ANALISIS FLUKTUASI NILAI TUKAR RUPIAH DAN INFLASI INDONESIA PERIODE 1999 - 2006
MUHAMMAD ILHAM RIYADH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
ABSTRAK MUHAMMAD ILHAM RIYADH. Analisis Fluktuasi Nilai Tukar Rupiah dan Inflasi Indonesia Periode 1999 – 2006 (RINA OKTAVIANI, sebagai ketua, HERMANTO SIREGAR, sebagai anggota Komisi Pembimbing). Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 telah menyebabkan rupiah terdepresiasi secara tajam terhadap dollar Amerika. Nilai rupiah yang sebelum krisis berada pada kisaran Rp. 2500/US dollar menurun drastis hingga pernah mencapai Rp. 15000/US dollar dan saat ini bekisar 9300/US dollar. Keadaan ini menyebabkan otoritas moneter lebih mengefektifkan kebijakan moneter dalam menstabilkan nilai tukar rupiah dan meredam tingkat pertumbuhan inflasi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis respon variabel Industrial Production Index (IPI), uang beredar dan perbedaan suku bunga apabila terjadi shock terhadap variabel nilai tukar dan inflasi. Menganalisis apakah IPI, tingkat inflasi, uang beredar dan perbedaan sukubunga dapat menjelaskan fluktuasi nilai tukar rupiah dan inflasi dan merumuskan implikasi kebijakan moneter dalam menstabilkan nilai tukar rupiah dan inflasi. Berdasarkan hasil analisis impuls respon dapat disimpulkan bahwa depresiasi dari guncangan nilai tukar rupiah akan direspon dengan meningkatnya jumlah uang beredar, kenaikan tingkat harga, penurunan industrial production index. Oleh karena itu, untuk menyeimbangkan besarnya laju depresiasi yang terjadi, bank sentral seyogyanya melakukan kebijakan moneter berupa peningkatan sukubunga SBI sehingga mendorong terjadinya capital inflow yang pada akhirnya dapat menstabilkan nilai tukar rupiah. Sedangkan Guncangan harga akan direspon oleh bank sentral, dengan menaikan sukubunga SBI sehingga terjadi penurunan jumlah uang beredar, nilai tukar rupiah mengalami apresiasi dan menurunnya industrial production index. Hasil forecast error variance decomposition menunjukkan bahwa nilai tukar rupiah (DLER) secara dominan ditentukan oleh shock terhadap dirinya sendiri, yaitu mencapai sebesar 95.49 persen. Inflasi juga secara dominan ditentukan oleh shock terhadap dirinya sendiri, yaitu sebesar 75.15 persen, diikuti dengan Sukubunga SBI memberikan kontribusi sebesar 9.88 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa nilai tukar rupiah cenderung bersifat eksogen sehingga sulit untuk dapat dikendalikan secara langsung, sedangkan inflasi masih relatif memungkinkan dikendalikan melalui guncangan sukubunga SBI. Implikasi kebijakannya adalah berdasarkan hasil analisis Impulse Response Functions dan Forecast Error Variance Decomposition, instrumen kebijakan moneter untuk pencapaian kestabilan nilai tukar rupiah dan inflasi adalah sukubunga SBI. Dengan demikian, dalam rangka pencapaian target inflasi, Bank Indonesia dapat melaksanakannya dengan instrumen sukubunga SBI sebagaimana yang memang telah digunakan selama ini akan menjadi lebih baik apabila Bank Indonesia dapat menciptakan stabilitas fundamental ekonomi, terutama mengurangi kesenjangan permintaan dan penawaran valuta asing, sekaligus menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap mata uang rupiah dan mengendalikan terjadinya aliran modal keluar (capital outflow). Keyword : Monetary Policy, Rupiah Exchange Rate, Inflation Rate, Industrial Production Index, Vector Autoregressive.
SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul :
ANALISIS FLUKTUASI NILAI TUKAR RUPIAH DAN INFLASI INDONESIA PERIODE 1999-2006 merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri dengan pembimbingan para Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di Perguruan Tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenaranya.
Bogor, September 2007
MUHAMMAD ILHAM RIYADH Nrp. A 151040111
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2007 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
ANALISIS FLUKTUASI NILAI TUKAR RUPIAH DAN INFLASI INDONESIA PERIODE 1999 - 2006
MUHAMMAD ILHAM RIYADH
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
Judul Tesis
:
Analisis Fluktuasi Nilai Tukar Rupiah Dan Inflasi Indonesia Periode 1999 - 2006
Nama Mahasiswa
:
Muhammad Ilham Riyadh
Nomor Pokok
:
A. 151040111
Program Studi
:
Ilmu Ekonomi Pertanian
Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS Ketua
Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec Anggota
Mengetahui,
2. Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
3. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga,MA
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro,MS
Tanggal Ujian : 14 September 2007
Tanggal Lulus :
Penguji Luar Komisi Pembimbing : Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim MEc.
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir tanggal 05 Pebruari 1979 di Medan, Sumatera Utara. Penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara dari pasangan Kamalluddin M Noer dan Hanifah. Pada tahun 1991 Penulis menyelesaikan pendidikan dasarnya pada SDN 060884, di Medan, dan tiga tahun kemudian menamatkan sekolah lanjutan pertamanya pada SMPN 6 Medan. Pada tahun 1997, Penulis lulus dari SMU SWASTA KARTIKA I-1 di Medan dan pada tahun yang sama diterima sebagai mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Islam Sumatera Utara (UISU) di Medan. Gelar Sarjana Pertanian diperoleh pada tahun 2001 pada program studi Sosial Ekonomi Pertanian. Pada tahun 2004 penulis diterima sebagai mahasiswa pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Selama kuliah program magister, penulis memperoleh dana bantuan penelitian dari Bank Indonesia dan pada tahun 2004, penulis bekerja sebagai dosen tetap Yayasan di Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Islam Sumatera Utara, Medan hingga sekarang.
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan judul ”Analisis Fluktuasi Nilai Tukar Rupiah dan Inflasi Indonesia Periode 1999-2006. Penelitian ini merupakan salah satu syarat dalam penulisan Tesis Program Magister (S2) di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tesis ini dapat diselesaikan dengan baik berkat bantuan, arahan dan dorongan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis me ngucapkan terima kasih dan rasa hormat yang mendalam terutama kepada Ibu Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Dr. Ir. Hermanto Siregar, MEc selaku anggota komisi pembimbing, yang telah memberikan berbagai masukan dan arahan yang sangat konstruktif bagi penyempurnaan tulisan ini. Selanjutnya pada kesempatan ini, penulis juga menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Bapak Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, MEc, sebagai dosen penguji luar komisi pada ujian tesis, selalu menekankan kelayakan sebuah tesis. Terima kasih atas segala saran dan kritikan yang diberikan. 2. Pimpinan
Sekolah
Pascasarjana
IPB,
beserta
jajarannya
yang
telah
mempermudah dalam kelancaran urusan akademik. 3. Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian beserta staf
yang telah
memberikan berbagai kemudahan selama mengikuti kegiatan akademis. 4. Bapak/Ibu staf pengajar pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian yang telah mengajarkan ilmu yang sangat berguna dan bermanfaat.
5. Pimpinan dan staf Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, Pusat Penelitian dan Studi Kebanksentralan (PPSK), dan Perpustakaan Bank Indonesia, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan bahanbahan (literatur) dan memberikan data yang penulis perlukan serta bantuan dana penelitian untuk dapat menyelesaikan tesis pada studi program Magister Sains. 6. Sahabat-sahabatku yang sangat baik terutama Iwan Hermawan, Mbak Herny Kartika Wati, Aristo Edward P, Ria Kusumaningrum, Mbak Handayani Boa, Adi Hadiyanto, Mas Yuhka Sundaya, Enny (TPP), Wiwin (STK), Budi Darmansyah (TIP) dan David Talumewo yang telah memberi masukan, kritikan, semangat dan bantuan serta wawasan yang luas terhadap penyelesaian penyusunan tesis ini. 7. Ayahnda Kamalluddin M.Noer/ Ibunda Hanifah, kakaknda Devy Kemala Sari ST, dan adik-adiku dr.Rahmat Ghazali, Sked dan Sri Rezekika, Ssi yang telah memberikan dukungan, perhatian, kasih sayang dan doa yang tulus ikhlas sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dengan baik. 8.
Rekan – rekan di Sekolah Pascasarjana IPB, Khususnya rekan-rekan EPN yang telah memberikan dukungan dan motivasinya. Besar harapan penulis agar berbagai pemikiran yang tertuang dalam tesis ini
dapat bermanfaat bagi masyarakat dan pemerintah, khususnya dalam menyikapi berbagai fenomena moneter di Indonesia. Penulis menyadari, sebagai bagian dari suatu proses tentunya dalam tesis ini masih ditemui berbagai kekurangan.
Bogor, September 2007
Muhammad Ilham Riyadh
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ..................................................................... ...........
iii
DAFTAR GAMBAR ............................................................... ...........
iv
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................. ...........
vi
I. PENDAHULUAN ...............................................................................
1
1.1.
Latar Belakang ........................................................................
1
1.2.
Perumusan Masalah ................................................................
8
1.3.
Tujuan Penelitian ...................................................................
11
1.4.
Kegunaan Penelitian ...............................................................
11
1.5.
Batasan Penelitian ..................................................................
12
II. TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................
14
2.1.
Dasar Pertimbangan Penetapan Nilai Tukar ...........................
14
2.2.
Sistem Nilai Tukar Mengambang Bebas ................................
15
2.3.
Perkembangan Kebijakan Nilai Tukar di Indonesia ................
18
2.4.
Pendekatan Moneter ................................................................
20
2.4.1. Teori Keseimbangan Pasar Uang ................................
20
2.4.2. Paritas Daya Beli ..........................................................
21
2.4.2.1. Hukum Satu Harga ........................................
21
2.4.2.2. Purchasing Power Parity ..............................
21
2.4.3. Teori Paritas Suku Bunga ............................................
24
2.4.4. Ekspektasi Rasional ...................................................
27
Kebijakan Moneter ..................................................................
29
2.5.1. Kerangka Operasional Kebijakan Moneter ..................
29
2.5.2. Instrumen Kebijakan Moneter .....................................
30
2.5.3. Sasaran Operasional ....................................................
33
2.5.4. Sasaran Antara .............................................................
35
2.5.5. Sasaran Akhir ...............................................................
36
Hasil Penelitian Terdahulu .......................................................
37
2.5.
2.6.
III. KERANGKA PEMIKIRAN ...............................................................
46
3.1. Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter ................................
46
3.2. Pasar Uang .................................................................................
47
3.3. Hipotesis Penelitian ....................................................................
53
IV. METODE PENELITIAN ...................................................................
56
4.1. Data ............................................................................................
56
4.1.1. Sumber Data ...................................................................
56
4.1.2. Jenis Data .......................................................................
56
4.1.3. Sampel Data ...................................................................
56
4.1. Metode Analisis .........................................................................
57
4.2.1. Uji Stasioneritas Data .....................................................
59
4.2.2. Pemilihan Panjang Lag Sistem Vector Autoregressive ..
61
4.2.3. Uji Unit Root ...................................................................
61
4.3. Analisis Vector Autoregressive ...................................................
66
4.4. Granger Causality Test ...............................................................
70
4.5. Analisis Impulse Response Function dan Forecast Error Variance Decomposition ............................................................
71
4.5.1. Impulse Response Function ...........................................
71
4.5.2. Forecast Error Variance Decomposition ......................
72
V. PERGERAKAN NILAI TUKAR RUPIAH DAN MAKROEKONOMI INDONESIA ....................................................
74
5.1. Awal Krisis Asia ........................................................................
74
5.2. Sekilas Kondisi Perekonomian di Asia ......................................
77
5.3. Gambaran Umum Perekonomian Indonesia ..............................
78
5.4. Gambaran Perkembangan Makroekonomi Indonesia .................
80
VI. PENGUJIAN DAN ANALISIS HASIL PENELITIAN .....................
86
6.1. Uji Sifat Time Series Data .........................................................
86
6.2. Kestasioneran Data .....................................................................
86
6.3. Pengujian Lag Optimum .............................................................
88
6.4. Uji Kausalitas Granger ................................................................
90
6.5. Analisis Impulse Response Function dan Forecast Error Variance Decomposition .............................................................
91
6.5.1. Impulse Response Function.............................................
92
6.5.1.1. Respon Variabel Makroekonomi Terhadap Nilai Tukar Rupiah ..........................................
92
6.5.1.2. Respon Variabel Makroekonomi Terhadap Inflasi................................................................
99
6.5.2. Forecast Error Variance Decomposition........................ 105 6.6. Rumusan Implikasi Kebijakan Terhadap Nilai Tukar Rupiah dan Inflasi .......................................................................... 108 VII. SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN .................................. 112 7.1. Simpulan
.......................................................................... 112
7.2. Implikasi Kebijakan ................................................................... 113 7.3. Saran
.......................................................................... 115
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................... 117 LAMPIRAN
.......................................................................... 121
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1.
Kerangka Secara Umum Sistem Operasi Kebijakan Moneter ..........
33
2.
Variabel, Indikator dan Satuan Data ................................................
57
3.
Sistem Nilai Tukar Negara ASEAN+3 ............................................
76
4.
Beberapa Indikator Makroekonomi Indonesia ..................................
81
5.
Uji Akar Unit Level ...........................................................................
87
6.
Uji Akar Unit First Different ............................................................
88
7.
Pemilihan Panjang Lag Sistem Vector Autoregressive ....................
88
8.
Granger Causality Test .....................................................................
90
9.
Pengaruh Cholesky (d.f. adjusted) One Standard Deviation Nilai Tukar Rupiah (DLER) Innovation ...........................................
93
10.
Pengaruh Cholesky (d.f. adjusted) One Standard Deviation Inflasi (DLCPI) Innovation ............................................................... 100
11 . Dekomposisi Variasi Makroekonomi Terhadap Nilai Tukar Rupiah ............................................................................................. 106 12.
Dekomposisi Variasi Makroekonomi Terhadap Tingkat Inflasi ...... 107
DAFTAR GAMBAR
Nomor 1.
Halaman Perkembangan Nilai Tukar Bulan Juli Tahun 1993 – Desember Tahun 2006 .......................................................................................
5
Perkembangan Consumer Price Index Bulan Januari Tahun 1999 – Desember Tahun 1999 ......................................................................
7
3.
Time Path Asumsi Tingkat Harga Fleksibel ....................................
28
4.
Time Path Asumsi Tingkat Harga Sticky ..........................................
29
5.
Skema Kerangka Pemikiran ..............................................................
52
6.
Respon Sukubunga Dunia Terhadap Nilai Tukar Rupiah ...............
94
7.
Respon Industrial Production Index Terhadap Nilai Tukar Rupiah .............................................................................................
95
8.
Respon Inflasi Terhadap Nilai Tukar Rupiah ..................................
96
9.
Respon Nilai Tukar Rupiah ..............................................................
97
10.
Respon Jumlah Uang Beredar Terhadap Nilai Tukar Rupiah ..........
98
11.
Respon Sukubunga SBI Terhadap Nilai Tukar Rupiah ...................
99
12.
Respon Sukubunga Dunia Terhadap Inflasi...................................... 100
13.
Respon Industrial Production Index Terhadap Tingkat Inflasi ..... 101
14.
Respon Inflasi .................................................................................. 102
15.
Respon Nilai Tukar Terhadap Tingkat Inflasi................................... 103
16.
Respon Jumlah Uang Beredar Terhadap Tingkat Inflasi ................. 104
17.
Respon Sukubunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Tingkat Inflasi ............................................................................................... 105
18.
Dekomposisi Variasi Nilai Tukar Rupiah ........................................ 107
19.
Dekomposisi Variasi Tingkat Inflasi ................................................ 108
2.
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1.
Data Asli yang telah di Logaritma .................................................... 121
2.
Data First Difference......................................................................... 123
4.
Uji Stasioner Pada Level .................................................................. 127
5.
Hasil Vector Autoregressive Pada Tingkat Lag Optimal ................. 131
6.
Analisis Impulse Respon Function.................................................... 135
7.
Forecast Error Variance Decomposition.......................................... 137
8.
Granger Causality Test ..................................................................... 139
1
I. PENDAHULUAN
I.1.
Latar Belakang Pergerakan nilai tukar rupiah terhadap mata uang dollar Amerika setelah
diterapkannya kebijakan sistem nilai tukar mengambang bebas di Indonesia pada tanggal 14 Agustus 1998 telah membawa dampak dalam perkembangan perekonomian nasional baik dalam sektor moneter maupun sektor riil. Depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika menjadi sangat besar pada awal penerapan sistem tersebut. Hal ini membuat meningkatnya derajat ketidakpastian pada aktivitas bisnis dan ekonomi di Indonesia. Banyak faktor, baik yang bersifat non
ekonomi
maupun
ekonomi,
yang
diduga
menjadi penyebab dari
bergejolaknya nilai tukar tersebut. Nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing terutama dollar Amerika merupakan salah satu indikator penting dalam menganalisis perekonomian Indonesia, karena dampaknya yang luas terhadap makroekonomi agregat, seperti pertumbuhan ekonomi, keseimbangan eksternal, daya saing, tingkat bunga dan tingkat inflasi, oleh karena itu pergerakan nilai tukar selalu menjadi perhatian serius oleh otoritas moneter untuk selalu memantau dan mengendalikannya. Oleh karena itu untuk mengurangi gejolak nilai tukar yang berlebihan, bank sentral sebagai otoritas moneter merasa perlu untuk melaksanakan stabilisasi agar dapat memberikan kepastian bagi dunia usaha, dan pada gilirannya dapat memberikan kemantapan bagi pengendalian perekonomian secara makro (Samiun, 1998). Dalam rangka mendukung program pemulihan ekonomi dibidang moneter, dan sesuai dengan UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2004 tujuan Bank Indonesia adalah
2
mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah (Pasal 7). Amanat ini memberikan kejelasan peran bank sentral dalam perekonomian, sehingga dalam pelaksanaan tugasnya Bank Indonesia dapat lebih fokus dalam pencapaian single objective-nya. Menurut Haryono (2000), Kestabilan nilai rupiah tersebut mencakup pengertian; (1) kestabilan secara internal, yaitu kestabilan nilai rupiah terhadap harga barang dan jasa yang tercermin dari perkembangan laju inflasi, dan (2) kestabilan secara eksternal, yaitu kestabilan nilai rupiah terhadap mata uang negara lain yang diukur dengan perkembangan nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara lain tersebut. Karenanya undang-undang tersebut mengamanatkan bahwa pengendalian inflasi dan nilai tukar harus dilakukan sebagai suatu paket kebijakan. Kestabilan nilai rupiah tercermin dari tingkat inflasi dan nilai tukar yang terjadi. Tingkat inflasi tercermin dari naiknya harga barang-barang secara umum. Faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi dapat dibagi menjadi 2 macam, yaitu tekanan inflasi yang berasal dari sisi permintaan dan dari sisi penawaran. Dalam hal ini, Bank Indonesia hanya memiliki kemampuan untuk mempengaruhi tekanan inflasi yang berasal dari sisi permintaan, sedangkan tekanan inflasi dari sisi penawaran (bencana alam, musim kemarau, distribusi tidak lancar, dan lain-lain) sepenuhnya berada diluar pengendalian Bank Indonesia. Namun demikian, pencapaian laju inflasi yang rendah dan stabil melalui kebijakan mo neter bukanlah hal yang sederhana. Adanya ketidakpastian yang tinggi mengenai jenis dan besarnya shock yang dihadapi dimasa mendatang, serta ketidakpastian
mengenai
mekanisme
transmisi
dan
parameter
yang
membentuknya menjadi permasalah utama dalam perumusan kebijakan moneter.
3
Memahami kebijakan moneter merupakan suatu pengetahuan yang sangat penting karena kebijakan moneter tersebut mempengaruhi variabel – variabel nominal seperti jumlah uang beredar, suku bunga, nilai tukar dan output yang kesemuanya itu kemudian mempengaruhi inflasi dan tingkat aktivitas perekonomian. Semakin besar pengaruh suatu variabel moneter terhadap perilaku perekonomian secara runtun waktu, maka kebijakan moneter akan semakin efektif. Dengan telah ditentukan tujuan Bank Indonesia untuk mencapai dan memelihara kestabilan harga, maka proses selanjutnya adalah menentukan sasaran antara, apakah menggunakan aggregat moneter ataukah tingkat suku bunga. Kebutuhan akan variabel sasaran antara semakin meningkat, karena instrumen dan sasaran akhir dari suatu kebijakan mo neter tidak memiliki hubungan secara langsung. Hal ini berarti bahwa otoritas moneter tidak memiliki kemampuan langsung untuk mengontrol pencapaian sasaran kebijakan moneter oleh karena itu muncul kebutuhan akan adanya variabel sasaran antara yang memadai untuk melakukan berbagai kebijakan moneter. Sasaran operasional sebaiknya memiliki pengaruh yang lebih dapat diprediksi terhadap sasaran antara yang dipilih. Apabila sasaran antara yang dipilih adalah tingkat suku bunga, maka sasaran operasional yang lebih tepat adalah variabel tingkat suku bunga seperti bunga overnight. Hal tersebut karena suku bunga memiliki ikatan yang sangat kuat antara suku bunga dengan suku bunga lainnya. Sebaliknya apabila sasaran antara yang dipilih adalah aggregat moneter. Maka besaran moneter merupakan sasaran operasi yang tepat. Dengan demikian terdapat beberapa variabel yang dapat dijadikan sebagai besaran antara kebijakan moneter seperti uang beredar, kredit domestik, pendapatan nominal, tingkat inflasi, nilai tukar dan suku bunga. Berkaitan dengan pemilihan sasaran
4
antara, terdapat suatu fitur utama dari strategi kebijakan moneter yakni nominal anchor. Nominal anchor adalah suatu variabel nominal yang dipergunakan oleh pembuat kebijakan sebagai sasaran antara untuk mencapai sasaran akhir. Pada tahun 1999 hingga sekarang, Bank Indonesia mulai menentapkan suatu kerangka Inflation targetting di Indonesia. Inflation targetting adalah kebijakan moneter dengan menjadikan inflasi sebagai sasaran tunggal atau sasaran akhir. Maksud dari Inflation targetting adalah bahwa Bank Indonesia mempunyai tujuan tunggal yaitu mencapai laju inflasi yang rendah dan stabil sehingga diharapkan dapat mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Disisi lain, framework inflation targetting yang bersifat forward looking, mensyaratkan kemampuan bank sentral untuk memprediksi perkembangan inflasi kedepan. Dalam hal ini perlu dilakukan identifikasi dan analisis terhadap sejumlah indikator yang paling dominan (the best indicator) mempengaruhi tingkat inflasi kedepan. Berdasarkan hasil studi Yuda Agung (2002), nilai tukar merupakan the best indicator. Nilai tukar memberikan efek langsung terhadap inflasi oleh karena itu volatilitas nilai tukar merupakan salah satu tantangan utama bagi Indonesia yang menjalankan kebijakan inflation targetting. Tingkat inflasi yang tinggi dapat menimbulkan dampak negatif terhadap perekonomian nasional diantaranya dapat menurunkan daya beli masyarakat berpendapatan tetap dan rendah, dapat menurunkan gairah investor untuk berinvestasi, dapat menimbulkan alokasi sumber daya yang tidak efisien dan lain sebagainya. Inflasi ini tidak hanya berasal dari faktor dalam negeri (internal pressure) namun juga faktor luar negeri (external pressure), faktor eksternal dapat bersumber dari kenaikan harga-harga komoditi diluar negeri (world price)
5
maupun dari fluktuasi nilai tukar misalnya dengan adanya depresiasi rupiah akan mengakibatkan harga barang impor menjadi lebih mahal didalam negeri. Perkembangan ekonomi Indonesia beberapa tahun terakhir terutama setelah terjadinya krisis keuangan pada tahun 1997 di tandai dengan terjadinya depresiasi rupiah yang sangat besar sebagaimana terlihat pada Gambar 1. Dari gambar dibawah terlihat bahwa nilai tukar Indonesia sejak pertengah tahun 1997 diwarnai dengan gejolak yang sangat tajam dan disertai dengan tekanan depresiasi yang sangat kuat. Menyebarnya pengaruh krisis nilai tukar di Thailand ke negaranegara
ASEAN
lainnya
termasuk
Indonesia
menyebabkan
merosotnya
kepercayaan asing terhadap Indonesia sehingga terjadi pelarian modal ke luar negeri. Akibat hilangnya kepercayaan investor asing terhadap prospek perekonomian Indonesia.
16000
Rp/Dollar US
14000 12000 10000 8000 6000 4000 2000 Tahun 0 1994
1996
1998
2000
2002
2004
2006
Sumber : Bank Indonesia 2006
Exchange Rate
Gambar 1. Perkembangan Nilai Tukar Bulan Juli Tahun 1993 – Desember Tahun 2006
6
Selain itu memburuknya kondisi fundamental ekonomi dalam negeri dan munculnya krisis kepercayaan terhadap perbankan juga menjadi pemicu utama merosotnya rupiah hingga menembus batas atas kisaran intervensi Bank Indonesia yang menyebabkan semakin maraknya kegiatan spekulatif, semakin kuatnya tekanan terhadap rupiah menyebabkan pemerintah memutuskan untuk mengubah sistem nilai tukar dari sistem mengambang terkendali menjadi sistem mengambang bebas. Dengan sistem nilai tukar mengambang bebas, nilai tukar rupiah terlihat semakin bergejolak hingga me ncapai titik terendah Rp. 15 000 per US$ pada bulan Juni 1998, Meskipun kemudian mulai bergerak menguat kembali karena adanya bantuan finansial dari International Monetary Fund dan lembaga internasional lain serta mulai membaiknya kondisi makro ekonomi, namun kondisinya masih sangat rawan terhadap berbagai sentimen negatif dipasar. Pada tahun 1999 Indonesia melakukan Pemilihan Umum. Gejolak nilai tukar selama periode tersebut cenderung apresiatif. Nilai tukar rupiah dari Januari sebesar Rp 8 000/US$ menguat terus hingga mencapai Rp 6 500/US$. Setelah itu nilai tukar mengalami depresiasi yang cukup besar pada akhir tahun 1999 hingga tahun 2000. Fluktuasi nilai tukar rupiah yang tajam mempunyai dampak yang luas terhadap kondisi perekonomian. Hal tersebut juga mempengaruhi kebijakan moneter yang diterapkan oleh Bank Indonesia mengingat dampak pergerakan nilai tukar terhadap inflasi baik secara langsung maupun tidak langsung (direct and indirect pass-through effect). Secara implisit undang-undang memerintahkan agar Bank Indonesia melalui kebijakan moneternya mengusahakan pencapaian sasaran inflasi yang rendah dan stabil. Selaras dengan tujuan tersebut, maka stabilisasi inflasi dalam
7
jangka panjang merupakan agenda utama yang perlu diupayakan secara sungguhsungguh oleh Bank Indonesia hal tersebut bertolak dari argumen bahwa inflasi yang tinggi dan tidak stabil akan meningkatkan biaya yang harus ditanggung oleh perekonomian. Hal ini dapat dilihat pada gambar 2. 150
index
140 130 120 110 100 90 80 Tahun
70 99
00
01
Sumber : Bank Indonesia 2006
02
03
04
05
06
CPI
Gambar 2. Perkembangan Consumer Price Index Bulan Januari Tahun 1999 - Desember Tahun 2006 Framework inflation tergetting yang diterapkan, masih menggunakan besaran moneter sebagai sasaran antara, dalam praktek, sasaran inflasi yang diumumkan tersebut digunakan untuk menghitung target uang primer dengan menggunakan quantity theory of money (MV=PY) secara spesifik implementasi kebijakan moneter Bank Indonesia dilakukan dengan menetapkan sasaran operasional, yaitu uang primer dan mengendalikan jumlah uang beredar (M1 dan M2)
sebagai
sasaran
antara.
Langkah
selanjutnya
adalah
mengamati
perkembangan indikator-indikator yang memberikan tekanan terhadap tingkat harga dan nilai tukar rupiah melalui piranti instrumen moneter seperti operasi
8
pasar terbuka (OPT)
penentuan tingkat diskonto dan penetapan Giro Wajib
Minimum bagi perbankan (Haryono, 2000). Berkaitan dengan penawaran uang, otoritas moneter melalui instrumen kebijakan moneter mempunyai kekuasaan dalam mengendalikan jumlah uang beredar, kebijakan moneter yang ekspansif, menyebabkan tingkat inflasi domestik meningkat dan jumlah uang beredar meningkat, selanjutnya nilai tukar rupiah mengalami penurunan sedangkan berkaitan dengan permintaan uang pendapatan dan tingkat bunga merupakan faktor yang mempengaruhui nilai tukar. Aktivitas ekonomi domestik yang meningkat dapat menyebabkan permintaan uang domestik meningkat dan selanjutnya rupiah menguat sementara kenaikan dalam tingkat bunga menyebabkan jumlah uang beredar menurun dan selanjutnya tingkat inflasi domestik menurun. Studi dari penelitian ini adalah untuk menganalisis nilai tukar dan inflasi selama periode tahun 1999-2006 dimana model yang lebih tepat untuk ini adalah menggunakan
pendekatan
moneter.
Perubahan
dalam
variabel
moneter
menyebabkan efek penting terhadap nilai tukar dan inflasi. Kebijakan pengendalian terhadap pergerakan nilai tukar rupiah yang dilakukan oleh pemerintah melalui otoritas moneter. Sejak pemerintah menetapkan penggunaan sistem nilai tukar mengambang bebas (free floating exchange rate).
1.2. Perumusan Masalah Dalam perekonomian terbuka ini, memungkinkan terjadinya mobilisasi modal yang tinggi antar negara. Persepsi investor tentang kondisi kesehatan ekonomi suatu negara sangat berpengaruh terhadap aliran modal masuk ataupun keluar di suatu negara. Sejak tahun 1997 Bank Indonesia menerapkan regim nilai
9
tukar mengambang sebagai pengganti regim nilai tukar terkendali (crawling peg). Perubahan sistem nilai tukar tersebut, diikuti dengan ketidakstabilan nilai tukar dan berakibat pada pergerakan indeks harga di dalam negeri yang tajam. Dampak fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap laju inflasi tercermin pada perkembangan inflasi kelompok barang yang diperdagangkan secara internasional (traded) yang terus mengalami peningkatan seiiring depresiasi rupiah. Selain itu fluktuasi perubahan nilai tukar (nominal dan riil), suku bunga maupun inflasi di Indonesia kurun waktu bulan Januari 1999 sampai Desember 2000 masih sangat tinggi dibandingkan dengan Korea, Malaysia dan Thailand. Begitu juga, dampak depresiasi nilai tukar rupiah terhadap inflasi tahun 2001 mengalami depresiasi sebesar 17.7 persen, index harga traded mencapai 11.73 persen (y-o-y) (Bank Indonesia, 2002). Menurut Winata (2006) Indonesia sebagai salah satu small open economy masih memiliki tingkat inflasi yang lebih tinggi dibanding negara – negara disekitarnya. Rata-rata inflasi Indonesia selama periode tahun 2000-2004 adalah sekitar 8.08 persen. Sementara itu, pada periode yang sama tingkat inflasi rata-rata di Malaysia, Singapura dan Thailand adalah masing-masing 1.62 persen, 1.23 persen dan 1.66 persen.
Hal tersebut mengindikasikan bahwa pengendalian
tingkat inflasi dan stabilitas makroekonomi merupakan tantangan bagi pemerintah dan bank sentral. Pentingnya pengendalian inflasi didasarkan pada pertimbangan bahwa inflasi yang tinggi dan tidak stabil memberikan dampak negatif kepada kondisi sosial ekonomi masyarakat. Pertama, inflasi yang tinggi akan menyebabkan pendapatan riil masyarakat akan terus turun sehingga standar hidup dari masyarakat turun dan akhirnya menjadikan semua orang, terutama orang miskin,
10
bertambah miskin. Kedua, inflasi yang tidak stabil akan menciptakan ketidakpastian (uncertainly) bagi pelaku ekonomi dalam mengambil keputusan. Pengalaman empiris menunjukkan bahwa inflasi yang tidak stabil akan menyulitkan keputusan masyarakat dalam melakukan konsumsi, investasi dan produksi, yang pada akhirnya akan menurunkan pertumbuhan ekonomi. Ketiga, tingkat inflasi domestik yang lebih tinggi dibanding dengan tingkat inflasi di negara tetangga menjadikan tingkat bunga domestik riil menjadi tidak kompetitif sehingga dapat memberikan tekanan pada nilai rupiah. Dengan adanya tekanan pada nilai rupiah dan perubahan rezim nilai tukar serta pelaksanaan kebijakan inflation targetting yang telah dijalani oleh Bank Indonesia, maka menarik untuk menganalisis kebijakan moneter perihal uang beredar, suku bunga dan nilai tukar adalah variabel yang dapat dipengaruhi oleh instrumen kebijakan moneter dan bertindak sebagai sasaran antara sedangkan tingkat harga atau output dipertimbangkan sebagai sasaran akhir dari kebijakan moneter di Indonesia Oleh karena itu dalam studi ini, permasalahan yang akan diuji adalah : 1.
Bagaimanakah respon variabel industrial production index, uang beredar dan perbedaan suku bunga apabila terjadi shock terhadap variabel nilai tukar dan inflasi.
2.
Sejauh mana variabel – variabel makro dapat menjelaskan fluktuasi nilai tukar rupiah dan inflasi
3.
Bagaimana implikasi kebijakan moneter dari hasil penelitian dalam rangka menstabilkan nilai tukar rupiah dan inflasi.
11
I.3. Tujuan Penelitian Fokus penelitian ini adalah untuk mengetahui fluktuasi nilai tukar dan inflasi di Indonesia dengan tujuan sebagai berikut : 1.
Menganalisis respon variabel industrial production index, uang beredar dan perbedaan suku bunga apabila terjadi shock terhadap variabel nilai tukar dan inflasi.
2.
Menjelaskan
secara empiris variabel-variabel makro yaitu industrial
production index, tingkat inflasi, uang beredar dan perbedaan suku bunga dapat menjelaskan fluktuasi nilai tukar rupiah dan inflasi di Indonesia 3.
Merumuskan implikasi kebijakan moneter dari hasil-hasil analisis dalam rangka menstabilkan nilai tukar rupiah dan inflasi.
