ANALISIS PENGARUH BUDAYA INDONESIA TERHADAP MAKANAN KHAS HARI RAYA TIONGHOA DI JAKARTA
Mercia, Stella Angelina, Sugiato Lim Jurusan Sastra China, Fakultas Humaniora, Universitas Bina Nusantara Jl. Kemanggisan Ilir III No. 45, Palmerah, Jakarta Barat, 021-53276730
[email protected],
[email protected],
[email protected]
ABSTRACT In this paper, the writer is trying to study about Indonesian culture affect in Chinese Festivals snacks at Jakarta and to identify Chinese Festivals snack’s acculturation factor in Indonesia, especially in Jakarta. The research method that the writer use in this research is qualitative method. The result of analyze show that Chinese Festivals snacks in Jakarta have Indonesian Culture effect as the form of acculturation and assimilation process between Chinese culture and local culture. It can be seen from the making process and the serving process of Chinese Festivals snacks. Through these interview, the writers can recognize the making process and the unique ingredients of Chinese Festivals snacks, beside that, it can be seen from the analyze result of the different Chinese Festivals snacks in China and Indonesia. The writers hope, these processes can explain Indonesian culture impact of Chinese Festival’s snack. (MRC/SA) Key Words : Chinese Festival, Snack, Indonesian Culture, Acculturation
ABSTRAK Tujuan penelitian ialah mempelajari pengaruh budaya Indonesia terhadap makanan kecil khas hari raya Tionghoa di Jakarta. Tujuan yang lainnya adalah mengenal faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya akulturasi pada makanan kecil khas hari raya Tionghoa di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Hasil analisis menunjukkan bahwa makanan kecil khas hari raya Tionghoa di Jakarta mendapatkan banyak pengaruh budaya Indonesia, yang terlihat dalam cara pembuatan dan cara penyajian makanan kecil khas hari raya. Melalui hasil wawancara, penulis dapat mengenali cara pembuatan dan keunikan dari makanan khas hari raya Tionghoa, selain itu dapat terlihat juga dari hasil analisa perbedaan antara makanan kecil khas hari raya Tionghoa di Indonesia dan China. Penulis juga berharap melalui proses ini dapat menjelaskan pengaruh budaya Indonesia terhadap makanan khas hari raya Tionghoa di Indonesia. (MRC/SA) Kata Kunci: Hari Raya Tionghoa, Makanan Kecil, Budaya Indonesia, Akulturasi Budaya
1
2
PENDAHULUAN Kuliner, merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan. Setiap negara di dunia memiliki ciri khas masing-masing. Seperti China, negara dengan kebudayaan besar, telah memberikan pengaruh terhadap kuliner yang ada di Indonesia. Penulis memilih tema penelitian mengenai makanan kecil khas hari raya Tionghoa, karena penulis tertarik dengan dunia kuliner. Selain itu, dari fenomena yang terjadi dalam masyarakat Tionghoa di Indonesia, khususnya Jakarta, penulis menemukan bahwa setiap keturunan Tionghoa di Jakarta tetap memelihara kebudayaan China sehingga sampai sekarang kita masih bisa merayakan perayaan-perayaan tradisional China. Masuknya kebudayaan China ke Indonesia diawali dengan kedatangan pendeta Buddhis bernama Faxian (Fa Hsien) yang bertujuan untuk singgah dalam pelayarannya dari China-India dan sebaliknya. Tercatat bahwa She-po (Jawa) merupakan nama tempat pertama di Nusantara yang muncul dengan jelas dalam teks-teks China. Kemudian pada batu prasasti yang ditemukan di Kanton pada tahun 1079, mengisahkan restorasi sebuah kuil Taois oleh para utusan Raja San-Fo-Qi (Sriwijaya). Karena itu, dapat dikatakan bahwa hubungan antara China dan Sumatera Selatan pada masa itu tidak hanya perdagangan, tapi juga kebudayaan. (Lombard, 2005:13) Tidak semua kebudayaan yang dibawa oleh orang-orang China dapat diterima baik oleh masyarakat Indonesia. Kuliner adalah salah satu aspek dari kebudayaan yang dapat diterima dan berdifusi secara baik di Indonesia. Memasak merupakan kekayaan budaya tradisional China yang dikenal diseluruh dunia. Saat ini, di benua Asia, Eropa dan Amerika banyak terdapat restoran-restoran China. (Han, 2008:148) Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teori akulturasi dan asimilasi dari Koentjaraningrat sebagai landasan teori. Dalam bukunya yang berjudul “Pengantar Ilmu Antropologi”, dikemukakan bahwa akulturasi adalah proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah kedalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri. Dengan menggunakan teori akulturasi dan asimilasi dari Koentjaraningrat, penulis menentukan hal-hal yang menjadi permasalahan yang akan dijawab dalam penelitian ini, yaitu aspek apa saja dalam makanan kecil khas hari raya Tionghoa yang menampilkan adanya proses akulturasi, serta faktor-faktor yang mendorong terjadinya proses akulturasi. Melalui penelitian ini, penulis berharap dapat mempelajari pengaruh budaya Indonesia terhadap makanan kecil khas