ANALISIS STRUKTUR PEREKONOMIAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KESEMPATAN KERJA DI DKI JAKARTA
MUKHAMMAD TAUFIQUR RAKHMAN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Halaman ini sengaja dikosongkan
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis Analisis Struktur Perekonomian dan Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Kesempatan Kerja di DKI Jakarta adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Tesis ini.
Bogor, Agustus 2011 Mukhammad Taufiqur Rakhman NRP H151080151
Halaman ini sengaja dikosongkan
ABSTRACT
MUKHAMMAD TAUFIQUR RAKHMAN. Analysis of Economic Structure and Factors that Influence Job Opportunity in Jakarta. Under direction of SRI MULATSIH and DEDI BUDIMAN HAKIM This study aimed to determine the structure of economy and factors that affect job opportunity in Jakarta. Author used Shift Share Analysis, Location Quotient and Multiple Regression that was estimated with Least Square Method (OLS) in Semi-Log form. To examine the relations that happened on job opportunity, author used the regional autonomy as a dummy variable, FDI, domestic investment, GDRP, and investment lending rate, with time series data from the period 1993 until 2008. The result of Shift Share Analysis and Location Quotient since the implementation of regional autonomy showed that employment growth from the components of national employment growth, industry mix and competitive advantage were dominated by the tertiary sector, such as trade, hotels, and restaurants; transportations and communications sector; financial sector, renting and business services; and services sector. The four sectors above were also a basic sector in expanding job opportunity. The results of Multiple Regression Analysis showed that the dummy variable of regional autonomy, FDI, domestic investment, GDRP, and investment lending rate had simultaneous effect toward job opportunity. And partially, FDI, domestic investment and investment lending rate had significant effect toward job opportunity. Dummy variable of regional autonomy, FDI, domestic investment and GDRP had positive effect and investment landing rate had negative effect toward job opportunity. While dummy variable of regional autonomy and GDRP had positive and not significant effect toward job opportunity. Keywords: job opportunity, shift share, location quotient, dummy regional autonomy, FDI, domestic investment, GDRP, investment lending rates.
Halaman ini sengaja dikosongkan
RINGKASAN
MUKHAMMAD TAUFIQUR RAKHMAN. Analisis Perekonomian dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kesempatan Kerja di DKI Jakarta. Dibimbing oleh SRI MULATSIH dan DEDI BUDIMAN HAKIM Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui struktur perekonomian dan faktorfaktor yang mempengaruhi kesempatan kerja di DKI Jakarta. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis Shift-Share, Loqation Quotient dan Multiple Regression yang ditaksir dengan Metode Kuadrat Terkecil (OLS) dalam bentuk SemiLog. Adapun variabel yang digunakan untuk menelaah hubungan yang terjadi terhadap Kesempatan Kerja adalah variabel Dummy Otonomi Daerah, PMA, PMDN, PDRB dan Suku Bunga Kredit Investasi. Data yang digunakan runtut waktu (time series) tahun 1993-2008. Hasil analisis Shift Share dan Loqation Quotient semenjak diterapkannya otonomi daerah menunjukan bahwa pertumbuhan tenaga kerja baik dari komponen pertumbuhan tenaga kerja nasional, bauran industri dan keunggulan kompetitif didominasi oleh sektor tersier, seperti sektor perdagangan, hotel dan restoran; sektor pengangkutan dan komunikasi; sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan; dan sektor jasa-jasa. Demikian pula dengan keempat sektor tersebut yang juga merupakan sektor basis dalam memperluas Kesempatan Kerja. Untuk hasil analisis Multiple Regression menunjukan bahwa variabel Dummy Otonomi Daerah, PMA, PMDN, PDRB dan Suku Bunga Kredit Investasi secara simultan berpengaruh terhadap Kesempatan Kerja. Dan secara parsial, variabel PMA, PMDN dan Suku Bunga Kredit Investasi berpengaruh signifikan terhadap Kesempatan Kerja. Variabel Dummy Otonomi Daerah, PMA dan PMDN serta PDRB berpengaruh positif dan variabel Suku Bunga Kredit Investasi berpengaruh negatif terhadap Kesempatan Kerja. Pada variabel Dummy Otonomi Daerah dan PDRB berpengaruh tidak signifikan dan positif terhadap Kesempatan Kerja. Kata kunci : Kesempatan Kerja, Shift Share, Loqation Quotient, Dummy Otonomi Daerah, PMA, PMDN, PDRB, Suku Bunga Kredit Investasi
Halaman ini sengaja dikosongkan
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
Halaman ini sengaja dikosongkan
ANALISIS STRUKTUR PEREKONOMIAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KESEMPATAN KERJA DI DKI JAKARTA
MUKHAMMAD TAUFIQUR RAKHMAN
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Halaman ini sengaja dikosongkan
Judul : Analisis Struktur Perekonomian dan Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Kesempatan Kerja di DKI Jakarta Nama : Mukhammad Taufiqur Rakhman NRP : H151080151
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.Sc.Agr.
Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec.
Ketua
Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi
Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.S.
Tanggal Ujian: 11 Juli 2011
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Lulus:
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Sri Hartoyo, M.S.
PRAKATA
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Alloh S.W.T. atas berbagai nikmat, karunia dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis yang merupakan sebagian persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan pada jenjang strata dua Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Sholawat dan salam tercurah kepada junjungan Nabi Besar Muhammad S.A.W. beserta para keluarga, sahabat, kerabat, dan pengikutnya hingga Yaumil Akhir nanti. Penelitian dan penulisan tesis ini kiranya merupakan bagian kecil yang dapat penulis susun dan semoga dapat memberikan kontribusi dan manfaat yang berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Selama menempuh pendidikan penulis banyak memperoleh bantuan dan dukungan baik secara ilmu, moral dan material dari berbagai pihak. Oleh karenanya penulis ucapkan banyak terima kasih atas berbagai bantuan dan dukungannya. Semoga Alloh S.W.T. membalas segala amal kebajikan dengan segala keridhoan-Nya. Ungkapan terima kasih ini setulusnya penulis sampaikan kepada: Ibu, Abah, Mas Dayat, Novi dan Atik serta keluarga besar penulis, baik keluarga besar Bani K.H. Masykoeri (Alm.) maupun keluarga besar Soewondo Soemomihardjo (Alm.) atas segala doa, bantuan, dan dukungannya selama penulis menyelesaikan pendidikan. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ibu Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.Sc.Agr dan Bapak Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec selaku pembimbing, Bapak Dr. Ir. Sri Hartoyo, M.S dan Ibu Dr. Ir. Wiwiek Rindayanti, M.Si selaku penguji dalam ujian tesis, para Guru dan Dosen yang telah mengajar dan membimbing penulis sejak penulis mengawali pendidikan sejak TK hingga saat ini. Terima kasih setinggi-tingginya juga tidak lupa penulis sampaikan kepada para Kiyai, Ustadz dan Ustadzah penulis khususon AlMukarrom K.H. Muslich (Alm.), Al-Mukarrom K.H. Abdul Rozaq (Alm.), AlMukarrom K.H. Amir Fauzi, Al-Hafidz, Al-Mukarrom K.H. Bunyamin Hamka, B.A., Al-Mukarrom Ust. Drs. Syihabuddin, M.A., Al-Mukarromah Dra. Hj. Siti Rositoh yang telah banyak memberikan bekal ilmu untuk keselamatan hidup penulis di dunia maupun di akhirat. Disamping itu, terima kasih penulis sampaikan kepada pimpinan dan staf rektorat IPB, dekanat SPs dan FEM IPB, serta program studi Mayor IE SPs IPB terutama kepada Bapak Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.S dan Ibu Dr. Ir. Lukytawati Anggraeni, M.Si selaku Kaprodi dan Sekretaris Kaprodi Mayor IE serta Mba Diyaniati Sunaryo, S.Pi yang telah banyak membantu penulis dalam urusan administrasi selama menempuh pendidikan. Seluruh sahabat penulis khususnya selama penulis menjalani pendidikan pada Kelas Reguler Angkatan IV Mayor IE SPs IPB terutama kepada Mba Dian Verawati Panjaitan, S.E., M.Si terima kasih atas segala bantuannya selama perkuliahan; Fathurrahman Ramadhani Amiruddin Abu, S.E., M.Si terima kasih juga segalanya karena telah menjadi yang terdekat selama menjalani pendidikan. Pimpinan dan rekan-rekan pegawai pada Bagian Ortapeg Ditjen Pendis Kemenag terutama kepada Bapak Drs. H. Hilmi Muhammadiyah, M.Si dan Drs. H. Ichsan Fahmy, M.Si atas doa dan ijin yang telah diberikan kepada penulis untuk menyelesaikan pendidikan, Pimpinan dan rekan-rekan mengajar di STAN Jakarta terutama kepada Bapak Indrayansyah Nur yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengembangkan bakat dan karir serta memanfaatkan ilmu yang sekiranya penulis miliki. Pimpinan dan rekan-rekan mengajar di STIE Pandu Madania Yayasan Pendidikan Al-‘Aadiyaat Bogor tempat penulis mengawali dan mendapatkan bekal mengajar. Serta terima kasih kepada seluruh
pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah memberikan berbagai arahan, saran, kritik dan bantuan kepada penulis selama penulis menjalani pendidikan semenjak awal hingga saat ini. Akhir kata, semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Dan mohon maaf apabila terdapat kesalahan dan kekurangan. Karena sesungguhnya hanya Alloh S.W.T.-lah pemilik kesempurnaan. Bogor, Agustus 2011 Mukhammad Taufiqur Rakhman
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 31 Juli 1986 dari ayah Abdul Fatah Masykoeri dan ibu Isnaeni Tri Wardani. Penulis merupakan putra kedua dari tiga bersaudara. Pendidikan formal penulis dimulai sejak tahun 1992 hingga 1998 di SD Negeri Rawamangun 05, kemudian tahun 1998 hingga 2001 di SLTP Negeri 74 Jakarta, dilanjutkan pada tahun 2001 hingga 2004 di SMA Negeri 21 Jakarta. Pada tahun 2004 hingga 2008, penulis melanjutkan pendidikannya pada Program Studi Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Jenderal Soedirman yang kemudian pada tahun 2008 penulis langsung melanjutkan pendidikannya pada Mayor Ilmu Ekonomi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah menjadi asisten dosen di FE Unsoed pada mata kuliah Ekonomi Makro I pada tahun ajaran 2006/2007, dosen pada mata kuliah Statistik I, Evaluasi Proyek, Ekonomi Regional dan Teori Lokasi sekaligus merangkap sebagai tim akreditasi STIE Pandu Madania Yayasan Pendidikan Al‘Aadiyaat Bogor yang dikelola oleh Rektor IPB pada tahun ajaran 2009/2010 hingga 2010/2011. Selain itu, sejak tahun ajaran 2010/2011 hingga sekarang penulis juga menjadi dosen di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) Jakarta perguruan tinggi kedinasan dibawah naungan Kementerian Keuangan RI pada mata kuliah Pengantar Ilmu Ekonomi dan Ekonomi Mikro disamping tugasnya sebagai Pegawai Negeri Sipil pada Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI sejak awal tahun 2011 sebagai Analis Kelembagaan.
Halaman ini sengaja dikosongkan
DAFTAR ISI DAFTAR ISI………………………………………………………………
Halaman xvii
DAFTAR TABEL…………………………………………………………
xix
DAFTAR GAMBAR……………………………………………………...
xxi
DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………
xxiii
I.
PENDAHULUAN.................................................................................. 1.1. Latar Belakang ................................................................................ 1.2. Perumusan Masalah......................................................................... 1.3. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian.......................................
01 01 05 09
II
TINJAUAN PUSTAKA......................................................................... 2.1. Teori Penyerapan Tenaga Kerja ...................................................... 2.2. Teori Kesempatan Kerja Menurut Keynes ...................................... 2.3. Permintaan Tenaga Kerja dari Sisi Perusahaan............................... 2.4. Kesempatan Kerja dan Pertumbuhan Ekonomi............................... 2.5. Analisis Sektoral dan Struktur Ekonomi ......................................... 2.6. Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi...................................... 2.7. Konsep Otonomi Daerah ................................................................. 2.8. Penyerapan Tenaga Kerja dan Kesempatan Kerja .......................... 2.9. Analisis Shift Share ......................................................................... 2.10. Teori Ekonomi Basis ..................................................................... 2.11. Penelitian Terdahulu...................................................................... 2.12. Hipotesis Penelitian....................................................................... 2.13. Kerangka Pemikiran ......................................................................
11 11 14 17 19 22 24 26 28 36 41 45 59 59
III METODOLOGI PENELITIAN ............................................................ 3.1. Model dan Alat Analisis.................................................................. 3.1.1. Model dan Analisis Shift Share (SS) .................................... 3.1.1.1. Evaluasi Kinerja Sektor-sektor dan Aplikasi Analisis Shift Share................................................................ 3.1.2. Model dan Analisis Location Quotient (LQ) ......................... 3.1.3. Model dan Analisis Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Kesempatan Kerja.................................................................. 3.1.3.1. Uji Asumsi Klasik..................................................... 3.1.3.2. Uji Dugaan Model..................................................... 3.2. Jenis, Sumber Data dan Definisi Operasional Variabel .................. 3.2.1. Jenis dan Sumber Data........................................................... 3.2.2. Definisi Operasional Variabel................................................
63 63 63
67 68 69 71 71 71
IV HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................. 4.1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian............................................. 4.1.1. Keadaan Geografis ............................................................... 4.1.2. Keadaan Ekonomi dan Demografi ........................................ 4.1.3. Visi dan Misi Pembangunan .................................................. 4.1.3.1. Visi............................................................................
73 73 73 74 76 76
65 66
4.1.3.2. Misi ........................................................................... 4.2. Analisis Data dan Pembahasan ....................................................... 4.2.1. Analisis Shift Share (SS) ....................................................... 4.2.1.1. Pergeseran Bersih dan Profil Pertumbuhan Kesempatan Kerja DKI Jakarta Tahun 2001-2008........................ 4.2.2. Analisis Location Quotient (LQ) .......... ................................ 4.2.3. Analisis Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Kesempatan Kerja ................................................................................................ 4.2.3.1. Uji Asumsi Klasik..................................................... 4.2.3.2. Hasil Dugaan Model ................................................. 4.3. Implikasi Kebijakan ........................................................................
77 78 78
KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................. 5.1. Kesimpulan ..................................................................................... 5.2. Saran ...............................................................................................
117 117 118
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................
119
LAMPIRAN – LAMPIRAN .........................................................................
123
V
91 94 97 97 99 113
DAFTAR TABEL 1
2
Halaman Struktur Ekonomi DKI Jakarta berdasarkan Penduduk DKI Jakarta Berumur 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Selama Seminggu yang Lalu Tahun 2001-2008 ................................................................................... 3 Angkatan Kerja DKI Jakarta menurut Jenis Kegiatan Tahun 2001-2008...............................................................................................
4
Penduduk DKI Jakarta dan Nasional Berumur 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Selama Seminggu yang Lalu Tahun 2004-2008 .......................
6
Jumlah Izin Usaha Tetap, Nilai Realisasi PMA dan Daya Serap Tenaga Kerja Investasi PMA DKI Jakarta Tahun 2004-2008................
6
Jumlah Izin Usaha Tetap, Nilai Realisasi PMDN dan Daya Serap Tenaga Kerja Investasi PMDN DKI Jakarta Tahun 2004-2008.............
7
Laju Pertumbuhan PDRB DKI Jakarta Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2004-2008 ................................
8
7
Penelitian-Penelitian Terdahulu .............................................................
54
8
Hasil Perhitungan Shift-Share (SS) Struktur Perekonomian Atas Dasar Tenaga Kerja DKI Jakarta Tahun 2001-2008 ........................................
78
Pergeseran Bersih Sektor-Sektor Perekonomian Atas Dasar Tenaga Kerja DKI Jakarta Tahun 2001-2008 ........................................
92
3
4
5
6
9
10 Hasil Perhitungan Loqation Quotient (LQ) Struktur Perekonomian Atas Dasar Tenaga Kerja DKI Jakarta Tahun 2008 .......................................
95
11 Uji Multikolinearitas ..............................................................................
99
12 Uji Autokorelasi .....................................................................................
99
13 Hasil Estimasi Koefisien Variabel Penduga...........................................
99
14 Persentase PMA Menurut Bidang Usaha Tahun 2002-2007..................
102
15 Persentase PMDN Menurut Bidang Usaha Tahun 2002-2007...............
102
16 Perkembangan PMA dan PMDN DKI Jakarta Tahun 1993-2008 .........
105
17 Persentase Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) DKI Jakarta Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Struktur Ekonomi Tahun 2001-2008 ...................................................................................
106
18 Perkembangan Suku Bunga Kredit Investasi DKI Jakarta Tahun 1993-2008 ...................................................................................
107
19 Matriks Bidang Ketenagakerjaan Provinsi DKI Jakarta Tahun 2002-2007 ...................................................................................
110
DAFTAR GAMBAR 1
Halaman Kurva Permintaan Tenaga Kerja ............................................................ 11
2
Kurva Investasi.......................................................................................
13
3
Kurva Hukum Okun ...............................................................................
19
4
Model Analisis Shift Share.....................................................................
38
5
Profil Pertumbuhan Sektor Perekonomian .............................................
40
6
Alur Kerangka Pemikiran.......................................................................
61
7
Profil Pertumbuhan Sektor-Sektor Perekonomian Atas Dasar Tenaga Kerja DKI Jakarta Tahun 2001-2008 ........................................
93
Uji Normalitas ........................................................................................
97
8
DAFTAR LAMPIRAN 1
2
3
4
5
6
Halaman Penduduk DKI Jakarta dan Indonesia Berumur 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Selama Seminggu yang Lalu Tahun 2001 dan 2008........ 123 Data Penelitian Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Kesempatan Kerja Di DKI Jakarta Tahun 1993-2008 ................................................
124
Data Penelitian Dalam Bentuk Semi-Logaritma Natural Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Kesempatan Kerja Di DKI Jakarta Tahun 1993-2008...............................................................................................
125
Hasil Perhitungan Analisis Shift-Share dan Pergeseran Bersih Struktur Perekonomian Atas Dasar Tenaga Kerja Di DKI Jakarta Tahun 2001 dan 2008 .............................................................................
126
Hasil Perhitungan Analisis Loqation Quotient Struktur Perekonomian Atas Dasar Tenaga Kerja Di DKI Jakarta Tahun 2008 ..........................
128
Hasil Regresi Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kesempatan Kerja Di DKI Jakarta Tahun 1993-2008 ..........................................................
129
Halaman ini sengaja dikosongkan
I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Indonesia sebagai suatu bangsa dan negara besar dengan pemilikan sumber
daya alam yang melimpah, dalam pembangunan ekonomi yang merupakan bagian dari pembangunan nasional harus mampu memanfaatkan sumber daya yang dimilikinya untuk sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Hal ini juga telah ditegaskan dalam konstitusi. Untuk mencapai tujuan tersebut, pembangunan
harus
dapat
mewujudkan
pertumbuhan
dan
pemerataan
perekonomian yang tercermin pada peningkatan kesejahteraan seluruh masyarakat. Menurut Kuncoro (2004) terdapat trade off antara pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan pemerataan pendapatan dalam suatu pembangunan ekonomi. Ketika pembangunan ekonomi lebih ditujukan untuk pemerataan pendapatan maka pertumbuhan ekonomi akan membutuhkan waktu yang relatif lama untuk mencapai tingkat pertumbuhan yang tinggi. Sebaliknya, jika pembangunan ekonomi lebih difokuskan untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi maka akan semakin besar kemungkinan terjadinya ketimpangan dalam distribusi pendapatan. Selain menciptakan pertumbuhan yang tinggi, pembangunan harus pula berupaya untuk mengurangi tingkat kemiskinan, ketimpangan pendapatan, dan tingkat pengangguran serta adanya upaya untuk menciptakan kesempatan kerja dan distribusi pendapatan yang merata. Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang pertumbuhan ekonomi dalam wilayah tersebut (Arsyad 1999). Pembangunan
daerah
pada
bidang
ekonomi
dititikberatkan
untuk
mengurangi tingkat kemiskinan, meningkatkan penyediaan lapangan kerja, memperbaiki kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan dan mengurangi ketimpangan antar daerah serta yang paling utama bagi daerah adalah penciptaan
1
lapangan kerja (Syaukani et al. 2002). Keberhasilan sebuah pemerintahan salah satunya dilihat dari seberapa jauh pemerintahan tersebut berhasil menciptakan lapangan kerja bagi masyarakatnya. Penciptaan lapangan kerja yang tinggi akan berdampak pada peningkatan daya beli masyarakat sehingga pada akhirnya kesejahteraan masyarakat akan meningkat. Pemberlakuan UU No. 22 tahun 1999 junto Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 junto Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang mulai berlaku efektif pada tanggal 1 Januari 2001 (Haris 2005) merupakan contoh nyata dari keseriusan pemerintah pusat untuk tidak lagi terlibat secara penuh pada daerah-daerah meskipun masih ada juga campur tangan pemerintah dalam urusan dana bantuan yang diserahkan kepada masing-masing daerah. Hanya saja dalam hal ini pemerintah tidak bercampur tangan dalam rangka pengalokasian dana dari pemerintah pusat tersebut. Untuk itu, pemerintah daerah juga harus memikirkan cara agar daerahnya bisa tetap membangun dengan kondisi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang dimilikinya. Berbagai program untuk meningkatkan nilai investasi daerah pun dilakukan agar daerah tersebut memiliki cukup modal untuk melakukan pembangunan. Diantaranya mencakup program pengadaan sumber pembiayaan investasi dan pengadaan infrastruktur yang dibutuhkan untuk menarik investor. Program-program tersebut antara lain berupa pengembangan kredit Usaha Kecil dan Menengah (UKM) hingga penyediaan kawasan khusus untuk industri Sejak bergulirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 junto UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menjadi awal mula adanya kewenangan secara luas bagi daerah untuk mengelola daerah dan potensi daerah yang dimiliki dalam proses pembangunan daerah. Berlakunya UndangUndang tersebut juga sebagai indikasi mulai diberlakukannya otonomi daerah untuk semua wilayah di Indonesia tidak terkecuali provinsi DKI Jakarta. Oleh karenanya, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah pada khususnya, semenjak diberlakukannya otonomi daerah pada awal tahun 2000 provinsi DKI Jakarta merencanakan prioritas pembangunan melalui pembangunan sektor-sektor dibidang ekonomi demi terwujudnya struktur ekonomi yang seimbang.
Struktur ekonomi DKI Jakarta berdasarkan penduduk DKI Jakarta berumur 15 tahun ke atas yang bekerja menjelaskan bahwa penciptaan kesempatan kerja selama delapan tahun masih didominasi oleh sektor tersier yang menduduki urutan pertama, yaitu kontribusinya pada tahun 2001 sebesar 73,12 persen, sektor sekunder menduduki urutan kedua dengan kontribusi sebesar 25,67 persen dan sisanya sebesar 1,21 persen oleh sektor primer (BPS 2002). Sampai dengan dengan tahun 2008 sektor yang dominan kontribusinya terhadap penciptaan kesempatan kerja masih diduduki oleh sektor tersier sebesar 78,09 persen, sedangkan sektor sekunder dan sektor primer masing-masing sebesar 21,12 persen dan sebesar 0,80 persen (BPS 2009). Kontribusi masing-masing sektor/lapangan usaha disajikan pada Tabel 1. Tabel 1
Struktur Ekonomi DKI Jakarta berdasarkan Penduduk DKI Jakarta Berumur 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Selama Seminggu yang Lalu Tahun 2001-2008 (Persen)
Lapangan Usaha
2001 0,89 0,32 21,39 0,46 3,82
2002 0,41 0,21 19,70 0,50 4,01
2003 0,50 0,31 19,58 0,48 4,09
Tahun 2004 2005 0,59 0,95 0,27 0,19 20,88 19,79 0,41 0,28 4,17 4,42
2006 0,40 0,44 18,18 0,52 4,21
2007 0,52 0,33 18,44 0,44 4,44
2008 0,47 0,33 16,10 0,47 4,54
34,95
36,85
37,36
37,11
8,23
8,52
9,55
9,59
7,38
7,06
7,21
7,11
23,81 100
23,81 100
21,72 100
24,27 100
Pertanian Pertambangan, dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas, dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel, dan 35,28 37,20 36,85 35,58 Restoran Pengangkutan, dan 8,63 8,68 9,35 8,88 Komunikasi Keuangan, Persewaan, dan 5,94 5,60 6,10 6,19 Jasa Perusahaan Jasa-jasa 23,27 23,69 22,74 23,05 Jumlah 100 100 100 100 Sumber : BPS Provinsi DKI Jakarta. 2002-2009. (diolah).
Berdasarkan struktur ekonomi di atas, sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran merupakan sektor yang menjadi andalan terbesar di DKI Jakarta. Hal ini ditandai dengan sumbangannya terhadap penyerapan tenaga kerja di DKI Jakarta yang mencapai rata-rata sebesar 36 persen, lebih tinggi dibandingkan dengan sektor lainnya. Sedangkan sektor Pertambangan, dan Penggalian memberikan sumbangan terkecil dengan rata-rata sebesar 0,30 persen.
Tabel 2
Angkatan Kerja DKI Jakarta menurut Jenis Kegiatan Tahun 2001-2008 Tahun
Bekerja (orang)
2001 3.422.340 2002 3.267.526 2003 3.379.232 2004 3.497.359 2005 3.716.206 2006 3.921.991 2007 3.842.944 2008 4.191.966 Sumber : BPS Pusat. 2002-2009. (diolah).
Pengangguran Terbuka (orang) 605.924 567.587 589.682 602.741 615.917 590.022 552.380 580.511
Jumlah Angkatan Kerja (orang) 4.028.264 3.835.113 3.968.914 4.100.100 4.332.123 4.512.013 4.395.324 4.772.477
Pengangguran (%) 15,04 14,80 14,86 14,70 14,22 13,08 12,57 12,16
Dari Tabel 2 dapat diketahui bahwa tingkat pengangguran tertinggi terjadi pada tahun 2001 yakni sebanyak 605.924 orang atau sebesar 15,04 persen dari jumlah angkatan kerja 4.028.264 orang. Sedangkan tingkat pengangguran terendah terjadi pada tahun 2008 yakni sebanyak 580.511 orang atau sebesar 12,16 persen dari jumlah angkatan kerja 4.772.477 orang. Perbedaan tingkat pengangguran ini tentu tidak dapat dipisahkan dari proporsi jumlah penduduk bekerja yang berfluktuatif jumlahnya pada tiap tahun antara tahun 2001 hingga 2008. Oleh karena itu, untuk menyikapi berbagai persoalan pembangunan ekonomi tersebut salah satunya yang dapat dilakukan pemerintah yakni melalui optimalisasi potensi dan keunggulan kompetitif yang dapat menyerap tenaga kerja dari masing-masing daerah melalui berbagai implementasi sebagai bentuk realisasi kewenangan yang diberikan sejak diberlakukannya otonomi daerah. Keunggulan kompetitif daerah dibentuk oleh faktor-faktor utama (input) baik yang bersifat endowment maupun yang diakibatkan oleh adanya interaksi aktivitas kegiatan masyarakat. Ciri pentingnya seperti: perbedaan dalam lingkungan usaha produktif, struktur dan kondisi perekonomian daerah, perbedaan dalam kualitas dan kuantitas sumber daya manusia di masing-masing daerah, infrastruktur, sumberdaya alam dan lingkungan, serta kondisi lembaga keuangan dan perbankan yang ada.
Sedangkan dua karakteristik yang umumnya dimiliki daerah-daerah yang mempunyai keunggulan kompetitif tinggi. Pertama, daerah-daerah tersebut memiliki kondisi perekonomian yang baik. Kedua, daerah yang mempunyai keunggulan kompetitif adalah daerah yang memiliki kondisi keamanan, politik, sosial budaya, dan birokrasi yang ramah terhadap kegiatan usaha. Kombinasi antara kedua faktor dan dengan didukung oleh ketersediaan tenaga kerja yang cukup serta kualitas yang baik serta infrastuktur fisik yang memadai akan sangat besar pengaruhnya bagi peningkatan dan perkembangan dunia usaha. Berdasarkan uraian tersebut di atas maka dalam penelitian ini akan dikaji mengenai
struktur
perekonomian
dan
faktor-faktor
yang
memengaruhi
kesempatan kerja di DKI Jakarta.
1.2.
Perumusan Masalah Semenjak diberlakukannya otonomi daerah, pemerintah daerah diberikan
kewenangan oleh pemerintah pusat untuk mengurus secara komprehensif mengenai keadaan dan permasalahan daerah yang dihadapi dalam proses pembangunan. Implikasi otonomi daerah diharapkan dapat menjadi lebih baik dalam hal pembangunan yang dilaksanakan baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dibandingkan dengan masa sebelum otonomi daerah. Salah satu implikasi dari pemberlakuan otonomi daerah dalam pembangunan ekonomi yakni adanya kemampuan daerah untuk meningkatkan penciptaan kesempatan kerja dan distribusi pendapatan masyarakat yang merata sehingga menjadi indikasi keberhasilan pemerintah daerah dalam pelaksanaan pembangunan wilayah.
Tabel 3
Penduduk DKI Jakarta dan Nasional Berumur 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Selama Seminggu yang Lalu Tahun 2004-2008
Tahun 2004 2005 2006 2007 2008 Sumber : BPS Pusat. 2005-2009.
DKI Jakarta 3.497.359 3.716.206 3.921.991 3.842.944 4.191.966
(Orang) Nasional 93.722.036 93.958.387 95.456.935 99.930.217 102.552.750
Selama tahun 2004 hingga 2008 terjadi peningkatan jumlah penduduk bekerja di DKI Jakarta, seperti halnya pada tingkat nasional. Pada tahun 2008, penduduk bekerja sebesar 4.191.966 orang dengan komposisi yang terbanyak menurut kota adalah Jakarta Timur, Jakarta Barat dan Jakarta Selatan, masingmasing 1.091.148 orang; 1.013.159 orang; dan 979.454 orang. Sedangkan untuk kota lainnya di bawah 700 ribu orang. Perkembangan penduduk bekerja selama tahun 2004 hingga 2008 yang memiliki jumlah tertinggi terjadi pada tahun 2008 yaitu sebanyak 4.191.966 orang sedangkan yang memiliki jumlah terendah terjadi pada tahun 2004 yaitu sebanyak 3.497.359 orang. Di tingkat nasional perkembangan penduduk bekerja selama tahun 2004 hingga 2008 yang memiliki jumlah tertinggi terjadi pada tahun 2008 yaitu sebanyak 102.552.750 orang sedangkan yang memiliki jumlah terendah terjadi pada tahun 2004 yaitu sebanyak 93.722.036 orang Tabel 4
Jumlah Izin Usaha Tetap, Nilai Realisasi PMA dan Daya Serap Tenaga Kerja Investasi PMA DKI Jakarta Tahun 2004-2008 Jumlah Izin Usaha Tetap Yang Dikeluarkan
Tahun Unit
Pertumbuhan (%)
2004 229 2005 364 41,67 2006 330 -10,30 2007 365 17,24 2008 434 9,59 Rata344,40 14,55 Rata Sumber : Bappenas dan UI. 2009. (diolah).
1.867.972.000 2.624.156.000 2.635.281.000 2.691.830.000 2.725.800.000
2,82 28,82 0,42 2,1 1,25
Daya Serap Tenaga Kerja Investasi PMA (orang) 44.324 31.377 35.241 23.639 43.458
2.509.007.800
7,08
35.607,80
Nilai Realisasi PMA Jumlah (US$)
Pertumbuhan (%)
Perkembangan investasi PMA Provinsi DKI Jakarta dapat diamati pada Tabel 4. Dalam kurun waktu tahun 2004-2005, nilai PMA DKI Jakarta terlihat meningkat lebih tinggi dibandingkan dengan nilai investasi PMA pada tahun 2006-2008. Rata-rata pertumbuhan nilai realisasi PMA yang terjadi dalam kurun waktu
tahun
2004-2008
mencapai
7,08%
per
tahun,
meningkat
dari
US$ 1.867.972.000 pada tahun 2004 menjadi US$ 2.725.800.000 pada tahun 2008. Nilai realisasi PMA di tahun 2008 ini tercatat sebagai nilai PMA DKI Jakarta tertinggi dalam kurun waktu tahun 2004-2008. Begitu juga halnya dengan jumlah izin usaha yang dikeluarkan. Sejak tahun 2004, terlihat adanya trend peningkatan dengan rata-rata izin usaha yang dikeluarkan sebanyak 344,40 per tahun. Tahun 2008 pun tercatat sebagai tahun dengan jumlah izin usaha tetap terbesar. Meskipun iklim PMA DKI Jakarta terus mengalami perbaikan sejak tahun 2006, namun tingkat daya serap tenaga kerja PMA di provinsi ini masih belum bisa berjalan searah dengan perbaikan iklim PMA. Seperti yang teramati dari Tabel 4, dalam rentang waktu tahun 2006-2008, yaitu masa dimana terjadi trend peningkatan izin usaha PMA DKI Jakarta, peningkatan daya serap tenaga kerja terlihat tidak serta-merta terjadi. Di tahun 2007 justru terjadi penurunan penyerapan tenaga kerja sebesar 11.602 tenaga kerja dibandingkan pada tahun sebelumnya. Tabel 5
Jumlah Izin Usaha Tetap, Nilai Realisasi PMDN dan Daya Serap Tenaga Kerja Investasi PMDN DKI Jakarta Tahun 2004-2008 Jumlah Izin Usaha Tetap Yang Dikeluarkan
Tahun Unit
Pertumbuhan (%)
2004 25 2005 24 -4,00 2006 29 20,83 2007 34 17,24 2008 34 0,00 Rata29,20 16,23 Rata Sumber : Bappenas dan UI. 2009. (diolah).
2.425.851.000.000 2.686.000.000.000 2.781.710.000.000 2.838.339.000.000 3.151.300.000.000
1,78 9,69 3,44 2,00 9,93
Daya Serap Tenaga Kerja Investasi PMDN (orang) 5.820 5.969 6.860 7.653 7.396
2.776.640.000.000
5,37
6.739,60
Nilai Realisasi PMDN Jumlah (Rp.)
Pertumbuhan (%)
Perkembangan realisasi investasi PMDN Provinsi DKI Jakarta dalam kurun waktu tahun 2004-2008 dapat diamati pada Tabel 5. Rata-rata izin usaha yang
dikeluarkan dalam kurun waktu ini teramati sebanyak 29,20 unit per tahun, dengan nilai rata-rata realisasi PMDN per tahunnya mencapai Rp. 2.776,64 miliar. Dampak dari adanya PMDN yang terjadi di provinsi DKI Jakarta, daya serap tenaga kerja dari kegiatan PMDN di provinsi ini masih tetap menunjukan trend peningkatan dari tahun ke tahun hingga tahun 2008. Rata-rata daya serap tenaga kerja dari PMDN provinsi DKI Jakarta adalah sebanyak 6.739,60 tenaga kerja per tahun dalam kurun waktu tahun 2004-2008. Tabel 6
Laju Pertumbuhan PDRB DKI Jakarta Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2004-2008 Lapangan Usaha
Pertanian Pertambangan, dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas, dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel, dan Restoran Pengangkutan, dan Komunikasi Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa Sumber : BPS Pusat. 2005-2009. (diolah).
2004
2005
2006
2007
2008
-1,27 -6,81 5,74 5,66 4,42 6,96 12,63 4,17 4,65
1,05 -7,24 5,07 6,95 5,89 7,89 13,28 4,10 5,06
1,13 1,87 4,97 4,99 7,12 6,47 14,36 3,82 5,56
1,55 0,46 4,60 5,20 7,81 6,88 15,25 4,47 6,08
0,77 0,32 3,87 6,32 7,67 6,25 14,97 4,31 6,05
(Persen) RataRata 0,65 -2,28 4,85 5,82 6,58 6,89 14,10 4,17 5,48
Perkembangan sektor ekonomi pada tahun 2004 hingga 2008 menunjukan bahwa sektor yang memiliki tingkat pertumbuhan yang tinggi adalah sektor-sektor yang tingkat penyerapan tenaga kerjanya rendah dan lebih didominasi oleh sektor tersier, yaitu sektor pengangkutan dan komunikasi dan sektor perdagangan, hotel, dan restoran. Kedua sektor ini tumbuh rata-rata sebesar 14,10 persen dan 6,89 persen. Sementara sektor industri, yang merupakan sektor yang memiliki daya serap tenaga kerja yang tinggi, ternyata hanya tumbuh sebesar 4.85%. Oleh karena itulah dalam mencapai tujuan utama pembangunan ekonomi daerah perlu adanya upaya untuk meningkatkan kesempatan kerja serta merangsang peningkatan aktivitas ekonomi melalui penciptaan iklim investasi dan PDRB yang besar agar tercapai penyerapan tenaga kerja yang tinggi sehingga kesejahteraan masyarakat dapat tercapai.
Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang dianalisis dalam penelitian ini adalah: 1.
Berapakah perubahan kesempatan kerja riil di DKI Jakarta akibat unsur laju pertumbuhan kesempatan kerja nasional, bauran industri dan keunggulan kompetitif yang dimiliki menurut sektor-sektor ekonomi di DKI Jakarta?
2.
Sektor-sektor manakah yang diidentifikasi sebagai sektor basis di DKI Jakarta yaitu sektor yang memiliki kesempatan kerja lebih tinggi dari ratarata nasional?
3.
Bagaimana pengaruh PMA, PMDN, PDRB, dan suku bunga kredit terhadap kesempatan kerja di DKI Jakarta.
1.3.
Tujuan dan Manfaat Penelitian Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis komponen
pembangunan ekonomi daerah dalam kerangka ekonomi regional. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk: 1.
Menganalisis pertumbuhan kesempatan kerja riil di DKI Jakarta akibat unsur laju pertumbuhan kesempatan kerja nasional, bauran industri dan keunggulan kompetitif yang dimiliki menurut sektor-sektor ekonomi.
2.
Menentukan sektor-sektor basis di DKI Jakarta yaitu sektor yang memiliki kesempatan kerja lebih tinggi dari rata-rata nasional, dan
3.
Mengkaji faktor-faktor yang memengaruhi kesempatan kerja di DKI Jakarta. Sedangkan manfaat penelitian yang diharapkan adalah:
1.
Sebagai informasi dan masukan bagi pembuat kebijakan khususnya pemerintah daerah dalam menyusun strategi dan program pembangunan secara lebih terstruktur, efektif dan efisien serta mengetahui sepenuhnya implikasi eksternalitas dari setiap keputusan
yang diambil untuk
perencanaan pembangunan daerah dan menentukan arah pembangunan ekonomi daerah. 2.
Sebagai referensi pembanding dan stimulan bagi penelitian selanjutnya untuk memecahkan masalah yang berkaitan dengan kebijakan ekonomi regional.
Halaman ini sengaja dikosongkan
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Teori Penyerapan Tenaga Kerja Simanjuntak (2001) menjelaskan bahwa tenaga kerja adalah penduduk yang
sudah atau sedang bekerja, yang sedang mencari pekerjaan dan melakukan kegiatan lain seperti bersekolah atau mengurus rumah tangga dengan batasan umur 15 tahun. Pernyataan ini sejalan dengan pendapat Ananta (1990) dan Sitanggang dan Nachrowi (2004) yang menyatakan bahwa tenaga kerja adalah sebagian dari keseluruhan penduduk yang secara potensial dapat menghasilkan barang dan jasa. Sehingga dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa tenaga kerja adalah sebagian penduduk yang dapat menghasilkan barang dan jasa bila terdapat permintaan terhadap barang dan jasa. Angkatan kerja dalam suatu perekonomian digambarkan sebagai penawaran tenaga kerja yang tersedia dalam pasar tenaga kerja. Bellante dan Mark menyatakan bahwa penawaran kerja dipengaruhi oleh tiga komponen, yaitu: jumlah populasi di suatu wilayah, persentase angkatan kerja dan jam kerja (Sitanggang 2003). Konsep permintaan tenaga kerja dapat dijelaskan dalam ilustrasi berikut ini. MPPL;W/P
MPPL1;W/P1 MPPL2;W/P2 Ld=Ld(W/P,K) L L1
L2
Sumber: Crouch, 1992
Gambar 1 Kurva Permintaan Tenaga Kerja Keuntungan yang diperoleh perusahaan akan meningkat pada saat marginal cost (MC) sama dengan marginal revenue (MR). Karena pada pasar persaingan sempurna marginal revenue (MR) sama dengan price (P) maka dapat dirumuskan sebagai berikut: MC = MR = P..............................(1)
12
Apabila tenaga kerja yang digunakan lebih banyak, maka akan menaikan harga per unitnya, disebut juga upah nominal (W). Output yang meningkat karena MPPL mengakibatkan biaya per unit dari output turut meningkat atau biaya marginal (MC) = W/ MPPL. Berdasarkan persamaan (1) dapat ditulis kondisi profit maximization: W = MPPL ..............................(2) P Variabel sebelah kiri pada persamaan (2) adalah perbandingan tingkat upah dengan tingkat harga barang yang disebut dengan upah riil. Artinya, komoditas per orang per periode waktu, yang menunjukan bahwa W memiliki ukuran per orang per periode waktu dan P memiliki ukuran mata uang per komoditas, Jadi:
( Rp / orang ) W waktu = ko mod itas / orang / periodewaktu..............................(3) = P ( Rp / ko mod itas )
Upah riil adalah pengembalian waktu kerja terhadap komoditas. Dengan kata lain adalah kemampuan daya beli terhadap komoditas dari tingkat upah. Misalkan upah riil adalah (W/P). Hal ini adalah ukuran dari keduanya yaitu tingkat upah nominal dan tingkat harga barang yang dikendalikan secara bersamasama oleh upah riil (diasumsikan bahwa perusahaan adalah penerima harga di dalam pasar tenaga kerja dan pasar barang). Pada gambar 1 apabila tingkat upah riil turun ke (W/P)2 maka tenaga kerja L2 yang digunakan, begitu seterusnya. Kombinasi (W/P)1 dan L1 dan (W/P)2 dan L2 adalah indikasi harga dan jumlah tenaga kerja yang diminta kemudian disimpulkan bahwa kurva permintaan tenaga kerja adalah identik dengan kurva MPPL Apabila perusahaan memiliki persediaan modal yang besar, kurva permintaan tenaga kerja akan meningkat karena pada tingkat tenaga kerja yang digunakan, marginal phiysical labour adalah lebih tinggi ketika persediaan modal lebih besar. Ini memiliki hubungan dengan kenyataan yaitu pada tingkat tenaga kerja berapapun, setiap tenaga kerja memiliki bagian yang besar dari tingkat modal untuk bekerja dengan ketika ukuran jumlah modal meningkat. Kemudian dapat ditulis dalam bentuk persamaan sebagai berikut:
13
Ld = Ld (
W , K ), Ld 1 . < 0, Ld 2 > 0.............................(4) P
Permintaan tenaga kerja adalah fungsi dari upah riil dan tingkat modal. Disamping itu, Fungsi investasi mengaitkan jumlah investasi atau pada tingkat bunga riil investasi bergantung pada tingkat bunga riil karena tingkat bunga adalah biaya pinjaman. Fungsi investasi miring ke bawah yaitu ketika tingkat bunga naik, semakin sedikit proyek investasi yang menguntungkan (Mankiw 2000). Suku Bunga Riil (r)
Fungsi Investasi I(r)
Nilai Investasi (I)
Sumber: Mankiw, 2000 Gambar 2 Kurva Investasi Dari Gambar 2 terlihat bahwa kurva investasi memiliki slope negatif sehingga jika suku bunga naik maka akan semakin sedikit proyek investasi yang menguntungkan. Para ekonom membedakan antara tingkat bunga nominal dengan tingkat bunga riil. Tingkat bunga nominal adalah tingkat bunga yang biasa dilaporkan dan merupakan tingkat bunga yang dibayar investor ketika meminjam uang. Tingkat bunga riil mengukur biaya pinjaman yang sebenarnya dan merupakan tingkat bunga yang menentukan tingkat investasi. Tingkat bunga riil merupakan tingkat bunga nominal yang dikoreksi karena pengaruh inflasi. Investasi bergantung pada tingkat bunga riil karena tingkat bunga adalah biaya pinjaman (Mankiw 2000). Persamaan yang menggambarkan hubungan antara tingkat inflasi dengan suku bunga riil adalah sebagai berikut: I = I (r ).............................(5)
Kegiatan investasi akan dilaksanakan apabila tingkat pengembalian modal lebih besar atau sama dengan tingkat bunga. Semakin tinggi tingkat bunga maka
14
tingkat investasi yang dilakukan akan mengalami penurunan. Ketika suku bunga mengalami penurunan, investasi akan mengalami peningkatan (Sukirno 1996).
2.2.
Teori Kesempatan Kerja menurut Keynes Menurut Baldwin (1986), dalam teori Keynes mengenai penentuan
pendapatan nasional, tingkat investasi tergantung dari faktor-faktor yang sama seperti dalam model Neo-Klasik ialah tingkat keuntungan atau hasil-hasil dari pertambahan investasi dan tingkat suku bunga. Lebih jelasnya, para pengusaha akan terus melakukan penanaman-penanaman modal baru selama tingkat persentase keuntungan marjinalnya masih lebih tinggi daripada suku bunganya. Saat penurunan dalam tingkat suku bunga ataupun suatu kenaikan umum dalam tingkat keuntungan dari proyek-proyek investasi sebagai akibat suatu faktor misalnya kemajuan teknologi akan mendorong perluasan penanaman modal. Di lain pihak, tingkat penabungan dalam sistem Keynes tidaklah ditentukan dengan cara yang sama seperti dalam model Neo-Klasik. Keynes menjadikan penabungan (dan penggunaan uang) suatu fungsi hanya dari tingkat pendapatannya. Sedangkan penulis-penulis Neo-Klasik memberi tekanan baik pada segi pendapatan maupun pada segi tingkat suku bunga, terutama pada yang disebut terakhir sebagai faktor-faktor yang menentukan penabungan (pemakaian uang). Dengan menganggap bahwa tingkat suku bunga di pasar sudah tertentu dan dengan mengandaikan adanya suatu jadwal permintaan investasi yang tertentu pula (suatu jadwal efisiensi modal marjinal) maka kita dapat mula-mula menentukan volume investasi yang akan dilakukan oleh dunia usaha. Jika investasi ini dan suatu fungsi penabungan (serta konsumsi) tertentu sudah diketahui maka tingkat keseimbangan pendapatan nasional lalu ditentukan melalui proses pelipat-gandaan (multiplier process). Menurut Keynes, tingkat pendapatan ini mungkin tidak cukup tinggi untuk menciptakan kesempatan kerja bagi seluruh tenaga kerja yang ada. Untuk melihat mengapa tingkat pendapatan ini mungkin tidak cukup tinggi untuk menciptakan kesempatan kerja bagi seluruh tenaga kerja yang ada, maka anggaplah bahwa harga-harga uang dan upah-upah dalam uang bersifat fleksibel
15
sehingga pengangguran turun. Pengaruh dari penurunan-penurunan ini atas kedua komponen pendapatan nasional adalah konsumsi dan investasi. Penurunan harga yang berimbang dengan penurunan tingkat upah tidaklah akan merubah pengeluaran-pengeluaran konsumsi nyata sedangkan kesempatan kerja tergantung pada pengeluaran-pengeluaran untuk konsumsi nyata dan investasi serta tidak akan ada pengaruh penciptaan lapangan kerja dari penurunan harga serta upah. Jika harga-harga turun lebih kecil dari tingkat upah, maka hasil yang sesungguhnya adalah bertambahnya pengangguran. Ini disebabkan oleh akan terjadinya suatu pergeseran dalam pendapatan yang menguntungkan pihak penerima laba yang merupakan suatu golongan pendapatan yang menabung banyak tetapi mengonsumsi sedikit. Penurunan dalam upah uang dan tingkat harga dapat juga menurunkan tingkat suku bunga serta memperbesar investasi. Transaksi-transaksi akan memerlukan lebih sedikit uang dan karenanya akan tersedia lebih banyak uang untuk menaikan harga penawaran kertas-kertas berharga dan menurunkan tingkat suku bunga. Tetapi Keynes menyatakan pula bahwa sekali tingkat suku bunga itu mencapai suatu tingkat rendah tertentu, maka orang-orang dalam sistem ekonomi akan bersedia untuk membiarkan saja semua uang tunai yang disediakan bagi mereka, daripada memanfaatkannya untuk membeli surat-surat berharga yang sudah ada. Tingkat suku bunga tidak akan turun sampai dibawah tingkat ini sedangkan tingkat upah dan harga-harga akan turun. Dengan demikian maka tidak mungkinlah terjadi penambahan investasi lewat jalan ini. Untuk mencegah keruntuhan sistem perekonomian karena harga-harga yang terus turun, maka Keynes mengandaikan bahwa upah uang bersifat fleksibel. Dalam sistem Neo-Klasik tidaklah terdapat perangkap likuiditas yang mencegah turunnya tingkat suku bunga jika harga-harga bersifat fleksibel. Lagipula, jadwal permintaan investasi sangat elastis. Sedikit penurunan tingkat suku bunga akan menghasilkan pertambahan yang besar dalam investasi. Penurunan suku bunga juga akan merangsang kesempatan kerja dengan menaikan kemampuan konsumsi sistem ekonomi dari suatu tingkat pendapatan nyata yang tertentu. Sebagai akibat dari kekuatan-kekuatan ini, pengangguran merupakan suatu masalah yang hanya bersifat sementara dalam model Neo-Klasik.
16
Keynes dan banyak ahli ekonomi lainnya dari tahun 1930-an berpendapat bahwa pengangguran akan tetap bertahan sebagai suatu persoalan jangka panjang kecuali apabila pemerintah memainkan peranan yang lebih besar dalam perekonomian. Dasar yang utama untuk kesimpulan ini adalah pandangan yang pesimis mengenai kesempatan-kesempatan investasi di masa depan. Mereka tidak melihat adanya kemajuan-kemajuan teknologi di dalam bidang investasi, yang dapat disamakan dengan penemuan-penemuan besar abad kesembilanbelas serta awal abad keduapuluh. Daerah-daerah geografi yang dapat dikembangkan tampaknya juga tinggal sedikit, dan bahkan tuntutan investasi dari jumlah penduduk yang berkembang pesat pun sudah menurun. Menurut pandangan mereka maka akibatnya dalam beberapa segi akan lebih buruk daripada keadaan diam menurut teori Klasik. Paling tidak, dalam keadaan diam semua orang mendapatkan pekerjaan. Tetapi di suatu lingkungan di mana terdapat keseimbangan (ekuilibrium) tanpa kesempatan kerja yang penuh, maka tiadanya pertumbuhan yang memadai dan pengangguran massal berjalan berdampingan. Kebijakan utama yang disarankan Keynes untuk mengimbangi prospekprospek buruk bagi investasi swasta adalah penanganan oleh pihak pemerintah yang ditutup dengan pembiayaan defisit. Pengeluaran biaya-biaya ini secara langsung maupun tidak langsung lewat proses pelipat-gandaan (multiplier) akan memperbesar permintaan dalam keseluruhan barang dan jasa dan mengembalikan pendapatan nasional ke tingkat kesempatan kerja yang penuh. Lagipula, karena sumberdaya-sumberdaya yang tersedia tidak sepenuhnya dimanfaatkan, maka peningkatan dalam pengeluaran secara menyeluruh ini dapatlah dicapai tanpa inflasi. Analisa-analisa Keynes ditujukan pada sistem-sistem ekonomi yang sudah berkembang, kebijakan-kebijakan yang dianjurkannya banyak mendapat perhatian di negara-negara yang masih kurang berkembang. Negara-negara ini pun menderita karena pengangguran yang luas. Sebagai akibatnya, rencana investasi yang dibiayai dengan defisit merupakan cara yang mudah bagi tercapainya tujuantujuan pembangunan dan perluasan kesempatan kerja di negara-negara ini. Sayangnya, pengangguran pun biasanya hanya terbatas pada kalangan pekerja yang tidak memiliki sesuatu keterampilan. Selain itu, kapasitas yang berlebihan
17
hanya terdapat dalam industri-industri serta sektor-sektor tertentu saja. Karena adanya kekurangan-kekurangan dan kesulitan-kesulitan dibidang-bidang lain, pembiayaan-pembiayaan dengan defisit sangat mungkin hanya akan menghasilkan suatu kenaikan dalam tingkat harga-harga tanpa disertai penambahan jumlah barang dan jasa.
2.3.
Permintaan Tenaga Kerja dari Sisi Perusahaan Menurut Nainggolan (2009), Dalam memperkirakan penggunaan tenaga
kerja, perusahaan akan melihat tambahan output yang akan diperolehnya sehubungan dengan penambahan seorang tenaga kerja. Untuk menganalisis hal tersebut digunakan beberapa asumsi, ini berarti setiap rumah tangga perusahaan sebagai individu tidak dapat mempengaruhi harga atau menghasilkan produksi (output) maupun untuk faktor-faktor produksi (input) yang digunakan dalam industri adalah suatu faktor yang harus diterima. Tenaga kerja sebagai salah satu faktor produksi dikombinasikan dengan faktor-faktor produksi lainnya khususnya modal akan menghasilkan suatu output berupa barang dan jasa. Oleh karena itu rumah
tangga
perusahaan
dalam
kegiatan
menghasilkan
produksinya
membutuhkan atau meminta jasa tenaga kerja. Dengan
suatu
asumsi
perusahaan
dalam
menghasilkan
outputnya
menggunakan faktor tenaga kerja dan modal (dalam jangka pendek), di mana faktor modal jumlahnya tetap, maka secara matematis fungsi produksi dapat ditulis sebagai berikut: Q = f ( L, K ) dimana : Q = Jumlah output yang dihasilkam L = Jumlah sumber tenaga kerja K = Jumlah sumber modal (jasa barang modal) Model yang akan digunakan untuk menjelaskan kesempatan kerja dapat didekati dari fungsi permintaan Hicksian. Fungsi permintaan Hicksian diturunkan dari kondisi minimisasi biaya sebuah unit usaha. Misalnya untuk memproduksi
18
suatu output diperlukan dua faktor input, yaitu tenaga kerja (L) dengan upah per unitnya w dan modal kerja (K) dengan biaya modal sebesar r. Kondisi tersebut secara matematis dapat ditulis sebagai berikut: Q = f ( K , L)..............................(1) Sedangkan biaya totalnya dapat dijabarkan sebagai berikut: TC = wL + rK ..............................(2) Dengan minimisasi biaya total untuk setiap n faktor input produksi, dan menempatkan persamaan (1) sebagai kendala dan persamaan (2) sebagai tujuan, maka melalui metode langrange fungsi tersebut dapat dinyatakan sebagai berikut: l = wL + rK − λ (Q − f ( K , L)..............................(3) Turunan parsial (pertama) yang merupakan “kondisi perlu” untuk masalah optimasi terhadap K, L dan λ harus sama dengan nol adalah sebagai berikut:
∂l ∂f ( K , L) = lL = w − λ = 0..............................(4) ∂L ∂L ∂l ∂f ( K , L) = lK = r − λ = 0..............................(5) ∂K ∂K ∂l = lλ = Q − f ( K , L) = 0..............................(6) ∂λ Dengan memanipulasi persamaan (4) dan persamaan (5), maka akan diperoleh:
w r w MPL = atau = ..............................(7) MPL MPK r MPK Sedangkan λ secara ekonomi dapat diinterpretasikan sebagai suatu biaya marginal (marginal cost = MC). Dari persamaan (4) dan persamaan (5) dapat diperoleh nilai pengganda langrange sebagai berikut:
λ* =
w r = ..............................(8) MPL MPK
w merupakan harga per unit faktor input tenaga kerja dan r merupakan harga per unit faktor input kapital, sedangkan MPL adalah besarnya tambahan output sebagai akibat adanya kenaikan per unit faktor input tenaga kerja dan MPK adalah besarnya tambahan output sebagai akibat adanya kenaikan per unit faktor input kapital. Dengan demikian:
λ* =
w r = merupakan marginal cost MPL MPK
19
Berdasarkan kondisi tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa dari hasil proses minimisasi total cost (TC) akan diperoleh nilai optimal dari penggunaan faktor input (L,K) dan dengan demikian fungsi permintaan dari faktor input (L,K) ini adalah fungsi dari harga input (w, r) dan tingkat produksinya (Q) yang secara matematika dapat dinyatakan sebagai berikut: L* = L * ( w, r , Q )..............................(9) merupakan fungsi permintaan tenaga kerja. K * = K * ( w, r , Q )..............................(9) merupakan fungsi permintaan kapital.
2.4.
Kesempatan Kerja dan Pertumbuhan Ekonomi Menurut Mankiw (2000), Okun seorang ahli ekonomi, memperkenalkan
Hukum Okun dan menyatakan bahwa terdapat kaitan yang erat antara tingkat pengangguran dengan GDP (Gross Domestic Product) riil, di mana terdapat hubungan yang negatif antara tingkat pengangguran dengan GDP riil. Pernyataan ini dapat diartikan bahwa terdapat hubungan yang positif antara kesempatan kerja dengan GDP riil. Okun menggunakan data tahunan dari Amerika Serikat untuk menunjukan hukum Okun ini seperti terlihat pada Gambar 3. Perubahan Persentase dalam GDP riil
Garis Titik Sebaran Pengamatan
Perubahan dalam tingkat Pengangguran
Sumber: Mankiw, 2000 Gambar 3 Kurva Hukum Okun Gambar 3 di atas ini merupakan titik sebar dari perubahan dalam tingkat pengangguran pada sumbu horizontal dan perubahan persentase dalam GDP riil pada sumbu vertikal. Gambar ini menunjukan dengan jelas bahwa perubahan dalam tingkat pengangguran dari tahun ke tahun sangat erat kaitannya dengan
20
perubahan dalam GDP riil dari tahun ke tahun, seperti terlihat pada garis titik sebar pengamatan yang berslope negatif. Salah satu masalah yang biasa muncul dalam ketenagakerjaan adalah ketidakseimbangan antara permintaan tenaga kerja (demand for labour) dan penawaran tenaga kerja (supply of labour) pada suatu tingkat upah. Ketidakseimbangan tersebut dapat berupa: 1.
Lebih besarnya penawaran tenaga kerja dibanding permintaan tenaga kerja (adanya excess supply of labour).
2.
Lebih besarnya permintaan tenaga kerja dibanding penawaran tenaga kerja (adanya excess demand for labour). Apabila jumlah orang yang menawarkan tenaganya untuk bekerja adalah
sama dengan jumlah tenaga kerja yang diminta, maka tidak akan ada excess supply for labour maupun excess demand for labour. Pada kondisi seperti ini berarti terjadi tingkat upah keseimbangan di mana semua orang yang ingin bekerja telah dapat bekerja, berarti tidak ada orang yang menganggur. Apabila terjadi excess supply of labour berarti ada orang yang menganggur pada tingkat upah tertentu, sedangkan apabila terjadi excess demand of labour berarti masih ada kemungkinan tenaga kerja dapat melakukan negoisasi upah sesuai keinginannya di atas upah keseimbangan. Lewis dalam Subri (2003) mengemukakan bahwa kelebihan pekerja merupakan kesempatan dan bukan suatu masalah, di mana kelebihan pekerja satu sektor ekonomi akan memberikan andil terhadap pertumbuhan output dan penyediaan pekerja di sektor lain. Lebih murahnya biaya upah asal pedesaaan terutama dari sektor pertanian akan dapat menjadi pendorong bagi pengusaha perkotaan untuk memanfaatkan pekerja tersebut dalam pengembangan industri modern perkotaan. Selama berlangsungnya proses industrialisasi, maka kelebihan penawaran pekerja di sektor pertanian akan terserap. Fei-Ranis dalam Subri (2003) mengemukakan bahwa ada tiga tahapan pembangunan ekonomi dalam kondisi kelebihan tenaga kerja. Tahapan tersebut adalah:
21
1.
Para penganggur semu (yang tidak menambah output pertanian) dialihkan ke sektor industri dengan upah institusional yang sama.
2.
Tahap di mana pekerja pertanian menambah output tetapi memproduksi lebih kecil dari upah institusional yang mereka peroleh dapat pula dialihkan ke sektor industri.
3.
Tahap ditandai awal pertumbuhan swasembada pada saat buruh pertanian menghasilkan output lebih besar dari perolehan upah institusional, maka dalam kondisi seperti ini kelebihan pekerja terserap ke sektor jasa dan industri yang meningkat terus-menerus sejalan dengan pertumbuhan output dan perluasan usahanya. Harrod-Domar (Todaro 2000) dalam teori pertumbuhannya menyatakan
bahwa secara definitif tingkat pertumbuhan output (Y) dikurangi dengan tingkat pertumbuhan produktivitas tenaga kerja (Y/L) kurang lebih sama dengan pertumbuhan kesempatan kerja (L). Secara matematis hubungan-hubungan tersebut dapat disajikan sebagai berikut: ∆Y ∆(Y / L) ∆L − = ..............................(1) Y Y/L L
Sementara itu menurut Todaro (2000), bahwa faktor-faktor atau komponen pertumbuhan ekonomi yang penting dalam masyarakat adalah sebagai berikut: 1.
Akumulasi modal, termasuk semua investasi baru dalam bentuk tanah, peralatan fisik, dan sumber daya manusia.
2.
Perkembangan populasi, yang akan mengakibatkan terjadinya pertumbuhan angkatan kerja walaupun terlambat.
3.
Kemajuan teknologi, terutama untuk sektor industri. Dengan menggunakan teori Harrod-Domar, Todaro menekankan bahwa
pertumbuhan ekonomi dapat menciptakan lapangan kerja yang seluas-luasnya dengan lebih mengutamakan perkembangan sektor-sektor ekonomi yang padat karya seperti sektor pertanian dan industri-industri berskala kecil. Apabila pertumbuhan ekonomi dilihat dari pertambahan output dalam bentuk GDP konstan, maka akan menghilangkan unsur inflasi di dalamnya. Sementara itu di sisi lain inflasi ini sebenarnya dapat memicu pertumbuhan ekonomi yang pada
22
akhirnya akan dapat menciptakan kesempatan kerja. Di lain pihak, Arsyad (2000) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi daerah diartikan sebagai kenaikan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) tanpa memandang apakah kenaikan itu lebih besar atau lebih kecil dari tingkat pertumbuhan penduduk atau apakah perubahan struktur ekonomi terjadi atau tidak. Hal ini berarti bahwa pertumbuhan ekonomi daerah secara langsung ataupun tidak langsung akan menciptakan lapangan kerja. Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa tolak ukur dari keberhasilan pembangunan ekonomi suatu daerah diantaranya adalah PDRB daerah tersebut dan pertumbuhan penduduk yang bermuara pada tingkat kesempatan kerja. PDRB menggambarkan kemampuan suatu daerah dalam mengelola sumber daya alam dan faktor-faktor produksi. PDRB juga merupakan jumlah dari nilai tambah yang diciptakan dari seluruh aktivitas ekonomi suatu daerah atau sebagai nilai produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu daerah. Mengambil analisis makro Produk Domestik Regional Bruto, Mankiw (2000) menjelaskan bahwa secara umum PDRB dapat dihitung berdasarkan harga konstan atau berdasarkan harga berlaku. PDRB menurut harga konstan adalah merupakan ukuran kemakmuran ekonomi yang lebih baik sebab perhitungan output barang dan jasa perekonomian yang dihasilkan tidak dipengaruhi oleh perubahan harga.
2.5.
Analisis Sektoral dan Struktur Ekonomi Suatu perekonomian secara umum dapat dianalisis pada dua aspek, yaitu
analisis sektoral dan analisis regional. Kajian tersebut dapat dilakukan untuk tingkat ekonomi nasional maupun untuk tingkat ekonomi daerah (regional/lokal). Analisis sektoral, baik perekonomian tingkat nasional, tingkat regional (subnasional) maupun tingkat subregional dilihat berdasarkan sektor-sektor kegiatan ekonomi atau lapangan usaha. Hingga saat ini sektor-sektor kegiatan ekonomi atau lapangan usaha dibagi menjadi 9 sektor, yaitu: 1.
Sektor Pertanian
2.
Sektor Pertambangan, dan Penggalian
23
3.
Sektor Industri Pengolahan
4.
Sektor Listrik, Gas, dan Air Minum
5.
Sektor Bangunan
6.
Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran
7.
Sektor Pengangkutan, dan Komunikasi
8.
Sektor Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan
9.
Sektor Jasa-jasa
Dari 9 sektor di atas dikelompokan kembali menjadi 3, yaitu: 1.
Sektor Primer meliputi pertanian; dan pertambangan, dan galian
2.
Sektor Sekunder meliputi industri pengolahan; listrik, gas, dan air minum; dan bangunan
3.
Sektor Tersier meliputi perdagangan, hotel, dan restoran; pengangkutan, dan komunikasi; keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan; dan jasa-jasa. Meminjam istilah Kuznets, perubahan struktur ekonomi umum disebut
transformasi struktural dan dapat didefinisikan sebagai suatu rangkaian perubahan yang saling terkait satu dengan yang lainnya dalam komposisi permintaan agregat, perdagangan luar negeri (ekspor dan impor), penawaran agregat (produksi dan penggunaan faktor produksi seperti tenaga kerja dan modal) yang diperlukan guna mendukung proses pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan (Todaro 2000). Struktur ekonomi yang dimaksud disini adalah bangun ekonomi suatu provinsi atas sektor primer (pertanian, peternakan, perikanan, kehutanan), sektor sekunder (manufaktur, konstruksi), dan sektor tersier (jasa). Perbedaan peran antar sektor primer dan sekunder di setiap provinsi, dapat menggambarkan perbedaan tingkat industrialisasi antar provinsi, dimulai dengan struktur ekonomi dengan sifat pertanian yang dominan hingga industri yang dominan. Struktur ekonomi suatu provinsi pada dasarnya dapat ditelaah atau diukur dari 2 indikator pokok. Pertama, diukur dari nilai moneter seluruh barang dan jasa yang dihasilkan oleh berbagai lapangan usaha ekonomi di suatu wilayah pada suatu kurun waktu tertentu. Kedua, diukur dari segi ketenagakerjaan, yakni jumlah penduduk yang
24
bekerja menurut lapangan usaha, status pekerjaan, atau jenis pekerjaannya (Harmini 1997).
2.6.
Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi Istilah pembangunan ekonomi biasanya dikaitkan dengan perkembangan
ekonomi di negara-negara berkembang. Sebagian ahli ekonomi mengartikan istilah pembangunan ekonomi sebagai pertumbuhan ekonomi yang diikuti oleh perubahan
dalam
struktur
corak
kegiatan
ekonomi.
Sedangkan
istilah
pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai perkembangan fisik produksi barang dan jasa yang berlaku di suatu negara (Sukirno 2006). Todaro (2000) mengatakan bahwa proses pertumbuhan ekonomi mempunyai kaitan erat dengan perubahan struktural dan sektoral yang tinggi. Beberapa perubahan komponen utama struktural ini mencakup pergeseran secara perlahanlahan aktivitas sektor pertanian ke sektor nonpertanian dan dari sektor industri ke sektor jasa. Suatu wilayah yang sedang berkembang, proses pertumbuhan ekonominya akan tercermin dari pergeseran sektor ekonomi tradisional yaitu sektor pertanian akan mengalami penurunan disatu sisi dan peningkatan peran sektor nonpertanian disisi lainnya. Dalam teori pertumbuhan ekonomi regional, menurut Ardani (1992) pada dasarnya teori-teori yang mengemukakan tentang pertumbuhan suatu daerah dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu inward looking theory yakni menganalisis pertumbuhan ekonomi yang diakibatkan oleh intern daerah itu sendiri, misalnya the export base theory dan the sector theory dan yang kedua, outward oriented theory yang menekankan pada mekanisme yang mendasari penurunan pertumbuhan ekonomi dari suatu daerah ke daerah lain. Selanjutnya, pendekatan ini dalam penerapannya antara satu dengan yang lainnya dapat saling melengkapi. Sedangkan dari hasil pengamatan empirik Clark dan Fisher (1940) kenaikan pendapatan perkapita di berbagai daerah pada berbagai waktu pada umumnya diikuti dengan pergeseran dan peralihan permintaan secara berangsur-angsur dari sektor produksi primer ke sektor produksi sekunder dan tersier. Hal ini pada
25
gilirannya akan mengakibatkan perubahan dalam struktur produksi melalui pergeseran kesempatan kerja dan alokasi dana. Tingkat produktivitas yang berbeda pada berbagai sektor ekonomi dan terdapatnya laju pertumbuhan yang berbeda diantara sektor-sektor menyebabkan terjadinya pergeseran-pergeseran diantara peran masing-masing sektor terhadap komposisi produk nasional. Hasil produksi sektor pertanian secara absolut dapat terus bertambah akan tetapi kontribusi produk pertanian terhadap produk nasional relatif menurun. Kecenderungan tersebut diikuti oleh meningkatnya produksi sektor industri manufaktur dan sektor jasa. Perubahan struktural juga dapat dilihat dari sudut pergeseran kesempatan kerja, yang dilihat dari jumlah angkatan kerja yang bekerja pada masing-masing sektor produksi. Clark dan Fisher (1940) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa terdapat hubungan yang erat antara perubahan struktur produksi dengan struktur kesempatan kerja menurut sektor. Penyerapan tenaga kerja yang tinggi dapat dicapai dengan: Pertama, peningkatan produktivitas tenaga kerja disetiap sektor; Kedua, bergesernya tenaga kerja dari sektor dengan produktivitas yang lebih rendah ke sektor dengan produktivitas yang lebih tinggi (Suhartono 2009). Kuznets (1966) dari hasil penelitiannya dengan mengumpulkan data yang berasal dari 13 negara maju (Inggris, Perancis, Jerman, Belanda, Denmark, Norwegia, Swedia, Italia, Amerika Serikat, Kanada, Australia, Jepang dan Rusia) ingin menunjukan perubahan sumbangan berbagai sektor ekonomi terhadap produksi nasional dalam proses pembangunan ekonomi. Dari penelitiannya (18011963) Kuznets membuat kesimpulan mengenai corak perubahan persentase kontribusi berbagai sektor dalam pembangunan ekonomi, sebagai berikut (Sukirno 1984): 1.
Sumbangan sektor pertanian terhadap produksi nasional telah menurun di 12 negara yang diteliti. Umumnya pada taraf permulaan dari pembangunan ekonomi, peranan sektor pertanian mendekati 20 persen dan bahkan mencapai hampir 2/3 dari seluruh produksi nasional. Pada masa akhir observasi, peranan sektor pertanian dalam menghasilkan produksi nasional hanya mencapai 20 persen atau lebih rendah di kebanyakan negara. Dengan demikian dalam proses pembangunan, sektor pertanian peranannya telah
26
menurun paling sedikit sebesar 20 persen dan bahkan sampai 30 persen. Pengecualian terjadi di Australia yang dalam delapan dasawarsa peranan sektor pertanian bertambah besar walaupun dalam jangka waktu tersebut kemajuan ekonominya terus menerus berlangsung. 2.
Di 12 negara peranan sektor industri dalam menghasilkan produk nasional meningkat. Pada tahun-tahun awal observasi, kontribusi sektor indusri berkisar 20 sampai 30 persen dari jumlah seluruh produksi nasional. Pada akhir observasi, peranan sektor industri meningkat mencapai 40 persen bahkan ada kalanya mencapai 50 persen dari total produksi nasional.
3.
Selama masa observasi, kontribusi sektor-sektor jasa dalam pembentukan produksi nasional tidak mengalami perubahan yang berarti dalam perubahan tersebut dan tidak konsisten sifatnya. Di Swedia dan Australia, peranannya menurun. Di Kanada dan Jepang peranannya meningkat, dan pada kebanyakan negara peranannya tidak begitu nyata (tidak siginifikan).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penurunan peranan sektor pertanian dalam menciptakan produksi nasional diimbangi dengan kenaikan yang hampir sama besarnya pada sektor industri. Perubahan struktur ekonomi yang digambarkan oleh Kuznets, menunjukan bahwa sektor pertanian mengalami perkembangan
produksi
yang lebih
lamban
dibandingkan
dengan
laju
pertumbuhan sektor industri. Tidak terdapatnya perubahan kontribusi sektor jasa dalam produksi nasional, yang berarti perkembangan sektor jasa adalah sama dengan tingkat pertumbuhan produksi nasional.
