Aplikasi Yufid:
Kumpulan Tanya Jawab Pendidikan Islam dan Keluarga
Telah tersedia aplikasi Tanya Ustadz untuk iPhone!
Developed by:
Lihat aplikasi lainnya di www.yufid.org
Judul Buku
Benarkah Nabi Sulaiman dan Nabi Musa Memakai Jimat? Penulis: Ustadz Abdullah Zaen, Lc., M.A.
Penerbit Disebarkan dalam bentuk ebook oleh www.Yufid.com Disalin dari tunasilmu.com dengan penyuntingan bahasa oleh Redaksi Yufid.com Cetakan I – Ramadhan 1432 H
Website www.yufid.org (official website) www.yufid.com (Islamic search engine) www.konsultasisyariah.com (konsultasi agama islam online) www.kajian.net (download mp3 ceramah agama islam terlengkap) www.pengusahamuslim.com (berbisnis sesuai syariah) www.khotbahjumat.com (kumpulan khutbah jumat terbaik) www.kisahmuslim.com (cerita kisah islam penggugah jiwa) www.yufid.tv (download video tutorial dan ceramah agama islam) www.mufiidah.net (perpustakaan islam online – bahasa indonesia dan inggris) www.mufiidah.com (perpustakaan islam online – bahasa arab)
EBOOK GRATIS DILARANG DIPERJUALBELIKAN!
Benarkah Nabi Sulaiman dan Nabi Musa Memakai Jimat? Alhamdulillâh wahdah wash shalâtu was salâmu 'alâ rasûlillâh. Barangkali pertanyaan di atas terasa begitu aneh, asing atau mungkin lucu di telinga sebagian besar pembaca, yang telah mendapatkan hidayah untuk mengenal akidah yang murni, serta terdidik di atas ajarannya. Namun, lain halnya jika yang membaca adalah orang-orang yang ketergantungan terhadap benda mati (baca: jimat) telah mendarah daging dalam dirinya. Sampai-sampai ketika ada seseorang yang mencoba meluruskan keyakinan paganismenya itu, dia akan amat tersentak dan kaget dengan adanya pemahaman 'baru', yang 180 derajat bertolak belakang dengan apa yang diyakininya selama ini. Sebagai makhluk sosial yang berinteraksi dengan masyarakat sekitar, bukan suatu hal yang aneh jika kita berhadapan dengan berbagai fenomena di atas. Seorang muslim yang cerdas dan memiliki semangat juang tinggi untuk menularkan al-haq yang telah ia nikmati, tentunya selalu berusaha mempersiapkan dirinya untuk menghadapi berbagai jenis manusia yang amat heterogen latar belakang pemikiran dan tingkat pendidikannya. Sebagai agama yang menjadikan penghambaan kepada Allah tujuan utamanya, tentu saja Islam tidak membenarkan ketergantungan seorang hamba kepada selain Allah, apalagi kepada benda-benda mati semisal jimat. Namun, kenyataan berkata lain, masih ada di sana sini, oknum-oknum kurang bertanggung jawab yang berusaha mencari dalih untuk melegalkan praktik pemakaian jimat. Di antara syubhat yang mereka hembuskan guna melancarkan usaha tersebut: kisah Nabi Sulaiman 'alaihissalam dan cincinnya, juga kisah Nabi Musa 'alaihissalâm dan tongkatnya, serta kesimpulan batil yang mereka tarik dari keduanya. Menurut anggapan mereka, cincin Nabi Sulaiman dan tongkat Nabi Musa, adalah benda mati yang Allah isi dengan kekuatan, lalu kedua nabi tersebut memanfaatkannya. Hal itu bukanlah tindak perbuatan syirik. Sebab benda-benda mati tersebut hanyalah media perantara. Begitu pula halnya jimat, hanyalah sekadar media perantara saja, berupa benda mati yang telah Allah isi dengan kekuatan. Berdasarkan analogi ini, penggunaannya tidaklah dianggap sebagai bentuk tindak kesyirikan [Menjawab Kontroversi Seputar Jimat makalah tulisan Zahra Fahira, sebagaimana dalam Majalah Misteri, edisi 387 (hal. 61-62)]. Meskipun syubhat di atas sangat lemah, sungguh sangat disayangkan, tidak sedikit di antara kaum muslimin yang termakan oleh syubhat tersebut. Kenyataan ini menunjukkan betapa kejahilan masih sangat menggurita dalam diri mereka. Dan salah satu langkah nyata terbaik untuk mengatasi fenomena menyedihkan tersebut: mengerahkan daya upaya semaksimal mungkin, untuk menebarkan ilmu syar'i yang benar. Tulisan ini, diharapkan merupakan salah satu bentuk sumbangsih upaya tersebut.