I.4. Kegunaan Penelitian Penelitian ini di harapkan dapat bermanfaat dalam memberikan sumbangan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan studi empiris pendekatan moneter di Indonesia. Karena jika penelitian
ini menghasilkan suatu hasil
estimasi yang dapat dipercaya secara statistik dan didukung oleh teori yang tepat, maka pendekatan moneter dapat di gunakan dalam mencapai dan memelihara kestabilan nilai tukar dan harga. Dengan melakukan estimasi terhadap mata uang Amerika Serikat diharapkan kita dapat memperkirakan perubahan yang terjadi pada sektor moneter khususnya dan indikator ekonomi makro lainnya secara keseluruhan dari negara – tersebut. Dengan mendapatkan hasil estimasi dari masing-masing faktor-faktor yang mempengaruhi fluktuasi nilai tukar, maka kita dapat mengetahui faktor yang
12
paling dominan dan paling signifikan dalam mempengaruhi nilai tukar. Dengan demikian otoritas moneter dapat melakukan kebijakan yang bersifat antisipasi lebih awal. Apabila kondisi ini terjadi, maka biaya pengendalian moneter dapat diminimalkan.
1.5. Batasan Penelitian 1.
Penelitian menggunakan data bulanan periode Januari 1999 – Desember 2006. Alasan utamanya dimana pada saat itu Indonesia menerapkan sistem nilai tukar mengambang bebas.
2.
Nilai tukar yang dimaksud dalam penelitian ini adalah nilai tukar nominal rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat yang dilihat secara bulanan (monthly).
3.
Pendapatan Nasional riil yang digunakan di Indonesia di proxy ke Industrial Production Index dimana metode ini mengukur output dari industri-industri suatu negara yang diukur dalam bulanan. Indikatornya adalah peningkatan jumlah produksi dibanding periode sebelumnya yang dinyatakan dalam index.
4.
Tingkat inflasi yang digunakan Indonesia adalah Consumer Price Index dengan tahun dasar 2002:100.
5.
Suku bunga sebagai instrumen kebijakan moneter dalam penelitian ini adalah suku bunga SBI jangka waktu satu bulan dalam persen, sedangkan Amerika Serikat menggunakan US Prime 1 bulan karena pasar uang lebih mudah dalam menangkap sinyal kebijakan moneter melalui suku bunga.
6.
Data yang digunakan dalam bentuk nominal dan data yang tidak dalam bentuk persen ditulis dalam bentuk logaritma natural.
13
7.
Dalam penelitian ini tidak melihat faktor pengaruh langsung maupun tidak langsung baik dari impor maupun ekspor.
8.
Pemodelan dilakukan untuk melihat pengaruh variabel moneter terhadap perekonomian dengan analisis Impulse Response Function (IRF)
dan
Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) serta uji Granger Causality
14
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Dasar Pertimbangan Penetapan Nilai Tukar Pemilihan rezim nilai tukar pada umumnya didasarkan atas beberapa
pertimbangan, (Goeltom dan Zulverdi, 1998) antara lain preferensi suatu negara terhadap keterbukaan ekonominya, apakah suatu negara lebih cenderung menerapkan kebijakan ekonomi yang terbuka atau tertutup. Jika suatu negara lebih cenderung menganut ekonomi yang lebih tertutup dan mengisolasikan gejolak keuangan dari negara lain (contagion effect) maka fixed exchange rate merupakan prioritas utama, sementara apabila suatu negara lebih condong terbuka, pilihan nilai tukar yang lebih fleksibel merupakan pilihan utama karena dengan sistem ini capital inflow dapat disterilisasi melalui sistem tersebut. Tingkat kemandirian suatu negara dalam melaksanakan kebijakan ekonomi misalnya dalam hal melaksanakan kebijakan moneter yang independen maka sistem nilai tukar fleksibel merupakan pilihan utama. Kegiatan perekonomian suatu negara jika kegiatan suatu negara semakin besar, maka kegiatan volume transaksi ekonomi semakin meningkat, sehingga menyebabkan permintaan uang juga semakin bertambah. Dalam hal ini, sistem yang tepat digunakan adalah sistem nilai tukar fleksibel karena jika negara tersebut memiliki sistem nilai tukar tetap maka dibutuhkan cadangan devisa yang sangat besar untuk menjaga kredibilitas sistem nilai tukar tersebut. Sementara itu dasar pertimbangaan pemilihan nilai tukar dalam konteks terjadinya underlying shock pada pasar uang dan barang (LM dan IS) dalam hal gejolak yang terjadi di pasar uang (LM) relatif lebih besar dari gejolak yang terjadi dipasar barang (IS) maka pilihannya yang lebih baik adalah floating exchange rate, Bila kasus sebaliknya, gejolak dipasar barang (IS) relatif lebih
15
besar dari gejolak di pasar uang (LM) maka pilihannya yang lebih baik adalah fixed exchange rate. Dalam hal keduanya tidak ada yang dominan maka kebijakan yang terbaik adalah managed floating. 2.2.
Sistem Nilai Tukar Mangambang Bebas Sistem nilai tukar mengambang bebas (free floating exchange rate system)
adalah sistem nilai tukar mata uang domestik terhadap mata uang asing yang nilai tukarnya ditentukan melalui mekanisme pasar, yaitu melalui kekuatan tarik menarik antara permintaan dan penawaran terhadap valuta asing di pasar valuta asing pada waktu tertentu. Dengan kata lain, melalui sistem ini kecenderungan suatu mata uang mengalami apresiasi ataupun depresiasi relatif terhadap mata uang lainnya. Hal tersebut akan sangat tergantung pada minat pasar untuk memegang mata uang yang bersangkutan, tanpa adanya pembatasan maupun intervensi secara langsung dari pihak-pihak tertentu, termasuk intervensi langsung dari pemegang otoritas moneter suatu negara. Jadi dengan sistem nilai tukar mengambang bebas, nilai tukar mata uang terhadap mata uang lainnya akan dibiarkan mengambang bebas, dalam arti fluktuasinya dibiarkan bebas tanpa dibatasi atau dikendalikan secara langsung. Sama seperti sistem nilai tukar yang lain, sistem nilai tukar mengambang bebas ini memiliki berbagai konsekuensi yang khas, baik yang positif maupun negatif, bagi perekonomian negara yang menerapkannya. Adapun konsekuensi positif (kelebihan) yang akan didapat oleh perekonomian suatu negara akibat menerapkan sistem nilai tukar mengambang bebas adalah sebagai berikut, (Sloman and Sutcliffe, 1998): 1. Terjadi koreksi otomatis terhadap ketimpangan neraca pembayaran nasional, sehingga seringkali disebut stabilisator otomatis (automatic stabilizer). Otoritas moneter suatu negara membiarkan kurs mata uangnya berfluktuasi
16
secara bebas menuju tingkat keseimbangannya di pasar valuta asing. Dalam hal ini ketidakseimbangan neraca pembayaran secara otomatis terkoreksi tanpa memerlukan kebijakan ekonomi pemerintah secara khusus. 2. Cadangan valuta asing suatu negara relatif utuh, dalam arti tidak digunakan untuk melakukan intervensi di pasar valuta asing demi stabilisasi kurs. Karena, nilai tukar mata uang nasional secara otomatis akan segera disesuaikan dengan tingkat nilai tukar di pasar valuta asing. 3. Relatif lebih memiliki daya lindung terhadap fluktuasi perekonomian dunia. Negara yang menerapkan sistem ini tidak akan terikat secara langsung terhadap suatu kemungkinan munculnya gejolak inflasi dunia yang tinggi. Hal ini juga merupakan suatu perlindungan yang lebih luas dari goncangan dan fluktuasi ekonomi dunia. 4. Pemerintah memiliki kebebasan (otonomi) yang lebih besar dalam menentukan kebijaksanaan ekonomi di dalam negerinya. Artinya, pemerintah dapat secara bebas memilih berapapun tingkat permintaan domestik yang dikehendaki, dan dengan mudah membiarkan pergerakan nilai tukar menyelesaikan
berbagai
permasalahan
yang
terdapat
pada
neraca
pembayarannya. 5. Kondisi asimetri dan ketidakadilan ala Bretton Wood dapat dihilangkan. Setiap negara memiliki peluang dan kedudukan yang relatif sama, paling tidak menurut hitungan teoritis, untuk mempengaruhi nilai tukar mata uang nasional terhadap mata uang – mata uang asing lainnya. Sedangkan, beberapa konsekuensi negatif (kekurangan) yang mungkin muncul dari penerapan sistem nilai tukar mengambang bebas adalah sebagai berikut, (Krugman and Obstfeld, 2003):
17
1. Para pembuat keputusan, dalam hal ini bank sentral dan pemerintah, tidak lagi dibebani oleh kekuatiran terhadap berkurangnya cadangan devisa untuk mempertahankan
nilai
tukar,
dengan
demikian
dapat
menyebabkan
diterapkannya kebijaksanaan fiskal dan moneter yang terlalu ekspansif, yang bisa berakibat jatuhnya negara tersebut ke dalam perangkap inflasi. Atau dengan kata lain, dapat menyebabkan timbulnya kekurangan disiplinan pemerintah dalam menetapkan kebijaksanaan ekonominya. 2. Munculnya destabilizing speculation (spekulasi perusak stabilitas) dan gangguan terhadap pasar uang. Spekulasi perusak stabilitas ini cenderung memperbesar gejolak nilai tukar mata uang dalam jangka panjang daripada yang seharusnya terjadi sebagai akibat dari gangguan ekonomi yang tidak terduga. Hal ini akan membawa ketidakpastian pada bidang perdagangan dan investasi, khususnya dalam segala hal yang berkaitan dengan pembayaran luar negeri. 3. Timbulnya kebijakan-kebijakan ekonomi yang tidak terkoordinasi dengan baik. Masing-masing negara akan lebih berpeluang untuk menerapkan kebijaksanaan ekonomi sepihak yang menguntungkan dirinya sendiri, tanpa menghiraukan dampak negatif kebijakan tersebut terhadap negara lainnya. 4. Timbulnya ilusi tentang otonomi yang lebih besar. Para pembuat kebijakan ekonomi tidak dapat mengabaikan pengaruh pelaksanaan kebijakan ekonomi terhadap kondisi nilai tukar valuta asing, dan sebaliknya. Suatu depresiasi yang meningkatkan harga barang-barang impor akan mendorong kenaikkan upah tenaga kerja. Hal ini akan meningkatkan harga jual komoditi, sehingga merangsang inflasi, yang selanjutnya menyebabkan tuntutan kenaikkan upah yang lebih tinggi lagi. Oleh karena itu, pada akhirnya sistem nilai tukar
18
mengambang bebas dapat mempercepat reaksi harga terhadap kenaikan penawaran uang (sistem nilai tukar mengambang bebas tidak benar-benar memperkuat pengendalian terhadap tingkat penawaran riil uang). Mengingat konsekuensi negatif yang mungkin terjadi, terutama dalam menghadapi destabilizing speculation (spekulasi perusak stabilitas) dan gangguan terhadap pasar uang domestik, maka wajar saja bila dalam praktek belum pernah ada sistem nilai tukar mengambang bebas yang diterapkan secara murni, dalam arti benar-benar terbebas dari intervensi yang sifatnya tidak langsung dari pemegang otoritas moneter. 2.3.
Perkembangan Kebijakan Nilai Tukar di Indonesia Penentuan sistem nilai tukar merupakan suatu hal penting bagi
perekonomian suatu negara karena hal tersebut merupakan satu alat yang dapat digunakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan mengisolasikan perekonomian suatu negara dari gejolak perekonomian global. Sesuai dengan undang-undang No 13 tahun 1968 tentang bank sentral salah satu tugas Bank Indonesia adalah mengatur, menjaga, dan memelihara kestabilan nilai tukar rupiah secara garis besar, sejak tahun 1970 Indonesia telah menerapkan sistem nilai tukar yaitu, (Goeltom dan Zulverdi, 1998): 1.
Sistem Nilai Tukar Tetap (Fixed Exchange Rates 1970-1978) Sesuai dengan undang-undang No. 32 tahun 1964, Indonesia menganut sistem nilai tukar tetap dengan kurs resmi Rp. 250/USD (sebelum Rp. 45/USD) sementara kurs mata uang lainnya dihitung berdasarkan nilai tukar rupiah terhadap USD di bursa valuta asing Jakarta dan dipasar international. Pada periode ini pemerintah melakukan devaluasi sebanyak 3 kali, masing-masing pada 17 April 1970 dengan kurs sebesar Rp. 378/USD,
19
tanggal 23 Agustus 1971 dengan kurs sebesar Rp. 415/USD, pada tanggal 15 November 1978 dengan kurs sebesar Rp. 625/USD. 2.
Sistem Nilai tukar Mengambang Terkendali (1978-Juli 1997) Pada sistem ini nilai tukar dilambangkan terhadap sekeranjang mata uang (basket of currencies) negara – negara mitra dagang utama Indonesia. Kebijakan ini diimplimentasikan bersamaan dengan dilakukan devaluasi rupiah pada tahun 1978 sebesar 33.6 persen Dengan sistem tersebut pemerintah menetapkan kurs indikasi dan membiarkan kurs bergerak dipasar dengan spreed tertentu. Untuk menjaga kestabilan nilai tukar rupiah, pemerintah melakukan intervensi bila kurs bergejolak melebihi batas atas atau batas bawah dari spreed.
3.
Sistem nilai tukar mengambang bebas (14 Agustus 1997) Sejak pertengahan Juli 1997, nilai tukar mengalami tekanan – tekanan yang menyebabkan semakin melemahnya nilai tukar rupiah terhadap USD. Tekanan tersebut berawal dari currency turnmoil yang melanda Thailand yang dengan segera menyebar ke Indonesia dan negara ASEAN sehubungan
dengan
karakteristik
perekonomian
yang
mempunyai
kemiripan. Sejak awal bulan Juli 1997. Nilai tukar rupiah selalu berada disekitar batas bawah rentang intervensi, walaupun pada tangga 11 Juli 1997 band intervensi telah diperlebar dari sebesar 8 persen menjadi 12 persen. Langkah-langkah yang dilakukan Bank Indonesia antara lain dengan melakukan intervensi baik secara spot maupun forward untuk sementara memang dapat menstabilkan nilai tukar rupiah.
20
2.4.
Pendekatan Moneter
2.4.1. Teori Keseimbangan Pasar Uang Didalam pendekatan moneter diasumsikan bahwa tingkat harga secara penuh ditentukan oleh perubahan permintaaan dan penawaran uang didalam perekonomian, dan dinyatakan sebagai berikut : PIN =
MS L (i, Y )
...........................................................................................(2.1)
Atau MS P
= L(i, Y ) ........................................................................................(2.2)
dimana : P
= tingkat harga domestik
MS
= uang beredar domestik
L
= permintaan uang domestik
i
= suku bunga nominal domestik
Y
= pendapatan nasional riil domestik
Persamaan (2.1) menunjukkan bahwa tingkat harga itu ditentukan oleh suku bunga, tingkat penawaran uang domestik dan tingkat output riil. Keseimbangan tingkat harga jangka panjang adalah nilai Pd yang memenuhi kondisi yang ditunjukkan oleh persamaan (2.1) dimana suku bunga dan output berada pada tingkat jangka panjang yang konsisten dengan full employment. Bila pasar uang berada pada kondisi keseimbangan, maka tingkat harga akan tetap bertahan apabila penawaran uang, fungsi permintaan uang dan nilai – nilai jangka panjang i dan Y tidak berubah. Salah satu unsur prediktif yang terkandung dalam persamaan (2.1) diatas adalah menyangkut hubungan antara tingkat harga dan tingkat penawaran uang.
21
Jika semua kondisi lainya tetap, kenaikan jumlah penawaran uang akan mengakibatkan kenaikan tingkat harga secara proposional. Dengan demikian persamaan (2.2) dapat menjelaskan bahwa permintaan uang riil tidak akan meningkat sehubungan dengan kenaikan uang beredar (MS) yang tidak mengubah suku bunga (i) dan tingkat output (Yd), apabila penawaran uang riil juga tetap, agar penawaran uang riil (MS/P) tetap maka tingkat harga (P) harus mengalami kenaikan secara proposional dengan kenaikan uang beredar (MS). 2.4.2. Paritas Daya Beli 2.4.2.1.Hukum Satu Harga Hukum satu harga (The law of one prices) menyatakan bahwa harga produk yang sama/ identik di dua negara yang berbeda akan sama pula bila dinilai dalam currency atau mata uang yang sama. Teori ini dikenal sebagai Purchasing Power Parity (PPP) absolut. Misalnya harga barang di Amerika adalah Pusa harga barang tersebut dalam rupiah dapat dituliskan P IN = P US x Rp/USD dengan demikian nilai tukar adalah Rp/USD = P IN/P US. 2.4.2.2. Purchasing Power Parity Teori ini dikemukakan oleh Gustav Cassel, seorang ekonom swedia, yang memperkenalkan teori Purchasing Power Parity pada tahun 1918. Menurut Krugman (2003) menyebutkan bahwa salah satu teori mengenai penentuan nilai tukar adalah teori Purchasing Power Parity. Teori ini mengatakan bahwa nilai tukar antara dua negara akan berubah sesuai dengan perubahan harga di kedua negara. Jika misalnya, tingkat harga di suatu negara mengalami kenaikan yang berarti, maka terjadi penurunan daya beli mata uang domestik, menurut teori ini mata uang negara tersebut akan mengalami depresiasi. Sedangkan nilai mata uang
22
negara lain akan mengalami apresiasi, ceteris paribus. Demikian sebaliknya, penurunan tingkat harga disuatu negara (kenaikan daya beli mata uang domestik) akan dibarengi dengan apresiasi secara proprosional, cateris paribus. Sedangkan nilai mata uang negara lainnya mengalami depresiasi. Asumsi utama yang mendasari teori Purchasing Power Parity adalah bahwa pasar komoditi merupakan pasar yang efisien dilihat dari alokasi, operasional, penentuan harga, dan informasi (Tucker, et al, 1991). Secara implisit ini berarti: (1) semua barang merupakan barang yang diperdagangkan di pasar internasional (tradable goods) tanpa dikenal biaya transportasi sepersen pun, (2) tidak ada bea masuk, kuota, ataupun hambatan lain dalam perdagangan internasional, (3) barang luar negeri dan barang domestik adalah homogen secara sempurna untuk masing-masing barang, dan (4) adanya kesamaan indeks harga yang digunakan untuk menghitung daya beli mata uang asing dan domestik, terutama tahun dasar yang digunakan dan elemen indeks harga. Oleh karena itu bila indeks harga di kedua negara identik, hukum satu harga menjustifikasi Purchasing Power Parity (Bailie and Mac Mahon, 1990) artinya bila produk/ jasa yang sama dapat dijual dipasar yang berbeda dan tidak ada hambatan dalam penjualan maupun biaya transportasi, maka harga produk/ jasa cenderung sama di kedua pasar tersebut. Bila kedua pasar tersebut adalah dua negara yang berbeda, harga produk/jasa tersebut biasanya dinyatakan dalam mata uang yang berbeda, namun harga produk /jasa tetap masih sama. Perbandingan harga hanya memerlukan satu konversi satu mata uang ke mata uang lain misalnya.
P * x S = P ..............................................................................................(2.3)
23
Dimana P* adalah harga produk luar negeri, dikalikan kurs spot/konversi (S) misalnya rupiah perdollar US), sama dengan harga produk dalam negeri (P) sebaliknya, bila harga kedua produk dinyatakan dalam mata uang lokal, dan pasar adalah efisien. Maka kurs valas dapat dinyatakan dalam harga lokal produk tersebut;
S = P / P * ...............................................................................................(2.4) Dimana S adalah kurs spot dollar AS per rupiah. Bila hukum satu harga berlaku untuk segala jenis barang dan jasa, kurs Purchasing Power Parity dapat dijumpai pada sejumlah harga. Dalam teori PPP dikenal dua versi Purchasing Power Parity, yaitu : versi absolut dan versi relatif. Purchasing Power Parity versi absolut mengatakan bahwa kurs valas dinyatakan dalam nilai harga di dua negara
S t = Pt / Pt * .............................................................................................(2.5) Dimana Pt dan Pt* masing-masing adalah harga rata-rata tertimbang dari komoditi di dua negara (tanda * menunjukkan luar negeri) dengan kata lain, Purchasing Power Parity absolut menerangkan bahwa kurs spot ditentukan oleh harga relatif dari sejumlah barang yang sama (ditunjukkan oleh indeks harga) misalnya, katakanlah tingkat harga saat ini di Indonesia Rp. 110/USD sedang di AS sebesar Rp. 105/USD. Jika kurs awal dollar adalah Rp. 2 500 maka menurut Purchasing Power Parity, kurs rupiah yang dinilai dalam dollar AS seharusnya meningkat menjadi Rp. 2 619 yang diperoleh dari (2 500 x 110/105), atau mengalami sebesar 4.76 persen. Dilain pihak, bila tingkat harga di AS sekarang menjadi Rp. 115 maka
rupiah akan mengalami apresiasi sekitar 4.36 persen atau menjadi
Rp. 2 391 yang diperoleh dari (2 500 x 110/115) jadi dapat di simpulkan pesan dari PPP adalah bahwa negara yang mata uangnya mengalami tingkat inflasi yang
24
tinggi seharusnya mengurangi nilai mata uangnya relatif terhadap mata uang dengan tingkat inflasi yang lebih rendah. Sementara itu Purchasing Power Parity yang relatif
mengatakan
persentase perubahan kurs nominal akan sama dengan perbedaan inflasi diantara kedua negara, dinyatakan dalam konteks mendatang (ex ante terms), harapan perubahan kurs valas sama dengan harapan perbedaan inflasi
∆S te = ∆pt − ∆pte* ....................................................................................(2.6) Dimana ? Ste = harapan perubahan kurs spot (Set+1-St) ; ? pte = harapan perubahan inflasi, (pet+1 - pt) notasi yang dinyatakan dalam huruf kecil berarti dinyatakan dalam bentuk logaritma natural (misal ; S = Ln S ) tanda * diatas variabel menunjukkan negara asing. Baik Purchasing Power Parity versi absolut maupun relatif dapat dinyatakan dalam nilai kurs Purchasing Power Parity riil (real exchange rate, StPPP) sebagai berikut:
S tPPP = S t Pt * / Pt .....................................................................................(2.7) Dimana mendefenisikan kurs riil dalam nilai daya beli antara dua kelompok konsumsi barang
dengan kata lain, Purchasing Power Parity absolut dapat
dinyatakan sebagai StPPP =1 ; dan Purchasing Power Parity relatif dapat nyatakan dalam = St+1 PPP = StPPP. 2.4.3. Teori Paritas Suku Bunga Teori berikutnya adalah berlakunya teori paritas suku bunga (Interest Rate Parity), yang menyatakan bahwa pasar valuta asing berada dalam kondisi keseimbangan apabila semua simpanan dalam berbagai valuta menawarkan imbalan yang sama, artinya perbedaan suku bunga simpanan domestik dengan suku bunga simpanan luar negeri sama dengan tingkat swap yaitu perbedaan
25
antara kurs dimasa mendatang dengan nilai tukar spot relatif terhadap nilai tukar spot. Kondisi demikian menunjukkan bahwa masyarakat tidak akan memperoleh keuntungan apapun bila menginvestasi dananya diluar negeri secara matematis, teori Interest Rate Parity dinyatakan sebagai berikut : e S Rp / $ − S Rp / $
S Rp / $
= iIN − iUS ..........................................................................(2.8)
Pada bagian kanan persamaan (2.8) menunjukkan keuntungan atau kerugian yang diperolehkan bila menyimpan aset dalam mata uang domestik jika suku bunga rupiah lebih tinggi daripada suku bunga dollar (iIN>iUS) berarti ada keuntungan yang akan diperoleh bila menyimpan aset domestik. Dengan demikian akan banyak investor berusaha untuk mengalihkan portofolio asetnya kedalam rupiah, sehingga akan terjadi capital inflow. Adanya capital inflow nantinya akan menyebabkan nilai tukar rupiah terhadap dollar mengalami apresiasi. Sebaliknya apabila iIN < iUS, berarti ada keuntungan yang akan diperoleh bila menyimpan aset dalam dollar Amerika Serikat. Hal ini akan mendorong terjadinya capital outflow sehingga rupiah nantinya mengalami depresiasi terhadap dollar Amerika Serikat. Sedangkan bagian kiri persamaan (2.9) menunjukkan adanya resiko yang akan ditanggung ataupun keuntungan yang akan diperoleh bila terjadi perubahan nilai tukar. Apabila (iIN >iUS) > (SeRp/$ > SRp/$), maka akan lebih menguntungkan bila menyimpan aset domestik, demikian pula sebaliknya. Berdasarkan persamaan (2.8) diatas maka rate of return rupiah atas simpanan dollar kurang lebih sama dengan suku bunga dollar Amerika Serikat ditambah dengan tingkat depresiasi rupiah terhadap dollar Amerika Serikat. Jika tingkat bunga domestik diatas tingkat bunga luar negeri, maka akan terjadi apresiasi dalam mata uang domestik atau depresiasi mata uang Amerika Serikat,
26
yang harus diimbangi dengan penurunan tingkat bunga dalam negeri. Persamaan (2.8) selanjutnya dituliskan kembali sebagai berikut: iIN = iUS +
e S Rp / $ − S Rp / $
S Rp / $
≡ iUS + ∆e ........................................................(2.9)
dimana : iIN
= suku bunga simpanan rupiah (domestik) pertahun
iUS
= suku bunga simpanan dollar (luar negeri) pertahun
SeRp/$ = perkiraan nilai tukar pada waktu yang akan datang (Forward) SRp/$ = nilai tukar yang berlaku saat ini (Spot) ?e
= ekspektasi depresiasi nilai tukar
Sedangkan penentuan nilai tukar antara rupiah dan dollar berdasarkan pendekatan moneter dimulai dengan fungsi permintaan uang nominal dari Indonesia (MdIN) dan Amerika Serikat (MdUS) dalam keseimbangan, jumlah uang yang diminta sama dengan jumlah uang yang ditawarkan. Jadi MdIN=Ms US. Kemudian persamaan (2.9) tersebut dapat kita subtitusikan kedalam persamaan money market equilibrium (2.10) sehingga diperoleh persamaan sebagai berikut : M INS PIN = ..........................................................................(2.10) L (iUS + ∆e, YIN ) PUS =
S M US ...................................................................................(2.11) L(iUS , YUS )
Selanjutnya menurut teori Purchasing Power Parity pada persamaan (2.5) maka persamaan nilai tukar dapat diturunkan sebagai berikut : S Rp / $ =
M INS L(iUS , YUS ) ..................................................................(2.12) S M US (iUS + ∆e , YIN )
Didalam keseimbangan jangka panjang ?e =0, dimana nilai tukar diharapkan tidak lagi berubah, tetapi dalam jangka pendek ?e ? 0, sehingga memungkinkan
27
untuk melihat hubungan antara nilai tukar, jumlah uang beredar, output, suku bunga dan tingkat harga. 2.4.4. Ekspektasi Rasional Asumsi lain untuk melengkapi analisis ini adalah berlakunya Rational Expectation yaitu bahwa semua agen ekonomi mengetahui bekerjanya mekanisme perekonomian. Dalam hal ini apabila dinyatakan
e adalah nilai tukar
keseimbangan, maka dapat diasumsikan bahwa S e Rp / $ = ~ e hal ini dapat menggambarkan arah perkembangan perekonomian yaitu dengan menganalisis hubungan antara tingkat harga dan nilai tukar yang memenuhi persamaan (2.9 dan 2.10) (Ickes,2004) Dalam jangka panjang ?e=0, maka persamaan (2.9) dapat dituliskan menjadi sebagai berikut : S M IN = L(iUS ,YIN ) ..................................................................................(2.13) PIN
Berapapun besarnya nilai tukar akan selalu konsisten dengan money market equilibrium, sebaliknya dalam jangka pendek ?e ? 0 misalnya apabila ?e > 0 dimana nilai tukar diharapkan akan mengalami depresiasi sesuai dengan persamaan (2.8) maka suku bunga di Indonesia lebih tinggi daripada suku bunga di Amerika Serikat, sehingga mengakibatkan terjadinya penurunan permintaan uang agregat. Untuk menjaga kondisi keseimbangan pasar uang pada jumlah uang beredar yang tertentu, maka tingkat harga domestik harus mengalami penurunan jadi dalam hal ini untuk menjaga money market equilibrium terdapat hubungan negatif antara nilai tukar dengan tingkat harga. Dalam situasi dimana perubahan moneter merupakan penyebab dominan dari suatu fluktuasi ekonomi, maka prediksi terhadap kebijakan moneter menjadi
28
sangat penting. Berdasarkan pendekatan moneter, dapat diperoleh gambaran mengenai hubungan antara uang beredar, suku bunga, nilai tukar, output, tingkat harga didalam perekonomian. Apabila tingkat harga di asumsikan fleksibel (Holod D ,2000), dimana tingkat harga merespon secara langsung atau on impact perubahan jumlah uang beredar. Ekspansi moneter akan mengarahkan terjadinya kenaikan tingkat harga dengan berlakunya Purchasing Power Parity dalam jangka pendek. Maka kenaikkan tingkat harga pada gilirannya kemudian akan me nyebabkan terjadinya depresiasi nilai tukar. Time path tingkat harga dan nilai tukar yang di harapkan mengikuti adanya kebijakan ekspansi moneter pada asumsi tingkat harga fleksibel dapat digambarkan sebagai berikut : e Rp/$ P IN
a) Time Path Tingkat Harga Setelah Terjadinya Ekspansi Moneter
b) Time Path Nilai Tukar setelah Terjadinya Ekspansi Moneter
Gambar 3. Time Path Asumsi Tingkat Harga Fleksibel Sebaliknya, apabila tingkat harga sticky dimana Purchasing Power Parity tidak berlaku dalam jangka pendek, kebijakan moneter beroperasi melalui jalur suku bunga. Positif shock pada kebijakan moneter domestik akan meningkatkan real money supply, karena tingkat harga sticky dalam jangka pendek maka peningkatan jumlah uang beredar ini akan menurunkan suku bunga domestik dengan berlakunya Interest Rate Parity, maka pembuat kebijakan melakukan
29
antisipasi dengan apresiasi mata uang domestik didalam jangka panjang dengan turunya suku bunga domestik dan terjadinya apresiasi mata uang domestik menyebabkan nilai aset domestik tidak menarik, sehingga terjadi aliran modal domestik keluar dan mata uang domestik terdepresiasi. P IN
e Rp/$
a) Time Path Tingkat Harga Setelah Terjadinya Ekspansi Moneter
b) Time Path Nilai Tukar Setelah Terjadinya Ekspansi Moneter
Gambar 4. Time Path Asumsi Tingkat Harga Sticky 2.5.
Kebijakan Moneter Kebijakan moneter merupakan kebijakan otoritas moneter atau bank
sentral
dalam
bentuk
pengendalian
besaran
moneter
untuk
mencapai
perkembangan kegiatan perekonomian yang di inginkan yaitu stabilitas ekonomi makro yang antara lain dicerminkan oleh stabilitas harga (laju inflasi) dan pertumbuhan ekonomi (Warjiyo, 2003). 2.5.1. Kerangka Operasional Kebijakan Moneter Kerangka operasional kebijakan moneter yang diterapkan oleh bank sentral di berbagai negara pada dasarnya memiliki konsep yang sama. Di satu sisi, bank sentral ingin mencapai sasaran – sasaran akhir yang menjadi tugas pokok nya seperti laju inflasi, laju pertumbuhan ekonomi, dan keseimbangan neraca pembayaran. Namun di sisi lain, bank sentral hanya mampu mempengaruhi beberapa instrumen kebijakan yang secara langsung di bawah pengendaliannya.
30
Karena itu diperlukan sasaran operasional sebagai sasaran segera yang hendak dicapai dari penggunaan instrumen tersebut dan dengan suatu mekanisme tertentu yang diasumsikan dapat mempengaruhi sasaran antara. Pada dasarnya pencapaian sasaran antara ini diharapkan dapat mempengaruhi pencapaian sasaran akhir yang di inginkan. Jadi alur mekanisme transmisi kebijakan moneter di Indonesia adalah instrumen kebijakan moneter, kemudian sasaran operasional, sasaran antara, dan terakhir adalah sasaran akhir (Hascaryo, 2003).
