Dampak Sintilasi Ionosfer
pada Akurasi Navigasi & Posisi GNSS
Angin Matahari Single Event Latch-up pada Satelit LAPAN-TUBSAT
Pengamatan Matahari dari Ruang Angkasa
ISSN 2303-2707
Review :
Cuaca Antariksa
Diterbitkan oleh Pusat Sains Antariksa (Pussainsa) LAPAN Pelindung Kepala LAPAN Deputi Bidang Sains, Pengkajian dan Informasi Kedirgantaraan Penanggung Jawab Kepala Pusat Sains Antariksa Redaktur Drs. Jiyo, M.Si. Editor Irvan Fajar Syidik, S.T. Johan Muhamad, S.Si Annis Siradj Mardiani,A.Md Kontributor Asnawi, M.Sc. Rasdewita Kesumaningrum, M.Si Santi Sulistiani, S.Si. Fitri Nuraeni, M.Si. Visca Welyanita, M.Si. Drs. A. Gunawan Admiranto Nayla Najati, S.T.
Varuliantor Dear, S.T. Penata Letak Endah Oktaviani, S.Ds. Sekretariat Neneng Destiani, S.E. Alamat Jl. Dr. Djundjunan No.133 Bandung 40173 Telepon: (022) 6012 602 / 6038 005 Fax: (022) 6014 998 / 6038 005 HP: 0813 2121 0002
Untuk pemesanan Buletin Cuaca Antariksa Kirim faks permohonan langganan Buletin Cuaca Antariksa ke :
(022) 6038 005 Kontak :
Annis Siradj 0813 2121 0002
3 Dampak Sintilasi Ionosferpada Akurasi Navigasi dan Posisi GNSS 6 Angin Matahari 9 Interplanetary Magnetic Field (IMF) 10 Anomali pada Satelit LAPANTUBSAT 12 13 14 15
Cuaca Antariksa Aktivitas Matahari Aktivitas Geomagnet Indeks T Regional Indonesia Review : Cuaca Antariksa
daftar isi
17 Single Event Latch-Up pada Satelit LAPANTUBSAT 19 Kalender Astronomi 20 Teka Teki Silang
SALAM REDAKSI Pembaca yang budiman, selamat berjumpa kembali dengan Buletin Cuaca Antariksa edisi ini. Tak terasa kita sudah sampai pada edisi terakhir tahun 2013. Kami berharap, pembaca dapat mengambil banyak manfaat dari artikel-artikel yang disajikan pada Buletin Cuaca Antariksa edisi ini dan edisi sebelumnya. Besar harapan kami, Buletin ini dapat menambah pemahaman pembaca tentang fenomena cuaca antariksa Untuk menutup tahun 2013, kami menyampaikan beberapa artikel yang berkaitan dengan fenomena ruang antar planet dan pengaruhnya terhadap ke h i d u p a n m a nu s i a d i B u m i . Pemahaman tentang dinamika ruang antar planet didasari oleh pemahaman mengenai fenomena angin matahari. Oleh karena itu, pada edisi ini kami sampaikan artikel mengenai angin matahari yang menjelaskan tentang sumber terjadinya dan dinamikanya di ruang antar planet. Kami juga melengkapi pembahasan tersebut dengan artikel mengenai medan magnet ruang antar planet (Interplanetary Magnetic Field). Medan magnet di ruang antar planet ini menjadi parameter penting yang menghubungkan angin matahari dengan Bumi. Perubahan kondisi medan magnet di ruang antar planet dapat berpengaruh langsung terhadap keadaan di lingkungan Bumi.
Salah satu dampak langsung cuaca antariksa ekstrem dapat dilihat pada gangguan sistem operasional satelit, termasuk pada satelit milik LAPAN yaitu satelit LAPAN-TUBSAT. Pembaca dapat melihat bagaimana dampak cuaca antariksa ekstrem tersebut terhadap satelit pertama yang dibuat oleh LAPAN tersebut. Selain itu, kami juga menyampaikan artikel mengenai dampak lain cuaca antariksa terhadap kehidupan manusia. Fenomena antariksa lainnya yang kami angkat pada edisi ini ialah sintilasi ionosfer. Sintilasi ionosfer dapat berdampak pada akurasi sistem navigasi berbasis satelit. Dengan adanya artikel ini kami berharap pembaca dapat mengenal pengaruh perubahan cuaca antariksa terhadap teknologi masa kini. Tidak lupa kami sampaikan juga artikel-artikel ulasan mengenai kondisi cuaca antariksa dalam beberapa bulan terakhir. Semoga pembaca dapat mengambil banyak manfaat dari artikel-artikel yang kami sampaikan. Kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan agar buletin ini semakin memuaskan pembaca. Akhir kata, kami ucapkan selamat membaca edisi kali ini bagi semua pembaca setia Buletin Cuaca Antariksa.
Gmbar : http://www.mrwallpaper.com/lazarus-nebula-wallpaper/
ISSN 2303-2707
Dampak Sintilasi Ionosfer pada Akurasi Navigasi & Posisi GNSS Oleh : Asnawi Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi
GNSS, Global Navigation Satellite System. Sistem navigasi dan penentuan posisi saat ini telah berkembang pesat dengan meng gunakan teknologi satelit, yang menyediakan fitur penentuan posisi bumi (geopositioning) otomatis dengan cakupan global. Istilah umum yang digunakan untuk sistem navigasi satelit pada saat ini adalah GNSS ( Global Navigation Satellite System). GNSS terdiri dari gabungan konstelasi satelit navigasi. Konstelasi yang sudah beroperasi saat ini adalah GPS (Amerika Serikat), GLONASS (Rusia), GALILEO (Eropa), IRNSS (India), COMPAS (China), dan QZSS (Jepang). Pada saat ini GNSS mencakup tiga teknologi satelit utama, yakni: GPS, GLONASS, dan GALILEO. Masing-masing terdiri dari tiga segmen utama, yakni: ? Komponen angkasa satelit (space segment), ? Komponen kontrol ( control segment), ? Komponen peng guna ( user segment). Ketiga komponen GPS (Global Positioning System), GLONASS dan GALILEO masing-masing memiliki fungsi yang hampir sama, dan ketiganya membentuk teknologi GNSS yang saling melengkapi. S e c a r a u mu m ko m p o n e n angkasa adalah konstelasi satelit GNSS yang mengorbit mengelilingi bumi dan akan mengirimkan sinyal pada penerima (receiver) di bumi. Komponen angkasa selalu dimonitor (uplink – downlink) oleh
komponen kontrol untuk memantau kesehatan satelit, koreksi jam satelit dan orbit. Aplikasi GNSS yang utama adalah untuk penentuan posisi menggunakan metode triliterasi yaitu pencarian titik yang tidak diketahui berdasarkan jaraknya ke tiga titik yang diketahui. Titik yang diketahui adalah minimal tiga koordinat satelit GNSS, dan koordinat yang tidak diketahui adalah lokasi penerima GNSS. Titik yang dicari adalah merupakan perpotongan dari tiga bola dengan jari-jari sepanjang jarak satelit ke penerima GNSS. Aplikasi GNSS telah berkembang secara luas dan cepat dalam berbagai bidang seperti manajemen transportasi udara, laut, dan darat, untuk pertanian, membantu menebar benih, menentukan batas lahan tanam, untuk rekreasi wisata alam, traveling, pendakian gunung, untuk penelitian kandungan uap air di atmosfer, monitoring ionosfer, untuk perbankan yaitu akurasi waktu klering dan lain sebagainya. Akurasi Posisi Ada beberapa tingkat ketelitian penentuan posisi yaitu tingkat meter, sub-meter dan sentimeter bahkan milimeter, yang bergantung kepada jenis penerima dan metode pengukurannya. Akurasi pengukuran GNSS dipengaruhi oleh pengukukuran jarak satelit dari penerima GNSS dan geometri satelit GNSS. Pengukuran jarak satelit GNSS dari penerima dipengaruhi oleh akurasi perhitungan jarak dari pengamatan waktu propagasi sinyal GNSS dari satelit menuju penerima. Jika waktu propagasi sudah diperoleh dan itu
adalah pengamatan maka pada saat mengukur jarak kita harus menentukan kecepatan propagasi sinyal yang diasumsikan sama dengan kecepatan cahaya di ruang hampa. Tetapi kenyataannya selama propagasi, sinyal GNSS tidak menjalar di ruang hampa melainkan melalui ionosfer yang mengubah kecepatannya dan juga membelokkan arah propagasinya. Kemudian sinyal tersebut melewati troposfer yang bukan ruang hampa sehingga kecepatannya juga berubah. Selain itu, pengamatan waktu propagasi juga dipengaruhi oleh sinkronisasi jam satelit dan jam penerima, kesalahan jam satelit, kesalahan penentuan koordinat satelit atau orbit, multipath dan derau penerima. Setelah SA (Selective Availability) tidak aktif, sumber kesalahan penentuan jarak satelit bersumber dari ionosfer yang ordenya bisa mencapai puluhan meter.