2.7.
Konsep Otonomi Daerah Semenjak bergulirnya reformasi, masyarakat menuntut kesungguhan
pemerintah dalam menjalankan pemerintahan yang adil dan merata. Oleh karenanya lahir UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Selain itu, untuk mendukung kedua UU tersebut pemerintah juga telah mengesahkan 2 UU baru pada 15 Oktober 2004 yaitu UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Berdasarkan
27
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas daerah tertentu yang berwenang mengelola, mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Sedangkan desentralisasi dan otonomi daerah menurut UU No. 22 Tahun 1999 adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Daerah Otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sementara itu, dalam penjelasan UU No. 25 Tahun 1999 dikatakan bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerahdaerah kabupaten dan kota. Dan tiap-tiap daerah tersebut mempunyai hak dan kewajiban mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat. Sejalan dengan perkembangannya, konsep otonomi daerah pada UU No. 22 Tahun 1999 mengalami penyempurnaan pada UU No. 32 Tahun 2004. Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 pasal 10 ayat (3) otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Menurut undangundang tersebut, otonomi daerah mencakup semua bidang kecuali pada bidangbidang tertentu, seperti politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter, fiskal, dan agama. Bidang-bidang tersebut tetap menjadi urusan pemerintah pusat. Menurut tinjauan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ada tiga alasan pemerintah meninjau ulang pelaksanaan otonomi daerah dengan mengadakan revisi terhadap UU No. 22 tahun 1999. Ketiga alasan tersebut adalah sebagai berikut: 1.
Kewenangan yang besar dari DPRD (provinsi dan kabupaten/kota) sebagai akibat berubahnya DPRD yang semula merupakan bagian dari pemerintah daerah menjadi lembaga legislatif di daerah. Praktek money politics (tawarmenawar dalam memperoleh dana) diantara aparat pemerintahan pun mudah terjadi.
28
2.
Kecenderungan banyak pemerintah kebupaten/kota untuk meningkatkan PAD (Pendapatan Asli Daerah) dan sumber-sumber penghasil dana dengan cara menaikkan retribusi dan pajak. Dalam jangka panjang, peningkatan retribusi dan pajak justru akan merugikan daerah yang bersangkutan karena menyulitkan para pedagang dan pengusaha serta menjauhkan para calon investor. Di negara maju, menaikkan pajak adalah langkah terakhir yang ditempuh
pemerintah
untuk
menaikkan
pendapatan
negara karena
merugikan rakyat banyak. 3.
Adanya masalah hierarki antara pemerintah daerah pada tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota. Kewenangan yang besar yang diberikan kepada kabupaten/kota menimbulkan persepsi di kalangan pejabat pemerintah daerah bahwa mereka tidak lagi terikat dan tunduk kepada pemerintah pusat tingkat provinsi. Padahal kenyataannya peran gubernur masih tetap penting dalam mengkoordinir para bupati/walikota agar tercipta kerjasama yang baik dan dikuranginya benturan-benturan di antara mereka. Sehingga dengan adanya revisi terhadap UU No. 22 Tahun 1999 menjadi
UU No. 32 Tahun 2004 semakin jelas untuk lebih memfokuskan pada tujuan desentralisasi dan otonomi daerah dalam konteks nasional yakni memelihara keutuhan negara dan bangsa, melembagakan proses seleksi kepemimpinan nasional dan mempercepat pencapaian kemakmuran rakyat. Tujuan desentralisasi dan otonomi daerah adalah untuk mewujudkan demokrasi di tingkat lokal, meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, menciptakan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintah daerah serta melindungi hak-hak masyarakat lokal (LIPI 2002 dalam Nada 2009).
2.8.
Penyerapan Tenaga Kerja dan Kesempatan Kerja Adanya pertumbuhan penduduk yang tinggi akan menimbulkan berbagi
persoalan dan hambatan dalam upaya-upaya pembangunan yang dilakukan oleh setiap negara. Karena dengan adanya pertumbuhan penduduk yang tinggi akan menyebabkan tingginya pertambahan jumlah struktur umur muda yang pada akhirnya akan berdampak pada meningkatnya jumlah tenaga kerja sedangkan
29
negara terutama negara-negara yang sedang berkembang memiliki kemampuan yang sangat terbatas dalam menyediakan kesempatan kerja baru. Jika hal tersebut diabaikan tentu saja adanya pertumbuhan penduduk akan menimbulkan berbagai persoalan terutama terkait pada jumlah pengangguran yang semakin meningkat. Penduduk memiliki 2 peranan dalam pembangunan ekonomi. Satu dari segi permintaan dan yang lain dari segi penawaran. Dari segi permintaan penduduk bertindak sebagai konsumen dan dari segi penawaran penduduk bertindak sebagai produsen. Oleh karena itu perkembangan penduduk yang cepat tidaklah selalu merupakan penghambat bagi jalannya pembangunan ekonomi jika penduduk ini mempunyai kapasitas yang tinggi untuk menghasilkan dan menyerap hasil produksi yang dihasilkan. Ini berarti bahwa tingkat pertambahan penduduk yang tinggi disertai dengan tingkat penghasilan yang tinggi pula. Jadi pertambahan penduduk yang rendah tidak ada gunanya bagi pembangunan ekonomi (Irawan dan Suparmoko 1992). Penduduk juga dapat dapat dikelompokkan menjadi 2 bagian, yaitu Penduduk Usia Kerja (PUK) yang di Indonesia dibatasi pada umur 15 tahun ke atas dan Penduduk Diluar Usia Kerja (PDUK). Penduduk Usia Kerja (PUK) atau yang sering disebut tenaga kerja terdiri dari penduduk angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Angkatan kerja (labour force) didefinisikan sebagai jumlah orang yang bekerja ditambah dengan jumlah orang yang menganggur atau mencari pekerjaan. Sedangkan penduduk kelompok bukan angkatan kerja adalah penduduk dalam usia kerja yang tidak bekerja dan yang belum ingin bekerja seperti golongan orang yang sedang bersekolah, golongan ibu rumah tangga, dan golongan lainnya seperti penduduk yang cacat mental atau sebab-sebab lain sehingga tidak produktif (Widodo 1990). Ketenagakerjaan merupakan aspek yang sangat mendasar dalam kehidupan manusia karena mencakup dimensi ekonomi dan sosial. Salah satu sasaran utama pembangunan Indonesia adalah terciptanya lapangan kerja baru dalam jumlah dan kualitas yang memadai agar dapat menyerap tambahan angkatan kerja yang memasuki pasar kerja setiap tahun. Upaya pembangunan pada setiap negara selalu diarahkan pada perluasan kesempatan kerja dan berusaha agar setiap penduduknya
30
dapat memperoleh manfaat langsung dari pembangunan. Keterlibatan penduduk dalam kegiatan ekonomi suatu negara dapat diukur dengan porsi penduduk yang masuk dalam pasar kerja (bekerja atau mencari pekerjaan). Kesempatan kerja memberikan gambaran besarnya jumlah penyerapan pasar kerja sehingga angkatan kerja yang tidak terserap merupakan masalah suatu negara karena menganggur (Sitanggang 2003). Menurut Suhartono (2009), proporsi penduduk yang bekerja menurut lapangan usaha biasa dipakai sebagai salah satu ukuran untuk melihat potensi sektor perekonomian dalam menyerap tenaga kerja. Indikator tersebut juga dapat digunakan sebagai salah satu ukuran untuk menunjukan struktur perekonomian suatu wilayah. Transformasi ketenagakerjaan menurut lapangan pekerjaan erat kaitannya dengan transformasi struktur produksi dan perbedaan pertumbuhan produktivitas per pekerja menurut sektor atau lapangan pekerjaan yang terjadi selama pertumbuhan ekonomi berlangsung. Perkembangan produktivitas per pekerja di suatu negara biasanya dipengaruhi oleh: (1) perkembangan stok barang modal per pekerja; (2) perkembangan mutu tenaga kerja yang tercermin pada perbaikan pendidikan, keterampilan dan kesehatan pekerja; (3) peningkatan skala unit usaha; (4) pergeseran pekerja dari kegiatan yang relatif lebih rendah produktivitasnya ke yang lebih tinggi; (5) perubahan product mix atau komposisi output pada masing-masing sektor atau subsektor; dan (6) pergeseran teknik produksi dari padat karya ke padat modal. Proses akumulasi yang terjadi selama pertumbuhan ekonomi menyebabkan antara lain timbulnya gejala: 1.
Perkembangan stok barang modal per pekerja
2.
Perkembangan mutu tenaga kerja yang tercermin pada perbaikan pendidikan, keterampilan dan kesehatan pekerja
3.
Peningkatan skala unit usaha
4.
Pergeseran pekerja dari kegiatan yang relatif lebih rendah produktivitasnya ke yang lebih tinggi
Oleh karena itu, pada umumnya produktivitas pekerja pada tiap-tiap lapangan pekerjaan mengalami kenaikan. Namun demikian, karena proses akumulasi yang terjadi pada masing-masing sektor dan lapangan pekerjaan tidak terjadi dengan
31
kecepatan yang sama, perkembangan produktivitas pada masing-masing sektor dan lapangan pekerjaan juga berbeda-beda. Proses akumulasi di sektor pertanian biasanya berlangsung lebih lambat dari sektor-sektor nonpertanian, sehingga laju pertumbuhan produktivitas di sektor tersebut menjadi lebih lambat dari sektorsektor nonpertanian. Bersamaan dengan pergeseran yang terjadi pada struktur PDB/PDRB, struktur ketenagakerjaan juga mengalami pergeseran baik menurut sektor maupun lapangan pekerjaan. Menurut sektornya, ketenagakerjaan terdiri dari sektor pertanian, industri, dan jasa. Rincian sektor dapat dilihat dari lapangan pekerjaan yang dibagi menjadi 9 sektor seperti berikut ini: (1) pertanian; (2) pertambangan, dan penggalian; (3) industri pengolahan; (4) listrik, gas, dan air bersih; (5) bangunan; (6) perdagangan, hotel, dan restoran; (7) pengangkutan, dan komunikasi; (8) keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan; (9) jasa-jasa. Permintaan tenaga kerja menurut Haryani (2002), berkaitan dengan jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan oleh perusahaan atau instansi secara keseluruhan. Berapa jumlah tenaga kerja yang diminta di pasar tenaga kerja ditentukan oleh faktor-faktor seperti: tingkat upah, teknologi, produktivitas, kualitas tenaga kerja, fasilitas modal, produk domestik regional bruto, dan tingkat suku bunga. 1.
Tingkat Upah Tingkat upah akan mempengaruhi tingi rendahnya biaya produksi perusahaan. Kenaikan tingkat upah akan mengakibatkan kenaikan biaya produksi, yang selanjutnya akan meningkatkan harga per unit produk yang dihasilkan. Apabila harga per unit produk yang dijual ke konsumen naik, reaksi yang biasanya timbul adalah mengurangi pembelian atau bahkan tidak lagi membeli produk tersebut. Kondisi ini memaksa produsen untuk mengurangi jumlah produk yang dihasilkan, yang selanjutnya juga dapat mengurangi permintaan tenaga kerja. Penurunan jumlah tenaga kerja akibat perubahan skala produksi disebut efek skala produksi (scale effect). Suatu kenaikan upah dengan asumsi harga barang-barang modal yang lain tetap, maka pengusaha mempunyai kecenderungan untuk menggantikan tenaga kerja dengan mesin. Penurunan jumlah tenaga kerja akibat adanya penggantian dengan mesin disebut efek subtitusi (subtitution effect).
32
2.
Teknologi Penggunaan teknologi dalam perusahaan akan mempengaruhi berapa jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan. Kecanggihan teknologi saja belum tentu mengakibatkan penurunan jumlah tenaga kerja. Karena dapat terjadi kecanggihan teknologi akan menyebabkan hasil produksi yang lebih baik, namun kemampuanya dalam menghasilkan produk dalam kuantitas yang sama atau relatif sama. Dalam menentukan permintaan tenaga kerja lebih dipengaruhi oleh kemampuan mesin untuk menghasilkan produk dalam kuantitas yang jauh lebih besar daripada kemampuan manusia. Misalnya, mesin huller (penggilingan padi) akan mempengaruhi permintaan tenaga kerja untuk menumbuk padi.
3.
Produktivitas Berapa jumlah tenaga kerja yang diminta dapat ditentukan oleh seberapa tingkat produktivitas dari tenaga kerja itu sendiri. Apabila untuk menyelesaikan suatu proyek tertentu dibutuhkan 30 karyawan dengan produktivitas standar yang bekerja selama 6 bulan. Namun dengan karyawan yang produktivitasnya melebihi standar, proyek tersebut dapat diselesaikan oleh 20 karyawan dengan waktu 6 bulan
4.
Kualitas Tenaga Kerja Pembahasan mengenai kualitas ini berhubungan erat dengan pembahasan mengenai produktivitas. Mengapa demikian, karena dengan tenaga kerja yang berkualitas menyebabkan produktivitas meningkat. Kualitas tenaga kerja ini tercermin dari tingkat pendidikan, keterampilan, pengalaman, dan kematangan tenaga kerja dalam bekerja.
5.
Fasilitas Modal Dalam prakteknya faktor-faktor produksi baik sumberdaya manusia maupun sumberdaya non manusia seperti modal tidak dapat dipisahkan dalam menghasilkan barang atau jasa. Pada suatu industri, dengan asumsi faktorfaktor produksi yang lain konstan, maka semakin besar modal yang ditanamkan akan semakin besar permintaan tenaga kerja. Misalnya, dalam suatu industri rokok dengan asumsi faktor-faktor lain konstan, maka apabila
33
perusahaan menambah modalnya, maka jumlah tenaga kerja yang diminta juga bertambah. Fasilitas modal yang pada umumnya disebut sebagai penanaman modal atau investasi berasal dari 2 sumber, diantaranya: a. Investasi Asing Investasi asing atau biasa disebut Penanaman Modal Asing (PMA) adalah salah suatu bentuk penghimpunan modal guna menunjang proses pembangunan ekonomi yang bersumber dari luar negeri. Salvatore (1997) menjelaskan bahwa PMA terdiri atas: 1). Investasi portofolio (portfolio investment), yakni investasi yang melibatkan hanya aset-aset finansial saja, seperti obligasi dan saham, yang didenominasikan atau ternilai dalam mata uang nasional. Kegiatan-kegiatan investasi portofolio atau finansial ini biasanya berlangsung melalui lembaga-lembaga keuangan seperti bank, perusahaan dana investasi, yayasan pensiun, dan sebagainya. 2). Investasi asing langsung (foreign direct investment), merupakan PMA yang meliputi investasi ke dalam aset-aset secara nyata berupa pembangunan pabrik-pabrik, pengadaan berbagai macam barang modal, pembelian tanah untuk keperluan produksi, dan sebagainya. Wiranata (2004) berpendapat bahwa investasi asing secara langsung dapat dianggap sebagai salah satu sumber modal pembangunan ekonomi yang penting. Semua negara yang menganut sistem ekonomi terbuka, pada umumnya memerlukan investasi asing, terutama perusahaan yang menghasilkan barang dan jasa untuk kepentingan ekspor. Di negara maju seperti Amerika, modal asing (khususnya dari Jepang dan Eropa Barat) tetap dibutuhkan guna memacu pertumbuhan ekonomi domestik, menghindari kelesuan pasar dan penciptaan kesempatan kerja. Apalagi di negara berkembang seperti Indonesia, modal asing sangat diperlukan terutama sebagai akibat dari modal dalam negeri yang tidak mencukupi. Untuk itu berbagai kebijakan di bidang penanaman modal perlu diciptakan dalam upaya menarik pihak luar negeri untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
34
Undang-undang yang mengatur PMA di Indonesia pertama kali ditetapkan berdasarkan UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing yang kemudian disempurnakan oleh UU No. 11 Tahun 1970 juga mengenai Penanaman Modal Asing. Di dalam UU tersebut terdapat berbagai kemudahan yang dilengkapi dengan berbagai kebijakan dalam paket-paket deregulasi yang berkaitan dengan investasi asing. Hal ini dimaksudkan untuk lebih menarik investor dalam menanamkan modalnya untuk berinvestasi di Indonesia guna memenuhi kebutuhan sumber-sumber pembiayaan pembangunan b. Investasi Dalam Negeri Investasi Dalam Negeri biasa dikenal dengan istilah Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) adalah bentuk upaya dalam rangka menambah modal guna menunjang pembangunan nasional maupun wilayah melalui investor dalam negeri. Modal yang diperoleh dari dalam negeri ini dapat berasal dari pihak swasta ataupun dari pemerintah. Upaya dalam mencatat nilai penanaman modal yang dilakukan dalam satu tahun tertentu yang digolongkan sebagai investasi dalam negeri, meliputi pengeluaran atau pembelanjaan untuk: 1). Seluruh nilai pembelian para pengusaha dalam negeri atas barang modal dan membelanjakan untuk mendirikan industri-industri. 2). Pengeluaran masyarakat untuk mendirikan tempat tinggal. 3). Pertambahan dalam nilai stok barang-barang perusahaan yang sumber pengadaannya berasal dari modal domestik berupa bahan mentah, barang yang belum diproses dan barang jadi. Undang-undang yang mengatur PMDN di Indonesia pertama kali ditetapkan berdasarkan UU No. 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri yang kemudian disempurnakan oleh UU No. 12 Tahun 1970 juga mengenai Penanaman Modal Dalam Negeri. 6.
Produksi Domestik Regional Bruto (PDRB) Produk Domestik Regional Bruto (Gross Regional Domestic Product, GRDP) adalah total nilai atau harga pasar (market price) dari seluruh barang dan jasa akhir (final goods and services) yang dihasilkan oleh suatu
35
perekonomian daerah selama kurun waktu tertentu (biasanya satu tahun). PDRB adalah konsep pengukuran tingkat kegiatan produksi dan ekonomi aktual suatu wilayah. PDRB merupakan salah satu ukuran atau indikator yang secara luas digunakan untuk mengukur kinerja ekonomi daerah (regional economic performance) atau kegiatan makroekonomi daerah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa PDRB dapat dijadikan suatu indikator untuk mengetahui dan mengukur kondisi perekonomian maupun pertumbuhan ekonomi pada suatu wilayah pada kurun waktu tertentu. Konsep PDRB dapat diartikan sebagai salah satu ukuran kemajuan dalam suatu
masyarakat,
karena
dapat
mencerminkan
kemampuan
atau
keberhasilan masyarakat dalam memperoleh pendapatan. Disamping itu PDRB juga dapat digunakan untuk dijadikan bahan evaluasi dari hasil pembangunan ekonomi yang telah dilaksanakan baik oleh pemerintah, swasta maupun masyarakat umum lainnya. 7.
Suku Bunga dalam Investasi Suku Bunga adalah harga yang dibayar peminjam (debitur) kepada pihak yang meminjamkan (kreditur) untuk pemakaian sumber daya selama interval waktu tertentu. Jumlah pinjaman yang diberikan disebut prinsipal dan harga yang dibayar biasanya diekspresikan sebagai persentase dari prinsipal per unit waktu (umumnya, setahun) (Fabozzi et al. 1994). Investasi yang ditanamkan pada suatu negara atau daerah, ditentukan oleh beberapa faktor, yang antara lain: suku bunga, ekspektasi tingkat return, tingkat pertumbuhan ekonomi, tingkat laba perusahaan, situasi politik, kemajuan teknologi dan kemudahan-kemudahan dari pemerintah (Kelana dalam Rachman 2005). Suku bunga menentukan jenis-jenis investasi yang akan memberikan keuntungan kepada para pemilik modal (investor). Para investor hanya akan menanamkan modalnya apabila tingkat pengembalian modal dari modal yang ditanamkan (return of investment), yaitu berupa persentase keuntungan netto (belum dikurangi dengan suku bunga yang dibayar) yang diterima lebih besar dari suku bunga. Seorang investor mempunyai dua pilihan di dalam menggunakan modal yang dimilikinya yaitu dengan meminjamkan
36
atau membungakan uang tersebut (deposito), dan menggunakannya untuk investasi (Nainggolan 2009). Suku bunga kredit perbankan merupakan biaya opportunitas dalam pembentukan investasi oleh sektor bisnis, sehingga peningkatan suku bunga kredit perbankan akan menurunkan tingkat investasi dan kemudian menurunkan pertumbuhan ekonomi. Penurunan intensitas persaingan bank akan meningkatkan penawaran kredit perbankan atau berasosiasi positif dengan struktur kredit perbankan. Peningkatan struktur kredit perbankan akibat penurunan intensitas persaingan bank akan meningkatkan investasi sektor riil dan kemudian mendorong pertumbuhan ekonomi (Bank Indonesia 2007). Ramalan mengenai keuntungan dimasa depan akan memberikan gambaran pada investor mengenai jenis usaha yang prospektif dan dapat dilaksanakan dimasa depan dan besarnya investasi yang harus dilakukan untuk memenuhi tambahan barang-barang modal yang diperlukan. Dengan bertambahnya pendapatan nasional maka tingkat pendapatan masyarakat akan meningkat, daya beli masyarakat juga meningkat, total aggregat demand meningkat yang pada akhirnya akan mendorong tumbuhnya investasi lain (Nainggolan 2009).
2.7.
Analisis Shift Share Menurut Priyarsono, et al (2007), analisis Shift Share adalah salah satu alat
analisis yang digunakan untuk mengidentifikasi sumber pertumbuhan ekonomi baik dari sisi pendapatan maupun dari sisi tenaga kerja pada suatu wilayah tertentu. Keunggulan utama dari analisis Shift Share adalah dapat melihat perkembangan produksi atau kesempatan kerja di suatu wilayah hanya dengan menggunakan 2 (dua) titik waktu data. Data yang digunakan juga mudah diperoleh dan relatif tersedia di setiap wilayah, yaitu data PDRB, PDB dan penyerapan tenaga kerja di masing-masing sektor. Analisis Shift Share mempunyai banyak kegunaan, diantaranya adalah untuk melihat hal-hal berikut:
37
1.
Perkembangan
sektor
perekonomian
di
suatu
wilayah
terhadap
perkembangan ekonomi wilayah yang lebih luas 2.
Perkembangan sektor-sektor perekonomian jika dibandingkan secara relatif dengan sektor-sektor lainnya
3.
Perkembangan suatu wilayah dibandingkan dengan wilayah lainnya sehingga dapat membandingkan besarnya aktivitas suatu sektor pada wilayah tertentu dan pertumbuhan antar wilayah
4.
Perbandingan laju sektor-sektor perekonomian di suatu wilayah dengan laju pertumbuhan perekonomian nasional dan sektor-sektornya Secara umum, terdapat 3 (tiga) komponen utama dalam analisis Shift Share
(Budiharsono 2001), yakni: 1.
Komponen pertumbuhan nasional (national growth component) Komponen
pertumbuhan
nasional
(PN)
adalah
perubahan
produksi/kesempatan kerja suatu wilayah yang disebabkan oleh perubahan produksi/kesempatan kerja nasional, perubahan kebijakan ekonomi nasional atau perubahan dalam hal-hal yang mempengaruhi perekonomian semua sektor dan wilayah. Beberapa contoh diantaranya adalah kecenderungan inflasi, pengangguran dan kebijakan perpajakan. 2.
Komponen bauran industri (industrial mix component) Komponen bauran industri (BI) timbul karena perbedaan sektor dalam permintaan produk akhir, perbedaan dalam ketersediaan bahan mentah, perbedaan dalam kebijakan industri (seperti kebijakan perpajakan, subsidi dan price support) dan perbedaan dalam struktur dan keragaman pasar.
3.
Komponen keunggulan kompetitif (competitive advantage component) Komponen keunggulan kompetitif (KK) timbul karena peningkatan atau penurunan PDRB atau kesempatan kerja dalam suatu wilayah dibandingkan dengan wilayah lainnya. Cepat lambatnya pertumbuhan suatu wilayah dibandingkan dengan wilayah lainnya ditentukan oleh keunggulan komparatif, akses pasar, dukungan kelembagaan, prasarana sosial ekonomi serta kebijakan ekonomi regional pada wilayah tersebut. Hubungan antara ketiga komponen tersebut selengkapnya disajikan pada
Gambar 4. Berdasarkan ketiga komponen pertumbuhan wilayah tersebut dapat
38
ditentukan dan diidentifikasi perkembangan suatu sektor ekonomi pada suatu wilayah. Apabila BI+KK ≥ 0 maka dapat dikatakan bahwa pertumbuhan sektor ke i di wilayah ke j termasuk ke dalam kelompok progresif (maju). Sementara itu, BI+KK < 0 menunjukan bahwa pertumbuhan sektor ke i pada wilayah ke j tergolong pertumbuhannya lambat. Suatu sektor disebut maju jika perkembangan sektor tersebut pada periode berikutnya dinilai relatif lebih baik dibandingkan dengan sektor yang sama di wilayah referensinya, dan sebaliknya yang dimaksud dengan sektor yang lambat adalah perkembangan sektor tersebut pada periode selanjutnya dinilai lebih buruk dibandingkan dengan sektor yang sama di wilayah referensinya. Secara matematis rumus analisis Shift Share adalah: yit − y io = ∆y = yio {[Yt Yo ] − 1} + yio {[Yit Yio ] − [Yt Yo ]} + y io {[ yit y io ] − [Yit Yio ]} dimana komponen: yio {[Yt Yo ] − 1}
= unsur pertumbuhan nasional
= [G]
yio {[Yit Yio ] − [Yt Yo ]}
= unsur bauran industri
= [M]
yio {[ y it y io ] − [Yit Yio ]} = unsur keunggulan kompetitif
Maju BI+KK ≥ 0
Komponen Pertumbuhan Nasional Wilayah ke-j Sektor ke-i
= [S]
Wilayah ke-j Sektor ke-i
Komponen Bauran Industri (BI)
Komponen Keunggulan Kompetitif (KK)
Lambat BI+KK < 0
Sumber : Budiharsono, 2001
Gambar 4 Model Analisis Shift Share Dalam analisis Shift Share, komponen pertama [G] disebut komponen “Share”, sedangkan komponen kedua [M] dan ketiga [S] disebut komponen “Shift”. Perhitungan analisis Shift Share diperoleh dengan menjumlahkan ketiga komponen diatas dan hasilnya harus sama dengan total perubahan dari data industri/sektor yang ada di daerah (∆y) (Bendavid 1991). keterangan:
39
∆y
= Pertumbuhan total tenaga kerja daerah penelitian periode t (orang)
y io
= Jumlah tenaga kerja sektor i daerah penelitian di tahun awal (orang)
yit
= Jumlah tenaga kerja sektor i daerah penelitian di tahun akhir (orang)
Yio
= Jumlah tenaga kerja sektor i nasional di tahun awal (orang)
Yit
= Jumlah tenaga kerja sektor i nasional di tahun akhir (orang)
Yo
= Jumlah total tenaga kerja nasional di tahun awal (orang)
Yt
= Jumlah total tenaga kerja nasional di tahun akhir (orang)
Evaluasi Kinerja Sektor-sektor dan Aplikasi Analisis Shift Share Menurut Priyarsono et al. (2007), untuk mengevaluasi profil pertumbuhan sektor-sektor perekonomian dapat dilakukan dengan menggunakan bantuan 4 kuadran yang terdapat pada garis bilangan. Sumbu horizontal menggambarkan persentase perubahan komponen bauran industri (BIij), sedangkan sumbu vertikal merupakan persentase perubahan komponen keunggulan kompetitif (KKij). Dengan demikian pada sumbu horizontal terdapat BI sebagai absis, sedangkan pada vertikal terdapat KK sebagai ordinat. Penjelasan masing-masing kuadran yang terdapat pada Gambar 5 di atas adalah sebagai berikut: 1.
Kuadran I merupakan kuadran di mana BI dan KK sama-sama bernilai positif. Hal ini menunjukan bahwa sektor-sektor di wilayah yang bersangkutan memiliki pertumbuhan yang cepat (dilihat dari nilai BI-nya) dan memiliki daya saing yang lebih baik apabila dibandingkan dengan wilayah-wilayah lainnya (dilihat dari nilai KK-nya).
2.
Kuadran II menunjukan bahwa sektor-sektor ekonomi yang ada di wilayah yang bersangkutan pertumbuhannya cepat (BI-nya bernilai positif) tetapi daya saing wilayah untuk sektor-sektor tersebut dibandingkan dengan wilayah lainnya kurang baik (dilihat dari KK yang bernilai negatif).
3.
Kuadran III merupakan kuadran di mana BI dan KK bernilai negatif. Hal ini menunjukan bahwa sektor-sektor ekonomi di wilayah yang bersangkutan
40
memiliki pertumbuhan yang lambat dengan daya saing yang kurang baik jika dibandingkan dengan wilayah lain. 4.
Kuadran IV menunjukan bahwa sektor-sektor ekonomi pada wilayah yang bersangkutan memiliki pertumbuhan yang lambat (dilihat dari BI yang bernilai negatif) tetapi daya saing wilayah untuk sektor-sektor tersebut baik jika dibandingkan dengan wilayah lainnya (dilihat dari KK yang bernilai positif). Kuadran IV
Kuadran I
%M
%S Kuadran III
Kuadran II
Sumber : Budiharsono, 2001
Gambar 5 Profil Pertumbuhan Sektor Perekonomian Pada kuadran di atas terdapat garis yang memotong Kuadran II dan Kuadran IV yang membentuk sudut 45º. Garis tersebut merupakan garis yang menunjukan nilai pergeseran bersih. Di sepanjang garis tersebut pergeseran bersih bernilai nol (PB.j=0). Bagian atas garis tersebut menunjukan PB.j>0 yang mengindikasikan bahwa wilayah-wilayah/sektor-sektor tersebut pertumbuhannya progresif (maju). Sebaliknya, di bawah garis 45º berarti PB.j<0, menunjukan wilayahwilayah/sektor-sektor yang lamban. Secara matematis nilai pergeseran bersih (PB) sektor i pada wilayah j dapat dirumuskan sebagai berikut: PBij = BIij + KKij
keterangan: PBij
= Pergeseran bersih sektor i pada wilayah j
41
= Komponen bauran industri sektor i pada wilayah j
BIij
KKij = Komponen keunggulan kompetitif sektor i pada wilayah j
apabila: PBij > 0 maka pertumbuhan sektor i pada wilayah j termasuk ke dalam kelompok
progresif (maju) PBij < 0 maka pertumbuhan sektor i pada wilayah j termasuk ke dalam kelompok lamban
2.8.
Teori Ekonomi Basis Dalam teori ekonomi basis, perekonomian di suatu daerah dibagi menjadi 2
sektor utama, yaitu sektor basis dan sektor nonbasis. Sektor basis adalah sektor yang mengekspor barang dan jasa ataupun tenaga kerja ke tempat-tempat di luar batas perekonomian daerah yang bersangkutan. Disamping barang, jasa dan tenaga kerja, ekspor sektor basis dapat juga berupa pengeluaran orang asing yang berada di daerah tersebut terhadap barang-barang yang tidak bergerak, seperti tempat-tempat wisata, peninggalan sejarah, museum dan sebagainya. Adapun sektor nonbasis adalah sektor yang menyediakan barang dan jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat yang bertempat tinggal di dalam batas-batas daerah itu sendiri. Sektor ini tidak mengekspor barang, jasa maupun tenaga kerja sehingga luas lingkup produksi dan daerah pasar sektor nonbasis hanya bersifat lokal (Glasson 1977). Menurut Priyarsono et al. (2007) secara teoritis, sektor mana saja yang merupakan sektor basis dan nonbasis di suatu daerah tidaklah bersifat statis melainkan dinamis. Artinya, pada tahun tertentu mungkin saja sektor tersebut merupakan sektor basis, namun pada tahun berikutnya belum tentu sektor tersebut secara otomatis menjadi sektor basis. Sektor basis atau nonbasis bisa dapat mengalami kemajuan ataupun kemunduran. Sehingga definisi dari sektor basis dan nonbasis dapat saja bergeser setiap tahunnya. Adapun sebab-sebab kemajuan sektor basis adalah: 1.
Perkembangan jaringan transportasi dan komunikasi
2.
Perkembangan pendapatan dan penerimaan daerah
42
3.
Perkembangan teknologi
4.
Adanya pengembangan prasarana ekonomi dan sosial
Di satu sisi, penyebab kemunduran sektor basis atau nonbasis adalah: 1.
Adanya penurunan permintaan di luar daerah
2.
Kehabisan cadangan sumber daya Menurut Glasson (1977) semakin banyak sektor basis dalam suatu daerah
akan menambah arus pendapatan ke daerah tersebut, menambah permintaan terhadap barang dan jasa di dalamnya dan menimbulkan kenaikan volume sektor nonbasis. Dengan kata lain, sektor basis berhubungan langsung dengan permintaan dari luar, sedangkan sektor nonbasis berhubungan secara tidak langsung, yaitu melalui sektor basis terlebih dahulu. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sektor basis merupakan penggerak utama dalam perekonomian suatu daerah. Menurut Tiebout (1962) pendekatan pendapatan lebih baik digunakan dibandingkan dengan pendekatan tenaga kerja karena beberapa alasan berikut ini: 1.
Pada pendekatan tenaga kerja sangat sulit untuk mengonversi tenaga kerja paruh waktu (part time) dan pekerja musiman menjadi tenaga kerja penuh tahunan.
2.
Masalah kedua terjadi pada tenaga kerja ”penglaju” (commuter), yaitu mereka yang bekerja pada daerah yang diteliti, tetapi rumahnya berada di daerah lain.
3.
Masalah terakhir adalah adanya perbedaan produktivitas tenaga kerja antar sektor juga masih menimbulkan perdebatan diantara para ahli ekonomi.
Berbagai masalah tersebut telah menyebabkan pendekatan tenaga kerja relatif kurang peka untuk mengukur perubahan tenaga kerja total di suatu daerah dibanding pendekatan pendapatan. Namun demikian, ketiga permasalahan tersebut dapat diatasi sehingga pendekatan tenaga kerja sangat cocok digunakan terutama di negara atau daerah yang jumlah penduduknya besar. Melalui pendekatan
tenaga
kerja,
pemerintah
(pusat
maupun
daerah)
mengembangkan sektor yang penyerapan tenaga kerjanya paling tinggi.
dapat
43
Menurut Priyarsono et al. (2007), untuk mengetahui sektor basis atau nonbasis dapat digunakan metode pengukuran langsung atau metode pengukuran tidak langsung. Pada metode pengukuran langsung, penentuan sektor basis dan nonbasis dilakukan melalui survei langsung di daerah yang bersangkutan. Sebaliknya, pada metode pengukuran tidak langsung penentuan sektor basis dan nonbasis dilakukan dengan menggunakan data sekunder beberapa indikator ekonomi di suatu daerah, terutama data PDB/PDRB dan tenaga kerja per sektor. Secara umum terdapat 3 metode yang digunakan untuk menentukan sektor basis dan nonbasis di suatu daerah berdasarkan pengukuran tidak langsung, yaitu: 1.
Metode Asumsi Metode ini merupakan pendekatan yang paling sederhana dalam penentuan sektor basis dan nonbasis di suatu daerah. Berdasarkan pendekatan ini sektor primer dan sekunder diasumsikan sektor basis, sedangkan sektor tersier dianggap sebagai sektor nonbasis. Metode ini cukup baik diterapkan pada daerah yang luasnya relatif kecil dan tertutup serta jumlah sektornya sedikit. Namun demikian, pada kasus-kasus tertentu, penentuan sektor basis dan nonbasis tersebut mungkin saja menjadi tidak akurat. Hal ini dikarenakan suatu sektor seharusnya termasuk ke dalam sektor basis, akan tetapi pada pendekatan asumsi sektor tersebut termasuk ke dalam sektor nonbasis.
2.
