ANALISIS EFISIENSI PRODUKSI TEBU RAKYAT DI WILAYAH KERJA PTPN VII UNIT USAHA BUNGAMAYANG KABUPATEN LAMPUNG UTARA PROPINSI LAMPUNG
KHOIRUL AZIZ HUSYAIRI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Efisiensi Produksi Tebu Rakyat di Wilayah Kerja PTPN VII Unit Usaha Bungamayang Kabupaten Lampung Utara Propinsi Lampung adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang terbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Oktober 2012
KHOIRUL AZIZ HUSYAIRI NIM. H353090141
ABSTRACT KHOIRUL AZIZ HUSYAIRI. The Efficiency Analysis of Sugar Cane Production in the Working Area of PTPN VII Bungamayang Business Unit North Lampung District Lampung Province. Under direction of RATNA WINANDI and WILSON HALOMOAN LIMBONG. The objectives of this study are: (1) to analyze smallholder sugarcane farm system (plant-cane and ratoon cropping patterns) in partnerships that Tebu Rakyat Kredit (TRK-Credit Sugarcane Smallholder partnership) and Tebu Rakyat Bebas (TRB-Independent Sugarcane Smallholder partnership) in the working area of PTPN VII Bungamayang Business Unit and influence partnerships on sugarcane farmers' income levels of sugarcane smallholder, (2) to analyze production efficiency rate on sugarcane smallholders in the working area of PTPN VII Bungamayang Business Unit and influence of partnership on production efficiency on sugarcane smallholders. The results of farm income analysis indicate that smallholder sugarcane farm in the study area on plant-cane and ratoon cropping pattern financially feasible. Farmers' income on ratoon greater than plant-cane cropping pattern and farmers' income on TRK partnership greater than TRB. The estimation results of smallholder sugarcane farms using a frontier production function shows that land, fertilizer (Urea, TSP, KCL), pesticide (solid and liquid) and labour variable have positive significant effect in plant-cane cropping pattern. While land, fertilizer (Urea, TSP, KCL), pesticide (liquid) and labour variable have positive significant effect on ratoon cropping patterns. The technical inefficiency of farmers on plant-cane and ratoon cropping pattern is influenced by education, experience and farm size. Farm size has greatest influence to reducing technical inefficiencies. The partnership has positive influence because it makes farmers efficient technically on plant-cane and ratoon cropping patterns. The farmers have been able to reach allocative and economic efficiency on ratoon but have not on plant-cane cropping patterns. Based on partnership TRB farmers more efficient in technical, allocative and economic efficiency than TRK. Key words: sugar cane, partnership, production function, stochastic frontier, efficiency
RINGKASAN KHOIRUL AZIZ HUSYAIRI. Analisis Efisiensi Produksi Tebu Rakyat di Wilayah Kerja PTPN VII Unit Usaha Bungamayang Kabupaten Lampung Utara Propinsi Lampung. Dibimbing RATNA WINANDI dan WILSON HALOMOAN LIMBONG. Gula merupakan salah satu komoditas yang sangat penting dalam perekonomian. Selain sebagai sumber mata pencaharian bagi petani dan pekerja, gula juga merupakan bahan utama bagi industri makanan dan minuman. Konsumsi gula diperkirana akan terus meningkat seiring dengan bertambahnya populasi penduduk. Peningkatan konsumsi gula ternyata tidak dimbangi dengan produksinya. Rata-rata produksi gula nasional masih sangat rendah sehingga terjadi defisit dalam pemenuhan kebutuhan gula nasional. Defisit pemenuhan gula selama ini adalah dengan melakukan impor yang pada gilirannya menimbukan ketergantungan. Pemerintah terus berupaya untuk meningkatkan produksi gula nasional untuk memenuhi kebutuhan gula dalam negeri dan mengurangi ketergantungan terhadap gula impor. Upaya yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan produksi gula nasional adalah peningkatan produksi tebu rakyat karena produksi gula nasional sebagian besar dihasilkan dari tebu perkebunan rakyat. Selain itu peningkatan produksi tebu rakyat juga penting mengingat produksi maupun produktivitas tebu rakyat yang cenderung masih rendah saat ini. Rendahnya produktivitas juga mencerminkan rendahnya tingkat efisiensi yang berpangkal pada tidak optimalnya budidaya dalam aktivitas usahatani. Peningkatan produktivitas ini penting mengingat produktivitas yang rendah pada giliraanya akan berpengaruh pada pendapatan petani. Pendapatan yang rendah menyebabkan modal yang dimiliki petani terbatas. Biaya usahatani yang meningkat sering menyebabkan petani tidak mampu melakukan tahapan budidaya dan produksi serta penggunaan teknologi sebagaimana mestinya. Salah satu satu cara untuk mengatasi hal tersebut adalah mengembangkan kemitraan antara petani dengan pabrik gula. Dengan adanya kemitraan, petani mendapatkan permodalan sehingga dapat menggunakan input yang proporsional dan tepat. Selain itu, kemitraan memungkinkan petani mendapatkan bimbingan dari pabrik sehingga dapat menjalankan usahataninya dengan lebih baik dan efisien. Salah satu kemitraan antara petani dengan pabrik gula adalah kemitran antara petani tebu rakyat di Lampung Utara dengan PTPN VII Unit Usaha Bungamayang. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Menganalisis sistem usahatani tebu rakyat (pola non-keprasan dan keprasan) pada kemitraan Tebu Rakyat Kredit (TRK) dan Tebu Rakyat Bebas (TRB) dan pengaruh kemitraan terhadap pendapatan usahatani tebu rakyat di wilayah kerja PTPN VII Unit Usaha Bungamayang. (2) Menganalisis tingkat efisiensi dan faktor yang mempengaruhi inefisiensi produksi usahatani tebu rakyat dan pengaruh pola kemitraan di wilayah kerja PTPN VII Unit Usaha Bungamayang. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross section. Data cross section yang digunakan adalah data dari 75 orang petani yang terdiri dari 45 orang petani dengan pola kemitraan Tebu Rakyat Kredit (TRK) dan 30 orang petani
dengan pola kemitraan Tebu Rakyat Bebas (TRB) dengan pola tanam nonkeprasan dan keprasan. Analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis usahatani dan analisis efisiensi produksi, Fungsi produksi yang digunakan adalah fungsi produksi Cobb Douglas dan diestimasi menggunakan Ordinary Least Squares (OLS) dan Maximum Likelihood Estimation (MLE). Pola tanam non-keprasan adalah pola budidaya tebu dengan menggunakan bibit dan pola tanam keprasan adalah pola budidaya tebu yang tumbuh setelah tanaman pertama ditebang atau dari sisa tanaman yang ditebang. Hasil analisis pendapatan usahatani menunjukkan bahwa usahatani tebu di wilayah penelitian baik pada pola tanam non-keprasan maupun keprasan layak diusahakan secara finansial karena nilai R/C rasio masih lebih besar dari satu. Hasil analisis juga menunjukkan pendapatan petani dengan pola keprasan lebih tinggi dibandingkan dengan pola non-keprasan. Selain itu, pendapatan petani dengan pola kemitraan TRK lebih besar dibandingkan pola TRB. Hasil estimasi usahatani tebu fungsi produksi frontier pada pola nonkeprasan dijumpai variabel lahan, pupuk Urea, pupuk TSP, pupuk KCL, pestisida padat, pestisida cair dan tenaga kerja berpengaruh nyata terhadap produksi tebu. Hasil estimasi usahatani tebu fungsi produksi frontier pada pola keprasan dijumpai variabel lahan, pupuk Urea, pupuk TSP, pupuk KCL, pestisida cair dan tenaga kerja berpengaruh nyata terhadap produksi tebu di daerah penelitian. Faktor-faktor yang mempengaruhi inefisiensi teknis baik pada pola tanam nonkeprasan mupun keprasan adalah pendidikan, pengalaman dan ukuran usahatani. Petani dengan pola tanam keprasan lebih efisien dibandingkan petani dengan pola keprasan baik secara teknis, alokatif maupun ekonomi. Berdasarkan pada pola kemitraan, petani TRB lebih efisien dibandingkan petani TRK baik secara teknis, alokatif maupun ekonomis. Hal ini karena petani TRB memiliki lahan lebih luas dan lebih fleksibel dalam penggunaan inputnya. Ukuran usahatani memiliki pengaruh paling besar untuk mengurangi inefisiensi teknis dimana petani yang memiliki lahan lebih besar cenderung lebih efisien. Hal ini erat kaitannya dengan skala usaha. Mengingat penambahan luas lahan sulit dilakukan, maka peran kelembagaan baik melalui koperasi maupun kelompoktani perlu ditingkatkan untuk mencapai skala usaha bagi para petani yang memiliki lahan sempit. Kata kunci: tebu, kemitraan, fungsi produksi, stochastic frontier, efisiensi
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penulisan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
ANALISIS EFISIENSI PRODUKSI TEBU RAKYAT DI WILAYAH KERJA PTPN VII UNIT USAHA BUNGAMAYANG KABUPATEN LAMPUNG UTARA PROPINSI LAMPUNG
Oleh: KHOIRUL AZIZ HUSYAIRI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
Penguji Luar Komisi Pembimbing: Dr. Ir. Heny K. S. Daryanto, M.Ec
Judul Tesis
: Analisis Efisiensi Produksi Tebu Rakyat di Wilayah Kerja PTPN VII Unit Usaha Bungamayang Kabupaten Lampung Utara Propinsi Lampung
Nama
: Khoirul Aziz Husyairi
NIM
: H353090141
Mayor
: Ilmu Ekonomi Pertanian
Menyetujui, 1.
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Ratna Winandi, MS Ketua
Prof. Dr. Ir. Wilson Halomoan Limbong, MS Anggota
Mengetahui, 2.
Koordinator Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian
Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS
Tanggal Ujian : 14 Agustus 2012
3.
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Pengesahan :
PRAKATA Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis Program Magister Sains dengan judul: “Analisis Efisiensi Produksi Tebu Rakyat di Wilayah Kerja PTPN VII Unit Usaha Bungamayang Kabupaten Lampung Propinsi Lampung Utara”. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Ratna Winandi, MS selaku ketua komisi dan Prof. Dr. Ir. Wilson Halomoan Limbong, MS selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan arahan serta masukan yang berharga dalam penyusunan tesis ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada: 1.
Segenap staf Pabrik Gula PTPN VII Unit Usaha Bungamayang, Dinas Perkebunan dan Kehutanan Propinsi Lampung, Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Lampung Utara, Dinas Koperasi UMKM Perindustrian dan Perdagangan Lampung Utara, Pengurus KUT Sejahtera Utama dan KPTR Manis Sejahtera serta semua pihak atas dukungan dan peran-sertanya sehingga penelitian tesis ini dapat berjalan dengan baik.
2.
Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS selaku Koordinator Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian beserta para Dosen yang telah yang telah memberikan bimbingan dalam menjalani perkuliahan di Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana, IPB.
3.
Seluruh teman-teman EPN angkatan 2009 atas kebersamaan dalam suka dan duka selama perkuliahan dan penulisan tesis ini. Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada Mba Nurul Qomaria atas diskusinya yang sangat efektif dalam menunjang penyelesaian tesis ini.
4.
Mas Feryanto dan Mas Suprehatin yang selalu memberikan semangat, dukungan dan doa kepada penulis selama menyelesaikan tesis ini.
5.
Staf Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian yang sabar serta penuh pengertian dalam melayani penulis baik selama perkuliahan maupun sampai akhir penulis menyelesaikan studi. Secara khusus dengan penuh cinta dan hormat, penulis mengucapkan
terima kasih yang tulus kepada Ibunda Siti Rojiah, Ayahanda S. Syahroni, Bapak
Ir. Lukman M.Baga MA.Ec, Busyairi Latiful Azhar, Ansyahrul Darissalam, Qudhrotul Zahro K. dan Nur Etika Karyati yang selalu memberi dukungan dan doa untuk keberhasilan penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan studi ini. Akhir kata, tesis ini penulis persembahkan kepada pembaca sebagai pengetahuan dan sumber informasi yang berguna bagi semua pihak yang membutuhkan.
Bogor, Oktober 2012
Khoirul Aziz Husyairi
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kabupaten Klaten pada tanggal 16 Januari 1984 sebagai anak pertama dari empat bersaudara dari pasangan S. Syahroni dan Siti Rojiah. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar pada tahun 1996 di Kabupaten Klaten. Penulis melanjutkan studi ke sekolah menengah pertama di Kabupaten Klaten dan menyelesaikannya pada tahun 1999. Penulis kemudian melanjutkan studi ke sekolah menengah umum di Kabupaten Klaten pada tahun yang sama dan lulus pada tahun 2002. Pada Tahun 2002 penulis diterima sebagai mahasiswa di Departemen Manajemen Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor dan meraih gelar sarjana pada tahun 2006. Tahun 2009 penulis melanjutkan pendidikan di Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
xix
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .................................................................................... xxi DAFTAR GAMBAR ................................................................................ xxiii DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................ xxiv I.
PENDAHULUAN ........................................................................... 1.1. Latar Belakang ........................................................................... 1.2. Perumusan Masalah ................................................................... 1.3. Tujuan Penelitian ....................................................................... 1.4. Ruang Lingkup Dan Keterbatasan Penelitian .............................. 1.5. Manfaat Penelitian .....................................................................
1 1 5 12 12 12
II.
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 2.1. Usahatani Tebu .......................................................................... 2.1.1. Usahatani Tebu Pola Tanam (Non-Keprasan) dan Pola Keprasan ............................................................ 2.1.2. Usahatani Tebu Lahan Sawah dan Lahan Kering ............... 2.2. Efisiensi Produksi Tebu Tebu dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya ..................................................................... 2.3. Pola Kemitraan Dalam Produksi Tebu ........................................
13 13
III. KERANGKA PEMIKIRAN ........................................................... 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis ....................................................... 3.1.1. Konsep Usahatani ........................................................... 3.1.2. Pendapatan Usahatani ..................................................... 3.1.3. Konsep Efisiensi ............................................................. 3.1.4. Metode Pengukuran Efisiensi .......................................... 3.1.5. Fungsi Produksi Cobb Douglas ....................................... 3.2. Kerangka Pemikiran Konseptual ................................................ 3.3. Hipotesis Penelitian ...................................................................
25 25 25 26 28 33 38 39 42
IV.
43 43 43 44 45 46 47 52 56
METODE PENELITIAN ............................................................... 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ...................................................... 4.2. Jenis dan Sumber Data ............................................................... 4.3. Metode Pengambilan Sampel ..................................................... 4.4. Metode Pengolahan Data dan Analisis Data ............................... 4.4.1. Analisis Pendapatan Usahatani ....................................... 4.4.2. Model Fungsi Produksi ................................................... 4.4.3. Analisis Efisiensi Produksi ............................................. 4.5. Konsep Pengukuran Variabel ....................................................
13 15 17 19
xx
V.
VI.
GAMBARAN UMUM KONDISI PERGULAAN NASIONAL LAMPUNG DAN LAMPUNG UTARA ......................................... 5.1. Perkembangan Kondisi Pergulaan Nasional ................................ 5.1.1. Produksi Gula dan Tebu .................................................. 5.1.2. Konsumsi Gula ............................................................... 5.1.3. Impor Gula ..................................................................... 5.1.4. Kebijakan Terkait Dengan Gula ...................................... 5.2. Perkembangan Kondisi Pergulaan di Lampung ........................... 5.3. Perkembangan Kondisi Pergulaan di Lampung Utara ................. GAMBARAN UMUM DAN KERAGAAN USAHATANI TEBU DI DAERAH PENELITIAN .......................................................... 6.1. Gambaran Umum Daerah Penelitian .......................................... 6.1.1. Letak dan Topografi ........................................................ 6.1.2. Iklim ............................................................................... 6.1.3. Jumlah Penduduk dan Mata Pencaharian ......................... 6.1.4. Perekonomian Kabupaten Lampung Utara ...................... 6.2. Keragaan Usahatani Tebu di Daerah Penelitian .......................... 6.2.1. Karakteristik Petani Sampel ............................................ 6.2.2. Kepemilikan Lahan ......................................................... 6.2.3. Keragaan Usahatani Tebu di Daerah Penelitian ............... 6.2.3. Produktivitas Tebu, Pendapatan dan Biaya Usahatani Tebu Petani TRK dan Petani TRB ..................................
VII. ANALISIS EFISIENSI USAHATANI TEBU ................................ 7.1. Model Fungsi Produksi .............................................................. 7.2. Analisis Fungsi Produksi Stochastic Frontier ............................. 7.3. Analisis Skala Usaha .................................................................. 7.4. Analisis Efisiensi Teknis ............................................................ 7.4.1. Sebaran Efisiensi Teknis ................................................... 7.4.2. Sumber-Sumber Inefisiensi Teknis ................................... 7.5. Analisis Efisiensi Alokatif dan Ekonomi ....................................
59 59 59 61 62 63 66 67 69 69 69 69 70 71 71 71 73 74 76 79 71 82 88 89 89 92 97
VIII. SIMPULAN DAN SARAN ............................................................. 103 8.1. Simpulan .................................................................................... 103 8.2. Saran .......................................................................................... 104 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 105 LAMPIRAN ............................................................................................. 111
xxi
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1.
Perkembangan Konsumsi Gula Tahun Periode 2000-2009 ............... 1
2.
Perkembangan Produksi Tebu, Rendemen, Produksi Gula, Luas Lahan, dan Produktivitas Gula Tahun 2000-2009 ................... 2
3.
Perkembangan Produksi, Konsumsi dan Defisit Gula Nasional Periode 2001-2009 .......................................................................... 3
4.
Perkembangan Impor Gula Indonesia Periode 1996-2009 ............... 4
5.
Luas Panen dan Produksi Perkebunan Rakyat, Perkebunan Besar Negara, dan Perkebunan Besar Swasta 2001- 2009 ...................................................................................... 4
6.
Perkembangan Produksi Tebu Beberapa Daerah Sentra Tebu Nasional Tahun 2001-2009 ............................................................. 5
7.
Perkembangan Luas Lahan Tebu Beberapa Daerah Sentra Tebu Nasional Tahun 2001-2009 ............................................................. 6
8.
Produktivitas Tebu Beberapa Daerah Sentra Tebu Nasional Tahun 2001-2009 ............................................................. 7
9.
Produktivitas Tebu Perkebunan Rakyat, Perkebunan Swasta dan Perkebunan Negara 2004-2009 di Propinsi Lampung ...................... 7
10. Produktivitas Tebu Rakyat Lampung, Tebu Nasional, Jawa Timur, Brazil dan Australia Periode 2004-2009 ..................... 9 11. Perkembangan Rendemen Tebu Rakyat (TR), Nasional, Brazil, Australia, PTPN VII Unit Usaha Bungamayang dan Gunung Madu Plantations (GMP) Periode 2001-2009 .................... 9 12. Perkembangan Rendemen Tebu Rakyat Kredit (TRK) dan Tebu Rakyat Bebas (TRB) Tahun 2001-2009 ................................. 11 13. Pengkasteran Petani Tebu Rakyat Kredit Berdasarkan Sebaran Geografis .......................................................................... 44 14. Produksi Gula di Jawa, Luar Jawa dan Nasional Periode 2000-2009 .......................................................................... 59 15. Perkembangan Produksi Tebu di Jawa, Luar Jawa dan Nasional Periode 2000-2009 ........................................................... 60 16. Perkembangan Luas Lahan Tebu di Jawa, Luar Jawa dan Nasional Periode 2000-2009 ........................................................... 60 17. Jumlah Pabrik Gula dan Kapasitas Gilingnya .................................. 61 18. Perkembangan Impor Berbagai Jenis Gula di Indonesia Tahun 2001-2009 ........................................................................... 63
xxii
19. Produksi Gula Beberapa Pabrik Di Propinsi Lampung Tahun 2003-2009 ............................................................................ 67 20. Kegiatan Akselarasi Peningkatan Produksi Gula di Propinsi Lampung 2006-2009 ..................................................... 68 21. Rata-rata Curah Hujan di Kabupaten Lampung Utara Tahun 2006-2009 ............................................................................ 70 22. Mata Pencaharian Penduduk Lampung Utara .................................. 70 23. Sebaran Petani Contoh Menurut Umur, Pendidikan dan Pengalaman di Wilayah Kerja PTPN VII Unit Usaha Bungamayang Musim Taman 2009/2010 ........................................ 71 24. Analisis Finansial Usahatani Tebu Non-Keprasan di Daerah Penelitian ........................................................................ 77 25. Analisis Finansial Usahatani Tebu Keprasan di Daerah Penelitian ........................................................................ 78 26. Hasil Pendugaan Fungsi Produksi Cobb Douglas Pola Tanam Non-Keprasan dengan Menggunakan Metode OLS ......................... 79 27. Hasil Pendugaan Fungsi Produksi Cobb Douglas Pola Tanam Non-Keprasan Tanpa Variabel Bibit dengan Menggunakan Metode OLS ............................................................. 81 28. Hasil Pendugaan Fungsi Produksi Cobb Douglas Pola Tanam Keprasan dengan Menggunakan Metode OLS ............................... 81 29. Analisis Fungsi Produksi Stochastic Frontier Pola Tanam Non-Keprasan dan Keprasan ........................................................... 82 30. Hasil Pengujian Skala Usaha Fungsi Produksi Rata-Rata Pola Tanam Non-Keprasan dan Keprasan ...................................... 89 31. Sebaran Efisiensi Teknis Petani Pola Tanam Non-Keprasan dan Keprasan di Daerah Penelitian ......................................................... 90 32. Sebaran Efisiensi Teknis Petani TRK dan TRB Pola Tanam Non-Keprasan di Daerah Penelitian ................................................. 91 33. Sebaran Efisiensi Teknis Petani Keprasan Pola Kemitraan TRK dan TRB di Daerah Penelitian ........................ 92 34. Pendugaan Efek Inefisiensi Teknis Fungsi Produksi Stochastic Frontier ................................................ 93 35. Sebaran Efisiensi Alokatif dan Efisiensi Ekonomi Petani Pada Pola Tanam Non-Keprasan dan Keprasan di Daerah Penelitian ........ 99 36
Sebaran Efisiensi Alokatif dan Ekonomis Petani Non-Keprasan dengan Pola Kemitraan TRK dan TRB di Daerah Penelitian ........... 100
37. Sebaran Efisiensi Alokatif dan Ekonomis Petani Keprasan dengan Pola Kemitraan TRK dan TRB di Daerah Penelitian ........... 101
xxiii
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1.
Konsep Efisiensi Orientasi Input ..................................................... 29
2.
Konsep Efisiensi Orientasi Output .................................................. 31
3.
Perbedaan Produksi Batas dengan Produksi Rata-rata ..................... 34
4.
Kerangka Pemikiran Konseptual ..................................................... 41
xxiv
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1.
Analisis Usahatani Petani TRK dan Petani TRB Pola Tanam Non-Keprasan dan Keprasan ....................................... 112
2.
Hasil Pendugaan Fungsi Produksi Pola Tanam Non-Keprasan dan Non-Keprasan Tanpa Benih ............................................................ 116
3.
Hasil Pendugaan Fungsi Produksi Keprasan .................................... 118
4.
Hasil Pendugaan Fungsi Produksi Non-Keprasan Tanpa Variabel Benih Terestriksi dan Uji Asumsi Constan Return to Scale (CRTS) ..................................................... 119
5.
Hasil Pendugaan Fungsi Produksi Keprasan Terestriksi dan Uji Asumsi Constan Return to Scale (CRTS)................................... 121
6.
Hasil Analisis Pendugaan Fungsi Produksi Non-Keprasan Rata-Rata OLS dan Fungsi Produksi Stochatic Frontier (MLE) Dengan Menggunakan Frontier 4.1 ................................................. 123
7.
Hasil Analisis Pendugaan Fungsi Produksi Keprasan Rata-Rata OLS dan Fungsi Produksi Stochatic Frontier (MLE) Dengan Menggunakan Frontier 4.1 ................................................. 125
1
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gula termasuk salah satu komoditas strategis dalam perekonomian Indonesia. Dengan luas areal rata-rata 400 ribu ha pada periode 2007-2009, industri gula berbasis tebu merupakan sumber pendapatan bagi sekitar 900 ribu petani dengan jumlah tenaga kerja yang terlibat mencapai sekitar 1.3 juta orang. Selain itu, gula merupakan salah satu sumber kalori dalam struktur konsumsi masyarakat selain bahan pangan, dan merupakan bahan baku untuk industri makanan dan minuman (Mirzawan et al., 2009). Berdasarkan hal tersebut, maka industri gula yang berbasis tebu dapat digolongkan dalam industri yang memiliki keterkaitan ke depan dan ke belakang, bahkan yang tertinggi dari seluruh bahan pangan (Minarso dan Ibrahim, 2010). Pentingnya gula bagi masyarakat di Indonesia tercermin pula pada kebijakan pemerintah yang menetapkan gula sebagai lima komoditas pangan strategis yang masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 selain beras, kedelai, jagung, dan daging sapi untuk ketahanan pangan. Seiring dengan bertambahnya populasi penduduk, konsumsi gula diperkirakan terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Informasi berkaitan dengan perkembangan konsumsi gula dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Perkembangan Konsumsi Gula Tahun Periode 2000-2009 Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Kebutuhan Industri (Juta Ton) 0.69 0.74 0.78 0.78 0.80 0.93 1.22 1.25 1.48 2.15
Kebutuhan Rumah Tangga (Juta Ton) 2.51 2.51 2.52 2.58 2.60 2.58 2.64 2.70 2.67 2.70
Total Konsumsi (Juta Ton) 3.20 3.25 3.30 3.35 3.40 3.50 3.85 3.95 4.15 4.85
Sumber: Pusdatin Kementan, 2010
Konsumsi gula terus mengalami kenaikan baik konsumsi rumah tangga maupun untuk industri. Pada tahun 2000, konsumsi gula sebesar 3.2 juta ton
2
menjadi 4.85 pada tahun 2009 atau dengan laju peningkatan rata-rata sebesar 4.84 persen pertahun. Peningkatan konsumsi yang signifikan khususnya pada konsumsi gula untuk industri, ternyata tidak dimbangi dengan upaya peningkatan produksi gula nasional. Tabel 2 menyajikan perkembangan produksi tebu dan gula nasional dari tahun 2000-2009. Tabel 2. Perkembangan Produksi Tebu, Rendemen, Produksi Gula, Luas Lahan dan Produktivitas Gula Periode 2000-2009 Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Produksi Tebu (Ton) (a) 25 946 872 24 516 117 25 261 889 29 351 130 36 391 916 30 760 360 34 983 813 34 342 703 32 398 636
Rendemen (%)(b) 6.65 7.16 6.46 6.99 6.16 7.50 7.50 7.77 7.77
Produksi Gula (Ton) (c) 1 725 467 1 755 354 1 631 918 2 051 644 2 241 742 2 307 027 2 623 786 2 668 428 2 517 374
Luas Lahan (Ha) (c) 344 441 350 722 335 725 344 793 381 786 396 441 427 799 436 505 422 953
Produktivitas Gula (Ton/Ha) (a) 5.01 5.00 4.86 5.95 5.87 5.82 6.13 6.11 5.95
¥ : Data produksi tebu merupakan hasil konversi dari data produksi gula Ditjenbun Kementan 2010 dengan data rendemen nasional FAO 2010 Sumber: (a) Hasil konversi; (b) FAO, 2010; (c) Ditjenbun Kementan, 2010
Produksi gula Indonesia rata-rata sebesar 1.72 juta ton antara tahun 20002002 dengan luasan lahan rata-rata 345 274 hektar. Pada tahun 2003, produksi gula Indonesia menurun menjadi 1.63 juta ton atau turun sebesar 0.12 juta ton dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Hal ini dikarenakan adanya penurunan luas lahan sebesar 14 997 hektar dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar 350 722 hektar. Produksi gula nasional setelah tahun 2003 cenderung naik sampai pada tahun 2008. Rata-rata produksi gula nasional sebesar 2.73 ton pertahun dengan laju peningkatan produksi rata-rata per tahun sebesar 10.66 persen (0.2 juta ton perhektar). Peningkatan produksi ini dikarenakan adanya peningkatan luas lahan sebesar 5.44 persen atau 20 156 hektar per tahun. Perkembangan produksi gula nasional yang lebih rendah dibandingkan dengan perkembangan konsumsinya mengakibatkan terjadinya defisit pemenuhan kebutuhan gula dalam negeri. Infomasi selengkapnya berkaitan dengan perkembangan produksi, konsumsi dan defisit gula nasional selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3.
3
Tabel 3. Perkembangan Produksi, Konsumsi dan Defisit Gula Nasional Periode 2001-2009
2001
Produksi (Juta Ton) 1.73
Konsumsi (Juta Ton) 3.25
Defisit (Juta Ton) 1.52
2002
1.76
3.30
1.54
2003
1.63
3.35
1.72
2004
2.05
3.40
1.35
2005
2.24
3.50
1.26
2006
2.31
3.85
1.54
2007
2.62
3.95
1.33
2008
2.67
4.15
1.48
2009
2.52
4.85
2.33
Tahun
Sumber: Pusdatin Kementan, 2010
Berdasarkan Tabel 3 di atas diketahui bahwa rata-rata pertahun Indonesia mengalami kekurangan dalam pemenuhan kebutuhan gula dalam negeri sebesar 1560 ribu ton kurun waktu 2000-2009. Defisit gula nasional tersebut selama ini dipenuhi oleh pemerintah dengan melakukan impor. Keputusan pemerintah untuk melakukan impor gula dalam upaya pemenuhan kebutuhan gula nasional ini justru membuat produksi gula nasional menurun. Sebagai contoh adalah kebijakan impor gula yang dikeluarkan oleh Kementerian Perdagangan tahuan 2008 yaitu Peraturan Menteri Perdagangan No. 256/M-DAG/3/2008 tentang Impor GKP, dan Peraturan Menteri Perdagangan No. 19/M-DAG/PER/5/2008 tentang Impor Gula membuat produksi gula tahun 2009 menurun. Produksi gula nasional sebesar 2.52 juta ton atau turun sebesar 0.15 juta ton dibandingkan tahun sebelumnya yaitu sebesar 2.67 juta ton pada tahun 2008. Rata-rata impor gula Indonesia dari tahun 1995 sampai 2009 sebesar 1.32 juta ton dengan laju peningkatan rata-rata 2.5 persen pertahun. Perkembangan impor gula sangat dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah. Pada periode 19961998, impor gula mengalami peningkatan sangat tajam karena pemberlakukan tarif impor 0 persen dan hilangnya hak monopoli impor Bulog sejak 1998 (Nainggolan, 2005). Sementara ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan pembatasan pelaku impor dan perijinan impor yang dikaitkan dengan harga tingkat petani serta kuota impor oleh pemerintah yang didasarkan pada kondisi produksi dan persediaan dalam negeri, volume impor cenderung menurun secara
4
signifikan selama tahun 2002 sampai dengan tahun 2006. Sebaliknya, sejak tahun 2007 impor gula kembali mengalami peningkatan tajam yang dipicu oleh meningkatnya impor gula rafinasi untuk memenuhi kebutuhan industri. Tabel 4. Perkembangan Impor Gula Indonesia Periode 1996-2009 Tahun
Volume (Ton)
Tahun
Volume (Ton)
1996
1 099 306
2003
1 489 625
1997
578 025
2004
1 130 291
1998
844 852
2005
1 998 367
1999
1 398 950
2006
1 506 002
2000
1 538 519
2007
2 972 788
2001
1 284 790
2008
1 018 594
2002
970 978
2009
1 373 546
Sumber: Ditjenbun Kementan, 2010
Pemerintah terus berupaya untuk meningkatkan produksi gula nasional untuk memenuhi kebutuhan gula dalam negeri dan mengurangi ketergantungan terhadap gula impor. Salah satu cara meningkatkan produksi gula nasional adalah peningkatan produksi tebu rakyat karena produksi tebu nasional sebagian besar dihasilkan dari perkebunan rakyat. Informasi selengkapnya berkaitan dengan luas areal panen dan produksi perkebunan rakyat, perkebunan besar negara, dan perkebunan besar swasta dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Luas Panen dan Produksi Perkebunan Rakyat, Perkebunan Besar Negara, dan Perkebunan Besar Swasta Periode 2001- 2009 Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Luas Panen (Ha)a
Produksi Tebu (Ton)b
PR
PBN
PBS
PR
178 887 196 509 172 015 184 283 211 479 213 876 249 487 252 783 243 219
87 687 79 975 87 251 78 205 80 383 87 227 81 665 82 222 74 185
77 867 74 238 76 459 82 305 89 924 95 338 96 657 101 500 105 549
11 072 450.98 12 233 654.14 13 507 821.23 12 988 049.54 14 716 466.38 19 377 483.77 16 357 933.33 20 193 720.00 19 771 029.60
PBN 3 281 344.54 4 675 924.81 4 157 611.73 5 734 922.60 5 492 017.17 6 873 717.53 6 043 120.00 5 662 560.00 5 098 918.92
PBS 9 315 728.29 9 037 293.23 6 850 684.36 6 538 916.41 9 142 646.64 10 140 714.29 8 359 306.67 9 127 533.33 9 472 754.18
¥ : Data produksi tebu merupakan hasil konversi dari data produksi gula Ditjenbun Kementan 2010 dengan data rendemen nasional FAO 2010. PR: Perkebunan Rakyat, PBN: Perkebunan Besar Negara, PBS: Perkebunan Besar Swasta Sumber: (a) Ditjenbun Kementan, 2010; (b) Data hasil konversi
5
Perkembangan
luas
perkebunan
rakyat
cenderung
menunjukkan
peningkatan. Akan tetapi, pada tahun 2009 terjadi penurunan luas areal perkebunan rakyat seluas 9 564 ha dibandingkan tahun sebelumnya. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya penurunan produksi tebu rakyat sebesar 13 552 ton. Penurunan jumlah produksi tebu rakyat akan memberikan dampak pada penurunan pendapatan bagi petani tebu rakyat. Pendapatan yang rendah menyebabkan modal yang dimiliki petani terbatas. Biaya usahatani yang meningkat sering menyebabkan petani tidak mampu melakukan tahapan budidaya dan produksi serta penggunaan teknologi sebagaimana mestinya. Padahal dalam usahatani tebu, tahapan tahapan budidaya dan produksi serta penggunaan teknologi yang tepat merupkan salah satu cara untuk meningkatkan produktivitas yang tinggi sehingga diperoleh pendapatan maksimal (Jasila, 2009). Perbaikan sistem produksi tebu di tingkat petani memiliki arti yang sangat strategis, khususnya pada wilayah-wilayah yang secara teknis dan ekonomis mempunyai potensi untuk dikembangkan. Hal ini juga karena sampai saat ini sekitar 80 persen bahan baku pabrik gula berasal dari tebu rakyat (Malian et al., 2004).
1.2. Perumusan Masalah Lampung merupakan salah satu propinsi yang menjadi sentra produksi tebu nasional. Tabel 6. Perkembangan Produksi Tebu Beberapa Daerah Sentra Tebu Nasional Tahun 2001-2009 Propinsi Jawa Timur Lampung Jawa Tengah Jawa Barat Sumatera Selatan Sumatera Utara Gorontalo Sulawesi Selatan Yogyakarta
Produksi (Juta Ton) 2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
10.93 9.53 1.89 1.26 0.53 0.69 0.36 0.32 0.30
11.67 7.34 2.38 1.13 0.60 0.45 0.41 0.51 0.36
11.93 7.33 2.18 1.28 0.65 0.40 0.53 0.44 0.37
12.89 10.16 2.51 1.72 0.84 0.20 0.57 0.42 0.36
17.02 11.27 2.78 1.85 0.84 0.61 0.58 0.39 0.46
14.23 9.25 3.92 1.71 0.89 0.76 0.46 0.27 0.20
17.88 9.53 3.75 1.91 0.85 0.73 0.77 0.29 0.24
16.77 14.18 10.43 11.63 4.01 3.34 1.68 1.33 0.89 1.33 0.61 0.57 0.39 0.53 0.53 0.34 0.24 0.26
¥ : Data produksi tebu merupakan hasil konversi dari data produksi gula Ditjenbun Kementan 2010 dengan data rendemen nasional FAO 2010 Sumber: Ditjenbun Kementan, 2010
6
Tabel 6 menunjukkan produksi tebu di Lampung pada tahun 2001 sebesar 9 528 285 ton menjadi 11 625 740 ton pada tahun 2009 dengan jumlah gula yang dihasilkan mencapai 903 320 ton. Angka ini menjadikan Lampung sebagai penghasil tebu terbesar kedua di Indonesia setelah Jawa Timur dengan proporsi sebesar 36 persen dari total produksi tebu nasional. Jawa Timur menjadi propinsi penghasil tebu terbesar pada tahun 2009 dengan produksi mencapai 1 101 538 ton atau 44 persen dari total produksi tebu nasional. Besarnya produksi tebu di Jawa Timur dibandingkan dengan Lampung karena Jawa Timur memiliki luas lahan lebih besar dibandingkan dengan Lampung. Luas lahan tebu di Jawa Timur pada tahun 2009 mencapai 198 944 hektar sedangkan luas lahan di Lampung mencapai 114 255 hektar pada tahun yang sama sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 7. Tabel 7. Perkembangan Luas Lahan Tebu Beberapa Daerah Sentra Tebu Nasional Tahun 2001-2009 Propinsi Jawa Timur Lampung Jawa Tengah Jawa Barat Sumatera Selatan Sumatera Utara Gorontalo Sulawesi Selatan Yogyakarta
Luas Lahan (Ribu Hektar) 2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
150.00 159.44 148.92 150.11 169.34 171.40 204.13 198.60 198.94 86.92 80.73 88.47 96.26 102.85 105.92 103.06 116.36 114.26 34.16 40.60 34.65 37.11 41.78 50.96 46.49 52.06 55.89 22.23 21.50 20.20 21.14 22.73 21.96 23.60 23.26 23.09 12.32
12.09
12.28
11.66
12.30
12.48
12.41
12.50
18.14
9.97
10.24
10.45
10.07
10.19
9.40
10.89
12.76
11.12
13.88
13.08
9.38
5.99
9.36
12.84
13.38
12.37
9.67
6.85
6.26
6.58
8.16
7.78
8.22
10.02
5.08
6.56
4.61
4.87
4.80
4.30
5.47
3.28
3.82
3.53
3.78
Sumber: Ditjenbun Kementan, 2010
Luas lahan di Jawa Timur lebih tinggi jika dibandingkan dengan Lampung, tetapi lebih rendah dalam produktivitasnya yaitu berturut-turut 82.09 dan 97.72 ton per hektar. Informasi selengkapnya berkaitan dengan tingkat produktivitas tebu di sentra produksi tebu nasional dapat dilihat pada Tabel 8. Akan tetapi jika dilihat dari produktivitas berdasarkan pengusahaan, maka besarnya produktivitas tebu di Lampung lebih dikarenakan produktivitas tebu yang dihasilkan oleh perkebunan swasta dibandingkan dengan perkebunan rakyat. Bahkan produktivitas tebu rakyat paling rendah dibandingakan dengan yang lain.
