arsitektur.net
2008 vol. 2 no. 1
Arsitektur Ideal: Di Antara Dua Polar Avianti Armand Estetika arsitektural akhir abad kesembilan-belas menyatakan bahwa eksistensi ruang menjadi esensi dari arsitektur. Pada awal abad kedua-puluh, beberapa tren artistik tertentu yang memahami kata-kata bijak kuno dari Timur (Lao Tzu) bahwa massa adalah abdi dari kekosongan, akhirnya sampai pada ketetapan akan dematerialisasi (peniadaan materi) terhadap soliditas massa. Yang tidak nyata justru menjadi hakikatnya, dan di-nyata-kan dalam bentuk materi (Tzu, 1991: 5-6). nyata juga bahwa arsitektur pada akhirnya harus mewujud. Berbicara soal arsitektur tidak akan terlepas dari realisasinya, dari gagasan menjadi bangunan. Berbicara soal ideal lalu paling tepat kalau diletakkan dalam kerangka proses itu, dan sesudahnya; dimana gagasan ideal memiliki bentuk untuk diapresiasi dan dinilai. Pertanyaannya sekarang, apakah gagasan ideal dalam arstitektur itu bisa adjective) dapat berarti: 1) Being optimal or relating to the best option for something; 2) defect; 3) Being something that exist only in the mind; conceptual, ideational; Mary pikiran, mudah merumuskan yang ideal. Dalam perjalanan mewujud, mengambil bentuk, agar ruang esensi dari arsitektur dapat terindera, ideal kemudian selalu terentang diantara dua polar, terjebak dalam dikotomi kepentingan-kepentingan yang berbeda domain. Utopis atau Kompromis? Benar, arsitek selalu adalah leading consultant. Tapi arsitektur tidak pernah lahir dari tangan seorang arsitek sendiri saja. Dia selalu merupakan produk dari sekumpulan orang; pemberi tugas atau klien, arsitek, konsultan dari berbagai disiplin lain – struktur, mekanikal elektrikal, lansekap, special lighting, dan sebagainya, kontraktor – mulai dari jajaran supervisor hingga tukang dan kuli angkut, supplier berbagai material, dan masih banyak lagi. Di dalam proses menjadinya, akan bertemu berbagai macam kepentingan. Masing-masing memiliki gagasan ideal, yang tidak selalu sejalan satu sama lain. Masing-masing bertujuan agar gagasan ini terwujud. Apabila arsitektur yang terwujud adalah realisasi dari semua yang ideal itu, maka kondisi yang terjadi tentulah utopis. Namun, ketidakseimbangan kepentingan didalamnya akan membuat pihak lain atau bahkan arsitekturnya ‘sakit’. Gagasan siapa lalu yang lebih ideal? Yang lebih lantang berbicara? star architect, Frank Gehry, berkaitan dengan kegagalan desain di Stata Center. Bangunan bocor, masalah dengan drainase, dan masalah dengan tonjolan-tonjolan pada dinding luarnya. Dikatakan bahwa salju dan es yang terkumpul pada kotak-kotak jendela dan area lain di atap berjatuhan dan membahayakan pengguna. Selain itu, salju dan es yang jatuh juga menutup emergency exit dan mengakibatkan kerusakan.
2
arsitektur.net
2008 vol. 2 no. 1
Pihak kontraktor, Beacon Skanska Construction Co., mengatakan, Gehry tidak mengindahkan peringatan-peringatan dari mereka bahwa ada banyak kelemahan dalam desainnya. “This is not a construction issue, never has been,” kata Paul Hewins, executive vice president dan area general manager dari Skansa USA. Hingga kini, pihak Gehry Partners belum memberi tanggapan atas tuntutan tersebut.