Metode Location Quotient (LQ) Pada metode ini, penentuan sektor basis dan nonbasis dilakukan dengan cara menghitung perbandingan antara pendapatan (tenaga kerja) di sektor i pada daerah level bawah terhadap pendapatan (tenaga kerja) total semua sektor di daerah level bawah dengan pendapatan (tenaga kerja) di sektor i pada daerah level atas terhadap pendapatan (tenaga kerja) semua sektor di daerah level atasnya. Secara matematis nilai LQ dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: S ib LQ =
S ia
Sb Sa
dimana: LQ = Location Quotient
44
Sib = Pendapatan (tenaga kerja) sektor i pada daerah level bawah Sb = Pendapatan (tenaga kerja) total semua sektor pada daerah level bawah Sia = Pendapatan (tenaga kerja) sektor i pada daerah level atas S a = Pendapatan (tenaga kerja) total semua sektor pada daerah level atas Daerah bawah dan daerah atas dalam pengertian ini merupakan daerah administratif. Misalnya, analisis sektor basis dan nonbasis dilakukan di level kecamatan maka daerah bawahnya adalah kecamatan, sedangkan daerah atasnya adalah kabupaten/kota dimana kecamatan tersebut berada. Jika hasil perhitungan dengan menggunakan rumus di atas menghasilkan nilai LQ>1 maka sektor i dikategorikan sebagai sektor basis. Nilai LQ yang lebih dari satu tersebut menunjukan bahwa pangsa pendapatan (tenaga kerja) pada sektor i di daerah bawah lebih besar dibanding daerah atasnya dan output pada sektor i lebih berorientasi ekspor. Sebaliknya, apabila nilai LQ<1 maka sektor i diklasifikasikan sebagai sektor nonbasis. Keunggulan LQ yaitu selama data pendapatan dan tenaga kerja di suatu daerah tersedia secara lengkap dan akurat merode ini cukup akurat untuk diterapkan. Selain itu, perhitungan yang digunakan juga relatif sederhana dan tidak membutuhkan biaya yang besar dan waktu yang lama dalam mengklasifikasikan sektor basis dan nonbasis di suatu daerah. 3.
Metode Pendekatan Kebutuhan Minimum (MPKM) Metode ini pertama kali diperkenalkan oleh Ullman dan Dacey pada tahun 1960 (McCann 2001). Dalam MPKM daerah yang diteliti dibandingkan dengan daerah yang memiliki ukuran yang relatif sama dan ditetapkan sebagai daerah memiliki kebutuhan minimum tenaga kerja di sektor tertentu. Pada awalnya daerah-daerah yang berukuran relatif sama dengan daerah yang diteliti tersebut dipilih terlebih dahulu. Untuk setiap daerah, kemudian dihitung persentase angkatan kerja yang dipekerjakan pada setiap sektor. Kemudian, angka-angka persentase tersebut diperbandingkan antar satu daerah dengan daerah lainnya. Persentase angkatan kerja terkecil (yang paling minimum) dipergunakan sebagai ukuran kebutuhan minimum bagi
45
sektor tertentu dan sekaligus sebagai batas untuk menentukan sektor basis dan nonbasis. Rumus yang digunakan adalah: Eir MPKM =
Er
Eim Em
dimana: MPKM = Metode Pendekatan Kebutuhan Minimum
Eir
= Pendapatan (tenaga kerja) sektor i di daerah yang diteliti
Er
= Pendapatan (tenaga kerja) total semua sektor di daerah yang diteliti
Eim
= Pendapatan (tenaga kerja) sektor i di daerah yang memiliki batas minimum pendapatan (tenaga kerja)
Em
= Pendapatan (tenaga kerja) total semua sektor di daerah yang memiliki batas minimum pendapatan (tenaga kerja)
Kelemahan metode ini lebih sulit untuk diterapkan terutama di negaranegara yang memiliki banyak daerah administratif. Selain itu, menurut Budiharsono (2001) apabila masing-masing sektor tersebut dipecah lagi menjadi sektor-sektor yang lebih terperinci maka akan mengakibatkan hampir semua sektor merupakan sektor basis.
2.9.
Penelitian Terdahulu Penelitian Barreto dan Howland (1993) meregresikan output (GNP) terhadap
tingkat pengangguran dengan menggunakan metode first difference menunjukan bahwa PDRB berpengaruh negatif terhadap tingkat pengangguran. Schnabel (2002) mengestimasi trend tingkat pertumbuhan ekonomi pada sampel negaranegara industri (Amerika Serikat, Jepang, Prancis, Jerman, Australia, Spanyol, Swedia, Kanada, Inggris Raya, dan Italia) dengan menggunakan metode first difference dari hukum Okun menunjukan bahwa untuk hampir semua negara observasi, persamaan tanpa menggunakan intercept atau slope shift menghasilkan
46
statistik Durbin-Watson (DW) yang sangat rendah dan pertumbuhan output, pertumbuhan lag output berpengaruh negatif terhadap tingkat pengangguran. Penelitian Rachman (2005), dalam studinya tentang kesempatan kerja di DKI Jakarta dengan runtut waktu tahun 1982-2003 menunjukan bahwa variabel Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), investasi, Upah Minimum Provinsi (UMP), dan angkatan kerja secara bersama-sama berpengaruh terhadap kesempatan kerja di DKI Jakarta. Namun apabila dilihat secara parsial, variabel investasi tidak sesuai dengan hipotesis, dimana hasil analisisnya menunjukan pengaruh yang negatif terhadap kesempatan kerja. Ketidaksesuaian ini diantaranya disebabkan oleh adanya relokasi beberapa industri ke luar wilayah DKI Jakarta dan adanya pemutusan hubungan kerja (PHK) pada sektor-sektor ekonomi yang ada di DKI Jakarta. Sedangkan hasil analisis dari variabel PDRB, Angkatan Kerja, dan UMP sesuai dengan hipotesis, dimana PDRB berpengaruh positif, Angkatan Kerja berpengaruh positif, dan UMP berpengaruh negatif terhadap Kesempatan Kerja di DKI Jakarta. Penelitian Erisman (2003), dapat dijabarkan secara deskriptif bahwa dari hasil analisis spasial menunjukan pada sektor pertanian wilayah Jakarta Utara merupakan sektor basis baik dengan pendekatan tenaga kerja maupun output, diduga kondisi ini menggambarkan penekanan pada subsektor perikanan sesuai dengan kondisi wilayah Jakarta Utara yang berbatasan dengan laut. Pada sektor industri pengolahan menjadi sektor basis pada wilayah Jakarta Utara terutama pada pendekatan output. Untuk sektor bangunan atau konstruksi dengan pendekatan tenaga kerja dan output menjadi sektor basis pada wilayah Jakarta Selatan. Sektor perdagangan, hotel, dan restoran baik dengan pendekatan tenaga kerja maupun output, menjadi sektor basis pada wilayah Jakarta Pusat. Kemudian pada sektor pengangkutan, dan komunikasi dengan pendekatan tenaga kerja maupun output menjadi sektor basis di wilayah Jakarta Utara. Sedangkan pada sektor keuangan, persewaan, dan jasa keuangan dengan pendekatan tenaga kerja merupakan sektor basis pada wilayah Jakarta Selatan tetapi dengan pendekatan output lebih dominan pada wilayah Jakarta Pusat. Selanjutnya untuk sektor jasajasa baik dengan pendekatan tenaga kerja maupun output nampaknya memberikan hampir merata dominan pada setiap wilayah kecuali pada wilayah Jakarta Utara.
47
Berdasarkan analisis ekonometrik persamaan simultan dapat diperoleh gambaran bahwa pengendalian penduduk merupakan prioritas terhadap penurunan tingkat pengangguran. Kemudian dilanjutkan dengan penetapan upah yang seimbang antar keinginan pekerja dan pengusaha menjadi penelaahan lebih lanjut untuk menekan tingkat pengangguran. Selanjutnya investasi tetap harus ditingkatkan untuk menurunkan tingkat pengangguran. Inflasi yang terkendali juga dapat mempengaruhi tingkat pengangguran, walaupun kenaikan tingkat inflasi pada periode sebelumnya menurunkan pengangguran. Mungkin hal ini merupakan insentif untuk pengembangan usaha tetapi perlu dilihat purchasing power dari masyarakat, sehingga tidak membuat kondisi memburuk. Kenaikan suku bunga juga akan meningkatkan pengangguran walaupun secara relatif sangat kecil. Penelitian Malau (2007), menunjukan bahwa penyerapan tenaga kerja di Provinsi DKI Jakarta masih didominasi sektor tersier. Adapun faktor yang berpengaruh terhadap pasar kerja sektor tersier adalah angkatan kerja, penyerapan tenaga kerja, upah, investasi, dan pendapatan. Penelitian Elnopembri (2007), untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi penyerapan tenaga kerja industri kecil di kabupaten Tanah Datar. Data yang digunakan adalah data sekunder runtut waktu (time series) dari tahun 1990 sampai dengan tahun 2004 berupa jumlah tenaga kerja industri kecil, Upah Minimum Regional (UMR), tingkat suku bunga investasi kredit Bank Pemerintah Daerah, tingkat suku bunga kredit investasi bank persero pemerintah di daerah, dan nilai produksi industri kecil di kabupaten Tanah Datar. Alat analisis yang digunakan dalam penelitian adalah analisis regresi berganda yang ditaksir dengan menggunakan metode kuadrat terkecil (Ordinary Least Square, OLS) dalam bentuk semi-log. Hasil analisis regresi menunjukan bahwa upah minimum regional memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja industri kecil. Tingkat suku bunga kredit investasi Bank Pemerintah Daerah dan Bank Persero Pemerintah di daerah sama-sama memiliki pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja industri kecil artinya peningkatan suku bunga
48
kredit hanya akan mengakibatkan turunnya permintaan tenaga kerja industri kecil. Nilai produksi memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja industri kecil. Ekspansi yang dilakukan industri kecil dengan menciptakan akses pasar akan mendorong peningkatan produksi sehingga berdampak terciptanya lapangan kerja baru. Penelitian Situmorang dan Kalsum (2007), yang bertujuan untuk mengetahui: (1) gambaran struktur perekonomian dalam kaitannya dengan struktur
ketenagakerjaan
di
provinsi
Lampung,
(2)
faktor-faktor
yang
mempengaruhi kesempatan kerja sektor pertanian dan nonpertanian di provinsi Lampung, (3) faktor-faktor yang mempengaruhi transformasi tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor nonpertanian di provinsi Lampung, (4) respon kesempatan kerja sektor pertanian dan nonpertanian terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi, dan (5) respon transformasi tenaga kerja sektor pertanian ke sektor nonpertanian
di
provinsi
Lampung
terhadap
faktor-faktor
yang
mempengaruhi. Penelitian menggunakan data deret waktu (time series) tahun 1981-2006 yang dianalisis dengan pendekatan ekonometrika. Model kesempatan kerja dan transformasi tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor nonpertanian di Provinsi Lampung terdiri dari delapan persamaan struktural dan tujuh persamaan identitas, dan pendugaan parameter dilakukan dengan metode 2SLS. Hasil pendugaan menunjukan bahwa: (1) pola struktur perekonomian provinsi Lampung adalah: Pertanian–Industri–Jasa, sedangkan pola penyerapan tenaga kerja adalah: Pertanian–Jasa–Industri. (2). (a) Kesempatan kerja subsektor tanaman pangan dipengaruhi oleh PDRB, kesempatan kerja nonpertanian dan lag kesempatan kerja. (b) Kesempatan kerja subsektor perikanan dipengaruhi oleh upah, produksi, PDRB, kesempatan kerja selain perikanan dan lag kesempatan kerja. (c) Kesempatan kerja subsektor peternakan dipengaruhi oleh upah, produksi, investasi dan kesempatan kerja nonpertanian. (d) Kesempatan kerja subsektor perkebunan dipengaruhi oleh upah, PDRB dan investasi subsektor perkebunan. (e) Kesempatan kerja subsektor kehutanan dipengaruhi oleh upah, PDRB, kesempatan kerja nonpertanian dan lag kesempatan kerja. (f) Kesempatan
49
kerja sektor industri dipengaruhi oleh PDRB, kesempatan kerja pertanian dan lag kesempatan kerja. (g) Kesempatan kerja sektor jasa dipengaruhi oleh kesempatan kerja sektor industri dan sektor pertanian. (3). Transformasi tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor nonpertanian dipengaruhi kesempatan kerja sektor jasa. (4). (a) Kesempatan kerja subsektor tanaman pangan tidak responsif terhadap perubahan peubah penjelasnya. (b) Kesempatan kerja subsektor perikanan responsif terhadap perubahan produksi dan upah subsektor perikanan. Kesempatan kerja subsektor peternakan responsif terhadap perubahan upah dan PDRB subsektor peternakan. (d) Kesempatan kerja subsektor perkebunan tidak responsif terhadap perubahan peubah penjelasnya. (e) Kesempatan kerja subsektor kehutanan responsif terhadap perubahan kesempatan kerja selain subsektor kehutanan. (f) Kesempatan kerja sektor industri tidak responsif terhadap perubahan semua peubah penjelasnya. (g) Kesempatan kerja sektor jasa responsif terhadap perubahan kesempatan kerja sektor pertanian. (5) Transformasi tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor nonpertanian di provinsi Lampung responsif terhadap perubahan kesempatan kerja sektor jasa. Berdasarkan hasil penelitian, maka disarankan: (1) untuk meningkatkan kesempatan kerja sektor pertanian, maka upah dan produksi serta PDRB harus ditingkatkan, (2) untuk menjaga kelestarian hutan, maka upah subsektor kehutanan harus ditingkatkan sebagai insentif bagi tenaga kerjanya, serta kesempatan kerja selain subsektor kehutanan harus ditingkatkan, (3) karena kesempatan kerja sektor jasa berpengaruh nyata terhadap transformasi tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor nonpertanian, maka penanganan dan pembinaan sektor jasa perlu dan urgen dilakukan melalui tindakan nyata dan serius, (4) bagi penelitian selanjutnya, perlu dilakukan penyempurnaan model dengan memasukkan variabel-variabel yang secara teori ekonomi dan laras ilmiah belum dimasukkan dalam penelitian ini, misalnya disagregasi kesempatan kerja sektor pertanian dan nonpertanian menurut wilayah desa dan kota. Penelitian Suhartono (2009), yang bertujuan untuk mengetahui sektor-sektor ekonomi yang potensial dan layak dikembangkan terhadap PDRB dan kesempatan kerja di masing-masing kabupaten/kota untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi, tingkat ketimpangan pendapatan dan untuk mengetahui hubungan antara sektor-
50
sektor ekonomi dengan pertumbuhan ekonomi dan sektor-sektor ekonomi dengan penyerapan tenaga kerja di provinsi Jawa Tengah. Metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif, dengan Location Quotient (LQ), Analisis Shift Share, Indeks Williamson dan Analisis Korelasi. Hasil penelitian dalam tahun 2006 menunjukan: (1) Sektor industri pengolahan; pertanian; perdagangan, hotel, dan restoran merupakan sektor terbesar sumbangannya dalam PDRB provinsi Jawa Tengah. (2) Sektor ekonomi yang potensial dan layak dikembangkan di masing-masing kabupaten/kota di provinsi Jawa Tengah beragam. (3) Sektor bangunan/konstruksi mengalami pertumbuhan lebih cepat di 13 kabupaten/kota dibanding dengan tingkat pertumbuhan provinsi. (4) Ketimpangan pendapatan kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah selama tahun 2002-2006 menunjukan tingkat ketimpangan sangat timpang. (5) Terjadi perubahan/pergeseran dalam hal penyerapan tenaga kerja dalam kurun waktu tahun 2002-2006 dari sektor primer ke sektor tersier di tahun 2005. Penelitian Purwanti (2009), menunjukan bahwa kesempatan kerja nyata di kabupaten Bangli dipengaruhi secara positif oleh pertumbuhan kesempatan kerja di provinsi Bali dan keunggulan kompetitif. Berarti kedua komponen tersebut akan menambah kesempatan kerja yang terjadi di kabupaten Bangli, namun tidak dengan komponen bauran industri. Komponen bauran industri mempengaruhi kesempatan kerja di kabupaten Bangli secara negatif, yang berarti komponen ini menyebabkan laju kesempatan kerja mengalami kontraksi. Sektor basis kesempatan kerja di kabupaten Bangli pada tahun awal penelitian adalah sektor pertanian dan sektor industri pengolahan. Sepuluh tahun kemudian sektor basis bertambah menjadi tiga sektor yaitu masuknya sektor pertambangan dan penggalian. Sektor-sektor ini adalah sektor yang mampu menyerap tenaga kerja lebih dari cukup sehingga dapat menghasilkan produk untuk memenuhi kebutuhan lokal (kabupaten Bangli) dan juga untuk daerah lain. Sektor-sektor di luar sektor basis merupakan sektor nonbasis yakni sektor-sektor yang tidak mampu menciptakan kesempatan kerja yang cukup tinggi sehingga tidak dapat menghasilkan produk untuk memenuhi kebutuhan lokal.
51
Perubahan kesempatan kerja di sektor basis akan membawa perubahan terhadap kesempatan kerja total dan kesempatan kerja di sektor nonbasis. Namun perubahan yang terjadi di kabupaten Bangli dalam kurun waktu 10 tahun justru menurun. Jika dibandingkan dengan tahun 1998, tiap kenaikan kesempatan kerja di sektor basis pada tahun 2007 memberikan dampak yang lebih kecil terhadap peningkatan kesempatan kerja total dan kesempatan kerja di sektor nonbasis. Hal ini cukup mengkhawatirkan karena jika sektor-sektor basis tidak diberikan perhatian yang lebih untuk dikembangkan maka tidak menutup kemungkinan sektor-sektor ini dikemudian hari justru berubah menjadi sektor nonbasis. Penelitian Dimas dan Woyanti (2009) mengenai Penyerapan Tenaga Kerja di DKI Jakarta membuktikan bahwa dalam kurun waktu tahun 1990-2004, PDRB, tingkat upah dan investasi riil secara bersama-sama berpengaruh secara signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja di DKI Jakarta. Sedangkan secara parsial, PDRB berpengaruh positif dan siginfikan, tingkat upah dan investasi riil berpengaruh negatif dan signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja di DKI Jakarta dengan menggunakan metode analisis metode kuadrat terkecil (Ordinary Least Square, OLS) Penelitian
Nainggolan
(2009),
tentang
analisis
faktor-faktor
yang
mempengaruhi kesempatan kerja pada kabupaten/kota di provinsi Sumatera Utara, menggunakan data panel dengan variabel bebas Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
Kabupaten/Kota,
Tingkat
Bunga
Kredit,
Upah
Minimum
Kabupaten/Kota di Provinsi (UMK) dan variabel terikat kesempatan kerja. Data dengan runtun waktu tahun 2002-2007. Metode analisis yang dipergunakan adalah Metode Generalized Least Square (GLS) dengan Random Effek Model (REM). Hasil penelitian menunjukan bahwa variabel Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten/Kota berpengaruh positif sebesar 76,38 persen dan signifikan, Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) berpengaruh negatif sebesar 53,06 persen dan signifikan, dan Tingkat Bunga Kredit berpengaruh negatif sebesar 7,29 persen dan tidak signifikan terhadap kesempatan bekerja pada kabupaten/kota di provinsi Sumatera Utara.
52
Penelitian Nugroho (2010), tentang sektor industri pengolahan dilihat dari keterkaitan antar industrinya baik backward linkage maupun forward linkage, diketahui industri-industri yang mempunyai potensi untuk dikembangkan dalam rangka pembangunan ekonomi di DKI Jakarta, mengidentifikasi sumber-sumber pertumbuhan output sektor industri pengolahan melalui pendekatan dekomposisi pertumbuhan output, serta menguraikan peranan peningkatan produktivitas tenaga kerja dan ekspansi output masing-masing industri terhadap peningkatan penyerapan tenaga kerja. Peranan ekspansi output akan diuraikan menjadi peranan permintaan domestik, promosi ekspor, substitusi impor, dan perubahan teknologi pada sektor industri pengolahan di DKI Jakarta periode tahun 1993-2000 dan tahun 2000-2006. Dalam hal menentukan jenis industri pengolahan yang mempunyai keunggulan serta menentukan arah pengembangannya dalam perekonomian di provinsi DKI Jakarta, digunakan pendekatan input-output (I-O), yang meliputi: analisis keterkaitan antar-industri, serta analisis dekomposisi pertumbuhan output dan analisis dekomposisi pertumbuhan tenaga kerja. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data I-O DKI Jakarta tahun 1993, 2000, 2006, serta data penunjang lainnya. Jika dilihat selama dua periode observasi, terdapat beberapa industri yang menunjukan kecenderungan terus meningkatkan penyerapan tenaga kerja, meskipun telah terjadi peningkatan teknologi pada industri tersebut. Industriindustri tersebut adalah industri makanan dan minuman, industri kosmetik, industri barang dari gelas dan kaca, industri barang-barang dari logam, kecuali mesin dan peralatan. Hal ini menunjukan bahwa industri-industri tersebut telah memanfaatkan teknologi tepat guna dalam pertumbuhannya sehingga dapat menyerap tenaga kerja lebih banyak. Menurut Nugroho (2010), penyerapan tenaga kerja pada beberapa industri pengolahan karena adanya perubahan teknologi yang memberikan efek negatif menunjukan bahwa kemungkinan penurunan tersebut dilakukan pada tenaga kerja yang tidak memiliki keterampilan/keahlian yang dbutuhkan sehingga perlu adanya
53
pelatihan-pelatihan dan pendidikan khusus bagi calon tenaga kerja untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja yang berkualifikasi.
54
Tabel 7 Penelitian-Penelitian Terdahulu No.
Peneliti
1
Barreto dan Howland
Judul There are Two Okun’s Law Relationships Between Output and Labor
2
Schnabel
Output Trends and Okun’s Law
3
Dimas dan Nenik Woyanti
Penyerapan Tenaga Kerja di DKI Jakarta
4
Edyan Rachman
Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kesempatan Kerja di DKI Jakarta
5
Erisman
Analisis Ekonomi Pasar Tenaga Kerja di Wilayah
Model
Metode
Hasil
f (U ) = α + β f (GNP )
Regresi OLS
-PDRB berpengaruh negatif terhadap tingkat pengangguran.
∆U = α + β 1 y t + β 2 y t −1
LnY = β 0 + β 1 PDRB + β 2UR +
β 3 IR + µ
KK = a0 + a1PDRB + a2 INV + a3UMP + a4 AK + e
-----
Regresi OLS
Regresi OLS
Regresi OLS
Analisis LQ dan
-Secara bersama-sama, pertumbuhan output, pertumbuhan lag output berpengaruh negatif terhadap tingkat pengangguran. -Secara parsial, pertumbuhan output, pertumbuhan lag output berpengaruh negatif terhadap tingkat pengangguran. -Secara bersama-sama PDRB, upah riil dan investasi riil berpengaruh terhadap penyerapan tenaga kerja di DKI Jakarta. -Secara parsial, PDRB berpengaruh positif, upah riil dan investasi riil berpengaruh negatif terhadap penyerapan tenaga kerja. -Secara bersama-sama PDRB, investasi, UMP, dan angkatan kerja berpengaruh terhadap kesempatan kerja di DKI Jakarta. -Secara parsial, investasi berpengaruh negatif, PDRB dan angkatan kerja berpengaruh positif, dan UMP berpengaruh negatif terhadap kesempatan kerja. -Sektor pertanian; industri pengolahan; dan pengangkutan,
55
DKI Jakarta
6
7
Albert Galau Malau
Dampak Kebijakan Ekonomi Terhadap Pasar Kerja, Investasi dan Pendapatan Sektor Tersier di Provinsi DKI Jakarta
Elnopembri
Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penyerapan Tenaga Kerja Industri Kecil di Kabupaten Tanah Datar Provinsi Sumatera Barat Tahun 1990-2004
Persamaan Simultan
PK tersier = A0 + A1 AK + A2 TK + A3UMR + A4 INV + A5Y + E
LnPTK = α 0 + α1LnUMR + α 2 SBKBPD + α 3 SBKBPP + α 4 LnPROD + ε
Regresi OLS
Regresi OLS
dan komunikasi menjadi sektor basis di Jakarta Utara. Sektor bangunan menjadi sektor basis di Jakarta Selatan. Sektor perdagangan, hotel, dan restoran menjadi sektor basis di Jakarta Pusat. Sektor keuangan, persewaan, dan jasa keuangan menjadi sektor basis di Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat. Sektor jasa-jasa hampir merata dominan pada setiap wilayah kecuali di Jakarta Utara . -Penetapan upah untuk menekan pengangguran, investasi untuk menurunkan pengangguran, Inflasi mempengaruhi pengangguran, Kenaikan suku bunga menaikan pengangguran -Penyerapan tenaga kerja di DKI Jakarta di dominasi sektor tersier. -Faktor yang berpengaruh terhadap pasar kerja sektor tersier adalah angkatan kerja, penyerapan tenaga kerja, upah, investasi, dan pendapatan. -UMR berpengaruh positif dan signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja industri kecil. Tingkat suku bunga kredit investasi Bank Pemerintah Daerah dan Bank Persero Pemerintah berpengaruh negatif dan signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja industri
56
8
Suriaty Situmorang dan Umi Kalsum
Kesempatan Kerja dan Transformasi Tenaga Kerja Dari Sektor Pertanian Ke Sektor Nonpertanian di Provinsi Lampung
-----
Metode 2SLS
kecil. Nilai produksi berpengaruh positif dan signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja industri kecil. -Hasil pendugaan menunjukan bahwa: (1) Pola penyerapan tenaga kerja: Pertanian–Jasa–Industri. (2). (a) Kesempatan kerja subsektor tanaman pangan dipengaruhi PDRB, kesempatan kerja nonpertanian dan lag kesempatan kerja. (b) Kesempatan kerja subsektor perikanan dipengaruhi upah, produksi, PDRB, kesempatan kerja selain perikanan dan lag kesempatan kerja. (c) Kesempatan kerja subsektor peternakan dipengaruhi upah, produksi, investasi dan kesempatan kerja nonpertanian. (d) Kesempatan kerja subsektor perkebunan dipengaruhi upah, PDRB dan investasi subsektor perkebunan. (e) Kesempatan kerja subsektor kehutanan dipengaruhi upah, PDRB, kesempatan kerja nonpertanian dan lag kesempatan kerja. (f). Kesempatan kerja sektor industri dipengaruhi PDRB, kesempatan kerja pertanian dan lag kesempatan kerja. (g). Kesempatan kerja sektor jasa dipengaruhi oleh kesempatan kerja sektor industri dan sektor pertanian.
57
9
10
Suhartono
Putu Ayu Pramitha Purwanti
Struktur Ekonomi, Kesempatan Kerja dan Ketimpangan Pendapatan di Provinsi Jawa Tengah
Analisis Kesempatan Kerja Sektoral di Kabupaten Bangli Dengan Pendekatan Pertumbuhan Berbasis Ekspor
11
Dimas dan Nenik Woyanti
Penyerapan Tenaga Kerja di DKI Jakarta
12
Indra Oloan Nainggolan
Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kesempatan Kerja Pada Kabupaten/Kota di
Analisis LQ, Shift Share, Indeks Williamson, dan Analisis Korelasi
-----
Dij = N ij + M ij + Cij dan
( LQ = (
Eij
Ein
Ej En
)
Shift Share dan Analisis LQ
)
LnY = β 0 + β 1 PDRB + β 2UR +
β 3 IR + µ
Log ( KK )it = b0 + b1Log ( PDRB)it + b2 Log ( R)it + b3 Log (UMK )it + µit
Regresi OLS
Metode GLS dengan Random Effek Model
-Terjadi perubahan/pergeseran dalam hal penyerapan tenaga kerja dalam kurun waktu tahun 20022006 dari sektor primer ke sektor tersier di tahun 2005. -Kesempatan kerja nyata di kabupaten Bangli dipengaruhi secara positif oleh pertumbuhan kesempatan kerja di provinsi Bali dan keunggulan kompetitif. Komponen bauran industri mempengaruhi kesempatan kerja di kabupaten Bangli secara negatif. -Sektor basis kesempatan kerja di kabupaten Bangli pada tahun awal penelitian adalah sektor pertanian dan sektor industri pengolahan. Sepuluh tahun kemudian sektor basis bertambah menjadi tiga sektor yaitu masuknya sektor pertambangan, dan penggalian. -Secara bersama-sama PDRB, upah riil dan investasi riil berpengaruh terhadap penyerapan tenaga kerja di DKI Jakarta. -Secara parsial, PDRB berpengaruh positif, upah riil dan investasi riil berpengaruh negatif terhadap penyerapan tenaga kerja. -PDRB Kabupaten/Kota berpengaruh positif 76,38% dan signifikan, UMK berpengaruh negatif 53,06% dan signifikan, dan
58
Provinsi Sumatera Utara
13
Hari Nugroho
Analisis Sumber Pertumbuhan Output dan Tenaga Kerja Sektor Industri Pengolahan di Provinsi DKI Jakarta : Pendekatan Dekomposisi Input-Output
(REM)
-----
Pendekatan InputOutput
Tingkat Bunga Kredit berpengaruh negatif 7,29% dan tidak signifikan terhadap kesempatan bekerja pada kabupaten/kota di provinsi Sumatera Utara -Jika dilihat selama dua periode observasi, terdapat beberapa industri yang menunjukan kecenderungan terus meningkatkan penyerapan tenaga kerja, meskipun telah terjadi peningkatan teknologi pada industri tersebut.
59
2.10.
Hipotesis Penelitian Berdasarkan perumusan masalah, tinjauan kepustakaan dan dari berbagai
hasil kajian empiris yang telah dilakukan peneliti-peneliti sebelumnya, maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian ini sebagai berikut: 1.
Pertumbuhan kesempatan kerja riil sangat potensial terjadi pada sektor tersier di DKI Jakarta.
2.
Sektor tersier merupakan sektor basis dalam menyerap tenaga kerja di DKI Jakarta.
3.
PMA berpengaruh positif terhadap kesempatan kerja di DKI Jakarta
4.
PMDN berpengaruh positif terhadap kesempatan kerja di DKI Jakarta
5.
PDRB berpengaruh positif terhadap kesempatan kerja di DKI Jakarta
6.
Suku Bunga Kredit berpengaruh negatif terhadap kesempatan kerja di DKI Jakarta
2.11.
Kerangka Pemikiran Pembangunan nasional pada hakikatnya tidak hanya terkait dengan indikator
ekonomi saja. Melainkan terbagi dalam berbagai bidang yang pada ujung pangkalnya juga bertujuan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat secara utuh. Akan tetapi, pembangunan nasional yang menjadi fokus dalam penelitian ini dan selalu
menjadi
pembangunan
wacana bidang
serta
ekonomi
berkaitan dalam
terhadap
kesejahteraan
pembangunan
ekonomi
adalah nasional.
Pemerintah pusat tidak selalu dapat membuat kebijakan-kebijakan ekonomi sebagai implementasi dari pembangunan ekonomi nasional yang dapat berpengaruh dan dirasakan secara langsung oleh masyarakat umum baik di perkotaan maupun di pedesaan terlebih di pedalaman. Oleh karenanya, perlu peran serta dari pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota yang secara riil mengetahui segala persoalan ekonomi yang dihadapi oleh daerahnya. Adanya penyelenggaraan otonomi daerah semenjak bergulirnya era reformasi di awal abad 21 menandakan adanya kebijakan pemerintah pusat untuk melibatkan peran pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan secara luas untuk mencapai tujuan pembangunan nasional. Sehingga dengan adanya kewenangan
60
yang diberikan pemerintah pusat, pemerintah daerah akan lebih leluasa untuk fokus dalam upaya pencapaian sasaran pembangunan ekonomi daerah yang pada umumnya dicerminkan dengan adanya pertumbuhan ekonomi daerah yang tinggi dan
distribusi
pendapatan
yang
merata sebagai
indikator keberhasilan
pembangunan. Dalam hal ini, implementasi pengendalian stabilitas ekonomi baik di pusat hingga daerah dilakukan oleh bank sentral maupun perwakilannya di daerah dikarenakan adanya keterkaitan dengan kebijakan moneter. Penerapan kebijakan dalam pertumbuhan ekonomi daerah dipengaruhi oleh berbagai faktor yang diantaranya pendapatan regional, penyerapan tenaga kerja, investasi, teknologi dan sebagainya. Disamping itu, faktor tersebut secara umum diklasifikasikan ke dalam berbagai sektor-sektor untuk memudahkan analisis dalam pengambilan keputusan sektor apa yang layak untuk ditindaklanjuti dalam memacu pertumbuhan ekonomi daerah akibat adanya kebijakan nasional ataupun daerah seperti penanaman modal (investasi) selain untuk melihat keterkaitan dan kontribusi sektor-sektor tersebut terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi daerah yang akan dijadikan basis ekonomi daerah. Lainnya, klasifikasi terhadap sektor-sektor ekonomi juga bertujuan untuk mengkaji potensi daerah yang secara nyata mempunyai kontribusi langsung terhadap wilayahnya baik karena adanya pengaruh pertumbuhan provinsi, bauran industri maupun keunggulan kompetitif sebagai sektor unggul yang dapat memberikan dampak secara langsung dalam struktur perekonomian daerah terutama terkait dengan penyerapan tenaga kerja. Disamping itu, perlu adanya analisis terhadap pengaruh dari faktor-faktor yang mempengaruhi kesempatan kerja yang terdiri atas penanaman modal asing, penanaman modal dalam negeri, produk domestik regional bruto, dan suku bunga kredit guna melihat seberapa besar pengaruh dari indikator tersebut dalam menciptakan kesempatan kerja yang ada.
61
Pembangunan Nasional
Pembangunan Bidang Lainnya
Pembangunan Bidang Ekonomi Otonomi Daerah
Pembangunan Ekonomi Daerah
Pertumbuhan Ekonomi
Stabilitas Ekonomi
Faktor Lainnya
Investasi
PMA
PMDN
PDRB
Penyerapan Tenaga Kerja
Suku Bunga Kredit
Sektor Ekonomi
Shift Share (SS)
Multiple Regression
Kesempatan Kerja
Distribusi Pendapatan
Pertumbuhan Nasional
Bauran Industri
Location Quotient (LQ)
Keunggulan Kompetitif
Kesempatan Kerja Absolut
Kebijakan Pembangunan pada Sektor yang Menyerap Tenaga Kerja Tinggi
Kesejahteraan Masyarakat
Keterangan : Alur Analisis Alur Teoritis Indikator Sasaran Kebijakan Metode Analisis Variabel Penelitian
Gambar 6 Alur Kerangka Pemikiran
Sektor Basis
62
Untuk selanjutnya, perlu adanya kebijakan pemerintah daerah mengenai program pembangunan pada sektor yang menyerap tenaga kerja tinggi sebagai implementasi pelaksanaan otonomi daerah dalam merespon analisis yang terkait dengan paparan di atas untuk melakukan tidakan nyata untuk mencapai kesejahtearaan masyarakat seperti yang telah diamanatkan dalam konstitusi.
63
III. METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, yang dalam penulisannya dimaksudkan untuk menjabarkan penyerapan tenaga kerja berdasarkan kondisi wilayah penelitian. Analisis dilakukan secara kualitatif maupun kuantitatif berdasarkan hasil pengolahan data yang diperoleh dengan alat analisis berupa formula-formula yang berhubungan dengan permasalahan. Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang diperoleh melalui Badan Pusat Statistik (BPS) Pusat maupun Provinsi, Bank Indonesia (BI), Badan Perencanaan
Pembangunan
Nasional
(Bappenas),
Badan
Perencanaan
Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi dan hasil penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini. Struktur perekonomian atas dasar kesempatan kerja yang dianalisis dalam penelitian ini mengacu kepada struktur perekonomian atas dasar kesempatan kerja menurut sektor di DKI Jakarta yang dihitung berdasarkan data antara tahun 20012008. Sedangkan analisis pengaruh pada faktor-faktor yang mempengaruhi kesempatan kerja dihitung berdasarkan data antara tahun 1993-2008 dengan menggunakan variabel dummy untuk membagi dua periode sebelum dan setelah penerapan otonomi daerah antara tahun 1993-2000 dan tahun 2001-2008. Selanjutnya, analisis yang dilakukan yakni pada periode setelah berlakunya penerapan otonomi daerah yang mulai dilaksanakan pada tahun 2001-2008 dengan pembanding analisis pada periode sebelum penerapan otonomi daerah.
3.1.