hari raya Tionghoa di Jakarta, dan mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya akulturasi pada makanan kecil khas hari raya Tionghoa di Indonesia. Untuk mendukung penelitian ini, penulis menggunakan thesis dan prosiding sebagai tinjauan pustaka. Yang pertama adalah thesis dari Yun Da yang berjudul Analisis Makanan Kecil Hari Raya Tionghoa di Medan. Thesis ini membahas tetang Imlek, Cap Go Meh, Peh Cun dan Perayaan Pertengahan Musim Gugur, yang merupakan hari raya yang dianggap penting bagi masyarakat Tionghoa di Medan. Ketika merayakan keempat hari raya ini, peranakan Tionghoa-Medan akan menyediakan makanan-makanan kecil khas hari rayanya, yaitu kue keranjang, ronde, bakcang dan kue bulan. Keempat makanan kecil ini pun memiliki makna masing-masing. Yang kedua adalah thesis dari Winda Sofiani yang berjudul Fungsi dan Makna Makanan Tradisional Pada Perayaan Upacara Budaya Masyarakat Tionghoa. Thesis ini menjelaskan tentang Masyarakat Tionghoa Brayan yang tetap mejalankan tradisi kebudayaan secara turun-menurun dalam setiap hari raya Tionghoa. Kue keranjang, bakcang, kue cenil dan kue bulan menjadi makanan khas hari raya yang tetap dilestarikan secara turun-temurun, baik secara proses pembuatan maupun maknanya. Kemudian, prosiding seminar yang ditulis oleh Lista Ayu Saraswati dan P. Ayu Indah Wardhani, tentang Perjalanan Multikultural dalam Sepiring Ketupat Cap Go Meh. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, dimana mereka melakukan wawancara kepada pemilik restoran ketupat Cap Go Meh di kawasan Pecinan Glodok, Jakarta dan beberapa pelanggan restoran tersebut. Dalam prosiding ini, dapat ditemukan bahwa ketupat Cap Go Meh merupakan hasil perpaduan antara budaya Betawi dengan budaya China yang membawa pengaruh besar bagi identitas kebudayaan Indonesia Peranakan saat ini. Dalam penelitian ini, penulis mengidentifikasikan masalah penelitian menjadi dua, yaitu aspek apa saja dalam makanan kecil khas hari raya Tionghoa yang menampilkan adanya proses akulturasi, faktor-faktor yang mendorong terjadinya proses akulturasi.
3
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari pengaruh budaya Indonesia terhadap makanan kecil khas hari raya Tionghoa di Jakarta. Tujuan yang lainnya ialah mengenal faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya akulturasi pada makanan kecil khas hari raya Tionghoa di Indonesia. Melalui penelitian ini, penulis berharap agar antar suku bangsa atau suatu etnis dapat mengenal kebudayaan satu sama lain, mengembangkan jalinan persahabatan, sehingga dapat menghindari konflik budaya/gegar budaya (culture shock).
METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif, dimana penulis melakukan wawancara dengan lima orang narasumber, yaitu mereka yang memiliki industri rumah tangga sebagai pembuat makanan kecil khas hari raya Tionghoa yang juga mengkonsumsinya sendiri. Sebelum melakukan wawancara, penulis menyiapkan panduan wawancara yang berisikan panduan pertanyaan wawancara. Setelah wawancara dilakukan, hasil wawancara akan penulis gunakan sebagai salah satu acuan dalam analisis data.
HASIL DAN BAHASAN Berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang penulis lakukan dalam penelitian ini, ditemukan akulturasi dan asimilasi dari makanan kecil khas hari raya Tionghoa di Indonesia, khususnya di Jakarta. Dalam penelitian ini penulis melihat pengaruh budaya Indonesia dalam makanan kecil khas hari raya Tionghoa di Jakarta melalui dua hal yaitu cara pembuatannya dan cara penyajiannya. Seperti di China, makanan kecil yang disajikan pada perayaan Tahun Baru Imlek di Jakarta adalah kue keranjang. Kue keranjang di China memiliki banyak variasi. Yang paling umum adalah kue keranjang berwarna putih (shui mo nian gao). Ada juga kue keranjang kuning (huang nian gao), kue keranjang kurma merah (hong zhao nian gao) dan sebagainya. Sedangkan di Indonesia, khususnya di Jakarta, kue keranjang hanya ada satu jenis. Pembuatan kue keranjang di China menggunakan tepung beras kuning dan tepung beras ketan, sedangkan di Indonesia hanya menggunakan tepung beras ketan yang dicampur dengan gula pasir dan gula jawa. Kue keranjang di Indonesia, khususnya di Jakarta, umumnya terbuat dari tepung beras ketan. Proses pembuatan kue ini cukup lama. Pertama-tama tepung beras ketan dicampur dengan gula pasir yang telah diencerkan, yang kemudian akan menghasilkan adonan berupa cairan berwarna putih yang sangat kental. Kemudian adonan ini dimasukan kedalam tong yang ditutup rapat dengan plastik, dan didiamkan selama satu minggu agar mengalami proses fermentasi. Setelah satu minggu, adonan putih akan berubah tekstur dari kental menjadi agak basah seperti puding. Warnanya pun berubah menjadi kekuningan. Setelah adonan tercampur rata, dituang ke wadah yang telah dilapisi dengan daun pisang, kemudian dikukus selama 12 jam.