Gambar 1. Tiga Komponen Utama dari system GNSS.
Gambar 2. Lokasi penerima GPS (hijau) adalah hasil perpotongan tiga sinyal satelit GPS yang berbentuk bola (merah). Pewaktu dikirimkan oleh satelit ke empat (garis kuning) (Sumber: How GPS work, http://xenon. colorado. edu).
Buletin Cuaca Antariksa | Oktober - Desember 2013
3
Geometri satelit mempengaruhi akurasi posisi GNSS karena semakin banyak satelit yang terlihat oleh penerima dari berbagai arah yang merata, akan menghasilkan akurasi yang lebih baik. Sayangnya, geometri satelit GNSS akan semakin kurang baik jika terjadi sintilasi ionosfer. Sintilasi dapat menyebabkan beberapa satelit tidak dapat diamati karena fluktuasi intensitas sinyal yang diterima receiver GNSS. Lapisan Ionosfer, manfaat dan dampaknya. Lapisan ionosfer adalah bagian dari atmosfer bumi yang mengandung ion dan menempati ruang dari ketinggian 60 sampai 1000 km lebih di atas permukaan bumi. Keberadaannya terutama
disebabkan oleh radiasi sinar ultra violet dari matahari. Ketika fotonfoton mengenai partikel netral atmosfer atas, energi foton pada tingkat tertentu dapat melepaskan ikatan elektron dari atom dan molekul sehingga terbentuklah elektron bebas, atom, dan molekul bermuatan posistif yang disebut ion. Ionosfer dapat diamati dengan beberapa cara, yaitu pengamatan landas bumi (ground base) dan pengamatan landas angkasa (space base) (satelit dan roket). Pengamatan landas bumi diantaranya menggunakan ionosonda dan radar VHF (Very High Frequency: 30-30 MHz). Hasil pengamatan menggunakan ionosonda berupa ionogram yang berupa jejak
pantulan gelombang HF (High Frequency: 3-30 MHz) di ionosfer pada frekuensi dan ketinggian tertentu. Dari ionogram dapat diturunkan kerapatan elektron dan ketinggian ionosfer. Sekarang ini metode pengamatan ionosfer menggunakan beberapa teknik yang tergantung pada efek ionosfer pada gelombang radio. Pada pengamatan menggunakan radar VHF, tidak hanya kerapatan elektron tetapi kerapatan ion dan iregularitas ionosfer yang dapat menghamburkan sinyal VHF juga diperoleh. Pengamatan ionosfer landas angkasa menggunakan roket yang pada saat ini sudah ditinggalkan karena biayanya tinggi. Pada masa sekarang pengamatan ionosfer juga
(a)
(b) Gambar 3. Kejadian sintilasi ionosfer di Pontianak (a) dan di Bandung (b) pada tanggal 11 Maret 2012 dengan nilai indeks S4 > 0.5
4
Oktober - Desember 2013 | Buletin Cuaca Antariksa
Gambar 4. Perbandingan ground track (meter) satelit GPS dari pengukuran di Cibinong saat tidak terjadi sintilasi ionosfer (gambar a) dan saat terjadi sintilasi (gambar b) tanggal 6 Maret 2012 dan saat terjadi sintilasi tanggal 11 Maret 2012 (gambar b dan d).
memanfaatkan sinyal satelit navigasi, seperti GPS dan GNSS lainnya. Parameter yang diperoleh dari pengukuran dengan GPS adalah kandungan elektron total atau TEC (Total Electron Content). Salah satu kelebihannya adalah cakupannya luas. Dengan kelebihan tersebut penelitian variasi ionosfer - baik temporal maupun spasial - dapat dilakukan sehingga klimatologi, pemodelan serta infor masi karakteristik ionosfer dapat dilakukan dengan lebih baik. Karakteristik ionosfer bervariasi secara temporal dan spasial. Dalam sehari ionosfer berubah kerapatannya mulai terendah sekitar jam 5 pagi waktu setempat, kemudian naik dengan cepat setelah terbit matahari. Pada siang hari ionosfer mencapai maksimum antara pukul 12 – 15 waktu lokal, tetapi kadang-kadang juga terjadi dua puncak pada siang dan sore hari karena adanya anomali diurnal ionosfer yang biasa terjadi di lintang rendah seperti di Indonesia. Karena sudut zenit matahari bervariasi dari bulan ke bulan, maka ionosfer juga mengalami variasi musiman. Dalam setahun ionosfer mencapai kerapatan tertinggi pada bulan Maret dan April. Ionosfer juga bervariasi mengikuti variasi siklus matahari selama 11 tahun. Karena kopling dengan atmosfer, ionosfer juga mengalami variasi harian dan tahunan seperiode dengan periodisitas gelombang di atmosfer. Sifat tak teratur juga terjadi di ionosfer karena pengaruh aktivitas litosfer pada saat gempa bumi dan aktivitas matahari saat badai matahari. Secara spasial ionosfer mencapai puncak tidak pada ekuator geografi tetapi di sebelah utara dan selatan ekuator geomagnet. Karena pengaruh kombinasi medan listrik dan medan magnet bumi, maka terjadi pembagian ionosfer menjadi ionosfer ekuator, lintang rendah, lintang tengah, lintang tinggi dan ionosfer kutub. Elektron-elektron
bebas di ionosfer dalam jumlah yang banyak (saat terjadi badai ionosfer) dapat mempengaruhi propagasi gelombang radio yang melaluinya. Ionosfer bisa memberikan keuntungan dan ker ugian tergantung pada sudut pandang dan teknologi yang digunakan. Bagi pengguna teknologi komunikasi radio HF, ionosfer memberikan keuntungan karena menjadikan komunikasi radio jarak jauh tanpa kabel dapat berjalan sepanjang hari. Secara umum, ionosfer berdampak pada pengguna GNSS, akan tetapi dengan teknik tertentu dampak tersebut dapat dikurangi. Namun demikian pada kondisi ekstrim terjadi gangguan ionosfer maka akan memberikan dampak merugikan karena keberadaanya membatasi akurasi penentuan posisi GNSS. Akurasi posisi GNSS dapat dipengaruhi oleh ionosfer melalui dua meksnisme. Per tama, keberadaan ionosfer - baik dalam kondisi normal maupun terganggu memperlambat kecepatan grup gelombang radio yang digunakan GNSS dan mempercepat fase gelombang pembawanya. Keduanya mempengaruhi akurasi posisi GNSS. Dalam kondisi terganggu ionosfer dapat berfluktuasi cepat dan menimbulkan fluktuasi sinyal GNSS yang diterima di permukaan bumi. Jika fluktuasi sinyal melebihi batas kepekaan penerima maka akan terjadi beberapa sinyal GNSS tidak dapat diterima oleh penerima sehingga menyebabkan geometri satelit kurang bagus untuk penentuan posisi yang berujung pada penurunan akurasi GNSS. Efek Kemunculan Sintilasi Ionosfer Pada Akurasi Posisi GPS. Saat terjadi sintilasi ionosfer maka sinyal satelit akan mengalami fading pada power sinyal, cycle slip, dan loss of lock yang menyebabkan
penerima kesulitan melakukan penguncian sinyal sehingga terjadi degradasi sinyal dan akurasi pengukuran akan bergeser (error positioning). Contoh terjadinya degradasi akurasi posisi saat terjadi sintilasi ionosfer ditunjukkan pada Gambar 3 dan Gambar 4. Gambar 3a dan 3b masing-masing menujukkan kejadian sintilasi ionosfer di Pontianak dan Bandung pada tanggal 11 Maret 2012 yang diindikasikan dengan nilai indeks S4 > 0,5 yaitu satelit (PRN) 1, 9, 10, 11, dan 23 yang dibedakan berdasarkan warna. Untuk melihat pengar uh kejadian sintilasi tersebut terhadap akurasi posisi navigasi GPS, maka dilakukan perbandingan pada saat tidak terjadi sintilasi yaitu pada tanggal 6 Maret 2012 dengan menggunakan data penerima GPS di Cibinong yang diambil dari laman SOPAC (Scripps Orbit and Permanent Array Center). Gambar 4 adalah hasil analisis perbandingan ground track (meter) penerima GPS di Cibinong pada tanggal 6 Maret 2012 saat tidak terjadi sintilasi ionosfer (Gambar 4a) dan saat terjadi sintilasi tanggal 11 Maret 2012 (Gambar 4b). Analisis dipertegas lagi dengan grafik kesalahan posisi dalam arah horizontal (timur-barat, utaraselatan) dan vertikal (atas-bawah) ditunjukkan pada gambar 4c dan 4d. Sumbu ver tikal dan sumbu horizontal pada gambar 4c dan 4d masing-masing adalah jarak (meter) dan waktu universal (jam). Grafik pada gambar 4d memperlihatkan kesalahan vertikal mencapai 10 meter dan horizontal (utara-selatan) mencapai 8 meter saat terjadi sintilasi tanggal 11 maret 2012. Sedangkan saat tidak ada sintilasi yaitu tang gal 6 Maret 2012 kesalahannya vertikal hanya 5 meter dan kesalahan horizontal 4 meter .p
