KETERKAITAN AKTIVITAS MATAHARI DENGAN VARIABILITAS IONOSFER DAN DAMPAKNYA PADA KOMUNIKASI RADIO DAN NAVIGASI BERBASIS SATELIT DI INDONESIA. Wilson Sinambela1, Tiar Dani1, Iyus Edy Rustandi1, Jalu Tejo Nogroho1, Buldan Muslim2 dan Aries Kurniawan2 . 1 Peneliti Matahari dan Antariksa, 2 Peneliti Ionosfer dan Telekomunikasi Pusat Pemanfaatan Sains dan Antariksa Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (L A P A N) Email:
[email protected] ABSTRAK Dalam makalah ini diselidiki keterkaitan jangka panjang antara aktivitas matahari dan parameter ionosfer di atas Indonesia berdasarkan data yang tersedia selama siklus matahari ke-23. Data jangka panjang frekuensi kritis lapisan F2 ionosfer (foF2) di SPD Tanjungsari (6O,54’24”S: 107O,24’34” T) selama periode (1997-2003), dan TEC di Bandung (6,20O S : 100,32O T) selama periode (1997-2006), diperoleh bahwa rata-rata bergerak 12-bulan foF2 dan TEC mempunyai korelasi yang erat dengan rata-rata bergerak 12 bulan bilangan sunspot (indeks R12). Untuk parameter foF2 Tanjungsari, koefisien korelasi , r foF2- R12 = 0, 94 (R2 = 0,9009), dan untuk TEC Bandung koefisien korelasi r TEC-R12 = 0, 86 (R2 = 0,7346). Keterkaitan jangka pendek dari aktivitas matahari diselidiki berdasarkan pengaruh flare matahari dan coronal mass ejection (CME) pada geomagnetik dan pada parameter ionosfer (foF2 Tsari dan TEC Bandung). Hasil menunjukkan bahwa flare dan CME mempengaruhi gangguan geomagnet yang menyebabkan badai geomagnet dan gangguan ionosfer yang menyebabkan badai ionosfer. Badai-badai ini bergantung kepada kekuatan flare sinar-X, tipe CME dan posisinya di matahari ketika terjadi di permukaan matahari. Badai geomagnet dan badai ionosfer ini pada gilirannya akan mengganggu komunikasi frekuensi tinggi (HF communication) dan navigasi berbasis satelit. Abstract In this paper we conducted long term relationship between solar activities and ionosphere parameter over Indonesia for 23th solar cycle. Using long term F2 ionosphere critical frequency layer data at SPD Tanjungsari (6O,54’24”S: 107O,24’34”E ) during 1997 – 2003 periods and Total Electron Content (TEC) at Bandung (6,20O S : 100,32O E) during 1997 – 2006 periods, we found that 12-month moving average of foF2 and TEC had strong correlation with sunspot number 12month moving average (R12 Index). For Tanjungsari foF2 parameter, coefficient correlation about 0.94 and for Bandung TEC about 0.86 Buku Publikasi Ilmiah LAPAN “Ionosfer dan aplikasinya” ISBN : 978 – 602 – 8564 – 05 – 2 Halaman 1 – 24 Januari 2009
For solar activities short-term relationship investigated based on effect of solar flare and Coronal Mass Ejection (CME) on geomagnetic and ionosphere parameter (TEC Bandung and foF2 Tanjungsari). We found that flare and CME cause geomagnetic disturbance and set geomagnetic storm. These also cause ionospheric disturbance and set ionospheric storm. These storm depends on X-flare strength, CME type, and it’s position on solar disk. These storm eventually disturbed High Frequency (HF) communication and satellite based navigation KATA KUNCI: Cuaca antariksa (Space weather) , aktivitas mathari, dan Variabilitas ionosfer, 1.PENDAHULUAN Keluaran matahari dalam semua bentuk seperti cahaya, angin surya dan partikel –partikel energetik tidak konstan, tetapi bervariasi baik terhadap waktu (detik sampai abad) maupun terhadap posisi di matahari, dan variasi ini disebut aktivitas matahari. Aktivitas matahari berlangsung secara periodik dengan perioda sekitar 11 tahun, yang dikenal sebagai siklus aktivitas matahari. Aktivitas matahari saling berinteraksi dan beriterferensi satu sama lain, menciptakan suatu sistem yang kompleks, dan frekuensinya bervariasi dengan waktu. Aktivitas matahari menyebabkan perubahan-perubahan besar plasma dan populasi partikel-partikel berenergi tinggi, dan perubahan-perubahan ini bertanggung jawab atas terjadinya Cuaca antariksa “space weather”. Cuaca antariksa terkait dengan kondisi dinamis di lingkungan antariksa, mulai dari matahari, angin surya, magnetosfer dan ionosfer, sekarang ini mendapat perhatian serius. Hal ini berkaitan dengan perkembangan teknologi yang ditempatkan di ruas angkasa maupun teknologi telekomunikasi yang memanfaatkan ionosfer sebagai pemantul radio. Seperti cuaca di bumi, di antariksa mengenal fenomena sejenis, seperti angin surya, badai magnetik,hujan meteor, serta “musim” matahari aktif dan matahari tenang. Fenomena yang terjadi di atmosfer bumi, terutama di lapisan magnetosfer dan ionosfer sangat erat kaitannya dengan aktivitas matahari seperti sunspot, flare matahari dan lontaran massa corona (Coronal Mass Ejection/CME). Flare matahari adalah ledakan sangat besar yang yang biasanya terjadi di sekitar sunspot, menghasilkan pancaran energi dan peristiwa proton (proton event) sangat besar.Pada saat matahari aktif, terjadi peningkatan energi matahari yang besar. Pertama, peningkatan intensitas radiasi sinar-X dan ekstrim ultra violet (EUV) matahari yang besar selama peristiwa flare, akan segera menyebabkan peningkatan kerapatan elektron pada seluruh lapisan ionosfer (lapisan D,E dan F). Karena fenomena di ionosfer ini waktunya hampir bersamaan dengan peristiwa aktivitas matahari, maka efeknya disebut efek langsung (immediately effect). Variasi kerapatan elektron dengan tiba-tiba ini berbeda untuk lintang yang berbeda, dan gangguan tiba-tiba pada ionosfer Buku Publikasi Ilmiah LAPAN “Ionosfer dan aplikasinya” ISBN : 978 – 602 – 8564 – 05 – 2 Halaman 1 – 24 Januari 2009
secara umum disebut gangguan ionosferik tiba-tiba (Sudden Ionospheric Disturbances / SID). Pertambahan kerapatan elektron di daerah E dan F ionosfer sebagai akibat peningkatan sinar-X dan EUV matahari selama flare terjadi telah diamati oleh Donelly (1969), Tome dan Wagner (1971). Dari hasil pengamatan mereka, tidak semua aktivitas flare menyebabkan SID, tetapi hanya flare-flare yang besar dengan Importansi 3, dan 3+ yang dapat menyebabkan SID, atau hanya flare sinar-X kelaskelas M dan X. Dalam aplikasi komunikasi radio frekuensi tinggi (Hight Frequency, HF), sinyal-sinyal radio melalui lapisan ionosfer dipantulkan oleh daerah ionosfer yang tertinggi (daerah F ionosfer). Peningkatan proses ionosasi di lapisan ionosfer karena aktivitas matahari (flare), akan menimbulkan penyerapan sinyal yang besar di daerah D ionosfer, Akibatnya, transmisi gelombang pendek akan hilang tiba-tiba, yang dikenal sebagai gangguan Short-Wave Fadeout (SWF). Fenomena fadeout ini mengikuti pola dari aktivitas flare, dimana waktu mulainya hampir bersamaan dengan waktu mulainya flare di matahari. Ciri-ciri penting dari SWF adalah bahwa sirkuit HF yang terpengaruh hanya jika pemantulan sinyal oleh lapisan ionosfer yang berada dibelahan bumi siang hari, sedangkan di belahan bumi malam tidak terpengaruh. Kedua, peningkatan intensitas radiasi corpuscular selama peristiwa flare dan CME, akan mempengaruhi lapisan ionosfer setelah beberapa puluh menit sampai beberapa hari, sehingga gangguan yang terjadi pada lapisan ionosfer terjadi belakangan (delayed effect). Pada fenomena ini antara lain terjadinya absorbsi gelombang radio di daerah kutub (Polar Black Out), badai ionosfer (Ionospheric Storms), dan badai magnet (Magnetic Storms). Arus partikel- partikel dari corpuscular selama flare terjadi, dapat memecah medan magnet bumi secara kuat dalam selang waktu yang sangat singkat, menyebabkan gangguan yang dikenal sebagai badai magnet (Magnetic Storms) dan selanjutnya akan memicu timbulnya badai ionosfer (ionospheric storm) melalui sistem kopling magnetosfer-ionosfer-atmosfer (Tsurutani et al. 1990). Gangguan magnet meningkat 1-3 hari setelah peristiwa flare, dan sangat kuat pada daerah lintang tinggi. Setiap peristiwa badai magnet, biasanya diikuti oleh perubahan mendadak dari intensitas radiasi matahari pada rentang gelombang radio yang dikenal sebagai semburan (burst) radio. Semburan radio tipe II berkaitan erat dengan badai magnet, dan merupakan indikator adanya perambatan gelombang kejut (shock waves). Badai magnet. yang disertai oleh semburan radio tipe II akan mengganggu lapisan kritis F2 (foF2), sehingga semburan radio tipe II ini dapat dijadikan sebagai indikator terjadinya gangguan ionosfer.Badai ionosfer (Ionospheric Storms) akibat aktivitas matahari dapat berlangsung dalam beberapa hari. Selama terjadi badai ionosfer, sistem komunikasi radio HF melalui lapisan ionosfer akan terganggu. Sinyal-sinyal pada frekuensi tinggi (3–30MHz) turun sampai tingkat yang sangat rendah, dan bahkan tidak muncul sampai beberapa hari, sehingga belahan bumi terang dan gelap terpengaruh. Pengaruh flare pada daerah ionosfer juga menimbulkan pertambahan Total Electron Content (Sudden Increace of Total Electron Content/SITEC) yang Buku Publikasi Ilmiah LAPAN “Ionosfer dan aplikasinya” ISBN : 978 – 602 – 8564 – 05 – 2 Halaman 1 – 24 Januari 2009
