ANALISIS MULTI KRITERIA UNTUK PEMILIHAN KEGIATAN EKOWISATA MANGROVE DI SEGARA ANAKAN, KABUPATEN CILACAP JAWA TENGAH
Oleh : DWICKO SUKMA P SARAGIH C24060008
Skripsi
DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
RINGKASAN Dwicko Sukma P Saragih. C24060008. Analisis Multi Kriteria untuk Pemilihan Kegiatan Ekowisata di Segara Anakan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Dibawah bimbingan Agustinus M. Samosir dan Taryono. Segara Anakan merupakan ekosistem rawa bakau dengan laguna yang unik dan langka di pantai selatan Pulau Jawa. Laguna ini berada di antara pantai selatan Jawa dan Pulau Nusa Kambangan, yang dihubungkan dengan Samudra Hindia oleh dua selat (alur barat dan alur timur) dan merupakan tempat bermuaranya sungai besar dan kecil. Segara Anakan terletak pada posisi 108°46’BT–109°03’BT dan 8°35’LS–8°48’ LS. Ekosistem mangrove di Segara Anakan merupakan terluas yang tersisa di Pulau Jawa. Adanya dominasi hutan mangrove dan kekayaan fauna yang dimiliki menjadikan Segara Anakan berpotensi sebagai lokasi wisata yang cukup menjanjikan, selain fungsi ekologisnya..Tujuan dari penelitian: perencanaan kegiatan ekowisata mangrove di Segara Anakan dengan lebih melibatkan masyarakat sekitar. Pengumpulan dan pengambilan data melalui wawancara untuk memperoleh informasi mengenai kawasan penelitian dan sosial ekonomi kawasan penelitian (kuesioner), observasi lapangan untuk pengamatan kondisi fisik lingkungan dan studi pustaka. Data yang dikumpulkan meliputi sumberdaya alam, keadaan umum kawasan Segara Anakan, isu-isu yang berkembang, kebijakan pengelolaan di wilayah tersebut, serta keadaan sosial masyarakat di kawasan Segara Anakan. Analisis data yang digunakan yaitu Multi Criteria Analysis. Kawasan Mangrove Segara Anakan yang masuk wilayah adminsitrasi Kecamatan Kampung Laut memiliki luas 8.359 Ha (BPKSA 2005) . Kawasan Segara Anakan terdiri dari empat desa yaitu Desa Ujung Alang, Ujung Gagak, Klaces, dan Panikel. Masyarakat menyatakan potensi wisata yang dimiliki oleh kawasan Segara Anakan sangat bagus. Jenis wisata yang sudah berjalan di kawasan Segara Anakan adalah Tracking, memancing, dan berperahu. Pengunjung menyatakan puas dengan kondisi kualitas lingkungan kawasan Segara Anakan. Kawasan Segara Anakan memiliki potensi sumberdaya yang tinggi yaitu banyak jumlah jenis vegetasi mangrove dan biota mangrove. Potensi sumberdaya kawasan Segara Anakan sesuai untuk dikembangkan menjadi kawasan ekowisata. Kegiatan wisata mangrove yang dapat direkomendasikan di kawasan ini selain ketiga kegiatan wisata yang telah berjalan adalah birdwatching dan photosafari. Parameter kawasan rekreasi meliputi fisik (ekologi) dan sosial ekonomi. Parameter fisik(ekologi) terdiri atas kerapatan mangrove (Ujung alang 1106 ind/ha, Ujung Gagak 500 ind/ha, dan Klaces 90 ind/ha), ketebalan mangrove (Ujung alang 790 m, Ujung Gagak 716 m, dan Klaces 713 m), jumlah jenis mangrove (Ujung alang 6 jenis, Ujung Gagak 3 jenis, dan Klaces 3 jenis), pasang surut (0,4-1,9 m), dan biota mangrove. Sedangkan parameter sosial ekonomi terdiri atas acceptance (keterimaan), akomodasi, aksesabilitas, peningkatan pendapatan, dan sarana prasarana. Penentuan lokasi tempat yang sesuai dengan kegiatan ekowisata yang ada ditentukan dengan metode MCA. Berdasarkan metode MCA kegiatan berperahu dan memancing sangat sesuai untuk dilaksanakan di Desa Ujung Alang, Ujung Gagak, dan Klaces (83,26%). Kegiatan tracking sangat sesuai dilaksanakan di Desa Klaces (88,38%) . Sedangkan untuk kegiatan alternatif yaitu birdwatching dan photosafari sangat sesuai dilaksanakan di Desa Ujung Alang (85,8%). Tingginya penerimaan dan dukungan dari masyarakat serta masih banyaknya vegetasi mangrove dan biota di Desa Ujung Alang membuat desa tersebut sangat sesuai untuk dilaksanakan beberapa kegiatan ekowisata.
Ada beberapa saran yang diajukan yaitu: pertama, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai laju sedimentasi di kawasan Segara Anakan karena hal ini sangat berpengaruh terhadap kelangsungan kegiatan ekowisata. Kedua, peningkatan kegiatan sylvofishery agar tidak terjadi konflik perebutan lahan antara para petani tambak dengan pengembangan kegiatan ekowisata mangrove. Dan ketiga adalah perlunya peningkatan fasilits pendukung kegiatan ekowisata yang ada di kawasan mangrove Segara Anakan
SUMMARY
Dwicko Sukma P Saragih. C24060008. Analysis of Multi Criteria for Selection of Ecotourism Activities in Segara Anakan, Cilacap, Central Java. Under the guidance of Augustine M. Samosir and Taryono.
Segara Anakan is a mangrove swamp ecosystem with a unique and rare lagoon on the south coast of Java Island. This lagoon is between the south coast of Java and the island of Nusa Kambangan, which is connected with the Indian Ocean by two straits (the flow path west and east) and is home bermuaranya large and small rivers. Segara Anakan located at position 108°46’BT– 109°03’BT and 8°35’LS–8°48’ LS. Segara Anakan mangrove ecosystem in the largest remaining on the island of Java. The dominance of mangrove forests and fauna wealth owned ly making potential as a promising tourist sites, in addition to ecological function. The purpose of the study: the planning of mangrove eco-tourism activities in ly more involved with the surrounding community. Collection and retrieval of data through interviews to obtain information on the area of research and socioeconomic area of research (questionnaires), field observation to observation of physical condition and environmental literature. Data collected include natural resources, the general state of the region Segara Anakan developing issues, policy management in the region, as well as social circumstances in the region Segara Anakan. Analysis of the data used is the Multi Criteria Analysis. Mangrove Area Segara Anakan entering Kampung Laut subdistrict administrative region has an area of 8.359 Ha (BPKSA 2005). Segara Anakan region consists of four villages namely Desa Ujung Alang, Ujung Gagak, Klaces, and Panikel. Society states that tourism potential Segara Anakan owned by a very nice area. Type of tourism which has been running in the region Segara Anakan is Tracking, fishing, and boating. Visitors are generally satisfied with environmental quality region Segara Anakan. Segara Anakan region has a high resource potential of many species of mangrove vegetation and mangrove biota. Segara Anakan resource potential areas suitable to be developed into ecotourism. Mangrove tourism activities that can be recommended in this area in addition to thirdtourism activities that have been running is Birdwatching and photosafari. Recreation areas include the physical parameters (ecological) and socio-economic. Physical parameters (ecological) consists of dense mangrove (Ujung Alang 1106 ind / ha, Ujung Gagak 500 ind / ha, and Klaces 90 ind / ha), mangrove thickness (Ujung Alang 790 m, Ujung Gagak 716 m and Klaces 713 m) , the number of mangrove species ( 6 types of Ujung Alang, Ujung Gagak 3 types, and Klaces 3 types), tide (0.4 to 1.9 m), and biota of mangrove. While socio-economic parameters consists of acceptance, accommodation, accessibility, increased incomes, and infrastructure. Determining the location of places in accordance with existing ecotourism activities determined using MCA. Under the MCA method boating and fishing activities are very suitable to be implemented in the village of Ujung Alang, Crow Edge, and Klaces (83.26%). Activity tracking is very suitable place in the Village Klaces (88.38%). As for the alternative activity that is very appropriate photosafari Birdwatching and implemented in the village of Ujung Alang (85.8%). The high acceptance and support from the community and there are still lots of mangrove vegetation and biota in the village of Ujung Alang make the village is very suitable to be implemented some ecotourism. There were some suggestions put forward: firstly, the need to conduct further research on
the rate of sedimentation in the region Segara Anakan because it is very influential on the sustainability of ecotourism. Second, increased activity sylvofishery to avoid conflicts between the farmers land struggles pond with mangrove ecotourism development activities. And third is the need to increase support fasilits ecotourism activities in mangrove areas Segara Anakan.
ANALISIS MULTI KRITERIA UNTUK PEMILIHAN KEGIATAN EKOWISATA MANGROVE DI SEGARA ANAKAN, KABUPATEN CILACAP JAWA TENGAH
Oleh : DWICKO SUKMA P SARAGIH C24060008
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul : Analisis Multi Kriteria untuk Pemilihan Kegiatan Ekowisata Mangrove di Segara Anakan, kabupaten Cilacap, Jawa Tengah Adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Agustus 2010
Penulis
LEMBAR PENGESAHAN
Judul penelitian
:Analisis Multi Kriteria Untuk Pemilihan Kegiatan Ekowisata di Segara Anakan, Cilacap Jawa Tengah
Nama
: Dwicko Sukma P Saragih
NIM
: C24060008
Program studi
: Manajemen Sumberdaya Perairan
Menyetujui : Komisi Pembimbing
Komisi Pembimbing 2
Ir. Agustinus M. Samosir, M. Phil
Taryono, S.Pi, M.Si NIP. 19691025 199702 1 004
NIP.19611211 198703 1 003
Mengetahui : Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan
DR. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc NIP.19660728 199103 1 002
Tanggal Lulus : 16 Agustus 2010
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Binjai, pada tanggal 23 Agustus 2010 dari pasangan Bapak Mahadi Sukma Saragih dan Ibu Susnesi Purba. Penulis merupakan putra ke dua dari tiga bersaudara. Pendidikan formal ditempuh di SD Budi Luhur, Medan (2000), SLTP St. Maria, Medan (2003), dan SMA Negeri 10, Medan (2006). Pada tahun 2006 penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI dan pada tahun 2007 diterima di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Selama mengikuti perkuliahan penulis aktif dalam organisasi sebagai staf divisi kewirausahaan Himpunan Manajemen Sumberdaya Perairan (HIMASPER) (2008/2009). Selain itu penulis juga aktif sebagai Asisten Luar Biasa m.k. Ekologi Perairan (2008/2009) (2009/2010), asisten m.k. Biologi Laut (2009/2010), dan asisten m.k. Ekotoksikologi Perairan (2009/2010). Untuk menyelesaikan studi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis melaksanakan penelitian yang berjudul “Analisis Multi Kriteria untuk Pemilihan Kegiatan Ekowisata Mangrove di Segara Anakan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah” di bawah bimbingan Ir. Agustinus M. Samosir, M.Phil dan Taryono, S.pi, M.Si.
UCAPAN TERIMA KASIH 1. Ir. Agustinus M. Samosir M.Phil dan Taryono, S.Pi,M.Si masing-masing selaku ketua dan anggota komisi pembimbing dan akademik yang telah banyak memberikan arahan dan masukan hingga penyelesaian skripsi ini. 2. Dr.Ir. Yunizar Ernawati, MS selaku wakil komisi pendidikan program S1 dan Ir. Gatot Yulianto, M.Si selaku dosen penguji, atas saran, nasehat dan perbaikan yang diberikan. 3. Para Staf Tata Usaha MSP yang saya banggakan, terutama Mba Widar atas arahan dan kesabarannya. 4. Keluarga tercinta Bapak, Mama, Abang, dan Adik atas doa, kasih sayang, dukungan dan motivasinya. 5.
Staf dan pegawai KPKSA (Pak Supriyanto dan Pak Budi) yang telah membantu perijinan pelaksanaan penilitian
6. Bapak Kepala Desa Ujung Gagak, Ujung Alang, dan Klaces yang telah membantu perijinan dan pengambilan data lapangan. 7. Gian Puspita Apriyana atas doa, dukungan,dan motivasinya 8. Teman-teman MSP 43 atas kebersamaannya selama ini terutama untuk Presly, Salomo, dan Parulian. 9. Teman-teman “Pondok Malea” (Ando, Rio, Juan, Rano, Rudi, dan Bang Kahar) atas kekompakkan, kerjasama, dan semangatnya. 10. Semua orang dan instansi yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas bantuan dan dukungannya.
PRAKATA Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi penilitian ini berjudul Analisis Multi Kriteria untuk Pemilihan Kegiatan Ekowisata Mangrove di Segara Anakan, Kabupaten Cilacap (Jawa Tengah) dan merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ir. Agustinus M. Samosir, M. Phil selaku dosen pembimbing pertama dan Komisi Pendidikan S1 dan Taryono, S.Pi, M.Si selaku dosen pembimbing dua yang banyak membantu dalam pemberian bimbingan, masukan, dan arahan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi penilitian ini. Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari sempurna, dikarenakan keterbatasan pengetahuan penulis. Namun demikian penulis mengharapkan bahwa skripsi ini dapat bermanfaat untuk berbagai pihak
Bogor, 30 Agustus 2010
Penulis
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL................................................................. ............................................
ii
DAFTAR GAMBAR .........................................................................................................
iii
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................................
iv
I. PENDAHULUAN ...................................................................................................... 1.1. Latar Belakang .............................................................................................. 1.2. Perumusan Masalah ..................................................................................... 1.3. Tujuan ........................................................................................................... 1.4. Manfaat ........................................................................................................
1 1 1 2 3
II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................. 2.1. Kawasan Pesisir ........................................................................................... 2.2. Ekosistem Mangrove .................................................................................. 2.3. Ekowisata Pesisir ...... ................................................................................ 2.3.1. Konsep dan prinsip pengembangan ekowisata ............................... 2.3.2. Ekowisata berbasis masyarakat ...... ................................................ 2.3.3. Atraksi/kegiatan ekowisata mangrove ...... .....................................
4 4 6 11 12 13 14
III. METODE PENELITIAN ........................................................................................... 3.1. Bagan Alir Penelitian .............................................................................. 3.2. Waktu dan Lokasi Penelitian .................................................................. 3.3. Alat dan Bahan ....................................................................................... 3.4. Jenis Data dan Informasi yang Diperlukan ............................................. 3.5. Metode Pengambilan dan Pengumpulan Data ...................................... 3.5.1. Data primer .............................................................................. 3.5.2. Data sekunder .......................................................................... 3.6. Metode Pengambilan Responden .......................................................... 3.7. Analisis Data ........................................................................................... 3.7.1. Analisis ekologi mangrove ......................................................... 3.7.2. Multi criteria analysis ............................................................... 3.7.2.1. Pencakupan ................................................................ 3.7.2.2. Penentuan pilihan wisata yang akan dianalisis........ 3.7.2.3. Pemilihan atribut yang relevan.................................... 3.7.2.4. Penentuan bobot masing-masing atribut.................... 3.7.2.5. Pengukuran utilitas masing-masing kebijakan ............. 3.7.2.5. Keputusan wisata terbaik dan wisata alternatif...... 3.8. Daya Dukung Kawasan ............................................................................
19 19 20 21 21 21 21 22 22 22 22 23 24 24 25 26 28 30 31
IV.
33 33 33 34 36
HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................................. 4.1. Kondisi Umum Segara Anakan ................................................................. 4.1.1 Sejarah kawasan Segara Anakan.... ................................................. 4.1.2. Letak, luas, dan keadaan geografi .................................................. 4.1.3. Demografi .......................................................................................
4.2. Sumberdaya Hayati Mangrove Segara Anakan ...................................... 4.2.1. Kerapatan, keanekaragaman jenis, dan ketebalan mangrove..... 4.2.2. Biota mangrove ............................................................................. 4.2.3. Pasang surut air ............................................................................. 4.3. Potensi Wisata ........................................................................................ 4.3.1. Acceptance (Keterimaan) .............................................................. 4.3.2. Aksesabilitas .................................................................................. 4.3.3 Peningkatan pendapatan masyarakat ........................................... 4.3.4. Akomodasi/infrasturktur ............................................................... 4.3.5 Peningkatan pengetahuan ............................................................. 4.4. Analisis Multi Criteria Analysis (MCA)..................................................... 4.5. Upaya bagi Pengelolaan .......................................................................... 4.5.1. Daya dukung (Ekologi dan Ekonomi) ............................................. 4.5.2. Permasalahan dan solusi ...............................................................
38 38 50 54 55 55 63 65 69 72 74 78 78 81
KESIMPULAN DAN SARAN................................................................................... 5.1. Kesimpulan ............................................................................................... 5.2. Saran....... .................................................................................................
83 83 83
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................................
85
LAMPIRAN .... ...... .........................................................................................................
88
V.
DAFTAR TABEL Tabel.
Halaman
1. Atribut yang digunakan untuk analisis kegiatan ekowisata .................................
25
2. Atribut dengan bobot masing-masing ...................................................................
27
3. Atribut dengan skor dan bobot masing-masing.....................................................
28
4. Luas Wilayah Desa-desa di Kecamatan Pembantu Kampung Laut ........................
36
4. Jumlah penduduk setiap desa di Kampung Laut ....................................................
36
6. Jumlah penduduk setiap desa di Kampung Laut berdasarkan kelompok umur.. ..
37
7. Jumlah penduduk desa di Kampung Laut berdasarkan mata pencaharian ...........
37
8. Jumlah penduduk desa di Kampung Laut berdasarkan tingkat pendidikan ..........
38
9. Hasil analisis vegetasi mangrove pada stasiun 1 ...................................................
41
10. Hasil analisis vegetasi mangrove pada stasiun 2 ...................................................
42
11. Hasil analisis vegetasi mangrove pada stasiun 3 ...................................................
43
12. Hasil analisis vegetasi mangrove pada stasiun 4 ...................................................
44
13. Hasil analisis vegetasi mangrove pada stasiun 5 ...................................................
44
14. Hasil analisis vegetasi mangrove pada stasiun 6 ...................................................
45
15. Hasil analisis vegetasi mangrove pada stasiun 7 ...................................................
46
16. Hasil analisis vegetasi mangrove pada stasiun 8 ...................................................
47
17. Hasil analisis vegetasi mangrove pada stasiun 9 ...................................................
48
18. Jenis-jenis ikan setiap desa di Segara Anakan .......................................................
50
19. Jenis-jenis burung setiap desa di Segara Anakan ..................................................
52
20. Hasil Analisis MCA untuk setiap kegiatan ..............................................................
75
21. Jenis kegiatan yang sesuai untuk setiap desa ........................................................
78
22. Nilai ekonomi wisata setiap desa...........................................................................
80
23. Nilai ekonomi wisata setiap kegiatan ....................................................................
81
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran
Halaman
1. Panduan wawancara dengan pihak pengelola Segara Anakan .............................
89
2. Panduan wawancara dengan kelurahan ................................................................
90
3. Kuisioner untuk wisatawan ....................................................................................
91
4. Kuisioner untuk masyarakat sekitar kawasan........................................................
95
5. Tabel analisis MCA untuk Desa Ujung Alang .........................................................
98
6. Tabel analisis MCA untuk Desa Ujung Gagak.........................................................
99
7. Tabel analisis MCA untuk Desa Klaces ...................................................................
100
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan ekosistem pendukung utama kehidupan di kawasan pesisir, yang berfungsi sebagai tempat memijah dan asuhan berbagai macam biota, selain itu juga berfungsi sebagai penahan abrasi, amukan angin, badai, tsunami, penyerap limbah dan pencegah intrusi air laut, serta sebagai tempat rekreasi (Dahuri et al
2004 in
Yulianto 2006). Keadaan ekosistem
mangrove yang masih dalam kondisi baik sangat jarang ditemukan di Indonesia, terutama di Pulau Jawa. Salah satu wilayah di Pulau Jawa yang kondisi mangrovenya cukup baik adalah di Segara Anakan. Segara Anakan merupakan ekosistem rawa bakau dengan laguna yang unik dan langka di pantai selatan Pulau Jawa. Laguna ini berada di antara pantai selatan Jawa dan Pulau Nusa Kambangan, yang dihubungkan dengan Samudra Hindia oleh dua selat (alur barat dan alur timur) dan merupakan tempat bermuaranya sungai besar dan kecil. Segara Anakan terletak pada posisi 108°46’BT–109°03’BT dan 8°35’LS–8°48’ LS (Yuwono et al 2006). Ekosistem mangrove di Segara Anakan merupakan terluas yang tersisa di Pulau Jawa. Adanya dominasi hutan mangrove dan kekayaan fauna yang dimiliki menjadikan Segara Anakan berpotensi sebagai lokasi wisata yang cukup menjanjikan, selain fungsi ekologisnya. Ekosistem hutan mangrove di kawasan Segara Anakan, saat ini sedang mengalami tekanan yang dapat mengancam potensi tersebut, baik dari lingkungan maupun dari aktivitas manusia. Tekanan yang berasal dari lingkungan diantaranya berupa tingginya tingkat sedimentasi, yang menyebabkan semakin menipisnya luas perairan di laguna Segara Anakan. Sedangkan tekanan yang berasal dari aktivitas manusia berupa kegiatan penebangan liar hutan mangrove dan pembukaan lahan mangrove untuk tambak (Paw and Chua 1991). Berkurangnya potensi sumberdaya di Segara Anakan tersebut dapat di atasi dengan melakukan kegiatan ekowisata yang lebih bersifat ramah lingkungan.
2
1.2. Perumusan Masalah Kegiatan ekowisata atau wisata alam di kawasan Segara Anakan sudah menjadi
bahan
pemikiran
oleh
pemerintah
daerah
setempat,
tetapi
pelaksanaannya belum dilakukan secara optimal karena belum mendapat perhatian yang sangat serius. Padahal dengan potensi yang dimiliki oleh Segara Anakan akan dapat memberikan kontribusi ekonomi bagi pendapatan kas daerah dan masyarakat lokal melalui kegiatan ekowisata tersebut. Kegiatan ekowisata yang prinsipnya merupakan kegiatan rekreasi di alam bebas, contohnya hutan mangrove di kawasan Segara Anakan, yang di dalamnya juga terdapat kegaitan konservasi, diharapkan dapat menjadi alternatif solusi bagi beberapa permasalahan terutama yang disebabkan oleh tekanan akibat aktivitas manusia, seperti kegiatan penebangan liar. Kegiatan ekowisata diharapkan juga dapat memberikan keuntungan ekonomi bagi masyarakat setempat yang berasal dari wisatawan, sehingga dapat menumbuhkan rasa memiliki terhadap ekosistem mangrove, agar kelestarian ekosistem mangrove dengan potensi flora dan faunanya tetap terjaga. Penentuan zonasi untuk kegiatan ekowisata mangrove di Segara Anakan juga memerlukan pengelolaan yang baik, agar dapat berjalan dengan optimal dan tetap memperhatikan kelestarian ekosistem mangrovenya. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk menganalisis kesesuaian lahan di kawasan Segara Anakan bagi kegiatan ekowisata dengan cara mewawancarai penduduk sekitar dan juga para wisatawan yang datang, sehingga pada akhirnya diketahui daerahdarerah mana saja yang direkomendasikan untuk kegiatan ekowisata.
1.3. Tujuan Tujuan dari penelitian ini mempelajari arahan wisata berbasis aspek sosial ekonomi dan lingkungan di kawasan mangrove di Segara Anakan.