Buletin Cuaca Antariksa | Oktober - Desember 2013
5
Angin Matahari Oleh : Rasdewita Kesumaningrum Bidang Matahari dan Antariksa
Seperti halnya angin di Bumi, di lingkungan Matahari – Bumi juga ada angin yang disebut dengan angin matahari. Angin matahari berasal dari korona Matahari. Ia membawa partikel berenergi tinggi dengan temperatur yang sangat panas. Bila angin di Bumi dapat dirasakan karena perbedaan tekanan udara, maka berbeda dengan angin Matahari. Dengan kerapatan yang sangat rendah - yaitu pada orbit Bumi terdeteksi kerapatannya ratarata 7,1 partikel/cm3 - angin matahari tidak dapat dirasakan hembusannya langsung seperti halnya angin di Bumi. Namun demikian arah hembusan angin matahari dapat menyebabkan komet t a m p a k m e m i l i k i e ko r d a n mempengaruhi bentuk medan magnet ruang antar planet. Aliran angin matahari membentuk putaran seperti semburan air di taman karena rotasi matahari (Gambar 2). Pengamatan angin matahari dilakukan oleh wahana antariksa Ulysses yang mengukur kecepatan angin matahari, kuat medan magnet, arah medan magnet dan
komposisinya. Pengamatan oleh Ulyses berakhir pada Juni 2009 dan dilanjutkan oleh satelit Advanced Composition Explorer (ACE). Satelit ACE diluncurkan pada Agustus 1997 dan diorbitkan pada posisi sekitar 1,5 juta km dari Bumi, suatu posisi dengan gaya gravitasi antara Bumi dan Matahari seimbang. Meskipun berasal dari Matahari, angin matahari dapat berbeda kecepatan dan komposisinya. Angin matahari terdiri dari dua komponen yaitu angin matahari berkecepatan rendah dan angin matahari b e r ke c e p a t a n t i n g g i . A n g i n matahari berkecepatan rendah memiliki kecepatan sekitar 400 km/detik dengan temperatur 1,4 juta Kelvin (K) sampai 1,6 juta K dan komposisinya mirip deng an komponen korona. Sebaliknya, angin matahari berkecepatan tinggi umumnya memiliki kecepatan sekitar 750 km/detik dengan temperatur 800.000 K dan komposisinya menyer upai komposisi fotosfer matahari. Angin matahari berkecepatan rendah dua kali lebih padat dan lebih bervariasi
Gambar 1. Ekor komet - yang arahnya selalu menjauhi matahari terbentuk akibat hembusan angin matahari. (Sumber: http://science.nationalgeographic.com).
6
Oktober - Desember 2013 | Buletin Cuaca Antariksa
kerapatannya dibandingkan dengan angin matahari berkecepatan tinggi. Angin matahari lambat memiliki struktur yang lebih kompleks dengan daerah yang berputar dan struktur skala besar. Angin matahari lambat berasal dari suatu daerah sekitar ekuator matahari yang disebut dengan sabuk streamer. Streamer korona meluas dari daerah ini membawa plasma dari interior matahari sepanjang garis lengkung magnet tertutup. Plasma adalah materi matahari dengan temperatur yang sangat tinggi sehingga partikelnya sangat terionisasi. Pengamatan matahari menunjukkan bahwa sumber pancaran angin matahari berkecepatan rendah terjadi di matahari antara lintang 30-35 derajat ketika aktivitas matahari minimum dan kemudian meluas hingga kutub sejalan dengan naiknya aktivitas matahari. Akibatnya, pada saat aktivitas matahari maksimum, kutub juga memancarkan angin matahari berkecepatan rendah. Sumber angin matahari berkecepatan tinggi diduga berasal dari lubang korona - yang merupakan daerah dengan medan magnet terbuka di korona matahari sehingga dapat mengalirkan plasma ke arah ruang antar planet. Medan magnet terbuka ini umumnya ada di kutub matahari, namun karena proses rekoneksi medan magnet korona dengan lapisan di bawahnya, medan magnet dapat terbuka yang
Gambar 2. Aliran angin matahari dapat menjangkau seluruh Tata Surya yang menyerupai putaran air di taman, yang kadang-kadang disebut ballerina skirt. (Sumber:http://wso.stanford.edu/gifs/HCS.html)
kemudian menjadi lubang korona di daerah selain kutub. Di dalam angin matahari yang membawa medan magnet matahari, terdapat daerah dengan aliran yang berbeda kecepatannya dan dapat bertumbukan dan saling berinteraksi yang disebut dengan Co-rotating Interactive Region (CIR). Ketika matahari berotasi, terbentuk pola aliran angin Matahari yang serupa putaran air di taman. Di dalam CIR ini, apabila aliran angin matahari yang lambat diikuti oleh aliran angin matahari yang cepat, materi yang bergerak lebih cepat akan menumbuk materi yang bergerak lambat dan menghasilkan gelombang kejut yang semakin memperce pat g erak par tikel tersebut. Angin matahari juga dapat berinteraksi dengan semburan plasma korona matahari atau Coronal Mass Ejections. Pada saat terjadi CME yang mengarah ke Bumi, CME bertemu dengan angin matahari dan medan magnet antar-planet
(Interplanetary Magnetic Field – IMF). fenomena penting yang terkait cuaca Jika kecepatan CME lebih rendah antariksa.p daripada kecepatan angin matahari, Sumber: maka laju CME dipercepat menjadi Http://hyper physics.physama dengan kecepatan angin astr.gsu.edu/hbase/solar/solwin.html matahari. Juga ketika terjadi sebaliknya, maka CME akan Http://solarscience.msfc.nasa.gov/Solar Wind.shtml diperlambat. K e t i k a C M E m e n u m b u k Http://helios.gsfc.nasa.gov/sw.html magnetosfer Bumi, medan magnet Http://hypertextbook.com/facts/2005 bumi dapat berubah bentuknya /RandyAbbas.shtml seperti yang terlihat pada Gambar 3. CME kemudian menginduksi rekoneksi magnet pada magnetotail Bumi, pada 'sisi m a l a m ' magnetosfer, melepaskan proton dan partikel masuk ke atmosfer bumi dan membentuk aurora di kutubkutub Bumi. Peristiwa ini disebut deng an Gambar 3. Bentuk magnetosfer Bumi yang mengalami deformasi akibat badai geomagnet, bertumbukan dengan angin matahari dan tumbukan CME. (Sumber: http://ds9.ssl.berkeley.edu/lws_gems/6/secef_7b.htm) salah satu
Pengamatan Matahari dari Ruang Angkasa Oleh : A. Gunawan Admiranto Bidang Matahari dan Antariksa
Sebagai sumber energi dan gangguan bagi bumi matahari selalu menjadi pusat perhatian para peneliti cuaca antariksa. Dalam melakukan penelitian matahari mereka menggunakan berbagai peralatan termasuk teleskop yang dipakai untuk merekam pancaran gelombang elektromagnetik dari matahari mulai dari panjang g elombang ter pendek (sinar gamma) sampai yang paling panjang (gelombang radio). Akan tetapi, tidak semua pancaran gelombang elektromagnetik yang datang dari matahari bisa sampai di permukaan
bumi karena ada bagian spektrum gelombang elektromagnetik yang tidak bisa menembus atmosfer bumi, yaitu dalam panjang gelombang sinar gamma sampai sinar X dan panjang gelombang infra merah. . Untuk mendapatkan informasi tentang matahari secara komprehensif, para peneliti harus merekam pancaran radiasi matahari dari seluruh panjang gelombang, dan karena ada bagian radiasi matahari yang tidak bisa ditangkap di permukaan bumi, maka mereka merancang teleskop untuk bisa
melakukan pengamatan di ruang angkasa. Upaya pengamatan matahari dari ruang angkasa sudah cukup lama dilakukan. Pada tahun 1950-an NASA sudah meluncurkan berbagai roket yang membawa peralatan pengamatan matahari. Oleh sebab itu, di sini tidak mungkin mengulas semua peralatan pengamatan matahari yang sudah diluncurkan, dan yang akan ditinjau adalah yang paling mutakhir dan paling penting. TRACE (Transition Region and Coronal Explorer) Misi yang diluncurkan pada tanggal 2 April 1998 ini bertujuan untuk mendapatkan data tentang fotosfer, daerah transisi, dan korona dengan tingkat resolusi ruang dan waktu yang sangat tinggi yang belum pernah dicapai sebelumnya. Setiap hari wahana TRACE ini memotret
Buletin Cuaca Antariksa | Oktober - Desember 2013
7
optik, wahana ini juga membawa peralatan yang memantau pancaran gelombang radio serta gangguan yang ditimbulkannya di ruang antar planet.
