MAKNA FILOSOFIS PUNAKAWAN SEBAGAI PEMBENTUK KARAKTER BAIK GENERASI MUDA BUDDHIS Studi Deskriptif Kualitatif pada Mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Sriwijaya Tangerang Banten
ARTIKEL OLEH Danik Susanti NIM: 0250110020358
SEKOLAH TINGGI AGAMA BUDDHA NEGERI SRIWIJAYA TANGERANG BANTEN 2014
ABSTRACT Danik Susanti. 2014. Philosophical meaning Punakawan as Character Shaping Young Buddhist Both Qualitative Descriptive Study on High School Students Affairs Buddhist Sriwijaya Tangerang Banten. Undergraduate Thesis. High School Dharmaduta Department of Foreign Buddhist Sriwijaya Tangerang Banten. Yuriani, M.Pd Supervisor I, and Heriyanto, M. Kom mentor II Keywords: Philosophical, Punakawan, Character, Young Buddhist. Issues raised in this study is the number of young people who are not Buddhist Javanese Punakawan understand the philosophical meaning. Philosophical Punakawan can be a good means of character formation in young Buddhist at STAB Negeri Sriwijaya Tangerang Banten. The younger generation Buddhist STAB Negeri Sriwijaya Tangerang Banten contained in order to implement good character Punakawan. The purpose of this study was to determine and describe the philosophical meaning contained in Punakawan and good character student owned STAB Negeri Sriwijaya Tangerang Banten. To achieve the objectives mentioned above, the writer uses descriptive qualitative method with a phenomenological approach. Given the form of text data is analyzed and the qualitative, the authors use data analysis data collection, data read, sorting the data, presenting the data, and concluded the data. Based on these results the authors concluded that young people who are at STAB Negeri Sriwijaya Tangerang Banten, the descendants of Javanese understand the philosophical meaning Punawakan well. Philosophical meaning in Punakawan applied by students STAB Negeri Sriwijaya Tangerang Banten in various ways, namely by having the right view, implement good practice morality, run the core teachings of the Buddha, can practice the four sublime residence who have love, affection, sympathy, and equanimity, then applied in association with keeping the thoughts, words, and deeds, always vigilant, and be careful, and be able to run the teachings in accordance with the teachings of the Buddha. Understanding of the philosophical meaning students make guidelines in shaping the character of both in accordance with the teachings of the Buddha. Guidelines adopted from the philosophical meaning Punakawan make students STAB Negeri Sriwijaya Tangerang Banten remember and alert in life. Finally, the authors suggest that the younger generation to keep the spirit of Buddhist and not lower ourselves to the study of local cultural arts. Local culture that tells local capability can provide progress and benefits in life. Art and culture have implied meanings can be developed with existing development, but do not leave the elements of culture and good sense.
I. Pendahuluan Indonesia merupakan negara majemuk dan memiliki beragam suku, adat, ras, dan agama. Keanekaragaman budaya menjadikan negara Indonesia kaya kebudayaan. Masyarakat suku Jawa memiliki kesenian yang beranekaragam, antara lain: tarian tradisional Jawa, campur sari, wayang kulit Jawa, ketoprak, macapat atau musikalisasi puisi Jawa, gamelan, wayang golek, jaranan atau kuda lumping, gending, wayang orang, kentongan, lengger, dagelan atau lawakan Jawa, warog, ludruk, dan reog. Keanekaragaman kesenian budaya merupakan warisan nenek moyang yang harus dilestarikan. Generasi muda merupakan tongkat estafet dalam pelestarian budaya. Nasib bangsa Indonesia ditentukan oleh sikap generasi muda. Generasi muda perlu melestarikan budaya Indonesia yang
beranekaragam.
mengenalkan
Indonesia
Budaya ke
Indonesia
mancanegara.
yang
beragam
Generasi
muda
mampu dapat
menjunjung tinggi budaya Indonesia dengan melestarikan kebudayaan dengan baik. Kebudayaan Indonesia dilestarikan oleh generasi muda dari semua suku. Setiap suku memiliki kesenian yang bervariasi, umumnya wayang terdapat di setiap suku, namun wayang hanya terdapat di Pulau Jawa dan Bali. Kesenian wayang dianggap penting untuk dilestarikan, karena alur cerita dan lakonnya menggambarkan keadaan yang terjadi. Generasi muda Buddhis yang berasal dari suku Jawa perlu mengetahui kesenian tradisional yang ada. Generasi muda Buddhis saat ini umumnya merantau ke berbagai daerah untuk bekerja dan menuntut ilmu,
salah satunya mahasiswa di STAB Negeri Sriwijaya Tangerang Banten. Generasi muda Buddhis yang berada di STAB Negeri Sriwijaya Tangerang
Banten
merupakan
generasi
penerus
agama
Buddha.
