ANALISIS VARIABEL-VARIABEL YANG MEMPENGARUHI UNDERPRICING PADA SAAT IPO DI BURSA EFEK INDONESIA PERIODE 2008-2010 Akbar Wahyu Bachtiar Prof. Dr. Muchamad Syafruddin M.Si., Akt. Universitas Diponegoro
This study aims to examine the variables that influence underpricing when initial public offering at the Indonesia Stock Exchange 2008-2010 period. The variables examined include underwriter reputation, type of industry, the growth of total assets, industry age, the percentage of offers, offers time period, return on equity, and debt to equity ratio. The research was carried out by multiple regression analysis, data collection tools used were observational studies and literature study with purposive sampling method. Sample of 38 companies from a population of 55 companies. The results: The first underwriter reputation influence the underpricing is not proven. The second type of industry did not prove to influence the underpricing, the third the growth of total assets shown to influence the underpricing, the fourth age of the company did not prove to influence the underpricing, the five percent offers no proven influence the underpricing, the sixth time period offers no proven influence the underpricing, the seventh return on equity shown to influence the underpricing, the eighth proven debt to equity ratio influence the underpricing. Key words: underpricing, underwriter reputation, type of industry, the growth of total assets, industry age, the percentage of offers, offers time period, return on equity, and debt to equity ratio.
PENDAHULUAN Ekspansi adalah kegiatan yang dilakukan perusahaan dalam memperluas kegiatan
bisnis
yang
dilakukannya.
Seringkali
perusahaan
mengalami
permasalahan dalam kegiatan tersebut, yaitu ketika dana dari dalam perusahaan tidak mencukupi, maka perusahaan akan mencari dana yang berasal dari luar perusahaan. Salah satunya berasal dari pasar modal, dengan melakukan penawaran umum perdana (inital public offering) saham perusahaan tersebut. Pasar modal mempunyai peran dalam menyediakan alternatif sumber dana bagi perusahaan yang tidak bisa dipenuhi dari dalam perusahaan untuk kegiatan ekspansi. Dana tersebut berasal dari para investor yang melakukan penyertaan dana (investasi) dengan cara membeli saham perusahaan yang go public pada pasar modal. Pasar modal (capital market) adalah suatu tempat yang mempertemukan
dua
kelompok
yang
saling
berhadapan
tetapi
yang
kepentingannya saling mengisi, yaitu calon pemodal (investor) di satu pihak dan perusahaan yang membutuhkan dana jangka menengah atau jangka panjang di lain pihak, dengan kata lain adalah tempat bertemunya penawaran dan permintaan dana
jangka
menengah
atau
jangka
panjang
(Riyanto,
1995
(dalam
Handayani,2008)). Suatu fenomena yang sering terjadi di pasar modal ketika perusahaan melakukan initial public offerings (IPO) adalah terjadinya underpricing. Yolana dan Dwi Martani (2005) mendefinisikan underpricing adalah adanya selisih positif antara harga saham di pasar sekunder dengan harga saham di pasar perdana. Selisih harga tersebut merupakan keuntungan awal (initial return) bagi investor, dengan kata lain harga saham hari pertama di pasar sekunder lebih tinggi dari harga pada saat penawaran perdana. Menurut Ritter et al., 1984 (dalam Islam, et al., 2010), underpricing atau return IPO yang tinggi adalah suatu fenomena yang umum pada hampir semua pasar modal, tanpa mempedulikan apakah pasar modal sedang berkembang atau lesu.
Underpricing merupakan kerugian bagi perusahaan yang melakukan penawaran umum perdana (initial public offering), karena dana investor yang diperoleh perusahaan tidak maksimum, oleh karena itu perusahaan berusaha meminimalkan underpricing karena dengan terjadinya underpricing akan menyebabkan transfer kemakmuran (wealth) dari pemilik kepada investor (Beatty, 1989 (dalam Triani dan Nikmah, 2006)). Sementara itu overpricing adalah kerugian bagi investor dikarenakan investor membayar terlalu mahal saham perdana yang ditawarkan menyebabkan investor tidak mendapat return awal, ketika saham dijual dipasar sekunder (bursa efek). Data dari tahun 2008 hingga tahun 2010, terdapat 55 perusahaan yang melakukan intial public offering (IPO). Berdasarkan 55 perusahaan tersebut 46 perusahaan diantaranya mengalami selisih positif antara harga saham di pasar sekunder dengan harga saham di pasar perdana (underpricing) , 8 perusahaan mengalami selisih negatif antara harga saham di pasar sekunder dengan harga saham di pasar perdana (overpricing) dan 1 perusahaan mengalami harga yang sama baik di pasar sekunder dengan harga di pasar perdana (accuratepricing). Perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya yaitu penelitian ini mengubah variabel total aset yang sering digunakan dalam penelitian-penelitian sebelumnya menjadi pertumbuhan total aset, dikarenakan pertumbuhan total aset merupakan informasi yang lebih baik dibandingkan total aset dalam pengambilan keputusan berinvestasi, selain itu pengukuran reputasi underwriter
dalam
penelitian
ini
menggunakan
frekuensi
underwriter
memberikan jasanya sebagai penjamin, dimana pada penelitian yang dilakukan oleh Yolana dan Dwi Martani (2005) serta penelitian Puspita (20011) penentuan reputasi underwriter menggunakan perangkingan yang dilakukan majalah Uang dan Efek No. 43 Desember 1997, pengukuran reputasi underwriter dengan mengunakan frekuensi underwriter memberikan jasanya, dinilai lebih up to date. Fenomena underpricing ini menarik untuk dikaji lebih lanjut karena ketika underpricing relatif tinggi akan merugikan bagi emiten dikarenakan dana yang
diperoleh emiten tidak maksimal dalam rangka melakukan ekspansi, dan penelitian terdahulu menunjukan hasil tidak selalu konsisten, sehingga perlu dilakukan
penelitian
kembali
dengan
menguji
kembali
faktor-faktor
mempengaruhi underpricing. TELAAH TEORI Underpricing
Underpricing adalah kenaikan harga saham perdana di pasar sekunder dengan harga saham perdana di pasar perdana, kenaikan harga ini merupakan keuntungan bagi investor yang membeli saham tersebut di pasar perdana karena mendapat keuntungan ketika saham tersebut dijual di pasar sekunder, keuntungan tersebut dikenal dengan istilah pengembalian awal (initial return). Hal ini senada dengan definisi Yolana dan Dwi Martani (2005) underpricing adalah adanya selisih positif antara harga saham di pasar sekunder dengan harga saham di pasar perdana atau saat IPO. Underpricing terjadi akibat perusahaan dan penjamin emisi (underwriter) salah menentukan harga pada saham perdana dengan terlalu rendah, hal ini disebabkan oleh asimetri informasi yang terjadi antara perusahaan dengan penjamin emisi. Asimetri informasi adalah kondisi dimana satu pihak memiliki informasi yang lebih dari pihak lain dan tidak bersedia untuk membagi informasi tersebut. Selain itu asimetri informasi juga terjadi pada investor yang memilki informasi yang lebih tentang prospek perusahaan dibandingkan investor lain. Asimetri informasi antara perusahaan dengan underwriter, terjadi karena underwriter lebih sering berhubungan dengan investor sehingga memilki informasi yang lebih dibandingkan perusahaan, dan memanfaatkan kondisi tersebut agar memperoleh keuntungan. Sementara asimetri informasi antara investor dengan investor lainnya terjadi karena salah satu investor mempunyai informasi yang lebih tentang prospek perusahaan, sedangkan investor yang lain tidak memiliki informasi tersebut, investor yang memilki informasi tersebut memanfaatkannya untuk memperoleh keuntungan. Ketika terjadi underpricing, maka dana yang masuk ke dalam perusahaan tidak maksimal karena terjadi
transfer kemakmuran (wealth) dari pemilik kepada investor (Beatty, 1989 (dalam Triani dan Nikmah, 2006)). Selain itu underpricing dapat disebabkan adanya sinyal dari dalam perusahaan yang menarik bagi investor sehingga investor berani membeli saham perdana perusahaan di atas harga penawaran. Sinyal tersebut berupa segala informasi baik yang bersifat financial maupun non-financial. Teori-teori yang digunakan untuk menjelaskan fenomena underpricing antara lain : 1.