Gambar 1. Wahana TRACE dan hasil pemotretan menggunakan wahana TRACE ini (sumber: http://trace.lmsal.com)
i n i d a l a m p e m a n a s a n kromosfer dan korona serta pada peristiwa-peristiwa eksplosif yang berlangsung di matahari seper ti flare dan pelontaran massa korona. Wahana ini juga membawa sebuah teleskop sinar X. Selain itu, dibawa Gambar 1. Wahana TRACE dan hasil pemotretan juga teleskop yang meng gunakan wahana TRACE ini (sumber : m e n a n g k a p http://trace.lmsal.com) pancaran matahari matahari dan kemudian mengirimkannya ke bumi.
dalam panjang gelombang ultra ungu.
RHESSI (Ramaty High Energy Solar Spectroscopic Imager) Misi yang diluncurkan pada tahun 2003 ini bertujuan untuk mempelajari mekanisme dasar pada percepatan partikel dan pelepasan energi secara eksplosif yang berlangsung pada flare. Wahana ini membawa spektrometer dalam panjang gelombang sinar X dan sinar gamma.
STEREO (Solar Terrestrial Relations Observatory) NASA meluncurkan wahana STEREO pada tanggal 26 Oktober 2006. Ia memiliki misi utama melakukan pengamatan pelontaran massa korona secara tiga dimensi. Misi ini terdiri atas dua wahana yang secara serentak mengamati matahari dari dua titik yang berbeda menggunakan peralatan yang sama. Wahana pertama berada di depan bumi dalam orbitnya mengelilingi matahari, sedangkan wahana kedua terletak di belakang bumi. Citra yang didapat digabungkan sehingga didapat citra tiga dimensi peristiwa pelontaran massa korona. Di samping melakukan pengamatan
SOLAR-B Tujuan utama misi yang diluncurkan pada bulan Agustus 2005 ini adalah mempelajari proses pembangkitan dan hantaran medan magnet matahari. Selain itu ia mempelajari peranan medan magnet
8
Oktober - Desember 2013 | Buletin Cuaca Antariksa
SDO (Solar Dynamic Observatory) SDO yang dijuluki sebagai “Hubble of the Sun” diluncurkan NASA pada tanggal 11 Februari 2011 yang merupakan bagian dari program Living With a Star. Tujuan utama misi ini adalah mendapatkan pemahaman yang lengkap mengenai berbagai aspek dalam hubungan bumi matahari yang memberikan pengaruh langsung pada kehidupan dan masyarakat. Masalah-masalah pokok yang ditinjau misi SDO ini adalah: apa yang menggerakkan siklus matahari 11 tahun, bagaimana mekanisme pembangkitan dan penyebaran medan magnet di seluruh per mukaan matahari, bagaimana pembangkitan variasi radiasi matahari itu dan kaitannya dengan siklus medan magnet matahari, serta bagaimana membuat prediksi cuaca antariksa dan iklim secara akurat. IRIS (Interface Region Imaging Spectrograph) NASA meluncurkan wahana ini pada tanggal 27 Juni 2013. Misi ini berusaha memahami proses fisis dasar di lingkungan antariksa mulai dari matahari sampai di bumi, planet-planet, dan seterusnya sampai di ruang antar bintang. Secara khusus, ia ber usaha menjawab pertanyaan “Bagaimana proses-proses variabilitas itu berlangsung di matahari?” dengan melihat bagaimana aliran konvektif di dalam matahari memengaruhi proses-proses fisis yang berlangsung di angkasa matahari.p
Interplanetary Magnetic Field (IMF) Oleh :
Visca Wellyanita Bidang Geomagnet dan Magnet Antariksa
Interplanetary magnetic field (IMF) atau yang biasa kita kenal sebagai medan magnet di ruang antar planet merupakan medan magnet matahari yang dibawa oleh angin matahari (solar wind) menuju ruang-ruang antar planet dari sistem tata surya kita. IMF merupakan bagian dari medan magnet matahari yang dibawa menuju ruang antar planet oleh angin matahari. Medan magnetik matahari tidak selamanya berada disekitar matahari itu sendiri. Angin matahari membawanya menuju solar sistem hingga menuju heliopause. Heliopause adalah tempat angin matahari datang dan berakhir dan tempat terjadinya tumbukan dengan medium antar bintang. Oleh karena itulah meng apa kita menyebut medan magnet matahari sebagai medan magnet di ruang antar planet (IMF). IMF berasal dari medan magnet terbuka matahari, yaitu daerah dengan garis medan muncul dari suatu daerah dan tidak dapat kembali ke daerah konjugasi melainkan terus meluas tak berhingga menuju ruang angkasa. Di sepanjang bidang ekuator magnetik matahari, arah yang berlawanan dengan garis medan terbuka bergerak secara paralel satu sama lain dan dipisahkan oleh lembaran tipis yang biasanya dikenal sebagai interplanetary current sheet (Gambar 2) atau lapisan pemisah antar ruang planet atau disebut juga sebagai heliospheric current sheet. Lapisan ini terpuntir dikarenakan rotasi matahari dan
Gambar 1. Garis medan magnet di ruang antar planet di ruang antara Matahari dan Bumi. (sumber: http://www.nasa.gov/ images/content/463951main_magnetosphere2_full.jpg)
sumbu magnetik dan bergelombang dikarenakan momen kuadropol dalam medan magnet matahari. (Gambar 2 halaman 6) Garis medan magnet di ruang antar planet dikatakan terperangkap pada plasma angin matahari. Seperti halnya angin matahari, IMF bergerak keluar mengikuti pola spiral atau diibaratkan seperti rok balerina. Pola spiral ini dikarenakan efek dari rotasi matahari. Seorang peneliti bernama J. W. Dungey membuat sebuah ilustrasi bagaimana plasma medan magnet matahari yang terbawa oleh angin matahari melintasi plasma di
magnetosfer bumi, sehing g a menyebabkan medan magnet matahari dan bumi ter-rekoneksi. Jika interplanetary magnetic field (IMF) berarah selatan seperti pada Gambar 3 (atas) maka garis gaya medan magnet bumi dan matahari akan terrekoneksi dan mengakibatkan badai geomagnet. Sedangkan apabila interplanetary magnetic field (IMF) berarah utara, maka rekoneksi antara medan magnet matahari dan medan magnet bumi tidak akan terjadi.p
Gambar 2. Interplanetary current sheet atau lapisan pemisah antar ruang planet. (sumber : htt p://pluto.space.swri.edu/ image/glossary/IMF.html)
Gambar 4. Model rekoneksi Dungey yang menerangkan tentang interaksi yang terjadi di ruang antara planet. Diilustrasikan dengan interaksi medan magnet matahari dengan medan magnet bumi. (Sumber : http://pluto.space.swri.edu/image/glossary/IMF .html )
Buletin Cuaca Antariksa | Oktober - Desember 2013
9
Gambar latar : http://wallpapersus.com/wp-content/uploads/2011/12/spaceearth.jpg
Anomali pada
Satelit LAPAN-TUBSAT
Oleh : Nayla Najati Bidang Teknologi Ruas Bumi Pusat Teknologi Satelit LAPAN
