APLIKASI AKAD MUḌĀRABAH DI PERBANKAN SYARIAH Putri Apria Ningsih Dosen Ekonomi Islam FEBI-IAIN Sultan Thaha Syaifuddin
Abstrak Salah satu metode mengembangkan harta yang disyariatkan Islam adalah Muḍārabah. Muḍārabah merupakan sebuah akad yang memberikan keberuntungan kepada kedua pihak yang berakad. Pertama keuntungan bagi pemilik harta yang tidak mampu menginvestasikan hartanya dan kedua keuntungan untuk pekerja yang mempunyai keahlian serta kemampuan namun tidak memiliki harta. Dalam dunia perbankan, khususnya perbankan syariah, Muḍārabah merupakan karakteristik umum dan landasan dasar bagi operasional bank syariah secara keseluruhan. Aplikasi muḍārabah pada bank syariah cukup kompleks, namun secara global dapat diklasifikasikan menjadi dua: Akad muḍārabah antara nasabah penabung dengan bank dan akad muḍārabah antara bank dengan nasabah peminjam. Keyword: Akad, Muḍārabah, Perbankan Syariah A. Latar Belakang Sebuah realita yang tidak baik dalam masyarakat terkhusus masyarakat muslim, adalah terjeratnya mereka dalam sistem perekonomian kapitalis (non Islami) yang hampir tidak satupun terlepas dari praktek riba. Padahal sebuah kewajiban bagi masyarakat muslim untuk berekonomi atau mencari harta sesuai dengan tuntunan Islam, dan Islam telah menuntun umatnya agar menjauhi riba karena riba adalah haram dalam pandangan Islam.
62 | Jurnal Syari’ah Vol. V, No. 1, April 2016
Sejak era reformasi semangat beragama terlihat semakin membaik di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Hal itu dilihat dari bertambah realnya kebebasan menjalankan agama masing-masing bagi masyarakat Indonesia. Sehingga masyarakat muslim sangat menikmati kebebasan itu ditandai dengan munculnya ide-ide menerapkan hukum Islam pada masyarakat Indonsia salah satunya ide menerapkan hukum Islam dalam bidang ekonomi. Sistem perekonomian Islam mulai dibahas, bagaimana solusi Islam keluar dari system riba yang sudah jelas keharamannya. Buah dari pembahasan-pembahasan itu adalah munculnya bank-bank Islami yang menawarkan system bagi hasil atau muḍārabah. Namun penerapannya apakah sudah sesuai dengan rukun dan syarat muḍārabah? Apakah sudah benar-benar sudah terlepas dari riba? Hal inilah yang mendorong penulis untuk membahasnya dalam tulisan ini.
B. Muḍārabah dalam Islam 1. Defenisi Muḍārabah Dalam bahasa Arab kata “muḍārabah” berasal dari kata “ḍaraba”, yang mempunyai bebarapa arti diantaranya: a. Pergi atau melakukan perjalanan,1 sebagaimana firman Allah SWT:
ِ ض َربْ تُ ْم فِي األ َْر )١٠١ :………(النساء.. ض َ َوإِذَا
“Dan apabila kamu bepergian di bumi……”2
1
Ibnu Manzhur, Lisanul Arab, (Mesir: Dar Mishriyah al ‘Amah Litta’lif wan Nasyar, t.t), II: 32. 2 QS. An-Nisa (3): 101.
Aplikasi Akad Mudharabah di Perbankan Syari’ah | 63
Putri Apria Ningsih
b. Berusaha atau meminta,3 orang Arab berkata المجد
فالن يضرب
“Seseorang berusaha mendapatkan kebaikan.” Sedangkan secara istilah muḍārabah adalah, “sebuah akad untuk bekerjasama antara dua orang atau lebih, di mana salah satu pihak sebagai pemilik modal (ṡāḥibul māl) mempercayakan sejumlah modal kepada pihak lain yang disebut pengelola (muḍārib) dengan suatu perjanjian keuntungan dibagi sesuai dengan kesepakan dan persyaratan di awal akad.4 Jika dihubungkan antara defenisi muḍārabah secara bahasa dengan defenisi istilah terungkaplah rahasia penamaan akad ini dengan muḍārabah. Pertama, pada awalnya pengelola harta muḍārabah biasanya selalu melakukan perjalanan atau bepergian demi untuk mengembangkan harta tersebut, akan tetapi setelah berkembang selanjutnya penamaan muḍārabah juga berlalu walaupun pengelola tidak melakukan perjalanan. Kedua, kedua belah pihak sama meminta dan menginginkan untung dari akad ini, apabila mendapatkan untung maka mereka saling membagi sesuai dengan kesepakatan.5 2. Hukum Muḍārabah dan Dalil yang Mensyari’atkannya Semua ulama Islam telah bersepakat membolehkan akad muḍārabah, dan kesepakatan itu merupakan sebuah Ijma’ dari 3