Tabel 1 Perbedaan Kue Keranjang China dan Indonesia China Kue keranjang kuning, kue keranjang kurma merah, kue keranjang putih Tepung beras kuning, tepung beras ketan
Jakarta Kue keranjang
Gula
Gula pasir
Gula pasir Gula Jawa
Warna Proses pembuatan
Kuning, putih Proses pengukusan 1½ -2 jam
coklat Proses fermentasi : 1 minggu Proses pengukusan : 12 jam
Jenis
Tepung
Tepung beras ketan
Penggunaan gula merah pada adonan kue keranjang di Indonesia mendapat pengaruh dari kebudayaan Indonesia, khususnya pulau Jawa. Kesukaan penduduk Jawa akan rasa manis, membuat
4
mereka mencampurkan gula Jawa ke dalam adonan kue keranjang. Hal inilah yang membuat terjadinya akulturasi kebudayaan Indonesia terhadap kue keranjang. Di China, penyajian kue keranjang yang berwarna putih adalah dengan cara ditumis, seperti menumis sayur. Bisa juga ditumis dengan bawang putih, cabe dan lain-lain. Ada juga yang disajikan dengan cara dibalur dengan telur lalu digoreng terlebih dahulu atau dimakan langsung. Sedangkan kue keranjang di Indonesia disajikan dengan cara dimakan langsung setelah dipotong. Bisa juga digoreng dengan campuran adonan tepung, telur dan garam. Ada juga yang menyajikannya dengan dikukus terlebih dahulu kemudian disajikan dengan parutan kelapa. Penggunaan parutan kelapa pada penyajian kue keranjang diadaptasi dari penyajian jajanan pasar Indonesia yang menggunakan parutan kelapa, seperti ongol-ongol dan klepon. Pada perayaan Cap Go Meh atau perayaan hari ke-15 setelah Tahun Baru Imlek, di daratan China, makanan yang disajikan adalah ronde. Bahan dasar ronde adalah tepung beras ketan yang kemudian dipulung. Dipulung mulai dari bentuk terkecil dan lama-lama menjadi besar. Pada perayaan Cap Go Meh di Jakarta, makanan yang disajikan bukanlah ronde, melainkan lontong Cap Go Meh. Lontong adalah makanan yang terbuat dari beras yang dibungkus dengan daun pisang. Pada awal kedatangannya ke Indonesia orang-orang China ini hanya terdiri dari kaum laki-laki saja, tidak disertai oleh para perempuan. Setelah menetap cukup lama di tempat baru (Indonesia) orang-orang China banyak yang melakukan pernikahan antar etnis dengan penduduk setempat. Dari perkawinan ini lahir orang-orang yang kemudian disebut dengan Peranakan Tionghoa. Peranakan Tionghoa yang telah sekian lama bermukim di Nusantara sangat dipengaruhi oleh selera masakan Indonesia. Lontong Cap Go Meh hanya ada di Indonesia, tidak ada di China, sehingga ia menjadi makanan khas Peranakan Tionghoa di Indonesia. Untuk merayakan Cap Go Meh, kaum Peranakan Tionghoa mengganti hidangan ronde dengan lontong yang disertai 13 hidangan tradisional Jawa yang kaya rasa, seperti opor dengan suwir ayam, telur ayam, sambal goreng tahu, sambal goreng ati, sambal goreng udang, oseng buncis, lodeh labu, bubuk kacang kedelai dan serundeng. Lontong dan ronde masih memiliki kesamaan seperti bola ketan. Ronde yang berwarna putih dan bertekstur lengket/kenyal, memiliki kemiripan dengan warna dan tekstur lontong. Sedangkan kuah jahe yang manis digantikan oleh kuah santan berempah namun rasanya asin dan gurih. Masyarakat China yang datang dan menetap di Indonesia tidak serta-merta melupakan tradisi dan budaya yang dibawa, salah satunya perayaan Cap Go Meh atau Yuanxiao Jie. Mereka mengadopsi lontong sebagai penganti ronde. Sajian ketupat Cap Go Meh kemudian menjadi bagian dari identitas budaya Peranakan di Indonesia, terutama di Jakarta.
Tabel 2 Perbedaan Makanan Khas Perayaan Cap Go Meh di China dan Jakarta
Jenis makanan Rasa Isi
China Ronde Asin Daging babi
Jakarta Lontong Cap Go Meh Asin Lontong pada dasarnya tidak memiliki isi, tapi disajikan bersama opor ayam, oseng buncis, sambal goreng ati, sambal goreng tahu, sayur lodeh, ayam abing, telur, bubuk kacang kedelai, serundeng.