Asimetri informasi antara penjamin emisi (underwriter) dan perusahaan Menjalankan tugasnya sebagai penjamin atas terjualnya saham perdana,
underwriter mempunyai resiko besar. Oleh karena itu underwriter menginginkan harga yang rendah dari harga yang seharusnya pada penetapan harga saham pedana, sedangkan perusahaan menginginkan harga yang relatif tinggi atas saham perdananya agar memperoleh dana yang maksimum dari investor. Menurut Baron, 1982 (dalam Daljono, 2000) underwriter memiliki informasi mengenai pasar modal. Underwriter memanfaatkan kondisi tersebut untuk memperoleh perjanjian yang menguntungkan underwriter, dengan menetapkan harga saham perdana lebih rendah dari seharusnya, sehingga terjadi underpricing. 2.
Asimetri informasi antara investor Menurut Rock, 1986 (dalam Martani, 2003) asimetri informasi antara
investor terjadi karena adanya investor yang memiliki informasi yang lebih dari investor yang lain tentang prospek perusahaan. Investor yang memiliki informasi yang lebih tentang prospek perusahaan, akan membeli saham yang mempunyai nilai tinggi di masa depan, sedangkan investor yang kurang memiliki informasi yang lebih mengenai prospek perusahaan, akan membeli saham perusahaan yang mempunyai nilai tinggi di masa depan maupun yang tidak. Investor yang tidak mempunyai informasi yang lebih tentang prospek perusahaan akan mengalami
kerugian dikarenakan keputusan yang ambil untuk menjual atau membeli saham dengan harga yang tidak sesuai, sehingga besar kemungkinan akan terjadi underpricing atau overpricing. 3.
Teori sinyal (signaling theory) Informasi mengenai perusahaan merupakan sinyal bagi investor, dalam
keputusan berinvestasi. Menurut Allen dan Faulhaber, 1989 (dalam Martani, 2003) informasi tersebut memberikan gambaran mengenai prospek perusahaan di masa depan. Informasi tersebut dapat bersifat financial maupun non-financial. Apabila kondisi financial atau non-financial perusahaan dinilai baik oleh investor maka, investor akan meresponya dengan menawarakan harga yang tinggi atas saham perdana di atas harganya pada pasar perdana, sehingga ketika dijualperbelikan di pasar sekunder harganya akan meningkat dan terjadi underpricing. Pengembangan Hipotesis 1. Pengaruh reputasi underwriter terhadap underpricing. Underwiter mempunyai peranan yang penting dalam initial public offering (IPO), salah satunya dalam proses penetapan harga saham perdana. Proses penetapan harga saham akan muncul konflik antara underwriter dengan perusahaan karena perbedaan kepentingan, namun underwriter bereputasi tinggi akan dapat mengurangi konflik yang terjadi dengan menetapkan harga saham perdana sesuai denagan kondisi peruahaan, sehingga akan mengurangi underpricing. Menurut Ghozali dan Mudrik Al Mansur (2002) bahwa reputasi underwriter
berpengaruh
negatif
terhadap
underpricing
dengan
tingkat
signifikansi 10%. Berdasarkan uraian di atas, maka diajukan hipotesis sebagai berikut: H1 : Reputasi underwriter berpengaruh negatif terhadap underpricing.
