ISBN: 978-979-1458-81-8
Variabilitas Cuaca dan Iklim di Indonesia Penanggung Jawab: Halimurrahman, M.T.
Penyunting Isi: Penyelia: Suaydhi, M.Sc Anggota: Prof. Dr. Eddy Hermawan Drs. Arief Suryantoro, M.Si Drs. Bambang Siswanto, M.Si Drs. Sri Kaloka Prabotosari
Penyunting Naskah: Farid Lasmono, ST Aisya Nafiisyanti, ST Fanny Aditya Putri, S.Si
Penerbit CV. Andira Bandung
Perpustakaan nasional RI: Data Katalog dalam Terbitan (KDT) Judul/Penyunting Isi: Variabilitas Cuaca dan Iklim di Indonesia/ Suaydhi, M.Sc, Prof. Dr. Eddy Hermawan, Drs. Arief Suryantoro, M.Si, Drs. Bambang Siswanto, M.Si, Drs. Sri Kaloka Prabotosari - Cetakan Pertama – Bandung CV. Andira 2014 vii + 140 hal. ; 18 x 25 cm ISBN: 978-979-1458-81-8
Variabilitas Cuaca dan Iklim di Indonesia – Buku 1 ISBN: 978-979-1458-81-8 ©2014 Andira Diterbitkan oleh CV. Andira Anggota IKAPI Penyunting Isi: Penyelia: Suaydhi, M.Sc Anggota: Prof. Dr. Eddy Hermawan Drs. Arief Suryantoro, M.Si Drs. Bambang Siswanto, M.Si Drs. Sri Kaloka Prabotosari Penyunting Naskah: Farid Lasmono, ST, Aisya Nafiisyanti, ST, dan Fanny Aditya Putri, S.Si, Desain Isi dan Kulit Muka: Aisya Nafiisyanti, ST Dicetak oleh CV. Andira Cetakan Pertama, 2014 Penerbit Andira Istana Pasteur Regency Blok CRB 70, Sukaraja Bandung. Tlp/Fax: (022) 86065361 Email:
[email protected] Buku ini dilindungi oleh Undang-Undang Hak Cipta. Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit.
ii
Dari Penerbit
DARI PENERBIT Sebagai salah satu dari dua kepusatan dibawah Kedeputian Bidang Sains, Pengkajian, dan Informasi Kedirgantaraan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer (PSTA) mempunyai visi untuk menjadi pusat keunggulan sains atmosfer. Visi ini dicapai dengan misi membangun kompetensi dan kapasitas di bidang pemodelan atmosfer, komposisi atmosfer, dan teknologi atmosfer. Dalam rangka mencapai misi tersebut, salah satunya adalah dengan meningkatkan kuantitas dan kualitas media publikasi ilmiah. Selain penyelenggaran seminar dan publikasi hasil penelitian dalam bentuk prosiding dan jurnal, PSTA juga melakukan publikasi pada buku ilmiah. Buku ilmiah Variabilitas Cuaca dan Iklim di Indonesia memuat hasil-hasil penelitian yang dilakukan di PSTA, yang diharapkan dapat menjadi sarana meningkatkan kemampuan dalam menyampaikan hasil penelitian bagi para penulis, dan dapat memberikan pemahaman akan topik-topik seputar sains atmosfer bagi para pembaca.
Penerbit CV Andira
[email protected]
iii
Kata Pengantar
KATA PENGANTAR Dengan mengucap syukur kehadirat Allah SWT, Buku Ilmiah Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer (Buku PSTA) tahun 2014 dapat diterbitkan pada waktunya. Ada dua Buku PSTA yang diterbitkan pada tahun 2014 ini. Buku pertama diberi judul "Variabilitas Cuaca dan Iklim di Indonesia" dan buku kedua diberi judul "Kualitas Udara dan Komposisi Atmosfer Indonesia". Semua makalah dalam Buku PSTA 2014 telah menjalani tahapan review dan penyuntingan. Buku ini adalah buku pertama dari Buku PSTA 2014 yang berjumlah 10 makalah yang membahas tentang variabilitas cuaca dan iklim di Indonesia. Makalah-makalah tersebut membahas berbagai permasalahan, mulai dari evaluasi dan penggunaan data reanalisis untuk kawasan Indonesia, analisis tentang fenomena yang terjadi di atmosfer dan perairan Indonesia, penentuan awal musim, analisis hujan diurnal dari model, sampai ke rancang bangun instrumen pengamatan. Data pengamatan untuk kawasan Indonesia sering tidak lengkap baik dari segi ruang maupun waktu. Oleh karena itu, keberadaan data reanalisis sangat membantu dalam kajian cuaca dan iklim di Indonesia. Evaluasi tentang data reanalisis mana yang paling sesuai untuk kawasan Indonesia akan bermanfaat bagi kajian-kajian selanjutnya. Pemahaman tentang fenomena atmosfer, seperti curah hujan dan monsun, dan suhu permukaan laut perairan Indonesia sangat berguna dalam penentuan awal musim dan dalam melakukan evaluasi luaran model. Sifat diurnal pada curah hujan di Indonesia sangat kuat, karena kawasan ini terdiri dari banyak pulau dan banyak menghasilkan awan konvektif. Awan ini bisa dideteksi melalui radar X-band. Namun, alternatif penggunaan radar yang lebih kecil dan lebih murah, seperti radar Furuno, juga akan sangat bermanfaat dalam menunjang pengamatan curah hujan di Indonesia. Penelitian cuaca dan iklim memerlukan banyak instrumen pengamatan. Banyak di antara instrumen pengamatan tersebut sangat mahal harganya dan alokasi anggaran penelitian yang ada sering tidak mencukupi untuk membeli peralatan baru. Usaha untuk membangun instrumen sendiri, seperti Wind Profiling Radar (WPR), tentu akan sangat bermanfaat dalam menunjang penelitian
iv
Kata Pengantar
atmosfer di Indonesia. Meskipun masih jauh dari sempurna, hasil awal dari rancang bangun FMCW WPR yang dimuat dalam buku ini patut kita apresiasi. Demikian gambaran sekilas dari makalah-makalah yang diterbitkan dalam buku ini. Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada para penulis yang telah berpartisipasi dalam Buku PSTA tahun 2014 ini, para penyunting isi dan penyunting naskah yang telah bekerja keras dalam memperbaiki isi dan tampilan makalahmakalah dalam buku ini. Semoga isi buku ini bisa bermanfaat bagi perkembangan penelitian atmosfer di Indonesia. Bandung, November 2014 Dewan Redaksi
v
Daftar Isi
DAFTAR ISI Dari Penerbit Kata Pengantar Daftar Isi 1.
iii iv vi
VARIABILITAS CURAH HUJAN DI BENUA MARITIM DARI EMPAT SISTEM REANALISIS TERBARU
1
Suaydhi
2.
ESTIMASI SUMBER PANAS BERBASIS REANALISIS MERRA DI INDONESIA
16
Sinta Berliana Sipayung dan Indah Susanti
3.
STUDI KARAKTERISTIK MONSUN DI INDONESIA
KONVEKTIF
TERKAIT 29
Krismianto
4.
ANALISIS PENGARUH DINAMIKA ATMOSFER DAN LAUT TERHADAP ANOMALI HUJAN WILAYAH INDONESIA PERIODE JANUARI SAMPAI JUNI 2013
38
Lely Qodrita Avia
5.
KARAKTERISTIK SUHU PERAIRAN INDONESIA
PERMUKAAN
LAUT 52
Martono
6.
PENENTUAN AWAL MUSIM HUJAN, KEMARAU DAN TRANSISI DI YOGYAKARTA DAN KAWASAN SEKITARNYA BERBASIS DATA INDEKS MONSUN GLOBAL
62
Eddy Hermawan dan Naziah Madani
7.
KARAKTERISTIK CURAH HUJAN DIURNAL LUARAN MODEL WEATHER RESEARCH FORECASTING (WRF) DI WILAYAH INDONESIA Iis Sofiati, Didi Satiadi, Farid Lasmono, Halimurrahman, dan Suaydhi
vi
80
Daftar Isi
8.
KARAKTERISTIK FREKUENSI PERTUMBUHAN AWAN KONVEKTIF DI ATAS WILAYAH PANTAI PAMEUNGPEUK DARI OBSERVASI X-BAND RADAR
97
Noersomadi, Ginaldi Ari Nugroho, Tiin Sinatra, dan Aries Kurniawan
9.
HASIL PENGAMATAN SCANNER HUJAN DAN AWS PADA KEJADIAN HUJAN TANGGAL 2-3 MARET 2014 DI DAERAH BANDUNG DAN SEKITARNYA
112
Ginaldi Ari Nugroho, Soni Aulia Rahayu, dan Asif Awaludin
10. RANCANG BANGUN FMCW WIND PROFILING RADAR BERBASIS USRP N210 DAN GNU RADIO: HASIL AWAL Asif Awaludin dan Taufiq Wirahman
vii
125
Curah Hujan di Benua Maritim dari Empat Reanalisis Terbaru (Suaydhi)
VARIABILITAS CURAH HUJAN DI BENUA MARITIM DARI EMPAT SISTEM REANALISIS TERBARU Suaydhi Bidang Pemodelan Atmosfer, Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer, LAPAN e-mail:
[email protected] ABSTRAK Sistem reanalisis menggabungkan hasil pengamatan dan model iklim untuk memberikan data sistem iklim empat dimensi secara global yang mencakup banyak proses fisis dan dinamis. Keberadaan sistem reanalisis sangat membantu studi iklim di wilayah-wilayah tertentu yang terkendala oleh keterbatasan data pengamatan, seperti wilayah Benua Maritim. Curah hujan adalah besaran yang sangat penting dalam sistem iklim yang sangat sulit dimodelkan untuk wilayah ini, sehingga kualitas data curah hujan dari sistem reanalisis yang ada perlu dievaluasi. Dalam makalah ini empat sistem reanalisis terbaru (ERA Interim, NCEP CFSR, NASA MERRA, dan JRA-55) digunakan untuk meneliti variabilitas curah hujan di wilayah Benua Maritim. Dua data analisis curah hujan (GPCP dan CMAP) dipakai sebagai rujukan dan juga untuk mengestimasi ketidakpastian dalam data pengamatan. Hasil estimasi ketidakpastian ini menunjukkan bahwa curah hujan pada bulan Mei dan Desember lebih bervariasi dari tahun ke tahun dibandingkan pada bulan Juli, Agustus dan September. Sedangkan, hasil analisis curah hujan dari data reanalisis menunjukkan bahwa perubahan data yang diasimilasikan ke dalam sistem reanalisis memengaruhi kualitas data reanalisis di wilayah Benua Maritim. Dari keempat sistem reanalisis yang dievaluasi, NASA MERRA menunjukkan kinerja paling baik untuk Benua Maritim dan JRA-55 yang paling buruk. Oleh karena itu, JRA-55 sebaiknya tidak digunakan untuk kajian iklim di Benua Maritim. Kata-kata kunci: variabilitas, curah hujan, Benua Maritim, sistem reanalisis terbaru. ABSTRACT Reanalysis system combines observed data with a climate model to provide 4-dimensional climate system data globally involving many physical and dynamical processes. The existence of reanalysis system has helped climate studies significantly in areas hindered by the limited data availability, such as the Maritime Continent. Rainfall is a very important variable in climate system that is very
1
Curah Hujan di Benua Maritim dari Empat Reanalisis Terbaru (Suaydhi)
difficult to be modeled for this area, so the quality of the rainfall data from the available reanalysis system needs to be evaluated. In this paper, four latest reanalysis systems (ERA Interim, NCEP CFSR, NASA MERRA, dan JRA-55) are used to investigate the rainfall variability over the Maritime Continent. Two analysed rainfall datasets (GPCP and CMAP) are used as references and are also used to estimate the uncertainty in the observational data. This estimate shows that rainfall in May and December has more variability from year to year than that in July, August, and September. Meanwhile, the analysis of rainfall from the reanalyses data shows that a change in the data assimilated into the system has significant impacts on the quality of the reanalysis data over the Maritime Continent. From the four evaluated reanalysis system, NASA MERRA has the best performance for the Maritime Continent and JRA-55 is the worst. Therefore, JRA-55 is not recommended for climate studies over the Maritime Continent. Key words: variability, rainfall, Maritime Continent, latest reanalysis system.
1
PENDAHULUAN Salah satu kendala utama dalam penelitian iklim dan cuaca, terutama untuk wilayah Benua Maritim, adalah ketersediaan data yang tidak teratur, baik dalam ruang maupun waktu. Sejak pertengahan dekade 1990-an, penelitian iklim banyak terbantu oleh data hasil reanalisis yang disebut dengan National Center for Environmental Prediction/National Center for Atmospheric Research (NCEP/NCAR) Reanalysis (Kalnay et al. 1996). Reanalysis adalah kependekan dari retrospective analysis yang berarti analisis mundur dalam waktu, karena sistem ini menggabungkan data pengamatan yang sudah tersedia menggunakan suatu sistem analisis yang terdiri atas suatu model prediksi iklim dan suatu skema asimilasi data. Model iklim digunakan untuk menghasilkan data dalam sistem grid yang seragam sesuai resolusi yang diinginkan. Sedangkan skema asimilasi data digunakan untuk memandu model iklim tersebut agar menghasilkan data yang tak teramati konsisten dengan data-data yang memang teramati. Meskipun produk datanya telah dipandu oleh suatu sistem asimilasi data, hasil reanalisis masih mengandung ketidakpastian. Fisika model dan ketidakpastian dalam pengamatan merupakan sumber utama ketidakpastian pada hasil reanalisis. Curah hujan
2
Curah Hujan di Benua Maritim dari Empat Reanalisis Terbaru (Suaydhi)
merupakan salah satu kuantitas yang paling rentan terhadap ketidakpastian ini, karena curah hujan dari model dihasilkan oleh parameterisasi fisis. Curah hujan juga merupakan komponen integral dalam siklus air, energi dan sirkulasi dinamis, maka curah hujan bisa menjadi pengukur kualitas reanalisis dalam studi iklim (Bosilovich et al. 2008). Kajian tentang kinerja reanalisis sangat penting untuk studi iklim di suatu wilayah. Secara umum, fitur curah hujan dari reanalisis mirip dengan pengamatan, tetapi perbedaan secara regional sangat mungkin banyak terjadi (Cullather et al. 1998). Perbedaan ini sangat dipengaruhi oleh seberapa efektif masukan dari hasil pengamatan dari wilayah tersebut yang digunakan dalam sistem reanalisis (Bromwich et al. 2000). Hal ini bisa mengurangi keakuratan suatu data reanalisis untuk wilayah-wilayah yang data pengamatan curah hujannya tidak memadai dalam kehandalan (reliability) dan kesinambungan (continuity), seperti Benua Maritim Indonesia (Hamada et al. 2002). Sistem reanalisis terus mengalami perbaikan. Sebagai contoh, NCEP/NCAR Reanalysis (dikenal sebagai NR1; Kalnay et al. 1996) diperbarui menjadi NCEP-Department of Energy (DOE) atau dikenal sebagai NR2 (Kanamitsu et al. 2002), dan sistem reanalisis yang paling baru adalah NCEP Climate Forecast System Reanalysis (CFSR; Saha et al. 2010). Dalam penelitian ini, empat set data curah hujan dari sistem reanalisis terbaru, yaitu NCEP CFSR, the interim version of the European Centre for Medium-Range Weather Forecasts (ECMWF) Reanalysis (ERA Interim; Dee et al. 2011), National Aeronautics and Space Administration Modern Era RetrospectiveAnalysis for Research and Applications (NASA MERRA; Rienecker et al. 2011), dan Japanese 55-year Reanalysis (JRA-55; Ebita et al. 2011), akan digunakan dalam studi perbandingan kinerja data reanalisis di wilayah Benua Maritim. Data dari keempat reanalisis tersebut akan dibandingkan dengan data curah hujan dari Global Precipitation Climatology Project versi 2 (GPCP; Adler et al. 2003). Adler et al. (2001) menyebutkan bahwa data pengamatan curah hujan global sendiri juga mempunyai ketidakpastian yang cukup mendasar, terutama untuk daerah tropis. Salah satu cara yang dipakai oleh Phillips and Gleckler (2006) untuk membuat estimasi ketidakpastian dalam data pengamatan ini adalah dengan membandingkan data GPCP dengan data dari Climate Prediction
3
Curah Hujan di Benua Maritim dari Empat Reanalisis Terbaru (Suaydhi)
Center (CPC) Merged Analysis Precipitation (CMAP; Xie and Arkin 1996). Hal ini dilakukan karena kedua set data tersebut mempunyai persamaan dalam sumber data pengamatan, tetapi keduanya menggunakan jaringan pengukuran penakar curah hujan yang sedikit berbeda dan juga pemilihan algoritma yang berbeda dalam interpolasi dari stasiun pengamatan ke grid datanya (Phillips and Gleckler 2006). Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan data reanalisis yang paling sesuai untuk kawasan Indonesia dari empat data reanalisis terbaru. Penentuan ini sangat berguna untuk dipakai oleh basis kajian iklim wilayah Indonesia selanjutnya. 2 2.1
DATA DAN METODOLOGI Data Dalam penelitian ini GPCP versi 2 (Adler et al. 2003) dan CMAP (Xie and Arkin 1996) dipakai sebagai data rujukan karena kedua data ini merupakan data curah hujan gabungan antara penakar hujan dipermukaan bumi dan pengamatan satelit. GPCP akan dipakai sebagai rujukan utama, karena GPCP menggunakan koreksi pada data mentah dari penakar curah hujan untuk memperhitungkan error pengukuran sistematis yang diakibatkan oleh penguapan, hujan yang tertiup oleh angin, dan sebagainya. (Phillips and Gleckler 2006). Meskipun kedua data tersebut diturunkan dari hasil pengamatan, keduanya tidak terlepas dari ketidakpastian (mempunyai rentang error). Kedua data ini akan dibandingkan satu sama lain untuk memperoleh estimasi ketidakpastian. Empat data reanalisis yang akan dikaji adalah ERA Interim, NCEP CFSR, NASA MERRA, dan JRA-55. Periode analisis dalam makalah ini adalah antara 1979 dan 2009 yang merupakan irisan umum data yang tersedia dari dua data analisis dan empat data reanalisis. Data GPCP dan CMAP tersedia dari Januari 1979 sampai mendekati sekarang (near real time). Semua data reanalisis juga tersedia dalam periode yang sama seperti data analisis, kecuali NCEP CFSR yang baru tersedia sampai Desember 2009 dan JRA55 yang tersedia dari tahun 1958. Domain analisis dibatasi pada wilayah antara 12°LS – 12°LU dan 90° – 150°BT. Rata-rata bulanan dari masing-masing data reanalisis digunakan untuk mengkaji klimatologi dan deret waktu curah
4
Curah Hujan di Benua Maritim dari Empat Reanalisis Terbaru (Suaydhi)
hujan di wilayah Benua Maritim. Dua data analisis, GPCP dan CMAP, mempunyai resolusi horizontal 2,5° x 2,5°, sedangkan empat data reanalisis mempunyai resolusi yang berbeda-beda. ERA Interim mempunyai resolusi horizontal maksimum 0,75° x 0,75°, NCEP CFSR mempunyai resolusi maksimum 38 km x 38 km, NASA MERRA mempunyai resolusi maksimum 1 2 ° x 2 3 °, dan JRA mempunyai resolusi maksimum 1,25° x 1,25°. Oleh karena itu, semua data dikonversi ke grid GPCP untuk memudahkan dalam komputasi statistik (korelasi spasial dan bias). 2.2
Metodologi Dalam penelitian ini, diagram Taylor (Taylor 2001) digunakan untuk membandingkan kinerja keempat reanalisis dengan data analisis dari GPCP dan CMAP. Metode ini secara ringkas menggabungkan kesesuaian pola beberapa kuantitas dalam hal korelasi spasialnya dan nisbah simpangan bakunya pada sebuah diagram sederhana. Korelasi spasial menunjukkan tingkat kesesuaian pola suatu kuantitas terhadap kuantitas rujukan, sedangkan simpangan baku membandingkan amplitudo variasinya. Dalam penelitian ini, korelasi spasial dari curah hujan rata-rata bulanan untuk CMAP dan semua data reanalisis terhadap GPCP dihitung dan simpangan bakunya dibandingkan. Penyertaan data CMAP dalam diagram Taylor merupakan salah satu cara memperkirakan ketidakpastian yang terdapat pada data pengamatan. Perbandingan GPCP dan CMAP tidak memberikan ketidakpastian yang menyeluruh seperti dari pengamatan yang berbeda sumber, sebab sumber data untuk kedua data analisis tersebut hampir sama (data satelit dan data penakar curah hujan). Perbandingan ini hanya memberi satu ukuran ketidakpastian minimum yang diharapkan dari data reanalisis (Bosilovich et al. 2008). Banyak faktor yang berpengaruh pada curah hujan, seperti sirkulasi atmosfer umum, zona konvergensi tropis, topografi, perbedaan darat-laut, sistem konveksi. Sistem-sistem tersebut bisa mempunyai kemiripan pola dari tahun ke tahun, bahkan topografi dan perbedaan darat-laut mungkin tak berubah sama sekali. Hal ini memungkinkan adanya kemiripan yang mendasar pada pola curah hujan bulanan dari tahun ke tahun. Sehingga ada
5
Curah Hujan di Benua Maritim dari Empat Reanalisis Terbaru (Suaydhi)
kemungkinan bahwa curah hujan dari bulan yang sama dan tahun berbeda bisa menghasilkan korelasi positif. Korelasi ini disebut “korelasi tak bersesuaian” (unmatched correlation) dan bisa didefinisikan sebagai nilai minimum korelasi spasial antara dua set data (Bosilovich et al. 2008), sementara nilai maksimumnya didefinisikan dari korelasi dua set data dari bulan dan tahun yang sama. Jika suatu set data mempunyai koefisien korelasi lebih rendah dari nilai minimum ini, data tersebut bisa dikatakan tak banyak berguna untuk wilayah yang sedang dikaji. Formula untuk korelasi tak bersesuaian antara data curah hujan GPCP (Pg) dan CMAP (Pc) adalah:
korelasi Pg Des
2009
2009
m Jan i 1979 j 1979
i ,m
,Pc j ,m i , j
………… (1)
dimana i , j 1 jika i j. Untuk
memperoleh
rata-ratanya,
ditentukan dengan menjumlahkan
jumlah
korelasi
N
ij , dan siklus musiman
korelasi tak bersesuaian (unmatched correlation) ini (menjumlahkan hanya Januari, Februari, ...) juga dapat ditentukan. Nilai korelasi tak bersesuaian ini mewakili rata-rata korelasi spasial dari tahuntahun yang berbeda. Nilai korelasi tak bersesuaian yang tinggi berarti bahwa pola curah hujan tersebut terjadi secara teratur, sedangkan nilai yang rendah berarti bahwa pola curah hujan bervariasi dari tahun ke tahun (Bosilovich et al. 2008). 3
HASIL DAN PEMBAHASAN Siklus tahunan nilai minimum dan nilai maksimum korelasi spasial antara data GPCP dan CMAP ditunjukkan pada Gambar 1. Kedua buah korelasi tersebut mempunyai koefisien lebih tinggi pada musim kemarau dibandingkan pada musim hujan. Nilai koefisien korelasi tak bersesuaian (diagram batang merah pada Gambar 1) paling rendah terjadi pada bulan Mei dan Desember (keduanya di bawah 0,4). Bulan Mei merupakan masa transisi dari musim hujan ke musim kemarau dan bulan Desember merupakan awal musim hujan. Koefisien korelasi tak bersesuaian yang rendah ini mencerminkan bahwa pada bulan-bulan ini pola curah hujan di Benua Maritim sangat bervariasi dari tahun ke tahun, seperti dijelaskan di atas.
6
Curah Hujan di Benua Maritim dari Empat Reanalisis Terbaru (Suaydhi)
Korelasi spasial maksimum antara GPCP dan CMAP (garis biru pada Gambar 1) mempunyai koefisien yang paling rendah (kurang dari 0,6) pada masa transisi juga, yaitu bulan Maret dan April. Sedangkan pada musim kemarau, koefisien korelasi maksimum ini bisa mencapai 0,87. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan teknik dalam pemaduan data satelit dan data penakar hujan dalam kedua set data analisis tersebut, perbedaan sumber data curah hujan permukaan di wilayah Benua Maritim, serta variabilitas curah hujan di wilayah ini.
Gambar 1.
Perbandingan nilai minimum (diagram batang) dengan nilai maksimum (garis biru) korelasi spasial antara data GPCP dan CMAP untuk Benua Maritim.
Gambar 2 menunjukkan diagram Taylor untuk korelasi bulanan dan simpangan baku untuk bulan Januari, April, Juli, Oktober, dan rata-rata tahunannya dari tahun 1979 sampai dengan 2009 untuk data CMAP, ERA Interim, NCEP CFSR, NASA MERRA, dan JRA-55. Bulan-bulan ini dipilih untuk mewakili musim hujan, transisi ke musim kemarau, musim kemarau, dan transisi ke musim hujan. Simpangan baku dari tiap data tersebut telah dinormalisasi terhadap data GPCP, sehingga nilai 1,0 mencerminkan simpangan baku yang sama dengan simpangan baku dari GPCP. Korelasi spasial ditunjukkan oleh garis radial dari 0,0 sampai 1,0, nilai minimum korelasi spasial antara data GPCP dan CMAP ditunjukkan oleh garis radial warna coklat dan nilai maksimum oleh garis radial warna biru. Dengan rentang ketidakpastian data pengamatan yang cukup lebar, semua data, kecuali JRA-55 berada di dalamnya untuk bulan Januari (Gambar 2.a). NCEP CFSR mempunyai koefisien korelasi spasial yang lebih kecil dan simpangan baku yang lebih besar daripada ERA Interim dan NASA MERRA. Diagram Taylor
7
Curah Hujan di Benua Maritim dari Empat Reanalisis Terbaru (Suaydhi)
untuk bulan April (Gambar 2.b) mempunyai ketidakpastian yang lebih sempit daripada Januari. Pada bulan April ini, NASA MERRA dan NCEP CFSR mempunyai koefisien korelasi spasial yang lebih tinggi daripada nilai maksimum rentang tersebut, sedangkan koefisien korelasi JRA-55 umumnya lebih rendah daripada nilai minimum. Pada bulan Juli dan Oktober (Gambar 2.c dan 2.d), semua reanalisis berada di dalam rentang ketidakpastian yang besar. Rentang ketidakpastian rata-rata tahunan yang sangat sempit (Gambar 2.e), tetapi kondisi ini justru menunjukkan kinerja data reanalisis secara umum. JRA-55 mempunyai koefisien korelasi spasial yang rendah terhadap GPCP, sedangkan ERA Interim mempunyai koefisien sedang. Dua data reanalisis yang lain mempunyai koefisien korelasi spasial yang agak tinggi, tetapi NCEP CFSR mempunyai simpangan baku lebih tinggi dari NASA MERRA. Dari Gambar 2, NASA MERRA bisa dikatakan mempunyai kinerja paling baik dan JRA-55 yang paling buruk untuk wilayah Benua Maritim. Hal ini bisa dilihat dari bias curah hujan antara masing-masing data reanalisis dengan data GPCP pada Gambar 3, lajur kiri untuk musim DJF (Desember, Januari, Februari) dan lajur kanan untuk musim JJA (Juni, Juli, Agustus). Di sini bias dari data CMAP hanya dipakai sebagai pembanding dan tidak akan dibahas secara khusus. NASA MERRA mempunyai bias paling kecil di antara semua data reanalisis, baik untuk DJF maupun JJA. Bias positif yang cukup menonjol untuk NASA MERRA hanya terlihat di atas Papua. NCEP CFSR mempunyai bias positif cukup tinggi di beberapa tempat (Sulawesi, Maluku dan Papua). Sementara itu, ERA Interim selain mempunyai bias positif, juga mempunyai bias negatif yang terlihat jelas di atas Kalimantan. JRA-55 juga mempunyai bias negatif di atas Kalimantan, tetapi bias positif pada JRA-55 di tempat lainnya lebih tinggi dan lebih meluas daripada bias positif pada ERA Interim.
8
Curah Hujan di Benua Maritim dari Empat Reanalisis Terbaru (Suaydhi)
Gambar 2.
Diagram Taylor untuk bulan Januari (a), April (b), Juli (c), Oktober (d), dan rata-rata tahunan (e) dari data CMAP, ERA Interim, NCEP CFSR, NASA MERRA, dan JRA-55. Garis radial warna coklat adalah nilai minimum korelasi spasial antara GPCP dan CMAP dan garis radial warna biru adalah nilai maksimumnya.
9
Curah Hujan di Benua Maritim dari Empat Reanalisis Terbaru (Suaydhi)
Gambar 3.
Bias curah hujan rata-rata dari data CMAP dan data reanalisis untuk musim DJF (lajur kiri) dan JJA (lajur kanan).
Deret waktu antar tahunan dan siklus tahunan dari korelasi spasial dan bias curah hujan rata-rata bulanan seluruh wilayah Benua Maritim ditunjukkan pada Gambar 4. Semua data reanalisis menunjukkan kecenderungan (trend) membaiknya koefisien korelasi spasial dari tahun 1979 ke tahun 2009 (Gambar 4.a). Tiga sistem reanalisis (ERA Interim, NCEP CFSR, dan NASA MERRA) mempunyai koefisien korelasi spasial yang hampir sama dari tahun ke tahun, sedangkan JRA-55 mempunyai koefisien korelasi lebih rendah dari yang lainnya. Trend antar tahunan ini menunjukkan adanya peningkatan koefisien korelasi spasial antara JRA-55 dan
10
Curah Hujan di Benua Maritim dari Empat Reanalisis Terbaru (Suaydhi)
NASA MERRA dengan GPCP pada sekitar tahun 1987. Hal ini disebabkan oleh awal penggunaan data SSM/I (Special Sensor Microwave Imager) dalam sistem asimilasi kedua reanalisis tersebut pada Juli 1987 (Ebita et al. 2011; Rienecker et al. 2011). Siklus tahunan korelasi spasial juga menunjukkan koefisien korelasi spasial dari JRA-55 lebih rendah dari tiga reanalisis lainnya (Gambar 4.b). Namun, semua koefisien korelasi spasial dari data reanalisis masih lebih rendah dari pada CMAP.
Gambar 4.
Deret waktu antar tahunan (lajur kiri) dan siklus tahunan (lajur kanan) korelasi ruang (baris atas) dan bias (baris bawah) dari data CMAP dan data reanalisis terhadap GPCP dari tahun 1979 sampai tahun 2009.
Koreksi bias curah hujan yang sangat mencolok dari JRA-55 dan NASA MERRA terhadap GPCP juga terlihat pada tahun 1987 (Gambar 4.c). Koreksi bias yang lebih kecil pada NASA MERRA terlihat pada tahun 1990 dan 1991 akibat adanya penambahan data dari kanal lain SSM/I pada sistem asimilasinya dan pada tahun 2008 dan 2009 akibat tidak tersedianya data dari kanalkanal tertentu (Rienecker et al. 2011). Hal ini membuktikan dampak yang signifikan perubahan sumber data pengamatan terhadap kualitas data reanalisis. ERA Interim dan NCEP CFSR mempunyai bias yang berfluktuasi dari tahun ke tahun, tetapi tak ada trend yang jelas. Namun secara umum, bias dari tiga sistem reanalisis (ERA Interim, NCEP CFSR, dan NASA MERRA) masih lebih baik dari JRA-55. Siklus tahunan bias curah hujan ini (Gambar 4.d) menunjukkan NASA MERRA (JRA-55) mempunyai bias paling
11
Curah Hujan di Benua Maritim dari Empat Reanalisis Terbaru (Suaydhi)
rendah (tinggi) untuk setiap bulan dibandingkan data reanalisis lainnya. Bias klimatologi bulanan NASA MERRA bahkan lebih baik dari pada CMAP. Korelasi spasial curah hujan dari semua sistem reanalisis menunjukkan koefisien paling rendah terjadi pada bulan Mei dan Desember dan paling tinggi pada bulan Juli, Agustus dan September, seperti halnya dengan data CMAP (Gambar 4.b). Sedangkan, bias paling rendah pada bulan Agustus dan paling tinggi pada bulan Desember. Bias yang rendah membuat korelasi spasialnya tinggi dan sebaliknya. Hubungan berbanding terbalik antara bias dan koefisien korelasi ini ditunjukkan oleh Gambar 5, meskipun untuk kasus NCEP CFSR (Gambar 5.b) pengaruh bias terhadap koefisien korelasi tidak begitu jelas.
Gambar 5.
Korelasi antara bias data dan korelasi spasial klimatologi bulanan (Januari sampai dengan Desember) dari data reanalisis dan GPCP, a) ERA Interim, b) NCEP CFSR, c) NASA MERRA, dan d) JRA-55.