2.5.2. Instrumen Kebijakan Moneter Dalam mencapai tujuannya, bank sentral memiliki beberapa instrumen kebijakan moneter yaitu operasi pasar terbuka (open market operation), cadangan minimum (reserve requirement), dan kebijakan diskonto (discount policy). 1. Operasi Pasar Terbuka Operasi pasar terbuka (Miskhin, 2001) merupakan intervensi yang dilakukan bank sentral untuk mengendalikan jumlah uang yang beredar dengan membeli atau menjual surat berharga seperti Sertifikat Bank Indonesia dan Surat Berharga Pasar Uang . Sertifikat Bank Indonesia merupakan surat berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sedangkan Surat Berharga Pasar Uang diterbitkan oleh perusahaan atau bank. Kedua instrumen ini dikeluarkan pada saat bank sentral ingin membekukan likuiditas. Sertifikat Bank Indonesia sebagai surat berharga yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia digunakan untuk melakukan operasi moneter secara tidak langsung. Selain itu, Sertifikat Bank Indonesia dapat digunakan untuk mengatur likuiditas jangka pendek dari bank, perusahaan ataupun masyarakat. Suku bunga Sertifikat Bank Indonesia merupakan indikator yang terbaik dalam kebijakan
31
moneter dan terkadang digunakan sebagai alternatif investasi (Agung, 1998). Bank sentral akan melakukan kebijakan moneter yang bersifat kontraksi dengan menjual surat berharga dan melakukan kebijakan ekspansif dengan membeli surat berharga. Terdapat beberapa keuntungan kebijakan moneter dengan menggunakan instrumen pasar terbuka, (Miskhin, 2001) diantaranya : (1) Operasi Pasar Terbuka merupakan kebijakan moneter yang muncul atas inisiatif dari bank sentral untuk mengontrol jumlah uang beredar, (2) Operasi Pasar Terbuka dapat digunakan secara luas, fleksibel dan tepat, (3) Operasi Pasar Terbuka sangat mudah dikoreksi atau dibetulkan jika terdapat kesalahan dalam pengambilan suatu kebijakan, dan (4) Operasi Pasar Terbuka dapat diterapkan secara cepat. 2. Giro Wajib Minimum Giro Wajib Minimum atau cadangan minimum bank merupakan dana yang harus disimpan oleh perbankan pada bank sentral. Besarnya Giro Wajib Minimum merupakan cerminan dari kebijakan bank sentral dalam menentukan besarnya jumlah uang uang beredar. Giro Wajib Minimum jarang digunakan sebagai instrumen kebijakan. Kelebihan menggunakan instrumen Giro Wajib Minimum (Miskhin, 2001) adalah memiliki dampak yang sama ke semua bank dan sangat berpengaruh terhadap jumlah uang beredar. Kekurangan penggunaan Giro Wajib Minimum adalah peningkatan Giro Wajib Minimum secara cepat akan mengakibatkan masalah likuiditas bagi bank – bank yang memiliki excess reserves yang rendah. 3. Tingkat Diskonto Tingkat diskonto merupakan suatu kebijakan untuk mengendalikan uang beredar dengan merubah tingkat suku bunga, namun kebijakan ini jarang
32
digunakan. Kebijakan ini hanya bisa dipakai oleh bank, berkaitan dengan fungsi bank sentral sebagai lender of the last resort, artinya bank sentral sebagai alternatif terakhir bagi bank untuk memperoleh dana jika kekurangan likuiditas. Biasanya Bank Indonesia akan mengenakan suku bunga di atas rata-rata. Kekurangan menggunakan instrumen ini sebagai kebijakan moneter (Miskhin, 2001) yaitu; (1) menimbulkan kebingungan bagi bank sentral untuk menetapkan tujuan ketika perubahan tingkat diskonto diumumkan, dan (2) ketika bank sentral menetapkan tingkat diskonto pada level tertentu, akan terjadi fluktuasi antara suku bunga pasar dengan tingkat diskonto (i-id)
sebagai
perubahan suku bunga pasar. Secara umum, kebijakan moneter yang sehat memiliki karakteristik – karakteristik sebagai berikut, (Nugroho, 2002): 1. Bersifat antisipatif (forward looking) karena adanya lag kebijakan moneter 2. Hanya memiliki satu nominal anchor, sehingga sasaran kebijakan akan lebih terfokus. 3. Mengikatkan
diri
pada
suatu
rule
namun
cukup
fleksibel
dalam
operasionalnya (constrained discretion). 4. Sesuai dengan prinsip-prinsip good corporate government, yaitu memiliki tujuan yang jelas, transparan dan berakuntabilitas. Kebijakan moneter dapat mempengaruhi stabilitas harga, pertumbuhan ekonomi, perluasan kesempatan kerja, dan keseimbangan neraca pembayaran. Secara ideal, semua sasaran akhir tersebut bisa dicapai secara bersamaan. Namun, sering kali pencapaian sasaran – sasaran akhir tersebut mengandung unsur kontradiktif. Oleh karena itu, dalam undang-undang bank sentral ada
33
kecenderungan bahwa sasaran akhir kebijakan moneter adalah kestabilan harga yang artinya memfokuskan pada sasaran tunggal. Kebijakan moneter dengan sasaran tunggal pada umumnya menggunakan pendekatan harga (price-based structure), sementara kebijakan moneter dengan sasaran multi menggunakan pendekatan kuantitas (quantitas-base structure). Tugas pokok Bank Indonesia sebagai otoritas moneter adalah merencanakan dan membuat program moneter (moneter programming) yang intinya adalah melakukan perencanaan kebijakan pengendalian uang beredar (moneter) seperti yang diterangkan pada Tabel 1. Dalam penyusunan program moneter, penentuan sasaran operasional dilakukan dengan memperhitungkan beberapa asumsi berikut: 1. Kebijakan dan perkembangan sektor-sektor lain (fiskal, perdagangan dan investasi, dan lain-lain) akan berjalan seperti ditetapkan. 2. Adanya hubungan yang stabil antara uang primer (sebagai sasaran operasional) dengan uang beredar (sebagai sasaran antara). Kondisi ini mensyaratkan adanya stabilitas perkembangan money multiplier. Tabel 1. Kerangka Secara Umum Sistem Operasi Kebijakan Moneter Pendekatan
Sistem Operational
a. Pendekatan harga
Instrumen Sasaran Operasional - Langsung - Suku bunga PUAB - Tidak langsung
b. Pendekatan Kuantitas
Intrumen
Sasaran Akhir - Stabilitas harga
Sasaran Sasaran Antara Sasaran Akhir Operasional - Langsung - monetary base -Besaran moneter - Stabilitas harga - Tidak Langsung seperti: seperti : - Pertumb.Ekonomi • Uang Primer o MI,M2 - Kesemptan Kerja • Reserve bank o Suku bunga - Keseimbangan o Nilai Tukar BOP 0 Kredit Perbankan
Sumber : Ascarya, 2002
2.5.3. Sasaran Operasional Pemilihan variabel yang dijadikan sasaran operasi adalah hal pertama yang harus ditentukan. Dalam hal ini, suku bunga Pasar Ua ng Antar Bank (PUAB),
34
suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI), dan tingkat diskonto surat Berharga Pasar Uang (SBPU) merupakan tiga pilihan suku bunga jangka pendek yang dapat digunakan sebagai sasaran operasional. Pemilihannya didasarkan pada
dua
pertimbangan. Pertama, seberapa cepat perubahan masing-masing suku bunga jangka pendek tersebut ditransmisikan ke perubahan suku bunga deposito atau kredit dan perubahan nilai tukar. Kedua, seberapa jauh perubahan suku bunga jangka pendek tersebut dapat dipengaruhi oleh instrumen kebijakan moneter yang dilakukan oleh Bank Indonesia. Ketiga jenis suku bunga jangka pendek tersebut mempunyai kelebihan sekaligus kekurangan masing-masing. Suku bunga SBI dan tingkat diskonto SBPU mempunyai kelebihan karena dapat dikendalikan oleh Bank Indonesia. Bahkan kedua suku bunga ini dapat sekaligus menjadi instrumen dan sasaran operasional kebijakan moneter. Perbedaanya terletak pada pandangan perbankan bahwa SBI sebagai alternatif investasi, sementara SBPU sebagai alternatif pendanaan. Karena itu tingkat diskonto SBPU sering diyakini lebih dekat hubungannya dengan suku bunga deposito dan kredit. Sementara itu, suku bunga PUAB mempunyai kelebihan karena lebih menggambarkan kondisi pasar uang sebagai salah satu alternatif pendanaan dan penanaman modal jangka pendek perbankan. Karena langsung mempengaruhi return dan risk perbankan maka perubahan suku bunga ini diperkirakan lebih cepat ditransmisikan ke suku bunga dan kredit. Selain itu, PUAB sering pula dipergunakan sebagai alternatif sumber pendanaan bagi transaksi dipasar valuta asing karena eratnya keterkaitan antara kedua pasar uang ini. Dengan demikian diperkirakan perubahan suku bunga PUAB lebih cepat pula ditransmisikan ke pergerakan nilai tukar rupiah.
35
2.5.4. Sasaran Antara Tercapainya sasaran akhir kebijakan moneter seperti laju inflasi dan pertumbuhan ekonomi akan sangat bergantung pada kemampuan Bank Indonesia dalam mempengaruhi permintaan agregat baik konsumsi, investasi, maupun transaksi berjalan. Untuk itu bank Indonesia dapat menggunakan model ekonomi makro yang telah ada untuk memperkirakan seberapa besar permintaan agregat yang dianggap aman dan sesuai dengan laju inflasi dan pertumbuhan ekonomi yang diinginkan. sasaran tersebut diperlukan untuk dipergunakan sebagai acuan dalam memperkirakan besarnya demand pressure atau output gap yang dapat ditolerir dan perlu dikendalikan melalui kebijakan moneter yang dilakukan. Langkah selanjutnya adalah merumuskan suatu indikator yang dapat dipergunakan sebagai sasaran antara dalam pengendalian permintaan agregat tersebut. Dalam hubungan ini, Indikator Kondisi Moneter (IKM) yang ditempuh oleh Kanada, Selandia Baru, dan Australia kiranya dapat digunakan sebagai acuan penerapannya di Indonesia. IKM pada dasarnya mengukur pengaruh suku bunga dan nilai tukar terhadap aggregate demand pressures yang dicerminkan pada besarnya output gap sebagai berikut: IKM(v)
=
a(sukubunga(t)-sukubunga
(base))+ß(REER(t)-REER(base))100
dimana IKM (v) mencerminkan aggregate demand pressures, t menunjukkan periode sekarang, base adalah periode dasar, dan angka 100 untuk menunjukkan indeks. suku bunga yang berpengaruh pada permintaan agregat pada umumnya adalah sukubunga menengah panjang. Untuk Indonesia, suku bunga deposito atau sukubunga kredit dapat dipergunakan sebagai proksi mengingat tidak adanya suku bunga menengah panjang. REER adalah real efective exchange rate.
36
Parameter a dan ß diperoleh melalui penaksiran fungsi permintaan agregat dengan variabel suku bunga dan REER sebagai varaibel bebas. Dengan demikian suatu rasio IKM yang dicerminkan dengan a/ß menunjukkan seberapa kuatnya pengaruh sukubunga terhadap permintaan agregat relatif terhadap pengaruh REER. Rasio IKM ½ artinya bahwa 1 persen pengaruh kenaikkan suku bunga sama dengan 2 persen apresiasi nilai tukar dalam mempengaruhi permintaan agregat. Dengan kata lain, agar permintaan agregat tidak mengalami perubahan maka kenaikan suku bunga sebesar 1 persen harus diimbangi dengan depresiasi nilai tukar sebesar 2 persen. Semakin rendah rasio IKM berarti bahwa untuk mempengaruhi permintaan agregat diperlukan fluktuasi nilai tukar yang lebih besar. Karena IKM dinyatakan dalam perubahan relatif terhadap periode dasar maka perkembangan IKM dari waktu ke wkatu menunjukkan semakin besar/tidaknya agregate demand pressures. Kenaikan IKM menggambarkan semakin besarnya pengaruh suku bunga dan nilai tukar dalam mengurangi tekanan permintaan agregat tersebut. Dengan kata lain, gerakan IKM menunjukkan ketat/tidaknya stance dari kebijakan moneter yang ditempuh. Apabila bank Indonesia ingin mengetatkan pengendalian untuk mengantisipasi tekanan permintaan agregat yang semakin besar maka IKM diupayakan untuk dapat ditingkatkan dari waktu kewaktu.
2.5.5. Sasaran Akhir Selama ini manajemen moneter di Indonesia diarahkan untuk mencapai sasaran akhir kestabilan ekonomi makro, yaitu laju inflasi yang cukup rendah, laju pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, dan kemantapan neraca pembayaran.
37
Berbagai perubahan mendasar terutama perubahan sistem nilai tukar tetap menjadi sistem nilai tukar yang fleksibel mengharuskan Indonesia untuk memikirkan kembali tentang bagaimana kebijakan moneter dapat diarahkan untuk mencapai sasaran-sasaran tersebut. Suatu hal yang pasti adalah dalam sistem nilai tukar fleksibel, gerakan nilai tukar akan berfluktuasi sesuai dengan kekuatan pasar sehingga tidak lagi dapat diarahkan untuk mencapai suatu sasaran tingkat depresiasi tertentu untuk mendorong ekspor. Dengan demikian, dalam sistem nilai tukar fleksibel, kebijakan moneter lebih difokuskan pada pengendalian permintaan agregat. Lebih jelasnya bahwa kebijakan moneter diarahkan untuk mengendalikan tekanan-tekanan permintaan (aggregate demand pressures) yang disebabkan oleh tingginya kesenjangan antara permintaan agregat dengan output potensial (output gap). Hal ini mengingat besarnya output gap tersebut menentukan tingkat laju inflasi dan laju pertumbuhan dalam ekonomi. Semakin tinggi output gap, laju pertumbuhan ekonomi dapat lebih tinggi, akan tetapi akan dibarengi dengan laju inflasi yang lebih tinggi pula. Bank Indonesia harus menentukan seberapa jauh output gap tersebut akan diperkecil untuk menentukan imbangan antara sasaran laju inflasi dan laju pertumbuhan ekonomi yang dianggap paling optimal. 2.6.
Hasil Penelitian Terdahulu Santoso dan Iskandar (1999), dalam penelitian mengenai pengendalian
moneter dalam sistem nilai tukar yang fleksibel menjelaskan bahwa pengujian empiris dengan menggunakan vector autoregression dan granger causality test versi Hsiao menunjukkan bahwa kebijakan moneter dengan inflation targetting dapat digunakan di Indonesia khususnya setelah era sistem nilai tukar fleksibel.
38
Pengendalian moneter dalam kerangka inflation targetting dapat dilakukan dengan menggunakan suku bunga Pasar Uang Antar Bank overnight sebagai kandidat utama sasaran operasional dan (Monetary Condition Index) sebagai sasaran antara, sementara underlying inflation sebagai sasaran akhir tunggal. Sementara penggunaan Monetary Condition Index sebagai sasaran antara tidak dilakukan secara kaku (policy rules) tetapi dimungkinkan terjadinya discretionary policy sepanjang shock terhadap inflasi dan nilai tukar berasal dari supply shock dan bersifat sementara. Disamping itu masih kuatnya hubungan langsung antara monetary
aggregate dengan inflasi maka pengalihan kebijakan moneter dari
quantity targetting ke price targeting
bukan merupakan substitusi penuh.
Monetary aggregate masih tetap digunakan sebagai variabel indikator untuk mendeteksi tekanan terhadap inflasi. Studi empiris mengenai mekanisme transmisi moneter di Indonesia yang menjelaskan mengenai sumber – sumber fluktuasi makroekonomi di Indonesia telah dilakukan oleh Siregar and Ward (2002). Penelitian ini mengemukakan bahwa shock kebijakan moneter mempengaruhi output melalui suku bunga domestik kepada nilai tukar. Namun shock nilai tukar lebih penting dan menandakan bahwa adanya keterbatasan dari kebijakan moneter dalam upaya menstabilkan fluktuasi makroekonomi Indonesia. Selain itu, diinformasikan pula bahwa shock General Spending Balance atau nilai tukar rupiah riil terhadap nilai tukar riil dan permintaan uang ternyata mempunyai pengaruh nyata sehingga efek guncangan tersebut terhadap output lebih besar. Studi mengenai pentargetan inflasi di Indonesia yang juga dilakukan oleh Chowdhury dan Siregar (2002). Studi tersebut menggaris bawah adanya kendala yang serius dalam pembuatan kebijakan makroekonomi di Indonesia. Pada sisi
39
fiskal kendala utamanya adalah pemerintah menanggung beban hutang dan tekanan memperbaiki pengeluaran pembangunan. Sementara pada sisi moneter bagaimana mengupayakan tingkat inflasi yang rendah dan kebutuhan bagaimana memelihara likuiditas untuk mendorong perekonomian yang resesi. Didukung dengan adanya kompleksitas permasalahan moneter dan fiskal menyebabkan pengambilan kebijakan saling bertolak belakang dan sulit terkoordinasi dengan baik. Kajian mengenai hal tersebut menghasilkan suatu model trade off antara inflasi dengan pertumbuhan ekonomi yang menunjukkan bahwa inflasi yang tinggi namun sampai pada batas tertentu masih berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Pendekatan moneter dalam perekonomian terbuka telah memperluas analisisnya terhadap sistem nilai tukar fleksibel yang telah diadopsi negara negara didunia sejak tahun 1979. Model moneter untuk nilai tukar telah diformulasikan Dornbusch (1976). Model moneter Dornbusch telah melakukan suatu penyesuaian harga yang kaku (Sluggish price adjustment) dalam pasar barang, Frangkel (1976) ia telah mengembangkan suatu pandangan moneter tentang faktor-faktor yang menentukan nilai tukar. Pendekatan terbarunya menekankan pada pertimbangan yang berkaitan dengan permintaan uang dan the interest parity theory. Frangkel juga menekankan peranan ekspektasi dan menemukan suatu ukuran yang dapat di observasi secara langsung yang dibangun atas informasi yang termuat dalam data dari pasar dimuka (forward market) nilai tukar dan ditunjukkan secara konsisten dengan hipotesa sentral dari pendekatan moneter. Dalam model ini, analisis terdahulu telah menunjukkan asosiasi tertutup antara perkembangan moneter dan nilai tukar. Dari permintaan keseimbangan kas riil, md = g ( ? *) dan kondisi The Purchasing Power Parity, P = sP*, nilai tukar dapat ditulis seperti e = M/g (? *)
40
dimana P* adalah tingkat harga luar negeri, ? * adalah expected rate of inflation, M adalah stok uang nominal dan e adalah nilai tukar. Model ini menyatakan bahwa inflasi yang terlalu diantisipasi dapat meningkatkan tingkat bunga nominal yang selanjutnya menyebabkan nilai tukar spot menurun, yang berarti mata uang domestik mengalami apresiasi, interpretasi lain untuk pendekatan ini menyatakan bahwa tingkat bunga tinggi menurunkan pengeluaran dan menyebabkan surplus dalam neraca pembayaran, yang selanjutnya menurunkan nilai tukar spot. Dornbusch (1976) telah menunjukkan bahwa nilai tukar fleksibel tidak memberikan penyekatan dari gangguan harga luar negeri, dalam jangka pendek, harga atau ekspektasi adalah lambat untuk menyesuaikan. Ia juga membedakan antara komoditi yang diperdagangkan dan yang tidak diperdagangkan. Dornbusch memberikan fungsi logaritmik sebagai berikut :
e = (M − M *) + ( L − L*)(φ − φ*) .........................................................(2.14) dimana: M
= pertumbuhan kuantitas nominal uang domestik
M* = pertumbuhan kuantitas nominal uang luar negeri L
= permintaan keseimbangan riil domestik
L*
= permintaan keseimbangan luar negeri
φ − φ * = Harga relatif barang yang diperdagangkan domestik dan asing. Bentuk pertama dari tingkat harga ini mencakup efek perubahan moneter atas nilai tukar, dengan asumsi faktor-faktor lain konstan, maka pertumbuhan moneter yang tinggi dalam suatu negara dapat menyebabkan depresiasi dalam mata uangnya. Bentuk khususnya ini mencakup perbedaan pengaruh dalam inflasi jangka panjang antara negara-negara dan refleksinya dalam nilai tukar. Bentuk
41
kedua menjelaskan efek perubahan permintaan uang riil. Jadi kenaikan dalam permintaan uang riil akan menyebabkan apresiasi dalam mata uang domestik. Bentuk terakhir menjelaskan efek perubahan dalam harga struktur relatif atas nilai tukar. Frangkel (1979) menemukan faktor untuk versi harga kaku (the sticky price). Frangkel (1984), kembali mengestimasi suatu variasi struktur model nilai tukar yang berbeda dari versi harga fleksibel dan kaku dari pendekatan moneter. Ia menemukan beberapa point kritik dalam model moneter seperti pergeseran dalam fungsi permintaan uang dan nilai tukar dalam jangka panjang. Dibawah pendekatan moneter, proses penyesuaian dimana pendekatan tingkat keseimbangan nilai tukar aktual didefenisikan dengan baik untuk sistem nilai tukar tetap dan fleksibel. Untuk mengantisipasi gangguan terhadap neraca pembayaran, suatu negara dapat : 1) meng-peg kan nilai tukarnya dari pengaruh fluktuasi pasar valas, atau 2) ia dapat membolehkan nilai tukar untuk menyesuaikan dan menjaga tingkat cadangan konstan atau 3) ia dapat melakukan beberapa kombinasi perubahan cadangan dan nilai tukar. Kombinasi model nilai tukar nominal dan riil memberikan suatu kerangka yang luas untuk menganalisa perekonomian terbuka. Tetapi disebabkan upah dan harga adalah fleksibel ia dapat menjelaskan deviasi dari purchasing power parity hanya untuk memperluas gangguan yang berasal dalam sektor riil. Cagan (1984) telah memodifikasi modelnya dengan memperkenalkan harga dinamis. Dengan harga secara sesaat kaku, gangguan moneter dapat menyebabkan deviasi sesaat dari Purchasing Power Parity dan overshooting nilai tukar akan terjadi. Untuk membentuk blok terakhir dari pendekatan moneter adalah perkiraan rasional (rational expectations) yang tanpanya tidak dapat menjamin efisiensi
42
pasar pertukaran luar negeri
dalam konteks ini perkiraan rasional dapat
didefenisikan sebagai penggunaan penuh dari semua informasi yang tersedia. Hal ini tidak dibutuhkan berkaitan dengan tinjauan kemasa depan yang sempurna (perfect forsight) diatas periode waktu yang terbatas tetapi jika pasar aset keuangan adalah proses informasi yang tidak efisien, maka tidak ada alasan untuk memperkirakan pasar ini daripada aliran pasar barang-barang dan jasa-jasa untuk memainkan peranan penting dalam penyesuaian nilai tukar terhadap exogenous shock. Pertimbangan ini mendukung bahwa suatu fungsi ekspektasi yang tepat suatu model harus memulai dengan perkiraan bahwa nilai tukar akan ceteris paribus, merespon satu persatu perubahan dalam perbedaan inflasi yang diperkirakan secara rasional (the rationally expected inflation differential). Validasi model moneter harga fleksibilitas tergantung dari realistis tidaknya asumsi – asumsi yang mendasarinya. Pertama, Purchasing Power Parity dalam banyak kasus studi empiris tidak dipenuhi dalam jangka pendek, kedua, model harga fleksibel tidak memasukkan peranan harapan sehingga model ini gagal, menangkap karakteristik dinamik dari perilaku nilai tukar, ketiga, sampai taraf tertentu, suplai uang dan suku bunga merupakan faktor endogen, tergantung dari kebijakan moneter yang dianut dan perilaku perbankan. Pendekatan moneter tidak secara eksplisit membuat perbedaan ini dan keempat, obligasi domestik dan luar negeri diasumsikan saling mengganti secara sempurna. Oleh karena itu perbedaan suku bunga dihilangkan oleh harapan perubahan kurs. McNown dan Wallace (1994), menggunakan metodologi kontemporer dari kontegrasi Johansen, menguji pendekatan moneter terhadap determinasi nilai tukar bagi tiga negara industri inflasi tinggi dalam periode yang berbeda: Israel (1979;01-1988;10), Chili (1973;06-1985;06) dan Argentina (1977;03-1986;12).
43
Dibawah sistem nilai tukar mengambang mereka menemukan bukti yang mendukung dalil purchasing power parity pada ketiga negara Amerika Latin tersebut dengan karakteristik tinggi pertumbuhan uang beredar dan besarnya perubahan nilai tukar nominal relatif terhadap AS. Untuk Chili, satu vektor kointegrasi diindikasikan oleh kriteria rasio kemungkinan maksimum (maximum likelihood) dengan spesifikasi uang Amerika M1 dan dua vektor kointegrasi ditemukan ketika variabel moneter Amerika M2. Sedangkan untuk Argentina, dua vektor kointegrasi dan untuk Israel tepat satu vektor kointegrasi. Namun bagi Israel kointegrasi tidak ditemukan dalam model reduksi. Penelitian mengenai mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui jalur suku bunga pernah dilakukan oleh Warjiyo dan Zulverdi (1998). Studi ini mengadopsi mekanisme transmisi kebijakan moneter di Australia dan Selandia Baru yang disesuaikan dengan instrumen – instrumen pasar keuangan yang ada di Indonesia. Warjiyo dan Zulverdi menggunakan metode Granger Causality Test dalam penelitiannya dan menggunakan suku bunga Pasar Uang Antar Bank sebagai sasaran operasional, suku bunga deposito dan nilai tukar sebagai sasaran antara, serta tingkat inflasi sebagai sasaran akhir. Perubahan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia/Suku Bunga Pasar Uang akan ditransmisikan ke suku bunga Pasar Uang Antar Bank, selanjutnya diteruskan ke suku bunga deposito dan nilai tukar. Dengan asumsi Indonesia menggunakan sistem nilai tukar mengambang, suku bunga deposito dan nilai tukar akan ditransmisikan ke sektor riil melalui tingkat output nasional. Perbedaan antara output aktual dengan output potensial akan mempengaruhi laju inflasi. Disamping itu penelitian mengenai transmisi kebijakan moneter di Indonesia melalui jalur nilai tukar pernah dilakukan oleh Benny Siswanto et al (2001)
44
dengan menggunakan metode analisis VAR. Hasil estimasi VAR menunjukkan bahwa selama periode sebelum krisis, mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui jalur nilai tukar tidak bekerja dengan baik, namun sebaliknya sejak diterapkannya sistem nilai tukar fleksibel ternyata peranan jalur transmisi ini menjadi sangat penting. Atmadja (2001) menganalisis pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat dengan non ekonomi seperti politik, hankam, konsistensi, dalam penegakan hukum, sosial budaya dan sebagainya dan variabel ekonomi seperti tingkat inflasi, tingkat suku bunga, jumlah uang beredar, pendapatan nasional di Indonesia dan Amerika Serikat serta posisi neraca pembayaran internasional Indonesia dalam mempengaruhi pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika. Dari analisis diperoleh bahwa hanya variabel jumlah uang beredar yang memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika sedangkan variabel – variabel yang lainnya tidak. Nuryadin dan Santoso (2004), menganalisis variabel – variabel yang menentukan nilai tukar rupiah selama periode tahun 1980;1-2000;4. Dalam mengaplikasikan
model
neraca
pembayaran
dan
model
moneter
yang
dikembangkan oleh Fullerton Calderon (2001), mereka menambahkan dua variabel dummy: variabel kebijakan (devaluasi) dan variabel krisis. Hasil uji kointegrasi berdasarkan Augmented Dickey Fuller (ADF) menunjukkan bahwa variabel – variabel yang dipilih pada kedua model mempunyai hubungan jangka panjang. Sementara hasil uji kointegrasi dalam kerangka analisis Vector Autoregression/ VAR (devaluasi dan krisis sebagai variabel eksogen) pada model moneter menunjukkan adanya vektor kointegrasi diantara variabel – variabel
45
dalam model tersebut, tetapi pada model neraca pembayaran tidak menunjukkan adanya vektor kointegrasi. Namun demikian setelah dilakukan koreksi Reimers dalam penelitian tersebut tidak di temukan adanya vektor kointegrasi antar variabel pada kedua model. Secara umum variabel – variabel yang digunakan menunjukkan koefisien regresi dengan arah yang sesuai harapan teori, atau kesesuaian hipotesis pada model neraca pembayaran dan model moneter terpenuhi. Namun variabel cadangan internasional dan pendapatan nasional mengalami perbedaan arah hubungan antara masa sebelum krisis dan masa krisis. Pada masa sebelum krisis variabel cadangan internasional menunjukkan arah yang tidak konsisten dengan teori dan berubah arah pada masa krisis. Sedangkan variabel pendapatan nasional menunjukkan arah hubungan yang konsisten dengan teori pada masa sebelum krisis dan berubah arah pada masa krisis. Selanjutnya hasil estimasi Engle Granger – Error
Correction Model
(EG-ECM) pada kedua model
mengindikasikan bahwa dampak dari perubahan variabel – variabel dalam mempengaruhi nilai tukar memerlukan koreksi antar waktu yang berbeda. Proses penyesuaian dari ketidakseimbangan menuju keseimbangan pada model neraca pembayaran lebih besar, 17.51 persen daripada model moneter 12.47 persen.
46
III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1.
Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter Mekanisme transmisi moneter merupakan proses ditransmisikannya
kebijakan moneter terhadap kegiatan ekonomi secara riil dan harga – harga dimasa yang akan datang. Berdasarakan hasil empiris, dalam jangka pendek jumlah uang beredar hanya mempengaruhi perkembangan output riil. Selanjutnya jangka menengah pertumbuhan jumlah uang beredar akan mendorong pada kenaikan harga yang pada gilirannya menyebabkan penurunan perkembangan output riil menuju posisi semula. Dalam jangka panjang pertumbuhan jumlah uang beredar tidak berpengaruh pada perkembangan output riil tetapi mendorong kenaikkan laju inflasi secara proporsional. Proses transmisi kebijakan moneter sangat tergantung pada pendekatan yang dipilih sehingga tujuan kebijakan tercapai. Mekanisme transmisi melalui jalur suku bunga menekankan bahwa kebijakan moneter dapat mempengaruhi permintaan agregat melalui perubahan suku bunga, dalam hal ini perubahan suku bunga jangka pendek ditransmisikan pada suku bunga jangka menengah dan jangka panjang melalui mekanisme penyeimbangan sisi permintaaan dan penawaran di pasar. Apabila perubahan harga bersifat kaku (sticky price), perubahan suku bunga nominal jangka pendek yang dipengaruhi oleh kebijakan bank sentral akan mendorong perubahan suku bunga riil jangka pendek dan panjang. Dengan kekakuan harga tersebut, jika bank sentral melakukan kebijakan moneter ekspansif, hal itu akan mendorong penurunan suku bunga riil jangka pendek, yang selanjutnya akan mendorong penurunan suku bunga riil jangka panjang. Begitupun jika kebijakan bank sentral bersifat kontraktif, kekakuan harga akan
47
menyebabkan meningkatnya suku bunga riil jangka pendek dan jangka panjang. Perkembangan suku bunga tersebut akan mempengaruhi cost of capital yang pada giliranya akan mempengaruhi pengeluaran investasi dan konsumsi yang merupakan komponen dari permintaan agregat. Mekanisme transmisi melalui jalur nilai tukar menekankan bahwa pergerakan nilai tukar dapat mempengaruhi perkembangan permintaan dan penawaran agregat, dan selanjutnya akan mempengaruhi output dan harga. Besar kecilnya pengaruh pergerakan nilai tukar tergantung pada sistem nilai tukar yang dianut oleh suatu negara. Mekanisme transmisi melalui jalur ekspektasi menekankan bahwa kebijakan moneter dapat diarahkan untuk mempengaruhi pembentukan ekspektasi mengenai inflasi dan kegiatan ekonomi. Kondisi tersebut mempengaruhi perilaku agen-agen ekonomi dalam melakukan keputusan konsumsi dan investasi, yang pada gilirannya akan mendorong perubahan permintaan agregat dan inflasi.
3.2.
Pasar Uang Secara umum yang dimaksud dengan pasar uang adalah pasar dimana
uang dana jangka pendek diperdagangkan dan merupakan tempat dimana terjadinya interaksi antara permintaan dan penawaran uang yang pada akhirnya menentukan tingkat bunga. Dalam perekonomian terbuka, uang primer (Mo) terdiri dari dua komponen utama net foreign asset (NFA) dan net domestik credit (NDC) sehingga dapat dinyatakan sebagai berikut, (Dornbusch et.al, 2001): M 0 = NFA + NDC ................................................................................(3.1) ∆M 0 = ∆NFA + ∆NDC ..........................................................................(3.2)
48
Persamaan (3.2) menyatakan bahwa, perubahan uang stok primer sama dengan perubahan kepemilikan bank sentral atas foreign Asset ditambah dengan perubahan domestic credit expansion. Perubahan kepemilikan bank sentral atas foreign asset (? NFA) merupakan equivalen rupiah dari perubahan international reserve (Kamin et al. 1997) dan dituliskan sebagai berikut : ∆NFA = E∆R .........................................................................................(3.3)
Selanjutnya perubahan international reserve dapat dih itung dari neraca pembayaran, yaitu sebagai penjumlahan dari current account
balance (CA)
dengan capital account balance (KA) sebagai berikut : ∆R = CA + KA ........................................................................................(3.4)
∆NFA = E (CA + KA) .............................................................................(3.5) Dengan mensubtitusikan persamaan (3.5) kedalam persamaan (3.3) maka diperoleh persamaan uang primer sebagai berikut: ∆M 0 = E (CA + KA) + ∆ NDC ................................................................(3.6) dimana: CA = Current Account Balance KA = Capital Account Balance E
= nilai tukar nominal
Penawaran uang atau uang beredar (Ms = Money Supply) adalah jumlah uang yang tersedia dalam suatu perekonomian. Pengertian uang beredar biasanya dibedakan sebagai uang beredar dalam arti sempit (M1) dan uang beredar dalam arti luas (M2). Uang beredar dalam arti sempit terdiri atas uang kartal dan uang giral (C) sedangkan uang beredar dalam arti luas adalah uang beredar dalam arti uang sempit ditambah dengan simpanan (D), di Indonesia terdiri dari tabungan
49
dan deposito, Dalam penelitian ini di pergunakan uang beredar dalam arti luas, sehingga dapat dinyatakan sebagai berikut :
M S = C + D ...........................................................................................(3.7) Uang beredar juga dikaitkan dengan uang primer melalui money multiplier (mm), sebagai berikut :
M S = mm M 0 .........................................................................................(3.8) Sehingga perubahan jumlah uang beredar yang merupakan pencerminan adanya perubahan didalam money multiplier dan uang primer, dapat dinyatakan sebagai :
∆M S = M 0 ∆ mm + mm∆M 0 ..................................................................(3.9) ∆M S = M 0 ∆mm + mm[ E (CA) + E ( KA) + ∆NDC ] .............................(3.10) Sedangkan yang dimaksud dengan permintaan uang adalah jumlah uang yang diminta ( Md = Money Demand) oleh masyarakat untuk dipegang pada suatu waktu dan keadaan tertentu. Permintaan uang agregat dapat dirumuskan sebagai berikut : M d = P * L (i, Y ) ..................................................................................(3.11) Persamaan (3.11) me nyatakan tingkat uang agregat dalam perekonomian ditentukan oleh tingkat harga, suku bunga dan pendapatan nasional rill. Kondisi keseimbangan dalam pasar uang terjadi apabila panawaran uang sama dengan permintaan uang, sehingga implikasi dari asumsi (i) dapat dinyatakan sebagai berikut : M S = M d = P * L (i, Y ) ........................................................................(3.12) Apabila kedua sisi persamaan (3.12) dibagi dengan tingkat harga, maka keseimbangan pasar uang dalam bentuk persamaan permintaan uang riil agregat, sebagai berikut :
50
MS Md = = L (i Y ) .............................................................................(3.13) P P Terlepas dari tingkat harga (P) yang berlaku dan tingkat output (Y) yang ada, pasar senantiasa bergerak menuju suku bunga (i) dimana penawaran uang riil sama dengan permintaan uang riil. Jika pada awalnya terjadi kelebihan penawaran uang, maka suku bunga segera menurun, sedangkan bila pada awalnya terdapat kelebihan permintaan uang, suku bunga akan meningkat. Namun pasar uang selalu bergerak menuju suatu keseimbangan, dimana tingkat harga (P), suku bunga (i) dan tingkat output (Y) berubah-ubah, sehingga persamaan keseimbangan pasar uang (3.13) dapat dituliskan kembali menjadi: P=
MS ...........................................................................................(3.14) L (i, Y )
Persamaan (3.14)
merupakan persamaan keseimbangan tingkat harga jangka
panjang menunjukkan tingkat harga ditentukan oleh jumlah uang beredar, suku bunga dan tingkat output riil, bila pasar uang berada kondisi keseimbangan dan semua faktor produksi terdaya gunakan secara penuh, maka tingkat harga akan tetap bertahan apabila penawaran uang, permintaan uang agregat dan nilai jangka panjang suku bunga dan tingkat output tetap. Bila semua kondisi lainya tetap, kenaikan tingkat peawaran uang akan mengakibatkan kenaikan tingkat harga secara proposional. Sedangkan asumsi (ii) dan (iii) mengandung implikasi bahwa penurunan daya beli mata uang domestik, yang ditunjukkan oleh kenaikan tingkat harga domestik akan diikuti oleh depresiasi mata uangnya secara proposional dalam pasar valuta asing. Begitu juga sebaliknya, kenaikan daya beli mata uang
51
domestik akan disusul adanya apresiasi mata uangnya secara proposional. Purchasing Power Parity memprediksi kurs rupiah/dollar adalah
S Rp / $ =
PIN PUS
......................................................................................(3.15)
Berdasarkan persamaan (3.14) tersebut, maka tingkat harga di Indonesia dan di Amerika Serikat dapat dinyatakan dalam bentuk persamaan sebagai berikut : PIN =
M INS .................................................................................(3.16) L (iIN ,YIN )
P$ =
M $S ………………........................…………………………(3.17) L(i$ , Y$ )
Dengan mensubtitusi persamaan (3.16) dan (3.17) kedalam persamaan (3.15) maka diperoleh persamaan nilai tukar sebagai berikut : S Rp / $ =
$ M IN L(iUS , YUS ) .......................................................................(3.18) S M US L(iIN , YIN )
Persamaan (3.18) menunjukkan nilai tukar ditentukan oleh penawaran – penawaran relatif mata uang rupiah terhadap dolar serta permintaan- permintaan uang riil relatif dollar terhadap rupiah. Terakhir asumsi (iv) menyatakan pasar valuta asing berada dalam kondisi keseimbangan apabila semua simpanan dalam berbagai valuta asing menawarkan imbalan yang sama secara matematis teori dapat dinyatakan sebagai berikut : e S Rp / $ − S Rp / $
S Rp / $
= iIN − iUS ........................................................................(3.19)
Atau iIN = iUS +
e S Rp / $ − S Rp / $
S Rp / $
= iUS + ∆ e .......................................................(3.20)
dimana ?e = ekspektasi depresiasi nilai tukar
52
Selanjutnya dengan mensubtitusi persamaan (3.20) kedalam persamaan (3.16) maka diperoleh persamaan keseimbangan pasar uang di Indonesia sebagai berikut: M INS PIN = ...........................................................................(3.21) L (iUS + ∆e, YIN ) Berdasarkan hubungan –
hubungan antara variabel-variabel pada
persamaan diatas maka hubungan antara nilai Suku bunga Dunia (SBW), Industrial Production Index (IPI), Harga (CPI), Nilai tukar Rupiah (ER) uang beredar (M2,) suku bunga (SBI), dinyatakan dalam bagan sebagai berikut : Instrumen Kebijakan Moneter P=Ms/L(iY) MV=PY
Suku bunga SBI
SBW
Ms=M*M0
Uang Beredar (M2)
Capital Flow
UIP
Nilai Tukar (ER)
PPP Tingkat Harga Domestik (CPI) Keterangan : SBW: Sukubunga Dunia UIP : Uncover Interest Parity IPI : Industrial Production Index PPP : Purchasing Power Parity = Faktor Eksternal
= Faktor Internal = Variabel yang tidak dianalisis
Gambar 5: Skema Kerangka Pemikiran
IPI
53
3.3. Hipotesis Penelitian Hipotesa yang digunakan dalam penelitian ini meliputi : 1. Hipotesis pengaruh Industrial Production Index meliputi Semakin tinggi Industrial Production Index dan harga – harga yang berlaku disuatu negara maka akan semakin besar pula jumlah uang beredar dinegara tersebut karena setiap individu dan perusahaan memerlukan lebih banyak uang untuk transaksi
(
IPI
M2
P
).
