan usaha yang sehat antara sesama pelaku usaha dan mencegah praktek monopoli. Sehubungan dengan adanya indikasi praktek-praktek monopoli, terdapat pula suatu anggapan yang menyatakan bahwa hal tersebut dapat menimbulkan dampak yang tidak baik terhadap birokrasi di lingkungan pemerintahan, karena di dalamnya ada tersembunyi korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan untuk melindunginya. Pernyataan tersebut mengandung suatu makna, bahwa di balik usaha-usaha praktek monopoli terdapat suatu kerjasama yang tidak dapat “dibuka” antara kelompok bisnis swasta dan birokrat yang memiliki kepentingan-kepentingan ekonomi.6 Untuk menjalankan pemerintahan, negara membutuhkan barang/jasa untuk memudahkannya aktifitas pemerintahan dalam melayani masyarakat. Dalam perspektif ekonomi, ketika negara membutuhkan barang/jasa, negara dipandang sebagai pelaku ekonomi yaitu konsumen. Oleh sebab itu negara memerlukan aturan yang mengatur tentang perilakunya sendiri sebagai pelaku konsumsi barang/jasa dalam Peraturan Presiden tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. 5
Indonesia, Undang-Undang Perindustrian, UU No. 5 Tahun 1984, Ps. 5, lihat A.M. Tri Anggraini, Op.Cit., hal. 1. 6 “Undang-Undang Antimonopoli Tetap Diperlukan”, Sinar Harapan, 24 Desember 1984 lihat A.M. Tri Anggraini, Ibid., hal. 4.
Peraturan
Presiden
tentang
Pengadaan
Barang/Jasa
Pemerintah
ini
dimaksudkan untuk memberikan pedoman pengaturan mengenai tata cara Pengadaan Barang/Jasa yang sederhana, jelas dan komprehensif, sesuai dengan tata kelola yang baik.7 Pengaturan mengenai tata cara Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dalam Peraturan Presiden ini diharapkan dapat meningkatkan iklim investasi yang kondusif, efisiensi belanja negara, dan percepatan pelaksanaan APBN/APBD.8 Semua kegiatan pemerintah selalu membutuhkan pembiayaan, oleh karena itu anggaran belanja negara disusun untuk mencerminkan pola-pola kebijakan, prioritasprioritas dan program-program pembangunan untuk setiap tahun anggaran.9 Begitupun dengan kegiatan pemerintah dalam pengadaan barang/jasa, dalam setiap tahun anggaran, sebahagiannya dialokasikan untuk anggaran pengadaan barang/jasa pemerintah. Dalam lingkup pengadaan barang/jasa pemerintah sangat dimungkinkan terjadinya persekongkolan sehingga menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat. Persekongkolan yang dimaksud disini bukan perekongkolan antara pelaku usaha dengan pelaku usaha yang lain, tetapi persekongkolan antara Pemerintah dengan pelaku usaha sebagai penyedia barang/jasa. Pada intinya, dengan terjadinya persekongkolan antara pemerintah dan pelaku usaha akan menghilangkan persaingan antar pelaku usaha. Tentu saja persekongkolan dalam hal pengadaan barang/jasa pemerintah tidak sejalan dengan tujuan pembentukan UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Apalagi yang melakukan persekongkolan adalah instansi pemerintah yang tidak lain merupakan wajah dari pemerintah yang seharusnya memberikan contoh dalam hal penegakan Undang-Undang.
7
Presiden, Peraturan Presiden tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Perpres No. 54 Tahun 2010., bagian penjelasan umum. 8 Ibid. 9 M. Suparmoko, keuangan Negara Dalam Teori dan Praktik Edisi Keenam, Cet.3, (Yogyakarta: BPFE Yogyakarta, 2013), hal. 98-99.
Persekongkolan tentu saja tidak mungkin terjadi hanya pada satu pihak saja. Jika persekongkolan terjadi pada pengadaan barang/jasa pemerintah, tentu saja yang bersekongkol adalah antara pelaku usaha sebagai penyedia barang/jasa dan pemerintah, dalam hal ini pejabat instansi pemerintahan yang berwenang dalam hal pengadaan
barang/jasa
pemerintah.
Jika
persekongkolan
dalam
pengadaan
barang/jasa pemerintah benar terjadi, maka akan sangat kontradiksi antara pernyataan negara dalam bentuk Undang-Undang No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dengan prilaku pejabat pemerintahan yang dalam hal ini sebagai wajah dari pemerintah itu sendiri. Selain dari kontradiksinya antara pernyataan dengan tindakan pemerintah, persekongkolan ini juga menimbulkan kerugian masyarakat dengan
tidak adanya kepastian peluang
dalam bersaing secara sehat antarpelaku usaha. Pada proses pengadaan barang/jasa pemerintah dimungkinkan dilakukan dengan cara penunjukan langsung sebagai salah satu metode pemilihan.10 Kecurigaan yang kemudian muncul adalah, jika pengadaan barang/jasa yang harus melewati proses lelang saja masih dimungkinkan adanya potensi terjadinya persekongkolan tender, apalagi dengan proses penunjukan langsung terhadap pengadaan barang/jasa pemerintah. Meskipun jumlah nominal pagu anggaran pengadaan barang/jasa telah dibatasi, namun dalam hal ini jika terjadi persekongkolan dalam penunjukan langsung tetap saja dapat menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat. Karena dimungkinkan pelaku usaha yang ditunjuk langsung dalam proses pengadaan langsung ini bisa saja memiliki kedekatan kekerabatan atau bahkan hubungan keluarga dengan pejabat yang memiliki kewenangan dalam proses pengadaan barang/jasa tersebut atau penunjukan langsung bisa terjadi karena adanya faktor lain. Uraian di atas menjadi alasan untuk mengemukakan beberapa permasalahan, yakni: 10
Penunjukan Langsung adalah metode pemilihan Penyedia Barang/Jasa dengan cara menunjuk langsung 1 (satu) Penyedia Barang/Jasa. Presiden, Peraturan Presiden tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Perpres No. 70 Tahun 2012., Ps.1 Ayat 31.
1. Bagaimana landasan teori pengadaan barang/jasa pemerintah? 2. Bagaimana proses penunjukan langsung pengadaan barang/jasa pemerintah? 3. Bagaimana Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dengan cara penunjukan langsung yang dianggap melanggar prinsip-prinsip persaingan usaha sehat? Tinjauan Literatur Untuk membahas mengenai proses pengadaan barang/jasa pemerintah dalam perspektif persaingan usaha, penulis menggunakan 3 (tiga) teori yang dapat menciptakan persaingan usaha yang sehat, yaitu: 1.
