IMPLIKASI REGULASI PENYIARAN DALAM PENYERAPAN
TENAGA KERJA DI INDONESIA Anisti Akom BSI Jakarta Jl. Kayu Jati V No 2, Pemuda Rawamangun, Jakarta-Timur
[email protected]
Abstract Reformation opened up a gap in the world of broadcasting television business in Indonesia. The legal the Broadcasting Act No. 32 year 2002 is giving legitimacy to the existence of four broadcasters that the commercial broadcasters, public broadcasters, community broadcasters and subscription broadcasters. The advent of private television stations is a challenge for the creativity of the Indonesian nation. The logical consequence of this should improve the economic writhing on the creative industries, especially television. It is interesting to analyze from the television broadcasting side of the employment in the creative world especially the broadcast media so as to provide improved and increase the strength of the Indonesian economy. Keywords: regulation of broadcasting, television, labor Abstraksi Era reformasi membuka celah bisnis dalam dunia penyiaran televisi di Indonesia. Payung hukum yakni UU Penyiaran No. 32 Tahun 2002 memberikan legitimasi atas keberadaan empat lembaga penyiaran yaitu lembaga penyiaran komersial, lembaga penyiaran publik, lembaga penyiaran komunitas dan lembaga penyiaran berlangganan. Munculnya televisi-televisi swasta merupakan tantangan tersendiri bagi kreatifitas bangsa Indonesia. Konsekuensi logis akan hal ini seharusnya meningkatkan geliat ekonomi pada industri kreatif, khususnya televisi. Menarik untuk menganalisa dari sisi penyiaran televisi tentang penyerapan tenaga kerja pada dunia kreatif khusunya media penyiaran sehingga mampu memberikan peningkatan sekaligus menambah kekuatan ekonomi Indonesia. Kata kunci: regulasi penyiaran, televisi, tenaga kerja I. PENDAHULUAN Media massa diyakini bukan sekadar sarana lalu lintas pesan antara unsur-unsur sosial dalam suatu masyarakat, melainkan juga berfungsi sebagai alat penundukan dan pemaksaan konsensus oleh kelompok tertentu. Melalui pola kepemilikan dan melalui produk-produk yang disajikan, media adalah perangkat ideologis yang melanggengkan dominasi kelas pemodal terhadap publik yang diperlakukan semata-mata sebagai konsumen, dan terhadap pemegang kekuasaan untuk memuluskan lahirnya regulasiregulasi yang pro pasar (Sudibyo: 2004). Sejarah menunjukkan, media massa pada akhirnya mencapai puncak perkembangan sebagai lembaga kunci dalam masyarakat modern. Media massa mampu mereprentasikan diri sebagai ruang publik yang utama dan turut menentukan dinamika sosial politik dan budaya, ditingkat lokal maupun global. Media juga menjadi medium pengiklan utama yang secara signifikan mampu meningkatkan penjualan produk barang dan jasa.
Media massa mampu menghasilkan surplus ekonomi dengan menjalankan peran penghubung antara dunia produksi dan konsumsi. Namun, hampir selalu terlambat disadari bahwa media massa disisi lain juga menyebarkan atau memperkuat struktur ekonomi dan politik tertentu. Media tidak hanya mempunyai fungsi sosial dan ekonomi tetapi juga menjalankan fungsi ideologis. Karena itu fenomena media bukan hanya membutuhkan pengamatan yang didasarkan pada pendekatan-pendekatan politik, melainkan juga pendekatan ekonomi. Menarik untuk diamati bagaimana peran media dalam struktur ekonomi yang berlaku di suatu Negara. Satu prinsip yang harus diperhatian di sini adalah sistem industri kapitaslis, media massa harus diberi fokus perhatian yang memadai sebagaimana institusi-institusi produksi dan distribusi yang lain. Kondisi-kondisi yang ditemukan pada level kepemilikan media, praktik-praktik pemberitaan, dinamika industri radio, televisi, perfilman, dan periklanan, 52