2. Hipotesis pengaruh shock tingkat harga yang meliputi : a. Kenaikan tingkat harga akan mengarahkan pada terjadinya depresiasi nilai tukar (Teori PPP : P
ER)
b. Kenaikan tingkat harga akan mendorong terjadinya peningkatan jumlah uang beredar ( P
M2), apabila money velocity dan tingkat output
tertentu (quantity theory of money, MV=PY) dalam hal ini terdapat one to one corrrelation antara jumlah uang beredar dengan harga, sehingga teori kuantitas uang klasik ini merupakan teori inflasi. 3. Hipotesis pengaruh jumlah uang beredar yang meliputi. Ekspansi
moneter
melalui
peningkatan
jumlah
uang
beredar
akan
mengarahkan pada terjadinya pada kenaikan tingkat harga (teori money market equilibrium ( M2
CPI).
4. Hipotesis pengaruh shock nilai tukar meliputi : a. Depresiasi nilai tukar akan mendorong kenaikan tingkat harga ( ER
P) . Kenaikan tingkat harga dapat terjadi secara langsung (direct
pass throught effect) karena harga barang impor dan komoditi yang menggunakan bahan baku impor menjadi lebih mahal dan secara langsung masuk dalam perhitungan Consumer Price Index. Disamping itu, kenaikan
54
tingkat harga dapat juga terjadi secara tidak langsung (Indirect Pass throught) yaitu
depresiasi nilai tukar mempengaruhi permintaan net
export, pada akhirnya tingkat harga (inflasi). b. Depresiasi nilai tukar akan meningkatkan jumlah uang beredar, secara langsung ( ER
M2). Peningkatan jumlah uang beredar terjadi karena
simpanan dalam nominasi mata uang dollar juga termasuk dalam perhitungan jumlah uang beredar (M2), sehingga depresiasi nilai tukar secara otomatis akan meningkat nilai rupiah dari simpanan di maksud dan pada gilirannya akan meningkatkan jumlah uang beredar. Disamping itu, nilai tukar juga akan mempengaruhi jumlah uang beredar melalui perusahaan kepemilikan bank sentral atas foreign asset merupakan perubahan atas international reserve dan dipengaruhi oleh perubahan nilai tukar apabila terjadi depresiasi nilai tukar, maka international reserve dan net foreign asset akan meningkat yang mengakibatkan terjadinya peningkatan uang primer dan secara otomatis akan meningkat jumlah uang beredar ( ER
?R
NFA
M0
? MS).
5. Hipotesis pengaruh tingkat bunga meliputi : Ekspansi
moneter
melalui
peningkatan
jumlah
uang
beredar
akan
mengarahkan pada terjadinya depresiasi nilai tukar. Hal ini terjadi karena peningkatan jumlah uang beredar akan mendorong turunya tingkat bunga dalam regim dibawah tingkat bunga luar negeri. Tingkat bunga dalam negeri yang lebih rendah akan mendorong terjadinya capital outflow, selanjutnya capital outflow pada gilirannya akan mengarahkan pada terjadiya depresiasi nilai tukar (teori IRP: M2
i
ER).
55
Namun dalam penelitian ini uang beredar dianggap sebagai sasaran antara bagi otoritas moneter, dalam upayanya untuk mencapai dan memelihara kestabilan harga. Oleh karena itu, apabila terjadi kenaikan tingkat harga lebih lanjut, maka bank Indonesia dalam kerangka penerapan kebijakan inflation targetting dapat melakukan kontraksi moneter (
P
M2). Uang beredar
digunakan sebagai sasaran antara untuk mengontrol inflasi, bukan sebagai sasaran akhir. Disamping itu, uang beredar juga cukup flexible untuk bereaksi apabila terjadi perubahan tingkat harga.
56
IV. METODE PENELITIAN
4.1.
Data
4.1.1. Sumber Data Data yang digunakan dalam studi ini adalah data sekunder dalam bentuk deret waktu (time series) yang bersumber dari International Financial Statistic (IFS) yang dipublikasikan oleh International Monetery fund (IMF) ; buku statistik Indonesia yang dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik Indonesia (BPS); Laporan Bulanan Keuangan Bank Indonesia dan juga Laporan Mingguan yang dipublikasikan oleh Bank Indonesia. Selanjutnya berasal dari literatur – literatur lain yang berkaitan dengan topik penelitian.
4.1.2. Jenis Data Data yang digunakan adalah : 1. Tingkat Suku Bunga Dunia (SBW) 2. Industrial Production Index di Indonesia (IPI) 3. Consumer Price Index di Indonesia (CPI) 4. Nilai Tukar Rupiah di Indonesia (ER) 5. Money Supply dalam arti luas di Indonesia (M2) 6. Sertifikat Bank Indonesia (SBI)
4.1.3. Sampel Data Tesis ini didasarkan atas data yang diobservasi selama periode waktu dari tahun 1999 – 2006. Data yang digunakan umumnya dalam bentuk bulanan (96 observasi) dari periode bulan Januari 1999 sampai bulan Desember 2006. Data tingkat IPI, CPI, SBI, SBW menggunakan data bulanan dari waktu 1999 – 2006.
57
Data untuk persamaan uang beredar (M2) menggunakan data bulanan dari periode waktu 1999-2006. Terakhir data untuk model nilai tukar nominal rupiah dengan dollar Amerika Serikat (ER). Semua variabel dapat dianalisis dengan mudah, pada waktu bersamaan dan dapat dipercaya. Tabel 2. Variabel, Indikator dan Satuan Data Variabel SBW IPI CPI ER M2 SBI
Indikator Suku Bunga Dunia Industrial Production Index Consumer Price Index Nilai Tukar Money Supply Sertifikat Bank Indonesia
Satuan Persen Index Index Rupiah/Dollar Rupiah Persen
Sumber : Data untuk diolah
4.2.
Metode Analisis Metode analisis yang akan digunakan adalah model Structural Vector
Autoregresive (SVAR). Enam variabel yaitu, Suku Bunga Dunia (SBW), Industrial Production Index (IPI), Tingkat Harga (CPI), Money Supply (M2), Nilai Tukar (ER),
Sertifikat Bank Indonesia (SBI), dan. Sketsa kerangka
konseptual metode SVAR ini dapat dinyatakan sebagai berikut : a11 a 21 a31 a 41 a51 a 61
0
0
0
0
a 22 a 32
0 a33
0 0
0 0
a 42 a 52
a 43 a53
a 44 a54
0 a 55
a 62
a 63
a 64
a 65
0 SBW t b11 0 0 IPI t 0 b22 0 CPI t 0 0 = 0 0 ERt 0 0 M 2t 0 0 a66 SBI t 0 0
0
0
0
0 b33
0 0
0 0
0 0
b44 0
0 b55
0
0
0
0 SBW t−1 ε SBWt 0 IPIt −1 ε IPIt 0 CPIt −1 ε CPIt + 0 ERt −1 ε ERt 0 M 2 t−1 ε M 2t b66 SBI t −1 ε SBIt
................................................................................................................(4.1) Dimana eSBWt, eIPIt, eCPIt, eERt, eM2t , eSBIt merupakan uncorrelated white noise disturbance dengan standar deviasi s SBWt, s IPIt, s CPIt, s ERt, s M2t, s SBIt Untuk lebih sederhana, dalam hal ini variabel disebelah kanan hanya untuk satu lag, tapi dalam analisis dimungkinkan untuk menggunakan lag lebih dari satu. Selanjutnya
58
hubungan tersebut diatas dapat direpresentasikan secara sederhana sebagai berikut: AYt = BYt −1 + Dvt ....................................................................................(4.2) Dimana Yt adalah (n x 1) vector variable endogeneus dan vt adalah suatu vector white noise structural shock. Matrik A dalam persamaan (4.1) menunjukkan contemporaneous response atau immediate response dari masing-masing variabel terhadap perubahan variabel lainnya. Matriks B dalam persamaan merupakan lag dari masing-masing variabel dan D merupakan uncorrelated white noise disturbance. Untuk menjalankan proses regresi, maka diperlukan suatu variabel dependent disebelah kiri dan variabel independent disebelah kanan. Persaman (4.2) dapat dinyatakan dalam reduced form sebagai berikut :
Yt = A −1 BYt −1 + A −1 Dvt ............................................................................(4.3) Selanjutnya apabila A-1B=? dan ut = A-1Dvt, maka diperoleh persamaan regresi sebagai berikut : Yt = ΓYt −1 + ut ........................................................................................(4.4) Karena eSBWt, eIPIt, eCPIt, eERt, eM 2t, eSBIt merupakan uncorrelated white noise distrubance akan memiliki rata-rata 0, variance yang konstan dan tidak memiliki otokorelasi serial. Apabila persamaan (4.3) ini diesksekusi maka akan muncul permasalahan, yaitu matriks A dan B tidak dapat dipisahkan karena yang dapat dilakukan adalah memperkirakan matriks ? solusi terhadap permasalahan ini adalah dengan membuat restriksi secara eksplisit terhadap koefisien matriks A dan D, dan biasanya dengan menetapkan koefisien matrik A atau D sama dengan 1 atau 0.
59
secara umum dalam model SVAR diasumsikan bahwa D =1, sehingga dengan demikian terdapat n (n+1)/2 restriksi yang perlu di imposed pada matriks A. Restriksi dibuat berdasarkan teori atau judgement tertentu. Sehingga, apabila matriks A dapat diidentifikasikan dan matriks ? diketahui, maka matrik B dapat ditentukan sebagai : B = A?. Setelah identikasi matriks, selanjutnya dapat dibangun Impulse Response Function yang menunjukkan bagaimana goncangan pada salah satu variabel mempengaruhi variabel lainya. Berdasarkan Impulse Response Function, dapat dibuktikan apakah suatu variabel akan berlaku sesuai teori atau tidak. Apabila Impulse Response Function tidak sesuai dengan teori atau tidak logis, maka matrik A harus direstriksi kembali dan kemudian Impulse Response Function baru di rekontruksi kembali. Proses ini dilakukan terus sampai diperoleh Impulse Response Function yang logis. Jadi esensi dari penelitian ini adalah kombinasi antara pengolahan statistik dan pengetahuan teoritis, untuk membangun model yang menunjukkan bagaimana monetary shock akan mempengaruhi nilai tukar rupiah dan inflasi dan bagaimana nilai tukar rupiah dan inflasi mempengaruhi monetary policy. Meskipun model ini merupakan penyederhanaan dari model sebenarnya, namun diharapkan model ini dapat menunjukkan beberapa skema identifikasi yang melibatkan matriks A sebagai contemporaneus effect.
4.2.1. Uji Stasioneritas Data Isu statistik model dinamis digunakan untuk melihat kemungkinan adanya hubungan keseimbangan jangka panjang antara variabel – variabel ekonomi
60
sebagaimana yang diharapkan dalam teori ekonomi. Dalam hal data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis kuantitatif dengan model ekonometrik standar seperti Ordinary Least Squares (OLS), jika
datanya
memungkinkan teknik ini dapat diterapkan. Teknik analisis dengan OLS hanya dapat dipakai jika datanya stasioner, baik variabel dependent maupun independentnya. Untuk mengetahui stasioneritas data, digunakan Uji Augmented Dickey –Fuller (ADF). Jika hasil uji menolak hipotesis adanya unit root yang berarti bahwa data adalah stasioner, estimasi akan dilakukan dengan menggunakan regresi linier biasa (OLS). Residu dari hasil estimasi ini akan dilakukan uji stasioneritasnya. Jika residu adalah stasioner, berarti diantara variabel – variabel terjadi kointergrasi, sehingga estimasi akan dilakukan dengan menggunakan teknik kointegrasi. Jika hasil uji unit root terhadap level dari variabel – variabel menerima hipotesis adanya unit root berarti data adalah tidak stasioner atau data yang termasuk random walk, maka dilakukan pengecekan terhadap orde integrasi dari masing-masing variabel. Jika semua variabel yang tidak stasioner memiliki orde integration yang sama, maka dilakukan cointegrasi test dengan Johansen Test for Cointegration. Jika hasil uji menunjukkan variabel cointegrated, maka regresi bisa dilakukan. jika tidak variabel diturunkan untuk mencari stasionernya. Jika semua variabel yang memiliki orde integrasi yang berbeda-beda (sebagaimana disampaikan diatas) sudah diturunkan (differensiasi), uji kembali variabel tersebut dengan Augmented Dickey-Fuller (ADF) untuk mengetahui apakah terdapat unit root atau tidak, dan lakukan kembali prosedur yang sama jika stasioneritas dari data belum dicapai.
61
4.2.2. Pemilihan Panjang Lag Sistem Vector Autoregressive Spesifikasi model Vector Autoregresive (VAR) meliputi pemilihan variabel dan jumlah lag yang akan digunakan didalam model VAR. Sehingga terlebih dahulu harus ditentukan jumlah lag untuk pembentukan sistem VAR yang stabil (Enders, 2004) menyarankan untuk memilih model VAR yang memiliki Akaike Information Criterion (AIC) dan Schwartz Bayesian Criterion (SBC) yang paling kecil. AIC dinyatakan sebagai berikut : AIC ( p) = T log | ∑ | + 2 N .....................................................................(4.5)
Sedangkan SBC dinyatakan sebagai : SBC ( p ) = T log | ∑ | + N log(T ) ............................................................(4.6)
dimana : T =
jumlah observasi
|S| =
determinan dari varian – varian matriks residual
N =
jumlah parameter yang diestimasi dalam semua persamaan
P =
jumlah lag, dipilih sedemikian sehingga AIC dan SBC adalah minimum.
4.2.3. Uji Unit Root Uji akar unit dipandang sebagai uji stasionaritas, karena pada intinya uji tersebut dimaksudkan untuk mengamati apakah koefisien tertentu dan model otoregresif yang ditaksir mempunyai nilai satu atau tidak. Dalam kasus dimana data runtun waktu (time series) yang digunakan tidak stasioner, maka kesimpulan yang diperoleh akan menghasilkan pola hubungan regresi yang lancung/palsu (spurious regression relationship), selanjutnya langkah awal yang harus dilakukan dalam pengujian ini adalah menaksir model otoregresif dari masing-
62
masing variabel yang akan digunakan dalam penelitian dengan OLS (Ordinary Least Square). Perbedaan lain antara data series yang stasioner dan yang non stasioner yaitu shock yang terjadi pada data series yang stasioner bersifat sementara. Sejalan dengan waktu, dampak dari shock akan berkurang dari series data akan kembali ke long run mean levelnya. Secara umum, prilaku dari data series yang stasioner adalah sebagai berikut : (Enders, 2004) 1. Mean dari data stationer menunjukkan perilaku yang konstan 2. Data stasioner menunjukkan variance yang konstan 3. Data stasioner menunjukkan correlogram yang menyempit (deminishing) seiring dengan penambahan waktu (lag). Sebaliknya, data yang non stasioner adalah time dependent, atau cenderung mengalami perubahan yang mendasar seiring dengan jalannya waktu, secara umum, prilaku dari non stasioner time series adalah sebagai berikut (Enders, 2004): 1. Data series yang non stasioner tidak memiliki longrun mean 2. Data series yang non stasioner memiliki ketergantungan terhadap waktu, variance dari data semacam ini akan membesar tanpa batas seiring dengan waktu 3. Correlogram dari data ini cendrung akan melebar Apakah suatu data series bersifat stasioner atau non stasioner dapat dilihat dari bentuk correlogramnya, apakah menyempit atau melebar. Pengamatan dengan cara ini sudah mulai ditinggalkan. Dewasa ini pendekatan yang lebih bersifat spurious mulai banyak digunakan. Pendekatan ini disebut unit root test. Pengujian unit root dilaksanakan untuk melihat apakah datanya mengandung unit
63
root atau tidak, apabila datanya mengandung unit root maka berarti data tersebut tidak stasioner. Salah satu bentuk pengujiannya adalah Dickey-fuller Test yang diperkenankan pada tahun 1979. Pengujian ini dilaksanakan melalui regresi suatu variabel terhadap lagnya. Analisa stasionaritas pada persamaan Autoregressive 1 atau AR(1) ditunjukkan dengan: yt = a0 + γyt −1 + ε t ..................................................................................(4.7) dimana et adalah white noise Jika diasumsikan bahwa parameter ? akan positif (? = 1) maka variabel yt nonstasioner dan jika parameter ? lebih kecil dari 1 (? < 1) maka variabel yt stasioner yang diringkas melalui hipotesa berikut : H0 : ? = 1 Nonstasioner, ada unit root HA : ? < 1 Stasioner, tidak ada unit root Dengan aplikasi OLS maka didapat γˆ (estimasi dari ?) dan S γˆ (estimasi standar error ) maka test statistik adalah : γˆ − 1 TS = ..........................................................................................(4.8) Sγˆ Apabila nilai tes statistik lebih kecil dari nilai kritis maka tolak H0, mengimplikasikan bahwa variabel tidak mengandung unit root artinya stasioner. Namun permasalahan yang muncul dalam proses tersebut adalah estimasi OLS untuk γˆ akan bias jika jumah sampel kecil (Thomas, 1997). Dickey-fuller menganjurkan untuk melakukan transformasi data ke dalam tiga persamaan regresi dibawah ini (Enders,2004): yt – yt-1 = ? yt = ?yt -1 + et
................................................................(4.9)
64
yt – yt-1 = ? yt = a0 + ?yt-1 + et .........................................................(4.10) yt – yt-1 = ? yt = a0 + ?yt-1 + a2t + et.................................................(4.11) dimana t = variabel trend, ? = a1 – 1. Hipotesa menjadi : H0 : ? = 0
Nonstasioner, ada unit root jika TS > t
HA : ? < 0 Stasioner, tidak ada unit root jika TS < t Test statistik untuk hipotesis ini menjadi : γˆ TS = ...........................................................................................(4.12) Sγˆ Namun permasalahan bias juga direfleksikan pada γˆ dan dengan null hyphotesis non stasioner, t rasio memiliki distribusi tidak standar bahwa untuk jumlah contoh yang besar, artinya bahwa tabel normal t tidak dapat digunakan untuk mendapatkan nilai kritis untuk t ratio. Dickey dan Fuller (1997) dalam Thomas (1997) dan (Sedighi, 2000) berdasarkan simulasi Monte Carlo, jika hipotesis menunjukkan bahwa H0 tidak dapat ditolak artinya ada unit root dalam proses menghasilkan data, memiliki nilai kritis untuk TS yaitu t(tau) statistik. Nilai kritis ini telah digunakan oleh Mackinnon melalui simulasi Monte Carlo. Aplikasinya adalah jika data time series stasioner maka nilai TS harus lebih negatif dari nilai kritis. Pengujian
Dickey-Fuller
(DF)
mengasumsikan
bahwa
variabel
diformulasikan sebagai proses first order AR dengan disturbance white noise. Namun jika asumsi tersebut tidak terpenuhi maka terjadi permasalahan autokorelasi pada error dari estimasi OLS sehingga Dickey Fuller Test tidak
65
valid. Pendekatan yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah tersebut yaitu memodifikasi prosedur uji dengan menggenaralisasikan persamaan. Modifikasi dari Dickey-Fuller Test itu adalah Augmented Dickey-Fuller Test (Enders, 2004). Disini dilaksanakan pengujian atas persamaan regresi yang memiliki order lebih dari first order difference, representasi matematis dari Augmented Dickey-Fuller Test ini adalah : yt = α + a1 yt −1 + a2 yt −2 + ... + a r yt −i + ε t …………....…..……………(4.13) direparameterisasi menjadi : p
∆yt = α 0 + γyt −1 + ∑ β i ∆y t −i +1 + ε t ………......……………………….(4.14) i =2
dimana : ? = -[1-Sai]; i = 1,2,...,P dan ßi = Sa j; j = 1,2,...,P Hipotesis H0 : ? = 0
Nonstasioner, ada unit root jika TS > t
HA : ? < 0 Stasioner, tidak ada unit root jika TS < t Penyisipan dalam persamaan awal DF dengan Lagged dari variabel dependent (lagged difference) adalah untuk mengeliminasi kemungkinan autokorelasi pada error. Untuk menentukan lagged yang harus dimasukkan dalam persamaan maka digunakan kriteria Akaike’s Information Criterion (AIC) dan Schwartz Criterion (SC) (Seddighi, 2000). Philips-Perron Test merupakan pengembangan dari Dickey-Fuller Test. Dalam pengujian ini tidak diperlukan adanya asumsi error yang homogen dan independent seperti dalam Dickey Fuller Test, sehingga kondisi error yang dependent dan heterogen juga dapat diakomodasi dalam pengujian ini. Kelebihan lain dari Philips-Perron Test dibandingkan dengan Dickey-Fuller Test adalah
66
tidak adanya masalah dalam pemilihan jumlah lag, sementara dalam DickeyFuller Test jumlah lag merupakan hal yang kritis yang dapat mempengaruhi hasil pengujian kesalahan dalam penentuan jumlah lag bisa berakibat hasil pengujian menjadi bias. Phillips-Perron Test juga mengadopsi adanya perubahan yang signifikan dalam data series seperti misalnya structural break sebagai akibat dari oil shock, financial deregulation, atau intervensi dari bank sentral terhadap kebijakan moneter, structural break ini seringkali mengakibatkan berubahnya struktur data secara permanen (Abimanyu, 1998). Model yang digunakan dalam Phillip-Perron Test adalah : Yt – yt-1 = ? yt = ?*yt-1 + et ...................................................................(4.15) Pengujian kemudian dilakukan terhadap Ho : ?* = ? – 1 = 0. Hasilnya kemudian dibandingkan dengan tabel yang disajikan oleh Mckinnon Critical Value. 4.3.
Analisis Vector Autoregressive Vector Autoregressive (VAR) merupakan metode lebih lanjut dari sebuah
sistem persamaan yang bercirikan pada penggunaan sejumlah variabel dalam model secara bersama-sama. Jika didalam persamaan simultan terdapat variabel endogen dan eksogen, maka dalam VAR setiap variabel dianggap simetris karena sulit untuk menentukan secara pasti apakah suatu variabel bersifat endogen atau eksogen. Endogenitas tingkat harga menyatakan bahwa harga merupakan hasil interaksi antara permintaan dan penawaran harga, model VAR secara umum dapat menggambarkan apakah suatu variabel seperti uang beredar mempengaruhi tingkat harga atau tidak. Apabila sebaliknya, dimana tingkat harga mempengaruhi
67
uang beredar, maka model VAR memungkinkan untuk melakukan uji causalitas terhadap kemungkinan tersebut. Model VAR juga memungkinkan untuk memilih struktur selang (lag) yang fleksibel dan menangani pengaruh causalitas Secara umum bentuk hubungan dalam persamaan (4.1) tersebut diatas dapat direpresentasikan sebagai berikut, (Gottschalk, 2001): AYt = B ( L)Yt + ε t ................................................................................(4.16) Sistem persamaan diatas dikenal sebagai Structural VAR (SVAR) atau bentuk sistem primitif, dimana Yt adalah vector variabel endogenous dan et adalah suatu vector structural shock, dengan rata-rata nol dan matrik variance covariance konstan. Untuk menjalankan proses regresi, maka di perlukan satu variabel dependent sebelah kiri dan variabel independent disebelah kanan, selanjutnya persamaan (4.16) dapat dinyatakan dalam bentuk reduced form sebagai berikut :
Yt = A −1 B ( L)Yt + A −1ε t .........................................................................(4.17) Atau representasi model Vector Autoregressive (VAR) sebagai berikut : Yt = Γ ( L)Yt −1 + et ..................................................................................(4.18) Sedangkan representasi model Moving Average (MA) dapat diturunkan sebagai berikut dibawah ini. (1 − Γ( L ))Yt = et ...................................................................................(4.19)
Yt = (1 − Γ( L)) −1 et ................................................................................(4.20) Yt = C ( L)et ...........................................................................................(4.21) dimana : Γ = A −1 B ..............................................................................................(4.22)
et = A −1et ..............................................................................................(4.23)
68
C = (1 − Γ ) ...........................................................................................(4.25) Dari representasi model AR (4.18) dan MA (4.21) terlihat bahwa dalam model AR variabel harga dinyatakan sebagai fungsi dari nilai masa lalu dari dirinya sendiri, nilai tukar dan jumlah uang beredar. Sebaliknya dalam representasi model MA variabel harga dinyatakan sebagai fungsi dari structural shock. Model VAR dinamis pada persamaan (4.18) disebut sebagai unrestricted VAR karena tidak ada pembatasan linier. Dalam penelitian ini fokus penelitiannya adalah restriksi linier akan di imposed berdasarkan prediksi teoritis yang sudah ada sebelumnya. Orthogonalitas VAR Restriksi yang membedakan model SVAR dengan model persamaan simultan adalah asumsi bahwa structural innovation adalah orthogonal, yaitu inovasi eSBWt, eIPIt, eCPIt, eERt, eM2t, eSBIt tidak berkorelasi secara formal hal ini mensyaratkan matriks variance-covariance Se memiliki bentuk σ SBW 2 0 0 ∑e = 0 0 0
0
0 0
0 0
0 0
0
σ CPI2
0
0
0 0
0 0
σ ER 2 0
0 σ M 22
0
0
0
0
σ IPI 2
0 0 0 0 0 σ SBI 2
Karena residu dari reduce form terhubung dengan structural innovation melalui et=A-1et. Maka matriks variace –covariance bentuk struktural dan reduce form terhubung melalui ASeA'. Normalisasi VAR Model SVAR didasarkan atas respresentrasi model MA (4.21) dari model struktural, selanjutnya analisa empiris mencoba untuk memperkirakan impulse response function (IRF) yang diberikan oleh matriks C (L). IRF dihitung untuk
69
menunjukkan respon model struktural terhadap shock structural innovation sebesar satu standar deviasi, Normalitas model SVAR dilakukan dengan menentapkan varian s SBWt, s IPIt, s CPIt, s ERt, s M2t, dan s SBIt sama dengan satu. Oleh karena shock standar deviasi berhubungan dengan unit inovasi dari eSBWt, eIPIt, eCPIt, eERt, eM2t, dan eSBIt secara berurutan, maka matrik variance covariance dari innovasi struktural diasumsikan memiliki bentuk : 1 0 0 ∑ e = 0 0 0
0 1 0 0 0 0
0 0 1 0 0 0
0 0 0 1 0 0
0 0 0 0 1 0
0 0 0 0 0 1
Atau Se= I secara teknis, karena struktural innovation hubungan dengan gangguan pada reduce form dalam bentuk et=A-1et, maka matrik A di normalisasi sedemikian rupa sehingga A Se A = Se=I Identifikasi Matrik A Model SVAR bertujuan untuk mengidentifikasi structural innovation e dan melacak respon variabel lain dalam model dinamis terhadap shock tersebut. Model SVAR memberikan fokus perhatian terhadap gubungan et = A-1et dan mengidentifikasikan struktural innovation e dengan menetapkan restriksi pada matriks A. Dengan kata lain, Dalam model SVAR hubungan dinamis dalam perekonomian di modelkan dalam bentuk suatu hubungan antar shock. Secara umum persamaan (4.23) menyatakan bahwa error reduce form terhubung dengan struktural shock semata-mata melalui struktur matrik A apabila matrik A-1 dinyatakan sebagai berikut :
70
γ 11 γ 21 γ 31 A−1 = γ 41 γ 51 γ 61
γ 12
γ 13
γ 14
γ 15
γ 22
γ 23
γ 24
γ 25
γ 32
γ 33
γ 34
γ 35
γ 42
γ 43
γ 44
γ 45
γ 52 γ 62
γ 53 γ 63
γ 54 γ 64
γ 55 γ 65
γ 16 γ 26 γ 36 ................................................(4.26) γ 46 γ 56 γ 66
Sehingga error reduce form terhubung dengan struktural shock melalui struktur matrik A dapat dinyatakan sebagai berikut :
et = A −1ε t .............................................................................................(4.27) eSBW ,t e IPI ,t eCPI,t = e ER , t e M 2 ,t eSBI ,t
γ 11 γ 21 γ 31 γ 41 γ 51 γ 61
γ 12
γ 13
γ 14
γ 15
γ 22
γ 23 γ 24
γ 25
γ 32
γ 33 γ 34
γ 35
γ 42
γ 43 γ 44
γ 45
γ 52 γ 62
γ 53 γ 54 γ 63 γ 64
γ 55 γ 65
γ 16 ε SBW ,t γ 26 ε IPI ,t γ 36 ε CPI,t …………..……..(4.28) γ 46 ε ER ,t γ 56 ε M 2 ,t γ 66 ε SBI ,t
Dimana eSBWt, eIPIt, eCPIt, eERt, eM2t, dan eSBIt merupakan struktural shock. Hal ini memungkinkan untuk menelurusi respon model dinamis terhadap structural shock
suatu
variabel
ekonomi
akan
memberikan
tanggapan
secara
contemporaneous terhadap semua shock yang relevan terhadap dirinya. Hal ini berarti bahwa tidak ada elemen baris dari matrik A-1 yang berhubungan dengan variabel tersebut bernilai nol. 4.4.
Granger Causality Test Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan sebab akibat diantara
dua variabel yang diuji. Setelah mengetahui lag optimal bagi sistem VAR, pengujian ini pun akan langsung dapat dilakukan. Model uji kausalitas granger (1969) dibawah ini yt = α 0 + α1 yt −1 + α 2 yt −2 + α 3 yt −3 + β1 xt −1 + β 2 xt −2 + β 3 xt −3 + ε t ........(4.29)
71
Hipotesis nol yaitu kedua variabel tidak memiliki pengaruh antar variabel, Bila gunakan Probability value < alpha (10%) maka hipotesis nol ditolak artinya ada hubungan kausalitas searah antar variabel. Dengan kata lain pergerakan variabel satu secara signifikan memiliki pengaruh pada pergerakan variabel lain.
4.5.