LAPAN-TUBSAT adalah satelit mikro yang memiliki misi video surveillance. Satelit ini berada pada orbit LEO (Low Earth Orbit) dengan ketinggian berada pada kisaran 630 km. Pada 10 Januari 2007 LAPANTUBSAT diluncurkan dari Dhawan Space Center , Sriharikota-India, hingga saat ini masih beroperasi. Ganguan yang terjadi pada beberapa perangkat satelit telah diamati sejak fase awal orbitnya. Gangguan ini berpengaruh pada kinerja sistem elektronik satelit. Pemantauan secara rutin perlu dilakukan, terhadap beberapa perangkat yang rentan terhadap gangguan. Cuaca antariksa menunjukkan kondisi di antariksa, yang meliputi kondisi matahari, angin surya, m a g n e t o s f e r, i o n o s f e r, d a n termosfer. Aktivitas matahari dapat mempengaruhi kinerja sistem elektronis pada satelit, seperti memori, mikroprosesor, atau hexfet transistor . Efek radiasi yang mengakibatkan kegagalan kinerja sistem elektronis sering disebut sebagai SEP (Single Event Phenomena). Kondisi ini mengakibatkan 3 kondisi yang berbeda pada komponen elektronik. Kondisi pertama dikenal sebagai SEU (Single Event Upset) yang tidak merusak bagian dari komponen atau meng gang gu kinerjanya, biasanya berupa bitflip. Kondisi berikutnya adalah SEL (Single Event Latch-up). Pada kondisi ini, komponen elektronik memiliki
10
Gambar 1. Satelit LAPAN-TUBSAT (sumber : www.lapanrb.org)
arus yang relatif besar bila dibandingkan dengan kondisi normal. Sedangkan kondisi ketiga dikenal sebagai SEB (Single-Event Burnout) yang dapat mengakibatkan perangkat mengalami kegagalan permanen. Contoh satelit yang mengalami anomali ini adalah Satelit UOSAT-2 diluncurkan pada tahun 1984 dengan ketinggian 700 km dan memiliki orbit sun-synchronous. Satelit ini mengalami SEU (Single Event Upsets) pada perangkat memori. Satelit LAPAN-TUBSAT juga mengalami kondisi anomali
Oktober - Desember 2013 | Buletin Cuaca Antariksa
tersebut. Pada LAPAN-TUBSAT ditemui kondisi SEU pada sistem memori PCDH (Power Control and Data Handling). Pada kondisi ini memori data long time telemetry meng alami per ubahan nilai, sehingga merusak validitas data tersebut. Kondisi ini tidak memerlukan tindakan, karena bersifat sementara. Selain itu kondisi SEL (Single Event Latch-up) juga dialami oleh PCDH dan sensor bintang satelit LAPAN-TUBSAT. Pada kondisi ini perangkat mengalami kondisi highcurrent. Kenaikan arus ini
Gambar 2. Long time telemetry yang mengalami SEU.
Gambar 3-1a. : Real time telemetry normal
menaikkan temperatur daerah/r uang disekitar nya. Pengaruh dari kenaikan temperatur bisa merusakkan perangkat itu sendiri maupun mempengaruhi kinerja perangkat yang berada di dekatnya. Untuk mengembalikan perangkat pada kondisi normal, maka suplai daya harus dimatikan ( turn-off ) kemudian dihidupkan kembali (turn-on). Operator satelit
Gambar 3-1b. : Real time telemetry pasca gangguan
LAPAN-TUBSAT melakukan tindakan ini bila dalam operasi pemantauan kesehatan satelit menemui kondisi SEL tersebut, untuk mencegah terjadinya kerusakan permanen pada PCDH satelit LAPAN-TUBSAT. Cuaca antariksa berpengaruh terhadap kondisi perangkat elektronik pada wahana antariksa, dalam hal ini satelit LAPAN-
TUBSAT. Anomali yang terjadi pada perangkat elektronis ini tidak dapat diprediksi, sehingga antisipasi harus dilakukan dengan pemilihan komponen dan perangkat yang sudah terbukti kinerjanya ketika berada di orbit (flight performance). p
Buletin Cuaca Antariksa | Oktober - Desember 2013
11
Aktivitas Matahari JUNI-AGUSTUS 2013 Tiada hari tanpa bintik matahari pada permukaan matahari selama bulan Juni-Agustus 2013, beberapa di antaranya memiliki konfigurasi magnet yang potensial menghasilkan flare kuat. Banyak terjadi peristiwa flare di matahari, dominasi flare kelas C dan banyak flare kelas M, beberapa di antaranya disertai oleh CME. Namun tak semua CME tersebut mengarah dan berdampak ke bumi. Tanggal 5 Juni pukul 09:12 UT, SOHO/LASCO C2 mendeteksi sebuah CME halo sebagian yang berasosiasi dengan sebuah flare LDE kelas M1.3 yang mencapai puncak pukul 08:57 UT di daerah aktif NOAA 1762 yang berkonfigurasi medan magnet fotosfer betagamma-delta. CME ini memiliki lebar sudut sekitar 200° dan laju sekitar 300 km/s, mengarah ke selatan dan tidak mencapai bumi. Sebuah flare M5.9 terjadi tanggal 7 Juni di daerah aktif yang sama, mencapai puncak pukul 22:49 UT dan berasosiasi dengan CME halo sebagian yang pertama kali dideteksi SOHO/LASCO C2 pukul 23:12 UT. CME ini memiliki lebar sudut sekitar 150° dan laju sekitar 700 km/s, mengarah ke selatan dan mencapai bumi tanggal 10 Juni. Tanggal 21 Juni terjadi flare M2.9 di NOAA 1777 yang berasosiasi deng an CME namun tidak berdampak pada geomagnet. Sebuah flare M2.9 lain terjadi di NOAA 1778 tanggal 23 Juni, mencapai puncak pukul 20:56 UT. Aktivitas matahari bulan Juli relatif lebih rendah dibandingkan dengan Juni walaupun masih terjadi banyak flare kelas C. Flare paling kuat selama bulan Juli adalah flare M1.5 yang terjadi tanggal 3 Juli, mencapai puncak pukul 07:08 UT. Tanggal 26
12
Oleh : Santi Sulistiani Bidang Matahari Dan Antariksa
Juli, dua buah filamen bererupsi di matahari. Erupsi pertama terlihat sebagai lengkungan magnet di tepi kuadran selatan-barat matahari. Filamen kedua yang menghubungkan NOAA 1800 dan 1805 bererupsi segera setelah yang pertama. Kedua ledakan tersebut melontarkan CME ke angkasa yang keduanya tidak mengarah ke bumi. Daerah aktif NOAA 1817 menghasilkan sebuah flare LDE kelas M1.4 yang mencapai puncak pukul 19:33 UT. Flare LDE ini disertai oleh CME yang relatif cepat (laju 1000 km/s) dan sebuah semburan radio tipe II. Tanggal 20 dan 21 Agustus diamati dua buah CME yang berasosiasi dengan erupsi filamen. Kedua CME ini tidak mengarah ke bumi. Flare LDE lain terjadi tanggal 30 Agustus yang juga disertai oleh CME dan semburan radio tipe II. Flare LDE kelas C8.3 ini berasal dari daerah aktif NOAA 1836 yang berlokasi di N13E43. Siklus matahari ke-24 adalah siklus matahari terlemah dalam 50 tahun terakhir. Fisikawan matahari dari Goddard Space Flight Center, Dean Pesnell, menyatakan bahwa siklus ke-24 berpuncak ganda dan puncak kedua belum terjadi. Siklus matahari y a n g l e m a h j u g a d i ke t a h u i menghasilkan flare yang sangat kuat. Badai matahari terkuat dalam sejarah, pada tahun 1859, terjadi dalam sebuah siklus matahari yang relatif rendah seperti ini. Kita masih perlu bersiap akan terjadinya peristiwa yang kuat walaupun aktivitas matahari masih rendah.p Sumber: spaceweather.com; sidc.oma.be
Oktober - Desember 2013 | Buletin Cuaca Antariksa
Prakiraan Bilangan Bintik Matahari Bulanan Periode September 2013 Agustus 2014 Bulan
Prediksi Bilangan Sunspot
September 2013
63.5
Oktober 2013
62.5
November 2013
61.5
Desember 2013
60.4
Januari 2014
59.3
Februari 2014
58.2
Maret 2014
57
April 2014
55,9
Mei 2014
54,8
Juni 2014
53.6
Juli 2014
52.5
Agustus 2014
51.4
Keterangan: Prediksi ini tidak memodelkan kemungkinan kemunculan dua puncak dalam satu siklus.