bergantung pada lintang (Thome, G.D and L.S.Wagner, 1971). Lintang rendah menunjukkan suatu pertambahan TEC yang lebih besar dibandingkan dengan lintang tinggi. Variasi TEC akan mempengaruhi sinyal Global Positioning System (GPS). Seperti telah diketahui bahwa pengetahuan TEC ini sangat berguna untuk berbagai keperluan, seperti ketelitian penentuan posisi dalam sistem navigasi berbasis satelit, telekomunikasi dan aplikasi ruang angkasa lainnya. Peristiwa CME juga memicu timbulnya badai geomagnet dan badai ionosfer (Gonzalez et al., 1994). CME merupakan gerakan partikel-partikel bermuatan yang dipancarkan dari matahari melalui lubang corona (Coronal-Holes), dimana arus listrik yang ditimbulkan mampu merubah karakteristik lapisan ionosfer terutama lapisan ionosfer teringgi (daerah F2 ionosfer). Fenomena ini akan mengakibatkan perubahan f0F2 atau Maximum Usable Frequency (MUF) berupa badai ionosfer. Berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut, makalah akan difokuskan pada upaya penelitian keterkaitan aktivitas matahari dengan variabilitas ionosfer di Indonesia dan dampaknya pada komunikasi-radio HF, dan navigasi berbasis satelit dan memodelkannya secara empirik. Kombinasi metoda empirik dan variasi serta gangguan ionosfer jangka pendek dan jangka panjang digunakan untuk merumuskan mekanisme fisis keterkaitan aktivitas matahari dan variabilitas ionosfer, sehingga dapat diketahui dampaknya pada komunikasi radio dan navigasi berbasis satelit di Indonesia. 2.DATA DAN METODA 2-1. Data Data aktivitas matahari yang digunakan dalam penelitian ini antara lain ; bilangan sunspot (R), fluks radio F10,7 Cm, Flare, CME yang diunduh dari situs: Sementara data parameter ionosfer (http://sgd.ngdc.noaa.gov/SOLAR_DATA/. adalah, frekuensi kritis lapisan F2 (foF2) ionosfer Tanjungsari O O (6 ,54’24”S:107 ,24’34”T), dalam selang tahun (1997-2003), dan data TEC Bandung (6,54OS;107,20O T). Sedangkan data geomagnet, adalah indeks geomagnet Dst, yang diunduh dari situs: http://www.ngdc.noaa.gov/stp/GEOMAG 2-2. Metoda Untuk mengetahui adanya keterkaitan aktivitas matahari dengan variabilitas ionosfer, maka metoda yang dilakukan adalah, Analisis keterkaitan jangka panjang aktivitas matahari pada variabilitas ionosfer.Pertama, data aktivitas matahari (bilangan sunspot, dan /atau F10,7 rata-rata bulanan dan data parameter ionosfer (foF2 dan TEC jaman) dibandingkan setelah terlebih dahulu di muluskan dengan dengan menggunakan rata-rata bergerak 12 bulan selama siklus matahari ke -23 (1996-2007 ). Setelah itu,dilakukan interpretasi dan analisis keterkaitannya, serta Buku Publikasi Ilmiah LAPAN “Ionosfer dan aplikasinya” ISBN : 978 – 602 – 8564 – 05 – 2 Halaman 1 – 24 Januari 2009
analisis dampaknya pada komunikasi radio HF. Kedua, Analisis efek aktivitas matahari jangka pendek pada parameter ionosfer. Untuk itu dipilih peristiwaperistiwa aktivitas matahari yang besar yang terkait dengan peristiwa flare dan CME yang besar diunduh dari ; ftp://ftp.ngdc.noaa.gov/STP/SOLAR_DATA/Satellite_ENVIRONMENT/PARTICLES/p_eve nts.lst ). Setelah itu dilakukan analisis gangguan Geomagnet (Geomagnetic
Disturbances) yang disebabkan oleh flare dan CME (Indek Dst jaman). Kemudian dilakukan analisis gangguan ionosferik (Ionospheric Disturbances) karena badai geomagnet sebagai akibat dari peristiwa flare dan CME tersebut, dengan menghitung deviasi foF2 dan TEC . Deviasi ∆ foF2 dan atau ∆ TEC ditentukan dengan persamaan; ∆foF2 = foF2obs - foF2med ∆TEC = TECobs - TECmed
(3-1)
dengan Δ(foF2) dan Δ (TEC) masing-masing menyatakan deviasi foF2 dan deviasi TEC. Sealanjutnya lakukan analisis dan interpretasi badai geomagnet dan badai ionosfer sebagai akibat peristiwa flare dan CME yang pada gilirannya mengganggu sistem komunikasi frekuensi tinggi (HF) dan sisstem navigasi berbasis satelit.Terakhir, dilakukan analisis perbandingan hasil observasi foF2 Tsari dengan hasil prediksi dari Model-model yang ada, antara lain Model IRI dan MSILRI 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3-1: Analisis Keterkaitan Aktivitas Matahari jangka Panjang Bilangan Sunspot dengan Fluks radio matahari (F10,7 cm) Selama Siklus matahari ke-23 Emisi radio dari matahari pada panjang gelombang 10,7 centimeter (dinamakan "F10,7 cm ") sering digunakan sebagai proxy dari intensitas sinar –X dan / atau sinar ultra violet (UV) sebagai sumber pengionisasi kandungan ionosfer. Untuk itu dilakukan analisis korelasi jangka panjang antara fluks radio matahari (F10,7cm) dan bilangan sunspot (R) dengan menggunakan rata-rata bergerak 12 bulan (sering disebut indeks R12) selama siklus matahari ke-23 (1996-2007). Indeks R12 didefinisikan sebagai berikut;
R12
1 n 5 Rk 0.5Rn6 Rn6 .......... .......... .......... .......... ....(3 1) 12 n5
Gambar 3-1, menunjukkan hubungan antara F10,7 cm dan bilangan sunspot (R12) selama siklus matahari ke-23 (1996-2007). Dari Gambar 3-1 tampak dengan Buku Publikasi Ilmiah LAPAN “Ionosfer dan aplikasinya” ISBN : 978 – 602 – 8564 – 05 – 2 Halaman 1 – 24 Januari 2009
jelas kaitan yang sangat kuat antara fluks radio F10,7 cm dan Bilangan sunspot (R 12) dalam selang 1996-2007, dengan persamaan-persamaan; Untuk tipe linier ; (F10,7)12 = 0, 8459 (R12) + 61.63SFU (tipe linier) dengan koefisien korelasi, R2 = 0,9992, r = 0,1 dan , (3-2) Untuk tipe polinom ; (F10,7)12 = 0, 0009 (R12)2 + 0, 728 (R) +63,7SFU dengan koefisien korelasi R2 = 0, 1 200 2000.25, 120.82
B ilng an s uns pot (R 12)
120
180
2001.92, 114.61
100
160
80
140
60
120 R12 (F10.7)12
40
100
20 0 1996
F luks radio F 10,7 (MHz )12
140
80
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
60 2007
T ahun
180 y = 0.8459x + 61.029 R2 = 0.9992
160
Fluks Radio F10,7 Cm
Fluks Radio F10,7 Cm
180
140 120 100 80
y = 0.0009x 2 + 0.728x + 63.7 R2 = 1
160 140 120 100 80
60 0
20
40
60
80
Bilangan Sunpot (R12)
100
120
140
60 0
20
40
60 80 Bilangan Sunpot (R12)
100
120
140
Gambar 3-1: Panel atas; Plot rata-rata bergerak-12 bulan (atas) antara Bilangan Sunspot (R12) dan Fluks Radio matahari (F10,7 Cm)12. Panel bawah; Korelasi rata-rata bergerak-12 bulannya, masing-masing dengan koefisien korelasi R2 = 0,9992 (kiri, tipe linier), dan R2 = 0,1 (kanan tipe polinomial orde dua ), dengan koefisien r ≈ 1
Dari persamaan (3-2) tampak dengan jelas bahwa ketika matahari relatif tenang (atau R12 = 0), diperoleh F10,7 cm adalah 63, 7 SFU (solar fluks unit).Artinya walaupun matahari dalam keadaan tenang, secara kontinu memancarkan semburan radio sebesar 63,7 solar fluks unit. Karena radiasi sinar-X dan EUV matahari tidak dapat diamati dari permukaan bumi, dan datanya belum tersedia dalam deret waktu yang panjang, maka selanjutnya dalam analisis keterkaitan variabilitas ionosfer dengan aktivitas matahari, biasanya digunakan sebagai masukan (input) untuk prediksi dan peramalan parameter ionosfer adalah aktivitas matahari dengan indek R12. 3-2. Analisis keterkaitan jangka panjang aktivitas matahari (indeks R12) dengan foF2 ionosfer Tanjungsari dan TEC Bandung. Buku Publikasi Ilmiah LAPAN “Ionosfer dan aplikasinya” ISBN : 978 – 602 – 8564 – 05 – 2 Halaman 1 – 24 Januari 2009
Dengan menggunakan persaman (3-1) dilakukan analisis keterkaitan jangka panjang aktivitas matahari dengan indek R12 dengan data frekuensi kritis foF2 Tanjungsari (1997-2003) dan TEC Bandung (1997-2006). Hasilnya ditunjukkan seperti dalam grafik dalam Gambar 3-2 dan Gambar 3-3. Dari Gambar 3-2 (panel atas) tampak dengan jelas bahwa data foF2Tanjungsari bervariasi cenderung mengikuti pola bilangan sunspot R 12 . Hasil analisis korelasi jangka panjang menunjukkan keterakaitan yang erat antara aktivitas matahari (R12) dan foF2 Tanjungsari dari tahun 1997-2003, seperti yang ditunjukan dalam panel bawah dalam Gambar 3-2, dengan persamaan regresi ; 1)Untuk tipe linier ; foF2TS = 0,0541 (R12) + 5,8854 dengan koefisien korelasi, R2 = 0.8795, dan r = 0,94 dan (3-3) 2) Untuk tipe polinom ; foF2TS = - 0.0003(R12)2+0,1039 (R12) + 4,191 (R2 = 0.901) 140
13
120
12
R12
10 80 9 60 40 20 1997
1998
R12
8
f oF2.12
7
1999
2000
2001
2002
2003
foF2 (MHz)
11
100
6 2004
Tahun
13 Korelasi R12 dan foF2 Tanjungsari 1997-2003 Korelasi R12 dan foF2 Tsari 1997-2003
12
frekuensi kritis foF2 (MHz)
frekuensi kritis foF2 (MHz)
13
11 10 y = 0.0541x + 5.8554 R2 = 0.8795 r = 0.94
9 8 7
12 11 10 9
y = -0.0003x 2 + 0.1039x + 4.191 R2 = 0.9009
8 7 6
6 20
30
40
50
60
70
80
90
100
Bilangan Sunspot (R12)
110
120
130
20
30
40
50
60
70
80
90
100
110
120
130
Bilangan Sunspot (R12)
Gambar 3-2: Korelasi antara aktivitas matahari (R12) dan foF2 Tanjungsari dalam kurun waktu 1997-2003,berturut-turut untuk tipe linier dan polinom, masing-masing dengan koefisien korelasi, R2 = 0,8795 (tipe linier), dan r = 0, 94 dan polinom; R2 = 0,901 untuk pangkat 2.