Model dan Alat Analisis Teknik analisis dalam penelitian ini menggunakan Analisis Shift Share (SS),
Analisis Location Quotient (LQ), dan Regresi Berganda. 3.1.1. Model dan Analisis Shift Share (SS) Analisis Shift Share digunakan untuk menganalisis perubahan berbagai indikator kegiatan ekonomi, seperti nilai tambah dan kesempatan kerja pada dua titik periode waktu yaitu tahun 2001 dan 2008 di wilayah DKI Jakarta. Analisis
64
ini untuk menunjukan sektor-sektor yang berkembang di DKI Jakarta dibandingkan dengan perkembangan ekonomi nasional. Dalam hal ini, analisis Shift Share melihat pertumbuhan dari suatu kegiatan terutama melihat perbedaan pertumbuhan skala wilayah yang lebih luas (wilayah referensi) maupun dalam skala wilayah yang lebih kecil. Analisis ini juga menggambarkan performance (kinerja) perekonomian DKI Jakarta yang ditunjukan dengan shift (pergeseran) hasil pembangunan perekonomian daerah bila wilayah tersebut memperoleh kemajuan sesuai dengan kedudukannya dalam perekonomian nasional. Analisis ini juga membandingkan laju pertumbuhan perekonomian nasional beserta sektor-sektornya yang mengamati penyimpangan-penyimpangan dari perbandingan tersebut. Apabila penyimpangan tersebut positif, hal tersebut menandakan terdapat keunggulan kompetitif dari suatu sektor dalam wilayah tersebut. yit − y io = ∆y = yio {[Yt Yo ] − 1} + yio {[Yit Yio ] − [Yt Yo ]} + y io {[ yit y io ] − [Yit Yio ]} dimana komponen: yio {[Yt Yo ] − 1}
= unsur pertumbuhan nasional
= [G]
yio {[Yit Yio ] − [Yt Yo ]}
= unsur bauran industri
= [M]
yio {[ y it y io ] − [Yit Yio ]} = unsur keunggulan kompetitif
= [S]
Perhitungan analisis Shift Share diperoleh dengan menjumlahkan ketiga komponen diatas dan hasilnya harus sama dengan total perubahan dari data industri/sektor yang ada di daerah (∆y) (Bendavid 1991) yang dalam hal ini adalah DKI Jakarta. ∆y
= Pertumbuhan total tenaga kerja DKI Jakarta selama periode t (orang)
y io
= Jumlah tenaga kerja sektor i DKI Jakarta di tahun awal (orang)
yit
= Jumlah tenaga kerja sektor i DKI Jakarta di tahun akhir (orang)
Yio
= Jumlah tenaga kerja sektor i nasional di tahun awal (orang)
Yit
= Jumlah tenaga kerja sektor i nasional di tahun akhir (orang)
Yo
= Jumlah total tenaga kerja nasional di tahun awal (orang)
65
Yt
= Jumlah total tenaga kerja nasional di tahun akhir (orang)
interpretasi (Bendavid 1991): -
Nilai dari tiap komponen Shift Share (G+S+M) dapat dijadikan acuan dalam analisis.
-
Jika nilai dari komponen Shift dari suatu sektor positif (+) maka sektor tersebut dapat dikatakan sebagai sektor yang relatif maju dibandingkan dengan sektor yang sama di tingkat nasional.
-
Jika pergeseran diferensial (Komponen S) dari suatu sektor positif (+) maka sektor tersebut mempunyai keunggulan kompetitif yang lebih tinggi dibandingkan dengan sektor yang sama pada perekonomian nasional.
3.1.1.1.Evaluasi Kinerja Sektor-sektor dan Aplikasi Analisis Shift Share Menurut Priyarsono et al. (2007), untuk mengevaluasi profil pertumbuhan sektor-sektor perekonomian dapat dilakukan dengan menggunakan bantuan 4 kuadran yang terdapat pada garis bilangan. Sumbu horizontal menggambarkan persentase komponen bauran industri (%BIij = %Mij), sedangkan sumbu vertikal merupakan persentase komponen keunggulan kompetitif (%KKij = %Sij). Sektor perekonomian yang berada pada Kuadran I menunjukan bahwa sektor tersebut memiliki pertumbuhan yang cepat dengan keunggulan kompetitif yang baik pula (sektor progresif). Adapun sektor perekonomian yang berada pada Kuadran II menunjukan bahwa sektor tersebut memiliki pertumbuhan yang cepat namun tidak memiliki keunggulan kompetitif dengan baik. Untuk sektor perekonomian yang berada pada Kuadran III menunjukan bahwa sektor tersebut memiliki pertumbuhan yang lamban dan tidak memiliki keunggulan kompetitif dengan baik. Sektor perekonomian yang berada pada Kuadran IV menujukkan bahwa sektor tersebut memiliki pertumbuhan yang lamban namun memiliki keunggulan kompetitif dengan baik. Garis diagonal 45° membagi Kuadran II dan IV menjadi dua bagian. Garis tersebut merupakan garis yang menunjukan nilai pergeseran bersih. Tiap lapangan usaha yang berada di atas garis diagonal termasuk ke dalam sektor perekonomian yang progresif dan yang berada di bawah garis diagonal termasuk ke dalam sektor perekonomian yang tergolong lamban. Di sepanjang garis tersebut pergeseran bersih bernilai nol (PB.j=0). Bagian atas garis tersebut menunjukan PB.j>0 yang mengindikasikan bahwa wilayah-
66
wilayah/sektor-sektor tersebut pertumbuhannya progresif (maju). Sebaliknya, di bawah garis 45º berarti PB.j<0 menunjukan wilayah-wilayah/sektor-sektor yang lamban. Secara matematis nilai persentase pergeseran bersih (PB) sektor i di DKI Jakarta dapat dirumuskan sebagai berikut: % PBi = % BI i + % KK i atau % PBi = %( M i + S i ) = % M i + % S i dimana: M % M i = i × 100 y io S % S i = i × 100 y io keterangan: % PBi = Persentase pergeseran bersih sektor i DKI Jakarta % M i = Persentase komponen bauran industri sektor i DKI Jakarta %S i
= Persentase komponen keunggulan kompetitif sektor i DKI Jakarta
y io
= Jumlah tenaga kerja sektor i DKI Jakarta di tahun awal (orang)
apabila: % PBi > 0 maka pertumbuhan sektor i DKI Jakarta termasuk ke dalam kelompok progresif (maju). % PBi < 0 maka pertumbuhan sektor i DKI Jakarta termasuk ke dalam kelompok lamban.
3.1.2. Model dan Analisis Location Quotient (LQ) Analisis LQ merupakan suatu alat analisis untuk menunjukan basis ekonomi wilayah terutama dari kriteria kontribusi (Wibisono 2003). Disamping itu, LQ adalah suatu indeks untuk mengukur tingkat spesialisasi (relatif) suatu sektor atau subsektor ekonomi suatu wilayah tertentu (Bendavid 1991). Variabel yang digunakan dalam perhitungan basis ekonomi tersebut adalah kesempatan kerja wilayah yang dititikberatkan pada kegiatan dalam struktur ekonomi wilayah. Teknik ini menyajikan perbandingan antara kemampuan suatu sektor baik lapangan kerja di wilayah yang sedang diteliti dengan kemampuan sektor yang
67
sama untuk lapangan kerja pada wilayah yang lebih luas atau yang lebih tinggi jenjangnya. Kontribusi sektor perekonomian terhadap kesempatan kerja di DKI Jakarta digunakan formulasi model LQ sebagai berikut: Lij LQ =
Lj Li
L
LQ
= Location Quotient
Lij
= Kesempatan kerja sektor i DKI Jakarta (orang)
Lj
= Kesempatan kerja DKI Jakarta (orang)
Li
= Kesempatan kerja sektor i nasional (orang)
L
= Kesempatan kerja nasional (orang)
kriteria yang digunakan adalah: -
Bila LQ > 1, maka sektor tersebut dikategorikan sebagai sektor basis/sektor ekspor, yang artinya bahwa sektor tersebut mampu menyerap tenaga kerja relatif lebih tinggi dari rata-rata nasional.
-
Bila LQ < 1, maka sektor tersebut dikategorikan sebagai sektor nonbasis/sektor lokal,
yang artinya bahwa sektor tersebut secara
proporsional hanya mampu menyerap tenaga kerja relatif lebih rendah dari rata-rata nasional dalam memenuhi kebutuhan tenaga kerja lokal. 3.1.3. Model dan Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kesempatan Kerja Untuk mengetahui pengaruh PMA, PMDN, PDRB dan suku bunga kredit terhadap kesempatan kerja di DKI Jakarta dispesifikasikan dalam model penelitian yang merupakan fungsi matematis dari: KK = f ( PMA, PMDN , PDRB, SBK )
Fungsi matematis di atas kemudian dianalisis dengan meregresikan variabelvariabel yang ada dengan Ordinary Least Square (OLS) melalui analisis regresi linear berganda dengan Semi-Logaritma Natural dan Variabel Dummy:
68
LnKK = β + b0 Dummy + b1 LnPMA + b2 LnPMDN + b3 LnPDRB + b4 SBK + e KK
= Tingkat pertumbuhan kesempatan kerja (orang)
Dummy
= Variabel Dummy, dimana : 0 = Pra Otonomi Daerah : 1 = Era Otonomi Daerah
PMA
= Tingkat penanaman modal asing (rupiah)
PMDN
= Tingkat penanaman modal dalam negeri (US dolar)
PDRB
= Tingkat produk domestik regional bruto (rupiah)
SBK
= Tingkat suku bunga kredit riil (persen)
β
= Konstanta
b1 ; b2 ; b3 ; b4 = Koefisien variabel bebas terhadap kesempatan kerja
e
= Nilai residu
3.1.3.1. Uji Asumsi Klasik 1.
Uji Normalitas Uji normalitas dimaksudkan untuk mengetahui apakah data residual atau
data regresi yang diteliti berdistribusi normal atau tidak. Dengan asumsi kenormalan ini, maka akan didapatkan koefisien regresi yang bersifat linier tak bias terbaik (BLUE). Asumsi normalitas ini diperlukan dalam penelitian yang mempunyai tujuan untuk penaksiran dan pengujian hipotesis (Suliyanto 2002). Adanya distribusi data yang tidak normal karena terdapat nilai ekstrim dalam data yang diambil. Untuk menguji apakah data berdistribusi normal atau tidak maka dapat digunakan Jarque-Bera test dengan kriteria pengujian sebagai berikut: a.
Jika nilai JB-hitung > nilai X²-tabel maka hipotesis yang menyatakan bahwa residual u1 berdistribusi normal dapat ditolak.
b.
Jika nilai JB-hitung < nilai X²-tabel maka hipotesis yang menyatakan bahwa residual u1 berdistribusi normal dapat diterima.
2.
Uji Multikolinearitas Apabila pada model persamaan regresi mengandung gejala multikolinieritas,
ini berarti terjadi korelasi (mendekati sempurna) antar variabel bebas. Untuk mengetahui ada tidaknya multikolinieritas antar variabel bebas salah satu caranya adalah dengan melihat nilai Correlation Matrix antar variabel bebas. Jika nilai
69
korelasi antar variabelnya cukup tinggi (biasanya >0,8), maka diindikasikan ada hubungan antar variabel tersebut. Sehingga akhirnya dapat diduga terjadi multikolinearitas. Pengujian terhadap gejala multikolinearitas dapat dilakukan dengan membandingkan koefisien determinasi parsial, (r²) dengan koefisien determinasi majemuk (R²) regreasi awal atau yang disebut dengan metode Klein Rule of Thumbs. Jika r²
Uji Autokorelasi Autokorelasi adalah hubungan yang terjadi diantara anggota-anggota dari
serangkaian pengamatan yang tersusun dalam rangkaian waktu (seperti pada data runtun waktu atau time series data) atau yang tersusun dalam rangkaian ruang (seperti pada data silang atau coss sectional data). Jadi uji autokorelasi bertujuan untuk mengetahui apakah ada korelasi antar anggota serangkaian data observasi yang diuraikan menurut waktu (time series) atau ruang (cross section), dengan kata lain uji autokorelasi dilakukan untuk menguji apakah dalam sebuah model regresi linier ada korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t dengan kesalahan pada periode t-1 (periode sebelumnya) (Insukindro et al. 2004). Cara untuk mendeteksi ada tidaknya autokorelasi yaitu dengan menggunakan metode Breusch-Godfrey Serial Correlation Lagrange Multiplier (LM) Test dengan kriteria pengujian sebagai berikut: a.
Jika nilai Obs*R-squared > nilai X²-tabel atau nilai Probability Obs*Rsquared < 0.05, maka terjadi autokorelasi.
b.
Jika nilai Obs*R-squared < nilai X²-tabel atau nilai Probability Obs*Rsquared > 0.05, maka tidak terjadi autokorelasi.
3.1.3.2. Uji Dugaan Model 1.
Pengujian Koefisien Regresi Secara Serentak (Uji F-Statistik) Uji-F digunakan untuk mengetahui tingkat signifikansi pengaruh variabel
bebas secara serentak terhadap variabel tidak bebas. Adapun pengujiannya dilakukan dengan rumus sebagai berikut (Gujarati 1999): R2 F=
(k − 1)
(1 − R 2)
(n − k )
70
F
= Nilai F hitung
R2
= Koefisien determinan (R-Square)
k
= Banyaknya variabel dalam penelitian
n
= Banyaknya sampel
Dengan derajat kebebasan (df) = (k-1)(n-1) dan tingkat keyakinan 95% atau α = 0,05. Kriteria Pengujian: a.
F hitung ≤ F tabel, artinya variabel bebas (independent variable) yang bekerja secara bersama-sama tidak berpengaruh secara signifikan terhadap variabel tidak bebasnya (dependent variable).
b.
F hitung > F tabel, artinya variabel bebas (independent variable) yang bekerja secara bersama-sama berpengaruh secara signifikan
terhadap
variabel tidak bebasnya (dependent variable). 2.
Pengujian Koefisien Regresi Secara Parsial (Uji t-Statistik) Uji-t digunakan untuk mengetahui tingkat signifikansi pengaruh dari
masing-masing
variabel
bebas
terhadap
variabel
tidak
bebas.
Adapun
pengujiannya dilakukan dengan rumus sebagai berikut (Gujarati 1999): t=
bi Sbi
t
= Nilai t hitung
bi
= Koefisien regresi variabel bebas ke-i
Sbi
= Kesalahan baku regresi/standar eror koefisien regresi variabel bebas ke-i
Dengan derajat kebebasan (df) = (n-k) dan tingkat keyakinan 95% atau α = 0,05. Kriteria Pengujian: a.
t hitung negatif ≥ t tabel ≥ t hitung positif, artinya variabel bebas (independent variable) yang bekerja secara parsial atau individu tidak berpengaruh secara signifikan terhadap variabel tidak bebasnya (dependent variable).
b.
t hitung negatif ≤ t tabel atau t hitung positif ≥ t tabel, artinya varibel bebas (independent variable) yang bekerja secara parsial atau individu
71
berpengaruh secara signifikan terhadap variabel tidak bebasnya (dependent variable).
3.2.
Jenis, Sumber Data dan Definisi Operasional
3.2.1. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Pusat dan DKI Jakarta yang meliputi jumlah penduduk yang bekerja, Penanaman Modal Asing (PMA), Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), tingkat bunga kredit dan data lainnya yang mendukung penelitian ini. 3.2.2. Definisi Operasional Variabel 1.
Struktur
perekonomian
dalam
penelitian
ini
merupakan
komposisi/kontribusi dari kegiatan produksi secara sektoral yang mengacu pada klasifikasi yang telah dibuat oleh Badan Pusat Statistik (BPS) yang terdiri dari 9 sektor , yaitu 1. Pertanian; 2. Pertambangan dan Penggalian; 3. Industri Pengolahan; 4. Listrik, Gas dan Air Minum; 5. Bangunan; 6. Perdagangan, Hotel dan Restoran; 7. Pengangkutan dan Komunikasi; 8. Keuangan, Persewaan dan Asuransi; dan 9. Jasa-Jasa Lainnya. 2.
Kesempatan kerja merupakan lapangan pekerjaan yang sudah terisi oleh angkatan kerja, yaitu jumlah penduduk usia 15+ tahun yang sedang atau sudah bekerja menurut lapangan usaha dengan satuan orang.
3.
Penanaman Modal Asing (PMA) merupakan pengeluaran oleh produsen swasta asing untuk pembelian barang-barang atau jasa-jasa guna penambahan stok barang dan peralatan perusahaan yang dihitung dengan satuan US dolar.
4.
Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) merupakan pengeluaran oleh produsen swasta domestik untuk pembelian barang-barang atau jasa-jasa guna penambahan stok barang dan peralatan perusahaan yang dihitung dengan satuan rupiah.
5.
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan jumlah seluruh nilai barang dan jasa yang diproduksi oleh seluruh sektor ekonomi dalam suatu
72
wilayah dalam suatu periode tertentu. PDRB yang akan dibahas adalah PDRB atas dasar harga konstan tahun 2000 yang dihitung dengan satuan rupiah. 6.
Suku bunga kredit adalah tingkat bunga kredit riil investasi tertimbang bank umum di DKI Jakarta yang dihitung dengan satuan persen pertahun.
7.
Variabel Dummy Variabel Dummy adalah metode pengklasifikasian data yang membagi sebuah sampel menjadi beberapa subgrup berdasarkan kualitas atau atribut. Dalam penelitian ini variabel Dummy yang digunakan adalah nilai D = 0 untuk periode pra otonomi daerah dan D = 1 untuk periode era otonomi daerah.
73
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.
Gambaran Umum Wilayah Penelitian
4.1.1. Keadaan Geografis Kota Jakarta merupakan dataran rendah dengan ketinggian rata-rata ± 7 meter di atas permukaan laut, terletak pada posisi 6º12’ Lintang Selatan dan 106º48’ Bujur Timur. Luas wilayah provinsi DKI Jakarta berdasarkan SK Gubernur Nomor 171 Tahun 2007 adalah berupa daratan seluas 662,33 km² dan berupa lautan seluas 6.977,5 km². Wilayah DKI Jakarta memiliki tidak kurang dari 110 buah pulau yang tersebar di Kepulauan Seribu dan sekitar 27 buah sungai/saluran/kanal yang digunakan sebagai sumber air minum, usaha perikanan dan usaha perkotaan. Di sebelah utara membentang pantai dari Barat sampai ke Timur sepanjang ± 35 km yang menjadi tempat bermuaranya 9 buah sungai dan 2 buah kanal, sementara di sebelah selatan dan timur berbatasan dengan wilayah provinsi Jawa Barat, sebelah barat dengan provinsi Banten, sedangkan di sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa. Wilayah administrasi provinsi DKI Jakarta terbagi menjadi 5 wilayah kota administrasi dan 1 kabupaten administratif, yaitu: kota administrasi Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Jakarta Pusat, Jakarta Barat dan Jakarta Utara masingmasing dengan luas daratan seluas 141,27 km²; 188,03 km²; 48,13 km²; 129,54 km²; dan 146,66 km² serta kabupaten administratif Kepulauan Seribu dengan luas 8,70 km². Di lima wilayah kota Jakarta terdapat rawa/situ dengan total luas mencapai 155,40 Ha. Luas rawa/situ di Jakarta direncanakan akan mencapai luas 325,80 Ha. Daerah di sebelah selatan dan timur Jakarta cocok digunakan sebagai daerah resapan air dengan iklimnya yang lebih sejuk sehingga ideal dikembangkan sebagai wilayah penduduk. Adapun wilayah Jakarta Barat masih tersedia cukup lahan untuk dikembangkan sebagai daerah perumahan. Kegiatan industri lebih banyak terdapat di Jakarta Utara dan Jakarta Timur sedangkan untuk kegiatan
74
usaha dan perkantoran banyak terdapat di Jakarta Barat, Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan. 4.1.2. Keadaan Ekonomi dan Demografi Perekonomian DKI Jakarta pada tahun 2008 tumbuh sebesar 6,18 persen, angka ini lebih rendah bila dibanding keadaan tahun lalu yang tumbuh 6,44 persen. Sektor-sektor yang menunjukan pertumbuhan tinggi pada periode tersebut adalah sektor pengangkutan, dan komunikasi (14,96 persen); sektor bangunan (7,67 persen); dan sektor perdagangan, hotel, dan restoran (6,26 persen). Jika pada tahun 2007 PDRB atas dasar harga berlaku mencapai Rp. 566,45 triliun maka PDRB tahun 2008 nilainya mencapai Rp. 677,41 triliun. Sektorsektor dengan kontribusi terbesar dalam pembentukan PDRB tahun 2008 adalah sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan (28,56 persen); sektor perdagangan, hotel, dan restoran (20,68 persen); serta sektor industri pengolahan (15,73 persen). Ditinjau dari sisi penggunaan dari PDRB DKI Jakarta pada tahun 2008, sebanyak 54,33 persen digunakan untuk ekspor barang dan jasa, selanjutnya 54,35 persen masih digunakan untuk memenuhi konsumsi rumah tangga dan 35,79 persen untuk pembentukan modal tetap bruto. Selanjutnya, komponen tersebut pada tahun 2008 menunjukan pertumbuhan sebesar 2,62 persen; 6,75 persen; dan 8,49 persen berdasarkan tahun dasar 2000. Sementara itu porsi penggunaan PDRB untuk konsumsi pemerintah dari PDRB DKI Jakarta terlihat menunjukan peningkatan meskipun tidak terlalu besar. Bila pada tahun 2007 konsumsi pemerintah adalah sebesar 5,87 persen dari PDRB DKI Jakarta maka pada tahun 2008 meningkat menjadi 7,07 persen. Angka PDRB per kapita secara tidak langsung bisa dijadikan salah satu indikator untuk mengukur kemakmuran suatu wilayah. Angka yang dihasilkan disini sifatnya makro karena hanya tergantung dari nilai PDRB dan penduduk pertengahan tahun tanpa memperhitungkan kepemilikan dari nilai tambah setiap sektor ekonomi yang tercipta.
75
Pada tahun 2008 PDRB per kapita penduduk DKI Jakarta atas dasar harga berlaku naik sebesar 18,47 persen dibanding tahun sebelumnya dari sebesar Rp. 62,49 juta menjadi Rp. 74,04 juta. Namun demikian, nilai PDRB per kapita riil yang didapat oleh penduduk DKI Jakarta adalah dengan melihat nilai PDRB per kapita berdasarkan harga konstan 2000 yang nilainya meningkat dari Rp. 36,73 juta pada tahun 2007 menjadi Rp. 38,64 juta pada tahun 2008. Dari 6 wilayah kabupaten/kota administrasi, PDRB menurut harga berlaku maupun harga konstan 2000 untuk tahun 2008 tertinggi dicapai oleh kota adminstrasi Jakarta Pusat, yaitu sebesar 178,56 juta dan Rp. 91,23 juta. Demikian pula distribusi persentase PDRB atas dasar harga berlaku terhadap total PDRB untuk tahun 2008 terbesar disumbang kota administrasi Jakarta Pusat (26,19 persen) dan terendah kabupaten administratif Kepulauan Seribu (0,51 persen). Jumlah penduduk DKI Jakarta tahun 2008 berdasarkan hasil proyeksi penduduk DKI sebanyak 9,15 juta jiwa. Dengan luas wilayah 662,33 km² berarti kepadatan penduduknya mencapai 13,8 ribu/km², sehingga menjadikan provinsi ini sebagai wilayah terpadat penduduknya di Indonesia. Dari jumlah tersebut penduduk perempuan lebih banyak dari penduduk lakilaki, seperti yang tampak dari Sex Ratio yang kurang dari 100 yaitu 96,49. Sementara itu, pendidikan tertinggi yang ditamatkan oleh penduduk usia 10 tahun ke atas pada jenjang SLTA sekitar 30,52 persen, sementara untuk jenjang SLTP sekitar 19,61 persen dan tamat SD sekitar 19,85 persen, sedangkan jenjang Akademi/Universitas sebanyak 16,61 persen. Pertumbuhan penduduk mengalami penurunan dari 0,94 persen pada tahun 2008 menjadi 0,92 persen pada tahun 2009. Hal ini mungkin pengaruh dari semakin ditingkatkannya program KB. Selama ini pemda DKI Jakarta terus melakukan upaya untuk menyusun tata ruang perkotaan yang tepat dan memikirkan bagaimana memberi ruang hidup, makanan, air bersih, pelayanan kesehatan, obat-obatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan dan prasarana transportasi serta berbagai kebutuhan lainnya kepada penduduk DKI Jakarta.
76
Sementara upaya transmigrasi penduduk juga terus-menerus dilakukan. Pada tahun 2008 sebanyak 105 KK atau sekitar 425 jiwa diberangkatkan ke provinsi Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Bengkulu dan Sumatera Selatan dengan alokasi berturut-turut 15 KK, 15 KK, 50 KK dan 25 KK. Kegiatan penduduk usia 15 tahun ke atas dapat dibedakan menjadi Angkatan Kerja dan Bukan Angkatan Kerja. Pada tahun 2008 jumlah Angkatan Kerja sebesar 4,77 juta orang dan Bukan Angkatan Kerja 2,18 juta orang dan yang mencari pekerjaan sebanyak 581 ribu orang. Kebanyakan dari mereka yang bekerja berkecimpung di sektor perdagangan, hotel, dan restoran; jasa; dan industri masing-masing sebesar 37,11 persen; 24,27 persen; dan 16,10 persen. Jika diamati berdasarkan status pekerjaannya ada sebesar 57,09 persen sebagai buruh, sementara dengan status pengusaha sebesar 22,67 persen. Tahun 2008 jumlah pencari kerja yang terdaftar di Dinas Tenaga Kerja sebanyak 31,7 ribu orang yang terbesar berada di Jakarta Timur sebanyak 18,51 ribu orang pencari kerja dan terbesar kedua di Jakarta Utara sebanyak 6,53 ribu pencari kerja. 4.1.3. Visi dan Misi Pembangunan Adanya visi dan misi pembangunan DKI Jakarta diharapkan akan terbangun komitmen yang kuat dari pemerintah daerah maupun warga untuk bersama membangun DKI Jakarta. Di sisi lain, visi dan misi ini juga menjadi acuan dalam merumuskan program-program pembangunan baik untuk jangka pendek (tahunan) maupun jangka menengah (lima tahunan). 4.1.3.1. Visi “Terwujudnya Jakarta sebagai ibukota negara Republik Indonesia yang manusiawi, efisien dan berdaya saing global, dihuni oleh masyarakat yang partisipatif, berakhlak, sejahtera, dan berbudaya, dalam lingkungan kehidupan yang aman dan berkelanjutan” Pemahaman terhadap visi tersebut adalah sebagai berikut: a.
Jakarta sebagai ibukota negara dan kota perdagangan dan jasa hendaknya memiliki daya saing global dan mampu menjalankan fungsinya secara
77
efisien, sehingga representatif dipandang dari kepentingan nasional dan internasional. b.
Jakarta hendaknya dihuni warga kota yang sejahtera, berakhlak, berbudaya dan berdisiplin tinggi, produktif serta memiliki kecintaan dan komitmen untuk berpartisipasi dalam membangun kotanya.
c.
Jakarta hendaknya memiliki penataan kota dan lingkungan yang baik dan manusiawi, agar dapat lebih menjamin dinamika kehidupan berkelanjutan.
4.1.3.2. Misi 1.
Meningkatkan pembangunan sarana dan prasarana kota yang efisien, efektif, kompetitif dan terjangkau.
2.
Mewujudkan pembangunan yang adil, ramah lingkungan dan berbasis partisipasi masyarakat.
3.
Menegakkan supremasi hukum, meningkatkan keamanan, ketentraman dan ketertiban kota.
4.
Meningkatkan kualitas kehidupan dan kerukunan warga kota.
5.
Melaksanakan pengelolaan tata pemerintahan kota yang baik. Pemahaman terhadap misi tersebut adalah sebagai berikut:
a.
Untuk mampu berfungsi sebagai ibukota negara dan pusat perdagangan dan jasa yang representatif, ketersediaan prasarana dan sarana kota yang memadai, efisien dan efektif mutlak diperlukan, sekaligus menjamin berlangsungnya kegiatan ekonomi dan investasi secara produktif.
b.
Pada dasarnya pembangunan harus diarahkan secara lebih adil dan merata, ramah lingkungan serta memberi peluang yang seluas-luasnya bagi partisipasi masyarakat, agar tumbuh rasa memiliki dan komitmen dalam proses pembangunan dan hasil-hasilnya.
c.
Menegakan supremasi hukum, keamanan, ketentraman dan ketertiban kota disadari telah menjadi kebutuhan pokok masyarakat dan pra-kondisi bagi berlangsungnya pembangunan dan aktivitas kota yang lebih efisien dan produktif.
d.
Kualitas kehidupan kota yang lebih baik dan kerukunan warga kota menjadi pendorong bagi berlangsungnya berbagai aktivitas masyarakat secara lebih aman, damai, harmonis dan sinergis.
78
e.
Pengelolaan tata pemerintahan kota yang baik oleh aparatur yang profesional, memiliki spirit, etos kerja dan komitmen tinggi, serta didukung sistem informasi handal, dapat lebih menjamin kinerja pemerintah dalam meningkatkan pelayanan masyarakat, menciptakan kepastian hukum, transparansi dan akuntabilitas publik.
4.2.
Analisis Data dan Pembahasan
4.2.1. Analisis Shift Share (SS) Analisis Shift Share digunakan untuk menganalisis perubahan berbagai indikator kegiatan ekonomi, seperti nilai tambah dan kesempatan kerja pada dua titik periode waktu yaitu tahun 2001 dan 2008 di wilayah DKI Jakarta. Analisis ini untuk menunjukan sektor-sektor yang berkembang di DKI Jakarta dibandingkan dengan perkembangan ekonomi nasional. Dalam hal ini, analisis Shift Share melihat pertumbuhan dari suatu kegiatan terutama melihat perbedaan pertumbuhan skala wilayah yang lebih luas (wilayah referensi) maupun dalam skala wilayah yang lebih kecil. Hasil perhitungan Shift Share DKI Jakarta tahun 2001-2008 dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8
Hasil Perhitungan Shift-Share (SS) Struktur Perekonomian Atas Dasar Tenaga Kerja DKI Jakarta Tahun 2001-2008
Lapangan Usaha Pertanian Pertambangan, dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas, dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel, dan Restoran Pengangkutan, dan Komunikasi Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa
Dimana komponen : G = unsur pertumbuhan nasional M = unsur bauran industri S = unsur keunggulan kompetitif Y = pertumbuhan total tenaga kerja
G 3.943 10 94.676 3.422 16.931 156.175 38.200 26.272 103.028
M -2.725 -8 -66.620 65.569 37.692 103.201 76.743 33.550 48.727
S -12.031 11.369 -85.080 -73.304 4.797 88.985 -8.371 35.306 69.171
(Orang) Y -10.813 11.372 -57.024 -4.313 59.420 348.361 106.572 95.129 220.925
79
Kebijakan otonomi daerah yang secara serentak diterapkan pada seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sejak tahun 2000 telah membawa warna tersendiri bagi kehidupan masyarakat di daerah termasuk di provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia dan pusat segala bentuk aktivitas baik ekonomi, sosial politik, budaya dan lain sebagainya. Penerapan otonomi daerah selain dilatarbelakangi adanya dampak dari unsur politik oleh rezim kekuasaan yang memerintah sebelumnya, juga karena adanya motif dan faktor ekonomi yang menghendaki terciptanya kesejahteraan bagi penghidupan warga negara. Dampak yang paling signifikan dari diberlakukannya penerapan otonomi daerah bagi DKI Jakarta adalah diberikannya hak dan wewenang kepala daerah untuk mengatur dan menetapkan kebijakannya yang terkait dengan kepentingan daerah yang salah satunya dalam rangka menciptakan kesejahteraan ekonomi bagi masyarakat DKI Jakarta. Salah satu aspek ekonomi yang terkait secara langsung dengan kesejahteraan bagi masyarakat DKI Jakarta adalah terciptanya kesempatan kerja yang luas dan dapat dimanfaatkan oleh angkatan kerja yang tersedia. Karena dengan adanya kesempatan kerja yang luas yang dapat menampung kebutuhan pekerjaan bagi angkatan kerja tentu akan berdampak positif dalam penciptaan aktivitas dan kegiatan ekonomi selanjutya. Akan tetapi, dalam upaya penciptaan kesempatan kerja tersebut tidaklah mungkin dapat dilakukan tanpa melibatkan potensi dan karateristik aktivitas ekonomi yang telah melekat secara umum bagi DKI Jakarta. Dalam struktur perekonomiannya, DKI Jakarta masih didominasi oleh sektor tersier. Meskipun pada beberapa wilayah DKI Jakarta masih terdapat konsentrasi aktivitas ekonomi dalam sektor primer maupun sekunder, seperti adanya sentra florikultura, sentra perikanan, kawasan industri, dan perkampungan industri kecil (PIK) serta pengembangan industri lokal. Sehingga dengan demikian, pemerintah daerah DKI Jakarta pun perlu mempertimbangkan pengembangan sektor-sektor primer dan sekunder. Karena baik sektor primer, sektor sekunder maupun sektor tersier juga masih memberikan kontribusi terhadap PDRB. Hal lain yang tidak kalah pentingnya yang terkait dengan perluasan kesempatan kerja adalah berdasarkan hasil analisis Shift Share yang melibatkan
80
tiga komponen diantaranya adalah komponen pertumbuhan tenaga kerja nasional, komponen bauran industri dan komponen keunggulan kompetitif pada masingmasing sektor ekonomi: 1. Sektor Pertanian Sektor pertanian DKI Jakarta berdasarkan analisis Shift Share tahun 20012008 dipengaruhi oleh beberapa komponen. Pada pengaruh komponen pertumbuhan nasional (Gij), sektor ini berkontribusi positif dalam menciptakan tenaga kerja yaitu bertambah sebesar 3.943 orang terhadap penyerapan tenaga kerja nasional. Ini dikarenakan adanya permintaan nasional dari produk sektor pertanian terutama pada jenis tanaman hias; tanaman buah-buahan, seperti Belimbing, Nangka dan Pisang yang pada tahun 2008 mampu menghasilkan produksi masing-masing sebesar 3.363.300 kg, 2.691.100 kg dan 1.695.400 kg; peternakan dan perikanan, seperti ayam pedaging dan sapi perah yang mampu menghasilkan populasi masing-masing sebesar 68.000 ekor dan 3.355 ekor; serta sebagian tanaman budidaya pertanian yang dihasilkan DKI Jakarta seperti yang terdapat di Jakarta Timur yaitu Selatan Jalan Lingkar Luar Pasar Rebo, Ciracas, Cipayung sebagai tempat budidaya pertanian dan tanaman hias; di Jakarta Selatan yaitu Pasar Minggu, Cilandak, Ciganjur, Jagakarsa sebagai tempat budidaya pertanian, tanaman hias, tanaman buah-buahan; di Jakarta Barat yaitu Slipi sebagai tempat budidaya ikan hias, Pegadungan sebagai tempat intensfikasi pertanian, Semanan, Rawa Belong sebagai tempat sentra florikultura-pusat budidaya tanaman hias, Kapuk sebagai tempat peternakan Babi; dan di Jakarta Utara yaitu Marunda, Rorotan, Kamal Muara sebagai tempat budidaya pertanian, Muara Angke sebagai tempat sentra perikanan; serta di Kepulauan Seribu yaitu Pulau Semak Daun, Pulau Karang Congkak, Gugus Pulau Pari sebagai tempat budidaya perikanan laut. Komoditas pertanian inilah yang mendorong komponen pertumbuhan nasional (Gij) dari sektor pertanian. Pada pengaruh komponen bauran industri (Mij), sektor ini berkontribusi negatif yang menyebabkan pertumbuhan tenaga kerja berkurang sebesar 2.725 orang. Serta pada pengaruh komponen keunggulan kompetitif (Sij), sektor ini berkontribusi negatif yang menyebabkan pertumbuhan tenaga kerja berkurang
81
sebesar 12.031 orang dibandingkan dengan pertumbuhan tenaga kerja sektor yang sama di tingkat nasional. Nilai Shift-Share secara keseluruhan (Yij), sektor pertanian memberikan kontribusi negatif dengan berkurangnya tenaga kerja yang tercipta, yakni sebesar 10.813 orang. Hal ini mempunyai arti bahwa pertumbuhan tenaga kerja sektor pertanian di DKI Jakarta relatif lebih lambat karena dipengaruhi oleh pertumbuhan tenaga kerja sektor pertanian ditingkat nasional. 2. Sektor Pertambangan, dan Penggalian Sektor pertambangan, dan penggalian DKI Jakarta berdasarkan analisis Shift Share tahun 2001-2008 dipengaruhi oleh beberapa komponen. Pada pengaruh komponen pertumbuhan nasional (Gij), sektor ini berkontribusi positif dalam menciptakan tenaga kerja yaitu bertambah sebesar 10 orang terhadap penyerapan tenaga kerja nasional. Pada pengaruh komponen bauran industri (Mij), sektor ini berkontribusi negatif yang menyebabkan pertumbuhan tenaga kerja berkurang sebesar 8 orang. Serta pada pengaruh komponen keunggulan kompetitif (Sij), sektor ini berkontribusi positif yang menyebabkan pertumbuhan tenaga kerja bertambah sebesar 11.369 orang dibandingkan dengan pertumbuhan tenaga kerja sektor yang sama di tingkat nasional. Nilai Shift-Share tersebut dikarenakan adanya potensi alam di Kepulauan Seribu yang menjadi salah satu kabupaten administrasi di DKI Jakarta semenjak otonomi daerah sehingga penanganan dalam pengelolaan potensi alam seperti penambangan pasir dan potensi alam lainnya menjadi lebih terarah dan mendorong adanya penciptaan lapangan kerja di DKI Jakarta seperti yang terdapat di pulau Dua Barat, pulau Dua Timur dan pulau Pabelokan sebagai tempat kawasan khusus pertambangan dan pulau lainnya yang mempunyai potensi pada sektor pertambangan dan penggalian. Nilai Shift-Share secara keseluruhan (Yij), sektor pertambangan, dan penggalian memberikan kontribusi positif dengan bertambahnya tenaga kerja yang tercipta, yakni sebesar 11.372 orang. Hal ini mempunyai arti bahwa pertumbuhan tenaga kerja sektor pertambangan, dan penggalian di DKI Jakarta relatif lebih cepat karena dipengaruhi oleh pertumbuhan tenaga kerja sektor pertambangan,
dan
penggalian
ditingkat
nasional.
