Perjanjian No: III/LPPM/2013-03/14-P
ANALISIS DAN PENGUATAN RANTAI NILAI USAHA DI TAHURA IR. H. DJUANDA
Disusun Oleh: 1. Catharina Badra Nawangpalupi, Ph.D. 2. Ignatius A. Sandy, SSi., MT. 3. Ceicalia Tesavrita, ST., MT. Asisten Peneliti: 1. Rizky Askanda 2. Maria Wahyuning Gusti
Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Katolik Parahyangan 2013
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ............................................................................................................................................... 1 ABSTRAK .................................................................................................................................................. 2 BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................................................................ 3 1.1 LATAR BELAKANG .......................................................................................................................... 3 1.2 TUJUAN KHUSUS ........................................................................................................................... 4 1.3 KEUTAMAAN PENELITIAN ............................................................................................................. 4 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................................................... 8 2.1 BIOGAS .......................................................................................................................................... 8 2.2 BIOSLURRY .................................................................................................................................... 9 2.3 PEMETAAN BISNIS/USAHA .......................................................................................................... 11 ROADMAP PENELITIAN ..................................................................................................................... 13 BAB III. METODE PENELITIAN ................................................................................................................ 14 BAB IV. PEMETAAN DAN ANALISIS IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK USAHA DI TAHURA IR. H. DJUANDA .............................................................................................................................................................. 15 4.1 PROFIL USAHA JUAL BELI DAN JASA ........................................................................................... 15 4.2 KEBERLANJUTAN USAHA DAN PEMETAAN KEMAMPUAN USAHA JUAL BELI DAN JASA ............ 20 4.3 PROFIL USAHA BUDI DAYA .......................................................................................................... 27 4.4 PEMETAAN KEMAMPUAN USAHA BUDIDAYA ............................................................................ 40 4.5 REKOMENDASI KEBERLANJUTAN USAHA ................................................................................... 42 BAB V. PEMETAAN MODEL PEMANFAATAN PUPUK DAN BIOSLURRY ................................................. 45 V.1 JAWA BARAT ‐ LEMBANG ........................................................................................................... 45 V.2 JAWA TENGAH ............................................................................................................................ 52 KESIMPULAN ......................................................................................................................................... 57 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................................. 58
1
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk Penelitian ini bertujuan untuk memetakan dan mengidentifikasi potensi usaha di Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda (Tahura) dan merekomendasi penguatan usaha yang sesuai dengan karakterisik pengusaha di Tahura saat ini dan karakeristik Tahura. Pemetaan ini dilakukan dengan melakukan survei dan wawancacara kepada para pengusaha yang ada di Tahura. Pengolahan kemampuan dan sifat usaha serta karakteristik pengusaha di Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda dilakukan untuk memperoleh peta pengusaha. Berdasarkan hasil pemetaan dan identifikasi, diberikan usulan untuk pengembangan usaha di Tahura. Secara terpisah, penelitian ini juga merekomendasi pemanfaatan kotoran sapi untuk pupuk organik . Hal ini diberikan atas pertimbangan adanya keseseuaian antara karakteristik Tahura dalam pemanfaatann bioslurry sebagai pupuk organik ini. Penelitian ini dilakukan terkait dengan rencana (masterplan) Pengembangan Tahura Ir. H. Djuanda tahun 2014‐2048 yang merupakan kerja sama tiga pihak antara UNPAR, Balai Tahura dan Yayasan Sahabat Lingkungan Hidup. Penelitian ini sesuai dengan area penelitian (Tahura Djuanda) di zona inti (CORE) untuk pengelolaan limbah dan zona penyangga (BUFFER) untuk pembinaan peternak (sepadan dengan petani lebah). Identifikasi pemanfaatan bioslurry merupakan langkah awal yang pada akhirnya memerlukan bentuk pendampingan dan pembinaan agar pemanfaatan tersebut dapat optimal.