Gambar 1. Peristiwa erupsi filamen yang direkam oleh instrumen SDO tanggal 26 Juli 2013. (Sumber: Solar Dynamic Observatory)
Gambar 2. CME yang menyertai erupsi filamen tanggal 26 Juli 2013, dideteksi oleh SOHO/LASCO C3. (Sumber: Solar and Heliospheric Observatory)
Aktivitas Geomagnet Oleh :
Fitri Nuraeni Bidang Geomagnet dan Magnet Antariksa
Aktivitas geomagnet selama bulan Juni – awal September 2013 mengalami 8 kali badai geomagnet. Hal tersebut dapat dilihat dari plot indeks Dst pada gambar 1 sampai 3. Dari delapan badai magnet tersebut, badai tanggal 1 Juni 2013 merupakan badai besar yang menurunkan nilai Dst hingga mencapai nilai terendah 120 nT. Badai tersebut diawali dengan adanya SSC dan kemungkinan disebabkan adanya flare kelas M yang terjadi pada tanggal 31 Mei 2013. Variasi harian
pada saat terjadi badai hingga kondisi geomagnet normal kembali dapat dilihat pada gambar 4. Kemudian 6 badai berikutnya yang terjadi pada tanggal 7 dan 29 Juni 2013, 6 , 10 dan 14 Juli 2013, dan 27 Agustus 2013 termasuk dalam kategori badai moderate, dengan nilai Dst terendah berdasarkan urutan tanggalnya adalah -72 nT, -99 nT, 82 nT, -53 nT, -82 nT, dan -53 nT. Badai yang terjadi pada tanggal 4 Agustus 2013 termasuk badai dengan tingkat gangguan rendah. Ia hanya menurunkan nilai Dst sampai -37 nT. Badai yang terjadi pada tanggal 29 Juni bersifat gradual dan berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama juga didahului oleh SSC. Badai gradual dalam waktu yang cukup lama tersebut dapat disebabkan oleh munculnya beberapa kali radio burst tipe III dan
IV selama tanggal 28-29 Juni. Begitu pula untuk badai-badai geomagnet yang terjadi selama bulan Juli umumnya disebabkan oleh adanya burst tipe III dan IV yang sering terjadi selama bulan Juli. Aktivitas geomagnet pada bulan Agustus 2013 cenderung menurun. Terlihat dengan hanya terjadi 2 kali badai pada bulan tersebut, dengan gangguan yang tidak cukup besar dibandingkan badai-badai geomagnet yang terjadi pada bulan Juli. Badai pada tanggal 4 dan 27 A g u s t u s 2 0 1 3 ke mu n g k i n a n disebabkan oleh adanya radio burst tipe III. Kedua badai tersebut juga tidak diikuti oleh SC. Selanjutnya pada awal September 2013 aktivitas geomagnet belum memperlihatkan peningkatan, dapat dikatakan kondisi geomagnet masih tenang.p
Gambar 1. Indeks Dst bulan Juni 2013 memperlihatkan 3 kejadian badai magnet besar pada tanggal 1 Juni dan moderate pada tanggal 7 dan 29 Juni.
Gambar 2. Indeks Dst bulan Juli 2013 memperlihatkan 3 kejadian badai magnet moderate pada tanggal 6, 10 dan 14 Juli.
Gambar 3. Indeks Dst bulan Agustus 2013 memperlihatkan 2 kejadian badai magnet kecil pada tanggal 4 dan 27 Agustus.
Buletin Cuaca Antariksa | Oktober - Desember 2013
13
Indeks T Regional Indonesia Oktober 2013 – September 2014
Oleh :
Annis Siradj Mardiani Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi
Dari pengamatan jaringan stasiun ALE (Automatic Link Establishment) sirkit Watukosek – Bandung (WTKBDG) selama bulan Agustus 2013 dapat dilihat bahwa keberhasilan komunikasi cukup tinggi pada frekuensi 7, 10, 14 MHz, sedangkan keberhasilan komunikasi pada frekuensi 18 MHz umumnya terjadi pada waktu siang sampai sore hari. Namun pada sirkit Manado-Bandung (MDC-BDG) selama bulan Agustus 2013, dapat dilihat bahwa keberhasilan komunikasi pada frekuensi 18, 21, 25 dan 28 MHz cukup tinggi pada siang hingga sore hari
sedangkan pada dini hari sampai fajar, peluang keberhasilan komunikasi pada kanal frekuensi amatir sangat kecil. Sebagai acuan pemilihan frekuensi serta waktu komunikasi selama bulan Oktober –Desember 2013, operator dapat melihatnya pada buku prediksi frekuensi komunikasi HF triwulan IV – 2013 yang diterbitkan oleh PUSSAINSA LAPAN. Tabel di samping memuat prakiraan indeks T regional Indonesia periode Oktober 2013 – September 2014.¥
Th. 2013
Regional
81 79 76 74 71
Th. 2014
69 67 66 64 63 61 60
14
Oktober - Desember 2013 | Buletin Cuaca Antariksa
review
Cuaca Antariksa Oleh :
Rasdewita Kesumaningrum Bidang Matahari dan Antariksa
Pada rentang waktu Juni 2013 hingga September 2013, aktivitas matahari berada pada level rendah sampai menengah. Meskipun bermunculan daerah aktif di per mukaan matahari, namun bilangan bintik matahari sangat rendah dengan konfigurasi magnetik yang sederhana antara konfigurasi magnetik alpha atau beta, yaitu merupakan bintik dengan probabilitas kemunculan flare sangat rendah. Dengan rendahnya jumlah bintik dan konfigurasi magnetik yang tidak kompleks, sebagian besar flare yang terjadi adalah dengan kelas energi yang rendah antara lain kelas C dan B dan hanya ada beberapa flare kelas M. Salah satu daerah aktif yang cukup kompleks terjadi pada awal Juni yaitu daerah aktif NOAA 1762 dengan konfigurasi magnetik alphabeta-gama. Dari daerah aktif ini terjadi banyak flare kelas C dan beberapa kelas M. Flare dengan kuat energi menengah dari daerah aktf ini antara lain terjadi pada 31 Mei 2013
Gambar 1. Daerah aktif NOAA 1762 yang cukup kompleks dan menghasilkan banyak flare C dan beberapa flare kelas M (Sumber: SDO/AIA).