Ibid. Zaid Muhammad ar-Ramani, “Aqdul Muḍārabah fī fiqhi al-Islāmi,” Journal of Shariah and Islamic Studies, (Kuwait: Academic Publication Council Kuwait Universiti, 1999 M), h. 216. 5 Zakaria al-Qudhah, As-Silm wa Mudharabah min Awamil Taisir fis Syariah Islamiyah, (Omman: Dar Fikr, 1984 M), h. 216. 4
64 | Jurnal Syari’ah Vol. V, No. 1, April 2016
ulama. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Rusydi al-Qurthubi dalam bukunya: “tidak ada satupun perbedaan pendapat ulama untuk membolehkan muḍārabah, dia adalah sebuah akad yang biasa dilakukan di zaman jahiliyah kemudian dipelihara dalam Islam.”6 Adapun yang menjadi daasar hukum muḍārabah terdapat dalam alQur’an, Hadits dan Ijma’: a. Al Qur’an. Adapun ayat yang menjadi dasar hukum ini di antaranya firman Allah Ta’ala:
ِ ض ِربُو َن فِي ْاأل َْر )٢٠ : (المزمل...... ض ِل اللَّ ِه ْ َض يَ ْبتَ غُو َن ِمن ف ْ َوآ َخ ُرو َن ي.... َ “….dan yang lain berjalan di bumi mencari sebagian karunia Allah…” (QS. Al-Muzammil: 20) Dan firman-Nya,
ُ ۡ ْ ُ َ ْ َ َ َ َ َٰٓ َ ُّ َ ذ ام ُن ٓوا أ ۡوفوا ب ِٱل ُعقو ِد يأيها ٱَّلِين ء
“Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu….” (QS. alMa’idah: 1) Juga Firman Allah: “Maka, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya…” (QS. Al-Baqarah: 283) Maksudnya adalah melakukan perjalanan di Bumi untuk mencari nafkah demi keluarga dan diri mereka sendiri. Seorang mudharib (pengelola) pada dasarnya melakukan perjalanan
6
Ibnu Rusydi Al-Qurthubi, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Cet. 6, (Beirut: Dar Ma’rifah, 1403 H) , II: 236.
Aplikasi Akad Mudharabah di Perbankan Syari’ah | 65
Putri Apria Ningsih
diatas bumi untuk mencari karunia Allah. Maka diapun masuk di bawah kategori umumnya ayat ini. b. Sunnah Rasulullah SAW. Sebagaimana dikenal dalam sejarah Islam bahwa nabi Muhammad SAW dulunya berangkat dari Makkah ke negeri Syam (Suria) adalah sebagai pengelola (Mudharib)
harta
Khadijah
RA.
Rasulullah
bersabda
diriwayatkan oleh Ibnu Majah:
ثالث فيهن البركة البيع الى اجل والمقارضة واخالط البر بالشعيرللبيت
)الللبيع (رواه ابن ماجه
“Ada tiga perkara yang diberkati; jual beli yang ditangguhkan, memberi modal dan mencampur gandum dengan jelai untuk keluarga bukan untuk dijual." (HR Ibn Majah ) Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma meriwayatkan bahwa Abbas bin Abdul Muthallib (paman Nabi) jika menyerahkan harta
sebagai
muḍārabah,
ia
mensyaratkan
kepada
mudharib (pengelola)nya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia (mudharib/pengelola) harus menanggung resikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas itu didengar Rasulullah, beliau membenarkannya.” (HR. Al-Baihaqi di dalam As-Sunan Al-Kubra(6/111). Sahabat Rasulullah juga banyak yang mempraktekkan Muḍārabah dan tidak ada seorangpun dari mereka yang menolaknya. Sehingga kesepakatan seperti itu dianggaplah Ijma’ dari sahabat Rasulullah. Kemudian sepakat juga atas
66 | Jurnal Syari’ah Vol. V, No. 1, April 2016
kebolehannya semua umat muslim setelah mereka dari generasi ke generasi. Terkandung
hikmah
besar
dalam
pensyariatan
muḍārabah, hikmah itu adalah; di antara manusia ada yang Allah beri harta yang banyak namun tidak punya kecakapan untuk mengelola harta tersebut dan ada manusia yang Allah beri kepintaran
serta
kecakapan
untuk
mengelola
dan
mengembangkan harta namun dia tidak mempunyai modal. Maka dengan di syariatkannya muḍārabah kedua pihak ini bisa bekerjasama yang saling menguntungkan keduanya. 3. Pembagian muḍārabah Secara umum muḍārabah dapat dibagi menjadi dua macam yaitu;7 a. Muḍārabah muṭlaqoh Dimana pemilik modal (shahibul maal) memberikan keleluasaan penuh kepada pengelola (mudharib) untuk mempergunakan dana tersebut dalam usaha yang dianggapnya baik dan menguntungkan, tanpa ada syarat tertentu mengenai jenis usaha yang akan dikelola, tempat waktu maupun siapa yang akan bekerjasama dengan mudharib dalam pekerjaannya. Namun pengelola tetap bertanggung jawab untuk melakukan pengelolaan sesuai dengan praktek kebiasaan usaha normal yang sehat (‘urf). b. Muḍārabah muqayyadah. 7
Salim Rustam Baz al-Libanani, Syarah al-Majallah, (Beirut: Dar Kutub Ilmiah, 1404 H), II: 754.