Kemiripan dalam deret waktu koefisien korelasi dan bias, baik antar tahunan maupun siklus tahunan, diantara tiga sistem reanalisis (ERA Interim, NCEP CFSR dan NASA MERRA) mungkin disebabkan oleh sumber data yang digunakan dalam ketiganya mirip (Rienecker et al. 2011). Perbedaan-perbedaan yang terjadi
12
Curah Hujan di Benua Maritim dari Empat Reanalisis Terbaru (Suaydhi)
bisa disebabkan oleh sedikit perbedaan dalam data pengamatan, cara memproses datanya, model yang digunakan, dan metode analisis yang digunakan. 4
KESIMPULAN Ketersediaan data yang teratur dalam ruang dan waktu sangat diperlukan dalam studi iklim. Keberadaan data reanalisis telah banyak membantu studi iklim di wilayah-wilayah yang terkendala oleh keterbatasan data pengamatan, seperti wilayah Benua Maritim. Penelitian ini telah mengkaji variabilitas curah hujan di wilayah ini menggunakan empat sistem reanalisis terbaru (ERA Interim, NCEP CFSR, NASA MERRA, dan JRA-55). Kinerja keempat data reanalisis dibandingkan dengan data pengamatan. Dalam hal ini, data GPCP dipakai sebagai data rujukan utama. Satu data pengamatan lainnya, yaitu data CMAP, digunakan untuk membuat estimasi ketidakpastian yang ada pada data pengamatan. Korelasi spasial yang bersesuaian (dari bulan dan tahun yang sama) dan korelasi spasial tak bersesuaian atau unmatched correlation (dari bulan yang sama tapi dengan tahun-tahun yang berbeda) antara GPCP dan CMAP telah memberikan informasi yang sangat berguna. Rendahnya nilai korelasi tak bersesuaian mengindikasikan bahwa curah hujan di wilayah Benua Maritim sangat bervariasi dari tahun ke tahun untuk bulan Mei dan Desember. Curah hujan pada musim kemarau tidak banyak bervariasi, sehingga musim ini relatif lebih mudah diprediksi. Kualitas data reanalisis untuk wilayah Benua Maritim menunjukkan adanya peningkatan. Hal ini mungkin disebabkan makin meningkatnya kualitas dan kuantitas data pengamatan (terutama data pengamatan dari satelit) yang diasimilasikan ke dalam sistem reanalisis tersebut. Diantara keempat reanalisis terbaru ini, data curah hujan dari NASA MERRA menunjukkan kinerja yang paling realistis. Sementara itu, data dari sistem JRA55 sebaiknya tidak digunakan untuk kajian curah hujan untuk wilayah Benua Maritim. Ucapan terima kasih Data ERA Interim yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari ECMWF data server.
13
Curah Hujan di Benua Maritim dari Empat Reanalisis Terbaru (Suaydhi)
DAFTAR RUJUKAN Adler, R. F., C. Kidd, G. Petty, M. Morissey, and H. M. Goodman, 2001: Intercomparison of Global Precipitation Products: The Third Precipitation Intercomparison Project (PIP-3). Bull. Amer. Meteor. Soc., 82, 1377-1396 Adler, R. F., and Coauthors, 2003: The Version 2 Global Precipitation Climatology Project (GPCP) Monthly Precipitation Analysis (1979-Present). J. Hydrometeor., 4, 1147-1167 Bosilovich, M. G., J. Chen, F. R. Robertson, and R. F. Adler, 2008: Evaluation of Global Precipitation in Reanalyses. Journal of Applied Meteorology and Climatology, 47, 2279-2299 Bromwich, D. H., A. N. Rogers, P. Kalberg, R. I. Cullather, J. W. C. White, and K. J. Kreutz, 2000: ECMWF analyses and reanalyses depiction of ENSO signal in Antarctic precipitation. J. Climate, 13, 1406-1420 Cullather, R. I., D. H. Bromwich, and M. L. Van Woert, 1998: Spatial and temporal variability of Antarctic precipitation from atmospheric methods. J. Climate, 11, 334-367 Dee, D. P., and Coauthors, 2011: The ERA-Interim reanalysis: configuration and performance of the data assimilation system. Q. J. Roy. Meteor. Soc., 137, 553-597, 10.1002/qj.828 Ebita, A., and Coauthors, 2011: The Japanese 55-year Reanalysis "JRA-55": an interim report. Scientific Online Letters on the Atmosphere, 7, 149-152 Hamada, J.-I., M. D. Yamanaka, J. Matsumoto, S. Fukao, P. A. Winarso, and T. Sribimawati, 2002: Spatial and temporal variations of the rainy season over Indonesia and their link to ENSO. J. Meteor. Soc. Japan, 80, 285-310 Kalnay, E., and Coauthors, 1996: The NCEP/NCAR 40-Year Reanalysis Project. Bull. Amer. Meteor. Soc., 77, 437-471 Kanamitsu, M., W. Ebisuzaki, J. Woollen, S.-K. Yang, J. J. Hnilo, M. Fiorino, and G. L. Potter, 2002: NCEP-DEO AMIP-II Reanalysis (R2). Bull. Amer. Meteor. Soc., 83, 1631-1643 Phillips, T. J., and P. J. Gleckler, 2006: Evaluation of continental precipitation in 20th century climate simulations: The utility of multimodel statistics. Water Resources Research, 42, doi:10.1029/2005WR004313
14
Curah Hujan di Benua Maritim dari Empat Reanalisis Terbaru (Suaydhi)
Rienecker, M. M., and Coauthors, 2011: MERRA: NASA's Modern Era Retrospective Analysis for Research and Applications. J. Climate, 24, 3624-3648, 10.1175/JCLI-D-11-00015.1 Saha, S., and Coauthors, 2010: The NCEP Climate Forecast System Reanalysis. Bull. Amer. Meteor. Soc., 91, 1015-1057, 10.1175/2010BAMS3001.1 Taylor, K. E., 2001: Summarizing multiple aspects of model performance in a single diagram. J. Geophys. Res., 106, 7183-7192 Xie, P., and P. Arkin, 1996: Analysis of global monthly precipitation using gauge observations, satellite estimates, and numerical model predictions. J. Climate, 9, 840-858
15
Estimasi Sumber Panas Berbasis Merra di Indonesia (Sinta B.Sipayung)
ESTIMASI SUMBER PANAS BERBASIS REANALISIS MERRA DI INDONESIA Sinta Berliana Sipayung dan Indah Susanti Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer - LAPAN Jln. Dr. Djunjunan 133 Bandung 40173 e-mail:
[email protected] ABSTRAK Pemanasan atmosfer yang beragam menurut ruang dan waktu diduga memiliki peran yang cukup signifikan terhadap sirkulasi atmosfer, khususnya yang terjadi di kawasan ekuator Indonesia. Atas dasar itulah, maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan mengetahui hujan konvektif berdasarkan distribusi profil sumber panas yang ada di Benua Maritim Indonesia (BMI) dan sekitarnya berbasis hasil analisis data satelit dari reanalisis MERRA (Modern Era Retrospective-Analysis for Research and Applications) selama 10 tahun pengamatan (2003-2012) untuk 11 level ketinggian. Dengan menggunakan reverse method dari parameter suhu dan angin dalam 3 dimensi, masing-masing zonal (Barat-Timur), meridional (Utara-Selatan) dan vertikal (Atas-Bawah), maka diperoleh sumber panas di BMI relatif kuat di permukaan dan merambat naik secara perlahan hingga lapisan 850 mb (sekitar 1,45 km di atas permukaan laut, dpl), khususnya untuk kawasan yang letaknya di atas Belahan Bumi Selatan (BBS) yang didominasi hujan kuat selama bulan basah (DJF). Pada waktu yang sama, terjadi pula sumber panas minimum, tetapi di Belahan Bumi Utara (BBU). Hasil analisis secara vertikal di atas kota Pontianak menunjukkan bahwa pada saat terjadinya La-Nina 2010, Pontianak umumnya didominasi oleh kumpulan awan-awan konvektif. Hal ini dibuktikan dengan diperolehnya dua puncak sebaran panas, masing-masing di lapisan 850 dan 600 mb atau setara dengan ketinggian sekitar 1,45 dan 5 km dpl. Kumpulan awan-awan konvektif ini justru sudah terbentuk di lapisan bawah (sekitar 1,45 km dpl). Jika hanya pada satu lapis atmosfer, mungkin curah hujan yang dihasilkan tidak seberapa. Namun, terdapat dua lapisan utama yang dicapai awan-awan konvektif sebagaimana dijelaskan di atas. Ini mengindikasikan bahwa peranan awan-awan konvektif cukup besar dalam memberi sumbangsih terjadinya hujan di Pontianak. Jika Pontianak dapat dianggap mewakili BMI, maka pada saat La-Nina 2010, BMI didominasi oleh kumpulan awan-awan konvektif, walaupun ada juga kumpulan awan stratiform, tetapi relatif kecil.
16
Estimasi Sumber Panas Berbasis Merra di Indonesia (Sinta B.Sipayung)
Kata-kata kunci: estimasi panas, presipitasi dan MERRA ABSTRACT Warming of the atmosphere that varies according to time and space is suspected to have a significant role to the atmospheric circulation, particularly in the equatorial region of Indonesia. On this basis, the research was conducted with the aim of knowing the convective rain based on the profile distribution of heat sources in the Indonesian Maritime Continent (IMC) and the surrounding satellite-based data analysis results of the reanalysis MERRA (Modern Era Retrospective-Analysis for Research and Applications) for 10 years of observation (2003-2012) to 11 altitude levels. By using a reverse method of the parameters of temperature and wind in 3 dimensions each zonal (West-East), meridional (North-South) and vertical (Up-Down), the obtained heat source in IMC are relatively strong in the surface and rises slowly going up to 850 mb layer (approximately 1.45 km above mean sea level, msl), particularly for the region that is located on top of the Southern Hemisphere (SH) which is dominated by strong rains during the wet season (DJF). At the same time, there is also a minimum heat source, but in the Northern Hemisphere (NH). The results of the analysis vertically above the city of Pontianak shows that at the time of the La-Nina 2010, Pontianak generally dominated by a collection of convective clouds. This is proved by obtaining two peaks of heat distribution, one each in layers 850 and 600 mb, equivalent to an altitude of about 1.45 and 5 km above sea level. Set of convective clouds is actually already formed in the lower layer (about 1.45 km msl). If only one layer of the atmosphere would, perhaps resulting precipitation meager. However, there are two main layers of the convective clouds reached as described above. This indicates that the role of the convective clouds big enough to contribute in the rain in Pontianak. If Pontianak can be considered representative of BMI, then during La-Nina 2010, BMI collection is dominated by convective clouds, although there is also a collection of stratiform clouds, but relatively small. Key words: estimation of heat, precipitation, and MERRA
1
PENDAHULUAN Distribusi vertikal pemanasan atmosfer mempunyai peranan sangat penting dalam menentukan sirkulasi atmosfer (Hartmann dkk. 1984). Banyak studi telah menerapkan persamaan dinamis untuk mengestimasi sumber panas di atmosfer dengan membandingkan antara data pengukuran anomali profil panas
17
Estimasi Sumber Panas Berbasis Merra di Indonesia (Sinta B.Sipayung)
dengan beberapa model. Walaupun tidak terkait secara langsung dengan topik di atas, diduga ada keterkaitan erat antara hujan konvektif terhadap profil vertikal panas pada fase basah, yakni fase musim hujan. Perilaku MJO (Madden-Julian Oscillation) di sepanjang Samudra Hindia diduga terkait erat dengan aktivitas panas. Ini merupakan penyebaran pemanasan skala besar dengan anomali sirkulasi atmosfer (Murakami and Nakazawa 1985; Hagos dkk. 2010; Lin and Johnson 1996 dan Yanai dkk. 1973, 2000). Pemanasan laten merupakan komponen kunci dalam sumber panas selama berlangsungnya presipitasi yang merupakan hasil dari transisi fase air di atmosfer. Untuk memperoleh gambaran yang lengkap mengenai proses pemanasan atmosfer, maka diperlukan adanya satu pemahaman yang mendalam tentang neraca uap air yang ada di atmosfer. Banyak usaha telah dilakukan untuk menentukan distribusi spasial dan temporal sumber panas atmosfer diantaranya menggunakan metode langsung (direct method), yakni dengan cara mengestimasi radiasi, kondensasi, dan komponen pemanasan sensibel secara bebas. Sementara, metode pembalikkan (reverse method) adalah memperoleh pemanasan netto dari sisi persamaan termodinamika dengan menggunakan data rutin meteorologi seperti komponen angin zonal dan meridional serta suhu. Dalam direct method, Chen (1982) dan Johnson dkk (1987), telah menghitung distribusi sumber panas di atas Dataran Tibet berdasarkan keseimbangan radiasi atmosfer dengan menggunakan data dari Earth Radiation Budget Experiment (ERBE). Hasilnya menunjukkan keseimbangan panas permukaan dengan fitting formula yang berasal dari radiasi permukaan panas sensibel dan fluks panas di Asia adalah sama. Berbeda dengan reverse method digunakan dalam distribusi pemanasan vertikal, yaitu untuk menganalisis distribusi sumber panas di wilayah Monsun Asia seperti mengestimasi distribusi panas global berdasarkan data asimilasi global empat dimensi selama Global Weather Experiment (Wei dkk, 1983), Nitta (1983) telah menganalisis keseimbangan panas dan kelembaban dengan menggunakan set data observasi udara atas FGGE II-b selama musim panas tahun 1979, bahwa tingkat pemanasan nyata dalam skala besar telah mengalami penurunan dari fase pre-onset Monsun sampai post-onset Monsun pada periode 1978-1979 di Belahan
18
Estimasi Sumber Panas Berbasis Merra di Indonesia (Sinta B.Sipayung)
Bumi Selatan (Mukarami dkk, 1984). Hoskins dkk. (1989) telah mengestimasi sumber panas atmosfer skala global untuk periode 1979-1989 dan menunjukkan adanya variabilitas interannual dan musiman dari pemanasan atmosfer. Hal ini konsisten dengan mekanisme sistem monsun India yang dinyatakan oleh Krishnamurti dan Bhalme (1976). Bo (2006) menyatakan bahwa diketahui terdapat ditribusi pemanasan berupa tiga mesin panas di wilayah Monsun Asia, yaitu pemanasan di Semenanjung India bagian barat dan Laut Arabia Timur, serta pendinginan dari lautan Hindia Barat, begitu pula pemanasan di atas Teluk Benggala dan pendinginan di atas Lautan Hindia Tengah dan pemanasan di atas Laut Cina Selatan/Pasifik Barat dan pendinginan di atas Australia. 2 2.1
DATA DAN METODOLOGI Data Data yang digunakan adalah set data reanalisis MERRA (Modern Era-Restrospective Analysis for Research and Application) bulanan dengan dimensi grid 288 bujur x 144 lintang (1,25°x1,25°), untuk 42 level ketinggian mulai 1000 – 1 mb, dengan cakupan wilayah bujur 80-150° dan lintang -20° – 20° dari tahun 2003 hingga 2012. Data tersebut dihitung dengan menggunakan reverse method dari parameter suhu, komponen arah dan kecepatan angin dalam tiga dimensi (angin zonal, meridional, dan vertikal). Parameter yang digunakan ini, diambil dari data MERRA yang merupakan data reanalisis atmosfer yang dikelola NASA untuk era satelit dengan menggunakan versi baru dari the Goddard Earth Observing System Data Assimilation System Version 5 (GEOS-5). Data MERRA fokus pada analisis historis terhadap siklus hidrologis dalam skala waktu iklim dan cuaca. Terdapat banyak sumber data yang merupakan input bagi asimilasi data MERRA, diantaranya adalah MODIS Winds, AIRS, TOVS, QuikScat, GEOS Sounder, TRMM rain rate, SSM/I, Wind Profiler, radiosonde, dropsonde, dan sebagainya. Versi data MERRA yang digunakan adalah inst_3d_asm_Cp (MAI3CPASM atau MERRA IAU 3d assimilated state on pressure).
19
Estimasi Sumber Panas Berbasis Merra di Indonesia (Sinta B.Sipayung)
2.2
Metodologi Metode yang digunakan adalah berdasarkan distribusi pemanasan reverse method, yaitu pemanasan wilayah Monsun Asia di Semenanjung India bagian barat dan Laut Arabia timur, serta pendinginan dari lautan Hindia barat, pemanasan di atas Teluk Benggala dan pendinginan di atas Lautan Hindia Tengah dan pemanasan di atas Laut Cina Selatan/ Pasifik Barat dan pendinginan di atas Australia. Sumber panas dapat ditentukan dengan menggunakan formula: 𝑝 𝑘
𝜕𝜃
𝜕𝜃
..………… (1)
𝑄1 = (𝑝 ) ( 𝜕𝑡 + 𝑉 ∙ ∇𝜃 + 𝜔 𝜕𝑝) 0
dimana: 𝑇= suhu, 𝜃 = suhu potensial, 𝜔 = kecepatan vertikal dan 𝑉 = kecepatan zonal. Persamaan 1 banyak dirujuk oleh peneliti lainnya. Salah satunya adalah Johnson dkk (2009) untuk mengestimasi tingkat pemanasan radiatif terhadap aspek termodinamika dan kinematika aliran dan distribusi panas serta kelembaban di daerah Amerika Utara. Begitu juga Wong (2011) memperkenalkan formula baru dalam mengestimasi sumber panas di atmosfer yang diturunkan berdasarkan persamaan yang diungkapkan oleh Bo (2011) dan Yanai (1973), bahwa estimasi sumber panas (Q) adalah:
𝑄(𝑥, 𝑦, 𝑝, 𝑡) =
𝜕𝑇 𝜕𝑡
𝜕𝑇
𝜕𝑇
𝜕𝑇
+ 𝑢 𝜕𝑥 + 𝜗 𝜕𝑦 + 𝜔 𝜕𝑝 −
𝑘𝜔𝑇 𝑝
.
…………… (2)
dimana: 𝑢 = angin zonal dan 𝑘 = rasio udara kemarau. Persamaan 2 di atas diterapkan untuk mengetahui estimasi sumber panas (Q) dan dibandingkan dengan pembentukan awanawan aktif yaitu pada saat MJO aktif atau lemah pada 11 level ketinggian untuk wilayah Indonesia yang akan dibahas pada makalah ini. Hujan konvektif berdasarkan distribusi profil sumber panas yang ada di Benua Maritim Indonesia (BMI) akan dijelaskan pada 11 level ketinggian dengan menggunakan metode reverse (reverse method). 3
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambar 1 merupakan distribusi spasial estimasi sumber panas selama periode DJF (Desember-Januari-Februari) pada wilayah 20°LU-20°LS dan 80°BT-150°BT dimulai dari lapisan permukaan (1000 mb), diikuti dengan lapisan di atasnya, masing-
20
Estimasi Sumber Panas Berbasis Merra di Indonesia (Sinta B.Sipayung)
masing 1000, 925, 850, 700, 600, 500, 400, 300, 250, 200, dan 150 mb.
Gambar 1.
Sumber panas (Q) rata-rata untuk periode DJF pada 11 level ketinggian.
Estimasi sumber panas Benua Maritim Indonesia (BMI) relatif kuat di permukaan dan merambat naik secara perlahan hingga lapisan 850 mb (sekitar 1,45 km di atas permukaan laut, dpl), khususnya untuk kawasan yang letaknya di atas Belahan Bumi Utara (BBU) yang didominasi hujan kuat selama bulan basah (DJF). Sementara, di Belahan Bumi Selatan (BBS) Indonesia, terdapat pula sumber panas dengan intensitas yang relatif lebih rendah, terutama di lapisan 925 mb selama musim DJF yang didominasi hujan konvektif.
21
Estimasi Sumber Panas Berbasis Merra di Indonesia (Sinta B.Sipayung)
Gambar 2.
Sumber panas (Q) rata-rata bulanan pada periode JJA pada level 11 ketinggian.
Pada Gambar 2, terdapat sumber panas dengan intensitas yang relatif lebih tinggi, terutama di lapisan 925 mb selama periode JJA (Juni-Juli-Agustus). Wong (2011) juga mengungkapkan bahwa di wilayah Teluk Benggala terjadi anomali yang menurun, yang mengindikasikan adanya modifikasi dari sirkulasi Hadley regional. Gambar 3 adalah distribusi spasial sumber panas rata-rata bulanan selama 10 tahun (2003-2012) pada ketinggian 850mb. Ketinggian ini pada dasarnya dapat mewakili 11 level karena dianalisis paling jelas menunjukkan sumber panas di wilayah Indonesia. Selain itu, level 850mb merupakan level dimana terjadi peningkatan sumber panas yang paling besar. Gambar tersebut dapat menjelaskan distribusi sumber panas di benua maritim Indonesia selama 10 tahun pengamatan sejak 2003 hingga 2012. Walaupun agak rumit untuk dijelaskan satu per satu, tetapi ada
22
Estimasi Sumber Panas Berbasis Merra di Indonesia (Sinta B.Sipayung)
satu hal menarik untuk dianalisis, yakni distribusi sebaran panas yang terjadi berdasarkan perubahan warna. Jika warna merah mengindikasikan adanya kumpulan sumber panas, sebaliknya, warna biru menunjukkan sumber dingin.
Gambar 3.
Profil sumber panas (Q) rata-rata bulanan selama 10 tahun (2003-2012) pada bulan Januari, April, Juli, dan Oktober pada ketinggian 850 mb.
Untuk mengetahui lebih jauh hasil analisis di atas (Gambar 3), dilakukanlah analisis sumber panas yang terjadi selama musim transisi dari musim kemarau ke musim penghujan, yakni selama periode SON (September-Oktober-November) tahun 2010 seperti nampak pada Gambar 4. Gambar ini menunjukkan sebaran panas pada periode yang sama, tetapi hanya tahun 2010. Ini terkait dengan adanya indikasi bahwa pada periode tersebut (SON 2010), hampir seluruh kawasan Indonesia mengalami musim basah yang relatif panjang, yakni saat terjadinya La-Nina. Hal ini terlihat jelas adanya perbedaan yang signifikan antara distribusi pada SON tahun 2010 pada ketinggian 850mb dengan kondisi pada saat terjadinya La-Nina dengan tahun yang sama. Terlihat jelas adanya perbedaan nilai intensitas pemanasan yang ditandai dengan perubahan warna yang tadinya didominasi warna merah (konvektif aktif) dan warna biru (konvektif lemah).
23
Estimasi Sumber Panas Berbasis Merra di Indonesia (Sinta B.Sipayung)
Gambar 4.
Distribusi sebaran panas di atas wilayah Indonesia (panel atas), dan distribusi curah hujan konvektif pada periode yang sama, tetapi pada tahun 2010 saat terjadinya La-Nina (panel bawah).
Sebagaimana diketahui, pada tahun 2010 BMI dilanda LaNina. Namun, satu hal yang harus dipahami bahwa tidak semua kawasan di BMI sensitif terhadap dampak La-Nina. Oleh karena itu, dipandang perlu untuk dilakukan analisis profil vertikal sumber panas saat terjadinya La-Nina. Kota yang dipilih adalah Pontianak yang terletak di garis ekuator. Dipilihnya kota ini selain memiliki data pengamatan yang relatif lengkap, kota ini juga memiliki dua kali puncak curah hujan (dikenal dengan istilah SAO, Semi Annual Oscillation). Analisis ini lebih menarik manakala dilakukan di saat La-Nina diduga melanda Pontianak dan kawasan sekitarnya. Analisis di atas dapat dilihat di Gambar 5.
24
Estimasi Sumber Panas Berbasis Merra di Indonesia (Sinta B.Sipayung)
Gambar 5.
Profil vertikal sumber panas, hujan konvektif dan hujan stratiform pada periode yang sama, tahun 2010 saat terjadinya La-Nina di Pontianak.
Walaupun agak rumit didiskusikan, tetapi dapat disampaikan berdasarkan Gambar 5 di atas, terlihat jelas bahwa profil vertikal panas (Q) mencapai maksimum di ketinggian sekitar 500 mb (setara dengan ketinggian sekitar 5,8 km di atas permukaan laut, dpl). Nilai ini ternyata tidak jauh berbeda dengan yang dicapai oleh tipe hujan stratiform pada ketinggian sekitar 400 mb (setara dengan 6,0 km dpl). Ini mengindikasikan bahwa pada saat terjadinya La-Nina 2010 di atas Pontianak banyak terbentuk kumpulan awan stratiform. Awan-awan ini memang diduga tidak menghasilkan hujan karena memang terbentuk bukan akibat adanya konveksi yang cukup kuat di Pontianak. Bisa saja, kumpulan awan ini berasal dari kawasan sekitar Pontianak yang memang bukan berasal dari lautan/samudera, sehingga diduga relatif sedikit dengan kumpulan uap air. Namun demikian, berdasarkan Gambar 5 di atas pula, terdapat kumpulan awan lain, yakni konvektif yang justru mencapai puncaknya di dua lapisan, masing-masing 850 dan 600 mb atau setara dengan ketinggian sekitar 1,45 dan 5 km dpl.
25
Estimasi Sumber Panas Berbasis Merra di Indonesia (Sinta B.Sipayung)
Kumpulan awan konvektif ini justru sudah terbentuk di lapisan bawah (sekitar 1,45 km dpl). Jika hanya pada satu lapis atmosfer saja, mungkin curah hujan yang dihasilkan tidak seberapa. Namun, terdapat dua lapisan utama yang dicapai awan-awan konvektif sebagaimana dijelaskan di atas. Ini mengindikasikan bahwa peranan awan-awan konvektif cukup besar dalam memberi sumbangsih terjadinya hujan di Pontianak. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penyebab utama terjadinya peningkatan intensitas hujan tahun 2010 di Pontianak dan kawasan sekitarnya, secara dominan disebabkan oleh adanya kumpulan awan-awan konvektif yang mencapai puncaknya di dua lapisan utama, yakni sekitar 850 dan 600 mb yang berada relatif tepat di garis ekuator, diduga pada saat itu (tahun 2010) pengaruh La-Nina cukup dominan di atas Pontianak. 4
KESIMPULAN. Dengan menggunakan reverse method dapat disimpulkan bahwa sumber panas di setiap level diketahui relatif kuat ada di permukaan hingga mencapai puncaknya di ketinggian 850 mb (sekitar 1,45 km di atas permukaan laut), terutama untuk Belahan Bumi Selatan (BBS), yakni saat periode musim basah (DJF). Sementara pada musim kemarau (JJA), sumber panas relatif kuat di Belahan Bumi Utara (BBU). Adanya perbedaan ini diduga erat terkait dengan adanya pergerakan semu matahari terhadap bumi, dimana pada saat matahari di BBU, pusat pemanasan berada di BBU, begitupun sebaliknya. Selain itu, diketahui adanya perbedaan signifikan sebaran panas pada periode yang sama. Dengan mengambil studi kasus tahun 2010 saat terjadinya LaNina, diperoleh indikasi bahwa pada periode tersebut, SeptemberOktober-November (SON) 2010, hampir seluruh kawasan Indonesia mengalami musim basah, yakni saat terjadinya La-Nina. Hal ini dibuktikan dengan analisis profil vertikal sumber panas, hujan konvektif dan hujan stratiform pada periode yang sama yang terjadi di atas Pontianak. Hasilnya menunjukkan bahwa pada saat LaNina tidak hanya kumpulan awan stratiform saja yang terbentuk, justru yang paling dominan adalah kumpulan awan-awan konvektif, tidak hanya dominan di lapisan bawah saja sekitar 850 mb (setara dengan 1,45 km dpl), tetapi juga di lapisan atasnya sekitar 600 mb (setara dengan 5 km dpl). Ini yang menyebabkan
26
Estimasi Sumber Panas Berbasis Merra di Indonesia (Sinta B.Sipayung)
efek (pengaruh) La-Nina begitu dirasakan di beberapa kawasan di Indonesia, khususnya kawasan yang letaknya relatif dekat dengan garis ekuator, seperti Pontianak. DAFTAR RUJUKAN Bo Z., C. Longxun, X. Jianmin, H. Jinhai, Z. Congwen, and L. Wei, 2006: Atmospheric Heat Sources and Their Characteristics in Asia during Summer:Comparison of Results Calculated using Multiple Reanalysis Datasets. J.Meteor. Res., 2009, 23 (5), 585-597 Bo, Z., C. Longxun, X. Jianmin, H.. Jinhai, Z. Congwen, L. Wei., 2011: Atmospheric Heat Source and Their Characteristics in Asia during Summer : Comparison of Result Calculated using Multiple Reanalisis Dataset. ADVANCES IN ATMOSPHERIC SCIENCES, 28, NO. 5, 1039-1048 Chen, L. X., and Li, W. L. 1982: The structure of monthly atmosphere heat sources over the Asian Monsun region. Proceedings of National Seminar on Tropical Summer Monsun (II). pp. 246–255. Yunnan People’s Publishing House, Kunming (in Chinese). Hagos, S., and Coauthors., 2010: Estimates of tropical diabatic heating profiles: Commonalities and uncertainties. J. Climate, 23, 542–558 Hoskins, B. J., H. H. Hsu, I. N. James, M. Masutani, P. D. Sardeshmukh, and G. H.White., 1989: Diagnostics of the global atmospheric circulation based on ECMWF analyses 1979-1989. World Climate Research Programme-27, WMO/TD-326, 217pp. Hartmann, D. L., H. H. Hendon, and R. A. Houze Jr., 1984: Some Implications of the Mesoscale Circulations in Cloud Clusters for Large-Scale Dynamics and Climate. J. Atmos. Sci., 41, 113–121 Johnson, D.R., M. Yanai and T.K. Schaack, 1987: Global and regional distributions of atmospheric heat sources and sinks during the GWE. Monsun Meteorology, Edited by C.P. Chang and T.N. Krishnamarti, Oxford University Press, 271-297 Johnson R. H., P. E. Ciesielski, T. S. L’ecuyer, and A. J. Newman., 2009: Diurnal Cycle of Convection during the 2004 North American Monsun Experiment. J. of Climate., 23, 10601078 Krishnamurti, T. N. and H. N. Bhalme, 1976: Oscillations of a Monsun system. Part I: Observational aspects, J. Atmos. Sci., 33, 1937–1954
27
Estimasi Sumber Panas Berbasis Merra di Indonesia (Sinta B.Sipayung)
Lin, X., and R. H. Johnson., 1996: Heating, moistening, and rainfall over the western Pacific warm pool during TOGA COARE. J. Atmos. Sci., 53, 3367–3383 Murakami, T., T. Nakazawa, and J. He., 1984: On the 40-50 day oscillation during 1979 Northern Hemisphere summer. Part I: Phase propagation. J. Meteor. Soc. Japan, 62, 440– 468 Nitta, T., 1983: Observational study of heat sources over the eastern Tibetan Plateau during the summer Monsun. J. Meteor.Soc. Japan, 61, 590–605 Wei, M.-Y., D. R. Johnson, and R. D. Townsend, 1983: Seasonal distributions of diabatic heating during the First GARP Global Experiment, Tellus, 35A, 241-255 Yanai, M., S. Esbensen, and J.-H. Chu, 1973: Determination of bulk properties of tropical cloud clusters from large-scale heat and moisture budgets. J. Atmos. Sci., 30, 611–627 Yanai, M., B. Chen, andW.-W. Tung, 2000: The Madden–Julian oscillation observed during the TOGA COARE IOP: Global view. J. Atmos.Sci., 57, 2374–2396
28
Studi Karakteristik Konvektif Terkait Monsun di Indonesia (Krismianto)
STUDI KARAKTERISTIK KONVEKTIF TERKAIT MONSUN DI INDONESIA Krismianto Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer Jl. Dr. Djundjunan no. 133, Bandung 40173 e-mail :
[email protected] ABSTRAK Pengaruh monsun terhadap distribusi curah hujan di wilayah Indonesia sangat penting untuk dipelajari. Monsun yang sangat berpengaruh terhadap distribusi curah hujan di Indonesia adalah monsun AsiaAustralia. Aktivitas konvektif memiliki karakteristik yang sama dengan karakteristik curah hujan sehingga pengaruh monsun terhadap distribusi curah hujan dapat dipelajari dengan melihat pengaruh monsun terhadap karakteristik dari aktivitas konvektif. Tujuan dari penelitian ini adalah ingin mengetahui seberapa besar pengaruh monsun Asia-Australia terhadap aktivitas konvektif di masing-masing wilayah di Indonesia. Analisis komposit terhadap monsun dan pengaruhnya terhadap aktivitas konvektif di wilayah Indonesia telah dilakukan. Data yang digunakan untuk analisis adalah data angin zonal dan meridional dari NCEP/NCAR dan data TBB dari satelit MTSAT. Set data yang digunakan adalah data tahun 1998 hingga tahun 2009. Hasilnya adalah monsun Asia-Australia sangat besar pengaruhnya terhadap aktivitas konvektif di wilayah Indonesia bagian selatan. Perubahan aktivitas konvektif akibat monsun sangat jelas di wilayah tersebut. Monsun Asia sangat berpengaruh terhadap peningkatan aktivitas konvektif sedangkan monsun Australia sangat berpengaruh terhadap penurunan aktivitas konvektif. Wilayah Indonesia yang berada di sekitar garis ekuator, aktivitas konvektifnya relatif konstan tinggi sepanjang tahun. Hal tersebut membuktikan bahwa pengaruh monsun lebih kecil di wilayah tersebut. Khusus untuk wilayah Papua lebih didominasi oleh sirkulasi Walker dan tidak terlalu terpengaruh oleh monsun. Kata-kata kunci: Monsun, karakteristik, konvektif, Indonesia. ABSTRACT The influence of the monsoon on the distribution of rainfall in Indonesia is very important to be learned. The most influential monsoon on rainfall distribution in Indonesia is an Asian-Australian monsoon. Convective activity has the same characteristics with the characteristics of rainfall so that the influence of the monsoon on the distribution of rainfall can be learned by looking at the influence of the monsoon on the characteristics of convective activity. The purpose of this study is to
29
Studi Karakteristik Konvektif Terkait Monsun di Indonesia (Krismianto)
determine how much the influence of the Asian-Australian monsoon to the convective activity in each region in Indonesia. Composite analysis of the monsoon and its effect on convective activity in Indonesia has been done. The data for analysis is the zonal and meridional wind data from NCEP/NCAR and TBB data from MTSAT. The data is from 1998 to 2009. The result is Asian-Australian monsoon have very large effect on convective activity in the southern part of Indonesia. Changes due to monsoon convective activity are very evident in that region. Asian monsoon was very influential on the increase in convective activity while the Australian monsoon was very influential on the decrease in convective activity. As for Indonesia, which is located in the region around the equator, the convective activity is relatively constant high throughout the year. It is proved that the influence of the monsoon is smaller in that region. Especially for the Papua region, it is dominated by the Walker circulation and not too affected by the monsoon. Keywords: Monsoon, characteristics, convective, Indonesia.