Negara Kesejahteraan (welfare state) Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah
Konstitusi Negara Kesejahteraan atau ‘welfare constitution’.11 Jika membaca UUD Negara Republik Indonesia ” ... untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial....” kita dapat memahami bahwa Indonesia diarahkan untuk menjadi negara yang sejahtera (welfare state). Walfare state atau yang lazim disebut sebagai negara sejahtera merupakan gagasan ideal bagaimana suatu negara diberikan campur tangan yang besar untuk menyejahterakan warga negaranya. Welfare State sendiri merupakan respon terhadap konsep nacht-wachter staat (night watchman state, negara penjaga malam). Pada negara penjaga malam, karakter dasarnya adalah kebebasan (liberalism), yang berkembang pada abad pertengahan hingga abad ke-18, terutama karena dorongan paham tentang Invisible Hands yang 11
UUD 1945 adalah konstitusi yang membebaskan rakyat Indonesia dari segala bentuk penjajahan dan mempersatukan bangsa Indonesia dalam ikatan persatuan dalam keragaman atau ‘Bhinneka-Tunggal-Ika’ (Unity in Diversity). Kebebasan dan persatuan atau kerukunan hidup bersama itu tidak lain kita butuhkan untuk mewujudkan cita-cita keadilan sosial atau keadilan dan kemakmuran yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia sebagai cermin kemajuan dan ketinggian peradaban bangsa di masa depan.
termuat dalam buku Adam Smith dan David Ricardo berjudul The Wealth of Nations: An Inquiry into the Nature and Causes (1766). Teori Invisible Hand Adam Smith menghendaki akan minimnya peran serta negara dalam interaksi ekonomi. Teori tersebut pada dasarnya menyatakan jika setiap individu diberikan kebebasan untuk mengembangkan modal yang dimilikinya tanpa adanya campur tangan negara, maka ia akan mampu mewujudkan kesejahteraan dilingkungan sekitarnya.12 Pemerintah tidak memiliki hak untuk menggunakan monopoli memaksakan atau mengatur hubungan atau transaksi antar warga negara. Dengan kata lain, pemerintah lebih mengedepankan pendekatan laissez faire13 dalam menciptakan kesejahteraan. 2.
Demokrasi Ekonomi Demokrasi ekonomi terkait erat dengan pengertian kedaulatan rakyat di
bidang ekonomi. Istilah kedaulatan rakyat itu sendiri biasa dikembangkan oleh para ilmuwan sebagai konsep filsafat hukum dan filsafat politik. Sebagai istilah, kedaulatan rakyat itu lebih sering digunakan dalam studi ilmu hukum daripada istilah demokrasi yang biasa dipakai dalam ilmu politik. Namun, pengertian teknis keduanya sama saja, yaitu sama-sama berkaitan dengan prinsip kekuasaan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.14 Dalam gagasan kedaulatan rakyat di bidang ekonomi itu terkandung pengertian bahwa ide kekuasaan tertinggi yang berada di tangan rakyat mencakup tidak saja dalam lapangan politik, tetapi juga perekonomian. Artinya, rakyat suatu negara berdaulat yang menganut paham kedaulatan rakyat berhak sepenuhnya atas sumber-sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran mereka sendiri.15 Gagasan demokrasi ekonomi tercantum eksplisit dalam konstitusi sebagai hukum tertinggi di negara kita. UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 12 Suherman Rosydi, Pengantar Teori Ekonomi: pendekatan Kepada Teori Ekonomi Mikro Dan Teori Ekonomi Makro, (Jakrata: Raja Grafindo Persada, 1998), hal. 16-17 13 Laissez Passer artinya segala kegiatan ekonomi diserahkan ke pasar, adanya kebebasan dalam kegiatan ekonomi dan campur tangan pemerintah sangat minim. 14 Jimly Asshiddiqie, “Demokrasi Ekonomi,” http://www.jimly.com/makalah/namafile/60/Demokrasi_Ekonomi.pdf, diunduh 7 Oktober 2014. 15 Ibid.
memang mengandung gagasan demokrasi politik dan sekaligus demokrasi ekonomi. Artinya, dalam pemegang kekuasaan tertinggi di negara kita adalah rakyat, baik di bidang politik maupun ekonomi.16 3.
Prinsip Persaingan Usaha Yang Sehat Adanya persaingan tersebut mengakibatkan lahirnya perusahaan-perusahaan
yang secara naluriah ingin mengalahkan pesaing-pesaingnya agar menjadi yang paling besar, paling hebat dan paling kaya. Munculnya persaingan menjadikan setiap pelaku pasar dituntut untuk terus menemukan metode produksi yang baru untuk memperbaiki kualitas dan harga barang maupun jasa yang dihasilkannya, sehingga terciptalah efisiensi ekonomi, yang berarti pelaku usaha dapat menjual barang dengan harga yang wajar. Hukum persaingan diciptakan dalam rangka mendukung terbentuknya sistem ekonomi pasar, agar persaingan antar pelaku usaha dapat tetap hidup dan berlangsung secara sehat, sehingga konsumen dapat terlindungi dari ajang ekploitasi bisnis. Di Indonesia hukum anti monopoli diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang larangan prakek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Undang-undang ini merupakan pengaturan secara khusus dan komprehensif yang berkaitan dengan persaingan antar pelaku usaha. Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat secara garis besar mengatur dua hal, yakni larangan praktik monopoli dan persaingan tidak sehat. Keduanya, (praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat) adalah dua hal yang berbeda.17 Persaingan usaha tidak sehat dapat dipahami sebagai kondisi persaingan di antara pelaku usaha yang berjalan secara tidak fair. UU No. 5 Tahun 1999 memberikan tiga indicator untuk menyatakan terjadinya persaingan usaha tidak sehat, yaitu:18 16
Ibid. Mustafa Kamal Rokan, Op.Cit., hal. 14 18 Ibid., hal. 17 17
1.
Persaingan usaha yang dilakukan secara tidak jujur;
2.
Persaingan usaha yang dilakukan dengan cara melawan hukum; dan
3.