1|Ebook gratis www.yufid.com
Studi Kritis Kisah Nabi Sulaiman 'alaihissalâm dengan Cincinnya Pembahasan kita kali ini terbagi menjadi dua poin: Poin pertama: Studi kritis kisah Nabi Sulaiman 'alaihissalâm dengan cincinnya. Kisah aneh ini disebutkan dalam beberapa literatur tafsir, tatkala memasuki pembahasan tentang apa yang dimaksud dengan fitnah (ujian) yang Allah sebutkan dalam firman-Nya,
ََولَقَدِ فَتَىَّا سُلٍَِمَانَ وََألْقٍَِىَا عَلَى ُك ِرسٍِِّهِ جَسَداً ثُمَّ أَوَاب Artinya: "Sungguh, Kami telah menguji Sulaiman dan kami letakkan sebuah jasad di atas singgasananya. Kemudian dia bertaubat." (Q.S. Shâd: 34). Redaksi kisah tersebut cukup panjang, intinya: "Konon Nabi Sulaiman 'alaihissalâm menikahi seorang wanita yang sangat beliau cintai, namanya Jarâdah. Hanya saja ia menyembah berhala di rumah Nabi Sulaiman, tanpa sepengetahuan beliau. Dikisahkan, bahwa kekuatan Nabi Sulaiman, baik yang berkenaan dengan kerajaan maupun kenabian beliau, terletak pada cincin yang ia pakai. Pada suatu hari ketika hendak memasuki kamar kecil, beliau menitipkan cincinnya kepada salah seorang istrinya; Amînah. Sebelum beliau menyelesaikan hajatnya, datanglah setan yang menyamar dalam bentuk Nabi Sulaiman dan mengambil cincin tersebut lalu menduduki singgasana Sulaiman. Sehingga Nabi Sulaiman kehilangan kekuatannya, dan berubah bentuk, kemudian terusir dari kerajaannya. Si iblis berkuasa dan 'menggagahi' para istri Nabi Sulaiman, sampaipun pada masa haidh mereka. Hingga akhirnya Nabi Sulaiman menemukan cincinnya kembali, dalam perut seekor ikan yang dia dapatkan dari seorang nelayan tempat beliau bekerja, dst." [Lihat: kisah lengkapnya, dengan berbagai redaksi dan konteks yang beragam dalam: Tafsîr ath-Thabarî (XX/88-92), Tafsîr Ibn Abî Hâtim (X/3241-3243), Tafsîr al-Baghawî (VII/90-94), ad-Durr al-Mantsûr karya as-Suyûthî (XII/570-583) dan yang lainnya]. i. Komentar para ulama atas kisah tersebut: Para pakar tafsir klasik dan kontemporer, serta selain mereka, memvonis batilnya kisah tersebut seraya menyebutkan, kisah ini tidak lebih hanyalah isrâiliyyât (dongengdongeng yang dinukil dari bani Israil) yang batil. Berikut statement mereka [dalam mengumpulkan berbagai statement mereka, kami 2|Ebook gratis www.yufid.com
amat terbantu dengan apa yang ditulis dalam buku Mausû'ah al-Isrâ'iliyyât wa alMaudhû'ât fi Kutub at-Tafsîr karya Muhammad Ahmad 'Isa (II/760-769) dan Asbâb alKhatha' fî at-Tafsîr – Dirâsah Ta'shîliyyah karya Dr. Mahmud Muhammad Ya'qub (I/182-185)]: 1. Ibnu Hazm (w. 456 H) menegaskan, "Ini semua khurafat kisah palsu dan dusta. Isnad-nya sama sekali tidak sahih." [Sebagaimana dinukil al-Qâsimî dalam Mahâsin at-Ta'wîl (XIV/5105)]. 2. Al-Qâdhî 'Iyâdh (w. 544 H) berkata, "Tidak sahih." [Asy-Syifâ bi Ta'rîf Huqûq al-Mushthafâ (II/836)]. 3. Ibn al-Jauzî (w. 597 H) menyebutkan kisah di atas, "Tidak absah dan tidak disebutkan oleh orang yang terpercaya." [Zâd al-Masîr (VII/133)]. 4. Al-Qurthubî (w. 671 H) mengomentari pendapat orang yang menafsirkan "ujian" dengan kisah di atas, "Pendapat ini dilemahkan (para ulama)." [Tafsîr al-Qurthubî (XVIII/22)]. 5. An-Nasafî (w. 710 H) menegaskan, "Ini termasuk kebatilan (yang dikarang) orang Yahudi." [Tafsîr an-Nasafî (III/156)]. 6. Abu Hayyân (w. 745 H) bertutur, "Kisah ini tidak halal untuk dinukil dan termasuk karangan orang-orang Yahudi, serta kaum zindiq." [Tafsîr al-Bahr alMuhîth (VII/527)]. 7. Ibn Katsîr (w. 774 H) menerangkan, "Ini termasuk isrâîliyyât [Tafsîr Ibn Katsîr (VII/68), lihat pula al-Bidâyah wa an-Nihâyah (II/340-341)], nampaknya ini termasuk kedustaan Bani Israil. Oleh karena itu, di dalamnya banyak terdapat hal-hal munkar." [Ibid (VII/69)]. 8. Al-Îjî (w. 894 H) menjelaskan, "Ketahuilah, tidak ada satupun hadits sahih yang menyebutkan perincian kisah tersebut. Adapun apa yang dinukil dari salaf, kemungkinan besar termasuk isrâîliyyât." [Jâmi' al-Bayân fî Tafsîr alQur'ân (hal. 812)]. 9. Al-Alûsî Abu ats-Tsanâ (w. 1270 H) berkata, "Allahuakbar! Ini kedustaan yang besar dan perkara yang serius. Keabsahan penisbatan cerita ini kepada Ibnu Abbas tidak kita terima." [Rûh al-Ma'ânî (XXIII/199)]. Dan masih banyak komentar lain yang senada [semisal komentar az-Zamakhsyarî (w. 538 H) dalam al-Kasysyâf (IV/90-91), ar-Râzi (w. 606 H) dalam Tafsîrnya (XXVI/207), as-Suyûthî (w. 911 H) dalam Manâhil ash-Shafâ fî Takhrîj Ahâdîts asySyifâ (hal. 228 no. 1244), asy-Syinqîthî (w. 1393) dalam Adhwâ' al-Bayân (IV/101 dan VII/37), Abu Syahbah dalam al-Isrâ'îliyyât wa al-Maudhû'ât fi Kutub at-Tafsîr (hal. 272)], sengaja tidak kami nukil semua; khawatir berdampak pada terlalu panjangnya tulisan ini. Adapun pernyataan sebagian ulama yang menyebutkan bahwa sanad (jalur periwayatan) kisah tersebut hingga Ibnu Abbâs kuat, sebagaimana yang dikatakan Ibnu Katsîr [Lihat: Tafsîr Ibn Katsîr (VII/69)], Ibnu Hajar al-'Asqalânî [Lihat: Al-Kâfî asySyâf fî Takhrîj Ahâdîts al-Kasysyâf (IV/90) sebagaimana dalam Mausû'ah al-Hâfizh Ibn 3|Ebook gratis www.yufid.com