2
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda (Tahura) merupakan salah satu kawasan yang dlindungi di Jawa Barat. Tahura juga mempunyai bermacam fungsi yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat umum maupun masyarakat disekitarnya. Selain menjadi hutan lindung, Tahura berfungsi sebagai objek wisata yang mempunyai banyak daya tarik. Letak Tahura yang bersinggungan dengan Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Bandung dan Kotamadya Bandung membuat Tahura menjadi kawasan yang memiliki peran dan potensi sosial bagi masyarakat di sekitarnya. Pengelolaan Tahura dibagi menjadi tiga kawasan berdasarkan kegiatan yang dilakukan di tiap kawasannya (LPPM, 2012), ketiga kawasan tersebut, yaitu blok perlindungan, blok koleksi tanaman, dan blok pemanfaatan. Blok perlindungan dimanfaatkan untuk melakukan kegiatan‐kegiatan seperti penelitian ilmiah, fasilitas pengamanan hutan terbatas, konservasi tanaman hutan dan tanaman makanan satwa liar, wisata terbatas, pengambilan gambar, dan pemanfaatan jasa lingkungan. Blok koleksi tanaman dimanfaatkan untuk melakukan kegiatan‐kegiatan seperti konservasi tanaman dan pembinaan habitat satwa, pembuatan sarana dan prasarana pembinaan tumbuhan dan satwa liar, penelitian tumbuhan dan satwa liar, pendidikan lingkungan, pengambilan gambar, dan pemanfaatan jasa lingkungan. Blok pemanfaatan dimanfaatkan untuk melakukan kegiatan‐kegiatan seperti pemanfaatan kawasan dan potensinya dalam bentuk kegiatan penelitian, pendidikan, dan wisata alam, wisata alam, penangkapan jenis tumbuhan dan/atau satwa liar untuk kegiatan penelitian, pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan dan pelatihan, pengembangbiakan tumbuhan dan/atau satwa liar dan budidaya, pembangunan sarana dan prasarana pengelolaan, penelitian, pendidikan, dan wisata alam berdasarkan tujuan pengelolaan, ketentuan mengenai pembangunan di kawasan konservasi dan gaya arsitektur daerah, rehabilitasi satwa, pembinaan habitat, pembinaan cinta alam, olahraga tertentu, pengambilan gambar, dan pemanfaatan jasa lingkungan. Letak dan fungsi Tahura membuat hubungan antara Tahura dengan masyarakat sekitarnya mempengaruhi keberadaan dan kemajuan Tahura. Masyarakat sekitar dapat memanfaatkan Tahura sebagai lahan mata pencaharian dan sekaligus menunjang kelangsungan Tahura sebagai hutan lindung maupun sebagai objek wisata. Pemanfaatan potensi Tahura oleh masyarakat sekitar perlu dilakukan perbaikan, agar pemberdayaan sosial dapat dimaksimalkan. Pengoptimalan pemberdayaan sosial akan mempengaruhi perekonomian masyarakat sekitar, sesuai dengan model pembangunan berkelanjutan. Sebagai area yang berbatasan dengan Maribaya (Lembang) di sisi Utara dan dilewati sungai Cikapundung yang berhulu di daerah Lembang, kondisi lingkungan dan sosial Tahura sangat dipengaruhi oleh aktivitas yang terjadi di Lembang. Lembang merupakan salah satu sentra peternakan sapi perah di Propinsi Jawa Barat. Salah satu permasalahan yang dimiliki oleh peternakan sapi adalah pembuangan kotoran sapi. Banyak pemilik sapi yang belum memanfaatkan kotoran sapi dan hanya membuang kotoran tersebut ke sistem pembuangan limbah. Hal ini menyebabkan kondisi lingkungan yang tidak higienis dan memberikan
3
dampak lingkungan negatif bagi sekitarnya. Namun banyak juga yang sudah memiliki biogas, dimana kotoran sapi dimasukkan ke dalam reaktor biogas dan diubah menjadi gas yang bisa dimanfaatkan oleh rumah tangga peternak untuk bahan bakar memasak dan lampu untuk penerangan. Namun, penggunaan biogas belum menyelesaikan seluruh permasalahan kotoran sapi yang ada karena kotoran sapi yang diolah menjadi biogas masih akan menyisakan limbah cair yang disebut bioslurry, yaitu kotoran sapi yang telah hilang gas methananya. Dampak pembuangan bioslurry maupun kotoran hewan segar saat ini memberikan masalah untuk sungai Cikapundung, di mana hulu sungai Cikapundung berada di Gunung Bukit Tunggul di mana ada sekitar 1000‐1500 sapi perah di daerah tersebut. Pembuangan bioslurry dan kotoran hewan mencemari sungai Cikapundung yang merupakan sumber air dan PLTA Kota Bandung. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk memetakan potensi pengembangan usaha di Tahura dan pemetaan bagaimana pemanfaatan kotoran sapi dan bioslurry dapat dilakukan sebagai opsi pengembangan usaha di Tahura. Tahura terdiri dari tiga blok, yaitu blok konservasi, blok koleksi tanaman dan blok pemanfaatan. Pada blok koleksi tanaman dilakukan pengkayaan tanaman yang tentunya juga memerlukan pupuk. Oleh karena itu, Tahura Djuanda dapat juga memanfaatkan bioslurry yang diproduksi oleh lahan di sekitarnya.