7
Tabel 8. Produktivitas Tebu Beberapa Daerah Sentra Tebu Nasional Tahun 2001-2009 Propinsi Jawa Timur Lampung Jawa Tengah Jawa Barat Sumatera Selatan Sulawesi Selatan Sumatera Utara Gorontalo Yogyakarta
Produktivitas (Ton/Ha) 2004 2005 2006 85.89 100.54 83.03 105.56 109.58 87.31 67.70 66.51 76.96 81.25 81.46 77.66
2001 72.85 109.62 55.35 56.54
2002 73.20 90.90 58.66 52.45
2003 80.08 82.80 62.86 63.17
2007 87.58 92.46 80.72 81.13
2008 84.42 89.67 77.09 72.28
2009 71.26 101.75 59.71 57.68
43.35
49.86
52.73
72.46
68.04
71.07
68.27
70.80
59.43
32.10
49.46
41.98
41.24
37.87
29.19
26.43
41.86
30.92
49.39
34.45
42.95
33.80
65.61
59.28
54.72
49.35
58.92
52.64 64.27
65.53 73.95
79.84 77.32
69.96 82.94
74.23 83.61
56.24 61.50
77.22 62.11
76.26 66.70
81.05 69.73
Sumber: Ditjenbun Kementan, 2010
Pada kurun waktu 2004-2009, rata-rata produktivitas tebu rakyat hanya 67.81 ton perhektar, lebih kecil dibandingkan dengan produktivitas tebu perkebunan negara yang mencapai 78.75 ton perhektar, dan tebu perkebunan swasta yang mencapai 102.91 ton perhektar. Informasi selengkapnya berkaitan dengan produktivitas tebu di Lampung berdasarkan pengusahaannya disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Produktivitas Tebu Perkebunan Rakyat, Perkebunan Swasta dan Perkebunan Negara 2004-2009 di Propinsi Lampung Jenis Pengusahaan Perkebunan Rakyat Perkebunan Negara Perkebunan Swasta
2004 68.55 73.66 111.20
Produktivitas (Ton/Ha) 2005 2006 2007 72.96 69.42 60.19 88.17 81.13 68.40 115.28 89.33 97.41
2008 70.23 79.15 92.84
2009 65.52 81.97 111.40
¥ : Data produksi gula dan luas lahan bersumber dari BPS Propinsi Lampung 2005-2010 dengan penyesuaian menurut data produksi nasional Ditjenbun Kementan 2010. Data produksi tebu merupakan konversi dengan menggunakan nilai rendemen FAO 2010. Sumber: Badan Pusat Statistik Propinsi Lampung, 2010
Produktivitas tebu perkebunan rakyat yang sebagian besar masih rendah berkaitan dengan berbagai faktor antara lain: (1) sebagian besar lahan tebu adalah lahan tegalan atau lahan kering karena konversi lahan tebu untuk industri atau perumahan, (2) sekitar 60 – 70 persen merupakan tanaman keprasan, (3) varietas yang digunakan merupakan varietas lama, (4) teknik budidaya yang belum optimal, (5) keterbatasan modal, dan 6) sistem bagi hasil yang kurang memotivasi
8
petani. 1 Produktivitas yang rendah juga mencerminkan tingkat efisiensi yang rendah. Hal ini berpangkal pada budidaya yang tidak optimal akibat dari: (1) kualitas bahan tanaman yang kurang baik, (2) harga gula yang rendah, dan (3) kebijakan pemerintah yang kurang mendukung (Susila dan Sinaga, 2005b). Rendahnya produksi dan produktivitas tebu rakyat membuat pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk meningkatkankannya. Salah satu program yang dikeluarkan pemerintah adalah Akselerasi Peningkatan Produktivitas Gula (APPG). Program ini bertujuan untuk meningkatkan produktivitas gula nasional demi tercapainya swasembada gula tahun 2014. Propinsi Lampung merupakan salah satu propinsi yang menjadi sasaran dari program tersebut karena Lampung termasuk
sentra produksi tebu nasional dengan Kabupaten Lampung Utara
sebagai daerah pelaksanaan program tersebut. Pemilihan perkebunan rakyat karena tebu rakyat sering menghadapi masalah, yaitu: (1) lemahnya modal usahatani, (2) lemahnya penguasaan teknologi, (3) lemahnya lembaga penyedia sarana produksi, dan (4) teknologi pascapanen (Sriati et al, 2008). Berbagai kelemahan tersebut dinilai menjadi salah satu penyebab rendahnya produktivitas tebu rakyat. Akan tetapi kebijakan tersebut gagal karena tidak mencapi target yang ditetapkan2. Berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk mencapai swasembada gula melalui peningkatan produksi gula nasional sebagaimana yang diuraikan sebelumnya, ternyata masih menghadapi berbagai kendala. Kondisi ini juga terlihat pada usahatani tebu rakyat di Lampung. Rata-rata tingkat produktivitas tebu rakyat kurun waktu 2004-2009 masih sangat rendah yaitu sebesar 67.51 ton perhektar. Kondisi ini masih jauh jika dibandingkan dengan produktivitas di Brazil dan Australia dengan nilai rata-rata 75.12 ton perhektar dan 83.27 ton perhektar pada kurun waktu yang sama sebagaimana ditunjukkan Tabel 10.
1
2
Wayan R. Susila. 2005. Peningkatan Efisiensi Industri Gula Nasional melalui Perbaikan Sistem Bagi Hasil antara Petani dan PG.http://www.ipard.com[Diakses tanggal 14 Oktober 2014]
Berdasarkan wawancara dengan Kepala Bagian Produksi Dinas Perkebunan Propinsi Lampung 13 Juni 2011.
9
Tabel 10. Produktivitas Tebu Rakyat Lampung, Tebu Nasional, Jawa Timur, Brazil dan Australia Periode 2004-2009 Propinsi/Negara
Produktivitas (Ton/Ha) 2004
2005
2006
2007
2008
2009
64.92 85.89 66.95 67.02 67.85
66.95 100.54 76.68 72.85 87.15
67.02 83.03 73.65 75.11 89.46
67.85 87.58 62.52 77.63 89.07
70.81 84.42 62.56 79.27 85.72
67.47 71.26 63.09 78.85 80.39
(a)
Lampung Jawa Timur (b) Nasional (b) Brazil (c) Australia(c)
Rata-Rata 67.51 85.45 67.58 75.12 83.27
Sumber: (a) PTPN VII, 2011; (b) Ditjenbun Kementan, 2010; (c) FAO, 2010
Produktivitas rendah ini juga diakibatkan adanya sistem bagi hasil antara petani dengan pabrik gula yang kurang memotivasi petani untuk meningkatkan produksinya. Sistem bagi hasil yang berlaku saat ini adalah 66 persen dari total produksi gula untuk petani dan 34 persen untuk
pabrik gula sebagai upah
pengolahan. Sistem ini masih sering menimbulkan perdebatan. Bagi petani, bagian mereka seharusnya bisa lebih tinggi bila pengolahan di pabrik gula berjalan efisien dan kapasitas giling cukup memadai (Susila dan Sinaga, 2005a). Rendahnya produktivitas tebu rakyat ini semakin diperburuk dengan rendemen yang rendah pula sebagaimana disajikan pada Tabel 11. Tabel 11. Perkembangan Rendemen Tebu Rakyat (TR), Nasional, Brazil, Australia, PTPN VII Unit Usaha Bungamayang dan Gunung Madu Plantations (GMP) Periode 2001-2009 Tahun
PTPN VII UU Bunga Mayang (a)
TR (TRK dan TRB)(a)
Nasional
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Rata-rata
5.55 6.18 7.02 7.67 7.54 8.23 7.58 7.79 8.18 7.30
5.80 6.58 7.20 7.49 7.36 7.53 7.18 7.27 7.48 7.10
7.14 6.65 7.16 6.46 6.99 6.16 7.50 7.50 7.77 7.04
(b)
Brazil
(b)
9.88 11.16 12.02 12.71 13.32 12.02 11.44 9.94 9.96 11.38
Australia 14.80 14.67 14.76 13.99 14.24 14.00 14.31 15.11 15.57 14.61
(b)
Gunung Madu Plantation (GMP)(c) 6.91 7.52 9.71 9.82 9.71 9.32 9.43 9.14 9.13 8.97
Sumber: (a) PTPN VII, 2010; (b) FA0, 2010; (c) DPR RI, 2010
Rata-rata rendemen tebu rakyat dalam kurun waktu 2001-2009 adalah sebesar 7.10. Angka ini memang diatas rendemen nasional yaitu 7.04, akan tetapi
10
masih dibawah rendemen tebu PTPN VII Unit Usaha Bungamayang, tebu swasta (Gunung Madu Plantations). Angka ini akan semakin jauh jika dibandingkan dengan Brazil dan Australia yang mempunyai rendemen rata-rata berturut-turut 11.38 dan 14.61. Kebijakan lain untuk meningkatkan produktivitas tebu adalah dengan memberikan bantuan kredit bagi petani tebu rakyat melalui hubungan kemitraan dengan pabrik gula dimana pabrik gula bertindak sebagai avalis antara petani dan pihak perbankan. Kebijakan ini dinilai penting untuk mengatasi permasalahan permodalan yang sering menjadi kendala para petani tebu rakyat (Retna, 1999; Sriati et al, 2008). Lebih lanjut Fadjar (2006) menyatakan meskipun pelaksanaan kemitraan usaha perkebunan belum dapat mengatasi ketimpangan antara perkebunan besar dan perkebunan rakyat, namun kelemahan tersebut dapat diperbaiki melalui pemberdayaan masyarakat perkebunan yang komunikatif. Sikap
komunikatif
diharapkan
menciptakan
kemitraan
yang
mampu
mendistribusikan peluang dan manfaat usaha serta aset produksi kepada petani. Di Kabupaten Lampung Utara terdapat satu perusahaan persero yang mengolah tebu menjadi gula dalam skala yang besar untuk memenuhi permintaan gula di pasaran yaitu PTPN VII Unit Usaha Bungamayang. PTPN VII Unit Usaha Bungamayang melakukan hubungan kemitraan dengan petani tebu melalui Program Tebu Rakyat Kredit (TRK) untuk memenuhi kebutuhan bahan bakunya. TRK memiliki arti penting sebab melalui program ini peserta akan diberikan kemudahan kredit dan sarana produksi dalam rangka peningkatan pendapatan. Pada pelaksaannya kemitraan antara PG dan petani ini bukanlah tanpa kendala. Salah satu contohnya adalah penyaluran kredit penyediaan pupuk yang disaat para petani sudah melewati masa pemupukan. Bunga kredit yang harus dibayarkan petani juga cukup besar yaitu 6 - 7 persen pertahun. Besaran ini sangatlah jauh dibandingkan dengan kredit bagi petani tebu di Vietnam, Thailand, dan Brazil yang besarnya berturut-turut 1.5 persen, 1.3 persen dan 1.1 persen. 3 Selain pemberian kredit yang terlambat dan besarnya bunga yang harus dibayarkan, masalah lain yang muncul adalah besarnya kredit yang tidak sesuai 3
Soemitro Samadikoen (Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia) dalam Rendemen Gula 10 Agar Indonesia Swasembada. www.antarajawabarat.com. Diakses: 14 Agustus 2011.
11
dengan kebutuhan. Salah satu contoh adalah dengan pemberian kredit tebang muat dan angkut yang besarnya jauh dibawah kebutuhan para petani akibat mahalnya biaya tenaga kerja dalam proses tebang muat dan angkut yang hampir mencakup 50 persen dari biaya usahatani tebu. Kurang maksimalnya penggunaan input sebagai akibat dari berbagai masalah diatas, akan sangat berpengaruh terhadap tingkat efisiensi usahatani tebu rakyat khususnya tebu rakyat kredit karena budidaya yang dilakukan pada gilirannya juga tidak maksimal. Selain para petani tebu rakyat yang tergabung dalam TRK, berkembang pula pola kemitraan bebas atau Tebu Rakyat Bebas (TRB) dimana kemitraan terjalin antara perusahaan dan petani tanpa sarana kredit. Rata-rata tingkat rendemen untuk TRB tahu 2001-2009 sebesar 7.31, lebih tinggi dibandingkan dengan TRK yang hanya sekitar 6.80 sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 12. Tabel 12. Perkembangan Rendemen Tebu Rakyat Kredit (TRK) dan Tebu Rakyat Bebas (TRB) Periode 2001-2009 Tahun
Tebu Rakyat Kredit
Tebu Rakyat Bebas
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Rata-rata
5.17 6.06 6.73 7.21 7.17 7.46 7.01 7.01 7.46 6.80
6.43 7.09 7.66 7.76 7.55 7.59 7.35 7.52 7.49 7.31
Sumber: PTPN VII, 2010
Tinggi rendahnya tingkat rendemen salah satunya tergantung dari proses produksi (on farm) yang dilakukan oleh petani. Peningkatan rendemen dari tingkat usahatani dapat dilakukan dengan: (1) penataan varietas, (2) pengunaan bibit unggul, (3) pengaturan kebutuhan air, (4) pemupukan berimbang, dan (5) pengendalian organisme pengganggu (P3GI, 2008). Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dirumuskan perumusan masalah sebagai berikut: 1.
Bagaimana sistem usahatani tebu rakyat (non-keprasan dan keprasan) pada pola kemitraan TRK dan TRB di wilayah kerja PTPN VII Unit Usaha
12
Bungamayang? Bagaimana pengaruh kemitraan terhadap tingkat pendapatan para petani tebu rakyat ? 2.
Bagaiamana
tingkat
efisiensi
dan
faktor-faktor
apa
sajakah
yang
mempengaruhi inefisiensi tebu rakyat di wilayah kerja PTPN VII Unit Usaha Bungamayang? Bagaimana pengaruh kemitraan terhadap tingkat efisiensi tebu rakyat di wilayah kerja PTPN VII Unit Usaha Bungamayang?
1.3. Tujuan Penelitian Dengan memperhatikan berbagai permasalahan sebagaimana yang diuraikan sebelumnya, penelitian ini bertujuan: 1.
Menganalisis sistem usahatani tebu rakyat (non-keprasan dan keprasan) pada pola kemitraan TRK dan TRB dan pengaruh kemitraan (TRK dan TRB) terhadap tingkat pendapatan para petani tebu rakyat di wilayah kerja PTPN VII Unit Usaha Bungamayang.
2.
Menganalisis tingkat efisiensi dan faktor-faktor yang mempengaruhi inefisiensi produksi usahatani tebu rakyat dan pengaruh pola kemitraan terhadap tingkat efisiensi tebu rakyat di wilayah kerja PTPN VII Unit Usaha Bungamayang.
1.4. Ruang Lingkup Penelitian 1.
Penelitian ini menganalisis pendapatan dan efisiensi produksi dari usahatani tebu rakyat baik pada pola tanam keprasan dan non-keprasan yang tergabung dalam pola kemitraan Tebu Rakyat Kredit (TRK) dan Tebu Rakyat Bebas (TRB).
2.
Tingkat efisiensi yang dianalisis pada penelitian ini adalah tingkat usahatani.
1.5. Manfaat Penelitian 1.
Bagi pengambil kebijakan di tingkat nasional, hasil penelitian ini diharapkan mampu menjadi bahan pertimbangan untuk menetapkan kebijakan pada tingkat usahatani khususnya untuk mendukung tercapainya swasembada gula.
2.
Bagi akademisi, hasil penelitian ini diharapkan mampu menjadi salah satu referensi dalam penelitian dengan topik terkait.
13
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Usahatani Tebu Tanaman tebu (Saccharum officinarum L) adalah satu anggota familia rumput-rumputan (Graminae) yang merupakan tanaman asli tropika basah. Namun, tebu masih dapat tumbuh dan berkembang di daerah sub-tropika, pada berbagai jenis tanah dari daratan rendah hingga ketinggian 1 400 m diatas permukaan laut (dpl). Tebu diduga berasal dari Pasifik Selatan, Jawa dan India. Bahkan, komoditas ini sudah diusahakan di Jawa sejak tahun 75 Masehi. Pada zaman Belanda, tebu sudah menjadi salah satu komoditas komersial yang mempunyai nilai tinggi. Nilai komoditas yang begitu tinggi menjadikan pemerintah terus melanjutkan kebijakan penanaman tebu melalui perusahaanperusahaan perkebunan besar dan swasta baik di Jawa maupun Luar Jawa. Pada perkembangannya tanaman tebu juga dikembangkan oleh rakyat melalui kebijakan pemerintah Tebu Rakyat Intensifikasi atau yang lazim dikenal dengan Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI). Input dalam usahatani tebu rakyat secara umum terdiri dari lahan, tenaga kerja, pupuk dan pestisida. Biaya usahatani untuk tenaga kerja bisa mencapai lebih dari 40 persen, artinya usahatani tebu lebih bersifat padat karya dibandingkan dengan pada modal. Sedangkan proporsi biaya untuk input lain bervariasi antar daerah. Zhang et al. (2011) dalam penelitiannya menyatakan bahwa proporsi biaya tenaga kerja usahatani tebu di China adalah 40 persen untuk tenaga kerja, 24 persen untuk pupuk, 16 persen untuk sewa tanah, dan 20 persen untuk input lainnya. Chidoko dan Chimway (2011) dalam penelitiannya di Lowveld Zimbabwe menyatakan bahwa proporsi biaya tenaga kerja pada usahatani tebu sebesar 45 persen, pupuk 14 persen, bibit 14 persen, pestisida dan bunga modal masing-masing 4 persen. Berdasarkan dua penelitian tersebut diketahui bahwa proporsi biaya untuk tenaga kerja masih dominan. 2.1.1. Usahatani Tebu Pola Tanam (Non-Keprasan) dan Pola Keprasan Pola usahatani tebu dilakukan berdasarkan dua pola yaitu pola non keprasan dan pola keprasan. Pola tanam (non-keprasan) adalah pola budidaya tebu dengan menggunakan bibit. Budidaya tebu pola tanam atau non-keprasan dimulai
14
dengan persiapan lahan. Kegiatan selanjutnya adalah persiapan tanam yang meliputi pengolahan lahan dan pembuatan kair. Kair (leng) digunakan sebagai tempat penanaman bibit tebu. Jarak antara kair adalah sekitar 1 meter dengan kedalaman 25 – 30 cm. Selain itu, dalam kebun dibuat jalan dengan jarak 30 - 40 cm dan kedalaman 30 cm. Kegiatan selanjutnya adalah penanaman. Penanaman biasanya berkisar pada bulan Oktober sampai bulan November. Hal ini dikarenakan pada saat penanaman tebu membutuhkan air yang cukup sehingga tebu baru bisa ditanam pada musim hujan untuk mendapatkan air. Bibit yang akan ditanam sebaiknya sudah melalui seleksi terlebih dahulu. Bibit yang telah disiapkan lalu ditanam mendatar dengan posisi mata disamping dan ditutup tanah sedalam diameter tebu yang sekitar 2 cm. Kegiatan yang dilakukan setelaha penanaman adalah pemeliharaan tebu meliputi pemupukan, penyulaman, pembumbunan, penyiangan dan klentek. Pemupukan dilakukan bersama – sama waktu menanam agar pertumbuhan akar maupun tunas lebih cepat dan kuat. Hal ini dilakukan dengan cara bibit diletakkan pada alur bibit dan diikuti dengan pemberian pupuk lalu ditutup dengan tanah. Penyulaman dapat dilakukan setelah satu bulan tanam. Pembumbunan biasanya dilakukan 3 kali yang berguna untuk menggemburkan tanah dan untuk menutupi pupuk. Penyiangan merupakan pembersihan gulma yang biasanya dilakukan sebelum pemupukan. Sedangkan klentek merupakan legiatan perontokkan daun kering dari tebu. Setelah tebu berumur 11 – 12 bulan tebu ditebang atau dipanen. Tebu keprasan merupakan tanaman tebu yang tumbuh setelah tanaman pertama ditebang atau dari sisa tanaman yang ditebang. Budidaya tebu kepras dimulai setelah tebu ditebang. Setelah tebu ditebang, daun – daun yang tak terpakai dikumpulkan dan dibakar. Hal ini dilakukan agar mempermudah pengeprasan. Pengeprasan tebu yaitu memotong batang tebu bekas tebangan sampai kedalaman sekitar 20 cm dari atas permukaan tanah dengan menggunakan cangkul dan tanah dibuat seperti bedengan. Pengeprasan sampai kedalaman sekitar 20 cm dari atas permukaan tanah dimaksudkan supaya tebu yang nanti akan tumbuh merupakan tebu anakan pertama dari tebu induknya sehingga tebu yang nanti akan tumbuh diharapkan masih memiliki kualitas yang tak jauh berbeda dari tebu induknya. Kualitas tebu yang baik dilihat dari besarnya
15
kandungan gula yang dapat dihasilkan oleh tebu tersebut. Setelah satu bulan dari pengeprasan, tanaman tebu akan tumbuh anakan (tunas) lalu di pedhot oyot. Kegiatan pedhot oyot atau putus akar yaitu memutuskan akar lama yang berfungsi untuk merangsang pertumbuhan akar baru. Jarak pedhot oyot 15 cm dari tebu serta 15 cm untuk arah sebaliknya dengan menggunakan ganco. Kegiatan selanjutnya adalah pemeliharaan tebu yang meliputi penyiangan, penyulaman, pemupukan, pembumbunan dan klitek seperti pada tebu tanam (Lestari, 2008). Nuryanti (2007) dalam penelitiannya mengkaji aspek finansial usahatani tebu mandiri di Yogyakarta dan Jawa Tengah menyimpulkan bahwa tanaman keprasan lebih lebih menguntungkan diusahakan baik di lahan sawah maupun tegalan. Lebih menguntungkannya pola keprasan ini diduga menghambat upaya peningkatan produktivitas melalui introduksi varietas baru. 2.1.2. Usahatani Tebu Lahan Sawah dan Lahan Kering Usahatani tebu di Indonesia berdasarkan lahan yang digunakan didapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu tebu lahan kering dan tebu lahan sawah. Sebagian besar pengusahaan tebu di Indonesia berjenis lahan sawah dimana pada lahan tersebut tersedia cukup air karena adanya air irigasi. Sedangkan pengusahaan tebu pada lahan kering masih sangat terbatas (Hafsah, 2003). Dalam pengusahaanya, ada yang mengusahakannya sebagai usaha pokok dan ada juga sebagai usaha sampingan. Raswati (1997) dalam penelitiannya menyatakan 57.5 persen petani tebu di wilayah kerja PG Meritjan Kediri mengusahakan tebu sebagai usaha sampingan dengan alasan pengusahaan tanaman lain seperti palawija dan padi lebih menguntungkan. Alasan pengusahaan tebu menurut petani di daerah tersebut adalah adanya peraturan pemerintah yang mewajibkan petani menanam tebu dengan sistem sistem glebagan. Berbeda dengan petani di wilayah kerja PG Gempolkrep Mojokerto, dimana 75 persen menyatakan bahwa mereka mengusahakan tebu sebagai usaha pokok. Keadaan ini dipengaruhi kondisi wilayah yang sering dihadapkan pada masalah ketersediaan air sehingga usahatani tebu dipandang lebih memungkinkan karena membutuhkan air yang relatif tidak banyak. Kondisi ini sama dengan yang terjadi pada petani yang berada di wilayah kerja PG. Modjopanggoong Tulung Agung (Setiadji, 1997).
16
Pengusahaan tebu di lahan sawah mulai mengalami penurunan dalam beberapa dekade terakhir, sedangkan pengusahaan tebu di lahan kering cenderung semakin meningkat. Hal ini disebabkan oleh semakin kuatnya persaingan dari sektor-sektor yang mampu membayar sewa lahan dan dan keuntungan yang lebih besar, seperti pengalihan lahan untuk tanaman lain, industri maupun perumahan (Susila dan Sinaga, 2005b). Fenomena ini juga terjadi akibat adanya Inpres No. 5 tahun 1998 yang membebaskan petani dari kewajiban menanam tebu dan bebas memilih komoditas yang akan diusahakan. Dikeluarkannya Inpres ini sekaligus menghapus Inpres No. 9 Tahun 1975 tentang Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI). TRI adalah sistem pengusahaan tebu di mana pengusahaan tebu tidak lagi diusahakan oleh pabrik gula dengan sistem sewa lahan, tetapi diusahakan oleh petani dengan sistem bagi hasil sedangkan pabrik gula hanya sebagai pembimbing dan pengolah tebu menjadi gula (Saptana et al., 2004). TRI merupakan kebijaksanaan pemerintah dalam rangka untuk meningkatkan produksi gula dan pendapatan petani tebu. Akan tetapi dikeluarkannya Inpres No. 5 tahun 1998 ternyata tidak serta merta membuat petani di beberapa daerah yang sebelumnya menanam tebu langsung beralih ke tanaman lain. Penelitian Januarsini (2000) menggambarkan dua fenomena diatas, dimana hasil penelitian menunjukkan 42.5 persen petani di wilayah kerja PG Prajekan menyatakan akan tetap mengusahakan tebu. Alasan petani masih mengusahakan tebu adalah: (1) usahatani tebu masih sangat menguntungkan khususnya apabila dikelola dengan baik; (2) lebih tahan terhadap penyakit dibandingkan dengan tanaman lain; (3) petani merasa pendapatan tebu relatif besar dan diterima sekaligus sehingga dapat dicadangkan untuk memenuhi kebutuhan uang yang relatif besar. Sementara itu, petani yang tidak lagi mengusahakan tebu sebesar 57.5 persen dengan alasan: (1) berusahatani tebu tidak menguntungkan, (2) siklus panen tebu terlalu lama sehingga petani berlahan sempit lebih memilih usahatani yang cepat memperoleh hasil, dan (3) timbulnya ketidakpercayaan pada pihak yang terkait yaitu pabrik gula dan KUD.
17
2.2. Efisiensi Produksi Tebu dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya Efisiensi merupakan aspek yang penting karena dapat bertindak sebagai alat ukur untuk pemilihan terhadap alternatif pada penarikan keputusan produksi (Bishop dan Toussaint, 1958). Penarikan keputusan produksi seringkali menjadi keharusan bagi petani mengingat dalam aktivitas usahatani seringkali terjadi gap produktivitas antara produktivitas yang seharusnya dengan produktivitas yang dihasilkan. Senjang produktivitas tersebut terjadi karena adanya faktor-faktor yang sulit untuk diatasi oleh manusia (petani) seperti teknologi yang tidak dapat dipindahkan dan adanya perbedaan lingkungam, misalnya iklim. Perbedaan hasil yang disebabkan oleh dua faktor tersebut menyebabkan senjang produktivitas antara produktivitas potensial usahatani dengan produktivitas yang dihasilkan oleh petani. Faktor utama yang menyebabkan terjadinya senjang produktivitas antara lain : (1) adanya kendala biologis misalnya perbedaan varietas, masalah tanah, serangan hama, perbedaan kesuburan dan sebagainya, (2) kendala sosial ekonomi seperti perbedaan besar biaya dan penerimaan usahatani, kurangnya biaya usahatani, harga produksi, faktor kebiasaan dan sikap, kurangnya pengetahuan, tingkat pendidikan, adanya faktor ketidakpastian, resiko berusahatani dan sebagainya (Soekartawi, 2002). Beberapa penelitian tentang efisiensi produksi tebu antara lain Dlamini et al. (2000), Babalola et al. (2009), Fernandez dan Nuthall (2009) dan Jasila (2010). Dlamini et al. (2000) melakukan penelitian efisiensi teknis petani tebu rakyat di Vuvulane dan Big Bend, Swaziland, Afrika Selatan dengan menggunakan fungsi produksi stochastic frontier Cobb Douglas. Variabel bebas yang digunakan dalam fungsi produksi stochastic frontier Cobb Douglas adalah lahan, tenaga kerja, pupuk dan herbisida. Sementara itu, efek inefisiensi teknis dilihat dengan menggunakan persamaan dan variabel bebas yang dimasukkan dalam persamaan, antara lain umur, lama pendidikan, pendapatan off-farm, dan ukuran usahatani. Hasil penelitian menunjukkan bahwa efisiensi teknis untuk petani Vuvulane bernilai antara 37.5 – 99.9 persen dengan nilai rata-rata 73.6 persen. Sedangkan efisiensi untuk petani Big Bend bernilai antara 71 – 94.4 persen dengan nilai ratarata 86.7 persen. Faktor yang berpengaruh positif terhadap inefisiensi teknis adalah pendidikan formal dan pendapatan off-farm untuk daerah Vulvulane serta
18
pendapatan off-farm untuk daerah Big Bend. Akan tetapi, semua faktor tersebut tidak berpengaruh nyata. Babalola et al. (2009) dalam penelitiannya di Jigawate Nigeria membandingkan antara petani yang masuk dalam program pemerintah untuk meningkatkan produksi tebu (Millinieum Village Commision Program – MVCP) dengan petani yang tidak masuk dalam program tersebut (non-MVCP). Penelitian ini menggunakan fungsi produksi stochastic frontier Cobb Douglas dengan variabel bebas adalah luas lahan, tenaga kerja dalam kelurga, tenaga kerja dalam keluarga bibit, pupuk, pestisida dan irigasi. Sedangkan efek inefisiensi teknis antara lain pengalaman, dummy penyuluhan, pendidikan, dummy akses terhadap kredit, dummy keanggotaan dalam kelompoktani,dummy partisipasi dalam program, dummy zona ekologi, dummy kerapatan tanaman, dummy varietas. Efisiensi teknis untuk petani MVCP adalah 60.97 persen sedangkan untuk petani non-MVCP adalah 70.32 persen. Variabel bebas yang berpengaruh nyata (α 1 persen, α 5 persen, dan α 10 persen) adalah luas lahan, tenaga kerja luar keluarga, benih, pupuk, pestisida dan irigasi untuk petani MVPC. Sedangkan untuk petani non-MVPC yang berpengaruh nyata (α 1 persen, dan α 5 persen) adalah luas lahan, tenaga kerja dalam keluarga, tenaga kerja luar keluarga, bibit dan pupuk. Faktor yang berpengaruh nyata terhadap inefisiensi teknis untuk petani MVPC adalah dummy zona ekologi (α 1 persen), dan partisipasi dalam program (α 5 persen). Variabel yang berpengaruh nyata terhadap inefisiensi teknis petani nonMVPC adalah pendidikan (α 5 persen), dummy kerapatan tanaman (α 10 persen), dan variabel yang berpengaruh nyata terhadap efisiensi teknis adalah pengalaman (α 1 persen), dummy penyuluhan (α 1 persen), dummy kelompoktani (α 5 persen), dan dummy partisipasi dalam program (α 5 persen). Fernandez dan Nuthall (2009) dalam penelitiannya mengidentifikasi sumber inefisiensi teknis dalam produksi tebu di wilayah Negros Tengah, Filipina. Analisis dilakukan dengan menggunakan Data Envelompent Analysis (DEA). Dari hasil penelitian ini diketahui untuk nilai Pure Technical Efficiency (PTE) adalah 0.7580; Scale Efficiency (SE) adalah 0.9884 dan Overall Technical Efficiency (OTE) adalah 0.7298. Penggunaan input yang sudah efisien adalah lahan, bibit dan power (listrik). Sedangkan untuk pupuk dan tenaga kerja tidak berpengaruh
19
nyata. Faktor yang menentukan efisiensi teknis adalah pengalaman, akses kredit dan ukuran usahatani. Jasila (2010) menganalisis pengaruh kredit ketahanan pangan terhadap efisiensi usahatani tebu di Kabupaten Situbondo Propinsi Jawa Timur. Faktorfaktor yang berpengaruh nyata terhadap tingkat efisiensi teknis petani tebu di daerah penelitian adalah lahan, pupuk N, tenaga kerja, dummy KKP, pendidikan dan ukuran usahatani. Hasil pendugaan efek inefisiensi teknis fungsi produksi stochastic frontier menunjukkan bahwa pengalaman dan pola tanam berpengaruh positif terhadap tingkat inefisiensi teknis tetapi tidak berpengaruh nyata. Berkaitan dengan pola tanam, penelitian ini menjelaskan bahwa jika petani tebu menanam dengan pola non-kepras akan menghasilkan produksi yang relatif tidak efisien dibandingkan dengan hasil pada tanaman tebu kepras. Hal ini terjadi karena anakan pada tanaman non-kepras lebih sedikit dibandingkan dengan anakan pada tanaman kepras, sehingga produksi tebu yang dihasilkan tanaman kepras lebih banyak. Petani hanya dianjurkan untuk melakukan keprasan maksimal sampai pada kepras ke tiga.