Ronde terbuat dari tepung beras ketan yang dipulung menjadi bulat. Awalnya, cara pembuatan ronde ini terasa aneh bagi penduduk lokal. Karena masyarakat Tionghoa tidak mau menghilangkan kebiasaan makan pada perayaan ini, mereka pun mengganti ronde dengan lontong. Bentuk bulat dari lontong mewakili bentuk bulat dari ronde. Isi ronde pada awalnya adalah daging babi dan disajkan dengan kuah daging babi. Namun hal ini bertentangan dengan keyakinan masyarakat lokal, yaitu Islam, yang mengharamkan daging babi. Pada dasarnya, lontong terbuat dari beras yang dibungkus dengan daun pisang tanpa isi. Oleh karena itu, lontong disajikan dengan berbagai macam sayuran seperti opor ayam, sayur lodeh, oseng buncis,
5
sambal goreng ati, sambal goreng tahu, ayam abing, telur, bubuk kacang kedelai dan serundeng. Kuah dari opor ayam dan sayur lodeh yang terbuat dari santan, menggantikan kuah daging babi dalam penyajian ronde. Penggunaan kuah santan dalam lontong Cap Go Meh disebabkan karena rasa gurih dan aroma kelapa cocok dengan citarasa lokal. Makanan utama, makanan kecil dan minuman khas Indonesia banyak yang menggunakan kelapa sebagai salah satu bahan pembuatannya, hal ini dikarenakan di Indonesia banyak ditemukan buah kelapa, sehingga penggunaan santan dalam pembuatan makanan dan minuman sudah menjadi suatu hal yang umum. Penanggalan lunar tanggal lima bulan lima, merupakan hari perayaan Festival Perahu Naga, atau lebih dikenal dengan perayaan Peh Cun. Makanan khas hari raya ini adalah bakcang, yaitu makanan yang terbuat dari beras atau beras ketan yang dibungkus menggunakan daun bambu. Di China, bakcang dapat dibedakan menjadi dua wilayah, wilayah Utara dan Selatan. Tetapi proses pembuatannya sama-sama menggunakan daun bambu sebagai pembungkus. Daun bambu terebih dahulu direndam dengan menggunakan air, supaya daun bambu menjadi lebih lunak sehingga proses pembungkusan lebih mudah. Bakcang di China umumnya menggunakan beras ketan, ada juga yang menggunakan beras ketan kuning. Beras ketan kemudian direndam selama semalam, agar beras menjadi lebih lunak. Isi bakcang di China bervariasi, ada yang asin, ada juga yang manis. Biasanya bakcang yang asin berisi daging, yang dapat ditemukan di China bagian Selatan. Bakcang ada juga yang berisi kacang merah atau kurma merah. Karena rasanya yang tidak terlalu manis, bakcang di China pada umumnya disajikan dengan air gula. Bakcang terlebih dahulu dicelupkan ke dalam air gula, baru kemudian dimakan. Di Indonesia bakcang terbagi menjadi 2 jenis yaitu kicang (ada yang menyebutnya kuecang atau kwecang) dan bakcang. Kicang terbuat dari ketan yang dibungkus dengan daun bambu dan direndam dengan air abu selama +/- 4-5 jam. Perendaman membuat warna kicang menjadi warna kuning. Kemudian kicang dikukus, setelah matang ditiriskan. Kicang (kuecang/kwecang) tidak memiliki isi dan rasanya tawar, ukurannya juga lebih kecil dari bakcang. Bakcang di Jakarta umumnya terbuat dari beras nasi yang diaron terlebih dahulu, yang kemudian dibungkus dengan daun bambu. Isi dari bakcang pun bervariasi, ada yang isinya terdiri dari daging yang telah dicincang dan diberi bumbu, jamur hioko, kuning telur bebek, cabe rawit, lakci, ebi dan lain lain. Ada juga bakcang yang terbuat dari beras ketan, dimana proses pembuatannya adalah beras ketan terlebih dahulu diaron dengan santan, isinya hampir sama dengan yang terbuat dari beras. Penggunaan beras pada pembuatan bakcang di Indonesia (khususnya di Jakarta) dikarenakan beras nasi merupakan makanan pokok masyarakat Indonesia, sehingga mudah diterima oleh lidah masyarakat Indonesia, khususnya Jakarta. Di Indonesia, khususnya Jakarta, memakan bakcang tidak sama dengan di China. Karena bakcang Jakarta rasanya terdapat dalam isinya, jadi ketika memakan tidak memerlukan tambahantambahan lain. Sedangkan kicang yang tidak mempunyai rasa, cara memakannya hampir sama dengan cara memakan bakcang di China, dapat dimakan dengan tambahan selai srikaya dan air gula. Dari hasil analisa di atas, penulis menemukan bahwa bakcang yang terbuat dari nasi, diadaptasi dari citarasa lokal. Karena nasi merupakan makanan utama orang Indonesia maka para pendatang China mengganti beras ketan menjadi beras nasi. Oleh karena adanya latar belakang ini, maka bakcang nasi lebih banyak ditemukan di Jakarta. Perbedaan juga ditemukan dari isi bakcang. Isi bakcang di China pada umumnya adalah manis, misalnya bacang isi kacang hitam atau tausa, kurma merah atau angco, lengkeng dan sebagainya, namun di Indonesia, khususnya di Jakarta, isi bacang pada umumnya adalah asin, hal ini dikarenakan, orang Jakarta lebih suka makan nasi yang disajikan dengan lauk dengan rasa asin.