Mahasiswa STAB Negeri Sriwijaya Tangerang Banten mengampu jurusan penyuluh dan pendidikan agama Buddha. Jurusan yang diampu oleh mahasiswa memiliki nilai-nilai Buddhis. Mahasiswa STAB Negeri Sriwijaya yang berasal dari suku Jawa perlu mempelajari jenis kesenian Jawa. Kesenian Jawa yang memiliki makna tersirat ajaran Buddha adalah wayang. Generasi muda Buddhis suku Jawa perlu lakon dalam pewayangan dan memahami makna filosofis lakon tersebut. Pandangan hidup tradisional Jawa dengan agama Buddha mempunyai keselarasan bahwa penderitaan adalah konsekuensi dari perbuatan diri sendiri. Secara Buddhisme, hal tersebut merupakan penjelasan dari Hukum Kamma. Dalam bahasa Jawa berbunyi: Sapa nandhur ngundhuh wohe kang tinandhu yang berarti siapapun yang menanam maka harus memetik hasil dari yang ditanam. Perpaduan pandangan hidup orang Jawa dan pengaruh tradisi kebudayaan India diperagakan dalam lakon pertunjukan wayang kulit. Lakon tokoh pewayangan diperlukan dalam pertunjukan wayang. Tokoh pewayangan yang umum dalam pertunjukan wayang antara lain Punakawan (Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong), Kurawa dan Pandawa lima (Yudisthira, Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa). Tokoh pewayangan yang dijadikan panutan masyarakat Jawa adalah Punakawan, yaitu Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Punakawan merupakan tokoh
selingan dalam pewayangan, namun dapat menghibur penonton. Punakawan tidak terdapat dalam lakon Bhatarayudha dan Ramayana, sebab Punakawan merupakan cerita asli masyarakat Jawa. Punakawan merupakan gambaran jati diri manusia yang tidak dapat dipisahkan dengan ksatria. Punakawan dianalogikan sebagai pengasuh ksatria atau manusia sejati. Ksatria dan Punakawan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Ksatria dianalogikan sebagai manusia sejati, sedangkan Punakawan dianalogikan sebagai simbol cipta, rasa, karsa, dan karya. Makna analogi ksatria dan Punakawan tentang manusia sejati yang ingin mencapai cita-citanya harus memiliki cipta, rasa, karsa, dan karya dalam hidup sesuai dengan fungsinya.
II. Kajian Teori 2.1 Pengertian Punakawan Punakawan merupakan tokoh dalam wayang kulit yang terkenal di Pulau Jawa. Punakawan berarti kelompok, pengiring, teman atau pengawal (Darusuprapta, Suprayitna, 2011: 475). Punakawan dikenal sebagai pengawal setia para Ksatria. “Puna” atau “pana” dalam terminologi Jawa artinya memahami, terang, jelas, cermat, mengerti, cerdik dalam mencermati atau mengamati makna hakikat di balik kejadian alam dan kehidupan manusia. Kawan berarti sebagai pamong atau teman. Jadi Punakawan dapat diartikan sebagai pengasuh, pembimbing yang memiliki kecerdasan berpikir, memiliki kemampuan batin, cerdas dalam akal dan budi, memiliki wawasan luas, bijaksana, dan menguasai berbagai macam ilmu.