pukul 19:59 UT (M1.0), pada tanggal 05 Juni 2013 pukul 08:57 UT (M 1.3) dan flare kelas M5.9 pada tanggal 07 Juni 2013 pukul 22:49 UT. Semua flare bersumber dari daerah aktif AR1762 yang telah berada di barat piringan matahari. Dengan demikian terjadi kemungkinan timbul gangguan terhadap lingkungan bumi. Badai magnet yang cukup kuat mengikuti kemunculan flare dari daerah aktif NOAA 1762 ditandai penurunan indeks Dst yang terjadi tanggal 1 Juni 2013 dengan penurunan indeks Dst mencapai 125 nT dan indekas Kp +6 (merupakan badai besar) sebagai dampak dari peritiwa CME dan pada tanggal 6 Juni 2013 dengan nilai Dst terendah mencapai -70 nT pada pukul 23.00 UT dan indeks Kp 5+, merupakan kategori badai menengah. Pada lapisan ionosfer terindikasi penurunan foF2 dan TEC sehingga frekuensi HF yang dipantulkan oleh ionosfer pada pekan ini pun cenderung menurun. Aktivitas matahari yang sangat rendah terjadi pada pekan kedua Juni antara lain ditandai dengan kemunculan daerah aktif yang tidak bertahan lama, flare yang terjadi hanya kelas C dan terjadi fenomena prominensa tetapi tidak terjadi CME yang kuat. Tidak terdeteksi radio burst di seluruh observatorium di landas Bumi serta tidak terjadi peristiwa badai magnet. Namun sebaliknya pada lapisan ionosfer terjadi spread F tanggal 10 Juni 2013
pada pukul 00.15-05.30 LT, sehingga nilai foF2 berfluktuasi. Hal ini mengindikasikan ada gangguan ionosfer yang dapat mengganggu komunikasi radio HF pada saat yang sama. Aktivitas matahari menengah pada bulan Juni terjadi dengan kemunculan flare menengah kelas M2,9 tanggal 21 Juni 2013 pukul 03:16 UT dan 23 Juni 2013 pukul 20:56 UT yang berasal dari daerah aktif NOAA1777. Flare diikuti burst (semburan radio) tipe II dan tipe III mengindikasikan adanya peristiwa lontaran massa korona dan partikel energetik. Terjadi badai magnet pada level menengah (Dst -54 nT) tanggal 23 Juni 2013 dan peningkatan angin surya proton yang berlangsung selama 2 hari (22 dan 23 Juni 2013). Selain aktivitas flare yang diikuti burst, pada tanggal 25 Juni 2013 terpantau lubang korona yang luas dan menghadap Bumi yang meningkatkan kerapatan dan kecepatan angin matahari. Pada lapisan ionosfer pada 21 Juni 2013 dini hari terjadi fenomena spread F, sehing ga Frekuensi HF yang dipantulkan mengalami gangguan (terjadi fading), dan foF2, serta TEC pada saat yang sama berfluktuasi. Dalam rentang waktu Juni hingga Agustus 2013 terjadi juga beberapa fenomena cuaca antariksa menengah yang diikuti dengan badai geomagnet antara lain tanggal 29 Juni 2013 dengan indeks Dst mencapai -99 nT (indeks Kp 7), badai geomagnet tanggal 6-12 Juni 2013 dengan penurunan indeks Dst sebesar --82 nT (indeks Kp 4), badai geomagnet tanggal 10 Juli 2013 dengan indeks Dst -53 nT (indeks Kp 4) serta badai geomagnet tanggal 12-19 Juli 2013 dengan penurunan indeks Dst terendah mencapai -82 nT (indeks Kp 5). Runtutan badai geomagnet tersebut diakibatkan adanya flare, filamen, atau CME
Buletin Cuaca Antariksa | Oktober - Desember 2013
15
Gambar 2. Arah angin matahari yang berputar mengakibatkan fenomena yang berasal dari arah barat heliosfer matahari dapat mencapai lingkungan bumi. (Sumber: http://www.ucar.edu).
Gambar 2. Siklus matahari 24 dengan puncak berada pada tahun 2013 (ditandai dengan lingkaran). Garis merah merupakan prediksi, garis biru merupakan hasil pengamatan. (Sumber: http://www.swpc.noaa.gov/SolarCycle/).
yang mengarah ke Bumi serta diikuti oleh burst (semburan radio), yang terjadi dalam beberapa hari sebelum masing-masing kejadian badai tersebut. Di antara fenomena cuaca antariksa yang muncul akibat 16
aktivitas matahari yaitu badai geomagnet dan fluktuasi pada lapisan ionosfer, terjadi juga aktivitas matahari yang tidak mempengaruhi lingkungan Bumi. Aktivitas matahari ini antara lain munculnya flare pada tanggal
Oktober - Desember 2013 | Buletin Cuaca Antariksa
tanggal 19 Juli 2013 pukul 03:38 UT dan 25 Juli 2013 keduanya pada kelas C2.1 bersumber dari daerah aktif yang berbeda (NOAA 1793 dan NOAA 1800) yang diikuti oleh prominensa dan lontaran massa korona (CME) terjadi pada 22 Juli 2013, flare kelas M1.5 pada 12 Agustus 2013 pukul 10:41 UT dari daerah aktif AR1817 dan beberapa flare kelas C yang diikuti oleh terjadinya erupsi filament dan CME terdeteksi pada 14 Agustus 2013 pukul 22:24, flare kelas M3.3 pada 17 Agustus 2013 pukul 18:24 UT dari daerah aktif NOAA1818 yang dikuti dengan erupsi CME dan semburan radio tipe II yang meningkatkan intensitas angin surya. Erupsi filament dan CME juga terdeteksi pada 20 Agustus 2013, 27 dan 28 Agustus 2013. Serangkaian aktivitas matahari tersebut tidak menyebabkan adanya badai geomagnet dan gangguan pada lapisan ionosfer. Hal tersebut diakibatkan karena fenomena matahari tidak mengarah ke bumi sehing ga tidak menyebabkan gangguan pada lingkungan bumi. Pada tahun 2013 yang merupakan tahun dimana aktivitas matahari berada pada puncak siklus 21, bintik matahari bermunculan di permukaan matahari namun dengan bilangan bintik sangat rendah dan konfigurasi magnetik yang sederhana sehingga probabilitas terjadinya flare atau CME sangat rendah. Dengan demikian, dalam beberapa waktu kedepan dapat diduga bahwa kemunculan daerah aktif dengan jumlah bintik yang rendah ini hanya menimbulkan gangguan yang sangat rendah pada lingkungan matahari-bumi.¥ Referensi: http://www.nasa.gov http:// www.swpc.noaa.gov http://sidc.oma.be http://spaceweather.com http://www.solarmonitor.org
Gmbar : http://www.mrwallpaper.com/lazarus-nebula-wallpaper/
Single Event Latch-up pada Satelit LAPAN-TUBSAT
Oleh : Nayla Najati Bidang Teknologi Ruas Bumi Pusat Teknologi Satelit LAPAN
Gambar 1. Kerapatan partikel pada ketinggian 500 km (Sumber: http://image.gsfc.nasa.gov/poetry/tour/vanallen.html)
LAPAN-TUBSAT adalah satelit riset milik Indonesia berbentuk kotak berukuran 45cm x 45cm x 27cm dengan massa 56 kg. Sub sistem satelit ditempatkan di dua rak, yaitu bagian atas dan bagian bawah. Bagian bawah berisi sistem pengendalian sikap (3 buah reaction wheel , 3 buah giro laser serat optik, 1 buah sensor bintang, 3 koil magnetic coil, dan 3 buah sel surya GaAs), sistem telemetri dan telecommand, muatan kamera dengan fokus 1000 mm dan sistem transmisi S-Band. Sedangkan bagian atas berisi baterai, sistem kontrol catu daya dan pengaturan data (Power Control and Data Handling/PCDH), sebuah air coil, serta kamera resolusi rendah dengan fokus 50 mm. Satelit ini berada pada orbit rendah (Low Earth Orbit, LEO) yaitu pada ketinggian 630 km. Dalam sehari satelit ini beberapa kali
melewati ruang angkasa yang banyak mengandung partikel berenergi tinggi (South Atlantic Anomaly, SAA). Aktivitas matahari juga mengakibatkan ada beberapa kawasan di belahan bumi yang memiliki kerapatan partikel yang tinggi, yaitu daerah SAA dan kutub. Gambar 1 memperlihatkan daerah dengan tingkat kerapatan partikel pada keting gian 500 km berdasarkan garis lintang dan garis bujurnya. L A PA N - T U B S A T t e l a h beroperasi selama lebih dari 7 tahun, dalam kurun waktu tersebut ada perangkat satelit yang mengalami anomali yang dikenal sebagai SEL (Single Event Latch-up). Pada kondisi ini perangkat mengalami kondisi high-current. Saat terjadi SEL, arus yang mengalir relatif lebih besar, sehingga menaikkan temperatur daerah/ruang di sekitarnya.