3
1.4. Manfaat Manfaat dari penelitian ini adalah : 1. Memberikan masukan bagi pengelola, mengenai kegiatan pengembangan yang dapat dilakukan di kawasan Segara Anakan. 2. Memberikan informasi mengenai wilayah-wilayah di kawasan Segara Anakan yang dapat menjadi kegiatan ekowisata sesuai dengan keinginan masyarakat setempat.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Kawasan Pesisir Menurut Bengen (2002), definisi dan batas wilayah pesisir yang digunakan di
Indonesia adalah wilayah dimana daratan berbatasan dengan laut. Batas di daratan meliputi daerah-daerah yang tergenang air maupun maupun yang tidak tergenang air yang masih dipengaruhi oleh proses-proses laut seperti pasang-surut, angin laut dan intrusi garam, sedangkan batas di laut ialah daerah-daerah yang dipengaruhi oleh proses-proses alami di daratan seperti sedimentasi dan mengalirnya air tawar ke laut, serta daerah-daerah laut yang dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan manusia di daratan. Beberapa ekosistem utama di wilayah pesisir adalah estuaria, hutan mangrove, padang lamun, terumbu karang, pantai (berbatu, berpasir, berlumpur), dan pulau-pulau kecil. Secara prinsip, ekosistem pesisir mempunyai fungsi pokok bagi kehidupan manusia yaitu penyedia sumberdaya alam, penerima limbah, penyedia jasa-jasa pendukung kehidupan dan penyedia jasa-jasa kenyamanan (Bengen, 2002). Oleh karena itu, permasalahan-permasalahan yang dapat terjadi di kawasan pesisir juga sangat kompleks, sehingga diperlukan suatu perencanaan dan pengelolaan secara terpadu agar kegiatan pemanfaatan yang dilakukan di kawasan pesisir dapat berjalan optimal dan berkelanjutan (Dahuri et al.,2004). Estuaria Salah satu kawasan atau daerah yang termasuk dalam kawasan pesisir adalah daerah estuaria. Menurut Nybakken (1992), estuaria adalah suatu badan air pantai setengah tertutup yang berhubungan langsung dengan laut terbuka, jadi sangat terpengaruh oleh gerakan pasang surut air laut yang bercampur dengan air tawar dari buangan air daratan. Berdasarkan geomorfologi estuaria, sejah geologi daerah, dan keadaan iklim yang berbeda, maka terdapat beberapa tipe estuaria. Tipe-tipe estuaria tersebut, yaitu (Nybakken, 1992):
5
1. Estuaria daratan pesisir (coastal plain estuary). Pembentukannya terjadi akibat penaikan permukaan air laut yang menggenangi sungai di bagian pantai yang landai. Contoh estuaria daratan pesisir, yaitu di Teluk Chesapeake, Maryland dan Charleston, Carolina Selatan. 2. Estuaria tektonik. Terbentuk akibat aktivitas tektonik (gempa bumi atau letusan gunung berapi) yang mengakibatkan turunnya permukaan tanah yang kemudian digenangi oleh air laut pada saat pasang. Contohnya Teluk San Fransisco di California. 3. Gobah atau teluk semi tertutup. Terbentuk oleh adanya beting pasir yang terleta sejajar dengan garis pantai sehingga menghalangi interaksi langsung dan terbuka dengan perairan laut. Contohnya di sepanjang pantai Texas dan pantai Teluk Florida. 4. Fjord merupakan estuaria yang dalam, terbentuk oleh aktivitas glesier yang mengakibatkan tergenangnya lembah es oleh air laut. Contohnya di Alaska, Kanada, Norwegia. Menurut Nybakken (1992), estuaria juga dapat dikelompokkan berdasarkan kondisi salinitasnya yaitu estuaria positif dan estuaria negatif. Estuaria positif atau estuaria baji garam membentuk suatu kesinambungan mulai dari estuaria dengan sedikit pencampuran dan baji garam yang sangat menonjol, tidak mencolok atau menonjol, sampai homogen atau sempurna karena menghasilkan salinitas yang sama secara vertikal dari permukaan sampai ke dasar pada setiap titik. Estuaria negatif dibentuk dari air laut yang dating, masuk ke permukaan, dan sedikit mengalami pengenceran karena pencampuran dengan denga air tawar yang jumlahnya sedikit. Kecepatan penguapan pada estuaria ini tinggi sehingga air permukaan menjadi hipersalin. Kawasan Segara Anakan termasuk ke dalam tipe estuaria semi tertutup yang berupa goban atau laguna, karena letaknya di pantai selatan Jawa yang terhalang oleh Pulau Nusa Kambangan di Samudera Hindia. Laguna dalam istilah geografi, adalah perairan yang hampir seluruh wilayahnya dikelilingi daratan dan hanya
6
menyisakan sedikit celah yang berhubungan dengan perairan laut. Sifatnya jauh lebih tertutup dibandingkan dengan teluk, apalagi selat (Sukaryanto, 2004). Daerah tertutup tersebut memiliki ekosistem mangrove yang masih cukup baik di Pulau Jawa. Menurut Nybakken (1992), estuaria merupakan daerah miskin akan flora, kecuali di daerah tropis karena adanya vegetasi mangrove. Hal ini didukung oleh melimpahnya sinar matahari yang mendorong berkembangnya vegetasi mangrove.
2.2. Ekosistem Mangrove Pengertian ekosistem mangrove Hutan bakau atau mangal adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin (Nybakken 1992), sedangkan menurut Saenger et al., (1983) in Aksornkoae (1993) mendeskripsikan mangrove sebagai karakteristik formasi tanaman litoral tropis dan sub tropis di garis pantai yang terlindung. Sebutan bakau ditujukan untuk semua individu tumbuhan, sedangkan mangal ditujukan bagi seluruh komunitas atau asosiasi yang didominasi oleh tumbuhan ini. Walsh (1974) in Nybakken (1992) melaporkan bahwa 60-75 persen garris pantai daerah tropik di bumi telah ditumbuhi oleh bakau, jadi peranannya sudah jelas. Gambaran yang jelas dari asosiasi mangal dibuat oleh Greeks pada tahun 325 Sebelum Masehi. Menurut Bengen (2002), hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut berlumpur. Santoso (2006), menyatakan bahwa ruang lingkup mangrove secara keseluruhan meliputi ekosistem mangrove yang terdiri atas : (1). Satu atau lebih spesies pohon dan semak belukar yang hidupnya terbatas di habitat mangrove (exclusive mangrove), (2) spesies tumbuhan yang hidupnya di habitat mangrove, namun juga dapat hidup di habitat non mangrove (non-exclusive mangrove), (3) biota yang berasosiasi
7
dengan mangrove (biota darat dan laut, lumut kerak, cendawan, ganggang, bakteri dan lain-lain) baik yang hidupnya menetap, sementara, sekali-sekali, biasa ditemukan, kebetulan maupun khusus hidup di habitat mangrove, (4) prosesproses yang dalam mempertahankan ekosistem ini, baik yang berada di daerah bervegetasi maupun di luarnya, dan (5) daratan terbuka/hamparan lumpur yang berada antara batas hutan sebenarnya dengan laut, serta (6) masyarakat yang hidupnya bertempat tinggal dan gtergantung pada mangrove. Penyebaran dan zonasi mangrove Asosiasi mangal tersebar di seluruh lautan tropik dan subtropik. Mereka mampu tumbuh hanya pada pantai yang terlindung dari gerakan gelombang, bila keadaan pantai sebaliknya, benih tidak mampu tumbuh dengan sempurna dan menjauhkan akarnya. Pantai-pantai ini tepat di sepanjang sisi pulau-pulau yang terlindung dari angin, atau serangkaian pulau atau pada massa daratan di belakang terumbu karang di lepas pantai yang terlindung. Mereka berkembang baik khususnya dalam daerah estuaria tropik dan mencakup daerah yang terbesar. Menurut Chapman (1977) in Suryadiputra et al., (1999), sebagian sebagian besar jenis-jenis mangrove tumbuh dengan baik pada tanah berlumpur, terutama di daerah dimana endapan lumpur terakumulasi. Karakteristik habitat hutan mangrove, yaitu : (Bengen 2002) a. Umumnya tumbuh pada daerah intertidal yang jenis tanahnya berlumpur, berlumpung, atau berpasir. b. Daerahnya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari maupun yang tergenang hanya pada saat pasang purnama. Frekuensi genangan menentukan komposisi vegetasi hutan mangrove. c. Menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat. d. Terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat. Air bersalinitas payau (2-22 ‰) hingga asing (mencapai 38 ‰). e. Banyak ditemukan di pantai-pantai teluk yang dangkal, estuaria, delta, dan daerah pantai yang terlindung.
8
Ada beberapa adaptasi yang dilakukan pohon mangrove, sesuai dengan kondisi lingkungannya, yaitu : (Bengen, 2002) a. Adaptasi terhadap kadar O2 yang rendah, terdapat pada bentuk perakaran tipe cakar ayam yang mempunyai pneumatophore (misalnya Avicennia spp, Xylocorpus spp, Sonneratia spp), untuk mengambil O2 dari udara daan tipe penyangga/tongkat yang mempunyai lentisel (misalnya Rhizphora spp). b. Adaptasi terhadap kadar garam tinggi, ditunjukkan dengan adanya sel-sel khusus dalam daun untuk menyimpan garam, struktur daun yang tebal dan kuat, serta banyak mengandung air untuk mengatur keseimbangan garam, dan adanya stomata khusus untuk mengurangi penguapan. c. Adaptasi terhadap tanah yang kurang stabil dan adanya pasang surut dilakukan dengan mengembangkan struktur akar yyang ekstensif dan membentuk jaringan horizontal yang lebar. Menurut Nybakken (1992), hutan mangrove terbagi atas beberapa zonasi yang palin umum yaitu : a. Daerah yang menghadap ke arah laut dari mangal Pasifik sebagian besar didominasi oleh satu atau lebih spesies Avicennia. Bagian pinggir Avicennia biasanya sempit, karena benih Avicennia tidak dapat tumbuh dengan baik pada keadaan yang teduh atau belumpur tebal yang biasanya terdapat di dalam hutan. Yang berasosiasi di dalam zona ini dan tumbuh pada bagian yang menghadap ke arah laut adalah pohonpohon dari genus Sonneratia, yang tumbuh pada daerah yang senantiasa basah b. Di belakang pinggiran Avcennia terdapat zona Rhizophora, yang didominasi oleh satu atau lebih spesies Rhizphora. Pohon-pohon ini adalah komunitas mangal yang paling khas karena mempunyai akar tunggang yang melengkung yang mengakibatkan daerah ini sukar ditembus manusia. Spesies Rhizophora sering kali tinggi dan berkembang pada daerah intertidal yang luas, dari tingkat tergenang
9
pada setiap pasang naik sampai daerah yang tergenang hanya pasang purnama tertinggi. c. Di depan yang menghadap ke daratan, zona berikutnya adalah zona Brugueira. Pohon-pohon genus Brugueira berkembang pada sedimen yang lebih berat (tanah liat) pada tingkat air pasang purnama yang tinggi. d. Zona mangal yang terakhir, yang kadang-kadang adanya, adalah zona Ceriops, suatu asosiasi dari semak yang kecil-kecil. Bila ada, maka ini adalah zona yang variabel dan kenyataannya dapat bergabung dengan pohon-pohon dari zona Bruguiera. Sukardjo (1984) in Yuniar (2000) menyatakan bahwa setiap tipe mangrove yang terbentuk berkaitan erat dengan faktor habitatnya, diantaranya tanah, genangan air pasang, salinitas, erosi perubahan lahan pesisir, fisiografi, kondisi sungai dan aktivitas manusia. Pada tepi-tepi laut yang ombaknya relatif tenang, umumnya tumbuh dengan lebat jenis api-api (Avicennia spp) dan bakau (Rhizophora spp) yang perakarannyamembantu menstabiilkan wilayah pantai. Zonasi dapat juga diputuskan oleh kondisi lokal seperti penguapan air dari tanah yang mengakibatkan terjadi hipersalinitas. Hipersalin cenderung mematikan bakau, membentuk daerah gundul. Perkembangan maksimal hutan bakau ditemukan pada daerah-daerah dengan curah hujan tinggi atau pada daerahdaerah di mana sungai-sungai memberikan air tawar yang cukup untuk mencegah perkembangan kondisi hipersalin. Zonasi juga dibatasi oleh gerakan pasang-surut. Bila kisaran pasang kecil, maka zona intertidal juga terbatas, seperti halnya hutanhutan bakau. Kebanyakan hutan-hutan yang luas berkembang pada pantai-pantai yang mempunyai kisaran pasang-surut vertikal yang besar (Nybakken 1992). Hutan Mangrove di Segara Anakan Kawasan Segara Anakan Cilacap merupakan mangrove terluas di Pulau Jawa yang masih tersisa. Ekosistem mangrove ini selain cukup luas juga mempunyai ciriciri atau kekhasan tersendiri yang berbeda dengan formasi mangrove di Pantai Utara Jawa yang umumnya berbentuk deretan vegetasi tipis membujur searah
10
dengan garis pantai. Daerah hutan mangrove Segara Anakan ini terbentang di daratan estuaria mlai dari sebelah barat dengan batas muara Sungai Citandui ke timur dengan batas Sungai Donan. Lebar hutan mangrove ini ke arah daratan mencapai beberapa kilometer, dan berbatasan dengan daerah persawahan. Luas keseluruhan Segara Anakan (termasuk hutan mangrove, goba serta batang-batang sungai) meliputi meliputi 24.000 ha (Hardjosuworno et al., 1982) sedangkan menurut Napitupulu dan Ramu (1982) luas seluruh goba Segara Anakan dan lingkungannya 32.000 ha. Menurut Haditenejo dan Abas (1982), 22.512 ha yang pada tahun 1942 masih berupa tegakan hutan yang baik telah berkurang menjadi 20.621 ha. Kemudian pada tahun 1982 luas hutan mangrove tersebut tinggal 14.000 ha, yang terdiri dari hutan yang rusak, tanaman muda, dan jenisjenis yang ridak ekonomis penting. Dan sekarang luas hutan mangrove di Segara Anakan telah mencapai 8.506. Itupun merupakan tanaman mangrove muda, karena ada upaya penghijauan terus-menerus yang dilakukan berbagai pihak. Sedangkan hutan mangrove dengan batang kayu yang besar sudah habis ditebang warga. Beberapa spesies mangrove yang dapat ditemukan di Segara Anakan adalah Rhizophora mucronata, R. Conjugate, Bruguiera gymnorhiza, B. Parviflora, Ceriops candoleana, C. Roxburghiana, xylocarpus granatum, X. Molluccensis, Avicennia officinalis, A. Marina, Sonneratia alba, S. Ovata, S. Acida, Aegiceras corniculatum, Cynomerta ramiflora, Pit hacellobium umbellatum, Heritiera littoralis, Cerbera manghas,dan
Nypha fruticans serta tumbuhan lain yang berasosiasi dengan
tumbuhan mangrove seperti Acrostichum aureu, Acanthus ilicofilius dan Derris heterophylla (Silvius dan Eva 1990). Faktor-faktor yang dapat menyebabkan kerusakan ekosistem mangrove (Annisa 2004) : a. Gangguan fisik-mekanis 1. Abrasi pantai atau pinggir sungai 2. Sedimentasi dengan laju tak terkendali 3. Banjir yang menyebabkan melimpahnya air tawar
11
4. Gempa bumi (tsunami) 5. Konversi mangrove untuk pemukiman, industri, pertanian, pertambangan, sarana angkutan, dan penggunaan lahan non kehutanan. b. Gangguan kimia 1. Pencemaran air, tanah, dan udara 2. Hujan asam c. Gangguan biologis 1. Invasi Acrostichum aureum (piay) dan jenis semak belukar lainnya Fungsi Mangrove Secara garis besar fungsi mangrove mempunyai dua fungsi utama yaitu fungsi ekologis dan fungsi ekonomis. Menurut dahuri et al.,(2004) fungsi ekologis dari mangrove diantaranya, perakarannya yang kokoh memiliki kemampuan untuk merendam pengaruh gelombang, menahan lumpur dan melindungi pantao dari erosi, gelombang pasang dan angin taufan. Hutan mangrove juga merupakan daerah mencari makan (feeding ground), daerah asuhan (nursery ground), dan daerah pemijahan (spawning ground) beberapa hewan perairan seperti udang, ikan, dan kerang-kerangan. Manfaat sosial ekonomi hutan mangrove bagi masyrakat sekitarnya adalah sebagai sumber mata pencaharian dan produksi berbagai jenis hasil hutan dan turunannya, antara lain kayu bakar, arang, bahan bangunan, obat-obatan, minuman, peralatan rumah tangga, bahan baku tekstil dan kulit, madu, lilin dan tempat rekreasi. Kawasan Segara Anakan sebagai daerah ekosistem mangrove yang unik dan khas memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi kawasan ekowisata mangrove.
2.3. Ekowisata Pesisir Kawasan pesisir selain mempunyai sumberdaya alam yang sangat tinggi, di beberapa daerah pesisir juga memiliki nilai estetika dan keunikan yang tinggi, sehingga cocok untuk dikembangkan menjadi wisata. Kegiatan wisata yang dapat
12
dilakukan di daerah pesisir seperti memancing, diving,surfing, dan juga dengan mengunjungi ekosistem pesisir seperti mangrove, lamun, dan juga terumbu karang.
2.3.1. Konsep dan prinsip pengembangan ekowisata Pada hakekatnya ekowisata yang melestarikan dan memanfaatkan alam dan budaya masyarakat, jauh lebih ketat dibanding dengan hanya keberlanjutan. Pembangunan ekowisata berwawasan lingkungan jauh lebih terjamin hasilnya dalam melestarikan alam dibanding dengan keberlanjutan pembangunan. Sebab ekowisata tidak melakukan eksploitasi alam, tetapi hanya menggunakan jasa alam dan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pengetahuan, fisik dan psikologis wisatawan (Fandeli & Muchlison 2000). Menurut The Ecotourism Society (Eplerwood 1999 in Fandelli 2001), menyebutkan ada delapan prinsip dalam kegiatan ekowisata yaitu: 1) Mencegah dan menanggulangi dari aktivitas wisatawan yang mengganggu terhadap alam dan budaya 2) Pendidikan konservasi lingkungan. Mendidik wisatawan dan masyarakat setempat akan pentingnya arti konservasi. Proses pendidikan ini dapat dilakukan langsung di alam. 3) Pendapatan langsung untuk kawasan Mengatur agar kawasan yang digunakan untuk ekowisata dan manajemen pengelola kawasan pelestarian dapat menerima langsung penghasilan atau pendapatan. Retribusi dan conservation tax dapat dipergunakan secara langsung untuk membina, melestarikan dan meningkatkan kualitas kawasan pelestarian alam. 4) Partisipasi masyarakat dalam perencanaan. Masyarakat diajak dalam merencanakan
pengembangan
ekowisata.
Demikian
pula
di
dalam
pengawasan, peran masyarakat diharapkan ikut secara aktif. 5) Meningkatkan penghasilan masyarakat. Keuntungan secara nyata terhadap ekonomi masyarakat dari kegiatan ekowisata mendorong masyarakat menjaga kelestarian kawasan alam. 6) Menjaga keharmonisan dengan alam. Semua upaya pengembangan termasuk
13
pengembangan fasilitas dan utilitas harus tetap menjaga keharmonisan dengan alam. Apabila ada upaya disharmonize dengan alam akan merusak produk wisata ekologis ini. Hindarkan sejauh mungkin penggunaan minyak, mengkonservasi flora dan fauna serta menjaga keaslian budaya masyarakat. 7) Menjaga daya dukung lingkungan. Pada umumnya lingkungan alam mempunyai daya dukung yang lebih rendah dengan daya dukung kawasan buatan. Meskipun mungkin permintaan sangat banyak, tetapi daya dukunglah yang membatasi. 8) Meningkatkan devisa buat pemerintah. Apabila suatu kawasan pelestarian dikembangkan untuk ekowisata, maka devisa dan belanja wisatawan didorong sebesar-besarnya dinikmati oleh negara atau negara bagian atau pemerintah daerah setempat.
2.3.2. Ekowisata berbasis masyarakat Pada masa lalu, pertimbangan dan perhatian tentang dampak sosial ekonomi industri pariwisata terhadap masyarakat lokal atau setempat sangat kurang. Soal distribusi pendapatan dan kekayaan juga kurang disadari. Kemampuan masyarakat lokal untuk mengontrol pengembangan pariwisata agak lemah karena pengembangan pariwisata sendiri sangat pesat dan massal (Spillane 1994). Partisipasi harus meberdayakan masyarakat untuk menjadi salah satu penentu tahapan-tahapan proyek, namun sekaligus juga membelajarkan mereka untuk memiliki tanggungjawab maupun komitmen dan hasil maupun resiko yang mungkin dicapai melalui proyek (Damanik dan Weber 2006). Masyarakat tidak dapat dipisahkan dari bagian pembangunan karena selain elemen pemerintah, masyarakat di kawasan ekowisata juga memiliki peranan besar karena dengan mengikutsertakan dalam ekowisata akan memberaikan dampak postitif. Dari segi lingkungan dan ekonomi, jika masyarakat lokal tidak dilibatkan sumberdaya dipastikkan akan rusak dan nilai jual kawasan beserta investasinya akan hilang. Selain itu munculnya partisipasi masyarakat tradisional dalam mempelajari, mendiskusikan dan membuat strategi untuk mengontrol atau
14
memperoleh kontrol dalam proses pembuatan keputusan untuk pembangunan dianggap sebagai solusi untuk mengatasi permasalahan pariwisata yang selama ini terjadi. Namun sebelum benar-benar memberdayakan masyarakat lokal dalam ekowisata, penting dilakukan sosialisasi tentang konsep ekowisata yang sesuai sekaligus pendamping terhadap masyarakat dalam merancang ekowisata di wilayahnya (Fandeli, 2001). Selain itu strategi melibatkan peran serta masyarakat setempat juga bertujuan untuk (Gunawan 1995): 1. Menginformasikan kepada penduduk setempat tentang apa yang akan terjadi dan menjaga dialog dengan mereka. 2. Menghargai pendapat dan melibatkan masyarakat setempat dalam pengambilan keputusan. 3. Meningkatkan kesadaran dan pemahaman akan tabiat pariwisata/industri pariwisata serta dampaknya terhadap daerah setempat. 4. Mendorong hubungan antara wisatawan dengan penduduk setempat. 5. Melindungi masyarakat setempat dari dampak negatif kegiatan ekowisata.
2.3.3. Atraksi/kegiatan ekowisata mangrove Salah satu daerah yang dapat menjadi tujuan kegaitan ekowisata adalah ekosistem mangrove. Nilai estetika, pendidikan dan penelitian serta potensi keragaman hayati merupakan alasan ekosistem mangrove layak dijadikan tujuan wisata. Wahab (1988) in Harahap (2004), menyatakan penawaran pariwisata dapat berupa alamiah atau buatan manusia, yaitu : a. Sumber-sumber alamiah 1. Iklim : udara lembut, bersinar matahari, kering dan bersih 2. Tata letak tanah dan pemandangan alam : daratan, pegunungan yang berpanorama indah, danau, sungai, pantai bentuk-bentuk yang unik pemandangan yang indah, air terjun, daerah gunung berapi, gua, dan lain-lain.
15
3. Unsur rimba : hutan-hutan lebat, pohon-pohon langka, dan sebagainya. 4. Flora dan fauna : tumbuhan unik, memancing, berburu, bersafari foto binatang buas dan liannya. 5. Pusat-pusat kesehatan : sumber air mineral, kolam lumpur, dan sebagainya b. Hasil karya buatan manusia 1. Yang berciri sejarah, budaya, dan agama : monumen-monumen dan peninggalan bersejarah, tempat-tempat budaya, biara-biara keagamaan dan sebagainya. 2. Prasarana-prasarana : prasarana rumah(rumah sakit, pusat-pusat perbelanjaan dan kantor pemerintahan), prsarana wisata (tempat-tempat
rekreasi
dan
olahraga,
tempat-tempat
penginapan wisata dan lain-lain) 3. Sarana pencapaian dan alat transportasi penunjang 4. Sarana pelengkap seperti jalan tracking untuk memudahkan wisata, dan juga perahu. 5. Pola hidup masyarakat yang sudah menjadi salah satu khasanah wisata yang sangat penting. Seperti upacara adat yang unik dan langka Ekowisata mangrove termasuk ke dalam wisata alam, dan suatu kawasan ditetapkan sebagai Kawasan Taman Wisata Alam apabila telah memenuhi kriteria sebagai berikut : 1.