Punakawan terdiri dari Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Semar merupakan putra dari Sang Hyang Tunggal dan Dewi Wiranti atau Rekatawati. Semar merupakan saudara dari Sang Hyang Antaga dan Sang Hyang Manikmaya. Saat Semar berada di kayangan bernama Bambang Ismaya. Istrinya bernama Dewi Kanastri dan memiliki 10 (sepuluh) putra yaitu, Sang Hyang Bongkokan, Temburu, Kuwera, Mahyati, Siwah, Surya, Candra, Yamadipati, Kamajaya, dan Darmanastiti. Dikisahkan dalam pewayangan bahwa Dewi Rekatawati bertelur dan telurnya terbang menuju Sang Hyang Wenang (dewa tertinggi dalam pewayangan). Terjadi keajaiban saat telur menetas, kulit telur menjadi Tejamantri yang kemudian menjadi Togog, putih telur menjadi Bambang Ismaya yang kemudian menjadi Semar, dan kuning telurnya menjadi Manikmaya yang kemudian menjadi Bathara Guru. Gareng merupakan anak angkat dari Semar. Gareng adalah anak dari Jin yang bernama Resi Suksketi dari Padepokan Bluluktiba. Nama dahulu Gareng adalah Bambang Sukskati. Dahulu Bambang Sukskati melakukan pertapaan di Bukit Candala untuk memperoleh kesaktian dari dewa. Setelah memperoleh kesaktian, Bambang Sukskati meminta izin kepada ayahnya untuk mengembara dan menaklukan raja-raja di tanah Jawa. Ditengah usahanya dalam menaklukan raja-raja, Bambang Sukskati bertemu dengan Bambang Panyukilan. Keduanya melakukan adu kesaktian dan kekuatan.
Bambang Sukskati dan Bambang Panyukilan memiliki kekuatan yang seimbang sehingga tidak ada yang kalah dan menang. Ketika terjadi adu kekuatan, tidak ada yang melerai kecuali Sang Hyang Ismaya. Setelah berhasil melerai keduanya, Sang Hyang Ismaya mengutuk Bambang Sukskati dan Bambang Panyukilan menjadi cacat dan jelek. Petruk merupakan anak angkat Semar. Petruk berasal dari Bagawan Salantara. Petruk memiliki istri bernama dewi Undanawati. Memiliki putra bernama Bambang Lengkung Kusuma yang memiliki wajah tampan. Petruk bertempat tinggal di Pecuk Pencukilan. Dalam lakon Petruk Dadi Ratu diceritakan bahwa Jamus Kalimasada yang merupakan jimat milik Pandawa dicuri oleh Mustakaweni. Jimat tersebut dapat direbut oleh Bambang Priyambada, dan jimat tersebut dititipkan oleh Petruk. Adipati Karna mengetahui jimat tersebut dititipkan oleh Petruk maka terjadilah pertempuran. Ditengah pertempuran Adipati Karna memanah Petruk menggunakan Pusaka Kyai Jalak, dan Petruk mati. Kemudian, Petruk dihidupkan kembali oleh ayahandanya untuk membalas dendam. Kekuatan Kalimasada menjadi andalan Petruk untuk membalas dendam. Pertarungan dimenangkan oleh Petruk dan seluruh kerajaan tanah Jawa tunduk dalam kekuasaannya. Petruk menjadi raja di kerajaan Ngrancang Kencana yang bergelar Prabu Wel Geduwel Beh. Bagong adalah anak angkat Semar yang ketiga. Dikisahkan bahwa Gareng dan Petruk meminta dicarikan teman agar suasana menjadi ramai. Sang Hyang Tunggal yang mendengar permintaan
Gareng dan Petruk segera memberikan anugerah kepada Semar. Bayangan Semar diberkati dan lahir Bagong. Asal usul Bagong terdapat dua (2) versi lain. Versi pertama adalah Gareng dan Petruk diangkat menjadi anak angkat Semar. Petruk merasa tidak puas sebab menjadi adik Gareng. Petruk merasa lebih tua dan tinggi dari Gareng. Petruk meminta kepada Semar agar mencarikan adik. Akhirnya Semar memuja dirinya sendiri dan lahir seorang anak laki-laki yang bernama Bagong (Muhammad Zaairuq Haq, 2013: 143). Sedangkan versi kedua adalah saat Semar turun ke dunia ia merasa kesepian. Semar memohon kepada dewa untuk diberikan teman agar tidak kesepian. Lahir bayangan Semar yang diberi nama Bagong.