Pengaruh dari kenaikan temperatur bisa merusakkan perangkat itu sendiri maupun mempengaruhi kinerja perangkat yang berada di dekatnya. Untuk mengembalikan perangkat pada kondisi normal, maka suplai daya harus dimatikan ( turn-off ), kemudian dihidupkan kembali (turn-on). Operator satelit LAPAN-TUBSAT melakukan tindakan ini bila dalam operasi pemantauan kesehatan satelit terjadi kondisi SEL tersebut. Pengamatan terhadap kejadian SEL pada satelit LAPAN-TUBSAT dilakukan pada rentang waktu Februari 2010 sd. sampai dengan Desember 2011 untuk mengetahui lokasi terjadinya kondisi tersebut. Selama proses pengamatan, tercatat 81 kejadian, dengan perincian 41 kejadian terjadi pada tahun 2010 dan 40 kejadian pada tahun 2011. Berdasarkan data tersebut, pada
Buletin Cuaca Antariksa | Oktober - Desember 2013
17
tahun 2010 tercatat 29 kejadian di South Atlantic Anomaly (SAA), 7 kejadian di Kutub Utara, dan 5 ke j a d i a n d i Ku t u b S e l a t a n . Sedangkan pada tahun 2011 dengan 40 kejadian, ada 26 kejadian di SAA, 5 kejadian di Kutub Utara, dan 9 kejadian di Kutub Selatan. Dari data SEL pada kurun waktu tersebut, lebih dari 68% (54 kejadian) berlokasi terjadi di SAA, sedangkan Kutub Utara dan Kutub Selatan memicu kejadian yang relatif sama, yaitu 15% (12 kejadian) dan 17% (14 kejadian). Hal ini sesuai dengan kondisi lingkungan antariksa, yaitu daerah SAA memiliki kerapatan partikel yang lebih besar bila dibandingkan dengan Kutub Utara dan Kutub Selatan. Kondisi SEL pada satelit LAPAN-TUBSAT mengakibatkan adanya prosedur operasi tertentu apabila kondisi tersebut terjadi. Operator LAPAN-TUBSAT di setiap stasiun bumi pengendali diharuskan memantau kondisi perangkat elektronik satelit secara rutin setiap hari. Bila ditemui kondisi yang tidak normal, oparator dapat seg era meng ambil tindakan, sehingga satelit LAPAN-TUBSAT dapat beroperasi dan menjalankan misinya dengan baik.¥
Gambar 2. Grafik frekuensi kejadian SEL berdasarkan lokasi terjadinya (jumlah)
Gmbar : http://www.mrwallpaper.com/lazarus-nebula-wallpaper/
18
Oktober - Desember 2013 | Buletin Cuaca Antariksa
kalender Oktober - Desember 2013 3 Oktober 2013
3 November 2013
3 Desember 2013
Oposisi Uranus
Bulan Baru
Bulan Baru
Bulan akan tepat berada di antara Bumi dan Matahari sehingga tidak tampak dari Bumi. Fase ini terjadi tepat pada pukul 12:50 UT.
Bulan akan tepat berada di antara Bumi dan Matahari sehingga tidak tampak dari Bumi. Fase ini terjadi tepat pada pukul 00:22 UT.
3 November 2013
13-14 Desember 2013
Gerhama Matahari Total dan Sebagian
Hujan Meteor Geminid
Planet biru-hijau ini akan mencapai jarak terdekatnya dengan Bumi dan akan mendapatkan sinar Matahari penuh dilihat dari Bumi. Saat ini merupakan waktu yang paling tepat untuk mengamati Uranus.
5 Oktober 2013 Bulan Baru Bulan akan tepat berada di antara Bumi dan Matahari sehingga tidak tampak dari Bumi. Fase ini terjadi tepat pada pukul 00:34 UT.
18 Oktober 2013 Bulan Purnama Bulan akan berada pada oposisi dengan Bumi dari Matahari dan akan tersinari secara sempurna oleh Matahari. Fase ini tepatnya terjadi pada pukul 23:38 UT.
18 Oktober 2013 Gerhana Bulan Penumbra Gerhana ini akan tampak hamper di seluruh dunia kecuali di Australia dan bagian paling timur Siberia.
Sebagian wilayah di Bumi mengalami gerhana matahari total dan sebagiannya mengalami gerhana sebagian. Gerhana ini akan diawali terjadi di Samudera Atlantik sebelah Pantai Timur Amerika Serikat melewati Samudera Atlantik dan berakhir di Afrika Tengah. Wilayah Indonesia tidak akan mengalami gerhana pada tanggal ini.
Hujan Meteor Orionid Hujan Meteor Orionids merupakan hujan meteor rata-rata dengan 20 meteor tampak setiap jamnya pada saat puncak. Lihatlah hujan meteor ini pada arah rasi Orion di langit setelah lewat tengah malam.
17 Desember 2013 Bulan Purnama
17 November 2013 Bulan Purnama Bulan akan berada pada oposisi dengan Bumi dari Matahari dan akan tersinari secara sempurna oleh Matahari. Fase ini tepatnya terjadi pada pukul 15:16 UT.
Bulan akan berada pada oposisi dengan Bumi dari Matahari dan akan tersinari secara sempurna oleh Matahari. Fase ini tepatnya terjadi pada pukul 09:28 UT.
21 Desember 2013 Solstice Desember
17-18 November 2013 21-22 Oktober 2013
Diyakini sebagai hujan meteor terbaik yang ada di langit karena menghasilkan lebih dari 60 meteor yang berwarna-warni setiap jamnya pada saat puncaknya. Hujan meteor ini terlihat baik di arah Timur setelah tengah malam pada arah rasi Gemini.
Hujan Meteor Leonid Hujan meteor Leonids merupakan salah satu hujan meteor terbaik dengan rata-rata 40 meteor per jamnya pada saat puncak. Lihatlah hujan meteor ini dari arah rasi Leo.
Terjadi pada pukul 17:11 UT. Matahari berada pada titik paling Selatan di langit dari Bumi. Ini adalah awal musim dingin (winter solstice) di belahan Bumi Utara dan awal musim panas (summer solstice) di belahan Bumi Selatan.
Sumber: www.seasky.org dan eclipse.nasa.gov Gmbar : http://www.mrwallpaper.com/lazarus-nebula-wallpaper/
Buletin Cuaca Antariksa | Oktober - Desember 2013
19
Vol.2 / No.4 Oktober - Desember 2013 11
2
4
3
5
JAWABAN TTS
Vol.3/No.1 Juli-September 2013 6
8
7
9
10 11 12 13
14
15 16
18
17
19
MENDATAR 1. CAVITY 3. KORONAGRAF 8. GELEMBUNGPLASMA 11. PI 13. CME 15. PERTURBASI 16. PROMINENSA 17. SSC 18. APHELIUM 19. NOAA1748 20. DEBRIS MENURUN 1. CIR 2. LEARMONTH 4. RADIATIONBELT 5. EQUINOX 6. MAGNETOPAUSE 7. VLF 8. GISTM 9. LEO 10. SID 12. GEOSTASIONER 14. SINTILASI
20
MENDATAR 1. Pancaran gelombang radio dari matahari yang tidak dapat menembus bumi 2. Sistem navigasi berbasis satelit 4. Pengukuran dan pelaporan informasi pada jarak yang jauh 6. Kegagalan sinkronisasi pada blok PLL akibat adanya fenomena sintilasi 9. Parameter keluaran menggunakan GPS untuk penelitian lapisan Ionosfer 10. Transmisi sinyal dari Space Segment ke Ground Segment 11. Kondisi yang dialami LAPAN-TUBSAT yang menyebabkan gangguan pada sensor bintang 12. Medan Magnet diruang antar planet 13. Transmisi sinyal dari Ground Segment ke Space Segment 16. Lokasi terjadinya tumbukan antara medan magnetik matahari dengan medium antar bintang 19. Satelit pengganti Ulysses 20. Misi satelit LAPAN-TUBSAT
MENURUN 1. Penyebab terjadinya IMF 3. Hubble of the Sun 5. Orbit satelit pada ketinggian sekitar 630 km 7. Daerah disekitar ekuator matahari tempat berasalanya angin matahari lambat 8. Konstelasi satelit navigasi milik China 9. Metode pencarian titik berdasarkan tiga referensi koordinat satelit 14. Perambatan gelombang radio 15. Pola garis medan magnet diruang antar planet 17. Salah satu perangkat pengamat lapisan ionosfer 18. Satelit pengamat matahari dengan misi utama pengamatan CME secara 3 dimensi
Gmbar : http://www.mrwallpaper.com/lazarus-nebula-wallpaper/