Analisis Impulse Response Function Decomposition
dan Forecast Error Variance
4.5.1. Impulse Response Function Impulse Response Function (IRF) dapat dijelaskan dengan menggunakan representasi model Autoregressive (AR) dan model Moving Average (MA) atas model VAR. secara umum representasi AR (4.18) tersebut diatas dapat dituliskan sebagai berikut : p
Yt = ∑ ΓiYt −1 + et .................................................................................(4.30) i =1
Sedangkan representasi model MA (4.21) diatas dituliskan sebagai berikut dibawah ini : ∞
Yt = ∑ Cjet − j .......................................................................................(4.31) j=0
Dengan mengsubtitusi
persamaan (4.30) kedalam persamaan (4.31) maka
diperoleh : ∞
∞
∞
∞
j =0
j=0
j =0
j=0
∑ Cjet − j = Γ1∑ Cje j−i−1 + Γ 2∑ Cje j−i−2 + ... + Γp ∑ Cje j−i−k + et .......(4.32) Selanjutnya dengan menyederhanakan persamaan (4.32) maka diperoleh seperti berikut dibawah ini : C (C0 − I )et + (C1 − Γ1C 0 )et −1 + (C 2 − Γ1C1 − Γ 2(0)et −2 + .... ... +
∞
∑
j = k +1
p
(Cj − ∑ Γi( j − i)et − j = 0..........................................................(4.33) i =1
72
Secara umum error term adalah tidak sama dengan nol, dan untuk memenuhi persamaan (4.33) maka diperoleh seperti berikut dibawah ini (C 0 − T ) et + (C1 − Γ1C 0 )et −1 + (C 2 − Γ1C1 − Γ2C 0 )et −2 + ...... ∞
∑
...... +
j = k +1
p
(Cj − ∑ Γ ( j − i)et − j = 0 ......................................................(4.34) i =1
Secara umum error term adalah tidak sama dengan nol, dan untuk memenuhi persamaan (4.21) maka diperlukan bahwa masing-masing ekspresi didalam kurung harus sama dengan nol. Sehingga secara berulang Cj dapat dihitung sebagai berikut : C0 = I C1 = Γ1C 0 ........ ........ p
Cj = ∑ ΓiC j −i , untuk 1 = p .................................................................(4.35) i =1
Setelah diperoleh Cj selanjutnya dapat dibuat model representasi MA berkaitan dengan struktural shock et berdasarkan identifikasi matrik A dan hubungan pada persamaan (4.23), maka persamaan (4.31) dapat ditulis sebagai berikut : Yt =
∞
∑ CjA j=0
−1 0 t− j
ε
..................................................................................(4.36)
∞
Yt = ∑ Ψ j ε t − j ......................................................................................(4.37) j=0
4.5.2. Forecast Error Variance Decomposition Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) menjelaskan proporsi pergerakan suatu variabel akibat shock dari variabel itu sendiri relative terhadap dampaknya kepada pergerakan variabel lain secara berurutan. Dengan kata lain, sebenarnya FEVD memberikan informasi secara relatif tentang seberapa penting setiap inovasi terhadap perubahan variabel lain dalam VAR (Gottschalk, 2001).
73
Berdasarkan representasi MA persamaan (4.35) dapat dibuat deviasi dari peramalan h periode kedepan Et(Xt+h ) dari nilai aktual Xt+h , yaitu sebagai berikut : ∞
Yt + h − Et (Yt + h ) = ∑ Ψ j (ε t + h− j − Et ε t + h− j ) j=0
h−1
= ∑ Ψ j ε t + h− j ................................................................(4.38) j=0
Dan Forecast Error Variance dihitung melalui komponen diagonal sebagai berikut: h−1
E (Yt + h − Et Yt + h ) 2 = ∑ Ψ j ∑ eΨ ' j .......................................................(4.39) j=0
Atau secara sederhana dapat dinyatakan bahwa Forecast Error Variance dari variabel k dihitung sebagai berikut : h −1
= ∑ Ψ j , k ∑ eΨ ' j, k .............................................................................(4.40) j =0
Dimana Ψj, k merupakan baris ke k dari Ψj .
74
V.
5.1.
PERGERAKAN NILAI TUKAR RUPIAH DAN MAKROEKONOMI INDONESIA
Awal Krisis Asia Krisis yang terjadi di Indonesia tidak terlepas dari krisis yang terjadi di
Asia Tenggara, yang pemicunya adalah krisis ekonomi di Thailand. Krisis di Thailand sendiri mulai kelihatan sejak pertengahan tahun 1996. Waktu itu harga saham di Bursa Efek Thailand (Stock Exchange of Thailand/SET), yang mengalami bullish sepanjang 1993-1995, merosot tajam. Pada tanggal 24 Oktober 1996, indeks saham gabungan di SET berada pada posisi 535 poin, atau 42.9 persen lebih rendah dibandingkan angka setahun sebelumnya. Penurunan IHSG terjadi karena para pelaku pasar memproyeksikan bahwa profitabilitas emiten di Thailand akan memburuk sejalan dengan memburuknya perekonomian nasional. Memburuknya perekonomian Thailand bisa dilihat dari defisit transaksi berjalan yang terus membengkak dari 366 juta dollar AS pada tahun 1987 hingga mencapai 14.7 milyar dollar AS pada tahun 1996. Pada tahun 1996 itu, defisit transaksi berjalan Thailand mencapai 8.2 persen dari produk domestik bruto (PDB)-nya. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan angka di Malaysia (4.6 persen), Indonesia (3.6 persen) dan Filipina (3.2 persen). Angka defisit ini terjadi antara lain karena meningkatnya arus investasi ke luar negeri. PDB Thailand sendiri cenderung menurun dari 13.3 persen pada tahun 1988 menjadi hanya 5.5 persen pada tahun 1996. Kondisi tersebut diperburuk oleh kebijakan moneter pemerintahan Thailand. Awalnya sejak tahun 1993 sampai tahun 1996 laju inflasi Thailand ratarata mencapai 5.1 persen. Angka ini jauh diatas laju inflasi di AS, yang dalam
75
periode tersebut rata-rata 2.4 persen. sejalan dengan selisih inflasi itu mestinya kurs baht terhadap dollar AS disesuaikan. Tetapi tidak. Kurs baht dijaga oleh Bank of Thailand, bank sentral Thailand, rata-rata pada level 25.4 baht per dollar AS sejak tahun 1987. Untuk menjaga kurs, BOT menawarkan suku bunga simpanan baht sekitar 13.5 persen setahun, dibandingkan suku bunga dollar AS sekitar 8 persen, kalau diperlukan, BOT akan siap membeli baht di pasar. Kedua kebijakan BOT ini membuat banyak perusahaan memilih meminjam dollar AS daripada meminjam baht. Alasanya, dengan meminjam valuta asing para debitor membayar suku bunga lebih rendah daripada kalau meminjam dalam bentuk baht. Pada saat itu risiko kurs tidak ada karena kebijakan pemerintah menjaga kurs. Banyak debitur di Thailand waktu itu menggunakan pinjaman valasnya untuk diinvestasikan di properti. Pada tahun 1996
pasar
properti Thailand banyak sehingga banyak pengembang tidak bisa membayar utangnya. Kondisi ini membuat bank-bank Thailand lemah. Karena laju Inflasi Thailand tinggi sedangkan nilai baht terhadap dollar AS relatif tetap, barang-barang unggulan Thailand seperti tekstil dan sepatu terasa lebih mahal dibandingkan produk sejenis di Cina dan negara ASEAN lain. Akibatnya, nilai ekspor Thailand menurun dengan pasti. Pada saat yang sama, impor barang tetap saja besar, baik untuk investasi maupun konsumsi. Pada gilirannya, kondisi ini mendorong laju defisit neraca berjalan. Lemahnya fundamental Thailand dipercaya banyak pihak menggiurkan para spekulator valas. Yang mereka lakukan kemudian adalah menjual baht pada Mei 1997. Menghadapi permintaan ini, BOT tidak bisa berbuat lain selain melayani. Kalau tidak, spekulator bisa membeli dollar dengan lebih tinggi dari kurs resmi. Kalau ini terjadi, nilai baht me nurun. Namun demikian, karena
76
besarnya penjualan baht (dengan kata lain pembelian dollar), pemerintah Thailand akhirnya tidak mampu menahan mata uangnya. Setelah menghabiskan cadangan devisa sekitar 5 Milyar Dollar US, akhirnya BOT takluk pada kekuatan pasar dengan mengambangkan mata uangnya pada 2 Juli 1997, Akibatnya nilai baht di pasar valuta menurun sampai ke level 31.5 baht per dollar dan terus merosot pada tahun 1998. Pada saat nilai baht sudah terdepresiasi secara tajam, spekulan menjual dollarnya pula, pada saat krisis mata uang memuncak elit ekonomi dan politik di Thailand berpecah-pecah karena isu politik. Setelah Thailand, spekulan valas menggempur mata uang Filipina lalu Malaysia kemudian Indonesia sehingga pemerintah Indonesia melepaskan mata uangnya ke mekanisme pasar pada 14 Agustus 1998. (Cahyono,2000) Dengan demikian, dalam rezim kurs mengambang bebas, kurs dibiarkan mengambang sesuai mekanisme pasar. Oleh karena itu, kurs nominal disuatu negara akan sangat ditentukan oleh permintaan dan penawaran kurs domestik di pasar valuta asing (foreign exchange market). Tabel 3. Sistem Nilai Tukar Negara ASEAN+3 Negara Brunei Kamboja Cina Indonesia Jepang Korea Selatan Laos Malaysia Myanmar Filipina Singapura Thailand Vietnam
Sistem Nilai Tukar Currency Board (pegged terhadap dollar Singapura) Mengambang terkendali Mengambang terkendali Mengambang bebas Mengambang bebas Mengambang terkendali Mengambang terkendali Mengambang terkendali Mengambang terkendali (terhadap SDR) Mengambang bebas Mengambang terkendali Mengambang terkendali Mengambang terkendali
Sumber : IMF, Annual Report on Exchange Restriction and Exchange Arrangement, 2005 dan ASEAN Capital Account Policies, 2006
77
Kekuatan kurs di pasar valas ini pada akhirnya juga ditentukan oleh besar kecilnya perekonomian dari suatu negara. Jika perekonomian cenderung perekonomian terbuka kecil
maka fluktuasi kurs cenderung lebih volatile.
Apalagi jika tidak didukung oleh struktur pasar domestik yang baik maka volatilitas kurs yang tinggi akan cenderung menyebabkan depresiasi. Tabel 3 menyajikan transformasi rezim kurs di ASEAN, Jepang dan Korea Selatan pasca terjadinya krisis keuangan.
5.2.
Sekilas Kondisi Perekonomian di Asia Asia
telah
muncul
sebagai
sebuah
perekonomian yang menghasilkan 30 persen
mesin
pertumbuhan
dunia
lebih dari PDB dunia dan
memberikan kontibusi hingga separuh pertumbuhan global pada tahun belakangan ini (Rato, 2005). Pada semester pertama tahun 2004, petumbuhan ekonomi di Asia Tenggara sangat mengesankan. Perekonomian Laos, Malaysia, Singapura, Thailand, dan Vietnam mencatat prestasi jauh di atas perkiraan, sementara Brunei, Kamboja, Indonesia, dan Filipina juga mengalami
pertumbuhan, meskipun
dengan langkah maju yang lebih moderat. Thailand, misalnya, mampu meningkatkan volume perdagangan interegionalnya dengan negara-negara ASEAN yaitu dengan Cina dari 15.7 persen menjadi 20.3 persen, dengan Korea Selatan dari 13.1 persen menjadi 15.9 persen, dan dengan Jepang dari 14.1 persen menjadi 15.0 persen. Kondisi pertumbuhan ekonomi dan perdagangan intra-industri di antara Asia Timur 9 dan Jepang ini membawa perubahan besar dalam perkembangan regionalisme ekonomi Asia timur dan memberikan dorongan kuat bagi terciptanya Masyarakat Asia Timur atau Kerjasama Ekonomi Asia Timur (EAEC), yang
78
diharapakan mampu meminimalkan risiko yang melekat pada sistem keuangan global yang ada sekarang, selain juga meningkatkan rasa persaingan di antara anggota kelompok (Hanafi, 2005). Pembentukan EAEC didasarkan atas kerjasama ekonomi terutama menjadi agenda penting sejak terjadinya krisis keuangan yang melanda Asia (Asian Financial Crisis/AFC) pada pertengahan tahun 1997. Menurut Lembaga Moneter Internasional (IMF), pertumbuhan ekonomi Asia kuartal pertama 2006 mencapai tujuh persen. Angka tersebut sama dengan pertumbuhan yang dicapai pada 2005. Menurut IMF pesatnya pertumbuhan ini tidak terlepas dari perubahan pesat yang terjadi di Jepang dan Cina. Dalam laporannya IMF menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang terjadi disebabkan oleh berkembangnya permintaan akan sejumlah kebutuhan pokok terutama elektronik. Selain itu masih menurut IMF, Kebijakan pasar keuangan yang begitu ketat juga berpengaruh terhadap pertumbuhan. Perbankan di Asia Mengalami kemajuan dimana banyaknya sejumlah bank yang memberikan fasilitas kredit kepada (industri) rumah tangga. Terlepas dari itu faktor investasi juga menjadi faktor penting dalam memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi sebesar 9.5 persen dan masih relatif lebih kecil dibandingkan tahun 2005
sebesar 9.9 persen. IMF
juga menyampaikan perkiraan pertumbuhan
ekonomi Jepang yang mencapai 2.8 persen tahun ini. Nilai ini sedikit berada diatas tahun lalu yang mencapai 2.7 persen.
5.3.
Gambaran Umum Perekonomian Indonesia Perekonomian Indonesia mengalami pasang surut dalam perjalananya.
Sebelum terjadinya krisis multidimensional yang memuncak sejak pertengahan tahun 1997, keadaan perekonomian Indonesia relatif cukup baik.
79
Menurut data Bank Indonesia, dalam tahun 1996 mencatat kinerja yang sangat baik dengan ditandai indikator makroekonomi, antara lain tingkat pertumbuhan ekonomi mencapai 7.8 persen pertahun dan inflasi pada bulan 5 pertama mampu mencapai tingkat terendah selama 10 tahun terakhir pada periode yang sama, cadangan resmi pemerintah mencapai US $ 20 milyar pada bulan Maret 1997 atau sama dengan perkiraan 5 bulan impor, investasi asing langsung luar negeri mencapai nilai US $ 6.5 milyar pada tahun fiskal 1996/1999, kalangan pelaku bisnis maupun dari pemerintah dikejutkan, tiba-tiba perekonomian indonesia mengalami perubahan yang drastis. berawal dari ambruknya perdangangan valuta asing di kawasan Asia, terutama yang melanda kehancuran pasar valuta asing di Thailand, kemudian menjalar ke negara tetangga termasuk Indonesia. Kejadian tersebut disikapi secara optimis oleh para pejabat Indonesia dan para ekonom yang pro terhadap kebijakan pemerintah. Menurut Sudjijono (2003), keyakinan para pejabat dan ekonom yang pro terhadap kebijakan pemerintah karena melihat terdapatnya indikasi yang positif bila dilihat dari angka surplus perdagangan termasuk migas, pertumbuhan angka ekspor yang tinggi, cadangan devisa yang cukup kuat sampai 5-6 bulan impor, tingkat suku bunga memadai, dan tingkat inflasi satu digit terkendali dibawah 10 persen. Hal – hal tersebut sering diungkapkan oleh pejabat pemerintah, tetapi dalam perkembangnya cukup tragis dimana keadaan eksternal yang bergolak penuh dengan spekulasi tidak terbendung lagi menghantam daya tahan Rupiah. Nilai tukar riil rupiah mengalami depresiasi yang tajam terhadap dollar Amerika sebesar 68 persen, hal tersebut akan berakibat pada melemahnya posisi neraca pembayaran, Menurut data Bank Dunia (1999), pada tahun 1997 mencatat total
80
stock utang luar negeri secara riil mencapai 64.25 persen GDP, kemudian membengkak menjadi 95.3 persen GDP. Memburuknya kondisi perekonomian internasional tersebut membawa dampak pada perubahan perekonomian dalam negeri. Harga
barang- barang
impor melonjak tinggi, kemudian diikuti oleh kenaikan harga barang-barang lain yang sesungguhnya tidak ada hubungannya dengan nilai tukar rupiah terhadap dollar yang lebih merupakan pengaruh psikologi (sentimen pasar). Data pada akhir tahun 1997 tercatat angka inflasi mencapai 11.1 persen per tahun, dan terus meningkat hingga mencapai 77.6 persen pertahun pada tahun berikutnya. Menurut data Bank Indonesia (1999), pertumbuhan ekonomi tahunan (PDB riil) mencatat sebesar 4.7 persen, hingga tahun 1998 turun sebesar 13.2 persen. Faktor-faktor inilah yang menyebabkan terjadinya krisis ekonomi yang berkembang menjadi krisis multidimensional yang menyentuh segala aspek kehidupan. Menurut Sudjijono (2002), krisis ekonomi merupakan indikasi dari kegagalan sistem pasar (market failure), sedangkan ketidakberdayaan pihak pemerintah merupakan kegagalan sistem pemerintahan (government failure).
5.4.
Gambaran Perkembangan Makroekonomi Indonesia Perekonomian Indonesia pasca krisis masih menunjukkan bahwa stabilitas
belum tercapai secara penuh. Sementara pertumbuhan ekonomi pada tahun 2006 telah mencapai 5.5 persen setelah krisis dan menunjukkan kecendrungan meningkat, industrial production index serta uang beredar juga cendrung meningkat setiap tahunnya, sedangkan beberapa indikator makroekonomi lainnya tetap mengalami fluktuasi seperti inflasi,sukubunga SBI,dan sukubunga dunia dan
81
nilai tukar rupiah mengalami penurunan dari periode 1999 sampai 2006 (Tabel 4). Namun setelah itu trendnya menuju arah yang sebaliknya. Tabel 4. Beberapa Indikator Makroekonomi Indonesia Tahun 1999-2006 Rincian Pertumbuhan PDB (%)
1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
2006
5.76
5.5
4.9
3.5
4.4
4.9
5.1
5.6
Industrial Production Index 105.44 100
104.27 107.67 113.55 117.33 118.85
M2 (Milyar) Nilai Tukar (Rp/$)
7808
8534
10265 9261
8571
9030
9750
9141
Inflasi (%)
2.01
9.35
12.55
10.03
5.06
6.4
17.11
6.6
Sukubunga SBI (%) Sukubunga Dunia (%)
11.92
14.53
17.62
12.93
8.31
7.43
9.23
11.83
8.02
9.27
6.7
4.6
4.12
4.47
6.41
8
120.96
624151 685464 786741 849401 903987 970838 1092069 1260445
Sumber : Laporan Tahunan Bank Indonesia 2006
Nilai tukar rupiah pada tahun 1999 sebesar Rp. 7808 per dollar AS depresiasi menjadi Rp.10 265 per dollar AS. Dari tahun 2001 ke tahun 2003 nilai tukar rupiah menguat (apresiasi) menjadi Rp.8570 per Dollar AS dan inflasi mengalami penurunan sampai tahun 2003 sebesar 5.06 persen. Pada tahun 2005 nilai tukar rupiah mengalami depresiasi lagi menjadi Rp. 9750 per dollar AS sedangkan inflasi mengalami kenaikan lagi 17.11 persen artinya semakin nilai tukar mengalami depresiasi maka harga mengalami kenaikan sehingga terjadi inflasi. begitu juga sebaliknya apabila nilai tukar mengalami apresiasi maka harga mengalami penurunan. Sukubunga SBI bulanan pada tahun 1999 sebesar 11.92 persen mengalami peningkatan menjadi 17.62 persen pada tahun 2001. Pada tahun 2002 suku bunga SBI sebesar 12.93 persen lebih rendah dari dua tahun sebelumnya. Pada tahun 2004 suku bunga SBI merupakan rekor terendah pasca krisis yaitu sebesar 7.43 persen. Begitu juga Sukubunga dunia bulanan pada tahun 1999 sebesar 8.02 persen mengalami peningkatan pada tahun 2000 sebesar 9.27 persen . Pada tahun
82
2004 turun manjadi sebesar 4.47 persen dan pada tahun 2006 meningkat lagi sebesar 8.0 persen Pertumbuhan ekonomi dari tahun 1999 ke tahun 2003 mengalami penurunan dari 5.76 persen menjadi 4.90 persen. Sedangkan dari tahun 2004 kembali meningkat sebesar 5.10 persen dan turun sampai tahun 2006 sebesar 5.5 persen.
Tingkat inflasi dari tahun 1999 sebesar 2.01 persen mengalami
peningkatan menjadi 12.55 persen pada tahun 2001. pada tahun 2002 tingkat inflasi sebesar 10.03 persen lebih rendah dari tahun 2001, namun masih lebih besar dari tahun 2000. Penurunan inflasi drastis terjadi pada tahun 2003 yaitu 5.06 persen yang hampir separuhnya dari tahun 2002. Tahun 1999 tersebut merupakan tahun inflasi terendah pasca krisis, dan pada tahun 2005 mengalami peningkatan lagi menjadi 17.11 persen dan turun pada tahun 2006 sebesar 6.60 persen. Oleh karena itu apabila dengan membaiknya pertumbuhan perekonomian tetapi tidak didukung oleh variabel inti makroekonomi lainnya karena semakin tidak terkendalinya variabel makroekonomi Indonesia, jika ini dibiarkan terus menerus, maka akan membahayakan pertumbuhan itu sendiri. Pertumbuhan ekonomi yang membaik, jika tidak ditopang oleh perbaikan variabel makroekonomi lainnya, akan menggerogoti pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Peningkatan suku bunga akan berdampak negatif pada sisi permintaan dan sisi penawaran agregat. Pasa sisi permintaan, peningkatan suku bunga akan berdampak pada penurunan konsumsi, investasi dan semakin tidak kompettifnya ekspor (daya saing melemah). Penurunan peranan ketiga komponen ini akan mengerem laju pertumbuhan dari sisi permintaan. Dari sisi penawaran, peningkatan suku bunga akan berdampak terhadap meningkatnya biaya – biaya (cost push). Peningkatan suku bunga, akan
83
meningkatkan sukubunga pinjaman (terutama pinjaman modal kerja). Peningkatan kapasitas produksi maupun perluasan usaha akan semakin terbebani jika biaya modal kerja mahal. Akhirnya produksi akan terhambat akibat suku bunga tinggi atau dengan kata lain pertumbuhan ekonomi dari sisi penawaran akan terhambat. Peningkatan laju inflasi juga akan menggerogoti pertumbuhan ekonomi. Inflasi artinya terjadi kenaikan harga-harga secara umum. Kenaikan harga-harga yang tidak terkendali akan berdampak negatif terhadap sisi permintaan maupun sisi penawaran. Kenaikan harga –harga barang konsumsi yang dihasilkan oleh produsen domestik, akan mengalihkan preferensi konsumen untuk mengkonsumsi barang-barang impor yang sejenis. Artinya, konsumsi barang-barang yang dihasilkan oleh produsen domestik akan menurun akibat tingginya inflasi. Kenaikan harga-harga barang domestik juga akan memicu impor, karena dipandang barang impor lebih murah (kompetitif). Selain itu, kenaikan hargaharga akan memperlemah daya beli konsumen (terutama yang berpendapatan tetap dan rendah). Ekspor juga akan melemah karena kenaikan harga-harga menyebabkan mahalnya barang-barang yang diproduksi di domestik. Lebih parah lagi, karena inflasi tinggi, maka tabungan masyarakat akan berkurang. Dari sisi penawaran, kenaikan harga-harga pada batas-batas tertentu memang akan merangsang produksi, karena produsen akan memperoleh penerimaan tinggi, sehingga meningkatkan profitnya. Namun, jika daya beli masyarakatnya menurun (karena harga-harga meningkat) maka penerimaan perusahaan juga akan terkendala. Kenaikan harga-harga akan membebani perusahaan dari sisi produksi. Kenaikan harga-harga akan memicu kenaikan upah karyawan dan biaya bahan baku, sehingga keuntungan perusahaan akan berkurang. Selain itu, kenaikan harga-harga juga akan menambah resiko berusaha,
84
karena ketidakpastian berusaha. Tingginya ketidakpastian berusaha akan mengakibatkan relokasi industri ke negara-negara lain. Akumulasi dampak negatif inflasi tinggi, akan mengakibatkan kerawanan sosial dan perpecahan. Jadi, singkatnya inflasi yang tinggi merupakan beban (cost) baik dari sisi ekonomi maupun sosial. Pelemahan nilai tukar rupiah akan menggerogoti pertumbuhan ekonomi. Dari sisi permintaan, terdepresiasinya rupiah akan mempengaruhi konsumsi, investasi dan ekspor-impor. Nilai tukar rupiah yang semakin melemah akan mempengaruhi preferensi konsumen dalam memilih barang yang sejenis. Rupiah yang terdepresiasi artinya harga barang-barang impor menjadi lebih mahal dibandingkan harga-harga produksi dalam negeri. Jika rupiah terdepresiasi, sesuai dengan prinsip maksimisasi kepuasan konsumen akan mengalihkan konsumsinya ke produk-produk lokal. Jika produk lokal yang sejenis terbatas atau kualitasnya dianggap rendah, maka konsumen terpaksa memilih produk impor atau tidak melakukan konsumsi yang dibutuhkannya. Ketidakstabilan variabel makroekonomi khususnya inflasi dan nilai tukar tidak terlepas dari permasalahan klasik yang dihadapi Indonesia. Periode pasca krisis
perekonomian
Indonesia
memiliki
sejumlah
permasalahan
berat.
Permasalahan itu diantaranya (1) tingginya hutang luar negeri, (2) masih tingginya subsidi BBM dan terbatasnya pendanaan APBN, (3) masih terbatasnya kapasitas produksi, masih tingginya impor bahan baku, masih lemahnya daya saing, dan masih lemahnya kinerja ekspor, dan (4) masih belum optimalnya struktur dan kelembagaan perbankan. Karena perekonomian Indonesia rentan, ketika terjadi guncangan baik yang berasal dari internal maupun eksternal, menyebabkan ketidakseimbangan pada variabel makroekonomi Indonesia.
85
Dari sisi internal, pemerintah (otoritas fiskal) mengupayakan pertumbuhan ekonomi yang diindikasikan dengan meningkatnya investasi. Namun karena kapasitas industri masih terbatas dan kandungan impor bahan baku industri masih tinggi, maka selain kurang tersentuhnya penyerapan tenaga kerja juga menimbulkan pengurasan devisa dan tingginya inflasi. Dari sisi eksternal, peningkatan sukubunga AS dan peningkatan harga minyak dunia, menyebabkan semakin beratnya beban APBN, akibat meningkatnya subsidi pembayaran
utang
termasuk
cicilanya.
Masih
BBM dan
bermasalahnya
struktur
perekonomian, tekanan otoritas fiskal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan kuatnya tekanan negatif eksternal, semakin memberatkan otoritas moneter untuk menstabilkan variabel makroekonomi.
86
VI. PENGUJIAN DAN ANALISIS HASIL PENELITIAN
6.1.
Uji Sifat Time Series Data Dalam penelitian ini data yang digunakan adalah data runtun waktu (time
series) bulan, yaitu dari bulan Januari 1999 sampai Desember 2006. Data ekonomi yang runtun waktu biasanya tidak stasioner, maka diperlukan uji akar akar unit, Uji akar unit bertujuan untuk mengamati apakah koefisien variabel tertentu dari model otoregresif
yang ditaksir mempunyai nilai satu atau tidak. Metode
pengujian akar-akar unit yang digunakan adalah dengan uji Augmented Dickey Fuller (ADF) selanjutnya hasil ADF harus dibandingkan dengan nilai kritis yang dikembangkan MacKinnon.
6.2.
Kestasioneran Data Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, data time series
(deret waktu) memerlukan pengujian terlebih dahulu terhadap kestasionerannya. Apabila pada data time series langsung dilakukan analisis akan menghasilkan hasil yang spurious karena dalam variabel tersebut sering kali mengandung unit root (Verbeek, 2000). Oleh karena itu sebelum masuk pada tahapan analisis SVAR maka terlebih dahulu dilakukan uji Augmented Dickey Fuller (ADF), dimana dalam pengujian ini terlihat ada atau tidaknya unit root dalam variabel. Kriteria uji dalam ADF ini membandingkan antara nilai statistik dengan nilai kritikal dalam tabel Dickey Fuller. Apabila nilai ADF statistik lebih kecil dari nilai McKinnon Critical Value maka data bersifat stasioner. Tetapi apabila nilai ADF statistik lebih besar dari nilai McKinnon Critical Value maka data bersifat non stasioner.
87
Tabel 5. Uji Akar Unit Level Variabel
Nilai ADF
SBW LIPI LCPI LER LM2 SBI
-0.1441 1.7676 6.0273 -0.0114 6.2343 -3.1223
Nilai Kritis McKinon 1% 5% 10% -2.5897 -1.9442 -1.6144 -2.5927 -1.9447 -1.6142 -2.5895 -1.9442 -1.6142 -2.5895 -1.9442 -1.6145 -2.5895 -1.9442 -1.6145 -2.5897 -1.9442 -1.6144
Keterangan Tidak Stasioner Tidak Stasioner Tidak Stasioner Tidak Stasioner Tidak Stasioner Stasioner
Berdasarkan hasil dari Tabel 5 dapat dilihat bahwa data sukubunga dunia (SBW), industrial production index (IPI), indeks harga konsumen Indonesia, nilai tukar rupiah per dollar (ER), permintaan uang (M2) tidak stasioner karena nilai ADF kelima variabel tersebut lebih besar dari nilai kritis McKinnon. Sedangkan untuk variabel suku bunga sertifikat bank Indonesia (SBI) stasioner pada level untuk tingkat kritis 1 persen, 5 persen, dan 10 persen. Oleh karena data untuk kelima variabel lainnya tidak stasioner (lampiran 4) maka perlu dilanjutkan pada uji akar unit pada first difference. Konsekuensi dari tidak terpenuhinya asumsi stasioneritas pada tingkat level atau derajat nol atau I (0) maka akan dilakukan uji derajat integrasi. Pada uji ini data didefrensiasikan pada derajat tertentu sampai semua data menjadi stasioner pada derajat yang sama. Berdasarkan hasil akar unit tingkat derajat terintegrasi satu I(1) atau first diffrence semua data bersifat stasioner (lampiran 4), hal tersebut dikarenakan nilai ADF-nya lebih kecil daripada nilai kritis McKinnon. Hasil uji akar unit derajat satu atau I (1) dapat dilihat pada Tabel 6. Penggunaan data perbedaan pertama (first difference), menurut Sims dalam Enders (2004) tidak direkomendasikan sebab akan menghilangkan informasi jangka panjang. Oleh karena itu untuk menganalisis informasi jangka panjang akan diguanakan data level sehingga
88
model SVAR akan dikombinasikan dengan model koreksi kesalahan
(Error
Correction Model) menjadi VECM. Tabel 6. Uji Akar Unit First Difference Variabel
Nilai ADF
DSBW DLIPI DLCPI DLER DLM2 DSBI
-5.1547 -3.9295 -6.2536 -10.0801 -4.1346 -3.3901
6.3.
Nilai Kritis Mc Kinon 1% 5% 10% -2.5897 -1.9442 -1.6144 -2.5931 -1.9447 -1.6142 -2.5897 -1.9442 -1.6144 -2.5897 -1.9442 -1.6144 -2.5900 -1.9443 -1.6144 -2.5897 -1.9442 -1.6144
Keterangan Stasioner 5% Stasioner 5% Stasioner 5% Stasioner 5% Stasioner 5% Stasioner 5%
Pengujian Lag Optimum Sebelum masuk kedalam tahapan analisis structural VAR akan dilakukan
uji VAR untuk mengetahui jumlah lag optimum yang akan digunakan dalam variabel yang akan dianalisis. Jumlah lag yang optimal dalam penelitian ini didasarkan pada nilai Akaike Information Criteria (AIC) yang terkecil atau minimum. Tabel 7. menunjukkan output VAR lag order selection criteria (lampiran 5) dengan menggunakan panjang lag sebagai berikut dibawah ini. Tabel 7. Pemilihan Panjang Lag Sistem Vector Autoregressive Lag 0 1 2 3 4 5 6 7
LogL 738.6510 799.1764 825.8144 860.1311 889.2988 917.1936 965.6559 993.5264
LR NA 111.4218 45.40553 53.81492 41.76277 36.13645 56.17230* 28.50388
FPE 2.36E-15 1.36E-15* 1.70E-15 1.81E-15 2.24E-15 2.95E-15 2.57E-15 3.83E-15
AIC -16.65116 -17.20856* -16.99578 -16.95753 -16.80224 -16.61804 -16.90127 -16.71651
SC -16.48225* -16.02619 -14.79996 -13.74825 -12.57951 -11.38185 -10.65163 -9.453408
HQ -16.58311 -16.73221* -16.11114 -15.66459 -15.10101 -14.50851 -14.38345 -13.79039
Model VAR didasarkan pada perhitungan VAR estimate dengan melihat Akaike Information Criteria (AIC) untuk mendapatkan lag optimal. Akaike information criteria (AIC) yang terkecil merupakan salah satu indikator kebaikan suatu model. Oleh karena itu dari Tabel 7. kita dapat menyimpulkan bawah lag
89
optimal yang akan dipakai dalam persamaan adalah lag satu. Adapun persamaan VAR dengan lag 1 dalam format umum diestimasi sebagai berikut (angka dalam tanda kurung adalah menunjukkan standar error) : DLER = - 0.0109*DSBW(-1) - 0.0282*DLIPI(-1) - 0.0601*DLCPI(-1) + 0.0753*DLER(-1) – (0.0248) (0.0579) (0.5877) (0.1467) 0.7424*DLM2(-1) + 0.0006*DSBI(-1) + 0.0075 (0.5313) (0.004) DLCPI = - 0.0016*DSBW(-1) - 0.0096*DLIPI(-1) - 0.0170*DLCPI(-1) - 0.0670*DLER(-1) + (0.0044) (0.0103) (0.1047) (0.0261) 0.3010*DLM2(-1) + 0.0032*DSBI(-1) + 0.0048 (0.0946) (0.0008)
Berdasarkan hasil persamaan nilai tukar rupiah (DLER) menunjukkan bahwa
sukubunga dunia, industrial production index, inflasi, uang beredar
berpengaruh negatif pada lag pertama terhadap nilai tukar rupiah, sedangkan nilai tukar rupiah sendiri dan sukubunga SBI berpengaruh positif pada lag pertama terhadap nilai tukar rupiah. Dengan R-square senilai 0.03 dan F-hitung sebesar 0.43. Artinya nilai tukar rupiah hanya mampu memberikan penjelasan terhadap variabel makroekonomi sebesar 3 persen sedangkan 97 persen dijelaskan oleh faktor lain yang tidak terdapat dalam estimasi. Sedangkan variabel makroekonomi dalam negeri tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pergerakan nilai tukar rupiah. Faktor- faktor lain tersebut bisa dikategorikan dalam faktor ekonomi lainnya maupun faktor-faktor non ekonomi. (Lampiran 5). Berdasarkan hasil persamaan inflasi (DLCPI) menunjukkan bahwa sukubunga dunia, industrial production index, inflasi, nilai tukar rupiah berpengaruh negatif pada lag 1 terhadap inflasi, sedangkan uang beredar dan sukubunga SBI berpengaruh positif pada lag 1 terhadap inflasi. Dengan R-square senilai 0.23 dan F-hitung sebesar
4.5. Artinya inflasi hanya mampu memberikan penjelasan
terhadap variabel makroekonomi sebesar 23 persen sedangkan 77 persen
90
dijelaskan oleh faktor lain yang tidak terdapat dalam estimasi. Faktor- faktor lain tersebut bisa dikategorikan dalam faktor ekonomi lainnya maupun faktor-faktor non ekonomi. (Lampiran 5).
6.4.