2.2 Karakter Punakawan Semar adalah tokoh wayang yang sosoknya kontroversional dan kehidupannya penuh keunikan. Semar memiliki karakter yang sederhana, tenang, rendah hati, tulus, tidak munafik, dan bersikap netral. Semar selalu hadir untuk memberikan pencerahan kepada para ksatria saat mengalami duka. Dalam dunia pewayangan Semar penuh pesona, memiliki daya tarik dan menghibur penonton (Muhammad Zaairuq Haq, 2013: 102). Semar dianalogikan sebagai bhikkhu atau bhikhsu, Romo Pandita Buddha, sesepuh, dan guru. Semar hidupnya penuh dengan kesederhanaan seperti bhikkhu atau bhikhsu, rendah hati seperti para romo pandita saat mengulang ajaran Buddha, seperti guru yang penuh ketulusan saat memberikan ilmu kepada peserta didiknya.
Gareng memiliki sebutan lain yaitu Pancalpamor yang memiliki arti menolak godaan duniawi (Muhammad Zaairuq Haq, 2013: 123). Gareng hidup dengan penuh kesederhanaan, menolak godaan duniawi merupakan makna agar hidup dapat meminimalisir keinginan-keinginan. Jika hidup dipenuhi dengan keinginan-keinginan, maka tidak aka nada kepuasaan dalam diri. Dengan tidak menyadari hidup maka akan muncul penderitaan dan kekecewaan dalam diri. Gareng memiliki karakter yang menjauhkan diri dari hal-hal yang bersifat duniawi. Dalam kehidupannya, Gareng menghindari makanan yang enak dan mewah. Gareng memiliki sifat yang sederhana dalam menjalani hidup. Petruk terkenal dengan figur yang santai dan dapat menjalani hidup dengan penuh sukacita, tidak membebani hidupnya dengan penderitaan. Petruk mengajarkan untuk menjalani hidup dengan sukacita. Hidup merupakan penderitaan, Petruk mengajarkan untuk tidak membebani penderitaan dengan penderitaan yang baru, namun dengan cara sukacita. Sukacita dianalogikan sebagai perbuatan baik baru yang akan membuahkan kebahagiaan. Dalam ajaran Buddha, manusia lahir merupakan suatu penderitaan, hendaknya dapat memanfaatkan hidup di alam manusia dengan menambah kebajikan. Umumnya manusia lahir sesaat dan hanya menikmati hasil timbunan kebajikan lampaunya, sehingga tidak menambah kebajikan yang baru. Petruk terkenal pandai bergaul, memperhitungkan segala sesuatu, tidak suka membuat kecewa (Muhammad Zaairuq Haq, 2013:
126). Petruk memiliki sifat pelayan namun bukan penjilat, pandai tapi tidak sombong, cerdik tapi tidak licik, bijaksana dan memiliki pendirian teguh, rendah hati tapi tidak kecil hati, berani, teguh tapi tidak angkuh, sabar tapi tidak lamban, jantan namun bukan preman, humoris, rajin namun tidak berlebihan di depan umum, berwibawa namun tidak seram, sopan namun tidak penakut, tertib tapi tidak kaku. Bagong merupakan tokoh Punakawan keempat dalam pewayangan. Bagong memiliki karakter yang lucu, senang berbicara, santai, dan seenaknya sendiri (Herry Lisbijanto, 2013: 31). Figur Bagong terkenal dengan gaya yang semaunya namun berhati baik dan lugu. Bagong memiliki karakter yang polos (Muhammad Zaairuq Haq, 2013: 142). Bagong memiliki makna filosofis agar dalam bergaul dan berbicara hendaknya diperhatikan dengan seksama. Dalam ajaran Buddha, terdapat empat hal bicara yang baik, yaitu ucapan tersebut benar, bermanfaat, tepat pada waktunya, dan tidak menyakiti makhluk lain. Bagong mengingatkan agar menjaga ucapan dengan baik.