Persaingan usaha yang dilakukan dengan cara menghambat terjadinya persaingan di antara pelaku usaha. Persaingan usaha yang dilakukan secara tidak jujur dapat dilihat dari cara
pelaku usaha dalam bersaing dengan pelaku usaha yang lain. Persaingan usaha yang dilakukan dengan cara melawan hukum dapat dilihat dari cara pelaku usaha dalam bersaing dengan pelaku usaha yang lain dengan melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.19 Metode penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yaitu penelitian hukum yang berbasis atau mengacu pada kaidahkaidah atau norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang bersifat preskriptif yang artinya penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan saran-saran mengenai apa yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah tersebut.20 Dikatakan merupakan penelitian normatif dikarenakan penelitian hukum dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka.21
Hasil dan Analisis Dalam menjamin kesejahteraan rakyatnya, pemerintah berperan dalam mengatur dan menciptakan kegiatan ekonomi yang sehat dengan membuat peraturan perundang-undangan. Langkah pemerintah dalam mengundang-udangkan peraturan yang melarang praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat harus dipandang sebagai upaya pemerintah dalam menyejahterakan rakyatnya. Karena dampak negatif dari liberalism pasar yang terjadi pada periode nachtwachtersstaat (negara sebagai penjaga malam) adalah pemusatan titik-titik ekonomi hanya pada pelaku usaha
19
Ibid. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, ( Jakarta: UI Press, 1986), hal. 10. 21 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, ed. 1, cet. 15, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013), hal. 13 20
tertentu yang memiliki kekuatan baik itu dari segi modal maupun politik. Sehingga menciptakan kapitalisme pasar yang berujung pada monopoli pasar. Selain dampak negatif tersebut, pelaku usaha yang memiliki kekuatan, pasti akan berusaha untuk menyingkirkan pelaku usaha-pelaku usaha yang dianggapnya sebagai saingan dengan cara yang tidak sehat. Usaha untuk menyingkirkan saingan inilah yang dimaksud dengan persaingan usaha yang tidak sehat yang kemudian akan berdampak pada matinya para pelaku usaha kecil karena tidak memiliki kekuatan untuk bersaing dengan pelaku usaha yang besar. Gagasan demokrasi ekonomi tercantum eksplisit dalam konstitusi sebagai hukum tertinggi di negara kita. UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memang mengandung gagasan demokrasi politik dan sekaligus demokrasi ekonomi. Artinya, dalam pemegang kekuasaan tertinggi di negara kita adalah rakyat, baik di bidang politik maupun ekonomi. Seluruh sumber daya politik dan ekonomi dikuasai oleh rakyat yang berdaulat.22 Dalam hal ekonomi dan pasar, rakyat berhak untuk mendapatkan kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk berusaha menyejahterakan dirinya dengan berusaha atau membuka badan usaha. Rakyat juga berhak untuk mendapatkan akses yang sama terhadap sumber daya alam untuk peningkatan kebutuhan ekonominya baik itu sebagai pelaku usaha maupun sebagai konsumen. Dengan kata lain, rakyat memiliki hak untuk menyuarakan kepentingan ekonominya untuk mendapatkan perlakuan yang adil dan tanpa diskriminasi. Demokrasi ekonomi yang menjadi landasan perekonomian di Indonesia, membuat Pemerintah harus mempersiapkan diri dalam menghadapi arus persaingan pasar global. Terjadi
benturan ideology antara tujuan pemerintah dalam
menyejahterakan rakyatnya dalam konsep welfare state yang merupakan turunan bangunan filsafat sosialisme dengan tuntutan global yang mengharuskan Indonesia
Jimly Asshiddiqie, “Demokrasi Ekonomi,” http://www.jimly.com/makalah/namafile/60/Demokrasi_Ekonomi.pdf, diunduh 7 Oktober 2014. 22
bergabung dan membuka diri dalam pasar ASEAN Free Trade Area (AFTA)23 yang menganut paham pasar bebas yang sejatinya merupakan paham ekonomi liberal yang merupakan turunan bangunan filsafat kapitalisme. Prinsip-prinsip liberal dalam ekonomi “pasar bebas” telah menyebar dan telah memproduksi kesejahteraan material yang belum pernah dicapai sebelumnya.24 Francis Fukuyama berpendapat bahwa demokrasi liberal mungkin merupakan “titik akhir dari evolusi ideologis umat manusia”, dan bentuk final pemerintahan manusia.25 Dengan terbukanya pasar bebas, menuntut tanggung jawab pemerintah dan peran pemerintah yang aktif dalam menjamin demokrasi ekonomi untuk kesejahteraan rakyatnya. Pada dasarnya setiap bentuk campur tangan pemerintah ini harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai perwujudan dari asas legalitas. Akan tetapi, karena adanya keterbatasan dari asas ini, maka pemerintah diberi kebebasan Freis Ermessen, yaitu kemerdekaan pemerintah untuk dapat bertindak atas inisiatif sendiri dalam menyelesaikan persoalan-persoalan sosial.26 Freis Ermessen merupakan salah satu sarana yang memberikan ruang bergerak bagi pejabat atau badan-badan administrasi negara untuk melakukan tindakan tanpa harus terikat sepenuhnya pada undang-undang.27 Dalam praktiknya, Freis Ermessen ini memberikan peluang terjadinya benturan kepentingan antara pemerintah dan warga negara.
23
ASEAN Free Trade Area (AFTA) merupakan wujud dari kesepakatan dari negara-negara ASEAN untuk membentuk suatu kawasan bebas perdagangan dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi kawasan regional ASEAN dengan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi dunia serta serta menciptakan pasar regional bagi 500 juta penduduknya. 24 Francis Fukuyama, The End of History and The Last Man, Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal [The End of History and The Last Man],diterjemahkan oleh M.H. Amrullah, (Yogyakarta: Qalam, 2004), hlm. 4. 25 Ibid., hlm. 1. 26 Utrecht,Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, (Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1988), hal. 30, lihat pada Ridwan HR, Ibid., hal.229-230 27 Marcus Lukman, “Eksistensi Peraturan Kebijaksanaan Dalam Bidang Perencanaan dan Pelaksanaan Rencana Pembangunan di Daerah serta Dampaknya terhadap Pembangunan Materi Hukum Tertulis Nasional,” (Disertasi Doktor Universitas Padjadjaran, Bandung, 1996), hal 205, lihat pada Ridwan HR, Ibid., hal. 230
Kekhawatiran muncul berdasarkan tindakan inisiatif pemerintah (freies ermessen) dapat bertentangan dengan kepentingan warga masyarakat, meskipun pemerintah berdalih bahwa tidakan inisiatif ini bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan rakyatnya. Tindakan inisiatif pemerintah yang tidak berdasarkan pada peraturan perundang-undangan bisa saja menimbulkan tindakan diskriminatif atau ketidak adilan dan merugikan warga negaranya. Misalnya tindakan pemerintah dalam mengatur kegiatan ekonomi para pelaku usaha yang bertujuan menciptakan persaingan usaha yang sehat. Dalam perspektif ini, pemerintah bisa berada pada dua posisi yang berbeda jika dipandang dari sudut pandang ekonomi. Yang pertama, pemerintah sebagai pembuat regulasi peraturan perundang-undangan yang bertujuan untuk mengontrol prilaku pasar para pelaku usaha dan yang kedua pemerintah sebagai konsumen atau pelaku usaha jika dipandang dalam perspektif pengadaan barang/jasa. Dengan adanya konsep freies ermessen, ketika pemerintah selaku sebagai pelaku pasar dikhawatirkan pemerintah menggunakannya tindakan inisiatifnya pada tindakan yang merugikan pelaku pasar lain sebagai saingannya. Pemerintah bisa saja membuat regulasi yang mengatur perilaku pasar pelaku usaha yang membatasi gerak pelaku
usaha,
namun
disisi
lain
menggunakan
freies
ermessen
sebagai
kewenangannya untuk bertindak secara inisiatif dengan dalih menyejahterakan rakyat sebagai tujuannya. Oleh karena itu, untuk menghindari benturan kepentingan tersebut, pemerintah memasukkan Asas-Asas Pemerintahan Umum yang Baik (AAUPB) yang dijadikan dasar penilaian apakah pemerintah telah menjalankan kewenangannya dengan baik. Hukum administrasi negara berkaitan dengan tindakan pemerintah. Dalam hal ini yang dimaksud tindakan pemerintah adalah tindakan pemerintah dalam pengadaan barang/jasa dan juga tindakan pemerintah dalam menentukan pemenang atau menunjuk penyedia barang/jasa untuk memenuhi keperluan pemerintah. Proses
pengadaan barang/jasa (pelelangan/seleksi) sampai dengan penetapan pemenang lelang/seleksi adalah proses hukum administrasi negara.28 1.
