ANALISIS KASUS OKNUM DEWAN MALAK DI TPR
Disusun oleh SRI SISKA WIRDANIYATI
JURUSAN STATISTIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA 2013
1
A.
Abstrak Oknum anggota DPRD dengan mobil Toyota Kijang warna hijau palt merah bernopol
AB 1798 D mendatangi salah satu Tempat Pemungutan Retribusi (TPR) wisata Pantai Pulegundes Tepus pada 1 Januari 2013. Kedatangan oknum tersebut sangat disambut baik oleh petugas TPR. Namun sebaliknya, oknum tersebut memeras petugas TPR dengan meminta uang senilai Rp 300 ribu dengan alasan anggota dewan berhak menerima jatah hasil retribusi. Tentu saja petugas menolak untuk mengeluarkan hasil TPR, namun karena takut oknum dewan itu naik pitam, petugas TPR berinisiatif memberikan uang Rp 100 ribu dari kantongnya sendiri. Bukan hanya memeras, oknum tersebut pun menggunakan fasilitas di tempat wisata secara cuma-cuma. Peristiwa tidak terpuji itu di ketahui oleh anggota kepolisian Polres Gunung kidul yang saat itu ada di lokasi. Polisi tersebut telah mencatat nama orang dan kendaraan yang telah mencoreng nama Institusi DPRD Gunungkidul. Di lain pihak, petugas TPR yang merupakan korban dari pemerasan itu seolah menutup-nutupi atas peristiwa tersebut. Sementara Ketua Komisi A Slamet tidak banyak berkomentar mengenai masalah pemalakan itu, namun dia mengetahui pemakai kendaraan dinas milik komisi A tersebut. Sedangkan Suharno, Wakil Ketua Badan Kehormatan DPRD Gunungkidul, beraksi keras terhadap kejadian tersebut. Suharno akan segera mengumpulkan informasu aksi oknum pemerasan dan segera menindaklanjuti. B.
Analisi Kasus: Dalam kasus kali ini, penganalisis mengambil kaitan dengan bab 9 tentang pelaksanaan
pengamalan pancasila. Dalam hal ini, oknum tersebut tidak sesuai dengan pelaksanaan pengamalan pancasila terutama pada point-point sebagai berikut: 1.
Pengamalan Pancasila Secara Subjektif dan Menumbuhkan Kesadaran Pancasila Dewan DPRD adalah wakil rakyat yang merupakan tempat untuk menyalurkan aspirasi rakyat dan sebagai contoh untuk masyarakat. Pengamalan pancasila sebagai pedoman dalam menjalankan tugas-tugas pemerintah. Pengamalan pancasila secara subjektif adalah pelaksanaan dalam pribadi, perorangan, setiap warga, setiap individu, setiap penduduk, setiap penguasa dan setiap orang Indonesia. Pengalaman pancasila sebagai subjektif ini sangat berkaitan dengan kesadaran, ketaatan dan kesiapan individu untuk mengamalkan pancasila sehingga melaksanakan pancasila bukanlah hanya akan menimbulkan akibat hukum, tetapi dapat pula menimbulkan moral. Untuk itu sebagai wakil rakyat memiliki kesadaran dan ketaatan tinggi, kesiapan individu dalam 2
menjalankan sila dari pancasila. Namun untuk kasus ini, wakil rakyat tersebut telah merendahkan rasa kesadaran dengan bukti nyata yang dilakukan oleh oknum dewan yang melakukan pemerasan kepada TPR. Selain itu, wakil rakyat tidak siap sebagai individu untuk mengamalkan pancasila sehingga menyebabkan melakukan hal yang tidak terpuji tersebut (pemerasan). 2.
Menanamkan Ketaatan Dalam rangka pengamalan pancasila sangat diperlukan suatu kondisi mutlak untuk terlaksananya pengamalan tersebut yaitu pendorong lahir dan batin dan ketaatan yang meliputi ketaatan moral, ketaatan hukum serta ketaatan mutlak. Selain dari merendahkan rasa kesadaran, oknum tersebut pun tidak menanamkan dan merendahkan ketaatan seperti ketaatan moral, ketaatan hukum dan ketaatan mutlak. Merendahkan ketaatan moral dapat dilihat dari proses oknum dewan DPRD yang melakukan pemalakan (pemerasan). Untuk ketataan hukum, oknum dewan DPRD tidak menerapkan dalam pasal 27 ayat (1) : “Segala warga Negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjungkan hukum dan pemerintahan itu dengan tidaj ada kecualinya”. Berdasarkan hal tersebut, sudah sangat jelas bahwa Institusi DPRD Gunungkidul tersebut telah merendahkan ketaatan hukum. Selain dari itu, oknum itu juga tidak menerapkan ketaatan mutlak yaitu adanya kekuasaan sebagai bawaan hakikat organisasi hidup bersama dalam bentuk masyarakat dan negara, yang mewajibkan adanya penguasa dan ketaatan mutlak yang khusus sebagai bawaan dari pernyataan kemerdekaan (pembukaan UUD 1945) bahwa “Kemerdekaan adalah sesungguhnya hak segala bangsa”.