2.3 Tinjauan Makna Filosofis Punakawan dalam Buddhism Semar jumeneng (berkedudukan) sebagai seorang Begawan (orang bijaksana). Dalam agama Buddha, kebijaksanaan Semar bagaikan Sang Buddha yang seperti air tenang yang menghanyutkan, sikapnya tenang dan tersimpan kejeniusan, ketajaman batin, pintar ilmu pengetahuan serta pengalaman hidup. Semar memiliki figur yang sabar, tulus, pengasih, pemelihara kebaikan, penjaga kebenaran, dan
menghindari perbuatan buruk. Dalam ajaran Buddha, Semar memiliki sifat-sifat seperti Sang Buddha. Dalam ajaran Buddha wajah pucat Semar terdapat dalam Karaniyametta Sutta, sebagai berikut: Appakicco ca sallahukavutti Santindriyo ca nipako ca Appagabbho kulesu ananugiddho Artinya: Tidak repot, bersahaja hidupnya, Berindria tenang, penuh pertimbangan, Sopan, tak melekat pada keluarga-keluarga; Dalam khasanah spiritual Jawa dikenal dengan istilah Manunggaling kawula Gusti, yang berarti menyaru dengan alam. Semar dipersonifikasikan sebagai guru sejati masyarakat Jawa. Demikian
pula
dengan
agama
Buddha,
Sang
Buddha
dipersonifikasikan sebagai guru sejati umat Buddha, tidak kepada manusia saja namun guru para dewa dan manusia. Hal tersebut terdapat dalam Buddhanussati, sebagai beriikut: Anuttaro purisadammasarathi, Sattha devamanussam, buddho bhagavati Artinya: Pembimbing Manusia Yang Tiada Taranya, Guru Para Dewa dan Manusia, Yang Sadar, Yang Patut Dimuliakan. Guru sejati merupakan pengendali seseorang agar berbuat dengan tepat, berada dalam kebenaran, dan senantiasa eling lan waspada (perhatian dan waspada). Sang Buddha selalu mengingatkan bahwa
hidup
sampajjhana).
harus
penuh
perhatian
dan
kesadaran
(Sati-
Gareng adalah pancalpamor yang memiliki arti menolak segala nafsu indriya yang dapat melalaikan diri. Penampilan fisik Gareng merupakan perwujudan karakter asli sebagai pribadi yang berhati-hati dalam bertindak. Tangannya cetho atau tidak lurus, yang bermakna bahwa Gareng tidak suka mengambil hak milik orang lain. Dalam ajaran Buddha terdapat dalam Pancasila Buddhis yaitu sila kedua yang berbunyi sebagai berikut: Adinnadana veramani sikkhapadam samadiyami Artinya: Aku bertekad melatih diri menghindari pengambilan barang yang tidak diberikan. Tangan depan Gareng menunjuk dan berarti bahwa ia tengah menunjuk kearah ilmu pengetahuan yang nyata melalui lika-liku pikiran.
Dalam
ajaran
Buddha
liku-liku
pikiran
merupakan
ketidaktenangan pikiran. Pikiran dalam ajaran Buddha merupkan sebagai pembentuk dan penentu segala sesuatu. Lengan Gareng berliku menunjukkan bahwa dunia penalaran berliku dan berusaha mempertimbangkan adanya kemungkinan lain. Pikiran mudah goyah dan tidak menetap, pikiran mengalami perubahan. Pikiran yang kacau dapat menimbulkan hal yang buruk, sedangkan pikiran yang tidak kacau dapat menimbulkan hal yang baik. Dalam ajaran Buddha, pikiran merupakan pelopor, pemimpin, dan pembentuk yang terdapat dalam Citta Vagga. Pikiran baik akan menimbulkan kebahagiaan, demikian pula pikiran yang buruk akan menimbulkan penderitaan