Mempunyai daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa atau ekosistem, gejala alam serta formasi geologi yang menarik.
2.
Mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelestarian potensi dan daya tarik untuk dimanfaatkan bagi pariwisata dan rekreasi alam.
3.
Kondisi lingkungan di sekitarnya mendukung upaya pengembangan pariwisata alam.
16
Kegiatan ekowisata mangrove ini dapat menjadi salah satu alternatif yang efektif untuk menanggulangi permasalahan lingkungan di ekosistem mangrove seperti tingkat eksploitasi yang berlebihan oleh masyarakat dengan menciptakan alternatif ekonomi bagi masyarakat, sehingga akan menumbuhkan rasa memiliki pada masyarakat yang dapat mendukung keberadaan ekosistem mangrove tersebut (Lamakarate 2004). Pengelolaan Kegiatan Ekowisata Mangrove Suatu kegiatan yang dilakukan tentunya memerlukan pengelolaan yang baik, agar kegiatan tersebut dapat berlangsung secara terus menerus. Begitu juga dengan kegiatan ekowista di kawasan ekosistem mangrove di Segara Anakan. Diperlukan suatu pengelolaan yang terencana agar kegiatan ekowisata yang dilakukan di ekosistem mangrove tersebut tidak merusak ekosistem tersebut. Wisatawan saat ini sangat peka terhadap permasalahan lingkungan. Menyesuaikan dengan kondisi positif ini, konsep-konsep pariwisata dikembangkan sehingga timbul inovasi-inovasi baru dalam kepariwisataan. Salah satu konsep pariwisata yang sedang marak ialah ekowisata, dengan berbagai teknik pengelolaan seperti pengelolaan sumber daya pesisir yang berbasiskan masyarakat yang dilaksanakan secara terpadu, dimana dalam konsep pengelolaan ini melibatkan seluruh stakeholder yang kemudian menetapkan prioritas–prioritas. Dengan berpedoman tujuan utama, yaitu tercapainya pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. Konsep ekowisata ini dinilai cocok untuk dikembangkan di Indonesia, dengan beberapa alasan yang melandasinya, pertama; Indonesia kaya akan keanekaragaman hayati dan ekowisata bertumpu pada sumberdaya alam dan budaya sebagai atraksi. Namun disisi lain Indonesia juga mengalami ancaman terbesar dari degradasi keanekaragaman hayati baik darat maupun laut, sehingga memerlukan startegi yang tepat dan alat/sarana yang tepat pula, guna melibatkan kepedulian banyak pihak, untuk menekan laju kerusakan alam. Kedua pelibatan masyarakat, konsep ini cocok untuk mengubah kesalahan-kesalahan dalam konsep pengelolaan
pariwisata
terdahulu,
yang
lebih
bersifat
komersial
dan
17
memarginalisasikan masyarakat setempat, serta mampu menyerap tenaga kerja yang lebih besar. Namun lebih dari itu, demi keberhasilan usaha ini tidak semua kawasan
yang
memiliki
mangrove
memiliki
potensi
pariwisata
untuk
dikembangkan, yang mana dapat ditentukan atas faktor-faktor berikut: 1. Lokasi harus memenuhi kategori seperti keunikan dan dapat dijangkau 2. Perencanaan ekowisata dan persiapan oleh masyarakat untuk menjalankan ekowisata sebagai usaha bersama, 3. Keterlibatan masyarakat lokal dalam pengelolaan kegiatan ekowisata, 4. Interpretasi atas alam dan budaya yang baik, 5. Kemampuan untuk mencipakan rasa nyaman, aman kepada wisatawan, dan juga usaha pembelajaran kepada wisatawan, 6. Menjalin hubungan kerja yang berkelanjutan kepada pemerintah dan organisasi-organisasi lain yang terlibat. Dilemanya ialah kegiatan pariwisata tidak melulu menghasilkan hal-hal yang indah atau ideal, bahkan sangat sering hal-hal negatif dalam lingkungan dan masyarakat karena kegiatan pariwisata yang terlalu intensif dan secara bersamaan tidak terkelola dengan baik, dan akhirnya membunuh sumber daya yang melahirkan pariwisata itu sendiri. Oleh karena itu pengembangan ekowisata harus dilakukan secara berkelanjutan, yaitu dengan memperhatikan lingkungan, masyarakat dan pergerakan perekonomian yang terjadi sebelum dan selama ekowisata dijalankan. Ekowisata mampu memberikan kontribusi secara langsung melalui konservasi, yang berupa penambahan dana untuk menyokong kegiatan konservasi dan
pengelolaan
lingkungan,
termasuk
didalamnya
penelitian
untuk
pengembangan. Selain itu, pengunjung/wisatawan membantu dalam usaha perlindungan dengan memberikan informasi atas kegiatan ilegal dan membantu dalam memformulasikan semacam “buku petunjuk” pengunjung selama melakukan kunjungan atau berwisata. Sedangkan kontribusi ekowisata secara tidak langsung melalui konservasi berupa meningkatnya kesadaran publik terhadap konservasi pada tingkat lokal,
18
nasional bahkan internasional. selain itu, pendidikan konservasi selama berwisata menjadi bagian pengalaman yang terbentuk selama wisatawan ber-ekowisata, yaitu dengan melibatkan wisatawan secara langsung terhadap kegiatan pelestarian sekaligus meningkatkan kualitas produk ekowisata yang ditawarkan.
3. METODE PENELITIAN
3.1.
Bagan Alir Penelitian Penilitian ini dilakukan untuk mengetahui kegiatan-kegiatan wisata
mangrove yang baik dan ramah lingkungan berdasarkan persepsi masyarakat dengan cara multi criteria analysis. Tahap-tahap penilitian dapat dilihat pada bagan di bawah ini :
Kesesuaian kawasan
Sumberdaya mangrove Segara Anakan
kegiatan Mangrove lestari (konsultasi dan
Wisata mangrove
modifikasi Yulianto
Indikator kesesuain wisata mangrove (yulianda, 2007)
2006)
Ekologi
Sosial ekonomi
VARIABEL ( keterimaan, aksesibilitas, akomodasi,peningkatan pendapatan,distribusi pengetahuan, kerapatan mangrove,ketebalan mangrove,pasang surut,jenis mangrove, dan biota mangrove )
Pengambilan sampel dengan Purposive Sampling
Kriteria sosial
Analisis multi kriteria
Kriteria ekologi mangrove
Pilihan Jenis wisata
(yulianda, 2007)
Perencanaan kegiatan ekowisata yang ramah lingkungan
Gambar 1. Diagram alir tahap penelitian
20
3.2.
Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kawasan Segara Anakan, Kabupaten Cilacap,
Provinsi Jawa Tengah. Wilayah yang diamati mencakup keseluruhan wilayah mangrove di Segara Anakan di tiga tempat yaitu Desa Ujung Gagak, Klaces, dan Ujung Alang. Pelaksanaan penelitian terdiri dari tiga tahap, yaitu penelitian pendahuluan, pengambilan data primer dan sekunder serta analisis data. Penelitian pendahuluan dilaksanakan pada bulan Mei 2010 untuk mengetahui kondisi awal daerah penelitian dan mempersiapkan perlengkapan untuk pengambilan data. Pengumpulan data primer dan sekunder dilaksanakan pada bulan Mei 2010.
Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian di Mangrove Segara Anakan, Cilacap Jawa Tengah
21
3.3. Alat dan bahan Alat yang digunakan adalah kamera, recorder, plastik, papan jalan, tali plastik, meteran, dan alat tulis. Sedangkan bahan yang digunakan adalah kuesioner, data sheet, peta wilayah, dan bahan pustaka yang berkaitan dengan penelitian ini.
3.4. Jenis Data dan Informasi yang Diperlukan Jenis data dan informasi yang diperlukan adalah data sumberdaya alam, jenis vegetasi mangrove yang ada, Indeks Nilai Penting, sumberdaya manusia, serta keadaan umum lokasi di Kawasan Segara Anakan. Untuk jenis data yang digunakan adalah data text dan image (Fauzi, 2001 in Nancy, 2008). Data text adalah data yang berbentuk alfabet ataupun numerik. Data text
yang digunakan dalam
penelitian ini adalah data keadaan umum kawasan wisata Kawasan Segara Anakan, data biofisik kawasan Kawasan Segara Anakan, sumberdaya manusia, isu dan permasalahan yang berkembang, serta kebijakan pengelolaan dan data pengunjung. Sedangkan data image adalah data yang memberikan informasi secara spesifik mengenai keadaan tertentu melalui foto, diagram, tabel dan sebagainya. Data image yang digunakan dalam penelitian ini adalah data foto kawasan wisata Segara Anakan, foto fasilitas umum yang ada di Kawasan Segara Anakan, data kependudukan, dan gambar penunjang lainnya.
3.5. Metode Pengambilan dan Pengumpulan Data 3.5.1. Data primer Jenis data primer yang diambil adalah data persepsi masyarakat terhadap jenis kegiatan ekowisata yang ada di kawasan Segara Anakan. Pengambilan data sosial ekonomi dilakukan dengan metode purposive sampling melalui wawancara dengan masyarakat sekitar, pengunjung, dan pihak pengelola / instansi terkait untuk mengetahui permasalahan pengelolaan sumberdaya alam, kependudukan, dan persepsi masyarakat di Kawasan Segara Anakan.
22
3.5.2. Data sekunder Data sekunder yang dikumpulkan berasal dari studi pustaka, buku-buku laporan hasil penelitian sebelumnya, buku-buku yang terkait dengan penelitian ini, peta dari google earth, dan sebagainya. Data yang dikumpulkan meliputi sumberdaya alam, keadaan umum kawasan Segara Anakan, isu-isu yang berkembang, kebijakan pengelolaan di wilayah tersebut, serta keadaan sosial masyarakat di Kawasan Segara Anakan.
3.6. Metode Pengambilan Responden Pengambilan responden dalam penelitian ini menggunakan metode purposive sampling yaitu anggota populasi dipilih untuk memenuhi tujuan tertentu mengandalkan logika atas kaidah-kaidah yang berlaku didasari semata-mata dari judgement peneliti yakni sampel yang diambil diharapkan mampu menjawab pertanyaan yang diajukan, digunakan untuk situasi dimana persepsi orang pada sesuatu sudah terbentuk (Fauzi, 2001 in Nancy, 2008). Pertimbangan yang diambil terhadap pengambilan responden adalah berdasarkan hubungan para stakeholder tersebut dengan kawasan Segara Anakan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara, observasi, serta pengisian kuesioner sebagai data pokok. Jumlah sampel yang akan diambil terdiri dari 30 orang masyarakat sekitar dan 30 orang pengunjung.
3.7. Analisis Data 3.7.1. Analisis ekologi mangrove Kerapatan Jenis (Di) Kerapatan jenis (Di) yaitu jumlah tegakan jenis ke-i dalam suatu unit area (English et al.,1994); (Snedaker dan Snedaker 1984) :
Di
ni A
23
Keterangan : Di : Kerapatan Jenis-i (ind/ m2) Ni : Jumlah Spesies jenis-i (ind) A : Luas Area total pengambilan contoh
3.7.2. Multi criteria analysis Analisis multi atribut (multi criteria analysis) dikembangkan berdasarkan teori utilitas. Utilitas adalah manfaat atau kepuasan atau kesejahteraan (Nicholson 1989 in Agus dan Taryono 2007), yang diperoleh seseorang karena mengambil sebuah pilihan atau melakukan sebuah tindakan. Teori ini mengasumsikan bahwa utilitas total (komposit) seseorang terbentuk merupakan agregat dari banyak atribut (komponen) yang menyusun utilitas tersebut. Contoh analogi yang berlaku untuk analisis multi atribut pada pemilihan kebijakan yang harus diambil dalam suatu proses pembangunan. Sebagai contoh adalah pemilihan kebijakan tentang pembangunan ekowisata, dengan asumsi adanya rencana pengembangan kegiatan wisata di sebuah tempat wisata tertentu. Analisis data dilakukan dengan cara Multi criteria analysis, analisis ini secara garis besar mencakup 6 tahapan pokok, yaitu : 1. Pencakupan 2. Penentuan jenis-jenis pilihan wisata yang akan dianalisis/diperbandingkan. 3. Pemilihan atribut-atribut yang relevan 4. Penetapan bobot dari masing-masing atribut 5. Pengukuran
utilitas/skor
dari
masing-masing
wisata
yang
sedang
diperbandingkan 6. Penentuan keputusan tentang wisata yang terbaik dan wisata alternatif berikutnya.
24
3.7.2.1. Pencakupan Dalam tahap pencakupan ini, terlebih dahulu memahami istilah stakeholder atau pemangku kepentingan yang sering kita jumpai dalam penyusunan suatu perencanaan. Edwards dan Newman (1982) in Agus dan Taryono (2007) menyatakan bahwa stakeholder adalah semua pihak, individu atau kelompok yang memiliki kepentingan, saham, keprihatinan, dan atau perhatian terhadap suatu program, dimana kepentingan,saham, keprihatinan, dan atau perhatian terhadap suatu program, dimana kepentingan tersebut cukup signifikan sehingga keberadaannya
harus
diperhitungkan.
Sebagian
stakeholder
dapat
juga
dikategorikan sebagai aktor, yaitu individu atau kelompok yang memiliki kapasitas untuk membuat keputusan yang terkait dengan program dan mengambil tindakan/perubahan pada program tersebut. Pada tahap pencakupan, dilakukan identifikasi terhadap stakeholder yang dianggap relevan dalam proses pengkajian terhadap pilihan-pilihan kebijakan. Dalam hal pengembangan kegiatan ekowisata mangrove di Segara Anakan, stakeholder yang dimaksud adalah masyarakat setempat, Badan Pengelola Kawasan Segara Anakan (BPKSA) Kabupaten Cilacap, Pengelolaan Lingkungan Hidup Dinas Kebersihan dan Lingkungan Hidup Cilacap, Pengelola Sumber Daya Segara Anakan (PSDSA) Kabupaten Cilacap, pejabat daerah Cilacap, dan wisatawan. 3.7.2.2. Penentuan pilihan wisata yang akan dianalisis Setelah pencakupan masalah ditentukan, berikutnya dalam analisis multi atribut adalah identifikasi terhadap berbagai pilihan wisata yang secara teori berpotensi untuk dilaksanakan. Berpotensi secara teoritis artinya adalah bahwa dari perhitungan teori pilihan-pilihan wisata tersebut dimungkinkan karena didukung oleh kapasitas sumberdaya yang memadai. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya dan hasil rekomendasi berbagai pustaka maka jenis kegiatan wisata yang dapat diperbandingkan/dianalisis multi atribut adalah :
25
1. Boat trip (berperahu) sambil mengelilingi kawasan mangrove 2. Memancing 3. Tracking (jalan-jalan sambil melihat-lihat pohon mangrove) 4. Photo safari (photo-photo hewan yang ada di ekosistem mangrove) 5. Birdwatching (mengamati burung) Kelima jenis kegiatan wisata tersebut dapat direkomendasikan karena memiliki dampak yang tidak besar terhadap lingkungan. Oleh karena itu kelima jenis kegiatan wisata tersebut dianalisi dalam penilitian ini.
3.7.2.3. Pemilihan atribut yang relevan Sumber informasi untuk mengidentifikasi atribut-atribut harus akan dimasukkan ke dalam analisis adalah stakeholder dan dampak terhadap lingkungan yang mungkin terjadi. Hal ini berkaitan dengan kepentingan untuk mengupayakan terjadinya keberlanjutan dan memaksimalkan manfaat dari program yang direncanakan. Penggalian informasi atau pelaksanaan identifikasi atribut tersebut pada dasarnya dapat dimulai dari stakeholder manapun. Selain itu identifikasi atribut juga dapat dilakukan dengan meilihat perubahan yang terjadi pada lingkungan dengan adanya kegiatan wisata tersebut. Untuk kelima jenis kegiatan wisata diatas maka dapat dibuat dua kelompok besar atribut yang dibuat, yaitu berdasarkan sosial ekonomi dan mangrove . Kedua kelompok besar atribut tersebut dapat dibagi menjadi beberapa atribut lagi yaitu : Tabel 1. Atribut yang digunakan untuk analisis kegiatan ekowisata Atribut
Keterangan
1
2
SOSIAL EKONOMI 1. Acceptance
Penerimaan masyarakat terhadap kegiatan ekowisata
2. Aksesibilitas
Kemudahan untuk sampai ke lokasi wisata
26
1 3. Peningkatan Pendapatan
2 Peningkatan
pendapatan
masyarakat dengan adanya kegiatan ekowisata. 4. Akomodasi/infrastruktur
Kelengkapan wisatawan seperti
segala di
kebutuhan
daerah
ekowisata
kelengkapan
fasilitas
kegiatan ekowisata dan sebagainya. 5. Peningkatan pengetahuan
Adanya penambahan pengetahuan masyarakat lokal dari para wistawan melalui kegiatan ekowisata yang ada.
MANGROVE 1. Kerapatan mangrove
Tingkat
kerapatan
suatu
jenis
mangrove di suatu petak contoh 2. Ketebalan mangrove
Kelebatan
pohon
mangrove
di
daerah tersebut 3. Jenis mangrove
Banyak atau tidaknya mangrove di kawasan wisata
jenis
4. Pasang surut
Tinggi atau rendahnya pasang surut, mempengaruhi keindahan mangrove
5. Obyek biota
Banyak atau tidaknya jenis biota di daerah mangrove tersebut, seperti ikan,
udan,
kepiting,
moluska,
burung, dan reptil
3.7.2.4. Penentuan bobot masing-masing atribut Penilaian tingkat kepentingan (bobot) yang diberikan oleh masing-masing stakeholder akan berbeda satu dengan yang lainnya, bahkan diantara stakeholder yang berada dalam satu kelompok. Hal pentinga yang harus dipahami adalah bahwa selera, preferensi atau pandangan seseorang berubah-ubah sejalan dengan
27
perubahan waktu. Karenanya, reevaluasi periodik terhadap program-program wisata perlu dilakukan dengan melakukan pembobotan ulang setiap saat dilakukan reevaluasi periodik tersebut. Namun demikian, hasil pembobotan yang dinamis tentu saja tidak menguntungkan dipandang dari sisi perencanaan karena akan berakibat inkonsistensi dari tahapan dan arah kegiatan wisata, dan tidak mustahil akan menurunkan manfaat total yang diperoleh sebagai hasil akhir dari kegiatan wisata tersebut. Untuk itu, diskusi yang memasukkan gambaran-gambaran masa mendatang akan sangat membantu mendapatkan hasil pembobotan yang relatif stabil.
Tabel 2. Atribut dengan bobot masing-masing No
Atribut
Bobot
I Sosial Ekonomi 1 Acceptance
5
2 Aksesabilitas
5
3 Peningkatan pandapatan
4
4 Akomodasi/infrastruktur
3
5 Peningkatan pengetahuan
2
II Mangrove 1 Kerapatan mangrove
5
2 Ketebalan mangrove
4
3 Jenis mangrove
4
4
Pasang surut
3
5
Obyek biota
3
Pada tabel 1 diatas telah dibuat masing-masing atribut dengan skornya masing-masing. Atribut yang memiliki peranan penting terhadap kelangsungan kegiatan ekowisata mangrove diberi poin 5 sedangkan yang terendah diberi poin 1. Setiap atribut bisa memiliki poin yang sama apabila mempunyai peran yang samasama penting. Sebagai contoh, untuk atribut mengenai acceptance dan aksesabilitas memiliki bobot yang sama yaitu lima, hal ini dikarenakan kedua
28
atribut tersebut sangat berpengaruh terhadap kegiatan ekowisata mangrove di Segara Anakan.
3.7.2.5. Pengukuran utilitas masing-masing kebijakan Teori dasar pada analisi multi atribut adalah memerlukan dua variabel pokok yang terdiri dari : 1. Utilitas /skor dari masing-masing atribut untuk setiap wisata yang diperbandingkan, dan 2. Bobot preferensi yang diberikan untuk masing-masing atribut tersebut. Setelah tiap-tiap indikator atau kriteria memiliki bobot masing-masing, maka selanjutnya akan dilakukan pembuatan skor untuk setiap kriteria yang ada. Skor untuk masing-masing atribut dapat dilihat di tabel berikut :
Tabel 3. Atribut dengan skor dan bobot masing-masing Atribut
Keterangan
Skor
2
3
1 Sosial Ekonomi Acceptance
1. Jenis
kegiatan
sangat diterima oleh
masyarakat setempat 2. Jenis kegiatan diterima oleh masyarakat setempat 3. Jenis
kegiatan
tidak
diterima
oleh
masyarakat setempat Aksesabilitas
Bo bot 4
5
3
5
1
1. sangat mudah untuk menuju ke lokasi ekowisata (jalan memadai, transportasi
5
memadai, adanya guide) 2. mudah untuk menuju ke lokasi ekowisata (transportasi memadai, adanya guide) 3. sulit untuk menuju ke lokasi ekowisata
5 3
1
29
1
2
3
1. akomodasi/infrastruktur tersedia lengkap ( ada penginapan, ada pusat informasi, ada tempat sampah, ada WC umum, ada tempat ibadah, sarana wisata lengkap)
4
5 3
Akomodasi/infrastruktur
2. akomodasi/infrastruktur belum tersedia lengkap (tidak ada salah satu infrastruktur
3
pelengkap) 3. akomodasi/infrastruktur tidak tersedia Peningkatan pendapatan Masyarakat
1
1. kegiatan ekowisata mampu meningkatkan pendapatan masyarakat setempat (> Rp.
5
600.000/kegiatan) 2. kegiatan ekowisata sedikit meningkatkan pendapatan masyarakat setempat (Rp. 100.000 - Rp.