2. Pengaruh jenis industri terhadap underpricing. Variabel jenis industri dimasukan dalam penelitian ini untuk mengetahui apakah fenomena underpricing terjadi di semua jenis industri atau hanya terjadi pada jenis industri tertentu. Variabel jenis industri diduga mempengaruhi tingkat underpricing dikarenakan dalam setiap jenis industri memiliki karakteristik yang berbeda sehingga menimbulkan tingkat resiko yang berbeda. Semakin tinggi tingkat resiko yang terkandung didalam industri tersebut maka akan semakin tinggi return yang diperoleh (high risk, high return). Penelitian ini, jenis industri financial akan menurunkan resiko terjadinya underpricing dikarenakan industri financial sering berhubungan dengan para investor sehingga dalam menentapkan harga saham perdana akan lebih tepat sesuai dengan permintaan investor. Menurut Beatty dan Ritter, 1986 (dalam Yolana dan Dwi Martani, 2005) bahwa harga saham pada perusahaan yang lebih beresiko relatif lebih underpricied dari pada perusahaan dengan resiko lebih rendah. Penelitian Islam, et al., (2010) jenis industri berpengaruh negatif terhadap underpricing. Menurut Yolana dan Dwi Martani (2005) jenis industri berpengaruh terhadap underpricing, dengan koefisien negatif. Berdasarkan uraian di atas, maka diajukan hipotesis sebagai berikut: H2 : Jenis industri berpengaruh negatif terhadap underpricing. 3. Pengaruh pertumbuhan total aset terhadap underpricing. Pertumbuhan total aset perusahaan merupakan informasi bagi investor dalam pengambilan keputusan, semakin tinggi pertumbuhan total aset yang miliki maka menunjukan perusahaan tersebut memiliki manfaat ekonomi yang besar. Investor tertarik untuk memiliki saham perusahaan tersebut karena memiliki prospek yang baik di masa depan, sehingga harga saham perusahaan tersebut akan naik di pasar sekunder dan terjadi underpricing. Hasil penenilitian Islam, et al., (2010) menunjukan bahwa skala perusahaan berpengaruh positif dengan underpricing. Maka diajukan hipotesis sebagai berikut:
H3 : Pertumbuhan total aset berpengaruh positif terhadap underpricing. 4. Pengaruh umur perusahaan terhadap underpricing. Perusahaan dengan umur yang relatif lama, menunjukan bahwa mampu bertahan dan bersaing di dunia bisnis, ketika perusahaan tersebut menawarkan saham perdananya ke investor, maka investor tertarik untuk memiliki saham tersebut karena dinilai mampu memberikan return yang tinggi di masa depan, sehingga harga saham perusahaan tersebut akan naik ketika dijualperbelikan di pasar sekunder. Hasil penelitian Islam, et al., (2010) menunjukan bahwa umur perusahaan berpengaruh positif dengan underpricing. Berdasarkan uraian di atas, maka diajukan hipotesis sebagai berikut: H4 : Umur perusahaan berpengaruh positif terhadap underpricing. 5. Pengaruh prosentase penawaran terhadap underpricing. Prosentase yang ditawarkan kepada investor menujukan seberapa besar kepemilikan perusahaan tersebut akan dimiliki oleh public. Ketika saham yang ditawarkan dalam jumlah sedikit menunjukan bahwa kepemilikan public terhadap perusahaan tersebut terbatas. Investor akan mencari saham perusahaan tersebut karena dinilai berharga di masa depan karena jumlahnya yang terbatas, sehingga harga saham perusahaan tersebut di pasar sekunder meningkat dari harga saham di pasar perdana. Hasil penelitian Islam, et al., (2010) menunjukan bahwa prosentase penawaran berpengaruh negatif dengan underpricing. Berdasarkan uraian di atas, maka diajukan hipotesis sebagai berikut: H5 : Prosentase penawaran berpengaruh negatif terhadap underpricing. 6. Pengaruh jangka waktu penawaran terhadap underpricing. Ketika jangka waktu penawaran saham perdana relatif cepat menjukan kesiapan yang baik pada perusahaan untuk menjadi go public dan perusahaan tersebut memiliki kepercayaan bahwa saham perdananya akan terjual cepat. Hal ini merupakan informasi bagi investor yang menunjukan bahwa perusahaan
tersebut memiliki prospek yang baik di masa depan, sehingga investor berani untuk membayar lebih harga saham perusahaan tersebut saat dijual di pasar sekunder. Hasil penelitian Martani (2003) menunjukan bahwa jangka waktu penawaran berpengaruh terhadap underpricing. Berdasarkan uraian di atas, maka diajukan hipotesis sebagai berikut: H6 : Jangka waktu penawaran berpengaruh negatif terhadap underpricing. 7. Pengaruh return on equity terhadap underpricing. Return on equity (ROE) mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba dengan menggunakan equity perusahaan. Perusahaan yang IPO dengan ROE yang tinggi akan diburu oleh investor. hal itu menyebabkan harga saham di pasar sekunder akan meningkat dan terjadi underpricing. Hasil penelitian Yolana dan Martani (2005) menunjukan bahwa ROE (return on equity) menunjukan pengaruh signifikan dengan underpricing, dengan arah koefisien positif. Berdasarkan uraian di atas, maka diajukan hipotesis sebagai berikut: H7 : Return on equity berpengaruh positif terhadap underpricing. 8. pengaruh debt to equity ratio terhadap underpricing. Debt to equity ratio (DER) mengukur kemampuan perusahaan dalam membayar seluruh hutang perusahaan menggunakan ekuitas perusahaan. Semakin rendah rasio ini menunjukan semakin baik kemampuan perusahaan dalam melunasi hutang-hutang dengan ekuitas perusahaan. Perusahaan yang IPO dengan DER yang rendah, sahamnya akan diburu oleh investor sehingga harga saham perusahaan tersebut akan meningkat dan terjadi underpricing. Hasil Penelitian Puspita (2011) menunjukan bahwa debt to equity berpengaruh negatif terhadap underpricing. Berdasarkan uraian di atas, maka diajukan hipotesis sebagai berikut: H8 : Debt to equity rasio berpengaruh negatif terhadap underpricing.
Kerangka Pemikiran
METODE PENELITIAN Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel penelitian dan definisi operasional menjelaskan variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian. Penelitian ini terdiri dari satu variabel dependen dan delapan variabel independen, dan dijelaskan sebagai berikut : Variabel Dependen Variabel dependen adalah perhatian utama dalam penelitian, variabel dependen dalam penelitian ini adalah underpricing yaitu selisih positif antara harga saham di pasar sekunder dengan harga saham di pasar perdana (Yolana dan Dwi Martani, 2005), di ukur dengan menggunakan rumus sebagai berikut : Underpricing = closing price – offering price x 100%
(3.1)
Offering price Keterangan : Closing price = harga penutupan hari pertama di pasar sekunder Offering price = harga penawaran Variabel Independen Variabel independen adalah variabel yang mempengaruhi variabel dependen, variabel independen dalam penelitian ini adalah: 1. Reputasi Underwriter
Reputasi underwriter adalah predikat bagi underwriter, apakah termasuk dalam underwriter yang aktif atau kurang aktif di pasar modal. Pengukuran reputasi underwriter dengan menggunakan frekuensi underwriter memberikan jasa sebagai penjamin pelaksana emisi efek kepada perusahaan-perusahaan yang initial public offering (IPO) di tahun sebelumnya (Takarini dan Kustini, 2007). 2. Jenis Industri Setiap jenis industri memiliki resiko yang berbeda, perbedaan tersebut diakibatkan perbedaan karakteristik perusahaan. Pengukuran jenis industri dengan menggunakan variabel dummy, dengan memberikan nilai 1 pada perusahaan yang bergerak di industri financial dan nilai 0 pada perusahaan yang bergerak di industri non financial. 3. Pertumbuhan Total Aset Pertumbuhan total aset diukur dengan persentase pertumbuhan total aset yang dimiliki perusahaan sebelum melakukan initial public offering (IPO), total aset sendiri menunjukan manfaat ekonomi di masa depan yang mungkin diperoleh di masa depan, atau dikendalikan oleh perusahaan tertentu sebagai hasil transaksi atau kejadian masa lalu (Kieso, et al., 2007: 193). Rumus perhitungan pertumbuhan total aset adalah : Total aset sebelum IPO – Total aset tahun sebelumnya
X 100 %
Total aset sebelum IPO 4. Umur Perusahaan Umur perusahaan menunjukan kemampuan perusahaan untuk bertahan dan bersaing di dunia bisnis, variabel ini dihitung sejak tanggal pendirian perusahaan sampai tanggal perusahaan melakukan initial public offering (IPO). 5. Prosentase Penawaran Prosentase penawaran menunjukan kepemilikan perusahaan oleh pubic setelah IPO. Pengukuran variabel prosentase penawaran diukur dengan prosentase saham yang tawarkan kepada public. 6. Jangka Waktu Penawaran Jangka waktu penawaran adalah waktu untuk menawarkan saham perdana perusahaan. Variabel jangka waktu penawaran diukur dengan waktu yang
digunakan perusahaan untuk menawarkan saham perdana. Perhitungan jangka waktu penawaran yaitu pada masa penawaran, dimulai sesudah tanggal efektif dan diakhiri awal tanggal penjatahan. 7. Return On Equity Return on equity, mengukur kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba atas ekuitas yang dimiliki perusahaan. Pengukuran return on equity menggunakan analisa dalam laporan keuangan sebelum perusahaan melakukan inital public offering (IPO) dengan rumus: Return on equity = Laba bersih setelah pajak
(3.2)
Total ekuitas 8. Debt to Equity Ratio Debt to equity ratio (DER) mengukur kemampuan perusahaan dalam melunasi
hutang-hutang
perusahaan
menggunakan
ekuitas
perusahaan.
