ASPEK PEMANFAATAN SUMBERDAYA TIRAM DAGING (OSTREIDAE) SEBAGAI UPAYA PENGELOLAAN BERBASIS STRUKTUR POPULASI DI KUALA GIGIENG, ACEH BESAR
CHITRA OCTAVINA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Aspek Pemanfaatan Sumberdaya Tiram Daging sebagai Upaya Pengelolaan Berbasis Struktur Populasi di Kuala Gigieng, Aceh Besar adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juli 2014 Chitra Octavina NIM C251120081
RINGKASAN CHITRA OCTAVINA. Aspek Pemanfaatan Sumberdaya Tiram Daging sebagai Upaya Pengelolaan Berbasis Struktur Populasi di Kuala Gigieng, Aceh Besar. Dibimbing oleh FREDINAN YULIANDA dan MAJARIANA KRISANTI. Tiram daging merupakan salah satu jenis moluska dari famili Ostreidae, kelas bivalvia yang hidup pada daerah estuaria dengan substrat berlumpur, berpasir, kerikil, berbatu, hingga kayu. Biota ini memiliki nilai ekonomis penting sehingga banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai makanan dan diperdagangkan. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis struktur dan habitat tiram daging di perairan Kuala Gigieng, serta merekomendasikan perbaikan pengelolaan populasi dan habitat tiram tersebut. Pengambilan sampel dan analisis data dilakukan dari bulan Agustus hingga Desember 2013 di Perairan Kuala Gigieng Aceh Besar dan dibagi dalam 3 stasiun pengamatan yaitu Stasiun 1 (daerah dekat aktivitas penduduk), 2 (daerah transisi) dan 3 (daerah yang jauh dari aktivitas penduduk). Metode penelitian yaitu expost facto dengan analisis data meliputi kepadatan, pola penyebaran, kondisi habitat, sebaran ukuran, pertumbuhan, reproduksi, dan perkembangan gonad. Hasil analisis data tersebut kemudian dihubungkan dengan kegiatan penangkapan di Kuala Gigieng agar dapat diketahui pengaruhnya terhadap populasi tiram. Tiram daging di Perairan Kuala Gigieng terdiri dari 2 genus yaitu Crassostrea dan Ostrea dengan 5 spesies yaitu Ostrea edulis, Crassostrea virginica, Crassostrea iridescens, Crassostrea angulata, dan Crassostrea gigas. Kualitas air dan substrat Perairan Kuala Gigieng masih mendukung kehidupan tiram daging, meskipun beberapa parameter seperti oksigen terlarut (DO) dan kebutuhan oksigen kimia (COD) telah melebihi baku mutu untuk perikanan, terutama Stasiun 1. Kepadatan tiram daging di Kuala Gigieng berkisar dari rendah hingga tinggi, Stasiun 1 memiliki kepadatan rendah hingga sedang (11-38 ind/m2), sebaliknya Stasiun 2 dan 3 memiliki kepadatan sedang hingga tinggi (36-51 ind/m2). Tiram tersebut juga memiliki pola sebaran mengelompok dengan sebaran ukuran yang berbeda. Kisaran panjang kelas tiram terdiri atas 6-10 kelas dengan frekuensi terbanyak ditemukan pada selang kelas 24-37,20 mm, serta memiliki 1 dan 2 generasi tiram daging yang mampu hidup dalam waktu dan di lokasi yang sama. Ukuran layak tangkap tiram daging yaitu 32,27 mm dan diduga pada ukuran tersebut tiram daging telah dewasa dan memijah. Pertumbuhan tiram daging di Kuala Gigieng tergolong lambat dan cenderung cepat mati, hal ini ditunjukkan dengan panjang maksimal (Lmaks) yang mampu dicapai kerang ini hanya 37,91-72,81 mm dalam waktu 0-3,42 tahun. Pada waktu penelitian (Agustus dan September) diduga tiram daging berada dalam kondisi memijah, karena banyak yang ditemukan memiliki jenis kelamin jantan dan betina serta dalam kondisi TKG 3 dan 4. Hal ini menyebabkan Indeks Berat Daging (IBD) dan Indeks Kematangan Gonad (IKG) berbanding terbalik, ketika tiram daging akan bereproduksi maka bobot tubuh akan turun karena gonad meningkat begitu pula sebaliknya. Kegiatan penangkapan kerang ini di Kuala Gigieng mulai mengkhawatirkan populasinya, karena semakin meningkat periode tangkap dan jumlah nelayan, maka hasil tangkapan kerang juga akan semakin besar. Hal tersebut ditunjukkan dengan hasil tangkapan tiram daging di Stasiun 1
selama penelitian yaitu 1370,10 kg Stasiun 2 sebesar 646,97 kg dan Stasiun 3 sebesar 527,24 kg. Struktur populasi tiram daging dan kondisi habitat di Perairan Kuala Gigieng mulai menurun terutama di Stasiun 1 yang tingkat penangkapan dan tekanan lingkungannya tinggi. Strategi pengelolaan yang diperlukan untuk memperbaiki struktur populasi tiram dilakukan melalui pengaturan penangkapan meliputi lokasi, waktu, ukuran, dan alat tangkap yang sesuai, budidaya kerang. serta pengaturan limbah meliputi pengolahan dan besarnya limbah yang dapat dibuang sesuai dengan daya dukung Perairan Kuala Gigieng, agar kelestarian tiram di Perairan Kuala Gigieng tetap terjaga. Kata kunci: Penangkapan, pertumbuhan, populasi, tiram daging (Ostreidae)
SUMMARY CHITRA OCTAVINA. Oyster Resources Utilization as Effort Based Population Structure Management in Kuala Gigieng, Aceh Besar. Supervised by FREDINAN YULIANDA and MAJARIANA KRISANTI. Oyster is one of Ostreidae family, bivalves class who live in estuaries with muddy substrate, sand, gravel, rockies, and wood. Due to economic values, it has been widely used as food and trading properties. The objective of the study is to analyze the population structure and habitat condition of Ostreidae as well as to give the recommendation on the improvement of population management. Sampling (e.g., water, oyster and substrate) and data analysis was conducted in Kuala Gigieng Waters from August to September, 2013. Sampling points are taken in three observation sites, i.e., site 1 (near resident activity), site 2 (transition area), and site 3 (far from resident activity). The research uses expost facto method with data analysis including density, spreading pattern, habitat conditions, size distribution, growth, reproduction, and gonadal development. The results are then correlated with fishing activities in Kuala Gigieng to determine the effect on oyster population in these waters. Oyster in Kuala Gigieng waters consist of two genus, i.e., Crassostrea and Ostrea genera with five species (i.e., C. gigas, C. iridescens, C. angulata, C. virginica, and O. edulis). Water quality and substrate in Kuala Gigieng was under tolerance limits of oyster life even though some parameters such as dissolved oxygen (DO) and chemical oxygen demand (COD) had exceeded the quality standard for fisheries, especially at site 1. Oyster density in Kuala Gigieng ranged from low to high, site 1 had low to moderate density (11-38 ind/m2) while site 2 and 3 had moderate to high density (36-51 ind/m2). The oyster also had a clumped pattern with different size of distribution. Length-range class of oyster consists of 6-10 class with highest frequency was found in the interval of 24-37.20 mm. It also had one and two generations who can live at the same time and location. The optimum harvesting size of oyster in Kuala Gigieng is 32.27 mm and it is also assumed that the oyster had grown and spawn. The growth of the oyster is relatively slow and have a tendency to death faster, as shown by the maximum length (Lmaks) that can only reach 37.91-72.81 mm within 0 to 3.42 years. Oyster is alleged to spawn on August and September since many male and female oyster found in this season which is also supported by 3 and 4 GSI condition. Body Mass Index (BMI) and Gonadal Somatic Index (GSI) was in reverse, i.e when the oyster reproduce, the body weight will decline as the gonads increases and vice versa. Recently, oyster fishing in Kuala Gigieng start treating the population, the greater the fishing, the greater the haul as indicated that the oyster haul at Site 1 to 3 are as much as 1370.10, 646.97, 527.24 kg, respectively. Population structure and habitat conditions of oyster in Kuala Gigieng waters began to decline, especially at site 1. Management strategies needed to improve oyster population structure is by regulating the fishing which include the location, time, size, and gear, shellfish farming, and waste management including the processing and waste amount that can be disposed is in accordance with the carrying capacity of Kuala Gigieng waters. Thus, the sustainability of oyster in Kuala Gigieng waters can be well-preserved. Key words: Growth, fishing, oyster (Ostreidae), population
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ASPEK PEMANFAATAN SUMBERDAYA TIRAM DAGING SEBAGAI UPAYA PENGELOLAAN BERBASIS STRUKTUR POPULASI DI KUALA GIGIENG, ACEH BESAR
CHITRA OCTAVINA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Penguji Luar pada Ujian Tesis: Dr Ir Isdrajad Setyobudiandi, MSc
Judul Tesis : Aspek Pemanfaatan Sumberdaya Tiram Daging Sebagai Upaya Pengelolaan Berbasis Struktur Populasi Di Kuala Gigieng, Aceh Besar Nama : Chitra Octavina NIM : C251120081
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Fredinan Yulianda, MSc Ketua
Dr Majariana Krisanti, Spi, MSi Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Sigid Hariyadi, MSc
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 03 Juni 2014
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2013 ini ialah struktur populasi tiram daging dengan judul Aspek Pemanfaatan Sumberdaya Tiram Daging sebagai Upaya Pengelolaan Berbasis Struktur Populasi di Kuala Gigieng, Aceh Besar. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Fredinan Yulianda, MSc dan Ibu Dr Ir Majariana Krisanti, Spi, Msi selaku pembimbing, serta Dr Ir Isdrajad Setyobudiandi MSc, selaku dosen penguji pada ujian tesis atas segala saran. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan pada DIKTI atas bantuan dana melalui Program Beasiswa Unggulan. Penulis juga mengucapkan terima kasih dan rasa hormat kepada ayahanda Samidan Usman, ibunda Mardhiah, Kakanda Meri Sarlinda, SE, Suardi, Rovita dan Al-Attur M. Wally, atas segala doa dan kasih sayangnya. Selain itu, terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ferdiansyah, Skel atas segala kesabaran, pengertian, dukungan, doa, dan kasih sayangnya selama penulis menyelesaikan studi. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dini Islama dan Endiyani, atas segala dukungan dan persahabatan. Terima kasih kepada Ika Fitria Hasibuan, Rauda G Kamal, Alpinina Yunita, dan keluarga besar SDP 2012 atas segala semangat, kerjasama, dukungan moril maupun spiritual. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2014 Chitra Octavina
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
v
DAFTAR LAMPIRAN
iv
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Hipotesis Manfaat Penelitian
1 1 2 3 3 3
2 METODE Bahan dan Alat Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian Prosedur Percobaan Analisis Data
3 5 5 6 7
3 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Kondisi Fisika-Kimia Air dan Sedimen Perairan Struktur Populasi Reproduksi dan Perkembangan Gonad Hubungan Kegiatan Penangkapan terhadap Populasi Tiram Daging Pembahasan Struktur Populasi Hubungan Kegiatan Penangkapan terhadap Populasi Tiram Daging Strategi Pengelolaan
15 16 16 18 30 34 36 36 43 44
4 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran
46 46 46
DAFTAR PUSTAKA
47
LAMPIRAN
56
RIWAYAT HIDUP
71
DAFTAR TABEL 1. Alat dan Bahan yang digunakan dalam Penelitian 2. Kategori Ukuran Partikel Substrat 3. Parameter Kualitas Air dan Sedimen di Kuala Gigieng, Aceh Besar 4. Kepadatan Populasi tiram daging di Kuala Gigieng 5. Pola Penyebaran tiram daging di Perairan Kuala Gigeng 6. Panjang Rata-rata Tiram Daging berdasarkan Metode Bhattacharya 7. Model Persamaan von Bertalanffy pada masing-masing Ostreidae 8. Jenis Kelamin Tiram Daging di Perairan Kuala Gigieng 9. TKG Pada Ostrea di Perairan Kuala Gigieng 10. TKG Crassostrea di Perairan Kuala Gigieng
5 14 17 19 19 25 26 31 32 33
DAFTAR GAMBAR 1. Skema Pendekatan Masalah 2. Perairan Kuala Gigieng 3. Pengukuran Morfometrik Tiram Daging 4. Tipe substrat dasar berdasarkan segitiga Tekstur USDA 5. Kepadatan rata-rata Tiram Daging di Perairan Kuala Gigieng 6. Dendogram pengelompokan habitat 7. Sebaran Ukuran Tiram Daging di Perairan Kuala Gigieng 8. Sebaran ukuran dan kohort C.angulata 9. Sebaran ukuran dan kohort C.gigas 10. Sebaran ukuran dan kohort C.iridescens 11. Sebaran ukuran dan kohort C.virginica 12. Sebaran ukuran dan kohort O.edulis 13. Kurva Dugaan Pertumbuhan Spesies Tiram Daging di Stasiun 1 14. Kurva Dugaan Pertumbuhan Spesies Tiram Daging di Stasiun 2 15. Kurva Dugaan Pertumbuhan Spesies Tiram Daging di Stasiun 3 16. Hubungan Panjang-Bobot Tiram Daging di Kuala Gigieng 17. Persentase IBD dan IKG O. edulis di Perairan Kuala Gigieng 18. Persentase IBD dan IKG C. iridescens di Perairan Kuala Gigieng 19. Persentase IBD dan IKG C. angulata di Perairan Kuala Gigieng 20. Persentase IBD dan IKG C. virginica di Perairan Kuala Gigieng 21. Persentase IBD dan IKG C. gigas di Perairan Kuala Gigieng 22. Jenis Kelamin Tiram Daging di Perairan Kuala Gigieng 23. Persentase TKG Tiram Daging di Perairan Kuala Gigieng 24. Kurva Hubungan Tingkat Penangkapan Tiram Daging di Stasiun 1 25. Kurva Hubungan Tingkat Penangkapan Tiram Daging di Stasiun 2 26. Kurva Hubungan Tingkat Penangkapan Tiram Daging di Stasiun 3
4 6 8 14 19 20 21 22 22 23 23 24 26 27 27 28 29 29 29 29 30 30 34 35 35 35
DAFTAR LAMPIRAN 1. Stasiun penelitian 2. Pengukuran morfometrik dan kegiatan penangkapan nelayan 3. Spesies Ostreidae di Perairan Kuala Gigieng 4. Prosedur pembuatan preparat histologi dengan metode irisan 5. Data kualitas air dan substrat kuala gigieng 6. Selang ukuran 7. Kurva Pertumbuhan von Bertalanffy 8. Nilai Indeks Berat Daging (IBD) Ostreidae pe bulan dan keseluruhan 9. Jumlah Ostreidae (Individu) yang dapat dibedakan jenis kelaminnya 10. Tingkat Kematangan Gonad (TKG) Ostreidae 11. Indeks Kematangan Gonad (IKG) Ostreidae 12. Data penangkapan nelayan selama 6 kali pengamatan 13. Jumlah Ostridae yang ditemukan
57 58 59 60 61 63 64 65 65 66 68 68 69
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang Bivalvia (kerang-kerangan) merupakan kelas kedua terbesar dari filum moluska setelah gastropoda (keong). Ciri utama kelompok ini adalah memiliki tubuh yang lunak dan dilindungi oleh dua katup cangkang (Thomé et al. 2007; Morton et al. 2007;) serta bersifat filter feeder (mengambil makanan dengan menyaring air), seperti sub kelas Protobranchia dan Eulamellibranchia, sedangkan sisanya adalah karnivora dan scavenger seperti Septibranchia (Dumbauld et al. 2009). Kelas bivalvia memiliki 15.000 spesies yang tersebar luas dan hidup di berbagai kedalaman perairan laut dan sisanya di air tawar (Pechenik 2005). Biota ini sangat banyak dimanfaatkan oleh manusia baik daging maupun cangkangnya (Yulianda 2003), seperti dikonsumsi (Agudo-Padrón 2011) karena dagingnya mengandung nilai gizi tinggi, cangkangnya mengandung CaCO3, Mg, dan Na (Hazmi et al. 2007) sehingga dapat digunakan sebagai aksesoris dan ornamental industri (Yulianda 2003; Sahin et al. 2006; Nadjib 2008). Salah satu famili dari kelas bivalvia yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat adalah tiram daging (famili Ostreidae). Kerang ini memiliki cangkang kasar, tidak beraturan dan tebal (Silulu et al. 2013). Menurut Dance (1974), tiram daging terdiri atas 3 genus yaitu Crassostrea, Ostrea, dan Lopha. Tiram ini memiliki peran penting sebagai pembentuk ekosistem (Peterson et al. 2003; Grabowski et al. 2005; Coen et al. 2007; Fulford et al. 2010), berperan dalam siklus nutrien (Fulford et al. 2007), dan penghubung antara bentik-pelagis (Porter et al. 2004). Selain itu, peningkatan populasi tiram daging akan berpengaruh pada pengurangan dampak eutrofikasi antropogenik (Pringgenies 1994; Cerco dan Noel 2007; Fulford et al. 2010). Manfaat lain dari tiram ini adalah sebagai komoditas ekonomi. Kerang ini banyak perdagangkan sebagai makanan bernutrisi karena dagingnya yang rendah kalori, energi 78 Kcal, protein 9,70 g, lemak 1,80 g, gula 5 g, kalsium 55 mg, besi 3,60 g, vitamin A 55 IU, vitamin B1 0,16 mg, vitamin B2 0,32 mg, dan vitamin C 4 mg (Delmendo 1989; Izwandy 2006). Tiram daging terdistribusi hampir di setiap perairan pesisir dan menyukai perairan hangat serta terlindung, seperti laut dangkal, estuaria, teluk, dan laguna. Biota ini menyukai permukaan yang landai dengan substrat berlumpur, pasir, kerikil, serta batu hingga kayu, sehingga tidak jarang tiram ini terlihat melekat pada puing-puing bangunan di tepi laut dan cenderung mengikuti bentuk media yang ditempati (Dame et al. 2001; Lejart dan Hily 2011). Kuala Gigieng merupakan salah satu daerah estuaria di Aceh Besar yang banyak memanfaatkan tiram daging sebagai mata pencaharian (perikanan) dan konsumsi. Menurut Fadhilah et al. (2012), persentase bivalvia yang berada di perairan Kuala Gigieng sebanyak 46%, gastropoda sebanyak 31%, dan malacostraca sebanyak 23%. Pemanfaatan tiram daging di Kuala Gigieng telah berlangsung lama. Setiap hari, para nelayan akan mengambil kerang untuk dikonsumsi dan dijual ke pasar. Kegiatan tersebut berlangsung ketika air surut dan berakhir ketika air mulai pasang. Hasil survei awal menunjukkan bahwa satu orang nelayan kerang dapat menangkap minimal 5-10 kg dalam satu kali periode
2 tangkap, sehingga dalam sebulan diduga sekitar 600 kg kerang diambil dari habitatnya (Survei pribadi di Aceh Besar, Juli 2013). Tiram daging tersebut dijual dalam keadaan bersih (tanpa cangkang) sehingga dapat langsung diolah. Nilai jual kerang ini tergantung dari ukurannya, kerang yang berukuran 4-5 cm dijual seharga Rp7.000/kg dan ukuran 3-4 cm dijual seharga Rp6.000/kg. Harga tersebut merupakan harga bersih dari nelayan, namun ketika kerang ini dipasarkan, maka nilai jual bisa berbeda yaitu antara Rp15.000-Rp20.000. Apabila dikalkulasikan, pedagang tiram daging dapat meraup keuntungan Rp150.000-Rp200.000/hari, sedangkan keuntungan bagi nelayan hanya Rp60.000 sampai Rp105.000/hari. Pengambilan tiram daging dilakukan dengan menggunakan pisau untuk mencungkil kerang yang melekat kuat pada substrat. Kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat tersebut tidak pernah memperhatikan kelestarian tiram. Akibatnya, tiram daging yang sedang tumbuh, berkembang, dan memijah akan ikut tertangkap, sehingga akan berpengaruh terhadap keberadaan populasinya. Hal tersebut menjadi penyebab utama dari penurunan populasi tiram, selain penyakit dan predasi (Kirby 2004; Lotze et al. 2006; Wilberg et al. 2011). Selain itu, Kuala Gigieng juga merupakan perairan dangkal dan dekat dengan pemukiman sehingga diduga masukan dari aktivitas masyarakat di sekitar Kuala Gigieng mempengaruhi penurunan kualitas perairan. Adanya kegiatan penangkapan dan pengaruh lingkungan perairan tersebut diduga berdampak pada penurunan populasi tiram daging di Kuala Gigieng. Apabila hal ini terus terjadi, maka keseimbangan ekosistem juga akan terganggu (Kemp et al. 2005; Lotze et al. 2006; Coen et al. 2007). Untuk mengetahui kondisi populasi tiram daging apakah mengalami penurunan atau tidak akibat penangkapan dan pengaruh lingkungan, maka diperlukan kajian mengenai struktur populasinya, sehingga dapat direkomendasikan pengaturan pemanfaatan tiram yang lestari dan berkelanjutan.
Perumusan Masalah Tiram daging memiliki kandungan gizi penting yang disukai masyarakat serta berpotensi sebagai sumberdaya alami. Hal tersebut terbukti dari meningkatnya permintaan pasar terhadap tiram daging segar, sehingga menyebabkan tingginya penangkapan terhadap biota tersebut di alam. Penangkapan yang dilakukan oleh nelayan yaitu dengan menggali substrat dan mencungkil tiram yang melekat kuat pada batu atau sesamanya menggunakan pisau, sehingga kadang kala tidak memperhatikan ukuran dan kondisi reproduksi kerang yang tertangkap. Selain itu, tingginya aktivitas masyarakat di sekitar estuaria mulai dari perikanan, industri rumah tangga, dan limbah domestik akan sangat mempengaruhi penurunan kualitas perairan bagi habitat tiram daging. Pada akhirnya, peningkatan penangkapan dan tekanan lingkungan tersebut diduga akan mempengaruhi populasi tiram tersebut di alam. Untuk memulihkan dan melestarikan famili tiram daging, diperlukan kajian ekobiologi populasi kerang serta rekomendasi pengelolaannya. Aspek ekologi dan biologi dasar yang dikaji melalui pendekatan terhadap struktur
3 populasi tiram daging seperti dari parameter kepadatan, pola sebaran, kondisi habitat, sebaran ukuran, pertumbuhan, reproduksi serta perkembangan gonad terhadap faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi estuaria seperti parameter fisika-kimia air dan sedimen. Analisis parameter ekobiologi populasi diharapkan dapat menyusun rekomendasi pengelolaan tiram daging yang lestari (Gambar 1).