Dari koefisien-koefisien korelasi R2 yang diperoleh, tampak bahwa korelasi tipe polinom pangkat dua relatif lebih baik daripada korelasi tipe linier Gambar 3-3 menunjukkan kecenderungan jangka panjang TEC Bandung dibandingkan dengan rata-rata bergerak -12 bulan bilangan sunspot (R12), dan korelasi untuk tipe linier dan tipe polinom dalam kurun waktu (1997-2007).
Buku Publikasi Ilmiah LAPAN “Ionosfer dan aplikasinya” ISBN : 978 – 602 – 8564 – 05 – 2 Halaman 1 – 24 Januari 2009
120
120
110
110 R12 dan TEC12 1997-2006
90
100 90
80
80
70 70
60
60
50
R12
40
TEC12
50 40
30 20 1997
TEC (TECU)
B.Sunspt (R12)
100
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
30 2007
2006
Tahun
120 Korelasi R12 dan TEC 12
110
120
Korelasi R12 dan TEC 12
100
90
TEC12 (TECU)
TEC12 (TECU)
100
80 70 60 50
y = 0.476x + 32.154 R2 = 0.7346 r =0, 86
40 30
80 60 40
y = 0.0081x 2 - 0.6996x + 66.131 R2 = 0.8542
20 0
20 20
30
40
50
60
70
80
90
100
110
Bilangan Sunspot (R12)
120
20
30
40
50
60
70
80
90
100
110
120
Bilangan Sunspot (R12)
Gambar 3-3: Korelasi antara aktivitas matahari (R12) dan TEC Bandung dalam kurun waktu 1997-2007 untuk tipe linier dan polinom, masing-masing dengan koefisien korelasi, R 2 = 0,7346 (tipe linier), dan r = 0, 86, serta R2 = 0,8542 untuk pangkat 2(tipe polinom).
Dari analisis korelasi seperti yang ditunjukan dalam Gambar 3-3 (panel bawah) tampak dengan jelas bahwa data TEC Bandung mempunyai korelasi yang kuat dengan aktivitas matahari R12 dengan persamaan regresi ; 1) Untuk tipe linier ; TEC = 0.476 (R12) +32,154 dengan koefisien korelasi R2 = 0.7346 , dan r = 0, 86 , dan (3-4) 2) Untuk tipe polinom orde dua ; TEC = 0.0081(R12)2 - 0,6996(R12) + 66,131 Dengan koefisien korelasi R2 = 0.8542) Dari koefisien korelasi R2 yang diperoleh, tampak bahwa korelasi tipe polinom relatif lebih baik dari tipe linier. Karena R12 mempunyai hubungan yang erat dengan fluks radio F10, 7 Cm, sedangkan F10,7 cm dipakai sebagai proxy dari radiasi sinar -X dan EUV matahari yang langsung menyebabkan proses ionisasi di lapisan ionosfer. Jadi pertambahan dan pengurangan kerapatan elektron di lapisan ionosfer terkait erat dengan tingkat aktivitas matahari yang diwakili oleh R 12. Oleh karena indeks R12 mempunyai prediktibilitas tinggi, maka R12 digunakan sebagai input untuk model Ionosfer. 3-3 . Perbandingan antara data observasi foF2 Tanjungsari prediksi Model Ionosfer IRI dan MSILRI.
dan data hasil
Data observasi foF2 dari SPD Tsari dibandingkan dengan data prediksi model –model ionosfer yang sudah ada, antara lain model IRI -2007 dan Model Sederhana Buku Publikasi Ilmiah LAPAN “Ionosfer dan aplikasinya” ISBN : 978 – 602 – 8564 – 05 – 2 Halaman 1 – 24 Januari 2009
Ionosfer Lintang Rendah Indonesia (MSILRI). Dengan maksud untuk mengetahui apakah hasil prediksi parameter ionosfer dari model-model tersebut mempunyai kesesuaian yang baik dengan hasil pengamatan pengamatan foF2 Tanjungsari atau sebaliknya mempunyai kesesuaian baik dengan hasil prediksi dari Model IRI dan MSILRI. IRI adalah model empiris ionosfer global yang menghasilkan standar model ionosfer berdasarkan lokasi, waktu dan tanggal yng diberikan. IRI menghitung kerapatan elektron, temperatur elektron, temperatur dan komposisi ion pada ketinggian (50 s/d 2000 ) km dan juga elektron konten pada kondisi magnetik tenang. Data harian foF2 Model IRI-207 diunduh dari http://omniweb.gsfc.nasa.gov/vitmo/iri_vitmo.html dengan input data ; tahun, bulan, hari, koordinat geografis linatnag dan bujur serta waktu lokal. Data tersebut selanjtnya diolah, dicari median bulanan untuk setiap jamnya serta rata-rata bulanannya. Model sederhana Ionosfer Lintang Rendah Indonesia (MSILRI) adalah modifikasi dari Simplified Ionosferik Regional Model (SIRM) yang awalnya dikembangkan untuk pemodelan di Eropa dan daerah lintang tengah. Model tersebut didasarkan kepada ekspansi Fourier dari sekumpulan data hasil pengamatan ionosonda vertikal yang letaknya berjauhan dan periode pengamatannnya berbeda. Kemudian Buldan dkk (2002) memodifikasi SIRM sehingga diperloleh MSILRI. Sama dengan Model IRI, input dari MSILRI adalah ; Tahun, bulan, dan hari, koordinat geografis lintang dan bujur . Koordinat geografis lintang dan bujur, input opsional adalah R12, dan ouput; waktu lokal dan foF2 (MHz) Gambar 3-4 menunjukkan perbandingan rata-rata bergerak 12 bulan dari hasil perhitungan median bulanan foF2 Stasiun Tanjungsari (foF2-TS), model IRI-2007 (foF2-IRI) dan model MSILRI (foF2-MSILRI) terhadap bilangan sunspot (R12). Dari Gambar (3-4), tampak bahwa keempatnya mempunyai pola yang sama, yang menunjukkan adanya efek aktivitas matahari pada variasi ionosfer pada berbagai lintang.
Gambar 3-4. Perbandingan rata-rata bergerak 12 bulan dari median bulanan foF2 Tanjungsari (foF2-TS), model IRI-2007 (foF2-IRI) dan model MSILRI (foF2-MSILRI) terhadap bilangan sunspot R12 selama selang waktu 1998-2003
Buku Publikasi Ilmiah LAPAN “Ionosfer dan aplikasinya” ISBN : 978 – 602 – 8564 – 05 – 2 Halaman 1 – 24 Januari 2009
Selain itu tampak dengan jelas bahwa median bulanan model MSILRI (foF2-MSILRI) lebih mendekati pola dari data median bulanan foF2 Tanjungsari (foF2-TS), dan data bilangan sunspot (R), dibandingkan perhitungan median bulanan foF2 hasil IRI. Gambar (3-5), Gambar (3-6), Gambar (3-7) dan (Gambar 3-8) masing –masing menunjukkan keterkaitan antara data hasil pengamatan median bulanan foF2 Tanjungsari dan perhitungan model foF2 IRI dan foF2 MSILRI pada bulan-bulan Maret 2003 (Spring equinox), bulan Juni 2003 (Summer solstice), bulan September 2002 (Autumnal equinox) dan pada bulan Desember 2003 (summer equinox). Untuk mengetahui berapa besar keterkaitan antara hasil pengamatan median bulanan dengan hasil perhitungan median bulanan oleh model MSILRI dan model IRI untuk berbagai posisi matahari dicari korelasinya. Persamaan korelasi dan koefisien korelasinya ditunjukkan dalam setiap grafik pada gambar (panel kanan dalam setiap gambar). Tabel 1 menunjukkan hasil-hasil analisis perhitungan untuk persamaan korelasi, dan koefisien korelasi dari data median bulanan foF2 Tanjungsari dan median bulanan foF2 model MSILRI dan IRI, ketika matahari berda pada bulanbulan Maret, Juni, September dan Desember 2003 seperti yang dilakukan dalam Gambar 3-5 sampai dengan Gambar 3-8.