mempunyai hubungan yang saling menentukan dengan kondisi-kondisi ekonomi yang berkembang di suatu negara, serta pada gilirannya juga dipengaruhi oleh kondisi-kondisi ekonomi global. Salah satu isu utama dalam diskursus komunikasi modern adalah pola kepemilikan serta praktik produksi dan distribusi produk media yang terkonsentrasi pada kelompok-kelompok bisnis besar. Fenomena konsentrasi media di satu sisi dianggap tak terhindarkan ketika situasi-situasi global memang menghendaki upaya-upaya yang mengarah pada konsolidasi dan konvergensi dalam bisnis media modern. Namun di sisi lain, konsentrasi media juga menimbulkan sejumlah persoalan berkaitan dengan fungsi media sebagai ruang publik dengan sejumlah fungsifungsi sosial yang melekat di dalamnya. Strukrur industri media yang terkonsentrasi sesungguhnya adalah tahapan akhir dalam siklus evolusi menuju lembar industrial modern. Pada tahap awal perkembangan kultur industri produksi barang dilakukan dalam skala kecil dan didistribusikan secara terbatas. Proses distribusi dan penjualan lalu menjadi terpisah dan terkonmersialisasi. Perkembangan teknologi kemudian membuat proses produksi menjadi terkomersialisasi, dan memungkinkan aktivitas konsumsi dalam skala massal dan bersifat impersonal. Proses diferensiasi terjadi disini, ketika pertumbuhan industri mulai mengalami kejenuhan dan muncul tekanan-tekanan akibat meningkatknya ongkos produksi dan distribusi, penuruan keuntungan, dan perubahan-perubahan karakter pasar. Dari diferensiasi inilah proses konsentrasi dimulai. Diverisfikasi terjadi ketika satu perusahaan melakukan ekspansi ke bidang usaha yang lain. Perusahaan media merambah ke bisnis perfilman, industri musik rekaman, periklanan, dan lain-lain. Atau sebaliknya, pemain bisnis di bidang lain mencoba untuk merambah ke bisinis media sebagai strategi untuk mengefektifkan proses distribusi produk, untuk meningkatkan leverage perusahaan, serta untuk menambah kapasitas perubahan menghadapi risiko-risiko krisis di bidang usaha spesifik tertentu. Konsentrasi media adalah internasionalisasi yang terjadi ketika perusahaan-perusahaan domestik membuka diri terhadap arus investasi asing. Tekanantekanan kapitalisme global yang bersumbu pada kaidah-kaidah neoliberal memaksa pemerintah menerapkan deregulasi yang membuka lebih lebar peluang bagi masuknya modal asing serta agen-agen bisnis asing di suatu Negara. Namun seperti yang terlihat dalam bisnis media, modal asing sering kali menjadi kebutuhan karena terbatasnya modal domestik yang bisa digunakan untuk melakukan ekspansi pasar. 53
Terbatasnya kapasitas media dan industri pendukungnya untuk memenuhi tuntutan-tuntutan pasar ketika iklim persaingan antarmedia semakin ketat, khususnya antarmedia televisi, disisi lain juga menyebabkan arus program-program impor menjadi tak terhindarkan. Pada titik inilah distributor asing mengambil keuntungan. (Sudibyo: 2004) Selama orde baru, bisnis media terkonsentrasi kepada segelintir pelaku bisnis yang mempunyai akses kuat ke lingkar kekuasaan, tetapi belakangan telah terjadi perubahan-perubahan yang signifikan bagi usahausaha untuk mengurai konsentrasi media bawaan era orde baru. Dalam konteks inilah titik tolaknya adalah UU Penyiaran No. 32 Tahun 2002, yang memberikan legitimasi atas keberadaan empat lembaga penyiaran, lembaga penyiaran komersial, lembaga penyiaran publik, lembaga penyiaran komunitas dan lembaga penyiaran berlangganan. Deregulasi penyiaran menumbuhkan dunia bisnis baru yang bisa berkembang