mengenai kota ideal, pada akhirnya mengundang banyak sekali kritik dan “ ” Dia benar-benar mempercayai gagasannya. Tak ada lagi jalanjalan dan sisi jalan yang meriah, tak ada lagi public square yang hiruk pikuk, tak ada lagi lingkungan tinggal yang berantakan. Manusia akan tinggal dalam bangunan-bangunan tinggi yang higienis, yang secara keseluruhan merupakan elemen dalam tata kota taman yang sangat teratur. Kota rasional ini akan terbagi dan terpisahkan dalam zona-zona untuk bekerja, tinggal, dan hiburan. Lebih jauh lagi, semua harus dikerjakan dalam skala besar; bangunan-bangunan besar, ruang-ruang terbuka besar, dan jalan-jalan kota yang juga besar. Kenyataannya, dimanapun gagasan itu diterapkan – di Chandhigarh oleh Le Corbusier atau di Brasilia oleh pengikut-pengikutnya – gagasan itu menuai kegagalan. Le Corbusier menyebut kota idealnya La Ville Radieuse atau Kota yang Bercahaya. Di Amerika Serikat, Kota yang Bercahaya ini mengambil bentuk skema-skema pembaruan kota raksasa dan proyek-proyek perumahan yang sangat kaku, yang benar-benar merusak jaringan kota. Saat ini, mega proyek semacam itu mulai dipreteli, superblok disisipi rumah-rumah deret yang langsung bersinggungan dengan sisi jalan, berbagai aktivitas disuperimposisikan, bukan dipisahkan, ke dalam kehidupan kota. Area residensial dihidupkan kembali, baik yang lama maupun yang baru. Kota-kota akhirnya belajar bahwa mempertahankan sejarah ternyata jauh lebih masuk akal dibanding memulai semuanya dari nol. Sebuah pelajaran mahal, yang diwariskan oleh Le Corbusier. Beberapa star architect memang mampu memesona kliennya dengan cara membahasakan gagasannya seolah itu adalah seni abstrak yang brilian. Bahkan jika ternyata kliennya tidak mengerti apa yang dibicarakannya, mereka akan menelan gagasan ideal si arsitek, terpukau dan terbuai oleh visi besarnya, atau oleh kemampuannya berbicara. Kutipan di bawah ini berasal dari wawancara dengan Peter Eisenman. Cobalah mengunyahnya. “
” (Eisenman) Lebih jauh ia menambahkan, “I do not do function“. Bekerja dengan arsitek yang kuat membutuhkan sparing partners yang juga kuat, agar dalam proses menjadinya, sebuah gagasan ideal benar-benar dimasak dengan takaran yang pas. Arsitek bukan superman. Gagasan ideal yang tidak melalui proses benturan yang terus-menerus akan menjadi arsitektur yang utopis, yang harus dibayar mahal kemudian. Arsitektur yang berkelanjutan adalah arsitektur yang berhasil ‘dicintai’. Untuk itu, ia harus menyentuh banyak orang, bekerja untuk banyak pihak, tidak hanya untuk mimpi si arsitek. Kompromis? Ya. 3
arsitektur.net
2008 vol. 2 no. 1
Keinginan atau Kebutuhan? Menurut kisah, suatu hari Socrates berdiri termangu di depan sebuah toko yang yang tak pernah menulis satu kalimat pun itu berkata, “Betapa banyak benda yang tak kuperlukan.” Gagasan ideal, sebuah keinginan atau kebutuhan? Kebutuhan manusia tidak banyak, dan alam menyediakannya secara cukup. Kehidupan yang berjalan untuk memenuhi kebutuhan adalah kehidupan yang ber-evolusi. Keinginan memicu revolusi dan segala kemajuan (dan kemunduran) manusia yang gegap gempita: mesin, perang, senjata, televisi, pesawat terbang, gaya hidup, stasiun dan – universal. Keinginan, walaupun memiliki daya dorong yang luar biasa, lebih