1
PENDAHULUAN Salah satu fenomena global yang sangat berpengaruh terhadap cuaca dan iklim di Indonesia adalah monsun. Monsun merupakan angin yang berbalik arah secara musiman yang disebabkan oleh perbedaan pemanasan antara daratan dan lautan. Salah satu ciri suatu wilayah didominasi oleh pengaruh monsun adalah wilayah tersebut memiliki perbedaan yang tegas antara musim hujan dan musim kemarau. Monsun yang sangat berpengaruh terhadap distribusi curah hujan di Indonesia adalah monsun Asia-Australia yang onsetnya berlangsung dari barat laut ke tenggara (Aldrian, et al., 2003). Monsun Asia dapat diidentifikasi menggunakan IMI (Indian Monsoon Index) dan WNPMI (Western North Pacific Monsoon Index) (Wang, et al., 2001) serta WYMI (Webster and Yang Monsoon Index) (Webster, et al., 1992), sedangkan monsun Australia dapat diidentifikasi menggunakan AUSMI (Australian Monsoon Index) (Kajikawa, et al., 2009). Indonesia masuk dalam wilayah ekuatorial dan dilewati oleh garis ekuator sehingga wilayah Indonesia ada yang berada di belahan Bumi Bagian Utara (BBU) dan ada yang berada di Belahan Bumi Bagian Selatan (BBS). Wilayah ekuatorial merupakan wilayah konveksi aktif ditandai dengan banyaknya awan-awan konvektif yang tumbuh di wilayah tersebut. Wilayah konveksi aktif tersebut merupakan bagian dari daerah ITCZ (Intertropical Convergence Zone). ITCZ bergerak ke arah utara dan selatan mengikuti gerak semu matahari. Pergerakan ITCZ
30
Studi Karakteristik Konvektif Terkait Monsun di Indonesia (Krismianto)
sangat dipengaruhi oleh gerak semu matahari, maka ITCZ yang berada di wilayah Indonesia terkait erat dengan fenomena monsun. Keterkaitan monsun dengan aktivitas konvektif telah banyak dipelajari. Pertumbuhan dan pergerakan konvektif musiman telah dianalisis di atas Darwin, Australia, untuk melihat karakteristiknya secara statistik (May, et.al, 2006). Hasil analisis data 8 tahun radar presipitasi dari satelit TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission) menunjukkan bagaimana sistem konvektif memiliki kontribusi terhadap presipitasi di wilayah monsun Asia Selatan (Romatschke, et.al, 2011). Pengaruh monsun terhadap karakteristik konvektif di wilayah Indonesia sangat penting untuk dipelajari karena karakteristik konvektif sangat berpengaruh terhadap karakteristik distribusi curah hujan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh monsun Asia-Australia terhadap aktivitas konvektif di masing-masing wilayah di Indonesia. 2
DATA DAN METODOLOGI Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data NCEP/NCAR angin zonal dan meridional bulanan di ketinggian 850 mb tahun 1998 sampai dengan tahun 2009. Khusus untuk data angin zonal, selain akan digunakan untuk mencari vektor angin juga akan digunakan untuk mencari nilai indeks monsun. Indeks monsun yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah indeks monsun Asia dan indeks monsun Australia (AUSMI). Indeks monsun Asia yang digunakan hanya WYMI karena diasumsikan sudah mampu menggambarkan karakteristik dari monsun Asia. Tabel 1.
Rumus mencari WYMI (Webster, et al., 1992) dan AUSMI (Kajikawa, et al., 2009)
Indeks Rumus Monsun U850(40-110E,EQ-20N)-U200(40-110E,EQ-20N) WYMI AUSMI U850(110-130E,15S-5S) Keterangan: U=angin zonal Selain data indeks monsun, pada penelitian ini juga akan digunakan data suhu puncak awan (TBB) yang diperoleh dari data satelit MTSAT (Multi-functional Transport Satellites) kanal IR1. Data TBB yang digunakan adalah data TBB rata-rata bulanan tahun 1998 sampai
31
Studi Karakteristik Konvektif Terkait Monsun di Indonesia (Krismianto)
dengan tahun 2009. Data TBB digunakan untuk melihat aktivitas konvektif dimana ketika TBB-nya rendah berarti aktivitas konvektifnya tinggi dan sebaliknya. Metode analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah metode analisis komposit. WYMI dan AUSMI dikompositkan sehingga diperoleh data indeks rata-rata bulanan. Pola dari data indeks tersebut kemudian dianalisis keterkaitannya dengan pola pergerakan arah angin serta aktivitas konvektif di setiap wilayah di Indonesia. 3
HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan Gambar 1, dapat dilihat bahwa nilai AUSMI pada bulan Maret sebesar 0,8, menurun drastis dari bulan sebelumnya yang memiliki nilai AUSMI sebesar 1,7. Penurunan tersebut berlanjut hingga bulan Mei serta mencapai nilai terendahnya yaitu sekitar -1,0 pada bulan Juli dan Agustus. Pada bulan September, terlihat mulai ada peningkatan nilai indeksnya meskipun hanya sedikit, tetapi terus berlanjut hingga mencapai puncaknya pada bulan Februari sebesar 1,7. Nilai WYMI berkebalikan dengan nilai AUSMI. Bulan Juli dan Agustus justru mencapai nilai tertingginya dengan nilai indeks sebesar 1,5 dan mulai bulan September terlihat nilai indeksnya mulai turun dan terus turun hingga mencapai nilai terendahnya yaitu sebesar -1,1 pada bulan Januari dan Februari. AUSMI dan WYMI memiliki pola yang berkebalikan, ketika nilai AUSMI tinggi maka nilai WYMI rendah dan sebaliknya.
Indeks Monsun (Normalized)
2.0
AUSMI
0.0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 -2.0
Gambar 1.
AUSMI dan WYMI Bulanan Rata-rata (1998 s/d 2009)
WYMI
Bulan
Indeks monsun AUSMI dan WYMI bulanan rata-rata tahun 1998 hingga tahun 2009.
Pada saat nilai indeks monsun Asia mencapai nilai terendahnya (sekitar -1,0) yaitu pada bulan Desember, Januari dan Februari (DJF), pengaruh monsun Asia terhadap wilayah Indonesia justru mencapai puncaknya. Pada bulan-bulan tersebut wilayah Indonesia di bagian
32
Studi Karakteristik Konvektif Terkait Monsun di Indonesia (Krismianto)
selatan didominasi oleh angin baratan yang kecepatannya ada yang mencapai 10 m/s serta membawa banyak massa uap air dari Samudera Hindia. Aktivitas konvektif di sebagian besar wilayah Indonesia bagian selatan pada saat itu mencapai puncaknya ditandai dengan nilai TBB kurang dari 260K seperti yang terlihat dalam Gambar 2. Angin baratan kurang begitu terlihat di wilayah Indonesia bagian utara meskipun nilai TBB-nya juga kurang dari 260K. Angin baratan bertubrukan dengan angin dari Samudera Pasifik yang lebih kuat di wilayah tersebut sehingga terlihat lebih didominasi oleh angin dari Samudera Pasifik.
Gambar 2.
Vektor angin dan TBB di Indonesia pada bulan DJF.
Pada saat bulan Maret, April, dan Mei (MAM) dimana pada saat itu nilai indeks monsun Asia mulai meningkat, terlihat jelas bahwa pengaruh monsun Asia terhadap angin baratan yang banyak membawa massa uap air dari Samudera Hindia justru mulai melemah. Hal tersebut mengakibatkan menurunnya aktivitas konvektif di sebagian besar wilayah Indonesia karena semakin menurunnya massa uap air yang terbawa ke wilayah Indonesia (seperti yang terlihat dalam Gambar 3). Penurunan aktivitas konvektif terbesar terjadi pada wilayah Indonesia bagian selatan dekat Australia yang ditunjukkan dengan nilai TBB lebih dari 275K. Wilayah Indonesia bagian utara dan bagian selatan yang dekat dengan garis ekuator serta wilayah Papua, memiliki nilai TBB berkisar antara 260K hingga 275K yang berarti aktivitas konvektifnya sedang.
33
Studi Karakteristik Konvektif Terkait Monsun di Indonesia (Krismianto)
Gambar 3.
Vektor angin dan TBB di Indonesia pada bulan MAM.
Pada saat bulan JJA, aktivitas konvektif di wilayah Indonesia bagian selatan, kecuali Papua rendah sekali. Nilai TBB-nya sangat tinggi, yaitu lebih dari 275K seperti yang terlihat dalam Gambar 4. Monsun Australia yang menguat dan melemahnya monsun Asia mengakibatkan wilayah Indonesia yang berada di bagian selatan didominasi oleh angin timuran yang kuat dengan kecepatan hingga 10 m/s. Angin timuran tersebut hanya sedikit membawa massa uap air karena berasal dari Australia yang berupa daratan dan hanya melewati perairan antara Australia dan Indonesia yang relatif tidak luas. Wilayah Indonesia yang berada di sekitar garis ekuator, aktivitas konvektifnya masih relatif sedang dengan nilai TBB-nya berkisar 260K hingga 275K meskipun tampak angin timuran juga mendominasi di wilayah tersebut. Hal ini disebabkan karena wilayah tersebut mengalami pemanasan yang relatif tinggi dan konstan sepanjang tahun.
Gambar 4.
Vektor angin dan TBB di Indonesia pada bulan JJA.
34
Studi Karakteristik Konvektif Terkait Monsun di Indonesia (Krismianto)
Pada saat bulan September, Oktober, dan Nopember (SON), aktifitas konvektif di wilayah Indonesia mulai menguat. Hal tersebut dapat diketahui dari nilai TBB yang mulai menurun hingga kurang dari 275K seperti yang terlihat dalam Gambar 5. Khusus untuk wilayah Indonesia bagian selatan dekat Australia, aktivitas konvektifnya masih relatif rendah dengan nilai TBB yang masih lebih tinggi dari 275K. Hal ini disebabkan meskipun angin timuran akibat monsun Australia mulai melemah (ditandai dengan kecepatannya yang menurun hingga kurang dari 4 m/s) tetapi masih mendominasi.
Gambar 5.
Vektor angin dan TBB di Indonesia pada bulan SON.
Pengaruh monsun terhadap karakteristik aktivitas konvektif di wilayah Indonesia sekitar ekuator yang didominasi oleh wilayah berpola hujan ekuatorial berbeda dengan aktivitas konvektif di wilayah Indonesia bagian selatan yang didominasi oleh wilayah berpola hujan monsunal. Berdasarkan Gambar 6 dapat dilihat bahwa pengaruh monsun hanya terlihat jelas untuk wilayah Indonesia bagian selatan dengan dicirikan oleh fluktuasi indeks konvektifnya yang tinggi.
Gambar 6.
Indeks konvektif bulanan rata-rata tahun 1998 s/d 2009.
35
Studi Karakteristik Konvektif Terkait Monsun di Indonesia (Krismianto)
Khusus untuk wilayah Papua hanya dipengaruhi oleh monsun Asia saja dan itu hanya terjadi pada bulan DJF dimana pada saat itu kecepatan angin baratannya sangat kuat (sekitar 10 m/s). Aktivitas konvektif di wilayah Papua relatif tinggi sepanjang tahun meskipun tidak mendapatkan pemanasan yang relatif konstan tinggi sepanjang tahun seperti wilayah yang berada di sekitar garis ekuator. Hal tersebut disebabkan pengaruh sirkulasi Walker yang banyak membawa massa uap air dari Samudera Pasifik seperti yang terlihat dalam Gambar 7.
DJF
MAM
JJA
SON
Gambar 7. Aktivitas konvektif di wilayah Papua lebih didominasi oleh pengaruh dari sirkulasi Walker.
4
KESIMPULAN Berbeda dengan pengaruh monsun Australia yang kuat ketika nilai indeksnya besar (>1), pengaruh monsun Asia terhadap aktivitas konvektif di wilayah Indonesia justru semakin kuat ketika nilai indeksnya kecil (<-1). Tinggi rendahnya aktivitas konvektif dapat dilihat dari nilai TBB-nya dimana jika nilai TBB-nya kurang dari 260K berarti aktivitas konvektifnya tinggi, jika lebih dari 280K berarti aktivitas konvektifnya rendah, dan jika diantara keduanya berarti aktivitas konvektifnya sedang. Monsun Asia dan Australia sangat besar pengaruhnya terhadap aktivitas konvektif di wilayah Indonesia bagian selatan, kecuali Papua (10°LS–4°LS; 95°BT-130°BT). Perubahan aktivitas konvektif akibat monsun sangat jelas di wilayah tersebut yang dicirikan oleh nilai fluktuasi indeks konvektifnya yang sangat tinggi, yaitu antara
36
Studi Karakteristik Konvektif Terkait Monsun di Indonesia (Krismianto)
–2,5 hingga 1,5. Fluktuasi indeks konvektif di wilayah Indonesia sekitar garis ekuator (4°LS–6°LU; 95°BT-130°BT) sangat rendah hanya berkisar 0,0 hingga 1,0 sehingga pengaruh monsun terhadap aktivitas konvektif di wilayah tersebut kurang begitu terlihat. Rendahnya fluktuasi indeks konvektif tersebut disebabkan penerimaan radiasi matahari yang relatif tinggi sepanjang tahun di wilayah tersebut sehingga aktivitas konvektifnya juga relatif tinggi sepanjang tahun. Khusus untuk wilayah Papua (4°LS–EQ; 130°BT-140°BT) lebih didominasi oleh sirkulasi Walker dan tidak terlalu terpengaruh oleh monsun. Meskipun demikian, secara umum hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa wilayah Indonesia sangat dipengaruhi oleh monsun Asia-Australia. DAFTAR RUJUKAN Aldrian, E., and R. D. Susanto, 2003: Identification of three dominant rainfall regions within Indonesia and their relationship to sea surface temperature. Int. J. Climatol., 23, 1435-1452 Kajikawa, Y., B. Wang and J. Yang, 2009: A multi-time scale Australian monsoon index, Int. J. Climatol, doi: 10.1002/joc.1955 May, P. T., A. Ballinger, 2007: The Statistical Characteristics of Convective Cells in a Monsoon Regime (Darwin, Northern Australia). Mon. Wea. Rev., 135, 82–92 Romatschke, U., R. A. Houze, 2011: Characteristics of Precipitating Convective Systems in the South Asian Monsoon. J. Hydrometeor, 12, 3–26 Wang, B., R. Wu, K.-M. Lau, 2001: Interannual variability of Asian summer monsoon: Contrast between the Indian and western North Pacific-East Asian monsoons. J. Climate, 14, 4073-4090 Webster, P. J. and S. Yang, 1992: Monsoon and ENSO: Selectively interactive systems. Quart. J. Roy. Meteor. Soc., 118, 877-926
37
Anomali Hujan Indonesia Periode Januari Sampai Juni 2013 (Lely Q. Avia)
ANALISIS PENGARUH DINAMIKA ATMOSFER DAN LAUT TERHADAP ANOMALI HUJAN WILAYAH INDONESIA PERIODE JANUARI SAMPAI JUNI 2013 Lely Qodrita Avia Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer-LAPAN e-mail:
[email protected] ABSTRAK Tingginya intensitas hujan yang terjadi sampai dengan musim kemarau tahun 2013 ini telah memberikan dampak negatif di wilayah Indonesia. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (2013) melaporkan bahwa selama semester pertama tahun 2013, tampak kejadian bencana hidrometeorologi yang hampir mencapai 90% dari total kejadian bencana di Indonesia. Apa sesungguhnya yang terjadi pada dinamika atmosfer dan laut di Indonesia dan sekitarnya? Hal ini akan menjadi bahasan pada penelitian ini. Oleh karena itu, data intensitas hujan dari satelit TRMM 3B43V7 dan data-data iklim global di sekitar wilayah Indonesia periode Januari sampai Juni 2013 digunakan sebagai data utama pada penelitian. Diharapkan dari penelitian ini akan diperoleh pemahaman yang lebih baik mengenai kaitan antara dinamika atmosfer dan laut terhadap intensitas hujan di wilayah Indonesia. Hasil yang diperoleh menunjukkan adanya peningkatan intensitas hujan hampir di seluruh wilayah Indonesia dimana terlihat dominasi anomali intensitas hujan yang positif mencapai 0,50 mm/jam. Suhu permukaan laut di sekitar perairan Indonesia dan Samudera Pasifik bagian barat tampak lebih hangat, yaitu lebih tinggi 0,5°C sampai 1,5°C dari kondisi normalnya. Sedangkan suhu permukaan laut di Samudera Pasifik bagian tengah dan timur relatif lebih rendah dari pada suhu permukaan laut di sekitar perairan Indonesia. Maka dari itu, penguapan di Indonesia cukup besar sehingga meningkatkan intensitas hujan. Selain itu, tampak pergerakan angin zonal di 850 mb pada bulan April sampai Mei dominan menuju wilayah Indonesia baik angin timuran maupun angin baratan dengan anomali kecepatan yang sama, yaitu 4 m/s sampai 8 m/s. Hal ini menjadikan pertumbuhan awan-awan konvektif tetap aktif di wilayah Indonesia. Kata-kata kunci: anomali, intensitas hujan, iklim global, TRMM 3B43V7
38
Anomali Hujan Indonesia Periode Januari Sampai Juni 2013 (Lely Q. Avia)
ABSTRACT The high intensity of rainfall occuring until the dry season of 2013 has a negative impact on the Indonesian territory. Reported by the National Agency for Disaster Management (BNPB, 2013) during the first semester of 2013, it seems the hydrometeorological disasters almost reached 90% of the total disasters in Indonesia. What actually happened in the dynamics of the atmosphere and the sea in Indonesia and surrounding areas? This will be discussed in this research. Therefore, rainfall data 3B43V7 of TRMM satellite data and global climate data in the area around Indonesia from January to June 2013 were used as the main data on the research. This research is expected to obtain a better understanding of the relationship between the atmosphere and ocean dynamics and the intensity of rainfall in Indonesia regions. Result shows an increase of the rainfall intensity in almost regions of Indonesia which the dominance of positive rainfall intensity anomalies reached 0.50 mm/hour. The surface temperature around Indonesian water of Indonesia and western Pacific Ocean seemed warmer from 0.5 °C to 1, 5 °C from normal condition. While sea surface temperature in eastern and central of Pacific Ocean relatively lower than the sea surface temperature around the waters of Indonesia. Therefore, evaporation in Indonesia is quite large to increase the intensity of the rainfall. Furthermore, the movement of the zonal wind at 850 mb in April to May seems being dominant toward Indonesian region which is both easterlies and westerlies wind with the same velocity anomaly that is 4 m/s to 8 m/s. This makes the growth of convective clouds remain active in Indonesia. Key words: anomalies, rain rate, global climate index, TRMM 3B43V7
1
PENDAHULUAN Laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB, 2013) selama semester pertama tahun 2013 ini hampir 90% kejadian bencana di wilayah Indonesia masih didominasi oleh bencana hidrometeorologi seperti banjir, tanah longsor dan puting beliung. Sedangkan jumlah bencana lainnya sekitar 10% dari total kejadian. Berdasarkan data BNPB tersebut, tampak bencana banjir untuk setiap bulan dari Januari sampai Juni 2013 adalah sebanyak 37, 36, 29, 50, 39, dan 31 kejadian. Dampak dari bencana-bencana tersebut telah menyebabkan banyak keluarga terpaksa mengungsi ke tempat yang lebih aman dan juga menyebabkan rumah dan fasilitas lainnya menjadi rusak dalam
39
Anomali Hujan Indonesia Periode Januari Sampai Juni 2013 (Lely Q. Avia)
kategori parah, sedang dan ringan. Pada umumnya, kejadian bencana banjir maupun longsor tersebut berkaitan dengan intensitas hujan yang tinggi dan berlangsung dalam waktu yang lama. Iklim maupun cuaca berkaitan erat dengan atmosfer, tetapi dipengaruhi oleh interaksi antara atmosfer dan laut, biosfer, permukaan tanah, dan kriosfer. Oleh karena itu, iklim bervariasi pada semua skala waktu dan ruang (Mitchell, 1976; NRC, 1995). Variabel iklim ini memiliki pengaruh paling besar terhadap hidup dan kesejahteraan manusia. Bahkan, iklim memiliki pengaruh mendasar dari kegiatan ekonomi suatu negara (NRC, 1998). Curah hujan merupakan salah satu dari variabel iklim yang paling penting di Indonesia karena keragamannya sangat tinggi baik menurut waktu maupun tempat. Wilayah Indonesia memiliki banyak keunikan, terdiri dari banyak pulau yang tersebar di daerah tropis bahkan dilalui garis khatulistiwa, diapit oleh dua samudra dan dua benua. Posisi ini menjadikan Indonesia sebagai daerah pertemuan sirkulasi meridional (Utara-Selatan) yang dikenal sebagai sirkulasi Hadley dan sirkulasi zonal (Timur-Barat) yang dikenal sebagai sirkulasi Walker. Kedua sirkulasi tersebut sangat mempengaruhi keragaman iklim di Indonesia. Terdapat tiga faktor utama yang mempengaruhi iklim di Indonesia yaitu faktor global (El Nino/La Nina dan Dipole Mode), faktor regional (sirkulasi monsoon AsiaAustralia, suhu permukaan laut, ITCZ), dan faktor lokal yang juga tidak bisa diabaikan dimana kondisi topografi Indonesia yang banyak gunung, lembah, dan pantai yang menyebabkan semakin beragam kondisi iklim di Indonesia baik secara spasial maupun temporal (BMKG, 2009). Di samping itu, tampak adanya fenomena MJO (Madden Julian Oscillation) yang merupakan suatu gangguan tropis dan memiliki propagasi ke arah timur di sekitar daerah tropis global dengan siklus 30 sampai 60 harian. MJO juga memiliki dampak signifikan terhadap pola hujan yang meluas di daerah tropis dan subtropis terutama di daerah Samudera Hindia tropis, kawasan maritim kontinen dan daerah kolom hangat di Samudera Pasifik bagian barat. MJO memberikan dampak terhadap sirkulasi atmosfer, dan suhu permukaan di sekitar tropis dan subtropis global (Madden and Julian, 1994; Zhang 2005; Lau, Waliser, 2005;
40
Anomali Hujan Indonesia Periode Januari Sampai Juni 2013 (Lely Q. Avia)
Gottschalck and Wayne, 2012). Menurut Wheeler, McBride (2005), MJO mempengaruhi waktu awal dan mengatur variabilitas sistem monsun antar musim di Australia dan Indonesia. Terdapat anomali hujan yang tinggi melebihi kondisi normalnya sejak awal tahun 2013. Bahkan, seharusnya masuk musim kemarau tetapi di sebagian daerah hujan masih saja tinggi sehingga menyebabkan banyak bencana seperti telah dikemukakan di atas. Seberapa besarkah anomali intensitas hujan yang terjadi? Apa sesungguhnya yang terjadi pada dinamika atmosfer dan laut di sekitar Indonesia? Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui jawaban dari beberapa pertanyaan tersebut agar diperoleh pemahaman yang lebih baik akan kaitan antara dinamika atmosfer dan laut terhadap intensitas hujan di wilayah Indonesia. 2 DATA DAN METODOLOGI 2.1 Data Beberapa data digunakan pada penelitian ini. Pertama data satelit TRMM 3B43V7 untuk parameter intensitas hujan bulanan (monthly rain rate, dalam satuan mm/jam) yang diperoleh dari situs http://disc.sci.gsfc.nasa.gov. Data TRMM 3B43V7 tersebut merupakan data grid dengan resolusi temporal bulanan dan resolusi spasial 0.25° x 0.25° lintang bujur. Data yang diolah meliputi wilayah Indonesia dan sekitarnya (12°LU-12°LS; 90°BT145°BT) untuk periode bulan Januari sampai Juni tahun 2013. Kedua adalah data SST (Sea Surface Temperature), data angin zonal dan data MJO (Madden Julian Oscillation) di sekitar wilayah Indonesia yang diperoleh dari situs http://www.emc.ncep.noaa.gov. Ketiga Indeks Nino 3,4 berupa anomali SST daerah Nino 3,4 di Samudera Pasifik, data DMI (Dipole mode Index) di Samudera Hindia dan data OLR (Outgoing Longwave Radiation) di wilayah Indonesia yang diperoleh dari situs http://www.bom.gov.au. 2.2
Metodologi Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah pertama menentukan data intensitas hujan bulanan klimatologis untuk masing-masing bulan yaitu Januari sampai Juni berdasarkan data satelit TRMM 3B43V7 periode tahun 1998 sampai 2008.
41
Anomali Hujan Indonesia Periode Januari Sampai Juni 2013 (Lely Q. Avia)
Selanjutnya menghitung anomali intensitas hujan yang terjadi untuk bulan Januari sampai Juni tahun 2013 yang diperoleh dari selisih antara intensitas hujan bulanan yang terjadi pada periode tahun 2013 tersebut terhadap intensitas hujan bulanan klimatogisnya, yang secara matematis seperti persamaan (1). Xa (i) = X(i) - Xm (i) ................................ (1) dimana i menunjukkan bulan (1, 2, ..., 6), Xa (i) merupakan data anomali intensitas hujan untuk bulan i, X (i) adalah data intensitas hujan dari bulan i, Xm (i) adalah data klimatologi intensitas hujan bulanan untuk bulan i. Selanjutnya dilakukan analisis terhadap pola anomali intensitas hujan tersebut yang selanjutkan dikaitkan dengan analisis kondisi dinamika atmosfer dan laut di sekitar wilayah Indonesia berdasarkan data-data indeks global pada periode waktu yang bersamaan. 3 3.1
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Hasil pengolahan data penelitian diperoleh pola intensitas hujan klimatologis bulanan berdasarkan data 1998-2008 untuk Januari sampai Juni 2013 seperti yang terlihat pada Gambar 1. Hasil ini menunjukkan karakteristik pola intensitas hujan klimatologis selama bulan Januari sampai Juni di wilayah Indonesia. Sedangkan hasil pengolahan data anomali intensitas hujan selama bulan Januari sampai Juni tahun 2013 dapat dilihat pada Gambar 2. Hasil ini menunjukkan besarnya penyimpangan hujan dari kondisi klimatologisnya.
Gambar 1.
Pola Intensitas hujan klimatologis (mm/jam) bulan Januari sampai Juni di wilayah Indonesia
42
Anomali Hujan Indonesia Periode Januari Sampai Juni 2013 (Lely Q. Avia)
Gambar 2.
Pola anomali intensitas hujan (mm/jam) di wilayah Indonesia selama periode Januari sampai Juni 2013
3.2
Pembahasan Berdasarkan hasil pola intensitas hujan klimatologis bulanan untuk Januari sampai Juni seperti yang terlihat pada Gambar 1, tampak adanya karakteristik pola intensitas hujan klimatologis selama bulan Januari sampai Juni di wilayah Indonesia. Intensitas hujan terbesar terjadi di Pulau Papua yang didominasi oleh rentang nilai 0,6 mm/jam sampai 0,8 mm/jam. Pada rentang nilai yang sama antara 0,6 mm/jam sampai 0,8 mm/jam juga terjadi hanya untuk beberapa lokasi lainnya seperti Sumatera Selatan dan Jawa Tengah untuk bulan Januari sampai Maret dan di Sulawesi Tengah pada bulan April. Secara umum tampak sejak bulan April intensitas hujan klimatologis wilayah Indonesia perlahan-lahan mulai berkurang terutama di Bali, Nusa Tenggara dan Pulau Jawa. Pada bulan Mei dan Juni tampak kondisi yang semakin kering dan meluas ke sebagian besar wilayah Indonesia. Pada bulan Juni tampak daerah paling kering di Indonesia terjadi di Pulau Bali, Nusa Tenggara dan sebagian daerah Jawa Timur bagian timur dimana intensitas hujan hanya sampai 0,1 mm/jam. Umumnya di Jawa dan Sumatera intensitas hujan berkisar antara 0,2 mm/jam sampai 0,3 mm/jam, sedangkan di Kalimantan, Sulawesi dan Ambon sedikit lebih tinggi, yaitu antara 0,3 mm/jam sampai 0,4 mm/jam. Namun, di Papua, musim kering ini tampak memiliki intensitas hujan yang paling tinggi dibanding daerah lainnya, yaitu pada kisaran 0,5 mm/jam sampai 0,8 mm/jam. Sedangkan hasil pola anomali intensitas hujan selama bulan Januari sampai Juni tahun 2013 (Gambar 2) menunjukkan umumnya untuk daratan di seluruh wilayah Indonesia selama periode penelitian terjadi dominasi nilai anomali positif, artinya
43
Anomali Hujan Indonesia Periode Januari Sampai Juni 2013 (Lely Q. Avia)
intensitas hujan lebih tinggi dari kondisi klimatologis bulanannya, kecuali untuk bulan Maret 2013 yang tampak di daerah daratan mendekati kondisi klimatologis dan untuk perairan lebih kecil dari klimatologisnya dimana ditunjukkan dengan anomali curah hujan yang bernilai negatif. Pada bulan Januari 2013, tampak daerah di selatan terutama Sumatera bagian selatan, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi bagian selatan dan Papua memiliki anomali intensitas hujan positif dengan kisaran nilai 0,1 mm/jam sampai 0,3 mm/jam. Sedangkan daerah Sumatera di sekitar khatulistiwa, Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan tampak intensitas hujan lebih kecil dari klimatologisnya yaitu antara 0,5 mm/jam sampai 0,1 mm/jam. Bulan Februari 2013, tampak anomali positif intensitas hujan paling tinggi selama periode penelitian ini terutama di Sumatera dan Kalimantan yang tampak didominasi antara kisaran nilai 0,15 mm/jam sampai 0,5 mm/jam. Sedangkan bulan Maret 2013, tampak merupakan anomali intensitas hujan paling kecil selama periode penelitian baik untuk anomali positif maupun anomali negatif bahkan di beberapa daerah tampak kondisi normal, artinya mendekati kondisi intensitas hujan klimatologis bulan Maret terutama bagian pantai barat Sumatera, Jawa Tengah, Kalimantan, Sulawesi dan Ambon. Untuk bulan April 2013, tampak Sumatera, Bali dan Nusa Tenggara dalam kondisi antara normal sampai 0,1 mm/jam di atas klimatologisnya, sementara daerah lainnya tampak memiliki anomali intensitas hujan yang lebih tinggi antara 0,1 mm/jam sampai 0,4 mm/jam dari kondisi klimatologisnya. Bulan Mei 2013, hampir di seluruh wilayah Indonesia tampak memiliki intensitas hujan yang lebih tinggi dari klimatologisnya, kecuali sebagian daerah di sekitar Sumatera Utara, Riau, Sumatera Barat dan Papua Timur bagian utara yang tampak dalam kondisi normal. Namun pada bulan Juni 2013, anomali negatif dengan kisaran intensitas hujan antara 0,1 mm/jam di bawah klimatologis sampai sama dengan normal terjadi di sebagian besar Sumatera, Kalimantan bagian barat sampai tengah, Sulawesi bagian utara. Sedangkan sebagian daerah lainnya tampak memiliki anomali positif dimana intensitas hujan lebih tinggi antara 0,1 mm/jam sampai 0,2 mm/jam dari klimatologisnya yaitu di sekitar Aceh, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan dan Ambon. Sedangkan di Jawa, Bali, Nusa Tenggara dan Papua umumnya
44
Anomali Hujan Indonesia Periode Januari Sampai Juni 2013 (Lely Q. Avia)
lebih tinggi lagi yaitu sekitar 0,2 mm/jam sampai 0,5 mm/jam. Pada umumnya peningkatan/penurunan intensitas hujan di wilayah Indonesia berkaitan erat dengan fenomena El Nino dan IOD positif/La Nina dan IOD negatif (Nicholls, 1981; Allan, 2000, Saji et al, 1999; Webster et al, 1999; Saji dan Yamagata, 2003). Berdasarkan data intensitas hujan satelit TRMM 3B43V7 tampak nyata adanya anomali hujan di wilayah Indonesia pada tahun 2013 ini. Namun, berdasarkan kondisi di Samudera Pasifik menggunakan data Indeks Nino 3.4 menunjukkan anomali SST di daerah tersebut selama periode penelitian ini berada pada rentang nilai -0,5°C sampai 0,5°C yang mengindikasikan ENSO masih dalam kondisi normal sebagaimana yang tampak pada Gambar 3a. Sedangkan di Samudera Hindia pada periode Januari sampai awal Mei 2013 tampak indeks IOD kurang dari -0,5°C yang artinya IOD juga dalam kondisi normal. Namun pada pertengahan Mei tampak indeks IOD bernilai -0,61°C dan kecenderungan grafik yang semakin menurun sampai dengan -0,63°C pada akhir Juli 2013 mengindikasikan tengah berlangsungnya fenomena IOD negatif. IOD negatif ini berdampak peningkatan intensitas hujan di sebagian wilayah Indonesia sebagaimana yang tampak pada Gambar 3b.