Hajar al-'Asqalânî al-Hadîtsiyyah (IV/586)] dan as-Suyûthî [Lihat: Ad-Durr alMantsûr (XII/571). Tafsîr Ibn Katsîr (VII/68), dan al-Bidâyah wa an-Nihâyah (II/340341)]; hal tersebut tidaklah menafikan kebatilan kisah ini. Sebab, andaikan sanad tersebut memang sahih sampai ke Ibnu Abbâs, beliau hanyalah menukil kisah batil tersebut dari Ahlul Kitab yang masuk Islam [Ibnu Abbâs menukil kisah tersebut dari Ka'ab al-Ahbâr, sebagaimana dalam ad-Durr al-Mantsûr (XII/573)]. Jadi, kisah tersebut tidak diambil Ibnu Abbas dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Buktinya pada kesempatan lain, Ibnu Katsîr dan as-Suyûthî menegaskan, bahwa kisah tersebut termasuk khurafat isrâîliyyât [Lihat: Manâhil ash-Shafâ fî Takhrîj Ahâdîts asy-Syifâ (hal. 228 no. 1244)]. Bedakan antara keabsahan penisbatan kisah tersebut kepada seseorang dengan kebatilan kisah itu sendiri. Perbedaan ini bisa kita analogikan dengan pemikiranpemikiran sesat yang bermunculan di zaman ini. Penisbatan pemikiran tersebut kepada para kreatornya memang absah, tapi pemikiran itu sendiri sesat dan batil [Lihat: alIsrâ'îliyyât wa al-Maudhû'ât fi Kitub at-Tafsîr (hal. 96 dan 272)]. ii. Kebatilan-kebatilan yang terkandung dalam kisah tersebut: Selain kisah tersebut diragukan keabsahan sanad-nya, alur ceritanya juga mengandung kebatilan-kebatilan yang berkonsekuensi menodai kesucian kenabian dan keyakinan-keyakinan batil lainnya: 1. Penyamaran setan dalam bentuk nabiyullah. 2. Setan berhasil 'menggagahi' para istri nabiyullah, bahkan di saat mereka haidh! 3. Kekuatan dan kenabian Sulaiman 'alaihissalâm tergantung pada cincin yang ia pakai dan bersumber darinya. Akan abadi jika cincin itu ada dan akan musnah jika cincin tersebut hilang. 4. Perubahan bentuk Nabi Sulaiman 'alaihissalâm. 5. Adanya penyembahan terhadap berhala di dalam rumah nabiyullah [Lihat: Asbâb al-Khatha' fî at-Tafsîr (I/182-183) dan Tafsîr ar-Râzî (XXVI/207)]. iii.Tafsir yang benar untuk ayat 34 dari surat Shâd di atas: Jika kita telah mengetahui bahwa kisah Nabi Sulaiman 'alaihissalâm dengan cincinnya batil, maka kisah tersebut tidak layak untuk dijadikan sebagai tafsir dari ayat Alquran. Namun timbul pertanyaan, "Tafsir seperti apakah yang benar dari ayat tersebut?". Para ulama pakar [Lihat: Tafsîr ar-Râzî (XXVI/208), Tafsîr an-Nasafî (III/155156), al-Bahr al-Muhîth (VII/527-528), Rûh al-Ma'ânî (XXIII/198) dan Adhwâ' alBayân (IV/100-101)] menyebutkan, tafsir yang paling pas untuk "ujian" yang disebut ayat tersebut di atas, adalah hadits sahih yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, 4|Ebook gratis www.yufid.com
َسعِني ِ ِ ٌَأَطُىفَهَّ اٌٍَّ ٍٍَِخَ َعٍَى ر:ُ "لَبيَ ُسٍٍَِمَبن: لبي رسىي اهلل صلّى اهلل علٍه وسلّم:عه أيب ٌزٌزح رضً اهلل عىه لبي َ َفطَبف،ًٌٍُا َّ َ َفٍَمِ ٌَمًُْ إِنْ شَبء،ًٌٍُا َّ َ لًُْ إِنْ شَبء:ًُ فَمَبيَ ًٌَُ صَبحُِج،ًٌٍَِّامِزََأحً وٍُُّهُهَّ َرأْرًِ ِثفَبرِسٍ ٌُجَبٌِذُ فًِ سَجًٍِِ ا َ ٌَىِ لَب َي إِنْ شَبء،ِ وَاٌِمُ اٌَّذِي َوفْسُ ُمحَمَّذٍ ثٍَِ ِذي،ًٍَُعٍٍَِهِهَّ جَمٍِعّب َفٍَمِ ٌَحِمًِْ مِىِهُهَّ إٌَِّب امِزََأحٌ وَاحِ َذحٌ جَبءَدِ ثِشِكِّ رَج ."َاًٌٍِ فُزِسَبوّب أَجِمَعُىن َّ ًٍِِاًٌٍُ ٌَجَبٌَذُوا فًِ سَج َّ Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "(Pada suatu hari) Nabi Sulaiman berkata, ‘Malam ini aku akan berhubungan badan dengan sembilan puluh istriku. Masing-masing (pasti) akan melahirkan lelaki penunggang kuda yang kelak berjihad di jalan Allah.’ Malaikat berkata padanya, ‘Katakan insya Allah!’ Tetapi, Nabi Sulaiman tidak mengucapkan insya Allah. Lalu, beliau berhubungan badan dengan seluruh istrinya tersebut, namun tidak seorangpun dari mereka yang mengandung, kecuali hanya satu. Itupun tatkala bersalin, melahirkan bayi hanya setengah badan. Demi Allah, andaikan Sulaiman mengucapkan insya Allah; niscaya (akan lahir sembilan puluh anak laki-laki) seluruhnya menjadi penunggang kuda yang berjihad di jalan Allah." [H.R. Bukhari (XI/524 no. 6639 –al-Fath) dan Muslim (III/1276 no. 1654)]. Kesimpulannya: kisah yang menyebutkan bahwa 'kesaktian' Nabi Sulaiman 'alaihissalâm bersumber dari cincin yang ia pakai, tidak bisa dipertanggungjawabkan, baik dari sisi sanad maupun alur ceritanya. Sehingga otomatis, tidak bisa dijadikan dalih untuk melegalisasi praktik pemakaian jimat.