setelah era orde baru. Khususnya pada dunia penyiaran, disini penulis akan menganalisa bagaiman dunia kreatif khusunya media penyiaran dapat memberikan peningkatan ekonomi Indonesia karena melihat faktor-faktor ekonomi sebagai satusatunya faktor menentukan dinamikan masyarakat modern. Dengan semakin berkembangnya teknologi pertelevisian di Indonesia, maka tahun 1999 melalui Departemen Perhubungan (d/h Departemen Penerangan) dengan Surat Keputusan (SK) Menteri Penerangan No. 286/SK/Menpen/1999 telah memberikan izin kepada lima perusahaan stasiun Televisi Swasta baru, yaitu : PT. Televisi Transformasi (Trans TV), TV7 ( yang kemudian merger/bergabung dengan Trans TV dan dinamakan Trans7 hingga kini), PT. Global Informasi Bermutu (Global TV), Lativi, dan Metro TV. Kemudian belakangan Lativi diambil oleh grup Bakrie dan menjadi TV One. Berkembangnya pertelevisian saat ini, baik skala nasional maupun lokal daerah mengambil peran dan turut meramaikan perkembangan teknologi pertelevisian Indonesia dan perekonomian Indonesia. II. PEMBAHASAN Dengan berkembangnya pertelevisian Indonesia sejak tahun 1990 an, dan berkembangnya media informasi khususnya televisi membuat dunia semakin hari semakin ramai dengan beragamnya acara dan informasi yang langsung dapat dinikmati melalui media elektronik televisi. Meskipun arus informasi yang mengalir mempunyai dampak positif dan negatif namun hal tersebut tidak bisa dielakan karena
perubahan jaman yang sangat dinamis. Keberadaan perkembangan arus informasi, sebenarnya berjalan secara alamiah sesuai perkembangan peradaban manusia itu sendiri. Berdasarkan Teori Alfin Tofler dalam bukunya yang berjudul The Third Wave, dijabarkan mengenai siklus peradaban manusia dalam tiga (3) kategori utama, yaitu : 1). Peradaban Pertama : ditandai dengan penemuan-penemuan dibidang pertanian. 2). Peradaban Kedua : ditandai dengan revolusi industri. 3). Peradaban Ketiga : dikembangkannya revolusi ilmu pengetahuan dan teknologi. Dari ketiga peradaban tersebut, peradaban ketiga yang saat ini menjadi sorotan seluruh dunia maupun bangsa Indonesia untuk tetap berperan aktif dan terlibat dalam perkembangan pertelevisian serta dapat bersaing dengan negara-negara lain. (Masduki: 2007) 2.1.Deregulasi Penyiaran Indonesia Sejalan dengan berkembangnya teknologi informasi khususnya televisi, hadirnya undang-undang No. 32 tahun 2002 tentang penyiaran, dimana undangundang tersebut memberikan peluang dan kesempatan bagi berdirinya stasiun televisi yang baru. Dalam Undang-Undang penyiaran ini, seperti pada pasal 31 bagian kesembilan tentang Stasiun Penyiaran dan Wilayah Jangkauan Siaran terdapat ayat-ayat yang berbunyi : 1. Lembaga Penyiaran yang menyelenggarakan jasa penyiaran radio atau jasa penyiaran televisi terdiri atas penyiaran jaringan dan stasiun penyiaran lokal. 2. Lembaga Penyiaran Publik dapat menyelenggarakan siaran dengan sistem stasiun jaringan yang menjangkau seluruh wilayah negara Republik Indonesia. 3. Lembaga Penyiaran Swasta dapat menyelenggarakan siaran melalui sistem jaringan dengan jangkauan terbatas. 4. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan sistem stasiun jaringan disusun oleh KPI bersama Pemerintah. 5. Stasiun penyiaran lokal dapat didirikan di lokasi tertentu dalam wilayah negara Republik Indonesia dengan wilayah jangkauan siaran terbatas pada lokasi tersebut. 6. Mayoritas pemilikan modal awal dan pengelolaan stasiun penyiaran lokal diutamakan kepada masyarakat di daerah tempat stasiun lokal itu berada.Jasa Penyiaran terdiri atas jasa penyiaran radio dan jasa penyiaran televisi, jasa penyiaran sebagaiman dimaksud diselenggarakan oleh: a. Lembaga Penyiaran Publik. Lembaga penyiaran publik adalah lembaga penyiaran yang berbentuk badan hukum yang didirikan oleh Negara, bersifat independen, netral, tidak komersial, dan berfungsi memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat. Sumber pembiayaan lembaga penyiaran publik berasal dari :