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis struktur populasi dan habitat tiram daging di Perairan Kuala Gigieng, serta merekomendasikan perbaikan pengelolaan populasi dan habitat kerang tersebut.
Hipotesis Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah pemanfaatan tiram daging secara berlebihan tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan serta pengaruh kualitas perairan yang buruk akan mempengaruhi kelimpahan populasi tiram daging.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengembangan ilmu pengetahuan khususnya informasi tentang kondisi populasi tiram daging dan ekologi Perairan Kuala Gigieng sebagai langkah awal dalam kebijakan pengelolaan terhadap eksploitasi tiram tersebut.
2 METODE Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah expose facto, yaitu suatu metode yang merujuk pada perlakuan atau manipulasi variabel yang telah nyata di lapangan, sehingga peneliti tidak perlu memberi perlakuan lagi, tetapi cukup melihat pengaruhnya terhadap variabel inti yang diamati.
4
Rekomendasi Pemanfaatan Lestari
Gambar 1. Skema Pendekatan Masalah
5 Bahan dan Alat Bahan dan alat yang digunakan untuk mengukur parameter kualitas air, biologi tiram daging dan substrat (Tabel 1). Tabel 1. Alat dan Bahan yang digunakan dalam Penelitian Parameter
Satuan
Kualitas air (FisikaKimia): Kecepatan arus cm/s permukaan Kecerahan % kedalaman cm
Alat
Metode
Referensi
Tempat Analisis
Current meter
Visual
SNI 06-2412-1991
In situ
Secchi disk Papan Skala
Visual Visual
SNI 06-2412-1991 SNI 06-2412-1991 SNI 06-6989.23Elektrometrik 2004 SNI 06-6989.11Elektrometrik 2004
In situ In Situ
Suhu
°C
DO meter
pH
-
pH meter
Salinitas
‰
DO (Dissolved mg/l Oxygen) COD (Chemical Organic mg/l Dissolved) Biologi Tiram : Analisis Kepadatan dan m2 Sebaran Morfometrik
mm
Bobot Gonad
g
TKG, IKG
-
Hand Elektrometrik SNI 06-2412-1991 Refractometer SNI 06-6989.14DO meter Elektrometrik 2004
In situ In situ In situ In situ
Spektofotomet er
Reflux
APHA 22nd-2012
Lab
Peterson grab
-
Brower dan Zar 1977
In situ
-
Effendie 1997; Winder 2011
Lab
-
Effendie 1997
Lab
Histologi
-
SNI 7304:2004; Effendie 1997; da Silva et al. (2009)
Lab
Tekstur Tanah USDA Walkley and Black
Gee and Bauder 1986
Lab
Jangka Sorong Digital Timbangan Ohauss
Substrat (Fisika-Kimia) : Tekstur
%
Peterson grab dan Hydrometer
C-organik
%
-
N-total
%
-
Kjeldahl
Walkey and Black 1934; Hesse 1971 Black et al. 1965; Hesse 1971
Lab Lab
Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Perairan Kuala Gigieng Aceh Besar pada bulan Agustus hingga Desember 2013 (Gambar 2).
6
Gambar 2. Perairan Kuala Gigieng Prosedur Percobaan Penentuan Stasiun Pengamatan Penentuan jarak dan letak stasiun didasarkan pada akses kegiatan masyarakat di sekitar Kuala Gigieng yang terdiri atas 3 stasiun pengamatan. Stasiun 1 yaitu daerah yang dekat dengan aktivitas masyarakat, Stasiun 2 yaitu daerah transisi dan Stasiun 3 yaitu daerah tidak ada aktivitas manusia yang sangat menonjol, namun pada ketiga stasiun tersebut terdapat aktivitas penangkapan kerang dan ikan (Lampiran 1). Pengambilan sampel air, tiram daging dan substrat di setiap stasiun menggunakan metode penarikan contoh purposive sampling yaitu 3 kali ulangan di bagian tepi kiri, tengah, dan kanan muara pada waktu surut. Pengambilan Sampel Tiram daging, Air dan Substrat Pengambilan sampel dilakukan sebanyak 6 kali pengamatan yaitu tanggal 1 Agustus 2013, 14 Agustus 2013, 29 Agustus 2013, 5 September 2013, 12 September 2013, dan 19 September 2013. Tahapan penelitian meliputi pengamatan, pengambilan sampel di lapangan, pengukuran, dan analisis di laboratorium. Pengambilan sampel tiram daging dan substrat dilakukan dengan menggunakan Peterson grab (berukuran 30 x 30 cm) pada setiap stasiun. Seluruh individu tiram daging dihitung jumlahnya dan dimasukan kedalam kantong plastik yang telah diberi label sesuai stasiun pengamatan. Semua sampel kemudian dibawa ke Laboratorium Terpadu KKP Unsyiah untuk dilakukan pengukuran morfometrik, penimbangan bobot, dan pengawetan tubuh tiram daging dengan NBF (Neutral Buffer Formalin) 10% serta identifikasi tiram daging menggunakan buku identifikasi moluska (Dance 1974; Kozlof 1987), sedangkan gonad dianalisis di Laboratorium Balai Budidaya Air Payau Ujung Batee, Banda Aceh.
7 Secara keseluruhan sampel air diukur secara insitu, kecuali Chemical Oxygen Demand (COD). Sampel air untuk COD dimasukkan ke dalam botol sampel, kemudian disimpan dalam cool box dan dibawa ke Laboratorium Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan (BPPL) untuk dianalisis. Penentuan tekstur, analisis kandungan N-total, dan C-organik dalam substrat dilakukan di Laboratorium Penelitian Tanah dan Tanaman Unsyiah. Data penangkapan nelayan dikumpulkan selama penelitian. Selama pengamatan, nelayan yang ditemukan mulai beraktivitas ketika surut pertama yaitu sekitar pukul 06.00 WIB, sedangkan ketika surut kedua yaitu sekitar pukul 16.00 WIB, tidak ditemukan adanya nelayan yang menangkap tiram. Pengukuran Morfometrik Bobot Tubuh Studi morfometrik merupakan salah satu bagian dari studi ekobiologi yang digunakan untuk mempelajari sebaran ukuran suatu organisme dalam habitat. Berdasarkan kajian morfometrik, dapat diduga stok sebaran populasi, yakni dugaan mengenai ketersediaan ukuran tiram daging di lingkungan perairan yang berhubungan dengan eksploitasi atau pemanfaatannya. Setelah mengetahui stok sebaran populasi dan hubungannya dengan kemampuan reproduksi yang diwakili dengan Indeks Kematangan Gonad (IKG), maka dapat diestimasi selang ukuran tiram yang layak tangkap agar keberadaan kerang tetap terjaga (Chaparro et al. 2008). Morfometrik merupakan ciri yang berhubungan dengan ukuran bagian tubuh suatu organisme. Pada moluska, ciri morfometrik yang umumnya diamati meliputi panjang, lebar, dan tebal umbo pada kedua cangkang (Ferreira et al. 2006). Pengukuran morfometri tiram daging dilakukan dengan menggunakan jangka sorong digital dengan ketelitian 0,01 mm, mengikuti metode Winder (2011) terhadap karakter-karater panjang cangkang (Pc), lebar cangkang (Lc), dan tebal cangkang (Tc) (Gambar 3). Panjang cangkang diukur secara horizontal dari tepi ujung anterior hingga tepi ujung posterior cangkang, lebar cangkang diukur secara vertikal pada bagian dorsal ke bagian ventral cangkang, dan tebal cangkang diukur dari tepi cangkang bagian atas ke tepi cangkang bagian bawah (Tlig-Zouari et al. 2010). Pengukuran bobot tubuh total dilakukan dengan cara menimbang keseluruhan dari tubuh tiram daging beserta cangkangnya menggunakan timbangan Ohauss dengan ketelitian 0,0001 g. Berat daging tiram didapat dengan menimbang daging yang dipisahkan dengan cangkang. Berat gonad didapat dengan menimbang gonad yang dipisahkan dengan tubuh. Gonad pada tiram daging sulit dipisahkan dengan mantel, karena gonad berada di sepanjang mantel, sehingga diasumsikan berat gonad sebagai berat kedua gonad beserta mantel pada sisi kiri dan kanan cangkang (Allison 2008).
Analisis Data Kepadatan Kepadatan adalah jumlah individu persatuan luas (Brower dan Zar 1977) dengan formulasi sebagai berikut:
8
D= keterangan: D Ni A
Ʃ Ni A
= Kepadatan tiram daging (ind/m2) = Jumlah tiram daging yang tertangkap pada grab ke-i = Luas cakupan grab (m2)
Menurut Mann dan Southworth (2009), kepadatan dan biomassa tiram cenderung berkaitan dengan habitat dan waktu. Kepadatan kerang tersebut akan menurun karena penangkapan, penyakit, predasi, dan perubahan habitat (Wang et al. 2008). Sebaliknya, kepadatan akan meningkat ketika pemijahan dan pengaruh kualitas perairan yang baik untuk kehidupan tiram tersebut (Mann et al. 2009). (a)
Dorsal Margin
(b) Tebal Cangkang Maximum Width (from dorsal to ventral margin)
Anterior Margin
Posterior Margin
Ventral Margin Maximum Length (from anterior to posterior margin)
Gambar 3. Pengukuran Morfometrik Tiram Daging Menurut Winder (2011) Pola Penyebaran Habitat dan penyebaran tiram daging bergantung pada banyak faktor yang berinteraksi secara kompleks seperti proses geologi, fisika-kimia, dan biologi (Menzel et al. 1966). Jenis substrat dan ukurannya merupakan salah satu faktor ekologi yang mempengaruhi bahan organik dan penyebaran organisme (AlKhayat dan Al-Ansi 2008; Rizal et al. 2013). Untuk mengetahui pola sebaran suatu organisme pada habitat digunakan metode Indeks Morisita (Brower dan Zar 1977). ∑ ni2 - N Id = q N(N - 1) keterangan: Id = Indeks Morisita ni = Jumlah individu jenis pada grab sampel ke-i N = Jumlah total individu jenis dari semua grab sampel q = Jumlah grab pengambilan sampel
9 Hasil indeks Morisita yang diperoleh dikelompokkan sebagai berikut: Id <1 = Pola sebaran individu jenis bersifat seragam Id =1 = Pola sebaran individu bersifat acak Id >1 = Pola sebaran individu jenis bersifat mengelompok Untuk menguji kebenaran Indeks Morisita, digunakan suatu uji statistik yaitu Uji Chi-Square dengan persamaan berikut: Xi2 χ2 = n -N N Keterangan: χ2 = Nilai Chi-Square n = Jumlah unit pengambilan contoh xi = Jumlah individu tiap stasiun N = Jumlah total individu yang diperoleh i = 1,2,3…,n Kemudian nilai χ2 hitung dibandingkan dengan χ2 tabel, dengan hipotesis jika χ2 hitung > χ2 tabel maka tolak H0, bila jika χ2 hitung < χ2 tabel maka gagal tolak H0, dimana H0 : Id = 1, bersifat acak dan H1 : Id ≠ 1, tidak acak (Id>1, bersifat mengelompok; Id<1, bersifat seragam).
Analisis Kondisi Habitat Pengelompokkan stasiun ada dua macam yaitu pengelompokan stasiun berdasarkan parameter fisika-kimia dan pengelompokan berdasarkan parameter biologi. Pengelompokan stasiun berdasarkan parameter fisika-kimia ditentukan dengan menggunakan Canberra metric (Clifford dan Stephenson 1975) yaitu menggunakan rumus: n 1 |yi1 - yi2| C= ∑ n yi1 + yi2 i=1
keterangan: C n yi1 yi2 i
= Canberra metric = Jumlah parameter yang dibandingkan = Nilai parameter fisika-kimia ke-i stasiun 1 = Nilai parameter fisika-kimia ke-i stasiun 2 = 1, 2, ….., n
Selanjutnya untuk melihat tingkat kesamaan antara stasiun pengamatan digunakan rumus: S=1–C keterangan: S = Kesamaan antara stasiun C = Canberra metric Berdasarkan parameter biologi, kesamaan antara stasiun pengamatan ditentukan indeks Bray-Curtis (Bray dan Curtis 1957) yaitu dengan rumus:
10 ∑ni=1 |Xi1 - Xi2| B= n ∑i=1 (Xi1 + Xi2) keterangan: B Xi1 Xi2 i n
= Indeks Bray-Curtis = Nilai parameter biologi ke-i pada stasiun 1 = Nilai parameter biologi ke-i pada stasiun 2 = 1, 2, …..,n = Jumlah parameter yang dibandingkan
Kemudian tingkat kesamaan antara stasiun pengamatan ditentukan dengan menggunakan rumus: S=1–B keterangan: S = Tingkat kesamaan antara stasiun pengamatan B = Indeks Bray-Curtis Nilai kesamaan berkisar dari 0 sampai 1, jika nilai kesamaan mendekati 0, berarti tingkat kesamaan rendah dan jika nilai kesamaan mendekati 1 berarti tingkat kesamaan tinggi. Berdasarkan nilai tingkat kesamaan maka dapat dibuat matrik kesamaan dan dendogram antara stasiun pengamatan menggunakan program EXCELSTAT 2013.5.05 untuk mengetahui tingkat kesamaan dan pengelompokkan stasiun baik berdasarkan parameter fisika-kimia air dan biologi. Sebaran Ukuran Kelompok ukuran tiram daging dipisahkan menggunakan metode Bhattacharya dalam program FAO-ICLARM Fish Stock Assesment Tools (FiSAT) II (Sparre dan Venema 1999) yaitu sebagai berikut : 1. Menentukan nilai maksimum dan minimum dari keseluruhan data. 2. Menghitung jumlah kelas ukuran dengan rumus : K = 1 + (3,32 log n) Keterangan: K = Jumlah kelas ukuran n = jumlah data pengamatan 3.
Menghitung rentang wilayah Wilayah = Data terbesar – Data terkecil
4.
Menghitung lebar kelas Lebar Kelas =
5.
6. 7. 8.
Wilayah Jumlah Kelas
Menentukan limit bawah kelas yang pertama dan limit atas kelasnya. Limit atas kelas diperoleh dengan menambahkan lebar kelas pada limit bawah kelas. Memasukan semua limit kelas untuk setiap selang kelas. Menentukan nilai tengah bagi masing-masing selang dengan merataratakan limit kelas. Menentukan frekuensi bagi masing-masing kelas.
11 9.
Menjumlahkan frekuensi dan memeriksa apakah hasilnya sama dengan banyaknya total pengamatan. Distribusi frekuensi panjang cangkang kerang yang telah ditentukan dalam selang kelas yang sama kemudian diplotkan dalam sebuah sebuah grafik. Berdasarkan grafik tersebut, terlihat pergeseran distribusi kelas panjang cangkang. Pergeseran tersebut menggambarkan jumlah kelompok umur (kohort) yang ada. Parameter Pertumbuhan Menurut Gangnery et al. (2004), kelimpahan tiram daging secara berkelanjutan merupakan fungsi dari pertumbuhan dan kematian. Model pertumbuhan tergantung pada suhu, salinitas air, konsentrasi bahan organik, dan kepadatan (Rueda et al. 2005). Pemanfaatan energi oleh individu untuk pertumbuhan, pemeliharaan dan reproduksi melibatkan 3 bagian yaitu penyimpanan, volume tubuh, dan organ reproduksi. Panjang cangkang secara langsung berkaitan dengan volume tubuh yang merupakan dinamika hasil aliran energi antara ketiga bagian (Bahtiar et al. 2008; Bacher dan Gangnerya 2006). Parameter pertumbuhan tiram daging yang mencakup panjang cangkang asimtotik (L∞), koefisien pertumbuhan (K), dan umur teoritis pada saat kerang mempunyai ukuran nol (t0) dianalisis menggunakan program Electronic Lengths Frequency Analysis (ELEFAN I) yang terakomodasi dalam program FiSAT II berdasarkan data frekuensi panjang cangkang. Adapun prinsip penerapan frekuensi panjang terdiri atas dua tahap utama yaitu restruktur panjang dan penyesuaian kurva pertumbuhan. Prosedur yang harus dilalui adalah sebagai berikut : 1. Data sebaran frekuensi panjang dirunut menurut waktu (time series). Penyusunan kembali sebaran frekuensi panjang dengan batuan rataan bergerak (moving average) untuk memisahkan modus setiap contoh. Puncak-puncak (peaks) adalah frekuensi yang lebih besar dari frekuensi rataan bergeraknya, sedangkan lembah-lembah (throughs) merupakan frekuensi yang lebih kecil dari rataan bergeraknya. 2. Pemberian nilai positif dan negatif terhadap masing-masing puncak dan lembah, kemudian terhadap setiap contoh dihitung jumlah puncak yang tersedia (available sum of peaks/ASP). ASP merupakan skor maksimum yang dapat dicapai oleh sebuah kurva yang berupa nilai positif. 3. Pelacakan (tracking) kurva pertumbuhan melalui sejumlah contoh frekuensi panjang yang tersusun di atas. Kurva pertumbuhan yang dipilih adalah yang paling banyak melalui puncak dan menghindari lembah, atau kurva-kurva pertumbuhan yang menghasilkan nilai tertinggi dari ESP (Explained Sum of Peaks) atau ASP. Model pertumbuhan von Bertalanffy cocok untuk panjang cangkang tiram daging (Sparre dan Venema 1999) : Lt = L∞ (1 - e-k(t-t0)) keterangan: L∞ = panjang asimtotik (mm) k = konstanta pertumbuhan t = umur (tahun) t0 = umur teoritis saat panjang nol (tahun).
12 Pendugaan umur tiram daging pada umur teoritis (t0) dimaksudkan untuk mendapatkan informasi mengenai kerang tersebut yang juga disandingkan dengan informasi puncak pemijahan. Nilai t0 dapat diperoleh melalui nilai K dan L∞ yang diterapkan dalam persamaan empiris Pauly (1980) sebagai berikut : Log (-t0) = 0,3922 – 0,2752 (Log L∞) - 1,038 (Log K) keterangan: K L∞ t0
= koefisien pertumbuhan = panjang asimtotik (mm) = umur ketika panjang sama dengan nol (tahun)
Panjang maksimum diukur dengan persamaan: Lmaks = 0,95(L∞), maka umur kerang terpanjang (life span) diukur dengan persamaan: tmaks = 2,9957/K+t0. Hubungan Panjang dan Bobot Menurut Babaei et al. (2010), panjang dan bobot adalah dua komponen dasar dalam biologi spesies pada tingkat individu dan populasi. Informasi tentang hubungan panjang-bobot (LWR) sangat penting bagi pengelolaan perikanan yang sesuai. Data panjang-bobot juga digunakan dalam investigasi fisiologis, serta untuk mendapatkan perkiraan variasi musiman dalam pertumbuhan atau produktivitas. Pola pertumbuhan kerang dapat diketahui melalui hubungan panjang cangkang dengan bobot tubuh (berat basah) yang dianalisis melalui hubungan persamaan sebagai berikut: W = aLb keterangan: W = berat total (g) L = panjang total (mm) a dan b = konstanta Kemudian dilinierkan menjadi Log W = Log a + b Log L, dengan a dan b sebagai berikut: log a = ∑ log W × ∑(log L)2 - ∑(log L × log W) N × ∑(log L)2 – (∑ log L)2 b = ∑ log W – N × log a ∑ Log L Untuk melihat keeratan hubungan panjang-berat digunakan koefisien korelasi r dengan rumus sebagai berikut: r = ∑ (log L × log W) (∑ (log L)2 × ∑(log W)2)1/2 Nilai b yang ditemukan, kemudian dibandingkan dengan nilai b dari beberapa hasil penelitian tentang kerang lainnya. Indeks Berat Daging (IBD) Hubungan ini diambil dari perbandingan antara berat daging dengan berat total tiram daging berdasarkan kelas panjang (Effendie 1979). Besarnya
13 persentase berat daging terhadap berat total dilihat dengan persamaan sebagai berikut: Wd IBD = ( ) × 100% Wt keterangan: IBD = Indeks Berat Daging (%) Wd = berat daging (g) Wt = berat total (g) Indeks Kematangan Gonad (IKG) Nilai Indeks Kematangan Gonad (IKG) atau yang dikenal dengan Gonado Somatic Index (GSI) yaitu suatu nilai (%) sebagai hasil dari perbandingan gonad dengan berat tubuh (jaringan lunak) termasuk gonad dikalikan dengan 100 (Effendie 1979). IKG berfungsi untuk mengetahui perubahan yang terjadi secara kuantitatif sehingga pemijahan dapat diduga (Barber dan Blake 1991; Fisher et al. 1996). Nilai IKG ini akan terus meningkat dan mencapai batas maksimum pada saat akan terjadi pemijahan: Wg IKG = ( ) × 100% Wt keterangan: IKG = Indeks Kematangan Gonad (%) Wg = berat gonad (g) Wt = berat total (g) Tingkat Kematangan Gonad (TKG) Kondisi reproduksi digunakan untuk memperkirakan fekunditas atau potensi tiram daging dalam proses reproduksi yang normal atau tidak (Volety et al. 2009). Secara umum, tingkat kematangan gonad kerang tersebut dibagi dalam 5 tahap yaitu indeferensiasi, perkembangan awal, perkembangan akhir, pemijahan sebagian, dan pemijahan sempurna (Ferreira et al. 2006). Penentuan TKG didasarkan pada gambaran anatomi dan morfologi gonad, penimbangan bobot gonad serta penentuan Indeks Kematangan Gonad (IKG), kemudian dibuat preparat histologi. Pengamatan histologi gonad merupakan salah satu metode untuk mengetahui tingkat kematangan gonad, memeriksa kondisi gonad selama pengembangan, dan potensi reproduksi dibawah mikroskop. Analisis TKG menggunakan sediaan histologi dilakukan dengan mengambil perwakilan dari lokasi penangkapan sebanyak 20 sampel secara acak. Tipe Substrat Penentuan tipe substrat dilakukan dengan menggunakan segitiga tekstur USDA (The United State Departement of Agriculture) (Gee dan Bauder 1986), dengan memplotkan persentase fraksi substrat untuk mendapatkan tipe substrat (Gambar 4; Tabel 2).