3
4
500.000/kegiatan) 3. kegiatan
ekowisata
tidak
mampu
meningkatkan pendapatan masyarakat
1
setempat Peningkatan pengetahuan
1. kegiatan ekowisata banyak menambah pengetahuan
bagi
masyarakat
yang
bekerja di kegiatan ekowisata (menambah
5
pengetahuan masyarakat di ekowisata, lingkungan, atau konservasi) 2. kegiatan ekowisata sedikit menambah pengetahuan
bagi
masyarakat
yang
bekerja di kegiatan ekowisata (menambah
2 3
pengetahuan masyarakat hanya dalam ekowisata dan konservasi saja) 3. kegiatan
ekowisata
pengetahuan
bagi
tidak
menambah
masyarakat
bekerja di kegiatan ekowisata
yang
1
30
1
2
3
Ketebalan Mangrove
> 500
3
(meter)
> 200-500
2
200-500
1
< 50
0
Kerapatan mangrove
> 15-25
3
(meter2)
>10-15
2
5-10
1
<5
0
>5
3
3-5
2
1-2
1
0 0-1
0 3
> 1-2
2
> 2-5
1
>5
0
4
Mangrove
Jenis mangrove
Pasang surut (meter)
Obyek biota
Ikan, udang, kepiting, moluska, reptil,
5
4
4
3
3
burung Ikan, udang, kepiting, moluska
2
Ikan, moluska
1
Salah satu biota air
3
0
Nilai maksimal : 155
3.7.2.6. Keputusan wisata terbaik dan wisata alternatif Setelah memiliki skor pada masing-masing atribut untuk setiap wisata dan bobot preferensi masing-masing atribut, maka tahap selanjutnya adalah dengan memasukkan ke persamaan (Edwards dan Newman, 1982 ) in Agus dan Taryono (2007) :
31
𝑛
𝑈𝑗 =
𝑤𝑖 𝑢𝑖𝑗 𝑖=1
Keterangan : Uj = Utilitas/skor total (agregrat) dari wisata ke-j Uij = utilitas/skor dari atribut i untuk wisata ke-j Wi = bobot preferensi yang diberikan untuk atribut ke-i ∑ = penjumlahan dari utilitas/skor yang telah dikoreksi dengan bobot preferensi, untuk semua atribut, dari yang pertama (ke 1) hingga yang terakhir (ke n) Setelah nilai untuk masing-masing di dapat dan dijumlahkan untuk masingmasing kategori wisata, maka nilai tersebut dimasukkan ke dalam rumus berikut (Yulianda 2007): IK W
= ∑ [ Ni/Nmaks] x 100 %
Keterangan : IKW = Indeks Kesesuaian Wisata Ni = Nilai parameter ke-i (Bobot x Skor) Nmaks = Nilai maksimum dari suatu kategori wisata Nilai dari indeks kesusuain wisata yang di dapat kemudian disesuaikan dengan kategori berikut : S1 = Sangat Sesuai, dengan IKW 83 – 100 % S2 = Sesuai bersyarat, dengan IKW 50 - < 83 % N= Tidak bersyarat , dengan IKL <50%
3.8. Daya Dukung Kawasan Daya dukung sebuah kawasan wisata didefinisikannya sebagai level kehadiran wisatawan yang menimbulkan dampak pada masyarakat setempat, lingkungan, dan ekonomi yang masih dapat ditoleransi baik oleh masyarakat maupun wisatawan itu sendiri dan memberikan jaminan sustainability pada masa mendatang. Cooper et al. (1993) lebih memberi tekanan pada kehadiran wisatawan dari pada jumlah wisatawan karena menurutnya level kehadiran lebih tepat dipakai sebagai pendekatan bagi sejumlah
32
faktor seperti lama tinggal (length of stay), karakteristik wisatawan, konsentrasi wisatawan pada lokasi geografis tertentu dan derajat musiman kunjungan wisatawan. Konsep daya dukung obyek wisata juga dikemukakan oleh Mathieson & Wall (1982) yakni bahwa daya dukung obyek wisata adalah kemampuan areal (kawasan) obyek wisata yang dapat memenuhi kebutuhan wisatawan secara “maksimum” tanpa merubah kondisi fisik lingkungan dan tanpa penurunan kualitas yang dirasakan oleh wisatawan selama melakukan aktivitas wisata. Penggunaan kata “maksimum” pada definisi di atas dinilai memiliki tendensi makna yang sama dengan kata “optimum” pada definisi Soemarwoto (1997) diacu dalam Sjaifuddin (2004) karena adanya batasan “tanpa penurunan kualitas yang dirasakan oleh wisatawan….”. Hal ini berarti bahwa daya dukung obyek wisata menurut konsep Mathieson & Wall (1982) berorientasi pada pemenuhan kepuasan berwisata dan pencegahan dampak negatif pada lingkungan yang mungkin timbul. Penghitungan daya dukung dapat menggunakan rumus sebagai berikut (Yulianda 2007):
DDK = K x ( Lp/Lt) x ( Wt/Wp)
Keterangan : DDK K Lp Lt Wt
= Daya dukung kawasan = Potensi ekologis pengunjung per satuan unit area = Luas area atau panjang area yang dapat dimanfaatkan = Unit area untuk kategori tertentu = Waktu yang disediakan oleh kawasan untuk kegiatan wisata dalam satu hari Wp = Waktu yang dihabiskan oleh pengunjung untuk setiap kegiatan tertentu
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Kondisi Umum Segara Anakan 4.1.1. Sejarah kawasan Segara Anakan Kawasan Segara Anakan asal mulanya merupakan kawasan perairan yang tidak berpenghuni yang dikelilingi hutan mangrove. Sekitar tahun 1600-an kawasan ini baru mulai dihuni yaitu ketika prajurit-prajurit kerajaan Mataram dipimpin oleh Demang Wiroyudo (yang oleh penduduk Kampung Laut kemudian dikenal sebagai “Mbah Jaga Laut”), Demang Wangsasena, Demang Udasana dan Demang Wirasura menempati sebelah barat sisi utara Pulau Nusakambangan yaitu di Limusbuntu, Kembangkuning, Lempongpucung, Klapakerep, Karangbraja sampai ujung barat Batukelir. Mereka datang diutus Raja Mataram untuk menjaga kawasan laut sekitar Cilacap dari kemungkinan datangnya bangsa Eropa yang saat itu sedang gencar mencari daerah baru untuk ekspansi dagang dan mencari daerah jajahan. Daerah Cilacap merupakan pelabuhan alam yang sangat baik dan aman sehingga besar kemungkinan menjadi tempat pendaratan kapal asing. Setelah kerajaan Mataram terdesak oleh VOC Belanda, VOC menjadikan Nusakambangan sebagai pulau penjara bagi pemberontak dan penjahat. Setelah dikuasai Belanda dan menjadi pulau penjara, pengikut “Mbah Jaga Laut” terusir dan pindah ke Karang Kobar yang berada di tengah laut Segara Anakan dengan mendirikan perkampungan di atas air dengan rumah panggung yang dibuat dari kayu-kayu yang diambil dari hutan mangrove dan dari pulau Nusakambangan. Karena terjadi kebakaran di Karangkobar mereka kemudian pindah dan mendirikan perkampungan baru di sekitar laut Segara Anakan yang nantinya terbentuk kampung-kampung panggung diatas laut sebagai cikal bakal Kampung Laut, diantaranya kampung Motean, Penitenan, Karanganyar, Cibeureum, Panikel, Muara
Dua.
Masyarakat
Kampung
Lautpun
semakin
berkembang,
tapi
perkembangan komunitas tidak diikuti peningkatan kondisi sosial ekonomi masyarakat, tingkat pendidikan dan pendapatan masyarakat masih sangat rendah,
34
sanitasi buruk dan air bersih sulit karena itu timbul banyak penyakit diantaranya wabah malaria yang setiap tahun menyerang. Ketika Jepang menduduki Indonesia sekitar 1942, Jepang memerintahkan untuk menebang kayu-kayu mangrove untuk digunakan sebagai bahan jembatan, benteng dan keperluan perang lainnya. Setelah kemerdekaan samapi tahun 1950 karena masih disibukkan oleh revolusi kemerdekaan dan belum sempat dilakukan penataan, mencul penggarapan liar dan okupasi/pendudukan kawasan hutan. Pada tahun 1950 Jawatan Kehutanan mulai menginventarisir dan menata hutan-hutan yang ada termasuk tanah timbul. Saat itu ditetapkan bahwa hutan dan tanah timbul yang ada sebelum 1942 dikelola oleh jawatan Kehutanan yang selanjutnya dialihkan pengelolaanya kepada PT. Perhutani Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) Banyumas Barat. Tanah timbul yang muncul setelah tahun 1942 inilah yang menimbulkan berbagai permasalahan agraria hingga saat ini seperti penggunaan untuk lahan sawah, perkampungan, tambak dan sebagainya. Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa laguna Segara Anakan yang merupakan muara dari sungai Citanduy, Cimeneng, Cikonde, dan Ujung Alang dari tahun ke tahun terus mengalami penyempitan dan pendangkalan akibat tingginya erosi dari hulu daerah aliran sungai (DAS). Laju sedimentasi mencapai 6,2 juta m 3 setiap tahun, mengakibatkan munculnya tanah timbul yang kemudian berubah menjadi daratan. Sumber terbesar sedimentasi adalah dari Sungai Citanduy. Pada tahun 1977, untuk menangani erosi di DAS ini melalui bantuan dari USAID dilaksanakan proyek Citanduy I di daerah Penawangan Ciamis. Tahun 1981-1988 dilanjutkan proyek Citanduy II yang dialokasikan untuk membuat prasarana pertanian, pembangunan jalan dan pengembangan kemampuan kelembagaan.
4.1.2. Letak, luas, dan keadaan geografi Kawasan Segara Anakan terletak di Kabupaten Cilacap, Propinsi Jawa Tengah yang secara geografis terletak pada koordinat 07o34’29.42” LS – 07047’32.39” LS dan 108046’30.12” BT – 109003’21.02” BT Batas-batas perairan kawasan Segara Anakan meliputi :
35
Sebelah utara : Dimulai dari pertigaan Sungai Cibereum dengan Sungai Gintungreja, menyusuri Sungai Cibereum ke arah Utara sampai dengan patok batas Perhutani, belok ke arah Timur menyusuri patok batas Perhutani Sebelah Timur : Dimulai dari patok batas Perhutani ke arah Timur menyusuri batas patok sampai dengan Sungai Kali Donan, menyusuri Kali Donan ke arah Selatan sampai dengan Pelabuhan Sentolo Kawat ke arah Timur dengan jarak 4 mil dari Pulau Nusa Kambangan ke Arah Samudera Hindia. Sebelah Selatan : menyusuri Pantai Nusa Kambangan bagian Selatan samapi jarak 4 mil ke arah Samudera Hindia Sebelah Barat : Dimulai dari Pantai Nusa Kambangan sebagian selatan sejauh 4 mil ke arah Samudera Hindia sampai dengan garis tengah Pantai di Nusa Were, menyusuri garis batas poros Sungai Citanduy, Pantai Segara Anakan di daerah Pamotan menyusuri Sungai Cibeureum ke arah Utara sampai dengan pertigaan Sungai Cibeureum dengan Sungai Gintungreja. Sumber : Perda. Kabupaten Cilacap No. 23 Tahun 2000, tentang penetapan Batas Kawasan Segara Anakan. Letak kawasan Segara Anakan terlindung oleh Pulau Nusa Kambangan yang memisahkannya dari Samudera Hindia. Kedua kanal, yaitu kanal barat dan kanal timur berfungsi untuk menghubungkan kawasan Segara Anakan dengan Samudera
Tabel 4. Luas Wilayah Desa-desa di Kecamatan Pembantu Kampung Laut No
Desa
1 Ujung Alang 2. Ujung Gagak 3. Panikel 4. Klaces Luas wilayah Kampung Laut
Sumber : Data Primer, 2010
Luas Wilayah(Ha) ±8517 Ha ±5671 Ha ±2965 Ha ±1000 Ha ±18153 Ha
Luas Tambak(Ha) Tambak silvofishery murni 410,90 Ha 218,07 Ha 432,12 Ha 615,26 Ha 1244,23 Ha 432,12 Ha
36
Hindia, sehingga menyebabkan kawasan Segara Anakan tetap terpengaruh oleh gerakan pasang surut Samudera Hindia. Total luas kawasan Segara Anakan yang masuk wilayah adminsitrasi Kecamatan Kampung Laut adalah 18.153 Ha . Adapun luasan perwilayah desa disajikan pada tabel .
4.1.3. Demografi Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin dan umur Tingkat pertumbuhan penduduk di Kampung Laut termasuk sangat cepat, selama 13 tahun terakhir peningkatannya mencapai 8.854 jiwa atau meningkat 4,24 % per tahun, angka ini berarti di atas rata-rata pertumbuhan Kabupaten Cilacap (1,04% per tahun). Kepadatan penduduk yang tinggi ada di desa desa Ujung Alang , luasnya jumlah daratan di desa Ujung Alang menyebabkan banyaknya tempat untuk dijadikan tempat tinggal. Selain itu banyaknya pendatang dari daerah lain membuat bertambahnya penduduuk di desa Ujung Alang.
Tabel 5. Jumlah penduduk setiap desa di Kecamatan Kampung Laut No
Desa
1 Ujung Alang 2. Ujung Gagak 3. Panikel 4. Klaces Sumber : Data Primer, 2010
Jumlah Penduduk Laki-laki Perempuan 2571 2607 2229 2226 2997 2822 684 700
Usia penduduk rata-rata di kawasan Kampung Laut berkisar pada umur 6-35 tahun. Banyaknya penduduk kecamatan Kampung Laut pada usia muda membuat tingginya aktifitas masyarakat pada pagi hari sampai sore hari. Sebagian penduduk yang berumur 26-46 tahun bekerja sebagai petani atau nelayan. Secara detail dapat dilihat pada tabel 6.
37
Tabel 6. Jumlah penduduk setiap desa di kecamatan Kampung Laut berdasarkan kelompok umur. No
Kelompok Umur (Tahun)
1. 0-5 2. 6-15 3. 16-25 4. 26-35 5. 36-45 6. 46-59 7. 60> Sumber : Data Primer, 2010
Ujung Alang 435 1324 1205 1033 715 312 124
Jumlah Penduduk Ujung Klaces Gagak 375 119 985 312 1023 246 717 239 584 279 540 172 223 26
Panikel 479 1264 1146 1068 632 711 519
Penduduk berdasarkan mata pencaharian Sebagian besar penduduk Kampung Laut bermata pencaharian sebagai nelayan dan petani. Nelayan yang ada sebagian besar adalah nelayan laguna, dan sebagian kecil adalah nelayan samudera. Para nelayan terutama tinggal di Grumbul Motean, Muaradua dan Karanganyar. Profesi petani menempati urutan kedua, petani terutama tinggal di Lempongpucung, Kelapakerep, Pasuruhan, Bugel, Kalenbener, Panikel, Pelindukan, dan Cibeureum.
Tabel 7. Jumlah penduduk desa di Kampung Laut berdasarkan mata pencaharian No
Jenis Mata Pencaharian
1 2. 3. 4. 5. 6.
Nelayan Petani Buruh Tani Buruh Bangunan Pedagang Pengangkutan
Ujung Alang 2215 430 7 23 70 21
Jumlah Penduduk Ujung Panikel Gagak 720 1212 76 56 42 8
412 1535 902 300 47 11
Sumber : Monografi Kecamatan Kampung Laut, 2005
Klaces 120 336 41 42 38 0
Total kampung laut
Persentase (%)
3467 3513 1026 421 197 40
40 40 12 5 2 1
38
Jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan Tingkat pendidikan penduduk kawasan Segara Anakan pada umumnya masih sangat bervariasi mulai dari SD sampai perguruan tinggi. Jumlah penduduk yang tidak tamat SD dan tidak sekolah di Desa Ujung Alang mencapai 80%, Ujung Gagak 94%, dan Klaces 82%. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan dari sumberdaya yang menghuni desa lokasi penelitian masih jauh di bawah standar. dalam pengembangan sosial kondisi ini merupakan kendala yang mendasar sehingga akan berdampak pada rendahnya tingkat adopsi inovasi wisata, rendahnya partisipasi penduduk dalam program perencanaan ekowisata, dan perilaku yang tidak berwawasan lingkungan dalam interaksi terhadap lingkungan hidupnya. Tingkat pendidikan penduduk di tiga desa dapat dilihat pada tabel berikut
Tabel 8. Jumlah penduduk desa di Kampung Laut berdasarkan tingkat pendidikan Desa 1 2. 3. 4.
Ujung Alang Ujung Gagak Panikel Klaces
Jumlah Penduduk 5178 4455 5819 1384
Akademi/PT
SMA
8 6 14 2
108 115 245 134
SMP 218 145 367 102
SD 1803 1437 1546 532
Tidak sekolah 2331 2758 3651 614
Sumber : Monografi Kecamatan Kampung Laut, 2005
4.2. Sumberdaya Hayati Mangrove Segara Anakan 4.2.1 Kerapatan, keanekaragaman jenis, dan ketebalan mangrove Kawasan Segara Anakan merupakan kawasan magrove terluas di Pulau Jawa, luasan mangrove di Segara Anakan mencapai 18.153 ha. Kawasan mangrove di Segara Anakan berada di empat desa yaitu di Desa Ujung Alang, Desa Ujung Gagak, Desa Klaces, dan Desa Panikel. Untuk penilitian ini kawasan vegetasi mangrove yang diteliti hanya di Desa Ujung Alang, Ujung Gagak, dan Desa Klaces dikarenakan kawasan mangrovenya dijadikan tempat wisata berperahu dan memancing, sedangkan Desa Panikel kawasan mangrovenya sudah hampir habis karena dirubah menjadi kawasan pertanian. Jumlah stasiun yang diambil untuk masing-masing
39
desa sebanyak tiga stasiun, jumlah stasiun dianggap sudah mewakili kerapatan dan jumlah jenis dari tiap desa. Untuk lebih jelas kerapatan mangrove di tiga desa tersebut dapat dilihat pada gambar 3
ind/ha 1200 1000 800 600 400 200 0
ind/ha 400000 350000 300000 250000 200000 150000 100000 50000 0
Ujung Alang
Klaces
a. Pohon
Ujung Gagak
Ujung Alang
Klaces
Ujung Gagak
b. Semak
Gambar 3. Kerapatan mangrove setiap Desa di Segara Anakan
Desa Ujung Alang memiliki rata-rata pohon mangrove yang paling banyak, dengan kerapatan 1106 individu/ha. Tingginya potensi mangrove di Desa Ujung Alang dikarenakan masih sangat lestarinya mangrove di desa ini. Desa Ujung Alang memiliki potensi mangrove sebesar 500 individu/ha. Potensi mangrove di desa Ujung Gagak sudah banyak berkurang karena adanya peralihan mata pencaharian masyarakat menjadi petani, sehingga banyak terjadi penebangan mangrove untuk dijadikan lahan pertanian. Potensi mangrove yang paling sedikit adalah di desa Klaces dengan kerapatan rata-rata 90 individu/ha. Sedikitnya potensi mangrove di kawasan ini dikarenakan kawasan mangrove di Desa Klaces sudah berkurang. Desa Ujung Alang memiliki jumlah jenis mangrove sebanyak 6 jenis yaitu Sonneratia alba, Sonneratia caseolaris, Avicennia alba, Nypah fruticans, Acanthus ilcifolius, dan Rhizophora apiculata, sangat lestarinya mangrove di desa ini menyebabkan jenis mangrove banyak yang dapat tumbuh dibandingkan desa lain yang sebagian lahan mangrovenya sudah diubah menjadi lahan pertanian. Untuk Desa Ujung Gagak dan Desa Klaces memiliki jumlah jenis sebanyak 3 jenis yaitu Sonneratia alba, Nypah fruticans, dan Acanthus ilcifolius.
Jenis
40
7 6 5 4 3 2 1 0 Ujung Alang
Klaces
Ujung Gagak
Gambar 4. Jumlah jenis mangrove setiap desa di Segara Anakan
Desa Klaces sebanyak 3 jenis yaitu Nypah fruticans, Acanthus ilcifolius, dan Rhizophora apiculata. Untuk ketebalan mangrove di masing-masing desa dapat
Meter
dilihat pada gambar berikut
800 780 760 740 720 700 680 660 Ujung Alang
Klaces
Ujung Gagak
Gambar 5. Ketebalan rata-rata mangrove di setiap desa
Ketebalan rata-rata mangrove di desa Ujung Alang merupakan yang paling tinggi dibandingkan dengan desa Ujung Gagak dan Klaces. Ketebalan rata-rata mangrove di desa Ujung Alang mencapai 790 meter, sedangkan ketebalan rata-rata mangrove di desa Klaces dan Ujung Gagak berturut-turut adalah 713 meter dan 716 meter. Lebih tingginya ketebalan mangrove di desa Ujung Alang dikarenakan masih alaminya mangrove di desa ini, tingkat eksploitasi/pemanfaatan kayu mangrove di desa ini juga masih rendah dibandingkan dengan desa Ujung Gagak dan Klaces yang sudah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat setempat.
41
Desa Ujung Alang Wilayah pengamatan di Desa Ujung Alang ini meliputi lima stasiun, yaitu stasiun 1,2,dan stasiun 3. a. Stasiun 1 Lokasi stasiun 1 terletak pada 7º42’42,9” LS dan 108º52’14,4” BT dengan kondisi substrat belumpur. Hutan mangrove di kawasan ini didominasi oleh spesies jeruju (Acanthus ilcifolius), dengan ketebalan magrove mencapai 750 meter. Luas area pengamatan mangrove 100 m2. Hasil analisis vegetasi mangrove secara detail dapat dilihat di tabel 9
Tabel 9. Hasil analisis vegetasi mangrove pada stasiun 1 Tingkat Vegetasi Pohon
Semak
Spesies Avicennia alba Sonneratia caseolaris Nypah fruticans Acanthus ilcifolius
Kerapatan (individu/ha) 600 500 50 300.000
Gambar 6. Lokasi Stasiun 1
Berdasarkan tabel diatas maka dapat diketahui tingkat keanekaragaman di kawasan tersebut sangat rendah, karena di daaerah tersebut di dominasi oleh spesies jeruju. Selain itu dapat diketahui juga bahwa tingkat kerapatan pohon adalah 1.150 individu/ha dan untuk kerapatan anakan adalah 300.00 individu/ha.
42
b. Stasiun 2 Lokasi stasiun 2 terletak pada 07042’12,7” LS dan 108051’37,8” BT dengan kondisi substrat lumpur dan berair Hutan mangrove sangat beragam spesiesnya dengan ketebalan magrove mencapai 810 meter. Luas area pengamatan mangrove 100 m 2. Hasil analisis vegetasi mangrove secara detail dapat dilihat di tabel 10
Tabel 10. Hasil analisis vegetasi mangrove pada stasiun 2 Tingkat Vegetasi Pohon
Anakan Semak
Spesies Avicennia alba Nypah fruticans Sonneratia alba Sonneratia caseolaris Rhizphora apiculata Sonneratia alba Acanthus ilcifolius
Kerapatan (individu/ha) 400 20 100 350 100 32000 35000
Gambar 7. Lokasi Stasiun 2
Berdasarkan tabel diatas maka dapat diketahui tingkat keanekaragaman di kawasan tersebut cukup tinggi dengan banyaknya spesies yang tumbuh. Hal tersebut dikarenakan daerah tersebut berada diseberang dari pemukiman penduduk dan lokasinya lebih terpencil sehingga aktifitas penebangan pohon jarang terjadi meskipun masih ada juga sisa-sisa penebangan pohon di lokasi
43
tersebut. Selain itu dapat diketahui juga bahwa tingkat kerapatan pohon adalah 970 individu/ha dan untuk kerapatan anakan adalah 67.000 individu/ha. c. Stasiun 3 Lokasi stasiun 3 terletak tidak jauh dari lokasi stasiun 3 yaitu pada 07 042’00,6” LS dan 108051’17,4” BT kondisi substrat lumpur dan berair dengan spesies yang beragamdan ketebalan magrove mencapai 810 meter. Luas area pengamatan mangrove 100 m2. Hasil analisis vegetasi mangrove secara detail dapat dilihat di tabel 11
Tabel 11. Hasil analisis vegetasi mangrove pada stasiun 3 Tingkat Vegetasi Pohon
Anakan Semak
Spesies Avicennia alba Sonneratia alba Sonneratia caseolaris Rhizphora apiculata Sonneratia alba Acanthus ilcifolius
Kerapatan (individu/ha) 600 200 150 150 40000 20000
Gambar 8. Lokasi Stasiun 3
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui jumlah dan spesies yang ada tidak terlalu berbeda dengan yang ada di stasiun 2, pada stasiun ini juga tingkat
44
keanekaragamannya cukup tinggi. Pada lokasi ini jumlah kerapatan pohon lumayan besar yaitu 1100 individu/ha dengan jumlah spesies empat, dan untuk kerapatan anakan sebesar 60.000 individu/ha. Desa Klaces Wilayah pengamatan untuk memperoleh data potensi vegetasi di daerah ini meliputi lokasi stasiun 4,5, dan 6 a. Stasiun 4 Lokasi stasiun 4 terletak pada 07°41'6.25" LSdan 108°49'33.74"BT
kondisi
substrat berair dikarenakan lokasi ini berada sangat jauh dari pemukiman warga dan letaknya sangat terbuka di pinggir sungai. Ketebalan mangrove mencapai 720 meter. Luas area pengamatan mangrove 100 m 2. Hasil analisis vegetasi mangrove secara detail dapat dilihat di tabel 12
Tabel 12. Hasil analisis vegetasi mangrove pada stasiun 4 Tingkat Vegetasi Pohon Semak
Spesies Nypah fruticans Acanthus ilcifolius
Kerapatan (individu/ha) 30 502000
Gambar 9. Lokasi Stasiun 4 Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui tingkat keanekaragaman di daerah ini sangat rendah, karena terjadinya dominasi oleh spesies jeruju. Hal ini terjadi
45
disebabkan oleh aktifitas penebangan yang dilakukan oleh manusia yang melintas di daerah tersebut. Tingkat kerapatan pohon di lokasi ini adalah 30 individu/ha, dan tingkat kerapatan anakan adalah 502.000 individu/ha. b. Stasiun 5 Lokasi stasiun 5 terletak pada 7°41'7.75" LS dan 108°49'2.67" BTkondisi substrat berair dikarenakan lokasi ini berada sangat jauh dari pemukiman warga dan letaknya sangat terbuka di pinggir sungai. Ketebalan mangrove mencapai 720 meter. Luas area pengamatan mangrove 100 m 2. Hasil analisis vegetasi mangrove secara detail dapat dilihat di tabel 13
Tabel 13. Hasil analisis vegetasi mangrove pada stasiun 5 Tingkat Vegetasi Pohon Semak
Spesies Nypah fruticans Rhizophora apiculata Acanthus ilcifolius
Kerapatan (individu/ha) 30 10 500000
Gambar 10. Lokasi Stasiun 5
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui tingkat keanekaragaman di daerah ini sangat rendah, karena terjadinya dominasi oleh spesies jeruju. Tingkat kerapatan pohon di lokasi ini adalah 40 individu/ha, dan tingkat kerapatan anakan adalah 500.000 individu/ha. Di daerah pinggir ditumbuhin oleh pohon Rhizophora
46
apiculata yang diselingi oleh spesies jeruju, dan bagian dalam ditumbuhi oleh pohon Nypah fruticans dan bekas pohon-pohon ditebang yang diselingi juga dengan spesies jeruju. c. Stasiun 6 Lokasi stasiun 6 terletak 7°40'58.28"LS dan 108°48'31.80"BT kondisi substrat lumpur berair, lokasi ini teletak paling ujung sebelum mancapai daerah Majingklak. Ketebalan mangrove mencapai 710 meter. Luas area pengamatan mangrove 100 m2. Hasil analisis vegetasi mangrove secara detail dapat dilihat di tabel 14
Tabel 14. Hasil analisis vegetasi mangrove pada stasiun 6 Tingkat Vegetasi Pohon Semak
Spesies Nypah fruticans Acanthus ilcifolius
Kerapatan (individu/ha) 20 50000
Tingkat kerapatan pohon di lokasi ini adalah 20 individu/ha, dan tingkat kerapatan anakan adalah 50.000 individu/ha. Di daerah pinggir banyak sekali ditumbuhin oleh spesies jeruju, dan bagian dalam ditumbuhi oleh pohon Nypah
Gambar 11. Lokasi Stasiun 6 fruticans yang diselingi dengan spesies jeruju. Pada lokasi ini juga telihat arus sungai yang masuk ke kawasan segara anakan sehingga kondisi substrat sangat basah dibangdingkan dengan lokasi yang lain.