5|Ebook gratis www.yufid.com
Studi Kritis Kisah Nabi Musa 'alaihissalâm dengan Tongkatnya Poin Kedua: Studi kritis kisah Nabi Musa 'alaihissalâm dengan tongkatnya. Jika pada studi kritis kisah Nabi Sulaiman 'alaihissalâm dan cincinnya, pembahasan di dalamnya lebih banyak dititikberatkan pada sorotan akan keabsahan kisah tersebut; maka studi kritis kisah Nabi Musa 'alaihissalâm dan tongkatnya, tidak akan menempuh metode serupa. Sebab kisah tersebut sudah tidak diragukan lagi keabsahannya. Berhubung nash kisah penggunaan tongkat Nabi Musa 'alaihissalâm telah disebutkan di dalam al-Qur'an. Pembahasan kita kali ini akan cenderung mengkritisi sisi istidlâl (penarikan kesimpulan) mereka dari kisah tersebut, untuk mendukung tindak pemakaian jimat. Hal itu bisa kita rumuskan dalam beberapa jawaban: i. Analogi mereka yang keliru. Perlu diketahui bahwa Nabi Musa 'alaihissalâm memakai tongkatnya tersebut, berdasarkan perintah dan wahyu dari Allah ta'ala. Sebagaimana terlihat jelas dalam firman Allah,
."ِق وَبٌطَّىِ ِد اٌْعَظٍِم ٍ ًُ فِ ِز ُّ " َفأَوِحٍَِىَب إٌَِى مُىسَى أَ ِن اضِزِة ثِّعَصَب َن اٌْجَحِ َز فَبو َفٍَ َك فَىَب َن و Artinya: "Lalu Kami wahyukan kepada Musa, ‘Pukullah laut itu dengan tongkatmu!’. Maka terbelahlah lautan itu, dan setiap belahan seperti gunung yang besar." (Q.S. Asy-Syu'arâ: 63). Juga firman-firman Allah lainnya. Yang menjadi pertanyaan: Apakah para penjaja jimat itu mengatakan, bahwa Allah ta'ala memerintahkan mereka untuk memakai jimat, sebagaimana Allah memerintahkan Nabi Musa 'alaihissalâm untuk memakai tongkatnya? Jika mereka menjawab, "Ya"; berarti mereka telah mendustakan dalil-dalil syar'i yang begitu gamblang melarang pemakaian jimat. Kebalikannya, jika mereka mengatakan, "Tidak"; maka penganalogian mereka pemakaian jimat dengan pemakaian tongkat Nabi Musa, dikategorikan analogi yang keliru; karena kondisi keduanya berbeda. 6|Ebook gratis www.yufid.com
Silakan memilih salah satu dari dua jawaban di atas, kedua-duanya tidak lain hanyalah bagaikan memakan buah simalakama. ii. Dari manakah 'kesaktian' jimat bersumber? Klaim mereka bahwa kekuatan yang ada dalam jimat bersumber dari Allah; sehingga tidak masalah untuk memanfaatkan kekuatan tersebut, adalah klaim yang murni berisi kedustaan atas Allah ta'ala. Karena, jimat-jimat tersebut benda mati yang sama sekali tidak memiliki kekuatan. 'Kesaktian' yang mereka klaim dimiliki oleh jimat tersebut hanyalah ilusi dan khayalan yang mereka yakini. Andaikata jimat tersebut memang memiliki kekuatan, maka kekuatan itu bukanlah dari Allah, tetapi dari para setan yang disembah oleh pembuat jimat tersebut, sebagai bentuk timbal balik atas peribadatan mereka terhadap setan-setan itu. Pernyataan bahwa kekuatan dan tenaga yang ada dalam jimat tersebut bersumber dari Allah ta'ala, adalah pernyataan yang keliru, kecuali jika dipandang dari sisi takdir Allah, bukan dari sisi syar'i. Sebab Allah ta'ala melalui lisan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, telah melarang pemakaian jimat. Sehingga dipandang dari sisi syariat, dia dibenci, namun secara takdir, terkadang bisa saja terjadi. Bukankah Allah telah melarang para hamba-Nya untuk melakukan tindak sihir dalam banyak ayat [antara lain dalam QS. Al-Baqarah: 102 dan QS. An-Nisa: 51-52]? Namun, meskipun demikian, Allah menghendaki kejahatan sihir tersebut menimpa hamba-Nya yang paling mulia; yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantaran hikmah yang dikehendakinya!? Jika Allah berkehendak untuk menakdirkan terjadinya sesuatu, pasti hal itu akan terjadi. Namun kehendak Allah tersebut, tidak serta merta menunjukkan bahwa Allah mencintai dan meridhai sesuatu yang terjadi itu. Inilah keyakinan yang dianut Ahlus Sunnah dalam memahami takdir [Lihat: Madârij as-Sâlikîn karya Ibnul Qayyim (II/192)]. Keyakinan ini dibangun di atas banyak dalil syar'i. Antara lain, firman Allah ta'ala,
."ٍجعَ ٍْ ًُ َعٍَى صِزَاطٍ مُّسَِزمٍِم ِ ٌَ شِإ اٌٍّ ًُ ٌُضِ ٍِ ًٍُْ َومَه ٌَشَ ْأ َ ٌَ "مَه