iuran penyiaran, anggaran pendapatan dan Belanja Negara atau Anggran Pendapatan dan Belanja Daerah, Sumbangan masyarakat, siaran iklan dan usaha lain yang sah yang terkait dengan penyelenggaraan penyiaran. b. Lembaga Penyiaran Swasta Lembaga Penyiaran swasta adalah lembaga penyiaran yang bersifat komersial berbentuk badan hukum Indonesia, yang bidang usahanya hanya menyelenggarakan jasa penyiaran radio dan televisi. Sumber pembiayaan lembaga penyiaran swasta diperoleh dari siaran iklan dan usaha lain yang sah yang terkait dengan penyelenggaraan penyiaran. c. Lembaga Penyiaran Komunitas Lembaga penyiaran komunitas adalah lembaga penyiaran yang berbentuk badan hukum Inodnesia, didirikan oleh komunitas tertentu, bersifat independen, dan tidak komersial, dengan daya pancar rendah, luas jangkauan wilayah terbatas, serta untuk melayani kepentingan komunitasnya.Lembaga penyiaran komunitas didirikan atas biaya yang diperoleh dari kontribusi komunitas tertentu dan menjadi milik komunitas tersebut. Lembaga Penyiaran Komunitas dapat memperoleh sumber pembiayaan dari sumbangan, hibah, sponsor, dan sumber lain yang sah dan tidak mengikat, d. Lembaga Penyiaran Berlangganan Lembaga Penyiaran Berlangganan merupakan lembaga penyiaran berbentuk badan hukum Indonesia, yang bidang usahanya hanya menyelenggarakan jasa penyiaran berlangganan dan wajib terlebih dahulu memperoleh izin penyelenggaraan penyiaran berlangganan.Lembaga penyiaran berlangganan sebagaimana dimaksuda adalah : 1). Lembaga penyiaran berlangganan melalui satelit 2). Lembaga penyiaran berlangganan melalui kabel 3). Lembaga penyiaran berlangganan melalui teresterial. Pembiayaan lembaga penyiaran berlangganan berasal dari iuran berlangganan dan usaha lain yang sah dan terkait dengan penyelenggaraan penyiaran. (Mufid: 2007). Munculnya Undang-Undang penyiaran ini, sekalipun dikatakan telat setelah beberapa stasiun televisi melakukan siarannya, namun perlu diapresiasi secara positif bahwa telah menjadi sebuah regulator bagi pelaksanaan sistem penyiaran stasiun televisi di Indonesia. Hal ini terlihat bahwa sebelum Undang-Undang ini lahir pada tahun 2002, pengoperasian stasiun televisi sejak tahun 1990 seperti Televisi Republik Indonesia (TVRI) 54
hanya dikenal dengan tontonan siaran hiburan dan berita TVRI (dan bukan Penyiaran Publik sesuai PP No. 11 dan No. 13 tahun 2005). Setelah itu sekitar tahun 1994 dunia pertelevisian Indonesia diramaikan dengan hadirnya lima stasiun televisi, antara lain : Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI), Surya Citra Televisi (SCTV), Televisi Pendidikan/Keluarga Indonesia (TPI), Andalan Televisi (ANTEVE), dan Indosiar Visual Mandiri (INDOSIAR), yang kesemuanya telah mengudara (on air) secara Nasional. Kelima stasiun inilah yang kemudian sesuai dengan lahirnya UU No.32 tahun 2002 dikenal dengan nama Lembaga Penyiaran Swasta (bagian kelima pasal 16 ayat 1). 