47
Desa Ujung Gagak Wilayah pengamatan untuk mendapatkan data primer pada daerah ini, meliputi lokasi stasiun 7,8, dan 9 a. Stasiun 7 Lokasi stasiun 7 terletak pada 7°40'30.99" LS dan 108°48'32.38" BT kondisi substrat berlumpur. Ketebalan mangrove mencapai 720 meter. Luas area pengamatan mangrove 100 m2. Hasil analisis vegetasi mangrove secara detail dapat dilihat di tabel 15
Tabel 15. Hasil analisis vegetasi mangrove pada stasiun 7 Tingkat Vegetasi Pohon Semak
Spesies Nypah fruticans Sonneratia alba Acanthus ilcifolius
Kerapatan (individu/ha) 500 200 100000
Tingkat kerapatan pohon di lokasi ini adalah 700 individu/ha, dan tingkat kerapatan anakan adalah 100.000 individu/ha. Di daerah ini jumlah pohon mangrovenya lebih banyak dari daerah lain, tetapi jumlah pohon ini sudah mulai berkurang setiap
Gambar 12. Lokasi Stasiun 7 tahunnya. Ini terlihat dari tingginya aktifitas penebangan pohon di kawasan tersebut.
48
b. Stasiun 8 Lokasi stasiun 11 terletak pada 7°40'11.87" LS dan 108°48'31.36" BT kondisi substrat berlumpur, kondisi di daerah ini tidak terlalu berbeda dengan daerah di stasiun 10. Ketebalan mangrove mencapai 710 meter. Luas area pengamatan mangrove 100 m2. Hasil analisis vegetasi mangrove secara detail dapat dilihat di tabel 16
Tabel 16. Hasil analisis vegetasi mangrove pada stasiun 8 Tingkat Vegetasi Pohon Semak
Spesies Nypah fruticans Sonneratia alba Acanthus ilcifolius
Kerapatan (individu/ha) 100 300 120000
Tingkat kerapatan pohon di lokasi ini adalah 400 individu/ha, dan tingkat kerapatan anakan adalah 120.000 individu/ha. Pada stasiun ini pohon mangrove banyak yang sudah ditebangi, ini terlihat dari banyaknya lokasi-lokasi yang sudah kosong dan banyak bekas-bekas kayu hasil tebangan. Tingkat keanekaragaman di daerah ini juga rendah karena terlalu tingginya dominasi dari jeruju.
Gambar 13. Lokasi Stasiun 8
49
c. Stasiun 9 Lokasi stasiun 9 terletak pada 7°39'52.85"LS dan 108°48'20.07"BT kondisi substrat lumpur berair, lokasi ini teletak paling ujung sebelum mancapai daerah Majingklak. Ketebalan mangrove mencapai 710 meter. Luas area pengamatan mangrove 100 m2. Hasil analisis vegetasi mangrove secara detail dapat dilihat di tabel 17
Tabel 17. Hasil analisis vegetasi mangrove pada stasiun 9 Tingkat Vegetasi Pohon Semak
Spesies Sonneratia alba Acanthus ilcifolius
Kerapatan (individu/ha) 400 300000
Tingkat kerapatan pohon di lokasi ini adalah 400 individu/ha, dan tingkat kerapatan anakan adalah 300.000 individu/ha. Daerah ini terletak di pintu masuk ke desa ujung gagak, sehingga sudah banyak pohon-pohon mangrove yang ditebangi oleh masyarakat.
Gambar 14. Lokasi Stasiun 9
Di setiap titik sampling yang diambil, semuanya ditemukan spesies jeruju (Acanthus ilcifolius). Tumbuhan jenis ini dapat menjadi tumbuhan yang dominan pada mangrove yang rusak (Bengen, 2004). Tumbuhan jeruju ini hanya berupa
50
anakan dan tidak memiliki batang seperti tumbuhan mangrove lainnya, sehingga sampai sekarang tidak memiliki manfaat bagi masyarakat. Di setiap pengamatan vegatasi mangrove, pohon mangrove banyak tumbuh di daerah pinggiran air, tetapi begitu masuk kedalm hampir semuanya di tumbuhi oleh spesies jeruju, hal ini menunjukkan tingginya aktifitas penebangan hutan di daerah ini. Kerusakan hutan ini menurut warga sangat di dominasi oleh penebangan yang dilakukan oleh para penduduk pendatang. Biasanya kayu pohon mangrove ini digunakan sebagai kayu bakar, dan juga beberapa bahan bangunan. Masyarakat di sekitar kampung laut sangat sedikit mengetahui kegunaan dari mangrove tersebut, sehingga meraka cenderung merusak daripada merawat mangrove. Hal ini tentu menjadi tugas pengelola untuk menjelaskan manfaat mangrove bagi masyarakat, karena prinsip dari masyarakat yang masih menganggap bahwa mangrove adalah tanaman pengganggu/parasit.
4.2.2. Biota Mangrove Hutan mangrove Segara Anakan merupakan tempat yang sangat cocok bagi beberapa biota untuk tempat mencari makanan. Pada pengamatan yang dilakukan banyak dijumpai beberapa spesies burung yang terbang bergerombol seperti Bangau Tong-Tong (Leptoptilos javanicus) dan juga sedang mencari makan di pinggiran pohon mangrove. Selain itu terlihat juga spesies mamalia seperti Kera Ekor Panjang(Macaca fascicularis) yang sedang memakan buah pohon mangrove di pinggiran air. Tetapi sulit untuk mengabadikan beberapa biota mangrove tersebut, di karenakan keterbatasan alat dan juga kaburnya biota mangrove tersebut mendengar suara perahu yang datang. Biota-biota ini biasanya dapat ditemukan pada waktu pagi dan sore hari, dimana pada waktu ini sedang terjadi surut di daerah mangrove sehingga biota tersebut mulai mencari makan pada waktu tersebut. Selain jenis burung dan mamalia, jenis ikan juga banyak terdapat didaerah mangrove Segara Anakan, kurang lebih ada 40 jenis ikan yang hidup di daerah ini. Beberapa jenis ikan tersebut antara lain kiper (Scathophagus argus),
51
Tabel 18. Jenis-jenis ikan setiap desa di Segara Anakan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Nama Daerah Sidat Prempeng Tapel Selar Lendra/lidah Nyongo Buntak pisang Petek Belanak Kiper Kerapu balong Bojor Bloso Susurwedi Layur
Nama Ilmiah Ujung Alang Anguila sp + Apogon aureus + Crossorhombus lingua + Alepes sp + Cynoglossus lingua Acentrogobius sp + Sphaeroides lunaris + Leiognathus dussumieri + Mugil dussumieri + Scatophagus argus + Epinephelus tauvina + Sillago sihama + Saurida tumbil + Trachicephalus sp + Trichiurus lepturus +
Ujung Gagak + + + + + + + + + + + + + -
Klaces + + + + + + + + + + + + + +
Keterangan : + -
= ada = tidak ada
ikan kerapu balong (Epinephelus tauvina), ikan petek (Leiognathus dussumieri), balanak (Mugil dussumieri), dan sebagainya. Jenis belut laut dan kepiting juga sangat banyak ditemukan di daerah mangrove ini. Secara detail potensi perikanan di tiap desa dapat dilihat pada tabel 18, jenis ikan pada tabel didapat dari hasil wawancara dengan penduduk sekitar. Setiap desa memiliki jumlah spesies ikan yang sangat tinggi, banyaknya ikan yang masuk untuk bermigrasi di daerah mangrove membuat potensi perikanan di setiap desa sangat tinggi. Dengan banyaknya sumberdaya biota mengrove di daerah ini, maka kawasan mangrove Segara Anakan ini sangat bagus untuk dilakukan kegiatan ekowisata. Tetapi hal ini sangat sulit untuk dipertahankan mengingat semakin sedikitnya biota yang dapat dilihat langsung di lokasi, dikarenakan semakin berkurangnya jumlah biota yang menetap di mangrove Segara Anakan ini. Berkurangnya jumlah biota ini disebabkan karena semakin rusaknya kawasan mangrove Segara Anakan ini, oleh karena itu sangat diperlukan kerjasama yang baik antara pihak pengelola mangrove dengan masyarakat sekitar.
52
a. Sidat (Anguila sp)
c. Kiper (Scatophagus argus)
b. Selar (Alepes sp)
d. Belanak (Mugil dussumieri)
Gambar 15. Beberapa Jenis Ikan yang ada Di Segara Anakan Sumber : Gambar a dan b (dokumentasi pribadi), Gambar c dan d (www.wikipedia.com) Berlangsungnya kegiatan ekowisata dapat membuat mangrove tetap lestari dan meningkatnya ekonomi masyarakat sekitar, tetapi hal ini hanya dinikmati oleh orang-orang tertentu saja dan jumlahnya pun sangat sedikit sehingga mangove di kawasan Segara Anakan ini tetap saja rusak. Hal ini terjadi dikarenakan kurangnya sosialisasi yang dilakukan oleh pihak pengelola terhadap masyarakat kampung laut, selain itu program-program ekowisata yang dicanangkan oleh pengelola tidak sepenuhnya dilaksanakan. Oleh karena itu untuk kedepannya sangat diperlukan interaksi antara pengelola dan masyarakat, demi menciptakan mangrove lestari dan juga kesejahteraan masyarakat. Sementara untuk jenis burung dan mamalia yang ada di tiap desa dapat dilihat pada tabel 19, data biota yang diambil berdasarkan hasil wawancara dengan warga dan juga hasil pengamatan langsung di lapangan. Jumlah spesies burung yang paling banyak terdapat di desa Ujung Alang yaitu 11 spesies, banyaknya jumlah spesies ini karena masih banyak pohon mangrove yang tumbuh di daerah tersebut. Desa Ujung Gagak juga memiliki spesies burung yang relatif banyak yaitu
53
8 spesies, jumlah ini lebih sedikit dibandingkan dengan desa Ujung Alang karena jumlah pohon mangrove yang dimanfaatkan untuk burung-burung tersebut mencari makan dan bertengger juga lebih sedikit dari desa Ujung Alang. Jumlah spesies burung yang paling sedikit terdapat di desa Klaces sebanyak 6 spesies hal ini juga dikarenakan sedikitnya jumlah pohon mangrove di kawasan tersebut.
Tabel 19. Jenis-jenis burung setiap desa Di Segara Anakan No
Nama Daerah
1 2 3 4 5 6
Aves Cangak Biru Kuntul Besar Kuntul Kecil Kuntul Bangau Bangau Tong-tong
Nama Ilmiah
Ujung Alang Ujung Gagak
Klaces
Ardea cineria Egretta alba E. garzeta E. intermedia Mycteria cineria Leptoptilos javanicus
+ + + + -
+ + + + -
+ + +
7 8 9 10 11 12 13
Terkuak Cerek Camar Sriti Raja Udang Kecil Gesngek Layang-layang Mamalia
Amourormis phonicurus Charadrius javanicus Sterna hirundo Collocalia esculenta Alcedo caerulescens Halycon chloris Hirundo tahitica
+ + + + + + +
+ + + + -
+ + +
1 2
Kera Ekor Panjang Babi Hutan
Macaca fascicularis Sus scrofa
+ -
+ -
+
Keterangan : + = ada = tidak ada Untuk jenis mamalia di desa Ujung Alang dan Ujung Gagak terdapat jenis kera ekor panjang, hewan ini sering mencari makan di kawasan mangrove Segara Anakan. Biasanya hewan ini sering muncul pada saat siang hari dan dudk di pinggiran mangrove. Sedangkan desa Klaces terdapat babi hutan yang berasal dari hutan lindung di kawasan Nusa Kambanagan. Babi hutan ini sering berada di mangrove untuk mencari makanan, tetapi tidak sampai di kawasan yang berair hanya di kawasan yang berlumpur saja.
54
a. Cangak biru (Ardea cineria)
b. kuntul (Egretta intermedia)
c. Bangau (Mycteria cineria) d. Kera Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Gambar 16. Beberapa Jenis Biota Mangrove yang ada Di Segara Anakan Sumber : Sumber : Gambar a dan b (dokumentasi pribadi), Gambar c dan d (www.wikipedia.com)
4.2.3. Pasang surut air Pasang surut air di kawasan Segara Anakan dipengaruhi oleh aliran sungai dan gaya pasang surut dari Samudra Hindia. Tipe pasang surut di daerah ini adalah diurnal, artinya terjadi satu kali pasang pada saat malam dan satu kali surut pada saat siang selama 24 jam. Kisaran fluktuasi pasang surut adalah antara 0,4-1,9 meter. Fase pasang pada muara di sebelah barat sekitar 1-2 jam, pergantian air laguna di muara sebelah barat melewati Sungai Citanduy, di sebalah timur melewati bagian timur yang bersatu dengan Sungai Donan dan Sungai Sapuregel. Kisaran fluktuasi pasang surut untuk tiap desa memiliki nilai yang sama yaitu 0,41,9 meter. Hal ini dikarenakan muara air sungai yang masuk dan jumlah air yan masuk dan keluar sama untuk tiap desa di kawasan Segara Anakan. Saat pasang malam hari, air laut dan air tawar yang bercampur didistribusikan ke Sungai Citanduy, ke laguna utama dan ke sungai-sungai yang ada dan ke hutan
55
bakau. Masa air yang melewati muara sebelah barat saat banjir, merupakan percampuran air tawar dan air laut. Saat surut siang hari, air tawar dari Sungai Citanduy langsung masuk ke Samudra Hindia melewati muara sebelah barat. Sebagian air ini, serta sedimen yang dibawanya akan tetap berada di muara tersebut, terutama saat arus laut lemah. Setelah tercampur dengan air laut, air ini mengalami resirkulasi menuju laguna selama pasang tertinggi berikutnya. Berdasarkan data dan hasil diatas maka kawasan Segara Anakan sangat memiliki potensi untuk kegaitan ekowisata, dikarenakan ketinggian air yang masuk ke kawasan mangrove tidak terlalu tinggi sehingga tidak terlalu menghalangi wisatawan yang mau melakukan tracking di kawasan mangrove tersebut. Selain itu dengan rendahnya ketinggian air pada saat pasang akan membuat bitot mangrove seperti monyet dan mamalia lainnya dapat tinggal lebih lama di dalam kawasan mangrove, hal ini juga dapat menambah daya tarik bagi para penikmat mangrove.
4.3. Potensi Wisata 4.3.1. Acceptance (Keterimaan) Acceptance adalah respon yang diberikan oleh masyarakat terhadap suatu kegiatan ekowisata yang dilakukan. Di kawasan mangrove Segara Anakan sekarang sudah dilakukan beberapa kegiatan ekowisata yaitu tracking/jalan santai sambil menikmati mangrove, berperahu, dan juga memancing. Tetapi kesemua kegiatan ekowisata ini belum semuanya melibatkan masyarakat secara penuh, hanya sebagian saja yang terlibat didalamya seperti para nelayan yang sengaja menyewakan kapalnya untuk digunakan para wisatawan melakukan kegiatan berperahu dan memancing. Sementara untuk tracking, jalannya sudah dibuat pengelola tetapi tidak selesai sampai tahap akhir karena kurangnya antusias dari warga.
56
Gambar 17. Jalan Setapak untuk Tracking
Beberapa jenis kegiatan lain yang mungkin bisa dilakukan dan juga sudah banyak dilakukan oleh beberapa wisatawan adalah birdwatching atau menikmati tingkah laku burung pada saat terbang ataupun mencari makan di pinggir mangrove, selain itu kegiatan photosafari juga sangat bagus dilaksanakan di kawasan mangrove Segara Anakan karena tingginya potensi satwa liar seperti burung dan mamalia di kawasan ini. Tetapi kedua kegiatan ini hanya dapat dilakukan oleh kalangan menengah keatas saja dikarenakan tingginya biaya yang dikeluarkan untuk membeli peralatan yang digunakan untuk melakukan birdwatching dan photosafari seperti lensa biokuler dan juga kamera dengan tingkat resolusi yang tinggi. Secara detail dapat dilihat persentase penerimaan warga yang setuju dan yang tidak setuju terhadap satu jenis kegiatan ekowisata yang diperoleh dari hasil wawancara di tiga desa dengan jumlah responden 30 orang warga setiap desa dan 30 orang wisatawan.
Kegiatan Berperahu Berdasarkan gambar 18 diatas, 80% masyarakat yang diwawancarai di desa Ujung Alang menerima kegiatan berperahu yang telah dilakukan di desa Ujung Alang. Di desa Ujung Gagak, 70% masyarakat yang diwancarai menerima dengan adanya kegiatan berperahu, dan untuk desa Klaces 60% masyarakat yang diwawancarai menerima juga dengan kegiatan tersebut. Dari gambar 18 dapat dilihat bahwa semua desa yang di datangi memiliki persentase jumlah masyarakat
57
yang menerima lebih besar daripada yang menolak Hal ini dikarenakan tingginya uang yang di dapat oleh masyarakat dari penyewaan kapal mereka kepada para wisatawan. Harga kapal yang disewa oleh wisatawan berharga Rp.250.000300.000/hari, biaya ini tentu relatif sangat murah bagi para wisatawan yang
Tidak Setuju 30%
Tidak Setuju 20%
Setuju 70%
Setuju 80%
a. Desa Ujung Alang
b. Desa Ujung Gagak
Tidak Setuju 40% Setuju 60%
c. Desa Klaces Gambar 18. Persentase jumlah warga setuju dan tidak setuju kegiatan berperahu disetiap desa menyewa kapal dengan jumlah orang yang banyak, satu kapal dapat ditumpangi 10-12 orang wisatawan. Masyarakat yang tidak setuju dengan kegiatan berperahu rata-rata masyarakat yang berprofesi sebagai petani. Para petani yang ada di setiap desa tidak terlalu memikirkan kegiatan ekowisata tersebut, karena kegiatan tersebut tidak berdampak kepada para petani. Untuk wisatawan 80% mengatakan sangat setuju dengan kegiatan berperahu, kegiatan menikmati keindahan mangrove beserta biota-biotanya seambail berperahu membuat para wisatawan menikmatinya. Beberapa wisatawan mengatakan mereka dapat menghilangkan kepenatan selama bekerja di kota dengan menikmati hijaunya mangrove dan suara kicauan burung. Tingginya persentase wisatawan yang setuju dengan kegiatan berperahu ini diharapkan mampu terus dijaga oleh pihak pengelola dengan lebih meningkatkan sarana dan
58
prasaran yang mendukung kegiatan ini, karena selama ini semua sarana yang tersedia sangat terbatas dan semuanya dikelola oleh masyarakat setempat tanpa ada bantuan pihak pengelola. Secara detail persentase wisatawan yang setuju dan tidak setuju dapat dilihat pada grafik berikut
Kegiatan Tracking Berdasarkan gambar 19, 60% masyarakat yang diwawancarai di desa Ujung Alang menerima kegiatan berperahu yang telah dilakukan di desa Ujung Alang. Di desa Ujung Gagak, 54% masyarakat yang diwancarai menerima dengan adanya kegiatan berperahu, dan untuk desa Klaces 70%. Jumlah masyarakat yang setuju dan yang tidak setuju dengan kegiaatan berperahu di desa Ujung Alang dan Ujung Gagak tidak terlalu berbeda jauh, hal ini dikarenakan banyak lahan-lahan tambak mereka yang harus dikorbankan apabila dijadikan tempat tracking mangrove sehingga sangat merugikan bagi masyarakat. Tetapi ada juga beberapa masyarakat yang setuju dengan adanya kegiatan tracking ini yaitu di desa Klaces, banyaknya masyarakat Klaces yang setuju terutama oleh para pedagang di kawasan tersebut karena kemungkinan dagangan mereka akan laku terjual kepada wisatawan yang sedang melakukan kegiatan tersebut. Masyarakat yang tidak setuju dengan kegiatan tracking didominasi oleh para petani tambak, karena dengan pembangunan jalan untuk tracking dapat merusak tambak mereka. Untuk wisatawan sendiri sangat setuju dengan adanya kegiatan ini, 98% wisatawan yang diwawancarai mengatakan sangat setuju. Hal ini dikarenakan mereka dapat lebih dekat menikmati pemandangan mangrove baik vegetasi dan biotanya lebih dekat dan tidak menggangu biota tersebut, berbeda dengan berperahu yang sangat mengganggu biota karena suara perahu yang sangat berisik.
59
Tidak Setuju 46% Tidak Setuju 40%
Setuju 60%
a. Desa Ujung Alang
Setuju 54%
b. Desa Ujung Gagak
Tidak Setuju 30% Setuju 70%
c. Desa Klaces Gambar 19. Persentase jumlah warga setuju dan tidak setuju kegiatan tracking di setiap desa
Kegiatan Memancing Berdasarkan
gambar
20 dapat diketahui bahwa masyarakat yang
diwawancarai di setiap desa sangat setuju dengan kegiatan memancing ini. Hal ini dapat disebabkan karena banyaknya uang yang di dapat dari penyewaan perahu mereka disamping itu juga mereka dapat juga melakukan kegiatan memancing dengan paara wisatawan sambil mereka menunggu wisatawan yang sedang melakukan kegiatan memancing juga. Masyarakat yang tidak setuju dengan kegiatan ini rata-rata karena kurangnya pengetahuan mereka terhadap kegiatan ini. Sedangkan untuk para wisatawan kegiatan ini merupakan yang paling favorit di mata wisatawan, semua koresponden yang diwawancarai setuju dengan kegiatan ini, karena dengan melakukan kegiatan ini mereka dapat menghilangkan stress dan juga rasa lelah yang di dapat di tempat kerkja. Selain itu wisatawan juga dapat menikmati hasil pancingan mereka sendiri, sehingga tidak terlalu rugi untuk melakukan kegiatan ini.