2.3. Pola Kemitraan Dalam Produksi Tebu Kemitraan dalam produksi tebu sering dilakukan antara petani dengan pabrik gula. Kemitraan memberikan kemudahan bagi petani untuk mengakses kredit, pupuk, dan bibit unggul. Hal ini mempengaruhi input usahatani sehingga dengan input yang lebih baik kuantitas dan kualitasnya ini petani berkesempatan untuk memperoleh pendapatan yang lebih tinggi. Dengan kemitraan petani juga bisa mendapatkan bimbingan teknis budidaya sehingga memperbaiki proses produksinya. Kemitraan juga akan memperbaiki manajemen tebang angkut sehingga risiko kehilangan kadar gula dan risiko tebu tidak terpanen lebih kecil. Dwijayanti (2011) dalam penelitiannya yang bertujuan untuk, (1) mendeskripsikan prosedur pelaksanaan kemitraan antara Pabrik Gula Candi Baru dengan petani tebu, (2) mengetahui kendala-kendala dalam pelaksanaan kemitraan di Pabrik Gula Candi Baru, dan (3) mengetahui harmonisasi kemitraan yang terjadi antara Pabrik Gula Candi Baru dengan petani tebu mitra, dalam kaitannya dengan perjanjian kemitraan dan menganalisa perbedaan biaya usahatani,
20
penerimaan dan pendapatan antara petani Tebu Rakyat Kerjasama Usahatani (TRKSU) dan petani Tebu Rakyat Mandiri (TRM) Pabrik Gula Candi Baru menyimpulkan bahwa prosedur pelaksanaan yang ditetapkan oleh PG Candi Baru sebagai persyaratan bagi petani dalam bermitra dirasakan tidak memberatkan pihak petani. Sedangkan kendala-kendala yang dihadapi Pabrik Gula Candi dalam pola kemitraan dengan para petani anatar lain adalah tebang-angkut yang terkadang tidak tepat waktu, masalah penyediaan bahan baku dalam memenuhi kapasitas giling PG serta masalah dalam perkreditan dimana terdapat petani yang terlambat dalam melakukan pembayaran apabila mengalami gagal panen. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa biaya produksi rata-rata petani TRKSU lebih besar dibandingkan biaya produksi rata-rata petani TRM yaitu sebesar Rp. 31 111 488,5 dan sebesar Rp. 28 457 398. Hal ini dikarenakan adanya beban bunga sebesar 12 persen yang dibebankan kepada petani TRKSU atas pinjaman modal yang diberikan oleh Pabrik Gula. Akan tetapi, penerimaan ratarata petani TRKSU lebih besar bila dibandingkan dengan penerimaan rata-rata petani TRM yaitu berturut-turut Rp. 57 766 309.25 dan Rp. 49 340 676.67. Hal ini dikarenakan produksi rata-rata dan tingkat rendemen petani TRKSU lebih tinggi dibanding petani TRM. Pendapatan petani TRKSU pun lebih besar dibandingkan petani TRM yaitu berturut-turut Rp. 26 654 820.74 dan Rp. 20 883 278.28 per hektarnya. Peningkatan pendapatan akibat adanya kemitraan petani juga dapat dilihat pada penelitian Najmudirohman (2011) dalam penelitiannya yang berjudul pengaruh kemitraan terhadap pendapatan usahatani tebu di Kecamatan Trangkil, Pati Jawa Tengah. Penelitian ini menyimpulkan bahwa kemitraan membuat pendapatan petani mitra lebih tinggi daripada non-mitra, yang ditunjukkan dengan nilai R/C yang lebih tinggi. Nilai R/C atas biaya tunai petani mitra adalah 1.42, dan petani yang tidak bermitra adalah 1.20. Sedangkan R/C atas biaya total untuk petani mitra adalah 1.37 sedangkan untuk petani non mitra adalah 1.16. Kedua penelitian diatas memberikan kesimpulan yang sama yaitu pola kemitraan cenderung menguntungkan petani. Kemitraan juga diharapkan mampu meningkatkan efisiensi para petani tebu melalui pembinaan atau penyuluhan maupun dengan bantuan saprodi sesuai
21
dengan petunjuk dari pabrik gula. Akan tetapi, hasilnya sering tidak sesuai harapan sebagaimana yang terdapat dalam penelitian Msuya dan Ashimogo. Msuya dan Ashimogo (2007) melakukan analisis efisiensi produksi terhadap petani tebu plasma (bermitra dengan pabrik) dan non-plasma (tidak bermitra dengan pabrik) di Mtibwa di Tanzania dengan menggunakan fungsi produksi stochastic frontier Cobb Douglass. Variabel bebas yang digunakan adalah luas lahan, tenaga kerja dalam keluarga, tenaga kerja luar keluarga, total input (bibit, pupuk, pestisida dan keranjang panen) dan peralatan. Sedangkan variabel yang digunakan untuk melakukan pendugaan terhadap faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya efek inefisiensi teknis antara lain usia, pendidikan, dummy daerah Mtibwa, dummy daerah Diongoya, dummy daerah Kangga, dummy keaslian penduduk, pengalaman dan ukuran usahatani. Hasil penelitian menunjukkan ratarata efisiensi teknis untuk plasma adalah 76.43 persen, dan 80.65 persen untuk non plasma. Variabel bebas pada petani plasma yang berpengaruh nyata adalah luas lahan, tenaga kerja luar keluarga dan total input (α 1 persen dan α 10 persen). Sedangkan pada petani non-plasma, variabel luas lahan dan total input yang berpengaruh nyata (α 1 persen dan α 5 persen). Faktor yang berpengaruh nyata terhadap inefisiensi teknis pada petani plasma adalah umur (α 10 persen). Sedangkan untuk petani non plasma tidak ada variabel yang berpengaruh nyata. Skema kemitraan yang dilakukan antara petani dengan pabrik gula dapat berbeda antara satu tempat lain. Govereh et al. (1999) dalam penelitiannya terhadap usahatani tebu rakyat di Kenya menemukan bahwa selama proses persiapan lahan, input, pemanenan dan pengangkutan dilakukan oleh pabrik, sedangkan petani hanya bertanggungjawab dalam penanaman dan perawatan. Unggul (2009) menjabarkan bentuk kemitraan yang terjadi antara petani tebu dengan pihak PG Madukismo. Kerjasama antara PG dengan petani dalam menjalankan usahatani tebu dilakukan dengan memberikan jaminan pendapatan minimum (JPM). Petani yang memperoleh JPM adalah petani yang melakukan adopsi inovasi kelembagaan dengan menjalankan usahatani Tebu Rakyat Kemitraan (TR Kemitraan) dan usahatani Tebu Kerjasama usaha (TRKSU). Besaran JPM yang diterima petani disesuaikan dengan potensi lahan. Pada pelaksanaan usahtani TR KSU yang harus dilaksanakan pada lahan sawah kelas I,
22
JPM yang diterima lebih besar daripada pelaksanaan usahatani yang tidak pada lahan kelas I. Sementara petani yang menjalankan usahatani Tebu Rakyat Mandiri (TR Mandiri) tidak memperoleh JPM. Kemitraan antara petani tebu dengan PTPN VII Unit Usaha Bungamayang berupa program Tebu Rakyat (TR) terdiri atas dua macam yaitu Tebu Rakyat Kredit (TRK) dan Tebu Rakyat Bebas (TRB). Program TRK merupakan program dimana bank melalui PTPN VII Unit Usaha Bungamayang (avalis) memberikan kredit modal kerja. Sementara Tebu Rakyat Bebas (TRB) adalah suatu program dimana petani bermitra dengan PTPN VII Unit Usaha Bungamayang tanpa kredit. Kemitraan petani TRK diawali dengan pengajuan permohonan bermitra dengan program kredit bank melalui PTPN VII Unit Usaha Bungamayang selaku pabrik gula. Pabrik gula akan memeriksa dan melihat keberadaan lahan garapan apakah sesuai atau tidak mendapatkan kredit. Petani anggota TRK harus memenuhi syarat-syarat mendapatkan kredit, yaitu: lahan bebas sengketa dan hak milik serta akses ke lahan lancar dapat dilalui truk. Petani mendapatkan kredit modal kerja berupa bibit, pupuk, herbisida/pestisida, dan biaya tenaga kerja dari bank melalui PTPN VII Unit Usaha Bungamayang dengan kewajiban membayar bunga kredit per tahun pada saat bagi hasil. Pada kemitraan TRB, hubungan kemitraan diawali dengan pengajuan permohonan bermitra dengan PTPN VII Unit Usaha Bungamayang selaku pabrik gula tanpa kredit. Pabrik gula akan melakukan melihat keberadaan lahan garapan apakah sesuai atau tidak untuk mengadakan kemitraan. Petani anggota TRB boleh melakukan sewa lahan dengan pihak lain dan apabila akses ke lahan sulit dijangkau petani masih boleh mengikuti program TRB. Petani tebu anggota TRB mengusahakan sendiri segala keperluan usahataninya mulai dari bibit, pupuk, herbisida/pestisida, dan tenaga kerja. Sriati et al. (2008) dalam penelitiannya memberikan perbandingan antara petani TRK dan TRB sebagai berikut: a.
Hak dan Kewajiban Petani Tebu Rakyat Kredit dan Bebas
Hak yang diperoleh sebagai petani TRK yaitu: (1) mendapatkan paket kredit bank melalui PTPN VII Unit Usaha Bungamayang sesuai luas garapan yang telah disetujui, (2) memperoleh 66 persen gula hasil tebu yang diolah, tetes
23
2.5 persen dan natura 10 persen, (3) memperoleh bimbingan dan pengarahan dari mandor PTPN VII Unit Usaha Bungamayang dalam berusahatani tebu, (4) dijamin dalam pengembalian kredit oleh PTPN VII Unit Usaha Bungamayang, dan (5) mengetahui jadwal penebangan, jumlah tebu yang dihasilkan, dan rendemen tebu. Hak yang diperoleh sebagai petani TRB yaitu: (1) memperoleh 65 persen gula hasil tebu yang diolah, (2) memperoleh bimbingan dan pengarahan dari mandor terutama pada masalah dalam usahataninya, dan (3) mengetahui jadwal penebangan, jumlah tebu yang dihasilkan, serta rendemen tebu. Kewajiban yang harus dipenuhi para petani Tebu Rakyat Kredit (TRK), yaitu: (1) mengelola usahatani tebu sebaik-baiknya dan mematuhi bimbingan yang dilakukan oleh PTPN VII Unit Usaha Bungamayang, (2) menyerahkan semua hasil usahatani tebunya kepada PTPN VII Unit Usaha Bungamayang selaku pabrik gula, (3) mengembalikan bunga kredit setelah selesai giling dan membayar biaya tebang angkut, (4) menyarahkan fotokopi bukti kepemilikan lahan. Kewajiban yang harus dipenuhi petani tebu rakyat bebas (TRB), yaitu : (1) mengelola usahatani dengan baik, tidak harus mengikuti bimbingan yang dilakukan oleh PTPN VII Unit Usaha Bungamayang, (2) diperbolehkan untuk menyerahkan sebagian atau seluruh hasil usahatani tebunya kepada PTPN VII Unit Usaha Bungamayang. TRB juga hanya membayar biaya tebang angkut setelah selesai giling. b.
Hak dan Kewajiban PTPN VII Unit Usaha Bungamayang PTPN VII Unit Usaha Bungamayang dalam kemitraannya dengan petani
tebu anggota TRK dan TRB selaku pabrik gula juga memiliki hak dan kewajiban. Hak dan kewajiban ini digunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan hubungan kemitraan ini sehingga berjalan dengan lancar. Pada hubungan kemitraan, hak petani tebu anggota TRK dan TRB merupakan kewajiban PTPN VII Unit Usaha Bungamayang, sedangkan kewajiban petani TRK dan petani TRB merupakan hak dari PTPN VII Unit Usaha Bungamayang. c.
Kemitraan dalam Hal Pengolahan Proses pengolahan tebu menjadi gula pasir merupakan rangkaian proses
sejak diterimanya bahan baku dari kebun sampai menjadi produk gula. Penentuan waktu tebang dan pengangkutan hasil sampai ke tempat timbangan pabrik gula
24
dilakukan dengan musyawarah oleh pabrik gula dengan petani tebu anggota TRK dan TRB. Hasil penelitian menunjukkan, dalam hal penebangan dan pengangkutan sampai pengolahan terdapat perbedaan antara petani tebu anggota TRK dan petani tebu anggota TRB Tebu hasil usahatani TRK ditimbang di penimbangan pabrik gula dan petani ikut menyaksikan proses penimbangan, lalu dilakukan penetapan rendemen yang dilakukan oleh laboraturium pabrik (rendemen sementara), disaksikan oleh wakil petani. Rendemen tebu ditentukan untuk setiap lahan garapan. Petani TRK wajib menyerahkan seluruh hasil tebunya ke pabrik gula dan pabrik gula wajib menerima dan mengolah tebu tersebut. Petani anggota TRK tidak diperkenankan menyerahkan tebunya ke pabrik gula lain yang bukan mitranya Tebu hasil usahatani TRB ditimbang di penimbangan PG dan petani menyaksikan proses penimbangan, lalu dilakukan penetapan rendemen yang dilakukan oleh laboraturium pabrik gula, disaksikan oleh wakil petani. Rendemen tebu ditentukan dengan menggunakan sistem rendemen rata-rata. Petani TRB menyerahkan tebu sesuai dengan yang mereka inginkan untuk diolah menjadi gula. Namun dalam hal ini pabrik gula akan lebih mengutamakan mengolah tebu TRK terlebih dahulu baru TRB. Hasil
analisis
chi-square
untuk
mengetahui
faktor-faktor
yang
berhubungan dengan keputusan petani menjadi anggota TRK dalam penelitian ini menunjukkan bahwa modal, akses ke lahan, dan pengalaman merupakan faktor yang mempengaruhi petani untuk menjalin kemitraan dengan PTPN VII Unit Usaha Bungamayang. Sedangkan dari hasil analisis pendapatan tani menunjukkan bahwa pendapatan rata-rata petani TRK lebih besar dari pendapatan rata-rata petani TRB yaitu Rp 15 969 443.23 untuk petani TRK dan Rp 13 591 636.84 untuk petani TRB. Demikian pula dengan nilai imbangan penerimaan dan biaya (R/C) usahatani tebu yang menunjukkan nilai yang lebih besar dari satu yang berarti usahatani menguntungkan. Penelitian yang dilakukan oleh Sriati et al. (2008) tidak menganalisis sampai tahap tingkat efisiensi baik efisiensi petani Tebu Rakyat Kredit (TRK) maupun Tebu Rakyat Bebas (TRB).
25
III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Teoritis 3.1.1. Konsep Usahatani Ilmu usahatani menurut Soekarwati (2002) adalah ilmu yang mempelajari bagaimana cara-cara petani memperoleh dan mengkombinasikan sumberdaya (lahan, tenaga kerja, modal, waktu dan pengolahan) yang terbatas untuk mencapai tujuannya. Suratiyah (2008) menjelaskan bahwa ilmu usahatani adalah ilmu yang mempelajari bagaimana seseorang mengusahakan dan mengkoordinir faktor-faktor produksi berupa lahan dan alam sekitarnya sebagai modal sehingga memberikan manfaat yang sebaik-baiknya. Hernanto (1996) menjelaskan bahwa terdapat empat unsur pokok faktor-faktor produksi dalam usahatani, yaitu : 1.
Lahan Lahan merupakan faktor yang relatif langka dibanding dengan faktor
produksi lain serta distribusi penguasaannya tidak merata di masyarakat. Oleh karena itu, lahan memiliki beberapa sifat, di antaranya adalah : luasnya relatif atau dianggap tetap, tidak dapat dipindah-pindahkan, dan dapat dipindahtangankan atau diperjualbelikan. Lahan usahatani dapat diperoleh dengan cara membeli, menyewa, membuka lahan sendiri, wakaf, menyakap atau pemberian negara. 2.
Tenaga Kerja Tenaga kerja merupakan pelaku dalam usahatani yang bertugas
menyelesaikan berbagai macam kegiatan produksi. Dalam usahatani, tenaga kerja dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu : tenaga kerja manusia, tenaga kerja ternak, dan tenaga kerja mekanik. Tenaga kerja manusia digolongkan menjadi tenaga kerja pria, wanita, dan anak-anak. Tenaga kerja manusia dapat mengerjakan semua jenis pekerjaan usahatani didasari oleh tingkat kemampuannya. Kualitas kerja manusia sangat dipengaruhi oleh umur, pendidikan, keterampilan, pengalaman, tingkat kesehatan, dan lain-lain. Oleh karena itu, dalam kegiatan usahatani digunakan satuan ukuran yang umum untuk mengatur tenaga kerja yaitu jumlah jam dan hari kerja total. Ukuran ini menghitung seluruh pencurahan kerja mulai dari persiapan hingga pemanenan dengan menggunakan inventarisasi jam kerja (1 hari = 7 jam kerja) lalu dijadikan hari kerja total (HK total). Tenaga kerja
26
manusia dapat diperoleh dari dalam dan luar keluarga. Tenaga kerja ternak sering digunakan untuk pengolahan tanah dan angkutan. Begitu pula dengan tenaga kerja mekanik sering digunakan untuk pengolahan tanah, penanaman, pengendalian hama, serta pemanenan 3.
Modal Modal merupakan barang atau uang yang bersama-sama dengan faktor
produksi lain menghasilkan produk pertanian. Menurut sifatnya modal dibedakan menjadi dua yaitu modal tetap dan modal tidak tetap. Penggunaan modal berfungsi untuk membantu meningkatkan produktivitas dan menciptakan kekayaan serta pendapatan usahatani. Modal dalam suatu usahatani untuk membeli sarana produksi serta pengeluaran selama kegiatan usahatani berlangsung. Sumber modal dapat diperoleh dari milik sendiri, pinjaman atau kredit, warisan, usaha lain, atau kontrak sewa. 4.
Manajemen Manajemen usahatani adalah kemampuan petani untuk menentukan,
mengorganisir,
dan
mengkoordinasikan
faktor-faktor
produksi
dengan
sebaik-baiknya sehingga mampu memberikan produksi pertanian sebagaimana yang diharapkan. Dengan demikian, pengenalan secara utuh faktor yang dimiliki dan faktor yang dikuasai akan sangat menentukan keberhasilan pengelolaan.
3.1.2. Pendapatan Usahatani Pendapatan usahatani merupakan hasil pengurangan antara penerimaan total dari kegiatan usahatani dengan biaya usahatani, dimana besar pendapatan sangat tergantung pada besarnya penerimaan dan biaya usahatani tersebut dalam jangka waktu tertentu. Analisis pendapatan usahatani dilakukan untuk mengetahui keberhasilan usahatani dilihat dari pendapatan yang diterima. Pendapatan yang semakin besar mencerminkan keberhasilan petani yang semakin baik. Dengan dilakukannya analisis tersebut, petani dapat melakukan perencanaan kegiatan usahatani yang lebih baik di masa yang akan datang. Soekartawi et al. (1986) menjelaskan bahwa terdapat beberapa istilah yang dipergunakan dalam menganalisis pendapatan usahatani, yaitu :
27
1.
Penerimaan tunai usahatani merupakan nilai yang diterima dari penjualan produk usahatani.
2.
Pengeluaran tunai usahatani adalah jumlah uang yang dibayarkan untuk pembelian barang dan jasa bagi usahatani.
3.
Pendapatan tunai usahatani adalah produk usahatani dalam jangka waktu tertentu, baik yang dijual maupun yang tidak dijual.
4.
Pengeluaran total usahatani merupakan nilai semua yang habis terpakai atau dikeluarkan dalam kegiatan produksi termasuk biaya yang diperhitungkan.
5.
Pendapatan total usahatani adalah selisih antara penerimaan kotor usahatani dengan pengeluaran total usahatani. Dalam melakukan analisis usahatani, diperlukan data-data yang terkait
dengan penerimaan dan biaya usahatani selama jangka waktu tertentu. Penerimaan usahatani adalah hasil perkalian antara jumlah produksi yang diperoleh dengan harga jual dari hasil produksi tersebut selama jangka waktu tertentu. Sedangkan biaya usahatani adalah total pengeluaran petani yang dikeluarkan untuk kegiatan usahatani selama jangka waktu tertentu. Biaya usahatani diklasifikasikan menjadi dua, yaitu biaya tetap (fixed cost) dan biaya variabel (variable cost). Biaya tetap didefinisikan sebagai biaya yang jumlahnya tetap dan dikeluarkan terus menerus tanpa terpengaruh oleh faktor-faktor produksi yang digunakan dan jumlah produk yang dihasilkan. Sementara biaya variabel didefinisikan sebagai biaya yang jumlahnya dipengaruhi oleh faktor-faktor produksi yang digunakan dan jumlah produk yang dihasilkan. Pendapatan usahatani terbagi menjadi pendapatan tunai usahatani dan pendapatan total usahatani. Pendapatan tunai usahatani merupakan selisih antara penerimaan usahatani dengan biaya tunai usahatani. Sedangkan pendapatan total usahatani mengukur pendapatan kerja petani dari seluruh biaya usahatani yang dikeluarkan. Pendapatan bersih usahatani diperoleh dari selisih penerimaan usahatani dengan biaya total usahatani. Analisis R/C rasio merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengetahui pendapatan usahatani. Dengan dilakukannya analisis R/C rasio, maka akan diketahui besar penerimaan usahatani yang diperoleh petani untuk setiap satuan biaya yang dikeluarkan dalam kegiatan usahatani. Nilai R/C rasio
28
yang dihasilkan dapat bernilai lebih satu atau kurang dari satu. Jika nilai R/C rasio lebih besar dari satu, maka setiap tambahan biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan tambahan penerimaan yang lebih besar daripada tambahan biaya tersebut. Sebaliknya jika nilai R/C rasio lebih kecil dari satu, maka setiap tambahan biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan tambahan penerimaan yang lebih kecil daripada tambahan biaya tersebut. Sedangkan jika nilai R/C rasio sama dengan satu, maka tambahan biaya yang dikeluarkan akan sama besar dengan tambahan penerimaan yang didapat, sehingga diperoleh keuntungan normal. Pada dasarnya semakin besar nilai R/C rasio yang didapat menggambarkan semakin besarnya penerimaan usahatani yang diperoleh untuk setiap satuan biaya yang dikeluarkan. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan usahatani tersebut layak dan menguntungkan untuk dilakukan. 3.1.3. Konsep Efisiensi Farrell (1957) menjabarkan konsep efisiensi pada tiga pengertian, yaitu efisiensi teknis, efisiensi alokatif (harga) dan efisiensi ekonomis. Efisiensi teknis mencerminkan kemampuan petani untuk memperoleh output maksimal dari sejumlah input tertentu. Seorang petani dikatakan lebih efisien secara teknis dari petani lain jika petani tersebut dapat menghasilkan output lebih besar pada tingkat penggunaan teknologi produksi yang sama. Petani yang menggunakan input lebih kecil pada tingkat teknologi produksi yang sama, juga dikatakan lebih efisien dari petani lain jika menghasilkan output yang sama besarnya (Bakhsloodeh dan Thomson, 2001). Efisiensi alokatif mencerminkan kemampuan petani untuk menggunakan input dengan proporsi yang optimal pada masing-masing tingkat harga input dan teknologi yang dimiliki sehingga produksi dan pendapatan yang diperoleh maksimal, karena pada dasarnya tujuan petani dalam mengelola usahataninya adalah untuk meningkatkan produksi dan pendapatan. Tingkat produksi dan pendapatan usahatani sangat ditentukan oleh efisiensi petani dalam mengaloksikan sumberdaya yang dimilikinya ke dalam berbagai alternatif aktivitas produksi. Kedua ukuran efisiensi tersebut bila digabungkan menghasilkan ukuran efisiensi ekonomis total yaitu kemampuan menghasilkan produksi yang tinggi dengan biaya produksi yang dapat ditekan serta menjual produksi dengan harga tinggi. Secara secara lebih sederhana efisiensi ekonomis
29
dapat diukur dengan kriteria keuntungan maksimum dan kriteria biaya minimum (Sugianto, 1982). Dalam mengelola usahataninya, petani mungkin saja melakukan penyimpangan-penyimpangan
yang
menimbulkan
konsekuensi
dalam
usahataninya. Penyimpangan-penyimpangan tersebut biasanya terkait erat dengan manajerial petani. Ada banyak faktor yang mempengaruhi tidak tercapainya efisiensi (terjadinya inefisiensi). Penentuan sumber dari inefisiensi ini tidak hanya memberikan inforrnasi tentang sumber-sumber potensial yang inefisien, tetapi juga saran terhadap kebijakan meningkatkan atau mengurangi untuk mencapai tingkat efisiensi total. Efisiensi teknis dianggap sebagai kemampuan untuk berproduksi pada isoquant batas. Sebaliknya inefisiensi teknis mengacu pada penyimpangan dari isoquant
batas. Sedangkan efisiensi alokatif mengacu pada kemampuan
untuk memproduksi pada tingkat output tertentu dengan menggunakan rasio input pada biaya yang minimum. Sebaliknya inefisien alokatif mengacu pada penyimpangan dari rasio input pada biaya minimum. Konsep efisiensi dapat didekati dari dua sisi yaitu dari sisi alokasi penggunaa input dan dari sisi output yang dihasilkan. Pendekatan dari sisi input yang dikemukakan oleh Farrell (1957) yang diilustrasikan pada Gambar 1. X2/y
P S
A Q R Q’ S’ 0
A’
X1/y
Sumber: Coelli et al., l998
Gambar 1. Konsep Efisiensi Orientasi Input Kurva SS’ merupakan isoquant frontier yang menunjukkan kombinasi input X1 dan X2 yang efisien secara teknis untuk menghasilkan output Y. Titik P dan Q menggambarkan dua perusahaan yang berbeda yang menggunakan
30
kombinasi input dengan proporsi input X1 dan X2 yang sama. Keduanya berada pada garis yang sama dari Titik 0 untuk memproduksi satu unit Y. Titik P berada diatas kurva isoquant sedangkan Q menunjukkan perusahaan yang beroperasi pada kondisi efisien secara teknis. Titik Q juga menunjukkan bahwa perusahaan memproduksi sejumlah output yang sama dengan perusahaan di Titik P, tetapi dengan jumlah input yang lebih sedikit. Berdasarkan hal tersebut, maka efsiensi teknis dapat dilihat dari rasio 0Q/0P yang menunjukkan proporsi dimana kombinasi input pada P dapat diturunkan dengan rasio X1/X2 konstan, sedangkan output tetap (Farrell, 1957). Efisiensi alokatif (AE) dapat ditentukan jika harga input diketahui. Garis isocost AA’ digambarkan menyinggung isoquant SS’ di Titik Q’ dan memotong garis 0P di Titik R. Titik R menunjukkan rasio input-output optimal yang meminimumkan biaya produksi pada tingkat output tertentu karena slope isoquant sama dengan slope garis isocost. Titik Q secara teknis efisien tetapi secara alokatif inefisien karena perusahaan di Titik Q berproduksi pada tingkat biaya yang lebih tinggi daripada di Titik Q’. Jarak 0R-0Q menunjukkan penurunan biaya produksi jika produksi terjadi di Titik Q’ (secara alokatif dan teknis efisien) sehingga efisiensi alokatif (AE) untuk perusahaan yang beroperasi di Titik P adalah rasio 0R/0Q. Berdasarkan konsep Farrell (1957), ukuran efisiensi teknis dirumuskan sebagai berikut: TE = 0Q/0P ...................................................................................... (3.1) Sedangkan ukuran efisiensi alokatif dapat diperoleh melalui persamaan berikut: AE = 0R/0Q ..................................................................................... (3.2) Efisiensi ekonomis merupakan gabungan dari efisiensi teknis dan efisiensi alokatif. Secara matematis, efisiensi ekonomis dinyatakan melalui persamaan berikut: EE = TE x AE = (0Q/0P)x (0R/0Q) = (0R/0P) ................................. (3.3) Pengukuran efisiensi teknis dari sisi input merupakan rasio dari input atau biaya batas (frontier) terhadap input atau biaya observasinya. Bentuk umum dari ukuran efisiensi teknis oleh observasi ke-i pada waktu ke-t didefinisikan sebagai berikut (Coelli, 1996): TE=
E Y* Ui , Xi E Y* Ui = 0,Xi
=E exp (-Ui )/εi …………………………………..(3.4)
31
Dimana nilai TE antara 0 dan 1, atau 0 ≤ TE ≤ 1 Dengan mengasumsikan bahwa sebuah perusahaan atau usahatani dalam mencapai keuntungan harus mengalokasikan biaya secara minimum dari input yang ada, atau berarti sebuah usahatani berhasil mencapai efisiensi alokatif. Dengan demikian akhirnya akan diperoleh fungsi biaya dual sebagai berikut: C = C (yi, рi, βi) + µi
....................................................................... (3.5)
Dimana: C
= biaya produksi
yi
= jumlah output
рi
= harga input
βi
= koefisien parameter
µi
= error term (efek inefisiensi biaya) Jondrow et al. (1982) mendefinisikan efisiensi secara ekonomi sebagai
rasio total biaya produksi minimum yang diobservasi (C*) dengan total biaya produksi aktual (C). C*
EE =
C
=
E Ci µi = 0, Yi,Pi E Ci µi = Yi ,Pi
= E[exp (Ui / ε)] ........................................ (3.6)
dimana EE similar 0 ≤ EE ≤ 1. Efisiensi secara ekonomi merupakan gambaran gabungan dari efisiensi teknis dan alokatif. Konsep efisiensi melalui pendekatan output diilustrasikan menggunakan Kurva Kemungkinan Produksi (KKP) dengan simbol ZZ’ pada Gambar 2. y2/x D
C Z B B’ A
D’ 0
Z`
Sumber: Coelli et al., 1998
Gambar 2. Konsep Efisiensi Orientasi Output
y1/x
32
Titik A menunjukkan petani berada dalam kondisi inefisien. Ruas garis AB menggambarkan kondisi yang inefisien secara teknis. Berkenaan dengan kondisi tersebut, pada pendekatan ini efisiensi teknis didefinisikan sebagai: TE = 0A/0B ..................................................................................... (3.7) Dengan adanya informasi harga output yang digambarkan oleh garis isorevenue DD' maka efisiensi alokatif ditulis dalam bentuk : AE = 0B/0C ..................................................................................... (3.8) Sedangkan kondisi efisiensi ekonomis ditunjukkan oleh: EE = TE x AE = (0A/0B) x (0B/0C) = 0A/0C ................................... (3.9) Nilai ketiga efisiensi ini berkisar antara 0-1. Pembahasan mengenai efisiensi tidak lepas dari konsep utama teori ekonomi produksi yaitu fungsi produksi. Fungsi produksi merupakan hubungan teknis antara faktor produksi atau input dengan keluaran produksi atau output (Soekartawi, 2002). Fungsi produksi digunakan untuk menentukan output maksimum yang dihasilkan dengan sejumlah input. Secara matematis bentuk umum fungsi produksi dapat dirumuskan sebagai berikut: Y = f (X1, X2, X3,…Xn)
….………………………………………...(3.10)
Dimana Y merupakan jumlah produksi yang dihasilkan atau output dari penggunaan masukan input, sedangkan X1, X2, X3,…Xn merupakan faktor-faktor produksi atau input yang digunakan untuk menghasilkan output. Model fungsi produksi seperti ini belum dapat menerangkan hubungan output dan input secara kuantitatif. Untuk itu fungsi produksi harus dinyatakan dalam bentuk yang spesifik sesuai dengan sifat hubungan input-output dari proses produksi yang bersangkutan Beberapa karakteristik fungsi produksi yaitu: (1) fungsi produksi merupakan fungsi kontinyu (bukan diskrit) atau limit mendekati nol, (2) fungsi produksi bernilai tunggal (single value) yaitu setiap input berpasangan dengan setiap output tertentu, (3) turunan pertama dan kedua bersifat kontinyu, nilai yang dipakai positif = Q = f(X1), dimana Q dan X1>0, dan (4) fungsi produksi cembung (convect) dengan titik nol. Asumsi dasar yang dibangun fungsi produksi yaitu pengusaha
berusaha
mencari
keuntungan
sebesar-besarnya
dengan
memaksimumkan output dan mengoptimumkan penggunaan faktor produksi.
33
3.1.4. Metode Pengukuran Efisiensi Pada pembahasan tentang metode pengukuran efisiensi, ada dua konsep fungsi produksi yang perlu diperjelas perbedaannya. Kedua fungsi produksi tersebut adalah fungsi produksi batas (frontier production function) dan fungsi produksi rata-rata (average production function). Pada Gambar 3 dapat dilihat perbedaan fungsi produksi batas dengan f'ungsi produksi rata-rata. Y
Y
X
X a.
Produksi Batas
b.
Produksi Rata-Rata
Keterangan: Y= output, X = input Sumber: King, 1980
Gambar 3. Perbedaan Produksi Batas dengan Produksi Rata-rata Produksi batas merupakan suatu fungsi yang menunjukkan kemungkinan produksi tertinggi yang dapat dicapai oleh petani dengan menggunakan faktor produksi tertentu pada tingkat teknologi tertentu. Dengan kata lain, produksi batas (frontier) dapat menunjukkan tingkat produksi potensial yang mungkin dicapai oleh petani dengan manajemen yang baik. Produksi frontier ini digambarkan dengan menghubungkan titik output memaksimumkan untuk setiap tingkat input. Berdasarkan pengertian produksi batas dari Gambar 3a dapat dikatakan bahwa usahatani yang berproduksi di sepanjang kurva berarti telah berproduksi secara efisien karena untuk sejumlah kombinasi input tertentu dapat diperoleh jumlah output yang maksimum. Sedangkan untuk pengertian produksi rata-rata pada Gambar 3b, usahatani yang berproduksi di sepanjang kurva belum tentu yang paling efisien karena kemungkinan ada usahatani yang mampu berproduksi di atas kurva atau lebih besar dari produksi rata-ratanya.
34
Metode pengukuran efisiensi antara produksi batas dan produksi rata-rata, juga berbeda. Metode pengukuran efisiensi untuk produksi rata-rata sebagian besar menggunakan metode ekonometrika, terutama metode Ordinary Least Squares (OLS). Pengukuran efisiensi melalui pendekatan produksi rata-rata hanya dapat mengidentifikasi perubahan teknologi dan skala usaha (Simatupang, 1996), dimana perubahan efisiensi teknis tidak dapat diidentifikasi. Disamping itu, perubahan teknologi yang diperoleh dari pendugaan fungsi produksi rata-rata tidak dapat memisahkan perubahan teknologi murni dengan random shock (Wahida, 2005). Metode pengukuran efisiensi untuk produksi batas (frontier) secara umum dapat dilakukan dengan menggunakan dua pendekatan (Chen et al., 2003) yaitu : 1.
Non parametric piece wise linier technology. Contoh pengukuran pada pendekatan ini adalah Data Envelopment Analysis (DEA). Pendekatan ini mudah terkena kesalahan dalam pengukuran (measurement error).
2.
Parametric function contohnya stochastic frontier. Model ini membiarkan adanya sifat acak (noise) dari hubungan antar input di dalam produksi. Oleh karena itu, hasil yang diperoleh lebih akurat di dalam mengukur kesalahan pengukuran, seperti misalnya kondisi iklim dan faktor pengganggu lainnya. Dari kedua metode pengukuran di tersebut, dipilih metode produksi frontier
untuk digunakan dalam penelitian ini. Pemilihan tersebut didasarkan pada kelebihan dan keterbatasan masing-masing metode pengukuran yang disesuaikan dengan tujuan penelitian yang telah ditetapkan, dengan harapan hasil yang diperoleh valid, yaitu sesuai dengan kondisi lapang usahatani yang sebenarnya. Metode pengukuran efisiensi untuk produksi batas dengan menggunakan pendekatan non-parametric akan mudah terkena kesalahan dalam pengukuran (measurement error). Sedangkan dalam proses pengambilan data di lapangan faktor kesalahan sangat tinggi sehingga untuk mengakomodir error term dari data maka digunakan pendekatan parametric yaitu dengan menggunakan metode pengukuran stochastic frontier. Stochastic frontier merupakan pengembangan dari deterministic frontier. Oleh karena itu sebelum dijabarkan terhadap metode stochastic frontier akan dijelaskan terlebih dahulu mengenai deterministic frontier. Model fungsi produksi deterministic frontier dinyatakan sebagai berikut:
35
γi =f (xi ; β)e-µi i= 1,2,3,…………..…………………………………..(3.11) dimana β adalah parameter yang dicari nilai dugaannya dan ui .adalah variabel acak yang tidak bernilai negatif yang diasosiasikan dengan faktor-faktor spesifik perusahaan yang memberikan kontribusi terhadap titik tercapainya efisiensi maksimal dari proses produksi (Battese, 1992). Kelemahan dari model produksi deterministic frontier ini adalah tidak dapat menguraikan komponen residual ui menjadi pengaruh efisiensi dan pengaruh eksternal yang tidak tertangkap (random shock). Akibatnya inefisiensi teknis cenderung bernilai tinggi, karena dipengaruhi sekaligus oleh dua komponen error yang tidak terpisah. Kesalahan atau ketidaksempurnaan dalam spesitikasi model juga ikut mewujudkan peningkatan ukuran inefisiensi (Kebede, 2001). Berbeda dengan deterministic frontier, dalam metode pengukuran stochastic fontier komponen residual dapat diurai menjadi pengaruh efisiensi serta pengaruh eksternal yang tak terduga (stochastic effect). Hal ini juga di dukung oleh kenyataannya di lapangan bahwa petani dalam berusahatani sering melakukan penyimpangan-penyimpangan yang membawa konsekuensi pada usahataninya. Tindakan penyimpangan tersebut merupakan gambaran kemampuan manajerial petani. Sedangkan kemampuan manajerial terkait erat dengan efek inefisiensi dalam usahatani. Model fungsi produksi stochastic frontier secara umum sebagai berikut: ln γt = β0 + ∑ni=1 βi ln χji + ϵi
…...……………………………..…….(3.12)
Stochastic frontier disebut juga “composed error model '' karena error term terdiri dari dua unsur, yaitu: ϵi =
−
…………………………………………………….…..(3.13)
dimana: i
= 1…,n variable
ϵi
= specific error term dari observasi ke i = ukuran kesalahan dan faktor-faktor di luar kontrol petani (eksternal) seperti iklim, hama dan penyakit yang disebut sebagai gangguan statistik = one side disturbance yangg berfungsi untuk menangkap efek inefisiensi
Sebagaimana disajikan oleh Aigner et al. (1977), persamaan fungsi produksi stochastic frontier ditulis sebagai berikut:
36
ln Υit = βΧit + (
−
)
i = 1,2,…n
…….………….…………..(3.14)
dimana: Υit
= produksi yang dihasilkan petani-i pada waktu-t
Χit
= vektor masukan yang digunakan petani-i pada waktu-t
βit
= vektor parameter yang akan diestimasi = variabel acak yang berkaitan dengan faktor-faktor eksternal (iklim, hama) = variable acak non negatif dan diasumsikan mempengaruhi tingkat inefisiensi teknis dan berkaitan dengan faktor-faktor internal Komponen galat (error) yang sifatnya internal (dapat dikendalikan petani)
dan lazimnya berkaitan dengan kapabilitas manajerial petani dalam mengelola usahataninya direfleksikan oleh ui. Komponen ini sebarannya asimetris (one sided) yakni
>0 . Jika proses produksi berlangsung efisien (sempurna) maka keluaran
yang dihasilkan berimpit dengan potensi maksimalnya, yaitu 0. Sebaliknya Jika > 0 berarti produksi berada di bawah potensi maksimumnya. Mahadevan (2002) menyatakan bahwa penggunaan metode fungsi produksi stochastic frontier karena fungsi stochastic frontier memungkinkan: (1) pergeseran non-neutral yang disebabkan oleh perubahan marginal rate substitution faktor produksi. Kondisi ini memungkinkan seorang produsen memperoleh hasil produksi yang berbeda meskipun dengan penggunaan input yang sama sebagai akibat penggunaan metode produksi yang berbeda, (2) adanya variasi proses produksi yang akan berimplikasi terhadap variasi efisiensi teknis produsen, menyebabkan tidak perlu adanya asumsi distribusi normal kondisi efisiensi teknis antar produsen. Banyak faktor yang mempengaruhi tidak tercapainya efisiensi teknis dalam produksi. Penentuan sumber inefisiensi teknis ini tidak hanya memberikan informasi tentang sumber potensial dari inefisiensi, tetapi juga saran bagi kebijakan yang harus diterapkan atau dihilangkan untuk mencapai tingkat efisiensi total (Indrayani, 2011). Daryanto (2000) mengungkapkan bahwa ada dua pendekatan alternatif untuk menguji sumber-sumber dari efisiensi teknis. Pendekatan pertama adalah prosedur dua tahap. Tahap pertama menyangkut pendugaan terhadap skor efisiensi (efek inefisiensi) bagi individu perusahaan. Tahap kedua menyangkut pendugaan model regresi dimana skor efisiensi (inefisiensi dugaan) dinyatakan sebagai fungsi dari variabel sosial ekonomi yang diasumsikan mempengaruhi efek inefisiensi.