Aplikasi Akad Mudharabah di Perbankan Syari’ah | 67
Putri Apria Ningsih
Dimana pemilik dana menentukan syarat dan pembatasan kepada pengelola dalam penggunaan dana tersebut dengan jangka waktu, tempat, jenis usaha dan sebagainya. 4. Rukun dan syarat Muḍārabah Setiap akad tentulah ada rukunnya, apabila rukun terpenuhi maka sahlah akad itu namun apabila tidak sesuai atau tidak terpenuhi rukunnya maka batallah akad tersebut dan dinyatakan tidak sah. Kemudian setiap rukun tersebut umumnya selalu mempunyai syarat dan juga wajib untuk dipenuhi apabila syarat tidak terpenuhi maka rukunnya juga tidak sah. Begitu juga halnya dengan muḍārabah yang memiliki rukun dan syarat wajib untuk dipenuhi sehingga akad muḍārabah bisa diterima oleh syariat. Adapun rukunnya adalah sebagai berikut: a. Shighat, yaitu lafaz akad antara pemilik harta dengan pengelola. b. Dua pihak yang melakukan akad (pemilik harta dan pengelola). c. Harta pokok atau modal. d. Pekerjaan
pengelolaan
harta
sehingga
menghasilkan
keuntungan. e. Keuntungan. Menurut mazhab Hanafi yang menjadi rukun muḍārabah hanyalah ijab dan qabul saja (shighah), sedangkan yang lainnya adalah syarat muḍārabah.8 Ada juga yang menolak pekerjaan dan keuntungan dijadikan sebagai rukun, karena ada akad muḍārabah sedangkan pekerjaannya belum ada, dan kadang setelah melakukan 8
Alauddin Abi Bakar bin Mas’ud al Kassani, Bada’I Shana’I fi Tartiibissara’i, (Beirut: Dar Kutub Ilmiah, 2003 M), VIII: 9.
68 | Jurnal Syari’ah Vol. V, No. 1, April 2016
muḍārabah tidak mendapatkan keuntungan apapun.9 Akan tetapi semua perbedaan ini hanya sekedar perbedaan penamaan saja, sedangkan keberadaanya dalam akad muḍārabah semua sepakat mestilah ada. Untuk lebih jelasnya penulis akan menjelaskan dengan ringkas masing-masing rukun tersebut beserta syarat muḍārabah yang harus dipenuhi: a. Shighat Adalah ijab qabul antara pemilik ṡāhibul māl (pemilik harta) dengan muḍārib (pengelola). Ijab qabul ini dilakukan haruslah dengan lafaz yang menunjukkan mereka melaksanakan akad muḍārabah dan tidak harus dengan zhahir lafaz “muḍārabah”. Akan tetapi boleh dengan lafaz lain selagi maksudnya adalah sesuai dengan makna muḍārabah,10 sebagai contoh; pemilik harta berkata kepada calon pengelola “ambillah uang ini dan gunakan untuk berbisnis untungnya nanti dibagi dua!.” Perkataan seperti ini sudah bisa dikatakan sebagai lafaz ijab muḍārabah. b. Dua pihak yang melakukan akad Mereka adalah pemilik modal dan pengelola. Pemilik modal menyerahkan hartanya kepada pengelola untuk dikelola sehingga harta itu menjadi bertambah. Sedangkan pengelola adalah orang yang mempunyai kecakapan dan kesanggupan
9
ar-Ramani, “Aqdu…, h. 241. Abdullah al-Mushlih dan Shalah ash-Shawi, Fiqih Ekonomi Islam, terj., (Jakarta: Darul Haq), h. 173 10
Aplikasi Akad Mudharabah di Perbankan Syari’ah | 69
Putri Apria Ningsih
untuk mengelola harta pemilik modal agar bisa berkembang. Keduanya disyaratkan memiliki kompetensi (jaiz al-tasharruf), dalam pengertian, mereka berdua baligh, berakal, rasyid (normal) dan tidak dilarang beraktivitas pada hartanya. 11 Sebagian ulama mensyaratkan, keduanya harus muslim atau pengelola harus muslim. Sebab, seorang muslim tidak dikhawatirkan melakukan perbuatan riba atau perkara haram.12 Namun sebagian lainnya tidak mensyaratkan hal tersebut, sehingga diperbolehkan bekerja sama dengan orang kafir yang dapat
dipercaya, dengan syarat
harus terbukti adanya
pemantauan terhadap pengelolaan modal dari pihak muslim, sehingga terbebas dari praktek riba dan haram.13 c. Modal Ada empat syarat modal yang harus dipenuhi, (1) Modal harus berupa alat tukar atau satuan mata uang (al-naqd), atau barang yang ditetapkan nilainya ketika akad. (2) Modal yang diserahkan harus jelas diketahui. (3) Modal diserahkan harus tertentu. (4) Modal diserahkan kepada pihak pengelola, dan pengelola menerimanya langsung, dan dapat beraktivitas dengannya.14 Dalam muḍārabah, modal yang diserahkan syaratnya harus diketahui. Dan penyerahan jumlah modal kepada muḍārib 11 Abdullah bin Muhammad ath-Thayar, dkk., al-Fiqh Al-Muyassar, (Riyadh: Madar al Wathan Linnasyar, 2012) cetakan ke-2), h. 169. 12 Abdullah bin Muhammad ath-Thayar , al-Bunuk al-Islamiyah Baina anNadzariyat wa Tathbiq, Cet. 2, (Riyadh: Muassasah al-Jurais, 1414 H), h. 123. 13 Al-Mushlih. Fiqh…, h. 173. 14 Ath-Thayar , al-Bunuk…, h. 123.