2.2. Perkembangan Media Penyiaran Terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Sistem penyiaran nasional menurut UU No. 32 Tahun 2002 tentang penyiaran merupakan tatanan penyelenggaraan penyiaran nasional berdasarkan ketentuan peraturan perundangan menuju tercapainya asas, tujuan, fungsi dan arah penyiaran nasional sebagai upaya mewujudkan cita-cita nasional. Dari sini menjadi jelas bahwa, penyiaran diselenggarakan dengan tujuan untuk memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa maupun yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945 serta menumbuhkan industri penyiaran Indonesia. Perkembangan teknologi dan informasi telah melahirkan masyarakat informasi yang makin besar tuntutannya akan hak untuk mengetahui (right to know) atau (right of access to information) dalam sistem negara demoratis (democratic state system). Belakangan ini, informasi telah menjadi kebutuhan pokok bagi masyarakat dan telan menjadi komoditas penting dalam kehidupan bermsyarakat, berbangsa dan bernegara. Berdasarkan hal tersebut diatas apabila ditelaah dari ilmu ekonomi, dimana ilmu ekonomi adalah ilmu yang mempelajari perilaku manusia dalam memilih dan menciptakan kemakmuran. Inti masalah ekonomi adalah adanya ketidakseimbangan antara kebutuhan manusia yang tidak terbatas dengan alat pemuas kebutuhan yang jumlahnya terbatas. Permasalahan itu kemudian menyebabkan timbulnya kelangkaan Kata "ekonomi" sendiri berasal dari kata Yunani (oikos) yang berarti "keluarga, rumah tangga" dan (nomos), atau "peraturan, aturan, hukum," dan secara garis besar diartikan sebagai "aturan rumah tangga" atau "manajemen rumah tangga." Sementara yang dimaksud dengan ahli ekonomi atau ekonom adalah orang menggunakan konsep ekonomi dan data dalam bekerja. Secara umum, subyek dalam ekonomi 55
dapat dibagi dengan beberapa cara, yang paling terkenal adalah mikroekonomi vs makroekonomi. Selain itu, subyek ekonomi juga bisa dibagi menjadi positif (deskriptif) vs normatif, mainstream vs heterodox, dan lainnya. ditinjau dari perkembangan media penyiaran khususnya televisi berdasarkan UU No. 32 Tahun 2002 tentang penyiaran, maka terdapat suatu perkembangan yang dilihat dari makro ekonomi Indonesia. Pada hal ini terdapat suatu masalah serta tantangan terhadap penyerapan tenaga kerja di Indonesia, yakni masih banyaknya pengangguran di Indonesia. Hal tersebut terjadi diantaranya karena jumlah lapangan kerja yang tersedia lebih kecil dari jumlah pencari kerja. Juga kompetensi pencari kerja tidak sesuai pasar kerja. Selain itu juga kurang efektifnya informasi pasar kerja bagi para pencari kerja. Fenomena pengangguran juga berkaitan erat dengan terjadinya pemutusan hubungan kerja, yang disebabkan antara lain; perusahaan yang menutup/mengurangi bidang usahanya akibat krisis ekonomi atau keamanan yang kurang kondusif; peraturan yang menghambat inventasi; hambatan dalam proses ekspor impor, dan lainlain. Menurut data BPS angka pengangguran pada tahun 2002, sebesar 9,13 juta penganggur terbuka, sekitar 450 ribu diantaranya adalah yang berpendidikan tinggi. Bila dilihat dari usia penganggur sebagian besar 5.78 juta adalah pada usia muda (15-24 tahun). Selain itu terdapat sebanyak 2,7 juta penganggur merasa tidak mungkin mendapat pekerjaan. Situasi seperti ini akan berbahaya dan mengancam stabilitas nasional. Undang Undang No.32/Th.2002 tentang Penyiaran dinilai telah membuka kesempatan bagi pertumbuhan media penyiaran lokal di berbagai daerah yang pada gilirannya berdampak positif terhadap dinamika pembangunan suatu daerah. Menurut Kepala Badan Litbang Depkominfo Aizirman Djusan pada seminar penentuan zona DEM dan DEKM dalam penyelenggaraan penyiaran yang dilaksanakan oleh Puslitbang Aptel SKDI di Jakarta, Kamis (11/12) hal menunjukkan betapa pentingnya peran media penyiaran lokal yang mampu merambah ke segala aspek pembangunan baik ekonomi,sosial politik, maupun budaya, kata). UU No.32/Th.2002 merupakan desentralisasi penyiaran dimana masyarakat daerah diberi kesempatan untuk mendirikan lembaga penyiaran yang sesuai dengan watak, adat, budaya dan tatanan nilai norma setempat.UU penyiaran ini, disebutnya memberi celah bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam bidang penyiaran jika masyarakat diberi ruang untuk tidak lagi menjadi obyek penyiaran namun bisa berperan dalam mewarnai dunia penyiaran. Hal penting bagi