Petruk memiliki sebutan lain yaitu Khantong Bolong yang berarti saku berlubang. Khantong Bolong merupakan simbol dari orang yang gemar berderma. Dalam ajaran Buddha gemar berderma merupakan pelaksanaan paramita yang pertama yaitu Dana Paramita yang berarti kebajikan berdana (Pandit J. Kaharudin, 2004: 278). Wajah dan perawakan Petruk digambarkan dengan serba panjang, yang menyimbolkan bahwa pemikiran harus panjang karena dalam menjalani hidup, manusia harus berpikir panjang dan sabar. Dalam Ovadapatimokkhadiadi Patha dijelaskan bahwa: khanti paramam tapo titikha Artinya: Kesabaran, ketabahan adalah cara berlatih batin terbaik Hidung Petruk yang panjang dan lurus merupakan makna bahwa manusia harus selalu berjalan pada jalan yang lurus. Jalan lurus merupakan hidup yang sesuai dengan kebenaran. Hidung Petruk merupakan analogi bahwa setiap makhluk seyogyanya berada dalam jalan yang benar atau jalan Dhamma dalam menjalani hidup. Bentuk tubuh Petruk yang tinggi dan membungkuk mengingatkan manusia agar tidak sombong ketika memiliki tahta dan harta yang tinggi. Badan membungkuk merupakan simbol bahwa manusia harus tetap melihat ke bawah dan menghormati sesama tanpa membeda-bedakan. Analogi tubuh Petruk, Sang Buddha dalam Mangala Sutta yaitu: garavo ca nivato ca Santutthi ca katannuta Artinya: Memiliki rasa hormat, berendah hati
Merasa puas dengan yang dimiliki, ingat budi baik orang Bagong memiliki perawakan yang bulat, mata lebar, bibir tebal, dan berwajah lucu. Gaya bicara Bagong santai dan seenaknya sendiri. Bagong sosok yang lugu dan tidak mengerti tata karma namun Bagong memiliki hati yang baik. Setiap manusia memiliki kelebihan dan kekurangan. Bagong merupakan filosofis yang cukup buruk. Gaya bicara yang seenaknya sendiri tanpa memperhatikan tata karma tidak terdapat dalam sifat luhur Sang Buddha. Karakteristik Bagong yang seenaknya menjadi pembelajaran bahwa dalam hidup hendaknya tidak egois. Dalam menjalani hidup diperlukan sikap tenggang rasa agar tidak menyakiti orang lain. Dalam hal tersebut, Sang Buddha telah bersabda dalam Manggala Sutta, yaitu: bahusaccanca sipanca Vinayo ca susikkhito Subhasita ca ya vaca Etammangalamuttamam Artinya: Berpengetahuan luas, berketarampilan, Terlatih baik dalam tata susila, Dan bertutur kata dengan baik, Itulah berkah utama. Bagong memiliki ucapan yang seenaknya sendiri. Bagong memberikan pembelajaran untuk tetap menjaga tutur kata, melatih tata susila dengan baik, agar tidak menyakiti orang lain.
III.Metode Penelitian Jenis penelitian ini adalah kualitatif. Pada penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologis. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif. Objek penelitian ini adalah seluruh mahasiswa STAB
Negeri Sriwijaya Tangerang Banten. Ruang lingkup penelitiannya adalah pemahaman makna filosofis Punakawan yang terkandung pada mahasiswa STAB Negeri Sriwijaya Tangerang Banten. Jenis data penelitian ini berupa data deskriptif. Sumber data dalam penelitian ini terdapat dua jenis sumber, yaitu primer dan sekunder. Sumber data primer yang peneliti gunakan adalah buku-buku mengenai Punakawan dan karakter. Sumber data sekunder yang peneliti gunakan adalah dengan menggunakan internet. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan berbagai sumber, dan cara. Data yang didapat secara alamiah berada di lingkungan STAB Negeri Sriwijaya Tangerang Banten. Pengumpulan data dilakukan dengan sumber primer yaitu informan memberikan data kepada peneliti secara langsung dan sekunder adalah informan tidak memberikan informasi langsung pada peneliti atau melalui dokumen. Teknik pengumpulan data dari segi cara, yaitu dengan observasi atau pengamatan, wawancara, angket terbuka, dan dokumentasi.