37
Pendekatan kedua adalah prosedur satu tahap dimana efek inefisiensi dalam stochastic frontier dimodelkan dalam bentuk variabel yang dianggap relevan dalam menjelaskan inefisiensi di dalam proses produksi. Menurut Coelli et al. (1998), prosedur dua tahap menimbulkan kontradiksi dengan asumsi yang dikemukakan dalam model stochastic frontier. Pada tahap pertama ui diasumsikan terdistribusi secara identik, namun pada tahap kedua ui dugaan dibolehkan menjadi fungsi dari variabel penjelas dan inefisiensi. Battese dan Coelli mengatasi hal ini dengan mengukur parameter dari fungsi produksi stochastic frontier dan model inefisiesi teknis secara simultan, dimana efek i inefisiensi teknis bersifat stochastic. Model efek inefisiensi teknis diasumsikan bebas dan distribusinya terpotong normal dengan variabel acak yang tidak negatif. Untuk usahatani ke-i dan tahun ke-i, efek inefsiensi teknis tersebut diperoleh dengan pemotongan terhadap distribusi N ( = Zit δ
,σ) dengan rumus:
……………………………………………………………….(3.15)
Dimana: = disterbunce term yang menangkap efek inefisiensi Zit
= variabel penjelas yang merupakan vektor dugaan ukuran (l x M) yang nilainya konstan
δ
= parameter skalar yang dicari nilainya dengan ukuran (M x 1) Sementara itu, seperti dikemukakan dalam penjelasan sebelumnya bahwa
efisiensi dari suatu proses produksi ditentukan oleh efisiensi teknis dan efisiensi alokatif. Sedangkan dengan menggunakan fungsi produksi frontier hanya dapat mendeteksi efisiensi teknis saja. Di samping itu, Kopp dan Diewert (1982) juga menunjukkan adanya masalah multikolinieritas apabila langsung dengan fungsi produksi frontier primal. Untuk mengatasi masalah ini Kopp dan Diewert telah mengembangkan konsep efisiensi Farrell menjadi konsep efisiensi dual (Taylor et al., 1986), sehingga dengan demikian efisiensi teknis dan efisiensi alokatif dapat diperoleh sekaligus dengan menggunakan fungsi produksi frontier dan fungsi biaya frontier dualnya dan usahatani yang bersangkutan. Pengukuran efisisesi teknis, alokatif dan ekonomis dengan menggunakan kedua pendekatan (orientasi input dan orientasi output) tersebut secara terintegrasi, membutuhkan sebuah fungsi produksi yang bersifat homogen. Fungsi produksi
38
yang memenuhi kriteria homogenitas adalah fungsi produksi Cobb Douglas. Hendarson dan Quandt (1980) mengemukakan bahwa fungsi produksi homogen memiliki jalur ekspansi usaha (expantion path) yang berbentuk garis lurus. Pada titik-titik di jalur ekspansi usaha tersebut, nilai subtitusi teknis (rate technical subtitution) sama dengan rasio harga-harga input dan bernilai konstan. 3.1.5. Fungsi Produksi Cobb Douglas Secara umum persamaan matematik dari fungsi Cobb Douglas dapat dirumuskan sebagai berikut: Y
u … Xbn n e ..................................................... ..(3.16)
= b0 X X X
Fungsi Cobb Douglas dapat ditransformasikan kedalam bentuk linear logaritmik untuk memudahkan sehingga fungsi produksi tersebut menjadi: Ln Y = Ln b0+b1 Ln X1+b2 Ln X2+b3 ln X3+…+ bn Ln Xn + u Ln e..... ..(3.17) Keterangan: Y
= jumlah produksi fisik
b0
= intersep
b1, b2,…,bn
= parameter variabel penduga
X1, X2,…,Xn = faktor-faktor produksi e
= bilangan natural (e = 2.7182)
u
= galat Penggunaan fungsi produksi Cobb Douglas tersebut selain karena adanya
kelebihan dari fungsi produksi Cobb Douglas itu sendiri, juga karena ada kesesuaian asumsi-asumsi fungsi produksi tersebut dengan kondisi di lapangan. Asumsi yang digunakan dalam fungsi Cobb Douglas adalah sebagai berikut: 1.
Tidak ada pengaruh waktu
2.
Masing-masing variabel yang diukur mempunyai nilai yang bervariasi
3.
Teknologi yang digunakan dalam proses produksi adalah seragam
4.
Cara pengelolaan yang sama untuk semua usahatani
5.
Berlaku untuk kelompok usahatani Hubungan
menggunakan
antara
analisis
faktor-faktor regresi
dengan
produksi Ordinary
dan
produksi
Least
Square
dianalisis (OLS).
Asumsi-asumsi yang digunakan dalam metode OLS (Gujarati 1988), antara lain:
39
1.
E (ui |Xi ) = 0, yang berarti rata-rata hitung dari simpangan (deviasi) yang berhibungan dengan setiap Xi tertentu sama dengan nol.
2.
Cov ui , uj =0, i≠j, yang berarti tidak ada autokorelasi atau tidak ada korelasi antara kesalahan pengganggu ui dan uj .
3.
Var (ui |Xi ) = σ , yang berarti setiap error mempunyai varian yang sama atau penyebaran yang sama (homoskedasitas).
4.
Cov (ui , Xi)= 0, yang berarti tidak ada korelasi kesalahan pengganggu dengan setiap variabel yang menjelaskan (Xi ).
5.
N (0; σ ), yang berarti kesalahan pengganggu mengikuti distribusi normal dengan rata-rata nol dan varian σ .
6.
Tidak ada multikolianearitas yang berarti bahwa tidak ada hubungan liniear yang nyata antara variabel-variabel yang menjelaskan. Namun demikian saat fungsi Cobb Douglas diduga dengan menggunakan
metode OLS sering terjadi multikoliniearitas dimana adanya korelasi diantara peubah bebas. Multikolinearitas umumnya disebabkan oleh kecenderungan variabel-variabel ekonomi yang bergerak secara bersamaan. Akibatnya koefisien dugaan tidak stabil (besar dan arah koefisien tidak valid) dan sulit membedakan pengaruh satu variabel dengan variabel lainnya. Menurut Gujarati (1988) untuk mengatasi masalah multikolinearitas adalah dengan menghubungkan data cross-sectional dan data time series, mengeluarkan variabel bebas yang berkorelasi kuat dengan variabel bebas lainnya dan penambahan data baru.
3.2. Kerangka Pemikiran Konseptual Lampung merupakan propinsi penghasil tebu terbesar di luar Pulau Jawa dengan rata-rata produksi tebu mencapai 903 320 ton pada tahun 2009 (Ditjenbun Kementan 2010). Bahkan Lampung termasuk propinsi dengan produktivitas tertinggi di Indonesia, yaitu 97.72 ton perhektar pada tahun 2009 (Ditjenbun Kementan 2010). Akan tetapi, Akan tetapi jika dilihat dari produktivitas berdasarkan pengusahaan, maka besarnya produktivitas tebu di Lampung lebih dikarenakan produktivitas tebu yang dihasilkan oleh perkebunan swasta dibandingkan dengan perkebunan rakyat. Bahkan produktivitas tebu rakyat paling rendah dibandingkan dengan yang lain. Pada kurun waktu 2004-2009, rata-rata
40
produktivitas tebu rakyat hanya 67.81 ton perhektar, lebih kecil dibandingkan dengan produktivitas tebu perkebunan negara yang mencapai 78.75 ton perhektar, dan tebu perkebunan swasta yang mencapai 102.91 ton perhektar (BPS Propinsi Lampung, 2010). Rendahnya produksi dan produktivitas ini pada gilirannya juga akan mengakibatkan rendahnya penerimaan usahatani para petani tebu. Selain itu, rendahnya produktivitas juga mencerminkan efisiensi produksi yang rendah karena petani kurang optimal dalam melakukan budidaya tanamannya. Salah satu cara yang dilakukan untuk meningkatkan produksi maupun produktivitas tebu rakyat adalah dengan mengembangkan kemitraan antara petani tebu dengan pabrik. Kemitraan yang dilakukan berupa penyediaan fasilitas kredit dimana PTPN VII Unit Usaha Bungamayang bertindak sebagai avalis dengan pihak perbankan. Petani yang mengikuti pola kemitraan ini lazim disebut sebagai petani Tebu Rakyat Kredit (TRK). Pola kemitraan lain yang dikembangkan adalah petani Tebu Rakyat Bebas (TRB). Pola ini lebih ditujukan untuk memenuhi kapasitas giling. Akan tetapi kemitraan yang terjadi (TRK) justru menimbulkan masalah antara lain pemberian kredit yang tidak tepat waktu, besarnya kredit yang masih rendah dibandingkan dengan kebutuhan, bunga kredit yang dinilai terlalu besar, dan bagi hasil antara pabrik dan petani yang dinilai kurang memotivasi petani untuk meningkatkan produksi maupun produktivitasnya. Jalinan kemitraan yang diharapkan mampu memotivasi petani untuk meningkatkan produksi tebunya melalui pengadaan input yang lebih baik justru semakin mempersulit kehidupan para petani tebu rakyat itu sendiri. Hal ini karena jumlah produksi yang dihasilkan cenderung tetap tetapi dengan tambahan biaya yang lebih akibat adanya tambahan biaya produksi berupa bunga yang harus dibayarkan sebagai bagian perjanjian pinjaman. Hasil penelitian Sriati et al. (2008) menyimpulkan bahwa faktor akses terhadap kredit merupakan faktor yang mempengaruhi petani untuk menjalin kemitraan dengan PTPN VII Unit Usaha Bungamayang. Jika kredit yang diberikan dipandang kurang menguntungkan bagi petani, maka dikhawatirkan banyak petani yang tidak lagi mau bermitra dengan PTPN VII Unit Usaha Bungamayang. Selain itu, berbagai kendala di atas dikhawatirkan juga berpengaruh terhadap proses produksi petani karena usahatani yang dijalankan menjadi tidak maksimal. Jika pengolahan dan bagi hasil serta
41
pelayanan (fasilitas kredit utamanya) merupakan faktor utama yang menentukan motivasi untuk mengusahakan tebu (Kartikaningsih, 2009), berbagai kendala akan membuat petani kehilangan motivasi untuk mengusahakan tebu dan berpindah ke komoditas lain. Kondisi pada gilirannya kurang menguntungkan bagi PTPN VII Unit Usaha Bungamayang khususnya terkait dengan penyediaan bahan baku produksinya. Oleh karena itu, penelitian ini akan menganalisis pengaruh kemitraan terhadap tingkat pendapatan petani tebu rakyat dan faktor yang mempengaruhi tingkat efisiensi serta pengaruh kemitraan terhadap tingkat efisiensi petani tebu rakyat baik dalam pola tanam non-keprasan maupun keprasan. Hal ini menjadi penting untuk dilakukan karena dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, rendemen yang dihasilkan oleh petani TRB lebih tinggi dibandingkan dengan petani TRK. Kerangka konseptual untuk penelitian lebih lanjut dapat dilihat pada Gambar 4.
Produktivitas Tebu Rakyat yang Rendah
Kemitraan Petani dengan Pabrik Gula
Pola Non-Keprasan
TRK
Pola Keprasan
TRB
TRK
TRB
Analisis Efisiensi Produksi Stochastic Frontier
Analisis Usahatani
Rekomendasi Kebijakan
Gambar 4. Kerangka Pemikiran Konseptual
42
3.3. Hipotesis Penelitian Merujuk pada rumusan permasalahan, tinjauan teori, penelitian terdahulu dan uraian kerangka konseptual di atas maka dapat diformulasikan hipotesis sebagai berikut: 1.
Pendapatan petani keprasan lebih besar dibandingkan dengan petani non-keprasan dan pendapatan petani dengan pola kemitraan TRK lebih besar dibandingkan dengan petani dengan pola kemitraan TRB.
2.
Faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap tingkat efisiensi teknis usahatani tebu adalah luas lahan, bibit, pupuk urea, pupuk TSP, pupuk KCL, pestidida padat, pestisida cair, tenaga kerja, pendidikan formal, pengalaman, dummy pola kemitraan dan ukuran usahatani. Petani pola tanam keprasan diduga lebih efisien dibandingkan dengan petani dengan pola tanam non-keprasan dan petani dengan pola kemitraan TRB diduga lebih efisien dibandingkan dengan petani dengan pola kemitraan TRK.
43
IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian yang dipilih adalah Propinsi Lampung. Pemilihan Propinsi Jawa Lampung dilakukan secara purposive berdasarkan data dari Ditjenbun Kementan (2010), dimana pada tahun 2009 produksi tebu di Lampung mencapai 903 320 ton atau menduduki peringkat kedua setelah Jawa Timur. Selain itu, Lampung merupakan daerah pengembangan tebu yang potensial seiring dengan stagnasinya perkembangan areal perkebunan tebu di Pulau Jawa khususnya Jawa Timur (Malian et al., 2006) Adapun pemilihan sentra tebu rakyat yang dipilih yakni Kabupaten Lampung Utara. Pemilihan Kabupaten Lampung Utara dilakukan secara purposive karena di kabupaten tersebut merupakan daerah yang paling besar dalam pengembangkan komoditi tebu rakyat yaitu seluas 15 995 hektar dengan produksi sebesar 81 350 ton pada tahun 2009 atau 81.78 persen dari total produksi tebu rakyat di Propinsi Lampung (BPS Propinsi Lampung, 2010). Penelitian dilakukan pada bulan Januari sampai dengan bulan Juni 2012.
4.2. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer mencakup karakteristik petani, input serta output usahatani serta data lain yang membantu tercapainya penelitian ini. Pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara dengan bantuan kuesioner. Data primer diperlukan untuk melakukan analisis fungsi produksi dan mengukur tingkat efisiensinya Data sekunder diperoleh dari Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB, Pusdatin Kementerian Pertanian, Ditjenbun Kementerian Pertanian, Badan Pusat Statistik (BPS) Propinsi Lampung, Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Lampung Utara, Dinas Perkebunan Propinsi Lampung, Dinas Perkebunan dan Kehutanan Lampung Utara dan PTPN VII Unit Usaha Bungamayang
44
4.3. Sampel dan Metode Pengambilan Sampel Sampel dalam penelitian ada dua macam, yaitu petani yang tergabung dalam TRK dan petani yang tergabung dalam TRB dengan pola tanam nonkeprasan dan keprasan. Petani TRK adalah para petani yang mendapatkan kredit dari PTPN VII Unit Usaha Bungamayang. Sampel dalam penelitian ada dua macam, yaitu petani yang tergabung dalam TRK dan petani yang tergabung dalam TRB. Populasi dari petani TRK adalah para petani yang mendapatkan kredit dari PTPN VII Unit Usaha Bungamayang. Jumlah petani TRK pada musim tanam 2009/2010 berdasarkan dari data PTPN VII Unit Usaha Bunga Mayang berjumlah 7648 petani yang tersebar di 33 desa. Dengan memperhatikan besarnya populasi dengan keragaman yang tinggi dan tersebar di wilayah yang luas, maka penentuan sampel untuk petani TRK dilakukan dengan menggunakan metode cluster sampling.
Pengklasteran dilakukan menurut
sebaran geografis
sehingga
didapatkan 11 kelompok. Hasil pengklasteran selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13. Pengklasteran Petani Tebu Rakyat Kredit Berdasarkan Sebaran Geografis Kelompok
Desa atau Wilayah
Kelompok 1
Kota Napal;Bima Sakti
Kelompok 2
P. Panggung; Kotanegara; Negara Batin I
Kelompok 3
Negara Ratu; Negara Batin II, Batu Raja, Gedung Batin, Prokimal
Kelompok 4
Tanah Abang
Kelompok 5
Tulang Bawang Baru; Negara Tulang Bawang
Kelompok 6
Sukadana Udik; Sukamaju; Sukadana Ilir
Kelompok 7
Handuyang Ratu; Sumber Agung; Bandar Agung
Kelompok 8
Negeri Ujung Karang; Karang Sari; Karang Mulya; Karang Rejo; Karang Sakti
Kelompok 9
Dorowati; Gedung Jaya; Karang Rejo; Bangun Sari
Kelompok 10
Mulyorejo I; Mulyorejo II; Papan Rejo
Kelompok 11
Bandar Rejo; Iso Rejo
Dari 11 kelompok diatas, kelompok 7 dan 8 tidak dapat diambil sampelnya karena daerah-daerah yang masuk dalam kelompok tersebut sedang terjadi konflik pemilikan lahan sehingga hanya 9 kelompok yang bisa diambil sampelnya. Masing-masing kelompok diambil 5 petani (non-proportional sampling) sehingga jumlah keseluruhan adalah 45 petani. Jumlah sampel sebanyak 45 petani sudah
45
memenuhi batas minimum sampel (30 sampel) yang dapat digunakan untuk menduga karakteristik (variasi) dari populasi (Cooper dan Emory, 1996). Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan metode judgemental sampling. Petani TRB adalah para petani yang tidak mendapatkan fasilitas kredit dari PTPN VII Unit Usaha Bungamayang. Dalam penelitian ini, petani TRB yang akan diambil sampelnya adalah petani TRB yang tergabung dalam koperasi. Penentuan koperasi dilakukan secara purposive, dengan pertimbangan sebagai berikut: 1.
Koperasi terdaftar di Dinas Perkoperasian, Perdagangan dan Industri Lampung Utara.
2.
Koperasi tersebut menyelenggarakan Rapat Anggota Tahunan (RAT) secara rutin.
3.
Koperasi memberikan pinjaman kredit bagi para petani baik yang melalui PMUK maupun dana kredit yang bersumber dari koperasi.
4.
Koperasi mempunyai hubungan dengan PTPN VII Unit Usaha Bungamayang khususnya terkait dengan aktivitas giling. Berdasarkan pertimbangan diatas, maka dipilih dua koperasi yaitu KUT
Sejahtera Utama dan KPTR Manis Sejahtera. Jumlah sampel yang diambil sebanyak 30 petani tebu dengan proporsi 12 petani dari KUT Sejahtera Utama dan 18 petani dari KPTR Manis Sejahtera. Pengambilan sampel dari masing-masing koperasi tersebut dilakukan secara acak sederhana (simple random sampling). Metode yang digunakan dalam pengambilan data yaitu wawancara dengan bantuan kuesioner.
4.4. Metode Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan dan analisis data dilakukan secara deskriptif baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Analisis kualitatif dilakukan untuk mengetahui gambaran umum usahatani tebu dan keragaan usaha tebu baik tebu non-keprasan maupun keprasan yang diusahakan oleh para petani anggota TRB dan TRK di wilayah kerja PTPN VII Unit Usaha Bungamayang. Sementara itu, analisis kuantitatf dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor produksi yang berpengaruh terhadap produksi tebu dan tingkat efisiensi usahatani tebu baik tebu non-keprasan
46
maupun tebu keprasan dengan menggunakan analisis fungsi produksi dan analisis efisiensi usahatani tebu baik pola non-keprasan maupun keprasan. Pengolahan data dengan menggunakan perangkat lunak Microsoft Excell 2007, SAS 9.1, dan Frontier 4.1. Data yang telah diolah selanjutnya disajikan dalam bentuk tabel dan diuraikan secara deskriptif. 4.4.1. Analisis Pendapatan Usahatani Dalam melakukan analisis pendapatan usahatani, perlu dilakukan pencatatan seluruh penerimaan total dan biaya total usahatani dalam satu musim tanam. Penerimaan total adalah nilai produk total dalam jangka waktu tertentu. Biaya total adalah nilai semua input yang dikeluarkan untuk proses produksi. Soekartawi (2002) menjelaskan bahwa pendapatan usahatani dibedakan menjadi pendapatan atas biaya tunai dan biaya total. Pendapatan atas biaya tunai adalah pendapatan atas biaya yang benar-benar dikeluarkan oleh petani. Sedangkan pendapatan atas biaya total adalah penadapatan dimana semua input milik keluarga juga diperhitungkan sebagai biaya. Secara matematis, perhitungan penerimaan total, biaya dan pendapatan dirumuskan sebagai berikut : TR
= Py x Y
TC
= TFC + TVC
π tunai = TRtotal - TCtunai π tunai = TRtotal – ( TCtunai + Bd)41 dimana : TRtotal : Total penerimaan tunai usahatani (Rupiah) TCtunai : Total biaya tunai usahatani (Rupiah) π
: Pendapatan (Rupiah)
Bd
: Biaya yang diperhitungkan (Rupiah)
Py
: Harga output (Rupiah)
Y
: Jumlah output (kg)
TVC
: Total biaya variabel (Rupiah)
TFC
: Total biaya tetap (Rupiah)
Penerimaan usahatani terbagi atas penerimaan tunai dan penerimaan total. Penerimaan tunai merupakan nilai uang yang diterima dari penjualan produk
47
usahatani, yaitu jumlah produk yang dijual dikalikan dengan harga jual produk. Penerimaan total usahatani merupakan keseluruhan nilai produksi usahatani baik dijual, dikonsumsi keluarga dan dijadikan persediaan. Selain itu, biaya usahatani juga dibagi menjadi dua, yaitu biaya tunai dan biaya total. Biaya tunai adalah jumlah uang yang dibayarkan untuk pembelian barang dan jasa bagi kebutuhan usahatani. Sedangkan biaya total adalah seluruh nilai yang dikeluarkan bagi usahatani, baik tunai maupun tidak tunai. Analisis R/C rasio merupakan alat analisis dalam usahatani yang berfungsi untuk mengetahui kelayakan dari kegiatan usahatani yang dilaksanakan dengan membandingkan nilai output terhadap nilai inputnya atau dengan kata lain membandingkan penerimaan usahatani dengan pengeluaran usahataninya. Analisis R/C rasio dilakukan untuk mengetahui besarnya penerimaan yang dihasilkan dari setiap rupiah yang dikeluarkan pada suatu kegiatan usahatani. Jika rasio R/C bernilai lebih dari satu (R/C > 1), maka usahatani layak untuk dilaksanakan. Sebaliknya jika rasio R/C bernilai kurang dari satu (R/C < 1), maka usahatani tersebut tidak layak untuk dilaksanakan. Analisis R/C rasio dilakukan berdasarkan jenis biaya yang dikeluarkan, yaitu biaya tunai dan biaya total. Adapun rumus R/C rasio atas biaya tunai adalah sebagai berikut : R/C atas Biaya Tunai = Sedangkan rumus R/C rasio atas biaya total adalah sebagai berikut: R/C atas Biaya Total = 4.4.2. Model Fungsi Produksi Analisis fungsi produksi digunakan untuk melihat hubungan antara faktorfaktor produksi tebu (variabel terikat) dan produktivitas tebu (variabel bebas). Dalam analisis ini dilakukan analisis fungsi produksi dan analisis regresi untuk mengetahui faktor-faktor produksi tebu terhadap produktivitas tebu baik pada usahatani tebu pola non-keprasan maupun usahatani tebu keprasan. Adapun langkah-langkah dalam menganalisis fungsi produksi adalah sebagai berikut:
48
1.
Identifikasi variabel bebas dan variabel terikat Identifikasi variabel dilakukan dengan mendaftar faktor-faktor produksi
tebu yang digunakan dalam proses produksi tebu, baik tebu non-keprasan maupun tebu keprasan. Faktor-faktor produksi tebu untuk usahatani tebu non-keprasan adalah luas lahan, bibit tebu, pupuk Urea, pupuk TSP, pupuk KCL, pestisida padat, pestisida cair dan tenaga kerja. Sementara itu, untuk usahatani tebu keprasan faktor produksi tebu yang digunakan adalah luas lahan, pupuk Urea, pupuk TSP, pupuk KCL, pestisida padat, pestisida cair dan tenaga kerja. Bibit tidak digunakan dalam hal ini karena petani dalam usahatani keprasan tidak menggunakan bibit seperti dalam usahatani tebu non-keprasan. Faktor-faktor produksi ini merupakan variabel bebas yang akan diuji pengaruhnya terhadap variabel terikat yaitu hasil produksi tebu. 2.
Analisis fungsi produksi Fungsi produksi untuk usahatani tebu non-keprasan di Lampung Utara
diasumsikan berbentuk Cobb Douglas yang ditransformasikan kedalam bentuk linier logaritma natural sebagai berikut: Ln Y
= Ln b0 + b1 Ln X1 + b2 Ln X2 + b3 Ln X3 + b4 Ln X4 + b5 Ln X5 + b6 Ln X6 + b7 Ln X7+ b8 Ln X8 + (νi-µi) ........................................ (4.1)
Sementara itu, untuk model fungsi produksi keprasan dimana petani tidak menggunakan bibit seperti halnya dalam usahatani non-keprasan sehingga model menjadi sebagai berikut: Ln Y
= Ln b0 + b1 Ln X1 + b3 Ln X3 + b4 Ln X4 + b5 Ln X5 + b6 Ln X6 + b7 Ln X7 + b8 Ln X8 + (νi-µi) ........................................................ (4.2)
Keterangan: Y
= hasil produksi tebu (ton)
X1
= luas tanah (ha)
X2
= bibit tebu (ton)
X3
= pupuk Urea (kilogram)
X4
= pupuk TSP (kilogram)
X5
= pupuk KCL (kilogram)
X6
= pestisida padat (kg)
49
X7
= pestisida cair (liter)
X8
= tenaga kerja (HOK)
b0
= intersep
bi
= besaran parameter masing-masing faktor produksi
(νi - µi)
= error term (efek inefisiensi teknis dalam model)
νi
= variabel acak yang berkaitan dengan faktor-faktor eksternal (iklim, hama/penyakit dan kesalahan pemodelan), sebarannya simetris dan menyebar normal (νi – (N(0,σν2)))
µi
= variabel acak non negatif dan diasumsikan mempengaruhi tingkat inefisiensi teknis dan berkaitan dengan faktor-faktor internal, sebarannya bersifat setengah normal (µi ̴ |N (0, 0,σν2 )|) Nilai koefisien yang diharapkan: b1, b2, b3, b4, b5, b6, b7, b8 > 0, atau dengan
kata lain hasil pendugaan fungsi produksi diatas diharapkan mempunyai nilai dugaan parameter positif. Jika diperoleh parameter dugaan yang bertanda negatif dan merupakan bilangan pecahan, maka fungsi produksi dugaan tidak dapat digunakan untuk menurunkan fungsi biaya dual sehingga efisiensi alokatif dapat diukur. Nilai koefisien positif berarti dengan meningkatnya masukan input akan meningkatkan produksi tebu. Penggunaan fungsi Cobb Douglas didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut: 1.
Fungsi Cobb Douglas paling banyak digunakan dalam penelitian khususnya penelitian bidang pertanian sehingga hasilnya dapat dibandingkan dengan hasil penelitian lain yang menggunakan alat analisis sama.
2.
Bentuk fungsi Cobb Douglas dapat mengurangi terjadinya heteroskedasitas (ragam tidak sama atau konstan). Hal ini dikarenakan bentuk linier dari fungsi produksi Cobb Douglas ditransformasikan kedalam bentuk log e (ln) sehingga variasi data menjadi lebih kecil.
3.
Parameter variabel penduga dapat langsung menunjukkan nilai elastisitas produksi dari masing-masing faktor produksi yang digunakan terhadap hasil produksi.
4.
Jumlah elastisitas produksi dari masing-masing faktor produksi yang diduga merupakan pendugaan skala usaha (return to scale). Jika jumlah elastistas
50
sama dengan satu (∑ bi =1), maka proses produksi berada pada skala usaha yang konstan (constan return to scale) dimana penambahan faktor produksi akan mengakibatkan penambahan produksi dengan proporsi yang sama. Jika jumlah elastisitas lebih dari satu (∑ bi >1), maka produksi berada pada skala usaha
yang
meningkat
dimana
penambahan
faktor
produksi akan
mengakibatkan penambahan produksi dengan proporsi yang lebih besar daripada penambahan faktor produksi. Sebaliknya jika jumlah elastisitas lebih kecil dari satu (∑ bi <1), maka proses produksi berada pada skala usaha yang menurun (decreasing return to scale) dimana penambahan faktor produksi akan mengakibatkan penambahan produksi yang proporsinya lebih kecil daripada penambahan faktor produksi. 5.
Perhitungan fungsi Cobb Douglas sederhana karena dapat ditransformasikan kedalam bentuk persamaan linear. Namun demikian, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi sebelum
menggunakan fungsi produksi Cobb Douglas untuk menduga model, yaitu: a.
Tidak ada nilai pengamatan yang bernilai nol. Hal ini karena logaritma nol adalah suatu bilangan yang besarnya tidak diketahui.
b.
Dalam fungsi produksi perlui asumsi bahwa tidak ada perbedaan teknologi pada setiap pengamatan.
c.
Perbedaan iklim, serangan hama sudah tercakup dalam faktor kesalahan (u).
d.
Nilai bi harus positif dan lebih kecil dari satu. Hal ini dikarenakan fungsi produksi Cobb Douglas tidak mempunyai nilai maksimum sehingga fungsi produksi tersebut tidak bisa menjelaskan daerah III. Dengan demikian, jika ada koefisien regresi (bi) yang bernilai negatif, maka fungsi tersebut bukan merupakan fungsi produksi Cobb Douglas (Soekartawi, 2003).
3.
Analisis regresi Dari analisis dengan OLS (Ordinary Least Squares) akan didapat nilai t-
hitung, F-hitung, dan R2. Nilai t-hitung digunakan untuk menguji apakah koefisien regresi masing-masing faktor produksi tebu yang dipakai secara terpisah berpengaruh nyata atau tidak terhadap produksi tebu. Pengujian dilakukan dengan uji parsial (uji t). Nilai kritis dalam pengujian terhadap koefisien regresi
51
ditentukan dengan tabel distribusi t serta dengan memperhatikan taraf nyata (signifikasi). Hipotesis: H0 : βi =0 H0 : βi ≠0 Statistik uji: t hitung = t tabel
=
bi se (bi) (
)
Keterangan: bi
= koefisien regresi
se (bi)
= kesalahan standar bi
k
= jumlah koefisien regresi dugaan termasuk konstan
n
= jumlah sampel
Kriteria Uji: t-hitung > t-tabel: tolak H0 pada taraf nyata
(berpengaruh nyata).
Nilai F-hitung digunakan untuk menguji apakah faktor produksi yang dipergunakan secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap produksi tebu. Pengujian dilakukan dengan uji simultan (uji F). Uji F dilakukan dengan membandingkan nilai F-hitung dengan F-tabel. Kriteria ujianya adalah sebagai berikut: H0 : β1 = β2 =…= βi = 0 Hi : β1 = minimal ada satu β yang ≠ 0 Statistik uji: F Hitung =
R2 /(K-1) 2
(1-R )/(N-K)
Keterangan: R2
= koefisien determinasi
N
= jumlah pengamatan
K
= jumlah parameter bebas termasuk intersep
Kriteria Uji: F-hitung > F-tabel: tolak H0 pada taraf nyata α, artinya faktor-faktor produksi secara bersama-sama mempengaruhi produksi tebu. Nilai koefisien determinasi R2 digunakan untuk melihat sejauhmana keragaman yang diterangkan
52
oleh faktor produksi terhadap produksi tebu. Koefisien determinasi dapat dirumuskan sebagai berikut:
R2
=
Jumlah Kuadrat Regresi (SSE) Jumlah Kudrat Total (SST) ∑
= 1-
∑
Untuk melihat apakah terjadi multikolinearitas ada banyak cara untuk mendeteksinya yaitu dengan koefisien determinasi (R2) yang tinggi namun dari uji t banyak variabel bebas yaitu tidak signifikan atau dapat diukur dengan Variance Inflation Factor (VIF) yaitu sebagai berikut: VIF(Xj) =
1 1-Rj2
Dimana, Rj = koefisien determinasi dari model regresi dengan variabel dependen Xj dan variabel independen adalah variabel X lainnya. Jika VIF (Xj) > 10, maka dapat disimpulkan bahwa model dugaan ada multikolinearitas. 4.4.3. Analisis Efisiensi Produksi 1. Analisis Efisiensi Teknis Analisis
efisiensi
khususnya
efisiensi
teknis
dilakukan
dengan
menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan output (Indeks Efisiensi Timmer) dan pendekatan input (Indeks Efisiensi Kopp). Kedua indeks efisiensi ini menghasilkan nilai efisiensi teknis yang sama jika skala usahatani adalah konstan. Efisiensi teknis pada setiap petani ke-i dari sisi output (Indeks Efisiensi Timmer), diperoleh melalui output observasi terhadap output stochastic frontiernya. Efisiensi teknis dapat diukur dengan menggunakan rumus berikut: TE
=
E Y* U, X1 ,X2 , X3 , X4 ,X5, X6 ,X7 E Y* U=0, X1 ,X2 , X3 , X4 ,X5, X6 ,X7
.................................................. .(4.3)
Keterangan: TE
= Efisiensi Teknis
E Y* U, X1 ,X2 , X3 , X4 ,X5, X6 ,X7
= Output Observasi
E Y* U=0, X1 ,X2 , X3 , X4 ,X5, X6 ,X7
= Output Batas
Atau persamaan efisiensi teknis dapat juga ditulis sebagai berikut: TEi = exp -E µi |εi | i = 1,2,3,..,n; ................................................. .(4.4)
53
Dimana: TEi
= efisiensi teknis petani ke-i
exp -E µi εi| = nilai harapan dari µi dengan syarat εi
Nilai efisiensi teknis antara 0 ≤ TE ≤ 1. Nilai efisiensi teknis tersebut berhubungan terbalik dengan nilai efek inefisiensi teknis dan hanya digunakan untuk fungsi yang memiliki jumlah output dan input tertentu. Nilai efisiensi teknis petani dikategorikan cukup efisien jika bernilai ≥ 0.7 dan dikategorikan belum efisien jika bernilai < 0.7. Metode inefisiensi teknis yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada model inefisiensi teknis yang dikembangkan oleh Bettese dan Coelli (1995). Variabel
yang digunakan untuk mengukur efek inefisiensi teknis diasumsikan
bebas dan distribusinya terpotong normal N (µ , σ ). Nilai parameter distribusi(µi) efek efisiensi teknis pada penelitian ini ditentukan dengan rumus: µi
=
+
Ζ +
Ζ +
Ζ +
Ζ ....................................... .(4.5)
Keterangan: µi
= efek inefisiensi teknis = konstanta
Ζ
= tingkat pendidikan formal petani (tahun)
Ζ
= pengalaman tani (tahun)
Z3
= dummy kemitraan (0 = pola TRK, 1 = pola TRB)
Z4
= ukuran usahatani (Ha)
Nilai koefisien yang diharapkan,
>0;
,
,
,
< 0. Agar konsisten, maka
pendugaan parameter fungsi produksi dan fungsi inefisiensi dilakukan dengan perangkat lunak Frontier 4.1 (Coelli, 1996). Pengujian parameter stochastic frontier dilakukan dengan dua tahap. Tahap pertama menggunakan menggunakan metode OLS. Metode ini digunakan untuk menduga parameter teknologi dan input-input produksi (
) dan tahap
kedua menggunakan metode MLE untuk menduga keseluruhan parameter faktor produksi (
), intersep ( ), dan variant dari kedua komponen kesalahan vi dan
ui (σν2 dan συ2 ) pada tingkat α 5 persen, 10 persen dan 15 persen. Sedangkan kriteria uji hipotesis yang digunakan untuk menyatakan bahwa semua petani telah
54
melakukan usahatani tebunya secara efisien adalah uji generalized likelihood ratio satu arah. LR galat > χ2retriksi, maka tolak H0 LR galat < χ2retriksi, maka terima H0 Hasil pengolahan Frontier 4.1 menurut Aigner et al. (1977), Jondrow et al. (1982) dan Green (1993) akan memberikan nilai perkiraan variant dalam bentuk parameterisasi sebagai berikut: =
+
........................................................................... ....(4.6)
Dimana: = variant dari distribusi normal = variant dari ui = variant dari vi Parameter dari variant dapat digunakan untuk mencari nilai γ , yaitu : γ=
σ2u σ2v +σ2u
atau γ=
σ2u σ2ϵ
Nilai parameter γ merupakan kontribusi dari efisiensi teknis didalam efek residual total ( ). Nilai parameter γ berkisar antara 0 ≤
≤ 1.