bagi masyarakat adalah ketersediaan aturan mengenai media penyiaran bagi mereka, menurut UU Penyiaran keberadaan lembaga penyiaran komunitas di bidang radio komunitas bersanding dengan lembaga penyiaran lainnya seperti lembaga penyiaran publik (RRI dan TVRI), lembaga penyiaran swasta (Radio dan TV Swasta) , dan lembaga penyiaran berlangganan. Aizirwan juga menegaskan, keberadaan media penyiaran lokal sangat bermanfaat bagi pemerintah daerah dalam konteks pembangunan baik di bidang sosial, ekonomi, politik maupun budaya.Memang tidak semua daerah memiliki media penyiaran, terutama TV, yang benar-benar eksis, baik secara financial maupun SDM karena sumber pembiayaan operasional terbesar media penyiaran berasal dari iklan. Maka kondisi perekonomian suatu daerah sangat besar pengaruhnya terhadap penyelenggaraan penyiaran media lokal yang ada, semakin dinamis perkembangan ekonomi suatu daerah maka akan menyuburkan kehidupan media penyiaran lokal, dan iklan yang masukpun akan mengalir melalui media penyiaran seiring dengan tumbuh kembangnya perekonomian suatu daerah.Karena pertumbuhan perekonomian daerah berbeda-beda dan sumber pembiayaan suatu media lokal tergantung dari jumlah pemasukan iklan maka perkembangan media penyiaran di setiap daerah tidaklah sama, daerah yang maju secara ekonomi akan merangsang pertumbuhan industri media penyiaran. Penyebaran media penyiaran lokal di setiap daerah tidak merata karena tergantung dari potensi perekonomian yang berkembang di daerah tersebut, daerah yang memiliki nilai ekonomis
tinggi seperti Jawa dan Sumatra, maka media penyiaran lokal radio dan TV cukup berkembang. Namun daerah yang secara ekonomi kurang maju menyebabkan para pengusaha industri media penyiaran kurang berminat untuk mendirikan media penyiaran lokal baik Radio maupun TV. Kondisi perekonomian daerah yang berbeda dan penyebaran media penyiaran lokal yang timpang, menyebabkan aktivitas masyarakat atas informasi dan sarana informasi serta komunikasi menjadi tidak merata.Kesenjangan informasi antara daerah satu dan daerah lainnya disebabkan oleh ketimpangan konsentrasi media penyiaran yang tersedia, perlu segera diatasi agar masyarakat di daerah memiliki kesempatan yang sama dalam memanfaatkan media penyiaran lokal. (KPI, 2007). Dalam hal ini penulis mencoba memberikan suatu contoh di negara Singapura yang dirilis dari perkembangan sektor media. Negara ini telah mengalami masa pertumbuhan yang stabil sejak digulirkannya cetak biru industri media nasional. Pada tahun 2006 sektor media memberikan 5 milyar US$ dalam bentuk nilai tambah serta menyumbang 19,5 Milyar S$ pada ekonomi singapura dan menampung 54.700 orang pekerja. Angka pertumbuhan tahunan sektor media Singapura dari tahun 1996 hingga 2006 adalah 8 %. Angka ini lebih besar dari pertumbuhan keseluruhan ekonomi Singapura yang hanya 5,2%.Memiliki prospek pertumbuhan sektor media, pemerintah Singapura bulan lalu mengumumkan akan menyisikan 230 juta S$ selama lima tahun untuk mendanai program Singapura Media Fusion plan yang ditujukan untuk mengembangkan industri media lokal, angka ini mengalami peningkatan 40% dari pendanaan program media.