Gambar 3-5. Plot data median foF2 Sta. Tanjungsari, MSILRI dan IRI dan (kiri), dan korelasi antara median bulanan foF2 MSILRI dan IRI terhadap data median bulanan foF2 Tanjungsari (kanan ) untuk bulan Maret 2003
Gambar 3-6. Plot data median foF2 Tsr, IRI dan MSILRI (kiri) dan korelasi antara median bulanan foF2 model IRI dan MSILRI terhadap data median bulanan foF2 Tanjungsari (kanan ) untuk bulan Juni 2003 Buku Publikasi Ilmiah LAPAN “Ionosfer dan aplikasinya” ISBN : 978 – 602 – 8564 – 05 – 2 Halaman 1 – 24 Januari 2009
Gambar 3-7. Plot median data foF2 Tsr, IRI dan MSILRI (kiri) dan korelasi antara median bulanan foF2 model IRI dan MSILRI terhadap data median bulanan foF2 Tanjungsari (kanan ) untuk bulan September 2002
Gambar 3-8. Plot median data foF2 Tsr, IRI dan MSILRI (kiri) dan korelasi antara median bulanan foF2 model IRI dan MSILRI terhadap data median bulanan foF2 Tanjungsari (kanan ) untuk bulan Desember 2003 Tabel1: Persamaan korelasi, dan koefisien korelasi serta dari data median bulanan foF2 Tanjungsari dan median bulanan foF2 model MSILRI an dan IRI, ketika matahari berda pada bulan-bulan Maret, Juni, September dan Desember 2003 seperti yang dilakukan dalam Gambar 3-5 sampai dengan Gambar 3-8. foF2 IRI Kasus
persamaan Garis (MHZ)
Buku Publikasi Ilmiah LAPAN “Ionosfer dan aplikasinya” ISBN : 978 – 602 – 8564 – 05 – 2 Halaman 1 – 24 Januari 2009
koefisie n korelasi
foF2 MSILRI koefisie persamaan n Garis (MHz) korelasi
Maret 2003 (spring Y = 0.765x + equinox) 2.377 Juni 2003 (summer Y = 0.683x + solstice) 2.083 September 2002 Y = 0.942x (autumnal equinox) 0.273 Desember 2003 (winter Y = 0.93x + solstice) 0.793
0.92 0.93 0.86 0.94
Y = 0.668x + 2.707 Y = 0.581x + 2.856 Y = 0.675x + 2.222 Y = 0.669x + 1.951
0.99 0.97 0.98 0.98
Dari Gambar 3-4 dan Tabel 1 tampak dengan jelas bahwa foF2 hasil model MSIRLI lebih mendekati data median bulanan foF2 Tanjungsari dibandingkan dengan data hasil perhitungan medaian bulanan foF2 oleh model IRI-2007. Oleh karena itu untuk prediksi parameter ionosfer foF2 dan TEC satu bulan ke depan Model MSILRI sudah cukup baik untuk lintang rendah seperti Indonesia 3-4. Analisis Efek Flare dan CME pada geomagnetik, foF2 dan TEC Analisis efek flare dan CME terhadap geomagnet dan parameter ionosfer digunakan data flare dan CME yang berpangaruh pada lingkungan Bumi, diunduh dari : ftp://ftp.ngdc.noaa.gov/STP/SOLAR_DATA/Satellite_ENVIRONMENT/PARTICLE /p_events.1st. Untuk itu dilakukan plotting grafik antara gangguan geomagnet dengan indeks Dst dan deviasi foF2 dan TEC terhadap median bulanannya. Karena banyaknya Flare dan CME selama tahun 1997-2003, dipilih data Flare dan CME disekitar maksimum aktivitas matahari ke 23 yaitu pada tahun 2000 sampai dengan tahun 2003. Dalam hal ini dipilih beberapa kasus efek flare dan CME terhadap medan geomagnet dan foF2 Tanjungsari, TEC Bandung, yang pada gilirannya mengganggu komunikasi radio HF dan navigasi berbasis satelit 3-4-1. Efek Flare dan CME 4 April 2000 pada foF2 Tanjungsari dan TEC Bandung. Gambar (3-9) menujukkan plot grafik antara Indeks Dst dan Deviasi foF2 Tanjungsari dan plot antara indeks Dst dengan deviasi TEC Bandung dalam selang dari 3 –9 April 2000 dikaitkan dengan flare dan WCME tanggal 4 April 2000.
Buku Publikasi Ilmiah LAPAN “Ionosfer dan aplikasinya” ISBN : 978 – 602 – 8564 – 05 – 2 Halaman 1 – 24 Januari 2009
0
0
12
0
12
-350
Jam (UT)
-15 9/4 -20 0
6/4
12
5/4
0
4/4
0, -288 13, -17 7/4 8/4 12
3/4
22, -287
12
Dev TEC
-300
-400
-10
Dst
Deviasi TEC (TECU)
-250
0
-10
-5 -200
0
19, -4.67 D… 0, -288 Dst 0 12 0 12 0 12 0 12 0 12 0 12 0 12
0
-150
12
-200
5
-100
12
-5
10
-50 Indeks Dst (nT)
0
Plot Deviasi TEC dan Dst dari 3-9 April 2000 17, -15
0
Flare C dan WCME Daerah Aktif 8933 Pada 4 0 April 2000 Pukul 15:41 UT (3 - 9 April 2000)
Dst (nT)
Dev. foF2 (MHz)
5
Waktu (jam UT)
Gambar 3-9 : Panel kiri, plot variasi indeks geomagnetik Dst dengan deviasi foF2 Tsari dalam selang 3-9 April 2000 terkait dengan flare pd 4 April 2000, kelas C9/2F, pukul 1541 UT, berasal dari daerah aktif AR.8933, dengan posisi N16 W66, dan panel kanan
adalah variasi Dst dengan deviasi TEC Bandung. Dari gambar (3-9), tampak bahwa data indeks Dst geomagnet dari 3-9 April 2000, bervariasi dalam kisaran (-15 s/d -288 ) nT, dan berkurang secara drastis yang mencapai puncak minimum Dst -288 nT, merupakan badai geomagnet sangat kuat pada 7 April 2000, pukul 24.00 UT yang terkait dengan flare 4 April 2000, C9/3B, pukul 15.41 UT, sekitar 60 jam setelah flare. Dilihat dari ciri badai geomagnetnya, badai badai Geomagnet ini termasuk badai geomagnet Suddent Commencement (SC), karena fase awalnya dicirikan dengan kenaikan mendadak dan sesaat, fase utamanya berkurang secara drastis yang mencapai puncak minimum yang tinggi, kemudian diikuti oleh fase pemulihan secara berangsur-angsur. SC adalah gangguan geomagnet yang disebabkan oleh kenaikan arus magnetopaus karena kompressi mendadak di magnetosfer oleh tekanan dinamik angin surya dan diperkuat oleh IMF (Interplanetary Magnetic Field). Variasi Dst kembali berangsur-angsur pulih sampai normal pada 9 April 2000. Flare yang disertai WCME pada tanggal 4 April 2000 pukul 15:41 UT langsung berdampak pada ionosfer dengan menaikkan deviasi foF2 = +3 MHz dan menurun maksimum pada tanggal 6 April 2000, pukul 19:00 UT dengan deviasi foF2 sebesar -4,67 MHz. Jelas ini sangat mengganggu bagi komunikasi frekuensi tinggi (HF). Demikian juga, TEC mengalami deviasi sebesar (+ 6 s/d -17) TECU (panel kanan). Deviasi TEC dengan puncak minimum senilai Δ TEC = -17 TECU pada 7 April 2000, 13 jam setelah flare terjadi. Jadi kesalahan posisi terbesar sebagai akibat flare dan CME tanggal 4 April 2000 adalah 0,163 x 17 = 2,77 meter. 3-4-2. Efek Flare dan CME 14 Juli 2000 pada foF2 TSR dan TEC Bandung Gambar (3-10) menujukkan plot grafik antara indek Dst dan deviasi foF2, dan indek Dst dengan deviasi TEC dalam selang dari 13 –19 Juli 2000 dikaitkan dengan flare, kelas X5/ 3B, dan HCME ,14 Juli 2000 (dikenal sebagai Bastille Day)
Buku Publikasi Ilmiah LAPAN “Ionosfer dan aplikasinya” ISBN : 978 – 602 – 8564 – 05 – 2 Halaman 1 – 24 Januari 2009
0
0
-200 -250 -300
1, -301 14, -8.3
0
12 10 8 6 4 2 0 -2 -4 -6 -8 -10 -12
12
0
12
10, 9.46 19/7 18/7
17/7 0
0
16/7 12
0
12
15/7
14/7 0
13/7
-400
12
8, -10.0
-350
12
0, -301 0 12 0 12 0 12 0 12 0 12 0 12 0 12 13/7 14/7 15/7 16/7 17/7 18/7 19/7-400 -10 Jam (UT)
-150
0
D… D… -300
Dst Dev TEC
-100
12
-200 11, -4.04
Plot Deviasi TEC dan Dst dari 13-19 Juli 2000 15, 7 10, 9.46
-50
-100
0
10, 50
50
Deviasi TEC (TECU)
100
Indeks Dst (nT)
Flare X dan HALO CME Daerah Aktif 9077 Pada 14 Juli 2000 Pukul 10:24 UT (13 - 19 Juli 2000)
Dst (nT)
Deviasi foF2 (MHz)
10
Waktu (jam ke)
Gambar 3-10 : Panel kiri, plot indek geomagnet Dst dengan deviasi foF2 Tsari dalam selang 13-19 Juli 2000 terkait dengan flare pd 14 Juli 2000, kelas X5/3B, pukul 1024 UT, dan HCME, pukul 1054 UT berasal dari AR.9077, posisi N22 W07, dan p anel kanan
adalah variasi Dst dengan deviasi TEC Bandung . Dari gambar (3-10), tampak bahwa data indeks geomagnet Dst dari 13-19 Juli 2000, bervariasi dalam kisaran (+ 7 s/d -301 ) nT, dan berkurang secara drastis, mencapai puncak minimum Dst = -301 nT, merupakan badai geomagnet ekstrim pada 15 Juli 2000, pukul 24.00 UT yang terkait dengan flare 14 Juli 2000 (Bastille Day) , kelas X5/3B, pukul 1024 UT, sekitar 38 jam setelah flare. Dilihat dari ciri badai geomagnetiknya, badai badai Geomagnet ini termasuk badai geomagnet Suddent Commencement (SC), Variasi Dst kembali berangsur-angsur pulih sampai normal pada 18-19 Juli 2000. Flare yang disertai HCME pada tanggal 14 Juli ini langsung berdampak pada ionosfer, deviasi foF2 berkurang yang mencapai minimumnya pada tanggal 16 Juli pukul 11:00 UT sebesar - 4,04 MHz, 11 jam setelah badai geomagnet maksimum terjadi pada tanggal 15 Juli pukul 00:00 UT. Jelas ini sangat mengganggu bagi komunikasi yang menggunakan frekuensi tinggi (HF). Demikian juga, TEC mengalami deviasi sebesar (+ 9,46 s/d -9,46) TECU (panel kanan) . Deviasi TEC dengan puncak minimum senilai Δ TEC = -9,46 TECU pada 18 Juli 2000, akan menyebabkan kesalahan posisi terbesar sebagai akibat flare dan CME adalah 0,163 x 9,46 = 1,54 meter. Pada 14 Juli 2000 langsung terjadi badai ionosfer positif, diikuti oleh badai ionosfer positif pada 15 Juli 2000, dan selanjutnya pada 16 Juli 2000, dan pada 18 dan 19 Juli 2000 kembali terjadi badai ionosfer negatif. 3-4-3. Efek Flare dan CME 12 September 2000 pada foF2 TSari dan TEC Bandung Gambar (3-11) menujukkan plot grafik antara indeks Dst dan deviasi foF2, dan indeks Dst dengan deviasi TEC dalam selang dari 11 –23 September 2000 dikaitkan dengan flare, dan HCME 12 September 2000.