2. Analisis Efisiensi Alokatif dan Efisiensi Ekonomis Efisiensi alokatif dapat diukur dengan menurunkan fungsi biaya dual dari fungsi Cobb Douglas yang homogeneus (Debertin, 1996). Asumsinya bahwa bentuk fungsi produksi Cobb Douglas dengan menggunakan dua input adalah sebagai berikut: Y
β
β
= β X11 X22 ............................................................................ …(4.7)
Dan fungsi biaya inputnya adalah sebagai berikut: C
= P1 X1 + P2 X2 ……………………………….. ....................... ....(4.8)
Bentuk fungsi biaya dual dapat diturunkan dengan asumsi minimisasi biaya dengan kendala Y = Y0. Untuk memperoleh fungsi biaya dual, maka harus didapatkan nilai expantion path (perluasan skala usaha) yang dapat diperoleh dengan fungsi lagrang sebagai berikut: L
β
β
= P1 X1 + P1 X1 - λ (β X11 X22 - Y )………………. .................. ....(4.9)
Untuk memperoleh nilai X1 dan X2 dapat diturunkan sebagai berikut:
55
∂L ∂X1 ∂L ∂X1 ∂L ∂λ
β -1
β
= P1 - λX11 X22 = 0 β
β
= P2 - λX11 X22 β
........................................................... (4.10)
=0
β
= β X11 X - Y
........................................................... (4.11)
= 0 ........................................................... (4.12)
Dari persamaan tersebut dapat diperoleh nilai X1 dan X2 (expantion path) sebagai berikut: X1 =
β P X2 2
dan X2 =
β P1
β P1 X1 β P2
....................................................... (4.13)
Kemudian persamaan (4.13) disubtitusikan ke persamaan (4.12) sehingga menjadi: Y
= β X
β P1 X1
β
β
............................................................... (4.14)
β P2
Dari persamaan (4.14) diperoleh fungsi permintan input untuk X ∗ dan X ∗ , β
X*1 =
β
X*2
β
β
β
β
β
......................................................... (4.15)
β
β
......................................................... (4.16)
β β
=
β
β
β
Persamaan (4.15) dan (4.16) kemudian disubtitusikan ke dalam persamaan (4.8) sehingga didapatkan fungsi biaya dual sebagai berikut: β
C
=P
β
β
β β
β
β
β
+P
β
β
β
β
β
β
….(4.17)
aj Secara sederhana dapat ditulis sebagai berikut: C = k ∏j=1 Pji .Yr0 …………..(4.18)
dimana: α = rβ ; r = ∑ β
; k=
1 r
β ∏j ββj j
-r
dan βj =1,2,3...,n, merupakan
nilai parameter βi hasil estimasi fungsi produksi stochastic frontier. Pj adalah harga dari input produksi ke j. Harga tersebut diperoleh dari harga input yang berlaku di daerah penelitian. Y0 merupakan tingkat output observasi dari petani responden. Jondrow et al. (1982) mendefinisikan efisiensi ekonomis sebagai rasio antara biaya total produksi minimum yang diobservasi (C*) dengan total produksi aktual (C) seperti yang terlihat pada persamaan berikut:
56
EE =
C* C
=
E(Ci|µi =0,Yi , Pi) E(Ci|µi ,Yi , Pi)
=E [exp.(Ui /ε)] ..................................... ..(4.19)
dimana EE bernilai 0 ≤ EE ≤ 1. Efisiensi ekonomi merupakan gabungan dari efisiensi teknis dan alokatif, sehingga efisiensi alokatif (EA) dapat diperoleh dengan persamaan sebagai berikut: AE
=
EE TE
.............................................................................. ..(4.20)
dimana AE bernilai 0 ≤ AE ≤ 1.
4.5. Konsep Pengukuran Variabel Definisi operasional mengenai faktor-faktor produksi dan produksi ukuran masing-masing diperlukan untuk mempermudah dan memperjelas hubungan antara variabel-variabel yang dipilih dalam penelitian. Variabel-variabel yang digunakan dalam menduga fungsi produksi tebu dan efisiensi produksi terdiri dari variabel bebas dan variabel terikat. Produksi tebu merupakan variabel terikat, yaitu peubah yang dipengaruhi oleh pemakaian faktor-faktor produksi dalam usahatani tebu. Di sisi lain, variabel bebas adalah variabel-variabel yang secara bersama-sama mempengaruhi produksi tebu seperti bibit tebu, pupuk Urea, pupuk TSP, pupuk KCL, pestisida padat, pestisida cair dan tenaga kerja. Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data penggunaan faktor produksi selama musim tanam tebu 2009/2010. Variabel-variabel yang diukur dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Produksi Tebu (Y) Produksi tebu adalah jumlah tebu yang dihasilkan selama satu musim tanam tebu dalam satuan ton.
2.
Luas Lahan (X1) Luas lahan adalah lahan tempat petani untuk melakukan usahatani tebu satu kali musim tanam dengan satuan ukur hektar (ha). Lahan yang diusahakan diasumsikan memiliki tingkat kesuburan yang tidak jauh berbeda.
3.
Bibit Tebu (X2) Bibit tebu dihitung dalam jumlahton yang digunakan dalam satu musim tanam. Biaya korbanan marjinal adalah harga bibit per ton dalam rupiah.
57
4.
Pupuk Urea (X3) Pupuk Urea dihitung berdasarkan jumlah pupuk Urea yang digunakan selama berusahatani tebu dalam satu musim tanam dan diukur dalam satuan kilogram. Biaya korbanan marjinal adalah harga pupuk Urea per kilogram dalam rupiah.
5.
Pupuk TSP (X4) Pupuk TSP dihitung berdasarkan jumlah pupuk TSP yang digunakan selama berusahatani tebu dalam satu musim tanam dan diukur dalam satuan kilogram. Biaya korbanan marjinal adalah harga pupuk TSP per kilogram dalam rupiah.
6.
Pupuk KCL (X5) Pupuk KCL dihitung berdasarkan jumlah pupuk KCL yang digunakan selama berusahatani tebu dalam satu musim tanam dan diukur dalam satuan kilogram. Biaya korbanan marjinal adalah harga pupuk KCL per kilogram dalam rupiah.
7.
Pestisida Padat (X6) Pestisida padat dalam penelitian ini adalah pestisida (baik herbisida maupun insektisida) yang digunakan selama berusahatani tebu dalam satu musim tanam dan diukur dalam satuan Kg. Biaya korbanan marjinal adalah harga pestisida per Kg dalam rupiah.
8.
Pestisida Cair (X7) Pestisida cair dalam penelitian ini adalah pestisida (baik herbisida maupun insektisida) yang digunakan selama berusahatani tebu dalam satu musim tanam dan diukur dalam satuan liter. Biaya korbanan marjinal adalah harga pestisida per liter dalam rupiah
9.
Tenaga Kerja (X8) Tenaga kerja yang digunakan dalam satu musim tanam diukur dalam satuan hari kerja pria (HOK). Jumlah tenaga kerja yang diperhitungkan, yaitu mulai dari pengolahan lahan sampai panen baik yang berasal dari luar keluarga maupun dalam keluarga. Biaya korbanan marjinal dari penggunaan tenaga kerja adalah tingkat upah yang dikeluarkan dalam satu hari kerja pria
58
(Rupiah). Tjakrawiralaksana (1985) menyatakan bahwa konversi tenaga kerja yang sering digunakan pada penelitian di Indonesia adalah satu tenaga wanita dewasa setara dengan 0.8 tenaga pria dewasa dan satu tenaga mesin traktor dan diesel setara dengan tiga tenaga pria dewasa dan satu tenaga ternak setara dengan dua tenaga pria dewasa. 10. Tingkat pendidikan formal petani (Ζ ) adalah jumlah waktu total yang dibutuhkan petani untuk menempuh pendidikan formal mulai dari SD hingga pendidikan formal terakhirnya yang dinyatakan dalam tahun. 11. Pengalaman tani (Ζ ) adalah lamanya waktu yang dilalui petani semenjak pertama kali menanam tebu hingga saat penelitian ini dilakukan yang dinyatakan dalam tahun. 12. Pola kemitraan (Z3) adalah variabel dummy yang digunakan untuk menunjukkan pola kemitraan yang dilakukan oleh petani (0 = pola kemitraan TRK, 1 = pola kemitraan TRB). 13. Ukuran usahatani (Z4) adalah luas lahan tebu keseluruhan yang diusahakan oleh petani yang diukur dalam hektar.
59
V. GAMBARAN UMUM KONDISI PERGULAAN NASIONAL, LAMPUNG DAN LAMPUNG UTARA 5.1. Perkembangan Kondisi Pergulaan Nasional 5.1.1. Produksi Gula dan Tebu Produksi gula nasional pada tahun 2000 sebesar 1 690 004 ton gula hablur dan menjadi 2 517 374 ton pada tahun 2009 atau dengan laju peningkatan rata-rata 4.94 persen pertahun. Peningkatan produksi gula terbesar terjadi pada tahun 2004 dimana produksi gula nasional meningkat 419 726 ton dibandingkan dengan dengan tahun sebelumnya. Pulau Jawa masih merupakan daerah penghasil gula terbesar dengan rata-rata produksi pertahun mencapai 1 249 237 ton pertahun (2000-2009). Sedangkan Luar Jawa pada kurun waktu yang sama sebesar 872 038 ton pertahun. Informasi selengkapnya berkaitan dengan produksi gula di Jawa, Luar Jawa dan Nasional dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14. Produksi Gula di Jawa, Luar Jawa dan Nasional Periode 2000-2009 Tahun
Jawa (Ton)
Luar Jawa (Ton)
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
946 000 955 467 941 354 1 024 918 1 206 644 1 386 742 1 431 027 1 586 786 1 584 428 1 429 000
744 004 770 000 814 000 607 000 845 000 855 000 876 000 1 037 000 1 084 000 1 088 374
Total (Ton) 1 690 004 1 725 467 1 755 354 1 631 918 2 051 644 2 241 742 2 307 027 2 623 786 2 668 428 2 517 374
Sumber: Ditjenbun Kementan, 2010 (data diolah)
Perkembangan produksi gula nasional tidak bisa lepas dari perkembangan produksi tebu karena tebu merupakan bahan baku utama gula di Indonesia. Dalam kurun waktu 2000-2009, produksi tebu nasional cenderung mengalami peningkatan dengan laju peningkatan rata-rata yaitu 4.23 persen pertahun. Pada tahun 2009, produksi tebu mencapai 32 398 636 ton.
60
Tabel 15. Perkembangan Produksi Tebu di Jawa, Luar Jawa dan Nasional Periode 2000-2009 Tahun
Jawa (Ton)
Luar Jawa (Ton)
Nasional (Ton)
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
14 221 524 16 216 872 15 030 117 17 418 889 19 587 130 26 316 916 19 023 360 21 337 000 22 488 000 20 038 636
9 448 000 9 730 000 9 486 000 7 843 000 9 764 000 10 075 000 11 737 000 13 646 813 11 854 703 12 360 000
23 669 524 25 946 872 24 516 117 25 261 889 29 351 130 36 391 916 30 760 360 34 983 813 34 342 703 32 398 636
Sumber: Ditjenbun Kementan, 2010; Metadata, 2009 (data diolah)
Perkebunan tebu di Pulau Jawa masih memberikan kontribusi yang lebih besar dibandingkan dengan perkebunan tebu di Luar Pulau Jawa dengan laju peningkatan rata-rata 5 persen pertahun. Produksi tebu yang lebih besar di Pulau Jawa ini salah satunya akibat lebih luasnya lahan pengusahaan tebu di Jawa dibandingkan dengan di luar Pulau Jawa. Tabel 16. Perkembangan Luas Lahan Tebu di Jawa, Luar Jawa dan Nasional Periode 2000-2009 Tahun
Jawa
Luar Jawa
Nasional
2000
209 450
131 210
340 660
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
212 750 227 402 208 566 212 160 239 313 247 592 275 976 279 328 269 706
131 691 123 320 127 159 132 633 142 473 148 849 151 823 157 177 153 247
344 441 350 722 335 725 344 793 381 786 396 441 427 799 436 505 422 953
Sumber: Ditjenbun Kementan, 2010; Metadata, 2009 (data diolah)
Berdasarkan Tabel 16 diatas diketahui luas areal tebu di Jawa pada tahun 2000 adalah 209 450 ha dan menjadi 269 706 pada tahun 2009 atau dengan laju peningkatan rata-rata 3.04 persen pertahun. Sedangkan luas lahan pengusahaan tebu di Luar Jawa pada tahun 2000 sebesar 131 210 ha dan berkembang menjadi 153 247 ha pada tahun 2009 atau dengan laju peningkatan rata-rata 1.82 persen
61
pertahun. Faktor lain yang membuat produksi gula di Jawa lebih besar dibandingkan dengan di Luar Jawa adalah jumlah pabrik gula. Informasi berkaitan dengan jumlah pabrik gula dan kapasitas gilingnya dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17. Jumlah Pabrik Gula dan Kapasitas Gilingnya Pemilik PG Jawa PTPN IX PTPN X PTPN XI PT Kebonagung PT PG Rajawali I PT Madu Baru PT Candi Baru PT PG Rajawali II Jumlah Luar Jawa PTPN II PTPN VII PTPN XIV PT PG Gorontalo PT Gunung Madu Plantation Sugar Group Jumlah Total Jawa dan Laur Jawa
Jumlah Pabrik
Kapasitas/ Ton Cane Day (TCD)
8 11 16 2 3 1 1 5 47
19 970 34 550 38 550 5 800 12 600 3 200 2 000 11 502 128 172
2 2 3 1 1 3 12 59
8 000 10 500 8 000 8 000 12 000 31 300 77 800 205 972
Sumber: Metadata, 2009
Jumlah pabrik gula yang beroperasi di Jawa adalah 47 pabrik dengan kapasitas terpasangnya 128 172 TCD. Sedangkan di Luar Jawa, jumlah pabrik gula yang beroperasi adalah 59 pabrik dengan kapasitas terpasang sebesar 77 800 TCD. 5.1.2. Konsumsi Gula Laju peningkatan konsumsi di Indonesia rata-rata pertahun untuk kurun 2000-2009 sebesar 4.84 persen. Peningkatan konsumsi yang signifikan terjadi pada konsumsi gula untuk industri dimana pada tahun 2000, kebutuhan gula industri sebesar 690 ribu ton menjadi 2.15 juta ton pada tahun 2009 atau dengan laju kenaikan sebesar 14.3 persen pertahun. Berdasarkan data Pusdatin Kementan (2010), industri minuman merupakan konsumen terbesar diantara industri pengguna gula yaitu sebesar 5 persen, diikuti oleh industri pengolah susu (4
62
persen), industri roti dan biskuit (2 persen), industri kembang gula (1 persen) dan terakhir adalah industri kecap dan sirup (1 persen). Berbeda dengan peningkatan laju peningkatan konsumsi gula untuk industri, laju peningkatan gula untuk konsumsi rumah tangga relatif stabil yaitu 0.92 persen pertahun yaitu dari 2.5 juta ton pada tahun 2000 menjadi 2.7 ton pada tahun 2009. Meskipun begitu, rumah tangga masih merupakan konsumen gula terbesar yaitu sebesar 87 persen dari total konsumsi gula nasional (Pusdatin Kementan, 2010). Konsumsi gula diperkirakan akan terus naik kedepannya sering dengan dan pendapatan serta pertumbuhan industri makanan dan minuman (Malian et al, 2006). Berdasarkan hasil peramalan terhadap produksi dan konsumsi gula nasional yang dilakukan oleh Hernanda (2011) diketahui bahwa jumlah konsumsi gula tahun 2014 mencapai 5 530 562 ton dengan rata-rata kenaikan konsumsi sekitar 7 persen pertahun. Sedangkan produksi gula nasional pada tahun 2014 diperkirakan hanya 2 458 594 ton. Secara implisit, hal ini menunjukkan bahwa swasembada gula nasional tahun 2014 tidak akan tercapai jika tidak ada loncatan dalam produksi gula dan kecenderungan untuk impor masih akan terus berlanjut. 5.1.3. Impor Gula Ketidakseimbangan antara konsumi dan produksi gula (defisit) dipenuhi pemerintah dengan jalan melakukan impor. Gula diimpor ke Indonesia dalam tiga bentuk yaitu, raw sugar, gula kristal putih (GKP), dan gula kristal rafinasi (GKR). Payung hukum yang menaunginya adalah Peraturan Menteri Perdagangan No. 19/M-DAG/PER/4/2006 tentang Ketentuan Impor Gula, Peraturan Menteri Perdagangan No. 256/M-DAG/3/2008 tentang Impor GKP, dan Peraturan Menteri Perdagangan No. 19/M-DAG/PER/5/2008 tentang Impor Gula. Impor GKP hanya dapat dilakukan oleh Importir Terdaftar (IT) yang telah ditunjuk pemerintah. Importir-importir ini adalah PTPN IX, PTPN X, PTPN XI, dan PT RNI. Sedangkan GKR boleh diimpor oleh industri pengguna gula berdasarkan ijin pemerintah untuk bahan baku. Volume impor gula Indonesia selalu berfluktuasi dari tahun ke tahun. Hal ini disebabkan fluktuasi permintaan pasar dan juga fluktuasi produksi gula yang dihasilkan pabrik-pabrik gula. Dalam rentang 2001 – 2009, impor gula tertinggi terjadi pada tahun 2007 dengan total jumlah impor 2
63
972 788 ton dengan proporsi impor terbesar adalah raw sugar yaitu sebesar 1.89 juta ton. Perkembangan impor berbagai jenis gula tahun 2001 – 2009 dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18. Perkembangan Impor Berbagai Jenis Gula di Indonesia Tahun 20012009 Tahun
Jenis Gula GKP (Ton)
GKR (Ton)
Raw Sugar (Ton)
Total (Ton)
2001 2002
18 688 47 408
239 801 304 560
1 026 301 619 010
1 284 790 970 978
2003 2004
125 882 87 291
466 914 576 484
896 829 466 516
1 489 625 1 130 291
2005 2006
402 648 129 278
702 412 565 377
893 307 811 347
1 998 367 1 506 002
2007 2008 2009
375 603 44 659 13 000
710 025 593 710 149 838
1 887 160 380 225 1 210 708
2 972 788 1 018 594 1 373 546
Sumber: BPS, 2010 (data diolah)
5.1.4. Kebijakan Terkait Dengan Gula Berbagai kebijakan yang pernah dikeluarkan pemerintah berkaitan dengan gula, baik dalam bidang budidaya tebu (sebagai bahan baku utama gula), tatanaiga gula maupun dalam industri gula adalah sebagai berikut: a.
Kebijakan yang terkait dengan on farm meliputi: bongkar ratoon, yaitu pergantian tanaman keprasan dengan tanaman baru (plant cane) yang ditargetkan 70 ribu hektar setiap tahun, sedangkan untuk tanaman keprasan maksimal tiga kali kepras; (b) penyediaan bibit, dilakukan dengan membangun kebun bibit dasar (KBD) seluas 9.000 ha, kebun bibit induk (KBI) seluas 1 100 ha, kebun bibit nenek (KBN) seluas 200 ha dan kebun bibit pokok (KBP) seluas 35 ha setiap tahun; (c) penyediaan pengairan, khusus untuk lahan kering (seluas 250 ribu ha) dilakukan dengan pembangunan sumur bor, embung dan pompanisasi. Sedangkan untuk lahan irigasi (seluas 100 ribu ha) dilakukan pengaturan yang seimbang dengan tanaman lainnya, khususnya padi; (d) penyediaan pendanaan, untuk tanaman tebu secara efisien, tepat waktu dan tepat jumlah, baik dari sumber APBN, APBD dan lembaga perbankan. Dana tersebut dimanfaatkan untuk bongkar
64
ratoon dan pemeliharaan tanaman serta pengadaan alat pengolahan tanah (Metadata, 2009). b.
Keppres No. 19/1/1998 yang menghapus peran BULOG dalam tataniaga gula. Keppres tersebut ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 25/1/1998 dan No. 505/10/1998 yang mengatur tataniaga gula impor menurut mekanisme pasar oleh importer umum.
Pemerintah
juga
mengeluarkan Inpres
No.
5/1/1998
yang
menghentikan progam pengembangan tebu rakyat dengan alasan untuk membebaskan petani dalam memilih komoditi usaha. Pada saat itu, tarif impor gula ditetapkan sebesar 0 persen. Penetapan tarif impor nol persen tersebut merupakan salah satu persyaratan dalam Letter of Intent (LoI) dengan IMF yaitu membebaskan perdagangan pangan yang selama ini dipegang oleh BULOG. c.
Keputusan
Menteri
Perindustrian
dan
Perdagangan
No.
643/MPP/Kep/9/9/2002 membatasi pelaku importir hanya importir produsen (IP) dan importer terdaftar (IT). IP melakukan impor hanya untuk memenuhi kebutuhan industry dari IP tersebut. Sementara untuk IT, bahan baku dari PG milik IT minimal 75 persen berasal dari petani. Persyaratan lainnya impor gula dapat diijinkan jika harga ditingkat petani minimal Rp. 3 100/Kg. d.
Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 57 Tahun 2004 tentang Penetapan Gula Sebagai Barang Dalam Pengawasan, tanggal 26 Juli 2004 (Keppres No. 57/2004). Tujuan pengaturan penetapan gula sebagai barang dalam pengawasan adalah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat. Salah satunya dengan cara memberikan pengawasan terhadap perdagangan gula di dalam negeri, karena perdagangan gula merupakan salah satu kegiatan penting dan gula merupakan komoditas yang mempunyai nilai strategis bagi ketahanan pangan. Pengaturan tersebut mengacu pada ketentuan Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 1962 tentang Perdagangan Barangbarang dalam Pengawasan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2004, yang menetapkan beberapa hal, yaitu: (1) Gula ditetapkan sebagai barang dalam pengawasan sebagaimana dimaksud dalam UU No. 8 Prp Tahun 1962 tentang Pengawasan Barang-barang Dalam
65
Pengawasan. (2) Ketentuan lebih lanjut tentang pelaksanaan pengawasan tersebut diatur oleh Menteri Perinustrian dan Perdagangan. d.
Keputusan Presiden No. 58 Tahun 2004 tentang Penanganan Gula yang Diimpor Secara Tidak Sah tanggal 26 Juli 2004 (Keppres No. 58/2004) Keputusan Presiden yang dikeluarkan pada 26 Juli 2004 ini bertujuan memberikan pengaturan terhadap gula ilegal yang sangat marak waktu itu. Diharapkan melalui pengaturan ini tidak ada lagi kontroversi soal penanganan gula ilegal.
e.
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 527/MPP/Kep/2004 jo Kep Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 08/M-DAG/Per/4/2005 mengatur impor gula berdasarkan kuota pemerintah setelah melihat kondisi produksi dan persediaan dalam negeri. Kebijakan ini merupakan ketentuan International Commision for Uniform Methods of Sugar Analysis (ICUMSA) yang membedakan gula kristal putih, gula rafinasi dan raw sugar; kejelasan waktu dan pelabuhan impor, serta kenaikan harga referensi ditingkat petani menjadi Rp3 800/kg.
f.
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 594/MPP/Kep/9/ 2004 tanggal 23 September 2004 tentang Penunjukan Surveyor Sebagai Pelaksana Verifikasi atau Penelusuran Teknis Impor Gula. Menindaklanjuti Kepmenperindag No. 527/MPP/Kep/9/2004 yang antara lain menetapkan Surveyor sebagai pelaksana verifikasi atau penelusuran teknis impor gula, maka dikeluarkan Kepmenperindag No. 594/MPP/Kep/9/ 2004.
g.
Peraturan Menteri Perdagangan No. 256/M-DAG/3/2008 tentang Impor GKP, dan Peraturan Menteri Perdagangan No. 19/M-DAG/PER/5/2008 tentang Impor Gula.
5.2. Perkembangan Kondisi Pergulaan di Lampung Lampung
merupakan
salah
satu
daerah
yang
potensial
untuk
dikembangkan sebagai sentra gula nasional. Selain sebagai daerah penghasil tebu terbesar di luar Pulau Jawa, Lampung merupakan propinsi yang memiliki laju produktivitas tebu tertinggi di Indonesia. Lahan perkebunan tebu di Lampung terdiri dari lahan perkebunan rakyat, lahan perkebunan negara dan lahan
66
perkebunan swasta. Sebagian besar lahan perkebunan swasta terletak di Kabupaten Lampung Tengah (53.73 persen), Tulang Bawang (42.76 persen) dan Way Kanan (3.51 persen). Lahan perkebunan negara terletak di Lampung Utara yaitu di wilayah kerja PTPN VII Unit Usaha Bungamayang. Sedangkan perkebunan rakyat sebagian besar terletak di Lampung Utara (81.78 persen), Lampung Tengah (18.10 persen) dan Tulang Bawang (0.12 persen). Faktor lain yang mendukung pengembangan tebu di Lampung adalah keberadaan pabrik-pabrik gula di propinsi tersebut. Pabrik gula yang beroperasi di Lampung, yaitu: PT. Gula Madu Plantation dan Gula Putih Mataram di Kabupaten Lampung Tengah, PT. Sweet Indo Lampung dan PT. Indo Lampung Perkasa di Kabupaten Tulang Bawang, PT. Pemuka Sakti Manis Indah di Kabupaten Way Kanan dan
PTP Nusantara VII (Persero) Unit Usaha
Bungamayang di Kabupaten Lampung Utara. Pada tahun 2003, keenam pabrik gula diatas mampu menghasilkan gula sebesar 472 811 ton dan menjadi 749 820 ton pada tahun 2009 atau 26.24 persen dari total produksi gula nasional dengan rata-rata produksi mencapai 695 046 ton pertahun. Produksi terbesar terjadi pada tahun 2008 yaitu sebesar 781 924 ton. PT. Gunung Madu Plantations (GMP) merupakan pabrik dengan kemampuan produksi terbesar dalam menghasilkan gula di propinsi Lampung. Produksi gula GMP mencapai 151 736 ton pada tahun 2003 dan meningkat menjadi 201 216 ton pada tahun 2009 atau dengan laju peningkatan produksi rata-rata pertahun sebesar 5.31 persen. Kemampuan produksi GMP yang tinggi dikarenakan pabrik gula ini memiliki luas areal tebu yang paling luas diantara perkebunan lain. Berdasarkan data dari Dinas Perkebunan Propinsi Lampung tahun 2009, luas lahan untuk PT. Gunung Madu Plantations adalah 26 958.74 hektar. Sedangkan luas areal tebu untuk pabrik lain adalah sebagai berikut: PT Gula Putih Mataram sebesar 22 235.37 hektar, PT. Sweet Indo Lampung sebesar 21 861.40 hektar, PT. Indo Lampung Perkasa sebesar 18 177.97 hektar, PTPN VII Bungamayang Persero sebesar 14 243.10 hektar dan PT Pemuka Sakti Manis Indah sebesar 7000 hektar.
67
Tabel 19. Produksi Gula Beberapa Pabrik Di Propinsi Lampung Tahun 2003-2009 Tahun
PTPN VII Persero
2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
43 298 60 591 77 866 80 428 76 164 80 181 73 908
PT. Gunung Madu Plantations 151 736 185 644 179 025 189 717 191 272 218 248 201 216
Produksi (Ton) PT. Gula PT. Sweet Putih Indo Mataram Lampung 93 260 151 294 159 978 141 285 162 086 168 385 152 286
71 014 148 651 121 969 134 956 150 187 162 321 153 357
PT. Indo Lampung Perkasa
PT. Pemuka Sakti Manis Indah
99 735 145 807 131 549 122 447 115 835 135 259 129 053
13 768 18 172 23 266 24 717 22 131 17 529 40 000
Sumber: Dinas Perindustrian dan Perdagangan Propinsi Lampung, 2011
Salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan pemerintah propinsi untuk meningkatkan produksi gula di Lampung khususnya dari perkebunan rakyat adalah dengan program Akselerasi Peningkatan Produksi Gula (APPG). Program APPG di Lampung difokuskan di dua kabupaten yang merupakan sentra tebu rakyat yaitu di Kabupaten Lampung Utara dan Way Kanan. Adapun program-program yang termasuk dalam APPG pada kedua kabupaten tersebut dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20. Kegiatan Akselarasi Peningkatan Produksi Gula di Propinsi Lampung 2006-2009 Tahun 2006
2007
2008 2009
Kegiatan Bongkar ratoon seluas 470 hektar yang melibatkan 513 KK (11 kelompoktani) Pembukaan Kebun Bibit Datar (KBD) seluas 50 hektar bekerjasama dengan PG Bungamayang Bongkar ratoon seluas 300 ha yang melibatkan 394 KK (4 kelompoktani) Pembukaan pembukaan Kebun Bibit Datar (KBD) seluas 30.30 hektar bekerjasama dengan PG Bungamayang Bongkar ratoon seluas 875 hektar yang melibatkan 543 KK (21 kelompoktani) Pembukaan Kebun Bibit Datar (KBD) seluas 50 hektar bekerjasama dengan PG Bungamayang Demonstrasi plot (demplot) kebun tebu seluas 16 hektar
Perluasan Areal Tebu seluas 400 Ha
Sumber: Dinas Perkebunan Propinsi Lampung, 2011
Lokasi
Lampung Utara
Lampung Utara
Lampung Utara
Lampung Utara (190.45 Ha) dan Way Kanan (209.55 Ha)
68
5.3. Perkembangan Kondisi Pergulaan di Lampung Utara Kabupaten Lampung Utara merupakan daerah pengembangkan komoditi tebu rakyat terbesar di Lampung. Pada tahun 2009, produksi tebu rakyat di Lampung Utara mencapai 99 473 ton atau 82 persen dari total tebu rakyat yang dihasilkan di propinsi Lampung (BPS Kabupaten Lampung Utara, 2010). Usaha perkebunan khususnya perkebunan tebu di Kabupaten Lampung Utara berada dalam pengawasan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Lampung Utara. Lahan perkebunan tebu di Lampung Utara sebagian besar berada di kecamatan Bungamayang karena wilayah tersebut memiliki lahan yang sesuai dan dekat dengan lokasi pabrik gula yaitu PTPN VII Unit Usaha Bungamayang. . Luas lahan tebu rakyat di Lampung mencapai 15 955 hektar dengan jumlah petani mencapai 21.048 KK (BPS Kabupaten Lampung Utara, 2010). Lahan yang diusahakan untuk perkebunan tebu seluas 16.150 Ha. Jenis tanah di wilayah ini yaitu Podzolik merah kuning (Ultisol dan Oxisol) dengan nilai pH berada antara 4.5- sampai dengan 5.0 (PTPN VII, 2010). Jenis tanah dan kondisi tanah yang asam sesuai untuk ditanami tebu. Produksi gula di Lampung Utara sebagian besar dihasilkan oleh PTPN VII Unit Usaha Bungamayang. Pada tahun 2003, produksi gula PTPN VII Unit Usaha Bungamayang sebesar 43 298 ton meningkat menjadi 73 908 ton pada tahun 2009 atau dengan laju peningkatan rata-rata 5 101.67 ton (Dinas Perindustrian dan Perdagangan Propinsi Lampung, 2011).
69
VI. GAMBARAN UMUM DAN KERAGAAN USAHATANI TEBU DI DAERAH PENELITIAN 6.1. Gambaran Umum Daerah Penelitian 6.1.1. Letak dan Topografi Kabupaten Lampung Utara berada di Propinsi Lampung dan termasuk salah satu wilayah potensial untuk pengembangan komoditas tebu rakyat. Wilayah Kabupaten Lampung Utara terletak pada 104040’ sampai 105008’ Bujur Timur dan 4034’ sampai 5006’ Lintang Selatan. Secara topografi, sebelah barat merupakan daerah perbukitan dengan ketinggian 450-1500 m dari permukaan air laut dan bagian timur merupakan dataran rendah yang tertutup awan vulkanis. Wilayah Lampung Utara berbatasan dengan Kabupaten Way Kanan di sebelah utara, Kabupaten Lampung Tengah di sebelah selatan, Kabupaten Tulang Bawang di sebelah timur, dan Kabupaten Lampung Barat di sebelah barat. Berdasarkan Peraturan Daerah No. 08 Tahun 2006, wilayah Kabupaten Lampung Utara pada tahun 2006 dimekarkan menjadi 23 kecamatan dan 232 desa dan 15 kelurahan. Ibukota Kabupaten Lampung Utara berada di Kotabumi. Luas wilayah Kabupaten Lampung Utara adalah 272.563 Hektar. Wilayah Kabupaten Lampung Utara merupakan daerah agraris dengan mata pencaharian pokok penduduknya di sektor pertanian (BPS Lampung Utara, 2010). Usaha perkebunan khususnya perkebunan tebu di Kabupaten Lampung Utara berada dalam pengawasan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Lampung Utara. Lahan perkebunan tebu di Lampung Utara sebagian besar berada di kecamatan Bunga Mayang karena wilayah tersebut memiliki lahan yang sesuai dan dekat dengan lokasi pabrik gula yaitu PTPN VII Unit Usaha Bunga Mayang. Lahan yang diusahakan untuk perkebunan tebu seluas 16.150 Ha. 6.1.2. Iklim Kabupaten Lampung Utara secara umum memiliki dua musim yaitu musim penghujan dan musim kemarau. Curah hujan rata-rata 1851 mm per tahun dengan hari hujan sekitar 200 hari per tahun. Musim kemarau biasanya terjadi pada bulan Mei- November yang memiliki curah hujan rendah dibawah 100 mm per bulan (Tabel 21).
70
Tabel 21. Rata-rata Curah Hujan di Kabupaten Lampung Utara Tahun 2006-2009 Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember
2006 426.4 395.3 313.7 146.1 84.0 65.0 41.0 20.1 40.9 91.5 479.6
Rata-rata Curah Hujan (mm) 2007 2008 162.0 169.2 270.6 290.1 198.7 455.4 136.4 242.4 56.0 28.7 116.2 58.7 89.8 73.3 44.0 103.8 74.9 76.0 86.3 77.7 80.6 261.4 288.0 353.8
2009 161.4 212.0 278.8 47.2 201.2 38.6 19.9 25.8 5.8 90.3 154.7 270.7
Sumber: BPS Lampung Utara, 2010
6.1.3. Jumlah Penduduk dan Mata Pencaharian Jumlah penduduk Kabupaten Lampung Utara tahun 2009 sebanyak 589.568 jiwa yang terdiri dari penduduk pria sebesar 300 116 jiwa atau 50.09 persen dan penduduk wanita sebesar 289 452 jiwa atau 49.91 persen. Jumlah rumah tangga sebanyak 146 315 dengan kepadatan penduduk mencapai 216 jiwa per km2. Tabel 22. Mata Pencaharian Penduduk Lampung Utara No
Mata Pencaharian
Jumlah Penduduk (Orang)
1
Pertanian, Kehutanan, Perburuan, dan Perikanan
2
Industri Pengolahan
3
Perdagangan Eceran, Rumah Makan, Hotel
4
Jasa Kemasyarakatan
5
Lainnya
65 281
6
Tidak Bekerja
27 620
Jumlah
122 648 7 207 32 085 5 496
260 337
Sumber: BPS Lampung Utara, 2011 (data diolah)
Penduduk yang tergolong angkatan kerja sebanyak 260 337 jiwa atau sekitar 44 persen dari total penduduk Kabupaten lampung Utara. Data keragaan penduduk Kabupaten lampung Utara menurut mata pencaharian (Tabel 22) menunjukkan bahwa mayoritas penduduk di Kabupaten Lampung Utara bekerja di bidang pertanian, kehutanan, perburuan dan perikanan sebesar 122 648 orang. Hal ini
71
memperlihatkan pula bahwa sektor ini merupakan sektor utama mata pencaharian penduduk Lampung Utara. 6.1.4. Perekonomian Kabupaten Lampung Utara Pada tahun 2009, perekonomian Kabupaten Lampung Utara mengalami pertumbuhan sebesar 5.85 persen. Beberapa sektor mengalami pertumbuhan yang sangat berarti seperti sektor angkutan dan komunikasi (9.31 persen), bangunan (6.76 persen) dan pertanian (5.97 persen). Perekonomian Lampung Utara didominasi oleh empat sektor kegiatan yaitu sektor pertanian (33.76 persen), sektor jasa (19.54 persen), sektor perdagangan, hotel dan restoran (13.69 persen) dan sektor industri pengolahan (11.77 persen). Adanya kontribusi sektor pertanian dan ketersediaan lahan yang luas merupakan potensi untuk meningkatkan perekonomian di Kabupaten Lampung Utara.