14
Gambar 4 Tipe substrat dasar dari persentase liat, debu, dan pasir berdasarkan segitiga Tekstur USDA Sumber: Gee dan Bauder (1986) Tabel 2. Kategori Ukuran Partikel Substrat Kategori Diameter Partikel (mm) Kerikil >0,02 Pasir 0,05-2,00 Sangat kasar 1,00-2,00 Kasar 0,5-1,00 Sedang 0,25-0,50 Halus 0,10-0,25 Sangat halus 0,05-0,10 Debu 0,002-0,05 Liat <0,002 Sumber: Gee dan Bauder (1986) Analisis Hubungan Kegiatan Penangkapan dengan Populasi Famili Ostreidae Menurut Gangnery et al. (2004), penangkapan bergantung pada massa individu dan waktu. Waktu diperoleh melalui jadwal harian nelayan, yaitu durasi waktu yang dibutuhkan setiap nelayan untuk menangkap tiram daging. Penangkapan secara berlebih dapat mengurangi populasi tiram daging sehingga membatasi keberlanjutan populasinya dimasa depan. Oleh karena itu, perlu ditemukan model hubungan antara banyaknya penangkapan dengan tingkat populasi tiram pada setiap stasiun dengan menggunakan beberapa pendekatan statistika dengan melihat nilai koefisien determinasinya (R2) yang paling tinggi seperti: Analisis Regresi Linier Sederhana (RLS) 1. y = a + bx dimana a dan b dapat di cari dengan rumus:
15
a= 2.
∑ 𝑦𝑖 n
-b
∑ 𝑥𝑖 n
;
b=
n ∑ xiyi - ∑ xi ∑ yi n ∑ xi2 - ( ∑ xi)2
Eksponensial Y = f(x) = ax dengan a > 0 dan a ≠ 1
3.
Logaritma y = loga x; x = ay dengan a > 0 dan a ≠ 1
4.
Persamaan Parabola y= f(x) = ax2 + bx+ c, a ≠ 0 berbentuk parabola
Jika nilai a>0, maka parabola terbuka ke atas dan mempunyai nilai ekstrim minimum. Sedangkan jika nilai a<0, maka parabola terbuka ke bawah dan mempunyai nilai ekstrim maksimum. 5.
Non-linear Relationship (The Power Law) y = axn
3 HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Kawasan Penelitian Secara geografis, Aceh Besar terletak antara 5,20-5,80 LU dan 95,00-95,80 BT (BPS 2013). Kabupaten Aceh Besar memiliki batas utama yaitu sebelah Barat dengan Samudera Hindia, sebelah Timur dengan Kabupaten Pidie, sebelah Utara dengan Selat Malaka, dan sebelah Selatan dengan Kabupaten Aceh Jaya (Suryadiputra et al. 2006). Wilayah Kabupaten tersebut terbagi dalam tiga kawasan pesisir yaitu kawasan Pesisir Barat, Utara, dan Timur. Kawasan Pesisir Barat di pantai Samudera Hindia, sedangkan kawasan Pesisir Utara dan Timur berada di pantai Selat Malaka. Kuala Gigieng merupakan salah satu kawasan estuaria yang berada di Pesisir Utara, Kabupaten Aceh Besar. Secara geografis perairan ini terletak pada 5°37'20,87" LU dan 95°23'48,54" BT dengan luas 4.000 m2 dan kedalaman ±3,5 m. Kuala Gigieng termasuk dalam Kecamatan Baitussalam yang diapit oleh tiga desa yaitu Gampong Baro, Gampong Lamnga, dan Gampong Lambada Lhok serta berhubungan langsung dengan Selat Malaka dan Sungai Neuheun (Marwantim et al. 2012; BPS Aceh 2013). Kawasan Kuala Gigieng ini merupakan kawasan yang umum digunakan sebagai lokasi kegiatan perikanan seperti penangkapan ikan dan kerang. Namun tidak semua wilayah yang berada di perairan ini digunakan sebagai lokasi penangkapan oleh masyarakat sekitar. Hanya lokasi yang memiliki akses termudah serta jarak yang tidak terlalu jauh yang menjadi lokasi inti penangkapan. Masyarakat yang melakukan penangkapan juga bukan berasal dari desa-desa setempat bahkan ada masyarakat yang berasal dari desa lain. Kegiatan penangkapan di Perairan Kuala Gigieng ini dipengaruhi oleh pasang surut. Tipe pasang surut di perairan ini adalah pasang surut harian ganda
16 (semi diurnal tide) yaitu pasang surut yang terjadi dua kali air pasang dan dua kali air surut dengan tinggi yang hampir sama dan terjadi secara berurutan dan teratur, dengan rata-rata waktu adalah 12 jam 24 menit (Zahel et al. 2000). Tipe pasang surut semi diurnal ini terjadi di Selat Malaka sampai Laut Andaman. Jenis kerang-kerangan dari kelompok tiram daging (Ostreidae) yang umum ditemukan di Perairan Kuala Gigieng terdiri atas 2 genus yaitu Ostrea dan Crassostrea. Selain Ostreidae, juga terdapat kerang-kerangan lainnya seperti famili Mactracea, Mytilacea, Pectinacea, Tellinacea, genus Anadara, Gafrarium, Timoclea. Serta jenis gastropoda yaitu genus Bursa, Cerithidae, Nerita, Nassarius, Natica, dan krustasea yaitu genus Heloecius, Myctyris, Uca. Namun moluska tersebut cenderung jarang ditemui dibandingkan tiram (Fadhilah et al. 2012). Secara keseluruhan, Perairan Kuala Gigieng memiliki potensi tiram daging yang cukup tinggi, sebab pada pasar-pasar tradisional, kerang yang diperdagangkan umumnya berasal dari Kuala Gigieng. Hal ini dikarenakan cita rasanya dan ukurannya yang berbeda dengan kerang di perairan lainnya. Tiram daging di Perairan Kuala Gigieng lebih manis dan gurih bahkan bila dimakan mentah sekalipun serta berukuran lebih besar, sedangkan tiram di perairan lain seperti di Laut Ulhee Lheu, rasanya lebih hambar dan cenderung berbau amis serta berukuran lebih kecil. Oleh karena itu, masyarakat lebih cenderung menyukai tiram daging di Perairan Kuala Gigieng dibandingkan tiram di perairan lainnya. Hasil Kondisi Fisika-Kimia Air dan Sedimen Perairan Parameter fisika, kimia, dan biologi merupakan faktor pembatas bagi distribusi dan kepadatan tiram daging, selain faktor tingkah laku dan interaksi antar organisme. Secara keseluruhan, kondisi kualitas Kuala Gigieng masih mendukung kehidupan kerang tersebut, karena memiliki tingkat toleransi lingkungan yang sangat tinggi (Tabel 3). Kisaran suhu di Perairan Kuala Gigieng relatif tinggi, namun masih mendukung pertumbuhan dan reproduksi tiram daging. Hal ini sesuai dengan pernyataan Cognie et al. (2006) dan Diederich (2006) bahwa Crassostrea memiliki toleransi yang luas terhadap berbagai suhu dan kondisi lingkungan sehingga menjadi spesies yang banyak dibudidayakan di seluruh dunia. Crassostrea mampu hidup dalam kisaran suhu 5-35 0C (optimum 11-34 0C ) dan masih bertahan pada suhu -5 0C (Nehring 2006). Pola arus permukaan di Kuala Gigieng lebih banyak dipengaruhi oleh lingkungan fisik setempat, serta menunjukkan pola yang teratur, yaitu bolak-balik dengan arah keluar masuk yang dipengaruhi oleh pasang surut. Perairan Kuala Gigieng memiliki kriteria perairan dengan arus sedang (Wood 1987) karena berkisar antara 18-29 cm/s, sehingga substrat relatif tidak terlalu banyak teraduk. Kisaran arus permukaan perairan Kuala Gigieng masih sesuai bagi kehidupan tiram daging. Hal tersebut didukung oleh pernyataan Weston (1990) bahwa bentos akan tetap hidup pada perairan yang mempunyai kecepatan arus kurang dari 50 cm/s.
17 Tabel 3. Parameter Kualitas Air dan Sedimen di Kuala Gigieng Parameter
Satuan
Stasiun Pengamatan 1
2
3
C
27,12
29,39
30,22
Kecepatan Arus
cm/s
17, 30
22,33
28,97
Kecerahan
%
35
50
73
kedalaman
cm
75
70
80
pH
-
6,10
7,21
7,13
Salinitas
‰
7
17
26
Oksigen terlarut
mg/l
4,17
6,53
7,46
COD
mg/l
774,06
669,70
542,13
C-Organik
%
3,10
2,55
2,29
N-total
%
0,29
0,3
0,27
Tekstur
-
Pasir berlempung
Pasir berlempung
Pasir
Kualitas Air Suhu
0
Sedimen
Nilai kecerahan dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu pengukuran, kekeruhan, dan padatan tersuspensi, serta ketelitian si pengamat yang melakukan pengukuran (Effendie 2003). Nilai Kecerahan pada perairan Kuala Gigieng berkorelasi dengan kedalaman, karena diasumsikan persentase kecerahan adalah 100 % dan bergantung pada kedalaman. Stasiun 3 memiliki persentase kecerahan tertinggi yaitu 70,17 % dan terendah pada Stasiun 1 yaitu 38,33 %. Rendahnya kecerahan di Stasiun 1 disebabkan oleh adanya bahan organik dan anorganik yang tersuspensi dan terlarut (misalnya lumpur dan pasir halus), plankton, dan mikroorganisme lain. Kekeruhan tinggi tidak disukai oleh organisme akuatik terutama kerang karena mengganggu sistem pernafasan ataupun osmoregulasi, sehingga menghambat proses pergerakan dan aktivitas mencari makan (Hutagalung 2001). Tetapi kecerahan yang terlalu tinggi juga dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan larva kerang. Nilai pH perairan Kuala Gigieng tergolong normal bagi kehidupan tiram daging. Menurut Effendi (2003), jika pH antara 5,50-6,00 maka keanekaragaman bentosnya sedikit. Diederich (2006) mengatakan bahwa tiram daging mampu hidup dalam perairan dengan pH antara 6,80-9,25. Namun apabila kurang atau lebih dari kisaran pH tersebut maka kerang tersebut akan mati atau menjadi abnormal. Kisaran salinitas di perairan Kuala Gigieng juga masih juga mendukung kehidupan tiram daging. Tingginya kadar salinitas di Stasiun 3 disebabkan karena letak lokasi tersebut yang langsung berhubungan dengan laut, sedangkan Stasiun 1 berada jauh dari bibir pantai serta masih dipengaruh masukan air tawar, sedangkan Stasiun 2 merupakan daerah transisi sehingga salinitasnya tergolong sedang. Menurut Mann et al. (2009), Crassostrea menyukai salinitas antara 10-30 ‰ (optimum 20-30 ‰), sedangkan menurut Vercaemer et al. (2006) Ostrea menyukai salinitas 23 ‰. Kandungan oksigen terlarut (DO) pada Stasiun 1 tidak sesuai lagi dengan baku mutu, karena menurut Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 51
18 Tahun 2004, apabila oksigen terlarut di perairan <5, maka akan membahayakan kehidupan organisme akuatik. Rendahnya kandungan DO (deplesi) pada perairan akan menyebabkan tiram daging mengalami hipoksia (kondisi kekurangan oksigen) (Hunter et al. 1998). Tiram daging merupakan spesies yang toleran, namun tetap dalam batasan tertentu. Sparks et al. (1958) mengatakan bahwa Crassostrea mampu bertahan hidup selama 5 hari dalam perairan yang mengandung >1 mg/l oksigen terlarut. Kandungan Kebutuhan Oksigen Kimia (COD) di Kuala Gigieng cenderung tinggi, terutama pada Stasiun 1. Menurut Razak et al. (1980), kadar COD di perairan Selat Malaka memang tergolong tinggi yaitu 776,08 mg/l dan terendah adalah 10,84 mg/l. Hal ini diduga karena masukan limbah pemukiman, industri serta padatnya aktivitas kapal. Menurut Effendie (2003), kandungan COD pada perairan tidak tercemar biasanya kurang dari 20 mg/l, sedangkan pada perairan tercemar dapat lebih dari 200 mg/l dan pada limbah industri dapat mencapai 60.000 mg/l, sehingga berdasarkan kriteria tersebut maka perairan Kuala Gigieng tergolong tercemar. Pada umumnya fraksi sedimen yang terdapat di Kuala Gigieng didominasi oleh pasir sedangkan tekstur sedimen yang dimiliki adalah pasir dan pasir berlempung. Hal ini sesuai dengan penelitian Marwantim et al. (2012) yang menyatakan persentase sedimen di Kuala Gigieng terdiri dari pasir sedang, pasir halus, pasir kasar, pasir sangat halus, sampai lumpur. Tingginya persentase pasir yang terdapat di Kuala Gigieng diduga akibat perairan ini berhubungan langsung dengan Selat Malaka, sehingga arus yang dihasilkan sedang dan menyebabkan tekstur sedimen yang terbentuk adalah berpasir (Nybakken 1992). Tekstur sedimen pasir berlempung dan pasir ini sesuai bagi habitat tiram daging, karena menurut Vercaemer et al. (2006), Ostrea dan Crassostrea menyukai tekstur tersebut. Menurut Djainuddin et al. (1994), terdapat karakteristik kandungan Corganik, yaitu bila C-organik <1% dikatakan sangat rendah, 1,00-2,00 % dikatakan rendah, 2,01-3,00 % dikatakan sedang, 3,01-5,00 % dikatakan tinggi, dan >5,00 % dikatakan sangat tinggi. Berdasarkan hal tersebut maka dapat dikatakan kandungan C-organik di perairan Kuala Gigieng tergolong sedang. Kandungan C-organik optimum untuk moluska bentik termasuk tiram daging berkisar antara 3,55-5,88% (Rangan 1996). Nilai N-Total di Perairan Kuala Gigieng juga tergolong rendah. Hal ini berkaitan dengan tekstur sedimen yang didominasi oleh fraksi sedimen yang ukuran partikel lebih besar dari ukuran partikel lumpur yang kandungan zat organiknya lebih rendah. Minimnya Corganik dan N-total berperan terhadap rendahnya ketersediaan unsur hara di sedimen yang penting bagi tiram daging (Taqwa et al. 2014).
Struktur Populasi Kepadatan Populasi Kepadatan tiram daging di Perairan Kuala Gigieng tergolong rendah hingga tinggi. Stasiun 2 dan 3 memiliki kisaran kepadatan kerang yang sedang hingga tinggi yaitu berkisar 36-51 ind/m2, sedangkan Stasiun 1 memiliki kepadatan kerang yang rendah hingga sedang yaitu berkisar 11-38 ind/m2 (Gambar 5; Tabel 4). Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Tuan (2000) bahwa kerang dengan
19 kepadatan 51-100 ind/m2 tergolong tinggi, kepadatan 16-50 ind/m2 tergolong sedang, dan kepadatan 7-16 ind/m2 disebut tergolong rendah. Kepadatan (Ind/m2)
70 60 50 40
Stasiun 1
30
Stasiun 2
20
Stasiun 3
10 0 O.edulis C.iridescens C.virginica C.angulata
C.gigas
Spesies Ostreidae
Gambar 5. Kepadatan Rata-rata Tiram Daging di Kuala Gigieng Tabel 4. Kepadatan Populasi tiram daging dan panjang rata-ratanya di Kuala Gigieng Stasiun 1 Spesies
Stasiun 2
Stasiun 3
Kepadatan (ind/m2)
Panjang rata-rata (mm)
Kepadatan (ind/m2)
Panjang rata-rata (mm)
Kepadatan (ind/m2)
Panjang rata-rata (mm)
O. edulis
11
30,98
36
29,38
48
31,71
C. iridescens
15
31,77
36
32,35
37
31,39
C. virginica
26
29,20
42
32,51
48
26,71
C. angulata
38
30,82
49
39,52
50
29,77
C. gigas
38
34,03
51
25,1
49
31,26
Pola Penyebaran Pola penyebaran tiram daging di Perairan Kuala Gigieng cenderung mengelompok. Hal ini ditunjukkan dengan nilai indeks Morisita (Id) lebih besar dari 1 (>1) (mengelompok) (Tabel 5). Tabel 5. Pola Penyebaran Tiram Daging di Kuala Gigeng Spesies
Id
χ2hit
Ostrea edulis
2,39
461,76
Crassostrea iridescens
2,16
366,53
Crasssotrea virginica
2,15
467,42
Crasssotrea angulata
2,16
547,42
Crasssotrea gigas
2,16
490,64
χtab
Pola Penyebaran
49,80
Mengelompok
Kondisi Habitat Kondisi habitat tiram daging dapat diduga dengan mengelompokkan stasiun pengamatan berdasarkan parameter fisika-kimia dan biologinya. Pengelompokkan habitat berdasarkan parameter fisika-kimia dengan
20
0.9 0.1
0.2 1.6
0.8 0.2
0.3 1.4
0.7 0.3
0.6 0.8
0.5 0.5 0.4 0.6
0.8 0.4
0.2 0.8
0.9 0.2
0.1 0.9
01
10
ST 3
0.3 0.7
ST 2
0.7 0.6
ST 3
0.5 1
0.6 0.4
ST 2
0.4 1.2
ST 1
Kesamaan
0.1 1.8
ST 1
Kesamaan
menggunakan Canberra metric menunjukkan kesamaan dengan pengelompokkan habitat berdasarkan parameter biologi dengan menggunakan Indeks Bray-Curtis (Bray dan Curtis 1957). Hal ini berarti parameter fisika-kimia yang diukur mempunyai pengaruh terhadap keberadaan tiram daging di Kuala Gigieng. Parameter fisika-kimia yang dikelompokkan adalah suhu, kecepatan arus, kecerahan, salinitas, DO, COD, pH air, C-Organik, dan N-total, sedangkan parameter biologi yang dikelompokkan adalah kepadatan tiram daging di Kuala Gigieng. Gambar 6 (a) dan (b) menunjukkan bahwa Stasiun 2 dan 3 memiliki nilai kesamaan habitat (mendekati 1) berdasarkan parameter fisika-kimia serta biologi dan menjadi 1 kelompok, sedangkan Stasiun 1 menjadi kelompok terpisah dengan Stasiun 2 dan 3 karena kesamaannya yang rendah (mendekati 0) (Gambar 6).
(a) Parameter fisika-kimia (b) Parameter biologi Gambar 6. Dendogram Pengelompokan Habitat berdasarkan Parameter Fisikakimia dan Biologi Sebaran Ukuran Sebaran ukuran panjang tiram daging berkisar antara 6-10 kelas, O.edulis memiliki 6 kelas dengan ukuran terpanjang adalah 44,00-48,50 mm, namun frekuensi tertinggi diperoleh pada ukuran 24,00-28,50 mm sebanyak 101 individu. Crassostrea angulata memiliki 10 kelas dengan ukuran terpanjang adalah 73,0079,83 mm, namun frekuensi tertinggi diperoleh pada ukuran 24,00-30,82 mm sebanyak 122 individu. Crassostrea gigas memiliki 10 kelas dengan ukuran terpanjang adalah 49,00-52,91 mm namun frekuensi tertinggi diperoleh pada ukuran 29,00-32,91 mm sebanyak 88 individu. Crassostrea iridescens memiliki 9 kelas dengan ukuran terpanjang adalah 50,00-53,20 mm, namun frekuensi tertinggi diperoleh pada ukuran 34,00-37,20 mm sebanyak 64 individu. Crassostrea virginica memiliki 10 kelas dengan ukuran terpanjang adalah 49,5053,06 mm, namun frekuensi tertinggi diperoleh pada ukuran 25,50-29,06 mm sebanyak 96 individu (Gambar 7). Secara keseluruhan, frekuensi ukuran terbanyak yang ditemukan adalah selang ukuran 24-37,20 mm sebanyak 471 individu.
21 120
120
(b)
100
(a) n = 286
80 60
Frekuensi
Frekuensi
100
40
80
n = 306
60 40 20
20
0
0
Selang Kelas
120 100 80 60 40 20 0
120 100
(c)
n = 442
Frekuensi
Frekuensi
Selang Kelas
(d)
80
n = 446
60 40 20 0
Selang Kelas
Selang Kelas
120 Frekuensi
100 80
(e) n = 377
60 40 20 0
Selang Kelas
Gambar 7. Sebaran Ukuran tiram daging di Perairan Kuala Gigieng; (a) C.iridescens; (b) O.edulis; (c) C.angulata; (d) C.gigas; (e) C.virginica
Analisis kelompok ukuran tiram daging menggunakan metode Bhattacharya menghasilkan satu dan dua kohort yang berbeda pada masingmasing kelompok ukuran spesies (Gambar 8, 9, 10, 11, 12).