Pengadaan Barang/Jasa Sebagai Tindakan Pemerintah Tindakan pemerintah dalam hal pengadaan barang/jasa diatur dalam Perpres
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Tindakan tersebut diatur dalam bentuk swakelola (pengadaan dilakukan sendiri oleh pemerintah) atau dalam bentuk pemilihan penyedia barang/jasa. Pengadaan barang/jasa dalam bentuk pemilihan penyedia barang/jasa dilakukan dengan berbagai metode untuk menentukan penyedia, salah satunya dengan metode penunjukan langsung. Tindakan pemerintah dalam menentukan penyedia barang/jasa melalui penunjukan langsung diatur dalam perpres pengadaan barang/jasa pemerintah. Perpres tersebut mengatur besaran pagu maksimal anggaran untuk dapat dilakukan dengan metode penunjukan langsung, mengatur dalam keadaan-keadaan tertentu atau biasa maupun keadaan khusus atau darurat dalam proses penentuan penyedia, dan juga mengatur kriteria barang/jasa/pekerjaan yang memungkinkan dilakukan dengan penunjukan langsung. Namun Perpres pengadaan barang/jasa pemerintah tidak mengatur persyaratan kriteria pelaku usaha yang dapat ditunjuk untuk melaksanakan pengadaan melalui penunjukan langsung. Kriteria pelaku usaha tersebut hanya diatur dalam sebuah kebijakan internal masingmasing lembaga atau institusi pemerintah. Kebijakan internal penentuan pelaku usaha tersebut tidak diatur dalam perundang-undangan maupun peraturan pemerintah. Kebijakan tersebut berdasarkan inisiatif sendiri (freies ermessen). Pengadaan barang/jasa pada hakikatnya adalah upaya pihak pengguna untuk mendapatkan atau mewujudkan barang dan jasa yang diinginkannya, dengan menggunakan metoda dan proses tertentu agar dicapai kesepakatan harga, waktu dan kesepakatan lainnya.29 Dalam perspektif anggaran, pemerintah memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Besarnya 28
Mudjisantosa, Memahami Spesifikasi, HPS, dan Kerugian Negara, Cet.2, (Jakarta: Primaprint, 2013), hal. 160 29 Adrian Sutedi, Pengadaan Barang dan Jasa dan Berbagai Permasalahannya, Edisi Kedua, Cet. 1, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hal. 4
anggaran pengadaan barang/jasa merupakan kewenangan pemerintah yang diberikan oleh undang-undang karena antara tindakan pemerintah dalam hal pengadaan barang/jasa dan kekuasaan pengelolaan keuangan negara tidak bisa terpisahkan sebab semua tindakan pemerintah dalam melaksanakan fungsi-fungsi pemerintahan membutuhkan anggaran. Namun meskipun merupakan kewenangan pemerintah dalam menentukan besaran anggaran pengadaan barang/jasa, tetap harus berdasarkan kewajaran harga pasar yang kemudian di dalam penggaran pengadaan barang/jasa dikenal dengan harga perkiraan sendiri (HPS)30. Salah satu metode pengadaan barang/jasa adalah dengan metode penunjukan langsung.
Penyedia
barang/jasa
melalui
metode
ini
didapatkan
tanpa
pelelangan/seleksi melainkan dengan memilih langsung satu penyedia barang/jasa yang diinginkan. penunjukan langsung dapat dilakukan untuk penyediaan barang, penyediaan pekerjaan konstruksi dan penyediaan jasa lainnya.31 Perpres pengadaan barang/jasa pemerintah telah membatasi pagu anggaran untuk
melakukan
barang/pekerjaan
penunjukan konstruksi/jasa
langsung lainnya
untuk yang
untuk
bernilai
paket paling
pengadaan tinggi
Rp.
100.000.000,- (seratus miliar rupiah) dan untuk paket pengadaan jasa konsultasi yang bernilai paling tinggi Rp. 10.000.000,- (sepuluh miliar rupiah) yang menjadi kewenangan kelompok kerja ULP. 2.
Prinsip-Prinsip Persaingan Usaha Yang Sehat Undang-undang antimonopoli dapat dan harus membantu dalam mewujudkan
struktur ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 UUD 1945. Dalam penjelasan Pasal 33 Ayat 1 UUD 1945, yang menyatakan bahwa “Ekonomi diatur oleh kerja sama berdasarkan prinsip gotong royong”, termuat pikiran demokrasi
30
HPS atau Harga Perkiraan Sendiri adalah hasil perkiraan harga dari data-data harga barang/jasa yang dikalkulasikan secara keahlian, yang ditetapkan oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) yang digunakan untuk menentukan kewajaran harga penawaran oleh pokja ULP atau pejabat pengadaan. 31 Presiden, Peraturan Presiden tentang Perubahan Kedua Atas Perpres No. 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Perpres No. 70 Tahun 2012., Ps.35
ekonomi yang dimasukkan ke dalam Pasal 2 UU No. 5/1999. 32 Pasal 33 Ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa: “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip keadilan, kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”. Demokrasi ekonomi ciri khasnya diwujudkan oleh semua anggota masyarakat untuk kepentingan seluruh masyarakat, dan harus mengabdi kepada kesejahteraan seluruh rakyat.33 Demokrasi ekonomi dimaknai sebagai kegiatan ekonomi yang memberikan peluang kepada siapa saja, baik pelaku usaha perorangan atau pelaku usaha dalam bentuk badan usaha untuk ikut aktif dalam kegiatan ekonomi pasar serta mengembangkan usahanya tanpa adanya hambatan atau tindakan diskriminasi dari pelaku usaha lain maupun dari pemerintah. Demokrasi ekonomi tidak mengkehendaki adanya pemusatan titik-titik ekonomi pada satu pelaku usaha atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi atau pemasaran atas barang dan/atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan merugikan kepentingan umum yang dikenal dengan praktik monopoli. Persaingan antara para pelaku usaha adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan usaha. Dalam demokrasi ekonomi, iklim persaingan usaha yang sehat mutlak perlu diciptakan dan tetap terpelihara, sedangkan suasana persaingan yang tidak sehat harus dihindarkan.34 UU No. 5 Tahun 1999 memberikan tiga indikator untuk menyatakan terjadinya persaingan usaha tidak sehat, yaitu:35 1) Persaingan usaha yang dilakukan secara tidak jujur. 32 Knud Hansen, et al., Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat [Law Concerning Prohibiton of Monopolistic Practices and Unfair Business Competition], (Jakarta: Katalis, 2002), hal. 119 33 Ibid. 34 Hermansyah, Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, Ed. 1 Cet.2, (Jakarta: Kencana, 2008)., hal. 67 35 Mustafa Kamal Rokan, Op.Cit., hal. 17