Gambar 3.
Deret waktu Indeks Nino 3.4 berdasarkan anomali SST (a) dan Indeks IOD (b)
Berdasarkan analisis di atas tampak anomali positif intensitas hujan yang sudah berlangsung sejak awal Januari sedangkan di Samudera Pasifik kondisi ENSO dalam status normal sedangkan di Samudera Hindia status IOD negatif baru pada pertengahan Mei 2013. Sehingga perlu analisis lebih lanjut bagaimana dinamika fisis atmosfer dan lautan di sekitar wilayah Indonesia mempengaruhi distribusi hujan di wilayah Indonesia.
45
Anomali Hujan Indonesia Periode Januari Sampai Juni 2013 (Lely Q. Avia)
Hal ini dapat dijelaskan salah satunya dengan menggunakan data anomali suhu permukaan lautan (SST) perairan Indonesia, yang tentunya juga sangat dipengaruhi oleh sekitarnya yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Pada Gambar 4 yang menunjukkan bahwa selama periode penelitian ini tampak pola anomali SST di perairan Indonesia pada umumnya bernilai positif 0,5°C sampai 1,5°C, yang artinya suhu di perairan Indonesia dalam kondisi di atas normal atau lebih hangat dari kondisi normalnya. Sedangkan suhu muka laut di Samudera Pasifik tengah dan timur tampak lebih rendah dari pada perairan Indonesia dan Samudera Pasifik bagian barat. Hal ini menyebabkan penguapan lebih banyak terjadi di sekitar wilayah Indonesia sehingga meningkatkan intensitas hujan di wilayah Indonesia.
Gambar 4.
Anomali suhu permukaan laut (SST dalam °C) di perairan wilayah Indonesia dan sekitarnya periode Januari sampai Juni 2013
Demikian juga halnya tampak suhu muka laut (SST) di Samudera Hindia bagian timur (sekitar pantai barat Sumatera) yang juga lebih hangat dibanding Samudera Hindia bagian barat (sekitar pantai timur Afrika). Akibatnya, terjadi pergerakan angin dari Samudera Hindia bagian barat menuju Samudera Hindia bagian timur atau menuju Indonesia. Kondisi ini juga akan menyumbang uap air sehingga meningkatkan hujan di sebagian wilayah Indonesia. Berdasarkan data lainnya, yaitu pergerakan angin zonal pada 850 mb seperti yang tampak pada Gambar 5, menunjukkan bahwa pada Januari 2013, wilayah Indonesia didominasi oleh angin baratan yang bertiup dari Samudera Hindia dengan anomali
46
Anomali Hujan Indonesia Periode Januari Sampai Juni 2013 (Lely Q. Avia)
kecepatan 4 m/s sampai 8 m/s. Angin ini membawa banyak massa uap air sehingga menyebabkan intensitas hujan yang tinggi di wilayah Indonesia. Di bulan Februari 2013 masih tampak dominasi angin baratan dengan anomali kecepatan angin yang sama dengan Januari. Selain itu, tampak juga pergerakan angin timuran yang bertiup dari Samudera Hindia dengan anomali kecepatan angin 2 m/s sampai 4 m/s. Hal ini menyebabkan terbentuknya daerah pertemuan (konvergensi) yang mendukung banyaknya pengangkatan massa udara, sehingga menghasilkan awan–awan konvektif yang menyebabkan intensitas hujan tinggi di wilayah Indonesia. Bulan Maret 2013 tampak angin baratan dari Samudera Hindia tersebut bergerak ke timur terus berkembang ke arah timur menuju Samudera Pasifik bagian barat daya. Sehingga tampak di Indonesia angin cenderung mendekati kondisi normalnya, kecuali di sekitar Papua yang tampak masih cukup tinggi dengan anomali kecepatan angin 4 m/s sampai 8 m/s. Bulan April dan Mei 2013 tampak pergerakan angin zonal di 850 mb juga masih terlihat dominan menuju wilayah Indonesia baik angin timuran dengan anomali kecepatan 4 m/s sampai 8 m/s maupun angin baratan dengan kecepatan yang sama menjadikan pertumbuhan awanawan konvektif tetap aktif di wilayah Indonesia.
Gambar 5.
Anomali angin zonal pada 850 mb (m/s) di sekitar wilayah Indonesia pada bulan Januari sampai Juni 2013
47
Anomali Hujan Indonesia Periode Januari Sampai Juni 2013 (Lely Q. Avia)
Sedangkan pada bulan Juni 2013 tampak angin baratan masih menguasai wilayah Indonesia sedangkan angin timuran tampak sebelum sampai di Papua berbelok dan berkembang ke arah barat laut dan ke arah utara wilayah Indonesia. Sehingga tampak bulan Juni hujan di sebagian daerah lebih mendekati kondisi normal dan sebagian tampak masih di atas kondisi klimatologisnya. Untuk melihat gangguan tropis juga dapat digunakan data MJO yang memiliki propagasi ke arah timur di sekitar daerah tropis global dengan siklus 30 sampai 60 harian. Diagram fase MJO tersebut dapat mengindikasikan aktivitas dan pergerakan MJO dalam 8 fase (Madden and Julian, 1994; Zhang 2005; Lau, Waliser, 2005; Gottschalck and Wayne, 2012), seperti yang tampak pada Gambar 6. Jika diagram MJO berada dalam lingkaran akan mengindikasikan MJO tidak aktif, dimana amplitudonya kurang dari 1. Secara umum wilayah Indonesia akan dipengaruhi oleh kondisi MJO yang berada pada kawasan kontinen maritim (fase 4 dan fase 5), Samudera Hindia (fase 3) dan samudera Pasifik (fase 6).
Gambar 6.
Diagram fase MJO
Kondisi MJO yang aktif dengan intensitas kuat, yaitu berdasarkan nilai amplitudonya ini mengindikasikan banyaknya awan-awan konvektif pada fase tersebut yang berpotensi besar menjadikan hujan di permukaan. Pada Gambar 7 tampak sejak bulan Januari 2013 dasarian I tampak MJO dalam kondisi aktif atau dengan intensitas kuat berada di daerah fase 4 dan fase 5 atau kawasan kontinen maritim Indonesia yang selanjutnya
48
Anomali Hujan Indonesia Periode Januari Sampai Juni 2013 (Lely Q. Avia)
bergerak menuju Samudera Pasifik Barat atau fase 6 dan fase 7. Pada bulan Februari dasarian II MJO aktif dengan intensitas kuat sudah berada di fase 2 dan fase 3 atau daerah Samudera Hindia dan dasarian III MJO terus bergerak ke timur menuju fase 3 dan fase 4 atau kontinen maritim Indonesia. Bulan Maret 2013 tampak di kontinen maritim Indonesia MJO tidak aktif sedangkan di Pasifik Barat atau fase 6 dan fase 7 pada dasarian I tersebut tampak MJO aktif dan dasarian II terus bergerak menuju Belahan Barat Bumi dan Afrika atau fase 8 dan fase 1, dan akhirnya dasarian III melemah. Pada bulan April 2013 dasarian I MJO mulai aktif di Samudera Hindia atau fase 2 dan bergerak terus ke timur menuju kontinen maritim Indonesia dan akhirnya pertengahan dasarian II terus melemah sampai akhir bulan. Begitu juga pada bulan Mei 2013 dasarian I tampak kembali aktif dan menguat di Samudera Hindia atau fase 2 dan fase 3. MJO pada dasarian II terus bergerak aktif dengan intensitas kuat menuju kawasan kontinen maritim Indonesia fase 4 dan akhirnya melemah sampai akhir bulan. Sedangkan pada bulan Juni 2013 dasarian I tampak MJO yang lemah dan MJO kembali aktif pada dasarian II di kawasan kontinen maritim Indonesia atau fase 4 dan fase 5 yang selanjutnya MJO terus bergerak ke timur menuju Pasifik Barat.
Gambar 7.
Diagram fase perkembangan MJO selama Januari sampai Juni 2013
Kondisi awan pada periode penelitian ini di atas wilayah yang mencakup Indonesia (8°LU – 15°LS; 95°BT – 130°BT) dapat dilihat
49
Anomali Hujan Indonesia Periode Januari Sampai Juni 2013 (Lely Q. Avia)
dari data OLR seperti pada Gambar 8. Secara umum, nilai OLR pada bulan Januari sampai Juni (grafik diarsir warna biru) relatif rendah daripada klimatologisnya di wilayah Indonesia, kecuali bulan Maret (grafik diarsir warna coklat) yang tampak di atas klimatologisnya. Nilai OLR klimatologis (berdasarkan data periode 1979 - 1998) digambarkan dengan garis putus-putus. Nilai OLR yang lebih rendah dari kondisi klimatologisnya tersebut mengindikasikan tutupan awan konvektif yang cukup tebal di atas wilayah Indonesia yang sangat berpotensi menjadikan intensitas hujan yang tinggi di wilayah Indonesia. Hal ini dapat lebih menjelaskan penyebab anomali hujan yang tinggi terjadi sepanjang periode penelitian, kecuali bulan Maret 2013 yang tampak lebih mendekati kondisi normalnya.
Gambar 8.
Kondisi OLR pada Januari sampai Juni 2013 di atas wilayah Indonesia
4
KESIMPULAN Berdasarkan analisis yang telah dilakukan pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa selama periode penelitian ini kondisi ENSO di Samudera Pasifik berada dalam kondisi normal. Demikian juga kondisi IOD di Samudera Hindia yang umumnya berada dalam kondisi normal, kecuali mulai pertengahan Mei sampai akhir Juni 2013 baru tampak berlangsung IOD negatif. Oleh karena itu, anomali intensitas hujan pada Januari sampai Juni 2013 dimana umumnya terjadi peningkatan intensitas hujan dari kondisi klimatologisnya sampai mencapai 0,5 mm/jam adalah disebabkan kenaikan suhu permukaan laut perairan (SST) di sekitar wilayah Indonesia dan berlangsungnya MJO yang umumnya dalam kondisi aktif dengan intensitas kuat di kawasan maritim kontinen Indonesia. Hal ini juga sangat didukung oleh OLR yang rendah kurang dari nilai OLR klimatologisnya yang mengindikasikan tutupan awan konvektif yang cukup tebal di atas wilayah Indonesia
50
Anomali Hujan Indonesia Periode Januari Sampai Juni 2013 (Lely Q. Avia)
yang sangat berpotensi meningkatkan intensitas hujan di wilayah Indonesia. DAFTAR RUJUKAN Allan R. 2000: ENSO and climatic variability in the past 150 years. In ENSO: Multiscale Variability and Global and Regional Impacts, Diaz H, Markgraf V (eds). Cambridge University Press: Cambridge, 3–55 BMKG (Badan Meteorologi dan Geofisika), 2009: Prakiraan Musim Hujan 2009/2010 di Indonesia. BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana), 2013: Info Bencana, Edisi Juli Gottschalck J., and H. Wayne, 2012: Madden Julian Oscillation Impacts, NOAA/NWS/NCEP Climate Prediction Center Lau W.K.-M, D.E. Waliser (eds), 2005: Intraseasonal variability in the atmosphere-ocean climate system. Springer-Praxis: Heidelberg, Germany Madden, R. A., and P. R. Julian, 1994: Observations of the 40-50day tropical oscillation - A review. Mon. Wea. Rev., 122, 814– 837 Mitchell, J.M., 1976: An Overview of Climatic Variability and Its Causal Mechanisms, Quarternary Researck 6,481-493 NRC (National Research Council), 1995: Natural Climate Variability on Decade-to-Century Time Scales, D.G. Martinson, K. Bryan, M. Ghil, M.M. Hall, T.R. Karl, E.S. Sarachik, S. Sorooshian, and L.D. Talley (eds.), National Academy Press, Washington, D.C., 630 pp NRC (National Research Council), 1998: Panel on Climate Variability on Decade-to-Century Time Scales, Decade-to-Century-Scale Climate Variability and Change : A Science Strategy Saji, N.H., B. N. Goswami, P. N. Vinayachandran, and T. Yamagata, 1999: A dipole mode in the tropical Indian Ocean, Nature, 401, 360 – 363 Saji, N.H., T. Yamagata, 2003: Structure of SST and surface wind variability during Indian Ocean Dipole Mode years: COADS observations. J. Clim., 16, 2735–2751 Webster P, A. Moore, J. Ioschnigg, R. Leben, 1999: Coupled oceanatmosphere dynamics in the Indian Ocean during 1997–1998. Nature, 401, 356–360 Wheeler M, J.L. McBride, 2005: Australian-Indonesian monsoon. pp 125–174 in Intraseasonal variability in the atmosphere– ocean climate system, Lau WKM, Waliser DE (eds). SpringerPraxis: Heidelberg, Germany Zhang, C., 2005: Madden–Julian Oscillation. Rev. Geophys., 43, RG2003, doi:10.1029/2004RG000158
51
Karakteristik Suhu Permukaan Laut Perairan Indonesia (Martono)
KARAKTERISTIK SUHU PERMUKAAN LAUT PERAIRAN INDONESIA Martono Bidang Pemodelan Atmosfer LAPAN e-mail:
[email protected] ABSTRAK Suhu permukaan laut mempunyai peranan penting dalam interaksi antara atmosfer dan laut. Peranan penting ini berkaitan dengan pertukaran energi antara atmosfer dan laut. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pola spasial dan temporal suhu permukaan laut perairan Indonesia dan trennya. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data harian suhu permukaan laut perairan Indonesia dari tahun 1984-2013. Pengolahan data dilakukan dengan metode statistik. Hasil analisis menunjukkan bahwa variasi bulanan suhu permukaan laut di beberapa wilayah perairan Indonesia bervariasi. Namun, suhu permukaan laut maksimum di perairan Indonesia terjadi pada saat musim peralihan dan minimum terjadi pada saat musim timur. Secara umum, suhu permukaan laut rata-rata tahunan perairan Indonesia selalu hangat sepanjang tahun antara 28 °C – 29 °C. Variasi antar tahunan suhu permukaan laut perairan Indonesia mengalami tren kenaikan sebesar 0,02 °C per tahun. Kata-kata kunci: karakteristik, suhu permukaan laut, perairan Indonesia ABSTRACT Sea surface temperature has an important role in the interaction between the atmosphere and the ocean. This important role with regard to the exchange of energy between the atmosphere and the ocean. The purpose of this research was to understand the characteristics of sea surface temperature of Indonesian waters and its trend. The data used in this research was the daily sea surface temperature of Indonesian water from 1984 to 2013. Data was processed by using statistical methods. The analysis showed that the monthly variations of sea surface temperature in some of the Indonesian water varies. However, the maximum sea surface temperature of the Indonesian water occurs at the transition season and the minimum occurs at the east monsoon. In general, the annual of sea surface temperature of the Indonesian water was always warm throughout the year between 28 °C – 29 °C. Interannual variation of sea surface temperature the Indonesian water
52
Karakteristik Suhu Permukaan Laut Perairan Indonesia (Martono)
has upward by the trend of 0.02 °C per year. Key words: characteristics, sea surface temperature, Indonesian waters
1
PENDAHULUAN Laut mempunyai peranan penting terhadap iklim. Peranan penting ini berkaitan dengan sifat-sifat fisis laut yaitu berupa fluida, mempunyai kapasitas panas yang besar dan albedo yang rendah. Dengan kapasitas panas yang besar, laut menyerap bagian terbesar radiasi matahari yang mencapai permukaan bumi dan merupakan tandon panas yang besar (Prawirowardoyo, 1996). Suhu permukaan laut mempunyai peranan penting tidak hanya dalam masalah laut saja, tetapi juga dalam masalah atmosfer. Beberapa peneliti telah mengemukakan betapa pentingnya peran laut terhadap iklim seperti Desr dkk (2010); Haroon dan Afzal (2012) yang menjelaskan peran suhu permukaan laut terhadap iklim dan variabilitasnya. Suhu permukaan laut yang bervariasi ini ternyata berdampak besar dalam interaksi antara atmosfer dan laut (Shenoi dkk, 2009). Selain itu, menurut Anding dan Kauth (1970); Reynolds dkk, (2007) pengetahuan distribusi suhu permukaan laut diperlukan dalam estimasi pertukaran energi antara atmosfer dan laut. Sebagai pengontrol aliran panas, momentum, garam serta gas antara laut dan atmosfer, maka suhu permukaan laut selalu menjadi topik yang menarik (Emery, 2003). Berdasarkan hal di atas, terlihat bahwa suhu permukaan laut mempunyai peranan yang sangat penting dalam interaksi antara atmosfer dan laut. Oleh karena itu, pengetahuan dan pemahaman mengenai variabilitas suhu permukaan laut perairan Indonesia sangat diperlukan, mengingat wilayah perairan Indonesia terletak di antara samudera Hindia dan samudera Pasifik. 2 2.1
DATA DAN METODOLOGI Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah suhu permukaan laut harian wilayah perairan Indonesia dari 6° LU-11° LS dan 95° BT-141° BT selama 30 tahun dari 1984-2013. Data ini
53
Karakteristik Suhu Permukaan Laut Perairan Indonesia (Martono)
mempunyai resolusi spasial 0,25° x 0,25° yang diperoleh dari Physical Oceanography Distributed Active Archive Center (PODAAC NASA) dengan alamat http://podaac.jpl.nasa.gov. 2.2
Metodologi Pengolahan data suhu permukaan laut dilakukan dengan menggunakan metode statistik. Data harian dirata-ratakan untuk memperoleh data bulanan. Data bulanan dirata-ratakan dalam rentang waktu 30 tahun sehingga diperoleh data klimatologi bulanan. 3 3.1
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Distribusi suhu permukaan laut rata-rata bulan Januari, Februari, Maret dan April di wilayah perairan laut Indonesia diperlihatkan pada Gambar 1. Distribusi suhu permukaan laut bulanan di masing-masing wilayah perairan Indonesia bervariasi. Bulan Januari hingga Maret suhu permukaan di Laut Cina Selatan, Laut Natuna, Selat Karimata dan Laut Halmahera lebih dingin daripada perairan lainnya, sebaliknya di bulan Mei lebih hangat. Secara keseluruhan, suhu permukaan laut perairan Indonesia sekitar 28,54 °C, 28,48 °C, 28,78 °C dan 29,19 °C untuk masing-masing bulan Januari, Februari, Maret dan April. Distribusi suhu permukaan laut rata-rata bulan Mei, Juni, Juli dan Agustus di wilayah perairan laut Indonesia diperlihatkan pada Gambar 2. Pada bulan-bulan ini terjadi pergeseran pola, yaitu suhu permukaan laut di wilayah Indonesia bagian selatan lebih dingin dan sebaliknya di wilayah bagian utara lebih hangat. Dari bulan Juni hingga Agustus suhu permukaan di perairan selatan Jawa, Laut Banda sampai Laut Arafura sangat dingin mencapai 25 °C. Suhu permukaan perairan Indonesia bulan Mei, Juni, Juli dan Agustus berturut-turut sekitar 29,20 °C, 28,77 °C, 28,19 °C dan 27,94 °C.
54
Karakteristik Suhu Permukaan Laut Perairan Indonesia (Martono)
a)
b)
c)
d)
Gambar 1.
Distribusi suhu permukaan laut bulan Januari (a), Februari (b), Maret (c) dan April (d)
a)
b)
c)
d)
Gambar 2.
Distribusi suhu permukaan laut bulan Mei (a), Juni (b), Juli (c) dan Agustus (d)
Untuk bulan September, Oktober, November dan Desember distribusi suhu permukaan laut rata-rata di wilayah perairan laut Indonesia diperlihatkan pada Gambar 3. Terlihat bahwa pada bulan September dan Oktober masih mempunyai kesamaan dengan bulan Juli dan Agustus yaitu bagian utara wilayah Indonesia lebih hangat. Dari bulan November terjadi pergeseran pola, yaitu suhu permukaan di Laut Cina Selatan dan barat Sumatra lebih dingin. Sementara itu, perairan dalam Indonesia mengalami kenaikan. Dengan demikian, suhu permukaan laut perairan Indonesia pada bulan September, Oktober, November dan
55
Karakteristik Suhu Permukaan Laut Perairan Indonesia (Martono)
Desember berubah menjadi 28,11 °C, 28,58 °C, 28,97 °C dan 28,87 °C.
a)
b)
c)
d)
Gambar 3.
Distribusi suhu permukaan laut bulan September (a), Oktober (b), November (c) dan Desember (d)
Pola suhu permukaan laut rata-rata bulanan dalam rentang waktu 1984-2013 di perairan barat Sumatra, Laut Cina Selatan serta Laut Natuna dan Selat Karimata diperlihatkan pada Gambar 4. Suhu permukaan Laut Cina Selatan, Laut Natuna dan Selat Karimata mempunyai pola yang sama. Suhu maksimum terjadi pada bulan Mei, sedangkan suhu minimum terjadi pada bulan Februari. Suhu maksimum di perairan barat Sumatra terjadi pada bulan Mei dan minimum terjadi pada bulan Oktober. Gambar 5 memperlihatkan pola suhu permukaan di Laut Jawa, Laut Flores dan Selat Makassar rata-rata bulanan dalam rentang waktu 1984-2013. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa ketiga perairan memiliki variasi suhu permukaan laut dengan pola yang sama yaitu dua puncak maksimum dan satu puncak minimum. Puncak maksimum pertama di Laut Jawa dan Selat Makassar terjadi pada bulan Mei, sedangkan di Laut Flores terjadi pada bulan April. Puncak maksimum kedua terjadi pada bulan yang sama yaitu bulan November. Puncak minimum terjadi pada bulan yang sama juga yaitu bulan Agustus.
56
Suhu (OC)
Karakteristik Suhu Permukaan Laut Perairan Indonesia (Martono)
32 30 28 26 24
LCS N-K 1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12
BS
Bulan
Suhu (OC)
Gambar 4.
Pola variasi bulanan suhu permukaan laut (LCS=Laut Cina selatan, N-K=Laut Natuna dan Selat Karimata, BS=perairan barat Sumatra)
30 29 28 27 26
LJ LF 1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12
SM
Bulan Gambar 5.
Pola variasi bulanan suhu permukaan laut (LJ = Laut Jawa, LF = Laut Flores, SM = Selat Makassar)
Berdasarkan pengamatan suhu permukaan laut bulanan dari 1984-2013 di Laut Sulawesi, perairan utara Papua dan Laut Banda, diperoleh bahwa terdapat kesamaan pola antara Laut Sulawesi dengan perairan utara Papua, yaitu pada bulan Mei merupakan suhu maksimum dan pada bulan Februari terjadi puncak minimum. Sedangkan di Laut Banda memiliki pola yang berbeda, yaitu puncak maksimum terjadi pada bulan November dan puncak minimum terjadi pada bulan Agustus. Pola variasi ketiga lokasi tersebut diperlihatkan pada Gambar 6.
57
Suhu Permukaan (OC)
Karakteristik Suhu Permukaan Laut Perairan Indonesia (Martono)
30 28
LS
26
UP
24 1
2
3
4
5
6
7
8
LB
9 10 11 12
Bulan Gambar 6.
Pola variasi bulanan suhu permukaan laut (LS=Laut Sulawesi, UP=perairan utara Papua, LB=Laut Banda)
Suhu Permukaan (OC)
Pola suhu permukaan laut rata-rata bulanan dalam rentang waktu 1984-2013 di perairan selatan Jawa, selatan Bali hingga Nusa Tenggara Timur dan Laut Arafura diperlihatkan pada Gambar 7. Variasi suhu permukaan laut di ketiga perairan ini mempunyai pola yang sama dengan satu puncak maksimum dan satu puncak minimum. Suhu puncak maksimum di Laut Arafura dan selatan Bali hingga Nusa Tenggara Timur terjadi pada bulan Desember, sedangkan di perairan selatan Jawa terjadi pada bulan April. Suhu puncak minimum terjadi pada bulan yang sama, yaitu Agustus.
30 28 26 24 22
LA SJ 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
SB-NTT
Bulan Gambar 7.
Pola variasi bulanan suhu permukaan laut (LA=Laut Arafura, SJ=periran selatan Jawa, SB-NTT=perairan selatan Bali hingga Nusa Tenggara Timur)
Variasi antar tahunan suhu permukaan laut dalam rentang waktu 1984-2013 di wilayah perairan Indonesia diperlihatkan pada Gambar 8. Anomali suhu permukaan laut dari tahun 1984-1997 menunjukkan fluktuasi dengan anomali negatif, dan sebaliknya dari tahun 1997-2013 menunjukkan anomali positif. Dari tahun
58
Karakteristik Suhu Permukaan Laut Perairan Indonesia (Martono)
1999-2004 mengalami fluktuasi yang paling rendah. Namun, ratarata selama 30 tahun terakhir suhu permukaan laut perairan Indonesia mengalami tren kenaikan sebesar 0,02 OC.
0.6
Anomali (OC)
0.4 0.2
-1E-15 -0.2
1
3
5
7
9
11
13
15
17
19
21
23
25
27
29
-0.4 -0.6
Gambar 8.
Tahun 1984-2013
Variasi antar tahunan suhu permukaan laut perairan Indonesia
3.2
PEMBAHASAN Berdasarkan hasil di atas diketahui bahwa suhu permukaan laut di masing-masing perairan Indonesia mempunyai pola variasi bulanan yang berbeda-beda. Perbedaan pola ini disebabkan oleh distribusi wilayah Indonesia yang berupa kepulauan dan posisi geografis yang terletak di antara benua Asia dan benua Australia serta Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Karena terletak di wilayah tropis, secara umum suhu permukaan laut perairan Indonesia hangat sepanjang tahun berkisar antara 28 °C – 29 °C. Faktor utama yang menentukan suhu permukaan laut adalah jumlah radiasi matahari yang diterima oleh laut. Selain itu, suhu permukaan laut juga dipengaruhi oleh gerakan massa air dari perairan sekitarnya dan gerakan vertikal massa air laut. Faktor pengaruh radiasi matahari terlihat dengan jelas bahwa pada saat posisi matahari berada di utara ekuator, maka suhu permukaan laut perairan Indonesia bagian tengah hingga utara lebih hangat daripada bagian selatan. Sebaliknya, pada saat posisi matahari berada di selatan ekuator, maka suhu permukaan laut perairan Indonesia bagian selatan lebih hangat. Faktor pengaruh gerakan massa air dari perairan sekitarnya terhadap suhu permukaan laut terjadi di perairan barat Sumatra dan perairan utara Papua. Hal ini berkaitan dengan pergerakan arus balik ekuator yang terjadi di Samudera Hindia tropis dan arus
59
Karakteristik Suhu Permukaan Laut Perairan Indonesia (Martono)
ekuator utara yang terjadi di Samudera Pasifik tropis. Hampir sepanjang tahun arus balik ekuator di Samudera Hindia tropis bergerak ke arah timur. Gerakan arus balik ekuator ini terhalang oleh Pulau Sumatra, sehingga sumber massa air di perairan barat Sumatra berasal dari arus balik ekuator. Arus balik ekuator ini mempunyai suhu permukaan yang hangat. Oleh karena itu, suhu permukaan laut perairan barat Sumatra selalu hangat sepanjang tahun. Arus ekuator utara di Samudera Pasifik tropis hampir sepanjang tahun bergerak ke arah barat. Gerakan arus ini terhalang oleh gugusan Benua Maritim Indonesia, benua Australia dan Filipina. Akibat gerakannya terhalang maka terjadi penumpukan massa air di perairan barat Samudra Pasifik. Penumpukan massa air ini berasal dari massa air permukaan laut yang mempunyai suhu hangat. Maka di perairan barat Samudera Pasifik dikenal adanya kolam panas. Karena sumber massa air di perairan utara Papua berasal dari barat Samudera Pasifik, maka suhu permukaan laut di perairan ini selalu hangat sepanjang tahun. Faktor pengaruh gerakan vertikal massa air terhadap suhu permukaan laut terjadi di perairan selatan Jawa hingga Nusa Tenggara Timur serta Laut Banda dan sekitarnya. Antara bulan Juli, Agustus dan September, suhu permukaan laut di perairan tersebut cukup dingin. Suhu permukaan laut yang cukup dingin ini disebabkan proses upwelling. Upwelling adalah proses penaikan massa air dari lapisan bawah ke permukaan. Massa air yang naik ini mempunyai suhu yang dingin, salinitas tinggi, dan kaya akan zat-zat hara. Rata-rata tahunan suhu permukaan laut perairan Indonesia selama 30 tahun secara umum mengalami kenaikan. Kenaikan suhu permukaan laut ini merupakan bagian dari pemanasan global yang disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca terutama yang dihasilkan akibat aktivitas manusia. Sejak awal revolusi industri yang dimulai sekitar tahun 1850 jumlah gas rumah kaca yang diemisikan ke atmosfer mulai meningkat (Buchdahl dkk, 2002).