Pengukuran debt to equity ratio menggunakan analisa dalam laporan keuangan sebelum emiten initial public offering (IPO) dengan rumus: DER = Total kewajiban
(3.3)
Total ekuitas Metode Analisis Data Pengujian Asumsi Klasik Pengujian asumsi klasik digunakan untuk menilai apakah persamaan regresi memenuhi syarat BLUE (best linier unbias estimator), dikemukakan oleh Ghozali dan Mudrik Al Mansur (2002). Penelitian ini harus dilakukan pengujian asumsi klasik terlebih dahulu sebelum dilakukan pengujian hipotesis. Masingmasing dijelaskan dibawah ini : Uji Normalitas Tujuan dari uji normalitas adalah untuk menguji apakah dalam model regresi, yaitu variabel terikat dengan variabel bebas mempunyai distribusi normal atau mendekati normal. Model regresi yang memiliki distribusi data yang normal atau mendekati normal dikatakan model regresi yang baik (Ghozali, 2009).
Uji Multikolonier Uji Multikolonieritas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi ditemukan kolerasi yang tinggi atau hampir sempurana antara variabel independen. Model regresi yang baik adalah yang tidak terjadi kolerasi yang tinggi antar variabel independen. Jika variabel independen saling berkorelasi, maka variabel tersebut tidak ortogonal. Variabel ortogonal adalah variabel independen yang nilai korelasi antar sesama variabel independen sama dengan nol (Ghozali, 2009). Pendektesian adanya multikolonieritas antar variabel independen dapat dilakukan dengan menganalisa nilai variance inflation factor (VIF) atau tolerance value. Batas dari tolerance value adalah 0,10 dan batas VIF adalah 10. Apabila hasil analisis menunjukkan nilai VIF dibawah 10 dan tolerance value diatas 0,10 maka tidak terjadi multikolonieritas. Uji Autokorelasi Menurut Ghozali (2009) uji autokorelasi bertujuan menguji apakah dalam model regresi linear adakorelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t dengan kesalahan pengganggu pada periode t-1 (sebelumnya). Jika terjadi korelasi, maka dinamakan ada problem autokorelasi. Autokorelasi muncul karena observasi yang berurutan sepanjang waktu berkaitan satu sama lainnya. Model regresi yang baik adalah regresi yang bebas dari autokorelasi. Dan cara mendeteksi gejala autokorelasi dapat dilakukan dengan uji Durbin – Watson (DW test). Uji Durbin – Watson hanya digunakan untuk autokorelasi tingkat satu (first order autocorrelation) dan mensyaratkan adanya intercept (konstanta) dalam model regresi dan tidak ada variabel lag di antara variabel independen. Hipotesis yang akan diuji adalah (Imam Ghozali, 2009) : H0 : tidak ada autokolerasi (r=0) HA : ada autokolerasi (r≠0) Uji Heteroskedatisitas Uji heteroskedastisitas bertujuan menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan
yang lain. Jika variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan lain tetap, maka disebut homoskedastisitas dan jika berbeda disebut heteroskedastisitas. Model regresi yang baik adalah yang homoskedastisitas atau tidak terjadi heteroskedastisitas. Analisis Regresi Berganda Analisis regresi pada dasarnya adalah studi mengenai ketergantungan variabel dependen (terikat) dengan satu atau lebih variabel independen (variabel bebas), dengan tujuan untuk mengestimasi dan/atau memprediksi rata-rata populasi atau nilai rata-rata variabel dependen berdasarkan nilai variabel independen yang diketahui (Gujarati, 2003). Selain dapat mengukur kekuatan hubungan antara dua variabel atau lebih, analisis regresi berganda juga menunjukan arah hubungan antara variabel dependen dengan variabel independen, jadi dapat disimpulkan analisis regresi berganda merupakan analisa untuk mengukur seberapa besar pengaruh variabel reputasi underwriter, jenis industri, pertumbuhan total aset, umur perusahaan, prosentase penawaran, jangka waktu penawaran, return on equity, dan debt to equity ratio terhadap tingkat underpricing. Teknik Pengujian Hipotesis Teknik pengujian hipotesis menggunakan uji t. Uji t pada dasarnya menunjukkan apakah ada pengaruh yang nyata secara parsial antara variabel terikat (Y) dengan variabel bebas (X), yaitu variabel reputasi underwriter, jenis industri, pertumbuhan total aset, umur perusahaan, prosentase penawaran, jangka waktu penawaran, return on equity, dan debt to equity ratio. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Uji Asumsi Klasik Pengujian Normalitas Pengujian normalitas dilakukan dengan menggunakan analisis grafik dan analisis statistik (Kolmogorov Smirnov). Hasil pengujian normalitas menunjukan hasil sebagai berikut :
Histogram dan Normal Plot Residual
Berdasarkan analisis grafik pada setelah dilakukan pernormalan data, menunjukan bahwa data lebih terdistribusi normal, grafik normal plot menunjukan bahwa data menyebar disekitar garis diagonal dan mengikutiarah garis diagonal. Grafik histrogram menunjukan pola yang lebih normal dibandingkan grafik histogram sebelum dilakukan pernormalan data. Tetapi hal ini belum cukup kuat untuk membuktikan bahwa data telah terdistribusi normal, sebelum melihat hasil analisis statistik (Kolmogrov-Smirnov). Hasil pengujian Kolmogrov-Smirnov setelah dilakukan pernormalan data sebagai berikut : Hasil Pengujian Kolmogorov-Smirnov One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test REP_U LnUNDER NDRWT PRICING R LnPTA N
LnUMU LnJW LnRO LnDE R LnPP P E R
38
38
38
38
38
38
38
38
Normal Parametersa,,b
Mean
3.1
.7
3.3
8.2
3.1
1.2
2.2
2.9
Std. Deviatio n
1.1
.8
1.6
.9
.5
.3
1.5
2.7
Most Extreme Differences
Absolut e
.154
.275
.090
.099
.156
.323
.177
.131
Positive
.124
.275
.090
.073
.101
.323
.103
.124
Negativ e
-.154
-.199
-.072
-.099
-.156
-.282
-.177
-.131
Kolmogorov-Smirnov Z
.950
1.694
.555
.607
.961
1.992
1.089
.810
Asymp. Sig. (2-tailed)
.328
.006
.918
.854
.314
.001
.187
.528
a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data.