22
(a)
(b)
n= 31
n= 52
Agustus
September
(c)
(d)
n= 19
n= 23
Agustus
September (e) n= 18
(f) n= 21
Agustus September Gambar 8. Sebaran ukuran dan kohort C.angulata (a,b) Stasiun 1; (c,d) Stasiun 2; (e,f) Stasiun 3 (a)
(b)
n= 16
n= 22
Agustus
September
(c)
(d)
n= 37
n=35
Agustus
September
(e)
(f)
n=22
n=35
Agustus September Gambar 9. Sebaran ukuran dan kohort C.gigas; (a,b) Stasiun 1; (c,d) Stasiun 2; (e,f) Stasiun 3
23 (a)
(b)
n= 13
n= 11
Agustus
September (d)
(c)
n= 15
n= 28
Agustus
September (d)
(f) n=22
n=26
Agustus September Gambar 10. Sebaran ukuran dan kohort C.iridescens; (a,b) Stasiun 1; (c,d) Stasiun 2; (e,f) Stasiun 3 (a)
(b)
n= 11
n= 23
Agustus
September
(c)
(d)
n= 27
n= 29
Agustus
September
(e)
(f)
n=32
n=29
Agustus Septembe Gambar 11. Sebaran ukuran dan kohort C.virginica; (a,b) Stasiun 1; (c,d) Stasiun 2; (e,f) Stasiun 3
24
(a)
(b)
n= 28
n= 22
Agustus
September
(c)
(d)
n= 19
n= 23
Agustus
September
(e)
(f)
n= 24
n=30
Agustus September Gambar 12. Sebaran ukuran dan kohort O.edulis; (a,b) Stasiun 1; (c,d) Stasiun 2; (e,f) Stasiun 3 Dua generasi dari populasi tiram daging umumnya ditemukan pada bulan September dan satu generasi ditemukan pada bulan Agustus. Panjang rata-rata Crassostrea pada bulan Agustus berkisar 15,50-49,18 mm, dan bulan September berkisar 21,2-40,48 mm, sedangkan Ostrea berkisar 27,27-37,28 mm. Ukuran panjang rata-rata pada kedua bulan tersebut menghasilkan dugaan ukuran layak tangkap Crassostrea yaitu 30,06 mm, sedangkan Ostrea yaitu 32,27 mm (Tabel 6). Selanjutnya dari analisis menggunakan metode Bhattacharya tersebut terdapat juga pemisahan kelompok umur tiram daging berdasarkan nilai Separation Index (SI). Apabila nilai SI lebih besar dari 2 (SI>2), maka pemisahan kelompok umur memperlihatkan hasil yang sangat siginifikan, sehingga terlihat jelas adanya keberadaan generasi dalam populasi tersebut. Sebaliknya, apabila nilai SI lebih kecil dari 2 (SI<2), maka pengelompokkan umur kerang tidak memberikan hasil yang signifikan karena tidak adanya keberadaan generasi dalam populasi tersebut. Tabel 6 menunjukkan, Crassostrea mengalami keberlanjutan populasi (SI >2) terutama Stasiun 2 dan 3, sedangkan Ostrea tidak memiliki keberlanjutan generasi (<2).
25 Tabel 6. Panjang Rata-rata Tiram Daging berdasarkan Metode Bhattacharya
C.angulata
spesies
Panjang rata-rata (mm) Agustus Panjang rata-rata (mm) Populasi (Individu)
September
1
2
3
1
2
3
24,46±12,52
15,50±2,77
19,50±3,57
27,84±9,06
31,08±2,90
24,58±3,26 37,65±3,27
31
19
18
52
23
8 n.a
n.a
n.a
n.a
n.a
C.gigas
SI Panjang rata-rata (mm) Populasi (Individu)
30,50±3,58
17,26±1,95
16
27
n.a
C.iridescens
26,48±4,68
34,22±2,65
13
C.virginica O.edulis
n.a
24,62±7,37
27,27±5,55
31,85±2,10
31,85±2,10
14
14
21
21
n.a
n.a
3,3
3,3
26,70±2,65
20±4,18
28
21
36,02±3,19 11
15
n.a
n.a
23±3,40
32,12±4,57
21,50±3,40
n.a
n.a
27
9
40,48±5,18
29,22±4,19
n.a
23
27
32,07±2,26
35,12±3,46
16 13
n.a
n.a
2,25 35,78±5,66
21,21±2,38 34,80±3,57
23 n.a
n.a 4,35
31,97±5,92 11
15 7
4,35
n.a 4,57
37,27±4,18
29,5±3,76
27,27±3,34 32,15±5,12
28
19
24
22
23
13 17
n.a
SI
n.a
24,50±2,24
5
n.a
Populasi (Individu)
22
24,50±2,24
49,18±8,70
SI Panjang rata-rata (mm)
18
1,88
n.a
Populasi (Individu)
29,07±5,47
4
SI Panjang rata-rata (mm)
26±n.a 30,50±1,88
n.a
Populasi (Individu)
n.a 8
SI Panjang rata-rata (mm)
13
n.a
n.a
n.a
n.a
n.a 1
Panjang asimtotik menunjukkan seberapa besar ukuran cangkang yang dapat dicapai oleh suatu individu kerang (ukuran tua). Koefisien pertumbuhan (K) merupakan faktor penting untuk mengetahui laju pertumbuhan kerang mencapai ukuran asimtotik. Menurut Sparre dan Venema (1998), nilai (K) berbeda antara satu jenis dengan jenis lainnya, bahkan perbedaan tersebut dapat terjadi pada jenis yang sama dengan lokasi yang sama. Nilai-nilai L∞ dan K yang telah diperoleh
26 tersebut, kemudian dianalisis untuk mendapatkan nilai t0 (umur pada saat panjang sama dengan nol). Umur t0 dinamakan juga sebagai parameter kondisi awal (the initial condition parameter) yang menentukan titik dalam ukuran waktu ketika (ikan/kerang) memiliki panjang nol. Jika ditinjau dari segi biologi, hal ini berarti pertumbuhan yang dimulai ketika larva telah memiliki panjang tertentu (Sparre dan Venema 1998). Tabel 7. Model Persamaan von Bertalanffy pada masing-masing Ostreidae Stasiun
1
2
3
Spesies
Lt = L inf (1-e-k(t-t0)
O. edulis
Lt = 43,05 (1-e -0,57 (t-0,19))
C. iridescens
Lt = 50,40 (1-e -0,48 (t-0,25))
C. angulata
Lt = 76,65 (1-e -1,1 (t+0,16))
C. virginica
Lt = 47,25 (1-e -0,69 (t-0,09))
C. gigas O. edulis C. iridescens C. angulata
Lt = 50,40 (1-e -1,1 (t+0,11)) Lt = 42 (1-e -1,1(t+0,04)) Lt = 42,21 (1-e -0,57 (t+0,30)) Lt = 64,05 (1-e -1,3 (t+0,07))
C. virginica C. gigas O. edulis
Lt = 51,55 (1-e -0,49 (t+0,40)) Lt = 39,90 (1-e -0,5 (t+0,36)) Lt = 45,15 (1-e-0,54(t+0,34))
C. iridescens
Lt = 52,5 (1-e-0,68(t+0,25))
C. angulata
Lt = 47,78(1-e-0,93(t+0,10))
C. virginica
Lt = 43,58 (1-e-0,66(t+0,24)
C. gigas
Lt = 46,20 (1-e-0,41 (t+0,46))
90
Panjang Total (mm)
80 70
O.edulis
60
C.iridescens
50
C.angulata
40 30
C.virginica
20
C.gigas
10 0 0
1
2 Umur (Tahun)
3
4
Gambar 13. Kurva Dugaan Pertumbuhan Spesies Tiram Daging di Stasiun 1
Panjang Cangkang (mm)
27 80 70 60 50 40 30 20 10 0
O.edulis C.iridescens C.angulata C.virginica C.gigas 0
1
2
3
4
Umur (Tahun)
Gambar 14. Kurva Dugaan Pertumbuhan Spesies Tiram Daging di Stasiun 2 80 Panjang Cangkang (mm)
70 60 50
O.edulis C.iridescens C.angulata C.virginica C.gigas
40 30 20 10 0 0
1
2 Umur (Tahun)
3
4
Gambar 15. Kurva Dugaan Pertumbuhan Spesies Tiram Daging di Stasiun 3 Setiap tiram daging memiliki umur maksimal tertentu untuk mencapai panjang maksimalnya. O.edulis memiliki umur maksimum (tmaks) yaitu 0,11-1,89 tahun untuk mencapai panjang maksimal (Lmaks) 39,90-42,89 mm. C. iridescens memiliki umur maksimum (tmaks) yaitu 0,48-0,68 tahun untuk mencapai panjang maksimal (Lmaks) 40,09-49,87 mm. C. angulata memiliki umur maksimum (tmaks) yaitu 0,16-0,46 tahun untuk mencapai panjang maksimal (Lmaks) 45,39-72,81 mm. C.virginica memiliki umur maksimum (tmaks) yaitu 0,42-2,44 tahun untuk mencapai panjang maksimal (Lmaks) 41,40-48,97 mm. C. gigas memiliki umur maksimum (tmaks) yaitu 0,32-3,42 tahun untuk mencapai panjang maksimal (Lmaks) 37,90-47,88 mm. Crassostrea gigas dan C. irisdescens memiliki pola pertumbuhan yang mengikuti kondisi lingkungan dibandingkan spesies lain. Pada lokasi yang tekanan lingkungan dan penangkapan tinggi (Stasiun 1), C.gigas memiliki laju pertumbuhan untuk mencapai panjang tua (K dan Linf) sangat besar, sedangkan di lokasi yang tekanan lingkungan dan penangkapan masih rendah (Stasiun 2 dan 3), laju pertumbuhan untuk mencapai panjang tua sangat kecil. Sebaliknya, C.iridescens memiliki laju pertumbuhan untuk mencapai panjang tua sangat kecil pada stasiun 1, sedangkan di Stasiun 2 dan 3, laju pertumbuhan untuk mencapai panjang tua sangat besar (Tabel 7; Gambar 13, 14, 15).
28 Hubungan Panjang dan Bobot Pola pertumbuhan tiram daging dapat juga dilihat dari analisis hubungan panjang cangkang dan bobot total tubuh (Gambar 16). Nilai koefisien b yang dimiliki tiram daging berkisar antara 1,27-1,87, nilai tersebut dibandingkan dengan nilai b dari beberapa hasil penelitian tentang kerang lainnya (Tabel 8). Secara keseluruhan, hasil perbandingan menyatakan bahwa pertumbuhan kerang cenderung kurus, dimana pertambahan cangkang lebih cepat dibandingkan bobot tubuh. Tabel 8. Nilai b Dari Beberapa Penelitian Tentang Kerang No.
Spesies
b
r
Sumber
1
Anadara granosa
1,20-2,72
0,75
Komala (2012)
2
Batissa violacea
1,40-1,91
0,93
Putri (2005)
3
Crassostrea madrasensis
1,06-2,07
0,78
Nagi et al. (2011)
4
Crassostrea gryphoides
0,76-1,99
0,74
Nagi et al. (2011)
5
Geloina erosa
2,60-2,77
0,95
Sarong (2010)
80.00
Bobot (g)
60.00
y = 0,1844x1,4884 R² = 0,65 N = 306
40.00 20.00
Bobot (g)
80.00
y = 0,4095x1,2725 R² = 0,71 N = 286
40.00 20.00 0.00
0.00 0
20 40 60 (a) Panjang (mm)
0
80
80.00
20 40 60 (b) Panjang (mm)
80
80.00 y = 0,2164x1,4895 R² = 0,67 N = 442
60.00 40.00 20.00
y = 0,0543x1,8652 R² = 0,70 N= 377
60.00 Bobot (g)
Bobot (g)
60.00
40.00 20.00
0.00
0.00 0
20 40 60 (c) Panjang (mm)
80
0
20 40 60 (d) Panjang (mm)
80
80.00
Bobot (g)
60.00 40.00 y = 0,0454x1,8757 R² = 0,77 N = 446
20.00 0.00 0
20 (e)
40
60
80
Panjang (mm)
Gambar 16. Hubungan Panjang dan Bobot tiram daging di Kuala Gigieng; (a) O.edulis; (b) C.iridescens; (c) C.angulata; (d) C.virginica; (e) C.gigas
29 Indeks Berat Daging (IBD) dan Indeks Kematangan Gonad (IKG) Persentase IBD dan IKG tiram daging mengalami fluktuasi. Berdasarkan kurva persentase IBD dan IKG pada setiap waktu dan stasiun pengamatan, maka dapat disimpulkan bahwa nilai IKG berbanding terbalik dengan IBD, ketika IKG meningkat maka IBD akan turun, begitupun sebaliknya (Gambar 17, 18, 19, 20, 21). IBD
30.00
IBD (%)
20.00 20.00 10.00 0.00
IKG (%)
IKG
40.00
0.00 1
2
3 4 Waktu (Minggu)
5
6
Gambar 17. Persentase IBD dan IKG O. edulis di Perairan Kuala Gigieng
IBD (%)
IKG
30.00 20.00
20.00 10.00 0.00
IKG (%)
IBD
40.00
0.00 1
2
3 4 Waktu (Minggu)
5
6
Gambar 18. Persentase IBD dan IKG C. iridescens di Perairan Kuala Gigieng IBD
IKG
25.00 20.00
30.00
15.00
20.00
10.00
10.00
5.00
0.00
IKG (%)
IBD (%)
40.00
0.00 1
2
3 4 Waktu (Minggu)
5
6
Gambar 19. Persentase IBD dan IKG C. angulata di Perairan Kuala Gigieng IBD
IKG
25.00 20.00
30.00
15.00
20.00
10.00
10.00
IKG (%)
IBD (%)
40.00
5.00
0.00
0.00 1
2
3 4 Waktu (Minggu)
5
6
Gambar 20. Persentase IBD dan IKG C. virginica di Perairan Kuala Gigieng
IBD
40.00 35.00 30.00 25.00 20.00 15.00 10.00 5.00 0.00
IKG
25.00 20.00 15.00 10.00
IKG (%)
IBD (%)
30
5.00 0.00 1
2
3 4 Waktu (Minggu)
5
6
Gambar 21. Persentase IBD dan IKG C. gigas di Perairan Kuala Gigieng Reproduksi dan Perkembangan Gonad
Persentase Jenis Gonad (%)
Tingkat Kematangan Gonad (TKG) Pengamatan gonad tiram daging dilakukan untuk mengetahui perkembangannya serta waktu terjadinya pemijahan. Analisis terhadap tingkat kematangan gonad tidak dapat dilakukan secara visual karena gonad terbungkus mantel dan berada dalam cangkang yang tertutup rapat. Tingkat kematangan gonad hanya bisa dilakukan dengan analisis histologis. Analisis ini dilakukan dengan mengambil 10 sampel per genus yang mampu mewakili setiap fase gonad. Berdasarkan perkembangan gonad, gonad tiram dapat dikelompokkan kedalam 5 tipe (Tabel 9). Tipe gonad yang umum mendominasi di Stasiun 1, 2 dan 3 adalah jantan dan betina baik pada bulan Agustus maupun September (Gambar 22). 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00 B
J
HB Jenis Gonad
HJ
TT
Gambar 22. Jenis Gonad Tiram Daging di Kuala Gigieng; B (Betina); J (Jantan); HB (Hermaprodit Betina); HJ (Hermaprodit Jantan); TT (Tak Tentu) Sebelum terjadi pemijahan, masing-masing spesies tiram daging mengalami proses perkembangan gonad. Menurut da Silva et al. (2009), perkembangan gonad kerang tersebut didasarkan pada morfologi gonad yang dibagi dalam 5 tahap, yaitu tahap 0, 1, 2, 3, 4, dan 5. Tiram yang matang gonad diduga berukuran 30 mm.
31 Tabel 9. Tipe Gonad Tiram Daging di Kuala Gigieng No. Tipe Gonad Keterangan
1
Tak tentu Belum dapat dibedakan jantan dan betina
100 µm
2
Jantan (↓ merah) menunjukkan sel sperma matang (a)
a
200 µm
3
Betina (↓ hitam) menunjukkan oosit matang (b)
b
200 µm =======
4
Hermaprodit Betina (↓) lebih banyak oosit (b) yang matang dibandingkan sel sperma (a)
b
a
200 µm
5
Hermaprodit Jantan (↓) lebih banyak sel sperma matang (a) dibandingkan oosit matang (b)
b
200 µm =======
a
32 Tabel 10. TKG Pada Ostrea di Kuala Gigieng TKG Profil Sel Gamet Jantan Tahap I -
Profil Sel Gamet Betina
b
a
Gametogenesis dini Folikel berkembang (a) Sel sperma (b) dan sel oosit (c) mulai terbentuk.
c a 50 µm =======
50 µm =======
Tahap II
-
Semua tahapan sel sperma (b) dan sel oosit terlihat (c)
b
50 µm =======
Tahap III -
-
-
-
100 µm =======
a
b
Sel sperma (b) dan sel oosit (c) telah matang Folikel semakin meluas
Tahap IV Pemijahan sebagian Folikel kosong karena sebagian sel oosit telah keluar (a) Sel sperma matang sebagian masih terlihat (b) Sel oosit matang sebagian terlihat (c), dan kadang terlihat sisa sel sperma jantan yang akan berkembang ke fase seksual (b)
c
200 µm =======
100 µm =======
b
a
c
b
100 µm =======
200 µm =======
Tahap V -
Pemijahan selesai Sel sperma (b) dan sel oosit tinggal sedikit bahkan sangat sedikit (c)
b c
100 µm =======
100 µm =======
33 Tabel 11. TKG Crassostrea di Perairan Kuala Gigieng TKG Profil Sel Gamet Jantan Profil Sel Gamet Betina Tahap I -
Gametogenesis dini Folikel berkembang (a) Sel sperma (b) dan sel oosit (c) mulai terbentuk
b
b
Semua tahapan sel sperma (b) dan sel oosit terlihat (c)
c
-
-
c
b
Sel sperma (b) dan sel oosit (c) telah matang Folikel semakin meluas
b
Tahap IV Pemijahan sebagian Sel sperma (b) dan sel oosit (c) matang sebagian masih terlihat
Tahap V
200 µm =======
200 µm =======
Tahap III -
200 µm =======
200 µm =======
Tahap II
-
a
a
100 µm =======
100 µm =======
c
200 µm 200 µm ======= =======
b
c
Pemijahan selesai Sel sperma (b) dan sel oosit tinggal sedikit bahkan sangat sedikit (c)
50 µm =======
200 µm =======
Tiram daging yang ditemukan di Kuala Gigieng memiliki tingkat kematangan gonad yang bervariasi. Pada bulan Agustus-September, tiram umumnya pada kondisi kematangan gonad tingkat 3 (39,45 %) dan 4 (27,81%), sedangkan sisanya pada kematangan gonad tingkat 1 (3,81%), 2 (17,82 %), dan 5 (11,11%) (Gambar 23).
34 45.00 40.00 Persentase TKG (%)
35.00 30.00 25.00 20.00 15.00 10.00 5.00 0.00 1
2
3 4 Tingkat Kematangan Gonad
5
Gambar 23. Persentase TKG Tiram Daging di Kuala Gigieng
Hubungan Kegiatan Penangkapan terhadap Populasi Tiram Daging Analisis tingkat penangkapan terhadap populasi tiram daging menunjukkan adanya hubungan antara durasi waktu penangkapan dengan jumlah nelayan dengan hasil tangkapan yang berbeda antara stasiun. Stasiun 1, 2 dan 3 memiliki hubungan penangkapan berbentuk fungsi parabola kuadratik yang berarti bahwa sampai batas tertentu, semakin besar penangkapan yang dilakukan nelayan Kuala Gigieng, maka akan semakin besar hasil tangkapan sehingga akan berdampak pada populasi tiram daging (Gambar 24, 25, 26). Nelayan tiram di Kuala Gigieng melakukan penangkapan di 3 stasiun dengan total 21 orang nelayan. Sepuluh orang nelayan menangkap tiram dengan durasi waktu penangkapan berkisar 1-5 jam/hari. Total penangkapan terendah selama 6 kali pengamatan yaitu 30,98 kg dan tertinggi 208,02 kg, sehingga total tangkapan tiram yaitu 1370,10 kg. Hal tersebut terlihat pada Stasiun 1. Sebaliknya pada kondisi lain, 6 dan 5 orang nelayan tiram memiliki durasi penangkapan berkisar 2-4 jam/hari. Total penangkapan terendah selama 6 kali pengamatan dari 6 orang nelayan yaitu 33,98 kg dan tertinggi yaitu 180 kg dengan total tangkapan tiram adalah 646,97 kg, sedangkan 5 orang nelayan tiram memiliki tangkapan terendah sebesar 45,98 kg dan tertinggi sebesar 134 kg dengan total tangkapan yaitu 527,24 kg. Hal tersebut terlihat di Stasiun 2 dan 3.