60
Karakteristik Suhu Permukaan Laut Perairan Indonesia (Martono)
4
KESIMPULAN Variasi bulanan suhu permukaan laut di beberapa wilayah perairan Indonesia berbeda-beda. Perbedaan ini dipengaruhi oleh letak geografis dan distribusi wilayah Indonesia. Kedua faktor ini mempengaruhi jumlah radiasi matahari yang diterima laut dan gerakan sumber massa airnya. Karena terletak di daerah tropis maka suhu permukaan laut perairan Indonesia hampir selalu hangat sepanjang tahun dengan kisaran antara 28 °C – 29 °C. Variasi antar tahunan, suhu permukaan laut perairan Indonesia mengalami tren kenaikan. Dalam 30 tahun terakhir kondisi suhu permukaan laut perairan Indonesia mengalami kenaikan sekitar ± 0,02 °C. Ucapan terima kasih Ucapan terima kasih ditujukan kepada Physical Oceanography Distributed Active Archive Center (PODAAC NASA) yang telah mengizinkan penulis mengunduh data. DAFTAR RUJUKAN Anding, D., R. Kauth, 1970: Estimation of Sea Surface Temperature from Space, Remote Sensing of Environment 1 Buchdahl, J., R. Twigg, and L. Cresswel, 2002: Global Warming “ Fact Sheet Series for Key Stage 2 & 3”. Atmosphere, Climate & Environment Information Programme, Manchester, United of Kingdom Deser, C., A.S. Phillips, M.A. Alexander, 2010: Twentieth century tropical sea surface temperature revisited. Geophysical Research Lettesr, 37, L10701, doi:10.1029/ 2010GL043321 Emery, W.J, 2003: Sea Surface Temperature, Elsevier Science Ltd. Haroon, M.A., and M. Afza, 2012: Spatial and Temporal Variability of Sea Surface Temperature of the Arabian Sea over the Past 142 Years. Pakistan Journal of Meteorology, 9, Issue 17 Prawirowardoyo, S., 1996: Meteorologi. Penerbit ITB, 107 pp Reynolds, R.W., T.M. Smith, C. Liu, D.B. Chelton, K.S. Casey, M.G. Schlax, 2007: Daily High Resolution Blended Analysis for Sea Surface Temperature, Journal of Climate, 20 Shenoi, S.S.C., N. Nasnodkar, G. Rajesh, K. J. Joseph, I. Suresh, A.M. Almeida, 2009: On the diurnal ranges of Sea Surface Temperature (SST) in the north Indian Ocean, J. Earth Syst. Sci., 118 (5), 483–496
61
Penentuan Awal Musim di Yogyakarta Berbasis Indeks Monsun (Eddy Hermawan)
PENENTUAN AWAL MUSIM HUJAN, KEMARAU DAN TRANSISI DI YOGYAKARTA DAN KAWASAN SEKITARNYA BERBASIS DATA INDEKS MONSUN GLOBAL Eddy Hermawan1 dan Naziah Madani2 1 Peneliti Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer (PSTA) LAPAN Jalan Dr. Djundjunan No. 133, Bandung 40173 e-mail:
[email protected] 2 Geofisika dan Meteorologi (GFM), IPB, Bogor e-mail:
[email protected] ABSTRAK Paper ini utamanya membahas peran data Monsun indeks global, yakni ISMI (Indian Summer Monsoon Index), WNPMI (Western North Pacific Monsoon Index), dan AUSMI (Australian Monsoon Index) dalam penentuan awal musim hujan, kemarau, dan transisi di Yogyakarta dan kawasan sekitarnya. Hal ini dilakukan mengingat Yogyakarta telah ditetapkan oleh Dewan Ketahanan Pangan Nasional (DKPN) sebagai satu dari sebelas kawasan sentra produksi tanaman pangan di Pulau Jawa. Satu masalah yang dihadapi adalah penerapan pola kalender tanam (katam) yang sangat dipengaruhi oleh pola curah hujan musiman yang ada di Yogyakarta. Berbasis hasil analisis data curah hujan rata-rata bulanan yang di-ekstrak dari satelit TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission) versi 3B42 periode Januari 1998 hingga Desember 2008 dan juga data indeks Monsun global pada periode yang sama, diperoleh korelasi antara dua jenis data di atas dalam satu bentuk persamaan regresi ganda (multivariate regression). Hasil analisis lebih lanjut menggunakan teknik komposit (composite technique), diperoleh adanya gambaran yang jelas/tegas datangnya awal musim hujan, kemarau, dan transisi di Yogyakarta. Hasil ini ternyata tidak jauh berbeda ketika dibandingkan dengan Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur menggunakan teknik analisis yang sama. Kedua kawasan tersebut terlihat bertipe curah hujan Monsunal dengan puncak curah hujan terjadi di bulan Januari (musim hujan) dan Agustus (musim kemarau). Sedikit perbedaan terlihat pada bulan April dan Oktober yang tidak lain merupakan akhir dari musim hujan dan kemarau. Kata-kata kunci: penentuan awal musim, TRMM, indeks Monsun global.
62
Penentuan Awal Musim di Yogyakarta Berbasis Indeks Monsun (Eddy Hermawan)
ABSTRACT This paper mainly discusses the role of data Monsoon global index, the ISMI (Indian Summer Monsoon Index), WNPMI (Western North Pacific Monsoon Index), and AUSMI (Australian Monsoon Index) in the initial determination of the rainy season, drought, and transitions in Yogyakarta and surrounding areas. This research is done considering Yogyakarta has been established by the National Food Security Council (NFSC) as one of the eleven food crop production centers in Java. One problem encountered is the application of a planting calendar (katam) is strongly influenced by seasonal rainfall patterns in Yogyakarta. Based on the results of the analysis of rainfall data on average monthly in-extracts from the TRMM satellite (Tropical Rainfall Measuring Mission) version 3B42 period January 1998 to December 2008 and also the global monsoon index data over the same period, obtained by the correlation between the two types of data at the top in the form of multiple regression equations (multivariate regression). The results of further analysis using the technique of composite (composite technique), obtained a picture of a clear/ decisive early arrival of the rainy season, drought, and transitions in Yogyakarta. This result was not much different compared to the Kutai regency, East Kalimantan Province using the same analytic techniques. Both the visible region of type monsoonal rainfall with peak rainfall occurs in January (rainy season) and August (dry season). Slight differences seen in April and October are none other than the end of the rainy and dry seasons. Key words: determination of the beginning of season, TRMM, the global Monsoon index 1
PENDAHULUAN Ide dasar atau gagasan utama atau motivasi kuat dilakukannya penelitian ini adalah adanya satu kebutuhan nasional (national needs) akan pentingnya pemantauan terus menerus terjadinya dampak perubahan iklim global terhadap sektor pertanian di beberapa wilayah Indonesia, khususnya di sentra produksi tanaman pangan. Dampak tersebut dapat diantisipasi bilamana dapat ditentukan bila datangnya awal musim hujan, kemarau, dan transisi yang tidak hanya tepat waktu, namun juga tepat sasaran. Sebagai salah satu kawasan sentra produksi tanaman pangan di Pulau Jawa, maka penerapan pola kalender tanam (katam) yang tepat waktu dan tepat sasaran, khususnya untuk D.I. Yogyakarta amatlah sangat dibutuhkan.
63
Penentuan Awal Musim di Yogyakarta Berbasis Indeks Monsun (Eddy Hermawan)
Ini sejalan dengan salah satu agenda workshop yang dilakukan oleh Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP), Kementerian Pertanian, Yogyakarta tanggal 10 Juli 2014 dengan tema “Evaluasi Penerapan Kalender Tanam Terpadu sebagai Dasar Rekomendasi Teknologi Padi, Jagung dan Kedelai”, sebagai salah satu upaya mengantisipasi datangnya musim kemarau atau musim basah panjang di Yogyakarta dan kawasan sekitarnya (http://yogya.litbang.deptan.go.id/ind/index.php?option=com_co ntent&view=article&id=983:evaluasi-penerapan-kalender-tanamterpadu-sebagai-dasar-rekomendasi-teknologi-padi-jagung-dankedelai&catid=4:info-aktual&Itemid=5). Makalah ini merupakan pengembangan makalah sebelumnya dengan judul “Pengembangan Model Curah Hujan Yogyakarta Berbasis Hasil Analisis Data Indeks Monsun Global” (Hermawan et al., 2011). Jika pada makalah sebelumnya difokuskan kepada terbangunnya satu model curah hujan, maka pada makalah ini analisis difokuskan kepada penentuan awal musim, baik musim hujan, kemarau, juga transisi yang terjadi di Yogyakarta. Walaupun Yogyakarta didominasi pengaruh Monsun, namun tidak berarti kawasan ini mudah ditentukan pola curah hujan musimannya. Ini dapat dipahami mengingat Yogyakarta terletak di selatan Pulau Jawa, sehingga diduga pengaruh Monsun Australia relatif lebih dominan. Sebenarnya tidak hanya pengaruh Monsun yang bersirkulasi meridional (Utara-Selatan), perilaku curah hujan Yogyakarta juga dipengaruhi oleh berbagai fenomena global, khususnya yang bersirkulasi zonal (Barat-Timur), seperti fenomena El-Niño, La-Nina, Dipole Mode, dan Madden-Julian Oscillation (MJO). Kombinasi kedua sirkulasi di atas (zonal dan meridional) ditambah dengan hadirnya kondisi lokal setempat menyebabkan analisis perilaku anomali curah hujan yang terjadi di Yogyakarta semakin kompleks dan rumit. Pemahaman tentang mekanisme terjadinya Monsun dan juga dampak yang ditimbulkannya terhadap perilaku curah hujan di Yogyakarta belum banyak dikaji orang. Pokok permasalahan yang dihadapi adalah belum adanya satu indeks Monsun yang benarbenar sesuai untuk kawasan Indonesia (khususnya Yogyakarta), padahal ini amat sangat diperlukan. Belum lagi masalah interkoneksi/telekoneksi/interaksi yang terjadi antara indeks Monsun Asia dan Australia. Oleh karena itu,
64
Penentuan Awal Musim di Yogyakarta Berbasis Indeks Monsun (Eddy Hermawan)
tujuan utama penulisan makalah ini selain menganalisis perilaku anomali curah hujan yang terjadi di Yogyakarta akibat interkoneksi antara indeks Monsun Asia dan Monsun Australia yang masingmasing diwakili oleh ISMI (Indian Summer Monsoon Index), WNPMI (Western North Pacific Monsoon Index) dan AUSMI (Australian Monsoon Index), namun juga penentuan awal musim hujan, kemarau, dan transisi yang terjadi di Yogyakarta. 2
LANDASAN TEORI Dengan asumsi bahwa curah hujan yang terjadi atau turun di suatu wilayah dipengaruhi oleh iklim global, khususnya fenomena Monsun yang memang dominan untuk sebagian besar kawasan Indonesia, maka besarnya curah hujan yang turun di satu kawasan tertentu dapat disederhanakan menjadi: Anomali Curah Hujan = fungsi (Monsun)
...……… (1)
Yang perlu diingat adalah adanya keterkaitan (interaksi) yang erat antara indeks Monsun Asia yang masing-masing diwakili oleh ISMI dan WNPMI dan indeks Monsun Australia yang diwakili AUSMI. Kejadian ekstrim kering tahun 1997, terjadi akibat kuatnya indeks Monsun Australia yang tidak diredam oleh indeks Monsun Asia. Namun, sebaliknya kejadian esktrem basah tahun 1998, terjadi akibat indeks Asia yang tidak diredam oleh indeks Monsun Australia. Di tahun-tahun normal, terlihat bahwa kedua indeks tersebut umumnya tidak saling menguatkan, juga tidak saling melemahkan, sehingga tidak ada satu kekuatan yang dianggap lebih dominan. Untuk mengkaji dinamika Monsun baik masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang diperlukan adanya satu indeks yang kemudian dikenal sebagai indeks Monsun (Monsoon Index). Paling tidak, ada lima indeks Monsun global yang beredar saat. Mereka adalah Webster and Yang Monsoon Index (WYMI), Indian Summer Monsoon Index (ISMI), Western North Pacific Monsoon Index (WNPMI), Regional Monsoon Index (RMI), dan Australian Monsoon Index (AUSMI). Kelima Monsun index di atas dapat dilihat pada Tabel 1.
65
Penentuan Awal Musim di Yogyakarta Berbasis Indeks Monsun (Eddy Hermawan)
Tabel 1.
Index WY IMI WPEM I RM2 AUSMI
Berbagai macam indeks Monsoon global (Sumber: http://climate.snu.ac.kr/2005_new/main.php?id=res_ 2007&pp=monsoon/monsoon_2007)
Region U850(0-20N 40110E)-U200(0-20N 40-110E) U850(5-15N 4080E)-U850(20-30N 60-90E) U850(5-15N 100130E)-U850(20-30N 110-140E) U200(42-52N 110150E)-U200(27-37N 110-150E) U850(0-10S 120150E)
Reference Webster and Yang 1992 Wang and Fan 1999 Wang and Fan 1999 Lau et al. 2000 Mcbride et al. 1995
Focus Broad scale South Asian monsoon Indian summer monsoon Western PacificEast Asian monsoon Regional Scale East Asian monsoon Australian summer monsoon
Dari Tabel 1 terlihat bahwa penentuan satu indeks Monsun umumnya melibatkan dua aspek penting, yakni perilaku angin zonal (Barat-Timur, dilambangkan dengan huruf U) di dua lapisan atmosfer utama, masing-masing 850 dan 200 hPa (sekitar 1,45 dan 11,67 km di atas permukaan laut), walaupun dengan wilayah fokus lokasi pengamatan yang berbeda pula. Demikian pula kumpulan indeks tersebut dihasilkan oleh pakar yang berbeda dan tahun yang berbeda pula. Masalahnya adalah mana diantara indeksindeks tersebut yang nantinya sesuai dengan kondisi wilayah kita, khususnya perilaku curah hujan yang terjadi di Yogyakarta dan kawasan sekitarnya. Diantara kelima indeks Monsun di atas, pada penelitian ini difokuskan kepada perilaku indeks Monsun Asia yang masingmasing diwakili ISMI dan WNPMI, dan indeks Monsun Australia yang diwakili AUSMI yang dianggap memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perilaku curah hujan di Indonesia, khususnya Yogyakarta dengan rincian sebagai berikut: 1. ISMI (Indian Summer Monsoon Index) dan WNPMI (Western North Pacific Monsoon Index) sebagaimana dijelaskan oleh Wang and Fan (1999) dan Wang et al., (2001), memiliki
66
Penentuan Awal Musim di Yogyakarta Berbasis Indeks Monsun (Eddy Hermawan)
formula/rumusan sebagai berikut: ISMI Index = U850(40BT-80BT,5LU-15LU) - U850 (70BT90BT, 20LU-30LU) dan WNPMI Index = U850(100BT-130BT,5LU-15LU) - U850 (110BT-140BT, 20LU-30LU) Perbedaan kedua indeks di atas nampak jelas seperti nampak pada Gambar 1.
Gambar 1.
Kawasan kajian ISMI dan WNPMI (Sumber: http://apdrc.soest.hawaii.edu/projects/monsoon/defasmidx.gif)
2. Indeks Monsun Australia yang lebih dikenal dengan istilah AUSMI (Australian Monsoon Index) sebagaimana dijelas Kajikawa et.al, 2010) memiliki formula/rumusan sebagai berikut: AUSMI Index = U850(110BT-130BT,15LS-5LS). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2 berikut.
67
Penentuan Awal Musim di Yogyakarta Berbasis Indeks Monsun (Eddy Hermawan)
Gambar 2.
Kawasan kajian AUSMI (Sumber: http:/apdrc.soest.hawaii.edu/projects/monsoon/defausmidx.gif)
3
DATA DAN METODOLOGI Data utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah data curah hujan di atas Yogyakarta rata-rata bulanan (monthly) terhitung sejak tahun 1998 hingga 2008 (sekitar 10 tahun) hasil estimasi data satelit TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission) versi 3B42. Data TRMM tersebut kemudian diubah menjadi dalam bentuk indeks disesuaikan dengan data Monsun yang juga dalam bentuk indeks. Data indeks Monsun yang dimaksud adalah data indeks Monsun Asia (diwakili oleh ISMI dan WNPMI), dan Monsun Australia (diwakili oleh AUSMI) rata-rata bulanan periode 19482008 yang diunduh dari http://apdrc.soest.hawaii.edu/projects/monsoon/seasonalmonidx.html. Teknik/metode analisis yang kami gunakan utamanya memakai analisis spektral, meliputi teknik wavelet (WL) dan Fast Fourier Transform (FFT) untuk mengetahui osilasi (periodisitas) dominan yang dihasilkan dari data TRMM dan indeks Monsun. Sedangkan untuk mengetahui model regresi ganda yang dihasilkan dari kedua data di atas (TRMM dan indeks Monsun), digunakanlah software SPSS.
68
Penentuan Awal Musim di Yogyakarta Berbasis Indeks Monsun (Eddy Hermawan)
Untuk proses pembelajaran model, digunakanlah analisis jangka pendek yang didefinisikan dari tahun 1998 hingga 2008. Pemilihan periode data tersebut disesuaikan dengan periode data TRMM yang memang ada sejak 1998 hingga 2008. Dari model yang didapat, maka diterapkanlah untuk analisis jangka panjang, yakni sejak 1948 hingga 2000. Data tersebut disesuaikan dengan periode data indeks Monsun global yang memang ada sejak tahun 1948. Langkah akhir, digunakan analisis komposit (composite technique analysis) untuk mengkaji perilaku anomali curah hujan bulanan, sehingga dapat ditentukan awal musim hujan, kemarau dan transisi. 4
HASIL DAN PEMBAHASAN Berikut ditampilkan hasil analisis spektral data anomali curah hujan Yogyakarta dengan data indeks Monsun global, masing-masing diwakili ISMI, WNPMI dan AUSMI rata-rata bulanan periode 1998-2008 menggunakan teknik FFT (Fast Fourier Transform) seperti nampak pada Gambar 3.
Gambar 3.
Grafik Hasil Analisis FFT antara ISMI, WNPMI, dan AUSMI terhadap perilaku anomali curah hujan Yogyakarta periode 1998-2008.
Dari Gambar 3 di atas, jelas nampak terlihat bahwa hampir
69
Penentuan Awal Musim di Yogyakarta Berbasis Indeks Monsun (Eddy Hermawan)
semua parameter yang ditinjau memiliki osilasi dominan yang sama, yakni di sekitar dua belas bulanan yang dikenal dengan istilah Annual Oscillation (AO). Sementara ada juga yang sekitar enam bulanan, dikenal dengan istilah Semi Annual Oscillation (SAO) yang diindikasikan dengan garis merah, yakni AUSMI. Analisis lebih lanjut menggunakan teknik regresi ganda (multivariate regression) diperoleh satu bentuk persamaan (yang kemudian didefinisikan sebagai model) dengan formula sebagai berikut: ∆CH (Yogyakarta) = 0.320 [AUSMI] – 0.239 [ISMI] – 0.127 [WNPMI] + 0.379 ……………….……… (2) dimana ∆=anomali curah hujan yang diturunkan dari data satelit TRMM rata-rata bulanan. Dari formula di atas, terlihat jelas bahwa anomali curah hujan di atas Yogyakarta dominannya dikuasai oleh fenomena Monsun Australia, yakni AUSMI. Namun, harus diingat bahwa Monsun Australia tidaklah berdiri sendiri. Monsun ini diduga diredam kekuatannya dengan hadirnya Monsun Asia, yakni ISMI dan WNPMI. Untuk mengetahui hubungan keeratan yang terjadi antara data indeks curah hujan TRMM dengan indeks Monsun di atas, maka dilakukanlah analisis korelasi ganda menggunakan SPSS yang hasilnya sebagai berikut.
70
Penentuan Awal Musim di Yogyakarta Berbasis Indeks Monsun (Eddy Hermawan)
Gambar 4.
Diagram dependent variable curah hujan Yogyakarta.
Dengan nilai koefisien korelasi squared sebesar 0,84, dapat dijelaskan bahwa kondisi curah hujan di Yogyakarta dipengaruhi kuat oleh Monsun. Hal ini juga dibuktikan dengan karakteristik osilasi yang sama antara curah hujan Yogyakarta dengan osilasi indeks Monsun global. Dengan formula di atas, maka diperoleh nilai anomali curah hujan Yogyakarta yang merupakan hasil penurunan data indeks Monsun global yang memang dimulai sejak tahun 1948 hingga 2009 sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 5. Satu hal yang perlu diketahui adalah analisis dibuat per sepuluh tahunan agar analisis dapat dengan mudah dilakukan. Bisa saja digabung, tetapi akan terjadi penumpukan data yang relatif sangat rapat sehingga sulit untuk dianalisis.
71
Penentuan Awal Musim di Yogyakarta Berbasis Indeks Monsun (Eddy Hermawan)
Gambar 5.
Time-series anomali curah hujan Yogyakarta per sepuluh tahun periode Januari 1949-Desember 2008 hasil penurunan dari data indeks Monsun global yang masingmasing diwakili ISMI, WNPMI, dan AUSMI
72
Penentuan Awal Musim di Yogyakarta Berbasis Indeks Monsun (Eddy Hermawan)
Dari Gambar 5 terlihat adanya satu pola keteraturan yang jelas/tegas yang seakan membentuk satu pola sinusoidal yang hampir mendekati sempurna. Ini memang satu ciri indikasi adanya pengaruh Monsun yang dominan yang terjadi di Yogyakarta dan kawasan sekitarnya. Dari Gambar 5 tersebut terlihat jelas adanya anomali positif yang dianggap dapat mewakili kondisi basah (musim hujan) dan anomali negatif yang dianggap dapat mewakili kondisi kering (musim kemarau). Juga terlihat dengan jelas, umumnya Januari merupakan puncak musim hujan, sementara Juli puncak musim kemarau. Hal ini juga dibuktikan dengan hasil analisis data observasi curah hujan observasi (in-situ) rata-rata bulanan per sepuluh tahunan terhitung sejak 1970 hingga 2012 yang diperoleh dari stasiun BMKG Yogyakarta seperti nampak pada Gambar 6.
Gambar 6.
Pola curah hujan Yogyakarta per 10 tahunan, masingmasing 1970-1979, 1980-1989, diakhiri dengan 20102012.
Dari Gambar 6 di atas, terlihat jelas adanya pola curah hujan Monsunal yang tegas/jelas yang terjadi di Yogyakarta. Puncak curah hujan maksimum umumnya terjadi selama DesemberJanuari-Februari (DJF) dan puncak minimum terjadi selama JuniJuli-Agustus (JJA). Ada saatnya curah hujan mencapai 400 mm/bulan, yakni sepanjang tahun 1980-1989, terutama pada bulan Februari (lihat Gambar 6). Namun, ada kalanya minimum (sekitar 250 mm/bulan), walaupun pada periode yang sama, seperti yang terjadi selama
73
Penentuan Awal Musim di Yogyakarta Berbasis Indeks Monsun (Eddy Hermawan)
2010-2012. Ini dapat dimengerti, mengingat adanya perbedaan akumulasi curah hujan yang diperoleh, masing-masing sepuluh dan tiga tahun, yakni (1980-1989) dan (2010-2012). Untuk membuktikan apakah masing-masing parameter ISMI, WNPMI dan AUSMI berosilasi sempurna satu tahunan, dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7.
Analisis wavelet data ISMI, WNPMI dan AUSMI periode 1948-2009
Gambar 7 menjelaskan hasil analisis wavelet, dimana sumbu y menyatakan periodisitas yang dihasilkan, dan sumbu x menyatakan waktu pengamatan. Sementara garis putus-putus menyatakan tingkat kepercayaan/kenyataan (significancy). Artinya, bilamana garis lancip panel kanan melebihi garis putusputus, maka sudah dianggap signifikan (nyata), begitupun sebaliknya. Memang, seakan terlihat memiliki pola dan kekuatan energi spektral yang sama (12 bulanan), dikenal dengan istilah AO (Annual Oscillation), tetapi antara ISMI atau WNPMI ternyata memiliki periodisitas yang sedikit berbeda dengan AUSMI. Tidak hanya fase nya yang berbeda, namun juga AUSMI menampakkan adanya osilasi 6 bulanan yang dikenal dengan istilah SAO (Semi Annual Oscillation) sebagaimana terlihat pada Gambar 7 di atas yang dinyatakan dengan adanya periode 6 bulanan.
74
Penentuan Awal Musim di Yogyakarta Berbasis Indeks Monsun (Eddy Hermawan)
Terkait dengan tujuan utama penulisan makalah ini, yakni ditentukannya awal musim hujan, kemarau, dan transisi, maka berikut disajikan satu teknik analisis lain, dikenal sebagai teknik komposit (composite technique analysis) dengan cara membuat analisis rata-rata bulanan untuk bulan yang sama namun tahun berbeda. Teknik ini mirip dengan teknik Hövmöller yang biasa dikenal selama ini sebagaimana terlihat pada Gambar 8.
Gambar 8.
Transpose bar data curah hujan anomali yang terjadi di Yogyakarta selama 60 tahun pengamatan periode Januari 1948 hingga Desember 2008 menggunakan teknik komposit untuk bulan-bulan Januari, Februari, Maret, April, Mei dan Juni (panel atas), dilanjutkan dengan bulan Juli, Agustus, September, Oktober, November dan Desember (panel bawah)
75
Penentuan Awal Musim di Yogyakarta Berbasis Indeks Monsun (Eddy Hermawan)
Dari Gambar 8 jelas terlihat bahwa musim hujan (ditandai dengan nilai anomali yang positif, di sebelah kanan) dimulai sejak Januari hingga Maret. Sementara April, walaupun nilai anomalinya masih positif, namun sudah mulai sedikit berkurang. Sejak bulan Mei, pola anomali curah hujan yang dihasilkan mulai berubah yang semula positif lambat laun berubah menjadi negatif. Ini mengindikasikan jika bulan Mei sebenarnya merupakan awal musim transisi (perubahan atau pergeseran dari musim hujan ke musim kemarau). Pada bulan Juni awal musim transisi sepenuhnya dimulai yang ditandai dengan nilai anomali curah hujan yang keseluruhan negatif. Ini terus berlanjut hingga bulan September. Sementara bulan Oktober walaupun nilai anomali curah hujan masih negatif, namun sudah mulai berkurang. Ini mengindikasikan jika bulan Oktober musim transisi kedua (dari musim kemarau ke musim hujan). Ini sangat jelas terlihat di bulan November. Namun, secara keseluruhan nampak jelas jika bulan Desember sebenarnya awal musim hujan secara total dimulai. Jika pola curah hujan Monsunal nampak jelas di Yogyakarta, apakah hal ini berlaku sama untuk kawasan lain di Indonesia. Untuk itu, berikut disajikan perilaku anomali curah hujan yang terjadi di Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur, sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 9.
76
Penentuan Awal Musim di Yogyakarta Berbasis Indeks Monsun (Eddy Hermawan)
Gambar 9.
Sama dengan Gambar 8, tetapi untuk Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur (Sumber: Hermawan, 2012)
Dari Gambar 9 di atas jelas terlihat seakan kedua gambar memiliki pola curah hujan yang hampir sama atau mendekati sama, yakni sama-sama memiliki bulan basah (ditandai dengan anomali positif) selama empat bulan (Januari-April) dan bulan kering/kemarau (ditandai dengan anomali negatif) selama lima bulan (Juni-Oktober) dengan transisi pertama dan kedua yang terjadi bulan Mei dan November. Yang berbeda adalah jika akhir musim hujan di Yogyakarta terjadi pada bulan April, justru pada bulan tersebut Kabupaten Kutai Kartanegara masih relatif basah. Begitupun, jika akhir musim kemarau di Yogyakarta terjadi pada bulan Oktober, justru pada bulan tersebut Kutai Kartanegara musim kemarau masih berlanjut. Sebagai catatan dapat disampaikan bahwa model curah hujan yang dihasilkan untuk Kabupaten Kutai Kartanegara adalah: ∆CH (Kutai Kartanegara) = - 7.9 ISMI - 12.5 WNPMI - 7.0 AUSMI - 85.0 ………..………… (3) 5
KESIMPULAN Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penentuan model anomali curah hujan yang terjadi di Yogyakarta dapat
77
Penentuan Awal Musim di Yogyakarta Berbasis Indeks Monsun (Eddy Hermawan)
dilakukan melalui analisis regresi ganda (multivariate regression) yang diturunkan dari data indeks Monsun global, masing-masing diwakili oleh ISMI, WNPMI dan AUSMI dan dikalibrasi dengan anomali curah hujan hasil observasi satelit TRMM. Walaupun model yang diperoleh masih relatif sederhana, tetapi telah dimasukkan proses interaksi atau interkoneksi atau telekoneksi antara indeks Monsun Asia (ISMI dan WNPMI) dan indeks Monsun Australia (AUSMI). Dari model pendugaan curah hujan yang didapat, diketahui parameter AUSMI lah yang relatif paling dominan. Hal ini diduga terkait posisi Yogyakarta di selatan P. Jawa yang relatif dekat Australia. Dengan memanfaatkan data curah hujan bulanan periode 1998-2008 sebanyak kurang lebih 11 tahun pengamatan, diperoleh informasi tentang penentuan awal musim hujan, kemarau, dan transisi yang terjadi di Yogyakarta dan kawasan sekitarnya. Hasil ini ternyata tidak jauh berbeda dengan Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, walaupun ada sedikit perbedaan pada bulan April dan Oktober yang merupakan akhir musim hujan dan kemarau. Ucapan Terima Kasih Ucapan terima kasih ditujukan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penelitian ini, terutama kepada pihak Pimpinan PSTA LAPAN. Ini adalah bagian dari hasil Riset In House T.A. 2011 dengan judul “Kriteria Awal Musim/Onset Monsun di Indonesia Berbasis Observasi Radar dan Satelit” dan juga Riset IPKPP 2012 dengan judul “Peringatan Dini Datangnya Musim Kemarau/Hujan Berbasis Hasil Analisis Data EAR, WPR, dan Satelit untuk Ketahanan Pangan di Daerah Kalimantaan Timur” dengan Peneliti Utama Eddy Hermawan. DAFTAR RUJUKAN Hermawan, E., E.A., Senitawati, dan T. Harjana, 2011: Pengembangan Model Curah Hujan Yogyakarta Berbasis Hasil Analisis Data Indeks Monsun Global, Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, F-7787 Hermawan, E., 2012: Perilaku Curah Hujan Kabupaten Kutai Berbasis Hasil Analisis Data Indeks Monsun Global Terkait
78
Penentuan Awal Musim di Yogyakarta Berbasis Indeks Monsun (Eddy Hermawan)
dengan Program Food dan Rice Estate di Provinsi Kalimantan Timur, dipresentasikan pada acara Seminar Ilmiah Nasional “Penelitian Masalah Lingkungan di Indonesia ke 8”, 12 Juli 2012 di Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, UGM, Yogyakarta Kajikawa, Y., B. Wang and J. Yang, 2010: A multi-time scale Australian Monsoon Index, Int. J. Climatol, 30, 1114-1120 Wang, B., and Z. Fan, 1999: Choice of South Asian Summer Monsoon Indices. Bull. Amer. Meteor. Soc., 80, 629–638 Wang, B., R. Wu., K.M. Lau, 2001: Interannual Variability of Asian Summer Monsoon: Contrast between the Indian and Western North Pacific-East Asian Monsoons. J. Climate, 14, 4073-4090 http://yogya.litbang.deptan.go.id/ind/index.php?option=com_con tent&view=article&id=983:evaluasi-penerapan-kalendertanam-terpadu-sebagai-dasar-rekomendasi-teknologi-padijagung-dan-kedelai&catid=4:info-aktual&Itemid=5 [diakses tanggal 13 September 2014 pukul 16:35 WIB] http://climate.snu.ac.kr/2005_new/main.php?id=res_2007&pp= monsoon/monsoon_2007 [diakses pada tanggal 14 September 2014 pukul 06:56 WIB] http://apdrc.soest.hawaii.edu/projects/monsoon/def-asmidx.gif [diakses tanggal 14 September 2014 pukul 07:41 WIB] http://apdrc.soest.hawaii.edu/projects/monsoon/def-ausmidx.gif [diakses tanggal 14 September 2014 pukul 07:45 WIB] http://apdrc.soest.hawaii.edu/projects/monsoon/seasonalmonidx.html [diakses tanggal 14 September 2014 pukul 07:54 WIB]
79
Curah Hujan Diurnal Luaran Model WRF Wilayah Indonesia (Iis Sofiati)
KARAKTERISTIK CURAH HUJAN DIURNAL LUARAN MODEL WEATHER RESEARCH FORECASTING (WRF) DI WILAYAH INDONESIA Iis Sofiati, Didi Satiadi, Farid Lasmono, Halimurrahman, Suaydhi Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer-LAPAN Jl. Dr. Junjunan 133, Bandung 40173 e-mail:
[email protected] ABSTRAK Penelitian ini menganalisis curah hujan diurnal berbasis model, dan tujuan penelitian ini adalah mengetahui kinerja model cuaca numerik Weather Research Forecasting (WRF) di wilayah Indonesia. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data luaran model WRF yang telah di running untuk tahun 2013 dengan resolusi 50 km. Data untuk proses simulasi WRF meliputi inisialisasi parameter dan pemotongan wilayah kajian, dan wilayah kajian difokuskan di wilayah Indonesia dan sekitarnya pada posisi (10°LS-10°LU, 95°-145°BT). Berdasarkan hasil terlihat bahwa distribusi spasial curah hujan diurnal pada setiap bulan dicirikan oleh adanya peningkatan intensitas curah hujan maksimum pada malam hari (pukul 23.00), sedangkan curah hujan dengan intensitas sedang mulai terjadi sekitar pukul 14.00. Analisis spektrum terhadap pola curah hujan diurnal di beberapa daerah di Indonesia menunjukkan pola yang berbeda-beda. Hasil analisis dari rata-rata zonal menunjukkan adanya pergeseran curah hujan maksimum menuju arah tenggara (southeastward) pada posisi 114°BT pada bulan Maret sampai posisi 127°BT pada bulan Desember. Pemanfaatan WRF sebagai alat untuk melakukan prediksi cuaca jangka pendek cukup informatif dalam merepresentasikan curah hujan diurnal. Kata-kata kunci: Curah hujan, diurnal, WRF, rata-rata zonal, rata-rata meridional. ABSTRACT This study analyzed the diurnal rainfall based model, and the purpose of this study was to determine the performance of numerical weather models Weather Research Forecasting (WRF) in Indonesia. The data used in this study was the output data of WRF models that have been running since 2013 with a resolution of 50 km. Data for WRF simulation process includes initialization
80
Curah Hujan Diurnal Luaran Model WRF Wilayah Indonesia (Iis Sofiati)
parameters and cutting study area, and study area focused on Indonesian territory (10°LS-10°LU, 95°-145°BT). Based on the results, it showed that the spatial distribution of diurnal rainfall in every month characterized by an increase in the maximum rainfall intensity in the evening (at 23.00), while the rainfall with moderate intensity started to happen around 14.00. Spectrum analysis of the diurnal rainfall patterns in some areas in Indonesia showed different patterns. The results of zonal mean analysis indicates the maximum rainfall shifts toward southeastward on the position 114°E in March up to 127°E in December. WRF utilization as a tool to predict short-term weather is quite informative in representing the diurnal rainfall. Key words: Rainfall, diurnal, WRF, zonal mean, meridional mean. 1
PENDAHULUAN Curah hujan merupakan salah satu unsur iklim yang paling banyak dipelajari di Indonesia, karena memiliki tingkat keanekaragaman yang sangat tinggi baik temporal (waktu) maupun spasial (lokasi). Salah satu faktor penting dalam proses terjadinya hujan di pulau-pulau di Indonesia yang berdampak pada pola curah hujan setiap daerah di Indonesia adalah siklus diurnal. Siklus hujan harian merupakan komponen penting dari iklim tropis dan salah satu komponen utama dari variasi atmosfer. Karakteristik siklus hujan harian dipengaruhi oleh sifat fisik darat-laut, siklus siang-malam dan posisi daratan-lautan (Pandawana, 2012). Aktivitas konvektif di daerah tropis merupakan salah satu penggerak sirkulasi atmosfer melalui penyerapan dan pelepasan panas laten dalam jumlah yang sangat besar. Karena tidak ada gangguan baroklinik skala sinoptik yang menyebabkan curah hujan di extratropiks, siklus konveksi diurnal dan variasi regionalnya menjadi penting di daerah tropis. Benua Maritim Indonesia khususnya, memiliki lingkungan yang unik, di mana kegiatan konvektif menyebabkan munculnya parameter atmosfer dalam berbagai skala waktu dan ruang yang dapat mempengaruhi iklim pada skala global (Ramage 1968). WRF merupakan salah satu model regional yang saat ini banyak dikembangkan oleh kalangan meteorologis. WRF dapat memodelkan kondisi atmosfer di suatu wilayah sehingga dapat
81
Curah Hujan Diurnal Luaran Model WRF Wilayah Indonesia (Iis Sofiati)
membantu para pengguna dalam mempelajari suatu kejadian meteorologi dengan lebih baik (Fadholi dkk., 2011). Hal terpenting dalam prediksi cuaca yaitu keakuratan. Pengujian luaran model WRF dilakukan melalui pendekatan terhadap nilai inisial. Etherton dan Santos (2008), melakukan kombinasi dalam hal inisialisasi dalam proses prakiraan cuaca yaitu menggunakan Prediction system (LAPS) dan North American Mesoscale model (NAM/Eta model) yang dijalankan pada waktu yang berbeda 06.00 dan 18.00 UTC. Berdasarkan hasil kombinasi inisialisasi dengan WRF ternyata kombinasi WRF dengan LAPS memiliki akurasi yang baik untuk kondisi suhu 2 m, titik embun, angin 10 m dan tekanan permukaan laut bahkan sangat baik untuk curah hujan. Penelitian yang dilakukan Skok et al., (2010), menegaskan kembali bahwa hasil luaran curah hujan model WRF mampu menggambarkan dengan baik kondisi curah hujan ketika hasilnya dibandingkan dengan luaran TRMM-3B42 untuk wilayah kajian Samudera Pasifik pada lokasi lintang menengah dari tahun 1998-2008. Meskipun dalam penelitian tersebut curah hujan hasil luaran model WRF lebih tinggi dibandingkan TRMM. Untuk mengetahui karakteristik curah hujan diurnal di wilayah Indonesia, dalam penelitian ini dikaji dan dianalisis curah hujan diurnal hasil simulasi luaran model cuaca numerik Weather Research Forecasting (WRF), dalam rangka mengetahui kinerja dari model tersebut. 2
DATA DAN METODOLOGI Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data luaran model WRF hasil simulasi untuk tahun 2013 dengan resolusi 50 km, dan data TRMM 3B42-V7. Data untuk proses simulasi WRF meliputi inisialisasi parameter dan pemotongan wilayah kajian, dan wilayah kajian difokuskan kepada wilayah Indonesia yang terletak pada koordinat (10°LS-10°LU, 95°145°BT). Untuk mewakili setiap musim, pemetaan dilakukan pada bulan Desember, Maret, Juni, September (pukul 00.00 sampai 24.00). Analisis selanjutnya dibuat rata-rata lintang (meridional, 10°LS-10°LU) dan rata-rata bujur (zonal, 95°145°BT) terhadap waktu dalam bentuk spasial dan spektrum. Sebagai tahapan validasi dilakukan analisis perbandingan
82
Curah Hujan Diurnal Luaran Model WRF Wilayah Indonesia (Iis Sofiati)
terhadap data TRMM 3B42-V7 pada lokasi koordinat dan waktu yang sama. Konfigurasi simulasi model dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1.