Buku Publikasi Ilmiah LAPAN “Ionosfer dan aplikasinya” ISBN : 978 – 602 – 8564 – 05 – 2 Halaman 1 – 24 Januari 2009
0
6
-50
19, -73
-100
0 -150
-10 -20
16/9 17/9
18/9 19/9 20/9 21/9 22/9 23/9
0 12 0 12 0 12 0 12 0 12 0 12 0 12 0 12 0 12 0 12 0 12 0 12 0 12
11/9 12/9 13/9 14/9 15/9
-200
Dst
11, -27.45
14, -30.44
-30 -40
DEV
Waktu (Jam UT)
DEV foF2 (MHz)
11, -34
23, -201
50 17, 5.61
4 2
0 -50
19, -73
-100
0 -150
-2 -4
-200
DEV foF2 16, -4.35
Dst
Indeks Dst (nT)
8
Indeks Dst (nT)
DEV TEC (TECU)
10
50
19, 28
9, 27.8
30 20
Efek Flare 12 Sept 2000 pd foF2
Plot dst dan DEV TEC dari 11-23 Sept 2003 19, 28
40
15, -4.59
23, -201
14, -5.95
-250
-6
-300
-8 11/9 12/9 13/9 14/9 15/9 16/9 17/9 18/9 19/9 20/9 21/9 22/9 23/9 0 12 0 12 0 12 0 12 0 12 0 12 0 12 0 12 0 12 0 12 0 12 0 12 0 12 Jam (UT)
13, -4.99
-250 -300
Gambar 3-11 : Panel kiri, plot variasi indeks geomagnet Dst dengan deviasi foF2 Tsari dalam selang 11-23 September 2000 terkait dengan flare pd 12 September 2000, kelas M1/2N, pukul 1213 UT, dan HCME, pukul 1331 UT , dengan posisi S17 W07, dan panel kanan adalah variasi Dst dengan deviasi TEC Bandung .
Dari gambar (3-11), tampak bahwa data indeks Dst geomagnet dari 11-23 September 2000, bervariasi dalam kisaran (+ 28 s/d -201 ) nT, dan berkurang secara drastis, mencapai puncak minimum Dst = -201 nT, merupakan badai geomagnetik sangat kuat pada 17 September 2000, pukul 23.00 UT yang terkait dengan flare 12 September 2000, kelas M1/2N, pukul 1213 UT, sekitar 5 ½ hari setelah flare. Dilihat dari ciri badai geomagnetiknya, badai badai Geomagnet ini termasuk badai geomagnetik Suddent Commencement (SC). Variasi Dst kembali berangsur-angsur pulih sampai normal pada 19-23 September 2000. Flare yang disertai HCME pada tanggal 12 Sepetember ini langsung berdampak pada foF2 dengan deviasi sebesar 4.35 MHz pada pukul 16:00 UT tetapi tidak menimbulkan badai geomagnet. Sedangkan flare dan HCME pada tanggal 15 dan 16 September langsung terjadi blackout pada lapisan foF2 dan gangguan terus terjadi hingga tanggal 23 September 2000. Demikian juga, TEC mengalami deviasi sebesar (+ 12,25 s/d -30, 44) TECU (panel kanan). Deviasi TEC dengan puncak minimum senilai Δ TEC = -30,44 TECU pada 18 Sepetember 2000, dengan kesalahan posisi terbesar sebagai akibat flare dan CME adalah 0,163 x -30,44 = 4, 96 meter. Badai ionosfer negatif terjadi pada 18 September 2000, 15 jam setelah badai geomagnetik maksimum terjadi pada 17 September 2000 3-4-4. Efek Flare dan CME 29 Maret 2001 dan Flare dan CME 3 April 2001 pada foF2 Tanjungsari dan TEC Bandung Gambar (3-12) menujukkan plot grafik antara indek Dst dan deviasi foF2, dan indek Dst dengan deviasi TEC dalam selang dari 28 Maret –9 April 2001 dikaitkan dengan flare, kelas X1/ 1N dan HCME , 29 Maret 2001, dan flare, kelas X20, dan NWCME , 3 April 2001. Dari gambar (3-12), tampak bahwa data indek geomagnet Dst berkurang secara drastis yang mencapai puncak minimum Dst -387 nT Buku Publikasi Ilmiah LAPAN “Ionosfer dan aplikasinya” ISBN : 978 – 602 – 8564 – 05 – 2 Halaman 1 – 24 Januari 2009
(badai geomagnetik ekstrim) pada 31 Maret 2001, pukul 08.00 UT yang terkait dengan flare 29 Maret 2001, X1/1N, pukul 1015 UT, sekitar 45,45 jam setelah flare. Dilihat dari ciri badai geomagnetiknya, badai geomagnetik ini termasuk badai geomagnetik Suddent Commencement (SC). Deviasi TEC dan Dst dari 28 Maret-9 April 2001
4 -100
2 0
-200
-2
21, -284 8, -387
-6 28/3 29/3
-300
Dev foF2
-4
Ds t
-400
15, -6.4
30/3 31/3 1/4
2/4
3/4
4/4
5/4
6/4
7/4
8/4
-500 0 12 0 12 0 12 0 12 0 12 0 12 0 12 0 12 0 12 0 12 0 12 0 12 0 12 J am (UT )
100 0, 41.4 0
30
-100
DEV TEC Dst
20
-200 21, -284
10 0
9/4
-8
3, 26
-10
-300
8, -387 28/3 29/3 30/3
31/3
17, -4.08 1/4 2/4
Indeks Dst (nT)
0
40 In d eks D s t (n T )
D ev fo F 2 (MH z )
50
Dev TEC (TECU)
3, 26
6
100
-400 3/4
4/4
5/4 6/4
7/4
8/4
9/4
-500
0 12 0 12 0 12 0 12 0 12 0 12 0 12 0 12 0 12 0 12 0 12 0 12 0 12
Flare X dan HC ME Pada 29 Mare t 2001, 10.15 UT (28 Mare t - 9 A pril 2001) 8
Waktu (Jam UT)
Gambar 3-12 : Panel atas, plot variasi indek geomagnetik Dst dengan deviasi foF2 Tsari dalam selang 28 Maret -9 April 2001 terkait dengan flare pada 29 Maret 2001, X1/1N, pukul 1015 UT, dan HCME, pukul 10261 UT berasal AR (9393), posisi N24 W12, flare X20 , pukul 2151 UT, NWCME, pukul 2200 UT, dan panel bawah adalah variasi Dst dengan deviasi TEC Bandung .
Variasi Dst kembali berangsur-angsur pulih sampai normal pada 2-4 April 2001. Flare dan HCME tanggal 29 Maret 2001 berdampak pada foF2, tetapi tidak sampai menyebabkan gangguan (<-2 MHz). Badai geomagnetik pada tanggal 31 Maret, pukul 8:00 UT sebesar maksimum -387 nT, diikuti deviasi foF2 maksimum 6,4 MHz pada pukul 15:00UT. Deviasi sebesar - 6,4 MHz akan menyebabkan gangguan pada komunikasi frekuensi tinggi (HF). Sedangkan flare tanggal 2 April 2001 tidak menyebabkan badai geomagnetik walaupun flare yang terjadi sangat kuat (Kelas X-20). Demikian juga, TEC mengalami deviasi sebesar (+ 41,4 s/d -4, 1) TECU (panel kanan). Deviasi TEC dengan puncak maksimum senilai Δ TEC = -41,4 TECU pada 1 April 2001, dengan kesalahan posisi terbesar sebagai akibat flare dan CME adalah 0,163 x 41,4 = 6, 75 meter. 3-4-5. Efek Flare dan CME 10 April 2001 dan Flare dan CME 15 April 2001 pada foF2 Tanjunsari dan TEC Bandung Gambar (3-13) menujukkan plot grafik antara Indeks Dst dan deviasi foF2, dan indeks Dst dengan deviasi TEC dalam selang dari 9 –17 April 2001 dikaitkan dengan flare, X2/ 3B dan HCME , 10 April , dan flare, X14/2B, dan WCME , 15 April 2001.
Buku Publikasi Ilmiah LAPAN “Ionosfer dan aplikasinya” ISBN : 978 – 602 – 8564 – 05 – 2 Halaman 1 – 24 Januari 2009
Plot Deviasi TEC dan indeks Dst dari 9-17 April 2001 15, -2
25
-5 -200
Deviasi TEC (TECU)
5
-150
-15
-250
20, -18.0 23, -271
Dst
0
17/4
-35
12
0
16/4 12
0
15/4 12
0
14/4 12
0
12
0
0
Dev TEC
12
0
-350
-25 13, -25.9 12/4 13/4
11/4
10/4 12
9/4
12
-300
0
3, -8.72 D… 9/4 10/4 11/4 12/4 14/4 15/4 16/4 -20 13/4 -500 17/4 0 12 0 12 0 12 0 12Jam 0 12(UT) 0 12 0 12 0 12 0 12 0
15
-100
12
23, -271
11, 17.5
-50
Dst (nT)
0
0
0 Flare X dan HALO CME Daerah Aktif 9415 Pada 10 April 2001 Pukul 5:26 UT (9 - 17 April 2001)
Indeks Dst (nT)
Deviasi foF2 (MHz)
20
Waktu (jam ke)
Gambar 3-13 : Panel kiri, plot geomagnetik Dst dengan deviasi foF2 Tsari dalam selang 917 April 2001 terkait dengan flare, 10 April 2001, X2/3B, pukul 0526 UT, dan HCME, pukul 0530 UT berasal dari AR 9415 , posisi S23W09, dan flare X14/2B , pukul 1350 UT, WCME, pukul 1430 UT, dan panel kanan adalah variasi Dst dengan deviasi TEC Bandung .