35
Hasil Penangkapan (kg)
250
y = -29,724x2 + 202,43x - 160,02 R² = 0,84 n=10
200 150 100 50 0 0
1
2 3 4 Frekuensi Penangkapan
5
6
Gambar 24. Kurva Hubungan Tingkat Penangkapan terhadap Populasi Tiram Daging di Stasiun 1
Hasil Tangkapan (kg)
250 y = -13,798x2 + 150,57x - 201,49 R² = 0,95 n=6
200 150 100 50 0 0
1
2 3 4 Frekuensi Penangkapan
5
6
Gambar 25. Kurva Hubungan Tingkat Penangkapan terhadap Populasi Tiram Daging di Stasiun 2 Hasil Tangkapan (kg)
250 y = -6,8075x2 + 88,132x - 103,05 R² = 0,98 n=5
200 150 100 50 0 0
1
2 3 4 Frekuensi Penangkapan
5
6
Gambar 26. Kurva Hubungan Tingkat Penangkapan Tiram Daging terhadap Populasi Ostreidae di Stasiun 3
36 Pembahasan Struktur Populasi Tiram daging yang ditemukan di Perairan Kuala Gigieng Aceh Besar terdiri dari 2 genus yaitu Crassostrea dan Ostrea yang dengan 5 spesies yaitu Ostrea edulis, Crassostrea virginica, Crassostrea iridescens, Crassostrea angulata, dan Crassostrea gigas. Total sampel kerang yang dikumpulkan selama 6 kali pengamatan berjumlah 1857 individu, dengan jumlah masing-masing spesies yaitu O. edulis berjumlah 306 individu, C. angulata berjumlah 442 individu, C. gigas berjumlah 446 individu, C. iridescens berjumlah 286, dan C. virginica berjumlah 377 individu. Tiram daging merupakan kerang yang memiliki penyebaran luas meliputi perairan Indo-Pasifik mulai dari Laut Merah, Afrika Timur, Australia, Jepang, Indonesia, India dan Thailand (Alagarswami dan Narasimha 1973; Duangdee dan Yoosukh 1999; Widiarsih 1988 in Yulianda et al. 1994). Secara umum, tiram hidup di daerah intertidal dan subtidal yaitu di pesisir, muara laut, dan tepi pantai, menyukai habitat berlumpur, batu, pasir, kerikil, dan cangkang kerang. Di Kuala Gigieng, tiram yang ditemukan umumnya menempel antara sesamanya atau di substrat sehingga sulit dipisahkan. Hal ini juga ditemukan pada penelitian Yulianda dan Nurjaya (1994), bahwa tiram di Pesisir Marunda juga ditemukan hidup bersama, berdekatan dan mengelompok antara sesamanya karena larva suka menempel di permukaan dimana larva lain telah siap menempel. dipermukaan Biota ini bersifat filter feeder yang memakan mikroalga, fitoplankton, flagellata, diatom, protozoa, bakteri, ganggang, detritus, dan bahan organik. Ostrea edulis yang ditemukan di Kuala Gigieng memiliki cangkang bulat telur, bersisik, cangkang luar berwarna coklat, krem, bagian dalam cangkang berwarna putih mutiara dan tidak terlihat bekas otot aduktor, tekstur dagingnya lembut, berwarna krem pucat, serta rasanya asin-hambar. Umumnya genus Crassostrea memiliki cangkang memanjang, katup kiri selalu lebih besar dari katup kanan dan cenderung menangkup. C.gigas memiliki cangkang luar dan dalam berwarna putih, bekas otot aduktor tidak berwarna ,hidup pada perairan dangkal dengan kedalaman 3 m. C. virginica memiliki cangkang dalam berwarna putih, dan hanya pada bekas otot aduktor yang berwarna ungu gelap atau merah tua. C. angulata memiliki cangkang dalam, dan bekas otot aduktor berwarna ungu, merah tua, serta mampu hidup dalam kedalaman 5-40 m. C. iridescens memiliki chomata (dentikel) yang terdapat di pinggiran cangkang, cangkang dalam berwarna puti kecoklatan, bekas otot aduktor berwarna putih hingga kemerahan, mampu hidup pada kedalaman 7 m, 24 m hingga 79 m. Struktur populasi tiram daging di Kuala Gigieng dapat ditentukan dari keterkaitan kepadatan, pola penyebaran, sebaran ukuran, pertumbuhan dan reproduksi terhadap kondisi habitat perairan dan aktivitas penangkapan. Kepadatan kerang tersebut cenderung tinggi di Kuala Gigieng terutama di Stasiun 2 dan 3. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, seperti rendahnya tekanan lingkungan, dan aktivitas penangkapan, sehingga membuat kepadatan kerang di Stasiun 2 dan 3 cenderung lebih tinggi dibandingkan Stasiun 1. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Prasojo et al. (2012), bahwa kerang cenderung lebih banyak dijumpai pada daerah yang jauh dari tekanan lingkungan. Hal ini karena
37 tekanan lingkungan berpengaruh pada penurunan kualitas air, tingginya bahan pencemar, dan eksploitasi. Posisi stasiun diduga juga mempengaruhi kepadatan tiram daging. Stasiun 2 merupakan stasiun terlindung, sedangkan Stasiun 3 langsung berhadapan dengan mulut muara (pantai terbuka), sehingga diduga salinitas perairan yang optimal mempengaruhi kepadatan tiram daging (Volety et al. 2009; Livingston et al. 2000), karena berhubungan dengan pemijahan (Mann et al. 2009). Hal ini sesuai pernyataan Lejart dan Hily (2011), bahwa tiram yang berada di Teluk Brest juga memiliki kepadatan yang tinggi di pantai terbuka dan terlindung. Selain itu, pakan dan substrat juga merupakan faktor lingkungan yang mempengaruhi kepadatan tiram (Robinson et al. 2005; Yunitawati et al. 2012; Rizal et al. 2013; Silulu et al. 2013). Tiram daging cenderung menyukai lingkungan berlumpur atau berpasir di Kuala Gigieng. Tekstur berpasir dan pasir berlempung sangat menguntungkan kerang tersebut sebagai filter feeder (penyaring pakan) karena diduga tingginya kandungan oksigen pada substrat tersebut dibandingkan substrat berlumpur, sebaliknya substrat berlumpur memiliki kandungan unsur hara lebih tinggi dibandingkan dengan substrat pasir. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Nybakken (1992) bahwa, jenis sedimen dan ukurannya merupakan salah satu faktor ekologi dan mempengaruhi kandungan unsur hara, semakin halus tekstur subtrat, semakin besar kemampuannya menjebak unsur hara. Tiram daging di Kuala Gigieng cenderung membentuk pola penyebaran mengelompok. Hal ini sesuai dengan penelitian Asriyanti et al. (2012), Yulianda, dan Nurjaya (1994) tentang Crassostrea di Pantai Mayangan dan di Pesisir Marunda, Teluk Jakarta. Pola sebaran mengelompok ini juga terjadi pada Anadara granosa di Teluk Lada (Komala 2012), Batissa violaceae di Muara Sungai Batang Anai (Putri 2005), A.edentula di Teluk Ambon (Natan 2008) dan Geloina erosa di Pesisir Barat Aceh Besar (Sarong 2010). Pola penyebaran mengelompok merupakan bentuk penyebaran yang paling umum terjadi di alam. Hal ini diduga karena individu-individu tiram daging dalam populasi membentuk kelompok dalam berbagai ukuran. Faktor lingkungan yang diduga mempengaruhi pola penyebaran berkelompok kerang tersebut adalah tipe substrat pasir, dan pasir berlempung. Tiram diduga cenderung menyukai kedua tipe substrat tersebut terkait dengan pakan dan kandungan oksigen terlarut. Hal tersebut juga sesuai dengan penelitian Pattikawa dan Fernandus (2009) bahwa distribusi spesies Anodonta berkaitan erat dengan preferensi habitatnya. Tingkah laku (behaviour) dan daur hidup diduga juga mempengaruhi pola penyebaran tiram daging. Pengelompokkan habitat antara Stasiun 1, 2, dan 3 memiliki perbedaan. Hal ini disebabkan karena pengaruh dari perbedaan kepadatan serta adanya faktor lingkungan perairan. Stasiun 2 dan 3 memiliki kesamaan habitat berdasarkan parameter fisika-kimia serta biologi dan menjadi 1 kelompok, sedangkan Stasiun 1 menjadi kelompok terpisah. Tingkat kesamaan antara Stasiun 2 dan 3 cenderung tinggi, hal ini diduga karena kedua lokasi tersebut masih rendah tingkat penangkapan dan masukan limbah dari aktivitas masyarakat, sehingga kepadatan tiram daging pada kedua stasiun tergolong baik. Sebaliknya, Stasiun 1 memiliki kesamaan yang rendah, hal ini diduga karena tingginya tingkat penangkapan dan masukan limbah, sehingga kepadatan
38 tiram daging tergolong rendah. Baptista et al. (2013) juga menyatakan bahwa tinggi-rendahnya kesamaan biologi makrozoobentos di Serra da Bocaina, disebabkan oleh jumlah makrozoobentos yang ditemukan terkait dengan ketersediaan pakan. Secara keseluruhan, perbandingan antara pengelompokkan parameter fisika-kimia dan biologi, menunjukkan adanya pola kemiripan. Hal ini berarti bahwa parameter fisika-kimia yang diukur diduga mempunyai pengaruh terhadap penurunan dan peningkatan populasi tiram daging di Kuala Gigieng. Sebaran ukuran tiram daging di Kuala Gigieng bervariasi. Kisaran panjang kelas kerang terdiri atas 6-10 kelas dengan frekuensi terbanyak ditemukan pada selang kelas 24-37,20 mm dengan jumlah populasi 471 individu. Banyaknya individu yang berukuran 24-37,20 mm, diduga karena penangkapan kerang yang sangat intensif sehingga mempengaruhi ukuran yang tersedia di alam. Pernyataan ini didukung oleh hasil penelitian Putri (2005) dan Komala et al. (2011) yang menyatakan bahwa tingginya tingkat penangkapan serta tekanan lingkungan perairan menyebabkan ukuran Batissa violacea yang ditemukan berada pada kelas ukuran yang cenderung kecil yaitu 22-27 mm serta dan ukuran Anadara granosa yaitu 13,04-16,04 mm. Minimnya kerang yang berukuran <24 dan >37 mm diduga disebabkan karena pengaruh faktor lingkungan seperti kematian alami, adanya faktor cuaca dan iklim (Ramesha and Thippeswamy 2009) pada lokasi penelitian yang mempengaruhi rendahnya unsur hara, serta kepadatan yang tergolong tinggi sehingga memicu terjadinya persaingan dalam pakan sehingga ukuran yang tertangkap cenderung kecil. Selain itu, diduga tiram daging pada ukuran 24-37,20 mm mempunyai daya tahan hidup yang lebih baik dibandingkan dengan ukuran yang lebih kecil dan lebih besar. Ketidakmampuan biota berukuran kecil dalam beradaptasi terhadap lingkungan yang tidak kondusif akan mempengaruhi ukuran kerang yang tertangkap, sedangkan kerang-kerang berukuran besar lebih cepat mengalami kematian. Berdasarkan sebaran ukuran tersebut, ditemukan kelompok umur tiram daging yang mampu hidup dalam waktu dan lokasi yang sama, yaitu 1 dan 2 generasi, sehingga dari kelompok umur tersebut pula ditemukan ukuran rata-rata layak tangkap kerang tersebut yaitu 32,27 mm. Hal ini diduga pada ukuran tersebut, tiram sudah melakukan pemijahan dan dalam kondisi dewasa. Namun ukuran ini berbeda dengan hasil penelitian Coakley (2004), Manley et al. (2009), dan Nagi et al. (2011), bahwa ukuran tangkap tiram daging yaitu 70-76 mm (3 inchi) baik di Chesapeake Bay, Georgia Bay maupun Mandovi Bay, Goa. Perbedaan ukuran tangkap ini diduga karena kondisi lingkungan perairan yang berbeda sehingga menghasilkan ukuran tangkap yang juga berbeda. Pada kondisi alami, tiram daging memiliki kecepatan tumbuh yang lebih cepat dibandingkan tiram yang hidup di daerah tercemar, seperti C.iridescens. Akan tetapi, sebagian spesies ini memiliki laju pertumbuhan yang relatif cepat di lokasi dengan tekanan lingkungan dan penangkapan tinggi dibandingkan tiram yang hidup lokasi alami. Hal tersebut dialami oleh C.gigas (Gambar 3, 4, 5). Kerang ini beradaptasi dengan mempercepat pertumbuhannya sehingga proses reproduksi cepat terjadi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Yulianda (2003) dan Natan (2008) bahwa dalam kondisi buruk, moluska dapat mempercepat
39 reproduksi atau memperlambatnya bahkan tidak bereproduksi sama sekali karena adanya ketidakseimbangan terhadap lingkungan perairannya. Rentang hidup (tmaks) tiram daging di Kuala Gigieng berkisar antara 0,113,42 tahun dengan Lmaks yaitu 37,91-72,81 mm. Hal ini menunjukkan bahwa untuk mencapai panjang maksimal, tiram membutuhkan waktu hingga 3,4 tahun. Pernyataan ini didukung oleh hasil penelitian Coakley (2004), bahwa tiram di Chesapeake Bay mencapai ukuran maksimal yaitu 22,93-83,46 mm (L∞ = 90,85 mm, k=0,55) dalam waktu 0-5 tahun. Namun pada kondisi normal, kerang ini mampu mencapai ukuran panjang yang lebih tinggi, seperti tiram di Teluk Meksiko mampu mencapai ukuran panjang hingga 3 inci dalam waktu 18-24 bulan dan 100-118 mm (~4-4,50 inci) dalam waktu 2 tahun (Buroker 1983). Pertumbuhan panjang erat kaitannya dengan pertambahan bobot. Menurut Kastoro (1992), pertumbuhan pada kerang terdapat pada bagian yang paling menonjol yaitu cangkangnya, sehingga pertumbuhan merupakan pertambahan panjang cangkang dilanjutkan dengan pertambahan tubuhnya. Hubungan panjang dan bobot tiram daging di Kuala Gigieng memiliki korelasi erat. Secara keseluruhan pola pertumbuhan tiram tersebut cenderung kurus sebab kurva hubungan panjang bobot yang terbentuk cenderung landai, sehingga mengindikasikan pertumbuhan panjang lebih cepat dibandingkan pertambahan bobot dan pertumbuhannya cenderung tidak seimbang. Hal tersebut ditunjukkan dengan kemiripan kisaran nilai b tiram di Kuala Gigieng dengan Crassostrea madrasensis dan Crassostrea gryphoides di Muara Mandovi (Nagi et al. 2011). Hal tersebut juga didukung dengan kemiripan nilai b yang juga ditemukan pada Geloina erosa di Pesisir Barat Aceh Besar (Sarong 2010), Anadara granosa di Teluk Lada (Komala 2012), Batissa violaceae di Sungai Batang Anai, dimana pada kisaran waktu pemijahan (Juli, Agustus, dan September), serta lokasi penangkapan kerang yang tinggi, pertambahan bobot lebih rendah dari pertambahan cangkang. Tekanan lingkungan serta penangkapan yang intensif diduga memicu stress fisiologis pada tiram. Stress fisiologis akan mengganggu aktivitas makan sehingga mempengaruhi proses metabolisme. Fungsi utama pakan adalah sebagai penyedia energi bagi aktivitas tubuh. Apabila tiram kekurangan pakan, maka tidak ada energi yang dihasilkan (Chávez-Villalba et al. 2003). Energi tersebut dapat diperoleh dari melimpahnya plankton terutama fitoplankton dari kelompok diatom bentik yang merupakan pakan alami kerang, dan pada akhirnya mempengaruhi pertumbuhan yang dapat diketahui dari terhambatnya pertambahan panjang maupun bobot jaringan. Menurut Babaei et al. (2010), Abelha, dan Trivelto (2008), pertumbuhan dan bentuk cangkang kerang juga dipengaruhi oleh faktor biotik (fisiologis) dan abiotik (lingkungan), seperti ketersediaan pakan, kualitas air, kedalaman air, arus, jenis sedimen, kepadatan antar lokasi, dan perbedaan umur, serta kematangan gonad. Unsur hara berhubungan dengan ketersediaan pakan. Meskipun kisaran unsur hara di Kuala Gigieng tergolong sedang, namun masih mampu mendukung kebutuhan pakan untuk biota tersebut. Ketersediaan pakan juga berkorelasi dengan kepadatan dan pertumbuhan. Kepadatan tiram yang tergolong tinggi akan menyebabkan pertumbuhan terganggu. Hal ini diduga karena ketersediaan pakan yang terbatas sehingga menimbulkan kompetensi antara berbagai biota termasuk
40 tiram daging yang bersifat filter feeder akan bersaing dengan biota lainnya dalam memperoleh pakan dan ruang (Yulianda dan Nurjaya 1994). Fluktuasi suhu dan salinitas diduga mempengaruhi pertumbuhan kerang tersebut. Suhu perairan Kuala Gigieng yang cenderung tinggi disukai oleh tiram daging untuk pertumbuhan. Tiram daging yang memiliki pertumbuhan yang cenderung kurus tersebut umumnya berada pada TKG 3 dan 4. Hal ini diduga pada usia dewasa dan menjelang tua, cangkang kerang akan semakin padat sehingga pembentukkan panjang cangkang tidak seimbang dengan bobot tubuh. Sebaliknya, pada TKG 1 dan 2, tiram masih dalam kondisi juvenil sehingga upaya penyempurnaan panjang dan ketebalan cangkang lebih diutamakan, untuk melindungi daging beserta isi tubuh. Bacher dan Gangnery (2006) menyatakan bahwa selain untuk reproduksi, alokasi energi terbesar tiram pertama adalah untuk pertumbuhan terutama untuk pembesaran cangkang. Alokasi energi dari pertumbuhan somatik ke jaringan reproduksi membentuk hubungan yang berbanding terbalik. Pertumbuhan somatik diekspresikan dalam Indeks Berat Daging (IBD) (Yulianda 2003), sedangkan Indeks kematangan gonad (IKG) merupakan tanda untuk membedakan kematangan gonad berdasarkan berat gonad, dan secara alami berhubungan dengan ukuran dan berat tubuh. Secara temporal, puncak-puncak IKG dan dan IBD berfluktuasi selama 6 kali pengamatan (Lampiran 8 dan 11). Ketika IKG meningkat, maka IBD akan menurun, hal ini diduga karena tiram daging yang ditemukan berada pada bulan pemijahan (Agustus dan September). Pada waktu akan memijah, pertumbuhan somatik mengalami penurunan yang signifikan karena adanya pengalihan energi untuk pertumbuhan somatik kepada organ lainnya (Kang et al. 2003). Energi tersebut diduga digunakan untuk proses vitellogenesis. Setelah memijah, IBD akan kembali meningkat (Effendie 1979; Ren et al. 2003; Yulianda 2003; Davenel et al. 2010). Sebaliknya, ketika IBD meningkat maka IKG akan menurun, hal ini diduga tiram berada dalam masa pertumbuhan, sehingga belum ada proses pembentukkan gonad. Pengalihan energi ini juga ditemukan pada penelitian yang dilakukan Natan (2008) di Teluk Lada dan Samentar et al. (2004) di Guimaras terhadap A.edentula meskipun berbeda bulan puncak IKG dan IBD. Baron (1992) menyatakan bahwa perubahan IKG berhubungan erat dengan perkembangan gonad dan pertumbuhan telur. Semakin besar IKG, maka TKG juga semakin tinggi, karena gonad akan semakin besar dan berat seiring dengan meningkatnya IKG. Hal yang sama juga dinyatakan oleh Widhowati et al. (2002) bahwa, nilai IKG yang tinggi mengindikasikan terjadinya pemijahan karena telah matang gonad. Sementara IKG yang rendah, mengindikasikan bahwa individu tersebut telah atau belum mengalami pemijahan. Menurut Galtsoff (1964), berdasarkan kebiasaan seksual tiram daging dibagi dalam 2 kategori yaitu (1) spesies non-inkubasi (ovipar; Crassostrea spp.) yaitu spesies yang melepaskan telurnya ke dalam air sehingga pembuahan terjadi di luar organisme dan (2) spesies inkubasi (larviparous; Ostrea spp.) yaitu pembuahan terjadi di rongga insang dan larva diinkubasi dan dilepaskan setelah mencapai stadia perkembangan selanjutnya. Spesies inkubasi (O.edulis, O.lurida, O.equestris) merupakan hermaprodit protandri (biseksual). Gonad spesies ini memproduksi telur dan sperma secara
41 bersamaan, tetapi kuantitas relatif dari sel kelamin antara satu dengan yang lain bergantian secara periodik dari jantan ke betina. Jenis gonad spesies non-inkubasi (C.virginica, C.gigas, C.angulata, C.iridescens) adalah terpisah. Contoh hermaprodit dalam kelompok ini sangat jarang, namun jenis gonad ini tidak stabil dan dalam setahun sekali terjadi perubahan persentase jenis gonad, sehingga sering dikenal sebagai hermaprodit protandri alternatif (Dheilly et al. 2012). Perubahan ini terjadi setelah pemijahan, selama fase indeferensiasi perkembangan gonad. Menurut Lango-Reynoso et al. (2006), populasi hermaprodit ini menjadi populasi labil rasio jenis gonad. Jenis gonad tiram daging yang ditemukan di Kuala Gigieng terdiri atas 5 yaitu indeferensiasi (tak tentu), jantan mutlak, hermaprodit jantan, betina mutlak dan hermaprodit betina. Perbedaan jenis gonad ini dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti kontrol genetik (Guo et al. 1996), dan faktor lingkungan. Akan tetapi, faktor lingkungan tidak dapat mengubah jenis gonad apabila tidak didukung oleh faktor genetik (Gilbert 1988 dalam Fujaya 2002). Contoh faktor lingkungan yang mempengaruhi gonad tiram adalah kedekatan antar kerang yang berbeda jenis gonad. Di Kanada, beberapa tiram jantan berubah gonad ketika berada dekat dengan betina, begitu pula tiram yang hidup di South Carolina yang rasio jenis gonad lebih condong ke arah jantan ketika tumbuh secara bersaman dibandingkan yang tunggal (Thompson et al. 1996). Umumnya, tiram betina di Kuala Gigieng berukuran lebih besar dari jantan yaitu berukuran >30 mm. Hal tersebut senada dengan pernyataan Guo et al. (1996) bahwa jenis gonad Crassostrea bergantung pada umur sehingga pada kelompok yang lebih tua cenderung didominasi oleh betina. Diantara jenis gonad tersebut hanya jantan dan betina mutlak yang mendominasi dengan persentase spesies bergonad betina sedikit lebih tinggi dari jantan. Kedua jenis gonad tersebut berada dalam kondisi TKG 3 dan 4 dan beberapa TKG 1, 2 dan 5. Tingginya persentase spesies jantan dan betina dalam TKG 3 dan 4 diduga karena waktu pengamatan merupakan waktu pemijahan tiram daging (Juli, Agustus dan September), sementara TKG 1 dan 2 terjadi sepanjang tahun, sehingga dapat dikatakan, tiram merupakan hewan yang dapat memijah sepanjang tahun, namun persentase pemijahannya berbeda-beda pada setiap ukuran. Hasil ini sesuai dengan penelitian Natan (2008), Komala (2012), Cardoso et al. (2007), Hadfield dan Anderson (2004) dan Oates (2013). Oates (2013) menyatakan bahwa musim pemijahan Ostrea di Teluk Coos Bay, dimulai akhir bulan Juni-September dengan puncak di bulan Agustus. Proses pematangan gonad pada tiram daging di sungai Bay Hongkong terjadi Juni, September, dan Desember (Hadfield dan Anderson 2004). Cárdenas et al. (2007) juga menyatakan hal senada bahwa tiram mengalami tahap istirahat sepanjang tahun kecuali bulan Agustus. Puncak pemijahan kerang tersebut di laguna Pueblo Viejo adalah bulan Juli-Agustus dan beberapa pada bulan Juni-Oktober. Perbedaan siklus ini diduga karena kondisi lingkungan yang berbeda karena masukan beban organik yang tinggi atau rendah, debit limbah, serta masa istirahat yang singkat atau lama sehingga mempengaruhi kecepatan gametogenesis. Menurut Batista (2007), gametogenesis pada bivalvia biasanya dikontrol oleh faktor eksogen (suhu, salinitas, pakan) dan endogen (hormon). Diantara faktor-faktor eksogen yang mempengaruhi gametogenesis kerang, suhu dianggap
42 faktor yang paling penting. Pemijahan tiram daging umumnya disebabkan oleh stimulasi suhu dan sinyal reproduksi yang dikeluarkan spesies terdekat. Gametogenesis dimulai ketika suhu meningkat dan pemijahan terjadi pada akhir musim panas, ketika suhu berada pada tingkatan tertinggi (Cardoso et al. 2007; Ren et al. 2003). Suhu perairan Kuala Gigieng masih cukup optimal untuk mendukung gametogenesis kerang tersebut. Hal tersebut didukung oleh pernyataan Mann et al. (2009) bahwa pemijahan tiram dapat terjadi pada suhu 16 dan 30 °C, namun jika suhu <10 °C, maka tidak ada gamet kerang yang akan berkembang (gagal bereproduksi), sehingga massa gonad yang tersisa karena pemijahan tidak sempurna kemungkinan akan diserap dan digunakan sebagai cadangan pada musim pemijahan selanjutnya atau digunakan sebagai sumber energi selama kondisi tidak menguntungkan, dan jika <15 °C, maka perkembangan jantan lebih lambat dari betina. Hal tersebut bertentangan dengan hasil Fabioux et al. (2005) yang mengamati kematangan sel germinal pada suhu 8 °C antara tiram jantan dan betina. Hal ini jelas membuktikan tiram daging merupakan biota toleran terhadap lingkungan perairan, namun masih dalam batas kemampuannya. Hal tersebut dinyatakan oleh Tomatala (2011) bahwa perubahan suhu yang ekstrim dapat mempengaruhi reproduksi dan pertumbuhannya. Umumnya, lebih dari satu rangsangan yang terlibat dalam induksi pemijahan. Selain suhu, induksi pemijahan tiram daging diduga juga disebabkan perubahan salinitas. Kisaran salinitas perairan Kuala Gigieng masih dalam batas toleransi tiram sehingga mendukung keberhasilan pemijahan yaitu 15-39 ‰. Apabila salinitas tidak sesuai dengan kehidupannya, maka katup cangkang akan menutup atau biota ini akan berhenti memompa air ke insang untuk mencegah kerusakan fisiologis. Akibatnya, kemampuan memakannya berkurang sehingga memaksa kerang tersebut untuk mengandalkan cadangan pakan yang ada. Pada akhirnya menimbulkan stress pada tiram dan mengganggu siklus hidupnya. Nilai pH Kuala Gigieng juga masih sesuai untuk mendukung gametogenesis, karena umumnya tiram daging memijah pada 6,75-8,75 (Nehring 2006). Tomatala (2011) juga menambahkan bahwa kerang mutiara (Pinctada maxima) memijah pada pH 7,6. Hal yang sama juga dikatakan oleh Thiyagarajan dan Ko (2012) bahwa, larva Crassostrea mampu bertahan pada pH>7,6 bahkan dalam tahap peningkatan suhu dan pengurangan salinitas. Kecerahan juga mempengaruhi larva, karena intensitas cahaya yang tidak terlalu tinggi dapat melindungi tubuh larva dari radiasi ultraviolet (Hadinata et al. 2012). Stress juga dapat menyebabkan pemijahan menjadi cepat atau lambat. Jika parameter lingkungan seperti suhu, salinitas dan pH tidak sesuai bagi tiram daging maka akan menimbulkan stress sehingga mempengaruhi proses kecepatan matang gonad, sehingga diduga pemijahan dapat berlangsung meskipun bukan pada waktunya atau sebaliknya ketika telah masuk waktu pemijahan, tiram tidak memijah. Pengaruh gelombang pasang juga dapat menjadi faktor menguntungkan atau tidak untuk penempalan larva (Piedracoba et al. 2005). Gelombang pasang yang tidak terlalu besar di Kuala Gigieng diduga mendukung penempelan larva tiram daging. Rendahnya DO dan tingginya COD di Kuala Gigieng diduga dapat mempengaruhi aktivitas fisiologi, reproduksi, dan penempelan larva yang akan mempengaruhi populasi tiram tersebut karena tingkat pencemaran yang tinggi
43 akan menyebabkan kematian pada larva, kegagalan memijah, kerusakan organ reproduksi, kerentanan terhadap penyakit dan predator. Tingginya tingkat kematangan gonad tiram daging pada bulan Agustus dan September diduga menyebabkan kepadatannya ikut meningkat, sehingga membentuk pola penyebaran mengelompok sebagai adanya respon terhadap proses reproduksi (Riniatsih dan Widianingsih 2007). Hal tersebut diduga turut mempengaruhi sebaran ukuran tiram di Kuala Gigieng yang tergolong dalam masa perkembangan dan dewasa yang ditunjukkan oleh pencapaian panjang yang cukup baik meskipun memerlukan waktu yang lama untuk mencapai ukuran maksimal. Ukuran Ostrea dan Crassostrea jantan dan betina yang matang gonad di Kuala Gigieng sesuai dengan penelitian Oates (2013) di Oregon yaitu 30 mm. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Santoso (2010) yang menemukan ukuran matang gonad Crassostrea di Kupang yaitu 50 mm. Perbedaan ini diduga karena kondisi perairan yang berbeda. Apabila dihubungkan dengan ukuran layak tangkap tiram di Kuala Gigieng, maka ukuran tersebut diduga cukup membuktikan kerang yang layak ditangkap sudah melakukan pemijahan.