Tabel 3 Perbedaan Bakcang di China dan di Jakarta
Jenis Daun Beras Rasa Isi
China Bakcang Daun bambu Beras ketan Asin, Manis Asin : potongan daging Manis : kacang merah, lengkeng, kurma merah
Jakarta Bakcang, kicang/kuecang Daun bambu Beras ketan, beras Asin Daging cincang yang telah dibumbui, kuning telur asin, jamur, kacang tanah, cabe rawit
6
Pada Perayaan Pertengahan Musim Gugur, kebiasaan yang ditemukan dalam perayaan ini adalah orang-orang berkumpul bersama keluarga untuk makan buah dan kue bulan. Di China, kue bulan ada banyak jenisnya. Huang Shi dalam bukunya yang berjudul Hari Raya China : Mid-Autumn, menyatakan : berdasarkan wilayahnya, kue bulan bisa dibagi menjadi kue bulan ala Beijing, kue bulan ala Guangzhou, kue bulan ala Suzhou, kue bulan ala Chaoshan, kue bulan ala Yunan, kue bulan ala Hongkong, kue bulan ala Taiwan dan lain sebagainya. Berdasarkan isinya, dapat dibagi menjadi kue bulan dengan isi kacang-kacangan, yaitu lima macam kacang-kacangan dan bijibijian yang dicincang kasar dan direkatkan satu sama lain dalam mooncake dengan sirup maltose. Kemudian ada kue bulan isi kurma, isi kacang merah dan isi biji bunga teratai. Pembagian berdasarkan jenis kulitnya, yaitu kue bulan dengan kulit kenyal, kulit renyah dan kulit lembut. Berdasarkan rasanya, dapat dibagi menjadi rasa manis, asin, asin manis, pedas dan lain sebagainya. Kue bulan pada umumnya berbentuk bulat, cara pembuatannya pun hampir sama, perbedaannya hanya terletak pada bahan pembuat kulit dan isinya. Kulit kue bulan terbuat dari tepung terigu, minyak kacang, sirup (terbuat dari gula pasir, air dan air lemon). Tepung terigu dicampur dengan sirup dan minyak, kemudian diadon hingga adonan tidak lengket ditangan. Kemudian tutup dengan kain yang telah dibasahi dan diamkan selama 3 jam. Isi kue bulan bermacam-macam, ada yang berisi selai biji teratai, selai kacang merah, kacang hijau, selai kurma merah dan 5 jenis kacang-kacangan (kacang hijau, kuaci, kacang tanah dll). Isi bijibijian dan kacang-kacangan dapat juga dipadukan dengan kuning telor asin. Selain isi yang telah disebutkan di atas, kue bulan juga ada yang berisi ham dan telor. Perbandingan kulit dan isi kue bulan adalah 2:3, isinya yang banyak menjadi hal yang utama dalam pembuatan kue ini. Di Indonesia, khususnya di Jakarta, kue bulan ada dua macam. Yang pertama berwarna putih, bentuknya bulat pipih, biasa disebut dengan tong jiu pia. Yang lainnya berwarna coklat, bentuknya bulat tebal. Kue jenis ini sama dengan kue bulan ala Kanton. Jika kita melihat dari jenis kue bulan yang ada di China, yaitu kue bulan ala Suzhou, sama seperti jenis kue yang kita kenal dengan nama bakpia. Bakpia di Indonesia, khususnya Jakarta, bisa ditemukan setiap hari, jadi kue jenis ini bukanlah makanan khusus hari raya, untuk itu kita tidak akan membahas bakpia lebih dalam lagi. Pembuatan kue bulan jenis tong jiu pia memakan waktu yang sangat lama. Pembuatan kue ini sudah dimulai sejak 4 bulan sebelum hari H. Mengapa begitu lama? Hal ini dikarenakan pembuatan kue dimulai dengan pembuatan biang. Narasumber kami yang adalah pembuat kue tong jiu pia menyatakan,“Biang ini harus disimpan selama 3 bulan. Bisa saja diganti ragi, tapi hasil kue akan menjadi keras.” Biang merupakan campuran tepung dan air, yang kemudian disimpan di dalam tongtong besar yang ditutup rapat. Kemudian, biang ini akan dicampur dengan bahan lainnya untuk membuat kulit kue. Setelah pencampuran tersebut, lalu dilakukan proses pemutihan. Kemudian adonan digiling lama supaya warnanya menjadi benar-benar putih. Setelah adonan kulit jadi, baru dimasukkan isi. Isi dari kue ini pun bervariasi, ada keju, coklat, durian, cempedak, jambu mede, daging dan caypia (tangkue, kulit jeruk dan rempah). Kemudian kue dibentuk bilat pipih, lalu dicap dengan merk dagang yang disertai dengan jenis isi kue. Tahap akhir adalah pemanggangan, karena narasumber masih menggunakan cara tradisional untuk memanggang, yaitu dengan menggunakan arang, maka waktu yang dibutuhkan adalah 40 menit dan kue ini dapat bertahan selama 3 bulan. Nio Joe Lan dalam bukunya yang berjudul “Peradaban Tionghoa Selayang Pandang” menyatakan, kue bundar gepeng menyerupai bentuk bulan. Ada yang besar dan ada yang kecil. Di dalamnya dipakailah isi. Isi ini diIndonesiakan! Karena isi itu ada yang terdiri atas sari durian, sari cempedak, sari manga, sari nanas dan sari buah-buahan lainnya. Kue tong tjiu pia dengan sari buahbuahan yang disebutkan di atas ini dibuat oleh orang Tionghoa-Peranakan. Yang dibuat oleh orang Tionghoa-totok mempunyai “rasa” lain dan berbeda pula bentuknya (Nio Joe Lan,2013). Kue bulan di