Artinya: "Barangsiapa yang dikehendaki Allah (dalam kesesatan); niscaya akan disesatkan-Nya. Dan barangsiapa dikehendaki Allah (untuk diberi petunjuk); niscaya Dia menjadikannya berada di atas jalan yang lurus." (Q.S. Al-An'âm: 39). Dan firman-Nya, 7|Ebook gratis www.yufid.com
."َِت اٌفَسَبد ُّ "وَاٌ ًٍُّ َال ٌُح
Artinya: "Dan Allah tidak mencintai kerusakan." (Q.S. Al-Baqarah: 205). Ayat pertama menunjukkan, apa yang dikehendaki Allah pasti terjadi, dan apa yang tidak Dia kehendaki pasti tidak akan terjadi. Adapun ayat kedua menunjukkan adanya berbagai hal yang dibenci Allah, tidak Dia cintai dan ridhai. Hal ini membuktikan adanya perbedaan antara kehendak dengan kecintaan dan keridhaan [lihat: Al-Qadhâ' wa al-Qadar fî Dhau' al-Kitâb wa as-Sunnah wa Madzâhib an-Nâs Fîhi, karya Dr. Abdurrahman bin Shalih al-Mahmûd (hal. 295-296)]. Hubungan prinsip ini dengan klaim mereka bahwa kekuatan yang ada dalam jimat bersumber dari Allah ta'ala, adalah: andaikan jimat tersebut memang mempunyai kekuatan yang bersumber dari Allah: semua ini tidak menunjukkan bahwa Allah meridhai dan mencintai pemakaian jimat. Karena terkadang Allah menakdirkan terjadinya sesuatu yang sebenarnya tidak ia cintai. Dan hal ini salah satu contoh nyatanya. iii.Argumentasi mereka termasuk tindak melawan dalil dengan rasio. Dalih para penjaja jimat tersebut, bisa dikategorikan dalam tindak melawan dalil syar'i dengan argumen akal belaka. Sebab dalil-dalil dari Alquran maupun Sunnah telah begitu gamblang menjelaskan haramnya pemakaian jimat, bahkan sebagiannya memvonis syirik perbuatan tersebut. Alangkah naifnya jika dalil-dalil sahih tersebut dilawan dengan argumen akal-akalan! Sebegitu banyaknya hadits yang melarang pemakaian jimat dan beraneka ragam metode Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam penyampaiannya, sampai-sampai hadits-hadits tersebut bisa diklasifikasikan menjadi beberapa macam [Dalam menyusun pengklasifikasian ini, kami banyak terbantu dengan buku Mazhâhir al-Inhirâf 'an Tauhîd al-'Ibâdah Ladâ Ba'dh Muslimî Uganda, karya Husain Muhammad Buwa (hal. 46-49). Untuk lebih luasnya, silahkan merujuk tesis kami: Mazhâhir al-Inhirâf 'an Tauhîd al-'Ibâdah Ladâ Ba'dh Muslimî Indonesia wa Mauqif al-Islâm minhâ (II/905910)]: Jenis pertama: Hadits-hadits yang menyebutkan vonis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap perbuatan tersebut sebagai tindak kesyirikan. Di antara hadits jenis ini, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
."َ"مَهِ عٍََّكَ رَمٍِ َمخً َفمَذِ أَشِزَن "Barangsiapa menggantungkan jimat; berarti berbuat syirik." [H.R. Ahmad 8|Ebook gratis www.yufid.com
(XXVIII/637 no. 17422) dan al-Hâkim (IV/219) dari hadits 'Uqbah bin 'Âmir. AlHaitsami dalam Majma' az-Zawâ'id (V/103) berkomentar, "Para perawi Ahmad terpercaya." Syaikh al-Albânî dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (I/889-890 no. 492) mensahihkan hadits ini]. Jenis kedua: Hadits-hadits yang menyebutkan pemberitahuan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ihwal terputusnya pertolongan Allah dan perhatianNya dari pemakai jimat. Di antara hadits jenis ini, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
."ًٍِِ ٌَِ"مَهِ َرعٍََّكَ شٍَِئًب وُوًَِ إ
"Barangsiapa menggantungkan sesuatu; dijadikan ketergantungannya ada padanya." [H.R. At-Tirmidzi (hal. 468 no. 2072) dan al-Hâkim (IV/216) dari hadits Abdullah bin 'Ukaim. As-Suyûthi dalam al-Jâmi' ash-Shaghîr (II/590 no. 8599) mengisyaratkan bahwa hadits ini hasan. Syaikh al-Albânî dalam Ghâyah al-Marâm (hal. 181 no. 297) menyimpulkan bahwa hadits ini hasan]. As-Suyûthî menjabarkan hadits di atas, "Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘dijadikan ketergantungannya ada padanya’ merupakan kiasan akan tidak adanya pertolongan dari Allah bagi orang tersebut." [Syarh as-Suyûthî li Sunan an-Nasâ'î (VII/128 –Sunan an-Nasâ'î)]. Jenis ketiga: Hadits-hadits yang menyebutkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan keburukan bagi orang yang memakai jimat. Di antara hadits jenis ini, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