Konfigurasi simulasi WRF.
Parameter Model Domain Resolusi Time step Kendali
Kondisi awal Skema konveksi Waktu simulasi
Global Weather Research Forecasting (WRF) Indonesia 50 km Jam-an - Topografi, albedo, roughness, rsmin, soil, vegetasi. - Meteorologi dari Global Forecast System (GFS)-NOAA. Restart untuk 24 jam-an Arakawa Januari- Desember 2013
3
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambar 1 menunjukkan distribusi spasial curah hujan jam-an luaran WRF-50 km pada jam 01.00 sampai dengan jam 24.00, pada tanggal 15 Desember 2013 di wilayah Indonesia (gambar ditampilkan setiap 6-jam). Berdasarkan hasil terlihat bahwa distribusi spasial curah hujan diurnal pada setiap bulan dicirikan oleh adanya peningkatan intensitas curah hujan maksimum pada malam hari (pukul 21.00), sedangkan curah hujan dengan intensitas sedang mulai terjadi sekitar pukul 14.00. Curah hujan dengan intensitas tinggi terjadi di sekitar Samudera Indonesia sebelah barat daya Indonesia, perairan laut Jawa sebelah barat, Jawa, Sulawesi Tenggara, dan Papua sebelah barat.
83
Curah Hujan Diurnal Luaran Model WRF Wilayah Indonesia (Iis Sofiati)
03.00
09.00
15.00 Gambar 1.
21.00
Distribusi spasial curah hujan jam-an luaran WRF-50 km pada jam 01.00 (a), 06.00 (b), 18.00 (c), dan 24.00 (d), pada tanggal 15 Desember 2013 di wilayah Indonesia.
Dengan melakukan pengolahan data rata-rata lintang (meridional, 10°LS-10°LU) dan rata-rata bujur (zonal, 95°145°BT) didapatkan hasil distribusi spasial curah hujan secara spasial seperti pada Gambar 2 (a dan c), serta secara spektrum (Gambar 2 b dan 2 d). Berdasarkan rata-rata lintang baik secara spasial maupun secara spektrum, terlihat bahwa pada bulan Desember distribusi spasial curah hujan dengan intensitas maksimum terjadi pada malam hari pada posisi (125-127)°BT sebesar 10 mm/hari, sebaliknya pada waktu yang sama intensitas minimum terjadi pada posisi (106-107)°BT sebesar 0,2 mm/hari.
84
Curah Hujan Diurnal Luaran Model WRF Wilayah Indonesia (Iis Sofiati)
(b)
(a)
(d)
(c) Gambar 2.
Curah hujan rata-rata lintang (90-140)°BT terhadap waktu (a), deret waktu curah hujan rata-rata lintang (b), curah hujan rata-rata bujur (6°LU-12°LS) terhadap waktu (c), dan deret waktu curah hujan rata-rata bujur (d) pada tanggal 15 Desember 2013.
Dengan melakukan pengolahan data rata-rata lintang (meridional, 10°LS-10°LU) dan rata-rata bujur (zonal, 95°145°BT) didapatkan hasil distribusi spasial curah hujan secara spasial seperti pada Gambar 2 (a dan c), serta secara spektrum (Gambar 2 b dan 2 d). Berdasarkan rata-rata lintang baik secara spasial maupun secara spektrum, terlihat bahwa pada bulan Desember distribusi spasial curah hujan dengan intensitas maksimum terjadi pada malam hari pada posisi (125-127)°BT sebesar 10 mm/hari, sebaliknya pada waktu yang sama intensitas minimum terjadi pada posisi (106-107)°BT sebesar 0,2 mm/hari. Pada posisi yang sama intensitas curah hujan pada pagi sampai sekitar jam 06.00 bernilai kecil atau tidak ada hujan sama sekali. Hujan terjadi setiap jam, berangsur naik, sampai mencapai nilai maksimum pada malam hari. Untuk analisis rata-
85
Curah Hujan Diurnal Luaran Model WRF Wilayah Indonesia (Iis Sofiati)
rata bujur (95°-145°BT) didapatkan hasil seperti yang terlihat pada Gambar 2c dan 2d. Berdasarkan hasil terlihat bahwa secara spasial curah hujan dengan intensitas tinggi terjadi rata-rata pada malam hari, dan berada pada posisi (4-5)°LS dan (3-5)°LU, dan terjadi peningkatan curah hujan dari mulai pukul 16.00. Analisis secara spektrum curah hujan dengan intensitas tertinggi terjadi pada posisi (4,3)°LS sebesar 7,6 mm/hari dan pada posisi (4,5)°LU sebesar 7,3 mm/hari.
Gambar 3.
(a)
(b)
(c)
(d)
Distribusi spasial curah hujan luaran WRF-50 km pada jam 03.00 (a), 06.00 (b), 18.00 (c), 24.00 (d), pada tanggal 15 Maret 2013 yang mewakili musim transisi hujan-kemarau di wilayah Indonesia.
Distribusi spasial curah hujan luaran WRF-50 km yang dianalisis secara jam-an untuk bulan Maret ditunjukkan pada Gambar 3 (a-d). Seperti pada bulan Desember intensitas curah hujan semakin meningkat dan menyebar lebih luas untuk setiap jam, dimulai pada pukul 16.00 sampai 24.00.
86
Curah Hujan Diurnal Luaran Model WRF Wilayah Indonesia (Iis Sofiati)
Gambar 4.
(a)
(b)
(c)
(d)
Curah hujan rata-rata lintang (90-140)°BT terhadap waktu (a), deret waktu curah hujan rata-rata lintang (b), curah hujan rata-rata bujur (6°LU-12°LS) terhadap waktu (c), dan deret waktu curah hujan rata-rata bujur (d) pada tanggal 15 Maret 2013.
Pada bulan Maret hujan terjadi di sebagian besar wilayah Sumatera, kecuali Sumatera Utara, Kalimantan, Jawa, Sulawesi Tenggara, dan Papua. Wilayah barat Indonesia terlihat lebih basah dibandingkan dengan wilayah timur. Analisis rata-rata lintang baik secara spasial maupun spektrum menunjukkan curah hujan dengan intensitas tinggi atau maksimum terjadi pada malam hari pada posisi 113°BT sebesar 8,6 mm/hari dan minimum terjadi pada posisi 125°BT sebesar 0,3 mm/hari (Gambar 4a dan 4b). Sedangkan untuk rata-rata bujur baik secara spasial maupun spektrum menunjukkan curah hujan maksimum terjadi pada posisi 8°LS sebesar 5,5 mm/hari dan minimum terjadi pada posisi 10°LS sebesar 0,2 mm/hari seperti yang terlihat pada Gambar 4a dan 4d.
87
Curah Hujan Diurnal Luaran Model WRF Wilayah Indonesia (Iis Sofiati)
(b)
(a)
(c) Gambar 5.
(d)
Distribusi spasial curah hujan luaran WRF-50 km pada jam 01.00 (a), 06.00 (b), 18.00 (c), dan 24.00 (d) pada tanggal 15 Juni 2013 yang mewakili musim kemarau di wilayah Indonesia.
Kondisi pada musim kering yang diwakili bulan Juni seperti yang terlihat pada Gambar 5, sebaran curah hujan terlihat luas dengan intensitas tinggi di wilayah Indonesia bagian timur terutama di wilayah kepulauan Maluku. Secara diurnal intensitas curah hujan tertinggi masih pada malam hari seperti yang terjadi pada bulan Desember dan Maret. Seperti sebaran curah hujan diurnal yang dijelaskan di atas, untuk rata-rata lintang secara spasial intensitas curah hujan tertinggi terjadi pada pukul 24.00 pada posisi (135-139)°BT, dan dari analisis spektrum nilainya berkisar (12-14) mm/hari. Pada saat yang sama terjadi curah hujan dengan intensitas yang kecil pada posisi (118-120)°BT (terlihat pada Gambar 6 a dan b). Dari analisis ini terlihat jelas bahwa pada bulan Juni, curah hujan dengan intensitas tinggi terjadi di wilayah Indonesia bagian timur. Kejadian hujan rata-
88
Curah Hujan Diurnal Luaran Model WRF Wilayah Indonesia (Iis Sofiati)
rata dimulai pada sore hari atau sekitar pukul 16.00, dan terus menerus terjadi sampai mencapai puncaknya pada malam hari. Pada Gambar 6 (c dan d) ditampilkan hasil analisis rata-rata bujur secara spasial dan spektrum, dimana secara spasial dapat dilihat curah hujan dengan intensitas tinggi terjadi masih pada malam hari pada posisi (6-8)°LS dan (5-8)°LU, sekitar 9 mm/hari. Seperti yang terjadi pada bulan Desember, pada bulan Juni terjadi curah hujan dengan intensitas tinggi, tetapi pada posisi (7,1)°LS dan pada posisi (7,5)°LU sekitar 9 mm/hari.
Gambar 6.
(a)
(b)
(c)
(d)
Curah hujan rata-rata lintang (90-140)°BT terhadap waktu (a), deret waktu curah hujan rata-rata lintang (b), curah hujan rata-rata bujur (6°LU-12°LS) terhadap waktu (c), dan deret waktu curah hujan rata-rata bujur (d) pada tanggal 15 Juni 2013.
Distribusi curah hujan diurnal pada bulan September terlihat lebih merata atau hujan terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia, kecuali Sumatera Utara, Jawa bagian timur, NTB, dan NTT, tetapi dengan intensitas yang lebih kecil dibandingkan bulan Desember (gambar tidak ditampilkan karena keterbatasan halaman). Secara diurnal, intensitas curah hujan semakin bertambah dari mulai sore hari sekitar pukul 16.00 sampai
89
Curah Hujan Diurnal Luaran Model WRF Wilayah Indonesia (Iis Sofiati)
malam hari. Hal tersebut diikuti dengan sebaran curah hujan secara spasial makin bertambah untuk setiap jam. Curah hujan dengan intensitas tinggi terjadi di wilayah Sumatera bagian barat, Kalimantan bagian barat, Sulawesi, kepulauan Maluku, dan Papua. Analisis yang sama untuk rata-rata lintang dan bujur pada bulan September (gambar tidak ditampilkan). Berdasarkan hasil untuk rata-rata lintang secara spasial, curah hujan dengan intensitas maksimum masih terjadi pada malam hari, sedangkan mulai terjadinya pada pukul 14.00. Curah hujan dengan intensitas tinggi terjadi pada posisi 117°BT dengan nilai kisaran sebesar 7,5 mm/hari. Sebagai tahapan validasi dilakukan analisis perbandingan pola akumulasi curah hujan yang dihasilkan dari simulasi model WRF terhadap data TRMM 3B42-V7 seperti yang ditunjukkan pada Gambar 7.
(b)
(a)
(c) Gambar 7.
(d)
Distribusi spasial akumulasi curah hujan luaran WRF50 km pada jam 06.00 (a) dan 12.00 (c), serta hasil dari TRMM 3B42-V7 pada jam 06.00 (b), dan 12.00 (d), pada tanggal 15 Desember 2013.
90
Curah Hujan Diurnal Luaran Model WRF Wilayah Indonesia (Iis Sofiati)
Berdasarkan hasil terlihat bahwa pola distribusi akumulasi curah hujan yang dihasilkan dari luaran WRF dan TRMM mempunyai pola yang hampir sama. Pada jam 03.00 akumulasi curah hujan tersebar di kepulauan Riau Sumatera, Samudera Indonesia bagian selatan, Laut Jawa, Selat Makasar, Samudera Pasifik bagian utara Papua, Laut Banda, dan Papua bagian selatan (gambar tidak ditampilkan). Pada lokasi tersebut, terdapat perbedaan intensitas curah hujan yang terjadi, dimana intensitas luaran WRF lebih kecil (sekitar 6 mm untuk jam 00.00 sampai jam 03.00) dibandingkan dengan TRMM (sekitar 12 mm untuk jam yang sama). Pada jam 06.00 distribusi akumulasi curah hujan terjadi di Sumatera Selatan, Kalimantan Barat dan Selatan, Jawa Timur, sebagian Samudera Indonesia bagian selatan, Laut Jawa bagian timur, Sulawesi Tengah, Laut Banda, dan Papua bagian selatan seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 7. Sedangkan pada jam 12.00 distribusi akumulasi curah hujan luaran WRF lebih tersebar dengan intensitas yang lebih besar dibandingkan dengan TRMM, terjadi di Sumatera Utara dan Kepulauan Riau, Samudera Indonesia bagian selatan, Kalimantan Tengah dan Barat, Jawa Timur, Laut Jawa, sebagian besar Sulawesi, Samudera Pasifik bagian utara Papua, dan Papua bagian selatan. Untuk validasi pada bulan Juni, luaran model WRF dan TRMM dianalisis pada jam 06.00 dan 18.00 seperti yang terlihat pada Gambar 8. Pada jam 06.00 curah hujan terjadi di Samudera Indonesia bagian selatan, Kalimantan Barat, Jawa Timur, sebagian Laut Jawa, Sulawesi Utara, Samudera Pasifik bagian utara Papua, Laut Banda dan sekitarnya, serta Papua bagian selatan. Sedangkan pada jam 18.00 curah hujan terjadi di Samudera Indonesia bagian selatan, Kalimantan Barat, Jawa, sebagian Laut Jawa, Sulawesi Utara dan Tengah, Samudera Pasifik bagian utara Papua, Laut Banda, dan Papua bagian selatan. Wilayah timur terlihat lebih basah dibandingkan dengan wilayah barat.
91
Curah Hujan Diurnal Luaran Model WRF Wilayah Indonesia (Iis Sofiati)
Gambar 8.
(a)
(b)
(c)
(d)
Distribusi spasial akumulasi curah hujan luaran WRF50 km pada jam 06.00 (a) dan 18.00 (c), serta hasil dari TRMM 3B42-V7 pada jam 06.00 (b), dan 18.00 (d) pada tanggal 15 Juni 2013.
Analisis selanjutnya membandingkan hasil luaran WRF dengan TRMM untuk rata-rata lintang dan bujur seperti yang terlihat pada Gambar 9. Dari luaran WRF terlihat bahwa pada bulan Desember distribusi spasial akumulasi curah hujan ratarata lintang dengan intensitas maksimum terjadi pada malam hari pada posisi (125-127)°BT (Gambar 9 a), sedangkan dari TRMM intensitas maksimum terjadi pada posisi 95°BT pada malam hari, (100-105)°BT pada jam 03.00 dan 16.00, dan (120125)°BT pada jam 03.00, 16.00 dan 24.00. Sedangkan untuk bulan Juni dari luaran WRF, akumulasi curah hujan dengan intensitas maksimum terjadi pada malam hari, pada posisi (127140)°BT. Dari hasil TRMM akumulasi curah hujan dengan intensitas maksimum rata-rata terjadi pada posisi (130-140)°BT pada sore hari (jam 14.00-16.00). Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa dari luaran model WRF dan TRMM terdapat
92
Curah Hujan Diurnal Luaran Model WRF Wilayah Indonesia (Iis Sofiati)
perbedaan pada waktu terjadinya curah hujan, tetapi untuk posisi koordinat hampir sama.
Gambar 9.
(a)
(b)
(c)
(d)
Akumulasi curah hujan rata-rata lintang (90-140)°BT terhadap waktu pada bulan Desember (a) dan Juni (c) luaran WRF, dan bulan Desember (b) dan bulan Juni (d) dari TRMM 3B42-V7 di wilayah Indonesia.
Analisis spektrum terhadap pola curah hujan diurnal dari hasil simulasi menggunakan model cuaca WRF pada domain wilayah Indonesia pada umumnya, khususnya di Kalimantan, Laut Jawa, dan Pulau Jawa ditunjukkan pada Gambar 10. Berdasarkan hasil terlihat bahwa distribusi pola curah hujan diurnal rata-rata pada bulan Maret, Juni, September, dan Desember di wilayah tersebut di atas berbeda-beda. Di Kalimantan, hasil pola curah hujan diurnal rata-rata pada bulan Maret, Juni, September, dan Desember menunjukkan pola yang hampir sama, curah hujan maksimum terjadi pada siang hari sekitar jam 07.00 UTC (14.00 WIB). Di Laut Jawa pada bulan Maret, Juni, dan Desember curah hujan maksimum terjadi pada pagi hari sekitar jam 24.00 UTC (07.00 WIB), dan pada bulan September terjadi pada siang hari sekitar jam 12.00 WIB.
93
Curah Hujan Diurnal Luaran Model WRF Wilayah Indonesia (Iis Sofiati)
Kalimantan ----- Laut Jawa ..... P. Jawa
Gambar 10. Pola curah hujan rata-rata diurnal pada bulan Maret, Juni, September, dan Desember tahun 2013 di wilayah Indonesia.
Sedangkan di Pulau Jawa pada bulan Maret, Juni, dan Desember curah hujan maksimum terjadi pada dini hari jam 18.00 UTC (01.00 WIB), dan pada bulan September terjadi pada malam hari jam 14.00 UTC (21.00 WIB). Hasil ini mendukung penelitian sebelumnya bahwa di daerah tropis siklus awan hujan tidak homogen untuk semua pulau, karena sirkulasi lokal yang berhubungan dengan orografi pulau, dan posisi daratan-lautan (Pandawana, 2012). Hasil analisis dari rata-rata zonal menunjukkan adanya pergeseran curah hujan maksimum rata-rata menuju arah tenggara (southeastward) pada posisi 114°BT pada bulan Maret sampai posisi 127°BT pada bulan Desember. Hasil tersebut mendukung hasil penelitian-penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa awan konvektif yang menghasilkan curah hujan bergerak dari wilayah barat daya menuju wilayah tenggara Indonesia diantaranya (Matsumoto, 1992; Hamada et al., 2002).
94
Curah Hujan Diurnal Luaran Model WRF Wilayah Indonesia (Iis Sofiati)
Menurut Handoko (1994), model merupakan penyederhanaan dari sistem yang tersusun dari subsistem. Sistem tersusun atas proses-proses yang tersusun secara teratur. Berdasarkan hal tersebut maka model sebenarnya tidak secara sempurna atau pasti menggambarkan fenomena di atmosfer sebab dilakukan asumsi-asumsi supaya proses di atmosfer yang kompleks mampu digambarkan dan menghasilkan angka ramalan semirip mungkin dengan kenyataan di lapangan. Penggunaan asumsi menyebabkan keseluruhan model yang dibangun pasti memiliki error. Penelitian tentang pola curah hujan diurnal untuk setiap wilayah di Indonesia perlu dilanjutkan karena selain siklus awan hujan yang tidak homogen dan sirkulasi lokal yang berhubungan dengan orografi pulau, pola curah hujan diurnal dipengaruhi juga oleh sifat fisik darat-laut, siklus siang-malam dan posisi daratanlautan (Pandawana, 2012). 4
KESIMPULAN Distribusi spasial curah hujan diurnal pada setiap bulan dicirikan oleh adanya peningkatan intensitas curah hujan maksimum pada malam hari (pukul 23.00), sedangkan curah hujan dengan intensitas sedang mulai terjadi sekitar pukul 14.00. Analisis spektrum terhadap pola curah hujan diurnal di beberapa daerah di Indonesia menunjukkan pola yang berbeda-beda. Hasil analisis dari rata-rata zonal menunjukkan adanya pergeseran curah hujan maksimum rata-rata menuju arah Tenggara (southeastward) pada posisi 114°BT bulan Maret sampai posisi 127°BT pada bulan Desember. Dibandingkan dengan TRMM 3B42-V7, distribusi akumulasi curah hujan yang dihasilkan dari luaran WRF dan TRMM mempunyai pola yang hampir sama, tetapi dengan intensitas yang berbeda, dimana WRF bisa lebih besar dari TRMM atau sebaliknya. DAFTAR RUJUKAN Etherton B, Santos P. 2008: Sensivity of WRF forecasts for South Florida to initial conditions. American Meteorological Society. 23, 725-740. doi:10.1175/2007WAF2006115.1 Fadholi A., Fitria P. S., Purwo Aji, dan Ristiana D, 2014: Pemanfaatan Model Weather Research and Forecasting
95
Curah Hujan Diurnal Luaran Model WRF Wilayah Indonesia (Iis Sofiati)
(WRF) dalam Analisis Cuaca Terkait Hujan Lebat Batam, Jurnal Fisika dan Aplikasinya, 10, No.1 Hamada J I, Yamanaka MD, Matsumoto J, Fukao S, Winarso PA, Sribimawati T. 2002: Spatial and temporal variations of the rainy season over Indonesia and their link to ENSO. Journal of the Meteorological Society of Japan, 80, 285–310 Handoko. 1994: Dasar Penyusunan dan Aplikasi Model Simulasi Komputer untuk Pertanian. Bogor (ID): Departemen Geofisika dan Meteorologi, IPB Matsumoto, J. 1992: The seasonal changes in Asian and Australian monsoon regions. J. Meteor. Soc. Japan, 70, 257-273 Pandawana I D G A. 2012: Indonesian Rainfall Diurnal Cycle Analysis Using Satellite Data: A Case Study in Java Island and The Surrounding Areas, Thesis Program Pascasarjana, Bidang Ilmu Lingkungan, Universitas Udayana Ramage, C. S. 1968: Role of a tropical “Maritime Continent” in the atmospheric circulation, Mon. Wea. Rev., 96, 365-370 Skok G, Tribbia J, Rakovec J. 2010: Object-based analysis and verification of WRF model precipitation in the low- and Midlatitude Pacific Ocean. American Meteorological Society, 138, 4561-4575 Sumerta I W Y. 2013: Prediksi Cuaca Jangka Pendek Menggunakan Weather Research Forecasting (WRF) Model, Skripsi, Departemen Geofisika dan Meteorologi, FMIPA, IPB,
96
Frekuensi Pertumbuhan Awan Konvektif di Pameungpeuk (Noersomadi)
KARAKTERISTIK FREKUENSI PERTUMBUHAN AWAN KONVEKTIF DI ATAS WILAYAH PANTAI PAMEUNGPEUK DARI OBSERVASI X-BAND RADAR Noersomadi, Ginaldi Ari Nugroho, Tiin Sinatra, dan Aries Kurniawan Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional e-mail:
[email protected] ABSTRAK Telah dilakukan pengamatan rutin selama bulan Februari 2014 menggunakan Transportable X-band Radar di wilayah Pameungpeuk Garut Jawa Barat. Tujuan pengamatan ini adalah untuk investigasi variasi cuaca harian di wilayah pantai selatan Pulau Jawa. Analisis karakteristik frekuensi pertumbuhan awan dilakukan menggunakan metode struktur spasial. Rata-rata spasial data reflektivitas radar menunjukkan pola variasi harian yang berbeda dengan pengamatan satelit MTSAT. Pengamatan radar mampu menunjukkan konveksi dalam skala kecil yang tidak terekam oleh satelit. Hasil perata-rataan data selama 21 hari pengamatan efektif menunjukkan bahwa pertumbuhan awan konvektif memiliki frekuensi paling tinggi sebesar 24% terjadi pada sore hari. Frekuensi maksimum tampak dominan di atas wilayah daratan akibat faktor topografi. Distribusi awan pada malam hari menunjukkan pengaruh angin darat yang menggerakan awan ke arah laut. Nilai frekuensi pertumbuhan awan di pagi hari hanya berkisar 8-10%. Aktivitas konvektif tersebut terjadi akibat penguapan di atas laut. Nilai frekuensi di atas daratan yang lebih tinggi daripada di atas lautan menjadi indikasi bahwa kandungan aerosolnya lebih banyak dibanding di atas lautan. Hasil penelitian ini menjadi bukti bahwa perbedaan kapasitas panas antara daratan dan lautan serta faktor sirkulasi angin darat-laut memengaruhi siklus harian wilayah pantai. Kata-kata kunci: X-band Radar, frekuensi pertumbuhan awan ABSTRACT Routine observation had been done during February 2014 using Transportable X-band Radar over Pameungpeuk, Garut, West Java. The attempt of this campaign was to investigate the diurnal variation over the coastal area in the south of Java island. The characteristic of clouds growing frequency were analyzed using spacial structure method. The spacial meaning of radar reflectivity
97
Frekuensi Pertumbuhan Awan Konvektif di Pameungpeuk (Noersomadi)
showed different pattern of diurnal variation comparing with MTSAT satellite observation. Radar observation is able to describe small scale convection that were not recorded by satellite. The results of data meaning during 21 days observation campaign effectively showed that convectively clouds growing reach 24% as the highest frequency at the afternoon. The clouds distribution at the night time depict the effect of land breeze that moved to ocean. The value of clouds growing frequency at the morning were about 8-10% only. Those convective activity occured due to evaporation over the ocean. The frequency over the land is higher indicate that the aerosol contents also more dense than the sea. The results of this research are the evidence that the different of thermal capacity between land and ocean, and also sea breeze circulations impact the diurnal cycle over the coastal area. Key words: X-band Radar, clouds growing frequency
1
PENDAHULUAN Investigasi sirkulasi angin laut-darat telah dilakukan oleh Hadi, dkk., (2002) dengan menggunakan data Boundary Layer Radar. Telah terdeteksi bahwa angin yang berasal dari laut lebih dominan di siang hari. Sedangkan pada waktu malam hari lebih didominasi angin yang berasal dari darat. Simulasi model numerik siklus harian mendeskripsikan pertumbuhan awan dan intensitas curah hujan lebih tinggi di antara pukul 13 hingga 18 waktu lokal. Mori, dkk (2011) menegaskan mekanisme perkembangan aktivitas konvektif di pantai Sumatera melalui data X-band Radar. Dalam risetnya telah diperlihatkan perbedaan pertumbuhan awan konvektif pada masa aktif dan pasif MJO. Bermula dari motivasi ingin meneliti mekanisme pertumbuhan awan konvektif terkait sirkulasi harian di wilayah pantai, maka telah dilakukan pengamatan rutin menggunakan Xband Radar. Observasi rutin selama kurang lebih satu bulan, yakni di bulan Februari 2014. Alasan dilakukan pada bulan Februari adalah di wilayah Jawa masih dipengaruhi oleh angin monsun baratan yang membawa uap air sehingga menyebabkan pertumbuhan awan di Pulau Jawa (Marpaung, dkk., 2012). Mengacu pada penelitian Germann, dkk (2006) dan Kawashima, dkk (2006), observasi rutin ini dilakukan untuk membuktikan pola pertumbuhan awan konvektif yang dipengaruhi oleh sirkulasi
98
Frekuensi Pertumbuhan Awan Konvektif di Pameungpeuk (Noersomadi)
angin darat-laut dan faktor topografi di sebelah utara Pameungpeuk (Gambar 1). Riset ini merupakan bagian dari program rutin Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer terkait pemanfaatan instrumen Transportable X-band Radar tahun 2014. Diharapkan dari investigasi menggunakan X-band Radar ini dapat membuktikan fenomena siklus harian pertumbuhan awan di wilayah pantai. Dengan meningkatkan pemahaman mengenai mekanisme aktivitas konvektif di wilayah pantai, diharapkan pula dapat dikembangkan pemodelan fisis terkait sirkulasi angin darat-laut. 2
DATA DAN METODE Penelitian ini menggunakan data hasil pengamatan Transportable X-band Radar secara rutin di wilayah Pameungpeuk Garut Jawa Barat (107,681°BT, 7,634°LS). Pengamatan dilakukan selama satu bulan sejak tanggal 5 Februari sampai dengan 4 Maret 2014. Akan tetapi, selama minggu pertama terhitung sejak awal pengamatan terdapat gangguan sumber listrik sehingga menyebabkan kekosongan data. Oleh sebab itu, penelitian ini hanya menggunakan data sepanjang 21 hari efektif yakni sejak 12 Februari sampai dengan 3 Maret 2014.
Gambar 1.
Peta lokasi pengamatan Tranportable X-band Radar di Balai Produksi dan Pengujian Roket LAPAN Pameungpeuk, Garut, Jawa Barat. Radar mampu mencakup objek pengamatan dalam radius 82 km.