Dari gambar (3-13), tampak bahwa indek geomagnet Dst berkurang secara drastis yang mencapai puncak minimum Dst = - 271 nT (badai geomagnet sangat kuat) pada 11 April 2001, pukul 23.00 UT, terkait dengan flare 10 April 2001, X2/3B, pukul 0526UT, sekitar 30 jam setelah flare. Badai geomagnet ini adalah Suddent Commencement (SC), dan Dst kembali berangsur-angsur pulih sampai normal pada 13 April 2001. Flare dan HCME, tanggal 10 April 2001 langsung berdampak pada foF2 dengan terjadinya blackout hingga tanggal 13 April dan sempat tercatat mencapai -8.72 MHz pada tanggal 12 April pukul 3:00 UT. Sedangkan flare tanggal 15 April 2001 tidak menyebabkan badai geomagnetik walaupun flare yang terjadi sangat kuat (kelas X14/2B). Ini disebabkan oleh sumbernya berada pada tepi barat piringan matahari (S20W85), sehingga energi yang dilontarkan tidak langsung mengarah ke Bumi Demikian juga, TEC mengalami deviasi sebesar (+ 16,6 s/d -24, 8) TECU (panel kanan\). Deviasi TEC dengan puncak maksimum senilai Δ TEC = -24,8 TECU pada 12 April 2001, akan menyebabkan kesalahan posisi maksimum sebagai akibat flare dan CME adalah 0,163 x 24,8 = 4,04 meter. 3-4-6. Efek Flare dan CME 24 September 2001 pada foF2 TSR dan TEC Bandung Gambar (3-14) menujukkan plot grafik antara Indeks Dst dan deviasi foF2, dan indeks Dst dengan deviasi TEC dalam selang dari 22 –30 September 2001 dikaitkan dengan flare, X2/ 2B dan HCME , 24 September 2001. Dari gambar (314), tampak bahwa data indek geomagnet Dst berkurang secara drastis yang mencapai puncak minimum Dst = -102 nT (badai geomagnetik kuat) pada 26 September 2001, pukul 01.00 UT, terkait dengan flare 24 September 2001, X2/2B, pukul 1038 UT, sekitar 37 jam setelah flare. Variasi medan geomagnet Dst kembali berangsur-angsur pulih sampai normal pada 27 September 2001. Sebelum terjadi flare pada 24 Buku Publikasi Ilmiah LAPAN “Ionosfer dan aplikasinya” ISBN : 978 – 602 – 8564 – 05 – 2 Halaman 1 – 24 Januari 2009
September, badai geomagnet terjadi pada 23 September 2001, pukul 19.00 UT, dengan Dst = -72 nT (badai geomagnet sedang).
0
15
-20 10, -31
10
-40
5
-60 19, -72
0 -5
-80 -100
1, -102
12
0
30/9
0
0
29/9 12
-120 28/9 12
0
12
0
12
25/9 0
24/9
10, -10.11 26/9 27/9
12
23/9
0
22/9 0
0
-15
12
-10
-200
20 Indeks Dst (nT)
20
40 6, 26.48
DEV TEC Dst
12
1, -102
22/9 23/9 24/9 25/9 7, -37 27/9 28/9 29/9 -20 26/9 030/9 12 0 12 0 12 0 12Jam 0 12(UT) 0 12 0 12 0 12 0 12
21, 14
25
0 D…
Deviasi TEC dan Dst dari 22-30 septem ber 2001
30
12
0
200
Dst (nT)
Flare X dan HALO CME Pada 24 September 2001 Pukul 10:38 UT (22 - 30 September 2001)
DEV TEC (TECU)
Deviasi foF2 (MHz)
20
-140
Waktu (Jam UT)
Gambar 3-14 : Panel kiri , plot geomagnet Dst dengan deviasi foF2 Tsari dalam selang 2230 September 2001terkait dengan flare, 24 September 2001, X2/2B, pukul 1038 UT, dan HCME, pukul 1030 UT berasal dari AR 9635, posisi S16 E23, dan panel kanan adalah variasi Dst dengan deviasi TEC Bandung .
Flare dan HCME pada tanggal 24 September 2001 langsung berdampak blackout pada penerimaan data foF2 Tanjungsari hingga dini hari esoknya dan mencapai maksimum pada tanggal 26 September pukul 7:00 UT sebesar -3.7 MHz. Demikian juga, TEC mengalami deviasi sebesar (+ 17,1 s/d -10, 1) TECU (panel bawah). Deviasi TEC dengan puncak maksimum senilai Δ TEC = 17,1 TECU pada 25 September 2001, akan menyebabkan kesalahan posisi terbesar sebagai akibat flare dan CME adalah 0,163 x 17,1 = 2, 7 meter. Deviasi TEC sebesar 17, 1 TECU terjadi waktunya hampir bersamaan dengan kenaikan mendadak dari indeks Dst pada 25 September sekitar pukul 18.00 UT 3-5-7. Efek Flare dan CME 19 Oktober dan Flare dan CME 22 Oktober 2001 pada foF2 Tanjungsari Gambar (3-15) menujukkan plot grafik antara Indeks Dst dan deviasi foF2 dalam selang dari 18 –25 Oktober 2001 dikaitkan dengan flare, X1/2B dan HCME , 19 Oktober 2001, dan flare, X 1/2B, SECME, 22 Oktober 2001
Buku Publikasi Ilmiah LAPAN “Ionosfer dan aplikasinya” ISBN : 978 – 602 – 8564 – 05 – 2 Halaman 1 – 24 Januari 2009
6
Flare dan HALO CME Pada 19 Oktober 2001 Pukul 16:30 UT (18 - 25 Oktober 2001)
Deviasi foF2 (MHz)
4
50 0
2
Dst (nT)
-50
0
-100
-2 -4
Devi… Dst
17, -3.55
21, -187 18/10 19/10 20/10 21/10 22/10 -6 25/10 0 23/10 12 0 12 24/10 0 12 0 12 0 12 0 12 0 12 0 12 Jam (UT)
-150 -200
Gambar 3-15 : Plot geomagnetik Dst dengan deviasi foF2 Tsari dalam selang 18-25 Oktober 2001 terkait dengan flare, 19 Oktober 2001, X1/2B, pukul 16,30 UT, dan HCME, pukul 1650 UT berasal dari AR 9661, posisi N15 W29, dan flare, 22 Oktober 2001, X1/2B, dan SE CME berasal dari AR 9642, dengan posisi S18E16.
Dari gambar (3-15), tampak bahwa data indeks geomagnetik Dst berkurang secara drastis yang mencapai puncak minimum Dst -187 nT (badai geomagnetik kuat) pada 21 Oktober 2001, pukul 21.00 UT, terkait dengan flare 19 Oktober 2001, X1/2B, pukul 1630 UT, sekitar 52,30 jam setelah flare. Badai geomagnetik ini adalah tipe Suddent Commencement (SC), dan Dst kembali berangsur-angsur pulih sampai normal pada 25 Oktober 2001. Flare dan HCME pada tanggal 19 Oktober 2001 langsung berdampak pada ionosfer hingga mencapai maksimum pada tanggal 21 Oktober pukul 17:00 UT dengan deviasi foF2 sebesar -3,5 MHz, yang waktu terjadinya hampir bersamaan dengan waktu badai geomagnetic terjadi pada pukul 21:00 UT. Sedangkan flare dan SECME menyebabkan badai geomagnetik dengan Dst maksimum – 175 nT pada 22 Oktober, pukul 24.00 UT
3-4-8. Efek Flare dan CME 10 Januari dan Flare dan CME 15 Januari 2002 pada foF2 Tanjungsari Gambar (3-16) menujukkan plot grafik antara Indeks Dst dan deviasi foF2 dalam selang dari 9 –20 Januari 2002 dikaitkan dengan flare, C9 dan ECME , 10 Januari 2002, dan flare, M4, dan HCME, 15 Januari 2002. Dari gambar (3-16, tampak bahwa data indeks geomagnetik Dst berkurang secara drastis yang mencapai puncak minimum Dst -71 nT (badai geomagnetik sedang ) pada 11 Januari 2002, pukul 05.00 UT, terkait dengan flare 10 Januari 2002, C9, pukul 20,25 UT, sekitar 11 jam setelah flare.
Buku Publikasi Ilmiah LAPAN “Ionosfer dan aplikasinya” ISBN : 978 – 602 – 8564 – 05 – 2 Halaman 1 – 24 Januari 2009
Deviasi foF2 (MHz)
4
Flare C dan ECME Pada 10 Januari 2002 Pukul 20:25 serta Flare M dan HALO CME Pada 15 Januari 2002 Pukul 06:27 UT (9 - 20 Januari Deviasi 2002) foF2
50
2 Dst (nT)
0
0
-2
-50 5, -71
15, -2.8 12, -2.635 11/1 12/1 13/1
15, -3.48 9/1 10/1 14/1 15/1 16/1 17/1 18/1 -4 19/1 20/1 0 12 0 12 0 12 0 12 0 12 0 12 0 12 0 12 0 12 0 12 0 12 0 12 Jam (UT)
-100
Gambar 3-16 : Plot geomagnetik Dst dengan deviasi foF2 Tsari dalam selang 9-20 Januari 2002 terkait dengan flare, 10 Januari 2002, C9, pukul 20.25 UT, dan ECME, pukul 17.54 UT dengan posisi E limb , dan flare, 15 Januari 2002, M4, dan HCME , dengan posisi W limb .
Indeks Dst kembali berangsur-angsur pulih sampai normal mulai tanggal 12 Januari 2002. Flare dan ECME pada tanggal 10 Januari 2002 menyebabkan badai ionosfer positif foF2 dengan kenaikan hingga +2 MHz pada keesokan harinya pukul 9:00 UT dan medan magnet relatif tidak terganggu. Gangguan pada foF2 berlanjut hingga maksimum pada tanggal 14 Januari pukul 15:00 UT sebesar -3,48 MHz. Demikian juga untuk flare dan HCME tanggal 15 Januari 2002 langsung menyebabkan gangguan pada foF2 ionosfer, tetapi tidak menyebabkan gangguan pada geomanetik . 3-4-9. Efek Flare dan CME 17 April dan Flare dan CME 21 April 2002 pada foF2 Tanjungsari Gambar (3-17) menujukkan plot grafik antara indek Dst dan deviasi foF2 dalam selang dari 16 –26 April 2002 dikaitkan dengan flare, kelas M2/2N dan HCME, 17 April 2002, dan flare, kelas X1/ 1F dan HCME, 21 April 2002. Dari Gambar (3-17), tampak bahwa data indek geomagnet berkurang Dst secara drastis, yang mencapai puncak minimum berturut-turut menyebabkan badai geomagnet pertama pada 18 April 2002 dengan nilai Dst -127 nT (badai geomagnetik kuat), pukul 07.00 UT.