60
Tidak Setuju 10%
Tidak Setuju 15%
Setuju 90%
a. Desa Ujung Alang
Setuju 85%
b. Desa Ujung Gagak
Tidak Setuju 30%
Setuju 70%
c. Desa Klaces Gambar 20. Persentase masyarakat yang setuju dan tidak setuju kegiatan memancing di setiap desa
Kegiatan Birdwatching Berdasarkan gambar 21, jenis kegiatan yang ditawari ini sangat menarik bagi para masyarakat yang diwawancarai di tiga desa, hal ini dikarenakan karena rasa penasarannya mereka bagaimana kegiatan ini dilakukan. Selain itu banyak juga masyarakat yang tidak mengetahui jenis burung yang ada di mangrove Segara Anakan. Sehingga dengan adanya kegiatan birdwatching, masyarakat dapat mengetahui banyak jenis burung lain yang belum pernah dilihat oleh mereka. Selain itu alat yang digunakan untuk kegiatan ini merupakan alat yang sangat mahal dan jarang dijunpai oleh mereka, sehingga dengan adanya kegiatan ini dapat menambah pengetahuan mereka tentang alat bilokuler ataupun kamera digital. Masyarakat yang tidak mengetahui tentang kegiatan ini rata-rat tidak setuju dengan adanya wisata tersebut. Untuk para wisatawan seimbang antara yang setuju dengan yang tidak, hal ini dikarenakan jenis kegiatan ini memerlukan alat lensa biokuler yang harganya tentu sangat mahal. Selain itu dalam hal pengamatan burung ini diperlukan keahlian khusus, sehingga banyak wisatawan yang tidak terlalu tertarik. Oleh karena itu
61
pihak pengelola diharapkan dapat menyediakan sarana dan prasarana yang mendukung kegiatan ini, tingginya potensi biota burung yang dapat diamati di kawasan mangrove Segara Anakan diharapkan mampu dioptimalkan untuk menjadi sebuah kegiatan wisata.
Tidak Setuju 20%
Tidak Setuju 20% Setuju 80%
a. Desa Ujung Alang
Setuju 80%
b. Desa Ujung Gagak
Tidak Setuju 25%
Setuju 75%
c. Desa Klaces Gambar 21. Persentase masyarakat yang setuju dan tidak setuju kegiatan Birdwatching di setiap desa Persentase wisatawan yang setuju dan tidak setuju dapat dilihat pada gambar berikut :
Tidak Setuju 50%
Setuju 50%
Gambar 22. Persentase wisatawan setuju dan tidak setuju dengan kegiatan birdwatching
62
Kegiatan Photosafari Berdasarkan gambar 23 dapat diketahui bahwa keseluruhan masyarakat di tiga desa yang diwawancarai setuju dengan kegiatan ini, hal ini hampir sama dengan kegiatan birdwatching dimana warga sangat tinggi keingintahuannya terhadap kegiatan ini. Selain itu masyarakat juga ingin melihat dan mengabadiakan beberapa photo hewan di mangrove ini sebagai penambah pengetahuan mereka dan juga sebagai alat untuk menjual daerah mangrove Segara Anakan tersebut terhadap wisatawan yang belum pernah kesana.
Tidak Setuju 30%
Tidak Setuju 20%
Setuju 70%
Setuju 80%
a. Desa Ujung Alang
b. Desa Ujung Gagak
Tidak Setuju 30%
Setuju 70%
c. Desa Klaces Gambar 23. Persentase masyarakat yang setuju dan tidak setuju kegiatan photosafari di setiap desa Sedangkan untuk para wisatawan hampir sama dengan dengan kegiatan birdwatching dimana yang setuju dan yang tidak setuju memiliki persentase yang sama, alasannya juga sama dikarenakan mahalnya alat yang dipakai berupa kamera dengan resolusi tinggi. Selain itu perlu keahlian khusus juga untuk melakukan kegiatan tersebut. Secara detail persentase wisatawan dapat dilihat pada grafik berikut :
63
Tidak Setuju 50%
Setuju 50%
Gambar 24. Persentase wisatawan setuju dan tidak setuju dengan kegiatan photosafari 4.3.2. Aksesabilitas Aksesabilitas adalah kemudahan suatu obyek wisata ataupun kegiatan wisata tersebut untuk dijangkau atau dinikmati oleh para wisatawan. Kemudahan ini dapat berupa transportasi yang tersedia untuk sampai di tempat wisata, ataupun bisa juga infrastuktur lainnya seperti jalan ataupun penunjuk jalan. Kawasan Segara Anakan ini terletak di daerah yang sangat jauh dari daratan,untuk mencapai ke kawasan tersebut harus menggunakan perahu. Aksesabilitas yang dimiliki ketiga desa di kawasan Segara Anakan sama. Berdasarkan wawancara dengan warga setempat, pintu masuk menuju kawasan Segara Anakan ada tiga yaitu : a. Pelabuhan Kalipucang di wilayah Jawa Barat, dari tempat ini wisatawan dapat memanfaatkan alternatif jasa angkutan berupa perahu nelayan (compreng), jenis angkutan ini digunakan untuk mengangkut orang taupun kendaraan bermotor dari Majingklak menuju daerah kampung laut (kawasan Segara Anakan) ataupun dari Majingklak menuju ke pelabuhan Tanjung Intan di Sleko, Cilacap. Untuk mencapai kawasan kampung laut hanya dibutuhkan waktu 20-30 menit, sedangkan untuk mencapai pelabuhan Tanjung Intan diperlukan waktu sekitar 3 jam. Tarif yang dikenakan untuk sekali perjalanan adalah Rp.10.000,-. Kapal ini beroperasi dengan tiga jam, yaitu pada jam 8 pagi, 12 siang, dan 2 siang . Kapasitas kapal yang digunakan mencapai 15-20 orang atau kurang lebih dapat menampung 1500 kg.
64
b. Untuk pintu masuk kedua berada di Pelabuhan Tanjung Intan di Cilacap, dari tempat ini wisatawan juga memanfaatkan alternatif angkutan berupa perahu nelayan (compreng). Sama dengan pelabuhan Kalipucang, pelabuhan ini juga memiliki rute yang sama yaitu ke kampung laut dan juga ke pelabuhan Kalipucang. Untuk jam dan biaya keberangkatan juga sama dengan pelabuhan Kalipucang, biasanya wisatawan yang menggunakan angkutan ini adalah wisatawan yang hendak menuju pantai pangandaran, para wisatawan ini setelah sampai di Majingklak akan naik kendaraan lagi menuju Pangandaran yang dapat ditempuh sekitar 2 jam. Rute dan kapasitas kapal sama dengan kapal yang digunakan menyebrang dari majingklak menuju Cilacap atau pelabuhan Sleko. c. Alternatif ketiga adalah dari jalan darat yang berada di sekitar daerah kawungganten, Cilacap. Daerah ini dapat dilewati oleh kendaraan bermotor berupa “ojek” dan juga mobil, perjalanan ini dapat menuju ke desa Panikel di kampung laut dan terus menuju ke daerah Ujung Gagak. Tetapi jalan ini sering tidak dapat dilewati apabila terjadi hujan, dikarenakan jalanannya belum di aspal sehingga masih sangat licin dan berbahaya untuk dilewati.
Gambar 25. Rute Jalan Alternatif Satu dan Dua Banyaknya alternatif pintu masuk menuju Segara Anakan membuat kegiatan ekowisata dapat dengan menudah dilakukan, selain itu kendaraan yang tersedia juga sudah sangat memadai. Sehingga nilai aksabilitas untuk kawasan Segara Anakan ini sangat tinggi. Yang mnejadi masalahnya adalah kurangnya keterlibatan dinas pariwisata ataupun pihak pengelola terhadap transportasi yang ada, dimana
65
semua alat transportasi yang ada dimiliki oleh nelayan setempat, sehingga kenyamanan dan keselamatan penumpang masih sangat kurang diperhatikan. Untuk itu diharapkan adanya kerjasama antar pengelola denga masyarakat kampung laut.
4.3.3. Peningkatan pendapatan masyarakat Kegiatan ekowisata pada umumnya adalah kegiatan untuk melestarikan alam yang ada tetapi juga dapat dimanfaatkan secari lestari sebagai tempat wisata. Untuk kawasan Segara Anakan kegiatan ekowisata ini sudah ada dan sudah dinikmati oleh para wisatawan mancanegara ataupun wiatawan lokal. Kegiatan ini juga menambah beberapa penghasilan masyarakat kampung laut yang terlibat langsung dalam kegiatan ekowisata ini, mulai dari penyewaan perahu sampai pada penyewaan tempat tinggal mereka. Hal ini tidak dinikmati oleh seluruh warga kampung laut, hanya sebagian masyarakat saja yang mendapatkan keuntungan ini yaitu para nelayan yang memiliki perahu/compreng. Berdasarkan hasil wawancara dengan warga hasil tangkapan nelayan tangkap setiap tahunnya mengalami penurunan yang sangat drastis, hal ini disebabkan semakin tingginya kerusakan mangrove yang merupakan tempat berkekumpulnya ikan-ikan. Selain itu, tingkat sedimentasi yang tinggi di kawasan Segara Anakan menyebabkan daeraha perairan semakin menyempit. Nelayan di daerah Ujung Alang dan Klaces adalah yang paling merasakan kurangnya suumberdaya ikan karena kerusakan mangrove dan tingginya sedimentasi tersebut, sedangkan para nelayan di desa Ujung Gagak tidak terlalu mengalaminya karena nelayan di daerah tersebut melakukan penangkapan di lepas pantai. Berkembangnya kegiatan ekowisata di daerah kampung laut atau kawasan Segara Anakan dapat meningkatkan pendapatan warga di kampung laut tersebut. Berikut secara detail dapat dilihat pendapatan masyarakat di tiap desa dan pendapatan wisatawan yang datang berwisata ke Segara Anakan :
66
5% 30% < Rp 500.000 Rp 500.000-1.000.000 Rp 1.000.000-2.000.000
45%
>Rp 2.000.000
20%
Gambar 26. Pendapatan wisatawan/bulan yang datang ke Segara Anakan
Berdasarkan gambar 26 dapat dilihat bahwa rata-rata wistawan yang datang berwisata ke kawasan Segara Anakan berpenghasilan menengah ke bawah. Kurangnya pemasaran ataupun promosi dari pihak pengelola menyebabkan wisatawan yang datang hanya yang ada di dekat kawasan saja, dan jarang dari luar kota ataupun mancanegara. Jenis wisata yang ada di kawasan Segara Anakan ini pun masih kalah terkenal dengan wisata pantai Pangandaran yang letaknya tidak jauh dari kawasan Segara Anakan. Rata-rata wisatawan yang datang ke kawasan Segara Anakan ini menengah ke bawah berdampak terhadap penghasilan yang di dapat masyarakat setempat, hal ini disebabkan sedikitnya biaya yang dikeluarkan oleh para wisatawan karena rendahnya pendapatan/gaji mereka. Dari gambar 27 dapat dilihat pendapatan untuk desa Ujung Alang paling banyak pada kisaran Rp 50.000-150.000,-/hari. Pendapatan pada kisaran ini merupakan pendapatan yang paling rendah, hal ini dikarenakan pekerjaan yang paling banyak di desa Ujung Alang adalah nelayan, semakin berkurangnya vegetasi mangrove Segara Anakan membuat hasil tangkapan ikan para nelayan berkurang tiap tahunnya. Pada desa Ujung Gagak pendapatan masyarakat lebih meningkat dari desa Ujung Alang, hal ini dikarenakan sudah lebih beragamnya pekerjaan yang ada di desa Ujung Gagak. Selain nelayan mata pencaharian yang lain adalah petani, berkembangnya pertanian di desa ini membuat pendapatan di desa Ujung Gagak meningkat. Dari hasil wawancara 65% masyarakat memiliki pendapatan pada kisaran Rp 50.000-150.000/hari, pendapatan ini rata-rata dihasilkan oleh nelayan
67
yang ada di desa Ujung Gagak sedangkan pendapatan petani di kawasan ini berada pada kisaran Rp 160.000-250.000/hari. Rata-rata pendapatan di desa Ujung Alang hampir sama dengan desa Klaces, hal ini dikarenakan hampir samanya mata pencaharian yang ada di dua desa tersebut. Desa Klaces memiliki pendapatan ratarata terbesar yaitu 60% pada kisaran Rp 50.000-150.000/hari, pada kisaran ini ratarata bermata pencaharian sebagai nelayan. Dan pada kisaran Rp 160.000250.000/hari memiliki persentase 25% yang rata-rata bermata pencahariannya bertani.
3% 2%
9% 1%
Rp 50.000150.000
Rp 50.000150.000
10%
Rp 160.000250.000 Rp 260.000500.000
80%
Rp 160.000250.000
30% 65%
>Rp 500.000
>Rp 500.000
a. Desa Ujung Alang
10%
Rp 260.000500.000
b. Desa Ujung Gagak 5%
Rp 50.000-150.000 Rp 160.000250.000
25%
60%
Rp 260.000500.000 >Rp 500.000
c. Desa Klaces Gambar 27. Rata-rata pendapatan masyarakat/hari setiap desa di Kecamatan Kampung Laut
Adanya kegiatan ekowisata di kawasan Segara Anakan tidak dapat meningkatkan pendapatan rata-rata masyarakat di tiga desa tersebut. Hal ini disebabkan karena tidak semua anggota masyarakat di kawasan Segara Anakan yang terlibat langsung pada kegiatan ekowisata, yang terlibat langsung hanyalah beberapa masyarakat yang memiliki perahu/compreng. Pengeluaran yang di dapat
68
masyarakat dengan adanya penyewaan perahu hanya menambah pendapatan sebesar Rp 50.000-200.000/kegiatan. Hal ini terjadi karena masih banyaknya pembayaran yang harus dilakukan seperti untuk membeli bensin dan juga untuk membayar uang retribusi ataupun upah bagi calo wisata. Oleh karena itu diharapkan adanya peran serta pihak pengelola untuk membersihkan adanya tindak “percaloan” di dalam kegiatan ekowisata. Berikut secara detail peningkatan pendapatan masyarakat untuk setiap kegiatan ekowisata :
Rupiah
250,000 200,000 150,000 100,000 50,000 0 Berperahu Memancing Tracking
a. Wisata yang telah berjalan
Rupiah
160,000 140,000 120,000 100,000 80,000 60,000 40,000 20,000 0
Birdwatching
photosafari
b. Wisata alternatif
Gambar 28. Jumlah peningkatan pendapatan untuk setiap kegiatan ekowisata Di kawasan Segara Anakan Dari gambar 28 kegiatan memancing dapat meningkatkan pendapatan masyarakat sebesar Rp 200.000/kegiatan, tetapi peningkatan pendapatan ini hanya dirasakan oleh masyarakat yang memiliki perahu untuk disewakan. Kegiatan berperahu dapat meningkatkan pendapatan sebesar Rp 150.000/kegiatan, sama seperti kegiatan memancing peningkatan pendapatan ini juga hanya diarasakan oleh masyarakat yang memiliki perahu saja. Sedangkan peningkatan pendapatan yang paling rendah dihasilkan oleh kegiatan tracking sebesar Rp 50.000/kegiatan. Sementara untuk kegiatan alternatif yang ditawarkan yaitu birdwatching dan photosafari diperkirakan dapat meningkatkan pendapatan sebesar Rp 100.000150.000/kegiatan. Peningkatan pendapatan di setiap kegiatan ekowisata ini sama untuk keseluruhan desa di Kecamatan Kampung Laut.
69
Berkurangnya pendapatan masyarakat dari sektor perikanan dan juga ekowisata menyebabkan banyaknya terjadi perubahan pekerjaan menjadi petani, hal ini telah terjadi di kawasan Panikel yang hampir 90% masyarakatnya telah menjadi petani. Perubahan pekerjaan ini juga dapat menyebabkan berkurangnya kawasan mangrove di Segara Anakan, hal ini telah terjadi juga di desa Panikel yang mangrovenya sudah habis dirubah manjadi lahan pertanian. Pihak pengelola yang bertanggung jawab terhadap kelestarian mangrove Segara Anakan diharapkan mampu mencegah hal ini terjadi, dengan menjelaskan dan mensosialisasikan bahwa kegiatan ekowisata juga mampu meningkatkan perkonomian masyarakat kampung laut.
4.3.4. Akomodasi/infrasturktur Kegiatan ekowisata dapat berjalan dengan baik dan lancar bila didukung oleh akomodasi/infrastruktur yang sangat baik. Hal ini mencakup sarana dan prasarana yang tersedia di lokasi ekowisata tersebut. Kawasan Segara Anakan merupakan jenis wisata bahari yang semua kegiatannya dihabiskan di alam, sehingga sarana dan prasarana yang ada tidak terlalu lengkap dengan wisata lainnya. Sarana dan prasarana yang lengkap sangat mendukung suatu kegiatan ekowisata, yang lebih utama adalah sarana dan prasarana yang berhubungan dengan kegiatan ekowisata tersebut. Sarana dan prasarana tidak hanya berupa alat ataupun perlengkapan, faktor kenyamanan juga dimasukkan ke dalam bagian saran dan prasarana. Berdasarkan gambar 29 hampir semua sarana dan prasarana yang ada di setiap desa
tidak memuaskan para wisatawan. Fasilitas tempat sampah yang
merupakan hal terpenting untuk menjaga kebersihan kawasan Segara Anakan tidak tersedian secara maksimal, kecuali di desa Ujung Gagak, dari 30 responden yang diwawancarai 10 responden mengatakan baikdan 15 responden mengatakan cukup. Hal ini dikarenakan desa ini sudah sangat dekat dengan kota sehingga anggaran kebersihan seperti penyediaan tempat sampah umum dari kota Cilacap dapat sampai di desa ini sedangkan desa Ujung Alang dan desa Klaces dari 30 responden yang diwawancarai 20 responden mengatakan kurang hal ini
70
dikarenakan sangat jauhnya kedua desa tersebut dari kota Cilacap sehingga sarana umum seperti tempat sampah belum tersedia secara maksimal. Oleh karena itu diharapkan pengelola dapat meyediakan tempat sampah yang banyak dan diletakkan ditempat-tempat yang banyak dikunjungi oleh wisatawan seperti pada jalur tracking mangrove dan di tempat peristrahatan terutama di desa Ujung Alanga dan Klaces.
persen
persen
120 100 80 60 40 20 0
kurang cukup baik
a. Desa Ujung Alang
120 100 80 60 40 20 0
120 100 80 60 40 20 0
kurang cukup baik
b. Desa Ujung Gagak persen
kurang cukup
baik
c. Desa Klaces Gambar 29. Persepsi wisatawan terhadap prasarana dan saran setiap desa di Segara Anakan Ketersediaan WC umum menurut hasil wawancara responden di Ujung Alang, Ujung Gagak, dan Klaces dominan mengatakan kurang. Masing-masing persentase wisatawan yang mengatakan kurangnya fasilitas WC umum sangat tinggi di setiap desa, oleh karena itu pihak pengelola diharapkan mampu memenuhi fasilitas WC
71
umum ini demi memberikan kenyaman terhadap wisatawan sehingga mereka dapat melakukan aktifitas wisata dengan senang. Ketersediaan air bersih menurut hasil wawancara responden di setiap desa dominan mengatakan sudah baik. Persentase wisatawan yang mengatakan baik sangat tinggi sangat tinggi di setiap desa, oleh karena itu diharapkan pihak pengelola diharapkan mampu mempertahankan hal ini demi kenyamanan wisatawan. Tingginya ketersediaan air bersih di setiap desa ini dikarenakan dekatnya setiap desa dengan sumber air bersih yang ada. Ketersediaan tempat beribadat menurut hasil wawancara responden di setiap desa dominan mengatakan baik. Persentase wisatawan yang mengatakan baik sangat tinggi di setiap desa, oleh karena itu pihak pengelola diharapkan mampu mempertahankan hal ini. Banyaknya tempat peribadatan di tempat ini dikarenakan mayoritas masyarakat di kawasan ini adalah muslim sehingga banyak musholla di daerah kampung laut ini. Ketersediaan papan informasi menurut hasil wawancara responden di dua desa yaitu desa Ujung Alang dan Klaces dominan mengatakan kurang. Hal ini dikarenakan sedikitnya jalan yang ada di kedua desa tersebut dan juga jauhnya kedua desa tersebut dari kota Cilacap sehingga jarang mendapat bantuan dari Pemda setempat. Sedangkan di desa Ujung alang papan-papan informasi sudah lebih banyak dibandingkan kedua desa yang lain, dekatnya desa Ujung Gagak dengan kota Cilacap dan juga sudah adanya jalur darat dari Cilacap menuju desa Ujung Alang membuat desa ini lebih maju dari desa yang lainnya. Kurangnya papan informasi di desa Ujung Alang dan Klaces diharapkan mampu dipenuhi/dilengkapi oleh pihak pengelola demi keamanan wisatawan karena tempat wisata Segara Anakan yang berada di dekat kawasan laut dan juga kawasan Lembaga Pemasyarakatan Nusa Kambangan. Ketersediaan tempat penginapan menurut hasil wawancara responden di setiap desa dominan mengatakan kurang. Persentase wisatawan yang mengatakan kurang sangat tinggi di setiap desa. Kurangnya tempat penginapan di setiap desa ini dikarenakan untuk tetap menjaga kelestarian kawasan Mangrove Segara Anakan
72
sehingga tidak ada pembangunan hotel ataupun motel. Bila para wisatawan ingin menginap, masyarakat kampung laut siap uuntuk meyewakan rumah mereka untuk dijadikan tempat beristirahatnya wisatawan. Pelayanan merupakan hal yang sangat penting bagi kepuasan seorang wisatawan. Menurut hasil wawancara responden di setiap desa dominan mengatakan baik. Persentase yang mengatakan baik sangat tinggi di setiap desa, oleh karena itu pihak pengelola diharapkan mampu mempertahankan pelayanan yang sangat baik, agar semakin banyak pengunujunga yang datang ke kawasan Segara Anakan.