3.
Kepribadian Indonesia Berdasarkan pada pembahasan bab 9 tentang pelaksanaan pengamalan pancasila, kepribadian Indonesia
meliputi kepribadian
yang
berupa
sifat-sifat
hakikat
kemanusiaan “monupluralis”, kepribadian yang mengandung sifat kemanusiaan dan kepribadian kemanusiaan. Namun dalam kasus pemerasan yang di lakukan oleh oknum dewan DPRD tersebut telah mencoreng diri sebagai kepribadian bangsa terutama pada sila ke-2, sila ke-4, dan sila ke-5. Pada sila ke-2, oknum tersebut tidak mencerminkan sebagai manusia yang memandang persamaan derajat, hak dan kewajiban antara sesama manusia dan tidak merasa sebagai bagian dari seluruh umat manusia yang berkewajiban mengemangkan sikap hormat-menghormati dan bekerjasama. Pada sila ke-4, oknum tersebut tidak mencerminkan sebagai warga negara dan warga masyarakat Indonesia yang mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama. Pada sila ke-5, para 3
oknum tersebut tidak mencerminkan sikap menyadari hak dan kewajiban yang sama untuk menciptakan keadilan sosial dalam kehidupan masyarakat Indonesia, tidak menanamkan sikap suka memberi pertolongan kepada orang lain, dan oknum tersebut menggunakan hak milik untuk pemerasan, pemborosan, bergaya hidup mewah dan perbuatan lain yang bertentangan dan merugikan kepentingan umum. Selain berkaitan dengan bab 9 tentang pengamalan pancasila, kasus ini juga berkaitan dengan bab 7 tentang negara pancasila. Dalam hal ini, oknum tersebut tersebut tidak mengangkat nilai-nilai yang dirumuskan dalam sebuah dasar negara bangsa Indonesia sebagai berikut : 1.
Negara Pancasila adalah Negara Kebangsaan Yang Berkerakyatan Negara Kebangsaan yang berkedaulatan rakyat berarti bahwa kekuasaan tertinggi adalah di tangan rakyat dan dalam sistem kenegaraan dilakukan oleh suatu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Oleh karena itu negara kebangsaan yang berkedaulatan rakyat adalah suatu negara demokrasi. Demokrasi ini didasarkan asas kekeluargaan kebebasan individu diletakkan dalam rangka tujuan atas kesejahteraan bersama. Dalam kasus kali ini, oknum pemerasan merupakan rakyat dan sistem kenegaraan, sedangkan korban pemerasan (petugas TPR) juga merupakan rakyat. Oknum dan petugas TPR memiliki hak-hak demokrasi yang sama dalam negara kebangsaaan yang berkerakyatan. Namun oknum tersebut tidak menggunakan hak-hak demokrasi tersebut dengan baik namun melakukan penyimpangan. Adapun hak-hak demokrasi yang sama dalam negara kebangsaan yang berkerakyatan sebagai berikut :
Hak yang disertai tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa
Menjunjung dan memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa
Tujuan untuk mewujudkan suatu keadilan yaitu kesejahteraan dalam hidup bersama
2.
Negara Pancasila adalah Negara Kebangsaan Yang Berkeadilan Sosial Oknum dewan DPRD dalam kasus ini tidak menerapkan sebagai sifat kodrat individu dan dijiwai oleh hakikat keadilan manusia sebagai makhluk yang beradab (sila II). Manusia pada hakikatnya adalah adil dan beradab, yang berarti manusia harus adil terhadap diri sendiri, adil terhadap Tuhannya, adil terhadap orang lain dan masyarakat serta adil terhadap lingkungan alamnya. Oknum dewan DPRD dan petugas TPR berada dalam lingkungan yang sama, namun anggota DPRD tersebut tidak mewujudkan suatu keadilan sosial. Padahal dalam
4
hidup bersama baik dalam masyarakat, bangsa dan negara harus terwujud suatu keadilan (keadilan sosial) yang meliputi tiga hal sebagai berikut : Keadilan distributif (keadilan membagi), yaitu negara terhadap warga. Keadilan legal (keadilan bertaat), yaitu warga terhadap negaranya untuk mentaati peraturan perundang-undangan. Keadilan komutatif (keadilan sesama warga negara), yaitu hubungan keadilan antara warga satu dengan lainnya secar timbal balik. Analisis kasus ini juga berkaitan dengan bab 6 tentang isi dan arti dari pancasila bilamana perilaku oknum pemerasan tidak sesuai dengan inti isi sila-sila pancasila. Inti isi sila-sila yang terkait dalam kasus pemerasan sebagai berikut : 1.
Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab Dalam sila kemanusiaan terkandung nilai-nilai bahwa negara harus menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sebagai makhluk yang beradab. Kemanusiaan yang adil dan beradab adalah mengandung nilai suatu kesadaran sikap moral dan tingkah laku manusia yang didasarkan pada potensi budi nurani manusia dalam hubungan dengan norma-norma dan kebudayaan pada umumnya baik terhadap lingkunganannya. Nilai kemanusiaan yang beradab adalah perwujudan nilai kemanusiaan sebagai makhluk yang berbudaya, bermoral dan beragama. Pada kasus pemerasan yang di lakukan oleh oknum dewan DPRD tersebut sangat tidak tercermin sebagai manusia berpancasialis dengan nilai kemanusiaan. Untuk korban (petugas TPR) pun sepenuhnya tidak menerapkan nilai kemanusiaan dalam hal keadilan dengan diri sendiri. Pada kasus pemerasan itu, petugas TPR seolah menyembunyikan fakta dan berdalih tentang peristiwa tersebut. Padahal nilai kemanusiaan yang adil mengandung suatu makna bahwa hakikat manusia sebagai mahkluk yang berbudaya dan beradab harus berkodrat adil. Hal ini mengandung suatu pengertian bahwa hakikat manusia harus adil dalam hubungan dengan diri sendiri, adil terhadap manusia lain, adil terhadap masyarakat bangsa dan negara, adil terhadap lingkungannya serta adil terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
2.
Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan Petugas TPR dan oknum dewan DPRD mempunyai hak untuk berdemokrasi yang secara mutlak harus dilaksanakan dalam hidup negara. Pada sila kerakyatan terkandung nilai-nilai demokrasi sebagai berikut :
5
Adanya kebebasan yang harus disertai dengan tanggung jawab baik terhadap masyarakat, bangsa maupun secara moral terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Menjamin dan memperkokoh persatuan dan kesatuan dalam hidup bersama. Mengakui atas perbedaan individu, kelompok, ras, suku, agama karena perbedaan adalah merupakaan bawaan kodrat manusia. Mengakui adanya persamaan hak yang melekat pada setiap individu, kelompo, ras, suku maupun agama Mengarahkan perbedaan dalam suatu kerja sama kemanusiaan yang beradab. Menjunjung tinggi asas musyawarah sebagai moral kemanusiaan yang beradab. Mewujudkan dan mendasarkan suatu keadilan dalam kehidupan sosial agar tercapainya tujuan bersama. Bila dilihat pada point-point di atas, petugas TPR dan anggota DPRD mempunyai hak demokrasi yang sama. Namun anggota DPRD malah membuat hak-hak tersebut sebagai sebuah penyimpangan dengan tidak menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, tidak mengakui persamaan hak yang melekat pada setiap individu, kelompok, ras, suku maupun agama, tidak mengarahkan perbedaan dalam suatu kerja sama kemanusiaan yang beradab, tidak menjunjung tinggi asas musyawarah sebagai moral kemanusiaan yang beradab, dan tidak mewujudkan dan mendasarkan suatu keadilan dalam kehidupan sosial agar tercapainya tujuan bersama. Sedangkan petugas TPR tidak menggunakan hak demokrasi menggunakan kebebasan yang harus disertai dengan tanggung jawab baik terhadap masyarakat, bangsa maupun secara moral terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Padahal hak ini dapat digunakan untuk memberikan keterangan yan telah terjadi dan tidak menyembunyikan fakta dari perbuatan tercela tersebut. 3.
Sila Keadilaln Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia Sila kelima terkandung nilai keadilan yang harus terwujud dalam kehidupan bersama (kehidupan sosial). Untuk kasus pemerasan ini, oknum tidak menerapkan kehidupan bersama (kehidupan sosial). Padahal keadilan didasari dan dijiwai oleh hakikat keadilan kemanusiaan yaitu keadilan dalam hubungan manusia dengan dirinya sendiri, manusia dengan manusia lain, manusia dengan masyarakat, bangsa dan negarnya serta hubungan manusia dengan Tuhannya.
6