6.2. Keragaan Usahatani Tebu di Daerah Penelitian 6.2.1. Karakteristik Petani Sampel Jumlah petani sampel dalam penelitian ini sebanyak 75 petani. Dari 75 petani responden, 45 petani merupakan anggota TRK yang terdiri dari 14 petani dengan pola non-keprasan (plane cane) dan 31 petani dengan pola keprasan (ratoon), serta 30 petani merupakan anggota TRB yang terdiri dari 11 petani dengan pola non-keprasan (plane cane) dan 19 petani dengan pola keprasan (ratoon). Jika berdasarkan pola tanamnya, maka 25 petani melakukan pola tanam non-keprasan dan 50 petani melakukan pola tanam keprasan. Hal ini karena biaya yang dikeluarkan pada pola tanam non-keprasan jauh lebih besar dibandingkan pada pola tanam keprasan. Penyebab perbedaan tersebut adalah adanya biaya pengolahan tanah, pembelian bibit dan biaya tanam pada pola non-keprasan. Adapun karakteristik petani sampel selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 23. Pada Tabel 23 dapat dilihat bahwa berdasarkan umur, petani yang tergabung baik dalam TRK maupun TRB berada pada usia produktif yaitu pada usia kurang dari 30 sampai dengan 60 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa secara umur para petani contoh masih dapat mengelola usahatani tebunya dengan baik. Berdasarkan pendidikan, baik petani contoh yang tergabung dalam TRK maupun TRB sebagian masih tergolong berpendidikan dasar SD dan SMP, yaitu 73.33
72
persen untuk petani TRK dan 63.33 persen untuk petani TRB. Tingkat pendidikan ini tentu saja akan mempengaruhi teknik usahatani khususnya terkait dengan penggunaan teknologi maupun mekanisasi pertanian. Sedangkan jika ditinjau dari pengalaman, baik petani contoh anggota TRK maupun TRB sebagian besar sudah berpengalaman lebih dari 10 tahun (82.22 persen petani TRK dan 80.00 persen petani TRB). Lamanya pengalaman yang dimiliki para petani tebu ini menunjukkan bahwa petani cukup terampil dalam mengusahakan budidaya tebu di daerahnya. Tabel 23. Sebaran Petani Sampel Menurut Umur, Pendidikan dan Pengalaman di Wilayah Kerja PTPN VII Unit Usaha Bungamayang Musim Tanam 2009/2010 No 1
2
3
Karakteristik Responden
TRK Jumlah Persen
TRB Jumlah Persen
Berdasarkan Umur (tahun) a.<30 tahun b. 30-40 tahun c. 41-50 tahun d. 51-60 tahun e. >60 tahun
2 17 13 10 3
4.44 37.78 28.89 22.22 6.67
4 9 11 5 1
13.33 30.00 36.67 16.67 3.33
Berdasarkan Pendidikan (tahun) a. Tidak Sekolah (0 tahun) b. SD (0-6 Tahun) c. SLTP (7-9 Tahun) d. SLTA (10-12 Tahun) e. Perguruan Tinggi (>12 Tahun)
0 13 20 10 2
0.00 28.89 44.44 22.22 4.44
0 13 6 10 1
0.00 43.33 20.00 33.33 3.33
Berdasarkan Pengalaman a.<10 tahun b. 10-20 tahun c. 21-30 tahun d. > 30 tahun
8 34 3 0
17.78 75.56 6.67 0.00
6 23 1 0
20.00 76.67 3.33 0.00
Sumber: Analisis Data Primer, 2012
Sebagian besar petani yang berada di daerah penelitian merupakan petani tebu dengan menggunakan pola keprasan. Dari 75 petani contoh, 25 petani melakukan pola non-keprasan dan 50 petani menggunakan pola keprasan. Kondisi ini hampir terjadi di seluruh perkebunan tebu rakyat di Indonesia. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa dominannya pola keprasan ini mengingat
73
pola keprasan membutuhkan biaya yang lebih kecil dibandingkan dengan pola non-keprasan karena pola non-keprasan tidak membutuhkan biaya pengolahan tanah, pembelian bibit dan biaya tanam. Akan tetapi, pola keprasan ini tidaklah terlalu buruk asalkan dilakukan sesuai dengan anjuran pemerintah. Pola keprasan yang dianjurkan oleh pemerintah sampai pada keprasan ketiga. Akan tetapi, di wilayah kerja PTPN VII Unit Usaha Bungamayang petani masih diperbolehkan sampai keprasan keempat. Setelah itu, petani tebu dianjurkan mengganti tanamannya dengan bibit baru kembali. 6.2.2. Kepemilikan Lahan Sistem kepemilikan lahan yang umum di daerah penelitian adalah lahan milik sendiri. Lahan sewa untuk usahatani tebu jarang ditemukan di daerah penelitian. Tetapi jika ada pihak yang akan melakukan sewa, harga sewa di daerah penelitian berkisar antara 1-1.5 juta rupiah perhektar tergantung letak dan kondisi lahan. Berdasarkan hasil survei, rata-rata luas lahan yang digunakan petani dalam usahatani tebu adalah 1.98 hektar dengan luas lahan minimal 0.25 hektar dan luas lahan maksimal 10.50 hektar. Rata-rata luas lahan petani TRK adalah 1.51 hektar dengan luas lahan minimal adalah 0.25 hektar dan luas lahan maksimal adalah 5 hektar. Sedangkan untuk petani TRB rata-rata luas lahannya adalah 2.68 hektar dengan luas minimal 0.50 hektar dan luas lahan maksimal 10.50 hektar. Berdasarkan penjelasan ini diketahui bahwa petani TRB memiliki lahan yang relatif luas dibandingkan dengan petani TRK. Luas lahan berpengaruh terhadap usahatani tebu yang dilakukan karena terkait dengan modal usahatani. Petani yang memiliki luas lahan yang besar akan memperoleh penghasilan yang besar sehingga ketersediaan modal cukup untuk membeli dan menggunakan input secara proporsional. 6.2.3. Keragaan Usahatani Tebu di Daerah Penelitian Kegiatan usahatani di daerah penelitian pada tebu non-keprasan meliputi persiapan lahan (pengolahan tanah), penanaman, penyulaman, penimbunanan, perawatan, pemupukan, penyemprotan dan tebang angkut. Sedangkan pada kegiatan usahatani tebu keprasan, aktivitas yang dilakukan meliputi pembersihan
74
kebun, pengeprasan, penyulaman, pemupukan, perawatan, penyemprotan dan kegiatan tebang angkut. Kegiatan pengolahan tanah meliputi bajak 1, bajak 2, dan pembuatan jalur. Pada kegiatan tanam, penggunaan bibit disesuaikan dengan masa tanam. Jenis bibit yang digunakan terdiri dari dua jenis, yaitu BM 9604 untuk masa awal sedangkan untuk masa tanam bulan ke-4, ke-5 dan ke-6 digunakan bibit BM 9605. Sedangkan pada pola keprasan, petani tidak menggunakan bibit baru tetapi melakukan keprasan. Umur bibit yang tertanam rata-rata 6 sampai 7 bulan. Aktivitas penyulaman dilakukan untuk mengganti bibit yang mati atau tidak tumbuh dengan baik. Kegiatan perawatan atau klentek (mengelupas daun yang kering) dilakukan dua kali oleh petani yaitu untuk klentek ke-1 dilakukan pada bulan ke-5 sampai dengan bulan ke-6, sedangkan untuk klentek ke-2 dilakukan pada bulan ke-7, ke-8 dan ke-9. Sebagian besar petani melakukan aktivitas penyemprotan setelah klentek ini. Penyemprotan dilakukan dengan melihat ada tidaknya gulma setelah klentek. Jenis obat yang digunakan oleh petani bermacam-macam antara lain DMA, Gramason, Round Up, Gesapak, Karmex dan Andal. Pupuk yang dianjurkan oleh pabrik terdiri dari 3 jenis yaitu pupuk Urea, TSP dan KCL dengan dosis masing-masing 300 Kg per hektar. Pemupukan pertama dilakukan pada bulan ke-2 sampai dengan bulan ke-3 dengan dosis 300 Kg pupuk TSP dan 100 Kg pupuk Urea. Sedangkan untuk pemupukan kedua dilakukan pada bulan ke-5 sampai dengan bulan ke- 6 dengan dosis pupuk KCL 300 Kg dan pupuk Urea 200 Kg. Di daerah penelitian juga dijumpai pupuk lain yang digunakan oleh petani yaitu pupuk NPK, pupuk Phonska, pupuk Kujang, pupuk kandang serta kompos. Aktivitas terakhir dalam usahatani tebu adalah aktivitas tebang dan angkut. Pada bulan ke-3 dan ke-4 tebu mulai dianalisa kemasakannya dengan periode seminggu sekali. Kegiatan ini dilakukan oleh Litbang pabrik. Jika waktu tebang sudah tiba, Litbang mengeluarkan jadwal tebang yang diberikan pada kelompoktani petani tebu rakyat (TRK). Setelah itu, dikeluarkan surat perintah tebang setiap setengah bulan sekali untuk setiap kelompoktani. Kegiatan penebangan dilakukan oleh petani. Alat angkut yang biasanya digunakan adalah
75
truk. Setelah tebu ditebang, kemudian dibawa ke pabrik untuk ditimbang dan dilakukan penggiliangan oleh pabrik gula. Pada kelompok petani TRK, penentuan rendemen dilakukan dengan menggunakan rendemen sementara. Sedangkan untuk petani TRB, penentuan rendemen dilakukan dengan menggunakan rendemen tahun sebelumnya. Penjualan gula hasil giling dilakukan oleh para koordinator kelompok masingmasing, sedangkan untuk petani TRB penjualan gula dilakukan oleh pabrik karena mereka menjual tebunya. Baik gula yang dihasilkan oleh petani (TRK) maupun pabrik (tebu sendiri dan TRB) dijual dengan menggunakan sistem lelang. Penggunaan tenaga kerja pada usahatani tebu non-keprasan di daerah penelitian meliputi kegiatan kegiatan persiapan lahan, penanaman, penyulaman, pemupukan, klentek (melepaskan daun kering), penyemprotan dan tebang angkut. Sementara kegiatan pada tebu kepras antara lain pembersihan kebun, pengeprasan, penyulaman, pemupukan, klentek, penyemprotan dan tebang angkut. Kegiatan usahatani di daerah penelitian rata-rata menggunakan tenaga kerja pria, tenaga kerja wanita dan traktor. Tenaga kerja pria mendominasi dalam setiap kegiatan usahatani tebu. Sedangkan tenaga kerja wanita biasanya digunakan pada kegiatan pemupukan. Traktor digunakan dalam kegiatan persiapan lahan, yaitu untuk bajak 1, bajak 2 dan pembuatan jalur. Penggunaan tenaga kerja di daerah penelitian sebagian besar dilakukan dengan menggunakan sistem borongan. Tetapi ada beberapa petani yang menggunakan tenaga kerja harian, yaitu saat proses pemupukan dan penyemprotan. Menurut keterangan petani contoh, penggunaan tenaga borongan dapat menghemat penggunaan tenaga kerja. Upah borongan tenaga kerja pria pada setiap kegiatan dalam usahatani tebu antara Rp. 400-700 ribu per hektar. Sedangkan untuk upah borongan traktor berkisar antara Rp. 1.100.000 sampai Rp 1.300.000 rupiah per hektar. Upah harian untuk tenaga kerja pria dan wanita berkisar antara 35 sampai dengan 50 ribu rupiah. Hitungan konversi tenaga kerja borongan baik tenaga kerja pria, tenaga kerja wanita dan tenaga kerja traktor adalah berdasarkan harga borongan per hektar dibagi dengan upah tenaga kerja pria atau wanita per hari yang berlaku di daerah penelitian.
76
6.2.3. Produktivitas Tebu, Pendapatan dan Biaya Usahatani Tebu Petani TRK dan Petani TRB Pada pola tanam non-keprasan, rata-rata produktivitas petani TRK sebesar 65.48 ton per hektar dengan luasan lahan 1.29 hektar. Sedangkan rata-rata produktivitas petani TRB mencapai 66.37 ton per hektar dengan luasan lahan ratarata 2.45 hektar. Pada pola tanam keprasan, rata-rata produktivitas tebu petani TRK sebesar 68.70 ton per hektar dengan luasan lahan rata-rata 1.62 hektar dan untuk petani TRB, rata-rata produktivitasnya mencapai 70.31 ton perhektar dengan luasan lahan rata-rata 2.82 hektar. Jumlah gula yang dihasilkan oleh petani TRK dan petani TRB pada pola tanam non-keprasan berturut-turut sebesar 2 810 kg per hektar dan 3 048 kg per hektar. Sedangkan jumlah gula yang dihasilkan oleh petani TRK dan petani TRB pada pola tanam keprasan berturut-turut sebesar 3 036 kg dan 3 563 kg. Meskipun jumlah gula petani TRB lebih besar dibandingkan dengan jumlah gula yang dihasilkan petani TRK, tetapi penerimaan petani TRK lebih besar dibandingkan dengan penerimaan petani TRB. Penerimaan petani TRK dengan pola tanam non-keprasan lebih besar dibandingkan dengan penerimaan petani TRB, yaitu berturut-turut Rp 30.96 juta dan Rp. 23.92 juta. Begitu juga dengan hasil analisis usahatani pada pola tanam keprasan dimana penerimaan usaha tani petani TRK lebih besar dibandingkan dengan penerimaan petani TRB, berturut-turut Rp 33.34 juta dan Rp 27.97 juta. Hal ini terjadi karena perbedaan sumber penerimaan antara petani TRK dengan petani TRB. Penerimaan usahatani petani TRK bersumber dari nilai lelang gula, nilai lelang tetes dan nilai jual natura. Pada saat penelitian ini dilakukan, harga lelang rata-rata gula sebesar Rp 8 105.55 per Kg, harga lelang tetes rata-rata sebesar Rp 1 616.67 per Kg dan harga gula di pasar rata-rata Rp. 10 500.00 per Kg. Jumlah tetes tebu yang dihasilkan oleh petani TRK pada pola tanam nonkeprasan sebesar 1 558 kg dan pada pola tanam keprasan sebesar 1 683 kg. Jumlah natura yang didapatkan oleh petani TRK pada pola tanam non-keprasan sebesa 281 kg dan pada tanam keprasan sebesar 304 kg. Selain itu, petani TRK juga mendapatkan tambahan sisa rendemen, yaitu untuk petani TRK non-keprasan sebesar 334 Kg dan petani keprasan sebesar 361 Kg. Penerimaan usahatani petani TRB dihitung berdasarkan harga lelang gula yaitu Rp. 7 850.00. Petani TRB juga
77
tidak mendapatkan tetes, natura dan sisa rendemen sebagaimana petani TRK. Rata-rata penerimaan, biaya dan keuntungan tebu per hektar di daerah penelitian pada musim tanam 2009/2010 untuk pola tanam non-keprasan dan keprasan disajikan pada Tabel 24 dan Tabel 25 Tabel 24. Analisis Finansial Usahatani Tebu Non-Keprasan di Daerah Penelitian Uraian A B B1
B2
Penerimaan Biaya Biaya Diperhitungkan Bibit Pupuk Urea Pupuk TSP
TRK Nilai Rata- Persen Rata(Rp/Ha) (%) 30 955 910
TRB Nilai RataPersen Rata(Rp/Ha) (%) 23 923 956
273 912 456 321 1 102 292
1.46 2.43 5.88
261 917 521 848 1 117 460
1.49 2.96 6.34
Pupuk KCL Pestisida Padat Pestisida Cair Tenaga Kerja Biaya Angkutan Tebu Total Biaya Diperhitungkan Biaya Tidak Diperhitungkan Bibit Tenaga Kerja Dalam Keluarga Penyusutan Bunga Modal PBB
1 308 372 171 235 242 268 10 445 979 1 833 448 15 833 825
6.98 0.91 1.29 55.72 9.78
1 044 911 185 490 272 790 9 987 914 2 123 913 15 516 243
5.93 1.05 1.55 56.69 12.06
2 424 759 242 343 191 689 53 347
12.93 1.29 1.02 0.28
1 749 244 265 999
9.93 1.51
85 750
0.49
2 912 138 18 745 963 15 122 085 12 209 947
2 100 993 17 617 236 8 407 712 6 306 719
1.96 1.65
1.54 1.36
C
Total Biaya Tidak Diperhitungkan Total Biaya Usahatani (B1+B2)
D E
Pendapatan Atas Biaya Tunai (A-B1) Pendapatan Tunai (A-C)
F G
R/C atas Biaya Tunai (A/B1) R/C atas Biaya Total (A/C)
Sumber: Data Primer, 2012
Keuntungan petani TRK pada pola tanam non-keprasan maupun pola tanam keprasan lebih besar dibandingkan petani TRB sebagaimana ditunjukkan oleh Tabel 24 dan Tabel 25. Hasil ini senada dengan hasil penelitian Sriati et al (2008). Keuntungan petani TRK pada pola tanam non-keprasan sebesar Rp 12.21 juta dan petani TRB sebesar Rp. 6.31 juta. Sedangkan keuntungan petani TRK
78
pada pola tanam keprasan sebesar Rp. 15.64 juta dan petani TRB sebesar Rp. 10.64 juta. . Tabel 25. Analisis Finansial Usahatani Tebu Keprasan di Daerah Penelitian Uraian A B B1
B2
Penerimaan Biaya Biaya Diperhitungkan Bibit Pupuk Urea Pupuk TSP Pupuk KCL Pestisida Padat Pestisida Cair
Persen (%)
2.85 6.86 6.68 0.92 1.08
452 047 1 055 291 1 086 665 157 811 270 443
2.61 6.09 6.27 0.91 1.56
Tenaga Kerja Biaya Angkutan Tebu
10 387 178 1 923 623
58.35 10.81
10 378 884 2 249 761
59.87 12.98
Total Biaya Diperhitungkan Biaya Tidak Diperhitungkan
15 583 008
Penyusutan Bunga Modal PBB Total Biaya Tidak Diperhitungkan
E
Total Biaya Usahatani (B1+B2) Pendapatan Atas Biaya Tunai (AB1) Pendapatan Tunai (A-C)
F G
R/C atas Biaya Tunai (A/B1) R/C atas Biaya Total (A/C)
D
TRB Nilai RataRata(Rp/Ha) 27 971 889
507 192 1 221 195 1 189 236 163 057 191 527
Bibit Tenaga Kerja Dalam Keluarga
C
TRK Nilai RataPersen Rata(Rp/Ha) (%) 33 441 315
15 650 903
273 912 1 479 386
1.54 8.31
261 917 998 955
1.51 5.76
278 836 142 395
1.57 0.80
314 967 0
1.82 0.00
45 000 2 219 529 17 802 536
0.25
109 145 1 684 984 17 335 887
0.63
17 858 308
12 320 985
15 638 779
10 636 002
2.15 1.88
1.79 1.61
Sumber: Data Primer, 2012
Berdasarkan Tabel 24 dan Tabel 25 juga diketahui bahwa usahatani tebu di daerah penelitian baik pola tanam non-keprasan maupun keprasan masih layak secara finansial untuk diusahakan karena memiliki nilai RC > 1. Hasil selengkapnya terkait dengan analisis usahatani baik pola non-keprasan dengan pola keprasan dapat dilihat pada Lampiran 1.
79
VII. ANALISIS EFISIENSI USAHATANI TEBU 7.1. Model Fungsi Produksi Model fungsi produksi stochastic frontier yang digunakan dalam analisis ini adalah fungsi produksi Cobb Douglas. Dalam proses membangun model, dibedakan antara fungsi produksi usahatani tebu non-keprasan dan pola keprasan. Variabel input yang diduga berpengaruh terhadap usahatani tebu pola nonkeprasan meliputi luas lahan (X1), bibit (X2), pupuk Urea (X3), pupuk TSP (X4), pupuk KCL (X5), pestisida padat (X6), pestisida cair (X7), dan tenaga kerja (X8). Sedangkan variabel input yang diduga berpengaruh pada usahatani pola keprasan meliputi lahan (X1), pupuk Urea (X3), pupuk TSP (X4), pupuk KCL (X5), pestisida padat (X6), pestisida cair (X7), dan tenaga kerja (X8). Hasil dugaan fungsi produksi Cobb Douglas dengan pola tanam non-keprasan dapat dilihat pada Tabel 26. Tabel 26. Hasil Pendugaan Fungsi Produksi Cobb Douglas Pola Tanam NonKeprasan dengan Menggunakan Metode OLS Variabel Input
Parameter Dugaan
t Value
Pr > [ t ]
VIF
Konstanta Lahan (X1) Bibit (X2) Pupuk Urea (X3) Pupuk TSP (X4)
1.0948 0.3345 0.0507 0.1699 0.0818
2.33 4.20a 0.50b 2.68a 2.28a
0.0331 0.0007 0.6245 0.0165 0.0368
13.50 17.70 6.10 5.80
Pupuk KCL (X5) Pestisida Padat (X6)
0.0553 0.0813
1.02b 2.89a
0.3244 0.0107
6.90 2.40
Pestisida Cair (X7) Tenaga Kerja (X8)
0.0496 0.2122
1.38b 3.71a
0.1860 0.0019
1.80 4.90
R-Sq F-hitung
0.99126 226.8
Keterangan: a, b, c nyata pada α 0.05, 0.10, dan 0.15 Sumber: Analisis Data Primer, 2012
Hasil dugaan pada Tabel 26 menunjukkan bahwa seluruh variabel input berpengaruh positif terhadap produksi usahatani sesuai dengan yang diharapkan. Akan tetapi tidak seluruhnya berpengaruh nyata. Variabel yang tidak berpengaruh nyata adalah bibit (X2) dan pupuk KCL (X5). Pada Tabel 26 juga dapat dilihat hasil uji multikolinieritas antara variabel input usahatani di daerah penelitian. Uji
80
multikolinieritas penting dilakukan karena adanya multikolinieritas dapat mengakibatkan penaksiran-penaksiran kuadrat terkecil menjadi tidak efisien, sehingga salah satu akibatnya adalah koefisien determinasi (R2) tinggi, akan tetapi uji statistic t (t ratio) menunjukkan bahwa parameter dugaan sedikit perngaruh nyata (Gujarati, 1978). Manurung et al (2005) menyatakan bahwa nilai Variance Inflation Factor (VIF) yang tinggi merupakan indikasi terjadinya multikolinieritas antar variabel independen pada suatu model. Beberapa referensi menyatakan bahwa multikolinieritas yang serius terjadi jika nilai VIF pada model liniear berganda lebih besar dari 10 dan multikolinieritas tidak serius jika nilai VIF kurang dari 10. Pada Tabel 26 dapat dilihat adanya multikolinieritas antarvariabel input karena nilai VIF yang tinggi pada variabel lahan (X1) dan bibit (X2) pada usahatani tebu pola non-keprasan, yaitu 13.50 dan 17.70. Beberapa cara
yang dapat
dilakukan untuk
mengatasi masalah
multikolinieritas antara lain, (1) mengkombinasikan data cross section dengan data time series, (2) mentransformasikan data, (3) menambahkan data baru atau ukuran observasi, (4) mengeluarkan salah satu variabel input dari regresi jika terjadi korelasi kuat antar variabel input. Langkah yang dilakukan untuk mengatasi multikolinieritas dalam penelitian ini adalah mengeluarkan variabel bibit (X2) dari model. Dengan mengeluarkan variabel bibit pada pola tanam nonkeprasan maka variabel input yang digunakan pada pola non-keprasan sama dengan variabel input yang digunakan pada pola tanam keprasan, yaitu lahan (X1), pupuk Urea (X3), pupuk TSP (X4), pupuk KCL (X5), pestisida padat (X6), pestisida cair (X7), dan tenaga kerja (X8). Hasil pendugaan fungsi produksi nonkeprasan dengan dengan variabel bibit yang telah dikeluarkan dapat dilihat pada Tabel 27. Hasil pendugaan fungsi produksi non-keprasan dengan mengeluarkan variabel benih sebagaimana disajikan pada Tabel 27 menunjukkan bahwa seluruh variabel input berpengaruh positif terhadap produksi usahatani sesuai dengan yang diharapkan. Selain itu, semua variabel berpengaruh nyata sesuai dengan tingkat α yang ditetapkan.
81
Tabel 27. Hasil Pendugaan Fungsi Produksi Cobb Douglas Pola Tanam NonKeprasan Tanpa Variabel Bibit dengan Menggunakan Metode OLS Variabel Input
Parameter Dugaan
Konstanta Lahan (X1) Pupuk Urea (X3) Pupuk TSP (X4) Pupuk KCL (X5) Pestisida Padat (X6) Pestisida Cair (X7) Tenaga Kerja (X8)
1.1252 0.3580 0.1707 0.0883 0.0579 0.0819 0.0550 0.2204
t Value 2.47 5.70a 2.75a 2.70a 1.09c 2.98a 1.64b 4.11a
Pr > [ t ] 0.0243 <.0001 0.0136 0.0153 0.2888 0.0084 0.1184 0.0007
R-Sq F-hitung
VIF 8.80 6.10 5.00 6.90 2.40 1.60 4.50 0.99112 271.14
Keterangan: a, b, c nyata pada α 0.05, 0.10, dan 0.15 Sumber: Analisis Data Primer, 2012
Pendugaan selanjutnya adalah pendugaan terhadap fungsi produksi keprasan. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, variabel input yang diduga berpengaruh pada usahatani pola keprasan meliputi lahan (X1), pupuk Urea (X3), pupuk TSP (X4), pupuk KCL (X5), pestisida padat (X6), pestisida cair (X7), dan tenaga kerja (X8). Hasil dugaan fungsi produksi Cobb Douglas dengan pola tanam keprasan dapat dilihat pada Tabel 28. Tabel 28. Hasil Pendugaan Fungsi Produksi Cobb Douglas Pola Tanam Keprasan dengan Menggunakan Metode OLS Variabel Input Konstanta Lahan (X1) Pupuk Urea (X3) Pupuk TSP (X4) Pupuk KCL (X5) Pestisida Padat (X6) Pestisida Cair (X7) Tenaga Kerja (X8)
Parameter Dugaan 1.5440 0.4261a 0.1136b 0.1505a 0.1070a 0.1106a 0.0844a 0.0891c
R-Sq F-hitung
t Value 3.30 4.67 1.48 2.45 2.33 2.01 2.50 1.05
Pr > [ t ] 0.0020 <.0001 0.1453 0.0188 0.0247 0.0510 0.0163 0.2979
VIF 14.60 12.00 7.00 4.30 4.80 3.30 13.20 0.97895 279.02
Keterangan: a, b, c nyata pada α 0.05, 0.10, dan 0.15 Sumber: Analisis Data Primer, 2012
Hasil dugaan pada Tabel 28 menunjukkan bahwa seluruh variabel input berpengaruh positif terhadap produksi usahatani sesuai dengan yang diharapkan dan seluruh variabel berpengaruh nyata pada tingkat α yang ditetapkan. Meskipun
82
pada variabel lahan (X1), pupuk Urea (X3) dan tenaga kerja (X8) memiliki nilai VIF yang lebih besar dari 10 (atau menunjukkan terjadinya multikolinearitas), tetapi hal tersebut masih ditoleransi karena berdasarkan uji statistik t (t ratio) menunjukkan variabel-variabel tersebut berngaruh nyata.
7.2. Analisis Fungsi Produksi Stochastic Frontier Pendugaan fungsi produksi stochastic frontier dilakukan dengan menggunkan metode MLE. Hasil pendugaan menggambarkan kinerja terbaik (best practice) dari petani responden pada tingkat teknologi yang ada. Selanjutnya hasil dari pendugaan fungsi produksi stochastic frontier dijadikan sebagai dasar untuk mengukur efisiensi alokatif dan efisiensi ekonomis dengan menurunkan dari fungsi biaya dual. Tabel 29 menunjukkan hasil pendugaan fungsi produksi stocahastic frontier dengan menggunakan tujuh variabel input. Tabel 29. Analisis Fungsi Produksi Stochastic Frontier Pola Tanam NonKeprasan dan Keprasan Variabel Konstanta Lahan (X1) Pupuk Urea (X3) Pupuk TSP (X4) Pupuk KCL (X5)
Non-Keprasan Parameter T-ratio Dugaan 0.1410 4.5951 0.3163 7.6365a 0.1202 1.7853b 0.0989 4.2600a 0.0659 1.4026b
Keprasan Parameter T-ratio Dugaan 2.0395 6.7042 0.5509 9.0635a 0.1202 1.9905b 0.0963 2.2492a 0.0745 2.1004a
Pestisida Padat (X6) Pestisida Cair (X7)
0.0874 0.0312
3.9434a 1.3291b
0.0190 0.0773
0.3978a 2.8409a
Tenaga Kerja (X8)
0.2294
6.3509a
0.1036
1.7798b
Log likelihood function OLS
32.4692
37.6287
Log likelihood function MLE
38.4318
50.7000
Sigma-squared
0.0041
0.0277
Gamma (y)
0.8345
0.8242
11.9250
0.2614
LR test of the one-sided error Keterangan: a, b, c nyata pada α 0.05, 0.10, dan 0.15 Sumber: Analisis Data Primer, 2012
Pada pola tanam non-keprasan, hasil pendugaan pada Tabel 29 menunjukkan bahwa variabel lahan (X1) berpengaruh nyata terhadap produksi batas pada α 5 persen dengan nilai elastisitas sebesar 0.3163. Nilai elastistas tersebut menunjukkan bahwa penambahan input sebesar 10 persen dengan input
83
lain tetap akan meningkatkan produksi batas petani contoh di daerah penelitian sebesar 3.163 persen. Selain itu, hasil pendugaan Tabel 29 juga menjelaskan bahwa elastisitas produksi lahan (X1) pada fungsi produksi stochastic frontier lebih besar dari elastisitas produksi lahan (X1) pada fungsi produksi rata-rata yang bernilai 0.3580. Hasil ini menunjukkan bahwa lahan (X1) lebih elastis. Dalam hal ini, petani masih rasional untuk menambah luas areal lahannya guna meningkatkan produksi. Akan tetapi, faktor yang perlu diperhatikan dalam penambahan luas areal lahan adalah kapasitas giling tebu per hari dari pabrik yang ada (TCD). Berdasarkan data PTPN VII Unit Usaha Bungamayang (2010), dengan total hasil tebu sebesar 1 123 872 ton dengan kapasitas terpasang sekitar 5500 TCD pada tahun 2010. Dengan jumlah ton tebu yang dihasilkan dan kapasitas giling yang terpasang pada tahun tersebut, maka hari giling dalam satu musim panen bisa mencapai 7 sampai dengan 8 bulan. Hari gilang ini termasuk yang terpanjang di Indonesia mengingat hari giling ideal dalam satu musim tanam berkisar 3 sampai dengan 4 bulan. Lamanya hari giling tentu saja sangat berpengaruh terhadap produksi gula yang dihasilkan oleh petani karena berpengaruh terhadap tingkat rendemennya. Akibatnya adalah tebu yang sudah matang dan sudah dapat jadwal tebang tidak bisa segera digiling akibat keterbatasan TCD. Kondisi ini tentu saja akan menurunkan kualitas rendemennya. Jikapun petani menunda waktu tebang (tidak sesuai dengan jadwal tebang yang diberikan) dan menunggu jadwal giling, hal ini pun akan mengakibatkan menurunnya tingkat rendemen karena masa matang tebu sudah terlewati. Kedua hal tersebut sama-sama merugikan petani. Jika rencana penambahan TCD dari 5500 TCD menjadi 7500 TCD bisa segera terealisasi, maka petani bisa menambah luas areal lahannya untuk meningkatkan produksinya. Pada pola tanam keprasan, variabel lahan (X1) berpengaruh nyata terhadap produksi batas pada α 5 persen dengan nilai elastisitas sebesar 0.4261. Nilai elastistas tersebut menunjukkan bahwa penambahan input sebesar 10 persen dengan input lain tetap akan meningkatkan produksi batas petani contoh di daerah penelitian sebesar 4.261 persen. Nilai elastistas fungsi produksi batas lebih kecil dari elastisitas produksi lahan (X1) pada fungsi produksi rata-rata yang memiliki
84
nilai elastisitas 0.5509. Berbeda dengan pola tanam non-keprasan, pada pola tanam keprasan variabel lahan cenderung kurang elastis. Artinya petani sudah tidak rasional lagi menambah luas areal lahannya. Hal ini juga sesuai dengan pola usahatani tebu rakyat dimana penambahan lahan hanya bisa dilakukan jika menggunakan bibit atau pola non-keprasan. Variabel pupuk Urea (X2) pada pola tanam non-keprasan sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 29 berpengaruh nyata terhadap fungsi produksi batas pada α 10 persen dengan nilai elastisitas sebesar 0.1707. Nilai elastistas tersebut menunjukkan bahwa penambahan input sebesar 10 persen dengan input lain tetap akan meningkatkan produksi batas petani contoh di daerah penelitian sebesar 1.707 persen. Nilai ini lebih besar dibandingkan dengan nilai elastisitas pada fungsi produksi rata-ratanya yaitu sebesar 0.1202. Nilai ini menunjukkan bahwa bahwa penggunaan pupuk Urea (X3) pada produksi batas kurang elastis dibandingkan produksi rata-ratanya. Pada pola tanam keprasan, variabel pupuk Urea (X2) berpengaruh nyata terhadap produksi batas pada α 10 persen dengan nilai elastisitas sebesar 0.1136. Nilai elastistas tersebut menunjukkan bahwa penambahan input sebesar 10 persen dengan input lain tetap akan meningkatkan produksi batas petani contoh di daerah penelitian sebesar 1.136 persen. Nilai ini lebih kecil dibandingkan dengan nilai elastisitas pada fungsi produksi rata-rata yaitu sebesar 0.1202. Nilai ini menunjukkan bahwa bahwa penggunaan pupuk Urea (X3) pada produksi batas lebih elastis dibandingkan pada produksi rataratanya. Variabel pupuk TSP (X4) pada pola non-keprasan memiliki nilai elastisitas produksi batas sebesar 0.0883. Artinya penambahan input sebesar 10 persen dengan input lain tetap akan meningkatkan produksi batas sebesar 0.883 persen. Nilai elastisitas pada fungsi produksi batas untuk pupuk TSP ini juga lebih kecil dibandingkan dengan nilai elastisitas pada fungsi produksi rata-ratanya yaitu 0.0989. Penambahan penggunaan Pupuk TSP sebaiknya tidak dilakukan karena sudah tidak rasional untuk dilakukan. Pada pola tanam keprasan, variabel pupuk TSP (X4) memiliki nilai elastisitas produksi batas sebesar 0.1505. Artinya penambahan input sebesar 10 persen dengan input lain tetap akan meningkatkan produksi batas sebesar 1.505 persen. Nilai elastisitas pada fungsi produksi batas
85
untuk pupuk TSP ini juga lebih kecil dibandingkan dengan nilai elastisitas pada fungsi produksi rata-ratanya yaitu 0.0963. Pada pola tanam keprasan penambahan penggunaan pupuk TSP masih mungkin dilakukan. Variabel pupuk KCL (X5) pada pola tanam non-keprasan memiliki nilai elastistas fungsi produksi batas sebesar 0.0579. Artinya penambahan input sebesar 10 persen dengan input lain tetap akan dapat meningkatkan produksi batas sebesar 0.579 persen. Nilai elastisitas pada fungsi produksi batas ini lebih kecil dibandingkan dengan nilai elastisitas pada fungsi produksi rata-ratanya sebesar 0.0659. Hasil ini menunjukkan bahwa variabel pupuk KCL (X5) kurang elastis atau tidak rasional lagi untuk melakukan penambahan pupuk KCL guna meningkatkan produksi. Pada pola keprasan, variabel pupuk KCL (X5) memiliki nilai elastistas fungsi produksi batas sebesar 0.1070. Artinya penambahan input sebesar 10 persen dengan input lain tetap akan dapat meningkatkan produksi batas sebesar 1.070 persen. Nilai elastisitas pada fungsi produksi batas ini lebih besar dibandingkan dengan nilai elastisitas pada fungsi produksi rata-ratanya sebesar 0.0745 atau petani masih rasional untuk menambah penggunaan pupuk KCL guna meningkatkan produksinya. Penggunaan pupuk baik pupuk Urea (X3), pupuk TSP (X4) dan pupuk KCL (X5) berdasarkan uraian diatas dapat dilihat bahwa pada pola non-keprasan, petani cenderung kurang maksimal dalam alokasi penggunaan pupuk Urea dan lebih banyak menggunakan pupuk TSP dan KCL. Sedangkan pada pola tanam keprasan kondisi ini berlaku sebaliknya. Hasil ini senada dengan hasil penelitian dari Clowes dan Breakwel (1998) dimana penggunaan pupuk nitrogen pada pola tebu non-keprasan lebih sedikit dibandingkan pada tebu keprasan. Sedangkan penggunaan pupuk fosfat dan kalium sebaliknya. Pada pola tanam non-keprasan, penggunaan pupuk fosfat berguna untuk mengembangkan akar dan pupuk kalium berguna untuk meningkatkan kemampuan serap tanah. Sedangkan pada pola tanam keprasan, penggunaan pupuk nitrogen lebih banyak berguna untuk mempercepat pertumbuhan tanaman. Pada pola tanam non-keprasan, variabel pestisida padat (X6) memiliki nilai elastisitas produksi batas sebesar 0.0819. Artinya, penambahan penggunaan input sebesar 10 persen dan input lain tetap maka akan meningkatkan produksi
86
batas sebesar 0.819 persen. Nilai elastisitas pada fungsi produksi batas ini lebih kecil dari nilai elastisitas pada fungsi produksi batas rata-ratanya yaitu sebesar 0.874. Hal ini berarti penambahan penggunaan pestisida padat pada pola tanam non-keprasan tidak rasional dilakukan guna meningkatkan produksi. Sedangkan pada pola tanam keprasan, variabel pestisida padat (X6) memiliki nilai elastisitas produksi batas sebesar 0.1106. Artinya, penambahan penggunaan input sebesar 10 persen dan input lain tetap maka akan meningkatkan produksi batas sebesar 1.106 persen. Nilai elastisitas produksi pada fungsi produksi batas ini lebih besar dari nilai elastisitas pada fungsi produksi batas rata-ratanya yaitu sebesar 0.874. Hal ini berarti penambahan penggunaan pestisida padat pada pola tanam non-keprasan masih rasional dilakukan untuk menambah produksi. Variabel pestisida cair (X7) pada pola tanam non-keprasan memiliki nilai elastisitas produksi batas sebesar 0.0819. Artinya bahwa penambahan 10 persen input dan input lain tetap maka akan meningkatkan produksi batas sebesar 0.819 persen. Nilai elastisitas pada fungsi produksi batasnya juga lebih kecil dari nilai elastisitas pada fungsi produksi rata-ratanya yaitu sebesar 0.0874. Penambahan penggunaan pestisida cair pada pola tanam non-keprasan sebaiknya dikurangi karena sudah tidak rasional untuk meningkatkan hasil produksi. Pada pola tanam keprasan, variabel pestisida cair (X7) memiliki nilai elastisitas produksi batas sebesar 0.0844. Artinya bahwa penambahan 10 persen input dan input lain tetap maka akan meningkatkan produksi batas sebesar 0.844 persen. Nilai elastisitas produksi pada fungsi produksi batasnya lebih besar dari nilai elastisitas pada fungsi produksi rata-ratanya yaitu sebesar 0.0733. Penambahan penggunaan pestisida cair pada pola tanam keprasan masih rasional dilakukan untuk meningkatkan hasil produksi. Pada pola tanam non-keprasan, penggunaan pestisida padat (X6) lebih elastis dibandingkan pada pola tanam keprasan. Sedangkan penggunaan pestisida cair (X7), baik pada pola tanam non-keprasan maupun keprasan cenderung sama. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan diketahui bahwa sebagian besar petani masih menggunakan pestisida berdasarkan pada pengalaman dan kondisi perkembangan gulma dan hama pengganggu di lapangan. Jenis pestisida padat yang digunakan oleh petani adalah Gesapak dan Karmex. Sedangkan pestisida
87
cair yang sebagian besar digunakan adalah adalah DMA, Gramson, Round Up dan Andal. Penggunaan jenis pestisida tersebut karena jenis gulma yang menyerang adalah gulma berdaun kecil (Srati et al, 2008). Selain itu, petani lebih banyak menggunakan pestisida cair dibandingkan dengan pestisida padat karena harga pestisida cair lebih murah dibandingkan dengan pestisida padat. Bahkan pada pola keprasan, petani hanya sediikit menggunakan pestisida padat dibandingkan dengan penggunaan pestisida cair. Hal ini ditandai dengan tidak signifikannya penggunaan pestisida padat pada pola tanam keprasan. Variabel tenaga kerja (X8) pada pola tanam non-keprasan memiliki nilai elastisitas produksi batas sebesar 0.2204. Artinya bahwa penambahan 10 persen input dan input lain tetap maka akan meningkatkan produksi batas sebesar 2.204 persen. Nilai elastisitas pada fungsi produksi batas ini lebih kecil dari nilai elastisitas pada fungsi produksi rata-ratanya yaitu sebesar 0.2294. Hasil ini menunjukkan bahwa penggunaan tenaga kerja pada fungsi produksi batas kurang elastics dibandingkan pada fungsi produksi rata-ratanya. Hal ini sama dengan yang terjadi pada pola tanam keprasan. Variabel tenaga kerja (X8) pada pola tanam keprasan memiliki nilai elastisitas produksi batas sebesar 0.0891. Artinya bahwa penambahan 10 persen input dan input lain tetap, maka akan meningkatkan produksi batas sebesar 0.891 persen. Nilai elastisitas pada fungsi produksi batas ini juga lebih kecil dari nilai elastisitas pada fungsi produksi rata-ratanya yaitu sebesar 0.1036. Meskipun nilai elastisitas tenaga kerja pada fungsi produksi batas baik pada pola tanam non-keprasan maupun keprasan cenderung kurang elastis, tetapi petani masih rasional untuk menambah tenaga kerja untuk meningkatkan produksinya karena pada kenyataannya usahatani tebu merupakan usahatani yang membutuhkan banyak tenaga kerja (labour intensive). Tabel 29 juga menunjukkan varian dan parameter γ model efek inefisiensi teknis fungsi produksi stocahstic frontier pola tanam non-keprasan dan keprasan petani contoh. Parameter γ dugaan merupakan rasio dari varian efisiensi teknis (µi) terhadap varian total produksi (εi). Nilai γ petani contoh pada pola tanam nonkeprasan adalah 0.8345. Secara statistik nilai yang diperoleh tersebut nyata pada α 5 persen. Angka tersebut menunjukkan bahwa 83.45 persen dari variabel galat di dalam fungsi produksi menggambarkan efisiensi teknis petani atau 83.45 persen
88
dari variasi hasil diantara petani responden disebabkan oleh perbedaan efisiensi teknis dan sisanya sebesar 16.55 persen disebabkan oleh efek-efek stochastic seperti iklim, cuaca, serangan hama penyakit dan kesalahan permodelan. Sedangkan pada pola tanam keprasan, nilai γ yang didapat adalah 0.8242. Artinya 82.42 persen dari variasi hasil diantara petani responden disebabkan oleh perbedaan efisiensi teknis dan sisanya sebesar 17.58 persen disebabkan oleh efekefek stochastic seperti iklim, cuaca, serangan hama penyakit dan kesalahan permodelan. Hasil pendugaan generalized Likelihood Ratio (LR) dari fungsi produksi stochastic frontier pola tanam non-keprasan petani contoh yaitu 11.93. Nilai tersebut lebih besar dari tabel distribusi χ2 (10.65) yang nyata pada α 10 persen. Ini berarti menolak hipotesis H0, artinya terdapat pengaruh efisiensi dan inefisiensi teknis petani. Begitu juga dengan hasil pendugaan generalized Likelihood Ratio (LR) dari fungsi produksi stochastic frontier pada pola tanam keprasan yang menghasilkan nilai 26.14. Nilai ini lebih besar dari tabel distribusi χ2 (12.59) yang nyata pada α 5 persen. Hasil ini juga berarti menolak hipotesis H0, artinya terdapat pengaruh efisiensi dan inefisiensi teknis petani dalam pola tanam keprasan.