Dikarenakan
adanya
82
penyediaan produk pertambangan dan penggalian untuk memenuhi kebutuhan daerah sekitar DKI Jakarta sehingga membutuhkan adanya penciptaan tenaga kerja di sektor pertambangan, dan penggalian. 3. Sektor Industri Pengolahan Sektor industri pengolahan DKI Jakarta berdasarkan analisis Shift Share tahun 2001-2008 dipengaruhi oleh beberapa komponen. Pada pengaruh komponen pertumbuhan nasional (Gij), sektor ini berkontribusi positif dalam menciptakan tenaga kerja yaitu bertambah sebesar 94.676 orang terhadap penyerapan tenaga kerja nasional. Ini dikarenakan peningkatan aktivitas ekonomi pada industri pengolahan karena adanya permintaan produk dari skala nasional yang mendorong perkembangan pada industri pengolahan di DKI Jakarta seperti pada industri makanan, minuman, dan tembakau; industri tekstil, barang kulit dan alas kaki; industri kertas dan barang cetakan; industri pupuk, kimia dan barang dari karet; dan industri alat angkutan, mesin dan peralatannya seperti yang terdapat di Jakarta Timur yaitu Pulogadung sebagai tempat kawasan industri, Pasar ReboCiracas sebagai tempat industri teknologi tinggi dan industri selektif, Klender sebagai tempat pusat industri kreatif, Penggilingan-Pulogebang, Kramat Jati sebagai tempat perkampungan industri kecil (PIK); di Jakarta Selatan yaitu Kebayoran Lama sebagai tempat perkampungan industri kecil (PIK); dan di Jakarta Barat yaitu Cengkareng, Kalideres, sepanjang sungai Mookevart sebagai tempat kawasan industri, Rawa Buaya sebagai tempat usaha kecil menengah (UKM), Semanan sebagai tempat perkampungan industri kecil (PIK) dan Primkopti Swakerta Industri Tahu Tempe; serta di Jakarta Utara yaitu Ancol Barat, Penjaringan, Cilincing sebagai tempat kawasan industri, Marunda sebagai tempat industri selektif, Kalibaru sebagai tempat industri kecil. Pada pengaruh komponen bauran industri (Mij), sektor ini berkontribusi negatif yang menyebabkan pertumbuhan tenaga kerja berkurang sebesar 66.620 orang. Serta pada pengaruh komponen keunggulan kompetitif (Sij), sektor ini berkontribusi negatif yang menyebabkan pertumbuhan tenaga kerja berkurang sebesar 85.080 orang dibandingkan dengan pertumbuhan tenaga kerja sektor yang sama di tingkat nasional. Ini dikarenakan pada beberapa jenis industri, pemerintah
83
pusat maupun pemerintah daerah merelokasikan ke luar wilayah DKI Jakarta sebagai upaya pengurangan kepadatan wilayah di DKI Jakarta. Nilai Shift-Share secara eseluruhan (Yij), sektor industri pengolahan memberikan kontribusi negatif dengan berkurangnya tenaga kerja yang tercipta, yakni sebesar 57.024 orang. Hal ini mempunyai arti bahwa pertumbuhan tenaga kerja sektor industri pengolahan di DKI Jakarta relatif lebih lambat karena dipengaruhi oleh pertumbuhan tenaga kerja sektor industri pengolahan ditingkat nasional. 4. Sektor Listrik, Gas, dan Air Bersih Sektor listrik, gas, dan air bersih DKI Jakarta berdasarkan analisis Shift Share tahun 2001-2008 dipengaruhi oleh beberapa komponen. Pada pengaruh komponen pertumbuhan nasional (Gij), sektor ini berkontribusi positif dalam menciptakan tenaga kerja yaitu bartambah sebesar 3.422 orang terhadap penyerapan tenaga kerja nasional. Dan pada pengaruh komponen bauran industri (Mij), sektor ini berkontribusi positif yang menyebabkan pertumbuhan tenaga kerja bertambah sebesar 65.569 orang. Kedua komponen tersebut sangat mempengaruhi dalam penciptaan kesempatan kerja dikarenakan masih banyaknya proyek pembangunan yang sedang berlangsung di DKI Jakarta dalam memberikan fasilitas dan kemudahan bagi masyarakat DKI Jakarta terutama dalam menyediakan supply listrik seperti yang terjadi pada tahun 2008 dimana konsumsi listrik yang dibutuhkan oleh masyarakat DKI Jakarta sebesar 29.605.656.907 MW dengan jumlah pelanggan sebanyak 2.490.224 pelanggan; dan jumlah pelanggan gas baik yang berasal dari kalangan rumah tangga, industri kecil/sedang dan industri besar masing-masing sebanyak 13.450 pelanggan, 148 pelanggan dan 37 pelanggan; serta jumlah produksi air bersih yang dihasilkan oleh PDAM, PT. Paljaya dan PT. Thames Pam Jaya sebesar 515.094.993 m³ sedangkan yang terjual sebesar 258.939.302 m³ dengan jumlah pelanggan sebanyak 778.044 pelanggan. Dalam hal ini, sektor listrik, gas, dan air bersih baik dari komponen pertumbuhan nasional (Gij) maupun dari komponen bauran industri (Mij) memberikan dampak positif terhadap penciptaan kesempatan kerja di DKI Jakarta. Serta pada pengaruh komponen keunggulan kompetitif (Sij), sektor ini berkontribusi negatif yang
84
menyebabkan pertumbuhan tenaga kerja berkurang sebesar 73.304 orang dibandingkan dengan pertumbuhan tenaga kerja sektor yang sama di tingkat nasional. Nilai Shift-Share secara keseluruhan (Yij), sektor listrik, gas, dan air bersih memberikan kontribusi negatif dengan berkurangnya tenaga kerja yang tercipta, yakni sebesar 4.313 orang. Hal ini mempunyai arti bahwa pertumbuhan tenaga kerja sektor listrik, gas, dan air bersih di DKI Jakarta relatif lebih lambat karena dipengaruhi oleh pertumbuhan tenaga kerja sektor listrik, gas, dan air bersih ditingkat nasional. 5. Sektor Bangunan Sektor bangunan DKI Jakarta berdasarkan analisis Shift Share tahun 20012008 dipengaruhi oleh beberapa komponen. Pada pengaruh komponen pertumbuhan nasional (Gij), sektor ini berkontribusi positif dalam menciptakan tenaga kerja yaitu bertambah sebesar 16.931 orang terhadap penyerapan tenaga kerja nasional. Dan pada pengaruh komponen bauran industri (Mij), sektor ini berkontribusi positif yang menyebabkan pertumbuhan tenaga kerja bertambah sebesar 37.692 orang. Serta pada pengaruh komponen keunggulan kompetitif (Sij), sektor ini berkontribusi positif yang menyebabkan pertumbuhan tenaga kerja bertambah sebesar 4.797 orang dibandingkan dengan pertumbuhan tenaga kerja sektor yang sama di tingkat nasional. Nilai Shift-Share secara keseluruhan (Yij), sektor bangunan memberikan kontribusi positif dengan bertambahnya tenaga kerja yang tercipta, yakni sebesar 59.420 orang. Hal ini mempunyai arti bahwa pertumbuhan tenaga kerja sektor bangunan di DKI Jakarta relatif lebih cepat karena dipengaruhi oleh pertumbuhan tenaga kerja sektor bangunan ditingkat nasional. Ini dikarenakan proyek pembangunan penyediaan berbagai fasilitas terutama sarana fisik selalu menjadi komponen prioritas pembangunan di DKI Jakarta seperti yang terdapat di Jakarta Pusat yaitu Petamburan, Karet Tengsin, Bendungan Hilir; di Jakarta Timur yaitu Cakung, Pulogebang, Cipayung; dan di Jakarta Barat yaitu Sentra Primer Barat, Grogol, Slipi-Palmerah; serta di Jakarta Utara yaitu Pademangan, Cilincing, Penjaringan yang semenjak otonomi daerah kawasan tersebut memprioritaskan
85
lebih banyak proyek pembangunan baik perumahan/apartemen, perkantoran dan sebagainya. Selain itu, prioritas pemerintah daerah DKI Jakarta dalam sektor bangunan ini adalah proyek pembangunan banjir kanal timur (BKT), beberapa fly over dan under pass serta rumah susun (Rusun). Sedangkan prioritas swasta dalam sektor bangunan ini adalah proyek pembangunan pusat-pusat bisnis dan pemukiman elit seperti apartemen dan kondominium. Oleh karenanya, dalam hasil perhitungan Shift-Share ini, semua komponen berdampak positif disebabkan jumlah
tenaga
kerja
senantiasa
dibutuhkan
untuk
menunjang
proyek
pembangunan di DKI Jakarta. 6. Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran Sektor perdagangan, hotel, dan restoran DKI Jakarta berdasarkan analisis Shift Share tahun 2001-2008 dipengaruhi oleh beberapa komponen. Pada pengaruh komponen pertumbuhan nasional (Gij), sektor ini berkontribusi positif dalam menciptakan tenaga kerja yaitu bertambah sebesar 156.175 orang terhadap penyerapan tenaga kerja nasional. Dan pada pengaruh komponen bauran industri (Mij), sektor ini berkontribusi positif yang menyebabkan pertumbuhan tenaga kerja bertambah sebesar 103.201 orang. Serta pada pengaruh komponen keunggulan kompetitif (Sij), sektor ini berkontribusi positif yang menyebabkan pertumbuhan tenaga kerja bertambah sebesar 88.985 orang dibandingkan dengan pertumbuhan tenaga kerja sektor yang sama di tingkat nasional. Nilai Shift-Share secara keseluruhan (Yij), sektor perdagangan, hotel, dan restoran memberikan kontribusi positif dengan bertambahnya tenaga kerja yang tercipta, yakni sebesar 348.361 orang. Hal ini mempunyai arti bahwa pertumbuhan tenaga kerja sektor perdagangan, hotel, dan restoran di DKI Jakarta relatif lebih cepat karena dipengaruhi oleh pertumbuhan tenaga kerja sektor perdagangan, hotel, dan restoran ditingkat nasional. Ini berarti icon DKI Jakarta sebagai kota perdagangan masih melekat dan mampu menciptakan kesempatan kerja disamping adanya berbagai tempat pusat perbelanjaan yang menyediakan berbagai kebutuhan masyarakat DKI Jakarta seperti berbagai pusat grosir, pasar induk, dan pusat perbelanjaan mewah. DKI Jakarta sebagai kota pariwisata seperti Wisata Kota Tua dan adanya penyelenggaran event-event kebudayaan, hiburan maupun lainnya yang dilaksanakan secara nasional maupun internasional juga
86
membutuhkan adanya berbagai penyediaan fasilitas penginapan dan tenaga kerjanya untuk memberikan fasilitas peristirahatan bagi para wisatawan. Selain itu, banyaknya penduduk DKI Jakarta juga menuntut akan adanya penciptaan kesempatan kerja dalam bidang usaha kuliner. Konsentrasi wilayah sektor ini diantaranya di Jakarta Pusat yaitu Pasar Baru, Roxy-Tanah Abang, Proyek Senen-ITC Cempaka Mas, Kawasan Kuliner Pecenongan-Jaksa; di Jakarta Timur yaitu Pusat Grosir Jatinegara, Kampung Melayu, Cibubur, Pasar Induk Beras Cipinang, Pasar Induk Kramat Jati; di Jakarta Selatan yaitu Blok M, Mayestik, Pondok Indah Mall; dan di Jakarta Barat yaitu Lokasari-Mangga Besar, Asemka, Jembatan Lima, Pasar Induk Rawa Buaya; serta di Jakarta Utara yaitu WTC Mangga Dua, SCBD Pluit, Kelapa Gading. 7. Sektor Pengangkutan, dan Komunikasi Sektor pengangkutan, dan komunikasi DKI Jakarta berdasarkan analisis Shift-Share tahun 2001-2008 dipengaruhi oleh beberapa komponen. Pada pengaruh komponen pertumbuhan nasional (Gij), sektor ini berkontribusi positif dalam menciptakan tenaga kerja yaitu bertambah sebesar 38.200 orang terhadap penyerapan tenaga kerja nasional. Dan pada pengaruh komponen bauran industri (Mij), sektor ini berkontribusi positif yang menyebabkan pertumbuhan tenaga kerja bertambah sebesar 76.743 orang. Sektor pengangkutan, dan komunikasi dalam komponen pertumbuhan nasional (Gij) dan komponen bauran industri (Mij) tumbuh positif dalam penciptaan tenaga kerja dikarenakan masih terkonsentrasinya pusat aktivitas ekonomi baik secara nasional maupun regional sehingga memerlukan penyediaan sarana pengangkutan dan komunikasi dalam menunjang aktivitas ekonomi dimana penyediaan jalan provinsi seperti yang terjadi pada tahun 2008 telah mencapai panjang 1.330.328,91 km; penyediaan sarana komunikasi juga telah mencapai 1.959.486 SST disamping adanya peningkatan terhadap penggunaan telepon seluler dan tambahan pada fitur layanan; penyediaan angkutan jalan raya terutama angkutan umum reguler jumlah perusahaan angkutan umum yang beroperasi sebanyak 35 perusahaan sedangkan angkutan kereta listrik (KRL) mampu mengangkut 16.356.631 penumpang, angkutan laut sebagai penunjang kegiatan
87
ekspor dan impor, dan jasa penunjang angkutan serta komunikasi termasuk pos dan telekomunikasi seperti yang terdapat di Jakarta Timur yaitu Cakung-Cilincing, Jalan Lingkar Luar, Jalan Bekasi Raya sebagai tempat Pergudangan, Pulogadung, Kampung Rambutan, Jatinegara sebagai tempat Sentra Transportasi Umum; di Jakarta Selatan yaitu Lebak Bulus, Pasar Minggu sebagai tempat Sentra Transportasi Umum; dan di Jakarta Barat yaitu Kapuk, Tegal Alur sebagai tempat Pergudangan, Bandara Soekarno-Hatta, Kalideres, Jakarta-Kota sebagai Sentra Transportasi Umum; serta di Jakarta Utara yaitu Pelabuhan Tanjung Priok, Tanjung Priok sebagai Sentra Transportasi Umum. Serta pada pengaruh komponen keunggulan kompetitif (Sij), sektor ini berkontribusi negatif yang menyebabkan pertumbuhan tenaga kerja berkurang sebesar 8.371 orang dibandingkan dengan pertumbuhan tenaga kerja sektor yang sama ditingkat nasional. Nilai Shift-Share secara keseluruhan (Yij), sektor pengangkutan, dan komunikasi memberikan kontribusi positif dengan bertambahnya tenaga kerja yang tercipta, yakni sebesar 106.572 orang. Hal ini mempunyai arti bahwa pertumbuhan tenaga kerja sektor pengangkutan, dan komunikasi di DKI Jakarta relatif lebih cepat karena dipengaruhi oleh pertumbuhan tenaga kerja sektor pengangkutan, dan komunikasi ditingkat nasional. Sehingga sektor pengangkutan, dan komunikasi masih menjadi salah satu sektor yang mampu menciptakan kesempatan kerja dikarenakan perlunya penyediaan sarana pengangkutan maupun komunikasi yang memadai dalam menunjang aktivitas ekonomi masyarakat DKI Jakarta. 8. Sektor Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan Sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan DKI Jakarta berdasarkan analisis Shift-Share tahun 2001-2008 dipengaruhi oleh beberapa komponen. Pada pengaruh komponen pertumbuhan nasional (Gij), sektor ini berkontribusi positif dalam menciptakan tenaga kerja yaitu bertambah sebesar 26.272 orang terhadap penyerapan tenaga kerja nasional. Dan pada pengaruh komponen bauran industri (Mij), sektor ini berkontribusi positif yang menyebabkan pertumbuhan tenaga kerja bertambah sebesar 33.550 orang. Serta pada pengaruh komponen
88
keunggulan kompetitif (Sij), sektor ini berkontribusi positif yang menyebabkan pertumbuhan tenaga kerja bertambah sebesar 35.306 orang dibandingkan dengan pertumbuhan tenaga kerja sektor yang sama di tingkat nasional. Nilai Shift-Share secara keseluruhan (Yij), sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan memberikan kontribusi positif dengan bertambahnya tenaga kerja yang tercipta, yakni sebesar 95.129 orang. Hal ini mempunyai arti bahwa pertumbuhan tenaga kerja sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan di DKI Jakarta relatif lebih cepat karena dipengaruhi oleh pertumbuhan tenaga kerja sektor keuangan, persewaan, dan jasa ditingkat nasional. Hal ini dikarenakan adanya pusat bisnis dan keuangan di DKI Jakarta melalui keberadaan kantor pusat dan aktivitas bisnis dan keuangan lainnya sehingga jelas sangat mendorong dalam penciptaan kesempatan kerja seperti perbankan, persewaan bangunan dalam bentuk ruko (rumah toko) dan rukan (rumah kantor), dan jasa perusahaan lainnya seperti yang terdapat di Jakarta Pusat yaitu Thamrin-Sudirman, Harmoni, Bandar Baru Kemayoran; di Jakarta Selatan yaitu Sudirman, Kuningan, M.T. HaryonoGatot Subroto; dan di Jakarta Barat yaitu Sentra Primer Barat, Grogol, SlipiPalmerah; serta di Jakarta Utara yaitu Bandar Baru Kemayoran, Tanjung Priok, Kelapa Gading. 9. Sektor Jasa-jasa Sektor jasa-jasa DKI Jakarta berdasarkan analisis Shift Share tahun 20012008 dipengaruhi oleh beberapa komponen. Pada pengaruh komponen pertumbuhan nasional (Gij), sektor ini berkontribusi positif dalam menciptakan tenaga kerja yaitu bertambah sebesar 103.028 orang terhadap penyerapan tenaga kerja nasional. Dan pada pengaruh komponen bauran industri (Mij), sektor ini berkontribusi positif yang menyebabkan pertumbuhan tenaga kerja bertambah sebesar 48.727 orang. Serta pada pengaruh komponen keunggulan kompetitif (Sij), sektor ini berkontribusi positif yang menyebabkan pertumbuhan tenaga kerja bertambah sebesar 69.171 orang dibandingkan dengan pertumbuhan tenaga kerja sektor yang sama di tingkat nasional. Nilai Shift-Share secara keseluruhan (Yij), sektor jasa-jasa memberikan kontribusi positif dengan bertambahnya tenaga kerja yang tercipta, yakni sebesar 220.925 orang. Hal ini mempunyai arti bahwa pertumbuhan tenaga kerja sektor
89
jasa-jasa di DKI Jakarta relatif lebih cepat karena dipengaruhi oleh pertumbuhan tenaga kerja sektor jasa-jasa ditingkat nasional. Ini dikarenakan adanya konsentrasi aktivitas ekonomi dalam sektor jasa-jasa di DKI Jakarta seperti jasa pemerintahan dan pertahanan yang dikarenakan DKI Jakarta sebagai pusat pemerintahan; jasa sosial dan kemasyarakatan seperti jasa pendidikan, jasa kesehatan; jasa hiburan dan rekreasi; dan jasa rumah tangga dan perorangan. Penyediaan jasa-jasa baik jasa sosial maupun komersial telah mendorong aktivitas perekonomian yang pada akhirnya mendorong penciptaan kesempatan kerja di DKI Jakarta seperti yang terdapat di Jakarta Pusat yaitu Senayan, Taman Merdeka yang pada tahun 2008 jumlah wisatawannya mencapai 1.029.184 orang, Kemayoran; di Jakarta Timur yaitu TMII yang pada tahun 2008 jumlah wisatawannya mencapai 4.510.679 orang, di Jakarta Selatan yaitu Kawasan Ragunan yang pada tahun 2008 jumlah wisatawannya mencapai 3.319.186 orang; di Jakarta Barat yaitu Kota Tua yang pada tahun 2008 jumlah wisatawannya mencapai 119.641 orang, Daan Mogot, Cengkareng; dan di Jakarta Utara yaitu Ancol yang pada tahun 2008 jumlah wisatawannya mencapai 13.567.630 orang, Sunda Kelapa; serta di Kepulauan Seribu yaitu pulau Bidadari, pulau Sebaru, pulau Onrust. Pada komponen pertumbuhan tenaga kerja nasional, sektor perdagangan, hotel, dan restoran masih menjadi andalan bagi perluasan kesempatan tenaga kerja DKI Jakarta dengan nilai pertumbuhan tenaga kerja sebesar 156.175 orang. Selanjutnya, sektor jasa-jasa menempati urutan kedua dengan nilai pertumbuhan tenaga kerja sebesar 103.028 orang. Sisanya untuk sektor tersier yakni sektor pengangkutan, dan komunikasi; dan sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan menempati angka pertumbuhan tenaga kerja lebih tinggi dibandingkan nilai pertumbuhan tenaga kerja nasional sektor primer dan sektor sekunder terkecuali sektor industri pengolahan yang menempati urutan ketiga dengan nilai pertumbuhan tenaga kerja nasional sebesar 94.676 orang. Hal ini dapat disimpulkan bahwa komponen pertumbuhan tenaga kerja nasional mendorong pertumbuhan tenaga kerja sektor tersier DKI Jakarta. Sehingga icon DKI Jakarta sebagai kota yang menyediakan berbagai fasilitas pelayanan dan jasa juga ternyata didukung oleh adanya pertumbuhan tenaga kerja pada tingkat nasional. Selain itu,
90
DKI Jakarta juga masih mengimbangi adanya pertumbuhan tenaga kerja nasional sektor industri pengolahan. Hal ini dikarenakan DKI Jakarta masih merelokasi beberapa kawasan industri, perkampungan industri kecil (PIK) dan pengembangan industri lokal di wilayahnya meskipun lokasinya masih di dominasi oleh wilayah pinggir DKI Jakarta. Untuk komponen bauran industri, penyerapan tenaga kerja masih didominasi oleh sektor perdagangan, hotel, dan restoran dengan nilai pertumbuhan tenaga kerja bauran industri sebesar 103.201 orang. Selanjutnya sektor pengangkutan dan komunikasi; dan sektor jasa-jasa menempati urutan kedua dan keempat dengan nilai pertumbuhan tenaga kerja bauran industri sebesar 76.743 dan 48.727 orang. Sedangkan untuk sektor listrik, gas, dan air bersih mengungguli jumlah pertumbuhan tenaga kerja bauran industri sektor jasa-jasa; dan sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan. Dan sektor bangunan mengungguli jumlah pertumbuhan tenaga kerja bauran industri sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan. Hal ini menjelaskan bahwa dalam komponen bauran industri, sektor tersier masih mengungguli sektor lainnya kecuali sektor jasa-jasa yang kurang unggul dibandingkan oleh sektor listrik, gas, dan air bersih; dan sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan yang memang umumnya sektor tersebut penyerapan tenaga kerjanya tidak begitu besar. Apalagi jika dibandingkan dengan sektor listrik, gas, dan air bersih dan sektor bangunan yang penyerapan tenaga kerjanya lebih tinggi dikarenakan kondisi wilayah DKI Jakarta masih memprioritaskan pada pembangunan dan perbaikan fisik seperti gedung-gedung perkantoran, perbelanjaan dan apartemen tempat tinggal, sarana umum sosial, fasilitas umum seperti jalan raya, jembatan (fly over dan under pass), banjir kanal, instalasi komunikasi dan informasi, serta pembangunan dan perbaikan dalam penyediaan jasa-jasa disamping memang jauh sebelumnya DKI Jakarta sudah dikenal sebagai pusat perdagangan maupun penyedia jasa wisata termasuk penginapan dan kuliner. Dalam komponen keunggulan kompetitif, pertumbuhan tenaga kerja terbesar masih didominasi oleh sektor tersier yakni sektor perdagangan, hotel, dan restoran; sektor jasa-jasa; dan sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan dengan nilai pertumbuhan tenaga kerja sebesar 88.985; 69.171; dan 35.306 orang.
91
Selanjutnya sektor sekunder pada sektor pertambangan dan penggalian menempati urutan selanjutnya dengan nilai pertumbuhan tenaga kerja sebesar 11.369 orang diatas sektor pengangkutan, dan komunikasi yang justru memiliki angka -8.371 orang. Hal ini mengindikaskan selain DKI Jakarta dalam komponen keunggulan kompetitif masih juga didominasi oleh sektor tersier, ternyata potensi sektor pertambangan dan penggalian memiliki keunggulan kompetitif tersendiri yang mampu menyerap tenaga kerja. Ini dikarenakan semenjak otonomi daerah, masyarakat memiliki keleluasaan untuk memanfaatkan potensi alam yang ada di DKI Jakarta dan bisa kita lihat dari pemanfaatan potensi laut di Kepulauan Seribu seperti adanya penggalian pasir dan potensi alam lainnya di Kawasan Hutan Lindung I seperti Pulau Pabelokan, Pulau Dua Barat, dan Pulau Dua Timur sebagai kawasan khusus pertambangan. Sedangkan untuk sektor pengangkutan dan komunikasi mengindikasikan adanya kurang kompetitifnya sektor ini dikarenakan adanya kemajuan teknologi dan fasilitas sarana umum sehingga memudahkan masyarakat untuk melakukan kegiatannya sendiri tanpa melibatkan perusahaan-perusahaan penyedia jasa pengangkutan. Disamping itu, adanya persaingan oleh perusahaan-perusahaan besar dalam bidang pengangkutan maupun komunikasi yang secara modern telah menjalin hubungan dengan wilayah nasional maupun internasional yang juga turut mempengaruhi keunggulan kompetitif pada pertumbuhan sektor pengangkutan, dan komunikasi DKI Jakarta. 4.2.1.1. Pergeseran Bersih dan Profil Pertumbuhan Kesempatan Kerja DKI Jakarta Tahun 2001-2008 Nilai pergeseran bersih (PB) merupakan penjumlahan antara nilai komponen bauran industri (M) dan nilai komponen keunggulan kompetitif (S) atau berdasarkan persentase nilai komponen bauran industri (M) dan nilai komponen keunggulan kompetitif (S). Jika PB bernilai positif maka dapat dikatakan bahwa pertumbuhan tenaga kerja DKI Jakarta tergolong ke dalam kelompok progresif (maju). Sedangkan nilai PB yang negatif menunjukan bahwa pertumbuhan tenaga kerja DKI Jakarta tergolong lamban. PB dapat diperoleh dari profil pertumbuhan sektor-sektor perekonomian atas dasar tenaga kerja dengan cara mengekspresikan persentase nilai M dan S ke dalam sumbu vertikal dan horizontal. Persentase nilai
92
M diletakkan pada sumbu horizontal sebagai absis, sedangkan persentase nilai S pada sumbu vertikal sebagai ordinat. Tabel 9
Pergeseran Bersih Sektor-Sektor Perekonomian Atas Dasar Tenaga Kerja DKI Jakarta Tahun 2001-2008
Lapangan Usaha Pertanian Pertambangan, dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas, dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel, dan Restoran Pengangkutan, dan Komunikasi Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa
M -2.725 -8 -66.620 65.569 37.692
S -12.031 11.369 -85.080 -73.304 4.797
PB -14.756 11.362 -151.700 -7.735 42.489
%M -8,94 -9,54 -9,10 247,84 28,80
%S -39,47 14.211,60 -11,62 -277,08 3,66
103.201
88.985
192.186
8,55
7,37
76.743
-8.371
68.372
25,98
-2,83
33.550
35.306
68.857
16,52
17,38
48.727
69.171
117.897
6,12
8,68
Berdasarkan Tabel 9 sektor yang mengalami pergeseran bersih (PB) paling signifikan dan menjadi sektor usaha yang progresif adalah sektor perdagangan, hotel, dan restoran dengan nilai PB sebesar 192.186 orang, sektor jasa-jasa dengan nilai PB sebesar 117.897 orang, sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan dengan nilai PB sebesar 68.857 orang dan sektor pengangkutan, dan komunikasi dengan nilai PB sebesar 68.372 orang. Dengan demikian hipotesis yang menyatakan bahwa pertumbuhan kesempatan kerja riil sangat potensial terjadi pada sektor tersier di DKI Jakarta dapat diterima. Adapun sektor yang pertumbuhannya tergolong lamban adalah sektor industri pengolahan dengan nilai PB sebesar negatif 151.700 orang, sektor pertanian dengan nilai PB sebesar negatif 14.756 orang dan sektor listrik, gas, air bersih dengan nilai PB sebesar negatif 7.735 orang.
93
16,000 Kuadran IV
Kuadran I Pertambangan, dan Penggalian
14,000
12,000
10,000
Pe r K d ag eu a Peang nga n g an n , an , P Ho gk er te ut se l, d an wa a , d an n R an , d es K an tor om J a unasa n ik ... as i
%M
8,000
6,000
4,000 In s du P tri en
2,000
l go a ah
Listrik, Gas, dan Air Bersih
n
0 n
150
200
250
300 Kuadran II
n
a
%S
a un
s -ja
Pe rt an ia
100
ng
sa
-2,000
50
Ba
0
Ja
-50
Pertanian
Pertambangan, dan Penggalian
Industri Pengolahan
Listrik, Gas, dan Air Bersih
Bangunan
Perdagangan, Hotel, dan Restoran
Pengangkutan, dan Komunikasi
Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan
Jasa-jasa
Gambar 7 Profil Pertumbuhan Sektor-Sektor Perekonomian Atas Dasar Tenaga Kerja DKI Jakarta Tahun 2001-2008 Berdasarkan Gambar 7 dapat diketahui bahwa pada masa era otonomi daerah sektor bangunan; sektor perdagangan, hotel, dan restoran; sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan; dan sektor jasa-jasa berada pada Kuadran I. Hal ini menunjukan bahwa sektor-sektor tersebut memiliki pertumbuhan yang cepat dan memiliki keunggulan kompetitif dengan baik. Sedangkan sektor listrik, gas, dan air bersih; dan sektor pengangkutan, dan komunikasi berada pada Kuadran II dan masih dalam posisi di atas garis diagonal 45° yang membagi Kuadran II dan IV menjadi dua bagian. Hal ini menunjukan bahwa sektor-sektor tersebut memiliki pertumbuhan yang cepat namun kurang memiliki keunggulan kompetitif. Untuk sektor pertambangan, dan penggalian berada pada Kuadran IV dan juga masih dalam posisi di atas garis diagonal 45° yang membagi Kuadran II dan IV menjadi dua bagian. Hal ini menunjukan bahwa sektor tersebut memiliki pertumbuhan yang lamban namun memiliki keunggulan kompetitif. Lain halnya dengan sektor pertanian; dan sektor industri pengolahan yang berada pada Kuadran III dan dalam posisi di bawah garis diagonal 45° yang membagi Kuadran II dan IV menjadi dua bagian. Hal ini menunjukan bahwa sektor-sektor tersebut
94
memiliki pertumbuhan yang lamban dan tidak memiliki keunggulan kompetitif dengan baik. Dalam hal nilai pergesaran bersih (PB) yang berada pada Kuadran I, sektor yang mendominasi juga sektor tersier yaitu sektor perdagangan, hotel, dan restoran; sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan; dan sektor jasa-jasa. Sedangkan sektor pengangkutan, dan komunikasi dikarenakan dalam komponen keunggulan kompetitif masih kurang kompetitif sehingga secara persentase dalam nilai keunggulan kompetitif pada nilai pergesaran bersih masih bernilai negatif. Selanjutnya, untuk sektor bangunan berada pada Kuadran I yang mengindikasikan bahwa proyek-proyek pembangunan di DKI Jakarta semenjak otonomi daerah bergulir masih menjadi prioritas. Seperti adanya pembangunan dan perbaikan fisik gedung-gedung perkantoran, perbelanjaan dan apartemen tempat tinggal, sarana umum sosial, fasilitas umum seperti jalan raya, jembatan (fly over dan under pass), banjir kanal, instalasi komunikasi dan informasi, dan sebagainya yang semuanya selain menjadikan sektor bangunan DKI Jakarta memiliki keunggulaan dalam pertumbuhan tenaga kerja bauran industri juga memiliki keunggulan kompetitif.
4.2.2. Analisis Location Quotient (LQ) Analisis LQ merupakan suatu alat analisis untuk menunjukan basis ekonomi wilayah terutama dari kriteria kontribusi (Wibisono, 2003). Disamping itu, LQ adalah suatu indeks untuk mengukur tingkat spesialisasi (relatif) suatu sektor atau subsektor ekonomi suatu wilayah tertentu (Bendavid 1991). Variabel yang digunakan dalam perhitungan basis ekonomi tersebut adalah kesempatan kerja wilayah yang dititikberatkan pada kegiatan dalam struktur ekonomi wilayah. Hasil analisis Location Quotient (LQ) DKI Jakarta tahun 2008 dapat dilihat pada Tabel 10 untuk mengidentifikasi sektor-sektor mana saja di DKI Jakarta yang merupakan sektor basis maupun sektor nonbasis.