70 | Jurnal Syari’ah Vol. V, No. 1, April 2016
(pengelola modal) harus berupa alat tukar, seperti emas, perak dan satuan mata uang secara umum. Tidak diperbolehkan berupa barang, kecuali bila nilai tersebut dihitung berdasarkan nilai mata uang ketika terjadi akan (transaksi), sehingga nilai barang tersebut menjadi modal muḍārabah. Contohnya, seorang memiliki sebuah mobil yang akan diserahkan kepada mudharib (pengelola modal). Ketika akad kerja sama tersebut disepakati, maka mobil tersebut wajib ditentukan nilai mata uang saat itu, misalnya disepakati Rp.80.000.000, maka modal muḍārabah tersebut adalah Rp.80.000.000. Kejelasan jumlah modal ini menjadi syarat, karena untuk menentukan pembagian keuntungan. Apabila modal tersebut berupa barang dan tidak diketahui nilainya ketika akad, bisa jadi barang tersebut berubah harga dan nilainya, seiring berjalannya waktu, sehingga dapat menimbulkan ketidak jelasan dalam pembagian keuntungan. d. Jenis Usaha Jenis usaha disini ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, (1) jenis usaha tersebut di bidang perniagaan. (2) Tidak menyusahkan pengelola modal dengan pembatasan yang menyulitkannya. Misalnya, harus berdagang permata merah delima atau mutiara yang sangat jarang sekali adanya. (3) Asal dari usaha dalam muḍārabah adalah di bidang perniagaan dan yang terkait dengannya, serta tidak dilarang syariat. Pengelola modal dilarang mengadakan transaksi perdagangan barang-
Aplikasi Akad Mudharabah di Perbankan Syari’ah | 71
Putri Apria Ningsih
barang haram, seperti daging babi, minuman keras dan sebagainya. (4) Pembatasan waktu penanaman modal. Menurut pendapat madzhab Hambali, dalam kerja sama penanaman modal ini, dipebolehkan membatasi waktu usaha, dengan dasar diqiyaskan (dianalogikan) dengan system sponsorship pada satu sisi, dan dengan berbagai kriteria lain yang dibolehkan, pada sisi lainnya.15 e. Keuntungan Setiap usaha yang dilakukan adalah untuk mendapatkan keuntungan. Demikian juga dengan muḍārabah. Namun dalam muḍārabah pendapatan keuntungan itu disyaratkan dengan empat syarat. Pertama, keuntungan khusus untuk kedua pihak yang bekerja sama. Yaitu pemilik modal (investor) dan pengelola modal. Seandainya sebagian keuntungan disyaratkan untuk pihak ketiga, misalnya dengan menyatakan “Muḍārabah dengan pembagian 1/3 keuntungan untukmu, 1/3 keuntungan untukku dan 1/3 lagi untuk isteriku atau orang lain”, maka tidak sah, kecuali disyaratkan pihak ketiga ikut mengelola modal tersebut, sehingga menjadi qiradh bersama dua orang. 16 Seandainya dikatakan “Separuh keuntungan untukku dan separuhnya untukmu, namun separuh dari bagianku untuk isteriku”, maka ini sah, karena ini akad janji hadiah kepada isteri. Kedua, pembagian keuntungan untuk berdua, tidak boleh hanya untuk satu pihak saja. Seandainya dikatakan : “Saya 15 16
Al-Mushlih, Fiqh…, h. 177. Ibnu Qudamah, al-Mughni, Cet. 2, (Cairo: alHajr, 1412 H), VII: 177.
72 | Jurnal Syari’ah Vol. V, No. 1, April 2016
bekerja sama muḍārabah denganmu, dengan keuntungan sepenuhnya untukmu”, maka yang demikian ini menurut madzhab Syafi’i tidak sah. Ketiga, keuntungan harus diketahui secara jelas. Dalam transaksi tersebut ditegaskan prosentase tertentu bagi pemilik modal (investor) dan pengelola. Sehingga keuntungannya
dibagi
sebagaimana
telah
ditentukan
prosentasenya, seperti: setengah, sepertiga atau seperempat. Apabila ditentukan nilainya, contohnya jika dikatakan, “Kita bekerja sama muḍārabah dengan pembagian keuntungan untukmu satu juta, dan sisanya untukku”, maka akad muḍārabah demikian ini tidak sah. Demikian juga bila tidak jelas prosentasenya, seperti “Sebagian untukmu dan sebagian lainnya untukku”. Dalam pembagian keuntungan perlu melihat hal-hal berikut, (1) Keuntungan berdasarkan kesepakatan dua belah pihak, namun kerugian harta hanya ditanggung pemilik modal. (2) Pengelola modal hendaknya menentukan bagiannya dari keuntungannya. Apabila keduanya tidak menentukan hal tersebut, maka pengelola mendapatkan gaji yang umum, dan seluruh keuntungan merupakan milik pemilik modal (investor). (3) Pengelola modal tidak berhak menerima keuntungan sebelum menyerahkan kembali modal secara sempurna. (4) Keuntungan tidak dibagikan selama akad masih berjalan, kecuali apabila kedua pihak saling ridha dan sepakat.17
17
Ath-Thayar, al-Bunuk…, h. 123.