Hasil Pengujian Kolmogorov-Smirnov One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test Unstandardized Residual N a,,b Normal Parameters Most Extreme Differences
38 .0000000 .61594972 .104 .083 -.104 .642 .805
Mean Std. Deviation Absolute Positive Negative
Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed) a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data.
Sumber : Data Hasil SPSS 17 Hasil pengujian Kolmogrov-Smirnov menunjukan bahwa variabel dependen dan variabel independen lebih terdistribusi normal setelah dilakukan pernormalan data, hal ini dapat diamati dari jumlah variabel yang terdistribusi normal menjadi 6 buah, dan pada tabel 4.7 menunjukan bahwa nilai KS tidak signifikan pada 0,05 (p = 0,805 > 0,05), sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak dapat menolak hipotesis nol yang menyatakan bahwa residual berdistribusi normal. Pengujian Multikolinieritas Hasil Pengujian Multikolinearitas Coefficientsa Unstandardized Coefficients Model 1
B
Std. Error
(Constant)
3.302
1.616
REP_UNDRWTR
-.143
.156
JENIS
-.135
.390
LnPTA LnUMUR LnPP
Standardized Coefficients Beta
Collinearity Statistics T
Sig.
Tolerance
VIF
2.044
.050
-.108
-.919
.366
.822
1.216
-.039
-.345
.733
.889
1.124
.258
.081
.376
3.174
.004
.807
1.239
-.220
.132
-.183
-1.658
.108
.930
1.076
.206
.242
.095
.849
.403
.899
1.113
-.044
.442
-.011
-.100
.921
.867
1.154
LnROE
.331
.094
.449
3.511
.001
.690
1.450
LnDER
-.112
.051
-.278
-2.188
.037
.700
1.429
LnJWP
a. Dependent Variable: LnUNDERPRICING
Sumber : Data Hasil SPSS 17 Hasil pengujian multikolinearitas menunjukkan bahwa tidak terdapat variabel yang menunjukkan nilai VIF yang lebih besar dari 10 dan memiliki nilai
Tolerance diatas 0,10. Dalam hal korelasi tidak ada variabel yang memiliki kolerasi diatas 95% . ini berarti bahwa model variabel bebas (prediktor) yang digunakan dalam penelitian ini tidak menunjukkan adanya gejala multikolinieritas dalam model regresi. Pengujian Heteroskedastisitas Grafik Heteroskedastistas
Sumber : Data Hasil SPPS 17 Hasil penguijan heteroskedatistas dengan menggunakan grafik scatterplots terlihat bahwa titik-titik menyebar secara acak baik diatas maupun dibawah angka 0 pada sumbu Y. Hal ini dapat disimpulkan tidak terjadi heteroskedastistas. Pengujian Autokorelasi Pengujian autokorelasi dilakukan dengan menggunakan uji Durbin Watson. Jika nilai DW berada diantara du dan 4 – du maka menunjukkan tidak adanya masalah autokorelasi dalam model regresi. Penelitian ini memperoleh nilai DW sebesar 1,965. Nilai tersebut akan dibandingkan dengan nilai table dengan menggunakan tingkat signifikansi 1% (0,01), jumlah sampel penelitian (n) 50 dan jumlah variabel independen 8 (k=8).
Hasil Pengujian Durbin-Watson Model Summaryb Std. Error of the Model 1
R
R Square .820a
Adjusted R Square
.672
.582
Estimate .69574
Durbin-Watson 1.965
Sumber : Data Hasil SPSS 17 Olehkarena nilai Durbin Watson 1,965 dan nilai tersebut berada diantara 1,816 dan 2,184 (4 – 1,816) yang dapat disimpulkan tidak ada gejala autokolerasi dalam model regresi penelitian ini.