Uji Kausalitas Granger
Tabel 8. Granger Causality Test Null Hypothesis: DSBI does not Granger Cause DLER DLER does not Granger Cause DSBI DLCPI does not Granger Cause DLIPI DLIPI does not Granger Cause DLCPI DLM2 does not Granger Cause DLCPI DLCPI does not Granger Cause DLM2 DSBI does not Granger Cause DLCPI DLCPI does not Granger Cause DSBI
Obs F-Statistic Probability 94 0.08558 0.77054 8.74505 0.00395 94 3.56852 0.06207 0.79454 0.37508 94 4.38839 0.03896 0.32326 0.57105 94 10.4872 0.00168 1.39924 0.23993
Berdasarkan uji Granger Causality (lampiran 8) menunjukkan bahwa nilai tukar rupiah memiliki hubungan kausalitas yang searah dengan sukubunga SBI dimana nilai tukar rupiah secara signifikan 10 persen memiliki pengaruh pada pergerakan sukubunga SBI.
Sedangkan inflasi memiliki hubungan kausalitas
yang searah dengan industrial production index, diikuti dengan permintaan uang (M2) dan suku bunga SBI memiliki hubungan kausalitas yang searah dengan inflasi artinya kebijakan sukubunga SBI ditentukan oleh indikator ekonomi di dalam negeri sedangkan faktor luar seperti suku bunga dunia (SBW) akan menjadi perhatian saja. Hal ini dibuktikan berdasarkan suku bunga dunia dengan suku bunga SBI kelihatnya kebijakan yang dilakukan Bank Indonesia sedikit terlambat. Ketika sukubunga dunia yang diambil dari US prime melakukan kenaikan tingkat bunga, Bank Indonesia tidak melakukan tindakan apa-apa atau membuat tingkat bunga stabil. Ketika suku bunga dunia sedang menaikkan tingkat bunga, Indonesia melakukan penurunan tingkat bunga. Kemungkinan besar tindakan itu dilakukan
91
oleh bank Indonesia karena jumlah cadangan devisa yang sangat besar yang mencapai US$46 Milyar pada akhir Februari 2007 (Manurung, 2007).
6.5.
Analisis Impulse Response Function dan Forecast Error Variance Decomposition Untuk mengetahui hubungan ekonomi antar variabel, maka akan dilakukan
analisis Impulse Response Function (IRF) dan Forecast Error Variance Decomposition (FEVD). Analisis FEVD dilakukan untuk mengetahui kontribusi dari masing-masing shock variabel terhadap Forecast Error Variance dari masing-masing variabel yang rentang waktu yang berbeda. Decomposition variance memberikan informasi mengenai seberapa penting masing-masing random shock mempengaruhi variabel didalam model VAR. Namun demikian, analisis IRF dan FEVD sangat mensyaratkan adanya stabilitas pada sistem persamaan yang akan digunakan, maka terlebih dahulu akan dilakukan uji stabilitas dengan metode invers roots characteristic AR polynomial pada sistem VAR maupun VEC. Hasil uji stabilitas (lampiran 5) inverse roots characteristic AR polynomial terhadap sistem VAR dan VEC menunjukkan bahwa sistem VAR menghasilkan bentuk sistem persamaan yang stabil, sedangkan sebaliknya model Vector Error Correction menghasilkan bentuk sistem persamaan yang tidak stabil. Menunjuk hasil uji stabilitias ini dan anjurkan dari sim(1980) tersebut, maka untuk analisis hubungan antar variabel dalam penelitian ini digunakan sistem VAR dan shock dibuat pada first difference dari setiap variabel. Secara lengkap hasil IRF dan FEVD dapat dilihat pada lampiran 6 dan 7. Untuk memudahkan sketsa kerangka konseptual model VAR dari persamaan (4.1) ditampilkan sebagai berikut :
92
a11 a 21 a31 a 41 a51 a 61
0
0
0
0
a 22 a 32
0 a33
0 0
0 0
a 42 a 52
a 43 a53
a 44 a54
0 a 55
a 62
a 63
a 64
a 65
0 SBW t b11 0 0 IPI t 0 b22 0 0 CPI t 0 = 0 0 ERt 0 0 0 M 2t 0 a66 SBI t 0 0
0
0
0
0 b33
0 0
0 0
0 0
b44 0
0 b55
0
0
0
0 SBW t−1 ε SBWt 0 IPIt −1 ε IPIt 0 CPIt −1 ε CPIt + 0 ERt −1 ε ERt 0 M 2 t−1 ε M 2t b66 SBI t −1 ε SBIt
……………………………………………………..…………………..(5.1)
6.5.1. Impulse Response Function Pengaruh dinamis dari adanya suatu guncangan tertentu dapat dianalisis melalui orthogonal impulse response function (IRF). Analisis ini untuk melihat respon dinamika jangka panjang setiap variabel apabila ada suatu inovasi (shock) tertentu sebesar satu standar error pada setiap persamaan atau untuk melihat respon dinamik suatu variabel apabila terjadinya shock atau guncangan yang tertentu atau spesifik terhadap variabel tertentu. Analisis ini tidak hanya dalam waktu yang pendek tetapi dapat menganalisis untuk beberapa horizon (bulan) ke depan sebagai informasi jangka panjang. Sumbu horizontal merupakan periode dalam bulan, sedangkan sumbu vertikal menunjukkan nilai respon dalam persentase .
6.5.1.1.Respon Variabel Makroekonomi Terhadap Nilai Tukar Rupiah Pada Tabel 9. menunjukkan bahwa guncangan sebesar satu standar deviasi nilai tukar rupiah pada bulan pertama akan mengakibatkan meningkatnya nilai tukar rupiah (depresiasi) sebesar 5.19 persen; sedangkan suku bunga dunia, industrial production index dan inflasi tidak terpengaruh, sehingga mendorong terjadinya apresiasi nilai tukar rupiah pada bulan kedua. Pada bulan ketiga ke atas, nilai tukar rupiah
mengalami depresiasi lagi pada bulan tersebut, jumlah
uang beredar meningkat sebesar 0.02 persen, harga mengalami kenaikan sebesar
93
0.15 persen, industrial production index turun sebesar 0.43 persen (lampiran 6). Untuk menyeimbangkan besarnya laju depresiasi yang terjadi, bank sentral seyogyanya melakukan kebijakan moneter berupa peningkatan sukubunga SBI sebesar 31.60 persen (dari persentase sukubunga) sehingga menyebabkan capital inflow. Tabel 9. Bulan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
1.
Pengaruh Cholesky(d.f. adjusted) One Standard Deviation Nilai Tukar Rupiah (DLER) Innovation DSBW DLIPI DLCPI DLER DLM2 0.000000 0.000000 0.000000 0.051872 0.009042 -0.015240 0.008526 0.000114 -0.002616 -0.000136 -0.015988 -0.004355 0.001538 0.000136 0.000226 -0.012563 -0.001596 0.001119 0.000265 0.000126 -0.009717 -0.001678 0.000751 0.000194 8.64E-05 -0.007287 -0.000963 0.000534 0.000166 7.63E-05 -0.005392 -0.000795 0.000377 0.000106 5.34E-05 -0.003920 -0.000536 0.000267 8.00E-05 4.02E-05 -0.002824 -0.000396 0.000187 5.51E-05 2.86E-05 -0.002016 -0.000275 0.000131 3.96E-05 2.06E-05 -0.001432 -0.000196 9.17E-05 2.76E-05 1.46E-05 -0.001011 -0.000137 6.41E-05 1.95E-05 1.04E-05 Cholesky Ordering: DSBW DLIPI DLCPI DLER DLM2 DSBI
DSBI 0.270919 0.454081 0.316062 0.221546 0.155805 0.109575 0.076895 0.053799 0.037581 0.026212 0.018262 0.012711
Respon Suku Bunga Dunia Terhadap Nilai Tukar Rupiah Dari hasil analisis impuls respon yang terlampir pada Gambar 6 bahwa
guncangan sebesar satu standar deviasi kurs rupiah per dolar telah menyebabkan meningkatnya laju depresiasi sebesar 5.19 persen sedangkan suku bunga dunia tidak mengalami perubahan. Besarnya depresiasi nilai tukar rupiah pada bulan pertama menyebabkan apresiasi pada bulan kedua sebesar 0.26 persen dan suku bunga dunia mengalami penurunan sebesar 1.52 persen. Namun besarnya dampak shock apresiasi tersebut berlangsung jangka pendek yaitu hanya sekitar 1 bulan. Pada bulan ketiga pengaruh apresiasi hilang dan sudah kembali depresiasi sebesar 0.13 persen sedangkan sukubunga dunia kembali mengalami penurunan sebesar 1.60 persen. Selanjutnya pada bulan ke 4, bulan 5 dan bulan 7 pengaruhnya semakin mengecil yaitu depresiasi mencapai 0.01 persen dan suku bunga dunia
94
sebesar 0.53 persen dan pada bulan 12 semakin kecil dan menuju ketitik keseimbangan. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa dampak shock nilai tukar rupiah tidak dipengaruhi oleh suku bunga dunia. Karena Indonesia sebagai negara small open economic country dimana perekonomian Indonesia merupakan bagian terkecil dari pasar dunia dengan kata lain tidak berdampak berarti bagi pasar suku bunga dunia. Hal ini hanya menjadi perhatian saja. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 6. Response of DSBW to Cholesky One S.D. DLER Innovation .000
-.004 P e r s e n
-.008
-.012
-.016 Bulan
-.020 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Sukubunga Dunia
Gambar 6. Respon Sukubunga Dunia Terhadap Nilai Tukar Rupiah 2.
Respon Industrial Production Index Terhadap Nilai Tukar Rupiah Pada Gambar 7 dapat dilihat dengan adanya inovasi atau shock nilai tukar
sebesar 1 standar deviasi telah menyebabkan laju depresiasi sebesar 5.19 persen sedangkan Industrial Production index tidak mengalami perubahan. Pada bulan 2 nilai tukar rupiah mengalami apresiasi. Bagi dunia usaha yang melakukan kegiatan impor dan yang berutang keluar negeri pada dasarnya dunia usaha dapat mengurangi beban biaya impor dan beban biaya servis terhadap utang luar negeri yang mereka lakukan sehingga dunia usaha dapat meningkatkan produksinya yang masuk dalam industrial production index
Pada bulan ketiga pengaruhnya sudah
positif atau depresiasi sebesar 0.01 persen dan me nurunya industrial production
95
index sebesar 0.43 persen pada bulan 12 keatas pengaruhnya semakin kecil dan hilang dan kembali pada titik keseimbangan semula. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 7. Response of DLIPI to Cholesky One S.D. DLER Innovation .010 .008 P e r s e n
.006 .004 .002 .000 -.002 -.004 Bulan
-.006 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Industrial Production Index
Gambar 7. Respon Index Industrial and Production Terhadap Nilai Tukar Rupiah Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa dampak shock dari nilai tukar rupiah disebabkan industrial production index mengalami penurunan.
Dengan
terjadinya nilai tukar rupiah mengalami depresiasi hal ini akan mendorong naiknya beban biaya barang modal dari luar negeri, sehingga industri menurunkan jumlah produksinya hingga menuju ke titik keseimbangan.
3.
Respon Inflasi terhadap Nilai Tukar Rupiah. Pada bulan pertama nilai tukar mengalami depresiasi sebesar 5.19 persen
sedangkan inflasi tidak mengalami perubahan. Selanjutnya pada bulan kedua, nilai tukar rupiah mengalami apresiasi sebesar 0.26 persen sedangkan inflasi meningkat sebesar 0.011 persen. Hal ini terjadi karena meningkatnya permintaan barang dan jasa dari luar negeri sehingga harga naik. Dengan berjalannya waktu bulan ketiga
96
nilai tukar mengalami depresiasi lagi sebesar 0.014 persen sedangkan inflasi meningkat sebesar 0.15 persen. Pada bulan ke empat sampai bulan 10 keatas pengaruhnya semakin mengecil dan kembali pada titik keseimbangan. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 8. Response of DLCPI to Cholesky One S.D. DLER Innovation .0016
P .0012 e r s .0008 e n .0004
.0000 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11 12 Bulan
Inflasi
Gambar 8. Respon Inflasi terhadap Nilai Tukar Rupiah Dengan terjadinya peningkatan inflasi tersebut akibat dari depresiasi nilai tukar rupiah yang membuat produksi dengan kandungan bahan baku dari luar negeri lebih mahal sehingga terjadi kenaikan harga didalam negeri dan secara langsung masuk dalam perhitungan CPI .
4.
Respon Nilai Tukar Rupiah Pada bulan pertama nilai tukar mengalami depresiasi sebesar 5.19 persen.
Selanjutnya pada bulan
kedua nilai tukar rupiah mengalami apresiasi sebesar
0.26 persen. Namun besarnya dampak shock nilai tukar terhadap laju apresiasi tersebut hanya berlangsung dalam jangka pendek atau temporer
yaitu hanya
sekitar satu bulan. pada bulan ketiga pengaruhnya sudah positif yang semakin mengecil dan kembali pada titik keseimbangan. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 9.
97
Response of DLER to Cholesky One S.D. DLER Innovation .06 .05 .04 P e .03 r s .02 e n .01 .00 Bulan
-.01 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Nilai Tukar Rupiah
Gambar 9.
5.
Respon Nilai Tukar Rupiah
Respon Jumlah Uang Beredar Terhadap Nilai Tukar Rupiah Pada bulan pertama nilai tukar rupiah mengalami depresiasi sebesar 5.19
persen dan uang beredar meningkat sebesar 0.90 persen selanjutnya pada bulan kedua, nilai tukar rupiah mengalami apresiasi sebesar 0.26 persen sedangkan uang beredar menurun sebesar 0.014 persen artinya dengan terjadinya apresiasi membuat menurunnya rupiah dan masyarakat membeli dollarnya sehingga uang beredar dalam rupiah berkurang. Pada bulan ke 3 kembali mengalami depresiasi menjadi sebesar 0.14 persen dan uang beredar meningkat menjadi lebih besar menjadi sebesar 0.23 persen sampai pada bulan ke empat terus depresiasi dan uang beredar masih
berpengaruh positif yang mengecil sampai pada titik
keseimbangan. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 10. Oleh karena itu dengan terjadinya depresiasi karena simpanan dalam nominasi mata uang dollar juga termasuk dalam perhitungan jumlah uang beredar (M2) sehingga depresiasi nilai tukar secara otomatis akan meningkat nilai rupiah dalam simpanan sehingga pada gilirannya akan meningkatkan jumlah uang beredar.
98
Response of DLM2 to Cholesky One S.D. DLER Innovation .010 .008 P e .006 r s .004 e n .002 .000 Bulan
-.002 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Jumlah Uang Beredar
Gambar 10. Respon Jumlah Uang Beredar Terhadap Nilai Tukar Rupiah 6.
Respon Sukubunga Sertifikat Bank Indonesia terhadap Nilai Tukar Rupiah Pada awalnya dengan adanya shock depresiasi nilai tukar rupiah sebesar
5.19 persen akan direspon tingkat suku bunga SBI tinggi manjadi 27.10 persen sehingga pada bulan ke dua nilai tukar rupiah mengalami apresiasi sebesar 2.62 persen sedangkan suku bunga menjadi lebih tinggi lagi sebesar 45.41 persen. Hal ini dilakukan oleh otoritas moneter adalah untuk menstabilkan nilai tukar rupiah. Pada bulan ketiga nilai tukar rupiah kembali mengalami depresiasi sebesar 0.14 persen sedangkan suku bunga SBI mengalami kenaikan sedikit 31.61 persen sampai pada bulan ke keempat depresiasi dan suku bunga SBI masih berpengaruh positif yang mengecil sebesar 1.27 persen pada suku bunga SBI pada bulan ke 12. Oleh karena itu untuk menyeimbangi laju depresiasi nilai tukar rupiah, Bank sentral melakukan kebijakan moneter berupa peningkatan sukubunga SBI untuk menstabilkan nilai tukar rupiah. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 11.
99
Response of DSBI to Cholesky One S.D. DLER Innovation .5
.4 P .3 e r s .2 e n .1
.0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11 12 Bulan
Sukubunga SBI
Gambar 11. Respon Sukubunga SBI Terhadap Nilai Tukar Rupiah 6.5.1.2.Respon Variabel Makroekonomi Terhadap Inflasi Pada Tabel 10 menunjukkan bahwa guncangan sebesar satu standar deviasi inflasi CPI pada bulan pertama akan mengakibatkan kenaikan harga sebesar 0.92 persen, sedangkan sukubunga SBW dan industrial production index tidak mengalami perubahan. Nilai tukar rupiah terapresiasi sebesar 0.49 persen, uang beredar berkurang sebesar 0.03 persen dan meningkatnya suku bunga SBI sebesar 20.49 persen. Pada bulan kedua
inflasi terus mengalami kenaikan 0.07
persen. Untuk menurunkan inflasi, suku bunga SBI dinaikkan sebesar 7.72 persen sehingga uang beredar berkurang 0.09 persen, nilai tukar rupiah mengalami apresiasi sebesar 0.06 persen, dan industrial production index turun sebesar 1.58 persen (lampiran 6).
100
Tabel 10. Pengaruh Cholesky (d.f. adjusted) One Standard Deviation Inflasi (DLCPI) Innovation Bulan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
1.
DSBW DLIPI DLCPI DLER DLM2 0.000000 0.000000 0.009227 -0.004855 -0.000270 0.003639 -0.015804 0.000746 -0.000579 -0.000904 0.002533 0.005520 0.000149 0.001042 0.000148 -0.000301 -0.001821 0.000112 -0.000182 -5.58E-05 -0.000732 0.000503 0.000174 0.000111 3.37E-05 -0.000965 -0.000457 0.000114 -8.15E-06 -1.81E-06 -0.000851 -4.19E-05 8.93E-05 3.56E-05 1.19E-05 -0.000723 -0.000153 6.21E-05 1.19E-05 5.56E-06 -0.000566 -6.99E-05 4.57E-05 1.45E-05 6.18E-06 -0.000433 -6.89E-05 3.22E-05 8.44E-06 4.11E-06 -0.000321 -4.37E-05 2.30E-05 6.92E-06 3.32E-06 -0.000235 -3.40E-05 1.62E-05 4.64E-06 2.35E-06 Cholesky Ordering: DSBW DLIPI DLCPI DLER DLM2 DSBI
DSBI 0.204892 0.077170 0.061232 0.050528 0.036553 0.026463 0.018829 0.013411 0.009472 0.006676 0.004686 0.003282
Respon Suku bunga Dunia Terhadap Inflasi Pada Gambar 12 dapat dilihat pada awalnya dengan adanya inovasi atau
shock inflasi sebesar 1 SD telah menyebabkan kenaikan inflasi sebesar 0.92 persen sedangkan suku bunga dunia tidak mengalami pengaruh terhadap variabel makro ekonomi. Karena Indonesia sebagai negara small open economic country dimana perekonomian Indonesia merupakan bagian terkecil dari pasar dunia dengan kata lain tidak berdampak berarti bagi pasar suku bunga dunia. Hal ini hanya menjadi perhatian saja. Response of DSBW to Cholesky One S.D. DLCPI Innovation .004 .003 P e r s e n
.002 .001 .000 -.001 Bulan
-.002 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Sukubunga Dunia
Gambar 12. Respon Sukubunga Dunia Terhadap Tingkat Inflasi
12
101
2.
Respon Industrial Production Index Terhadap Inflasi Pada awal terjadinya shock terhadap inflasi sebesar 0.92 persen maka
industrial production index tidak mengalami perubahan setelah pada bulan kedua kenaikan inflasi naik lagi sebesar 0.07 persen akan menurunkan industrial production index sebesar 1.58 persen. Hal ini karena adanya kenaikan harga maka daya beli masyarakat pada produk menurun sehingga jumlah produksi dalam negeri menurun, bulan ke tiga industrial production index meningkat pada bulan ke empat industrial production index mengalami penurunan lagi, dan pada bulan ke 6 sampai sepanjang bulan 12 industrial production index berpengaruh negatif yang semakin mengecil dan kembali keseimbangan. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 13. Response of DLIPI to Cholesky One S.D. DLCPI Innovation .008 .004 P .000 e r s -.004 e n -.008 -.012 Bulan
-.016 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Industrial Production Index
Gambar 13. Respon Industrial Production Index Terhadap Tingkat Inflasi Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa guncangan dari inflasi menyebabkan industrial production index mengalami penurunan akibatnya daya beli masyarakat turun, masyarakat merasakan dampak inflasi tersebut terhadap daya belinya, kenaikan harga menyebabkan uang yang dimiliki dari hasil jerih
102
payah mereka bekerja menjadi kurang bernilai akibatnya jumlah yang mereka beli secara riil menurun, selain turunnya daya beli, masyarakat juga mulai mengurangi belanja dengan mengalokasikan lebih besar penghasilanya untuk ditabung.
3.
Respon Inflasi Pada bulan pertama inflasi meningkat sebesar 0.92 persen sampai pada
bulan ke 4 kenaikannya mulai mengecil sebesar 0.011 persen setelah bulan ke 5 kenaikannya meningkat menjadi 0.017 persen kemudian bulan ke 6, 7 sampai bulan ke 12 keatas pengaruhnya masih positif yang mengecil dan menghilang dan kembali pada titik keseimbangan. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 14. Response of DLCPI to Cholesky One S.D. DLCPI Innovation .010
.008 P e .006 r s e .004 n .002
.000 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11 12 Bulan
Inflasi
Gambar 14. Respon Inflasi
4.
Respon Nilai Tukar Terhadap Inflasi Pada awalnya dengan adanya shock kenaikan inflasi sebesar 0.92 persen
nilai tukar mengalami apresiasi nilai tukar sebesar 4.86 persen dan peningkatanya sebesar 0.058 persen pada bulan kedua. pada bulan ketiga pengaruhnya positif yaitu depresiasi nilai tukar rupiah sebesar 0.10 persen
sedangkan inflasi
mengalami kenaikan yang mengecil 0.015 persen pada bulan ke 4 pengaruhnya kembali apresiasi sebesar 0.018 persen pada bulan 5 nilai tukar mengalami
103
depresiasi sebesar 0.011 persen. Begitu juga pada bulan 6 nilai tukar mengalami apresiasi kembali dan bulan 7 sampai 12 nilai tukar terus mengalami depresiasi dan kembali pada tiitik keseimbangan. Pada 6 bulan pertama terjadinya fluktuasi nilai tukar setiap bulan. Terjadinya apresiasi nilai tukar maupun derpesiasi nilai tukar ini disebabkan karena terjadinya permintaan dan penawaran valuta asing dalam pasar uang, Hal ini dapat dilihat pada Gambar 15. Response of DLER to Cholesky One S.D. DLCPI Innovation .002 .001 .000 P e -.001 r s -.002 e n -.003 -.004 Bulan
-.005 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Nilai Tukar Rupiah
Gambar 15. Respon Nilai Tukar Terhadap Tingkat Inflasi
5.
Respon Uang Beredar Terhadap Tingkat Inflasi Pada saat awal terjadinya shock terhadap tingkat inflasi sebesar 0.92
persen uang beredar mengalami penurunan sebesar 0.027 persen dan bulan kedua sebesar 0.090 persen. Sedangkan pada bulan ke tiga uang beredar meningkat sebesar 0.015 persen hal ini disebabkan karena uang yang dipegang masyarakat bertambah sehingga terjadi inflasi sebesar 0.015 persen, pada bulan ke empat dan ke enam uang beredar turun mengecil dan menghilang sementara bulan 7 sampai bulan ke 12 jumlah uang beredar tinggi berpengaruh positif yang mengecil dan menghilang dan kembali pada titik keseimbangan semula.
104
Dengan adanya peningkatan uang beredar menunjukkan bahwa banyaknya uang yang dipegang masyarakat akibat terjadinya kenaikan harga yang ditransmisikan kedalam naiknya Indeks Harga Konsumen di Indonesia dan akan menyebabkan inflasi. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 16. Response of DLM2 to Cholesky One S.D. DLCPI Innovation .0002 .0000 P e -.0002 r s e -.0004 n -.0006 -.0008 Bulan
-.0010 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Jumlah Uang Beredar
Gambar 16. Respon Jumlah Uang Beredar Terhadap Tingkat Inflasi
6.
Respon Sukubunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Inflasi
Tingkat
Pada bulan pertama dengan adanya shock inflasi sebesar 0.92 persen suku bunga SBI meningkat sebesar 20.49 persen, hal ini juga terjadi sepanjang bulan kedua sampai bulan ke 12 yang menjelaskan tingkat inflasi dan sukubunga SBI berpengaruh positif yang akhirnya mengecil dan kembali pada titik keseimbangan semula. Dengan adanya peningkatan sukubunga SBI maka pemerintah sebagai otoritas moneter melakukan kontraksi moneter dalam rangka untuk menurunkan harga. oleh karena itu dengan adanya
kenaikan inflasi ini otoritas moneter
menaikkan suku bunganya agar masyarakat lebih tertarik menabung uangnya daripada membeli produk. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 17.
105
Response of DSB I to Cholesky One S.D. DLCPI Innovation .24 .20 P .16 e r .12 s e n .08 .04 .00 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11 12 Bulan
Sukubunga S BI
Gambar 17.Respon Sukubunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Tingkat Inflasi 6.5.2. Forecast Error Variance Decomposition Dalam penelitian ini analisis variance decomposition digunakan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh fluktuasi nilai tukar dan Inflasi di Indonesia dan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhinya dengan menggunakan perubahan data-data makro ekonomi yang berpengaruh nilai tukar secara bulanan, akan dapat diketahui variabel apa saja yang menyebabkan terjadinya sebuah shock diantara variabel – variabel yang ada dalam model. dengan kata lain dekomposisi variasi dapat menunjukkan bagaimana hubungan dan pengaruh antar variabel yang terkait dalam sebuah model, dengan membuat simulasi seandainya ada shock dalam nilai tukar rupiah dan inflasi, akan diketahui variabel – variabel apa saja yang mempengaruhinya Dekomposisi Variasi Makroekonomi Indonesia 1.
Nilai Tukar Rupiah Dari Tabel 11 dibawah terlihat bahwa, forecast Error Variance dari
masing-masing variabel tergantung rentang waktunya menunjukkan hal-hal sebagai berikut :
106
Tabel 11. Dekomposisi Variasi Makroekonomi Terhadap Nilai Tukar Rupiah Periode Guncangan (Persen) (Bulan) DSBW DLIPI DLCPI DLER DLM2 DSBI 1 0.7692 0.1402 0.8604 98.2301 0.0000 0.0000 3 1.0098 0.2362 0.8848 95.5130 2.3471 0.0088 5 1.0105 0.2501 0.8862 95.4900 2.3473 0.0157 10 1.0105 0.2504 0.8862 95.4865 2.3481 0.0180 15 1.0105 0.2504 0.8862 95.4864 2.3481 0.0181 25 1.0105 0.2504 0.8862 95.4864 2.3481 0.0181 35 1.0105 0.2504 0.8862 95.4864 2.3481 0.0181 50 1.0105 0.2504 0.8862 95.4864 2.3481 0.0181 Tabel 11 menunjukkan fluktuasi nilai tukar rupiah (DLER) secara dominan ditentukan oleh shock terhadap dirinya sendiri, yaitu mencapai 98.23 persen. Kontribusi dari variabel lain mulai berperan pada bulan ketiga dimana kontribusi uang beredar dalam menjelaskan fluktuasi nilai tukar rupiah hanya sebesar 2.34 persen, sukubunga dunia sebesar 1.01 persen, inflasi sebesar 0.88 persen, industrial production index sebesar 0.24 persen, dan sukubunga SBI sebesar 0.009 persen (lampiran 7). Pada bulan ke-50 pengaruh guncangan nilai tukar rupiah terhadap dirinya semakin menurun menurut waktu, namun masih sangat tinggi, yaitu sebesar 95.49 persen; sedangkan kontribusi guncangan terhadap
variabel ekonomi lainnya
meningkat tetapi tidak sebesar kontribusi nilai tukar rupiah. Artinya, dalam sistem nilai tukar mengambang bebas, variabel-variabel ekonomi kurang berpengaruh dalam menjelaskan fluktuasi nilai tukar rupiah, hal ini mencerminkan bahwa nilai tukar rupiah cenderung bersifat eksogen. Hal ini bisa dilihat pada Gambar 18.
107
100% 80%
DSBI DLM2
60%
DLER DLCPI DLIPI SBW
40% 20% 0% 1
6
11 16 21 26
31 36 41
46
Gambar 18. Dekomposisi Variasi Nilai Tukar Rupiah 2.
Inflasi Dari Tabel 12. dibawah terlihat bahwa, forecast error variance dari
masing-masing variabel tergantung rentan waktunya menunjukkan hal sebagai berikut: Tabel 12. Dekomposisi Variasi Makroekonomi Terhadap Tingkat Inflasi Periode Guncangan (persen) (Bulan) DSBW DLIPI DLCPI DLER DLM2 DSBI 1 0.8395 1.2563 97.9041 0.0000 0.0000 0.0000 3 0.8278 2.7943 80.1568 2.2236 6.4239 7.5733 5 0.8034 2.6684 76.3631 3.7348 7.1222 9.3078 10 0.8726 2.6283 75.1933 4.1594 7.2779 9.8684 15 0.8791 2.6270 75.1560 4.1712 7.2817 9.8847 25 0.8793 2.6270 75.1549 4.1715 7.2817 9.8851 35 0.8793 2.6270 75.1549 4.1715 7.2817 9.8851 50 0.8793 2.6270 75.1549 4.1715 7.2817 9.8851 Pada bulan pertama, guncangan inflasi dipengaruhi oleh dirinya sendiri sebesar 97.90 persen. Kontribusi variabel makroekonomi lainnya dalam menjelaskan fluktuasi inflasi Indonesia mulai terlihat pada bulan ketiga. Guncangan inflasi pada bulan tersebut memberikan proporsi dalam menjelaskan fluktuasi inflasi sendiri sebesar 80.16 persen, sukubunga SBI sebesar 7.57 persen, uang beredar sebesar 6.42 persen, nilai tukar rupiah sebesar 2.22 persen, industrial production index sebesar 2.79 persen, suku bunga dunia sebesar 0.83 persen (lampiran 7).
108
Pada bulan ke-50 pengaruh goncangan inflasi terhadap dirinya semakin menurun menurut waktu, namun masih sangat besar yaitu sebesar 75.15 persen; sedangkan kontribusi guncangan terhadap variabel ekonomi lainnya meningkat tetapi tidak terlalu besar kecuali sukubunga SBI yang memberikan kontribusi terhadap fluktuasi inflasi sebesar hampir 10 persen. Artinya sukubunga SBI cukup berperan penting untuk menstabilkan inflasi Dapat disimpulkan bahwa dalam kebijakan moneter, Sukubunga SBI merupakan kontribusi terbesar untuk kestabilan harga. Artinya apabila inflasi tinggi, maka kebijakan moneternya adalah dengan menaikkan sukubunga SBI (kontraksi moneter) dengan kata lain hasil ini menunjukkan bahwa bank Indonesia menerapkan kerangka kebijakan inflation targetting dimana SBI digunakan sebagai sasaran antara untuk mengontrol inflasi, bukan sebagai sasaran akhir. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 19. 100%
DSBI DLM2 DLER DLCPI DLIPI DSBW
80% 60% 40% 20% 0% 1
5
9 13 17 21 25 29 33 37 41 45 49
Gambar 19. Dekomposisi Variasi Tingkat Inflasi 6.6.
Rumusan Implikasi Kebijakan Moneter Terhadap Nilai Tukar Rupiah dan Inflasi Undang-ungang Bank Sentral No 23. tahun 1999 tentang Bank Indonesia
sebagaimana telah diubah dengan UU No 3. Tahun 2004. Tujuan Bank Indonesia
109
adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah (pasal 7) amanat ini memberikan kejelasan peran bank sentral dalam perekonomian, sehingga dalam pelaksanaan tugas Bank Indonesia dapat lebih fokus dalam pencapaian ”single objective”-nya Kestabilan nilai rupiah dapat diukur dari nilai rupiah terhadap barang di dalam negeri tercermin dari tingkat inflasi sementara kestabilan nilai rupiah terhadap barang luar negeri tercermin dari nilai tukar rupiah (kurs) terhadap mata uang negaral lain, Pencapaian stabilitas harga sangat tergantung pada kemampuan Bank Indonesia dalam menjaga keseimbangan internal, khususnya keseimbangan antara permintaan agregat dengan penawaran agregat, sedangkan kestabilan nilai tukar sangat tergantung pada keseimbangan eksternal, yang tercermin pada keseimbangan neraca pembayaran. Dalam mencapai tujuan yang diamanatkan Undang-undang, Bank Indonesia menentapkan laju inflasi sebagai sasaran akhir kebijakan moneter. Sementara itu, perkembangan nilai tukar ditentukan oleh mekanisme pasar sesuai dengan sistem nilai tukar mengambang bebas sejak Agustus 1997. Berdasarkan hasil analisis, inflasi di masa mendatang cenderung akan menunjukkan penurunan, akan tetapi masih tetap berada pada tingkat yang relatif tinggi. Oleh karena, itu bank sentral harus terus memantau inflasi khususnya yang bersumber dari fenomena moneter dalam perekonomian. Selanjutnya mengingat pembentukan inflasi dari index harga konsumen (IHK) dalam jangka pendek bukan hanya merupakan fenomena moneter, tetapi juga dibentuk oleh fenomena dari sisi penawaran, maka bank sentral perlu memantau inflasi secara cermat menurut sumber sumber penyebab inflasi tersebut.