2) Persaingan usaha yang dilakukan dengan cara melawan hukum. 3) Persaingan usaha yang dilakukan dengan cara menghambat terjadinya persaingan di antara pelaku usaha. Persaingan usaha yang dilakukan secara tidak jujur dapat dilihat dari cara pelaku usaha dalam bersaing dengan pelaku usaha lain. Misalnya dalam persaingan tender, para pelaku usaha telah melakukan konspirasi usaha dengan panitia lelang untuk dapat memenangkan sebuah tender. Sehingga pelaku usaha lainnya tidak mendapatkan kesempatan untuk memenangkan tender tersebut.36 Istilah “persaingan usaha dengan cara tidak jujur” berkaitan dengan istilah “perbuatan penipuan”. Penggunaan ketentuan tersebut dalam praktek sangat terbatas, karena mensyaratkan pembuktian fakta secara subyektif. Karena itu, maka istilah “persaingan usaha dengan cara tidak jujur” pasti tidak akan banyak berperan di masa yang akan datang. 37 Persaingan usaha yang dilakukan dengan cara melawan hukum dapat dilihat dari cara pelaku usaha dalam bersaing dengan pelaku usaha lain dengan melanggar ketentuan-ketentuan peraturan-peraturan yang berlaku.38 Persaingan usaha yang dilakukan dengan cara menghambat terjadinya persaingan usaha di antara pelaku usaha dapat dilihat dari kondisi pasar yang tidak sehat.39 suatu hambatan persaingan dalam arti seperti ini adalah segala diskriminasi yang dilakukan oleh penjual (atau pembeli) yang tidak beralasan. Suatu hambatan mengganggu kebebasan bersaing dari pesaing, dan dilarang apabila tidak dapat diselaraskan dengan sistem persaingan usaha yang bebas.40 Sistem persaingan berlandaskan kepada pemikiran kebebasan individual, dimana kebebasan ini hanya dapat dipahami secara negatif bahwa sama sekali tidak
36
Ibid. Knud Hansen, Op.Cit., hal. 65 38 Mustafa Kamal Rokan, Op.Cit., hal. 17 39 Ibid. hal. 18 40 Knud Hansen, Op.Cit., hal. 67 37
ada paksaan dari pihak negara, dan tidak dapat ditentukan secara positif, karena hal ini akan membatasi ruang kebebasan yang disediakan bagi setiap orang.41 Dalam kewenangan pemerintah untuk menciptakan demokrasi ekonomi, dibentuklah UU No. 5 Tahun 1999 yang bertujuan untuk: 1) Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat; 2) Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil; 3) Mencegah praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha; dan 4) Terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha. Tujuan persaingan usaha adalah alokasi optimal semua faktor produksi dan pemenuhan kebutuhan semua pihak dengan cara yang sebaik mungkin. Keadaan tersebut mengakibatkan optimum pareto, dimana pembagian barang dan/atau jasa berdasarkan upaya yang diberikan dan cadangan yang tersedia tidak menguntungkan satu orang pun. Demokrasi dalam bidang ekonomi menghendaki adanya kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi di dalam proses produksi dan pemasaran barang dan/atau jasa, dalam iklim usaha yang sehat, efektif dan efisien.42 Salah satu bentuk tindakan yang dapat mengakibatkan persaingan tidak sehat adalah persekongkolan dalam tender, yang merupakan salah satu bentuk kegiatan yang dilarang oleh UU No. 5/1999. Prinsip-prinsip umum yang perlu diperhatikan dalam tender adalah transparansi, penghargaan atas uang, kompetensi yang efektif
41 42
Ibid., hal. 62 Ibid., hal. 63
dan terbuka, negoisasi yang adil, akuntabilitas dan proses penilaian, dan nondiskriminatif.43 Praktik-praktik usaha anti persaingan seperti praktik persekongkolan cenderung bertolak belakang dengan prinsip-prinsip Good Corporate Governance. Oleh karena itu, komitmen dan tekad pelaku usaha dalam upaya menciptakan iklim persaingan yang sehat itu dapat diwujudkan melalui penerapan prinsip Good Corporate Governance (GCG) atau prinsip pengelolaan perusahaan yang baik dengan menerapkan prinsip kewajaran (fairness), keterbukaan (transparency), akuntabilitas (accountability), dan responsibilitas (responsibility).44 Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa prinsip-prinsip yang dapat menciptakan persaingan usaha yang sehat antara lain: 1) Adanya Persaingan Persaingan terjadi ketika dua atau lebih dari pelaku usaha yang saling meperlihatkan kelebihannya masing-masing. 2) Terbuka atau transparan Keterbukaan akses informasi yang dibutuhkan oleh pelaku usaha dalam mengembangkan usahanya. 3) Non-diskriminatif Tidak mendapatkan perlakuan yang berbeda dan mendapatkan perlakuan yang sama dengan pelaku usaha yang lain. Prinsip ini sejalan dengan makna demokrasi ekonomi yang menjadi dasar teori dari persaingan usaha sehat. 4) Efisiensi dan efektif Suatu sistem yang menjamin iklim usaha yang efisien menyingkirkan semua hambatan akses ke pasar yang artifisial. Hambatan masuk ke pasar ini menghalangi potensi persaingan usaha dan menciptakan struktur pasar yang
43
Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia, Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Tentang Pedoman Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Persekongkolan Dalam Tender, Peraturan Komisi Pengawas Persaingan No. 2 Tahun 2010 44 Hermansyah, Op.Cit., hal. 60
kaku.45 Efisiensi juga bermaksud seberapa baik suatu pasar dapat memberikan konstribusi pada optimalisasi kesejahteraan ekonomi (economic welafare).46
3.
Prinsip-Prinsip Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Pengadaan barang/jasa menerapkan prinsip-prinsip sebagai berikut:47
1) Efisien; Efisien berarti pengadaan barang/jasa harus diusahakan dengan menggunakan dana dan daya yang minimum untuk mencapai kualitas dan sasaran dalam waktu yang ditetapkan atau menggunakan dana yang telah ditetapkan untuk mencapai hasil dan sasaran dengan kualitas yang maksimum. 2) Efektif; Efektif berarti pengadaan barang/jasa harus sesuai dengan kebutuhan dan sasaran yang telah ditetapkan serta memberikan manfaat yang sebesar-besarnya. 3) Transparan; Transparan berarti semua ketentuan dan informasi mengenai pengadaan barang/jasa bersifat jelas dan dapat diketahui secara luas oleh penyedia barang/jasa yang berminat serta oleh masyarakat pada umumnya. 4) Terbuka; Terbuka berarti pengadaan barang/jasa dapat diikuti oleh semua penyedia barang/jasa yang memenuhi persyaratan/kriteria tertentu berdasarkan ketentuan dan prosedur yang jelas. 5) Bersaing; Bersaing berarti pengadaan barang/jasa harus dilakukan melalui persaingan yang sehat diantara sebanyak mungkin penyedia barang/jasa yang setara dan memenuhi persyaratan, sehingga dapat diperoleh barang/jasa yang ditawarkan 45
Knud Hansen, Op.Cit., hal. 67-68 Johnny Ibrahim, Hukum Persaingan Usaha; Filosofi, Teori dan Implikasi Penerapannya di Indonesia, Cet.2, (Malang: Bayumedia, 2007), hal. 95 47 Presiden, Peraturan Presiden tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Perpres No. 54 Tahun 2010, bagian penjelasan umum. 46
secara kompetitif dan tidak ada intervensi yang mengganggu terciptanya mekanisme pasar dalam pengadaan barang/jasa. 6) Adil/tidak diskriminatif; dan Adil/tidak diskriminatif berarti memberikan perlakuan yang sama bagi semua calon penyedia barang/jasa dan tidak mengarah untuk memberi keuntungan kepada pihak tertentu, dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional. 7) Akuntabel. Akuntabel berarti harus sesuai dengan aturan dan ketentuan yang terkait dengan pengadaan barang/jasa sehingga dapat dipertanggungjawabkan. Dengan menerapkan prinsip-prinsip efisien, efektif, transparan, keterbukaan, bersaing, adil/tidak diskriminatif dan akuntabel akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap proses pengadaan barang/jasa, karena hasilnya dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat dari segi administrasi, teknis dan keuangan.48
4.