Aplikasi Akad Mudharabah di Perbankan Syari’ah | 73
Putri Apria Ningsih
C. Penerapan Muḍārabah di Perbankan Syariah: 1. Defenisi bank syariah Bank syariah adalah bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip syariah Islam, khususnya yang menyangkut tata cara bermuamalah secara Islam. Dalam UU No.21 tahun 2008 mengenai Perbankan Syariah mengemukakan pengertian perbankan syariah dan pengertian bank syariah. Perbankan Syariah yaitu “segala sesuatu yang menyangkut bank syariah dan unit usaha syariah, mencakup kelembagaan, mencakup kegiatan usaha, serta tata cara dan proses di dalam melaksanakan kegiatan usahanya.” Sedangkan Bank Syariah adalah “bank yang menjalankan kegiatan usahanya dengan didasarkan pada prinsip syariah.” Muh. Syafe'i Antonio dan Perwataatmadja (1992) membagi pengertian terkait perbankan syariah dalam dua pengertian : Pertama, Bank Islam adalah bank yang beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip syari’ah Islam. Kedua, Bank Islam adalah bank yang tata cara beroperasinya mengacu kepada ketentuan Al-Qur’an dan Hadits. Bank syariah muncul di Indonesia pada awal tahun 1990-an. Pemrakarsa pendirian bank syariah di Indonesia dilakukan oleh Majelis
Ulama
Indonesia
(MUI)
pada tanggal 18 – 20 Agustus 1990. Penentuan harga bagi bank syariah didasarkan pada kesepakatan antara bank dengan nasabah penyimpan dana sesuai dengan jenis simpanan dan jangka waktunya, yang akan menentukan besar kecilnya porsi bagi hasil
74 | Jurnal Syari’ah Vol. V, No. 1, April 2016
yang akan diterima penyimpan. Berikut ini prinsip prinsip yang berlaku pada bank syariah: a. Pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (muḍārabah). b. Pembiayaan
berdasarkan
prinsip
penyertaan
modal
(musyārakah). c. Prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murābaḥah). d. Pembiayaan barang modal berdasarkan sewa murni tanpa pilihan (ijārah). e. Pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina). 2. Keutamaan bank syariah Fungsi dasar bank syariah secara umum sama dengan bank konvensional, sehingga prinsip umum pengaturan dan pengawasan bank berlaku pula pada bank syariah. Namun adanya sejumlah perbedaan cukup mendasar dalam operasional bank syariah menuntut adanya perbedaan pengaturan dan pengawasan bagi Bank syariah: a. Perlunya jaminan pemenuhan ketaatan pada prinsip syariah dalam seluruh aktivitas bank, terutama larangan praktek riba. b. Perbedaan karakteristik operasional khususnya akibat dari pelarangan bunga yang digantikan dengan skema PLS dengan instrumen nisbah bagi hasil. Yang menjadi ciri khas Bank Syariah sehingga menyebabkan ia berbeda dengan Bank Konvensional adalah:
Aplikasi Akad Mudharabah di Perbankan Syari’ah | 75
Putri Apria Ningsih
a. Beban biaya yang telah disepakati pada waktu melakukan akad perjanjian diwujudkan dalam bentuk jumlah nominal yang besarnya fleksibel atau tidaklah kaku dan dapat ditawar dalam batas-batas yang masih wajar. b. Pengarahan dana masyarakat dalam bentuk deposito atau tabungan oleh penyimpan dianggap sebagai titipan (alwadī’ah) sedangkan bagi bank dianggap sebagai titipan yang diamanatkan sebagai pernyataan dana pada proyek yang dibiayai oleh bank sesuai dengan prinsip-prinsip syariah sehingga bagi penyimpan tidaklah dijanjikan imbalan yang pasti (fixed return). c. Penggunaan persentase dalam hal kewajiban untuk melakukan pembayaran harus selalu dihindarkan. Karena persentase bersifat melekat pada sisa hutang meskipun utang hingga batas waktu perjanjian telah jatuh tempo atau berakhir. d. Didalam kontrak pembiayaan proyek bank tidak menetapkan perhitungan berdasarkan keuntungan yang pasti (Fixed Return) yang ditetapkan dimuka. Bank Syariah menerapkan sistem berdasarkan atas modal untuk jenis kontrak al muḍārabah dan al musyarakah dengan system bagi hasil (Profit and losery) yang tergantung pada besarnya keuntungan. e. Bank Syari'ah tidak menerapkan jual beli atau sewa-menyewa uang dari mata uang yang sama dan transaksinya itu dapat menghasilkan keuntungan. Jadi mata uang itu dalam memberikan pinjaman pada umumnya tidak dalam bentuk
76 | Jurnal Syari’ah Vol. V, No. 1, April 2016
tunai melainkan dalam bentuk pembiayaan pengadaan barang selama pembiayaan, barang tersebut milik bank. f. Adanya dewan Syari'ah yang bertugas mengawasi bank dari sudut Syariah. Bank Syariah selalu menggunakan istilah-istilah dari bahasa arab dimana istilah tersebut tercantum dalam fiqih Islam g. Adanya produk khusus yaitu pembiayaan tanpa suatu beban murni yang bersifat sosial, dimana nasabah tidaklah berkewajiban untuk mengembalikan pembiayaan (al-qordul hasal). h.
Fungsi lembaga bank juga mempunyai fungsi amanah, artinya berkewajiban menjaga dan ikut bertanggung jawab atas keamanan dana yang sudah dititipkan dan memiliki kesiapan sewaktu-waktu apabila dana ditarik kembali sesuai dengan perjanjian. Lebih lanjut berkaitan dengan ini dapat membaca fungsi bank syariah.