95
Tabel 10 Hasil Perhitungan Location Quotient (LQ) Struktur Perekonomian Atas Dasar Tenaga Kerja DKI Jakarta Tahun 2008 Lapangan Usaha Pertanian Pertambangan, dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas, dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel, dan Restoran Pengangkutan, dan Komunikasi Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa
2008 0,01 0,26 1,32 2,69 0,86 1,79 1,59 5,00 1,90
DKI Jakarta mempunyai 6 sektor yang memiliki LQ>1, sektor tersebut yaitu sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan memiliki indeks LQ sebesar 5,00 sehingga sektor ini merupakan sektor basis dengan indeks terbesar. Sektor listrik, gas, dan air bersih merupakan sektor basis terbesar kedua dengan indeks LQ sebesar 2,69. Sektor basis terbesar ketiga yaitu sektor jasa-jasa yang memiliki indeks LQ sebesar 1,90. Sedangkan untuk sektor selanjutnya yang menjadi sektor basis terbesar keempat hingga keenam yaitu sektor perdagangan, hotel, dan restoran dengan indeks LQ sebesar 1,79; sektor pengangkutan, dan komunikasi dengan indeks LQ sebesar 1,59; dan sektor industri pengolahan dengan indeks LQ sebesar 1,32. Dengan demikian hipotesis yang menyatakan bahwa sektor tersier merupakan sektor basis dalam menyerap tenaga kerja di DKI Jakarta dapat diterima. Hal ini menunjukan bahwa keenam sektor tersebut memiliki kekuatan ekonomi yang cukup baik dan sangat berpengaruh terhadap peningkatan kesempatan kerja di DKI Jakarta. Keenam sektor tersebut juga mampu menyerap tenaga kerja relatif lebih tinggi dari rata-rata nasional. Atas dasar pemahaman di atas, keenam sektor tersebut merupakan sektor potensial yang dapat ditingkatkan menjadi lebih baik lagi dalam menyerap tenaga kerja. Sektor ekonomi di DKI Jakarta yang merupakan sektor nonbasis terdapat 3 sektor yaitu sektor pertanian dengan indeks LQ sebesar 0,01; sektor pertambangan, dan penggalian dengan indeks LQ sebesar 0,26; dan sektor bangunan dengan indeks LQ sebesar 0,86. Hal ini menunjukan bahwa secara proporsional ketiga sektor tersebut hanya mampu menyerap tenaga kerja relatif
96
lebih rendah dari rata-rata nasional dalam memenuhi kebutuhan tenaga kerja lokal. Meskipun sektor basis merupakan sektor yang paling potensial untuk dikembangkan dan untuk memacu peningkatan kesempatan kerja di DKI Jakarta, akan tetapi pemerintah daerah tidak mengabaikan peranan sektor nonbasis. Karena dengan adanya peningkatan terhadap sektor basis tersebut maka sektor nonbasis akan dapat terbantu untuk dikembangkan menjadi sektor basis yang baru sehingga pada akhirnya akan menjadi sektor yang potensial pula dalam menyerap tenaga kerja. Dalam analisis Loqation Quotient (LQ) yang merupakan tindak lanjut atau pelengkap dari analisis Shift Share untuk menentukan sektor-sektor yang menjadi basis penyerapan tenaga kerja DKI Jakarta dapat disimpulkan dari hasil perhitungan analisis LQ pada tahun 2008 yang mengindikasikan bahwa ditahun kedelapan sejak otonomi daerah diterapkan, sektor tersier masih menjadi sektor basis dalam penyerapan tenaga kerja. Artinya sektor tersier diantaranya yaitu sektor perdagangan, hotel, dan restoran; sektor pengangkutan, dan komunikasi; sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan; dan sektor jasa-jasa masih menjadi sektor yang mampu menyerap tenaga kerja relatif lebih tinggi dari ratarata nasional. Ini tidak jauh berbeda dari analisis Shif Share yang menyimpulkan hasil yang sama dalam analisis pertumbuhan tenaga kerja. Dengan demikian, selain yang sudah diuraikan sebelumnya bahwa DKI Jakarta sebagai icon pusat kota perdagangan, pelayanan, bisnis, dan jasa. Pemerintah daerah sudah seharusnya memberikan perhatian fokus terhadap perkembangan sektor-sektor tersebut. Sehingga untuk kedepannya, sektor tersier DKI Jakarta dapat dikembangkan dengan lebih baik lagi. Salah satu sektor sekunder yang masih menjadi sektor basis penyerapan tenaga kerja di DKI Jakarta adalah sektor listrik, gas, dan air bersih; dan sektor industri pengolahan. Pada sektor listrik, gas, dan air bersih
yang
dikarenakan
adanya
pembangunan
yang
didominasi
oleh
pembangunan dan perbaikan fisik di DKI Jakarta, yang menuntut adanya penyediaan fasilitas instalasi penunjang sehingga sektor ini menjadi sektor utama guna memenuhi tuntutan hasil pembangunan dan perbaikan fisik di DKI Jakarta. Sedangkan pada sektor industri pengolahan tidak dapat dilepaskan dari semenjak
97
awal era orde baru yang diikuti oleh era otonomi daerah bahwa di DKI Jakarta kawasan industri, perkampungan industri kecil (PIK) maupun pengembangan industri lokal juga dikembangkan terutama pada kawasan pinggir DKI Jakarta. Dengan demikian, keenam sektor tersebut masih menjadi sektor yang potensial dan menjadi sektor basis penyerapan tenaga kerja. Ini juga tidak berbeda jauh dari struktur ekonomi DKI Jakarta tahun 2008 yang tentunya juga diikuti oleh adanya penyerapan tenaga kerja terutama pada sektor tersier yang menurut sektoral pada tahun 2008, PDRB DKI Jakarta sebesar 71,28 persen berasal dari sektor tersier, sebesar 28,14 persen berasal dari sektor sekunder, dan hanya sekitar 0,58 persen dari sektor primer.
4.2.3. Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kesempatan Kerja Untuk mengetahui pengaruh PMA, PMDN, PDRB dan suku bunga kredit terhadap kesempatan kerja di DKI Jakarta dihitung dengan analisis regresi linear berganda dengan Semi-Logaritma Natural dan Variabel Dummy. Hasil uji asumsi klasik pada regresi faktor-faktor yang mempengaruhi kesempatan kerja di DKI Jakarta sebagai berikut: 4.2.3.1. Uji Asumsi Klasik 1.
Uji Normalitas 3.2 Series: Residuals Sample 1993 2008 Observations 16
2.8 2.4 2.0 1.6 1.2 0.8 0.4 0.0 -0.06
-0.04
-0.02
0.00
0.02
0.04
Gambar 8 Uji Normalitas
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
3.89e-15 -0.000525 0.040742 -0.056323 0.028230 -0.483543 2.369561
Jarque-Bera Probability
0.888472 0.641314
98
Uji normalitas dimaksudkan untuk mengetahui apakah data residual yang diteliti berdistribusi normal atau tidak. Dengan asumsi kenormalan ini, maka akan didapatkan koefisien regresi yang bersifat linier tak bias terbaik atau best linier unbiase estimation (BLUE). Asumsi normalitas ini diperlukan dalam penelitian yang mempunyai tujuan untuk penaksiran dan pengujian hipotesis. Berdasarkan hasil analisis yang dapat dilihat pada Gambar 7, dari Jarque-Bera test diperoleh nilai Probability (P-Value) sebesar 0,6413, yang berarti nilai Probability (PValue) > 0,05 maka H0 diterima sehingga dengan demikian dapat disimpulkan bahwa data residual yang diteliti berdistribusi normal. 2.
Uji Multikolinearitas Apabila
pada
model
persamaan
regresi
mengandung
gejala
multikolinieritas, ini berarti terjadi korelasi (mendekati sempurna) antar variabel bebas. Untuk mengetahui ada tidaknya multikolinieritas antar variabel bebas salah satu caranya adalah dengan melihat nilai Correlation Matrix antar variabel bebas. Berdasarkan hasil analisis yang dapat dilihat pada Tabel 11, diperoleh nilai Correlation Matrix antar masing-masing variabel bebas sebesar kurang dari 0,8 terkecuali variabel PDRB dengan variabel dummy. Akan tetapi meskipun ada satu variabel yang nilai Correlation Matrix antar masing-masing variabel bebas sebesar lebih dari 0,8; hasil regresi pada penelitian ini masih termasuk kategori BLUE. Ini dikarenakan untuk memperoleh estimator yang BLUE tidak mensyaratkan asumsi tidak adanya korelasi antar variabel independen (Widarjono 2005). Disamping menurut Uji Klien yang menyebutkan bahwa masalah korelasi sederhana antara variabel eksogen ini bisa diabaikan apabila nilai koefisien korelasinya lebih kecil dibanding nilai koefisien R-squared. Sehingga dengan demikian dapat disimpulkan bahwa antar variabel bebas yang diteliti tidak terjadi multikolinearitas.
99
Tabel 11 Uji Multikolinearitas OTDA 1,000000 0,406145 0,265527 0,849656 0,034786
OTDA PMA PMDN PDRB SBK
3.
PMA 0,406145 1,000000 0,654887 0,672231 0,419420
PMDN 0,265527 0,654887 1,000000 0,535560 0,553326
PDRB 0,849656 0,672231 0,535560 1,000000 0,072899
SBK 0,034786 0,419420 0,553326 0,072899 1,000000
Uji Autokorelasi Autokorelasi adalah hubungan yang terjadi diantara anggota-anggota dari
serangkaian pengamatan yang tersusun dalam rangkaian waktu (seperti pada data runtun waktu atau time series data) atau yang tersusun dalam rangkaian ruang (seperti pada data silang atau coss sectional data). Berdasarkan hasil analisis yang dapat dilihat pada Tabel 12, dari Breusch-Godfrey Serial Correlation Lagrange Multiplier (LM) Test diperoleh nilai Probability Obs*R-squared sebesar 0,4746, yang berarti nilai Probability Obs*R-squared > 0,05 sehingga dengan demikian dapat disimpulkan bahwa antar anggota serangkaian data observasi yang diteliti tidak terjadi autokorelasi. Tabel 12 Uji Autokorelasi Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic 0,410908 Obs*R-squared 1,490516
Probability Probability
0,676282 0,474612
4.2.3.2. Hasil Dugaan Model Dalam mengestimasi model persamaan, penelitian ini menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS). Variabel yang digunakan dalam penelitian adalah otonomi daerah, PMA, PMDN, PDRB, dan suku bunga kredit. Hasil estimasi model dugaan model ditunjukkan melalui Tabel 13. Tabel 13 Hasil Estimasi Koefisien Variabel Penduga Variabel C Otonomi Daerah PMA PMDN PDRB Suku Bunga Kredit R-squared Adjusted R-squared
Koefisien 0,336983 0,007742 *0,087593 *0,439818 0,010824 *-0,003859 0,900955 0,851432
t-Statistik 0,111894 0,187154 *2,425635 *4,347370 0,087255 *-5,206023 F-statistic Prob(F-statistic)
Probabilitas 0,9131 0,8553 *0,0357 *0,0014 0,9322 *0,0004 18,19281 0,000098
100
1.
Pengujian Koefisien Regresi Secara Serentak (Uji F-Statistik ) Uji F digunakan untuk mengetahui tingkat signifikansi pengaruh variabel
bebas secara serentak terhadap variabel tidak bebas. Atau dengan kata lain, untuk menguji arti keseluruhan dari garis regresi yang ditaksir, yaitu apakah variabel kesempatan kerja (LnKK) berhubungan secara linier dengan variabel otonomi daerah, PMA (LnPMA), PMDN (LnPMDN), PDRB (LnPDRB) dan suku bunga kredit secara serentak yang dalam penelitian ini digunakan uji F dengan derajat kebebasan/tingkat keyakinan sebesar 95% (α = 0,05). Berdasarkan hasil analisis yang dapat dilihat pada Tabel 13, pengujian secara serentak diperoleh nilai F-hitung sebesar 18,1928 dan nilai F-tabel sebesar 3,33. Sehingga dengan demikian nilai F-hitung lebih besar daripada nilai F-tabel (18,1928 > 3,33) yang berarti bahwa secara serentak variabel bebas berpengaruh secara signifikan terhadap kesempatan kerja di DKI Jakarta selama kurun waktu tahun 1993-2008. Dari hasil analisis di atas maka hipotesis yang menyatakan bahwa variabel bebas (otonomi daerah, PMA, PMDN, PDRB dan suku bunga kredit) secara serentak berpengaruh terhadap variabel tidak bebas (kesempatan kerja), dapat diterima. Hal ini pun sesuai dengan hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh Rachman (2005), yang menyimpulkan bahwa PDRB, investasi, UMP, dan angkatan kerja secara serentak berpengaruh terhadap kesempatan kerja di DKI Jakarta tahun 1982-2003; Malau (2007), yang menyimpulkan bahwa angkatan kerja, penyerapan tenaga kerja, upah, investasi, dan pendapatan secara serentak berpengaruh terhadap pasar kerja sektor tersier di provinsi DKI Jakarta; Elnopembri (2007) yang menyimpulkan bahwa UMR, tingkat suku bunga kredit investasi bank pemerintah daerah, tingkat suku bunga kredit investasi bank persero pemerintah di daerah, dan nilai produksi industri kecil secara serentak berpengaruh terhadap penyerapan tenaga kerja industri kecil di kabupaten Tanah Datar Provinsi Sumatera Barat tahun 1990-2004; Nainggolan (2009) yang menyimpulkan bahwa PDRB kabupaten/kota, tingkat bunga kredit, UMK secara
101
serentak berpengaruh terhadap kesempatan kerja pada kabupaten/kota di provinsi Sumatera Utara tahun 2002-2007. 2.
Pengujian Koefisien Regresi Secara Parsial (Uji t-Statistik) Uji t digunakan untuk mengetahui tingkat signifikansi pengaruh dari
masing-masing variabel bebas terhadap variabel tidak bebas. Untuk mengetahui pengaruh masing-masing variabel bebas (otonomi daerah, PMA, PMDN, PDRB, suku bunga kredit) terhadap variabel tidak bebas (kesempatan kerja) hasilnya dapat dilihat pada Tabel 13. Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa secara parsial pengaruh variabel bebas (otonomi daerah, PMA, PMDN, PDRB, suku bunga kredit) terhadap variabel tidak bebas (kesempatan kerja) dapat dijelaskan sebagai berikut: Berdasarkan hasil pengujian secara parsial pada variabel otonomi daerah, nilai t-hitung lebih kecil daripada nilai t-tabel (0,1871 < 2,228) yang berarti bahwa secara parsial variabel otonomi daerah secara tidak signifikan berpengaruh positif terhadap kesempatan kerja di DKI Jakarta. Ini dikarenakan sudah menjadi ciri khas bahwa aktivitas perekonomian di DKI Jakarta tanpa adanya campur tangan pemerintah daerah, perekonomian mampu berjalan dengan sendirinya disebabkan DKI Jakarta sudah sekian lama menjadi pusat aktivitas ekonomi sehingga peran pemerintah daerah selama ini hanya sebatas memberikan regulasi dalam menjaga perekonomian melalui kestabilan sosial, hukum dan keamanan disamping peranannya dalam memantau perkembangan perekonomian daerah dan membantu pemerintah pusat guna menunjang perekonomian nasional melalui kebijakan yang selaras dengan pemerintah pusat. Berdasarkan hasil pengujian secara parsial pada variabel PMA, nilai t-hitung lebih besar daripada nilai t-tabel (2,4256 > 2,228) yang berarti bahwa secara parsial variabel PMA secara signifikan berpengaruh positif terhadap kesempatan kerja di DKI Jakarta selama kurun waktu tahun 1993-2008. Sehingga hipotesis yang menyatakan bahwa variabel PMA berpengaruh positif terhadap kesempatan kerja, diterima. Berdasarkan hasil pengujian secara parsial pada variabel PMDN, nilai thitung lebih besar daripada nilai t-tabel (4,3474 > 2,228) yang berarti bahwa
102
secara parsial variabel PMDN secara signifikan berpengaruh positif terhadap kesempatan kerja di DKI Jakarta selama kurun waktu tahun 1993-2008. Sehingga hipotesis yang menyatakan bahwa variabel PMDN berpengaruh positif terhadap kesempatan kerja, diterima. Tabel 14 Persentase PMA menurut Bidang Usaha Tahun 2002-2007 (Persen) Bidang Usaha 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Pertanian, Peternakan, Perikanan 0,16 0,07 0,51 Industri 10,19 1,74 15,71 9,29 7,86 5,43 Konstruksi 18,01 0,63 20,3 21,25 10,7 4,97 Hotel 2,7 3,64 7,72 5,24 2,19 1,95 Real Estate, Perkantoran 7,9 5,29 20,84 20,34 24,78 7,23 Jasa-Jasa Lainnya 61,04 88,63 34,92 43,88 54,47 80,42 Jumlah 100 100 100 100 100 100 Sumber : BPM dan BKUD Provinsi DKI Jakarta. Indikator Ekonomi Jakarta 2008. (diolah).
Tabel 15 Persentase PMDN menurut Bidang Usaha Tahun 2002-2007 (Persen) Bidang Usaha 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Pertanian, Peternakan, Perikanan Industri 13,41 11,96 14,86 20,99 11,99 27,73 Konstruksi 21,85 11,32 28,18 2,99 - 17,22 Hotel 3,34 9,39 - 40,03 0,21 Real Estate, Perkantoran 4,14 36,67 1,53 13,32 27,5 5,13 Jasa-Jasa Lainnya 57,26 30,66 55,43 22,67 60,51 49,71 Jumlah 100 100 100 100 100 100 Sumber : BPM dan BKUD Provinsi DKI Jakarta. Indikator Ekonomi Jakarta 2008. (diolah).
Investasi baik PMA maupun PMDN sangat berperan terhadap peningkatan kesempatan kerja di DKI Jakarta tidak lepas dari adanya peran serta pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dalam menjadikan DKI Jakarta sebagai pusat perdagangan, pelayanan, bisnis dan jasa. Sehingga semenjak berlangsungnya kebijakan otonomi daerah, pemerintah daerah banyak memberikan kemudahan perizinan dalam mendukung iklim investasi di DKI Jakarta seperti pemberlakuan sistem pelayanan terpadu satu pintu (PTSP) pada investor yang hendak menanamkan modalnya diatas Rp. 500.000.000,- sedangkan jika kurang dari nilai tersebut perizinan usaha dan investasi dapat dilakukan melalui kantor wilayah. Dan dalam mempercepat proses birokrasi pendirian usaha dan investasi, semenjak otonomi derah berlangsung pun pemerintah daerah mampu memangkas proses
103
perolehan perizinan pendirian usaha yang semula berkisar 162 hari menjadi hanya rata-rata 68 hari hingga terbit perizinan usaha dan investasi tersebut. Berdasarkan pemeringkatan iklim investasi 33 provinsi di Indonesia tahun 2008 yang dilakukan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dan Komisi Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), provinsi DKI Jakarta juga menduduki peringkat I dengan nilai indeks 74,06 dalam hal infrastruktur yang mencakup penyediaan dan kualitas infrastruktur; peringkat I dengan nilai indeks 90,07 dalam hal tenaga kerja yang mencakup ketersediaan, kualitas dan biaya tenaga kerja; peringkat IV dengan nilai indeks 41,20 dalam hal kinerja ekonomi daerah yang mencakup pertumbuhan investasi, ekonomi, eksporimpor, kesejahteraan dan daya beli, serta tingkat kemahalan investasi; dan peringkat I dengan nilai indeks 57,09 dalam hal peranan dunia usaha dalam perekonomian daerah yang mencakup ketersediaan perbankan dan akses kredit ke perbankan, peran swasta dalam keuangan daerah, investasi dan penciptaan lapangan kerja. Di DKI Jakarta, pusat perdagangan maupun perbelanjaan jumlahnya relatif banyak dan inilah yang memungkinkan investasi di sektor ini mampu menyerap tenaga kerja yang juga relatif banyak seperti yang terdapat di Jakarta Pusat yaitu Pasar Baru, Roxy-Tanah Abang, Proyek Senen-ITC Cempaka Mas, Kawasan Kuliner Pecenongan-Jaksa; di Jakarta Timur yaitu Pusat Grosir Jatinegara, Kampung Melayu, Cibubur, Pasar Induk Beras Cipinang, Pasar Induk Kramat Jati; di Jakarta Selatan yaitu Blok M, Mayestik, Pondok Indah Mall; dan di Jakarta Barat yaitu Lokasari-Mangga Besar, Asemka, Jembatan Lima, Pasar Induk Rawa Buaya; serta di Jakarta Utara yaitu WTC Mangga Dua, SCBD Pluit, Kelapa Gading. Demikian pula dengan sektor jasa dan industri pengolahan. Icon kota Jakarta sebagai pusat ibukota menjadikan pentingnya peran pemerintah daerah dalam menyediakan berbagai sarana dan prasarana pelayanan kepada masyarakat lokal, domestik maupun asing. Dengan demikian, pemerintah daerah maupun investor yang hendak menanamkan modalnya di DKI Jakarta pun lebih memprioritaskan investasi kepada sektor tersebut yang mampu menyerap tenaga kerja lebih banyak.
104
Kebijakan pemerintah daerah dengan memusatkan industri pengolahan ke daerah pinggir ibukota pun tidak menyurutkan jumlah tenaga kerja ibukota yang terserap. Ini menjadi corak tersendiri bagi struktur kota Jakarta yang mampu menjadikan daerah pinggir sebagai kawasan industri sehingga masyarakat pinggir DKI Jakarta mampu terserap sebagai tenaga kerja seperti yang terdapat di Jakarta Timur yaitu Pulogadung sebagai tempat kawasan industri, Pasar Rebo-Ciracas sebagai tempat industri teknologi tinggi dan industri selektif, Klender sebagai tempat pusat industri kreatif, Penggilingan-Pulogebang, Kramat Jati sebagai tempat perkampungan industri kecil (PIK); di Jakarta Selatan yaitu Kebayoran Lama sebagai tempat perkampungan industri kecil (PIK); dan di Jakarta Barat yaitu Cengkareng, Kalideres, sepanjang sungai Mookevart sebagai tempat kawasan industri, Rawa Buaya sebagai tempat usaha kecil menengah (UKM), Semanan sebagai tempat perkampungan industri kecil (PIK) dan Primkopti Swakerta Industri Tahu Tempe; serta di Jakarta Utara yaitu Ancol Barat, Penjaringan, Cilincing sebagai tempat kawasan industri, Marunda sebagai tempat industri selektif, Kalibaru sebagai tempat industri kecil. Dari Tabel 16, nilai PMA maupun PMDN berfluktuatif. Hanya saja pada era Orde Baru tepatnya dua tahun di awal penelitian jumlah proyek yang dibiayai masih lebih banyak oleh PMDN. Akan tetapi setelah bergulirnya era Reformasi atau setelah krisis ekonomi bersamaan dengan bergulirnya otonomi daerah, jumlah proyek yang dibiayai oleh PMA lebih banyak daripada PMDN. Ini mengindikasikan bahwa semenjak otonomi daerah, pemerintah daerah lebih berperan dalam membuka arus investasi asing yang dapat dilihat dari besarnya jumlah proyek yang dibiayai oleh investor asing yang bahkan jumlahnya mencapai 45% dari total investasi asing yang masuk ke Indonesia ada di DKI Jakarta. Meskipun ditahun 1998, PMA yang ditanamkan cenderung merosot dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang dikarenakan adanya krisis ekonomi yang sempat mengguncang perekonomian nasional sehingga berpengaruh pula terhadap perekonomian ibukota. Serta masih adanya pengaruh dari ketidakstabilan politik dan keamanan sebagai dampak dari adanya krisis ekonomi yang mengakibatkan adanya penurunan PMA dan PMDN pada tahun 1999 dan peningkatan kecil PMA pada awal berjalannya otonomi daerah dikarenakan
105
adanya faktor ketidakstabilan politik dan keamanan, proses demokrasi langsung yang baru diterapkan di Indonesia membawa kekhawatiran bagi para investor terhadap jaminan keamanan investasi serta adanya kebijakan nasional yang berdampak pada kondisi ekonomi daerah terkait penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM) yang sangat berpengaruh terhadap keputusan investor untuk menanamkan modalnya di DKI Jakarta.
Tabel 16 Perkembangan PMA dan PMDN DKI Jakarta Tahun 1993-2008 Tahun
PMA Investasi (ribu US $)
834.304 1993 1.355.937 1994 1.918.702 1995 2.430.663 1996 2.436.100 1997 703.916 1998 1.477.547 1999 1.188.670 2000 1.152.300 2001 1.234.429 2002 1.815.300 2003 1.867.972 2004 2.624.156 2005 2.635.281 2006 2.691.830 2007 2.725.800 2008 Sumber : BPM dan BKUD Provinsi DKI Jakarta 1994-2009.
PMDN Investasi (juta Rp.) 2.190.217 2.268.472 2.286.025 2.460.416 2.653.513 1.720.556 3.075.958 2.897.266 2.488.088 2.212.477 2.382.750 2.425.851 2.686.000 2.781.710 2.838.339 3.151.300
Berdasarkan hasil pengujian secara parsial pada variabel PDRB, nilai thitung lebih kecil daripada nilai t-tabel (0,0873 < 2,228) yang berarti bahwa secara parsial variabel PDRB secara tidak signifikan berpengaruh positif terhadap kesempatan kerja di DKI Jakarta selama kurun waktu tahun 1993-2008. Sehingga hipotesis yang menyatakan bahwa variabel PDRB berpengaruh positif terhadap kesempatan kerja, diterima.
106
Tabel 17 Persentase Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) DKI Jakarta Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Struktur Ekonomi Tahun 20012008 (Persen) Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Primer 0,16 0,14 0,12 0,11 0,10 0,09 0,09 Sekunder 28,73 28,74 28,78 28,63 28,49 28,34 28,18 Tersier 71,11 71,12 71,11 71,26 71,41 71,56 71,73 Jumlah 100 100 100 100 100 100 100 Sumber : BPS Provinsi DKI Jakarta. Jakarta Dalam Angka 2002-2009. data diolah. Struktur Ekonomi
2008 0,08 27,95 71,96 100
Peran produk domestik regional bruto (PDRB) dalam memperluas kesempatan kerja juga tidak kalah pentingnya. Bahkan dari hasil penelitian yang dilakukan bahwa PDRB justru berpengaruh positif meskipun tidak signifikan dalam memperluas kesempatan kerja. Ini dapat diartikan bahwa keberlangsungan aktivitas ekonomi dan kemajuan dalam kegiatan ekonomi dengan meningkatnya jumlah PDRB yang dihasilkan oleh suatu perekonomian khususnya DKI Jakarta telah berdampak cukup baik dalam membuka kesempatan kerja. Hanya saja tidak signifikannya PDRB dalam memperluas kesempatan kerja dikarenakan antara lain karena adanya pengaruh serikat kerja dan intervensi pemerintah dalam penentuan upah minimum, banyaknya pencari kerja dengan tingkat pendidikan tertentu tidak sesuai dengan yang dibutuhkan pasar kerja, tidak kondusifnya situasi perekonomian dan tumpang tindihnya kebijakan pusat dan daerah yang pada akhirnya akan berpengaruh pada minat investor untuk menanamkan modalnya. Implikasinya pun adalah terhambatnya penciptaan lapangan kerja baru terutama di sektor formal (Dimas dan Woyanti 2009). Oleh karena itu, agar PDRB mampu memberikan pengaruh yang signifikan maka diperlukan peran pemerintah daerah dalam memberikan kebijakan maupun program yang bersifat menunjang aktivitas perekonomian masyarakat DKI Jakarta. Berdasarkan Tabel 17, persentase PDRB DKI Jakarta Atas Dasar Harga Konstan 2000 masih didominasi oleh sektor tersier yang diikuti oleh sektor sekunder. Sekilas memperlihatkan bahwa sektor tersier mendorong perluasan kesempatan kerja terutama pada sektor perdagangan, hotel, dan restoran; dan sektor jasa-jasa. Sedangkan pada sektor sekunder perluasan kesempatan kerja diciptakan oleh sektor industri pengolahan.
107
Berdasarkan hasil pengujian secara parsial pada variabel suku bunga kredit, nilai t-hitung lebih kecil daripada nilai –t-tabel (-5,2060 < -2,228) yang berarti bahwa secara parsial variabel suku bunga kredit secara signifikan berpengaruh negatif terhadap kesempatan kerja di DKI Jakarta selama kurun waktu 1993-2008. Sehingga hipotesis yang menyatakan bahwa variabel suku bunga kredit berpengaruh negatif terhadap kesempatan kerja, diterima. Tabel 18 Perkembangan Suku Bunga Kredit Investasi DKI Jakarta Tahun 19932008 Tahun Suku Bunga Kredit Investasi (%) 19,72 1993 17,44 1994 18,06 1995 22,55 1996 24,30 1997 -51,22 1998 21,43 1999 13,31 2000 15,14 2001 17,30 2002 14,39 2003 11,96 2004 1,77 2005 13,57 2006 12,25 2007 8,69 2008 Sumber : Bank Indonesia. Statistik Keuangan Daerah DKI Jakarta 1994-2009. (diolah).
Suku bunga kredit investasi juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kesempatan kerja di DKI Jakarta. Hal ini dikarenakan investasi yang dilakukan investor tidak sepenuhnya berasal dari kekayaan yang dimilki. Sehingga lembaga perbankan menyediakan fasilitas kredit investasi yang bertujuan membantu pemodalan bagi investor untuk melakukan perluasan usahanya. Hasil penelitian yang dilakukan bahwa suku bunga kredit investasi telah berkontribusi negatif dan signifikan terhadap kesempatan tenaga kerja DKI Jakarta selama 16 tahun terakhir. Ini dikarenakan suku bunga kredit memang berbanding terbalik dengan tingkat investasi yang akan dilakukan oleh investor yang menggunakan fasilitas kredit investasi. Semakin tinggi suku bunga kredit
108
yang dikenakan maka akan meningkatkan kompensasi pengembalian pinjaman kredit investasi bagi para investor kepada lembaga pemodal. Oleh karenanya, suku bunga kredit yang tinggi akan mengurangi minat investasi bagi investor dan akan berdampak pada pengurangan jumlah tenaga kerja. Signifikannya suku bunga kredit terhadap penurunan kesempatan kerja DKI Jakarta dikarenakan selain adanya pergeseran pemanfaatan jasa tenaga kerja menjadi pemanfaatan teknologi yang lebih modern sehingga produk-produk yang dihasilkan selain lebih kompetitif dan biaya yang dikeluarkan lebih efisien juga dikarenakan suku bunga kredit investasi yang dihitung bersifat riil dari tingkat inflasi selama periode penelitian selalu berfluktuatif nilainya yang berakibat pada kekhawatiran bagi investor dalam melihat kondisi perekonomian yang tidak menentu seperti yang terjadi pada tahun 1998 ketika terjadi krisis ekonomi, kemudian yang terjadi pada tahun 2000 hingga 2001 ketika terjadi ketidakstabilan politik dan keamanan di ibukota dan nasional serta yang terjadi pada tahun 2005 ketika adanya kebijakan pemerintah pusat terhadap penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM). Sehingga hal ini pula yang menyebabkan berkurangnya minat investor untuk menanamkan modal termasuk dengan menggunakan fasilitas kredit investasi. Dari Tabel 18 diketahui bahwa suku bunga kredit investasi terendah selama tahun 1993-2008 terjadi pada tahun 1998, yaitu sebesar -51,22%, sedangkan suku bunga kredit investasi tertinggi terjadi pada tahun 1997, yaitu sebesar 24,30%. Menurut (Manurung dan Manurung 2009) tingkat suku bunga kredit yang berubah-ubah salah satunya disebabkan oleh biaya intermediasi perbankan, intervensi pemerintah melalui tingkat bunga SBI, dan kondisi perbankan dan perekonomian nasional. Kondisi perbankan dan perekonomian seperti likuiditas perbankan,
dan
keadaan
perekonomian
masyarakat
akan
mengganggu
kemampuan perbankan untuk menjalankan fungsi intermediasi. Kondisi perekonomian yang kondusif akan membantu menciptakan suku bunga yang stabil dan tidak terlalu tinggi. Suku bunga kredit investasi yang stabil dapat kita amati pada beberapa tahun di awal tahun penelitian meskipun nilainya lebih tinggi dari beberapa tahun di
109
akhir penelitian. Dan semenjak otonomi daerah terutama setelah berjalan beberapa tahun nilai suku bunga kredit investasi cenderung lebih rendah dari tahun-tahun sebelumnya meskipun ada peningkatan yang tidak terlalu besar. Dan hal ini pula yang diharapkan membawa konsekuensi agar jumlah kredit investasi yang digulirkan semakin besar sehingga akan memacu aktivitas perekonomian dan akhirnya memperluas kesempatan kerja. Penurunan suku bunga kredit investasi yang terjadi semenjak otonomi daerah salah satunya juga tidak lepas dari peran pemerintah daerah yang mendorong aktivitas ekonomi masyarakat melalui fasilitas jasa perbankan yang ditawarkan lembaga perbankan dan pemerintah daerah melalui bank daerah yang notabene-nya merupakan badan usaha milik daerah (BUMD) dalam menunjang kegiatan pembangunan daerah. Akan tetapi dari tingkat suku bunga kredit yang diberlakukan selama periode penelitian telah menyebabkan surutnya investasi termasuk diantaranya pada usaha kecil dan menengah (UKM) di DKI Jakarta yang berdampak pada berkurangnya penyerapan tenaga kerja.
110
Tabel 19 Matriks Bidang Ketenagakerjaan Provinsi DKI Jakarta Tahun 20022007 Arah Kebijakan Ketenagakerjaan Mengembangkan ketenagakerjaan secara menyeluruh melalui peningkatan lapangan usaha produktif dan terpadu untuk mengurangi tingkat pengangguran, serta diarahkan pada kompetensi, kemandirian, peningkatan produktivitas, peningkatan upah, jaminan kesejahteraan pekerja, perlindungan tenaga kerja dan kebebasan berserikat
Strategi
Program
Indikator Kinerja
Mendorong dan mendukung upayaupaya penciptaan dan perluasan lapangan pekerjaan untuk mengurangi penggangguran yang didukung oleh inventarisasi data ketenagakerjaan serta potensi lapangan kerja yang ada di provinsi DKI Jakarta mengupayakan perlindungan dan kebebasan berserikat kepada tenaga kerja dengan menekankan kepada kualitas kerja, serta meningkatkan upaya pengendalian ketenagakerjaan dengan programprogram pengiriman tenaga kerja ke luar provinsi DKI Jakarta
1. Pengembangan Kesempatan Kerja
a. Meningkatnya informasi ketenagakerjaan dan pasar tenaga kerja untuk masyarakat b. Meningkatnya pengiriman tenaga kerja ke luar negeri c. Terciptanya peluang kerja dan usaha bagi pekerja dan tenaga kerja penyandang cacat d. Menurunnya pengangguran
2. Perlindungan dan Pengendalian Tenaga Kerja
a. Meningkatnya perlindungan pengawasan dan penegakan hukum ketenagakerjaan khususnya bagi perempuan b. Berkurangnya kasus pelanggaran ketenagakerjaan c. Meningkatnya jumlah tenaga kerja yang terlindungi oleh program Jamsostek d. Berkurangnya demonstrasi masalah ketenagakerjaan dan kebijakan perusahaan
a. Meningkatnya upah dan produktivitas tenaga kerja b. Meningkatnya pelatihan tenaga kerja Sumber : Program Pembangunan Daerah (Propeda) Provinsi DKI Jakarta Tahun 2002-2007 3. Peningkatan Produktivitas Tenaga Kerja
Sedangkan dalam penyelenggaraan urusan Ketenagakerjaan oleh pemerintah daerah DKI Jakarta antara lain diarahkan untuk:
111
a.
Menerapkan kaidah good governance pada penyelenggaraan urusan Ketenagakerjaan.
b.
Meningkatkan kapasitas penyelenggara urusan Ketenagakerjaan.
c.
Menerapkan kebijakan ketenagakerjaan yang menyeluruh, terpadu dan merupakan solusi terhadap masalah kota.
d.
Meningkatkan kompetensi lulusan sekolah menengah kejuruan dan pencari kerja dalam sektor jasa tersier agar memenuhi kebutuhan pasar kerja.
e.
Memfasilitasi penyediaan diklat khusus sektor jasa tersier yang lulusannya bersertifikat kompetensi dan memberi insentif bagi usaha-usaha yang banyak menyerap tenaga kerja spesifik tersebut.
f.
Melakukan kerjasama dengan pemerintah pusat dan negara yang tergabung dalam Asean Economic Community untuk mengembangkan training centre khusus guna meningkatkan kualitas tenaga kerja yang memiliki sertifikat kompetensi.
g.
Meningkatkan perlindungan terhadap tenaga kerja.
h.
Meningkatkan hubungan industrial tenaga kerja.
i.
Memfasilitasi pembentukan Lembaga Kerjasama Bipartit.
j.
Meningkatkan pengiriman tenaga kerja ke luar negeri.
k.
Meningkatkan akses masyarakat terhadap jaringan informasi pasar kerja melalui internet.
l.
Mengembangkan potensi pengiriman tenaga perawat dengan kemampuan khusus ke luar negeri.
m.
Mewujudkan kerjasama pendidikan, pelatihan, dan pengiriman perawat dengan pemerintah provinsi se-Jawa-Bali.
n.
Seluruh BLK/BLKD menerapkan standar internasional.
o.
Meningkatkan pengiriman transmigran yang memiliki keterampilan ke daerah tujuan transmigrasi.
p.