Kemungkinan Pelanggaran Menurut UU No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat a) Pasal 19 huruf a dan huruf d (Hambatan dan Praktek Diskriminasi) Pasal 19 UU No. 5/1999 menyebutkan: “Pelaku usaha dilarang melakukan
suatu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat berupa: 1) Menolak dan/atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan; atau 2) Menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu; atau
48
Ibid.
3) Membatasi peredaran dan/atau penjualan barang dan/atau jasa pada pasar bersangkutan; atau 4) Melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.”49 Unsur “melakukan satu atau beberapa kegiatan” harus dilihat dengan kaitan dengan contoh kasus yang berkaitan dengan Pasal 19 huruf a – d, diluar Pasal tersebut tidak memiliki arti tersendiri. Unsur “baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain” harus dijamin untuk diterapkan terhadap perilaku persaingan usaha oleh satu pelaku usaha maupun terhadap penyalahgunaan yang dilakukan berbagai pelaku usaha bersama. Unsur “dapat mengakibatkan terjadinya monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat” terdapatnya indikasi hambatan persaingan potensial yang dianggap cukup mempunyai arti tersendiri, sedangkan kriteria yang lain hanya dapat diperiksa dalam kaitan dengan contoh kasus yang disebutkan dalam Pasal 19 huruf a – d.50 i.
Pasal 19 huruf a Dalam penjelasan resmi, kelompok-kelompok kasus tersebut diterangkan
sebagai berikut: “menolak atau menghalangi pelaku usaha tertentu tidak boleh dilakukan dengan cara yang tidak wajar atau dengan alasan non-ekonomi, misalnya karena perbedaan suku, ras, status sosial, dan lain-lain.” Dengan demikian contoh penyalahgunaan tersebut berdekatan dengan “praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu” sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 19 huruf d. akan tetapi jangkauan penerapan kategori kasus a secara lebih jelas melebihi batas diskriminasi dan secara umum meliputi semua bentuk hambatan persaingan yang tidak wajar.51 Termasuk dalam kelompok-kelompok ini adalah kelompok kasus penolakan akses ke fasilitas penting. Perilaku penyalahgunaan persaingan usaha tersebut dinamakan doktrin fasilitas penting (essential facilities doctrine) dalam hukum monopoli Amerika. Fasilitas penting tersebut tidak hanya monopoli jaringan seperti 49
Indonesia, Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, UU No. 5 Tahun 1999, LN No. 33 Tahun 1999, TLN No. 3817, Ps. 19 50 Knud Hansen, Op.Cit., hal. 292 51 Ibid., hal. 293
pengadaan listrik atau telekomunikasi melainkan juga kereta api serta stasiun kereta api, Bandar udara, pelabuhan air.52 ii.
Pasal 19 huruf d Dalam UU No. 5/1999 diatur mengenai larangan perjanjian, kegiatan dan
penyalahgunaan posisi dominan yang dapat mengarah pada persaingan usaha tidak sehat. Salah satu kegiatan dalam bagian Kegiatan yang Dilarang adalah praktek diskriminasi sebagaimana diatur oleh Pasal 19 huruf d UU No.5/1999.53 Secara ringkas contoh dari praktek diskriminasi yang melanggar Pasal 19 huruf d adalah sebagai berikut :54 1) penunjukkan langsung dalam suatu pekerjaan, tanpa justifikasi legal, sosial, ekonomi, teknis dan alasan lainnya yang dapat diterima. 2) menolak melakukan hubungan usaha dengan pihak tertentu tanpa justifikasi legal, sosial, ekonomi, teknis dan alasan lainnya yang dapat diterima. 3) menetapkan persyaratan tertentu yang mengarah kepada perusahaan tertentu tanpa justifikasi legal, sosial, ekonomi, teknis dan alasan lainnya yang dapat diterima. 4) menetapkan syarat yang berbeda untuk pelaku usaha yang berbeda dalam pasar yang sama tanpa justifikasi legal, sosial, ekonomi, teknis dan alasan lainnya yang dapat diterima. 5) dalam hal yang terkait program Pemerintah seperti pengembangan UKM, penetapan syarat yang sama antara UKM dengan usaha besar dapat dirasakan oleh UKM sebagai persyaratan yang diskriminatif sehingga dikategorikan melanggar Pasal 19 huruf d. Mengingat dampak dari praktek diskriminasi yang memiliki dua sisi berbeda (propersaingan dan anti-persaingan), untuk dapat menyimpulkan bahwa telah terjadi 52
Ibid. Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia, Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Tentang Pedoman 19 Huruf d (Praktek Diskriminasi) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Peraturan Komisi Pengawas Persaingan No. 3Tahun 2011 54 Ibid. 53
persaingan usaha tidak sehat maka harus diperhatikan mengenai adanya pembenaran, setidaknya secara ekonomi, dari tindakan-tindakan yang telah dilakukan. Misalnya, tidak semua bentuk praktek diskriminasi melanggar prinsip-prinsip persaingan usaha yang sehat. Terdapat alasan/motif ekonomi di balik kegiatan tersebut, misalnya demi efisiensi biaya, terjaminnya pasokan bahan baku, kelancaran distribusi. Demikian halnya dengan praktek diskriminasi harga. Bentuk diskriminasi ini kerap dilakukan oleh perusahaan untuk memaksimalkan keuntungan dengan menetapkan harga yang berbeda antara konsumen/pelanggan satu dengan lainnya, tergantung dari tingkat elastisitas masing-masing.55 Diskriminasi dapat mempunyai dua akibat yang mengganggu persaingan: penjual yang menguasai pasar dapat mendesak pesaing-pesaingnya dari pasar melalui strategi diskriminasi, dimana dia lebih mementingkan pembeli tertentu dan dengan demikian jalur-jalur pasukan diblokir. Di lain pihak diskriminasi dapat juga mengakibatkan suatu pelaku usaha yang didiskriminasi hilang dari pasar dalam waktu yang lama.56 b) Pasal 22 (Larangan Persekongkolan Tender) Pasal 22 UU No. 5/1999 menyebutkan: “Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan/atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.” Pasal 22 berasumsi bahwa persekongkolan terjadi diantara para pelaku usaha. Dengan demikian, penerapan ketentuan tersebut bergantung pada dua kondisi: pihak tersebut harus berpatisipasi, dan harus menyepakati suatu persekongkolan.57 Pasal 22 di atas dapat diuraikan kedalam beberapa unsur sebagai berikut:58 1) Unsur Pelaku Usaha Sebagaimana dimaksud dalam Psal 1 butir 5, pelaku usaha adalah:
55
Ibid. Knud Hansen, Op.Cit., hal. 70 57 Ibid., hal. 313 58 Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia, Op.Cit. 56