3. Pengaruh bank syariah dalam perekonomian masyarakat Dalam perkembangannya kehadiran bank syariah ternyata tidak hanya dilakukan oleh masyarakat muslim, akan tetapi juga masyarakat nonmuslim. Saat ini bank syariah sudah tersebar di berbagai negara-negara muslim dan nonmuslim, baik di Benua Amerika, Australia, dan Eropa. Bahkan banyak perusahaan dunia yang telah membuka cabang berdasarkan prinsip syariah. Contoh Bank Syariah di Indonesia yaitu Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri dan BRI Syariah.
Aplikasi Akad Mudharabah di Perbankan Syari’ah | 77
Putri Apria Ningsih
Bank syariah sebenarnya sangat berperan penting dalam pembangunan. Bank syariah cukup bisa diandalkan dalam proses mencapai
kesejahteraan
dan
keadilan
serta
kemakmuran
masyarakat. Hal itu dikarenakan bahwa bank syariah menerapkan prinsip bagi hasil yang berkeadilan tanpa menerapkan bunga atas transaksi. Bank syariah telah menunjukkan bahwa bank syariah memegang peranan penting dalam pembangunan, yaitu disaat negara dilanda krisis moneter pada tahun 1998. Pada saat itu, bank syariah keadaannya malah tidak begitu terguncang dan dapat dikatakan stabil. Secara lebih terperinci, pembangunan yaitu
peran bank syariah dalam
meliputi, Pertama, Ekonomi syariah
memberikan andil bagi perkembangan sektor riil. Diharamkannya suku bunga dan spekulasi mengharuskan dana yang dikelola oleh bank syariah disalurkan ke sektor rill dan usaha yang halal. Dengan penyaluran tersebut maka usaha sektor rill terbantu dan hal tersebut sudah membantu dalam pembangunan ekonomi bangsa. Kedua, Ekonomi syariah lewat industri keuangan syariah turut andil dalam menarik investasi luar negeri ke Indonesia, terutama dari negara-negara Timur-tengah. Adanya berbagai peluang investasi syariah di Indonesia, telah menarik minat investor dari negara-negara pengguna dollar ini untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Ketiga, Gerakan ekonomi syariah mendorong timbulnya perilaku ekonomi yang etis di kalangan masyarakat Indonesia. Ekonomi syariah adalah ekonomi yang berpihak kepada kebenaran
78 | Jurnal Syari’ah Vol. V, No. 1, April 2016
dan keadilan dan menolak segala bentuk perilaku ekonomi yang tidak baik seperti sistem riba, spekulasi, dan ketidakpastian. 4. Penerapan muḍārabah pada bank syariah di Indonesia Muḍārabah biasanya diterapkan pada produk-produk pembiayaan dan pendanaan. Pada sisi penghimpunan dana muḍārabah diterapkan pada: a. Tabungan berjangka, yaitu tabungan yang dimaksudkan untuk tujuan khusus, seperti tabungan haji, tabungan kurban dan sebagainya. b. Deposito special (special investmen), di mana dana yang dititipkan nasabah khusus untuk bisnis tertentu, misalnya murabah saja atau ijarah saja. Apabila dilihat dari segi konsep maka bank syariah sangat bagus, terutama dalam tekad menjahui prktek riba dalam perbankan. Namun kenyataannya masih ditemukan beberapa kendala dan kejanggalan sehingga keinginan untuk keluar dari riba tidak bisa terealisasi dengan sempurna. Berikut ini uraian aplikasi muḍārabah dalam bank syariah kususnya yang berlaku di Indonesia sekaligus tinjauan syar’i terhadap aplikasi tersebut: a. Akad muḍārabah antara nasabah penabung dengan bank. Pertama, tabungan berjangka. Sistem atau teknisnya adalah nasabah penabung memiliki ketentuan-ketentuan umum yang ada pada bank seperti syarat-syarat pembukaan, penutupan rekening, mengisi formulir, menyertakan fotokopi KTP, specimen tanda tangan, dan lain sebagainya. lalu menyebutkan tujuan dia menabung, misal untuk pendidikan anak, lalu disepakati nominal
Aplikasi Akad Mudharabah di Perbankan Syari’ah | 79
Putri Apria Ningsih