Indonesia, khususnya di Jakarta, mendapatkan akulturasi dari kebudayaan lokal. Akulturasi yang terjadi pada makanan ini dapat dilihat dari isi yang dipakai dalam membuat kue ini, yaitu sari dari buah-buahan yang tidak asing bagi masyarakat di Jakarta seperti cempedak, durian, mangga dan biji jambu mede, dipakai sebagai isi yang disesuaikan dengan lidah masyarakat lokal dengan tujuan agar mudah diterima oleh penduduk Jakarta. Dari hasil analisis di atas, penulis menemukan bahwa kue bulan yang ada di Jakarta telah beradaptasi dengan citarasa lokal dan kepercayaan penduduk lokal. Awalnya, kulit kue bulan terbuat dari lemak babi dan berisi daging babi. Karena kebanyakan masyarakat Indonesia adalah kaum Muslim, maka penggunaan lemak babi dan daging babi bertentangan dengan ajaran agama Islam. Oleh karena itu, orang Tionghoa Jakarta mengganti daging babi yang menjadi isi kue bulan dengan coklat, keju, kacang hijau, selai durian, selai cempedak, selai mangga, selai kacang mede dan lain
7
sebagainya. Penggunaan buah-buahan lokal seperti cempedak, mangga, kacang mede dan durian merupakan bentuk akulturasi yang terjadi pada kue bulan. Isi kue bulan yang asli tidak cocok dengan citarasa lokal. Agar kue bulan dapat diterima dan dapat dipertahankan, maka isi kue bulan disesuaikan dengan citarasa lokal oleh masyarakat Tionghoa. Di China tidak ada cara khusus dalam menyajikan kue bulan. Di Jakarta pun tidak ada cara khusus dalam penyajian, hanya saja jika di Jakarta kue bulan dijadikan sebagai persembahan untuk sembayang kepada dewi bulan. Setelah sembayang, barulah kue bulan dipotong, dinikmati dengan suguhan teh hangat ketika duduk berkumpul bersama-sama dengan keluarga sambil menikmati terang bulan.
Tabel 4 Jenis
Isi
Rasa Kulit Waktu pembuatan
Perbedaan Kue Bulan di China dan di Jakarta
China kue bulan ala Beijing, kue bulan ala Guangzhou, kue bulan ala Suzhou, kue bulan ala Chaoshan, kue bulan ala Yunan, kue bulan ala Hongkong, kue bulan ala Taiwan, dan lain sebagainya kacang-kacangan dengan sirup maltose, kurma, kacang merah dan biji bunga teratai Manis, asin, asin-manis, pedas dengan kulit kenyal, kulit renyah dan kulit lembut Proses pemanggangan 45 menit
Jakarta Kue bulan ala Guangzhou, kue bulan ala Suzhou, Tong jiu pia
keju, coklat, duren, cempedak, jambu mede, daging dan caypia (tangkue, kulit jeruk dan rempah) manis Kenyal dan keras Pembuatan biang : 4 bulan Pemanggangan
: 40 menit
Sembahyang ronde merupakan perayaan yang jatuh di musim dingin pada tanggal 22 atau 23 Desember penanggalan Masehi. Perayaan ini adalah perayaan akhir tahun sebelum datangnya perayaan Tahun Baru Imlek. Pada perayaan ini biasanya disajikan ronde atau tangyuan yang merupakan makanan kecil khas hari raya ini. Di China, makanan yang disajikan pada perayaan ini berbeda antar tempat yang satu dan yang lainnya. Masyarakat China bagian Utara biasanya menyajikan pangsit (dumpling), sedangkan masyarakat China bagian Selatan menyajikan ronde (tangyuan). Di Indonesia, khususnya di Jakarta makanan yang disajikan adalah ronde. Ronde di China dan Jakarta sama-sama terbuat dari tepung beras ketan yang dicampur dengan air dan diberi warna merah, putih dan hijau. Di Jakarta, pembuatan ronde menggunakan daun suji sebagai pewarna hijau, sedangkan untuk warna merah menggunakan pewarna makanan. Di China, ronde mempunyai isi yang beragam, seperti daging, wijen hitam, kacang merah, kacang tanah dan lain-lain. Sedangkan di Jakarta, pada umumnya tangyuan tidak mempunyai isi, tetapi ada juga yang membuat dengan isi kacang tanah yang telah di haluskan dan dicampur dengan gula. Ukuran ronde di China lebih besar, karena memiliki isi. Sedangkan di Jakarta, ronde ukurannya lebih kecil, sedangkan yang mempunyai isi ukurannya lebih besar. Adapun hal unik yang merupakan bentuk nyata akulturasi pada perayaan ini adalah keluarga yang sedang berduka tidak boleh membuat ronde, tetapi boleh menerima ronde dari tetangga atau kerabat lainnya. Sebagai ucapan terima kasih maka dibalas dengan memberikan sekoteng. Sekoteng adalah minuman yang terbuat dari air gula dan jahe yang berisi kacang tanah yang telah disangrai, irisan roti, kacang hijau, dan pacarcina. Berdasarkan hasil penelitian penulis, pada makanan ini tidak terlalu banyak berubah dari tempat aslinya. Perbedaan terletak pada cara penyajian makanan ini, dimana di China, penyajian makanan ini menggunakan kuah bening, tapi ada juga yang menggunakan air tape ketan. Tape ketan adalah beras ketan yang difermentasikan. Di Jakarta, ronde biasanya disajikan dengan kuah yang terbuat dari gula jawa dan jahe, ada juga yang menggunakan gula putih dan jahe.