“Setiap orang perorangan atau badan usaha baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi”. 2) Unsur Bersekongkol “Kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pihak lain atas inisiatif siapapun dan dengan cara apapun dalam upaya memenangkan peserta tender tertentu”. Unsur bersekongkol antara lain dapat berupa: a. Kerjasama antara dua pihak atau lebih; b. Secara terang-terangan maupun diam-diam melakukan tindakan penyesuaian dokumen dengan peserta lainnya; c. Membandingkan dokumen tender sebelum penyerahan; d. Menciptakan persaingan semu; e. Menyetujui dan atau memfasilitasi terjadinya persekongkolan; f. Tidak menolak melakukan suatu tindakan meskipun mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk mengatur dalam rangka memenangkan peserta tender tertentu; g. Pemberian kesempatan eksklusif oleh penyelenggara tender atau pihak terkait secara langsung maupun tidak langsung kepada pelaku usaha yang mengikuti tender, dengan cara melawan hukum. 3) Unsur Pihak Lain Pihak Lain adalah: “para pihak (vertical dan horizontal) yang terlibat dalam proses tender yang melakukan persekongkolan tender baik pelaku usaha sebagai peserta tender dan atau subjek hukum lainnya yang terkait dengan tender tersebut”. 4) Unsur Mengatur dan atau Menentukan Pemenang Tender Mengatur dan atau menentukan pemenang tender adalah:
“suatu perbuatan para pihak yang terlibat dalam proses tender secara bersekongkol yang bertujuan untuk menyingkirkan pelaku usaha lain sebagai pesaingnya dan/atau untuk memenangkan peserta tender tertentu dengan berbagai cara”. Pengaturan dan atau penentuan pemenang tender tersebut antara lain dilakukan dalam hal penetapan kriteria pemenang, persyaratan teknik, keuangan, spesifikasi, proses tender, dan sebagainya. 5) Unsur Persaingan Usaha Tidak Sehat Persaingan usaha tidak sehat adalah: “persaingan antarpelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha”. Persekongkolan tender yang berpotensi menciptakan persaingan usaha tidak sehat atau menghambat persaingan usaha adalah:59 1) Tender yang bersifat tertutup atau tidak transparan dan tidak diumumkan secara luas, sehingga mengakibatkan para pelaku usaha yang berminat dan memenuhi kualisifikasi tidak dapat mengikutinya; 2) Tender yang bersifat diskriminatif dan tidak dapat diikuti oleh semua pelaku usaha dengan kompetensi yang sama; 3) Tender dengan persyaratan dan spesifikasi teknis atau merek yang mengarah kepada pelaku usaha tertentu sehingga menghambat pelaku usaha lain untuk ikut. Persekongkolan yang dapat terjadi pada pengadaan barang/jasa melalui metode penunjukan langsung bukanlah persekongkolan antara pelaku usaha dengan pelaku usaha lainnya seperti yang terjadi pada metode pengadaan barang/jasa melalui pelelangan/tender dikarenakan pada metode penunjukan langsung, pelaku usaha hanya satu saja dan tidak melalui mekanisme seleksi. Persekongkolan yang terjadi pada metode penunjukan langsung yang dimungkinkan bisa terjadi adalah persekongkolan Pemerintah dengan pelaku usaha sebagai penyedia barang/jasa dan
59
Ibid..
termasuk di dalam unsur Pasal 22 UU No. 5/1999 yaitu unsur pihak lain. Terlepas apakah di dalam proses pengadaan barang/jasa pemerintah berpotensi terjadi tindak pidana yang merugikan keuangan negara atau tidak ada sama sekali potensi tersebut. Pada intinya, dengan terjadinya persekongkolan antara pemerintah dan pelaku usaha akan menghilangkan persaingan antar pelaku usaha. Tentu saja persekongkolan dalam hal pengadaan barang/jasa pemerintah tidak sejalan dengan tujuan pembentukan UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Apalagi yang melakukan persekongkolan adalah instansi pemerintah yang tidak lain merupakan wajah dari pemerintah yang seharusnya memberikan contoh dalam hal penegakan Undang-Undang. Persekongkolan tentu saja tidak mungkin terjadi hanya pada satu pihak saja. Jika persekongkolan terjadi pada pengadaan barang/jasa pemerintah, tentu saja yang bersekongkol adalah antara pelaku usaha sebagai penyedia barang/jasa dan pemerintah, dalam hal ini pejabat instansi pemerintahan yang berwenang dalam hal pengadaan
barang/jasa
pemerintah.
Jika
persekongkolan
dalam
pengadaan
barang/jasa pemerintah benar terjadi, maka akan sangat kontradiksi antara pernyataan Negara dalam bentuk Undang-Undang No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dengan prilaku pejabat pemerintahan yang dalam hal ini sebagai wajah dari pemerintah itu sendiri. Selain dari kontradiksinya antara pernyataan dengan tindakan pemerintah, persekongkolan ini juga menimbulkan kerugian masyarakat dengan
tidak adanya kepastian peluang
dalam bersaing secara sehat antarpelaku usaha. Kesimpulan Dari uraian pembahasan yang sudah dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa: 1) Pengadaan barang dan/atau jasa pemerintah didasarkan pada teori tujuan negara sejahtera (welfare state). Suatu pandangan dimana kesejahteraan masyarakat menjadi tujuan dibentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan
Pembukaan UUD 1945 Alinea ke IV yang menyebutkan bahwa: ” ... untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, ……” Teori ini mengkehendaki negara dan pemerintah terlibat aktif dalam kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat, sebagai langkah untuk mewujudkan kesejahteraan warga negaranya. Penyelenggaraan pemerintahan negara untuk mewujudkan tujuan bernegara menimbulkan hak dan kewajiban negara yang perlu dikelola dalam suatu sistem pengelolaan keuangan negara. Untuk mencapai tujuan ini, pemerintah dalam menjalankan aktivitas negara memerlukan infrastruktur penunjang dalam bentuk barang dan/atau jasa oleh karena itu Pemerintah melakukan pengadaan barang dan/atau jasa berdasarkan asas demokrasi ekonomi. 2) Penunjukan langsung merupakan metode pemilihan penyedia barang/jasa dengan cara menunjuk langsung 1 (satu) penyedia barang/jasa. Metode penunjukan langsung pengadaan barang/jasa dilakukan dengan mengundang satu penyedia barang/jasa untuk memasukkan proposal penawaran, tanpa pengumuman informasi pengadaan dan juga tanpa adanya seleksi penyedia barang/jasa. Tidak ada persaingan yang terjadi antara pelaku usaha dalam pengadaan barang/jasa melalui penunjukan langsung. Selain tidak adanya persaingan pelaku usaha, metode pengadaan ini juga tidak terjadi penentuan atau penunjukan pemenang. Yang terjadi hanya tawar menawar harga untuk mendapatkan kesepakatan harga sesuai batas kewajaran harga pasar dan juga sesuai dengan anggaran pengadaan yang disediakan oleh panitia pengadaan berdasarkan APBN/APBD. 3) Pengadaan barang dan/atau jasa pemerintah dengan metode penunjukan langsung berpotensi melanggar Prinsip-prinsip persaingan usaha yang sehat. Pengadaan barang dan/atau jasa dengan penunjukan langsung menghilangkan persaingan pelaku usaha, tertutup dan tidak transparan, serta berpotensi terjadinya penunjukan yang diskriminatif sehingga melanggar Pasal 19 huruf a dan huruf d
(perilaku menghambat dan praktek diskriminasi), dan Pasal 22 (larangan persekongkolan tender) UU No. 5/1999. Pengadaan barang/jasa pemerintah yang dilakukan dengan tanpa persaingan, tidak transparan, diskriminasi dan tidak efisien melanggar prinsip-prinsip persaingan usaha yang sehat, namun pengadaan barang/jasa dengan menunjuk langsung penyedia barang/jasa tanpa proses seleksi dimungkinkan dalam keadaan tertentu yang diatur dalam ketentuan peraturan presiden.