IV. Pembahasan Karakter baik yang dibentuk melalui tokoh Punakawan, diterapkan dengan berbagai cara oleh mahasiswa STAB Negeri Sriwijaya Tangerang Banten, yaitu diterapkan dengan hal yang baik, mampu memposisikan keadaan, mengendalikan pikiran, melalui pergaulan, tingkah laku yang baik, pikiran baik, ucapan baik, dengan menjadikan kebersamaan yang membawa kebahagiaan yang merupakan pedoman menjadi sahabat yang baik, saling membantu, menjalani hidup dengan apa adanya, mengikuti sisi baik Punakawan, membuang sisi buruk Punakawan,
menjalani hidup dengan berbuat kebajikan, meninggalkan kejahatan, menyucikan hati, dan pikiran, menyadari hidup ini indah dengan adanya perbedaan seperti Punakawan, meneladani dan menganalisa karakter Punakawan, dapat menjadikan diri sebagai teman yang setia, dengan menjaga dan mencintai budaya sendiri yang penuh makna filosofis yang baik, menjalankan Pancasila Buddhis, menjalankan inti ajaran Buddha, mempraktikan empat sifat luhur, menjalankan hidup dengan baik, dapat saling mengerti, dapat menyelami makna Punakawan, dapat meneladani kebijaksanaanya saat mengambil keputusan, hidup dengan penuh hati-hati, memiliki pertimbangan yang baik, memiliki pendirian dan pandangan hidup yang benar, tidak suka ikut-ikutan, dengan menjaga bicara, tidak sok tahu atau sok pintar, mengikuti ajaran yang baik, dapat mempraktikan hidup dengan kesederhanaan, tidak memiliki keinginan banyak, dan memiliki pandangan lurus yang sesuai dengan ajaran BuddhaMahasiswa STAB Negeri Sriwijaya Tangerang Banten yang kelak menjadi penyuluh atau pendidik, dapat menerapkan karakter baik yang terdapat pada Punakawan. Demikian pula, mahasiswa STAB Negeri Sriwijaya dapat menghindari atau meninggalkan karakter buruknya. Dengan penerapan yang dilakukan dengan penuh pertimbangan dan kebijaksanaan. Pertimbangan dan kebijaksaan yang tepat membentuk karakter baik dalam diri generasi muda Buddhis. Kelak mahasiswa STAB Negeri Sriwijaya Tangerang Banten mengabdi, berkarya, dan menjalani hidup sebagai masyarakat umum dapat menjadi panutan.
V. Penutup 5.1 Simpulan Pemahaman makna filosofis yang terdapat pada Punakawan dapat
manjadi
pedoman mahasiswa STAB
Negeri
Sriwijaya
Tangerang Banten dalam menjalani kehidupan. Mahasiswa STAB Negeri Sriwijaya Tangerang Banten merupakan generasi muda buddhis yang kelak menjadi penyuluh dan pendidik. Kepenyuluhan merupakan panutan untuk umat Buddha, dan pendidik panutan untuk peserta didik. Dengan menerapkan karakter baik pada Punakawan, maka mahasiswa STAB Negeri Sriwijaya Tangerang Banten dapat membentuk karakter dengan baik. Tokoh Punakawan dapat menjadi teladan untuk generasi muda Buddhis dengan penerapan yang baik. Penerapan yang dilakukan informan dalam membentuk karakter baik dalam Punakawan adalah dapat mengendalikan pikiran, saling membantu, menjalani hidup dengan apa adanya, manjalankan Pancasila Buddhis, menjalankan inti sari ajaran Buddha, mempraktikan empat kediaman luhur, bertindak dengan hati-hati, penuh pertimbangan, tidak memiliki banyak keinginan, hidup sederhana, dan memiliki pandangan lurus yang sesuai dengan ajaran Buddha.
5.2 Saran Pemerintah agama Buddha, yang mayoritas berasal dari suku Jawa, semoga penelitian ini bermanfaat dan menjadi pertimbangan, pemerintah agama Buddha untuk tetap melestarikan budaya Jawa yang telah ditinggalkan generasi muda Buddhis yang keturunan suku Jawa.
Pemerintah agar dapat memberikan panutan kepada generasi muda Buddhis dengan menerapkan karakter baik pada Punakawan, khususnya menjadi pemimpin yang baik, tetap eling lan waspada, dan hidup dalam jalan yang benar sesuai dengan ajaran Buddha. Kepada segenap civitas akademika STAB Negeri Sriwijaya Tangerang Banten, semoga dengan penelitian ini dapat menjadikan STAB Negeri Sriwijaya Tangerang Banten menjadi pencetus dalam pelestarian budaya Jawa. Semoga dengan penelitian ini, STAB Negeri Sriwijaya Tangerang Banten dapat menjadi sumber filsafat Buddhis yang berkualitas dengan pedoman Buddha Dhamma, melalui seni dan budaya Indonesia. Kepada mahasiswa STAB Negeri Sriwijaya Tangerang Banten, peneliti mengharapkan agar generasi muda Buddhis yang keturunan suku Jawa tetap menjaga dan tidak rendah diri terhadap kesenian lokal. Kesenian lokal memiliki makna hidup yang baik dan sesuai dengan ajaran Buddha.. Mahasiswa STAB Negeri Sriwijaya Tangerang Banten perlu memahami makna filosofisnya agar dapat diimplementasikan dalam kehidupan dan menjadi tongkat estafet kesenian Buddhis. Mahasiswa merupakan generasi muda Buddhis yang menjadi penerus sesepuh.