yang disetor setiap bulannya dan tempo pencairan dana. Pada praktiknya, dana akan cair pada saat jatuh tempo plus bagi hasil dari usaha muḍārabah. Secara kenyataan di lapangan, pihak bank bisa langsung memberikan hasil muḍārabah secara kredit tiap akhir bulan. Kedua, Deposito biasa Ketentuan teknisnya sama seperti ketentuan umum yang berlaku di semua bank. Pada produk ini, pihak penabung bertindak sebagai shahibul maal (pemodal) dan pihak bank sebagai mudharib (amil). Pada praktiknya harus ada kesepakatan tenggang waktu antara penyetoran dan penarikan agar modal (dana) dapat diputarkan. Sehingga ada istilah deposito 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan, dan 12 bulan. Juga dibicarakan nisbah (persentase) bagi hasilnya dan biasanya dana akan cair saat jatuh tempo. Secara kenyataan, semua akad pada tabungan berjangka dan deposito tertuang pada formulir yang disediakan pihak bank di setiap Customer Service (CS)nya. Ketiga, Deposito khusus (special investment) Dana yang dititipkan nasabah khusus untuk bisnis tertentu. Keumuman bank syariah tidak menerapkan produk ini. Secara hukum syar’i, akad yang tertuang dalam formulir yang disediakan pihak bank cukup transparan, sesuai dengan prinsip syariah dan berbeda dengan Bank Konvensional. Pada akad, Bank Syariah sangat terkait dengan akad-akad muamalah syari’ah. Bank konvensional tidak terikat dengan aturan manapun.Pada imbalan yang diberikan,Bank syariah
menerapkan prinsip
muḍārabah, sehingga bagi hasil tergantung pada: Pendapatan bank
80 | Jurnal Syari’ah Vol. V, No. 1, April 2016
(hasil/laba usaha), Nominal deposito nasabah, Nisbah (persentase) bagi hasil antara nasabah dan bank serta Jangka waktu deposito. Sedangkan Bank konvensional menerapkan konsep biaya (cost concept) untuk menghitung keuntungan. Artinya bunga yang dijanjikan di muka kepada nasabah penabung merupakan ongkos yang harus dibayar oleh bank. Di sinilah letak riba pada bank konvensional. Selanjutnya pada sasaran pembiayaan, Bank Syariah terikat dengan usaha-usaha yang halal. Bank konvensional terjun dalam semua usaha yang halal maupun haram. Bentuk akad pada bank syariah tersebut dan perbedaannya dengan bank konvensional menjadi nilai lebih untuk bank syariah, namun demikian, ada beberapa hal yang perlu disoroti pada akad muḍārabah antara penabung dan bank syariah, di antaranya adalah, Pertama, bila terjadi kerugian pada usaha bank atau bank ditutup/bangkrut. Semua bank, baik konvensional maupun syariah harus terikat dan dinaungi oleh sebuah lembaga independen yang resmi yaitu Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Setiap bank mengasuransikan seluruh dana simpanan nasabah kepada lembaga tersebut, pihak bank yang membayar preminya. Bila terjadi kerugian/pailit pada pihak bank, maka LPSlah yang mengganti semua dana simpanan dari nasabah penabung paling banyak Rp 2 miliar (sesuai Peraturan Pemerintah No. 66 Th. 2008, red). Bila demikian kenyataan di lapangan yang tidak mungkin dipungkiri maka hakikat sesungguhnya adalah bukan akad muḍārabah tetapi akad pinjaman (qiradh) yang karakteristik intinya adalah harus mengembalikan pinjaman, apapun yang terjadi. Dalam
Aplikasi Akad Mudharabah di Perbankan Syari’ah | 81
Putri Apria Ningsih
hal ini maka akad antara penabung dan bank syariah juga tidak terlepas dari riba karena, (1) Pinjaman tersebut mengandung unsur bunga, dalam hal ini adalah bagi hasil yang dicapai. (2) Kerugian ditanggung mudharib (bank), hal ini menyalahi prinsip muḍārabah yang syar’i seperti telah diuraikan sebelumnya. Kerugian modal yang terjadi pada usaha muḍārabah murni ditanggung modal bukan amil/muḍārib. (3) Pihak bank tidak terlepas dari asuransi bisnis yang diharamkan dalam Islam.18 b. Pembiayaan yang dilakukan pihak bank kepada nasabah peminjam. Pada
umumnya
mengalokasikan
dana
banyak
bank
pembiayaan
ke
syariah produk
yang
tidak
muḍārabah
dikarenakan risiko yang cukup tinggi, sehingga bank syariah lebih banyak mengalokasikan pembiayaan kepada produk murābaḥah. Padahal bank hanya menghimpun dana dari nasabah-nasabah penabung selaku ṣāhibul māl yang sesungguhnya. Jadi pada hakikatnya, pihak bank tidak memiliki modal hingga layak disebut pemilik modal (ṣāhibul māl) hingga bisa merobah jenis akad dari muḍārabah
kepada
murābhāh.
Bank
hanyalah
sebagai
perantara/wakil para nasabah penabung untuk melakukan akad muḍārabah dan yang lainnya dengan nasabah peminjam. Inilah yang disebut dengan istilah mudharabatul muḍārib. Seharusnya kalau harus terjadi perobahan maka sebenarnya diperbolehkan jika ada izin khusus dari nasabah penabung (ṣāhibul 18
Abu Abdillah Muhammad Afifuddin, “Macam-macam Riba,” Majalah Asy Syariah, No. 28/III1428 H/2007, h. 18.