."ًٌَُ ًٌٍُا َّ َ َومَهِ َرعٍََّكَ وَدَ َعخً َفٍَب وَدَع،ًٌَُ ًٌٍُا َّ َّ"مَهِ َرعٍََّكَ رَمٍِمَخً َفٍَب أَرَم
"Barangsiapa menggantungkan jimat, semoga Allah tidak menjadikan ia mencapai apa yang diinginkan. Dan barangsiapa menggantungkan wada'ah (salah satu jenis jimat), semoga Allah tidak menjadikan dirinya tenang." [H.R. Ahmad (XXVIII/623 no. 17404), al-Hâkim (IV/216) dan Ibn Hibbân (XIII/451 no. 6086) dari hadits 'Uqbah bin 'Âmir. Al-Hâkim mensahihkan sanad hadits ini dan adz-Dzahabi menyepakatinya. AlHaitsami dalam Majma' az-Zawâ'id (IX/304-305) berkomentar, "Hadits ini diriwayatkan Ahmad dengan redaksi yang panjang juga redaksi yang ringkas, dan diriwayatkan pula oleh Abu Ya'lâ. Para perawi hadits yang redaksinya panjang termasuk katagori perawi kitab ash-Shahîh"]. 9|Ebook gratis www.yufid.com
Jenis keempat: Hadits-hadits yang menyebutkan, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para sahabatnya untuk memotong jimat yang digantung di leher hewan ternak. Di antara hadits jenis ini, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para utusannya,
."ِ"أَنْ ٌَب ٌَ ِجمٍََهَّ فًِ رَلَجَخِ َثعِريٍ ِلٍَب َدحٌ مِهِ وَرَزٍ أَوِ ِلٍَب َدحٌ إٌَِّب لُ ِطعَذ
"Janganlah kalung yang terbuat dari tali (jimat) dibiarkan tergantung di leher unta, melainkan dipotong." [H.R. Bukhari (VI/141 no. 3005) dan Muslim (III/1672-1673 no. 2115) dari hadits Abu Basyîr al-Anshârî]. Jenis kelima: Hadits-hadits yang menyebutkan penegasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi siapa saja yang mati dalam keadaan memakai jimat; maka ia tidak akan beruntung selamanya. Di antara jenis hadits tersebut, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala melihat salah satu sahabatnya memakai jimat,
."" َفإِوَّهَ ٌَىِ مِذَّ وًٌََِ َعٍٍَِهَ مَب أَفْ ٍَحِذَ أَثَذّا
"Jika engkau mati dalam keadaan jimat ini masih engkau pakai; niscaya engkau tidak beruntung selamanya." [H.R. Ahmad (XXXIII/204 no. 20000), Ibn Hibbân (XIII/449 no. 6085) dan al-Hâkim (IV/216) dari hadits 'Imrân bin Hushain. Al-Hâkim mensahihkan isnadnya dan adz-Dzahabi menyetujuinya. Al-Bûshiri dalam Mishbâh azZujâjah (III/481 –Sunan Ibn Mâjah) menghasankan isnad-nya]. Jenis keenam: Hadits-hadits yang menyebutkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri dari orang-orang yang memakai jimat. Di antara hadits jenis ini, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
أَوِ اسِتَىِجَى، أَوِ تَقَلَّدَ وََترّا،ُ"ٌَا رُوٌَِفِعُ لَعَلَّ الْحٍََاةَ سَتَطُولُ بِكَ بَعِدِي؛ فَأَخِِبرِ الىَّاسَ أَوَّهُ مَهِ عَقَدَ لِحٍَِتَه ."ٌِن مُحَمَّدّا صلّى اهلل علٍه وسلّم مِىِهُ َبرِيء َّ ِبرَجٍِعِ دَابَّتٍ أَوِ عَظْمٍ؛ فَإ "Wahai Ruwaifi', nampaknya sepeninggalku, engkau akan panjang umur. 10 | E b o o k g r a t i s w w w . y u f i d . c o m
Beritahukanlah kepada orang-orang, barangsiapa yang mengepang jenggotnya, atau mengalungkan tali (sebagai jimat), atau beristinja dengan kotoran hewan atau tulang; maka Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri darinya." [H.R. Abu Dawud (I/31-32 no. 36) dari hadits Ruwaifi' bin Tsâbit. Syaikh al-Albâni dalam Shahîh al-Jâmi' (II/1310 no. 7910) mensahihkan hadits ini]. Lihatlah dalil-dalil syar'i yang amat beragam metode penyampaiannya, begitu jelas menunjukkan haramnya pemakaian jimat. Apakah seluruh dalil di atas dan dalil-dalil lain yang senada akan di-'adu' dengan argumentasi akal belaka?! Tidakkah mereka merasa khawatir tertimpa ancaman Allah ta'ala,
."ْة أٌٍَِم ْ " َفٍٍَْحِذَ ِر اٌَّذٌِ َه ٌُخَبٌِفُىنَ عَ ِه أَمِ ِز ِي أَن رُصٍِجَهُ ِم فِزَِى ٌخ أَ ِو ٌُصٍِجَهُ ِم عَذَا