110
Sebagai contoh dalam hal terjadi gangguan permintaan (demand shock) yang mengakibatkan inflasi tinggi, respon bank sentral akan menaikkan sukubunga SBI sehingga tingkat inflasi dapat ditekan. Sebaliknya, jika inflasi meningkat karena terjadinya gangguan penurunan di sisi penawaran (Supply side), misalnya kenaikan harga makanan karena musim kering, maka kebijakan uang ketat (tight money policy) justru dapat memperburuk tingkat harga dan pertumbuhan ekonomi. Respon yang dapat dilakukan oleh bank sentral adalah kebijakan melonggarkan likuiditas perekonomian (ekspansi moneter) agar dapat menstimulir peningkatan penawaran. Pemulihan kepercayaan kepada perekonomian dalam negeri serta didukung oleh perbaikan sistem distribusi dan pemulihan kapasitas produksi. Pemulihan kepercayaan juga dapat dibantu dengan melobi lembaga pemeringkat internasional, misalnya dengan meminta agar Indonesia tidak dimasukkan dalam kategori negative watch, dengan pulihnya kepercayaan, nilai tukar akan menguat karena sentimen pasar positif dan terjadi capital inflow sehingga rupiah menguat dan tekanan inflasi mereda. Dengan demikian, sukubunga dapat diturunkan ke tingkat yang wajar. Kebijakan untuk menstabilkan nilai tukar rupiah dapat diterapkan sejalan dengan pendapat Arifin (1998), bahwa kewajiban menempatkan capital inflow jangka pendek di bank sentral selama satu tahun dengan persentase tertentu tanpa imbalan dapat mengurangi investasi yang hanya mencari keuntungan dari arbitrase dan tidak bermanfaat bagi perekonomian. Kebijakan seperti itu bahkan dapat mendorong peningkatan arus modal yang berjangka panjang, yang lebih bermanfaat bagi perekonomian. Kewajiban seperti ini telah lama diterapkan di
111
Chile dengan mengenakan reserve requirment sebesar 30 persen selama satu tahun atas aliran modal masuk. Stabilitas nilai tukar harus tetap mendapat perhatian dalam upaya menunjang penurunan ekspektasi inflasi masyarakat. Nilai tukar harus dimonitor secara ketat dengan melihat faktor penyebab pergerakan nilai tukar, jika depresiasi nilai tukar rupiah disebabkan oleh arus modal keluar. maka kebijakan moneter yang lebih ketat dapat mencegah kenaikan inflasi akibat depresiasi. Namun jika depresiasi yang terjadi akibat perubahan term of trade, diperlukan kebijakan moneter yang lebih longgar. Upaya menstabilkan perkembangan makro, terutama stabilitas nilai rupiah masih menghendaki adanya kebijakan moneter yang ketat. Hal ini dilakukan Bank sentral dalam kebijakan ”harga” dana yaitu suku bunga tinggi dan kebijakan ”kuantitas” dana, yaitu melalui peningkatan Giro Wajib Minimum. Stabilitas tersebut akan dapat dipantau dari beberapa indikator, yaitu mulai stabilnya atau bahkan sedikit menguat nilai rupiah serta mulai masuknya dana-dana dari luar negeri terutama yang ditanamkan dalam SBI. Jika ini maka SBI yang sudah diaggap menarik oleh para investor luar negeri. Dalam rangka penerapan transparansi dan akuntabilitas publik, penetapan sasaran laju inflasi dan besaran moneter serta langkah-langkah untuk mencapainya akan diinformasikan kepada masyarakat. Penyampaian informasi dan penjelasan secara terbuka tersebut diharapkan akan dapat mempengaruhi ekspektasi masyarakat terhadap inflasi. Ekspektasi inflasi yang terkelola tersebut pada giliranya akan mempengaruhi kegiatan ekonomi masyarakat sehingga dapat mendukung pencapaian laju inflasi yang diinginkan.
112
VII. SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
7.1.
Simpulan Penelitian ini menyajikan faktor – faktor ekonomi yang mempengaruhi
pergerakan atau fluktuasi nilai tukar, seperti sukubunga dunia, industrial production index, inflasi, uang beredar dan suku bunga SBI, tidak melakukan analisis baik secara langsung maupun tidak langsung atas faktor-faktor tersebut. Berdasarkan hasil analisis impuls respon dapat disimpulkan bahwa guncangan nilai tukar rupiah mengakibatkan depresiasi yang sangat tinggi terhadap nilai tukar rupiah dimana dengan adanya guncangan nilai tukar rupiah akan mengakibatkan fluktuasi pada variabel makroekonomi dalam waktu yang lebih cepat untuk menuju ke kondisi kestabilan dibandingkan dengan variabel makroekonomi lainya. Terkait dengan depresiasi dari guncangan nilai tukar rupiah akan direspon dengan meningkatnya jumlah uang beredar secara langsung. Peningkatan jumlah uang beredar terjadi karena simpanan dalam nominasi mata uang dolar juga termasuk dalam perhitungan jumlah uang beredar (M2) sehingga depresiasi nilai tukar rupiah secara otomatis meningkatkan jumlah uang beredar yang akan mengarahkan pada terjadinya kenaikan tingkat harga yang membuat daya beli masyarakat
menurun
akibatnya
industrial
production
index
mengalami
penurunan, oleh karena itu untuk menyeimbangi besarnya laju depresiasi yang terjadi, bank sentral seyogyanya melakukan kebijakan moneter berupa peningkatan sukubunga SBI mendorong terjadinya capital inflow yang pada akhirnya dapat menstabilkan nilai tukar rupiah.
113
Guncangan harga akan
direspon oleh bank sentral
dengan menaikan
sukubunga SBI sehingga menyebabkan menurunya jumlah uang beredar, nilai tukar rupiah mengalami apresiasi mengakibatkan daya saing Indonesia melemah dan naiknya pinjaman sukubunga sehingga menurunya industrial production index. Berdasarkan hasil Forecast Error Variance Decomposition menunjukkan bahwa nilai tukar rupiah (DLER) secara dominan ditentukan oleh shock terhadap dirinya sendiri, yaitu mencapai sebesar 95.49 persen. Inflasi juga secara dominan ditentukan oleh shock terhadap dirinya sendiri, yaitu sebesar 75.15 persen, diikuti dengan sukubunga SBI memberikan kontribusi sebesar 9.88 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa nilai tukar rupiah cenderung bersifat eksogen sehingga sulit untuk dapat dikendalikan secara langsung, sedangkan inflasi masih relatif memungkinkan dikendalikan melalui guncangan sukubunga SBI. Hasil ini juga menunjukkan bahwa bank Indonesia menerapkan kerangka kebijakan inflation targetting dimana SBI digunakan sebagai sasaran antara untuk mengontrol inflasi, bukan sebagai sasaran akhir.
7. 2.
Implikasi Kebijakan Berdasarkan hasil analisis Impulse Response Functions dan Forecast
Error Variance Decomposition instrumen kebijakan moneter untuk pencapaian kestabilan nilai tukar rupiah dan inflasi adalah sukubunga SBI. Dengan demikian, dalam rangka pencapaian target inflasi, Bank Indonesia dapat melaksanakannya dengan instrumen Sukubunga SBI sebagaimana yang memang telah digunakan selama ini akan menjadi lebih baik apabila Bank Indonesia dapat menciptakan stabilitas fundamental ekonomi, terutama me ngurangi kesenjangan permintaan
114
dan penawaran valuta asing, sekaligus menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap mata uang rupiah dan mengendalikan terjadinya aliran modal keluar (capital outflow). Apabila laju inflasi masih tinggi. hal ini membuktikan bahwa tidak mudah melakukan pentargetan inflasi di Indonesia karena belum stabilnya variabel makroekonomi Indonesia baik internal maupun eksternal. Sisi internal seperti suku bunga SBI, sebenarnya dapat digunakan menurunkan harga dan stabil, tetapi intrume n suku bunga saja tidak cukup, perlu waktu lama untuk mempengaruhi harga, hal ini mengingat besarnya efek guncangan eksternal terhadap harga – harga yaitu keberadaan produk domestik di Indonesia masih belum mampu bersaing dengan produk luar negeri sehingga menimbulkan ketergantungan yang tinggi atas produk luar negeri terutama bahan baku impor. Hal ini membuktikan bahwa orang awam sering lebih suka menyimpan barang ketimbang uang. Berdasarkan UU BI tahun 2004 mengingat bahwa target BI tidak secara tegas upaya komitmen atas pencapaian target single objectivenya. apakah target nilai tukar, target inflasi, target moneter (uang beredar) atau kombinasi diantara pada kebijakan moneter BI . Oleh karena itu, apabila pemerintah mengharapkan kestabilan harga dengan pertumbuhan yang kondusif maka Bank Indonesia dilihat dari kebijakan moneternya perlu : 1. Fokus terhadap sasaran, pengendalian inflasi hanya salah satu diantara beberapa sasaran lain yang hendak dicapai oleh Bank sentral. Sasaran – sasaran lain kadang – kadang bertentangan dengan sasaran pengendalian inflasi, misalnya sasaran pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja, neraca pembayaran, dan kurs, oleh karena itu seharusnya bank sentral tidak
115
menetapkan sasaran lain dan berfokus pada sasaran utama pengendalian inflasi. 2. Bank sentral mutlak harus mempunyai kemampuan untuk memprediksi inflasi secara akurat sehingga dapat menetapkan target inflasi yang hendak dicapai. Artinya bank sentral harus mengumumkan atau membuat pernyataan resmi mengenai target inflasi untuk jangka waktu beberapa tahun kedepan 3. Pelaksanaan secara konsisten dan transparan, Dengan pelaksanaan target inflasi secara konsisten dan transparan maka kepercayaan masyarakat terhadap kebijakan yang ditetapkan semakin meningkat. 4. Efektifitas pelaksana kebijakan moneter dalam kerangka inflation targetting terletak pada kebijakan fiskal yang sehat dan berkesinambungan serta kebijakan moneter yang berhati-hati, karena kedua kebijakan ini saling melengkapi dalam stabilitas perekonomian. pada masa yang akan datang, kerjasama dan koordinasi yang baik semakin terus ditingkatkan antara otoritas fiskal dan moneter yaitu pemerintah dan bank Indonesia supaya kebijakan yang diambil menjadi lebih efektif dan efisien.
7.3.
Saran
1.
Bank
Indonesia
sebagai
otoritas
moneter
diharapkan
dapat
menyeimbangkan kebijakan yang secara efektif dapat memulihkan stabilitas ekonomi jangka pendek dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi berkelanjutan dengan ongkos yang minimal. 2.
Untuk pencapaian objektif bank sentral disarankan untuk penelitian selanjutnya mengenai sasaran kesempatan kerja, target nilai tukar, target moneter atau kombinasi diantara kebijakan moneter BI. Namun pilihan
116
apapun yang diambil tidak mudah pelaksanaanya, mengingat kondisi perekonomian Indonesia masih penuh distorsi dan kebijakan fiskal seringkali tidak searah. 3.
Pemerintah dan bank sentral diharapkan duduk bersama agar pemerintah memiliki komitmen untuk menjaga ketahanan fiskal, antara lain melalui pengurangan defisit anggaran dan penyusunan rencana strategis yang rasional dan transparan, serta mampu menyurutkan keraguan dan kecendrungan kebijakan populer untuk memenuhi keinginan politiknya. Dan bank sentral secara tegas dan konsisten memutuskan dan menyampaikan secara lugas target kebijakan moneter, all out untuk mencapainya, tidak akomodatif dengan siklus politik.
4.
Perlu adanya penelitian selanjutnya yang menggunakan faktor ekonomi lainnya seperti nilai tukar mata uang negara lain, atau faktor non ekonomi untuk dapat menstabilkan nilai tukar rupiah dan mengendalikan inflasi.
117
DAFTAR PUSTAKA
Abimanyu, Y. 1998. Using Indonesia’s Real Exchange Rate to Test Ricardian Equivalence. International Economic Journal, 12 (3): 17-27. Arifin, S. 1998. Efektifitas Kebijakan Sukubunga Dalam Rangka Stabilitas Rupiah di Masa Krisis. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan 3 (12): 1-26. Atmadja, A.S. 2001. Free Floating Exchange Rate System Dan Penerapannya Pada Kebijaksanaan Ekonomi di Negara Yang Berperekonomian Kecil dan Terbuka. Jurnal Akuntasi dan Keuangan, 3 (5): 18-29. Agung,Y. 1998. Financial Deregulation and The Bank Lending Channel in Developing Countries : The Case of Indonesia. Asian Economic Journal, 12 (13): 22-27. _______. 2002. Transmission Mechanisms of Monetary Policy in Indonesia. Bank Indonesia, Jakarta. Ascarya. 2002. Instrumen-instrumen Pengendalian Moneter. Pusat Pendidikan dan Studi Kebangsentralan. Seri Kebanksentralan, 1 (3) : 1-49. Baillie, R. and P. Mc Mahon. 1989. The Foreign Exchange Market Theory and Econometric Evidence. Cambridge University Press, London. Badan Pusat Statistik. 1999. Laporan Perekonomian Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta. __________________. 2002. Laporan Perekonomian Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta. __________________. 2007. Laporan Perekonomian Indonesia. Badan Statistik, Jakarta.
Pusat
Bank Indonesia. 1999. Laporan Tahunan. Bank Indonesia, Jakarta. _____________. 2002. Laporan Tahunan. Bank Indonesia, Jakarta. _____________. 2006. Laporan Tahunan. Bank Indonesia, Jakarta. Cagan, P. 1984. The Monetary Dynamics of Hyperinflation. ed. By Milton Friedman. In Studies in The Quantity Theory of Money, University of Chicago Press, Chicago. Cahyono, J.E. 2000. Menjadi Manajer Investasi Bagi Diri Sendiri. Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
118
Chowdhury, A. and H. Siregar. 2002. Indonesia’s Monetary Policy Dilemma: Constraints of Inflation Targetting. UNSFIR Working Paper, 2(11): 1-36. Dornbusch, R. 1973. Devaluation, Money and Non Traded Goods. American Economic Reviews, 63 (12): 871-880. ___________. 1976. Expectation And Exchange Rate Dynamic. Journal of Political Economy, 84 (6): 671-683. ___________. 2001. The Theory of Flexible Exchange Rate Regimes and Macroeconomics Policy. Addison Wesley Publishing Company, Manila.
Enders, W. 2004. Applied Econometric Time Series. Second Edition. Willey Series in Probablity and Statistics, New York. Frangkel, J.A. 1984. Test of Monetary and Portofolio Balance Models of Exchange Rate Determination : Exchange Rate Theory And Practice. ed Bilson and Richard, London. Frangkel, J.A. and H.G. Johnson. 1976. The Monetary Approach to The Balance of Payment. Allan & Unwin, London. Goeltom, M.S. dan D. Zulverdi. 1998. Manjemen Nilai Tukar di Indonesia dan Permasalahanya. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, 1 (2): 69-91. Gottschalk, J. 2001. An Introduction Into The SVAR Methodology : Identification Interpretation and Limitation of SVAR model. Institute Fur Welwirtscaft, Warsaw. Hanafi, I.D. 2005.Faktor Cina Dalam Struktur Ekonomi ASEAN-JEPANG [Pikiran Rakyat On-Line][7 Maret 2005]. Haryono, E., W.A. Nugroho dan W. Pratomo. 2000. Mekanisme Pengendalian Moneter dengan Inflasi Sebagai Sasaran Tunggal. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, 2 (4) : 168-122. Hascaryo, A.R. 2003. Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter dan Evaluasi Terhadap Berbagai Kebijakan Moneter di Indonesia. Analisis: Model Makro Ekonometrik Simultan. Skripsi. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Depok. Holod, D. 2000. The Relationship Between Price Level, Money Supply and Exchange Rate in Ukraine. National University of Kiev- Mohyla Academy, Warsaw. Ickes, B.W. 2004. Lecture Note on Exchange Rate Fluctuation. Pennyslvania State University, Fall.
119
Kamin, et al., 1997. Capital Inflow, Financial Intermediation, and Aggregate Demand; Empirical Evidance from Mexico and Other Pasific Basin Country, Board of Governor of The Federal Reserve System. Mexico City. Krugman, P.R. and M. Obstfeld. 2003. International Economics: Theory and Policy. Sixth Edition. Addison Wesley, Boston. Mc Nown, R. and M.S. Wallace. 1994. Cointegration Test of The Monetary Exchange Rate Model for Three High – Inflation Economics. Journal of Money, Credit and Banking, 2 (6): 396-411. Mishkin, F.S. 2001. The Economics of Money, Banking, and Financial Markets. Sixth Edition. Columbia University, New York. Nugroho, A.E. 2002. Sektor Perbankan dan Keuangan di Indonesia. Penerbit Pamator, Jakarta. Nuryadin, D. dan B. Santoso. 2004. Analisis Aplikasi Model Neraca Pembayaran dan Model Moneter terhadap Nilai tukar Rp/$. Periode 1980.1 – 2000.4. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, 7 (2): 273-292. Rato, R. 2005. Integrasi Asia dan IMF. [Sarwono Net][21 September 2005]. http://aeansummit.bernama.com/newslistbm.php?cat=ase&page=14. Samiun, R. 1998. Evaluasi Program Intervensi di Pasar Valuta Asing Dalam Rangka Stabilitas Nilai Tukar. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, 1(3): 75-130. Santoso, W. dan Iskandar. 1999. Pengendalian Moneter Dalam System Nilai Tukar yang Fleksibel : Konsiderasi Kemungkinan Penerapan Inflation Targetting di Indonesia. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, 2 (2) : 1-30. Seddighi, H.R., K.A. Lawler and A.V. Katos. 2000. Econometrics: A Practical Approach. Rouledge, London and NewYork. Sloman, J. and M. Sutcliffe. 1998. Economics for Business. Prentice Hall, London. Siregar, H. and B.D. Ward. 2002. Can Monetary Policy/ Shocks Stabilize Indonesian Macroeconomic Fluctuations? Monetary and Financial Management in Asia in The 21 Century. Management University Research Center, Singapore. Siswanto, B., Y. Kurniati, G.B. Padoli dan S.H. Binhadi. 2001. Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter Melalui Jalur Nilai Tukar. Occassional Paper. Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter. Bank Indonesia, Jakarta.
120
Sudjijono, B. dan D. Rudianto. 2003. Perspektif Pembangunan Indonesia Dalam Kajian Pemulihan Ekonomi. PT. Citra Mandala Pratama, Jakarta. Thomas, R.L. 1997. Modern Econometrics. Addison-Wesley, Harlow. Tucker, A. L., J. Madura and T.C. Chiang. 1991. International Financial Markets. West Publishing Company, New York. Winata, C. 2006. Pentargetan Inflasi, Stabilitas Nilai Tukar Rupiah dan Fluktuasi Output di Indonesia : Pendekatan Model DSGE (Dynamic Stochastic General Equilibrium). Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Warjiyo, P. dan D. Zulverdi. 1998. Penggunaan Sukubunga Sebagai Sasaran Operasional Kebijakan Moneter di Indonesia. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, 1(1): 25-58. Warjiyo, P. 2003. Kebijakan Moneter di Indonesia. Bank Indonesia, Jakarta.
121
Lampiran 1 . Data Asli obs 1999:01 1999:02 1999:03 1999:04 1999:05 1999:06 1999:07 1999:08 1999:09 1999:10 1999:11 1999:12 2000:01 2000:02 2000:03 2000:04 2000:05 2000:06 2000:07 2000:08 2000:09 2000:10 2000:11 2000:12 2001:01 2001:02 2001:03 2001:04 2001:05 2001:06 2001:07 2001:08 2001:09 2001:10 2001:11 2001:12 2002:01 2002:02 2002:03 2002:04 2002:05 2002:06 2002:07 2002:08 2002:09 2002:10 2002:11 2002:12 2003:01 2003:02 2003:03 2003:04 2003:05
ER 8950 8730 8685 8260 8105 6726 6875 7565 8386 6900 7425 7100 7425 7505 7590 7945 8620 8735 9003 8290 8780 9395 9530 9595 9450 9835 10400 11675 11058 11440 9525 8865 9675 10435 10430 10400 10320 10189 9655 9316 8785 8730 9108 8867 9015 9233 8976 8940 8876 8905 8908 8675 8279
CPI 80.28 80.36 81.38 81.24 80.68 80.45 80.18 79.34 78.6 78.06 78.11 78.19 79.55 80.6 80.66 80.29 80.74 81.42 81.82 82.87 83.3 83.22 84.19 85.3 86.93 87.21 87.97 88.76 89.16 90.15 91.6 93.53 92.6 93.19 93.82 95.42 96.95 98.11 98.39 98.18 98.96 99.26 99.96 100.32 100.88 101.36 103.22 104.44 105.37 105.57 105.44 105.66 106.04
M2 596541 602666 603325 613140 628260 615411 627207 636529 652289 628896 639347 646205 650597 653334 656451 665651 683477 684335 689935 685602 686453 707447 720261 742028 738731 755898 766812 792227 788320 796440 771135 774037 783104 808514 821621 844053 838022 837160 831411 828278 833084 838635 852718 856835 859706 863010 870046 883908 873683 881215 877776 882808 893029
IPI 76.93 94.63 107.46 105.35 106.72 104.28 110.66 109.08 112.19 114.02 114.74 109.23 71.08 91.8 98.59 92.93 102.78 102.33 107.3 110.4 109.4 111.12 109.04 93.24 95.6 97.53 102.47 101.62 108.33 109.14 110.53 112.14 109.58 112.87 109.18 82.27 99.66 91.58 101.75 108.76 110.24 109.99 116.81 116.43 114.77 118.46 116.25 87.42 107.27 105.82 114.52 107.8 110.66
SBI SBW 36.43 7.75 37.5 7.75 37.84 7.75 35.19 7.75 28.73 7.75 22.05 7.75 15.01 8 13.2 8.25 13.02 8.25 13.13 8.25 13.1 8.5 12.51 8.5 11.48 8.5 11.13 8.75 11.03 9 11 9 11.08 9.5 11.74 9.5 13.53 9.5 13.53 9.5 13.62 9.5 13.74 9.5 14.15 9.5 14.53 9.5 14.74 9 14.79 8.5 15.82 8 16.09 7.5 16.33 7 16.65 6.75 17.17 6.75 17.67 6.75 17.57 6 17.58 5.5 17.6 5 17.62 4.75 16.93 4.75 16.86 4.75 16.76 4.75 16.6 4.75 15.51 4.75 15.11 4.75 14.93 4.75 14.35 4.75 13.22 4.75 13.1 4.75 13.06 4.25 12.93 4.25 12.69 4.25 12.24 4.25 11.4 4.25 11.06 4.25 10.44 4.25
122
2003:06 2003:07 2003:08 2003:09 2003:10 2003:11 2003:12 2004:01 2004:02 2004:03 2004:04 2004:05 2004:06 2004:07 2004:08 2004:09 2004:10 2004:11 2004:12 2005:01 2005:02 2005:03 2005:04 2005:05 2005:06 2005:07 2005:08 2005:09 2005:10 2005:11 2005:12 2006:01 2006:02 2006:03 2006:04 2006:05 2006:06 2006:07 2006:08 2006:09 2006:10 2006:11 2006:12
8285 8505 8535 8416 8495 8537 8447 8441 8447 8587 8661 9210 9415 9168 9328 9710 9090 9018 9290 9165 9260 9480 9570 9495 9713 9819 10240 10310 10090 10035 9830 9395 9230 9075 8775 9220 9300 9070 9100 9235 9110 9165 9020
106.19 106.23 106.85 107.27 107.93 108.93 109.83 110.45 110.43 110.83 111.91 112.9 113.44 113.88 113.98 114 114.64 115.66 116.86 118.53 118.33 120.59 121 121.25 121.86 122.81 123.48 124.33 135.15 136.92 136.86 138.72 139.53 139.57 139.64 140.16 140.79 141.42 141.88 142.42 143.65 144.14 145.89
894554 901389 905498 911224 926325 944647 955692 947277 935745 935156 930831 952961 976166 975091 980223 986808 995935 1000338 1033527 1015874 1012144 1020693 1044253 1046192 1073746 1088376 1115874 1150451 1165741 1168267 1203215 1190834 1193864 1195067 1198013 1237504 1253757 1248236 1270378 1291396 1325658 1338555 1382073
116.38 120.46 119.59 121.55 121.33 100.4 116.92 115.27 105.63 113.67 110.86 114.12 116.26 122.57 123.66 127.27 131.89 106 120.81 117.58 116.86 121.85 114.75 119.5 119.99 121.58 125.72 125.82 124.75 106.16 111.64 109.89 108.75 110.19 110.37 114.73 119.12 122.03 122.09 127.95 131.69 136.92 137.81
9.53 9.1 8.91 8.66 8.48 8.49 8.31 7.86 7.48 7.42 7.33 7.32 7.34 7.36 7.37 7.39 7.41 7.41 7.43 7.42 7.43 7.44 7.53 7.88 8.09 8.5 8.75 10 12.25 12.75 12.75 12.75 12.75 12.75 12.75 12.5 12.5 12.25 11.75 11.25 10.75 10.25 9.75
4.25 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4.25 4.5 4.75 4.75 5 5.25 5.25 5.5 5.75 5.75 6 6.25 6.25 6.5 6.5 6.75 7 7.25 7.5 7.5 7.5 7.75 7.75 7.75 8.25 8.25 8.25 8.25 8.25 8.25 8.25
123
Lampiran 2. Data Asli yang telah di Logaritma OBS 1999:01 1999:02 1999:03 1999:04 1999:05 1999:06 1999:07 1999:08 1999:09 1999:10 1999:11 1999:12 2000:01 2000:02 2000:03 2000:04 2000:05 2000:06 2000:07 2000:08 2000:09 2000:10 2000:11 2000:12 2001:01 2001:02 2001:03 2001:04 2001:05 2001:06 2001:07 2001:08 2001:09 2001:10 2001:11 2001:12 2002:01 2002:02 2002:03 2002:04 2002:05 2002:06 2002:07 2002:08 2002:09 2002:10 2002:11 2002:12
LCPI 4.385521 4.386517 4.399130 4.397408 4.390491 4.387636 4.384274 4.373742 4.364372 4.357478 4.358118 4.359142 4.376386 4.389499 4.390243 4.385645 4.391234 4.399621 4.404522 4.417273 4.422449 4.421488 4.433076 4.446174 4.465103 4.468319 4.476996 4.485936 4.490433 4.501475 4.517431 4.538282 4.528289 4.534640 4.541378 4.558288 4.574195 4.586089 4.588939 4.586803 4.594716 4.597743 4.604770 4.608365 4.613932 4.618679 4.636863 4.648613
LER 9.099409 9.074521 9.069353 9.019180 9.000236 8.813736 8.835647 8.931288 9.034319 8.839277 8.912608 8.867850 8.912608 8.923325 8.934587 8.980298 9.061840 9.075093 9.105313 9.022805 9.080232 9.147933 9.162200 9.168997 9.153770 9.193703 9.249561 9.365205 9.310909 9.344871 9.161675 9.089866 9.177301 9.252921 9.252442 9.249561 9.241839 9.229064 9.175231 9.139489 9.080801 9.074521 9.116908 9.090092 9.106645 9.130539 9.102310 9.098291
LIPI 4.342896 4.549975 4.677119 4.657288 4.670209 4.647080 4.706462 4.692082 4.720194 4.736374 4.742669 4.693456 4.263806 4.519612 4.590970 4.531847 4.632591 4.628203 4.675629 4.704110 4.695011 4.710611 4.691715 4.535177 4.560173 4.580160 4.629570 4.621240 4.685182 4.692631 4.705287 4.719748 4.696655 4.726237 4.692998 4.410007 4.601764 4.517213 4.622519 4.689144 4.702660 4.700389 4.760549 4.757290 4.742930 4.774575 4.755743 4.470724
LM2 13.2989 13.3091 13.3102 13.3263 13.3507 13.3300 13.3490 13.3638 13.3882 13.3517 13.3682 13.3789 13.3856 13.3898 13.3946 13.4085 13.4349 13.4362 13.4444 13.4381 13.4393 13.4694 13.4874 13.5171 13.5127 13.5357 13.5500 13.5826 13.5777 13.5879 13.5556 13.5594 13.5710 13.6030 13.6190 13.6460 13.6388 13.6378 13.6309 13.6271 13.6329 13.6395 13.6562 13.6610 13.6643 13.6682 13.6763 13.6921
SBI 36.43 37.50 37.84 35.19 28.73 22.05 15.01 13.20 13.02 13.13 13.10 12.51 11.48 11.13 11.03 11.00 11.08 11.74 13.53 13.53 13.62 13.74 14.15 14.53 14.74 14.79 15.82 16.09 16.33 16.65 17.17 17.67 17.57 17.58 17.60 17.62 16.93 16.86 16.76 16.60 15.51 15.11 14.93 14.35 13.22 13.10 13.06 12.93
SBW 7.75 7.75 7.75 7.75 7.75 7.75 8.00 8.25 8.25 8.25 8.50 8.50 8.50 8.75 9.00 9.00 9.50 9.50 9.50 9.50 9.50 9.50 9.50 9.50 9.00 8.50 8.00 7.50 7.00 6.75 6.75 6.75 6.00 5.50 5.00 4.75 4.75 4.75 4.75 4.75 4.75 4.75 4.75 4.75 4.75 4.75 4.25 4.25
124
2003:01 2003:02 2003:03 2003:04 2003:05 2003:06 2003:07 2003:08 2003:09 2003:10 2003:11 2003:12 2004:01 2004:02 2004:03 2004:04 2004:05 2004:06 2004:07 2004:08 2004:09 2004:10 2004:11 2004:12 2005:01 2005:02 2005:03 2005:04 2005:05 2005:06 2005:07 2005:08 2005:09 2005:10 2005:11 2005:12 2006:01 2006:02 2006:03 2006:04 2006:05 2006:06 2006:07 2006:08 2006:09 2006:10 2006:11 2006:12
4.657478 4.659374 4.658142 4.660226 4.663816 4.665230 4.665607 4.671426 4.675349 4.681483 4.690705 4.698934 4.704563 4.704382 4.707997 4.717695 4.726502 4.731274 4.735145 4.736023 4.736198 4.741797 4.750655 4.760977 4.775166 4.773477 4.792396 4.795791 4.797855 4.802873 4.810638 4.816079 4.822939 4.906385 4.919397 4.918959 4.932458 4.938280 4.938566 4.939068 4.942785 4.947269 4.951734 4.954982 4.958780 4.967380 4.970785 4.982853
9.091106 9.094368 9.094705 9.068201 9.021477 9.022202 9.048410 9.051931 9.037890 9.047233 9.052165 9.041567 9.040856 9.041567 9.058005 9.066585 9.128045 9.150059 9.123474 9.140776 9.180912 9.114930 9.106978 9.136694 9.123147 9.133459 9.156940 9.166388 9.158521 9.181220 9.192075 9.234057 9.240870 9.219300 9.213834 9.193194 9.147933 9.130214 9.113279 9.079662 9.129130 9.137770 9.112728 9.116030 9.130756 9.117128 9.123147 9.107200
4.675349 4.661740 4.740749 4.680278 4.706462 4.756861 4.791318 4.784069 4.800326 4.798514 4.609162 4.761490 4.747277 4.659942 4.733300 4.708268 4.737251 4.755829 4.808682 4.817536 4.846311 4.881968 4.663439 4.794219 4.767119 4.760977 4.802791 4.742756 4.783316 4.787408 4.800572 4.834057 4.834852 4.826312 4.664947 4.715279 4.699480 4.689052 4.702206 4.703838 4.742582 4.780131 4.804267 4.804758 4.851640 4.880451 4.919397 4.925876
13.6805 13.6891 13.6851 13.6909 13.7024 13.7041 13.7117 13.7162 13.7225 13.7390 13.7586 13.7702 13.7613 13.7491 13.7485 13.7438 13.7673 13.7914 13.7903 13.7955 13.8022 13.8114 13.8158 13.8485 13.8313 13.8276 13.8360 13.8588 13.8607 13.8867 13.9002 13.9251 13.9557 13.9689 13.9710 14.0005 13.9902 13.9927 13.9937 13.9962 14.0286 14.0417 14.0372 14.0548 14.0712 14.0974 14.1071 14.1391
12.69 12.24 11.40 11.06 10.44 9.53 9.10 8.91 8.66 8.48 8.49 8.31 7.86 7.48 7.42 7.33 7.32 7.34 7.36 7.37 7.39 7.41 7.41 7.43 7.42 7.43 7.44 7.53 7.88 8.09 8.50 8.75 10.00 12.25 12.75 12.75 12.75 12.75 12.75 12.75 12.50 12.50 12.25 11.75 11.25 10.75 10.25 9.75
4.25 4.25 4.25 4.25 4.25 4.25 4.00 4.00 4.00 4.00 4.00 4.00 4.00 4.00 4.00 4.00 4.00 4.25 4.50 4.75 4.75 5.00 5.25 5.25 5.50 5.75 5.75 6.00 6.25 6.25 6.50 6.50 6.75 7.00 7.25 7.50 7.50 7.50 7.75 7.75 7.75 8.25 8.25 8.25 8.25 8.25 8.25 8.25
125
Lampiran 3. Data First Difference obs 1999:01 1999:02 1999:03 1999:04 1999:05 1999:06 1999:07 1999:08 1999:09 1999:10 1999:11 1999:12 2000:01 2000:02 2000:03 2000:04 2000:05 2000:06 2000:07 2000:08 2000:09 2000:10 2000:11 2000:12 2001:01 2001:02 2001:03 2001:04 2001:05 2001:06 2001:07 2001:08 2001:09 2001:10 2001:11 2001:12 2002:01 2002:02 2002:03 2002:04 2002:05 2002:06 2002:07 2002:08 2002:09 2002:10 2002:11 2002:12 2003:01 2003:02 2003:03 2003:04 2003:05