8
Penggunaan gula jawa pada kuah ronde merupakan bentuk akulturasi kebudayaan dari Indonesia. banyak makanan utama maupun makanan kecil serta minuman di Indonesia yang menggunakan gula jawa sebagai salah satu campuran bahan makanan atau minuman.
Tabel 5
Perbedaan Ronde di China dan di Jakarta
Tepung Isi
China Tepung beras ketan kacang merah, kacang tanah, wijen hitam
Kuah/Sup
Kuah/sup bening
Jakarta Tepung beras ketan Umumnya tidak ada isi, jika ada isi biasanya menggunakan kacang tanah Kuah jahe dengan campuran gula jawa atau gula putih
KESIMPULAN DAN SARAN Sebagian imigran China yang datang ke Indonesia, selain berdagang juga memutuskan untuk menetap. Mereka yang menetap di Indonesia menikah dan membangun keluarga dengan penduduk lokal. Orang-orang China yang menetap di Indonesia, tidak serta merta melupakan kebudayaan dan tradisi asli mereka. Agar kebudayaan dan tradisi mereka bisa bertahan dan dapat dilestarikan, maka mereka beradaptasi dengan kebudayaan setempat. Hal inilah yang menciptakan akulturasi dan asimilasi antara budaya China dan budaya Indonesia. Akulturasi dan asimilasi dalam suatu budaya bisa terjadi pada berbagai aspek, salah satunya aspek kuliner. Dari hasil analisis, penulis dapat menyimpulkan bahwa makanan kecil khas hari raya Tionghoa yang ada di Indonesia, khususnya Jakarta, mengalami proses akulturasi dan asimilasi dalam proses pembuatan dan penyajiannya. Dilihat dari proses pembuatannya, kebanyakan makanan hari raya Tionghoa di Indonesia berbeda dengan yang ada di China. Perbedaan dapat terlihat dari bahan-bahan yang digunakan dalam proses pembuatan makanan tersebut. Karena bahan-bahan yang digunakan di China tidak ditemukan di Indonesia, membuat pendatang China menggunakan bahan yang ada di Indonesia. Maka, hal inilah yang menimbulkan terjadinya proses akulturasi. Proses asimilasi terjadi karena cita rasa atau lidah orang Indonesia berbeda dengan orang China, sehingga ada makanan hari raya yang disesuaikan dengan kebiasaan makan dan cita rasa masyarakat setempat. Contohnya lontong Cap Go Meh dan bakcang. Dengan kata lain, perkembangan makanan kecil khas hari raya Tionghoa di Indonesia lebih ke arah lokalisasi. Karena hanya dengan menerima cita rasa lokal, makanan khas hari raya Tionghoa baru bisa bertahan. Dapat dikatakan juga bahwa dalam perkembangan suatu budaya di daerah asing, akulturasi adalah suatu proses yang tidak terelakkan.
REFERENSI
法显著,郭鹏注译.佛国记注译(佛教文化通俗读物丛书)[M].长春出版社,1995 韩鉴堂.中国文化[M]. 北京:北京语言大学,2005. 黄涛.中秋[M].北京:生活.读书.新知三联书店,2007. 李慕南,张林,李丽丽.传统节日(中国文化史丛书)[M].开封:河南大学出版社,2001. 李慕南,张林,李丽丽.饮食文化(中国文化史丛书)[M].开封:河南大学出版社,2001. 孟慧英.传统节日的性质、作用及其发展[J].亚细亚民俗研究,2006.(6):140-152.