Pengujian Regresi Berganda
Hasil pengujian regresi berganda diuji dengan menggunakan variabel dependen dan variabel independen ke dalam persamaan sebagai berikut: LnUNDERPRICING = β1REP_UNDRWTR + β2JENIS + β3LnPTA + β4LnUMUR + β5LnPP + β6LnJWP + β7LnROE + β8LnDER + ε
(4.3)
Hasil Koefisien Determinasi b
Model Summary
Model
R
1
.820
R Square a
Adjusted R
Std. Error of the
Square
Estimate
.672
.582
Durbin-Watson
.69574
1.965
a. Predictors: (Constant), LnDER, JENIS, REP_UNDRWTR, LnPP, LnUMUR, LnJWP, LnPTA, LnROE b. Dependent Variable: LnUNDERPRICING
Sumber : Data Hasil SPSS 17 Untuk mengetahui kemampuan variabel-variabel independen dalam menjelaskan variabel dependen dapat dilihat dari nilai adjusted R square, dengan indikator semakin besar nilainya maka menunjukan kemampuan variabel-variabel independen dalam menjelaskan variabel dependen semakin baik. Adjusted R square sebesar 0,582 atau 58,2% menunjukan kemampuan variabel-variabel independen dalam menjelaskan variabel dependen sebesar 58,2% dan sebesar 41,8% dijelaskan oleh variabel-variabel lain di luar penelitian ini. Hasil Regresi Uji F b
ANOVA Model 1
Sum of Squares
Df
Mean Square
Regression
28.785
8
3.598
Residual
14.038
29
.484
Total
42.823
37
F 7.433
Sig. .000
a
a. Predictors: (Constant), LnDER, JENIS, REP_UNDRWTR, LnPP, LnUMUR, LnJWP, LnPTA, LnROE b. Dependent Variable: LnUNDERPRICING
Sumber : Data Hasil SPSS 17 Nilai F sebesar 7,433 dengan probabilitas 0,000. Karena nilai probabilitas lebih kecil dari 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa reputasi underwriter, jenis industri, pertumbuhan total aset, umur perusahaan, prosentase penawaran, jangka
waktu penawaran, ROE, DER secara bersama-sama berpengaruh terhadap underpricing. Hasil Regresi Uji t Coefficients Unstandardized Coefficients Model 1
B
a
Standardized Coefficients
Std. Error
Beta
Collinearity Statistics t
Sig. Tolerance
VIF
(Constant)
3.302
1.616
REP_UNDRWTR
-.143
.156
-.108
-.919 .366
.822
1.216
JENIS
-.135
.390
-.039
-.345 .733
.889
1.124
LnPTA
.258
.081
.376
3.174 .004
.807
1.239
-.220
.132
-.183 -1.658 .108
.930
1.076
LnUMUR LnPP
2.044 .050
.206
.242
.095
.849 .403
.899
1.113
LnJWP
-.044
.442
-.011
-.100 .921
.867
1.154
LnROE
.331
.094
.449
3.511 .001
.690
1.450
LnDER
-.112
.051
-.278 -2.188 .037
.700
1.429
a. Dependent Variable: LnUNDERPRICING
Sumber : Data Hasil SPSS 17 Pengujian Hipotesis Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan uji t yang menguji hubungan masing-masing variabel independen dengan variabel dependen. Hasil pengujian hipotesis sebagai berikut: 1. Hipotesis Pertama (pengaruh reputasi underwriter terhadap underpricing) Variabel Reputasi underwriter (REP_UNDRWTR) tidak terbukti memiliki pengaruh terhadap underpricing dikarenakan memiliki tingkat Sig. sebesar 0,366 melebihi tingkat signifikasi sebesar 0,05. Namun memiliki arah koefisien negatif yang dapat diartikan semakin tinggi reputasi underwriter akan menurunkan underpricing. 2. Hipotesis Kedua (pengaruh jenis industri terhadap underpricing) Variabel jenis industri (JENIS) tidak terbukti memiliki pengaruh terhadap underpricing dikarenakan memiliki tingkat Sig. sebesar 0,733 melebihi tingkat signifikasi sebesar 0,05. Namun memiliki arah koefisien negatif, yang dapat diartikan jenis industri financial akan mengalami underpricing yang rendah dibandingkan jenis industri non-financial.
3. Hipotesis Ketiga (pengaruh pertumbuhan total aset terhadap underpricing) Variabel pertumbuhan total aset (LnPTA) terbukti memiliki pengaruh terhadap underpricing dikarenakan memiliki tingkat Sig. sebesar 0,004 dibawah tingkat signifikansi sebesar 0,05. Dengan arah koefisen positif, yang dapat diartikan semakin tinggi pertumbuhan total aset akan meningkatkan underpricing. 4. Hipotesis Keempat (pengaruh umur perusahaan terhadap underpricing) Variabel umur perusahaan (LnUMUR) tidak terbukti memiliki pengaruh terhadap underpricing dikarenakan memiliki tingkat Sig. sebesar 0,108 melebihi tingkat signifikasi sebesar 0,05. Namun memiliki arah koefisien negatif, yang dapat diartikan semakin tua umur perusahaan akan menurunkan underpricing. 5. Hipotesis Kelima (pengaruh prosentase penawaran terhadap underpricing) Variabel prosentase penawaran (LnPP) tidak terbukti memiliki pengaruh terhadap underpricing dikarenakan memiliki tingkat Sig. sebesar 0,403 melebihi tingkat signifikansi sebesar 0,05. Namun memiliki arah koefisien positif, yang dapat diartikan semakin besar prosentase penawaran maka akan meningkatkan underpricing. 6. Hipotesis
Keenam
(pengaruh
jangka
waktu
penawaran
terhadap
underpricing) Variabel jangka waktu penawaran (LnJWP) tidak terbukti memiliki pengaruh terhadap underpricing dikarenakan memiliki tingkat Sig. sebesar 0,921 melebihi tingkat signifikasi sebesar 0,05. Namun memiliki arah koefisien negatif, yang dapat diartikan semakin cepat waktu penawaran akan menurunkan tingkat underpricing. 7. Hipotesis Ketujuh (pengaruh return on equity terhadap underpricing) Variabel return on equity (LnROE) terbukti memiliki pengaruh terhadap underpricing dikarenakan memiliki tingkat Sig. sebesar 0,001 dibawah tingkat signifikansi sebesar 0,05. Dengan arah koefisien positif, yang dapat diartikan semakin tinggi return on equity akan meningkatkan underpricing. 8. Hipotesis Kedelapan (pengaruh debt to equity ratio terhadap underpricing) Variabel Debt to equity ratio (LnDER) terbukti memiliki pengaruh yang terhadap underpricing dikarenakan memiliki tingkat Sig. sebesar 0,037 dibawah