Artinya: "Hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul-Nya takut akan mendapat cobaan atau ditimpa azab yang pedih." (Q.S. An-Nûr: 63). Kita tutup tulisan ini dengan merenungi ulasan yang disampaikan asy-Syâthibî (w. 790 H), tatkala beliau menggambarkan bagaimanakah generasi terbaik umat ini menyikapi dalil-dalil syar'i? Beliau bertutur, "Para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan generasi sesudah mereka, tidak pernah melawan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan pendapat-pendapat mereka. Baik mereka mengetahui maknanya ataupun tidak, entah sejalan dengan apa yang mereka ketahui ataupun tidak. Itulah konsekuensi penyampaian hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hendaklah oknum yang gemar mengedepankan sesuatu yang penuh kekurangan –yaitu akal– atas sesuatu yang sempurna –yaitu syariat–; mengambil pelajaran dari hal itu." [Al-I'tishâm (III/427-428)]. Wallahu ta'ala a'la wa a'lam. Wa shallallahu 'ala nabiyyina muhammadin wa 'ala alihi wa shahbihi ajma'in. Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Ahad 25 Rabi'ul Awwal 1430 Penulis: Ustadz Abdullah Zaen, Lc., M.A. Artikel www.tunasilmu.com Dipublikasikan dalam bentuk ebook oleh www.yufid.com
11 | E b o o k g r a t i s w w w . y u f i d . c o m
Daftar Pustaka 1. Al-Qur'an dan Terjemahannya. 2. Ad-Durr al-Mantsûr fî at-Tafsîr bi al-Ma'tsûr, karya Jalaluddin as-Suyuthi, tahqîq Dr. Abdullah at-Turkî, Jaizah: Dâr Hajar, cet I, 1424/2003. 3. Adhwâ' al-Bayân fî Îdhâh al-Qur'ân bi al-Qur'ân, karya Muhammad al-Amîn asy-Syinqîthî, isyrâf Bakr Abu Zaid, Mekah: Dar 'Alam al-Fawaid, cet I, 1426. 4. Al-Bidâyah wa an-Nihâyah, karya Ismâ’îl Ibn Katsîr, tahqîq Dr. Abdullah atTurkî, Jaizah: Dâr Hajar, cet I, 1419/1998. 5. Al-Isrâ'îliyyât wa al-Maudhû'at fî Kutub at-Tafsîr, karya Dr. Muhammad Abu Syahbah, Kairo: Maktabah as-Sunnah, cet IV, 1408. 6. Al-I'tishâm, karya Ibrahim bin Musa asy-Syâthibî, tahqîq Masyhur bin Hasan, Amman: ad-Dar al-Atsariyyah, cet II, 1428/2007. 7. Al-Jâmi' ash-Shaghîr fî Ahâdîts al-Basyîr an-Nadzîr, karya Jalaluddin asSuyûthî, Beirut: Dar al-Fikr, cet I, 1401/1981. 8. Al-Kasysyâf 'an Haqâ'iq Ghawâmidh at-Tanzîl wa 'Uyûn al-Aqâwîl fi Wujûh atTa'wîl, karya Mahmud bin Umar az-Zamakhsyarî, tashîh Muhammad Abdussalâm Syâhîn, Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, cet I, 1415/1995. 9. Al-Qadhâ' wa al-Qadar fî Dhau'i al-Kitâb wa as-Sunnah wa Madzahib an-Nâs fîhi, karya Dr. Abdurrahmân bin Shâlih al-Mahmûd, Riyadh: Dar al-Wathan, cet II, 1418/1997. 10. Asbâb al-Khatha' fî at-Tafsîr – Dirâsah Ta'shîliyyah, karya Dr. Thâhir Mahmûd Ya'qûb, Dammam: Dar Ibn al-Jauzi, cet I, 1425. 11. Asy-Syifâ bi Ta'rîf Huqûq al-Mushthafâ, karya al-Qâdhî 'Iyâdh bin Mûsâ alYahshubî, tahqîq Ali Muhammad al-Bajâwî, Beirut: Dar al-Kitab al-'Arabi, tc, 1404/1984. 12. Ghâyah al-Marâm fî Takhrîj Ahâdîts al-Halâl wa al-Harâm, karya Syaikh Muhammad Nâshiruddin al-Albânî, Beirut: al-Maktab al-Islami, cet I, 1400/1980. 13. Jâmi' al-Bayân fî Tafsîr al-Qur'ân, karya Muhammad bin Abdurrahmân al-Îjî, murâja'ah Shalâhuddîn Maqbûl Ahmad, al-Khalidiyyah Kuwait: Ghiras, cet I, 1428/2007. 14. Madarij as-Sâlikîn baina Manâzil Iyyâka Na'budu wa Iyyâka Nasta'în, karya Ibn al-Qayyim, tahqîq Muhammad Hâmid al-Faqî, Beirût: Dâr al-Kitâb al-'Arabî, 1393/1973. 15. Majalah Misteri, edisi 387, tanggal 20 Desember 2005 – 4 Januari 2006. 16. Manâhil ash-Shafâ fî Takhrîj Ahâdits asy-Syifâ, karya Jalâluddîn as-Suyûthî, tahqîq Samîr al-Qâdhî, Beirut: Dar al-Jinan, cet I, 1408/1988. 17. Mausû'ah al-Hâfizh Ibn Hajar al-'Asqalânî al-Hadîtsiyyah, dihimpun oleh Walîd bin Ahmad az-Zubairî dkk, Leeds Inggris: Majalah al-Hikmah, cet I, 1422/2002. 18. Mausû'ah al-Isrâ'îliyyât wa al-Maudhû'ât fi Kutub at-Tafsîr, karya Muhammad Ahmad Isa, Kairo: Dar al-Ghad al-Jadid, cet I, 1428/2007. 19. Mazhâhir al-Inhirâf fî Tauhîd al-'Ibâdah ladâ Ba'dh Muslimî Indonesia wa Mauqif al-Islâm minhâ, karya Abdullah Zaen, tesis di Jurusan Akidah Universitas Islam Madinah, 1428/2008. 20. Mazhâhir al-Inhirâf fî Tauhîd al-'Ibâdah ladâ Ba'dh Muslimî Uganda wa Subul Mu'âlajatihâ 'alâ Dhau'i al-Islâm, karya Husain Muhammad Buwa, tesis di Jurusan Akidah Universitas Islam Madinah, 1412/1992. 21. Rûh al-Ma'ânî fî Tafsîr al-Qur'ân al-'Azhîm wa as-Sab'i al-Matsânî, karya Abu 12 | E b o o k g r a t i s w w w . y u f i d . c o m