9
任耕耘.传统节日(中华民俗文库)[M].合肥:黄山书社,2007. 魏敏.中原正月的饮食信仰习俗[J].亚细亚民俗研究,2011.(8):180-185 谢爱帝,刘玲明. 雅加达正宗的梅县客家菜与雅加达风味的客家菜的分别[D].雅加达:建国 大学中文系,2009 年. 云达.棉兰华裔中国传统节日饮食文化研[D].棉兰:苏北大学,2012. 张茜.冬至节俗及其饮食文化的变迁[J].成都航空职业技术学院学报,2011,27(4):77. Aji, K.B. (2012). Buku Pintar Raja-Raja Jawa dari Kalingga Hingga Kasultanan Yogyakarta : Mengungkap Sejarah dan Biografi Para Raja Berdasar Fakta Terbaru. Jakarta : PT. Kompas Media Nusantara Den. (2013, Maret). Beragam Sajian Imlek. Jia xiang, 13, 58-59 Fitriyani, R. (2012). Peranan Paguyuban Tionghoa Purbalingga Dalam Melestarikan Pelestarian Tradisi Cap Go Meh. Komunitas, 4,1 diakses 15 Juni 2013 dari http://journal.unnes.ac.id Gondomono. (2013). Manusia dan Kebudayaan Han. Jakarta : PT. Kompas Media Nusantara Habsari, R. (2007). Info boga Jakarta. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama Koentjaraningrat.(2009). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Rineka Cipta Lim, S. (2009). Mandarin Ceria 1 : Kue Bulan. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo Lim, S. (2009). Mandarin Ceria 2 : Bakcang. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo Lombard, D., et al. (2005). Nusa Jawa : Silang Budaya : Kajian Sejarah Terpadu Bagian II : Jaringan Asia. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama Nio, J.L. (2013). Peradaban Tionghoa Selayang Pandang. Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia Pasaribu, W.S. (2011). Fungsi dan Makna Makanan Tradisional Pada Perayaan Upacara Budaya Masyarakat Tionghoa (Skripsi S1). Universitas Sumatera Utara, Medan Rahman, F. (2011). Rijstaffel : Budaya Kuliner di Indonesia Masa Kolonial 1870-1942. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama Santosa, I. (2012). Peranakan Tionghoa di Nusantara : Catatan Perjalanan dari Barat ke Timur. Jakarta : PT Kompas Media Nusantara Saraswati, L.A., Wardhani, P.A.I. (2012). Perjalanan Multikultural Dalam Sepiring Ketupat Cap Go Meh. Prosiding Seminar Internasional Multikultural dan Globalisasi 2012, diakses 13 Juli 2013
di
http://multikulturalui.files.wordpress.com/2013/05/prosiding-simg-ui-2012-jilid-1-
24.pdf Sartini, N.W. (2006). Konsep dan Nilai Kehidupan Masyarakat Tionghoa : Analisis Wacana Ritual Tahun Baru Imlek. Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, 19,2 diakses 15 Juni 2013 dari http://journal.unair.ac.id Shanti, Chen, J., W. Benyamin. (2013, Februari). Ragam Makna di Balik Hidangan Istimewa. Saji, 260.
10
Suryati, T. (2012). Pengaruh Budaya Melayu Pada Masyarakat China di PeChinan Semarang. Diakses 1 Juli 2013 dari http://eprints.undip.ac.id/34056/ Utami, P. (6 Mei 2013). Lontong Cap Go Meh, Paduan Aneka Rasa. Kompas.com diakses 12 Juli 2013 dari http://travel.kompas.com/read/2013/05/06/0951460/Lontong.Cap.Go.Meh..Paduan.Aneka.Rasa Chan, N. (2003, April). Nonya Kueh Chang. The Peranakan, 4-5 _______. (2006, Januari). Sweet Temptation : Kueh And Cakes For The Festive Season. The Peranakan, 17-18 Gong, W.X. Food in Chinese Culture. CAV Television Production Co., Ltd. Lye, W.C. (2006, Januari). Chinese New Year : A Peranakan Twist. The Peranakan, 7-10 Mranata, B., Wibisono, L., Indonesian Cross-Cultural Society. (2012). Indonesian Chinese Peranakan : A Cultural Journey. Jakarta : Intisari Mediatama, PT. Komunitas Lintas Budaya Indonesia
RIWAYAT PENULIS Mercia lahir di kota Jakarta, 17 Juni 1987. Penulis menamatkan pendidikan SMA di Vianney tahun 2006. Saat ini penulis masih melanjutkan sekolahnya di Universitas Bina Nusantara jurusan Sastra China. Stella Angelina lahir di kota Jakarta, 28 Juli 1991. Penulis menamatkan pendidikan SMA di Bunda Hati Kudus tahun 2009. Saat ini penulis masih melanjutkan sekolahnya di Universitas Bina Nusantara jurusan Sastra China. Sugiato Lim lahir di kota Mentok Bangka, 20 Juli 1988. Menamatkan S1 di BLCU Chinese Language and Culture pada 2010 dan S2 di BLCU Master of Teaching Chinese to Speakers of Other Language pada 2012. Saat ini bekerja sebagai FM SCC Sastra China Universitas Bina Nusantara.