99
Frekuensi Pertumbuhan Awan Konvektif di Pameungpeuk (Noersomadi)
Untuk mengetahui pola variasi harian pertumbuhan awan konvektif, data reflektivitas radar di rata-ratakan secara spasial tiap jamnya. Pola variasi harian juga dilihat melalui data temperatur puncak awan dari perekaman satelit Multifunctional Transport Satellite (MTSAT) Himawari (data diperoleh dari sistem penerima satelit milik LAPAN). Perata-rataan spasial data reflektivitas dan temperatur puncak awan dilakukan untuk analisis awal pola variasi harian. Lokasi pengamatan X-band Radar adalah seperti yang terlihat pada Gambar 1. Instrumen diinstal di Balai Produksi dan Pengujian Roket LAPAN Pameungpeuk, dimana waktu lokal standar (WLS) sama dengan UTC+8 dengan mengacu pada koordinat bujur timur. Radar diatur untuk melakukan satu siklus Plan Position Indicator scanning selama 35 menit dari elevasi 0° sampai 10° untuk kenaikan level elevasi setiap 0,2°. Dalam penelitian digunakan data reflektivitas dalam satuan dBz di ketinggian 3 km. Alasan mengambil data pada ketinggian 3 km adalah untuk menganalisis presipitasi di lapisan batas atmosfer serta dengan mempertimbangkan faktor topografi pegunungan Cisompet di bagian utara pantai yang mencapai ketinggian 2,5 km. Data reflektivitas dianalisis menggunakan metode Mandapaka, dkk. (2012) yang disebut struktur spasial. Nilai reflektivitas dengan batas 10 dBz dianggap sebagai presipitasi yang terdeteksi oleh radar seperti yang dilakukan oleh Steiner, dkk., (1995) dan Mori, dkk. (2011) untuk mengklasifikasikan awan konvektif. Data frekuensi pertumbuhan awan dirata-ratakan untuk beberapa waktu tertentu, yakni pagi hari sekitar pukul 7 – 9 WLS, sore hari sekitar pukul 16 – 18 WLS, dan malam hari sekitar pukul 24 hingga pukul 1 dinihari WLS. Selain penampang horizontal data frekuensi pertumbuhan awan di ketinggian 3 km, analisis karakteristik dilanjutkan melalui investigasi penampang melintang yang disandingkan dengan rata-rata topografi dalam radius 50 km dari titik pengamatan. 3
HASIL DAN PEMBAHASAN Pola variasi harian pertumbuhan awan konvektif di atas wilayah Pameungpeuk terlihat pada rata-rata spasial data reflektivitas radar untuk 21 hari pengamatan efektif (Gambar 2).
100
Frekuensi Pertumbuhan Awan Konvektif di Pameungpeuk (Noersomadi)
Terlihat mulai pukul 23 UTC atau 07 WLS terdapat konveksi di atas wilayah lautan. Konveksi ini tidak terekam oleh pengamatan satelit. Kemudian hingga memasuki siang hari atau sekitar pukul 05 UTC (13 WLS) pertumbuhan awan mulai tampak di atas daratan dan menguat di atas wilayah pegunungan. Pertumbuhan awan ini terus menerus menguat hingga malam hari dan mulai menunjukkan pergeseran ke arah wilayah di atas lautan, sehingga seolah membentuk suatu siklus pertumbuhan awan. Gambar 3 mendeskripsikan rata-rata spasial temperatur puncak awan selama bulan Februari 2014 hasil pantauan satelit MTSAT. Akan tetapi, pola yang ditunjukkan oleh data satelit tidak tampak seperti hasil pengamatan radar. Data satelit memperlihatkan aktivitas konveksi dimulai pukul 08 UTC atau pukul 16 WLS, sedangkan data radar menyatakan bahwa konveksi di atas pegunungan Cisompet mulai tumbuh pada pukul 14 – 15 WLS. Untuk rata-rata temperatur puncak awan di pagi hari sekitar pukul 06 – 09 WLS, tidak menunjukkan adanya pertumbuhan awan baik di atas daratan maupun di lautan (gambar kontur tidak diperlihatkan). Perbedaan antara pengamatan radar dengan satelit juga tampak di malam hari. Konveksi skala kecil yang terekam oleh radar tampak tidak muncul pada pengamatan satelit. Hal ini menunjukkan bahwa di atas wilayah Pameungpeuk terdapat variasi harian konveksi skala kecil yang tumbuh di atas pegunungan pada siang hingga petang hari dan di atas lautan pada malam hingga pagi hari.
101
Frekuensi Pertumbuhan Awan Konvektif di Pameungpeuk (Noersomadi)
Gambar 2.
Rata-rata reflektivitas (dBz) hasil pengamatan radar selama bulan Februari 2014.
Pertumbuhan awan konvektif berdasarkan metode struktur spasial terdeteksi dimulai sekitar pukul 15 WLS dan mencapai puncak diantara pukul 16 – 18 WLS. Pada Gambar 4 terlihat bahwa objek radar hanya terdeteksi mencapai radius 40 km. Adapun pertumbuhan awan di sebelah utara pegunungan Cisompet hingga wilayah Bandung tidak teramati akibat pulsa radar terhalang oleh wilayah pegunungan. Demikian pula area di sebelah barat laut dari titik pengamatan radar, terdapat zona kosong yang tegas menunjukkan bahwa wilayah tersebut tidak teramati akibat pulsa radar terhalang oleh topografi pegunungan.
102
Frekuensi Pertumbuhan Awan Konvektif di Pameungpeuk (Noersomadi)
Gambar 3.
Rata-rata temperatur puncak awan hasil pengamatan satelit MTSAT bulan Februari 2014.
Frekuensi pertumbuhan awan tampak mencapai maksimum sebesar 24% di atas wilayah pegunungan Cisompet. Pada interval waktu sore hari ini terdapat pula awan konvektif di atas wilayah lautan yang menjadi bukti bahwa perawanan konvektif ini bukan hanya lokal tetapi juga terdapat pengaruh monsun barat. Awan konvektif di sore hari lebih dominan terjadi di atas wilayah daratan akibat pergerakan angin laut di siang hari yang membawa uap air dan terdesak ke atas karena pengaruh topografi.
103
Frekuensi Pertumbuhan Awan Konvektif di Pameungpeuk (Noersomadi)
Gambar 4.
Frekuensi pertumbuhan awan di sore hari waktu lokal standar (UTC+8). Sumbu x dan y telah dikonversi menjadi satuan jarak dalam kilometer dari titik pengamatan.
Pertumbuhan awan di siang hari mulai bergerak ke tengah akibat adanya perubahan tekanan udara di malam hari antara daratan dan lautan. Hal ini terlihat pada frekuensi pertumbuhan awan di malam hari yang cenderung berada di tengah-tengah cakupan pengamatan radar (Gambar 4). Intensitas frekuensi berkisar antara 6 – 20% dan bentuk perawanan yang luas menunjukkan bahwa awan yang tumbuh di malam hari lebih di dominasi awan stratus. Dengan membandingkan pola horizontal pertumbuhan awan di siang dan malam memperlihatkan perubahan tipe awan dari cumulus menjadi stratus seperti yang diperlihatkan oleh Renggono, dkk (2006).
104
Frekuensi Pertumbuhan Awan Konvektif di Pameungpeuk (Noersomadi)
Gambar 5.
Frekuensi pertumbuhan awan di malam hari waktu lokal standar.
Pola pertumbuhan awan stratus di malam hari tampak semakin berkurang hingga pada dinihari selanjutnya. Frekuensi pada jam 24 WLS berada pada interval 6 – 20%, sedangkan pada jam 1 WLS dinihari berada pada interval 4 – 18%. Penurunan ini menjadi indikasi bahwa temperatur udara yang semakin menurun di malam hari melemahkan proses konvektif. Namun demikian, pola pertumbuhan awan pada pukul 1 WLS dinihari tampak mulai ada pertumbuhan awan yang menguat di atas wilayah lautan atau bagian selatan titik pengamatan. Hal tersebut memperkuat analisis bahwa pusat tekanan rendah bergeser ke arah wilayah lautan memasuki dinihari hingga pagi hari yang menyebabkan perubahan arah angin atau sebagai representasi angin darat (Hadi, dkk. 2001).
105
Frekuensi Pertumbuhan Awan Konvektif di Pameungpeuk (Noersomadi)
Gambar 6.
Frekuensi pertumbuhan awan di pagi hari.
Gambar 5 menampilkan frekuensi pertumbuhan awan di pagi hari. Tampak jelas bahwa perawanan dengan frekuensi hanya mencapai 8 – 10% di antara pukul 7 – 9 WLS. Intensitas pertumbuhan awan tampak lebih tinggi pada pukul 7 WLS dan melemah seiring dengan peningkatan temperatur pada pukul 9 WLS. Jika diperhatikan dan dibandingkan dengan pertumbuhan awan di siang hari, maka di pagi hari tampak lebih dominan di atas wilayah lautan dan lebih lemah. Hal tersebut merupakan bukti bahwa kandungan aerosol yang menjadi inti kondensasi dari proses konveksi lebih banyak di daratan dibanding di lautan. Hasil-hasil yang tampak pada distribusi spasial frekuensi pertumbuhan awan sesuai dengan hasil Qian, dkk. (2007) dan Mori, dkk. (2011). Irisan melintang frekuensi pertumbuhan awan dari ketiga periode yang telah dipaparkan di atas tampak pada Gambar 6. Pada Gambar 7 tersebut dilengkapi dengan rata-rata melintang topografi wilayah Pameungpeuk dalam radius 50 km untuk arah barat-timur dari titik pengamatan. Rata-rata frekuensi pertumbuhan awan di sore hari tampak pada panel atas. Semakin jelas terlihat bahwa radar hanya mampu mengamati objek hingga sekitar 40 km area bagian utara dari titik pengamatan akibat halangan pegunungan Cisompet. Rata-rata frekuensi pertumbuhan awan di sore hari paling tinggi di sekitar 20 km dari titik pengamatan. Hal ini semakin memperkuat analisis bahwa pada siang hari uap air dari lautan terbawa oleh angin laut
106
Frekuensi Pertumbuhan Awan Konvektif di Pameungpeuk (Noersomadi)
dan terdesak ketika memasuki wilayah daratan karena terdapat pegunungan di sebelah utara.
Gambar 7.
Rata-rata frekuensi pertumbuhan awan arah barat-timur dalam radius 50 km dari titik pengamatan pada waktu sore hari (panel atas), malam hari (panel tengah), dan pagi hari (panel bawah).
Rata-rata melintang frekuensi pertumbuhan awan di malam dan siang hari hanya sebesar 10% dan 4%. Pola yang diperlihatkan pada Gambar 7 di atas semakin menunjukkan kecenderungan pergerakan awan ke arah laut yang terbawa oleh angin darat apabila ditinjau dari waktu sore hari. Nilai frekuensi yang semakin melemah memberi arti bahwa proses aktivitas konvektif di atas darat lebih kuat dibanding di atas lautan. Hasil analisis perata-rataan data reflektivitas radar dan temperatur puncak awan telah mengidentifikasi pola variasi harian. Analisis karakteristik frekuensi pertumbuhan awan mempertegas adanya pertumbuhan yang terpengaruh oleh sirkulasi angin lokal.
107
Frekuensi Pertumbuhan Awan Konvektif di Pameungpeuk (Noersomadi)
Gambar 8.
Deret waktu rata-rata reflektivitas harian untuk wilayah darat (panel atas) dan laut (panel bawah). Cakupan data radar untuk wilayah darat dan laut dibagi berdasarkan acuan garis pantai di Gambar 1.
Gambar 8 menunjukkan deret waktu besaran rata-rata reflektivitas dari tanggal 12 Februari s.d. 4 Maret 2014 untuk
108
Frekuensi Pertumbuhan Awan Konvektif di Pameungpeuk (Noersomadi)
cakupan radar di atas wilayah darat dan laut. Batas pembagian data cakupan radar yang masuk wilayah darat dan laut berdasarkan garis pantai yang melintang seperti terlihat pada Gambar 1. Pertumbuhan awan konvektif di atas wilayah daratan terlihat mencapai puncak dalam rentang waktu pukul 05 UTC (13 WLS) hingga pukul 11 UTC (19 WLS). Adapun untuk wilayah laut, awan konvektif muncul pada rentang waktu dinihari (pukul 18 UTC/ 02 WLS) hingga pagi hari (pukul 01 UTC/ 09 WLS). Hal ini terlihat sangat jelas terutama pada kasus tanggal 23 Februari 2014. Pertumbuhan awan pada waktu tersebut merupakan yang paling kuat, dimana hal tersebut dimungkinkan akibat adanya tambahan uap air yang dibawa oleh angin monsun. Apabila diamati pada rentang waktu tanggal 25 s.d. 28 Februari 2014, maka pola pertumbuhan awan konvektif dalam kurun waktu tersebut hanya terjadi di atas wilayah daratan. Hal ini memberi arti bahwa pertumbuhan awan konvektif di atas daratan lebih kuat yang disebabkan oleh desakan uap air ke lapisan atmosfer atas akibat halangan topografi pegunungan. Awan konvektif yang lebih kuat tersebut juga disebabkan oleh kandungan aerosol di atas wilayah daratan lebih tinggi dibanding di atas lautan. 4
KESIMPULAN Investigasi siklus harian di wilayah Pameungpeuk melalui analisis hasil pengamatan radar telah dilakukan. Hasil peratarataan spasial data reflektivitas mempertegas adanya variasi harian antara wilayah darat (sebelah utara titik pengamatan radar) dan wilayah laut (sebelah selatan titik pengamatan radar). Pola yang sama diperlihatkan oleh data temperatur puncak awan meski satelit tidak mampu menangkap konveksi skala kecil sebagaimana radar mengamatinya terutama di atas wilayah lautan. Karakteristik pertumbuhan awan dianalisis melalui metode struktur spasial. Frekuensi maksimum terjadi pada sore hari mencapai 24% dan minimum terjadi pada malam hari pada interval 8-10%. Awan konvektif dengan tipe cumulus lebih tampak jelas di sore hari, dan awan dengan tipe stratus lebih sering tumbuh di malam hari. Pertumbuhan awan mengalami pergeseran dari daratan ke lautan seiring dengan perubahan sirkulasi angin darat-laut di antara
109
Frekuensi Pertumbuhan Awan Konvektif di Pameungpeuk (Noersomadi)
siang dan malam. Pertumbuhan awan konvektif yang lebih kuat di atas daratan daripada lautan menunjukkan bahwa kandungan aerosol di atas wilayah daratan lebih banyak dibanding di atas wilayah lautan. Ucapan terima kasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada karyawan LAPAN yang bertugas di Balai Produksi dan Pengujian Roket LAPAN Pameungpeuk dan tim observasi Bidang Teknologi Atmosfer Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer (PSTA), yang telah membantu dalam pelaksanaan pengamatan rutin selama bulan Februari 2014. Riset ini telah didanai oleh anggaran DIPA PSTA tahun anggaran 2014. DAFTAR RUJUKAN Germann, U., Galli, G., Boscacci, M., dan Bolliger, M. 2006: Radar Precipitation Measurement in a Mountainous Region, Journal of Royal Meteorology Society, 132, 1669-1692 Hadi, T.W., Horinouchi, T., Tsuda, T., Hashiguchi, H., dan Fukao, S. 2002: Sea-Breeze Circulation over Jakarta, Indonesia: A Climatology Based on Boundary Layer Radar Observations. , American Meteorological Society, 130 Kawashima, M., Fujiyoshi, Y., Ohi, M., Honda, T., Kozu, T., Shimomai, T., dan Hashiguchi,H. 2006: Overview of Doppler Radar Observations of Precipitation Cloud Systems in Sumatera Island during the First CPEA Campaign, Journal of the Meteorological Society Japan, 84A, 33-56 Mandapaka, P. V., Germann, U., dan Panziera, L. 2012: Characterizing the Diurnal Cycle of Precipitation over Complex Alpine Orography using Four-Dimensional Radar Obervations, The Seventh European Conference on Radar in Meteorology and Hydrology Marpaung, S. dan Satiadi, D. 2012: Karakteristik Curah Hujan Bulanan dan Tahunan di Pulau Jawa Bagian Barat, Buku Ilmiah: Fisika, Dinamika dan Kimia Atmosfer Berbasis Data Satelit dan Insitu, Penerbit CV Andira, ISBN: 978-979-145858-0 Mori, S., Jun-Ichi, H., Sakurai, N., Fudeyasu, H., Kawashima, M., Hashiguchi, H., Matsumoto, J., dan Yamanaka, M. D. 2011: Convective Systems Developed along the Coastline of Sumatera Island, Indonesia, Observed with an X-band Doppler Radar during the HARIMAU 2006 Campaign, Journal of the Meteorological Society Japan, 89A, 61-81 Qian, J. H. 2007: Why Precipitation Is Mostly Concentrated over Island in the Maritime Continent, Journal of Atmospheric
110
Frekuensi Pertumbuhan Awan Konvektif di Pameungpeuk (Noersomadi)
Sciences, DOI: 10.1175/2007JAS2422.1 Renggono, F., M.K. Yamamoto, H. Hashiguchi, S. Fukao, T. Shimomai, M. Kawashima, and M. Kudsy. 2006: Raindrop size distribution observed with Equatorial Atmosphere Radar (EAR) during the Coupling Processes in the Equatorial Atmosphere (CPEA-I) observation campaign. Radio Science, 41, doi: 10.1029/2005R003333 Steiner, M., Houze, R. A., Jr., dan Yuter, S. E. 1995: Climatological Characterization of Three-Dimensional Storm Structure from Operational Radar and Rain Gauge Data, Journal of Applied Meteorology, 34, 1978-2007
111
Pengamatan Scanner Hujan dan AWS pada 2-3 Maret 2014 di Bandung (Ginaldi Ari N.)
HASIL PENGAMATAN SCANNER HUJAN DAN AWS PADA KEJADIAN HUJAN TANGGAL 2-3 MARET 2014 DI DAERAH BANDUNG DAN SEKITARNYA Ginaldi Ari Nugroho, Soni Aulia Rahayu, dan Asif Awaluddin Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer Jl. Dr. Djundjunan 133 Bandung, 40173 e-mail:
[email protected] ABSTRAK Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis kejadian hujan yang terjadi dari tanggal 2-3 Maret 2014 yang telah menyebabkan banjir di sebagian daerah Bandung. Kombinasi dari pengembangan lowcost x-band scanner hujan dan instrumen AWS akan memberikan sudut pandang baru dalam menganalisis pergerakan hujan dan arah sumber hujan. Scanner hujan berbasis radar kapal Furuno telah dikembangkan untuk mendeteksi hujan area lokal dengan cakupan wilayah hingga 44 km. Teknologi ini mampu mendeteksi pergerakan kejadian hujan berdasarkan data resolusi temporal 3 menit. Data AWS di 2 lokasi yang berbeda akan digunakan sebagai data curah hujan di permukaan. Metode korelasi digunakan untuk mengukur tingkat hubungan linier antara ADC count scanner hujan dan curah hujan AWS. Data scanner hujan (nilai, luasan, pergerakan ADC count) didukung dengan data AWS (curah hujan, windrose) akan digunakan untuk analisis pergerakan dan arah sumber hujan. Curah hujan rata-rata selama 3 bulan (Januari – Maret 2014) dari 2 data AWS menunjukkan nilai maksimum terjadi pada saat sore dan malam hari dengan nilai rata-rata maksimum pada bulan Maret 2014. Sementara pola harian curah hujan data scanner hujan hampir mendekati pola AWS 1, dengan koreksi waktu tunda antara kedua data sebesar + 7 menit dihasilkan korelasi linier 0,904. Kejadian hujan dengan durasi cukup lama terdeteksi terjadi pada tanggal 2 – 3 Maret 2014 dari pukul 22.00 WIB hingga 01.00 WIB dimana dapat dikategorikan sebagai hujan sedang dan ringan. Hasil scanner hujan pada tanggal tersebut memperlihatkan sumber target hujan yang juga terdeteksi pada AWS 1 berasal dari timur yang bergerak ke arah barat mengikuti pola dominan angin. Terdapat beberapa wilayah yang mengalami banjir terlewati oleh sumber hujan ini, dimana sumber hujan lainnya dengan nilai ADC count maksimum terdeteksi di wilayah selatan dari posisi lokasi scanner hujan.
112
Pengamatan Scanner Hujan dan AWS pada 2-3 Maret 2014 di Bandung (Ginaldi Ari N.)
Kata-kata kunci: Hujan, Scanner hujan, Pergerakan, ADC count. ABSTRACT This research is conducted to analyze the rain event on March 2nd - 3rd, 2014 that have caused flood in some part of Bandung area. Combination between developed low-cost x-band rain scanner and AWS instrument will provide a new side of view of rain movement and rain source direction analyze. Rain scanner based on Furuno marine radar have been developed to detect local area rainfall with coverage area of 44 km. This technology is able to detect the movement of rain event based on 3 minutes of temporal resolution data. AWS data in 2 different locations will be used as a ground based rain rate data. Correlation method will be used to measure linear relation level between rain scanner ADC count and daily rain rate AWS. Rain scanner data (ADC count value, area, movement) supported with AWS data (rain rate, wind rose) will be used to analyze the movement and rain source direction. Three month average rain rate (January – March 2014) from 2 different AWS-es showed the daily rain rate maximum value occur during afternoon and evening with maximum average in March 2014. Meanwhile daily rain rate pattern from AWS no.1 is almost similar compared to the ADC count rain scanner in the AWS pixel area, with corrected delay time between both data for + 7 minutes resulted a linear correlation value of 0.904. Rain event which posses a long duration was detected during March 2nd-3rd, 2014 from 22.00 until 01.00 local time which categorize as a light and moderate rain. The rain scanner result on this date showed rain target source, which also detected by AWS no.1, generate from east and moved towards west following the wind dominant pattern. There are some area which experience flooding have been passed by this rain source, with another rain source possess maximum ADC count value detected in the south area of the rain scanner position. Key words: Rain, Rain scanner, Movement, ADC count.
1
PENDAHULUAN Dalam mempelajari fenomena alam seperti fenomena hujan, data-data dari berbagai instrumen pengukur meteorologi akan memberikan analisis yang lebih menyeluruh. Beberapa instrumen pengukur yang digunakan diantaranya adalah radar cuaca dan AWS (Automatic Weather Station). Sistem radar cuaca di negara-negara maju telah mengalami perkembangan pesat baik dalam luasan cakupan area deteksi,
113
Pengamatan Scanner Hujan dan AWS pada 2-3 Maret 2014 di Bandung (Ginaldi Ari N.)
waktu respon deteksi, hingga resolusi yang tinggi. Beberapa negara berkembang berusaha merancang sistem yang sama, tetapi dengan biaya yang relatif murah menggunakan radar kecil seperti radar kapal. Sistem scanner hujan merupakan sistem deteksi hujan yang dikembangkan berdasarkan radar kapal. Scanner hujan berbasis radar kapal tipe Furuno ini dikembangkan untuk mendeteksi hujan area lokal berdasarkan pengembangan dari teknologi radar kapal laut tipe X band. Teknologi low cost X band radar ini memiliki jangkauan terbatas dibandingkan dengan radar meteorologi lainnya, tetapi dengan sistemnya yang sederhana dapat dipasang untuk deteksi hujan area perkotaan. Seperti umumnya pada radar, scanner hujan ini tidak mengukur hujan secara langsung sehingga diperlukan data perbandingan lainnya, yakni data curah hujan permukaan yang bisa didapatkan pada alat AWS. Gabungan dari kedua alat ini akan digunakan untuk mengamati kejadian hujan yang terjadi di daerah Bandung dan sekitarnya. Pada tulisan ini akan dibahas sekilas tentang pengembangan sistem scanner hujan serta hasil pengamatannya dalam mendeteksi target hujan di area Bandung dan sekitarnya. Data hasil scanner hujan akan dibandingkan dengan data AWS dalam menganalisis pola harian hujan, waktu respon antara scanner hujan dan AWS, nilai korelasi, serta pergerakan target hujan. Kejadian hujan yang terjadi di Bandung juga akan dianalisis berdasarkan data pengamatan. 2
TINJAUAN PUSTAKA Tipe baru dari radar cuaca tipe low cost X-Band radar kapal telah dikembangkan sejak tahun 2000 (Jensen, 2002). Radar ini memiliki biaya yang murah serta konfigurasi yang sangat mudah diaplikasikan pada area yang tidak terlalu luas seperti daerah perkotaan (Einfalt, 2004). Sinyal keluaran dari tranceiver radar Furuno terdiri dari 2 jenis sinyal, yakni sinyal navigasi (trigger, heading, bearing) serta sinyal video (sinyal pantulan target). Sinyal ini kemudian diolah oleh pengkondisian sinyal dan ADC. ADC 10 bit akan mendigitasi sinyal keluaran dengan rentang 0-1024 lalu 0-256 dengan sampling 20 MHz (Awaludin et al, 2012). Sinyal
114
Pengamatan Scanner Hujan dan AWS pada 2-3 Maret 2014 di Bandung (Ginaldi Ari N.)
navigasi dan video hasil digitasi diolah oleh komputer pemrosesan sinyal, dimana sinyal video selanjutnya dinamakan dengan nilai ADC count. Estimasi presipitasi radar cuaca low cost X-Band didapatkan dari hasil hubungan linier antara keluaran radar (ADC count) dengan nilai curah hujan hasil pengukuran di permukaan (nilai curah hujan penakar hujan) (Nielsen, 2012). Metode ini berbeda dengan pengukuran pada radar meteorologi lainnya dimana hubungan reflektivitas radar dengan intensitas hujan berdasarkan hubungan nonlinier (Marshall Palmer, 1948, Probert-Jones, 1962). Kesalahan dalam mendeteksi hujan pada sistem ini sering terjadi akibat atenuasi, estimasi curah hujan yang berubah akibat bertambahnya jarak, maupun pada perata-rataan piksel saat proses sampling (Nugroho et al, 2013). Interaksi antara angin dan hujan serta kondisi topografi sangat berpengaruh dalam mempelajari fenomena hujan. Saat tetes hujan berada dalam pola pergerakan angin, maka hujan akan terbawa oleh angin dan terdistribusi (Blocken et al, 2006). 3
DATA DAN METODOLOGI Dalam penelitian ini akan di gunakan 2 sumber data, yakni data scanner hujan dan data penakar hujan AWS dengan cakupan lokasi penelitian berada pada daerah Bandung dan sekitarnya. Ilustrasi sistem scanner hujan ditunjukkan pada Gambar 1. Sistem ini terdiri dari antena X-band radar kapal serta tranceiver radar, rangkaian pengkondisian sinyal, ADC, rangkaian pengendali, serta komputer pemroses sinyal. Sinyal yang dipancarkan akan dipantulkan kembali oleh target hujan melalui antena dan tranceiver radar. Pengkondisian sinyal berfungsi mengkondisikan sinyal sedemikian rupa sehingga dapat diolah oleh ADC. Pengendali berfungsi menyinkronisasi antara proses kerja radar dengan pemrosesan sinyal. Hasil digitasi ADC 10 bit sinyal video radar Furuno kemudian diubah menjadi data 8 bit untuk menyesuaikan dengan standar nilai radar cuaca. Hasil ini kemudian difilter serta diekstrak dari clutter permukaan menggunakan peta clutter untuk mendapatkan nilai target hujan yang selanjutnya diberi istilah ADC count. Pemrosesan ADC count diolah menggunakan Matlab 2011a
115
Pengamatan Scanner Hujan dan AWS pada 2-3 Maret 2014 di Bandung (Ginaldi Ari N.)
dalam bentuk koordinat kartesian (x,y), serta koordinat kutub (r,θ) dimana resolusi temporal adalah 3 menit dengan proses scan secara terus menerus dalam single layer. Scanner hujan di tempatkan di Gedung 3 Lantai 5, kantor LAPAN Pasteur Bandung. Cakupan scanner hujan dapat mencapai hingga 44 km. Data AWS yang digunakan adalah data dari Bulan Januari hingga Maret 2014. Penakar hujan AWS yang digunakan memiliki resolusi 0,2 mm serta waktu sampling 15 menit. Penakar hujan AWS yang akan digunakan adalah sebanyak 2 buah, yakni penakar hujan (AWS 1) di lokasi Taman Meteo ITB serta penakar hujan (AWS 2) kantor LAPAN Pasteur Bandung yang akan digunakan sebagai data pembanding.
Gambar 1. Ilustrasi sistem scanner hujan.
Data pengamatan scanner hujan yang digunakan adalah data tanggal 4 Januari hingga 19 Maret 2014. Data tersebut kemudian disortir untuk menghasilkan kualitas data yang baik. Data yang dianggap baik adalah jika nilai error clutter permukaan hasil ekstraksi tidak melebihi 20% dalam 1 hari. Clutter permukaan merupakan deteksi bangunan serta pegunungan di sekitar scanner hujan yang ikut terdeteksi. Hasil kualitas data menghasilkan jumlah data hanya 34 hari data (Januari 12 hari, Februari dan Maret 11 hari). Data Desember 2013 tidak diikutsertakan karena penggunaan metode pengolahan sinyal yang berbeda. Hasil data spasial ADC count pada titik lokasi AWS dimana resolusi spasial dalam 1 titik piksel ADC count adalah 120x120 meter, akan dibandingkan dengan data AWS untuk menganalisis
116
Pengamatan Scanner Hujan dan AWS pada 2-3 Maret 2014 di Bandung (Ginaldi Ari N.)
waktu respon scanner hujan terhadap data curah hujan permukaan, nilai korelasi serta pergerakan hujan. Metode image processing digunakan dalam menganalisis luasan piksel ADC count sedangkan windrose pada data AWS digunakan untuk menganalisis pergerakan angin. 4
HASIL DAN PEMBAHASAN Langkah awal dari penelitian ini adalah dengan menguji dan mengukur hubungan antara data scanner hujan dan data AWS, dengan data yang digunakan adalah AWS 1. Data AWS 2 berada dalam area dead zone radar scanner hujan. Oleh karena itu, AWS 2 hanya digunakan sebagai data pembanding curah hujan ratarata AWS 1. Hasil perbandingan AWS 1 dan AWS 2 ditampilkan pada Gambar 2. Hasil perbandingan data rata-rata memperlihatkan nilai curah hujan yang berbeda. Hal ini disebabkan jarak antara AWS 1 dan AWS 2 sebesar 2,78 km sehingga curah hujan yang terjadi tidak mungkin sama. Jika dilihat dari nilai maksimum rata-rata curah hujan, kedua data AWS memperlihatkan rentang waktu yang sama yakni terjadi antara sore dan malam hari. Hasil kedua data juga memperlihatkan bahwa bulan Maret 2014 memiliki nilai curah hujan rata-rata paling tinggi dibandingkan dengan kedua bulan lainnya.
Gambar 2. Perbandingan pola curah hujan AWS 1 dan AWS 2
117
Pengamatan Scanner Hujan dan AWS pada 2-3 Maret 2014 di Bandung (Ginaldi Ari N.)
Gambar 3.
Hasil pengamatan harian AWS-1 dan scanner hujan pada bulan Februari dan Maret 2014.
Data harian AWS 1 kemudian dibandingkan dengan data scanner hujan seperti pada Gambar 3. Dari hasil perbandingan terlihat adanya pola data scanner hujan yang hampir mendekati pola harian curah hujan AWS 1, serta adanya waktu tunda antara data AWS 1 dengan scanner hujan dimana rata-rata waktu tunda adalah + 7 menit. Waktu tunda tersebut kemudian digunakan sebagai koreksi dan dihasilkan nilai determinasi (R2 = 0,818) serta korelasi (r = 0,904) seperti pada Gambar 4. Hasil perbandingan menunjukkan adanya hubungan linier yang kuat antara ADC count scanner hujan dan curah hujan AWS. Dari hasil perbandingan terlihat nilai curah hujan yang tinggi terdeteksi oleh AWS 1 pada tanggal 18 Maret 2014 pukul 18.00 – 19.00 tetapi tidak selalu mampu direspon oleh ADC count scanner hujan. Hal ini kemungkinan disebabkan faktor atenuasi oleh hujan itu sendiri saat banyaknya tetes hujan yang berada di dekat area radar. Dari data tersebut juga terdapat kejadian hujan
118
Pengamatan Scanner Hujan dan AWS pada 2-3 Maret 2014 di Bandung (Ginaldi Ari N.)
yang memiliki durasi yang cukup lama yakni pada tanggal 2 – 3 Maret 2014 dari pukul 22.00 WIB hingga 01.00 WIB. Kejadian hujan ini mengguyur kota Bandung dan menyebabkan banjir di daerah Bojongsoang, Gedebage, Ciwastra, Margahayu, dan di Jalan Soekarno Hatta (inilahkoran.com, 2014). Kejadian hujan ini bersifat terus menerus (continue) dan dapat di kategorikan sebagai hujan sedang (20-50 mm) dan ringan (5-20 mm) dimana akumulasi curah hujan dari kedua AWS (AWS 1 dan 2) memperlihatkan nilai berturut-turut adalah 31,5 mm dan 30,8 mm pada tanggal 2 Maret 2014 serta 15,2 mm dan 27,0 mm pada tanggal 3 Maret 2014.
Gambar 4.