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU Ali, Achmad. Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis). Cet.2. Jakarta: Toko Gunung Agung, 2012. Anggraini, A.M. Tri. Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat; Perse Illegal atau Rule of Reason. Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003. Asshiddiqie, Jimly. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006. ______________, Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia. Jakarta: Ichtiar Baru-van Hoeve, 1994. Berge, J.B.J.M. ten. Bescherming Tegen Overheid. W.E.J. Tjeenk Willink, Zwolle, 1995. Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar ilmu Politik. Jakarta: Gramedia, 1980. Fukuyama,
Francis. The End of History and The Last Man, Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal [The End of History and The Last Man]. Diterjemahkan oleh M.H. Amrullah. Yogyakarta: Qalam, 2004.
Hermansyah, Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia. Ed. 1. Cet.2. Jakarta: Kencana, 2008. Huisman, R.J.H.M. Algemeen Bestuursrecht, een Inleiding. Kobra, Amsterdam Hansen, Knud. Et al. Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat [Law Concerning Prohibiton of Monopolistic Practices and Unfair Business Competition]. Jakarta: Katalis, 2002. HR, Ridwan. Hukum Administrasi Negara. Cet. 7. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011. Ibrahim, Jhony. Hukum Persaingan Usaha; Filosofi, Teori dan Implikasi Penerapannya di Indonesia. Malang: Bayu Media, 2006.
Isjwara, F. Pengantar Ilmu Politik. Bandung: Dhiwantara, 1999. Kelsen, Hans. Teori Umum Tentang Hukum dan Negara [General Theory of Law and State]. Diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien. Bandung: Nusa Media, 2010. Konijnenbelt, H.D. Van Wijk en Willem. Hoofdstukken van Administratief Recht, Vuga, s’Gravenhage, 1995. Kranenberg, Algemeine Staatlehre. Cet. 3. 1951 Kusnardi, Moh dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara. Cet. 4. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000. Lubis, M. Solly. Filsafat Ilmu dan Penelitian. Bandung: CV. Mandar Maju, 1994. Mudjisantosa, Memahami Spesifikasi, HPS, dan Kerugian Negara. Cet.2. Jakarta: Primaprint, 2013. ______________, Catatan Aspek Hukum Pengadaan dan Kerugian Negara. Cet. 1. Yogyakarta: Primaprint, 2014. ______________, Memahami Kontrak Pengadaan Yogyakarta: Primaprint, 2014.
Pemerintah
Indonesia.
______________, Rencana Umum Pengadaan (RUP) dan Pengadaan Secara Swakelola. Cet. 1. Yogyakarta: Primaprint, 2014. Nurtjahjo, Hendra. Ilmu Negara, Pengembangan Teori Bernegara dan Suplemen. Jakarta: RajaGrafindo, 2005. Rokan, Mustafa Kamal. Hukum Persaingan Usaha Teori dan Praktiknya di Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo, 2010. Rosydi, Suherman. Pengantar Teori Ekonomi: pendekatan Kepada Teori Ekonomi Mikro Dan Teori Ekonomi Makro. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998. Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press, 1986. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Ed. 1. Cet. 15, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013.
Sueur, AP Le dan JW Herberg, Constitutional & Administrative Law. London: Cavendish Publishing Limited, 1995. Sugianto, Fajar. Economic Analysis of Law, Seri Analisis Ke-ekonomian tentang Hukum. Seri I. Cet. 2. Jakarta: Kencana, 2014. Sumarsono, Sonny. Manajemen Keuangan Pemerintahan. Cet.1. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010. Suparmoko, M. Keuangan Negara Dalam Teori dan Praktik. Ed.6. Cet.3. Yogyakarta: BPFE Yogyakarta, 2013. Suswinarno, Aman dari Resiko dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Cet. 1. Jakarta: Visimedia, 2012. Sutedi, Adrian. Pengadaan Barang dan Jasa dan Berbagai Permasalahannya, Ed.2. Cet. 1. Jakarta: Sinar Grafika, 2012. Tjandra, W. Riawan. Hukum Keuangan Negara, Jakarta: Grasindo, 2013. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia. Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1988. Versteden, C.J.N. Inleiding Algemenn Bestuursrecht, Samsom H.D. Tjeenk Wilink, Alphen aan den Rijn, 1984.
B. ARTIKEL “Undang-Undang Antimonopoli Tetap Diperlukan”, Sinar Harapan, 24 Desember 1984 C. TESIS/DISERTASI Larasati, RR. “Tanggung Jawab Hukum Tentang Keuangan Negara Dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah,” Tesis Magister Universitas Indonesia. Jakarta, 2011. Lukman, Marcus. “Eksistensi Peraturan Kebijaksanaan Dalam Bidang Perencanaan dan Pelaksanaan Rencana Pembangunan di Daerah serta Dampaknya terhadap Pembangunan Materi Hukum Tertulis Nasional,” Disertasi Doktor Universitas Padjadjaran. Bandung, 1996.
D. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Indonesia. Undang-Undang Perindustrian, UU No. 5 Tahun 1984, LN No. 22 Tahun 1984, TLN No. 3274 ______________, Undang-Undang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), UU No.23 Tahun 1999, LN No.75 Tahun 1999, TLN No. 3851. ______________, Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, UU No. 5 Tahun 1999, LN No. 33 Tahun 1999, TLN No. 3817. ______________, Undang-Undang Keuangan Negara, UU No. 17 Tahun 2003, LN No. 47 Tahun 2003, TLN No. 4286. ______________, Undang-Undang Perbendaharaan Negara, UU No. 1 Tahun 2004, LN No. 5 Tahun 2004. Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia, Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Tentang Pedoman Pasal 22 UndangUndang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Persekongkolan Dalam Tender, Peraturan Komisi Pengawas Persaingan No. 2 Tahun 2010. ______________, Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Tentang Pedoman 19 Huruf d (Praktek Diskriminasi) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Peraturan Komisi Pengawas Persaingan No. 3Tahun 2011 Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah RI, Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Tentang Pedoman Penunjukan Langsung Pengadaan Kendaraan Pemerintah di Lingkungan Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi Lainnya, Peraturan Kepala LKPP No. 3 Tahun 2012 Presiden, Peraturan Presiden tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Perpres No. 54 Tahun 2010. ______________, Peraturan Presiden tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Perpres No. 70 Tahun 2012.
E. INTERNET Anggraini, Anna Maria Tri. “Sinergi BUMN Dalam Pengadaan Barang dan/atau Jasa Dalam Perspektif Persaingan Usaha”, http://mimbar.hukum.ugm.ac.id/index.php/jmh/article/viewFile/448/29 4, Diunduh 7 November 2014. Jimly. “Demokrasi Ekonomi,” http://www.jimly.com/makalah/namafile/60/Demokrasi_Ekonomi.pdf, Diunduh 7 Oktober 2014. ______________, “Tentang UUD 1945 sebagai Welfare Constitution”, http://jimly.com/makalah/namafile/132/WELFARE_CONSTITUTION .pdf, Diunduh 3 November 2014. Asshiddiqie,
Sopian, Abu. “Pasal-Pasal Kontroversial Dalam Perpres Nomor 70 Tahun 2012”, http://www.bppk.kemenkeu.go.id/berita-palembang/12909-pasalpasal-kontroversial-dalam-perpres-70-tahun-2012, Diunduh 1 Desember 2014.