Berapa banyak sesungguhnya yang dibutuhkan manusia? Berkecimpung dalam dunia praktek arsitektur sering mencengangkan dan membuat kita berpikir lebih banyak lagi soal kebutuhan dan keinginan. Betapa kedua hal itu sering bukan berupa dua lingkaran domain yang beririsan cukup banyak, tapi malah berjarak, Saya akan berbagi pengalaman dalam praktek, bergulat dengan keinginan dan 1. Estetika artistic judgement (http://en.wikipedia.org/wiki/Aesthetics). Bagaimana menilai estetika? Dan kalaupun bisa dinilai, adakah alat ukurnya? Bukankah estetika akan muncul dengan sendirinya jika segala sesuatu telah diselesaikan dengan benar? Pertanyaan yang lebih mendasar lagi, apakah estetika sebuah kebutuhan atau keinginan belaka? Sebelum Starbucks mengemas kopi ke dalam satu strategi desain yang menjadikan kopi dan budaya minum kopi sebagai sebuah gaya hidup, pasti susah menjual secangkir kopi dengan harga lebih dari tiga puluh ribu rupiah. Pada saat estetika menambah nilai ekonomis suatu komoditas, siapa yang tak butuh estetika? Bahkan Malaysia, dengan obyek wisata yang sangat minim jika dibandingkan dengan Indonesia yang membentang dari Sabang sampai Merauke, dengan Indonesia yang hanya kedatangan 5 juta turis di tahun yang sama). Hal ini disebabkan kepiawaian Malaysia dalam mengemas image negaranya menjadi sangat estetis. Mempertemukan ideal estetika tidak hanya berlangsung dalam ajang kompromi antar arsitek dengan pihak-pihak lain dalam prosesnya mewujud. Pertamatama gagasan ideal ini harus bergulat dulu dalam diri si arsitek: antara konsep, dibanding hasil yang akan dicapai. Berdamai dengan diri sendiri merupakan modal penting untuk bergulat di tahap selanjutnya, karena seringkali perdebatan tentang estetika adalah perdebatan tentang style yang tidak bermutu dan akhirnya jadi ajang ‘tawar becak’. Berikut adalah cuplikan pengalaman pribadi yang ‘berharga’. Klien : Ini terlalu minimalis. Apa tidak akan membosankan nantinya? Saya : Desain saya bukan minimalis. 4
arsitektur.net
2008 vol. 2 no. 1
Klien : Lho, lalu apa namanya? Saya : Saya tidak berani memberi nama. Klien : Menurut saya desain anda sih minimalis. Saya : Baiklah. Anda lebih tahu. Klien : Kenapa teritisannya panjang sekali? Saya : Supaya tidak tampias dan lebih teduh. Klien : Kelihatannya jadi kurang modern. Bagaimana kalau dipendekkan? Saya : Jendela akan kena tampiasan hujan. Air akan merembes ke dalam. Klien : Kalau begitu buat jendela mati saja. Frameless. Lebih modern kan? Mungkin saya memang tidak pandai berdiplomasi. 2. Program dan Luas Ruang ‘Seberapa cukup adalah cukup?’ adalah pertanyaan yang dilontarkan oleh Adi Purnomo dalam bukunya Relativitas, yang mempertanyakan terus menerus posisi arsitek di ruang angan dan kenyataan. Pertanyaan diatas adalah gugatan terhadap gejala membesarnya volume rumah tinggal di Jakarta. Keyakinan saya yang saya dapat waktu belajar dulu, bahwa urusan program ruang dan luasannya adalah hal yang pasti ternyata salah. Sama seperti estetika, ia juga Klien : Saya mau ada ruang karaoke. Saya : Bapak pasti hobi menyanyi, ya? Klien : Tidak. Saya : ? Klien : Tapi kalau saya punya ruang karaoke, saya akan senang menyanyi. (Betapa sederhananya. Kalau saya punya PC, saya akan senang menulis. Kalau saya punya mobil, saya