Hasil korelasi scanner hujan dan AWS 1
Hasil pengamatan spasial berdasarkan scanner hujan pada kejadian hujan tanggal 2-3 Maret 2014 ditampilkan pada Gambar 5a – 5h beserta keterangan lokasi AWS 1 (ITB), Gedebage, Ciwastra dan Margahayu, sementara data AWS 1 pada tanggal dan jam yang sama ditampilkan pada Gambar 6. Dari kedua data tersebut dapat diamati pergerakan target hujan dan analisis sumber hujan. Pada Gambar 5a terlihat adanya 3 target hujan, no.1 di area sebelah timur dari lokasi radar (24,36 km pada azimuth 107,6°), no.2 di arah barat daya (berjarak 14,88 km azimuth 209,5°) dan no.3 arah barat laut (berjarak 19,2 km azimuth 319,6°). Gambar 5a no.1 muncul dengan luasan 123 piksel, Gambar 5b jumlah piksel no.1 naik dengan luasan 1.199 piksel, Gambar 5c target no.1 berbentuk memanjang dengan kenaikan luasan hingga 8.993 piksel dan mulai bergerak ke arah barat. Gambar 5d target no.1 kemudian seperti terpecah menjadi 2 bagian dengan total luasan 25.018 piksel, dimana sebagian target mendekati lokasi AWS 1. Gambar 5e. target no.1 telah mencapai
119
Pengamatan Scanner Hujan dan AWS pada 2-3 Maret 2014 di Bandung (Ginaldi Ari N.)
posisi AWS 1 tetapi belum terdeteksi akibat adanya waktu tunda. AWS 1 mulai mendeteksi hujan pada pukul 22.25. Target no.1 mulai bergabung dengan target no.2 di bagian barat sementara target no.3 bergerak ke arah barat laut dan menghilang. Dalam waktu 44 menit (dari pukul 22.15 - 22.59) gabungan dari kedua target hujan tersebut meluas hingga mencapai jumlah 42.720 piksel (70,75%) (Gambar 5f). Target hujan terdeteksi bernilai tinggi di daerah selatan dari titik lokasi scanner hujan (ADC count antara 70 - 80). Target hujan terus bergerak menuju arah barat dan barat laut hingga mulai reda pukul 01.20 (pada scanner hujan pukul 01.24), tetapi masih terdapat target no.4 yang muncul di arah utara Radar, sehingga radar masih mendeteksi target hujan hingga pukul 02.55. Lokasi banjir yang terjadi di Gedebage (jarak 13.987 meter azimuth 117,42°), dan Ciwastra (jarak 11.219 meter azimuth 130,8°) jika diamati oleh scanner hujan dilewati oleh target hujan no.1 dari pukul 22.04 – 00.51, sedangkan untuk daerah Margahayu (jarak 9.071 meter azimuth 184,7°) dilewati oleh target hujan no.2. dari pukul 22.04 – 01.27.
120
Pengamatan Scanner Hujan dan AWS pada 2-3 Maret 2014 di Bandung (Ginaldi Ari N.)
(e)
Gambar 5.
Hasil spasial ADC count scanner hujan tanggal 2 – 3 maret 2014 (a). 19.38, (b). 20.10, (c). 20.59, (d). 21.54, (e). 22.04, (f). 22.59, (g). 00.51, (h). 01.27.
121
5 4 3 2 1 0
AWS 1
19:00 19:20 19:40 20:00 20:20 20:40 21:00 21:20 21:40 22:00 22:20 22:40 23:00 23:20 23:40 00:00 00:20 00:40 01:00 01:20 01:40 02:00
curah hujan (mm)
Pengamatan Scanner Hujan dan AWS pada 2-3 Maret 2014 di Bandung (Ginaldi Ari N.)
Jam Gambar 6.
Curah hujan AWS 1 pukul 19.00 WIB (2 Maret 2014) hingga pukul 02.00 WIB (3 Maret 2014)
Berdasarkan data windrose AWS 1 (Gambar 7) terlihat bahwa pola dominan angin dari pukul 19.00 WIB (2 Maret 2014) hingga 02.00 WIB (3 Maret 2014) berhembus dari arah timur dengan kecepatan 0,5 – 2,1 m/s.
Gambar 7. Windrose dan curah hujan AWS 1 pukul 19.00 WIB (2 Maret 2014) hingga pukul 02.00 WIB (3 Maret 2014)
5
KESIMPULAN Beberapa faktor yang mempengaruhi hasil pengamatan scanner hujan diantaranya adalah faktor atenuasi dan clutter permukaan. Untuk memaksimalkan hasil scanner hujan perlu dikembangkan filter clutter permukaan yang lebih baik dengan metode secara hardware maupun software, serta pengolahan sinyal dengan koreksi atenuasi berdasarkan hasil observasi. Data AWS memperlihatkan rentang waktu hujan rata-rata terjadi antara sore dan malam hari pada bulan Januari-Februari 2014, dengan
122
Pengamatan Scanner Hujan dan AWS pada 2-3 Maret 2014 di Bandung (Ginaldi Ari N.)
nilai tertinggi terjadi di bulan Maret 2014. Pola harian curah hujan data scanner hujan hampir mendekati pola AWS 1, dengan memperhitungkan waktu tunda antara kedua data sebesar + 7 menit, dihasilkan hubungan dengan korelasi linier 0,904. Kejadian hujan dengan durasi yang cukup lama terjadi pada tanggal 2 – 3 Maret 2014 dari pukul 22.00 WIB hingga 01.00 WIB dengan kategori hujan sedang (27,0 - 31,5 mm) dan ringan (15,2 mm). Hasil scanner hujan memperlihatkan sumber target hujan yang terdeteksi pada AWS 1 berasal dari timur (target no.1) bergerak ke arah barat yang melewati daerah Gedebage dan Ciwastra mengikuti pola dominan angin dengan kecepatan 0,5 – 2,1 m/s, dengan nilai maksimum terdeteksi di daerah selatan. Ucapan Terima Kasih Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Nurjanna Joko, Asri Indrawati, Noersomadi, Rudi Komarudin, serta Staf Bidang Teknologi Atmosfer atas bantuannya dalam penelitian ini. DAFTAR RUJUKAN Jensen, N.E., dan S. Overgaard, 2002: Performance of small x-band Weather Radar, 2002 Western Pacific Geophysics Meeting, Wellington, New Zealand Einfalt, T., K. Arnbjerg-Nielsen, C. Golz, N.E. Jensen, M. Quimbach, G. Vaes, dan B. Vieux, 2004: Towards a roadmap for use of radar rainfall data in urban drainage, Journal of Hydrology, 299, 186-202 Awaludin, A., G.A. Nugroho, dan S.A. Rahayu, 2013: Analisis kemampuan radar navigasi laut Furuno 1932 mark-2 untuk pemantauan intensitas hujan, Jurnal Sains Dirgantara, 10, 90-103 Nielsen, J, E., N. E. Jensen, dan M. R. Rasmussen, 2012: Calibrating LAWR weather radar using laser disdrometer, Atmospheric Research, doi:10.1016/j.atmosres.2012.10.017 Marshall, J.S., dan W.M. Palmer, 1948: The Distribution of Raindrops with Size, Journal of Atmospheric Sciences, 5, 165-166 Probert‐Jones, J., 1962: The radar equation in meteorology, Quarterly Journal of the Royal Meteorological Society, 88, 485-495 Nugroho, G.A., dan A. Awaludin, 2013: Mapping method development using digital image processing to calibrate
123
Pengamatan Scanner Hujan dan AWS pada 2-3 Maret 2014 di Bandung (Ginaldi Ari N.)
rainfall radar image, Proceedings International Seminar of Aerospace Science and Technology 17th SIPTEKGAN-2013, 26, 195-199 Blocken, B., J. Poesen, dan J. Carmeliet, 2006: Impact of wind on the spatial distribution of rain over micro-scale topography – numerical modelling and experimental verification, Hydrological Processes, 20, 345-368 http://www.inilahkoran.com, diakses tanggal 19 Maret 2014 http://weather.meteo.itb.ac.id, diakses tanggal 20 Maret 2014
124
Rancang Bangun FMCW Wind Profiling Radar: Hasil Awal (Asif Awaludin)
RANCANG BANGUN FMCW WIND PROFILING RADAR BERBASIS USRP N210 DAN GNU RADIO : HASIL AWAL Asif Awaludin1 dan Taufiq Wirahman2 1Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer – LAPAN 2Pusat Penelitian Informatika - LIPI e-mail:
[email protected] ABSTRAK Radar sangat diperlukan untuk pengamatan parameter atmosfer karena mempunyai resolusi yang tinggi. Dalam penelitian ini dikembangkan Wind Profiling Radar menggunakan teknologi FMCW dan SDR, karena lebih murah dan mudah dalam pengembangannya. FMCW WPR berbasis GNU Radio dan USRP ini akan digunakan untuk pengamatan boundary layer atmosfer. Hasil uji coba awal menunjukkan bahwa GNU Radio dan USRP N210 dapat digunakan sebagai pembangkit gelombang FMCW sekaligus penerimanya. Program match filter dapat dikembangkan menggunakan GNU Radio dan terbukti mampu meningkatkan hasil pendeteksian sehingga target dapat jelas terdeteksi walaupun terdapat noise dan terjadi distorsi sinyal. Kata-kata kunci: Wind Profiling Radar, FMCW, USRP, GNU Radio. ABSTRACT Radar is necessary for atmospheric parameters observation due to its high resolution. A Wind Profiling Radar has developed using FMCW and SDR technology in this research as both will make the development become low cost and easier. The GNU Radio and USRP based FMCW WPR will be used to observe atmosphere boundary layer. In its first experiment results, GNU Radio and USRP N210 showed that it was compatible for FMCW waveform generator and its receiver development. Match filter code developed in GNU Radio also has successfully improved target detection from received signals eventough noise and distortion present. Key words: Wind Profiling Radar, FMCW, USRP, GNU Radio. 1
PENDAHULUAN Parameter utama atmosfer yang sering diamati adalah tekanan, temperatur, kelembaban, curah hujan, dan angin. Pengamatan profil vertikal angin di atmosfer seringkali
125
Rancang Bangun FMCW Wind Profiling Radar: Hasil Awal (Asif Awaludin)
menggunakan radiosonda. Saat ini sekitar 800 stasiun cuaca di seluruh dunia (Wikipedia, 2014) menerbangkan radiosonda menggunakan balon secara rutin, umumnya setiap 12 jam (Vaisala, 2002). Meskipun pengukuran setiap 12 jam ini cukup untuk menjelaskan pola cuaca skala besar (synoptic), tetapi belum cukup untuk menjelaskan kejadian cuaca skala kecil yang terjadi secara signifikan (Vaisala, 2002). Untuk itu diperlukan instrumen pengamat cuaca resolusi tinggi, waktu nyata, dan skala lokal. Salah satu instrumen yang digunakan untuk pengamatan profil kecepatan angin vertikal dan horisontal saat udara cerah adalah Wind Profiling Padar (WPR). WPR saat ini kebanyakan merupakan radar pulsa yang mempunyai kelemahan berupa Signal to Noise Ratio (SNR) bergantung pada daya puncak sinyal yang ditransmisikan, sehingga untuk SNR lebih tinggi diperlukan daya lebih besar dan komponen elektronik yang lebih rumit dan mahal. Daya lebih besar tersebut juga memerlukan pulsa yang lebih lebar, sehingga resolusi menjadi berkurang. Hal ini juga akan mengakibatkan radar pulsa kurang bagus untuk pendeteksian target jarak dekat. Untuk itu diperlukan solusi alternatif berupa radar Frequency Modulated Continuous Wave (FMCW). Pada radar ini, peningkatan SNR dilakukan dengan peningkatan daya rata-rata sinyal, sehingga cukup dilakukan dengan meningkatkan duty cycle signal. Hal ini dapat dilakukan menggunakan komponen elektronik yang lebih sederhana dan murah. SNR juga dapat ditingkatkan menggunakan teknik pulse compression pada pengolahan sinyal echo. Resolusi radar FMCW juga ditentukan berdasarkan lebar pita, sehingga resolusi tinggi dapat diperoleh tanpa harus membuat pulsa yang sempit seperti pada radar pulsa. Keuntungan ini membuat radar ini bagus untuk pendeteksian jarak dekat. Kekurangan radar FMCW adalah memerlukan antena tersendiri untuk pemancar dan penerimanya (Gomez, 2010). Salah satu WPR yang menggunakan teknologi ini adalah UHF FMCW WPR yang dikembangkan oleh Frasier (Gomez, 2010; Lopez, 2009). Rancang bangun radar yang berupa hardware secara keseluruhan membutuhkan biaya yang mahal dan rumit, serta sulit dalam perbaikan hardware dan rancang bangun lebih lanjut. Untuk itu, diperlukan solusi rancang bangun radar yang lebih
126
Rancang Bangun FMCW Wind Profiling Radar: Hasil Awal (Asif Awaludin)
murah dan mudah. Salah satunya adalah dengan memanfaatkan Software Defined Radio (SDR) (Withers, 2009). SDR memungkinkan hal ini karena menggunakan modul software sebagai pengganti hardware. Keunggulan lainnya adalah memungkinkan pembuatan radar serba guna, perbaikan dan rancang bangun lebih lanjut bisa dilakukan melalui perubahan software, serta dapat diintegrasikan langsung ke sistem pengolahan sinyal sehingga lebih cepat (Costanzo, 2013). Contoh WPR yang menggunakan SDR adalah pulsed doppler-effect WPR Tansceiver yang dikembangkan oleh Borg dan Withers (Withers, 2009) dan digital receiver for range imaging atmospheric radar yang dikembangkan oleh Yamamoto, MK (Yamamoto, MK dkk, 2013). Dalam tulisan ini dipaparkan tentang hasil awal rancang bangun radar FMCW dengan menggunakan SDR untuk pemantauan boundary layer atmosfer. Jenis SDR yang banyak digunakan adalah Universal Software Radio Peripheral (USRP) yang dijalankan menggunakan software open source GNU Radio. Penelitian rancang bangun radar FMCW menggunakan USRP telah dilakukan oleh Prabaswara (Prabaswara, 2011) dan Sitompul (Sitompul, 2013). Berbeda dengan kedua tulisan tersebut, dalam hasil awal ini selain dilakukan perancangan radar FMCW WPR juga dilakukan uji coba radar FMCW menggunakan USRP dengan menambahkan teknik pulse compression dalam GNU Radio untuk meningkatkan SNR sinyal radar yang diterima. Diharapkan hasil awal ini dapat menjadi landasan untuk rancang bangun lebih lanjut berupa sistem pengolahan sinyal wind profiling radar dan hardware sistem transceiver sinyal RF. 2
LANDASAN TEORI Radar FMCW umumnya menggunakan Voltage Controller Oscillator (VCO) sebagai pembangkit gelombang yang berfungsi menghasilkan sinyal sinusoida yang frekuensinya berubah seiring waktu secara linier dengan cara mengubah pengontrol tegangan Vtune (Kissinger, 2012). Blok diagram sederhana rangkaian radar FMCW ditunjukkan dalam Gambar 1.
127
Rancang Bangun FMCW Wind Profiling Radar: Hasil Awal (Asif Awaludin)
Gambar 1.
Blok diagram sederhana (Kissinger, 2012).
rangkaian
radar
FMCW
Bentuk sinyal FMCW keluaran VCO adalah berupa sinyal sinusoida yang dimodulasi frekuensi oleh sinyal segitiga yang dibangkitkan oleh suatu sumber sinyal. Modulasi ini disebut dengan Linear Frequency Modulation (LFM). Sinyal berfrekuensi linier yang dihasilkan VCO, disebut dengan chirp, mempunyai persamaan frekuensi seperti persamaan 1 dan bentuk sinyalnya seperti dalam Gambar 2a. Dimana fT adalah sinyal chirp, f0 adalah frekuensi awal, k adalah laju perubahan frekuensi, dan Tp adalah sweep time, dan B adalah lebar pita sinyal FMCW. Sinyal sinuosida fungsi waktu keluaran VCO ditunjukkan dalam persamaan 2 (Kissinger, 2012). Bentuk sinyal tersebut ditunjukkan dalam Gambar 3.
𝑓𝑇 (𝑡) = 𝑓0 + 𝑘𝑡 ,
𝑘 = 2𝐵⁄𝑇
𝑝
………… (1)
𝑠𝑡 (𝑡) = 𝐴𝑡 𝑐𝑜𝑠{2𝜋𝑓𝑇 (𝑡)𝑡} = 𝐴𝑡 𝑐𝑜𝑠(2𝜋𝑓0 𝑡 + 2𝜋𝑘𝑡 2 ) ….. (2) Sinyal FMCW yang dikirim oleh radar akan dihamburkan oleh target dan kemudian diterima oleh radar. Total waktu perjalanan sinyal saat dikirim hingga diterima kembali oleh radar adalah Δt. Dan pergeseran frekuensi yang dihasilkan karena pergerakan target yang menghamburkan adalah fd. Skema ini dijelaskan dalam Gambar 2a. Selisih absolut antara frekuensi yang dikirim dan diterima, yaitu Δf, yang merupakan sinyal IF yang akan diolah oleh pengolah sinyal radar untuk menentukan jarak dan kecepatan target dijelaskan dalam Gambar 2b (Kissinger, 2012).
128
Rancang Bangun FMCW Wind Profiling Radar: Hasil Awal (Asif Awaludin)
Gambar 2.
(a) Frekuensi sinyal FMCW yang dikirim dan diterima oleh radar dimana terjadi pergeseran frekuensi oleh target bergerak (b) sinyal IF keluaran mixer (Kissinger, 2012).
Gambar 3. Bagian real sinyal FMCW keluaran radar (Mahafza, 2009).
Berdasarkan nilai f1 dan f2 dalam Gambar 2b, jarak R dan kecepatan relatif vr target dapat ditentukan menggunakan Persamaan 3 dan Persamaan 4 berturut-turut. Resolusi jarak Δr radar FMCW dapat ditentukan menggunakan persamaan 5. Dimana c adalah kecepatan cahaya 3x108 m/s dan B adalah lebar pita (Kissinger, 2012).
𝑅=
𝑐𝑇𝑝 𝑓1 +𝑓2 2𝐵
2
129
……………… (3)
Rancang Bangun FMCW Wind Profiling Radar: Hasil Awal (Asif Awaludin)
𝑣𝑟 =
𝑐 𝑓1 −𝑓2 2𝑓𝑐
∆𝑅 =
2 𝑐 2𝐵
.…………… (4) ..…..……… (5)
Dalam pengolahan sinyal radar, resolusi jarak dapat ditingkatkan tanpa mengurangi SNR menggunakan teknik pulse compression, yaitu dengan memampatkan sinyal dengan lebar τ0 menjadi τc seperti ditunjukkan dalam Gambar 4. Teknik ini dikembangkan menggunakan match filter, yaitu dengan cara mengalikan hasil FFT sinyal yang diterima dengan FFT replika sinyal yang dikirim, seperti ditunjukkan dalam Gambar 5. Match filter merupakan sistem linier time invariant yang keluarannya merupakan hasil konvolusi dari input s(t) dengan respon impuls h(t), seperti dijelaskan oleh Persamaan 6. (Mahafza, 2009).
𝑦(𝑡) = 𝑠(𝑡) ∗ ℎ(𝑡)
Gambar 4.
……………… (6)
Ilustrasi teknik pulse compression (Mahafza, 2009).
Gambar 5.
Blok diagram match filter (Mahafza, 2009).
3 3.1
METODOLOGI Perancangan Ecklund (1987) menyebutkan bahwa pertimbangan desain WPR untuk boundary layer adalah sebagai berikut.
130
Rancang Bangun FMCW Wind Profiling Radar: Hasil Awal (Asif Awaludin)
Sistem radar harus sederhana, tidak mahal, dan mengunakan antena kecil dengan medan jauh kurang dari 100 m. Antena sebaiknya dipasang rendah terhadap permukaan atau diberi pelindung untuk meminimalkan clutter tanah. Recovery sistem radar harus cukup cepat untuk mendapatkan pengukuran terbaik pada ketinggian paling rendah 100 m di atas permukaan. Mempunyai resolusi ketinggian 100 m atau lebih tinggi. Harus cukup sensitif untuk mendapatkan data pada ketinggian 2-3 km pada kondisi atmosfer standar.
Frekuensi yang banyak dan sukses digunakan pada WPR untuk boundary layer adalah 915 MHz. Namun, frekuensi ini mempunyai kelemahan yaitu cukup sensitif terhadap hidrometeor. Pada saat terjadi presipitasi, frekuensi 915 MHz akan mendapatkan hasil pengukuran profil angin terbaik pada kondisi presipitasi stratiform (Ecklund et al, 1987). FMCW WPR berbasis GNU Radio yang akan dibangun terdiri dari pembangkit gelombang kontinyu termodulasi frekuensi linier dengan frekuensi 915 MHz berbasis GNU Radio, pengolah sinyal WPR berbasis Phyton dan C++, USRP pemancar, USRP penerima, hardware WPR transceiver, dan pengolah sinyal WPR. Blok diagram FMCW WPR yang akan dibangun ditunjukkan dalam Gambar 6.
Gambar 6. Blok diagram FMCW WPR yang akan dikembangkan.
131
Rancang Bangun FMCW Wind Profiling Radar: Hasil Awal (Asif Awaludin)
Tabel 1. Spesifikasi sistem radar yang dirancang.
Parameter Frekuensi Tengah Daya puncak transmisi Tipe transmitter Frekuensi IF Tipe Antena Teknik Pengukuran
Nilai 915 MHz 30 W Solid State RF 50-70 MHz Microstrip array Spaced Antenna
Pembangkitan gelombang FMCW menggunakan pembangkit gelombang gergaji dan VCO dilakukan memanfaatkan GNU Radio dan USRP N210. Sinyal keluaran USRP N210 kemudian dikuatkan dan dipancarkan oleh perangkat keras daya tinggi WPR transceiver. Sinyal radar yang dihamburkan oleh ketidakteraturan indeks bias atmosfer akan diterima oleh antena radar. Selanjutnya sinyal yang diterima akan diolah oleh USRP N210 dan GNU Radio hingga dihasilkan data biner yang dapat langsung diolah oleh sistem pengolahan sinyal WPR. Spesifikasi antena dan perangkat keras daya tinggi FMCW WPR yang dirancang merujuk pada hasil pengembangan Frasier (Lopez, 2009), seperti ditunjukkan dalam Tabel 1. Namun, berbeda dengan rancangan Frasier yang menggunakan antena parabola, radar yang didesain ini akan menggunakan susunan antena mikrostrip yang dayanya merupakan gabungan dari daya beberapa antena mikrostrip, seperti yang dikembangkan Carter (1995) dan Law (2002). Spesifikasi tersebut diharapkan mampu mendeteksi angin dengan resolusi 6 m dan jarak jangkau hingga 3 km. 3.2
Realisasi Awal Dalam hasil awal ini yang telah dilakukan adalah rancang bangun pembangkit gelombang FMCW berbasis GNU Radio menggunakan USRP N210 yang dilengkapi dengan daughterboard RFX900, bentuk keduanya ditunjukkan dalam Gambar 8. Keluaran VCO ditransmisikan oleh USRP transmitter kemudian diterima oleh USRP receiver. Hasil pulse compression menggunakan match filter terhadap sinyal yang diterima disimpan dalam file teks. Blok diagram pengembangan tahap awal ini ditunjukkan dalam Gambar 7.
132
Rancang Bangun FMCW Wind Profiling Radar: Hasil Awal (Asif Awaludin)
Gambar 7. Blok diagram pengembangan awal FMCW WPR.
Gambar 8.
USRP N210 (kiri), daughterboard RFX900 (tengah), dan antena 824-960 MHz (kanan). (Sumber: http://www.ettus.com)
Tabel 2. Spesifikasi rancangan awal.
Parameter Center Frequency Chirp bandwith Chirp waveform Chirp period System sampling rate Max unambiguous range FFT size Jarak target Delay sample Delay time
Value 914.5 MHz 1 MHz Triangle 1 ms 4Msample/s 150 km 4096 [37500 7500012500] m [1000 2000 3000] [0.25 0.5 0.75] ms
Untuk merealisasikan rancangan awal tersebut, dibuat spesifikasi rancangan seperti ditunjukkan dalam Tabel 2. Realisasi rancangan tersebut dalam GNU Radio ditunjukkan dalam Gambar 9. Dalam program GNU radio tersebut keluarannya adalah sinyal yang ditransmisikan oleh USRP N210 transmitter dan masukannya adalah sinyal yang diterima oleh USRP N210 receiver.
133
Rancang Bangun FMCW Wind Profiling Radar: Hasil Awal (Asif Awaludin)
Gambar 9. Program GNU Radio rancangan awal dengan USRP.
Gambar 10. Program GNU Radio rancangan awal tanpa USRP.
Dalam uji coba ini digunakan tiga buah target buatan yang dibuat menggunakan modul delay GNU Radio, yaitu 37500 m, 75000 m, dan 112500 m. Target buatan ini digunakan karena USRP dioperasikan di dalam ruangan sehingga banyak pantulan yang timbul dari dinding dan benda sekitar, sehingga perlu dibuat
134
Rancang Bangun FMCW Wind Profiling Radar: Hasil Awal (Asif Awaludin)
target lain yang berbeda jaraknya agar teknik pulse compression dapat dilihat jelas hasilnya. Untuk keperluan analisis hasil awal program GNU Radio menggunakan USRP, maka dilakukan juga uji coba program GNU Radio dengan rancangan yang sama tetapi tanpa USRP, seperti ditunjukkan dalam Gambar 10. Dalam hal ini USRP digantikan dengan Throttle block yang berfungsi membatasi throughput data sesuai dengan laju sampling agar tidak memberatkan kerja komputer. 4
HASIL DAN PEMBAHASAN Setelah program GNU Radio pada PC yang telah terhubung dengan USRP N210 dijalankan, dihasilkan tampilan sinyal segitiga masukan VCO dan sinyal FMCW keluaran seperti dalam Gambar 11. Terlihat bahwa sinyal segitiga masukan VCO mempunyai amplitude 1 dan periode 1,75 ms dengan bentuk sinyal sesuai persamaan 1. Sinyal ini memodulasi sinyal sinusoida sehingga dihasilkan sinyal FMCW yang frekuensi maksimumnya berada di tengah periode sinyal segitiga masukannya, sesuai persamaan 2.
Gambar 11.
Sinyal segitiga masukan VCO (kiri) dan sinyal FMCW keluaran VCO yang akan ditransmisikan (kanan).
Setelah ditransmisikan oleh USRP N210 transmitter, sinyal hamburan dari target di sekelilingnya diterima oleh USRP N210 receiver. Sinyal yang diterima USRP receiver kemudian dimasukkan ke match filter dan hasilnya disimpan dalam file teks. Tampilan cuplikan sinyal yang diterima oleh USRP N210 sebagai masukan match filter dan sinyal keluaran match filter hasil
135
Rancang Bangun FMCW Wind Profiling Radar: Hasil Awal (Asif Awaludin)
pengolahan data Gambar 12.
menggunakan
Matlab
ditunjukkan
dalam
(a)
(b) Gambar 12. (a) Sinyal echo yang diterima USRP N210 (b) Sinyal keluaran match filter (kanan).
Sinyal tersebut kemudian dibandingkan dengan cuplikan sinyal yang diterima sistem penerima dengan metode umpan balik tanpa USRP beserta hasil pulse compression-nya, seperti ditunjukkan dalam Gambar 13. Sebagai perbandingan juga, dicantumkan Gambar 14 yang juga menunjukkan sinyal echo FMCW, yang berasal dari sinyal transmisi dalam Gambar 3, beserta hasil pulse compressionnya yang dihasilkan oleh simulasi menggunakan MATLAB (Mahafza, 2009).
136
Rancang Bangun FMCW Wind Profiling Radar: Hasil Awal (Asif Awaludin)
(a)
(b) Gambar 13. (a) Sinyal umpan balik yang diterima sistem penerima pada skema tanpa USRP (b) Sinyal keluaran match filter untuk sinyal umpan balik.
137
Rancang Bangun FMCW Wind Profiling Radar: Hasil Awal (Asif Awaludin)
(a)
(b) Gambar 14. (a) Contoh sinyal echo dari sinyal FMCW yang dipantulkan 3 target (b) Sinyal keluaran match filter untuk sinyal echo 3 target. (Sumber: Mahafza, 2009)
Hasil perbandingan menunjukkan bahwa skema dengan USRP menghasilkan sinyal yang berbeda dengan skema tanpa USRP menggunakan metode umpan balik. Terlihat bahwa cuplikan sinyal yang diterima oleh USRP N210 mengandung banyak noise dan mengalami distorsi. Hal ini dikarenakan sinyal USRP ditransmisikan di dalam ruangan. Namun setelah melewati match filter ketiga, target yang dihasilkan oleh block delay masih dapat terdeteksi dengan baik seperti pada skema tanpa USRP. Dalam hal ini match filter telah berhasil meredam noise, sehingga dengan teredamnya noise dan meningkatnya sinyal hasil pendeteksian target dapat disimpulkan terjadi peningkatan SNR dari sinyal yang diterima.
138
Rancang Bangun FMCW Wind Profiling Radar: Hasil Awal (Asif Awaludin)
Dalam aplikasi nyatanya nanti, sinyal FMCW akan ditransmisikan ke arah atmosfer dalam kondisi udara yang cerah sehingga noise dan distorsi akan lebih minimal. Hasil uji coba ini dapat dijadikan dasar untuk pengembangan lebih lanjut radar wind profiler. 5
KESIMPULAN DAN SARAN Telah dilakukan rancang bangun FMCW WPR berbasis GNU Radio dan USRP untuk pengamatan boundary layer atmosfer. Hasil uji coba awal menunjukkan bahwa GNU Radio dan USRP N210 dapat digunakan sebagai pembangkit gelombang FMCW sekaligus penerimanya. Program match filter dapat dikembangkan menggunakan GNU Radio dan terbukti mampu meningkatkan hasil pendeteksian sehingga target dapat jelas terdeteksi walaupun terdapat noise dan terjadi distorsi sinyal. DAFTAR RUJUKAN Carter, D. A, K. S. Gage, W. L. Ecklund, W. M. Angevine, P. E. Johnston, A. C. Riddle, J. Wilson, C. R. Williams, 1995: Developments in UHF Lower Tropospheric Wind Profiling at NOAA's Aeronomy Laboratory, Radio Science, 30, Issue 4, 977–1001 Costanzo, S, dkk. 2013: Potentialities of USRP-Based Software Defined Radar Systems, Progress in Electromagnetics Research B, 53, 417-435 Ecklund, W.L., D.A. Carter, and B.B. Balsley, 1987: A UHF Wind Profiler for the Boundary Layer: Brief Description and Initial Results. Journal of Atmospheric and Oceanic Technology Gomez, C. A., 2010: An UHF FMCW Wind Profiler Development and Results, Tesis di Enginyeria de Telecomunicacio Universitat Politecnica de Catalunya Kissinger, D., 2012: Millimeter-Wave Receiver Concepts for 77 GHz Automotive Radar in Silicon-Germanium Technology, SpringerBriefs in Electrical and Computer Engineering, DOI 10.1007/978-1-4614-2290-72, ©Springer Science + Business Media, LLC Law, D. C, S. A. McLaughlin, M. J. Post, B. L. Weber, D. C. Welsh, and D. E. Wolfe, 2002: An Electronically Stabilized Phased Array System for Shipborne Atmospheric Wind Profiling, Journal Of Atmospheric And Oceanic Technology, 19, 924933 Lopez, D.G., 2009: An UHF Frequency-Modulated Continuous
139
Rancang Bangun FMCW Wind Profiling Radar: Hasil Awal (Asif Awaludin)
Wave Wind Profiler - Receiver and Audio Module Development. Tesis di Enginyeria de Telecomunicacio Universitat Politecnica de Catalunya Mahafza, B.R., 2009: Radar Signal Analysis And Processing Using Matlab. Chapman & Hall/CRC. International Standard Book Number-13: 978-1-4200-6643-2 Prabaswara, A., A. Munir and A. B. Suksmono, 2011: GNU Radio based software-de¯ned FMCW radar for weather surveillance application. International Conference on Telecommunication Systems, Services, and Applications (TSSA), 227-230 Sitompul, P., A. B. Suksmono, A. Munir, A.E. Prasetiadi, 2012: Testing of FMCW Radar by Implementation USRP and GNU Radio and Analisys. Prosiding Icramet 2012 Withers, N. 2009: A Pulsed-Doppler-Effect Radar Wind Profiler Transceiver Using GNU Radio and the Universal Software Radio Peripheral. Thesis of Department of Engineering Australian National University Yamamoto, MK, dkk. 2013: Development of a digital receiver for range imaging atmospheric radar. Journal of Atmospheric and Solar-Terrestrial Physics. In Press Vaisala. Wind Profiling History, Principles, and Applications Technical Notes. September 2002. http://www.vaisala.com. Diakses Juni 2014 Wikipedia. Radiosonde. http://en.wikipedia.org/wiki/Radiosonde. Diakses Juli 2014
140