Hubungan Kegiatan Penangkapan terhadap Populasi Tiram Daging Kegiatan penangkapan di Kuala Gigieng dapat berpengaruh pada keberlanjutan populasi tiram daging. Di Kuala Gigieng ini terdapat titik lokasi penangkapan kerang yang berbeda kuota penangkapannya. Stasiun 1 merupakan daerah penangkapan utama, karena lokasi ini memiliki banyak keuntungan bagi nelayan salah satunya adalah kemudahan akses ke lokasi tersebut karena berdampingan dengan pemukiman dan TPI (Tempat Pendaratan Ikan) Kuala Gigieng. Stasiun 2 merupakan daerah penangkapan kedua yang jaraknya lebih jauh dari Stasiun 1 yaitu 500 m, sedangkan Stasiun 3 merupakan lokasi penangkapan ketiga yang jaraknya dari Stasiun 1 dan 2 adalah 800 km. Stasiun 2 dan 3 memiliki keterbatasan akses, terutama Stasiun 3 yang memang sangat jauh, sehingga untuk menangkap tiram daging, nelayan harus menggunakan sampan kecil bahkan berjalan kaki. Hal inilah yang menyebabkan lokasi tersebut memiliki jumlah nelayan yang sedikit sehingga tingkat penangkapannya masih rendah, dibandingkan Stasiun 1 yang memiliki tingkat penangkapan yang sangat tinggi karena banyaknya jumlah nelayan. Banyaknya jumlah nelayan dan tingginya durasi waktu penangkapan mempengaruhi peningkatan hasil tangkapan tiram hingga mencapai puncak penangkapan. Namun lambat laun, hasil tangkapan akan semakin menurun, karena diduga populasi tiram di lokasi tersebut juga mulai berkurang. Hal ini terlihat pada Stasiun 1. Sebaliknya pada lokasi yang memiliki jumlah nelayan sedikit dan durasi waktu penangkapan yang rendah, hasil tangkapan masih dalam batas aman dan belum mencapai puncak penangkapan, sehingga diduga populasi tiram masih bagus. Hal ini terlihat pada Stasiun 2 dan 3. Hal ini menjelaskan bahwa dalam fungsi parabola kuadratik (polinomial) terdapat faktor kuadratik yang mempengaruhi hasil tangkapan tiram di Kuala Gigieng yaitu jumlah nelayan dan durasi waktu penangkapan. Interpretasinya adalah apabila salah satu atau kedua faktor tersebut diperbesar, maka akan
44 memperbesar hasil tangkapan, hingga mencapai puncak penangkapan. Namun hasil tangkapan akan menurun jika keberadaan tiram di alam mulai berkurang. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Prisantoso et al. (2010) bahwa faktor yang mempengaruhi hasil produksi jaring arad di Pantai Utara Jawa yang menggunakan fungsi polinomial, adalah faktor yang bersifat kudratik. Gangnery et al. (2004) juga menyatakan bahwa, frekuensi penangkapan di laguna pesisir Mediterranian memberikan periode penangkapan yang sesuai, sehingga menyebabkan tingkat penangkapan tergantung oleh waktu. Fakta sebenarnya adalah hasil tangkapan dipengaruhi oleh waktu, terutama dipengaruhi oleh laju pertumbuhan yang berkaitan dengan kondisi lingkungan.
Strategi Pengelolaan Tiram daging merupakan sektor perikanan yang memiliki nilai ekonomis penting di Kuala Gigieng. Faktor lingkungan dan aktivitas penangkapan merupakan faktor yang dapat mempengaruhi keberadaan kerang tersebut di alam apakah menurun ataupun meningkat. Sampai saat ini, tingkat pemanfaatan tiram di Kuala Gigieng terus berlanjut dan diduga telah sampai pada tahap yang mengkhawatirkan. Apabila populasi kerang tersebut hilang, maka dapat mengganggu keseimbangan alam. Untuk menjaga populasi tiram daging tetap lestari sehingga pemanfaatannya dapat terus berlanjut, maka perlu dilakukan pengelolaan yang tepat. Salah satu bentuk strategi pengelolaan tiram daging di Kuala Gigieng terdiri atas pengaturan penangkapan, pembudidayaan kerang dan pengaturan limbah. Strategi pertama adalah pengaturan penangkapan. Apabila habitat kerang baik dan terbatasnya kegiatan penangkapan, maka kelimpahannya akan meningkat dalam waktu yang relatif singkat (Rodney dan Paynter 2006; Schulte et al. 2009). Pengaturan penangkapan tiram di Kuala Gigieng yang dapat dilakukan mencakup waktu, lokasi (fishing ground), alat dan ukuran tangkap. Adanya strategi pengaturan penangkapan berdasarkan waktu ini disebabkan karena nelayan menangkap tiram setiap hari, sehingga berdampak pada penurunan populasinya. Kegiatan tersebut bahkan dilakukan secara terus-menerus meskipun dalam bulan pemijahan, (Juli, Agustus, dan September). Penurunan populasi ini terlihat dari menurunnya hasil tangkapan nelayan di Stasiun 1 dan ukuran tiram yang ditangkap cenderung kecil. Oleh karena itu, disarankan kegiatan penangkapan tiram dapat dilakukan pada bulan lain, selain bulan pemijahan, sehingga pada bulan pemijahan tersebut dapat dilakukan close season penangkapan. Hal ini dimaksudkan agar tiram daging dapat memijah secara optimal sehingga dapat dihasilkan pertambahan populasi yang besar. Adanya strategi penangkapan berdasarkan lokasi ini (fishing ground) disebabkan karena perbedaan kepadatan tiram daging antar stasiun. Stasiun 1 memiliki kepadatan tiram yang rendah, karena pengaruh penangkapan dan tekanan lingkungan, sebaliknya Stasiun 2 dan 3 memiliki kepadatan tiram yang tinggi, karena tekanan lingkungan dan penangkapannya masih rendah. Oleh karena itu, penangkapan tiram yang dilakukan di Stasiun 1, sebaiknya dikurangi sesuai dengan kapasistas populasinya. Sebaliknya, penangkapan dapat
45 dioptimalkan pada Stasiun 2 dan 3, namun tetap saja, kegiatan penangkapan yang dilakukan tidak boleh berlebih dan tetap memperhatikan kelestarian tiram di Kuala Gigieng. Hal ini diharapkan dapat memberi kesempatan kerang tersebut untuk tumbuh dan berkembang pada setiap stasiun. Adanya strategi pengaturan ukuran dan alat tangkap tiram daging ini disebabkan karena ukuran dan pertumbuhan tiram di Kuala Gigieng cenderung kecil dan lambat. Umumnya, nelayan tidak menangkap tiram dengan alat khusus tetapi hanya menggunakan pisau dan ember atau karung beras sebagai wadah. Hal inilah yang menjadi kekhawatiran karena proses pengambilan yang tidak memperhatikan komposisi ukuran dan bobot, sehingga tiram yang sedang dalam masa perkembangan dan memijah akan ikut tertangkap. Oleh karena itu, dengan t alat tangkap yang selektif diharapkan dapat membantu menjaga penurunan populasi tiram. Alat tangkap yang disarankan berupa garok yang terbuat dari besi. Setiap celah garok dibuat sesuai ukuran tiram yang boleh ditangkap yaitu 32,27 mm. Prinsip alat ini adalah apabila tiram tertangkap dalam garok, maka ketika alat tersebut diangkat tiram yang belum mencapai ukuran layak tangkap akan jatuh kembali ke air, hal ini dibantu dengan sebuah pegangan pengayun alat, sehingga tiram yang masih kecil akan jatuh ke air. Selain itu, agar teknik penangkapan lebih selektif maka nelayan yang mengambil tiram dalam garok harus meraba cangkangnya untuk mengetahui apakah cangkang atas tiram kembung (menonjol) atau tidak. Hal ini merupakan cara untuk mengetahui apakah tiram dalam kondisi matang gonad atau tidak. Strategi kedua yang dapat dilakukan adalah teknik budidaya. Adanya strategi ini disebabkan karena tingkah laku tiram yang cenderung menempel dan berkelompok sangat menguntungkan dalam kegiatan budidaya. Banyak negaranegara maju telah melakukannya dan kegiatan tersebut berhasil. Bukan hanya menjaga keberadaan populasi tiram, kegiatan budidaya diduga mampu meningkatkan perekonomian masyarakat di sekitar Kuala Gigieng. Teknik budidaya ini dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti meletakkan sebuah balok yang terbuat dari semen sebagai media penempelan larva tiram. Ketika tiram telah tumbuh, maka nelayan dapat memanen tiram tersebut secara selektif, artinya tiram yang ditangkap adalah tiram dewasa yang telah memijah. Gangnery et al. (2004) mengemukakan teknik budidaya lainnya yaitu dengan membuat media penempelan dari tali berbahan polietilen. Cangkang tiram yang telah mati digantungkan pada tali tersebut sebagai media penempelan larva. Tali tersebut dililitkan pada dua bilah bambu, dimana ketika pasang dan surut, media tersebut masih terendam air. Teknik budidaya tiram lainnya juga diperkenalkan oleh Coakley (2004), dimana tiram dipijahkan dalam sebuah wadah. Spat tiram yang telah sempurna terbentuk (seukuran kepala peniti) dimasukan ke dalam kandang kawat (lebar jeruji kandang kawat adalah ½ inchi) dan dibiakan sampai ukuran tiram muda (tidak jatuh dari jeruji atau >1/2 inchi), kemudian tiram muda tersebut dilepaskan ke laut agar dapat berkembang. Setelah sampai waktu panen, kandang kawat ditarik kembali ke darat. Patterson dan Ayyakannu (1997) juga mengemukakan teknik budidaya dengan menggunakan media pelekatan berupa genteng berlapis kapur. Teknik ini diduga lebih efisien dalam penempelan spat tiram. Teknik ini memerlukan kedalaman terbaik untuk meletakkan media yaitu antara 70-120 cm di bawah permukaan air. Hal disebabkan karena mata larva Crassostrea dirangsang oleh
46 cahaya dan mereka terus bergerak hingga mencapai tempat yang teduh. Cahaya merupakan faktor yang mempengaruhi penempelan larva tiram. Pripanapong (1997) juga mengemukakan teknik budidaya tiram lainnya yaitu dengan menggunakan media baki netlon (media yang terbuat dari pipa paralon yang dilapisi jaring kawat) yang dianggap mampu melindungi tiram dari predator utamanya yaitu kepiting, serta mampu memberikan keuntungan yang besar. Teknik budidaya tiram lainnya juga diperkenalkan oleh Gunarto (1997) menggunakan media pelekatan balok semen dan batang bambu. Kedua media ini diletakan di mulut muara dengan gradien salinitas lebih besar pengaruhnya. Strategi ketiga adalah mengatur pembuangan limbah ke perairan Kuala Gigieng. Kualitas perairan Kuala Gigieng masih mampu mendukung kehidupan tiram, meskipun beberapa parameternya telah melebihi baku mutu air laut untuk perikanan seperti kandungan oksigen terlarut yang cenderung rendah terutama di Stasiun 1, serta nilai COD yang tinggi sehingga Kuala Gigieng tergolong tercemar hal tersebut mengindikasikan harus adanya pengelolaan limbah untuk meminimalisir besarnya limbah yang masuk ke perairan. Salah satu caranya adalah dengan membuat sebuah kolam kecil untuk penampungan limbah domestik yang diletakan di antara Stasiun 1 dan 2. Di sekitar kolam tersebut ditanami rawa gambut untuk menahan limbah sehingga tidak mengontaminasi lokasi lainnya yang memiliki potensi perikanan yang tinggi. Dalam melaksanakan strategi pengelolaan tiram daging tersebut, sangat diperlukan kesadaran yang tinggi dari nelayan untuk ikut menjaga keberhasilan strategi pengelolaan yang disarankan. Hal tersebut dapat dilakukan dengan memberikan pemahaman mengenai bioekologi kerang, seperti pengenalan daur hidup, reproduksi, tingkah laku, dan kondisi habitat yang dapat dibuat dalam bentuk handbook, sehingga nelayan memahami hal-hal penting mengenai biota tersebut. Hal ini untuk menjaga kelestarian tiram di Kuala Gigieng tetap terjaga.
4 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Struktur populasi tiram daging dan kondisi habitat di Perairan Kuala Gigieng mulai menurun terutama di Stasiun 1 yang tingkat penangkapan dan tekanan lingkungannya tinggi. Untuk itu diperlukan strategi pengelolaan untuk memperbaiki struktur populasi tiram melalui pengaturan penangkapan, teknik budidaya, serta pengaturan limbah agar kelestarian tiram daging di Perairan Kuala Gigieng tetap terjaga. Saran Terdapat beberapa saran dari penelitian ini, yaitu (1) kegiatan penangkapan tiram daging di Stasiun 1 harus dikurangi sesuai dengan kapasitas populasinya, sebaliknya kegiatan penangkapan pada Stasiun 2 dan 3 dapat dioptimalkan, namun tetap harus memperhatikan kelestariannya; (2) dalam
47 metode pengambilan sampel tiram sebaiknya dilakukan dengan menggunakan transek kuadrat agar dapat mereduksi bias pengukuran; (3) pada penelitian yang selanjutnya, sebaiknya metode histologi gonad dipisahkan berdasarkan lokasi pengambilan dengan karakteristik yang menonjol (lokasi tinggi tekanan lingkungan dan penangkapan dengan lokasi yang rendah tekanan lingkungan dan penangkapan); (4) sebaiknya perlu dilakukan pembudidayaan tiram untuk menjaga ketersediaannya di alam; (5) serta pengamatan dalam jangka waktu yang lebih lama agar aspek reproduksi dapat dikaji secara lebih mendalam untuk mendukung hasil analisis struktur populasi tiram daging yang lebih terperinci.
DAFTAR PUSTAKA [BPS] Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh. 2013. Aceh dalam angka (ID). Abelha MCF, Erivelto D. 2008. Population structure, condition factor and reproductive period of Astyanax paranae (Eigenmann, 1914) (Osteichthyes: Characidae) in a small and old Brazilian Reservoir. J Braz Arch Biol and Tech, 51: 503-512. Agudo-Padrón AI. 2011. Exotic molluscs (Mollusca, Gastropoda et Bivalvia) in Santa Catarina State, Southern Brazil Region: check list and regional spatial distribution. Biodiversity Journal, 2 (2): 53-58. Al-Khayat JA, Al-Ansi MA. 2008. Ecological features of oyster beds distribution in Qatari Waters, Arabian Gulf. Asian Journal of Scientific Research 1(6): 544-561. Allison A. 2008. Length-weight relationship of benthic bivalves of The Andoni Flats, Niger Delta, Nigeria. JCFAS, 2:1-5. Asriyanti D, Riani E, Yulianda F. 2012. Kepadatan tiram (Crassostrea cucullata Born 1778) pada habitat mangrove di perairan Pantai Mayangan Jawa Barat. JMI, 3(2): 67-75. Babaei MM, Sahafi MH, Ardalan AA, Ghaffari H, Abdollahi R. 2010. Morphometric relationship of weight and size of clam Amiantis umbonella L., 1818 (Bivalvia: Veneridae) in The Eastern Coasts of Bandar Abbas, Persian Gulf, Environmental Biology, 4(3): 376-382. Bacher C, Gangnery A. 2006. Use of dynamic energy budget and individual based models to simulate the dynamics of cultivated oyster populations. Jou Sea Res, 56: 140-155. Bahtiar, Yulianda F, Setyobudiandi I. 2008. Kajian aspek pertumbuhan populasi pokea (Batissa violacea celebensis Marten, 1897) di Sungai Pohara Sulawesi Tenggara. JIPPI, 15(1): 1-5. Bailey RC, Green RH. 1988. Within-basin variation in the shell morphology and growth rate of a freshwater mussel. Canadian J Zool, 66: 1704-1708. Baptista DF, Henriques-oliveira AL, Oliveira RBS, Mugnai RA, Nessimian JL, Buss DF. 2013. Development of a benthic multimetric index for the Serra da Bocaina bioregion in Southeast Brazil. Braz J Biol, 73(3): 573-583.