Tabel 1. Ringkasan Kontribusi Ekonomi Industri Kreatif, 2002-2006
56
Sumber: Departemen Perdagangan
Merujuk pada penjelasan diatas seiring beroperasinya stasiun TV daerah di negeri ini. Sebagai sebuah gambaran misalnya, lebih dari 100 pemohon Stasiun TV baru yang berlokasi di luar Jakarta sedang menanti surat izin dari pemerintah. Dari jumlah itu, sedikitnya ada 20 Stasiun TV Daerah bakal beroperasi di Kota Bandung dan daerah lainnya di Jawa Barat. Dari jumlah ini, sudah enam Stasiun TV sudah beroperasi di Bandung. Di luar TV Daerah. sedikitnya 200 pemohon radio baru di Jawa Barat juga masih menanti surat izin dari pemerintah. Peluang kesempatan kerja sebanyak itu belum termasuk sumbangan dari sektor bisnis media cetak. Di atas kertas, beroperasnyai TV saerah, Radio dan media cetak diperkirakan mampu menyerap ribuan tenaga kerja baru. Dengan asumsi, Stasiun TV Daerah pada tahun pertama membutuhkan tenaga kerja 50 orang 57
dan tahu kedua kelipatan 50 orang maka lima tahun mendatang akan membutuhkan ribuan tenaga kerja baru. Daya serap tenaga kerja sebanyak itu belum termasuk calon tenaga kerja yang akan dibutuhkan stasiun radio, media cetak koran, majalah dan tabloid. Hal ini juga dilihat dari perkembangan televisi di Indonesia baik lokal maupun nasional yang saat ini terus bertambah. Perlu dipahami pula bahwa UU Penyiaran No. 32 Tahun 2002 memungkinkan terjadinya monopoli media yang dalam konteks opini publik tidak sehat. Karena kebijakan satu pemilik media akan digunakan oleh media-media lain yang masih dalam anak usahanya. Ini menyebabkan kurangnya variasi pada isi siaran yang disampaikan oleh media, bahkan cenderung seragam. Tapi terlepas dari itu semua pengelolaan model monopoli ini tetap memberikan kontribusi dalam penyerapan tenaga kerja pada sektor industri kreatif di dunia penyiaran.
Belum lagi jumlah Tv lokal yang ada di tiap provinsi bahkan tingkat kabupaten yang tersebar di seluruh Indonesia. Jika ini dikelola secara profesional tentu akan menambah lahan bisnis dan menyerap tenaga kerja yang cukup sinifikan dan pastinya meningkatkan kesejahteraan erekonomian bangsa Indonesia. III. PENUTUP Semangat otonomi daera memang bisa menembus segala penjuru. Bahkan sektor yang dulu tidak sempat dipikirkanpun seolah sekarang terbentang lapang di depan mata. Televisi lokal memang tidak sekadar ambisi derah namun sudah menjadi kebutuhan agar daerah bisa mengkonkritkan. Mungkin dalam lima tahun kedepa juga berdiri televisi-televisi daerah. Secara profesional, pemerintah kabupaten atau kota ataupun provinsi harus memposisikan televisi daerah tersebut sebagai BUMD yang harus untuk namun mengemban visi dan misi untuk rakyat dan pembangunan. Setiap daerah punya potensi yang luar biasa jika mau dikembangkan. Terhadap pasokan SDM dibidang pertelevisin, untuk itu perkembangan perekonomian khususnya dalam makro ekonomi di Indonesia DAFTAR PUSTAKA Abraham, B.Alan, 2006, Handbook Of Media Management And Economics, New Jersey, Publisher Mahwah. Briggs Asa, Burke Peter, 2006, Sejarah Sosial Media dari Guttenberg sampai Internet, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia. Gardi Gazarin, 2005, Perkembangan TV Indonesia Meningkat Signifikan, Yogyakarta, PT LKiS. Mankiw, N. Gregory. 2007, Makro Ekonomi, Ciracas Jakarta, Edisi Keenam, Erlangga. Masduki, 2007, Regulasi Penyiaran dari Otoriter ke Liberal, Yogyakarta, PT LKis Pelangi Nusantara. Mc Quail Denis. 2002, Mc Quail’s Mass Communication Theory, London, 4th Edition, Sage Publication. Mufid Muhammad, 2007, Komunikasi dan Regulasi Penyiaran, Jakarta, Kencana Pernada Media Group. Komisi Penyiaran Indonesia, 2007, Standar Siaran 2007, Jakarta, KPI Sudibyo Agus, 2004, Ekonomi Politik Media Penyiaran, Yogyakarta, PT LKiS, 58