tingkat signifikansi sebesar 0,05. Dengan arah koefisien negatif, yang dapat diartikan semakin rendah debt to equity ratio akan meningkatkan underpricing. Interpretasi Hasil Berdasarkan hasil pengujian hipotesis yang telah dijelaskan, maka dalam interpretasi hasil akan dilakukan pembahasan untuk masing-masing hipotesis. 1. Interpretasi Hasil Hipotesis Pertama (pengaruh reputasi underwriter terhadap underpricing) Hasil pengujian hipotesis pertama (H1), menunjukan bahwa reputasi underwriter tidak berpengaruh secara signifikan terhadap underpricing. Hasil penelitian ini kosisten dengan penelitian yang sebelumnya telah dilakukan oleh Yolana & Dwi Martani (2005), namun tidak konsisten dengan penelitian yang sebelumnya telah dilakukan oleh Ghozali & Mudrik Al Mansur (2002), Daljono (2000) dan Rosyati & Arifin Sabeni (2002) yang membuktikan reputasi underwriter
mempengaruhi underpricing. Dalam penelitian ini
reputasi
underwriter tidak berpengaruh terhadap tingkat underpricing dapat disebabkan pada periode 2008 hingga 2010, perusahaan yang melakukan initial public offering (IPO) baik dengan jasa underwriter bereputasi tinggi atau rendah, terlihat tidak mempengaruhi underpricing, hal ini dibuktikan pada PT. Dian Swastika Sentosa yang dengan underpricing 105% menggunakan jasa underwriter bereputasi rendah yaitu PT. Osk Nusadana Securities Indonesia, Selain itu pada PT. Bw Plantation dengan underpricing 4% menggunakan pula jasa underwriter bereputasi rendah yaitu PT. BNP Paribas Securities Indonesia 2. Interpretasi Hasil Hipotesis Kedua (pengaruh jenis industri terhadap underpricing) Hasil pengujian hipotesis kedua (H2), menunjukan bahwa jenis industri tidak berpengaruh secara signifikan terhadap underpricing. Hasil penelitian ini tidak konsisten dengan penelitian yang sebelumnya dilakukan oleh Yolana & Dwi Martani (2005) dan Islam, et al., (2010) yang membuktikan jenis industri mempengaruhi underpricing. Dalam Penelitian ini jenis industri tidak berpengaruh terhadap underpricing disebabkan pada periode 2008 hingga 2010, perusahaan yang melakukan initial public offering (IPO), baik perusahaan
bergerak di industri financial maupun fiancial dapat mengalami underpricing yang tinggi maupun yang rendah. Hal ini dibuktikan pada PT. Dian Swastika Sentosa yang bergerak di industri non financial, mengalami underpricing sebesar 105% sama halnya pada PT. Sumber Alfaria yang bergerak di industri non financial namun hanya mengalami underpricing sebesar 1%. 3. Interpretasi Hasil Hipotesis Ketiga (pengaruh pertumbuhan total aset terhadap underpricing) Hasil pengujian hipotesis ketiga (H3), menunjukan bahwa perumbuhan total aset berpengaruh secara signifikan terhadap underpricing. Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian yang sebelumnya telah dilakukan oleh Yolana & Dwi Martani (2005), Islam, et al., (2010) yang membuktikan total aset mempengaruhi underpricing. Diterimanya hipotesis ini menunjukan bahwa pertumbuhan total aset merupakan informasi yang digunakan investor dalam keputusan berinvestasi. Ketika perusahaan tersebut memiliki pertumbuhan total aset yang tinggi maka banyak investor yang berminat pada saham perusahaan tersebut sehingga harganya akan meningkat. Pertumbuhan total aset memiliki arah koefisien positif terhadap underpricing, yang dapat diartikan semakin tinggi pertumbuhan total aset perusahaan akan meningkatkan underpricing. Arah positif ini mendukung teori sinyal, bahwa pertumbuhan total aset merupakan sinyal bagi investor dalam keputusan berinvestasi. 4. Interpretasi Hasil Hipotesis Keempat (pengaruh umur perusahaan terhadap underpricing) Hasil pengujian hipotesis keempat (H4), menunjukan bahwa umur perusahaan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat underpricing. Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian yang sebelumnya dilakukan oleh Puspita (2011), namun tidak konsisten dengan penelitian yang sebelumnya dilakukan oleh Islam, et al., (2010) yang membuktikan umur perusahaan mempengaruhi underpricing. Dalam penelitian ini umur perusahaan tidak berpengaruh terhadap underpricing dapat disebabkan pada periode 2008 hingga 2010, perusahaan yang melakukan initial public offering (IPO) berumur tua atau
muda terlihat tidak mempengaruhi underpricing. Hal ini dibuktikan pada PT. Destinasi Tirta Nusantara dengan underpricing sebesar 70%, berumur muda yaitu 312 hari dan PT. Bank Sinarmas dengan underpricing 70%, namun berumur relatif tua yaitu 7.787 hari. 5. Interpretasi Hasil Hipotesis Kelima (pengaruh prosentase penawaran terhadap underpricing) Hasil pengujian hipotesis kelima (H5), menunjukan bahwa prosentase penawaran tidak berpengaruh secara signifikan terhadap underpricing. hasil penenilitian ini tidak konsisten dengan penelitian yang sebelumnya dilakukan oleh Islam, et al., (2010) yang membuktikan prosentase penawaran mempengaruhi underpricing. Dalam penelitian ini prosentase penawaran tidak berpengaruh terhadap underpricing dapat disebakan pada periode 2008 hingga 2010, perusahaan yang melakukan inital public offering (IPO) baik dengan prosentase penawaran yang besar maupun yang kecil, terlihat tidak mempengaruhi underpricing. Hal ini dibuktikan pada PT. Batavia Prosperindo Finance dengan underpricing sebesar 10% menawarkan 45% kepemilikan perusahaan kepada public dan PT. Bumi Resources Minerals dengan underpricing sebesar 10% namun hanya menawarkan 18% kepemilikan perusahaan kepada public. 6. Interpretasi Hasil Hipotesis Keenam (pengaruh jangka waktu penawaran terhadap underpricing) Hasil pengujian hipotesis keenam (H6), menunjukan bahwa jangka waktu penawaran tidak berpengaruh secara signifikan terhadap underpricing. Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian yang sebelumnya dilakukan oleh Islam, et al., (2010). Dalam penelitian ini jangka waktu penawaran tidak berpengaruh terhadap underpricing disebabkan pada periode 2008 hingga 2010, perusahaan yang melakukan initial public offering (IPO) baik dengan waktu penawaran yang lama atau cepat, terlihat tidak mempengaruhi underpricing, hal ini dibuktikan pada PT. Evergreen Invesco dengan underpricing 70% yang menawarkan saham dalam waktu 5 hari, dan PT. Multifiling Mitra Indonesia dengan underpricing 70% yang menawarkan saham dalam waktu 2 hari.