1.2 TUJUAN KHUSUS Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat dirumuskan tujuan khusus penelitian ini, yaitu: 1. Mengidentifikasi aktor utama (key actors) dan karakteristik pada pengusaha, atau masyarakat yang melakukan kegiatan usaha di Tahura. Aktor utama adalah orang‐orang kunci yang terlibat secara langsung dalam pemanfaatan Tahura. Pada permasalahan ini, aktor utama yang akan diindentifkasi adalah semua aktor yang dapat terlibat langsung dengan pemanfaatan Tahura, baik dalam sektor budi daya usaha, jasa, warung maupun kegiatan jual beli di Tahura Ir. H. Djuanda. 2. Mengidentifikasi dan mengevaluasi usaha yang memiliki potensi keberlanjutan yang sesuai dengan karakteristik Tahura. 3. Merekomendasi bentuk dan karakteristik usaha yang sesuai dengan pemanfaatan pupuk organik atau bioslurry dari peternakan sapi di Lembang.
1.3 KEUTAMAAN PENELITIAN Penelitian ini dilakukan terkait dengan rencana (masterplan) Pengembangan Tahura Ir. H. Djuanda tahun 2014‐2048 yang merupakan kerja sama tiga pihak antara UNPAR, Balai Tahura dan Yayasan
4
Sahabat Lingkungan Hidup. Visi pengembangan Pengelolaan Tahura Ir. H. Djuanda adalah “Terciptanya Pengembangan Pengelolaan Tahura Ir. H. Djuanda yang berwawasan lingkungan untuk mewujudkan kelestarian hutan sebagai sistem penyangga kehidupan bagi kesejahteraan rakyat ”. Pemanfaatan bioslurry untuk pupuk organik dapat mewujudkan misi Tahura untuk mengedepankan wawasan lingkungan sekaligus mampu mendukung kesejahteraan masyarakat (khususnya peternak) jika mereka dapat memperoleh pasar untuk bioslurry yang dihasilkan dari biogas yang mereka gunakan. Salah satu misi Pengembangan Pengelolaan Tahura Ir. H. Djuanda adalah “meningkatkan kontribusi pemanfaatan kawasan hutan melalui pariwisata alam untuk kepentingan konservasi, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat” juga membuktikan pentingnya pemanfaatan bioslurry dalam pencapaian misi Tahura.
Gambar 1.1: Tiga Zona yang disangga oleh Tahura Djuanda (Sumber: Tim Pengabdian Kepada Masyarakat, 2011) Gambar 1.1 menunjukkan zona Tahura dan sekitarnya, dimana zona dalam (inner zone) adalah kawasan Tahura, dan zona penyangga (buffer zone) adalah zona penunjang dari Tahura yang menerima manfaat langsung dari Tahura. Zona ketiga (outer zone) adalah zona terluar yang merupakan penerima manfaat akibat pengelolaan konservasi Tahura. Penguatan pemanfaatan Tahura atau daerah penyangga pada akhirnya akan memberikan manfaat juga bagi area terluar. Penelitian ini merupakan penelitian monodisiplin dari Jurusan Teknik Industri UNPAR. Tim LPPM UNPAR juga telah mengidentifikasi kerja sama Pengembangan Tahura berdasarkan keilmuannya.
5
Gambar 1.2 menunjukkan potensi pengembangan pemanfaatan Tahura Djuanda untuk keilmuan teknik industri.
Gambar 1.2: Area Ilmu Teknik Industri dalam Pengembangan Pemanfaatan Tahura (Sumber: Tim Pengabdian Kepada Masyarakat, 2011) Penelitian ini sesuai dengan area penelitian di zona inti (CORE) untuk pengelolaan limbah dan zona penyangga (BUFFER) untuk pembinaan peternak (sepadan dengan petani lebah). Indentifikasi pemanfaatan bioslurry merupakan langkah awal yang pada akhirnya memerlukan bentuk pendampingan dan pembinaan agar pemanfaatan tersebut dapat optimal.
Gambar 1.3: Kerangka Waktu Rencana Pengembangan Pemanfaatan Tahura Djuanda (Sumber: Tim Pengabdian Kepada Masyarakat, 2011)
6
Secara umum, penelitian ini mendukung konsep pengembangan Tahura dalam 5 tahun pertama (Lihat Gambar 1.3). Berdasarkan Buku I LPPM UNPAR (Tim Pengabdian Kepada Masyarakat, 2011), konsep masterplan pengembangan Tahura Ir. H. Juanda berbasis Eco Learning Camp untuk jangka pendek 5 tahun adalah mengangkat peran Tahura sebagai tempat untuk kegiatan edukasi, konservasi, penelitian, dan pemberdayaan masyarakat tentang pelestarian lingkungan alam melalui pencitraan baru. Proyeksi pembangunan pencitraan baru Tahura adalah pengembangan dan mengkayaan kelengkapan prasarana, sarana penunjang dan pembaharuan manajemen pengelolaan Tahura sebagai kawasan lindung.