akan jadi juara rally.) Klien : Saya mau ada mini theater di rumah saya. Klien : Lupa. Kapan ya? (Jangan tanya saya, Pak. ) Klien : Saya mau tiap kamar tidur dilengkapi dengan satu kamar mandi. Saya : Apa nggak kebanyakan, bu? Klien : Biar nggak rebutan. Repot kan kalau pagi-pagi. Semuanya mau duluan. Saya : Memang tidak bisa diatur waktunya? Klien : ? (Klien saya itu bingung. Berbagi, buat beberapa orang, ternyata adalah sebuah kemustahilan.) menggunakan proporsi tubuh manusia sebagai dasar untuk menyusun geometri sekedar kekacauan belaka, atau jangan-jangan ada aturan matematika baru di alam semesta ini? 3. Moral Tapi arsitektur bukan sekedar masalah matematika dan teknik belaka. Keinginan dan kebutuhan juga berbenturan di lahan moralitas. Kalau masalah di dalam tapak selesai, apa lalu semua masalah selesai? Mungkin begitu bagi sebagian arsitek. Karena itu banyak rumah menempati lahannya sampai penuh, memagari dirinya dengan dinding pagar yang lebih tinggi dari rumahnya, memenjara dirinya supaya aman dari dunia luar. Tidak pernah berada di lingkungannya. Satu-satunya 5
arsitektur.net
2008 vol. 2 no. 1
masuk. Arsitek, lagi-lagi, harus memekakan rasa untuk menakar, seberapa jauh gagasan idealnya harus diperjuangkan. Saya : Kalau semua kebutuhan ruang ibu saya penuhi, seluruh tapak akan tertutup bangunan. Klien : Tapi saya memang tidak perlu halaman. Saya butuh ruangan. Saya : Tapi anda tidak akan punya resapan. Air yang tidak teresap tanah akan mengakibatkan banjir. Klien : Tanah saya diurug dan ditinggikan saja. Biar nggak kebanjiran. Saya : Tapi air akan melimpah ke tetangga dan ke jalan. Klien : Lho, memangnya kenapa? (Memikirkan diri sendiri, buat beberapa orang, ternyata telah jadi sebuah kebenaran.) Klien : Kamarnya terlalu sempit. Saya : Sebenernya ini cukup. Ruang memang sengaja saya buat tipis supaya bisa terjadi cross circulation udara. Klien : Buat apa? Saya kan mau pake ac di semua kamar. Saya : Kalau bisa tidak pake ac kenapa harus pake ac? Klien : Tapi nanti nyamuknya masuk. Saya : Kan bisa pake kawat nyamuk. Klien : Tapi kamarnya terlalu sempit. Dan saya mau selalu pake ac. Saya : Listriknya akan boros. Klien : Biarin. Saya ini yang bayar. (Issue yang sangat mencemaskan, buat beberapa orang, ternyata Saya tidak akan membuat kesimpulan. Saya hanya akan meneladan seseorang yang sangat saya kagumi. Yesus sering membuat perumpamaan untuk menjelaskan hal-hal (sederhana) yang sering susah dimengerti oleh pengikutnya. Maka beginilah saya melihat arsitektur ideal. Ia adalah sebuah balon udara yang harus ditarik ke bawah untuk bisa dinaiki. Pada saat itu, ia harus rela kehilangan ketinggian, karena hanya dengan begitu, ia bisa dihuni, disetubuhi, dan berjalan melampaui ruang dan waktu. Arsitek sejati adalah arsitek yang mampu menjaga daya lambung kreativitas dan idealismenya seraya dengan peka merelakan orang lain untuk mengambil tempat dalam keranjangnya, sambil tetap menjaga takar beban yang bisa dimuat agar ia tetap bisa terbang. Referensi Eisenman, Peter. Why Hiring a Star Architect Isn’t Always a Stellar Idea. Dalam Tzu, Lao. (1991). Ruang dalam Arsitektur. Dalam Cornelis van de Ven (Ed), Dari Tiada Menjadi Ada, (hal. 5-6), Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
6