48 Barber BJ, Blake NJ. 1991. Reproductive physiology. In: S. Shumway (Editor), Scallops; biology, ecology and aquaculture. Elsevier, 41: 377-428. Baron J. 1992. Reproductive cycles of the bivalvia molluscs Atactodea striata (Gmelin), Gafrarium tumidun Roding and Anadara scapha (L.) in New Caledonia. Aust. J. Mar. Freshwater Res, (43): 393-402. Batista FMM. 2007. Assesment of the aquacultural potential of the portuguese oyster Crassostrea angulata. [Disertasi]. Porto (PT): Univ do Porto. Bray JR, Curtis JT. 1957. An ordination of the upland forest communities of Southern Wisconsin, 27(4): 325-349. Brower JE, Zar JH. 1977. Field and laboratory method for general ecology. Dubuque, Iowa (US): Wm.C Brown Pulb. Buroker NE. 1983. Sexuality with respect to shell length and group size in the Japanese oyster Crassostrea gigas. Malacologia, 23(2): 271-279. Cardoso JFMF, Witte JIJ, van der Veer HW. 2007. Growth and reproduction of the bivalve Spisula Subtruncata (Da Costa) in Dutch Coastal Waters. Journal of Sea Research, 57: 316-324. Cárdenas BER, Aranda A. 2007. Differences in the exploited oyster (Crassostrea virginica (Gmelin, 1791)) populations from different coastal lagoons of the Gulf of Mexico. Transit. Waters Bull, 2: 21-35. Cerco CF, Noel MR. 2007. Can Oyster Restoration Reverse Cultural Eutrophication In Chesapeake Bay? Estuar Coast, 30:331–343. Chaparro OR, Matus PR, Thompson R, Segura C, Cubillos VM . 2008. Gametic, morphometric, and physiological variables influencing clutch size in the chilean oyster, Ostrea Chilensis (Philippi, 1845). JEMBE, 359(1): 18-25. Chávez-Villalba J, Cochard JC, Le Pennec M, Barret J, Enríquez-Díaz M, Cáceres-Martínez C. 2003. Effects of temperature and feeding regimes on gametogenesis and larval production in the oyster Crassostrea gigas. J Shellfish Res, 22 (3): 721-731. Clifford HT, Stephenson W. 1975. An Introduction to Numerical Classification. New York, San Fransisco, London (US): Academic Press. Coakley JM. 2004. Growth of eastern oyster, Crassostrea virginica, in Chesapeake Bay. [Tesis]. Washington DC (US): University of Maryland. Coen LD, Brumbaugh RD, Bushek D, Grizzle R. 2007. Ecosystem services related to oyster restoration. Mar Ecol Prog Ser., 341:303–307. Cognie B, Haure J, Barlle L, Spatial. 2006. Distribution in a temperate coastal ecosystem of the wild stock of the farmed oyster Crassostrea gigas (Thunberg). Aquaculture 259(1-4): 249-259 da Silva PM., Fuentes J, Villalba A. 2009. Differences in gametogenic cycle among strains of the european flat oyster Ostrea edulis and relationship between gametogenesis and bonamiosis. Aquaculture, 287(3-4): 253-265. Dame R F, Bushek D, Prins T. 2001. Benthic suspension feeders as determinants of ecosystem structure and function in shallow coastal waters. Ecol. Stud. 151:11–37. Dance SP. 1974. The Collector’s Encyclopedia of Shells. Toronto (CA): Mc Graw Hill. Book Company. Davenel A, González R, Suquet M, Quellec S, Robert R. 2010. Individual monitoring of gonad development in the european flat oyster Ostrea edulis by in vivo magnetic resonance imaging. Aquaculture, 307(1-2): 165-169.
49 Dheilly NM, Lelong C, Huvet A, Kellner K, Dubos M, Riviere, Favrel P. 2012. Gametogenesis in the pacific oyster Crassostrea gigas: a microarraysbased analysis identifies sex and stage specific genes. PloS ONE, 7(5): 115. Diederich S. 2006. High survival and growth rates of introduced pacific oysters may cause restrictions on habitat use by native mussels in the Wadden Sea. JEMBE, 328(2): 211-227. Djainuddin D, Basumi S, Hardjowigeno H, Subagyo M, Sukarni, Ismangun, Marsudi DN, Suharta L, Hakim, Widagdo, Dai V, Sumandi S, Bachri, Jordens ER. 1994. Kesesuaian lahan untuk tanaman pertanian dan tanaman kehutanan. Bogor (ID): Eucorontsul. Dumbauld BR, Ruesink JL, Rumril SS. 2009. The ecological role of bivalve shellfish aquaculture in the estuarine environment: a review with application to oyster and clam culture in west coast (USA) estuaries. Aquaculture, 290: 196-223. Duangdee T dan Yoosukh W. 1999. Living Oysters in Thailand. Phuket Marine Biological Center Special Publication, 19(2): 363-370. Effendie H. 2003. Telaah kualiatas air bagi pengelolaan sumber daya dan lingkungan perairan. Yogyakarta (ID): Kanisius. Effendie MI. 1979. Metode Biologi Perikanan. Bogor (ID): Yayasan Dewi Sri. Fabioux C, Huvet A, Le Souchu P, Le Pennec M, Pouvreau S. 2005. Temperature and photoperiod drive Crassostrea gigas reproductive internal clock. Aquaculture, 250(1–2): 458–470. Fadhilah N, Fadli N, Setiawan I. 2012. Diversity of macrozoobenthos in kuala Gigieng Estuary, Aceh Besar. Depik, 1(1): 45-52. Ferreira MAP, Paixão LF, Alcântara-Neto CP, Santos SSD, Rocha RM. 2006. Morphological and morphometric aspects of Crassostrea rhizophorae (Guilding, 1828) Oocytes in three stages of the gonadal cycle. J Morphol, 24(3):437-442. Fisher WS, Winstead JT, Oliver LM, Edmiston L, Bailey GO. 1996. Physiologic variability of eastern oysters from Apalachicola Bay, Florida. J. Shell. Res. 15(3): 543-553. Fujaya Y. 2002. Fisiologi ikan dasar pengembangan teknologi perikanan. Jurusan perikanan FIKP (ID): Universitas Hasanuddin. Fulford RS, Brietburg DL, Newell RIE, Kemp WM, Luckenbach M. 2007. Effects of oyster population restoration strategies on phytoplankton biomass in Chesapeake Bay: a flexible modeling approach. Mar Ecol Prog Ser, 336: 43–61. Fulford RS, Breitburg DL, Luckenbach M, Newell RIE. 2010. Evaluating ecosystem response to oyster restoration and nutrient load reduction with a multispecies bioenergetics model. Ecol Appl, 20:915-934. Gangnery A, Bacher C, Buestel D. 2004. Modelling oyster population dynamics in a Mediterranean coastal lagoon (Thau, France): sensitivity of marketable production to environmental conditions. Aquaculture, 230: 323-347. Galtsoff P. 1964. The American Oyster Crassostrea Virginica Gmelin. Fishery Bulletin, 64:1-458.
50 Gee GW, Bauder JW. 1986. Particle Size Analysis. p. 383-411. In A. Klute (Ed.). Methods of soil analysis (Part I). Agronomy 9. Soil Sci. Soc. Amer., Madison, WI, USA. Grabowski JH, Hughes AR, Kimbro DL, Dolan MA. 2005. How habitat setting influences restored oyster reef communities. Ecology, 86:1926–1935. Guo X, Greogory, Debrosse, Jr Allen SK. 1996. All-triploid pacific oysters (Crassostrea gigas Thunberg) produced by mating tetraploids and diploids. Aquaculture, 142: 149-161. Gunarto L. 1997. Settlement of oyster spat, Saccostrea cucullata, on cement and bamboo collectors, South Sulawesi. Phuket Marine Biological Center Special Publication, 17(1): 255-256. Hadfield AJ, Anderson DT. 2004, reproductive cycles of the bivalve mollusks Anadara trapezia (Delhayes), Venerupis crenata Lamarck and Anomia descripta Iredale in the Sydney region. Aus J Mar Fresh Res, 39(5): 649660. Hadinata FW, Hutabarat S, Suprapto D. 2012. Pengaruh perbedaan intensitas cahaya terhadap pertumbuhan dan perkembangan larva kerang mutiara (Pinctada Maxima, Jameson, 1901) skala laboratorium. J Manag Aqua Res, 1(1): 1-5. Hazmi AJA, Zuki ABZ, Noordin MM, Norimah Y. 2007. Mineral composition of the cockle (Andara granosa) shells of west coast of Peninsular Malaysia and it’s biomaterial for use in bone repair. JAVA, 6(5): 591 – 594. Hunter, Lenihan and Charles, Peterson. 1998. How habitat degradation through fishery disturbance enhances impacts of hypoxia on oyster reefs. Ecological Applications, 8(1): 128–140. Hutagalung HP. 2001. Mercury and cadmium content in green mussel, Mytilus viridis L. from Onrust Waters, Jakarta Bay Creator. Bulletin Enviroment Contamination and Toxicology, 42(6): 814-820. Izwandy. 2006. Pengaruh Faktor-Faktor Persekitaran terhadap Pertumbuhan dan Kemandirian Tiram Komersil, (Crassostrea iredalei Faustino 1932) di Kawasan Penternakan Tiram di Kg. Telaga Nenas, Perak. [Tesis]. Malaysia (MLY): USM. Kang G. 2003. Enzyme-linked immunosorbent assay (elisa) used in quantification of reproductive output in the pacific oyster, Crassostrea gigas, in Korea. JEMBE, 282(1-2): 1-21. Kastoro WW. 1992. Beberapa aspek biologi dan ekologi dari jenis-jenis moluska laut komersial yang diperlukan untuk menunjang usaha budidayanya. Prosiding Temu Ilmiah Potensi Sumberdaya Kekerangan Sulawesi Selatan dan Tenggara Watampone; 1992 Feb 17-18; Maros: Badan Penelitian Perikanan Budidaya Pantai. Kemp WM, Boynton WR, Adolf JE, Boesch DF. 2005. Eutrophication of Chesapeake Bay: historical trends and ecological interactions. Mar Ecol Prog Ser, 303: 1–29 Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004. Tentang Baku Mutu Air Laut. Kirby M. 2004. Fishing down the coast: historical expansion and collapse of oyster fisheries along continental margins. Proc Natl Acad Sci USA 101:13096–13099.
51 Komala R, Yulianda F, Lumbanbatu DTF, Setyobudiandi I. 2011. Morfometrik kerang Andara granos dan Andara antiquata pada wilayah yang tereksploitasi di Teluk Lada Perairan Selat Sunda. UMMI, 1(1): 14-18. Komala R. 2012. Analisis ekobiologi sebagai dasar pengelolaan sumberdaya kerang darah (Anadara granosa) di Teluk Lada perairan Selat Sunda. [Disertasi]. Bogor (ID): IPB. Kozloff EN. 1987. Marine invertebrate of the Pasific Northwest. London (UK): Washington Press. Lango-reynoso F, Chavez-villaba J, Le pennec M. 2006. Reproductive patterns of the pacific oyster Crassostrea gigas in France. Invert Rep Dev, 49: 41–50. Lejart M, Hily C. 2011. Differential response of benthic macrofauna to the formation of novel oyster reefs (Crassostrea gigas, thunberg) on soft and rocky substrate in the intertidal of the Bay of Brest, France. J Sea Research, 65: 84-93. Livingston RJ, Lewis G, Woodsum C, Niuc, Galperind, Huang W, Christensen D, Monaco E, Battista A, Klein J, Howell RL, Ray L. 2000. Modelling oyster population response to variation in freshwater input. Est Coas Shel Sci 50: 655-672. Lotze HK, Lenihan HS, Bourque BJ, Bradbury RH. 2006. Depletion, degradation, and recovery potential of estuaries and coastal seas. Science, 312:1806– 1809. Manley J, Power A, Walker R. 2009. Effect of submergence depth on eastern oyster, Crassostrea virginica (gmelin, 1791), growth, shell morphology, shell characteristics, Perkinsus marinus infection, and mortality in oysters cultured intertidally off-bottom in georgia. Savannah (GE): University of Georgia. Mann RM, Southworth M, Harding JM, Wesson JA. 2009. Population studies of the native oyster, Crassostrea virginica (Gmelin, 1791) in the James River, Virginia, USA. J Shellfish Res, 28:193–22. Marwantim, Purnawan S, Setiawan I. 2012. Study of sediment distribution based on grains size in Kuala Gigieng Estuary, Aceh Besar District, Province of Aceh. Depik, 1(1): 31 – 36 Menzel RW, Hulings NC, Hathaway RR. 1966. Oyster abundance in apalachicola bay, florida, in relation to biotic associations influences by salinity and other factors. Gulf Research Reports 2: 73–96. Morton B, Peharda M, Harper EM. 2007. Drilling and chipping patterns of bivalve prey predation by Hexaplex trunculus (Mollusca: Gastropoda: Muricidae). J Mar Biol Assn UK, 87(4): 65-70. Nadjib MM. 2008. Studi pemanfaatan kulit kerang sebagai bahan penyusun pada pembuatan lem kaca jurusan kimia. Hayati, 13: 153–156. Nagi HM, Shenai-tirodkar PS, Jagtap G. 2011. Dimensional relationships in Crassostrea madrasensis (preston) and C. Gryphoides (schlotheim) in mangrove ecosystem. Ind J Geo-mar Sci, 40(4): 559-566. Nasoetion AH, Barizi. 1980. Metode statistik. Jakarta (ID): PT Gramedia. Natan Y, Bengen DG, Yulianda F, Dwiono SAP. 2007. Beberapa aspek biologi reproduksi kerang pantai berlumpur (Anodontia edentula, Linnaeus, 1758) pada ekosistem mangrove di Teluk Ambon Bagian Dalam. Ichthyos, 7(1): 1-8.
52 Natan Y. 2008. Studi ekologi dan reproduksi populasi kerang lumpur Anodontia edentula pada ekosistem mangrove Teluk Ambon bagian dalam. [Disertasi]. Bogor (ID): IPB. Negar G, Zohre G, Habib N. 2008. Population growth of the tellinid bivalve Tellina foliacea in The Hendijan Coast, Persian Gult. J Bio Sci, 5:788 – 792. Nehring S. 2006. NOBANIS – invasive alien species fact sheet – Crassostrea gigas. – From: Online database of the North European and Baltic Network on Invasive Alien Species – NOBANIS www.nobanis.org, 5/2007. Nybakken, JW. 1992. Biologi laut, suatu pendekatan ekologis. Jakarta (ID): Gramedia. Penerjemah: Eidman dkk. Oates MS. 2013. Obervations of gonad structure and gametogenic timing in a recovering population of Ostrea lurida (carpenter 1864). [Tesis]. Oregon (US): university of Oregon. Pattikawa, JA Ferdinandus E. 2009. Growth of mangrove cockle (anadara antiquata) cultured in cage. Mar. Res Indonesia 34(2) : 91-96. Pauly D. 1980. A selection of simple methods for the assesment of tropical fish stocks. FAO Fish Circ.,729:54. Pechenik JA. 2005. Biology of the invertebrate. Boston (US): Mc Graw Hill Higner Education. Peterson CH, Grabowski JH, Powers SP. 2003. Estimated enhancement of fish production resulting from restoring oyster reef habitat: quantitative valuation. Mar Ecol Prog Ser., 264:249–264. Piedracoba S, Souto C, Gilcoto M, Pardo PC. 2005. Hydrography and dynamics of the Ría de Ribadeo (New Spain), a wave driven estuary. Est Coast Shelf Sci, 65: 726-738. Porter ET, Cornwell JC, Sanford LP. 2004. eEfect of oysters Crassostrea virginica and bottom shear velocity on benthic–pelagic coupling and estuarine water quality. Mar Ecol Prog Ser., 271:61-75. Prasojo SA, Irwani CA. Suryono. 2012. Distribusi dan kelas ukuran panjang kerang darah (Anadara granosa) di perairam Pesisir Kecamatan Genuk, Kota Semarang. Marine Research, 1(1): 137-145. Pringgenies D. 1994. Phytoplanktom clearance rate by the osyter Crassosrea iredalei. Phuket Marine Biological Center Special Publication, 13: 205206. Prisantoso BI, Sadiyah L, Susanto K. 2010. Beberapa faktor produksi yang berpengaruh terhadap hasil tangkapan jaring arad di Pantai Utara Jawa Tengah yang berbasis di Pekalongan. Penelitian Perikanan Indonesia, 16(2): 93-105. Pripanapong S. 1997. Comparison of three different methods for the nursing pf oyster spat (Crassostrea belcheri). Phuket Marine Biological Center Special Publication, 17(1): 257-262. Putri RE. 2005. Analisis populasi dan habitat: sebaran ukuran dan kematangan gonad kerang lokan Batissa violacea Lamarck (1818) di Muara Sungai Batang Anai Padang Sumatera Barat. [Tesis]. Bogor (ID): IPB. Ramesha MM, Thippeswamy S. 2009. Allometry and condition index in the freshwater bivalve parreysia corrugate (muller) from River Kempuhole India. Asian Fisheries Science 22 :203-214.
53 Rangan JT. 1996. Struktur tipologi komunitas gastropoda dan zone hutan mangrove perairan Kulu Minahasa, Sulawesi Utara. [Tesis]. Bogor (ID): IPB. Razak H, Hutagalung HP, Surtipanti S. 1980. Pengamatan kebutuhan oksigen kimiawi (KOK), oksigen biologi (KOB) dan logam berat di perairan Selat Malaka. Oseanologi Indonesia, 15: 67-73 Ren J, Marsden I, Ross A, Schiel D. 2003. Seasonal variation in the reproductive activity and biochemical composition of the pacific oyster (Crassostrea gigas) from the Marlborough Sounds, New Zealand. Mar Fresh Res, 37: 171-182. Ricker WE. 1975. Computation and interpretation of bological statistics of fish populations. Bull Fish Res Board Can. 19:191-382. Riniatsih I, Widianingsih. 2007. Kelimpahan dan pola sebaran kerang-kerangan (bivalve) di ekosistem padang lamun, Perairan Jepara. Ilmu Kelautan, 12 (1): 53-58. Rizal KR, Emiyarti, Abdullah. 2013. Pola distribusi dan kepadatan kijing Taiwan (Anadonta woodiana) Di Sungai Aworeka Kabupaten Konawe. Jurnal Mina Laut Indonesia, 2(6): 142-153. Robinson TB, Griffith L, Tonin, Bloomer, Hare P. 2005. Naturalized populations of oysters, crassostrea gigas along the South African Coast: distribution, abundance and population structure. Jou Shel Res, 24(2): 443-450. Rodney WS, Paynter KT. 2006. Comparisons of macrofaunal assemblages on restored and non-restored oyster reefs in mesohaline regions of Chesapeake Bay in Maryland. J Exp Mar Biol Ecol, 335:39–5. Rueda JL, Smaal AC, Scholten H. 2005. A growth model of the cockle (Cerastoderma edule L.) tested in The Oosterschelde Estuary (The Netherlands). J. Sea Res., 54: 276–298. Sahin C, Ertug D, Ibrahim O. 2006. Seasonal variasion in condition index and gonadal development of the introduced blood cockle Anadara inaequaivalvis (Brugiere, 1789) in The Southeastern Black Sea Coast, Turkish. JFAS, 6: 155-163. Samentar LP, Formacion MJ, Geduspan JS. 2004. Reproductive biology of the muddwelling clam, imbaw (Anodontia edentula) in Guimaras Province, Central Philippines. UPV J. Nat.Sci 9(2): 217-228. Santoso P. Pengaruh kejut salinitas terhadap pemijahan tiram (Crassostrea cucullata Born). Ilmu Kelautan, 15(3): 159-162. Sarong MA, Boer M, Dahuri R, Wardiatno. 2006. Studi morfometrik dan nilai sosial budaya G. erosa dalam masyarakat Pesisir Barat Kabupaten Aceh Besar. J Mon Mata,4: 73-76. Sarong MA. 2010. Pengelolaan kerang mangrove Geloina erosa (Solander 1786) berdasarkan aspek biologi di kawasan Pesisir Barat Kabupaten Aceh Besar. [Disertasi]. Bogor (ID): IPB. Schulte DM, Burke RP, Lipcius RN. 2009. Unprecedented restoration of a native oyster metapopulation. Science, 325: 1124–1128. Silulu PF, Boneka FB, Mamangkey GF. 2013. Biodiversity of oyster (mollusca, bivalvia) in the intertidal of West Halmahera, North Maluku. Platax,1(2): 67-73.
54 Sparks AK, Boswell JL, Mackin JG. 1958. Studies on the comparative utilization of oxygen by living and dead oyster. Proc. Natl. Shellfish. Assoc, 48: 92102. Sparre P, Venema SC. 1999. Introduksi pengkajian stok ikan tropis. FAO. Jakarta (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Suryadiputra INN, Wibisono ITC, Muslihat L, Hermawan W. 2006. Kajian kondisi lingkungan pasca tsunami di beberapa lokasi Nanggroe Aceh Darussalam dan Nias. Bogor (ID): Wetlands International. Taqwa RN, Muskananfola MR, Ruswahyuni. 2014. Studi hubungan substrat dasar dan kandungan bahan organik dalam sedimen dengan kelimpahan hewan makrobenthos di muara sungai Sayung Kabupaten Demak. Maquares, 3(1): 125-133. Thiyagarajan V, Ko GWK. 2012. Larval growth response of the Portuguese oyster (Crassostrea angulata) to multiple climate change stressors. Aquaculture, 370-371: 90-95. Thomé JW, Arruda JO, Silva LF. 2007. Moluscos terrestres no Cone Meridional da América do Sul, diversidade e distribuição. Ciência and Ambiente, Ciência and Ambiente. Fauna Neotropical Austral., 35: 9-28. Tlig-Zouari S, Rabaoui L, Irathni I, Diawara M, Hassine OKB. 2010. Comparative morphometric study of the onvasive pearl oyster Pinctada Radiate along The Tunisian Coastline. Biologia, 65(2): 294-300. Tomatala P. 2011. Pengaruh suhu terhadap pemijahan kerang mutiara Pinctada maxima (jameson). Perikanan dan Kelautan Tropis, 7(1): 36-38. Tuan VS. 2000. Status and Solution for Farming and Management of The Clam Meretrix lyrata at Go Cong Dong, Tien Giang. Province Vietnam. In: Hylleberg J and Ayyakannu K, editor. Proceedings of the Fifth Workshop of the Tropical Marine Mollusc Programme (TMMP), 1994 Sept 12-23: Sam Ratulangi University, Manado dan Hasanuddin University, Ujung Pandang. Vercaemer B, Spence K, Herbinger C, Lapegues S, Kenchington E. 2006. Genetic diversity of the european oyster (ostrea edulis) in Nova Scotia: assessment and implications for broodstock management. J Shell Res, 25: 543-551. Volety AK, Savarese M, Tolley SG, Arnold W, Sime P, Goodman P, Chamberlain R, Doering PH. 2009. Eastern oysters (Crassostrea virginica) as an indicator for restoration of Everglades’ ecosystems. Ecol Ind 9(6): 120136. Wang H, Huang W, Harwell MA, Edmiston L, Johnson E, Hsieh P, Milla K, Christensen J, Stewart J, Liu X. 2008. Modeling oyster growth rate by coupling oyster population and hydrodynamic models for Apalachicola Bay, Florida, USA Ecological Modelling, 211:77–89. Weston DP. 1990. Quantitative examination of macrobenthic community changes along an organic enrichment gradient. Marine Ecology Progress Series, 61: 233-244. Widhowati I, Suprijanto J, Suprapto D. 2002. Analisa kualitatif reproduksi kerang kipas-kipas Amusium sp. Dari Waleri-Kendal Jawa Tengah. JIMS, 26(7): 127-130.