4.3.5. Peningkatan pengetahuan Kegiatan ekowisata yang ada diharapkan mampu untuk memberikan pengetahuan yang baru terhadap masyarakat di sekitar kawasan ekowisata tersebut. Memberikan kesejahteraan terhadap masyarakat sekitar bukan hanya dilihat dari tingginya pertumbuhan ekonomi mayarakat dengan adanya ekowisata tetapi juga dilihat dari tingginya kesadaran para mayarakat terhadap kelestarian kawasannya, hal ini tentunya di dapat dari pengetahuan para wisatawan yang datang ke kawasan ekowisata tersebut. Semakin tinggi pengetahuan yang di dapat maka kegiatan ekowisata tersebut juga akan semakin lama bertahan dan tentunya semakin menambah perekonomian mayarakat di kawasan tersebut. Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat di kampung laut diketahui bahwa para wisatawan yang datang ke kawasan Segara Anakan banyak memberikan pengetahuan terhadap masyarakat, hal ini dilihat dari tahunya masyarakat tentang istilah konservasi dan juga ekowisata. Dengan rendahnya tingkat pendidikan di kawasan Segara Anakan ini maka pemahaman mereka tentang konservasi dan ekowisata hanya terbetas saja, tetapi hal ini sudah sangat baik untuk menjaga kelestarian sumberdaya di Segara Anakan. Secara detail dapat dilihat pada gambar 30 persentase jumlah warga yang mengerti tentang ekowisata dan konservasi
73
tidak mengerti 26%
tidak mengerti 20%
mengerti 80%
mengerti 74%
a. Desa Ujung Alang
b. Desa Ujung Gagak
tidak mengerti 23%
mengerti 77%
c. Desa Klaces Gambar 30. Persentase warga yang mengerti ekowisata dan konservasi Di Segara Anakan Masyarakat yang mengerti tentang ekowisata dan konservasi memiliki persentase yang tinggi di setiap desa dengan rata-rata persentase 77%. Tingginya persentase ini menunjukkan adanya distribusi pengetahuan dari para wisatawan terhadap masyarakat setempat. Adanya distribusi pengetahuan dari wisatawan ini tentu sangat baik, karena semakin banyaknya mayarakat tahu tentang istilah ekowisata dan konservasi maka kawasan Segara Anakan ini tentu akan terus lestari. Dan kegiatan ekowista yang ada dapat berjalan dengan baik dan lancar. Dari beberapa kegiatan ekowisata yang ada, jenis ekowisata yang paling efisien/paling banyak memberikan pengetahuan dapat dilihat pada gambar 31. Berdasarkan gambar 31 jenis kegiatan yang paling banyak meningkatkan pengetahuan untuk masyarakat adalah kegiatan alternatif yaitu birdwatching dan photosafari. Jarangnya kegiatan ini dilakukan di mangrove Segara Anakan membuat masyarakat menjadi penasaran dan menarik untuk melakukan kegiatan tersebut. Sedangkan untuk kegiatan memancing, berperahu, dan tracking juga menambah pengetahuan terhadap masyarakat terutama tentang ekowisata dan juga
74
konservasi. Persentase distribusi pengetahuan ini sama untuk setiap desa yang ada di kawasan Segara Anakan.
sedikit 35%
sedikit 40%
banyak 60%
a. Tracking
banyak 65%
b. Berperahu
sedikit 40% banyak 60%
c. Memancing Kegiatan Alternatif sedikit 20%
sedikit 15%
banyak 80%
banyak 85%
d. Photosafari e. Birdwatching Gambar 31. Persentase distribusi pengetahuan untuk setiap jenis kegiatan Ekowisata
4.4. Analisis Multi Criteria Analysis (MCA) Analisis MCA adalah suatu analisis yang melibatkan beberapa kriteria untuk menentukan kebijakan ataupun keputusan yang sesuai dengan kriteria yang ada. Pada penelitian ini kriteria yang dimasukkan adalah kriteria sosial ekonomi dan mangrove. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara diatas maka dapat dilihat jenis kegiatan ekowisata yang sangat berbasis kepada masyarakat.
75
Analisis MCA dilakukan pada setiap kegiatan ekowisata di tiga desa, yaitu desa Ujung Alang, Ujung Gagak, dan Klaces. Analisis MCA yang dilakukan terhadap setiap kegiatan ekowisata dianalisa berdasarkan data-data yang di dapat dari observasi lapang. Dari hasil analis MCA yang dilakukan maka dapat melihat jenis kegiatan yang paling cocok dilakukan di setiap desa tersebut. Secara detail analsis MCA terhadap masing-masing kegiatan dapat dilihata pada tabel 20
Tabel 20. Hasil Analisis MCA untuk setiap kegiatan Desa
Memancing
Berperahu
Tracking
Birdwatching photosafari
Ujung Alang
83,26%
83,26%
58,7%
85,8%
85,8%
Ujung Gagak
83,26%
83,26%
65,1%
77,41%
70,96%
Klaces
83,26%
83,26%
88,3%
77,41%
70,96%
Berdasarkan hasil analisis MCA diatas wisata berperahu memiliki nilai yang paling tinggi untuk setiap desa, wisata ini sangat diterima oleh warga setempat karena memberikan peningkatan ekonomi yang tinggi terhadap masyarakat. Aksesabilitas untuk melakukan kegiatan berperahu juga sangat mudah, banyaknya perahu yang ada di sekitar darmaga pelabuhan sangat memudahkan para wisatawan untuk melakukan perjalanan wisata kapan saja. Pintu masuk menuju Segara Anakan yang ada di tiga lokasi membuat akses ke Segara Anakan dapat ditempuh dari banyak lokasi. Sumberdaya mangrove dan tingginya sumberdaya biota juga sangat mendukung wisata berperahu untuk dilakukan, karena konsep wisata berperahu merupakan jenis wisata mangrove yang menikmati keindahan mangrove dan biotanya sambil berlayar di perairan mangrove. Untuk akomodasi/infrastruktur wisata berperahu sudah lumayan mencukupi meskipun seperti WC umum dan tempat sampah tidak tersedia di kapal yang disewa, hal ini dikarenakan kapal yang disewa tidak jenis kapal wisata melainkan hanya kapal nelayan yang dialih fungsikan sebagai kapal wisata. Sedangkan untuk tempat ibadah dan warung cenderamata tersedia di dekat darmaga, para wisatawan dapat membeli ataupun singgah setelah menikmati wisata berperahu. Wisata berperahu
76
juga banyak memberikan beberapa pengetahuan terhadap masyarakat yang ikut berwisata dengan para wisatawan, diataranya pengetahuan tentang jenis mangrove maupun pengetahuan tentang kegiatan ekowisata yang sedang dilakukan. Dari segi ekologi mangrove kegiatan berperahu sangat sesuai dilakukan di kawasan Segara Anakan karena tingginya kerapatan dan keanekaragaman mangrove. Selain itu biota yang ada di kawasan mangrove Segara Anakan yang sangat tinggi membuat wisata berperahu bisa dinikmati dengan pemandangan yang lebih beragam tidak hanya menikmati tumbuhan mangrove. Wisata memancing juga memiliki nilai yang cukup tinggi dibawah wisata berperahu pada setiap desa, dari segi sosial ekonomi wisata memancing hampir sama dengan wisata berperahu memberikan tambahan nilai ekonomi yang tinggi terhadap warga setempat. Penyewaan perahu nelayan memberikan tambahan ekonomi
yang
tinggi
untuk
masyarakat
setempat.
Ketersediaan
akomodasi/infrastruktur yang tersedia juga cukup lumayan lengkap, adanya cool box tempat meletakkan ikan hasil pancingan, untuk tempat ibadah dan penjualan cenderamata berada di dekat darmaga. Wisata memancing juga memberikan pengetahuan yang cukup banyak terhadap masyarakat, diantaranya pengetahuan tentang jenis ikan dan juga pengertian tentang konservasi. Dengan melepaskan ikan tangkapan yang berukuran kecil, masyarakat dapat mengerti tentang konservasi sumberdaya. Dari segi ekologi wisata memancing sangat sesuai untuk dilakukan karena potensi perikanan yang sangat tinggi di kawasan Segara Anakan, akan tetapi hal ini mulai berkurang karena tingginya tingkat sedimentasi di kawasan ini. Hal ini terjadi karena semakin habisnya pohon mangrove, sehingga tidak ada lagi yang mampu menahan air sungai yang masuk kedalam kawasan mangrove. Wisata tracking memiliki nilai yang paling tinggi di desa Klaces hal ini dikarenakan mudahnya aksesabilitas untuk melakukan wisata tracking di daerah ini. Dibandingkan dengan desa Ujung Alang yang jumlah daratannya sangat sedikit sehingga sangat sulit untuk dibuat jalur tracking mangrove. Sedangkan untuk daerah Ujung Gagak juga sulit karena sudah banyaknya rumah-rumah penduduk yang berdiri disamping kawasan mangrove sehingga tidak bisa lagi dibuat jalur
77
tracking mangrove. Wisata ini dari segi ekologi sangat mendukung untuk dilakukan secara berkelanjutan. Hal yang menjadi kendala adalah pembuatan jalan track sebagai prasarana wisata ini, pembuatan track ini membuat sebagian lahan tambak warga harus dibongkar oleh karena itu banyak warga yang kurang setuju adanya wisata ini. Aksesabilitas untuk melakukan wisata ini juga lumayan sulit karena tidak tersedianya sarana dan prasarana yang memadai, jalan tacking yang tidak ada dan juga tingginya kerapatan mangrove membuat para wisatawan sulit unutk berjalan masuk ke kawasan mangrove, sehingga banyak wisatawan lebih memilih menikmati mangrove hanya dari perahu saja tanpa harus masuk ke dalam mangrovenya. Wisata ini juga sangat sedikit menambah pendapatan masyarakat sekitar, tidak adanya penyewaan kapal dan juga pemakaian alat membuat wisata ini sangat sedikit memberikan tambahan penghasilan bagi warga. Terkecuali di desa Klaces yang topografinya sangat sesuai untuk wisata tracking sehingga dengan adanya kegiatan ini akan banyak pedagang-pedagang yang ada di desa Klaces, terutama pedagang makanan dan souvenir. Untuk dua wisata alternatif yang mungkin dilakukan di kawasan mangrove yaitu birdwatching dan photosafari sangat diterima oleh masyarakat setempat. Hal ini disebabkan rasa keingintahuan masyarakat terhadap jenis wisata yang baru ini, padahal di negara-negara maju wisata ini sudah banyak dilakukan. Yang menjadi kendala adalah kurangnya infrastruktur yang mendukung untuk wisata ini seperti tidak adanya menara untuk mengamati burung dan juga mahalnya peralatan untuk melakukan wisata ini. Oleh karena itu perlu adanya bantuan dari Pemda Cilacap untuk membantu masyarakat merealisasikan wisata ini, melihat begitu tingginya prospek dari kedua kegiatan wisata ini. Kedua jenis wisata ini memiliki nilai yang tinggi di desa Ujung Alang, karena vegetasi mangrove dan biotanya masih lengkap dan beragam di desa ini dibandingkan dengan desa Ujung Gagak dan Klaces. Selain itu sedikitnya jumlah daratan di desa Ujung Alang ini membuat perahu dapat dengan bebas masuk ke dalam kawasan mangrove, sehingga para wisatawan dapat dengan dekat melihat biota seperti burung dan juga mamalia dari dekat. Berdasarkan pembahasan dan analisis MCA diatas maka dapat disimpulkan jenis
78
kegiatan yang sesuai di lakukan pada setiap desa, secara detail dapat dilihat pada tabel 21
Tabel 21. Jenis kegiatan yang sesuai untuk setiap desa Nama Desa
Berperahu
Memancing Tracking Birdwatching Photosafari
Ujung Alang
S1
S1
S2
S1
S1
Ujung Gagak
S1
S1
S2
S2
S2
Klaces
S1
S1
S1
S2
S2
Keterangan : S1 = Sesuai S2 = Sesuai Bersyarat Berdasarkan tabel 21 dapat dilihat bahwa kegiatan yang sesuai untuk dilakukan di desa Ujung Alang adalah jenis kegiatan berperahu, memancing, birdwatching, dan photosafari. Untuk desa Ujung Gagak jenis wisata yang paling sesuai adalah berperahu dan memancing. Sedangkan untuk desa Klaces jenis kegiatan yang paling sesuai adalah berperahu, memancing, dan tracking.
4.5. Daya dukung (Ekologi dan Ekonomi) Nilai ekonomi wisata harus memperhitungkan kemampuan daya dukung kawasan. Untuk nilai daya dukung kawasan dihitung dengan mengalikan potensi ekologis pengunjung per satuan unit area dengan luas kawasan yang dimanfaatkan per luas area untuk setiap kegiatan, setelah diketahui hasilnya kemudian dikali dengan waktu yang diperlukan setiap kegiatan per waktu total ekowisata mangrove. Untuk luasan masing-masing mangrove per desa yang dimanfaatkan untuk kegiatan ekowisata adalah desa Ujung Alang sebesar 790 meter, desa Ujung Gagak sebesar 714 meter, dan untuk desa Klaces sebesar 714 meter. Dan untuk luasan area kegiatan ekowisata mangrove untuk satu orang sebesar 50 meter. Waktu yang dibutuhkan untuk setiap kegiatan mangrove adalah 2 jam sedangkan waktu yang disediakan dalam satu hari untuk melakukan kegiatan mangrove adalah 8 jam. Dengan menggunakan rumus DDK maka diketahui untuk daya dukung
79
masing-masing kawasan sebesar 178 orang, dengan pembagian untuk desa Ujung Alang 63 orang dan untuk desa Ujung Gagak dan Klaces masing-masing 57 orang. Selain menentukan nilai daya dukung kawasan, jumlah biaya yang dikeluarkan untuk melakukan suatu kegiatan dan jumlah trip per tahun harus diketahui untuk menghitung nilai ekonomi. Untuk jumlah biaya yang dikeluarkan dihitung dari wistawan sudah tiba di tempat wisata, dengan demikian yang termasuk biaya yang dikeluarkan adalah uang retribusi, biaya sewa kapal, biaya peminjaman alat, dan biaya untuk membeli makanan dan souvenir. Biaya yang dikeluarkan untuk masing-masing kegiatan berbeda-beda, untuk kegiatan berperahu, tracking, birdwatching, dan photosafari rata-rata biaya yang dikeluarkan sebesar Rp. 150.000, biaya ini meliputi penyewaan kapal dan juga biaya untuk makanan. Untuk kegiatan memancing rata-rata biaya yang dikeluarkan sebesar Rp.250.000 biaya ini meliputi biaya penyewaan kapal, biaya konsumsi, dan biaya penyewaan alat. Jumlah trip untuk melakukan kegiatan ekowista mangrove di kawasan Segara Anakan adalah 10 trip. Jumlah ini diasumsikan kegiatan ekowisata mangrove dapat dilakukan pada saat musim kemarau (6 bulan) dan setiap bulan ada dua trip. Setelah mengetahui semua nilai daya dukung kawasan, biaya yang dikeluarkan dan juga jumlah trip maka dapat diketahui nilai ekonomi wisata di kawasan mangrove Segara Anakan. Berikut secara detail dapat dilihat nilai ekonomi wisata pada tabel 22. Berdasarkan nilai ekonomi yang didapat pada setiap desa dan kegiatan diketahui bahwa untuk Desa Ujung Alang memiliki nilai ekonomi wisata yang lebih besar dibandiungkan dengan desa lainnya, hal ini disebabkan karena lebih banyak jenis wisata yang dapat dilakukan di desa Ujung Alang. Selain itu arealnya yang lebih luas untuk dimanfaatkan membuat desa Ujung Alang memiliki daya dukung kawasan yang lebih besar. Untuk nilai ekonomi wisata desa Ujung Gagak dan Klaces memiliki nilai yang sama karena memiliki daya dukung kawasan yang sama dan luasan area yang yang dimanfaatkan tidak berbeda jauh.
80
Tabel 22. Nilai ekonomi wisata setiap desa Biaya yang Desa
Kegiatan
DDK (Orang) (a)
dikeluarkan/orang (Rupiah) (b)
Jumlah
Nilai ekonomi wisata
Trip/tahun (c)
(Rupiah) (axbxc)
Memancing
63
250.000
10
157.500.000
Ujung
Berperahu
63
150.000
10
94.500.000
Alang
Birdwatching
63
150.000
10
94.500.000
Photosafari
63
150.000
10
94.500.000
Tracking
63
150.000
10
94.500.000
Total
535.500.000
Ujung
Memancing
57
250.000
10
142.500.000
Gagak
Berperahu
57
150.000
10
85.500.000
Birdwatching
57
150.000
10
85.500.000
Photosafari
57
150.000
10
85.500.000
Tracking
57
150.000
10
85.500.000
Total
Klaces
484.500.000
Memancing
57
250.000
10
142.500.000
Berperahu
57
150.000
10
85.500.000
Tracking
57
150.000
10
85.500.000
Birdwatching
57
150.000
10
85.500.000
Photosafari
57
150.000
10
85.500.000
Total Total keseluruhan desa
484.500.000 1.504.500.000
Untuk nilai ekonomi wisata per kegiatan, kegaiatan memancing memiliki nilai ekonomi wisata yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis kegiatan lainnya. Hal ini disebabkan tingginya biaya yang dikeluarkan untuk melakukan kegiatan tersebut, selain itu jenis kegiatan ini sangat sesuai untuk dilakukan di ketiga desa tersebut. Berikut secara detail dapat dilihat pada tabel 23 Nilai ekonomi wisata tersebut belum termasuk tiket masuk ke kawasan Segara Anakan, hal tersebut dikarenakan obyek wisata Segara Anakan belum dikelola oleh pemerintah daerah ataupun Kepala Pengelola Kawasan Segara Anakan (KPKSA). Jika obyek wisata tersebut dikelola dengan baik maka bagian pendapatan tersebut dapat digunakan untuk membiayai perlindungan dan perawatan kawasan Segara Anakan.
81
Tabel 23. Nilai ekonomi wisata setiap kegiatan Kegiatan
Desa Ujung Alang (Rupiah)
Desa Ujung Gagak (Rupiah)
Desa Klaces (Rupiah)
Total (Rupiah)
Memancing
157.500.000
142.500.000
142.500.000
442.500.000
Berperahu
94.500.000
85.500.000
85.500.000
265.500.000
Tracking
94.500.000
85.500.000
85.000.000
265.500.000
Birdwatching
94.500.000
85.500.000
85.500.000
265.500.000
photosafari
94.500.000
85.500.000
85.500.000
265.500.000
Jumlah
535.500.000
484.500.000
484.500.000
1.504.500.000
4.6. Pembahasan Permasalahan yang dihadapkan dalam pengembangan ekowisata di kawasan Segara Anakan, pertama adalah fasilitas utama untuk kegiatan ekowisata. Contohnya kegiatan tracking, tidak tersedia jalur tracking di kawasan mangrove Segara Anakan akan sangat sulit untuk mengembangkan kegiatan wisata ini yang tersedia sekarang hanya jalur tracking yang merupakan jalan dari tanah, sehingga masih kurang nyaman untuk para wisatawan apalagi kalau sudah turun hujan jalan akan semakin licin. Begitu juga dengan wisata seperti berperahu dan memancing, adanya keterbatasan armada kapal membuat kedua kegiatan wisata ini sulit untuk berkembang dan meningkatkan pendapatan masyarakat. Selain fasilitas utama, kurangnya fasilitas pendukung seperti tempat sampah, WC umum, dan ketersediaan papan informasi. Kurangnya fasilitas-fasilitas pendukung ini akan membuat ekowisata sulit berkembang karena ketidaknyamanan para wisatawan melakukan wisata. Masalah kedua adalah adanya persepsi masyarakat yang tidak setuju terutama dari para petani, karena dengan adanya kegiatan ekowisata ini maka lahan mereka untuk bertani tidak akan bertamabah karena semakin sulitnya untuk mengubah hutan mangrove menjadi lahan pertanian. Karena apabila kegiatan ekowisata ini dilakukan maka kelestarian mangrove akan sangat dijaga, hal ini akan membuat petani semakin sulit untuk menambah lahan pertaniannya. Masalah yang paling besar adalah tingkat sedimentasi yang tinggi, masalah ini akan memperkecil jalur kapal yang melintas karena semakin dangkalnya perairan Segara Anakan. Semakin kecilnya jalur yang dapat dilintasi oleh kapal maka akan
82
menghambat kegiatan ekowisata seperti berperahu dan memancing untuk dilaksanakan. Solusi yang dapat diambil untuk beberapa isu dan masalah yang terjadi adalah pertama melengkapi seluruh fasilitas-fasilitas utama dan pelengkap kegiatan ekowisata, karena dengan semakin lengkapnya kegiatan yang ada maka pengunjung atau wisatawan akan merasa puas dan ingin kembali lagi untuk melakukan kegiatan wisata tersebut. Solusi kedua adalah dengan lebih mensosialisasikan kegiatan sylvofishery di kawasan Segara Anakan, kegiatan ini sudah dilakukan di beberapa desa tetapi masih ada juga beberapa tambak murni yang masih jalan. Oleh karena itu kegiatan sylvofishery ini perlu lebih dikembangkan di kawasan Segara Anakan, karena dengan melakukan kegiatan ini dapat
membuat
kawasan
mangrove
Segara
Anakan
lebih
lestari.
5. Kesimpulan dan Saran
5.1. Kesimpulan Kawasan Segara Anakan merupakan kawasan mangrove yang terbesar di Pulau Jawa. Kawasan mangrove Segara Anakan memiliki vegetasi mangrove yang tinggi dan juga biota-biota mangrove yang beraneka jenis. Kurangnya perhatian pengelola dan masyarakat setempat membuat kawasan mangrove Segara Anakan menjadi sangat menurun kualitasnya, hal ini tentu sangat memprihatinkan bagi kelangsungan ekosistem mangrove di Jawa. Salah satu cara untuk menjaga kelestarian mangrove di Segara Anakan ini adalah dengan melaksanakan kegiatan ekowisata. Kegiatan ekowisata yang dapat dilakukan di kawasan mangrove Segara Anakan ini ada lima yaitu berperahu, memancing, tracking, birdwatching, dan photosafari. Kelima jenis wisata ini diharapkan mampu meningkatkan kelestarian mangrove dan juga pendapatan masyarakat setempat. Dengan menggunakan Multi Criteria Analysis maka dapat ditentukan jenis-jenis ekowisata yang lebih diinginkan masyarakat dan juga lokasi yang sesuai untuk kegiatan ekowisata ini. Untuk kegiatan berperahu sangat sesuai dilakukan di Desa Ujung Alang, Ujung Gagak, dan Klaces. Untuk kegiatan memancing sangat sesuai dilakukan di Desa Ujung Alang, Ujung Gagak, dan Klaces. Untuk kegiatan tracking sangat sesuai dilakukan di Desa Klaces. Dan untuk kegiatan birdwatching dan photosafari sangat sesuai dilakukan di desa Ujung Alang. Dengan adanya pembagian jenis wisata per desa ini diharapkan mampu untuk dimaksimalkan oleh pengelola demi menjaga kelestarian mangrove yang semakin tahun menurun. Dengan kegiatan ekowisata ini maka kesejahteraan masyarakat dan kelestarian mangrove dapat terjaga.
5.2. Saran Berdasarkan penelitian ini, ada beberapa saran yang diajukan yaitu: pertama, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai laju sedimentasi di kawasan
84
Segara Anakan karena hal ini sangat berpengaruh terhadap kelangsungan kegiatan ekowisata. Kedua, peningkatan kegiatan sylvofishery agar tidak terjadi konflik perebutan lahan antara para petani tambak dengan pengembangan kegiatan ekowisata mangrove. Ketiga adalah perlunya peningkatan fasilitas utama untuk kegiatan ekowisata seperti jalur tracking dan penambahan jumlah kapal yang digunakan untuk kegiatan ekowisata. Selain itu peningkatan fasilitas pedukung seperti tempat sampah, WC umum, dan ketersediaan papan informasi agar kegiatan ekowisata yang ada di kawasan mangrove Segara Anakan dapat berjalan lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Agus A H dan Taryono. 2007. Ekonomi Pembangunan Peikanan. Universitas Terbuka. Jakarta. Aksornkoae, S. 1993. Ecology and Management Mangrove. IUCN. Bangkok.
Thailand
Annisa. 2004. Identifikasi kerusakan Mangrove dengan Citra Satelit Landsat-ETM dan Sistem Informasi Geografis di Pesisir Selatan Provinsi Gorontalo. Skripsi. Jurusan Ilmu dan Teknologi Kelautan. FPIK. IPB Bengen D G.2002. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan-Institut Pertanian Bogor. Bogor Cooper, C., J. Fletcher, D. Gilbert & S. Wanhill. 1993. Tourism Principles and Practices. Pitman Publishing, London Dahuri R, J Rais., S.P. Ginting, dan M.J. Sitepu. 2004. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Edisi Revisi. Pradnya Paramita, Jakarta. 328 hal. Damanik, J dan H.F. Weber. 2006. Perencanaan Ekowisata. Pusat Studi Pariwisata Universitas Gajah Mada dan Penerbit Andi. Yogyakarta. Fandeli, C dan Muchlison. 2000. Pengusaha Ekowisata. Fakultas Kehutanan. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. Fandeli, C. 2001. Dasar-Dasar Manajemen Kepariwisataan Alam. Liberty.