Meningkatkan peran masyarakat dan komunitas profesional dalam penyelenggaraan urusan Ketenagakerjaan.
q.
Memenuhi Standar Pelayanan Minimum (SPM) lainnya urusan wajib Ketenagakerjaan.
112
Program yang sudah maupun sedang dilaksanakan oleh pemerintah daerah DKI Jakarta untuk urusan Ketenagakerjaan antara lain: a.
Penerapan prinsip good governance dalam penyelenggaraan urusan Ketenagakerjaan Antara lain: SDM Ketenagakerjaan menjadi lebih responsif terhadap kebutuhan
masyarakat;
Pengelolaan
urusan,
pelayanan,
informasi
Ketenagakerjaan menjadi lebih transparan dan mudah di akses melalui internet; Pengelolaan urusan Ketenagakerjaan semakin efisien dan akuntabel;
Program Ketenagakerjaan antisipatif terhadap perkembangan
masa depan; Masyarakat dan komunitas profesional semakin berpartisipasi dalam pengelolaan dan penyusunan kebijakan Ketenagakerjaan; Penegakan hukum dilaksanakan secara sistematik dan terprogram dengan baik; Semua peraturan perundangan daerah tentang Ketenagakerjaan sudah dikaji ulang dan
disempurnakan
guna
mendukung
penyelenggaraan
urusan
Ketenagakerjaan; Fungsi regulator ketenagakerjaan ramping dan terpisah dari fungsi operator serta dilengkapi dengan sistem dan prosedur kerja yang jelas; dan Penempatan SDM Ketenagakerjaan berdasarkan kompetensi. b.
Program sinkronisasi kebijakan pembiayaan, kelembagaan dan regulasi ketenagakerjaan Antara
lain:
penyelenggaraan
Ditetapkannya urusan
peranan
APBD
Ketenagakerjaan
dalam secara
pembiayaan keseluruhan;
Ditetapkannya bentuk kelembagaan penyelenggaraan Ketenagakerjaan yang efisien pembiayaannya; dan Ditetapkannya regulasi terhadap komponenkomponen strategis dalam implementasi sistem Ketenagakerjaan. c.
Program peningkatan kesempatan kerja Antara lain: Meningkatnya akses informasi ketenagakerjaaan bagi para pencari kerja dan pengguna tenaga kerja; Semakin mudahnya akses melalui internet informasi ketenagakerjaan untuk pencari kerja dan pengguna tenaga kerja; Meningkatnya kerjasama pemerintah dengan dunia usaha/dunia industri dalam penempatan tenaga kerja; Tersedianya peluang kerja dan peluang usaha bagi pencari kerja; dan Meningkatnya jumlah tenaga kerja yang terserap di sektor jasa tersier.
113
d.
Program perlindungan dan pengembangan lembaga ketenagakerjaan Antara lain: Meningkatnya kesejahteraan pekerja meliputi jaminan sosial, upah dan fasilitas kesejahteraan pekerja; Meningkatnya perlindungan dan pengawasan ketenagakerjaan, khususnya pekerja perempuan, anak dan penyandang cacat; Berkurangnya kasus pelanggaran ketenagakerjaan; dan Terciptanya suasana yang seimbang dalam perundingan antara pekerja dan pemberi kerja.
e.
Program peningkatan kualitas dan produktivitas tenaga kerja Antara lain: Terselenggaranya pelatihan, sertifikasi dan penempatan (three in one); Terpenuhinya kebutuhan sarana dan prasarana ketenagakerjaan berstandar modern; Terbangunnya kerjasama di bidang pendidikan dan pelatihan tenaga kerja se-Jawa-Bali; dan Terbentuk dan beroperasinya Unit Produktivitas Tenaga Kerja di DKI Jakarta.
f.
Program fasilitasi pengiriman Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri Antara lain: Terfasilitasinya pengiriman calon TKI ke luar negeri.
g.
Program pengembangan wilayah transmigrasi Antara lain: Meningkatnya pemindahan dan penempatan transmigran asal DKI Jakarta.
h.
Program peningkatan sarana prasarana ketenagakerjaan Antara lain: Terpenuhinya kebutuhan sarana dan prasarana Ketenagakerjaan berstandar modern.
i.
Program pelaksanaan Standar Pelayanan Minimum (SPM) lain urusan Ketenagakerjaan Antara lain: Terpenuhinya Standar Pelayanan Minimum (SPM) lain urusan Ketenagakerjaan.
4.3. Implikasi Kebijakan Implikasi kebijakan di bidang ekonomi dalam rangka mendorong penciptaan tenaga kerja yang lebih besar oleh pemerintah daerah DKI Jakarta diantaranya melalui:
114
1.
Pengembangan sektor-sektor ekonomi Perlunya peran pemerintah daerah DKI Jakarta untuk lebih memprioritaskan pada pengembangan sektor-sektor ekonomi yang mampu menyerap tenaga kerja lebih besar, diantaranya pada sektor perdagangan, hotel, dan restoran; jasa-jasa; pengangkutan dan komunikasi; keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan; dan bangunan.
2.
Pengembangan sektor-sektor ekonomi dengan melihat pada komponenkomponen yang mampu mendorong penyediaan kesempatan kerja. Pemerintah daerah DKI Jakarta perlu memfokuskan pengembangan sektorsektor ekonomi dengan melihat pada komponen-komponen yang mampu mendorong penyediaan
kesempatan
kerja,
seperti
pada komponen
pertumbuhan tenaga kerja nasional maka sektor ekonomi yang perlu diprioritaskan adalah sektor perdagangan, hotel, dan restoran; jasa-jasa; dan industri pengolahan. Pada komponen bauran industri maka sektor ekonomi yang perlu diprioritaskan adalah sektor perdagangan, hotel, dan restoran; pengangkutan dan komunikasi; dan listrik, gas, dan air bersih. Sedangkan pada komponen keunggulan kompetitif maka sektor ekonomi yang perlu diprioritaskan adalah sektor perdagangan, hotel, dan restoran; jasa-jasa; dan keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan. 3.
Penciptaan iklim investasi yang kondusif. Pemerintah daerah DKI Jakarta sudah seharusnya lebih memprioritaskan pada penciptaan iklim sosial, politik dan usaha yang kondusif. Pemberian berbagai insentif kebijakan mampu mendorong minat investor untuk menanamkan
modalnya
di
Indonesia
yang
akhirnya
menciptakan
kesempatan kerja yang lebih luas. 4.
Pengendalian laju inflasi Penanganan pengendalian laju inflasi melalui kebijakan fiskal daerah perlu mendapat perhatian pemerintah provinsi DKI Jakarta dalam menciptakan kestabilan suku bunga riil investasi. Karena suku bunga investasi yang rendah dan stabil masih menjadi andalan bagi investor dalam melakukan investasi melalui dana pinjaman. Kebijakan pengendalian laju inflasi dapat melalui pengurangan pengeluaran pemerintah agar pengeluaran keseluruhan
115
dalam perekonomian daerah dapat dikendalikan, kebijakan kenaikan pajak juga dapat mengakibatkan penerimaan uang masyarakat berkurang dan berpengaruh terhadap daya beli masyarakat yang menurun sehingga berpengaruh terhadap penurunan permintaan akan barang dan jasa yang bersifat konsumtif, peningkatan hasil produksi agar terjadi keseimbangan jumlah barang dengan jumlah uang yang beredar, kebijakan terhadap tingkat upah yang tidak lain menstabilkan upah/gaji dengan tidak sering dinaikan agar daya beli masyarakat relatif stabil sehingga harga-harga pun ikut stabil, serta peran pemerintah daerah yang terakhir adalah melakukan pengawasan harga dan distribusi barang seperti kebijakan penetapan harga tertinggi (harga eceran tertinggi/HET) agar tidak terjadi kenaikan harga. 5.
Penguatan sinergitas antara faktor-faktor yang memengaruhi kesempatan kerja dengan pengembangan sektor ekonomi Ini perlu dilakukan agar investasi yang dilakukan tepat sasaran pada sektor ekonomi yang berpotensi dalam menyerap tenaga kerja lebih banyak. Hal ini dapat dilakukan diantaranya melalui kebijakan stimulus fiskal yang sifatnya countercyclical, ini ditujukan untuk memelihara dan/atau meningkatkan daya beli masyarakat; menjaga daya tahan perusahaan/sektor usaha dalam menghadapi krisis global dan gunjangan ekonomi; serta meningkatkan daya serap tenaga kerja dan mengatasi PHK melalui kebijakan pembangunan infrastruktur
padat
karya.
Selain
itu
kebijakan
lainnya
melalui
penyederhanaan dan otomasi pelayanan pemberian izin usaha, menjalin kerjasama dengan instansi terkait untuk mengurangi ekonomi biaya tinggi, misalnya dengan penertiban pelabuhan, jembatan timbang dan sebagainya, serta peningkatan investasi yang lebih memperhatikan pada aspek keunggulan komparatif daerah yang berdasarkan dari perhitungan Minimum Requirement Location Quotient (MRLQ) melalui penekanan pada aktifitas bidang ekonomi seperti Jakarta Pusat pada sektor keuangan dan jasa perusahaan; Jakarta Barat pada sektor perdagangan, pengangkutan dan komunikasi serta pertanian intensif; Jakarta Utara pada sektor industri pengolahan, transportasi dan komunikasi; Jakarta Timur pada sektor industri, jasa-jasa dan sektor utilitas; dan Kepulauan Seribu pada sektor
116
pertanian dan galian C. Hal lainnya yang perlu dilakukan agar investasi yang dilakukan tepat sasaran pada sektor ekonomi yang berpotensi dalam menyerap tenaga kerja lebih banyak adalah pemberian fasilitas penunjang bagi aktivitas ekonomi masyarakat maupun dunia usaha/dunia industri disamping tetap menumbuhkan peran dan fungsi lembaga pendidikan dan pelatihan kerja terutama Balai Latihan Kerja (BLK) dan segera menuntaskan perselisihan hubungan industrial melalui Negosiasi Bipatrit antara pengusaha, buruh dan pemerintah daerah diantaranya terkait dengan peraturan, tata cara penanganan dan penyelesaian perselisihan hubungan industrial serta peningkatan teknik-teknik bernegosiasi. Demikian pada suku bunga yang dikenakan agar cenderung lebih stabil dan ringan bagi investor yang bersedia mengembangkan usahanya pada sektor ekonomi yang berpotensi dalam menyerap tenaga kerja lebih banyak. Langkah ini dapat dilakukan melalui kebijakan pemberian bantuan subsidi bunga kredit bagi dunia usaha/dunia industri terutama bagi masyarakat yang baru memulai usahanya selain penyediaan skim penjaminan kredit bagi UMKM maupun dunia usaha/dunia industri pada kredit investasi di sektor-sektor ekonomi yang mampu menyerap tenaga kerja yang lebih besar.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1.
Kesimpulan Berdasarkan uraian pada hasil dan pembahasan yang telah dilakukan, maka
dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1.
Pada
analisis
Shift-Share
semenjak
bergulirnya
otonomi
daerah,
pertumbuhan tenaga kerja di DKI Jakarta dari komponen pertumbuhan tenaga kerja nasional didominasi oleh sektor tersier diantaranya sektor perdagangan, hotel, dan restoran; dan sektor jasa-jasa serta sektor industri pengolahan pada urutan selanjutnya yang merupakan sektor sekunder. Pertumbuhan tenaga kerja di DKI Jakarta dari komponen bauran industri didominasi oleh sektor tersier diantaranya sektor perdagangan, hotel, dan restoran; dan sektor pengangkutan, dan komunikasi serta sektor listrik, gas, dan air bersih pada urutan selanjutnya yang merupakan sektor sekunder. Demikan pula pertumbuhan tenaga kerja di DKI Jakarta dari komponen keunggulan kompetitif juga didominasi oleh sektor tersier diantaranya sektor perdagangan, hotel, dan restoran; sektor jasa-jasa; dan sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan. 2.
Pada analisis Location Quotient (LQ) ditahun kedelapan era otonomi daerah, sektor basis penyerapan tenaga kerja di DKI Jakarta didominasi oleh sektor tersier dimana sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan; sektor jasajasa; sektor pedagangan, hotel, dan restoran; dan sektor pengangkutan, dan persewaan memiliki nilai LQ lebih dari 1. Sedangkan untuk sektor basis penyerapan tenaga kerja selanjutnya adalah sektor sekunder, yaitu hanya sektor listrik, gas, dan air bersih; dan sektor industri pengolahan yang memiliki nilai LQ lebih dari 1.
3.
Secara empiris, variabel otonomi daerah, PMA, PMDN, PDRB, dan suku bunga kredit investasi secara simultan mempunyai pengaruh terhadap variabel kesempatan kerja di DKI Jakarta selama kurun waktu tahun 19932008. Dan secara parsial, variabel yang mempunyai pengaruh signifikan terhadap variabel kesempatan kerja di DKI Jakarta selama kurun waktu tahun 1993-2008 adalah variabel PMA, PMDN dan suku bunga kredit.
118
Variabel otonomi daerah, PMA dan PMDN serta PDRB berpengaruh positif dan variabel suku bunga kredit berpengaruh negatif terhadap variabel kesempatan kerja. Pada variabel otonomi daerah dan PDRB mempunyai pengaruh yang tidak signifikan dan positif terhadap variabel kesempatan kerja di DKI Jakarta selama kurun waktu tahun 1993-2008. Sehingga hal ini mengindikasikan bahwa variabel otonomi daerah dan PDRB tidak sepenuhnya dapat diandalkan sebagai instrumen yang dapat meningkatkan kesempatan kerja, sedangkan variabel PMA, PMDN dan suku bunga kredit dapat diandalkan sebagai instrumen yang dapat meningkatkan kesempatan kerja.
5.2.
Saran Berdasarkan uraian pada hasil dan pembahasan yang telah dilakukan, maka
ada beberapa saran yang dapat disampaikan sebagai berikut: 1.
Pemerintah daerah DKI Jakarta hendaknya lebih memprioritaskan pada pengembangan sektor tersier yang menyerap tenaga kerja lebih banyak dan sebagian pada sektor sekunder yang berpotensi menyerap tenaga kerja lebih banyak.
2.
Pemerintah daerah DKI Jakarta juga hendaknya mampu mendorong pertumbuhan investasi menjadi lebih besar lagi melalui berbagai kebijakan yang
diberlakukan
seperti
kemudahan
proses
perizinan
investasi,
minimalisasi ekonomi biaya tinggi, penciptaan iklim sosial dan politik yang kondusif serta jaminan keamanan bagi keberlangsungan usaha yang ada di DKI Jakarta. Selain itu, pengendalian laju inflasi perlu menjadi perhatian dalam meningkatkan investasi melalui instrumen suku bunga riil yang menjadi acuan investor dalam memperoleh modal usaha di DKI Jakarta.
DAFTAR PUSTAKA
Ananta, Aris. 1990. Ekonomi Sumber Daya Manusia. Jakarta : Lembaga Demografi LPFEUI. Ardani, Amirudin. 1992. Analisys of Regional Growth and Disparity. The Impact Analysis of The Project on Indonesian Development. Ph.D Dissertation City and Regional Planning. University of Pennsylvania Philadelphia. USA. Arsyad, Lincolin. 1999. Ekonomi Pembangunan. Yogyakarta : BP STIE YKPN. Baldwin, Robert E. 1986. Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi di NegaraNegara Berkembang. ST. Dianjung [penerjemah]. Jakarta : Bina Aksara Bank Indonesia. 1994-2009. Statistik Keuangan Daerah DKI Jakarta. Jakarta. Bank Indonesia dan Universitas Katolik Santo Thomas SU. 2007. Interrelasi Struktur Kredit Perbankan, Tingkat Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Sumatera Utara. Medan. Bappenas dan UI. 2009. Laporan Akhir Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah Provinsi DKI Jakarta. Jakarta Barreto, H., dan F. Howland. 1993. There are Two Okun’s Law Relationships Between Output and Unemployment. Journal of Economic Perspective. Wabash College. Bendavid, Avrom-Lal. 1991. Regional and Local Economic Analysis for Practitioners, 4th Ed. New York : Praeger. BPM dan BKUD Provinsi DKI Jakarta. 2008. Indikator Ekonomi Jakarta. Jakarta. BPS Provinsi DKI Jakarta. 2008. Indikator Ekonomi Jakarta. Jakarta. ----------. 1994-2009. Jakarta Dalam Angka. Jakarta. BPS Pusat. 2002-2009. Statistik Indonesia. Jakarta. ----------. 2002-2009. Survey Angkatan Kerja Nasional. Jakarta. Budiharsono, S. 2001. Teknik Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan. Jakarta : Pradnya Paramita. Crouch, Robert L. 1992. Macroeconomics. Harcourt Brace Jovanovich. New York. USA.
120
Dimas dan Nenik Woyanti. 2009. Penyerapan Tenaga Kerja di DKI Jakarta. Jurnal Bisnis dan Ekonomi (JBE), Volume 16 Nomor 1 Maret 2009. Elnopembri. 2007. Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penyerapan Tenaga Kerja Industri Kecil di Kabupaten Tanah Datar Provinsi Sumatera Barat Tahun 1990-2004. Tesis. Sekolah Pascarjana UGM. Yogyakarta. Erisman. 2003. Analisis Ekonomi Pasar Tenaga Kerja di Wilayah DKI Jakarta. Tesis. Program Pascasarjana IPB. Bogor. Fabozzi, Frank J., Franco Modigliani, dan Michael G. Ferri. 1994. Foundation of Financial Markets and Institutions. Prentice-Hall, Inc. Glasson, J. 1977. Pengantar Perencanaan. Jakarta : FEUI. Gujarati, Damodar N. 1999. Ekonometrika Dasar. Edisi V. Terjemahan. Jakarta : Erlangga. Haris, S. 2005. Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Jakarta : Penerbit LIPI Press. Harmini. 1997. Hubungan Struktur Ekonomi dengan Kesejahteraan Rakyat (Suatu Pendekatan dengan Analisis Korelasi Kanonik). Tesis. Program Pascasarjana IPB. Bogor. Haryani, Sri. 2002. Hubungan Industrial di Indonesia. Yogyakarta : UPP AMP YKPN. Insukindro, R., Maryatmo, Aliman, Sri Yani Kusumastuti, A. Ika Rahutami. 2004. Modul Ekonometrika Dasar. Modul Kerjasama Bank Indonesia dan Fakultas Ekonomi UGM. Yogyakarta. Irawan dan Suparmoko. 1992. Ekonomi Pembangunan. Yogyakarta : BPFE. Kuncoro, Mudrajat. 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah : Reformasi, Perencanaan, Strategi dan Peluang. Jakarta : Erlangga. Malau, Albert Galau. 2007. Dampak Kebijakan Ekonomi Terhadap Pasar Kerja, Investasi dan Pendapatan Sektor Tersier di Provinsi DKI Jakarta. Tesis. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. Mankiw, Gregory N. 2000. Teori Makroekonomi. Edisi Keempat. Imam Nurmawan [penerjemah]. Jakarta : Erlangga. Manurung, J dan A. H. Manurung. 2009. Ekonomi Keuangan dan Kebijakan Moneter. Jakarta : Salemba Empat. McCann, P. 2001. Urban and Regional Economics. New York : Oxford University Press.
121
Nada, Katrin. 2009. Pertumbuhan Kesempatan Kerja Pada Pra dan Era Otonomi Daerah Jawa Timur Serta Kaitannya Dengan Migrasi Penduduk. Institut Pertanian Bogor. Bogor Nainggolan, Indra Oloan. 2009. Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kesempatan Kerja Pada Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara. Tesis. Sekolah Pascasarjana USU. Medan. Nugroho, Hari. 2010. Analisis Sumber Pertumbuhan Output dan Tenaga Kerja Sektor Industri Pengolahan di Provinsi DKI Jakarta : Pendekatan Dekomposisi Input-Output. Tesis. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. 2003. Program Pembangunan Daerah (Propeda) DKI Jakarta Tahun 2002-2007. Jakarta Priyarsono, D.S., Sahara, dan Muhammad F. 2007. Ekonomi Regional. Jakarta : Penerbit Universitas Terbuka. Purwanti, Putu Ayu Pramitha. 2009. Analisis Kesempatan Kerja Sektoral di Kabupaten Bangli Dengan Pendekatan Pertumbuhan Berbasis Ekspor. Jurnal PIRAMIDA, Volume V Nomor 1 Juli 2009. Rachman, Edyan. 2005. Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kesempatan Kerja di DKI Jakarta. Tesis. Sekolah Pascasarjana USU. Medan. Salvatore, D. 1997. Ekonomi Internasional. Munandar dan Sumiharti [penerjemah]. Jakarta : Erlangga. Schnabel, G. 2002. Output Trends and Okun’s Law. Bank for Intermational Settlements. Sitanggang, Ignatia R, dan Nachrowi, Nachrowi D. 2004. 9 Sektor Pengaruh Struktur Ekonomi Pada Penyerapan Tenaga Kerja Sektoral : Analisis Model Demometrik di 30 Provinsi di Indonesia. Jakarta : FEUI Jurnal Pembangunan, Volume 5 Nomor 130-133 Juli. Sitanggang, Rohana. 2003. Krisis Ekonomi Indonesia 1998 dan Dampak Struktur Ekonomi Terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Sektoral di 30 Provinsi di Indonesia (1980-2000). Tesis. Fakultas Ekonomi UI. Jakarta. Simanjuntak, Payaman. 2001. Pengantar Ekonomi Sumber Daya Manusia. Jakarta : LPFEUI Situmorang, Suriaty dan Umi Kalsum. 2007. Kesempatan Kerja dan Transformasi Tenaga Kerja Dari Sektor Pertanian Ke Sektor Non Pertanian di Provinsi Lampung. Laporan Penelitian Dosen Muda Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian Unversitas Lampung. Bandar Lampung.
122
Subri, Mulyadi. 2003. Ekonomi Sumber Daya Manusia. Jakarta : Raja Grafindo Persada. Suhartono. 2009. Struktur Ekonomi, Kesempatan Kerja dan Ketimpangan Pendapatan di Provinsi Jawa Tengah. Tesis. Program Pascasarjana Unsoed. Purwokerto. Sukirno, Sadono. 1984. Ekonomi Pembangunan Proses Masalah & Dasar Kebijakan. FEUI. Jakarta. ----------. 1996. Ekonomi Pembangunan. FEUI. Jakarta. ----------. 2006. Makroekonomi Teori Pengantar. Edisi Ketiga. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. Suliyanto. 2002. Statistik Dan Aplikasi Pemasaran. Jakarta : Ghalia Indonesia. Syaukani, Afan Gaffar dan Ryaas Rasyid. 2002. Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan. Jakarta : Pustaka Pelajar. Tiebout, Charles M. 1962. The Community Economic Base Study. New York : Committee for Economic Development. Todaro, Michael P. 2000. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Edisi Ketujuh. Haris Munandar [penerjemah]. Jakarta : Erlangga. Wibisono, Yusuf. 2003. Determinan Pertumbuhan Ekonomi Regional : Studi Empiris Antar Provinsi di Indonesia. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan. Widarjono, Agus. 2005. Ekonometrika. Edisi 2. Yogyakarta : Ekonisia. Widodo, Suseno T. 1990. Indikator Ekonomi Dasar Perhitungan Perekonomian Indonesia. Yogyakarta : Kanisius. Wiranata, S. 2004. Pengembangan Investasi di Era Globalisasi dan Otonomi Daerah. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan, XII (1) 2004.
Lampiran 1. Penduduk DKI Jakarta dan Indonesia Berumur 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Selama Seminggu yang Lalu Tahun 2001 dan 2008 (Dalam Orang) PENDUDUK DKI JAKARTA BERUMUR 15 TAHUN KE ATAS YANG BEKERJA SELAMA SEMINGGU YANG LALU TAHUN 2001 DAN 2008 (Dalam Orang) Lapangan Usaha Pertanian Pertambangan, dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas, dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel, dan Restoran Pengangkutan, dan Komunikasi Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa Jumlah
2001
2008
30,481 80 731,973 26,456 130,896 1,207,445 295,339 203,122 796,546
19,668 11,452 674,949 22,143 190,316 1,555,806 401,911 298,251 1,017,471
3,422,340
4,191,966
Sumber : BPS Propinsi DKI Jakarta. Jakarta Dalam Angka 2002 dan 2008.
PENDUDUK INDONESIA BERUMUR 15 TAHUN KE ATAS YANG BEKERJA SELAMA SEMINGGU YANG LALU TAHUN 2001 DAN 2008 (Dalam Orang) Lapangan Usaha Pertanian Pertambangan, dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas, dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel, dan Restoran Pengangkutan, dan Komunikasi Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa Jumlah Sumber : BPS Pusat. Statistik Indonesia 2002 dan 2008.
2001
2008
39,743,908 1,035,375 12,086,122 55,745 3,837,554 17,469,129 4,448,279 1,127,823 11,003,482
41,331,706 1,070,540 12,549,376 201,114 5,438,965 21,221,744 6,179,503 1,459,985 13,099,817
90,807,417
102,552,750
Lampiran 2. Data Penelitian Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Kesempatan Kerja Di DKI Jakarta Tahun 1993-2008. DATA PENELITIAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KESEMPATAN KERJA DI DKI JAKARTA TAHUN 1993-2008 Tahun
Dummy
KK
PMA
PMDN
PDRB
SBK
1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1
2,907,362 3,164,722 3,313,887 3,411,795 3,646,265 3,553,900 3,785,100 3,426,700 3,422,340 3,267,526 3,379,232 3,497,359 3,716,206 3,921,991 3,842,944 4,191,966
834,304,000 1,355,937,000 1,918,702,000 2,430,663,000 2,436,100,000 703,916,000 1,477,547,000 1,188,670,000 1,152,300,000 1,234,429,000 1,815,300,000 1,867,972,000 2,624,156,000 2,635,281,000 2,691,830,000 2,725,800,000
2,190,217,000,000 2,268,472,000,000 2,286,025,000,000 2,460,416,000,000 2,653,513,500,000 1,720,556,000,000 3,075,958,000,000 2,897,266,000,000 2,488,088,000,000 2,212,477,000,000 2,382,750,000,000 2,425,851,000,000 2,686,000,000,000 2,781,710,000,000 2,838,339,000,000 3,151,300,000,000
161,908,733,546,187 175,844,459,249,694 192,139,169,515,448 209,614,587,016,373 220,318,360,704,610 181,785,375,459,009 181,261,712,839,323 229,115,971,000,000 236,546,938,000,000 259,824,773,000,000 260,912,319,000,000 266,074,859,000,000 272,540,403,000,000 309,955,613,000,000 329,833,749,000,000 349,773,072,000,000
19.72 17.44 18.06 22.55 24.30 -51.22 21.43 13.31 15.14 17.30 14.39 11.96 1.77 13.57 12.25 8.69
Lampiran 3. Data Penelitian Dalam Bentuk Semi-Logaritma Natural Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Kesempatan Kerja Di DKI Jakarta Tahun 1993-2008. DATA PENELITIAN DALAM BENTUK SEMI-LOGARITMA NATURAL FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KESEMPATAN KERJA DI DKI JAKARTA TAHUN 1993-2008 Tahun
Dummy
LnKK
LnPMA
LnPMDN
LnPDRB
SBK
1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1
14.8828 14.9676 15.0136 15.0427 15.1092 15.0836 15.1466 15.0471 15.0458 14.9995 15.0332 15.0675 15.1282 15.1821 15.1617 15.2487
20.5421 21.0278 21.3749 21.6114 21.6137 20.3722 21.1136 20.8961 20.8650 20.9339 21.3195 21.3481 21.6880 21.6923 21.7135 21.7260
28.4150 28.4501 28.4578 28.5314 28.6069 28.1737 28.7546 28.6948 28.5425 28.4251 28.4993 28.5172 28.6191 28.6541 28.6742 28.7788
32.7181 32.8006 32.8892 32.9763 33.0261 32.8338 32.8310 33.0652 33.0972 33.1910 33.1952 33.2148 33.2388 33.3675 33.4296 33.4883
19.7200 17.4400 18.0600 22.5500 24.3000 -51.2200 21.4300 13.3100 15.1350 17.2950 14.3867 11.9633 1.7733 13.5700 12.2489 8.6853
Lampiran 4. Hasil Perhitungan Analisis Shift-Share dan Pergeseran Bersih Struktur Perekonomian Atas Dasar Tenaga Kerja Di DKI Jakarta Tahun 2001 dan 2008. HASIL PERHITUNGAN ANALISIS SHIFT-SHARE STRUKTUR PEREKONOMIAN ATAS DASAR TENAGA KERJA DI DKI JAKARTA TAHUN 2001 DAN 2008 Lapangan Usaha Pertanian Pertambangan, dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas, dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel, dan Restoran Pengangkutan, dan Komunikasi Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa
DKI Jakarta
Indonesia
Yt/Yo
Yit/Yio
yit/yio
G
M
S
Y
41,331,706 1,070,540 12,549,376 201,114 5,438,965
1.13 1.13 1.13 1.13 1.13
1.04 1.03 1.04 3.61 1.42
0.65 143.15 0.92 0.84 1.45
3,943 10 94,676 3,422 16,931
-2,725 -8 -66,620 65,569 37,692
-12,031 11,369 -85,080 -73,304 4,797
-10,813 11,372 -57,024 -4,313 59,420
17,469,129
21,221,744
1.13
1.21
1.29
401,911
4,448,279
6,179,503
1.13
1.39
1.36
156,175 38,200
103,201 76,743
88,985 -8,371
348,361 106,572
203,122
298,251
1,127,823
1,459,985
1.13
1.29
1.47
796,546
1,017,471
11,003,482
13,099,817
1.13
1.19
1.28
26,272 103,028
33,550 48,727
35,306 69,171
95,129 220,925
2001
2008
2001
2008
30,481 80 731,973 26,456 130,896
19,668 11,452 674,949 22,143 190,316
39,743,908 1,035,375 12,086,122 55,745 3,837,554
1,207,445
1,555,806
295,339
HASIL PERHITUNGAN PERGESERAN BERSIH STRUKTUR PEREKONOMIAN ATAS DASAR TENAGA KERJA DI DKI JAKARTA TAHUN 2001 DAN 2008 Lapangan Usaha Pertanian Pertambangan, dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas, dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel, dan Restoran Pengangkutan, dan Komunikasi Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa
DKI Jakarta
Indonesia
M
S
M+S
%M
%S
%(M+S)
41,331,706 1,070,540 12,549,376 201,114 5,438,965
-2,725 -8 -66,620 65,569 37,692
-12,031 11,369 -85,080 -73,304 4,797
-14.756 11.362 -151.700 -7.735 42.489
-8,94 -9,54 -9,10 247,84 28,80
-39,47 14.211,60 -11,62 -277,08 3,66
-48,41 14.202,07 -20,72 -29,24 32,46
17,469,129
21,221,744
103,201
88,985
192.186
8,55
7,37
15,92
401,911
4,448,279
6,179,503
76,743
-8,371
68.372
25,98
-2,83
23,15
203,122
298,251
1,127,823
1,459,985
33,550
35,306
68.857
16,52
17,38
33,90
796,546
1,017,471
11,003,482
13,099,817
48,727
69,171
117.897
6,12
8,68
14,80
2001
2008
2001
2008
30,481 80 731,973 26,456 130,896
19,668 11,452 674,949 22,143 190,316
39,743,908 1,035,375 12,086,122 55,745 3,837,554
1,207,445
1,555,806
295,339
Lampiran 5. Hasil Perhitungan Analisis Loqation Quotient Struktur Perekonomian Atas Dasar Tenaga Kerja Di DKI Jakarta Tahun 2008. HASIL PERHITUNGAN ANALISIS LOQATION QUOTIENT STRUKTUR PEREKONOMIAN ATAS DASAR TENAGA KERJA DI DKI JAKARTA TAHUN 2008 Lapangan Usaha Pertanian Pertambangan, dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas, dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel, dan Restoran Pengangkutan, dan Komunikasi Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa Jumlah
DKI Jakarta
Indonesia
LQ
19,668 11,452 674,949 22,143 190,316 1,555,806 401,911 298,251 1,017,471
41,331,706 1,070,540 12,549,376 201,114 5,438,965 21,221,744 6,179,503 1,459,985 13,099,817
0.01 0.26 1.32 2.69 0.86 1.79 1.59 5.00 1.90
4,191,966
102,552,750
Lampiran 6. Hasil Regresi Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Kesempatan Kerja Di DKI Jakarta Tahun 1993-2008. UJI ASUMSI KLASIK 1. Uji Normalitas 3.2 Series: Residuals Sample 1993 2008 Observations 16
2.8 2.4 2.0 1.6 1.2 0.8 0.4 0.0 -0.06
-0.04
-0.02
0.00
0.02
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
3.89e-15 -0.000525 0.040742 -0.056323 0.028230 -0.483543 2.369561
Jarque-Bera Probability
0.888472 0.641314
0.04
2. Uji Multikolinearitas obs 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
OTDA 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000
PMA 20.54211 21.02776 21.37491 21.61143 21.61366 20.37217 21.11365 20.89610 20.86503 20.93387 21.31952 21.34812 21.68803 21.69226 21.71349 21.72603
PMDN 28.41502 28.45013 28.45784 28.53135 28.60691 28.17367 28.75464 28.69479 28.54254 28.42513 28.49928 28.51720 28.61907 28.65409 28.67424 28.77884
PDRB 32.71805 32.80062 32.88924 32.97629 33.02609 32.83385 32.83096 33.06525 33.09717 33.19103 33.19521 33.21480 33.23881 33.36745 33.42961 33.48831
SBK 19.72000 17.44000 18.06000 22.55000 24.30000 -51.22000 21.43000 13.31000 15.13500 17.29500 14.38667 11.96333 1.773333 13.57000 12.24889 8.685278
OTDA PMA PMDN PDRB SBK
OTDA 0.412792 1.000000 0.406145 0.265527 0.849656
PMA 0.633200 0.406145 1.000000 0.654887 0.672231
PMDN 0.632940 0.265527 0.654887 1.000000 0.535560
PDRB 0.695964 0.849656 0.672231 0.535560 1.000000
3. Uji Autokorelasi Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic Obs*R-squared
0.410908 1.490516
Probability Probability
0.676282 0.474612
Test Equation: Dependent Variable: RESID Method: Least Squares Presample missing value lagged residuals set to zero. Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C Otonomi Daerah PMA PMDN PDRB Suku Bunga Kredit RESID(-1) RESID(-2)
-0.929189 -0.017402 -0.009618 -0.012166 0.045022 -2.96E-05 -0.329115 0.072856
3.505898 0.048504 0.042856 0.134756 0.144102 0.000833 0.428091 0.461700
-0.265036 -0.358778 -0.224424 -0.090282 0.312431 -0.035493 -0.768797 0.157800
0.7977 0.7290 0.8281 0.9303 0.7627 0.9726 0.4641 0.8785
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.093157 -0.700330 0.036811 0.010841 35.67334 2.041670
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
3.89E-15 0.028230 -3.459167 -3.072873 0.117402 0.994715
SBK -0.161237 0.034786 0.419420 0.553326 0.072899
Dependent Variable: KK Method: Least Squares Sample: 1993 2008 Included observations: 16 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C Otonomi Daerah PMA PMDN PDRB Suku Bunga Kredit
0.336983 0.007742 0.087593 0.439818 0.010824 -0.003859
3.011624 0.041367 0.036111 0.101169 0.124048 0.000741
0.111894 0.187154 2.425635 4.347370 0.087255 -5.206023
0.9131 0.8553 0.0357 0.0014 0.9322 0.0004
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.900955 0.851432 0.034575 0.011954 34.89105 2.421670
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
15.07250 0.089701 -3.611381 -3.321660 18.19281 0.000098
Estimation Command: ===================== LS KK C OtonomiDaerah PMA PMDN PDRB SukuBungaKredit Estimation Equation: ===================== KK = C(1) + C(2)*OtonomiDaerah + C(3)*PMA + C(4)*PMDN + C(5)*PDRB + C(6)* SukuBungaKredit Substituted Coefficients: ===================== KK = 0.336982972 + 0.007742013676*OtonomiDaerah + 0.08759257695*PMA + 0.4398176211*PMDN + 0.01082384656*PDRB - 0.003858817233* SukuBungaKredit
Halaman ini sengaja dikosongkan