55 Wilberg MJ, Livings ME, Barkman JS, Morris BT, Robinson JM. 2011. Overfishing, disease, habitat loss, and potential extirpation of oysters in upper Chesapeake Bay. Mar Ecol Prog Ser, 436:131–144. Winder JM. 2011. Oyster shell from archeological sites: a brief illustrated guide to basic processing. Archaemalacology :3-51. Wood MS. 1987. Subtidal Ecology. Australia (AU): Edward Amold. Yulianda F. 2003. Beberapa aspek biologi reproduksi keong macan (Babylonia spirata Linnaeus, 1758). [Disertasi]. Bogor (ID): IPB. Yulianda F, Nurjaya IW. 1994. Abundance environment and mercury uptake of oyster (Crassostrea sp.) at breakwaters on the Marunda Coast, Jakarta Bay. Phuket Marine Biological Center Special Publication, 13: 173-176. Yunitawati, Sunarto, Hasan Z. 2012. Hubungan antara karakteristik substrat dengan struktur komunitas makrozoobenthos di sungai Cantigi, Kabupaten Indramayu. Perikanan dan kelautan, 3(3): 221-227. Zahel W, Gavinko JH, Seiler U. 2000. Angular momentum and energy budget of global ocean tide model with data assimilation. GEOS, Ensenada, 20 (4): 400-413.
56
LAMPIRAN
57 Lampiran 1. Stasiun penelitian
Stasiun 1
Stasiun 2
Stasiun 3
58 Lampiran 2. Pengukuran morfometrik dan kegiatan penangkapan nelayan
(a) Pengukuran PC
(b) Pengukuran LC
(e) Penimbangan Bobot Tubuh
(c) Pengukuran TC
(f) Penimbangan Hasil Tangkapan
(g) Nelayan kerang
59 Lampiran 3. Spesies tiram daging di Kuala Gigieng
(a) Crassostrea gigas
(b) Crassostrea angulata
(c) Crassotrea iridescens
(d) Crassostrea virginica
(e) Ostrea edulis
60 Lampiran 4. Prosedur pembuatan preparat histologi dengan metode irisan Gonad dicuci dengan NaCl fisiologis kemudian direndam dalam larutan Buoin selama 24 jam (campuran 15 cc asam pikrat jenuh + 5 cc formalin pekat), kemudian dipindahkan kedalam larutan alkohol 70% beberapa kali sampai warna kuning hilang selanjutnya diproses berturutturut : Dehidrasi I Organ gonad direndam dalam beberapa konsentrasi alkohol 30%, 50%, 70%, 80%, 90 % dan 95 % masing-masing selama 2 jam kemudian direndam dalam alcohol 100% I, 100% II, 100 % III, masing-masing selama 1 jam Penjernihan I Organ gonad direndam dalam alcohol 100% + xylol (1 : 1) selama 45 menit, kemudian direndam dalam Xylol I, Xylol II, Xylol III, masing-masing selama 45 menit Infiltrasi Semua organ gonad dimasukkan dalam Xylol + paraffin (1 : 1) selama 45 menit dalam suhu 65 oC selanjutnya direndam dalam Parafin I, Parafin II, paraffin III, masing-masing selama 45 menit padasuhu 63 oC Penanaman Organ gonad ditanam pada balok parafin sampai paraffin mengeras, ditunggu kira-kira selama 1 hari Pemotongan dengan mikrotom Spesimen dipotong tipis (5-6μm) diletakkan diatas gelas objek dengan bantuan diapungkan di atas air hangat (50 oC) Defarafinasi Preparat direndam berturut-turut dalam Xylol I, Xylol II, masing-masing selama 5 menit Dehidrasi Preparat direndam berturut-turut dalam alcohol 100% I, 100% II, 95%, 90%, 80%, 70%, masing-masing selama 2-3 menit, kemudian direndam dalam air sampai specimen berwarna putih bening Pewarnaan Preparat direndam dalam hematoxylin selama 3 menit lalu dicuci dengan air kran mengalir, dilanjutkan dengan perendaman dalam eosin selama beberapa menitm lalu dicuci dengan air keran mengalir Dehidrasi II Preparat direndam dalam alcohol 70%, 80%,90%, 95%, 100% I, 100% II masing-masing selama 1 menit Penjernihan II Preparat direndam dalam Xylol I, Xylol II, masing-masing selama 1 menit Penutupan dengan gelas penutup (mounting) Preparat diberi label sesuai perlakuan lalu ditutup dengan gelas penutup dengan perekat atau Canada balsam kemudian dibiarkan selama 12 jam
61 Lampiran 5. Data kualitas air dan substrat Kuala Gigieng Suhu air (°C) Waktu
Stasiun 1
Stasiun 2
Stasiun 3
01 Agustus 2012
28,00
28,67
29,00
14 Agustus 2012
26,00
27,00
29,00
29 Agustus 2012
30,00
29,00
29,00
5 September 2012
29,00
29,00
29,33
12 September 2012
30,00
32,00
33,00
19 September 2012
30,00
30,67
32,00
Waktu
Stasiun 1
Stasiun 2
Stasiun 3
01 Agustus 2012
6,20
7,00
7,20
14 Agustus 2012
6,13
7,10
7,20
29 Agustus 2012
6,10
7,10
7,10
5 September 2012
6,00
7,80
7,00
12 September 2012
6,01
7,20
7,20
19 September 2012
6,18
7,00
7,10
Stasiun 2
Stasiun 3
pH air
Kecepatan Arus Permukaan (cm/s) Waktu Stasiun 1 01 Agustus 2012
19,13
19,24
20,25
14 Agustus 2012
20,10
16,13
25,31
29 Agustus 2012
25,15
30,45
37,32
5 September 2012
15,20
22,00
30,00
12 September 2012
12,12
23,00
31,70
19 September 2012
15,25
23,15
29,23
Stasiun 1
Stasiun 2
Stasiun 3
01 Agustus 2012
23
30
58
14 Agustus 2012
27
40
55
29 Agustus 2012
26
36
58
Kecerahan (cm) Waktu
5 September 2012
30
32
60
12 September 2012
28
36
57
19 September 2012
23
35
60
Stasiun 1
Stasiun 2
Stasiun 3
01 Agustus 2012
1
12
19
14 Agustus 2012
1
10
21
Salinitas (‰) Waktu
29 Agustus 2012
4
13
30
5 September 2012
4
16
28
12 September 2012
22
30
32
19 September 2012
9
20
26
62 Lampiran 5 (lanjutan) Dissolved Oxygen (DO) (mg/l) Waktu Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 01 Agustus 2012 4,63 6,07 7,07 14 Agustus 2012 4,13 6,27 7,73 29 Agustus 2012 3,03 6,33 7,57 5 September 2012 4,43 6,87 7,03 12 September 2012 4,53 6,60 7,17 19 September 2012 4,27 7,07 8,17 Chemical Oxygen Demand (COD) (mg/l) Waktu Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 01 Agustus 2012 539,45 486,82 421,03 14 Agustus 2012 668,28 445,52 222,76 29 Agustus 2012 619,01 428,55 261,89 5 September 2012 875,43 778,16 603,08 12 September 2012 919,49 875,43 778,16 19 September 2012 1022,68 1003,74 965,86 C-Organik (%) Waktu 01 Agustus 2012 14 Agustus 2012 29 Agustus 2012 5 September 2012 12 September 2012 19 September 2012
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 0,56 0,48 0,45 0,22 0,39 0,50 0,47 0,55 0,25 0,66 0,39 0,42 0,52 0,46 0,45 0,40 0,28 0,22
N-Total (%) Waktu 01 Agustus 2012 14 Agustus 2012 29 Agustus 2012 5 September 2012 12 September 2012
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 0,04 0,07 0,05 0,04 0,05 0,05 0,04 0,06 0,04 0,08 0,05 0,06 0,05 0,04 0,04
Sedimen Tekstur Tanah Stasiun 1 2 3
pasir (%) debu (%) liat (%) 82 88 90
9 6 5
9 6 5
Kelas Tekstur Pasir berlempung Pasir berlempung Pasir
63 Lampiran 6. Selang ukuran (mm) Jenis Ostrea edulis Selang Kelas Batas Bawah Batas Atas Frekuensi (Individu) 19-23,5 18,50 23,00 15 24-28,5 23,50 28,00 101 29-33,5 28,50 33,00 87 34-38,5 33,50 38,00 74 39-43,5 38,50 43,00 26 44-48,5 43,50 48,00 3 Jenis Crassostrea iridescens Selang Kelas Batas Bawah Batas Atas Frekuensi (Individu) 18-21,2 22-25,2 26-29,2 30-33,2 34-37,2 38-41,2 42-45,2 46-49,2 50-53,2
17,50 21,50 25,50 29,50 33,50 37,50 41,50 45,50 49,50
20,70 24,70 28,70 32,70 36,70 40,70 44,70 48,70 52,70
14 35 59 51 64 32 13 14 4
Crassostrea angulata Selang Kelas Batas Bawah Batas Atas Frekuensi (Individu) 10-16,82 9,50 16,32 17 17-23,82 16,50 23,32 78 24-30,82 23,50 30,32 122 31-37,82 30,50 37,32 75 38-44,82 37,50 44,32 73 45-51,82 44,50 51,32 23 52-58,82 51,50 58,32 10 59-65,82 58,50 65,32 41 66-72,82 65,50 72,32 0 73-79,82 72,50 79,32 3
64 Lampiran 6 (lanjutan) Jenis Crassostrea gigas Selang Kelas Batas Bawah Batas Atas Frekuensi (Individu) 13-16,91 12,50 16,41 13 17-20,91 16,50 20,41 29 21-24,91 20,50 24,41 73 25-28,91 24,50 28,41 81 29-32,91 28,50 32,41 88 33-36,91 32,50 36,41 80 37-40,91 36,50 40,41 53 41-44,91 40,50 44,41 20 45-48,91 44,50 48,41 8 49-52,91 48,50 52,41 1 Jenis Crassostrea virginica Selang Kelas Batas Bawah Batas Atas Frekuensi (Individu) 13,5-17,06 13,00 16,56 9 17,5-21,06 17,00 20,56 23 21,5-25,06 21,00 24,56 47 25,5-29,06 25,00 28,56 96 29,5-33,06 29,00 32,56 81 33,5-37,06 33,00 36,56 68 37,5-41,06 37,00 40,56 47 41,5-45,06 41,00 44,56 4 45,5-49,06 45,00 48,56 1 49,5-53,06 49,00 52,56 1 Lampiran 7. Kurva Pertumbuhan von Bertalanffy Stasiun
1
2
3
Spesies O. edulis C. iridescens C. angulata C. virginica C. gigas O. edulis C. iridescens C. angulata C. virginica C. gigas O. edulis C. iridescens C. angulata C. virginica C. gigas
L∞ 43,05 50,4 76,65 47,25 50,4 42 42,21 64,05 51,55 39,9 45,15 52,5 47,78 43,58 46,2
K 0,57 0,48 1,1 0,69 1,1 1,1 0,57 1,3 0,49 0,5 0,54 0,68 0,93 0,66 0,41
N 35 50 122 84 122 116 116 158 136 165 155 120 162 157 159
t0 0,196 0,255 -0,169 0,099 -0,119 -0,012 -0,309 0,013 -0,401 -0,361 -0,341 -0,255 -0,103 -0,246 -0,468
L maks 40,8975 47,88 72,8175 44,8875 47,88 39,9 40,0995 60,8475 48,9725 37,905 42,8925 49,875 45,391 41,401 43,89
t maks 1,0306 1,5898 0,46078 0,42915 0,32436 0,11627 1,62144 0,16685 2,44903 2,16204 1,89138 1,12358 0,33063 1,11769 3,41831
*) L∞ adalah mm; N adalah individu; t0 adalah tahun; Lmaks adalah mm; tmaks adalah tahun
65 Lampiran 8. Nilai Indeks Berat Daging (IBD) tiram per bulan dan keseluruhan IBD secara keseluruhan (%) Spesies Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 O.edulis 31,35 35,00 34,96 C.gigas 33,31 33,52 36,25 C.virginica 34,65 35,22 34,67 C.iridescens 32,81 35,30 34,34 C.angulata 33,49 33,76 33,70 Lampiran 9. Jumlah tiram (Individu) yang dapat dibedakan jenis kelaminnya Stasiun 1 O.edulis C.iridescens C.virginica C.angulata C.gigas Agustus Jantan 6 9 9 22 15 Betina 8 7 12 30 21 Hermaprodit Betina 2 2 4 7 2 Hermaprodit Jantan 2 3 2 5 4 Tak Tentu 2 3 0 9 5 September Jantan 7 10 17 15 28 Betina 8 12 31 18 36 Hermaprodit Betina 0 2 1 5 3 Hermaprodit Jantan 0 2 3 4 6 Tak Tentu 0 0 5 7 2
Stasiun 2 O.edulis C.iridescens C.virginica C.angulata C.gigas Agustus Jantan 17 19 23 27 30 Betina 31 29 27 30 35 Hermaprodit Betina 3 2 7 9 9 Hermaprodit Jantan 1 3 8 11 8 Tak Tentu 5 4 4 7 6 September Jantan 19 17 20 30 27 Betina 20 18 28 35 30 Hermaprodit Betina 4 6 6 9 7 Hermaprodit Jantan 6 4 5 8 6 Tak Tentu 10 14 8 6 7
66 Lampiran 9 (lanjutan) Stasiun 3 O.edulis C.iridescens C.virginica C.angulata C.gigas Agustus Jantan 34 23 35 37 26 Betina 38 27 39 40 28 Hermaprodit Betina 2 3 3 0 5 Hermaprodit Jantan 2 4 2 0 7 Tak Tentu 0 2 0 4 9 September Jantan 30 25 34 37 38 Betina 35 29 37 40 42 Hermaprodit Betina 5 2 3 0 2 Hermaprodit Jantan 4 3 4 0 2 Tak Tentu 5 2 0 4 0
Lampiran 10. Tingkat Kematangan Gonad (TKG) tiram daging Stasiun 1 Waktu
Spesies
JK TKG 0 TKG 1 TKG 2 TKG 3 TKG 4 TKG 5 J 0 1 1 3 1 0 O.edulis B 0 0 2 4 1 1 J 0 1 2 4 2 0 C.iridescens B 0 0 1 4 1 1 J 0 1 2 4 2 0 Agustus C.virginica B 0 0 2 6 2 2 J 0 0 5 10 7 0 C.angulata B 0 0 5 15 6 4 J 0 0 2 8 5 0 C.gigas B 0 0 5 7 7 2 J 0 1 2 0 4 1 O.edulis B 0 1 1 2 2 1 J 0 2 4 0 5 1 C.iridescens B 0 2 2 3 2 1 J 0 5 9 0 10 7 September C.virginica B 0 2 4 7 3 1 J 0 3 6 0 6 3 C.angulata B 0 1 1 8 4 1 J 0 2 12 15 5 2 C.gigas B 0 5 7 10 5 1
*) TKG adalah Individu
67 Stasiun 2 Waktu
Spesies
JK TKG 0 TKG 1 TKG 2 TKG 3 TKG 4 TKG 5 J 0 1 3 7 4 2 O.edulis B 0 0 7 10 9 5 J 0 1 3 8 5 2 C.iridescens B 0 0 5 10 9 5 J 0 1 4 9 7 2 Agustus C.virginica B 0 0 6 9 7 5 J 0 1 4 12 7 3 C.angulata B 0 0 7 10 9 4 J 0 2 5 12 7 4 C.gigas B 0 4 8 10 9 4 J 0 1 1 2 2 1 O.edulis B 0 1 2 0 4 1 J 0 2 2 3 2 1 C.iridescens B 0 2 4 0 5 1 J 0 2 4 7 3 1 September C.virginica B 0 5 9 0 10 7 J 0 1 1 8 4 1 C.angulata B 0 3 6 0 6 3 J 0 5 7 10 5 1 C.gigas B 0 2 12 15 5 2
Stasiun 3 waktu
spesies
JK TKG 0 TKG 1 TKG 2 TKG 3 TKG 4 TKG 5 J 0 4 6 12 10 2 O.edulis B 0 0 8 14 12 4 J 0 1 4 9 7 2 C.iridescens B 0 0 6 9 7 5 J 0 0 9 13 9 4 Agustus C.virginica B 0 0 9 16 10 4 J 0 3 7 17 5 5 C.angulata B 0 2 11 0 18 9 J 0 1 4 10 9 2 C.gigas B 0 0 6 10 7 5 J 0 0 7 13 6 4 O.edulis B 0 0 9 12 10 4 J 0 1 4 12 6 2 C.iridescens B 0 0 5 12 6 4 J 0 0 8 13 9 4 September C.virginica B 0 0 9 14 10 4 J 0 0 9 15 9 4 C.angulata B 0 0 9 16 11 4 J 0 0 8 16 10 4 C.gigas B 0 0 9 18 11 4
68 Lampiran 10 (lanjutan) TKG keseluruhan (%) TKG Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 TKG 0 0 0 0 TKG 1 1,25 1,75 0,79 TKG 2 3,42 5,52 8,88 TKG 3 9,01 13,87 16,57 TKG 4 5,85 9,40 12,56 TKG 5 1,58 4,01 5,52 Lampiran 11. Indeks Kematangan Gonad (IKG) tiram daging IKG per stasiun dan per spesies (%) Spesies Stasiun 1 O.edulis 15,17 C.gigas 14,95 C.virginica 17,06 C.iridescens 18,08 C.angulata 16,23
Stasiun 2 16,73 15,77 19,51 19,35 21,42
Stasiun 3 18,05 13,86 15,46 18,08 17,71
Lampiran 12. Data penangkapan nelayan selama 6 kali pengamatan Stasiun 1 Nomor Nelayan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Jam Menangkap Tiram Daging 08.00-09.00 WIB 07.00-09.00 WIB 07.00-09.00 WIB 07.00-10.00 WIB 07.00-10.00 WIB 07.00-10.00 WIB 07.00-11.00 WIB 07.00-11.00 WIB 06.00-11.00 WIB 06.00-11.00 WIB Total
Durasi (jam) 1 2 2 3 3 3 4 4 5 5
Hasil Tangkapan (kg) 30,98 73,92 124,44 197,05 208,02 185,04 177,72 156,23 115,67 101,03 1370,10
69 Lampiran 12 (lanjutan) Stasiun 2 Nomor Nelayan 1 2 3 4 5 6
Stasiun 3 Nomor Nelayan 1 2 3 4 5
Jam Menangkap Tiram Daging 06.30-08.30 WIB 06.30-08.30 WIB 07.00-10.00 WIB 07.00-10.00 WIB 07.00-10.00 WIB 07.00-11.00 WIB Total
Jam Menangkap Tiram Daging 06.00-08.00 WIB 06.00-09.00 WIB 06.00-09.00 WIB 06.00-09.00 WIB 06.00-10.00 WIB Total
Durasi (Jam)
Hasil Tangkapan (kg)
2 2 3 3 3 4
33,98 54,92 110,44 129,05 138,58 180,00 646,97
Durasi (Jam)
Hasil Tangkapan (kg)
2 3 3 3 4
Lampiran 13. Jumlah tiram daging yang ditemukan (Individu) Stasiun 1 Pengamatan Spesies 1 2 3 Total 4 5 6 O.edulis 9 5 6 20 4 6 5 C.iridescens 6 11 7 24 8 7 11 C.virginica 9 9 9 27 12 14 31 C.angulata 16 10 47 73 26 10 13 C.gigas 15 15 17 47 19 27 29 Total 191 Total Keseluruhan Stasiun 2 Pengamatan Spesies 1 2 3 Total 4 5 6 O.edulis 19 19 19 57 20 16 23 C.iridescens 27 14 16 57 20 20 19 C.virginica 21 22 26 69 17 26 24 C.angulata 24 22 24 70 32 28 28 C.gigas 35 28 25 88 23 29 25 Total 341 Total Keseluruhan
45,98 103,92 96,23 147,11 134,00 527,24
Total 15 26 57 49 75 222 413
Total 59 59 67 88 77 350 691
Total 35 50 84 122 122
Total 116 116 136 158 165
70 Lampiran 13 (lanjutan) Stasiun 3 Spesies O.edulis C.iridescens C.virginica C.angulata C.gigas Total Total Keseluruhan
1 25 19 21 27 22
2 25 20 30 27 22
3 26 20 28 27 31
Pengamatan Total 4 5 76 27 22 59 20 20 79 23 26 81 27 27 75 30 30 370
6 Total 30 79 21 61 29 78 27 81 24 84 383 753
Total 155 120 157 162 159
71
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Banda Aceh pada tanggal 20 Oktober 1989 sebagai anak ke-6 dari 7 bersaudara pasangan Samidan Usman dan Mardhiah. Pendidikan sarjana ditempuh pada Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Syiah Kuala, lulus pada tahun 2011. Pada tahun 2012, penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan studi ke program Magister di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan pada Program Pascasarjana IPB. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari DIKTI melalui program Beasiswa Unggulan di tahun yang sama. Bidang penelitian yang menjadi tanggung jawab penulis adalah Pengelolaan Sumberdaya Perikanan.