DSBW NA 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.250000 0.250000 0.000000 0.000000 0.250000 0.000000 0.000000 0.250000 0.250000 0.000000 0.500000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 -0.500000 -0.500000 -0.500000 -0.500000 -0.500000 -0.250000 0.000000 0.000000 -0.750000 -0.500000 -0.500000 -0.250000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 -0.500000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
DLIPI NA 0.207079 0.127144 -0.019831 0.012920 -0.023129 0.059383 -0.014381 0.028112 0.016180 0.006295 -0.049213 -0.429650 0.255806 0.071358 -0.059123 0.100744 -0.004388 0.047426 0.028481 -0.009099 0.015600 -0.018896 -0.156538 0.024996 0.019987 0.049410 -0.008330 0.063942 0.007449 0.012656 0.014461 -0.023093 0.029582 -0.033239 -0.282991 0.191758 -0.084551 0.105306 0.066625 0.013516 -0.002270 0.060159 -0.003258 -0.014360 0.031645 -0.018832 -0.285019 0.204625 -0.013609 0.079010 -0.060472 0.026185
DLCPI NA 0.000996 0.012613 -0.001722 -0.006917 -0.002855 -0.003362 -0.010532 -0.009371 -0.006894 0.000640 0.001024 0.017244 0.013113 0.000744 -0.004598 0.005589 0.008387 0.004901 0.012751 0.005175 -0.000961 0.011588 0.013098 0.018929 0.003216 0.008677 0.008940 0.004496 0.011042 0.015956 0.020851 -0.009993 0.006351 0.006738 0.016910 0.015907 0.011894 0.002850 -0.002137 0.007913 0.003027 0.007027 0.003595 0.005567 0.004747 0.018184 0.011750 0.008865 0.001896 -0.001232 0.002084 0.003590
DLER NA -0.024888 -0.005168 -0.050173 -0.018943 -0.186501 0.021911 0.095641 0.103031 -0.195042 0.073331 -0.044758 0.044758 0.010717 0.011262 0.045711 0.081542 0.013253 0.030220 -0.082508 0.057426 0.067701 0.014267 0.006797 -0.015227 0.039933 0.055858 0.115644 -0.054296 0.033962 -0.183196 -0.071809 0.087434 0.075620 -0.000479 -0.002880 -0.007722 -0.012775 -0.053833 -0.035743 -0.058688 -0.006280 0.042388 -0.026817 0.016553 0.023894 -0.028230 -0.004019 -0.007185 0.003262 0.000337 -0.026504 -0.046723
DLM2 NA 0.010215 0.001093 0.016137 0.024361 -0.020664 0.018986 0.014753 0.024458 -0.036522 0.016481 0.010669 0.006774 0.004198 0.004760 0.013917 0.026427 0.001255 0.008150 -0.006300 0.001240 0.030125 0.017951 0.029773 -0.004453 0.022973 0.014335 0.032606 -0.004944 0.010248 -0.032288 0.003756 0.011646 0.031932 0.016081 0.026936 -0.007171 -0.001029 -0.006891 -0.003775 0.005786 0.006641 0.016653 0.004816 0.003345 0.003836 0.008120 0.015807 -0.011635 0.008584 -0.003910 0.005716 0.011511
DSBI NA 1.070000 0.340000 -2.650000 -6.460000 -6.680000 -7.040000 -1.810000 -0.180000 0.110000 -0.030000 -0.590000 -1.030000 -0.350000 -0.100000 -0.030000 0.080000 0.660000 1.790000 0.000000 0.090000 0.120000 0.410000 0.380000 0.210000 0.050000 1.030000 0.270000 0.240000 0.320000 0.520000 0.500000 -0.100000 0.010000 0.020000 0.020000 -0.690000 -0.070000 -0.100000 -0.160000 -1.090000 -0.400000 -0.180000 -0.580000 -1.130000 -0.120000 -0.040000 -0.130000 -0.240000 -0.450000 -0.840000 -0.340000 -0.620000
126
2003:06 2003:07 2003:08 2003:09 2003:10 2003:11 2003:12 2004:01 2004:02 2004:03 2004:04 2004:05 2004:06 2004:07 2004:08 2004:09 2004:10 2004:11 2004:12 2005:01 2005:02 2005:03 2005:04 2005:05 2005:06 2005:07 2005:08 2005:09 2005:10 2005:11 2005:12 2006:01 2006:02 2006:03 2006:04 2006:05 2006:06 2006:07 2006:08 2006:09 2006:10 2006:11 2006:12
0.000000 -0.250000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.250000 0.250000 0.250000 0.000000 0.250000 0.250000 0.000000 0.250000 0.250000 0.000000 0.250000 0.250000 0.000000 0.250000 0.000000 0.250000 0.250000 0.250000 0.250000 0.000000 0.000000 0.250000 0.000000 0.000000 0.500000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
0.050398 0.001414 0.000724 0.001706 -0.910000 0.034457 0.000377 0.026208 0.007612 -0.430000 -0.007249 0.005819 0.003521 0.004548 -0.190000 0.016256 0.003923 -0.014041 0.006304 -0.250000 -0.001812 0.006134 0.009343 0.016436 -0.180000 -0.189352 0.009223 0.004932 0.019586 0.010000 0.152328 0.008228 -0.010598 0.011624 -0.180000 -0.014213 0.005629 -0.000711 -0.008844 -0.450000 -0.087335 -0.000181 0.000711 -0.012249 -0.380000 0.073357 0.003616 0.016438 -0.000630 -0.060000 -0.025031 0.009697 0.008581 -0.004636 -0.090000 0.028982 0.008807 0.061460 0.023496 -0.010000 0.018579 0.004772 0.022014 0.024059 0.020000 0.052853 0.003871 -0.026585 -0.001102 0.020000 0.008854 0.000878 0.017301 0.005249 0.010000 0.028775 0.000175 0.040136 0.006695 0.020000 0.035657 0.005598 -0.065981 0.009207 0.020000 -0.218529 0.008858 -0.007952 0.004411 0.000000 0.130780 0.010322 0.029716 0.032639 0.020000 -0.027100 0.014189 -0.013547 -0.017228 -0.010000 -0.006142 -0.001689 0.010312 -0.003678 0.010000 0.041814 0.018919 0.023480 0.008411 0.010000 -0.060035 0.003394 0.009449 0.022820 0.090000 0.040561 0.002064 -0.007868 0.001855 0.350000 0.004092 0.005018 0.022700 0.025997 0.210000 0.013164 0.007766 0.010854 0.013533 0.410000 0.033485 0.005441 0.041982 0.024951 0.250000 0.000795 0.006860 0.006813 0.030516 1.250000 -0.008541 0.083446 -0.021569 0.013203 2.250000 -0.161364 0.013012 -0.005466 0.002165 0.500000 0.050332 -0.000438 -0.020640 0.029476 0.000000 -0.015800 0.013499 -0.045261 -0.010343 0.000000 -0.010428 0.005822 -0.017719 0.002541 0.000000 0.013154 0.000287 -0.016936 0.001007 0.000000 0.001632 0.000501 -0.033617 0.002462 0.000000 0.038743 0.003717 0.049468 0.032432 -0.250000 0.037550 0.004485 0.008639 0.013048 0.000000 0.024136 0.004465 -0.025042 -0.004413 -0.250000 0.000492 0.003247 0.003302 0.017583 -0.500000 0.046881 0.003799 0.014726 0.016409 -0.500000 0.028811 0.008599 -0.013628 0.026185 -0.500000 0.038946 0.003405 0.006019 0.009682 -0.500000 0.006479 0.012068 -0.015948 0.031994 -0.500000
127
Lampiran 4. Uji Stasioneritas Pada Level 1. Suku bunga Dunia (SBW) Null Hypothesis: SBW has a unit root Exogenous: None Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-0.144197 -2.589795 -1.944286 -1.614487
0.6314
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
2. Industrial Index And Production (LIPI) Null Hypothesis: LIPI has a unit root Exogenous: None Lag Length: 11 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
1.767682 -2.592782 -1.944713 -1.614233
0.9808
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
3. Consumer Price Index (LCPI) Null Hypothesis: LCPI has a unit root Exogenous: None Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
6.027303 -2.589531 -1.944248 -1.614510
1.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values
4. Nilai Tukar (LER) Null Hypothesis: LER has a unit root Exogenous: None Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-0.011482 -2.589531 -1.944248 -1.614510
0.6764
*MacKinnon (1996) one-sided p-value
5. Permintaan Uang (LM2) Null Hypothesis: LM2 has a unit root Exogenous: None Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level
t-Statistic
Prob.*
6.234378 -2.589531 -1.944248
1.0000
128
10% level
-1.614510
*MacKinnon (1996) one-sided p-values
Lampiran 4. Lanjutan 6. Sertifikat Bank Indonesia (SBI) Null Hypothesis: SBI has a unit root Exogenous: None Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
t-Statistic
Prob.*
-3.122383 -2.589795 -1.944286 -1.614487
0.0021
129
Lampiran 4. Lanjutan Uji Stasioneritas pada First Difference 1. Sukubunga Dunia (DSBW) Null Hypothesis: D(SBW) has a unit root Exogenous: None Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-5.154748 -2.589795 -1.944286 -1.614487
0.0000
t-Statistic
Prob.*
-3.929527 -2.593121 -1.944762 -1.614204
0.0001
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
2. Industrial Index and Production (DLIPI) Null Hypothesis: D(LIPI) has a unit root Exogenous: None Lag Length: 11 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
3. Consumer Price Index (DLCPI) Null Hypothesis: D(LCPI) has a unit root Exogenous: None Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-6.253612 -2.589795 -1.944286 -1.614487
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values
4. Nilai Tukar (DLER) Null Hypothesis: D(LER) has a unit root Exogenous: None Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-10.08014 -2.589795 -1.944286 -1.614487
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
5. Permintaan Uang (DLM2) Null Hypothesis: D(LM2) has a unit root Exogenous: None Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
t-Statistic
Prob.*
-4.134600 -2.590065 -1.944324 -1.614464
0.0001
130
Lampiran 4. Lanjutan 6. Sertifikat Bank Indonesia (DSBI) Null Hypothesis: D(SBI) has a unit root Exogenous: None Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
t-Statistic
Prob.*
-3.390187 -2.589795 -1.944286 -1.614487
0.0009
131
Lampiran 5. Hasil VAR Pada Tingkat Lag Optimal Vector Autoregression Estimates Date: 05/29/07 Time: 23:50 Sample(adjusted): 1999:03 2006:12 Included observations: 94 after adjusting endpoints Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ] DSBW
DLIPI
DLCPI
DLER
DLM2
DSBI
DSBW(-1)
0.545840 (0.08885) [ 6.14322]
0.050695 -0.001676 -0.010910 -0.007459 (0.04149) (0.00443) (0.02488) (0.00675) [ 1.22200] [-0.37815] [-0.43843] [-1.10472]
0.357881 (0.38512) [ 0.92927]
DLIPI(-1)
-0.096008 -0.357522 -0.009657 -0.028226 -0.008746 (0.20682) (0.09657) (0.01032) (0.05792) (0.01572) [-0.46420] [-3.70234] [-0.93583] [-0.48731] [-0.55652]
-0.117449 (0.89645) [-0.13102]
DLCPI(-1)
0.634547 -1.580475 -0.017083 -0.060166 -0.105350 (2.09858) (0.97983) (0.10471) (0.58771) (0.15947) [ 0.30237] [-1.61301] [-0.16315] [-0.10237] [-0.66063]
-5.087342 (9.09602) [-0.55929]
DLER(-1)
-0.266702 (0.52408) [-0.50890]
0.351962 -0.067082 0.075378 (0.24469) (0.02615) (0.14677) [ 1.43838] [-2.56535] [ 0.51358]
0.011404 (0.03982) [ 0.28635]
6.405843 (2.27154) [ 2.82004]
DLM2(-1)
0.344375 -1.103764 (1.89730) (0.88585) [ 0.18151] [-1.24599]
0.301035 -0.742479 -0.094746 (0.09467) (0.53134) (0.14417) [ 3.17990] [-1.39737] [-0.65717]
-8.875733 (8.22358) [-1.07930]
DSBI(-1)
-0.016681 (0.01655) [-1.00789]
0.000918 (0.00773) [ 0.11878]
0.003219 0.000690 (0.00083) (0.00463) [ 3.89866] [ 0.14896]
0.000477 (0.00126) [ 0.37892]
0.745796 (0.07173) [ 10.3966]
C
-0.008486 (0.02859) [-0.29685]
0.025419 (0.01335) [ 1.90454]
0.004844 0.007510 (0.00143) (0.00801) [ 3.39611] [ 0.93817]
0.010523 (0.00217) [ 4.84455]
0.017685 (0.12390) [ 0.14274]
0.324374 0.175818 0.236682 0.029288 0.028603 0.277779 0.118978 0.184039 -0.037658 -0.038390 3.038521 0.662390 0.007565 0.238307 0.017546 0.186884 0.087256 0.009325 0.052337 0.014201 6.961569 3.093196 4.496009 0.437484 0.426952 27.92020 99.51398 309.7145 147.5619 270.1736 -0.445111 -1.968382 -6.440735 -2.990679 -5.599438 -0.255716 -1.778988 -6.251340 -2.801285 -5.410044 0.005319 0.003999 0.006344 0.000348 0.008830 0.219906 0.092962 0.010323 0.051378 0.013936
0.644957 0.620472 57.08379 0.810022 26.34018 -109.9378 2.488039 2.677433 -0.295213 1.314846
R-squared Adj. R-squared Sum sq. resids S.E. equation F-statistic Log likelihood Akaike AIC Schwarz SC Mean dependent S.D. dependent
Determinant Residual Covariance Log Likelihood (d.f. adjusted) Akaike Information Criteria Schwarz Criteria
3.48E-15 764.4187 -15.37061 -14.23424
132
Lampiran 5. Lanjutan VAR Lag Order Selection Criteria Endogenous variables: DSBW DLIPI DLCPI DLER DLM2 DSBI Exogenous variables: C Date: 05/29/07 Time: 23:52 Sample: 1999:01 2006:12 Included observations: 88 Lag
LogL
LR
FPE
AIC
SC
HQ
0 1 2 3 4 5 6 7
738.6510 799.1764 825.8144 860.1311 889.2988 917.1936 965.6559 993.5264
NA 111.4218 45.40553 53.81492 41.76277 36.13645 56.17230* 28.50388
2.36E-15 1.36E-15* 1.70E-15 1.81E-15 2.24E-15 2.95E-15 2.57E-15 3.83E-15
-16.65116 -17.20856* -16.99578 -16.95753 -16.80224 -16.61804 -16.90127 -16.71651
-16.48225* -16.02619 -14.79996 -13.74825 -12.57951 -11.38185 -10.65163 -9.453408
-16.58311 -16.73221* -16.11114 -15.66459 -15.10101 -14.50851 -14.38345 -13.79039
* indicates lag order selected by the criterion LR: sequential modified LR test statistic (each test at 5% level) FPE: Final prediction error AIC: Akaike information criterion SC: Schwarz information criterion HQ: Hannan-Quinn information criterion
Note: Untuk mengetahui jumlah lag optimal yang akan digunakan dalam variabel yang akan dianalisis. Jumlah lagnya yang optimal dalam penelitian ini didasarkan pada nilai akaike information criteria (AIC) yang terkecil atau minimum yaitu di lag 1. Roots of Characteristic Polynomial Endogenous variables: DSBW DLIPI DLCPI DLER DLM2 DSBI Exogenous variables: C Lag specification: 1 1 Date: 05/29/07 Time: 23:44 Root 0.693249 0.565470 -0.383370 0.058882 - 0.179546i 0.058882 + 0.179546i -0.095451 No root lies outside the unit circle. VAR satisfies the stability condition.
Modulus 0.693249 0.565470 0.383370 0.188955 0.188955 0.095451
133
Lampiran 5. Lanjutan Inverse Roots of AR Characteristic Polynomial 1.5 1.0 0.5 0.0 -0.5 -1.0 -1.5 -1.5
-1.0
-0.5
0.0
0.5
1.0
1.5
Var Estimasi Estimation Proc: =============================== LS 1 1 DSBW DLIPI DLCPI DLER DLM2 DSBI @ C VAR Model: =============================== DSBW = C(1,1)*DSBW(-1) + C(1,2)*DLIPI(-1) + C(1,3)*DLCPI(-1) + C(1,4)*DLER(-1) + C(1,5)*DLM2(-1) + C(1,6)*DSBI(-1) + C(1,7) DLIPI = C(2,1)*DSBW(-1) + C(2,2)*DLIPI(-1) + C(2,3)*DLCPI(-1) + C(2,4)*DLER(-1) + C(2,5)*DLM2(-1) + C(2,6)*DSBI(-1) + C(2,7) DLCPI = C(3,1)*DSBW(-1) + C(3,2)*DLIPI(-1) + C(3,3)*DLCPI(-1) + C(3,4)*DLER(-1) + C(3,5)*DLM2(-1) + C(3,6)*DSBI(-1) + C(3,7) DLER = C(4,1)*DSBW(-1) + C(4,2)*DLIPI(-1) + C(4,3)*DLCPI(-1) + C(4,4)*DLER(-1) + C(4,5)*DLM2(-1) + C(4,6)*DSBI(-1) + C(4,7) DLM2 = C(5,1)*DSBW(-1) + C(5,2)*DLIPI(-1) + C(5,3)*DLCPI(-1) + C(5,4)*DLER(-1) + C(5,5)*DLM2(-1) + C(5,6)*DSBI(-1) + C(5,7) DSBI = C(6,1)*DSBW(-1) + C(6,2)*DLIPI(-1) + C(6,3)*DLCPI(-1) + C(6,4)*DLER(-1) + C(6,5)*DLM2(-1) + C(6,6)*DSBI(-1) + C(6,7) VAR Model - Substituted Coefficients: =============================== DSBW = 0.5458404389*DSBW(-1) - 0.0960078236*DLIPI(-1) + 0.6345469242*DLCPI(-1) - 0.266702008*DLER(-1) + 0.3443751545*DLM2(-1) - 0.01668083278*DSBI(-1) 0.008485594345 DLIPI = 0.05069504303*DSBW(-1) - 0.3575220271*DLIPI(-1) - 1.580474719*DLCPI(-1) + 0.3519618322*DLER(-1) - 1.103764184*DLM2(-1) + 0.0009178608073*DSBI(-1) + 0.02541910633 DLCPI = - 0.001676490641*DSBW(-1) - 0.00965747398*DLIPI(-1) 0.01708330569*DLCPI(-1) - 0.06708248089*DLER(-1) + 0.3010345905*DLM2(-1) + 0.003219482276*DSBI(-1) + 0.004843865311 DLER = - 0.01090951011*DSBW(-1) - 0.02822582572*DLIPI(-1) 0.06016645022*DLCPI(-1) + 0.075377901*DLER(-1) - 0.7424785323*DLM2(-1) + 0.0006904155729*DSBI(-1) + 0.007510368132
134
DLM2 = - 0.007458855833*DSBW(-1) - 0.008746425336*DLIPI(-1) 0.1053503952*DLCPI(-1) + 0.01140379705*DLER(-1) - 0.09474645256*DLM2(-1) + 0.000476546484*DSBI(-1) + 0.01052324946 DSBI = 0.3578805509*DSBW(-1) - 0.1174492431*DLIPI(-1) - 5.087342336*DLCPI(-1) + 6.405843103*DLER(-1) - 8.875732643*DLM2(-1) + 0.7457956794*DSBI(-1) + 0.01768538566
135
Lampiran 6 . Analisis Impulse Response Function (IRF) Estimasi SVAR Structural VAR Estimates Date: 05/31/07 Time: 10:59 Sample(adjusted): 1999:03 2006:12 Included observations: 94 after adjusting endpoints Estimation method: method of scoring (analytic derivatives) Convergence achieved after 10 iterations Structural VAR is just-identified Model: Ae = Bu where E[uu']=I Restriction Type: short-run text form @e1 = C(1)*@u1 @e2 = C(2)*@e1 + C(3)*@u2 @e3 = C(4)*@e1 + C(5)*@e2 + C(6)*@u3 @e4 = C(7)*@e1 + C(8)*@e2 + C(9)*@e3 + C(10)*@u4 @e5 = C(11)*@e1 + C(12)*@e2 + C(13)*@e3 + C(14)*@e4 + C(15)*@u5 @e6 = C(16)*@e1 + C(17)*@e2 + C(18)*@e3 + C(19)*@e4 + C(20)*@e5 + C(21)*@u6 where @e1 represents DSBW residuals @e2 represents DLIPI residuals @e3 represents DLCPI residuals @e4 represents DLER residuals @e5 represents DLM2 residuals @e6 represents DSBI residuals C(2) C(4) C(5) C(7) C(8) C(9) C(11) C(12) C(13) C(14) C(16) C(17) C(18) C(19) C(20) C(1) C(3) C(6) C(10) C(15) C(21) Log likelihood
Coefficient
Std. Error
z-Statistic
Prob.
0.004589 0.004627 -0.011979 -0.022024 -0.028763 -0.526179 0.006153 -0.017518 0.062410 0.174309 0.413279 -0.250155 26.17507 8.630346 -19.54840 0.186884 0.087252 0.009227 0.051872 0.010768 0.702084
0.048155 0.005092 0.010907 0.028755 0.061711 0.579866 0.005988 0.012825 0.120900 0.021411 0.392599 0.844475 7.893956 1.822906 6.724936 0.013630 0.006364 0.000673 0.003783 0.000785 0.051205
0.095298 0.908549 -1.098279 -0.765927 -0.466097 -0.907414 1.027552 -1.365921 0.516207 8.140994 1.052673 -0.296226 3.315837 4.734388 -2.906853 13.71131 13.71131 13.71131 13.71131 13.71131 13.71131
0.9241 0.3636 0.2721 0.4437 0.6411 0.3642 0.3042 0.1720 0.6057 0.0000 0.2925 0.7671 0.0009 0.0000 0.0037 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
764.4187
Estimated A matrix: 1.000000 0.000000 -0.004589 1.000000 -0.004627 0.011979 0.022024 0.028763 -0.006153 0.017518 -0.413279 0.250155 Estimated B matrix: 0.186884 0.000000 0.000000 0.087252 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 1.000000 0.000000 0.526179 1.000000 -0.062410 -0.174309 -26.17507 -8.630346
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 1.000000 19.54840
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 1.000000
0.000000 0.000000 0.009227 0.000000 0.000000 0.000000
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.010768 0.000000
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.702084
0.000000 0.000000 0.000000 0.051872 0.000000 0.000000
136
Lampiran 6. Lanjutan Effect of cholesky (d.f. adjust) one S.D. DLER innovation Period 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
DSBW 0.000000 -0.015240 -0.015988 -0.012563 -0.009717 -0.007287 -0.005392 -0.003920 -0.002824 -0.002016 -0.001432 -0.001011
DLIPI 0.000000 0.008526 -0.004355 -0.001596 -0.001678 -0.000963 -0.000795 -0.000536 -0.000396 -0.000275 -0.000196 -0.000137
DLCPI 0.000000 0.000114 0.001538 0.001119 0.000751 0.000534 0.000377 0.000267 0.000187 0.000131 9.17E-05 6.41E-05
DLER 0.051872 -0.002616 0.000136 0.000265 0.000194 0.000166 0.000106 8.00E-05 5.51E-05 3.96E-05 2.76E-05 1.95E-05
DLM2 0.009042 -0.000136 0.000226 0.000126 8.64E-05 7.63E-05 5.34E-05 4.02E-05 2.86E-05 2.06E-05 1.46E-05 1.04E-05
DSBI 0.270919 0.454081 0.316062 0.221546 0.155805 0.109575 0.076895 0.053799 0.037581 0.026212 0.018262 0.012711
Cholesky Ordering: DSBW DLIPI DLCPI DLER DLM2 DSBI
Effect of cholesky (d.f. adjust) one S.D. DLCPI innovation Period 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
DSBW 0.000000 0.003639 0.002533 -0.000301 -0.000732 -0.000965 -0.000851 -0.000723 -0.000566 -0.000433 -0.000321 -0.000235
DLIPI 0.000000 -0.015804 0.005520 -0.001821 0.000503 -0.000457 -4.19E-05 -0.000153 -6.99E-05 -6.89E-05 -4.37E-05 -3.40E-05
DLCPI 0.009227 0.000746 0.000149 0.000112 0.000174 0.000114 8.93E-05 6.21E-05 4.57E-05 3.22E-05 2.30E-05 1.62E-05
DLER -0.004855 -0.000579 0.001042 -0.000182 0.000111 -8.15E-06 3.56E-05 1.19E-05 1.45E-05 8.44E-06 6.92E-06 4.64E-06
DLM2 -0.000270 -0.000904 0.000148 -5.58E-05 3.37E-05 -1.81E-06 1.19E-05 5.56E-06 6.18E-06 4.11E-06 3.32E-06 2.35E-06
Cholesky Ordering: DSBW DLIPI DLCPI DLER DLM2 DSBI
DSBI 0.204892 0.077170 0.061232 0.050528 0.036553 0.026463 0.018829 0.013411 0.009472 0.006676 0.004686 0.003282
137
Lampiran 7. Forecast Error Decomposition Variance Variance Decomposition of DLER Period 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50
S.E. 0.186884 0.214560 0.222854 0.225536 0.226511 0.226925 0.227123 0.227223 0.227276 0.227304 0.227318 0.227326 0.227329 0.227331 0.227332 0.227333 0.227333 0.227333 0.227333 0.227333 0.227333 0.227333 0.227333 0.227333 0.227333 0.227333 0.227333 0.227333 0.227333 0.227333 0.227333 0.227333 0.227333 0.227333 0.227333 0.227333 0.227333 0.227333 0.227333 0.227333 0.227333 0.227333 0.227333 0.227333 0.227333 0.227333 0.227333 0.227333 0.227333 0.227333
DSBW 0.769217 1.007551 1.009851 1.010226 1.010517 1.010496 1.010485 1.010493 1.010504 1.010515 1.010522 1.010526 1.010529 1.010530 1.010531 1.010532 1.010532 1.010532 1.010532 1.010532 1.010532 1.010532 1.010532 1.010532 1.010532 1.010532 1.010532 1.010532 1.010532 1.010532 1.010532 1.010532 1.010532 1.010532 1.010532 1.010532 1.010532 1.010532 1.010532 1.010532 1.010532 1.010532 1.010532 1.010532 1.010532 1.010532 1.010532 1.010532 1.010532 1.010532
DLIPI 0.140204 0.181384 0.236213 0.248476 0.250157 0.250395 0.250424 0.250430 0.250429 0.250429 0.250429 0.250429 0.250429 0.250429 0.250429 0.250429 0.250429 0.250429 0.250429 0.250429 0.250429 0.250429 0.250429 0.250429 0.250429 0.250429 0.250429 0.250429 0.250429 0.250429 0.250429 0.250429 0.250429 0.250429 0.250429 0.250429 0.250429 0.250429 0.250429 0.250429 0.250429 0.250429 0.250429 0.250429 0.250429 0.250429 0.250429 0.250429 0.250429 0.250429
DLCPI 0.860455 0.847226 0.884866 0.885842 0.886218 0.886195 0.886228 0.886227 0.886231 0.886232 0.886233 0.886233 0.886233 0.886233 0.886233 0.886234 0.886234 0.886234 0.886234 0.886234 0.886234 0.886234 0.886234 0.886234 0.886234 0.886234 0.886234 0.886234 0.886234 0.886234 0.886234 0.886234 0.886234 0.886234 0.886234 0.886234 0.886234 0.886234 0.886234 0.886234 0.886234 0.886234 0.886234 0.886234 0.886234 0.886234 0.886234 0.886234 0.886234 0.886234
DLER 98.23012 95.60688 95.51309 95.49485 95.49005 95.48820 95.48735 95.48692 95.48669 95.48657 95.48651 95.48648 95.48646 95.48646 95.48645 95.48645 95.48645 95.48645 95.48645 95.48645 95.48645 95.48645 95.48645 95.48645 95.48645 95.48645 95.48645 95.48645 95.48645 95.48645 95.48645 95.48645 95.48645 95.48645 95.48645 95.48645 95.48645 95.48645 95.48645 95.48645 95.48645 95.48645 95.48645 95.48645 95.48645 95.48645 95.48645 95.48645 95.48645 95.48645
DLM2 0.000000 2.348628 2.347125 2.346624 2.347339 2.347758 2.347990 2.348093 2.348146 2.348172 2.348185 2.348191 2.348194 2.348195 2.348196 2.348196 2.348197 2.348197 2.348197 2.348197 2.348197 2.348197 2.348197 2.348197 2.348197 2.348197 2.348197 2.348197 2.348197 2.348197 2.348197 2.348197 2.348197 2.348197 2.348197 2.348197 2.348197 2.348197 2.348197 2.348197 2.348197 2.348197 2.348197 2.348197 2.348197 2.348197 2.348197 2.348197 2.348197 2.348197
Cholesky Ordering: DSBW DLIPI DLCPI DLER DLM2 DSBI
DSBI 0.000000 0.008328 0.008857 0.013987 0.015717 0.016955 0.017522 0.017842 0.018000 0.018081 0.018122 0.018142 0.018152 0.018156 0.018159 0.018160 0.018161 0.018161 0.018161 0.018161 0.018161 0.018161 0.018161 0.018161 0.018161 0.018161 0.018161 0.018161 0.018161 0.018161 0.018161 0.018161 0.018161 0.018161 0.018161 0.018161 0.018161 0.018161 0.018161 0.018161 0.018161 0.018161 0.018161 0.018161 0.018161 0.018161 0.018161 0.018161 0.018161 0.018161
138
Lampiran 7. Lanjutan Variance Decomposition of DLCPI Period 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50
S.E. 0.186884 0.214560 0.222854 0.225536 0.226511 0.226925 0.227123 0.227223 0.227276 0.227304 0.227318 0.227326 0.227329 0.227331 0.227332 0.227333 0.227333 0.227333 0.227333 0.227333 0.227333 0.227333 0.227333 0.227333 0.227333 0.227333 0.227333 0.227333 0.227333 0.227333 0.227333 0.227333 0.227333 0.227333 0.227333 0.227333 0.227333 0.227333 0.227333 0.227333 0.227333 0.227333 0.227333 0.227333 0.227333 0.227333 0.227333 0.227333 0.227333 0.227333
DSBW 0.839518 0.786837 0.827867 0.802633 0.803427 0.822984 0.842646 0.857421 0.866947 0.872619 0.875809 0.877537 0.878449 0.878920 0.879159 0.879280 0.879340 0.879369 0.879384 0.879391 0.879395 0.879396 0.879397 0.879398 0.879398 0.879398 0.879398 0.879398 0.879398 0.879398 0.879398 0.879398 0.879398 0.879398 0.879398 0.879398 0.879398 0.879398 0.879398 0.879398 0.879398 0.879398 0.879398 0.879398 0.879398 0.879398 0.879398 0.879398 0.879398 0.879398
DLIPI 1.256315 2.927524 2.794332 2.710260 2.668462 2.648343 2.637662 2.632368 2.629667 2.628330 2.627664 2.627335 2.627174 2.627095 2.627057 2.627038 2.627029 2.627024 2.627022 2.627021 2.627021 2.627021 2.627020 2.627020 2.627020 2.627020 2.627020 2.627020 2.627020 2.627020 2.627020 2.627020 2.627020 2.627020 2.627020 2.627020 2.627020 2.627020 2.627020 2.627020 2.627020 2.627020 2.627020 2.627020 2.627020 2.627020 2.627020 2.627020 2.627020 2.627020
DLCPI 97.90417 84.72166 80.15686 77.54545 76.36319 75.76719 75.46496 75.31032 75.23241 75.19331 75.17386 75.16423 75.15949 75.15717 75.15604 75.15548 75.15521 75.15508 75.15502 75.15499 75.15498 75.15497 75.15497 75.15496 75.15496 75.15496 75.15496 75.15496 75.15496 75.15496 75.15496 75.15496 75.15496 75.15496 75.15496 75.15496 75.15496 75.15496 75.15496 75.15496 75.15496 75.15496 75.15496 75.15496 75.15496 75.15496 75.15496 75.15496 75.15496 75.15496
DLER 0.000000 0.012941 2.223666 3.284077 3.734821 3.957285 4.066181 4.120159 4.146514 4.159410 4.165684 4.168734 4.170212 4.170928 4.171274 4.171441 4.171522 4.171561 4.171579 4.171588 4.171593 4.171595 4.171596 4.171596 4.171596 4.171597 4.171597 4.171597 4.171597 4.171597 4.171597 4.171597 4.171597 4.171597 4.171597 4.171597 4.171597 4.171597 4.171597 4.171597 4.171597 4.171597 4.171597 4.171597 4.171597 4.171597 4.171597 4.171597 4.171597 4.171597
DLM2 0.000000 6.499345 6.423964 6.913867 7.122279 7.205738 7.245488 7.264455 7.273570 7.277905 7.279976 7.280964 7.281437 7.281663 7.281771 7.281822 7.281847 7.281859 7.281865 7.281867 7.281869 7.281869 7.281870 7.281870 7.281870 7.281870 7.281870 7.281870 7.281870 7.281870 7.281870 7.281870 7.281870 7.281870 7.281870 7.281870 7.281870 7.281870 7.281870 7.281870 7.281870 7.281870 7.281870 7.281870 7.281870 7.281870 7.281870 7.281870 7.281870 7.281870
Cholesky Ordering: DSBW DLIPI DLCPI DLER DLM2 DSBI
DSBI 0.000000 5.051691 7.573307 8.743711 9.307817 9.598456 9.743063 9.815279 9.850891 9.868427 9.877009 9.881198 9.883236 9.884225 9.884704 9.884936 9.885048 9.885102 9.885128 9.885141 9.885147 9.885150 9.885151 9.885152 9.885152 9.885153 9.885153 9.885153 9.885153 9.885153 9.885153 9.885153 9.885153 9.885153 9.885153 9.885153 9.885153 9.885153 9.885153 9.885153 9.885153 9.885153 9.885153 9.885153 9.885153 9.885153 9.885153 9.885153 9.885153 9.885153
139
Lampiran 8. Granger Causality Test Pairwise Granger Causality Test Sample: 1999:01 2006:12 Lags: 1 Null Hypothesis: DLIPI does not Granger Cause DSBW DSBW does not Granger Cause DLIPI
Obs 94
F-Statistic 0.30811 1.10658
Probability 0.58020 0.29561
DLCPI does not Granger Cause DSBW DSBW does not Granger Cause DLCPI
94
0.00169 0.30681
0.96733 0.58100
DLER does not Granger Cause DSBW DSBW does not Granger Cause DLER
94
0.62621 0.25679
0.43081 0.61356
DLM2 does not Granger Cause DSBW DSBW does not Granger Cause DLM2
94
0.04762 1.50322
0.82775 0.22334
DSBI does not Granger Cause DSBW DSBW does not Granger Cause DSBI
94
1.34678 0.37368
0.24888 0.54253
DLCPI does not Granger Cause DLIPI DLIPI does not Granger Cause DLCPI
94
3.56852 0.79454
0.06207 0.37508
DLER does not Granger Cause DLIPI DLIPI does not Granger Cause DLER
94
0.99791 0.12590
0.32047 0.72354
DLM2 does not Granger Cause DLIPI DLIPI does not Granger Cause DLM2
94
0.12756 0.26262
0.72180 0.60957
DSBI does not Granger Cause DLIPI DLIPI does not Granger Cause DSBI
94
0.09375 0.00149
0.76016 0.96928
DLER does not Granger Cause DLCPI DLCPI does not Granger Cause DLER
94
0.08533 0.00807
0.77086 0.92861
DLM2 does not Granger Cause DLCPI DLCPI does not Granger Cause DLM2
94
4.38839 0.32326
0.03896 0.57105
DSBI does not Granger Cause DLCPI DLCPI does not Granger Cause DSBI
94
10.4872 1.39924
0.00168 0.23993
DLM2 does not Granger Cause DLER DLER does not Granger Cause DLM2
94
2.05679 0.31329
0.15496 0.57704
DSBI does not Granger Cause DLER DLER does not Granger Cause DSBI
94
0.08558 8.74505
0.77054 0.00395
DSBI does not Granger Cause DLM2 DLM2 does not Granger Cause DSBI
94
0.07619 1.07056
0.78316 0.30356
Keterangan : Hipotesis nol pada kedua baris tidak memiliki pengaruh antar variabel, maka gunakan Probability value < alpha (10%) = gunakan restriksi terketat 10% untuk menolak hipotesis nol sehingga memiliki hubungan kausalitas searah antar variabel. dimana pergerakan variabel satu secara signifikan memiliki pengaruh pada pergerakan variabel lain