ats-Tsanâ Syihâbuddîn al-Alûsî, tashîh Ali Abdul Bârî 'Athiyyah, Beirut: Dar alKutub al-'Ilmiyyah, cet I, 1415/1994. 22. Shahîh al-Bukhârî, karya Muhammad bin Ismâ’îl al-Bukhârî, bersama Fath alBârî Syarh Shahîh al-Bukhârî, karya Ibnu Hajar al-‘Asqalânî, cetakan alMaktabah as-Salafîyyah. 23. Shahîh al-Jâmi' ash-Shaghîr wa Ziyâdatuh (al-Fath al-Kabîr), karya Muhammad Nâshiruddîn al-Albâni, Beirut: al-Maktab al-Islami, cet III, 1408/1988. 24. Shahîh Ibn Hibbân dengan tartîb Ibn Balbân yang berjudul Al-Ihsân fî Taqrîb Shahîh Ibn Hibbân, tahqîq Syu’aib al-Arna’ûth, Beirût: Mu’assasah ar-Risâlah, cet I, 1408/1988. 25. Shahîh Muslim, karya Imâm Muslim bin al-Hajjâj, tahqîq Muhammad Fu’âd Abdul Bâqi, Beirût: Dâr Ihya’ at-Turâts al-‘Arabî. 26. Sunan an-Nasâ'î, karya an-Nasâ'i, bersama Syarh al-Hafîzh Jalâluddin asSuyûthi dan Hâsyiyah al-Imam as-Sindî, Beirut: Dar al-Ma'rifah, cet I, 1411/1991. 27. Sunan at-Tirmidzî, karya Abû Îsâ at-Tirmidzî, ‘inâyah Masyhûr Salmân, Riyâdh: Maktabah al-Ma’ârif, cet I. 28. Sunan Ibn Mâjah, karya Muhammad bin Yazid al-Qazwînî, bersama Mishbâh az-Zujâjah fi Zawâ'id Ibn Mâjah, karya Syihâbuddin al-Bûshîrî, Riyadh: Maktabah al-Ma'arif, cet I, 1419/1998. 29. Tafsîr al-Baghawî yang berjudul Ma'âlim at-Tanzîl, karya al-Husain bin Mas'ûd al-Baghawî, tahqîq Muhammad Abdullah an-Namir dkk, Riyâdh: Dâr athThaibah, 1411. 30. Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, karya Muhammad bin Yûsuf Abu Hayyân, tahqîq Abdurrazzâq al-Mahdî, Beirut: Dar Ihya' at-Turats al-'Arabi, cet I, 1423/2002. 31. Tafsîr al-Qâshimî yang berjudul Mahâsin at-Ta'wîl, karya Muhammad Jamâluddîn al-Qâshimî, tashîh Muhammad Fu'âd Abdul Bâqî, penerbit Isa alBâby al-Halabi, tc, tt. 32. Tafsîr al-Qurthubî dengan judul al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’an wa al-Mubayyin limâ Tadhammanah min as-Sunnah wa Ây al-Furqân, karya Muhammad bin Ahmad al-Qurthubî, tahqîq Dr. Abdullah at-Turkî dkk, Beirût: Mu’assasah arRisâlah, cet I, 1427/2006. 33. Tafsîr an-Nasafî yang berjudul Madârik at-Tanzîl wa Haqâ'iq at-Ta'wil, karya Abdullah bin Ahmad an-Nasafî, tahqîq Yusuf Ali Budaiwî, Beirut: Dar al-Kalim ath-Thayyib, cet I, 1419/1998. 34. Tafsîr ar-Râzî yang berjudul at-Tafsîr al-Kabîr atau Mafâtîh al-Ghaib, karya Fakhruddîn ar-Râzî, Beirut: Dar al-Fikr, cet I, 1401/1981. 35. Tafsîr ath-Thabarî yang berjudul Jâmi' al-Bayân fî Ta'wîl al-Qur'an, karya Imâm Ibn Jarîr ath-Thabarî, tahqîq Dr. Abdullah at-Turkî, Jaizah: Dâr Hajar, cet I, 1422/2001. 36. Tafsîr Ibn Abî Hâtim yang berjudul Tafsîr al-Qur'ân al-'Azhîm Musnadan 'an Rasulillah shallallahu ‘alaihi wa sallam wa ash-Shahâbah wa at-Tâbi'în, karya Abdurrahmân bin Muhammad Ibn Abi Hâtim, tahqîq As'ad Muhammad athThayyib, Mekah: Maktabah Nizar al-Baz, cet I, 1417/1997. 37. Tafsîr Ibn Katsîr yang berjudul Tafsîr al-Qur'an al-'Azhîm, karya Ismâ’îl Ibnu Katsîr ad-Dimasyqî, tahqîq Sâmî Salâmah, Riyâdh: Dâr ath-Thaibah, cet I, 1418/1997. 38. Zâd al-Masîr fî 'Ilm at-Tafsîr, karya Abdurrahman bin Ali Ibn al-Jauzî, Beirut: al-Maktab al-Islami, cet II, tt. 13 | E b o o k g r a t i s w w w . y u f i d . c o m
Yufid Network:
iPhone and iPad Ready
Developed by:
Lihat website lainnya di www.yufid.com
Aplikasi Yufid:
Developed by:
Lihat aplikasi lainnya di www.yufid.org
PengusahaMuslim.com Network
www.pengusahamuslim.com
Aplikasi Yufid:
Imam an-Nawawi one of the greatest scholars. Amongst his works is his collection of 42 hadith's of the Prophet Sallallaahu 'alayhi wa sallam which a comprehensive explanation of Islam. This work is commonly referred as "An-Nawawi's Forty Hadith" This app offering you his work with user friendly and beautiful interface, make it easier for us to memorize.
iPhone and iPad Ready
Developed by:
Features: - Arabic text with optional English and Indonesian translation. - Audio Recitation. - Back - Forward button Navigation. - Adjustable font size.
Lihat aplikasi lainnya di www.yufid.org