7. Interpretasi Hasil Hipotesis Ketujuh (pengaruh return on equity terhadap underpricing) Hasil pengujian hipotesis ketujuh (H7), menunjukan bahwa return on equity (ROE) berpengaruh secara signifikan terhadap underpricing. hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Yolana & Dwi Martani (2005) yang membuktikan return on equity mempengaruhi underpricing. diterimanya hipotesis ini menunjukan bahwa return on equity merupakan informasi yang digunakan investor dalam keputusan berinvestasi. Ketika perusahaan memiliki return on equity yang tinggi maka banyak investor yang berminat pada saham perusahaan tersebut sehingga harganya akan meningkat. Return on equity memiliki arah koefisien positif terhadap underpricing, yang dapat diartikam semakin tinggi return on equity yang dimiliki perusahaan akan meningkatkan underpricing. Arah positif ini mendukung teori sinyal, bahwa return on equity merupakan sinyal bagi investor dalam keputusan berinvestasi. 8. Interpretasi Hasil Hipotesis Kedelapan (pengaruh debt to equity ratio terhadap underpricing) Hasil pengujian hipotesis kedelapan (H8), menunjukan bahwa debt to equity ratio (DER) berpengaruh secara signifikan terhadap underpricing. Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian yang sebelumnya dilakukan oleh Ghozali dan Mudrik Al Mansur (2002) yang membuktikan debt to equity ratio secara signifikan mempengaruhi underpricing. Diterimanya hipotesis ini menunjukan bahwa debt to equity ratio merupakan inforamasi yang digunakan investor dalam keputusan berinvestasi. Ketika perusahaan memiliki debt to equity ratio yang rendah maka banyak investor yang berminat pada saham perusahaan tersebut sehingga harganya akan meningkat. Debt to equity ratio memiliki arah koefisien negatif, dengan arah koefisien negatif, dapat diartikan bahwa perusahaan dengan Debt to equity ratio yang rendah sebelum perusahaan melakukan initial public offering (IPO) akan meningkatkan underpricing. Hal tersebut sesuai dengan teori sinyal, perusahaan dengan Debt to equity ratio yang rendah merupakan sinyal bagi investor yang
menunjukan tingkat resiko yang rendah pula dikarenakan memiliki jumlah ekuitas yang jauh lebih besar dari kewajiban perusahaan, dan para investor akan memburu saham perusahaan tersebut sehingga harganya akan naik ketika dijual kembali di pasar sekunder. SIMPULAN, KETERBATASAN DAN PEMBAHASAN Kesimpulan Penelitian ini bertujuan meneliti pengaruh reputasi underwriter, jenis industri, pertumbuhan total aset, umur perusahaan, prosentase penawaran, jangka waktu penawaran, return on equity, debt to equity ratio terhadap underpricing yang terjadi di BEI periode 2008-2010. Berdasarkan hasil analisa yang telah dilakukan, maka penelitian ini dapat ditarik beberapa kesimpulan bahwa reputasi underwriter, jenis perusahaan, umur perusahaan, prosentase penawaran, jangka waktu penawaran tidak terbukti secara signifikan memiliki pengaruh terhadap underpricing, sedangkan pertumbuhan total aser, return on equity dan debt to equity terbukti secara signifikan memiliki pengaruh terhadap underpricing. Keterbatasan Keterbatasan-keterbatasan dalam penelitian yang telah dilakukan antara lain sebagai berikut : 1. Penelitain ini belum berhasil membuktikan pengaruh reputasi underwriter terhadap underpricing dikarenakan pengukuran reputasi underwriter masih subyektif dengan menggunakan frekuensi underwriter memberikan jasa penjaminan saham di tahun sebelumnya. 2. Penelitian ini belum berhasil menemukan variabel independen yang bersifat non financial yang terbukti berpengaruh signifikan terhadap underpricing. Saran Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka penelitian memberikan saran yaitu, bagai para peneliti selanjutnya hendaknya mengubah pengukuran reputasi underwriter dengan pengukuran yang lebih obyektif dan menambah variabel-variabel bersifat non financial yang diduga mempengaruhi underpricing (reputasi penilai, reputasi auditor, dll.)
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Syukriy. 2000. “Fenomena Underpricing Dalam Penawaran Saham Perdana (IPO) dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya”. Jurnal Manajemen & Bisnis. Vol. 3 No. 1. 65-83. Daljono, 2000. “Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Initial Return Saham yang Listing di BEJ Tahun 1990-1997”. Kumpulan Makalah Simposium Nasional Akuntansi III. h. 556-572 Darmadji, Tjiptono dan Hendy M. Fakhruddin. 2011. Pasar Modal di Indonesia, Jakarta : Salemba Empat. Handayani, Sri Retno. 2008. “Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Underpricing pada Penawaran Umum Perdana (Studi Kasus Pada Perusahaan Keuangan yang Go Public di Bursa Efek Jakarta Tahun 20002006)”.”Tesis S2”, Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro. Islam, Md Aminul, Ruhani Ali dan Zamri Ahmad. 2010 “An Empirical Investigation of the Underpricing of Initial Public Offerings in the Chittagong Stock Exchange”. International Journal of Economics and Finance. vol, 2. No 4. page 36-46. Ghozali, Imam. 2009. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS, Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Ghozali, Iman. dan Mudrik Al Mansur. 2002. “Analisis Faktor-faktor yang Mempngaruhi Tingkat Underpricied di Bursa Efek Jakarta”. Jurnal Bisnis dan Akuntansi, Vol. 4. No. 1, h. 74-87. Gujarati, D. 2003. Basic Econometric. Mc-Grawhill. New York. Kieso, Donald E., Jerry J. Weygandt dan Terry D. Warfield. 2008. Akuntasi Intermediate. Jakarta : Erlangga. Martani, Dwi. 2003. “Pengaruh Informasi Selama Proses Penawaran Terhadap Initial Return Perusahaan yang Listing di Bursa Efek Jakarta dari Tahun 1990-2000”. Kumpulan Makalah Simposium Nasional Akuntansi VI, h 1299-1313.
Puspita, Tifani. 2011. “Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Underpricing Saham pada Saat Initial Public Offering (IPO) di Bursa Efek Indonesia Periode 2005-2009”.”Skripsi S1”. Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro. Rosyati dan Arifin Sabeni. 2002. “Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Underpricing Saham pada Perusahaan Go Publik di Bursa Efek Jakarta (Tahun 1997-2000)”. Kumpulan Makalah Simposium Nasional Akuntansi V, h. 286-297. Takarini, Nurjanti dan Kusini. 2007. “Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Underpricing pada Penawaran Saham Perdana (IPO) pada Perusahaan yang Go Public di BEJ ”. Artavidya No 1 Februari 2007. Trihendradi, Cornelius. 2005. Step by Step SPSS 13 Analisis Data Statistik. Yogyakarta : Penerbit Andi Yolana, Chastina dan Dwi Martani. 2005. “Variabel-variabel yang Mempengaruhi Fenomena Underpricing pada Penawaran Saham Perdana di BEJ Tahun 1994-2001”. Kumpulan Makalah Simposium Nasional Akuntansi VIII, h 538-551.