Buku Publikasi Ilmiah LAPAN “Ionosfer dan aplikasinya” ISBN : 978 – 602 – 8564 – 05 – 2 Halaman 1 – 24 Januari 2009
Flare M dan X dan HALO CME Pada 17 dan 21 April 2002 (16-26 April 2002)
50 0
5
-50
Dst (nT)
Deviasi foF2 (MHz)
10
0
-100 7, -127
6, -148 21, -2.83
15, -3.69
Deviasi 16, -5.88 foF2 16, 3.86 16/4 17/4 18/4 19/4 20/4 21/4 22/4 -10 23/4 24/4 25/4 26/4 0 12 0 12 0 12 0 12 0 12 0 12 0 12 0 12 0 12 0 12 0 12 Jam (UT) -5
-150 -200
Gambar 3-17 : Plot geomagnetik Dst dengan deviasi foF2 Tsari dalam selang 16-26 April 2002 terkait dengan flare, 17 April 2002, M2/2N, pukul 08.24 UT, dan HCME, pukul 08.26 UT bersal dari AR 9906, posisi S14W34 , dan flare, 21 April 2002, X1/1F, dan HCME , dengan berasal dari daerah aktif yang sama dengan posisi S14W8 .
Badai geomagnetik kedua pada 19 April 2002,dengan Dst = -127 nT, 16.00 UT, dan badai geomagnet ke tiga pada 20 April 2002, dengan Dst = -148 nT pada pukul 06.00 UT, terkait dengan flare 17 April 2002, M2/2N, pukul 08,24 UT, sekitar 22,30 jam setelah flare untuk kejadian badai geomagnet pertama. Indek Dst kembali berangsur-angsur pulih sampai normal mulai tanggal 23 April 2002. Flare dan HCME pada tanggal 17 April 2002 memberikan badai positif di ionosfer dengan menaikkan deviasi foF2 sebesar +6 MHz dalam rentang 5 jam dan kemudian menjadi badai negatif hingga mencapai minimumnya pada tanggal 19 April pukul 16:00 UT sebesar -5,88 MHz. Untuk flare dan HCME pada tanggal 21 April 2002 langsung menekan foF2 sebesar -2,83 MHz, dan mencapai maksimum 2 hari kemudian pada 23 April pukul 15:00 UT sebesar -3,69 MHz, tetapi flare dan HCME pada 21 April 2002 tidak menyebabkan gangguan pada medan geomagnet. 3-4-10. Efek Flare dan CME 28 dan 31 Mei 2003 pada foF2 Tanjungsari dan TEC Bandung Gambar (3-18) menujukkan plot grafik antara indek geomagnet Dst dan deviasi foF2, dan indeks Dst dengan deviasi TEC dalam selang dari 27 Mei-5 Juni 2003 dikaitkan dengan flare kelas X3/ 2B dan HCME , 28 Mei 2003, dan flare kelas M9/2B, WCME pada 31 Mei 2003.
Buku Publikasi Ilmiah LAPAN “Ionosfer dan aplikasinya” ISBN : 978 – 602 – 8564 – 05 – 2 Halaman 1 – 24 Januari 2009
10
5/6
0 12 0 12 0 12 0 12 0 12 0 12 0 12 0 12 0 12 0 12 J am (UT )
-150
-25
27/5
28/5
29/5
-130 2/6
3/6
4/6
5/6 0
4/6
-150
12
3/6
0
2/6
12
1/6
-110
0
31/5
11, -15.89 2, -131 11, -20.44 30/5 31/5 1/6
9, -16.71
12
30/5
-20
0
29/5
-130
12
28/5
8, -90
-15
0
27/5
Dev foF2 Ds t
13, -4.995 2, -131
-50
-90
-10
12
-8
-110
0
13, -4.995 -6
-90
12
8, -3.96
-4
0
8, -90
-2
-30
-70
-5
12
-70
0
0
DEV TEC Dst
0
0
-50
12
2
2, -34
5
0
-30
-10 0, -32
12
4
10
5, 17.73
Indeks Dst (nT)
-10 DEV TEC (TECU)
12, -19
15
In d eks D s t (n T )
D ev fo F 2 (MH z )
6
Deviasi TEC dan Dst dari 27-5 Juni 2003
20 10
12
Flare X dan HAL O C ME Pada28 Me i 2003 Puk ul 15:30 UT s e rta Flare M dan WC ME Pada 31 Me i 2003 (27 Me i - 5 J uni 2003) 8
Waktu (Jam UT)
Gambar 3-18 : Panel kiri, plot indek geomagnet Dst dengan deviasi foF2 Tsari dalam selang 25 Mei-5 Juni 2003 terkait dengan flare, 28 Mei 2003, kelas X3/2B, pukul 0027 UT, dan HCME, pukul 00.50 UT berasal dari AR 10365, posisi S07 W17, flare dan WCME 31 Mei 2003, M9/2B, pukul 0224 UT, WCME , pukul 0230 UT, dan panel kanan adalah variasi Dst dengan deviasi TEC Bandung .
Dari gambar (3-18), tampak bahwa data indek geomagnet Dst berkurang secara drastis yang mencapai puncak minimum Dst -144 nT (badai geomagnet kuat) pada 29 Mei 2003, pukul 23.00 UT, terkait dengan flare 28 Mei 2003, X3/2B, pukul 00,27 UT, sekitar 22 jam setelah flare. Kemudian terjadi lagi badai geomagnet sedang dengan Dst = - 90 nT (badai geomagnet sedang) pada 2 Juni 2003, pukul 08.00 UT, terkait dengan flare dan WCME 31 Mei, pukul 02.30 UT, sekitar 30 jam setelah kejadian flare dan WCME kedua. Flare dan HCME pada tanggal 28 Mei 2003 langsung berdampak pada foF2 dengan nilai maksimumdeviasi = - 4,96 MHz dan mencapai nilai maksimum kembali pada tanggal 30 Mei pukul 8:00 UT sebesar -3,96 MHz. Untuk flare dan WCME pada tanggal 31 Mei langsung berdampak pada foF2 pada pukul 13:00 UT tanggal yang sama dengan nilai maksimum mencapai -4,96 MHz. Demikian juga, TEC mengalami deviasi sebesar (+ 17,73 s/d -20,44) TECU (panel kanan). Deviasi TEC dengan puncak maksimum senilai Δ TEC = 20,44 TECU pada 31 Mei 2003, akan menyebabkan kesalahan posisi maksimum sebagai akibat flare dan CME adalah 0,163 x 20,44 TECU = 4,33 meter. Badai ionosfer yang terjadi adalah badai ionosfer positif dan badai ionosfer negatif. 3-4-11. Efek Flare dan CME 26, 28 Oktober 2003, dan 2, 4 November 2003 pada foF2 Tanjungsari dan TEC Bandung Gambar (3-19) menujukkan plot grafik antara indek geomagnet Dst dan deviasi foF2, dan indek geomagnet Dst dengan deviasi TEC dalam rentang dari 25 Oktober-8 November 2003 dikaitkan dengan flare kelas X1/ 1N dan HCME, pada 26 Oktober, flare kelas X17/4B dan HCME, 28 Oktober, dan flare kelas X28/3B dan CME pada , 4 November, 2003.
Buku Publikasi Ilmiah LAPAN “Ionosfer dan aplikasinya” ISBN : 978 – 602 – 8564 – 05 – 2 Halaman 1 – 24 Januari 2009
Dst
DEV
Deviasi TEC (TECU)
-40 6/11
-60
12
0
5/11
0
12
4/11
12
3/11
0
2/11
0
1/11
12
30/10 31/10
12
28/10 29/10
0
27/10
0
-500
11, -43.02 26/10
12
0
12
12
0
0
12
12
0
12
Jam (LT= UT +7 Jam)
12, -33.80 15, -401
12
6/11
0
5/11
17, -363
-400 -450
0
4/11
-20
-350
12
-8 3/11
-10 12
31/10
0
30/10
12
0
0
12
DEV
12
0
Dst
0
12
-450
0
29/10
-6
0
-300
12
15, -401 14, -9.14 17, -7.69 1/11 2/11
28/10
0
27/10
12
26/10
-4
23, -4.045
21, -6.44
0
17, -363
12
-350
2, -175
-200 -250
0
-300
40 20
-150
0
5, -2
60 20, -37
3, -89
12
-2
-250
9, 36.49
23, -41
20, -70
-100
12
0
Plot Deviasi TEC dan Dst dari 26 Okt-6 Nov 2003
0
2
-200
-400
0 -50
4
3, -89
2, -175
-150
50
6
0
21, -35
19, -68
-100
8
Indeks Dst (nT)
5, -36
-50 Indeks dst (nT)
1, 1
Deviasi foF2 (MHz)
0, 5.57
0
12
Plot Deviasi foF2 dan Dst dari 26 Okt- 6 Nop 2003 50
Jam (LT = UT+7 jam)
Gambar 3-19 : Panel kanan, plot indek geomagnet Dst dengan deviasi foF2 Tsari dalam selang 25 Oktober -8 November 2003 terkait dengan flare kelas X1/1N, 26 Oktober 2003, pukul 1819 UT, dan HCME, pukul 17.54 UT berasal dari AR 10484, posisi N02W38 , flare ,X17/4B, pukul 1110 UTdan HCME, pukul 10.54 UT, pada 28 Oktober 2003, dan flare, X28/3B, pukul 19.29 UT, CME , pukul 1954 UT pada 4 November, 2003 dan panel kanan adalah variasi Dst dengan deviasi TEC Bandung .