82 | Jurnal Syari’ah Vol. V, No. 1, April 2016
māl), dan muḍārib (bank) tidak mendapatkan laba muḍārabah tapi hanya dapat ujratul wakalah (upah sebagai wakil) baik terlibat langsung dalam usaha atau tidak. Selanjutnya apabila terjadi kerugian pada usaha nasabah diluar prediksi semua pihak, maka secara prinsip muḍārabah yang syar’i, kerugian yang terjadi selama bukan karena kelalaian dan kecerobohan amil murni ditanggung modal, dalam hal ini adalah bank. Amil tidak dibebani apapun kecuali dia rugi tidak dapat laba dari usaha tersebut. Praktik yang terjadi di dunia bank syariah cukup beragam. semua bank mempersyaratkan pada akad muḍārabah, semua aset nasabah yang digunakan untuk usaha harus diasuransikan terlebih dahulu. Ini sebagai upaya pengamanan bilamana terjadi sesuatu di luar prediksi semua pihak. Sebagian bank syariah langsung melakukan penyitaan aset nasabah yang mengalami kebangkrutan atau menuntut pengembalian modal muḍārabah. Tindakan di atas sangat jelas menunjukkan bahwa kerugian ditanggung amil. Hal ini jelas menyalahi prinsip muḍārabah yang syar’i. Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, hakikat akad sesungguhnya bukan qiraḍ (muḍārabah) tapi qarḍ (pinjaman) yang harus ada pengembalian pinjaman apapun yang terjadi pada pihak peminjam. Dan sebagian bank syariah tidak berani melakukan penyitaan secara langsung karena paham tentang konsekuensi akad muḍārabah yaitu kerugian ditanggung bank. Mereka pun melakukan upaya lain yaitu kompromi (islah) dengan pihak nasabah. Misal, Meminta nasabah menjual aset yang ada. Kalau
Aplikasi Akad Mudharabah di Perbankan Syari’ah | 83
Putri Apria Ningsih
dicermati intinya dalam prkatek ini adalah modal muḍārabah harus kembali dan kerugian ditanggung amil (nasabah). Pihak bank sebenarnya memiliki alasan kenapa harus melakukan upaya-upaya di atas. Alasannya adalah, pada saat pihak bank mengeluarkan pembiayaan untuk modal muḍārabah dengan nasabah, pihak bank diharuskan untuk mempersiapkan “dana talangan”. Besar kecilnya dana tersebut tergantung kelancaran usaha nasabah.
bila lancar maka dana talangannya 1 % dari
pembiayaan, bila tidak lancar maka dana talangan semakin diperbesar menjadi 5 %, 15 %, dan seterusnya. bila sampai sembilan bulan nasabah tidak membayarkan bagi hasil usaha maka dana talangannya menjadi 100 %. Ini adalah ketentuan resmi dari Bank Indonesia (BI) untuk semua bank. Tujuannya supaya usaha nasabah yang tidak lancar tersebut bisa dihapuskan dan untuk kelancaran bank itu sendiri.
D. Kesimpulan dan Saran Sesuai dengan penjelasan yang penulis paparkan dalam tulisan ini maka bisa disimpulkan sebagai berikut: 1. System muḍārabah merupakan system yang sudah dipraktekkan sejak zaman jahiliah kemudian di kuatkan oleh Islam setelah dilakukan penyesuaan dengan prinsip-prinsip dasar Islam. 2. System muḍārabah adalah jalan keluar dari praktek riba yang diharamkan dalam Islam. 3. Masyarakat sangat menerima dengan adanya system muḍārabah yang dipraktekkan oleh bak-bank syariah.
84 | Jurnal Syari’ah Vol. V, No. 1, April 2016
4. Namun dalam penerapannya, system muḍārabah pada bank syariah di Indonesia belum bisa 100% keluar dari praktek riba. Melihat kondisi akad muḍārabah pada bank syariah seperti yang dipaparkan di atas maka hal itu masih menjadi PR bagi semua praktisi ekonomi Islam Indonesia khususnya perbankan syariah untuk mencarikan jalan keluar dari kendala yang ada dan mengonsep dengan serius praktek muḍārabah dalam bank syariah agar benar-benar terlepas dari riba. Wallahu ‘Alam.
Aplikasi Akad Mudharabah di Perbankan Syari’ah | 85
Putri Apria Ningsih
DAFTAR PUSTAKA Afifuddin, Abu Abdillah Muhammad. 2007. Afifuddin, “Macammacam Riba,” Majalah Asy Syariah, No. 28/III1428 H. Al-Kassani, Alauddin Abi Bakar bin Mas’ud. 2003. Bada’I Shana’I fi Tartiibissara’i, Beirut: Dar Kutub Ilmiah. Al-Libanani, Salim Rustam Baz. 1404 H. Syarah al-Majallah, Beirut: Dar Kutub Ilmiah. Manzhur, Ibnu. t.t. Lisanul Arab, Mesir: Dar Mishriyah al ‘Amah Litta’lif wan Nasyar. Al-Mushlih, Abdullah al-Mushlih dan Shalah ash-Shawi. t.t. Fiqih Ekonomi Islam, terj., Jakarta: Darul Haq. Qudhamah, Ibnu. 1412 H. al-Mughni, Cet. 2, Cairo: alHajr, 1412 H. Al-Qudhah, Zakaria. 1984. As-Silm wa Mudharabah min Awamil Taisir fis Syariah Islamiyah, Omman: Dar Fikr. Ar-Ramani, Zaid Muhammad ar-Ramani. 1999. “Aqdul Muḍārabah fī fiqhi al-Islāmi,” Journal of Shariah and Islamic Studies, Kuwait: Academic Publication Council Kuwait Universiti. Rusyd, Ibnu. 1403 H. Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Cet. 6, Beirut: Dar Ma’rifah. Ath-Thayar, Abdullah bin Muhammad. 1414 H. al-Bunuk al-Islamiyah Baina an-Nadzariyat wa Tathbiq, Cet. 2, Riyadh: Muassasah alJurais. Ath-Thayar, Abdullah bin Muhammad, dkk. 2012. Muyassar, Riyadh: Madar al Wathan Linnasyar.
al-Fiqh Al-
86 | Jurnal Syari’ah Vol. V, No. 1, April 2016