VI. Daftar Pustaka Angutara Nikaya: Numerical Discourses of The Buddha. 2003. tr. Dra. Wena Cintiawati dan Dra. Lanny Anggawati Endang Widyawati, S.Pd. Klaten: Vihara Bodhivamsa Wisma Dhammaguna. Aizid, Rizem. 2012. Atlas Tokoh-tokoh Wayang. Cetakan pertama. Yogyakarta: DIVA Press. Darusuprapta, Suprayitna. S. 2011. Kamus Jawa Kuna Indonesia. Cetakan ke-6. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. Cetakan ke-4. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Djaali. 2009. Psikologi Pendidikan. Cetakan ke-4. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Haq, M.Z. 2013. Tasawuf Semar hingga Bagong Simbol, Makna, dan Ajaran Makrifat dalam Panakawan. Cetakan ke-3. Bantul: KREASI WACANA. Koesoema. 2010. Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global. Jakarta: Grasindo. Kresna. 2012. Punakawan Simbol Kerendahan Hati Orang Jawa. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Penerbit NARASI (Anggota IKAPI). Lisbijanto. 2013. Wayang. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Graha Ilmu. Mu’in, F. 2011. Pendidikan Karakter Konstruksi Teoritis & Praktik. Cetakan ke-2. Yogyakarta: AR-UZZ MEDIA. Panjika. 2004. Kamus Umum Buddha Dharma Pali-Sanskerta-Indonesia. Cetakan ke-2. Jakarta: TRI SATTVA BUDDHIST CENTRE. Purwanto, N. 2011. Psikologi Pendidikan. Cetakan ke-25. Bandung: REMAJA ROSDAKARYA. Sangha Theravada Indonesia. 2005. Paritta Suci. Jakarta: Yayasan Sangha Theravada Indonesia. Samani, Hariyanto. 2012. Konsep dan Model Pendidikan Karakter. Cetakan ke-2. Bandung: REMAJA ROSDAKARYA. Sapardi. 2007. Sejarah Berdirinya Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Sriwijaya Tangerang-Banten. Jakarta: Departemen Agama
Republik Indonesia Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha. Solihah, A. 2008. Makna Filosofis Punakawan dalam Wayang Jawa (Lakon Wahyu Makhutharama), Skripsi, (Online), http://digilib.uinsuka.ac.id/1760/1/BAB%201,%20BAB%20V,%20 DAFTAR%20PUSTAKA.pdf. Diakses 27 November 2013). Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif kualitatif dan R&D. Cetakan ke-14. Bandung: Alfabeta. Sumukti, T. 2006. Semar Dunia Batin Orang Jawa. Cetakan ke-3. Tangerang: PT. AGROMEDIA PUSTAKA. Suseno, Franz. 2003. Etika Jawa Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Cetakan ke-9. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama Suyanto, Jati. 2010. Pedoman Penulisan Skripsi. Tangerang: STAB Negeri Sriwijaya Tim Pakar Yayasan Jati Diri Bangsa. 2011. Pendidikan Karakter di Sekolah: Dari Gagasan ke Tindakan. Jakarta: PT. Gramedia. Tirtasanti. 1989. Sabda-sabda Buddha Gotama DHAMMAPADA (The Dhammapada). Bandung: KARANIYA. Winati. 2012. Karakter Tokoh dan Nilai-nilai Kebajikan Naskah Kakawin Sutasoma dalam Pembentukan Moralitas. Skripsi tidak diterbitkan. Tangerang: Dharmacarya STAB Negeri Sriwijaya Tangerang Banten