Dari gambar (3-19), tampak bahwa data indek geomagnet Dst berkurang secara drastis dan menyebabkan badai geomagnet berturut-turut, pertama pada 29 Oktober dengan Dst = -175 nT, pukul 02.00 UT, Dst = - 363 nT pada pukul 17.00 UT, dan Dst = - 401 nT pada 30 Oktober 2003, pukul 15.00 UT, terkait dengan flare 28 Oktober 2003, kelas X17/4B, pukul 10.54 UT, sekitar 31 jam setelah flare. Flare dan HCME pada 26 Oktober 2003 berdampak pada foF2 dengan deviasi foF2 pada 29 Oktober dengan foF2 naik dengan deviasi melebihi 4 MHz pada siang hari, berkurang pada malam hari dengan deviasi foF2 sebesar -6,14 MHz, hingga mencapai maksimumnya pada tanggal 30 Oktober pukul 7:00 UT sebesar -9,14 MHz dan terjadi blackout pada tanggal 31 Oktober saat menjelang tengah malam. Untuk flare dan HCME pada tanggal 2 November 2003 juga berdampak langsung pada foF2 dengan nilai -4,05 MHz. Sedangkan pada geomagnet tidak mengalami gangguan walaupun sempat menurun pada tanggal 4 November sampai mencapai indek Dst – 89 nT yang disebabkan oleh peristiwa HCME pada 2 November, pukul 09.54 UT . Flare dan HCME pada tanggal 4 November 2003 Tidak menyebabkan gangguan geomagnet walaupun peristiwa flare yang terjadi adalah peristiwa akativitas matahari yang ekstrim (flare X28 /3B. Hal ini kemungkinan disebakan oleh karena sumbernya sudah berada tepi barat matahari dengan posisi (S19 W83). Akibatnya energi yang dilontarkan oleh flare dan CME tidak langsung mengarh ke Bumi. Demikian juga, TEC mengalami deviasi sebesar (+ 36,49 s/d -43,02) TECU (panel bawah). Deviasi TEC dengan puncak maksimum senilai Δ TEC = - 43,02 TECU pada 30 Oktober 2003, pada pukul 11.00 UT akan menyebabkan kesalahan posisi maksimum sebagai akibat flare dan CME adalah 0,163 x 43,02 TECU = 7,1 meter. Badai ionosfer yang terjadi adalah badai ionosfer positif dan badai ionosfer positif. Model ionosfer Model Sederhana Ionosfer Lintang Rendah Indonesia (MSILRI) yang dikembangkan oleh Buldan Muslim dkk (2002) mempunyai kesesuaian yang lebih baik dibandingkan dengan Model IRI -2007 dengan hasil Buku Publikasi Ilmiah LAPAN “Ionosfer dan aplikasinya” ISBN : 978 – 602 – 8564 – 05 – 2 Halaman 1 – 24 Januari 2009
pengamatan median bulanan foF2 dan bilangan sunspot (R12). Itu dibuktikan oleh tingginya koefisien korelasi yang diperoleh antara hasil pengamatan median bulanan foF2Tanjungsari dengan hasil perhitungan MSILRI melibihi 0,97. Dari analisis efek aktivitas matahari jangka pendek diperoleh bahwa response parameter geomagnet dan ionosfer terhadap peristiwa flare dan CME adalah; Peristiwa flare dan CME bisa terjadi bersamaan, atau salah satunya terjadi lebih dulu dengan perbedaan waktu paling lama 1 jam. Dari analisis beberapa kasus tampak bahwa umumnya indek geomagnet akan mengalami gangguan maksimum (badai geomagnet) paling cepat 11 jam dan paling lama 60 jam. Peristiwa flare dan CME yang kuat bisa menyebabkan badai geomagnet beberapa kali. Dilihat dari ciri peristiwa badai geomagnet, diataranya terdapat tipe badai geomagnetik Suddent Commencement (SC), terutama pada peristiwa Flare dan CME yang terjadi pada tahun 2000, 2001 dan 2003. SC dicirikan oleh kenaikan mendadak dan sesaat dari intensitas medan geomagnetik sebelum fase utama dari badai geomagnetik. SC merupakan gangguan geomagnet yang disebabkan oleh kenaikan arus magnetopaus karena kompresi mendadak magnetosfer oleh tekanan dinamik angin surya dan diperkuat oleh IMF (Interplanetary Magnetic Field) (Kangas dkk., 2001; Clauer, 2006 ; Gustavsson, 2006. SC umumnya terjadi bersamaan dengan arah selatan IMF (IMF Bz-) dan dicirikan dengan kenaikan mendadak dan cepat intensitas medan geomagnet yang diikuti oleh terjadinya badai geomagnet. Badai ionosfer yang terjadi bisa positif bisa negatif bergantung dari proses fisisnya. Badai ionosfer positif disebabkan oleh peningkatan proses ionisasi oleh radiasi sinar-X dan EUV matahari, sedangkan badai ionosfer negatif terjadi karena pemanasan ionosfer oleh pemanasan Joule. Sudah sangat diketahui bahwa radiasi sinar –X dan EUV matahari adalah merupakan kontributor terbesar terhadap pemanasan atmosfer bagian atas. Menurut Knipp at al., (2004), secara khusus radiasi EUV matahari memberikan energi sekitar 80% dari masukan energi total pada atmosfer bagian atas, sedangkan sisa masukan energi sebesar 20 % berasal dari pemanasan Joule atau pemanasan partikel-partikel energetik dari matahari. Rhoden et al., (2000) melaporkan bahwa energi Joule terkait erat dengan tingkat aktivitas geomagnetik, dan mencatat bahwa pertambahan kerapatan atmosfer sekitar 134% untuk memberikan response terhadap pertambahan indeks geomagnetik Kp dari 1 ke 6. dengan demikian, pemanasan Joule mempunyai peranan penting terhadap variasi kerapatan atmosfer atas selama gangguan geomagnetik, kemudian mempengaruhi lapisan ionosfer. Dari analisis juga tampak bahwa tidak semua flare dan CME menyebabkan gangguan medan geomagnet (Dst) dan ionosfer (foF2). Flare dan CME yang posisinya berada pada tepi piringan matahari tidak akan mempengaruhi medan geomagnet, tetapi hampir selalu menyebabkan gangguan pada frekuensi kritis lapisan F2 (foF2). Gangguan terhadap foF2 bisa terjadi lebih dulu daripada gangguan geomagnet walaupun jarang terjadi. Itu terjadi pada peristiwa flare kelas C9/2F dan Buku Publikasi Ilmiah LAPAN “Ionosfer dan aplikasinya” ISBN : 978 – 602 – 8564 – 05 – 2 Halaman 1 – 24 Januari 2009
CME pada 4 April 2000, gangguan ionosfer dengan deviasi maksimum – 6, 41 MHz lebih dulu baru terjadi dari pada badai geomagnet (perlu penelitian lebih lanjut). Badai ionosfer yang terjadi sebagai akibat dari peristiwa flare dan CME bervariasi berkisar dengan deviasi foF2 lebih besar dari - 2 MHz sampai dengan - 9, 14 MHz (kasus flare ekstrim 28 Oktober 2003). Sementara deviasi TEC berkisar antara (9,46 43,5) TECU, yang menyebakan kesalahan posisi berkisar antara (2,7 -7,1) meter. Deviasi foF2 dan deviasi TEC selama flare dan CME terjadi, akan menyebabkan gangguan pada sistem komunikasi radio HF, dan sistem navigasi berbasis satelit. 4. KESIMPULAN Dari analisis keterkaitan foF2 Tanjungsari, dan TEC Bandung dalam kurun waktu data yang dianalis terlihat bahwa perilaku ionosfer (foF2 dan TEC) memiliki korelasi yang kuat dengan aktivitas matahari jangka panjang dengan indek R12 (ratarata bergerak 12 bulan bilangan sunspot). R12 adalah prediktor yang bermanfaat untuk perilaku ionosfer; jika bilangan sunspot bertambah (proxy sinar-X dan radiasi EUV matahari), maka proses ionisasi di ionosfer meningkat, akibatnya kerapatan elektron /frekuensi plasma ionosfer meningkat. Dari harga-harga koefisien korelasi R2 yang diperoleh untuk frekuensi kritis foF2 Tanjungsari dan TEC Bandung dikaitkan dengan R12, persamaan regressi polinom lebih baik dari persamaan regressi linier. Dari hasil keterkaitan antara parameter ionosfer foF2 Tanjungsari yang kuat, dan hasil perbandingan antara hasil pengamatan median Bulanan foF2 Tanjungsari dengan model IRI-2007 dan MSILRI, MSILRI mempunyai kesesuaian yang lebih baik dibandingkan dengan Model IRI-2007. Peristiwa Flare dan CME yang mempengaruhi parameter medan geomagnet dan ionosfer bergantung kepada kuatnya flare, tipe dari CME, posisinya di matahari. Gangguan flare dan CME pada medan geomagnet dan ionosfer berlangsung dari beberapa jam hingga beberapa hari. Gangguan pada medan geomagnet lebih lama daripada gangguan pada ionosfer. Badai geomagnet dan badai ionosfer ini akan menyebabkan gangguan pada sistem komunikasi frekeuensi tinggi dan sistem navigasi berbasis satelit. DAFTAR RUJUKAN 1. Clauer., 2006, The Geomagnetic Storm-Time Response to Different Solar Wind Driving Conditions, ILWS Workshop 2006, GOA, February 19-20, 2006 2. Donnelly R..F., 1969, Contribution of X-Ray and EUV burst of Solar flares to Sudden Frequency Deviation, Journal Geophysica Research 74, 1873 3. Gonzales, W. D., J. A. Joselyn, Y. Kmide, H. W. Kroehl, G. Rostoker, B. Tsurutani, and V. M. Vasyliunas, 1994, What is a Geomagnetic Storm?, J.Geophys.Res.,99, 5771 4. Knipp, D. J., W. K. Tobiska, and B. A. Emery, 2004, Direct and indirect Buku Publikasi Ilmiah LAPAN “Ionosfer dan aplikasinya” ISBN : 978 – 602 – 8564 – 05 – 2 Halaman 1 – 24 Januari 2009
thermospheric Heating sources for solar cycles 21–23, Sol. Phys., 224, 495,. 5. Kangas, J., J. Kultima, A. Guglielmi, A. Patapov and K. Hayashi (2001), Impact of Interplanetary Shock on teh ULF Wave Activity : A case Study of Storm Sudden Commencement on Sept 22, 1999, Earth Planet Space, 53, 1177-1182 6. Rhoden, E. A., J. M. Forbes, and F. A. Marcos, 2000,The influence of geomagnetic and Solar variabilities on lower thermosphere density, J. Atmos.Terr. Phys., 62, 999, 7. Tsurutani, B. T., B. E. Goldstein, E. J. Smith, W. D. Gonzales, F. Tang, S. I. Akasofu, and R. R. anderson, 1990, The Interplanetary and Solar Causes of Geomagnetic Activity, Planet, Space Sci., 38, 109 8.Thome, G.D and L.S. Wagner , 1971, Electron Density Enhancements in the E dan F regions of the Ionosphere during Solar Flares , Journal Geophisical Research,76, 6883.
Buku Publikasi Ilmiah LAPAN “Ionosfer dan aplikasinya” ISBN : 978 – 602 – 8564 – 05 – 2 Halaman 1 – 24 Januari 2009