7.3. Analisis Skala Usaha Analisis skala usaha bertujuan untuk mengetahui apakah skala ekonomi skala usaha berada pada kondisi increasing return to scale, constan return to scale atau decreasing return to scale. Analisis ini dilakukan dengan cara merestriksi jumlah koefisien peubah-peubah bebas pada fungsi produksi dengan metode OLS. Jumlah koefisien parameter dari seluruh variabel bebas (Xj) dibatasi bernilai satu. Pengujian skala usaha ini dilakukan dengan menggunakan uji statistik F hitung. Hasil analisis pendugaan fungsi produksi OLS yang tidak direstriksi dengan yang direstriksi pada pola tanam non-keprasan dan keprasan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 4 dan Lampiran 5. Hasil pengujian skala fungsi produksi disajikan pada Tabel 30.
89
Tabel 30. Hasil Pengujian Skala Usaha Fungsi Produksi Rata-Rata Pola Tanam Non-Keprasan dan Keprasan Fungsi Produksi Fungsi produksi yang tidak direstriksi Fungsi produksi yang direstriksi F-hitung
Non-Keprasan R2 e2 0.9911 0.1090 0.9907 0.1144 0.84
Keprasan R2 e2 0.9790 0.6498 0.9744 0.7918 9.18
Sumber: Analisis Data Primer, 2012
Pada pola tanam non-keprasan, uji F terhadap produksi yang tidak direstriksi dengan fungsi produksi yang diretriksi menghasilkan nilai F hitung sebesar 0.84, lebih kecil dari F tabel pada α 5 persen yaitu 2.61. Artinya jumlah koefisien (elastisitas) peubah pada fungsi produksi rata-rata metode OLS ∑ = 1. Dengan demikian hipotesis H0 diterima, yaitu nilai parameter dugaan fungsi produksi petani contoh yang direstriksi sama dengan dengan nilai parameter dugaan fungsi produksi petani yang tidak direstriksi atau berada dalam kondisi constant return to scale. Artinya setiap penambahan input sebesar 10 persen akan meningkatkan produksi tebu sebesar 10 persen. Pada pola tanam keprasan, uji F terhadap produksi yang tidak direstriksi dengan fungsi produksi yang diretriksi menghasilkan nilai F hitung sebesar 9.81, lebih besar dari F tabel pada α 5 persen yaitu 2.10. Artinya jumlah koefisien (elastisitas) peubah pada fungsi produksi rata-rata metode OLS ∑ ≠ 1. Dengan demikian hipotesis H0 ditolak, yaitu nilai parameter dugaan fungsi produksi petani contoh yang direstriksi berbeda nyata dengan nilai parameter dugaan fungsi produksi petani yang tidak direstriksi. Oleh karena jumlah elastisitas produksi rata-rata dalam penelitian ini lebih dari satu, maka skala usaha petani tebu di daerah penelitian berada pada kondisi increasing return to scale. Artinya setiap penambahan input sebesar 10 persen akan meningkatkan produksi tebu lebih dari 10 persen.
7.4. Analisis Efisiensi Teknis 7.4.1. Sebaran Efisiensi Teknis Efisiensi teknis dianalisis dengan menggunakan model fungsi produksi stochastic frontier. Berdasarkan penjelasan pada bab sebelumnya bahwa efisiensi teknis dikategorikan cukup efisien jika ≥ 0.7. Berdasarkan sebaran nilai Efisiensi
90
Teknis (TE) dapat disimpulkan bahwa efisiensi petani tebu baik petani TRK maupun petani TRB cukup tinggi baik untuk pola tanam keprasan maupun nonkeprasan. Sebaran efisiensi teknis untuk petani petani contoh pola non-keprasan dan keprasan disajikan pada Tabel 31. Tabel 31. Sebaran Efisiensi Teknis Petani Pola Tanam Non-Keprasan dan Keprasan di Daerah Penelitian Sebaran Efisiensi <0.5 0.5-0.6 0.6-0.7 0.7-0.8 0.8-0.9 0.9-1.0 Total Rata-Rata Maksimum Minimum
Pola Non Keprasan Jumlah (Orang) Persen (%) 0 0.00 0 0.00 0 0.00 2 8.00 13 52.00 10 40.00 25 100.00 0.8930 0.9942 0.7776
Pola Keprasan Jumlah (Orang) Persen (%) 0 0.00 1 2.00 0 0.00 2 4.00 5 10.00 42 84.00 50 100.00 0.9318 0.9863 0.5580
Sumber: Data Primer, 2012
Berdasarkan Tabel 31 diketahui nilai efisiensi teknis petani pola tanam non-keprasan berkisar antara 0.7776 sampai dengan 0.9942 dengan nilai rata-rata 0.8930. Sedangkan nilai efisiensi teknis petani pola tanam keprasan berkisar antara 0.5580 sampai dengan 0.9863 dengan nilai rata-rata 0.9318. Artinya ratarata produksi yang dicapai oleh petani tebu pola non-keprasan adalah 89.30 persen dan rata-rata produksi yang dicapai oleh petani dengan pola tanam keprasan adalah 93.18 persen dari frontier, yakni produksi maksimum yang dapat dicapai dengan sistem pengelolaan yang terbaik (the best practice). Fenomena ini menunjukkan bahwa kemampuan manajerial petani tebu baik dalam pola tanam non-keprasan maupun keprasan sudah cukup baik yaitu dengan menggunakan variabel lahan, pupuk Urea, pupuk TSP, pupuk KCL, pestisida padat, pestisida cair dan tenaga kerja secara proporsional. Kondisi ini di satu sisi mencerminkan tingkat keberhasilan petani dalam menjalankan usahataninya. Akan tetapi di sisi lain, hal ini bermakna bahwa potensi yang masih tersisa untuk memperbaiki produksi atau produktivitas sangat terbatas. Implikasinya adalah dengan tingkat harga input dan output usahatani tebu seperti saat penelitian dilakukan, maka akan sangat sulit bagi petani untuk meningkatkan pendapatan usahatani tebunya. Dalam jangka pendek, rata-rata petani dengan pola
91
tanam non-keprasan berpeluang sebesar 10.18 persen (1-(0.8930/0.9942)) untuk meningkatkan produksinya. Sedangkan petani dengan pola keprasan memiliki peluang
untuk
meningkatkan
produksinya
sebesar
5.53
persen
(1-
(0.9318/0.9863)). Petani baik pada pola tanam non-keprasan dan keprasan secara teknis telah efisien karena nilai efisiensi tergolong efisien jika ≥ 0.7. Berdasarkan ulasan sebelumnya juga diketahui bahwa petani pada pola tanam non-keprasan cenderung tidak efisien dibandingkan pada pola keprasan. Pola non-keprasan cenderung tidak efisien karena produksi yang relatif rendah dibandingkan dengan pola tanam keprasan. Ini dikarenakan anakan pada pada pola tanam non-keprasan lebih sedikit dibandingkan dengan anakan pada tanaman keprasan sehingga produksi tebu yang dihasilkan tanaman keprasan lebih banyak. Petani hanya dianjurkan melakukan keprasan maksimal sampai pada keprasan keempat. Berdasarkan pada pola kemitraan, sebaran efisiensi teknis petani contoh non-keprasan dengan TRK dan TRB dapat dilihat pada Tabel 32. Tabel 32. Sebaran Efisiensi Teknis Petani TRK dan TRB Pola Tanam NonKeprasan di Daerah Penelitian TRB
TRK Sebaran Efisiensi <0.5 0.5-0.6 0.6-0.7 0.7-0.8 0.8-0.9 0.9-1.0 Total Rata-Rata Maksimum Minimum
Jumlah (Orang)
Persen (%) 0 0 0 2 7 5 14
Jumlah (Orang)
0.00 0.00 0.00 14.29 50.00 35.71 100.00 0.8745 0.9690 0.7776
Persen (%) 0 0 0 0 5 6 11
0.00 0.00 0.00 0.00 45.45 54.55 100.00 0.9165 0.9942 0.8032
Keterangan: TRK = Tebu Rakyat Kredit, TRB= Tebu Rakyat Bebas Sumber: Data Primer, 2012
Rata-rata efisiensi teknis untuk petani TRK dan TRB pada pola tanam non-keprasan berturut-turut 0.8745 dan 0.9165. Petani TRB memiliki rata-rata nilai efisiensi lebih tinggi dibandingkan dengan petani TRK. Dalam jangka pendek, secara rata-rata petani contoh TRK berpeluang sebesar 9.75 persen (1(0.8745/0.9690)) untuk meningkatkan produksinya. Sedangkan petani TRB memiliki peluang untuk meningkatkan produksinya sebesar (0.9165/0.9942)).
7.82 persen (1-
92
Kondisi yang hampir sama juga terjadi sebaran teknis petani keprasan pola tanam keprasan TRK dan TRB sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 33. Pada pola tanam keprasan, rata-rata efisiensi teknis petani TRK dan TRB berturut-turut 0.9367 dan 0.9811. Artinya rata-rata produksi yang dicapai oleh petani tebu TRK adalah 93.67 persen dan rata-rata produksi yang dicapai oleh petani TRB adalah 98.11 persen dari frontier, yakni produksi maksimum yang dapat dicapai dengan sistem pengelolaan yang terbaik (the best practice). Dalam jangka pendek, ratarata petani contoh TRK berpeluang sebesar 5.04 persen (1-(0.9367/0.9863)) untuk meningkatkan produksinya. Sedangkan petani TRB memiliki peluang untuk meningkatkan produksinya sebesar 5.83 persen (1-(0.9240/0.9811)). Tabel 33. Sebaran Efisiensi Teknis Petani Keprasan Pola Kemitraan TRK dan TRB di Daerah Penelitian Sebaran Efisiensi <0.5 0.5-0.6 0.6-0.7 0.7-0.8 0.8-0.9 0.9-1.0 Total Rata-Rata Maksimum Minimum
TRK Jumlah (Orang) Persen (%) 0 0.00 0 0.00 0 0.00 1 3.23 5 16.13 25 80.65 31 100.00 0.9367 0.9863 0.7926
TRB Jumlah (Orang) Persen (%) 0 0.00 1 5.26 0 0.00 1 5.26 1 5.26 16 84.21 19 100.00 0.9240 0.9811 0.5580
Keterangan: TRK = Tebu Rakyat Kredit, TRB= Tebu Rakyat Bebas Sumber: Data Primer, 2012
Berdasarkan uraian-uraian sebelumnya, kedua kelompok petani secara teknis telah efisien karena nilai efisiensi tergolong efisien jika lebih besar dari 0.7. Jika petani berkeinginan untuk meningkatkan produksinya, maka cara yang dilakukan adalah melalui peningkatan teknologi dan manajemen usahatani yang lebih baik. 7.4.2. Sumber-Sumber Inefisiensi Teknis Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat efisiensi teknis diduga dengan menggunakan model efisiensi teknis dari fungsi produksi stochastic frontier. Hasil pendugaan model efek inefisiensi teknis baik pada pola non-keprasan dan keprasan dapat dilihat pada Tabel 34.
93
Tabel 34. Pendugaan Efek Inefisiensi Teknis Fungsi Produksi Stochastic Frontier Variabel Konstanta Pendidikan (Z1) Pengalaman (Z2) Kemitraan (Z3) Ukuran Usahatani (Z4)
Non-Keprasan Parameter Dugaan 0.487887 -0.009887 -0.013166 -0.037681 -0.066673
Keprasan T-ratio 3.3576 -1.1891c -2.7270a -0.6572c -1.7007b
Parameter Dugaan 1.412872 -0.111051 -0.477800 -0.632733 -0.705549
T-ratio 3.3056 -3.4230a -1.3225c -0.5242b -1.9233b
Keterangan: a, b, c nyata pada α 0.05, 0.10, dan 0.15 Sumber: Analisis Data Primer, 2012
Pendidikan (Z1). Faktor pendidikan adalah jumlah tahun yang dihabiskan petani untuk menempuh masa pendidikan formalnya. Faktor pendidikan dimasukkan ke dalam efek inefisiensi dengan dugaan berpengaruh negatif terhadap inefisiensi teknis petani. Artinya semakin lama pendidikan petani diduga semakin mendorong petani untuk efisien dalam proses produksi dan penggunaan input produksinya. Hasil pendugaan pada Tabel 33 menunjukkan bahwa lama pendidikan beperngaruh negatif terhadap tingkat inefsiensi petani contoh dan. Hasil ini senada dengan hasil penelitian Kurniawan (2008) dan Kebede (2001). Menurut Kebede (2001), pendidikan meningkatkan kemampuan petani untuk mencari, memperoleh dan menginterpretasikan informasi yang berguna tentang input-input produksi. Pengalaman (Z2). Faktor pengalaman dimasukkan ke dalam efek inefisiensi dengan dugaan berpengaruh negatif terhadap inefisiensi teknis petani. Artinya semakin berpengalaman petani semakin efisien dalam berproduksi dan menggunakan input produksinya. Akan tetapi, ada beberapa penelitian yang menyebutkan bahwa pengalaman berpengaruh positif terhadap inefisiensi usahatani sebagaimana yang diungkapkan oleh Yusuf (2008), Mariyah (2008), Jasila (2009) dan Babalola et al (2009). Alasan yang diungkapkan adalah petani yang berpengalaman cenderung tidak efisien dalam menggunakan input karena mengikuti kebiasaan. Selain itu semakin lama mereka berusahatani tebu dan model terkumpul, semakin mereka berusaha untuk mengganti komoditas tebu dengan komoditas lain yang lebih cepat menghasilkan dan menguntungkan. Sedangkan tebu termasuk tanaman yang membutuhkan waktu lama dan proses
94
produksinya sekitar 8 sampai dengan 12 bulan sehingga harus menunggu lama untuk memperoleh hasil usahataninya. Hasil pendugaan faktor pengalaman sebagaimana yang disajikan pada Tabel 34 menunjukkan bahwa pengalaman berpengaruh negatif dan nyata terhadap inefisiensi teknis usahatani tebu di daerah penelitian. Hasil ini senada dengan hasil penelitian Adhiana (2005) dan Msuya dan Ashimogo (2007). Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa semakin lama petani berusahatani tani tebu, maka akan sulit berpindah pada komoditas lain. Beberapa petani beranggapan bahwa bertani tebu memberikan lapangan pekerjaan yang lebih banyak dibandingkan dengan usahatani lain seperti singkong maupun kelapa sawit. Selain itu, ada “culture” dalam usahatani tebu, yaitu terbentuknya gotongroyong antar petani. Bahkan di beberapa afdeling, petani juga sudah mampu menghitung pendapatan usahataninya berdasarkan pada jumlah tebu yang dihasilkan. Kemampuan ini tidak lepas dari pembinaan-pembinaan yang dilakukan oleh para sinder PTPN VII Unit Usaha Bungamayang maupun dari koperasi. Kemitraan (Z3). Kemitraan merupakan variabel yang digunakan untuk mewakili kemitraan petani TRK dan TRK. Hasil analisis menunjukkan bahwa kemitraan memberikan efek negatif terhadap inefisiensi teknis dan tidak nyata. Kemitraan yang dijalin antara petani dengan pabrik memberikan manfaat yang besar kepada para petani khususnya terkait dengan penyediaan input-input produksi. Tetapi ada kecenderungan terjadinya keterlambatan penyaluran input di beberapa afdeling sehingga proses produksi tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Akan tetapi, kondisi ini seharusnya tidak menjadi masalah jika para petani mampu mengalokasikan sebagian hasil penjualan gulanya untuk dicadangkan guna mengantisipasi jika terjadi keterlambatan pasokan input dari pabrik. Selain itu, ada harapan dari petani kepada pabrik untuk memberikan jaminan harga yang lebih baik baik gula yang dihasilkan. Permasalahan ini sebenarnya sudah direspon oleh pabrik dengan mengadakan lelang gula yang dihasilkan petani. Pabrik menjadi fasilisator dalam lelang tersebut dengan mempertemukan
petani
dengan
para
pedagang
(distributor).
Dalam
pelaksanaannya, proses lelang sering tidak sesuai dengan harapan karena jumlah
95
pedagang yang datang hanya sedikit sehingga harga yang terjadi tetap tidak sesuai dengan harapan petani. Ukuran Usahatani (Z4). Ukuran usahatani adalah keseluruhan luasan lahan yang diusahakan oleh para petani contoh. Tabel 34 menunjukkan bahwa ukuran usahatani berpengaruh negatif dan nyata terhadap inefisiensi petani contoh. Tanda negatif pada variabel ukuran usahatani menunjukkan bahwa petani yang mempunyai lahan luas relatif lebih efisien dibandingkan dengan petani yang memiliki lahan sempit. Sebagaimana dijelaskan pada bab sebelumnya, ukuran luasan lahan ini terkait dengan modal usahatani. Petani yang mempunyai lahan luas akan memperoleh penghasilan yang lebih besar sehingga ketersediaan modal cukup untuk menggunakan input secara proporsional. Berdasarkan pada Tabel 34 juga diketahui bahwa dari beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat inefisiensi teknis usahatani tebu, ukuran usahatani merupakan faktor yang paling mempengaruhi tingkat inefisiensi teknis. Hal ini dapat dilihat dari nilai parameter dugaannya dimana nilai parameter dugaan ukuran usahatani memiliki nilai paling besar diantara nilai parameter faktor-faktor yang lain. Artinya petani yang memiliki lahan yang luas cenderung lebih efisien karena mereka mampu mengalokasikan input mereka secara proporsional dan tepat waktu. Pada penelitian ini, para petani yang tergabung dalam TRB cenderung lebih efisien dibandingkan dengan petani TRK karena rata-rata lahan petani TRB juga lebih luas dibandingkan dengan rata-rata luas lahan petani TRK baik pada pola tanam non-keprasan maupun keprasan. Faktor kedua adalah kemitraan. Akan tetapi meskipun nilai parameter ini negatif tetapi tidak signifikan. Hal ini berarti kemitraan telah mampu membantu petani dalam mencapai efisiensi teknis melalui penyediaan input-input produksi sehingga petani yang memiliki lahan yang lebih kecil mampu mencapai efisiensi teknis yang tinggi karena mampu mengalokasikan input secara proporsional. Selain itu, dengan menjalin kemitraan dengan pabrik gula khususya kemitraan TRK, para petani mendapatkan tambahan pendapatan dari tetes dan natura. Tetapi hal ini tidak menjadi efektif ketika harga gula yang diterima petani rendah karena pada gilirannya penerimaan petani juga menjadi rendah. Kondisi ini semakin berat ketika petani harus mengembalikan pinjamannya disertai dengan bunganya yang
96
berakibat pada rendahnya simpanan modal untuk musim tanam selanjutnya. Khusus pada pola tanam non-keprasan maka hal ini akan semakin dirasakan oleh para petani tebu dimana biaya yang dikeluarkan sangat besar tetapi hasil produksi yang dihasilkan belum optimal. Jamin harga gula saat musim panen sangat dibutuhkan untuk para petani tebu khususnya pada pola non-keprasan dengan kemitraan TRK dan memiliki luas lahan sempit. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah ketepatan dalam penyaluran saprodi khususnya pupuk. Banyaknya petani yang menjalin kemitraan dengan pabrik dengan wilayah yang tersebar bisa menjadi kendala dalam penyaluran pupuk sehingga ada dugaan penyaluran pupuk terkesan terlambat. Ketepatan pemberian pupuk juga menentukan tingkat produksi dari usahatani tebu. Artinya meskipun pemberian pupuk sudah dilakukan proporsional tetapi akan memberikan hasil yang beda antara pemupukan yang tepat waktu dengan yang tidak tepat waktu. Faktor ketiga adalah pengalaman. Pengalaman tidak hanya terkait dengan kemampuan petani untuk mengalokasikan input secara proporsional, tetapi juga terkait dengan usahatani tebu secara luas. Berdasarkan pengamatan di lapangan diketahui bahwa petani yang berpengalaman dengan luas lahan yang besar cenderung tetap berusahatani tebu meskipun usahatani lain memiliki prospek yang lebih baik. Akan tetapi, para petani tersebut memilih untuk bertani tebu secara mandiri atau tidak menjalin kemitraan dengan pabrik. Jika dikaitkan dengan kemitraan, maka petani cenderung beralih dari petani TRK menjadi TRB karena petani TRB lebih bebas menjual hasil usahatani tebunya ke pabrik gula manapun, tidak hanya ke PTPN VII Unit Usaha Bungamayang meskipun konsekuensinya mereka tidak mendapatkan tambahan penghasilan dari tetes dan natura. Kebebasan menjual hasil yang dimiliki oleh para petani TRB karena petani TRB tidak terikat kredit seperti para petani TRK. Selain itu, pilihan menjadi TRB karena petani TRB lebih cepat mendapatkan hasil usahatani tebunya dibandingkan dengan petani TRK karena mereka menjual tebunya ke pabrik gula. Mengingat usahatani tebu termasuk usahatani periode panjang, maka kecepatan petani mendapatkan hasil usahataninya (pendapatan) seringkali menjadi pertimbangan tersendiri bagi para petani dalam memilih pola kemitraan.
97
Faktor terakhir adalah pendidikan. Pendidikan dalam penelitian ini memiliki pengaruh yang signifikan tetapi nilai parameter dugaannya paling kecil diantara faktor yang lain. Artinya meskipun pendidikan meningkatkan kemampuan petani untuk mencari, memperoleh dan menginterpretasikan informasi yang berguna tentang input-input produksi tetapi pendidikan ini tidak dapat berdiri sendiri. Pengalaman yang baik dan dukungan modal yang kuat sangat mempengaruhi keberhasilan usahatani tebu di daerah penelitian. Apalagi usahatani tebu merupakan usahatani dengan periode panjang (antara 9 sampai dengan 12 bulan) sehingga dukungan modal sangat diperlukan. Dalam kasus ini, rata-rata pendidikan baik petani contoh dapat digolongkan rendah tetapi berpengaruh negatif terhadap inefisiensi teknis. Fenomena ini menunjukkan Meskipun rata-rata pendidikan mereka rendah, tetapi para petani tersebut mampu meneriman informasi-informasi terkait dengan usahatani tebu khususnya dari para sinder pabrik yang aktif melakukan bimbingan pada mereka maupun dari koperasi. Semakin tinggi tingkat pendidikan, maka semakin mudah mengolah informasi yang mereka dapatkan yang pada gilirannya semakin efisien pula usahatani mereka.
7.5. Analisis Efisiensi Alokatif dan Ekonomi Penggunaan input produksi yang efisien menyebabkan pertumbuhan tanaman optimal sehingga dapat menghasilkan produksi yang maksimal. Tetapi pada kenyataannya petani seringkali menggunakan sejumlah input produksi berdasarkan pada kebiasaan dan kurang memperhatikan proporsi penggunaan input dengan harga input dan produk marjinal yang dihasilkan. Efisiensi alokatif dan efisiensi ekonomis pada penelitian ini diperoleh melalui analisis dari sisi input produksi dengan menggunakan harga input yang berlaku di tingkat petani. Fungsi produksi yang digunakan sebagai dasar analisis adalah fungsi produksi stochastic frontier pada persamaan 4.2. Selanjutnya fungsi produksi stochastic frontier persamaan 4.2 diturunkan sehingga diperoleh fungsi biaya (isocost frontier) untuk pola tanam keprasan sebagai berikut: Ln C
=
0.2389+1.0533 lnY+0.3332 lnPX1+0.1266ln PX3+0.1042 lnPX4 +0.0695 lnPX5+0.0921 lnPX6+0.0329 lnPX7+0.2416 lnPX8 ......... (7.1)
98
Dimana: C
= biaya produksi tebu per individu petani (Rupiah)
Y
= jumlah produksi tebu (ton)
PX1
= harga rata-rata (sewa) lahan per hektar, yaitu Rp 1 120 000
PX3
= harga rata-rata pupuk Urea per kilogram yaitu Rp 1 800
PX4
= harga rata-rata pupuk TSP per kilogram, yaitu Rp 4 600
PX5
= harga rata-rata pupuk KCL per kilogram, yaitu 5 200
PX6
= harga rata-rata pestisida padat per kilogram, yaitu Rp 90 000
PX7
= harga rata-rata pestisida cair per liter, yaitu Rp 80 000
PX8
= harga (upah) tenaga kerja per HOK, yaitu Rp 45 000
Sedangkan pada pola tanam keprasan, fungsi biaya (isocost frontier) sebagai berikut: Ln C
= -0.4674 + 0.9599 lnY+ 0.5288 lnPX1+ 0.1153 lnPX3 + 0.0925 lnPX4 + 0.0715 lnPX5 + 0.0182 lnPX6 + 0.0742 lnPX7 + 0.0995 lnPX8 .... (7.2)
Dimana: C
= biaya produksi tebu per individu petani (Rupiah)
Y
= jumlah produksi tebu (ton)
PX1
= harga rata-rata (sewa) lahan per hektar, yaitu Rp 1 125 000
PX3
= harga rata-rata pupuk Urea per kilogram yaitu Rp 1 800
PX4
= harga rata-rata pupuk TSP per kilogram, yaitu Rp 4 600
PX5
= harga rata-rata pupuk KCL per kilogram, yaitu 5 200
PX6
= harga rata-rata pestisida padat per kilogram, yaitu Rp 90 000
PX7
= harga rata-rata pestisida cair per liter, yaitu Rp 80 000
PX8
= harga (upah) tenaga kerja per HOK, yaitu Rp 45 000
Berdasarkan hasil penurunan fungsi biaya dual pada persamaan 7.1 dapat dihitung nilai efisiensi alokatif dan efisiensi ekonomis petani contoh pola nonkeprasan. Sedangkan hasil penurunan fungsi biaya dual pada persamaan 7.2 dapat dihitung nilai efisiensi alokatif dan efisiensi ekonomis petani contoh pola keprasan. Sementara itu, inefisiensi diasumsikan meningkat dengan semakin naiknya biaya pada tingkat harga input tertentu. Sebaran nilai efisiensi alokatif dan efisiensi ekonomi petani pada pola tanam non-keprasan dan keprasan dapat dilihat pada Tabel 35.
99
Tabel 35. Sebaran Efisiensi Alokatif dan Efisiensi Ekonomi Petani Pada Pola Tanam Non-Keprasan dan Keprasan di Daerah Penelitian Sebaran Efisiensi <0.2 0.2-0.3 0.3-0.4 0.4-0.5 0.5-0.6 0.6-0.7 0.7-0.8 0.8-0.9 0.9-1.0 Total Rata-Rata Maksimum Minimum
Efisiensi Alokatif Pola Keprasan Persen Jumlah Persen (%) (Orang) (%) 12.00 0 0.00 68.00 0 0.00 20.00 0 0.00 0.00 0 0.00 0.00 7 14.00 0.00 8 16.00 0.00 17 34.00 0.00 9 18.00 0.00 9 18.00 100.00 50 100.00 0.2653 0.7681 0.3612 0.9963 0.1757 0.5228
Efisiensi Ekonomi Pola Keprasan Persen Jumlah Persen (%) (Orang) (%) 24.00 0 0.00 68.00 0 0.00 8.00 0 0.00 0.00 0 0.00 0.00 8 16.00 0.00 17 34.00 0.00 15 30.00 0.00 6 12.00 0.00 4 8.00 100.00 50 100.00 0.2359 0.7125 0.3094 0.9775 0.1747 0.5128
Pola Non-Keprasan
Pola Non-Keprasan
Jumlah (Orang) 3 17 5 0 0 0 0 0 0 25
Jumlah (Orang) 6 17 2 0 0 0 0 0 0 25
Sumber: Analisis Data Primer, 2012
Efisiensi alokatif petani non-keprasan berada pada kisaran 0.1757 sampai dengan 0.3612 dengan rata-rata 0.2653. Jika rata-rata petani dengan pola tanam keprasab dapat mencapai tingkat efisiensi alokatif paling tinggi, maka mereka akan menghemat biaya sebesar 26.54 persen (1-(0.2653/0.3612)). Sedangkan untuk petani paling tidak efisien, mereka dapat menghemat biaya sebesar 33.77 persen (1-(0.1757/0.2653)). Efisiensi alokatif pola tanam keprasan berkisar antara 0.5228 sampai dengan 0.9963 dengan nilai rata-rata 0.7681. Jika rata-rata petani keprasan dapat mencapai tingkat efisiensi alokatif paling tinggi, maka mereka akan menghemat biaya sebesar 22.91 persen (1- (0.7681/0.9963)). Sedangkan untuk petani paling tidak efisien, mereka dapat menghemat biaya sebesar 31.93 persen (1-(0.5228/0.7681)). Efisiensi ekonomis petani non-keprasan berada pada kisaran 0.1747 sampai dengan 0.3094 dengan nilai rata-rata 0.2359. Sedangkan efisiensi petani keprasan berada pada kisaran 0.5128 sampai dengan 0.9775 dengan nilai rata-rata 0.7125. Jika rata-rata petani non-keprasan dapat mencapai efisiensi paling tinggi, maka mereka dapat menghemat biaya sebesar 23.76 persen (1-(0.2359/0.3094)). Sedangkan yang paling tidak efisien, mereka dapat menghemat biaya sebesar 25.92 persen (1-(0.1747/0.2359)). Pada petani keprasan, jika rata-rata petani dapat mencapai efisiensi paling tinggi, maka mereka dapat menghemat biaya sebesar
100
27.10 persen (1-(0.7125/0.9775)). Sedangkan petani yang paling tidak efisen, mereka dapat menghemat biaya sebesar 28.04 persen (1-(0.5128/0. 7125)). Pada pola tanam non-keprasan, petani belum dapat dikatakan efisien secara alokatif dan ekonomis karena nilai efisiensi rata-rata kedua kelompok ≤ 0.7. Sedangkan pada pola keprasan, petani sudah dapat dikatakan efisien secara alokatif dan ekonomis karena nilai efisiensi rata-rata kedua kelompok ≥ 0.7. Rendahnya efisiensi alokatif petani pola tanam non-keprasan dibandingkan dengan pola keprasan karena petani tidak melakukan perbedaan dalam pemberian inputnya. Dengan kata lain, petani tetap mengalokasikan input yang sama pada pola tanam non-keprasan dan keprasan meskipun hasil produksi tebu pada pola tanam non-keprasan cenderung rendah. Berdasarkan pada pola kemitraan, sebaran efisiensi alokatif dan ekonomis petani non-keprasan pola kemitraan TRK dan TRB dapat dilihat pada Tabel 36. Tabel 36. Sebaran Efisiensi Alokatif dan Ekonomis Petani Non-Keprasan dengan Pola Kemitraan TRK dan TRB di Daerah Penelitian Sebaran Efisiensi <0.2 0.2-0.3 0.3-0.4 0.4-0.5 0.5-0.6 >0.6 Total Rata-Rata Maksimum Minimum
Efisiensi Alokatif TRK TRB Jumlah Persen Jumlah Persen (Orang) (%) (Orang) (%) 2 14.29 1 9.09 10 71.43 7 63.64 2 14.29 3 27.27 0 0.00 0 0.00 0 0.00 0 0.00 0 0.00 0 0.00 14 100.00 11 100.00 0.2625 0.2689 0.3612 0.3244 0.1871 0.1757
Efisiensi Ekonomi TRK TRB Jumlah Persen Jumlah Persen (Orang) (%) (Orang) (%) 3 21.43 3 27.27 11 78.57 6 54.55 0 0.00 2 18.18 0 0.00 0 0.00 0 0.00 0 0.00 0 0.00 0 0.00 14 100.00 11 100.00 0.2278 0.2462 0.2944 0.3094 0.1778 0.1747
Sumber: Analisis Data Primer, 2012
Efisiensi alokatif petani TRK berada pada kisaran 0.1871 sampai dengan 0.3612 dengan rata-rata 0.2625. Jika rata-rata petani contoh TRK dapat mencapai tingkat efisiensi alokatif paling tinggi, maka mereka akan menghemat biaya sebesar 27.31 persen (1-(0.2625/0.3612)). Sedangkan untuk petani paling tidak efisien, mereka dapat menghemat biaya sebesar 28.74 persen (1-(0.1871/0.2625)). Efisiensi alokatif untuk petani TRB berkisar antara 0.1757 sampai dengan 0.3094 dengan nilai rata-rata 0.2462. Jika rata-rata petani contoh TRB dapat mencapai tingkat efisiensi alokatif paling tinggi, maka mereka akan menghemat biaya
101
sebesar 17.13 persen (1- (0.1757/02689)). Sedangkan untuk petani paling tidak efisien, mereka dapat menghemat biaya sebesar 34.64 persen (1-(0.2689/0.3244)). Efisiensi ekonomis petani contoh TRK berada pada kisaran 0.1778 sampai dengan 0.2944 dengan nilai rata-rata 0.2278. Sedangkan efisiensi petani contoh TRB berada pada kisaran 0.1747 sampai dengan 0.3094 dengan nilai rata-rata 0.2462. Jika rata-rata petani contoh TRK dapat mencapai efisiensi paling tinggi, maka mereka dapat menghemat biaya sebesar 22.63 persen (1-(0.2278/0.2944)). Sedangkan yang paling tidak efisien, mereka dapat menghemat biaya sebesar 21.92 persen (1-(0.1778/0.2278)). Pada petani contoh TRB, jika rata-rata petani dapat mencapai efisiensi paling tinggi, maka mereka dapat menghemat biaya sebesar 20.43 persen (1-(0.2462/0.3094)). Sedangkan petani yang paling tidak efisen, mereka dapat menghemat biaya sebesar 29.03 persen (1-(0.1747/0.2462)). Pada pola tanam non-keprasan, baik petani yang tergabung dalam TRK maupun TRB belum dapat dikatakan efisien secara alokatif karena nilai efisiensi rata-rata kedua kelompok ≤ 0.7. Berdasarkan pada pola kemitraan, sebaran nilai efisiensi alokatif dan efisiensi ekonomi petani contoh keprasan dengan pola kemitraan TRK dan TRB dapat dilihat pada Tabel 37. Tabel 37. Sebaran Efisiensi Alokatif dan Ekonomis Petani Keprasan dengan Pola Kemitraan TRK dan TRB di Daerah Penelitian Sebaran Efisiensi <0.5 0.5-0.6 0.6-0.7 0.7-0.8 0.8-0.9 0.9-1.0 Total Rata-Rata Maksimum Minimum
Efisiensi Alokatif TRK TRB Jumlah Persen Jumlah Persen (Orang) (%) (Orang) (%) 0 0.00 0 0.00 6 19.35 0 0.00 4 12.90 4 21.05 10 32.26 8 42.11 5 16.13 4 21.05 6 19.35 3 15.79 31 100.00 19 100.00 0.7545 0.7901 0.9860 0.9963 0.5228 0.6604
Efisiensi Ekonomi TRK TRB Jumlah Persen Jumlah Persen (Orang) (%) (Orang) (%) 0 0.00 0 0.00 6 19.35 2 10.53 9 29.03 8 42.11 11 35.48 4 21.05 4 12.90 3 15.79 1 3.23 2 10.53 31 100.00 19 100.00 0.7039 0.7265 0.9082 0.9775 0.5128 0.5457
Sumber: Analisis Data Primer, 2012
Efisiensi alokatif petani TRK sebagaimana disajikan pada Tabel 35 berada pada kisaran 0.5228 sampai dengan 0.9860 dengan rata-rata 0.7545. Jika rata-rata
102
petani contoh TRK dapat mencapai tingkat efisiensi alokatif paling tinggi, maka mereka akan menghemat biaya sebesar 23.48 persen (1-(0.7545/0.9860)). Sedangkan untuk petani paling tidak efisien, mereka dapat menghemat biaya sebesar 30.71 persen (1-(0.5228/0.7544)). Efisiensi alokatif untuk petani TRB berkisar antara 0.6604 sampai dengan 0.9963 dengan nilai rata-rata 0.7901. Jika rata-rata petani contoh TRB dapat mencapai tingkat efisiensi alokatif paling tinggi, maka mereka akan menghemat biaya sebesar 20.69 persen (1(0.7901/0.9963)). Sedangkan untuk petani paling tidak efisien, mereka dapat menghemat biaya sebesar 16.42 persen (1-(0.6604/0.7901)). Pada pola tanam keprasan efisiensi ekonomis petani contoh TRK berada pada kisaran 0.5128 sampai dengan 0.9082 dengan nilai rata-rata 0.7039. Sedangkan efisiensi petani contoh TRB berada pada kisaran 0.5457 sampai dengan 0.9775 dengan nilai rata-rata 0.7265. Jika rata-rata petani contoh TRK dapat mencapai efisiensi paling tinggi, maka mereka dapat menghemat biaya sebesar 22.49 persen (1-(0.7039/0.9082)). Sedangkan yang paling tidak efisien, mereka dapat menghemat biaya sebesar 27.16 persen (1-(0.5128/0.7039)). Pada petani contoh TRB, jika rata-rata petani dapat mencapai efisiensi paling tinggi, maka mereka dapat menghemat biaya sebesar 25.67 persen (1-(0.5457/0.7265)). Sedangkan petani yang paling tidak efisen, mereka dapat menghemat biaya sebesar 24.89 persen (1-(0.7265/0.7265)). Pada pola tanam keprasan, baik petani contoh yang tergabung dalam TRK maupun petani yang tergabung dalam TRB dapat dikatakan efisien secara alokatif karena nilai efisiensi rata-rata kedua kelompok ≤ 0.7. Kedua kelompok kemitraan yaitu TRK dan TRB secara rata-rata telah efisien secara teknis, akan tetapi dengan harga input yang berlaku di daerah setempat, biaya produksi yang dikeluarkan oleh petani TRB lebih murah dibandingkan dengan petani TRK khususnya pada pola tanam non-keprasan. Kondisi ini terjadi karena petani TRB lebih fleksibel dalam penggunaan inputnya.