Yogyakarta
Gunawan, M.P. 1995. Laporan Penelitian Pengukuran Daya Dukung dan Pengelolaan Obyek Wisata Alam Tangkuban Perahu dan Ciater. Pusat Penelitian Kepariwisataan IPB. Bogor. Harahap, A S. 2004. Pola Pengembangan Pengelolaan Ekowisata Mangrove di Wanawista Payau Tritih, Cilacap, Provinsi Jawa Tengah. Skripsi. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan. IPB Haditenojo dan Abas. 1984. Pengalaman Pengelolaan Hutan Mangrove di Cilacap. Prosiding Seminar II Ekosistem Mangrove. Baturraden 3-5 Agustus 1982. MAB-LIPI. Jakarta.
86
Hardjosuwarno, S; T. Notohadiprawiro and M. Soerjowinoto. 1982. Development of the Segara Anakan area of Central Java. In Bir, Soegiarto and K. Soegiarto (Eds). Proceedings of the Workshop on Coastal Recources Management on the Cilacap Region. Indonesia. Inst. Science and Universitas Jakarta. Lamakarate, A. 2004. Ekowisata Mangrove di Desa Kayu Tanyo Banggai. http:// www.radarsulteng.com/berita /index. asp?Berita= Opini & id= 34154 [ 23 Juli 2010] Mathieson, A., & Wall, G. 1982. Tourism: Economic, Physical and Social Impacts. Longman, London. Napitupulu, M and K.L.V. Ramu. 1982. Development of the Segara Anakan area of Central Java. In Bir, Soegiarto and K. Soegiarto (Eds). Proceedings of the Workshop on Coastal Recources Management on the Cilacap Region. Indonesia. Inst. Science and Universitas Jakarta. Nybakken J W. 1992. Biologi Laut : Suatu Pendekatan Ekologis. Diterjemahkan olehh Dr.H.M. Eidman MSc, Koesoebiono MSc, Ir. D. G. Bengen, Dr. M. Hutomo, S. Sukardjo BSc. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Paw J N and Chua T E. 1991. Managing coastal resources in Cilacap, Indonesia, and Lingayen Gulf, Philippines—an ASEAN initiative. Makati, Phillipina Santoso, N. 2006. Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berkelanjutan di Indonesia. Makalah disampaikan dalam “Training Workshop on Developing The Capacity of Enviromental NGOs in Indonesia to Effectively Implement Wetland Project According to The Ramsar Guidelines and Objectives of The Convetion on Biodiversity”. Biotrop. Bogor Silvius,
M.J, dan Eva T. Berczy. 1990. Cilacap and Segara Anakan. http://www.arcbc.org/arcbcweb/wetlands/indonesia/idn_cilsegana.htm [2 Juli 2010]
Sjaifuddin. 2004. Optimasi Daya Dukung Obyek Wisata di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. PSL : IPB Spillane, J.J. 1994. Pariwisata Indonesia, Siasat Ekonomi dan Rekayasa Kebudayaan. Kanisius. Yogyakarta. Sukaryanto, A. 2004. Sejuta persoalan di Segara Anakan (1) “Perairan Unik itu Sedang Menangis”. http://www.suaramerdeka.com/harian/0408/03/nas08.htm[2 Juli 2010]
87
Suryadiputra I.N.N, Yus R. Noor, dan M. Khazali. 1999. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. PKA/WI-IP. Bogor Yulianda, F. 2007. Ekowisata Bahari Sebagai Alternatif Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir Berbasis Konservasi. Institut Pertanian Bogor. Jawa Barat Yulianto, S. 2006. Analisis Kesesuaian Kawasan Ekowisata di Segara Anakan, Kabupaten Cilacap. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Jawa Barat Yuniar A. 2000. Identifikasi Tipe-Tipe Mangrove dan Pemantauan Perubahan Luasan Mangrove Menggunakan Data Landsat-TM di Kawasan Mangrove Prapat Benoa, Bali. Skripsi. Jurusan Ilmu dan Teknologi Kelautan. FPIK.IPB Yuwono et al. 2006. Ecological Status of Segara Anakan, Indonesia: A Mangrove-fringed Lagoon Affected by Human Activities. Universitas Diponegoro. Semarang
LAMPIRAN
89
Lampiran 1. Panduan wawancara dengan pihak pengelola Segara Anakan 1. Sejarah kawasan Mangrove Segara Anakan 2. Potensi yang dimiliki kawasan Mangrove Segara Anakan 3. Pemanfaatan yang telah dilakukan pengelola terhadap kawasan Mangrove Segara Anakan 4. Pengembangan-pengembangan yang telah dilakukan pengelola terhadap pengelola terhadap kawasan Mangrove Segara Anakan 5. Fasilitas-fasilitas yang terdapat di kawasan Mangrove Segara Anakan yang menunjang kegiatan wisata di kawasan Mangrove Segara Anakan 6. Pengelolaan objek wisata kawasan Mangrove Segara Anakan yang sudah berjalan hingga saat ini , konsep wisata yang diinginkan seperti apa dan bagaimana dengan pembatasan daya dukung kawasan. 7. Kebijakan-kebijakan yang berlaku dalam pengelolaan kawasan Mangrove Segara Anakan. 8. Aliran kebijakan/wewenang/peraturan dan struktur organisasi pengelolaan kawasan Mangrove Segara Anakan mulai dari pusat hingga sampai ke lapangan 9. Kerjasama yang dilakukan antara pihak pengelola dengan masyarakat sekitar dan Pemerintah Daerah 10. Kegiatan apa yang dilakukan untuk memperbaiki keindahan mangrove dan kelestariannya untuk meningkatkan minat wisatawan 11. Permasalahan yang terjadi dalam pengelolaan kawasan Mangrove Segara Anakan dan berpotensi tidak kegiatan ekowisata diterapkan. 12. Solusi yang ditempuh dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang terjadi 13. Jumlah wisatawan setahun terakhir ini dan kecenderungan kenaikan jumlah kunjungan wisata 14. Jumlah karyawan/pegawai, tingkat pendidikan dan pendapatan 15. Ke arah mana pengelolaan strategi dari kawasan Mangrove Segara Anakan
90
16. Pendapatan yang diperoleh dan pendapatan tersebut dialokasikan kemana 17. Waktu tertentu dimana wisatawan banyak berkunjung atau sebaliknya 18. Pendapatan yang diperoleh 19. Kegiatan-kegiatan promosi yang telah dilakukan Lampiran 2. Panduan wawancara dengan kelurahan 1. Sumberdaya yang dapat dikembangkan untuk masyarakat apakah mungkin kegiatan ekowisata dapat dikembangkan 2. Rencana pengembangan kawasan Mangrove Segara Anakan yang sedang dilakukan dan akan dilakukan 3. Kondisi ekonomi dan budaya masyarakat setempat 4. Permasalahan yang ada dalam masyarakat dan tingkat pengangguran 5. Tindakan/usaha yang dilakukan untuk mengatasi permasalahan yang terjadi 6. Potensi masyarakat yang unik yang dapat dikembangkan 7. Pendapat mengenai kelestarian lingkungan sekitar dikaitkan dengan adanya pengelolaan kawasan Mangrove Segara Anakan sebagai Kawasan Wisata mangrove 8. Pendapat mengenai dampak positif dan negatif dari adanya kawasan Mangrove Segara Anakan 9. Adakah konflik antar masyarakat atau masyarakat dengan wisatawan dalam kegiatan wisata. 10. Harapan/keinginan bagi pengelola kawasan wisata mangrove yang berkelanjutan 11. Masyarakat di segara anakan terbagi menjadi berapa/pekerjaan pokoknya
91
Lampiran 3. Kuisioner untuk wisatawan A. Data pribadi wisatawan 1. Nama : 2. Umur : 3. Jenis Kelamin : L/P 4 Asal/Tempat tinggal : 5. Pendidikan terakhir : SD/SMP/SMA/S1/S2/S3 6. Pekerjaan : 7. Pendapatan per bulan : a. Kurang dari Rp. 500.000,b. Rp. 500.000,- sampai Rp. 1.000.000,c. Rp. 1.000.000,- sampai Rp. 2.000.000,d. Lebih dari Rp. 2.000.000,8. Biaya yang dikeluarkan untuk berwisata ke kawasan Mangrove Segara Anakan a. Kurang dari Rp. 100.000,b. Rp. 100.000,- sampai Rp. 300.000,b. Rp. 300.000,- sampai Rp. 500.000,c. Rp. 500.000,- sampai Rp. 1.000.000,d. Lebih dari Rp. 1.000.000,B. Motivasi wisatawan 1. sudah berapa lama saudara/i mengetahui lokasi Wisata Mangrove Segara Anakan? a. Kurang dari 1 tahun b. 1 sampai 5 tahun c. 6 samapi 10 tahun d. 11 sampai 15 tahun e. Lainnya……… 2. Dari manakah saudara/i mendapat informasi mengenai Wisata Mangrove Segara Anakan? a. Teman b. Radio/Televisi c. Leaflet/brosur d. Biro peejalanan e. Lainnya………. 3. Apakah sebelumnya saudara/i pernah berkunjung ke Wisata Mangrove Segara Anakan? a. Belum pernah b. Pernah, berapa kali?.......... 4. Apa yang mendorong saudara/i berkunjung ke Wisata Mangrove Segara Anakan? a. Belum pernah berkunjung ke tempat ini b. Diajak teman/keluarga c. Mudah dijangkau d. Pemandangan indah e. Mendengar cerita pengalaman orang
92
f. Lainnya…….. 5. Apa tujuan saudara/i mengunjungi Wisata Mangrove Segara Anakan? a. Menikmati keindahan alam b. Mengisi waktu luang/rekreasi c. Berobat d. Menikmati aktifitas wisata yang ditawarkan e. Lainnya……… 6. Mengapa saudara/i memilih Wisata Mangrove Segara Anakan sebagai tempat wisata? a. Aksebilitasnya yang mudah b. Biayanya yang murah c. Fasilitas yang lengkap d. Lainnya……….. C. Persepsi wisatawan 1. Apakah saudara/i merasa puas melakukan kegiatan di kawasan Wisata Mangrove Segara Anakan? a. Ya, karena…….. b. Tidak, karena………… 2. Menurut saudara/i, apakah yang menjadi hambatan untuk datang ke kawasan Wisata Mangrove Segara Anakan? a. Kondisi jalan yang kurang memadai b. Kendaraan c. Tidak ada waktu luang d. Lainnya…….. 3. Menurut saudara/i fasilitas apa yang perlu dibenahi? a. Pusat informasi e. Tempat memancing b. Tempat sampah f. Tempat peistirahatan c. WC Umum g. Lainnya………… d. Tempat ibadah 4. Menurut saudara/i fasilitas apa yang perlu ditambah dalam kawasan ini? 5. Bagaimana pendapat saudara/i terhadap kelestarian lingkungan Wisata Mangrove Segara Anakan? a. Baik, karena…………. b. Tidak baik, karena…………. 6. Pernahkah saudara/i mendengar istilah tentang ekowisata : Ya/Tidak Jika Ya : Apa yang dimaksud ekowisata? 7. Menurut saudara/i bila pengembangan ekowisata dilakukan di kawasan ini, manfaat apa yang diperoleh? a. Potensi sumberdaya yang ada dapat dikembangkan b. Banyak wisatawan yang berkunjung c. Adanya lapangan kerja baru d. Meningkatkan pendapat masyarakat e. Sarana dan prasarana dapat ditingkatkan
93
8. Apakah saudara/i mengetahui hubungan lingkungan dengan konservasi? a. Tidak tahu b. Sedikit c. Tahu, yaitu……………. 9. Bagaimana sambutan masyarakat sekitar kawasan Wisata Mangrove Segara Anakan? a. Baik b. Cukup c. Tidak baik 10. Persepsi wisatawan terhadap kondisi, jumlah, fasilitas dan lingkungan yang ada di kawasan wisata Segara Anakan? No Aspek penilaian/parameter Kriteria/persepsi Baik Cukup Kurang Tidak tahu 1. Aksesibilitas 2. Pelayanan wisata di kawasan Segara Anakan 3. Keamanan di areal wisata 4. Kenyamanan dalam kawasan 5. Kebersihan lingkungan 6. Keindahan alam kawasan 7. Keaslian Lingkungan 8. Peraturan yang ada dalam kawasan 9. Sistem tataruang dan tata letak fasilitas 10 Sarana dan Prasarana wisata: Tempat sampah WC Umum Air bersih Tempat berendam Tempat beribadat Taman bermain anak-anak Kois makanan dan minuman Papan informasi Tempat penginapan 11. Apakah pelayanan dan harga di kawasan Segara Anakan ini sudah wajar? a. Wajar, karena…………. b. Tidak wajar, karena…………. D. Aktifitas wisatawan 1. Saudara/i datang ke tempat ini a. Sendiri b. Berdua
c. Keluarga d. Rombongan, berapa jumlah anggota rombongan :………… 2. Jenis kendaraan apa yang saudara/i gunakan untuk mencapai lokasi ini? a. Sewa/ Carter
94
b. Biro perjalanan c. Kendaraan pribadi : motor/mobil d. Dinas 3. Kapankah waktu berkunjung saudara/i ke Wisata Mangrove Segara Anakan? Dari pukul………..s/d…………
4. Kegiatan yang saudara/i lakukan di kawasan Wisata Mangrove Segara Anakan? a. Bersantai b. Fotografi c. Menikmati keindahan alam d. Lainnya……………… 5. Dimanakah saudara/i membuang sampah? a. Tempat sampah b. Di pinggir situ c. Di situ d. dibuang begitu saja 6. Apakah saudara/i berkeinginan untuk kembali berkunjung atau melakukan rekreasi di Wisata Mangrove Segara Anakan kembali kedepannya? a. Tidak, karena……………. b. Ya, karena………………. 7. Selama kunjungan saudara/i di kawasan ini, apakah ada aktivitas wisata yang menurut anda berpotensi untuk dikembangkan? a. Ya, yaitu……………….. b. Tidak ada 8. Sebaiknya aktivitas wisata apa yang perlu penambahan atau perbaikan? a. Memancing b. Berperahu c. Jalan santai d. Lainnya…………….. 9. Apakah saudara/i merasa nyaman apabila kawasan Wisata Mangrove Segara Anakan dipadati oleh pengunjung lain pada saat berwisata di Wisata Mangrove Segara Anakan? a. Nyaman b. Biasa saja c. Kurang nyaman d. Tidak nyaman 10. Apakah saudara/i merasa nyaman dengan fasilitas wisata yang ada di Wisata Mangrove Segara Anakan? a. Ya, yaitu……………. b. Tidak, yaitu………….. 11. Apakah penataan kawasan wisata di sekitar Wisata Mangrove Segara Anakan? sudah tertata dengan baik? a. Ya, karena…………….
95
b. Tidak, karena…………… 12. Apakah saudara/i setuju adanya pembatasan pengunjung dalam kurun waktu tertentu di kawasan Wisata Mangrove Segara Anakan? a. Setuju, karena………….. b. Tidak setuju, karena…………… 13. Menurut saudara/i apakah ada kegiatan yang merusak lingkungan kawasan ini? a. Ada, yaitu………… b. Tidak ada 14. Apakah saudara/i setuju apabila terdapat kegiatan yang merusak lingkungan sebaiknya dikurangi? a. Ya b. Tidak Lampiran 4. Kuisioner untuk masyarakat sekitar kawasan A. Data pribadi masyarakat sekitar kawasan Mangrove Segara Anakan 1. Nama : 2. Umur : 3. Jenis Kelamin : L/P 4 Asal/Tempat tinggal : 5. Pendidikan terakhir : SD/SMP/SMA/S1/S2/S3 6. Pekerjaan : 7. Pendapatan per bulan : e. Kurang dari Rp. 500.000,f. Rp. 500.000,- sampai Rp. 1.000.000,g. Rp. 1.000.000,- sampai Rp. 2.000.000,h. Lebih dari Rp. 2.000.000,8. Jumlah tanggungan : B. Manfaat dan pengaruh wisata 1. Manfaat yang diperoleh : a. Kondisi jalan menjadi baik b. Membuka lapangan kerja/ada kesempatan kerja] c. Bisa berinteraksi dengan wisatawan d. Tidak ada manfaat yang dirasakan e. Lainnya……….. 2. Pengaruh/dampak negatif yang ditimbulkan dari adanya kegiatan wisata: a. Terpengaruhnya kehidupan masyarakat oleh prilaku wisatawan b. Kotornya kawasan c. Tercemarnya perairan d. Tingkat keamanan masyarakat terganggu e. Tidak ada kekhawatiran apa-apa e. Lainnya……….. 3. Bentuk kerjasama/bantuan yang diberikan pengelola kepada masyarakat:
96
a. Terbukanya lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar b. Tidak ada bantuan apa-apa c. Bantuan modal untuk usaha di sekitar kawasan wisata d. Lainnya……….. 4. Pengaruh yang sudah ada pada masyarakat akibat perilaku wisatawan: a. Perilaku berpakaian (ada/cenderung/tidak) b. Perilaku berbicara (ada/cenderung/tidak) c. Tingkah laku (ada/cenderung/tidak) d. Lainnya…………..
C. Aktivitas masyarakat dengan kawasan Wisata Mangrove Segara Anakan? 1. Berapa kali saudara masuk ke kawasan Wisata Mangrove Segara Anakan? a. Satu kali c.Lebih dari dua kali b. Dua kali d. Lainnya……………… 2. Aktivitas yang dilakukan dalam kawasan Wisata Mangrove Segara Anakan? a. Bekerja b. Berdagang c. Lainnya………. 3. Pernahkah saudara/i melakukan kegiatan untuk menjaga kelestarian lingkungan Wisata Mangrove Segara Anakan? a. Belum pernah b. Pernah, yaitu……….. 4. Apakah saudara/i merasa senang dengan adanya kawasan Wisata Mangrove Segara Anakan? a. Tidak, karena………. b. Ya, karena…………. 5. Apakah menurut saudara/i pengelolaan kawasan Wisata Mangrove Segara Anakan ini sudah menjaga kelestarian alam? a. Ya, karena………… b. Belum, karena…………. 6. Apakah menurut saudara/i ada aktivitas wisata yang mengganggu kenyamanan masyarakat sekitar? a. Ya, yaitu…………. b. Tidak ada 7. Menurut saudara/i apakah pembangunan fasilitas di kawasan Wisata Mangrove Segara Anakan dapat merusak keaslian alam Wisata Mangrove Segara Anakan? a. Ya, karena…………. b. Tidak karena………… 8. Apakah saudara/i setuju dibangunnya villa atau penginapan di sekitar kawasan Wisata Mangrove Segara Anakan? a. Setuju, karena………….. b. Tidak setuju, karena…………. 9. Pernahkah saudara/i mendengar istilah tentang ekowisata : Ya/Tidak
97
Jika Ya : Apa yang dimaksud dengan ekowisata? 10. Menurut saudara/i bila pengembangan ekowisata dilakukan di kawasan ini, manfaat apa yang diperoleh? a. Potensi sumberdaya yang ada dapat dikembangkan b. Banyak wisatawan yang berkunjung c. Adanya lapangan kerja baru d. Meningkatkan pendapatan masyarakat e. Sarana dan prasarana dapat ditingkatkan 11. Apakah saudara/i mengetahui hubungan lingkungan dengan konservasi? a. Tidak tahu b. Sedikit c. Tahu, yaitu……………
98
Lampiran 5. Tabel Analisis MCA untuk Desa Ujung Alang
ATRIBUT
BOBOT
JENIS KEGIATAN SKOR
BOBOT x SKOR
A
B C D E
A
B
C
D
E
SOSIAL EKONOMI 1. Acceptance
5
1
5 5 5 5
5
25
25
25
25
2. Aksesibilitas
5
3
5 5 5 5
15 25
25
25
25
3. Peningkatan pendapatan
4
1
3 3 3 3
4
12
12
12
12
4. Akomodasi/infrastruktur
3
3
3 3 3 3
9
9
9
9
9
5. Distribusi pengetahuan
2
3
3 3 5 5
6
6
6
10
10
1. Kerapatan mangrove
5
3
3 3 3 3
15 15
15
15
15
2. Ketebalan mangrove
4
3
3 3 3 3
12 12
12
12
12
3. Jenis mangrove
4
2
2 2 2 2
8
8
8
8
8
4. Pasang surut
4
2
2 2 2 2
8
8
8
8
8
5. Obyek biota
3
3
3 3 3 3
9
9
9
9
9
129
133
133
MANGROVE
Bobot x Skor
91 129
Tabel 15. Hasil analisis Multi Criteria Anlaysis untuk masing-masing jenis wisata di desa Ujung Alang
Keterangan : A B C D E
: Kegiatan Tracking : Kegiatan Berperahu : Kegiatan Memancing : Kegiatan Birdwatching : Kegiatan Photosafari
Lampiran 6. Tabel Analisis MCA untuk Desa Ujung Gagak
99
ATRIBUT
BOBOT
JENIS KEGIATAN SKOR
BOBOT x SKOR
A
B C D E
A
B
C
D
E
SOSIAL EKONOMI 1. Acceptance
5
3
5 5 3 3
15
25
25
15
15
2. Aksesibilitas
5
3
5 5 5 3
15
25
25
25
15
3. Peningkatan pendapatan
4
1
3 3 3 3
4
12
12
12
12
4. Akomodasi/infrastruktur
3
3
3 3 3 3
9
9
9
9
9
5. Distribusi pengetahuan
2
3
3 3 5 5
6
6
6
10
10
1. Kerapatan mangrove
5
3
3 3 3 3
15
15
15
15
15
2. Ketebalan mangrove
4
3
3 3 3 3
12
12
12
12
12
3. Jenis mangrove
4
2
2 2 2 2
8
8
8
8
8
4. Pasang surut
4
2
2 2 2 2
8
8
8
8
8
5. Obyek biota
3
3
3 3 2 2
9
9
9
6
6
101
129
129
120
110
MANGROVE
Bobot x Skor
Tabel 16. Hasil analisis Multi Criteria Anlaysis untuk masing-masing jenis wisata di desa Ujung Gagak
Keterangan : A B C D E
: Kegiatan Tracking : Kegiatan Berperahu : Kegiatan Memancing : Kegiatan Birdwatching : Kegiatan Photosafari
Lampiran 7. Tabel Analisis MCA untuk Desa Klaces
100
ATRIBUT
BOBOT
JENIS KEGIATAN SKOR
BOBOT x SKOR
A
B C D E
A
B
C
D
E
SOSIAL EKONOMI 1. Acceptance
5
5
5 5 3 3
25
25
25
15
15
2. Aksesibilitas
5
5
5 5 5 3
25
25
25
25
15
3. Peningkatan pendapatan
4
5
3 3 3 3
20
12
12
12
12
4. Akomodasi/infrastruktur
3
3
3 3 3 3
9
9
9
9
9
5. Distribusi pengetahuan
2
3
3 3 5 5
6
6
6
10
10
1. Kerapatan mangrove
5
3
3 3 3 3
15
15
15
15
15
2. Ketebalan mangrove
4
3
3 3 3 3
12
12
12
12
12
3. Jenis mangrove
4
2
2 2 2 2
8
8
8
8
8
4. Pasang surut
4
2
2 2 2 2
8
8
8
8
8
5. Obyek biota
3
3
3 3 2 2
9
9
9
6
6
137
129
129
120
110
MANGROVE
Bobot x Skor
Tabel 17. Hasil analisis Multi Criteria Anlaysis untuk masing-masing jenis wisata di desa Klaces
Keterangan : A B C D E
: Kegiatan Tracking : Kegiatan Berperahu : Kegiatan Memancing : Kegiatan Birdwatching : Kegiatan Photosafari