103
VIII. SIMPULAN DAN SARAN 8.1. Simpulan Beberapa hal yang dapat disimpulkan dari penelitian adalah sebagai berikut: 1.
Pola non-keprasan adalah pola budidaya tebu dengan menggunakan bibit dan pola keprasan adalah budidaya tebu tanpa menggunakan bibit atau tanaman tebu yang tumbuh setelah tanaman pertama ditebang. Usahatani tebu nonkeprasan maupun keprasan di daerah penelitian masih layak secara finansial untuk diusahakan karena memiliki nilai R/C >1. Pendapatan usahatani pola keprasan lebih besar dibandingkan pola non-keprasan karena produksi tebu pada pola tanam keprasan lebih besar dibandingkan non-keprasan. Berdasarkan pada pola kemitraan, pendapatan usahatani petani TRK lebih besar dibandingkan petani TRB. Hal ini karena sumber penerimaan usahatani petani TRK lebih besar dibandingkan petani TRB.
2.
Hasil estimasi usahatani tebu fungsi produksi frontier pada pola non-keprasan dijumpai variabel lahan, pupuk Urea, pupuk TSP, pupuk KCL, pestisida padat, pestisida cair dan tenaga kerja memiliki berpengaruh nyata. Pada pola keprasan, variabel yang berpengaruh nyata yaitu lahan, pupuk Urea, pupuk TSP, pupuk KCL, pestisida cair dan tenaga kerja. Faktor-faktor yang mempengaruhi inefisiensi teknis adalah pendidikan, pengalaman dan ukuran usahatani. Ukuran usahatani memiliki pengaruh paling besar untuk mengurangi inefisiensi teknis. Usahatani pola non-keprasan dan keprasan sudah efisien secara teknis dan pola keprasan lebih efisien dibandingkan dengan non-keprasan. Kemitraan berpengaruh positif karena mampu membawa petani mencapai efisiensi teknis baik pada pola non-keprasan maupun keprasan. Petani sudah mampu mencapai efisiensi alokatif dan ekonomi pada pola keprasan tetapi belum pada pola non-keprasan. Berdasarkan pada pola kemitraan, petani TRB lebih efisien dibandingkan petani TRK baik secara teknis, alokatif maupun ekonomis. Hal ini kerena petani TRB memiliki lahan lebih luas dan lebih fleksibel dalam penggunaan inputnya.
104
8.2. Saran 1.
Petani diharapkan lebih memfokuskan pada peningkatan efisiensi alokatif yaitu dengan menggunakan sejumlah input tepat sesuai dengan harga input di daerah setempat sehingga diharapkan terjadi peningkatan efisiensi ekonomis khususnya pada pola tanam non-keprasan.
2.
Ukuran usahatani memiliki pengaruh paling besar untuk untuk mengurangi inefisiensi teknis. Hal ini erat kaitannya dengan skala usaha usahatani. Mengingat penambahan luas lahan sulit dilakukan, maka peran kelembagaan baik melalui koperasi maupun kelompoktani perlu ditingkatkan untuk mencapai skala usaha khususnya bagi petani berlahan sempit.
3.
Penyuluhan dan pendampingan melalui kelembagaan pertanian yang ada di wilayah penelitian baik koperasi maupun kelompoktani perlu dilakukan secara intensif. Penyuluhan dan pendampingan ini diharapkan mampu memberikan informasi kepada petani supaya dalam berusahatani tidak hanya mengacu pada peningkatan produksi dan produktivitas tetapi juga mengalokasikan input yang tepat sehingga keuntungan maksimal tercapai.
105
DAFTAR PUSTAKA Adhiana. 2005. Analisis Efisiensi Ekonomi Usahatani Lidah Buaya (Aloe Vera) di Kabupaten Bogor: Pendekatan Stochastic Production Frontier. Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Aigner, D. J., C.A.K. Lovell and P. Schimidt. 1997. Formulation and Estimation of Stochastic Frontier Production Frontier Models. Journal of Econometrics, 6(1): 21-37. Babalola, D.A., O.I.Y. Ajani, B.T. Omonona, O.A. Oni, Y.A. Awoyinka. 2009. Techical Efficiency Differential in Industrial Sugarcane Production; The Case of Jigawane State Nigeria. Acta SATECH, 3(1): 59-69 Badan Pusat Statistik. 2010. Tabel Produksi, Luas Lahan dan Produktivitas Tebu tahun 2010. http://www.bps.go.id/aboutus.php?tabel=1&id_subyek=54. Diakses: 29 Mei 2011. Badan Pusat Statistik Propinsi Lampung. 2010. Lampung Dalam Angka 2010. Badan Pusat Statistik Propinsi Lampung, Lampung. Badan Pusat Statistik Kabupaten Lampung Utara. 2010. Lampung Utara Dalam Angka 2010. Badan Pusat Statistik Kabupaten Lampung Utara, Lampung Utara. Bakhsoodeh, Mohammad and Kenneth J. Thomson. 2001. Input and Output Technical Efficiencies of Wheat Production inKerman, Iran. Agricultural Economic Journal, 24: 307-313. Battese, G.E. 1992. Frontier Production Function and Technical Efficiency. A Survey of Empirical Applications of Agricultural Economics. Journal of Agricultural Economics, 7 (1): 185-208. Battese, GE. and T.J. Coelli. 1995. A model for Tecnical Effieciency Effects in a Stochastic Frontier Production for Panel Data. Empirical Economics, 20: 325 -332. Bishop, C.E. and W.D Toussaint. 1958. Introduction to Agricultural Economic Analisys. John Whisley&Sons, Inc., New York. Chen, A.Z., W.E. Huffman and S. Rozella. 2003. Technichal Efficiency of Chinese Grain Production: A Stochastic Frontier Approach. Paper Presented in American Agricultural Economic Association Annual Meeting, 27-30 July 2003, Montreal. Chidoko, Clainos dan Ledwin Chimway. 2011. Economic Challenger of Sugarcane Production in the Lowveld of Zimbabwe. Int.J. Eco. Res, 2(5): 1-3 Coelli, T. 1996. A Guide to Frontier version 4.1: A Computer Program for Stochastic Frontier Production Function and Cost Funtion Estimation.
106
Centre for Efficiency and Productivity Analysis, University of New England, Armidale. _______., D.S.P. Rao and G.E. Bettese. 1998. An Introduction to Efficiency and Productivity Analyisis. Kluwer Academic Publisher, London. Cooper, D. R. dan C. W. Emory. 1996. Metode Penelitian Bisnis. Jilid 1. Erlangga, Jakarta. Clowes, M dan Breakwel, W. 1998. Zimbabwe Sugarcane Production. ZSA Experiment Station. Zimbabwe. Daryanto, H.K.S. 2000. Analysis of the Technical Efficiencies of Rice Production in West Java Province, Indonesia: A Stochastic Frontier Production Function Approach. PhD Thesis. University of New England, Armidale. Debertin, D, L. 1986. Agricultural Production Economics. Macmillan Publishing Company, New York. Direktorat Jenderal Perkebunan. 2010. Statistik Kementerian Pertanian, Jakarta.
Perkebunan Indonesia.
Dinas Perindustrian dan Perdagangan Propinsi Lampung. 2011. Produksi Gula Propinsi Lampung 2002-2010. Dinas Perindustrian dan Perdagangan Propinsi Lampung, Lampung. Dlamini, S., J.L. Rugambisa,. M.B. Masuku, dan A. Belete. 2000. Technical Efficiency of the Small Scale Sugarcane Farmers in Swaziland: A Case Study of Vulvane and Big Farmers. Afr.J. Agric.Res DPR-RI. 2010. Laporan Kunjungan Kerja Spesifik Panja Gula Komisi VI DPR-RI ke Propinsi Lampung Masa Sidang I Tahun Sidang 2009-2010. Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia (DPR-RI). Jakarta. http://www.dpr.go.id. Diakses: 18 November 2011. Dwijayanti, Riana. 2011. Kemitraan Antara Petani Tebu Rakyat Kerjasama Usahatani (TRKSU) dan Petani Tebu Rakyat Mandiri (TRM) dengan Pabrik Gula Candi Baru Di Kecamatan Candi Sidoarjo. Skripsi. Fakultas Pertanian, Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jawa Timur, Surabaya. FAO Statistic. 2010. http://www.fao.org. Diakses: 12 Desember 2011. Farrell. 1957. The Measurement of Product Efficiency. Journal of The Royal Statistical Society, 120 (3): 253-281. Fadjar, Undang. 2006. Kemitraan usaha perkebunan : perubahan struktur yang belum lengkap. Forum Penelitian Agro Ekonomi, Vol. 24 (1) : 46-60. Fernandez, M. Dina Padila, and Peter Leslie Nuthall. 2009. Technical Efficinecy of Sugarcane in Central Negros Area Philipinnes. J. ISSAAS, 15 ( 1): 77-90. Gujarati, D. 1988. Basic Econometric. McGraw-Hill, New York.
107
Green, H. W. 1993. Maximum Likelihood Estimation of Stochastic Frontier Production Models. Journal of Economics, 18 (2): 285-289. Govereh, J., S. Jayne, dan J. Nyoro. 1999. Small Holder Commercialization, Interlinkage Market and Food Crop Productivity: Cross Country Evidence in Eastern and Southern Africa. Department of Agricultural Economic, Michigan State University and Department of Economic, East Lansing, MI.Mimeo. Hafsah, M. Jafar. 2003. Bisnis Gula Indonesia. Edisi Kedua. Pustaka Sinar harapan, Jakarta. Henderson, J. M. And R. E. Quandt. 1980. Microeconomic Theory : A Mathemaical Approach. Third Edition, International Student Edition. McGraw-Hill International Book Company, Tokyo. Hernanada, Nindya. 2011. Analisis peramalan tingkat produksi dan konsumsi gula Indonesia dalam mencapai swasembada gula nasional. Skripsi. Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor Hernanto, Fadholi.1996. Ilmu Usahatan (Cetakan Ketujuh). Penebar Swadaya, Jakarta. Indrayani, Ida. 2011. Analisis Efisiensi Teknis Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten Agam Propinsi Sumatera Barat. Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Januarsini, Lely. 2000. Analisis Usahatani Serta Efisiensi Penggunaan Faktor Produksi Tebu. Skripsi. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor Jasila, Ismi. 2009. Pengaruh Kredit Ketahanan Pangan Terhadap Efisiensi Usahatani Tebu di Kabupaten Situbondo Propinsi Jawa Timur. Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Jondrow, J., C. A. K. Lovell, I.S. Materov and P. Schmidt. 1982. On Estimation of Technical Inefficiency in the Stochastic Frontier Production Function Model. Journal of Econometrics, 19 (2-3): 233-238. Kartikaningsih, Anita. 2009. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Motivasi Petani Dalam Berusahatani Tebu (Studi Kasus: Petani Tebu di Wilayah Kerja PG Trangkil, Kabupaten Pati). Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Kebede, T.A. 2001. Farm Household Technical Efficiency: A Stochastic Frontier Analysis: A Study of Rice Producers in Mardi Watershed in the Western Development Region of Nepal. Master Thesis. Department of Economic and Social Sciences, Agricultural University of Norway, Norway.
108
King, R.A. 1980. The Frontier Production Function: A Tool for Improved Decision Making. Journal of North-eastern Agricultural Economic Council, 9: 1-10. Kopp, R.J. and W.E. Diewert. 1982. The Decomposition of Frontier Cost Function Deviations into Measures of Technical and Allocative Efficiency. Journal of Econometrics, 19 (2-3): 319-331. Kurniawan, Ahmad Yousuf. 2008. Analisis Efisiensi Ekonomi dan Dayasaing Usahatani Jagung Pada Lahan Kering di Kabupaten Tamah Laut Kalimantan Selatan. Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Lestari, Sri Suci Purbo. 2008. Analisis Efisiensi Penggunaan Faktor-Faktor Produksi dan Pendapatan Petani Tebu Lahan Kering (Studi Kasus di Kecamatan Trangkil Wilayah Kerja PG Trangkil Kabupaten Pati-Jawa Tengah). Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Mahadevan, R. 2002. A frontier Aprroach to Measuring Total Factor Productivity Growth in Siangapore Service’s Sector. Journal of Economic Studies, 29:48-58. Malian, A. H., Kurnia Suci dan Indraningsih. 2006. Perspektif Pengembangan Industri Gula Di Indonesia. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Bogor, Bogor. ____________, M. Ariani, K.S. Indraningsih, A.K. Zakaria, A. Askin dan J. Hestina. 2004. Revitalisasi Sistem dan Usaha Agribisnis Gula; Laporan Akhir. Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian Bogor, Bogor. Metadata. 2009. Industri Gula dan Pemasarannya di Indonesia. PT. Media Data Riset, Jakarta. Minarso, Bambang Rian dan Jabal Tarik Ibrahim. 2010. Penguatan Ketahanan Pangan Melalui Sektor Agroindustri di Jawa Timur. Jurnal Salam, 13 (1): 127-146 Mirzawan, Mohamad Mulyadi, Aris Toharisman. 2009. Identifikasi Potensi Lahan untuk Mendukung Pengembangan Agribisnis Tebu di Wilayah Timur Indonesia. www.sugarresearch.org. Diakses: 12 Juni 2011. Msuya, Elibariki dan Gasper Ashimogo. 2007. Estimation of Technical Efficiency in Tanzania Sugarcane Production: A Case Study of Mtibwa Sugar Estate Outgrowers Scheme. MPRA Paper No. 3747, 07 November 2007. Manurung, J.J., A.H. Manurung dan F.D. Saragih. 2005. Ekonometrika: Teori dan Aplikasi. PT. Elex Media Komputindo, Jakarta Mariyah. 2008. Pengaruh Bantuan Pinjaman Langsung Masyarakat terhadap Pendapatan Pendapatan dan Efisiensi Usahatani Padi Sawah di Kabupaten Penajam Paser Utara Kalimantan Timur. Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
109
Nainggolan, Kaman. 2005. Kebijakan Gula Nasional dan Persaingan Global. Agrimedia, 10: 52-65 Najmudinrohman, Cahya. 2011. Pengaruh Kemitraan Terhadap Pendapatan Usahatani Tebu di Kecamatan Trangkil Pati Jawa Tengah. Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Nuryanti, Sri. 2007. Usahatani Tebu Pada Lahan Sawah Dan Tegalan Di Yogyakarta Dan Jawa Tengah. Jurnal Ekonomi Rakyat. Artikel Pemikiran Mubyarto. Juli: 2007. http://www.ekonomirakyat.org/edisi_23/artikel_7.htm. Diakses: 14 Oktober 2012. P3GI. 2008. Konsep Peningkatan Rendemen. www.sugarresearch.org/wpcontent/.../konsep-peningkatan-rendemen.pdf. Diakses: 14 Agustus 2011. Pusat Data dan Informasi Pertanian. 2010. Outlok Komoditas Perkebunan 2010. Kementerian Pertanian, Jakarta. Unggul, Priyadi. 2009. Peranan Inovasi Kelembagaan Pabrik Gula Madukismo Terhadap Pelaksanaan Usahatani Tebu di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.www.journal.uii.ac.id. Diakses: 14 Agustus 2011. PTPN VII. 2010. Profil Perusahaan PTPN VII Unit Usaha Bungamayang. PT Perkebunan Nusantara VII, Lampung. Raswati. 1997. Analisis Pendapatan dan Efisiensi Penggunaan Faktor-Faktor Produksi Pada Usahatani Tebu Lahan Sawah. Skripsi. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Retna, Dewi. 1999. Model-Model Kemitraan Dalam pengambangan Hutan Rakyat. Buletin Teknik Pengolahan DAS V. Balai Teknologi Pengolahan Daerah Aliran Sungai. Surakarta, 1-4. Saptana, Supena dan Tribastuti Purwantini. 2004. Efisiensi dan Dayasaing Usahtani Tebu dan Tembakau di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Bogor, Bogor. Simatupang. 1996. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produktivitas Total Faktor Produksi Usahatani Padi Sawah di Indonesia. Makalah Seminar Nasional Peningkatan Produktivitas Pertanian, Jakarta: 6-7 Agustus 1996. Setiadji, Inung Widi. 1997. Analisis Pendapatan Usahatani Tebu Lahan Kering serta Analisis Nilai Tambah dan Titik Impas Pabrik Gula (Kasus PG Modjopanggoong, Kab. Tulungagung, Jawa Timur). Skripsi. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
110
Sugianto, T. 1982. The Relative Economic Efficiency of Irrigate Rice Farm, West Java, Indonesia. Ph. D Thesis. Department of Agricultural Economics, University of Illionis, Urbana. Suratiyah, Ken. 2008. Analisis Usahatani. Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Susila, W.R. dan B.M. Sinaga. 2005 (a). Analisis kebijakan industri gula Indonesia. Jurnal Agro Ekonomi, 23(1): 30−53. ___________________________________(b). Pengembangan Industri Gula Indonesia yang Kompetitif Pada Situasi Persaiangan yang Adil. Jurnal Litbang Pertanian, 24(1). Soekartawi. 2003. Teori Ekonomi Produksi. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. _________. 2002. Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian (Teori dan Aplikasi). Edisi Kedua. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Soekartawi, Soeharjo A, Dillon J, Hardaker J. 1986. Ilmu Usahatani dan Penelitian untuk Pengembangan Petani Kecil (Terjemahan). UI Press, Jakarta. Sriati, Yulian Junaidi dan Lisa Asri Gusnita. 2008. Pola Kemitraan antara Petani Tebu Rakyat Dengan PTPN VII Unit Usaha Bunga Mayang Dalam Usahatani Tebu; Kasus di Desa Karang Rejo Kecamatan Sungkai Selatan, Lampung Utara. Socio-Economic of Agriculture and Agribusiness Journal, 8 (2). Taylor, T.G., H.E. Drummond and A.T. Gomes. 1986. Agricultural Credit Program and Production Efficiency: An Analysis of Traditional Farming in South-eastern Minas Gerais, Brazil. American Journal of Agricultural Economics, 68 (1): 100-117. Tjakarawiralaksana, Abas. 1985. Usahatani. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta Wahida. 2005. Estimasi Tingkat Efisiensi Teknis Usahatani Padi dan Palawija Sungai Brantas: Aplikasi Pendekatan Stochastic Production Frontier. Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Zhang, Yu, Jian Hing Ni, dan Sizhu Zhang. 2011. Sustainable Energy Crop Production in Yunan China. Paper Presented at the 55th Annual Australian Agricultural and Resource Economic Society National Conference , Melbourne: 8-12 February 2011.
111
LAMPIRAN
112
Lampiran 1. Analisis Usahatani Petani TRK dan Petani TRB Pola Tanam NonKeprasan dan Keprasan a.
Analisis Finansial Usahatani Petani TRK Pola Tanam Non-Keprasan Uraian A
Penerimaan Pendapatan Gula Pendapatan Sisa Rendemen Pendapatan Natura Pendapatan Tetes Total Penerimaan
B B1
B2
Biaya Biaya Diperhitungkan Bibit Pupuk Urea Pupuk TSP Pupuk KCL Pestisida Padat Pestisida Cair Tenaga Kerja Biaya Angkutan Tebu Total Biaya Diperhitungkan Biaya Tidak Diperhitungkan Bibit Tenaga Kerja Dalam Keluarga Penyusutan Bunga Modal PBB Total Biaya Tidak Diperhitungkan
C D E
Total Biaya Usahatani (B1+B2) Pendapatan Atas Biaya Tunai (A-B1) Pendapatan Tunai (A-C)
F G
R/C atas Biaya Tunai (A/B1) R/C atas Biaya Total (A/C)
Nilai RataRata/Hektar
Nilai (Rp)
Total (Rp/Ha)
2 810
8 106
22 776 911
334 281
8 106 10 500
2 709 148 2 950 541
1 558
1 617
2 519 311 30 955 910
14.61 253.51
75 000 1 800
273 912 456 321
239.63 251.61 1.90 3.03 232.13 65.48
4 600 5 200 90 000 80 000 45 000 28 000
1 102 292 1 308 372 171 235 242 268 10 445 979 1 833 448 15 833 825
53.88
45 000
2 424 759 242 343 191 689 53 347 2 912 138 18 745 963 15 122 085 12 209 947 1.96 1.65
113
b.
Analisis Finansial Usahatani Petani TRK Pola Tanam Keprasan Uraian
A
B B1
B2
Penerimaan Pendapatan Gula Pendapatan Sisa Rendemen Pendapatan Natura Pendapatan Tetes Total Penerimaan Biaya Biaya Diperhitungkan Bibit Pupuk Urea Pupuk TSP Pupuk KCL Pestisida Padat Pestisida Cair Tenaga Kerja Biaya Angkutan Tebu Total Biaya Diperhitungkan
C D E
Biaya Tidak Diperhitungkan Bibit Tenaga Kerja Dalam Keluarga Penyusutan Bunga Modal PBB Total Biaya Tidak Diperhitungkan Total Biaya Usahatani (B1+B2) Pendapatan Atas Biaya Tunai (A-B1) Pendapatan Tunai (A-C)
F
R/C atas Biaya Tunai (A/B1)
G
R/C atas Biaya Total (A/C)
Nilai RataRata/Hektar 3 036 361 304 1 683
Nilai (Rp)
8 106 8 106 10 500 1 617
Total (Rp/Ha) 24 605 636 2 926 662 3 187 435 2 721 583 33 441 315
281.77 265.48 228.70 1.81 2.39 230.83 68.70
1 800 4 600 5 200 90 000 80 000 45 000 28 000
507 192 1 221 195 1 189 236 163 057 191 527 10 387 178 1 923 623 15 583 008
14.61 32.88
75 000 45 000
273 912 1 479 386 278 836 142 395 45 000 2 219 529 17 802 536 17 858 308 15 638 779 2.15 1.88
114
c.
Analisis Finansial Usahatani Petani TRB Pola Tanam Non-Keprasan Uraian A
B B1
B2
Penerimaan Pendapatan Gula Pendapatan Sisa Rendemen Pendapatan Natura Pendapatan Tetes Total Penerimaan Biaya Biaya Diperhitungkan Bibit Pupuk Urea Pupuk TSP Pupuk KCL Pestisida Padat Pestisida Cair Tenaga Kerja Biaya Angkutan Tebu Total Biaya Diperhitungkan
C D E
Biaya Tidak Diperhitungkan Bibit Tenaga Kerja Dalam Keluarga Penyusutan Bunga Modal PBB Total Biaya Tidak Diperhitungkan Total Biaya Usahatani (B1+B2) Pendapatan Atas Biaya Tunai (A-B1) Pendapatan Tunai (A-C)
F
R/C atas Biaya Tunai (A/B1)
G
R/C atas Biaya Total (A/C)
Nilai RataRata/Hektar 3 048
Nilai (Rp)
7 850
Total (Rp/Ha) 23 923 956
23 923 956
13.97
75 000
261 917
289.92 242.93
1 800 4 600
521 848 1 117 460
200.94 2.06 3.41 221.95 66.37
5 200 90 000 80 000 45 000 32 000
1 044 911 185 490 272 790 9 987 914 2 123 913 15 516 243
38.87
45 000
1 749 244 265 999 85 750 2 100 993 17 617 236 8 407 712 6 306 719 1.54 1.36
115
d.
Analisis Finansial Usahatani Petani TRB Pola Tanam Keprasan Uraian A
B B1
B2
Penerimaan Pendapatan Gula Pendapatan Sisa Rendemen Pendapatan Natura Pendapatan Tetes Total Penerimaan Biaya Biaya Diperhitungkan Bibit Pupuk Urea Pupuk TSP Pupuk KCL Pestisida Padat Pestisida Cair Tenaga Kerja Biaya Angkutan Tebu Total Biaya Diperhitungkan
C D E
Biaya Tidak Diperhitungkan Bibit Tenaga Kerja Dalam Keluarga Penyusutan Bunga Modal PBB Total Biaya Tidak Diperhitungkan Total Biaya Usahatani (B1+B2) Pendapatan Atas Biaya Tunai (A-B1) Pendapatan Tunai (A-C)
F
R/C atas Biaya Tunai (A/B1)
G
R/C atas Biaya Total (A/C)
Nilai RataRata/Hektar 3 563
Nilai (Rp)
7 850
Total (Rp/Ha) 27 971 889
27 971 889
251.14 229.41 208.97 1.75 3.38 230.64 70.31
1 800 4 600 5 200 90 000 80 000 45 000 32 000
452 047 1 055 291 1 086 665 157 811 270 443 10 378 884 2 249 761 15 650 903
13.97 22.20
75 000 45 000
261 917 998 955 314 967 109 145 1 684 984 17 335 887 12 320 985 10 636 002 1.79 1.61
116
Lampiran 2. Hasil Pendugaan Fungsi Produksi Pola Tanam Non-Keprasan dan NonKeprasan Tanpa Benih a.
Fungsi Produksi Pola Tanam Non-Keprasan
117
b.
Fungsi Produksi Pola Tanam Non-Keprasan Tanpa Variabel Benih
118
Lampiran 3. Hasil Pendugaan Fungsi Produksi Keprasan
119
Lampiran 4. Hasil Pendugaan Fungsi Produksi Non-Keprasan Tanpa Variabel Benih Terestriksi dan Uji Asumsi Constan Return to Scale (CRTS) a.
Fungsi Produksi Non-Keprasan Tanpa Variabel Benih Terestriksi
120
b.
Uji Asumsi Constan Return to Scale (CRTS)
121
Lampiran 5. Hasil Pendugaan Fungsi Produksi Keprasan Terestriksi dan Uji Asumsi Constan Return to Scale (CRTS) a.
Fungsi Produksi Keprasan Terestriksi
122
b.
Uji Asumsi Constan Return to Scale (CRTS)
123
Lampiran 6. Hasil Analisis Pendugaan Fungsi Produksi Non-Keprasan Rata-Rata OLS dan Fungsi Produksi Stochatic Frontier (MLE) dengan Menggunakan Frontier 4.1 Output from the program FRONTIER (Version 4.1c)
instruction file = terminal data file = be15.dat
Tech. Eff. Effects Frontier (see B&C 1993) The model is a production function The dependent variable is logged
the ols estimates are : coefficient beta 0 beta 1 beta 2 beta 3 beta 4 beta 5 beta 6 beta 7 sigma-squared
0.11252995E+01 0.35801985E+00 0.17066722E+00 0.88291286E-01 0.57930408E-01 0.81955598E-01 0.55030893E-01 0.22044641E+00 0.64109082E-02
standard-error 0.45525965E+00 0.62839249E-01 0.62044179E-01 0.32751634E-01 0.52893249E-01 0.27501447E-01 0.33458775E-01 0.53584246E-01
t-ratio 0.24717753E+01 0.56973921E+01 0.27507370E+01 0.26957826E+01 0.10952326E+01 0.29800468E+01 0.16447372E+01 0.41140153E+01
log likelihood function = 0.32469247E+02 the final mle estimates are : coefficient beta 0 beta 1 beta 2 beta 3 beta 4 beta 5 beta 6 beta 7 delta 0 delta 1 delta 2 delta 3 delta 4 sigma-squared gamma
standard-error
0.14097773E+01 0.31629331E+00 0.12018843E+00 0.98925822E-01 0.65947801E-01 0.87404078E-01 0.31215185E-01 0.22940619E+00 0.48788702E+00 -0.98870962E-02 -0.13165693E-01 -0.37680971E-01 -0.66672765E-01 0.40897887E-02 0.83453316E+00
t-ratio 0.30680189E+00 0.41418724E-01 0.67319652E-01 0.23222186E-01 0.47016820E-01 0.22164403E-01 0.23485986E-01 0.36121597E-01 0.14530846E+00 0.83150749E-02 0.48278186E-02 0.57335699E-01 0.39202617E-01 0.93164326E-03 0.32665362E+00
log likelihood function = 0.38431760E+02
0.45950737E+01 0.76364813E+01 0.17853394E+01 0.42599703E+01 0.14026427E+01 0.39434439E+01 0.13290983E+01 0.63509427E+01 0.33575955E+01 -0.11890568E+01 -0.27270479E+01 -0.65719913E+00 -0.17007223E+01 0.43898656E+01 0.25547954E+01
124
LR test of the one-sided error = 0.11925025E+02 with number of restrictions = 6 [note that this statistic has a mixed chi-square distribution] number of iterations =
26
(maximum number of iterations set at : 100) number of cross-sections = number of time periods =
25 1
total number of observations = thus there are:
25
0 obsns not in the panel
technical efficiency estimates :
firm year 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
eff.-est. 0.88104102E+00 0.81859483E+00 0.96899398E+00 0.89017796E+00 0.78379373E+00 0.89630389E+00 0.84709514E+00 0.82252780E+00 0.95047798E+00 0.90371437E+00 0.87802376E+00 0.94581829E+00 0.87916838E+00 0.77761114E+00 0.80315776E+00 0.97890377E+00 0.97280257E+00 0.87511129E+00 0.89342480E+00 0.97015727E+00 0.81707346E+00 0.83677116E+00 0.95360738E+00 0.98605718E+00 0.99423542E+00
mean efficiency = 0.89298577E+00
125
Lampiran 7. Hasil Analisis Pendugaan Fungsi Produksi Keprasan Rata-Rata OLS dan Fungsi Produksi Stochatic Frontier (MLE) dengan Menggunakan Frontier 4.1 Output from the program FRONTIER (Version 4.1c)
instruction file = terminal data file = dkk.dat
Tech. Eff. Effects Frontier (see B&C 1993) The model is a production function The dependent variable is logged
the ols estimates are :
beta 0 beta 1 beta 2 beta 3 beta 4 beta 5 beta 6 beta 7 sigma-squared
coefficient
standard-error
0.15440051E+01 0.42613847E+00 0.11360838E+00 0.15052761E+00 0.10703631E+00 0.11056273E+00 0.84397240E-01 0.89084102E-01 0.15472786E-01
0.46793448E+00 0.91171269E-01 0.76558514E-01 0.61566694E-01 0.45933411E-01 0.55037942E-01 0.33713600E-01 0.84543338E-01
t-ratio 0.32996181E+01 0.46740435E+01 0.14839418E+01 0.24449520E+01 0.23302495E+01 0.20088457E+01 0.25033589E+01 0.10537093E+01
log likelihood function = 0.37628723E+02 the final mle estimates are : coefficient beta 0 beta 1 beta 2 beta 3 beta 4 beta 5 beta 6 beta 7 delta 0 delta 1 delta 2 delta 3 delta 4 sigma-squared gamma
0.20394995E+01 0.55093465E+00 0.12016586E+00 0.96342695E-01 0.74462100E-01 0.18974768E-01 0.77273864E-01 0.10364420E+00 0.14128724E+01 -0.11105117E+00 -0.47779960E-01 -0.63273331E-01 -0.70554883E-01 0.27689456E-01 0.82420335E+00
standard-error 0.30421241E+00 0.60785878E-01 0.60369790E-01 0.42833794E-01 0.35451134E-01 0.47702811E-01 0.27200450E-01 0.58234502E-01 0.42741785E+00 0.32442649E-01 0.36128036E-01 0.12069558E+00 0.36684484E-01 0.76227733E-02 0.12448732E+00
log likelihood function = 0.50700034E+02
t-ratio 0.67041959E+01 0.90635303E+01 0.19904966E+01 0.22492216E+01 0.21004152E+01 0.39777043E+00 0.28409038E+01 0.17797731E+01 0.33055998E+01 -0.34229995E+01 -0.13225175E+01 -0.52423902E+00 -0.19232895E+01 0.36324649E+01 0.66207817E+01
126
LR test of the one-sided error = 0.26142622E+02 with number of restrictions = 6 [note that this statistic has a mixed chi-square distribution] number of iterations =
25
(maximum number of iterations set at : 100) number of cross-sections = number of time periods =
50 1
total number of observations = thus there are:
50
0 obsns not in the panel
technical efficiency estimates :
firm year 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
eff.-est. 0.96152540E+00 0.98633879E+00 0.94394561E+00 0.94757844E+00 0.91603614E+00 0.95048974E+00 0.89708886E+00 0.89959506E+00 0.97002195E+00 0.98081918E+00 0.79257478E+00 0.97610233E+00 0.91502807E+00 0.98113340E+00 0.98390955E+00 0.90351562E+00 0.95737161E+00 0.97412812E+00 0.94630991E+00 0.93752719E+00 0.92265887E+00 0.93182673E+00 0.89752538E+00 0.95986865E+00 0.91631662E+00 0.96834327E+00 0.92507060E+00 0.91236473E+00 0.96317185E+00 0.84674076E+00 0.97126014E+00 0.94502985E+00
127
33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
0.55797520E+00 0.95466887E+00 0.94742628E+00 0.96640407E+00 0.96959190E+00 0.97736977E+00 0.96842303E+00 0.97630763E+00 0.97941484E+00 0.73179721E+00 0.97320053E+00 0.98113669E+00 0.96248794E+00 0.98110321E+00 0.93762116E+00 0.80761845E+00 0.98026332E+00 0.95761285E+00
mean efficiency = 0.93183280E+00
128