7
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 BIOGAS Biogas adalah jenis gas yang dapat terbaakar dan digunakan sebagai energi. Biogas adalah gas yang berasal dari makhluk hidup yaitu hewan dan tanaman. Gas ini dihasilkan dari proses fermentasi anaerobik bahan organik (Moenir dan Yuliasni, 2011) seperti kotoran manusia, kotoran hewan, tumbuhan, limbah domestik, limbah industri yang dapat diuraikan (biodegradable) atau limbah organik lainnya yang biodegradable dalam kondisi anaerobik. Komposisi dari biogas adalah 50%‐70% gas metan (CH4), 30%‐45% gas karbondioksida (CO2), dan gas‐gas lain dalam jumlah kecil seperti gas hidrogen sulfida (H2S) berkisar 1‐3%, gas nitrogen (N2) sekitar 0,1‐0,3% dan sisanya gas hidrogen (H2). Sumber energi biogas ini sangat cocok digunakan sebagai sumber energi pengganti minyak tanah, LPG, butana, batu bara ataupun bahan‐bahan lain yang berasal dari fosil. Prinsip pembuatan biogas ini adalah menciptakan proses fermentasi bahan organik dalam ruang kedap udara yang biasa disebut alat pencerna atau digester. Dalam ruang kedap udara tersebut terjadi proses interaksi yang kompleks dari sejumlah bakteri yang berbeda‐beda diantaranya Methanobacterium dan Methanobacillus (Rohman 2009). Gas yang menyebabkan biogas ini dapat terbakar adalah gas metana (CH4). Jumlah energi yang ada dalam biogas ini bergantung dari konsentrasi gas metana. Semakin tinggi kandungan gas metana dalam digester maka semakin besar kandungan energi (nilai kalor) pada biogas. Pemanfaatan biogas dalam kehidupan sehari‐hari sebagai sumber energi alternatif dapat memberikan keuntungan sebagai berikut (Suyati 2006): 1. 2. 3. 4. 5.
Mengurangi penggunaan bahan bakar fosil. Mengurangi masalah sampah akibat lingkungan. Biogas merupakan sumber energi yang biayanya murah dan mudah didapat. Sisa proses pembuatan biogas berupa bahan organik yang disebut slurry atau bioslurry. Pemakaian biogas dapat memperbaiki kesehatan lingkungan.
Gambar 2.1: Instalasi reaktor biogas (Sumber: BIRU, 2010)
8
Biogas tidak dapat dihasilkan tanpa adanya peralatan penunjang. Peralatan penunjang yang dapat mendukung proses terjadinya biogas ini disebut instalasi biogas. Instalasi biogas ini teridiri dari beberapa komponen penunjang (lihat Gambar 2.1). Gambar di atas menunjukkan instalasi reaktor biogas. Kotoran sapi dimasukkan ke dalam pengaduk (no 1) dan kemudian akan masuk ke dalam reaktor (no 3) melalui pipa no 2. Kotoran sapi yang tersimpan akan menghasilkan gas yang akan dialirkan ke rumah untuk digunakan. Sisa padat dan cair dari kotoran sapi (yang disebut bioslurry) akan masuk ke dalam tempat penampungan (no 6) dan selanjutnya akan dibuang ke tempat pembuangan tertentu yang disebut slurry pit (no 15).
2.2 BIOSLURRY Bioslurry yang dihasilkan oleh reaktor masih berjumlah sama atau setara dengan jumlah kotoran spai yang dimasukkan ke dalam reaktor. Bioslurry merupakan produk cair dan padat dari hasil pengolahan biogas yang campuran kotoran ternak dan air melalui proses fermentasi tanpa oksigen (anaerobik) di dalam ruang tertutup. Beberapa peternak telah melakukan pemanfaatan bioslurry terutama sebagai pupuk di lahan pertanian yang dimiliki oleh peternak. Berdasarkan berbagai percobaan di Nepal dan di Vietnam (Beyene, 2011, Vinh, 2010), bioslurry merupakan pupuk organik yang mempunyai kandungan bahan organik cukup tinggi, bermanfaat untuk memperbaiki struktur tanah. Tanah yang diberi bioslurry menjadi lebih remah, mudah mengikat nutrisi dan air. Bio‐slurry juga meningkatkan populasi dan aktifitas mikroorganisme tanah. Indikator bio‐slurry sebagai pupuk organik yang berkualitas baik ditunjukkan dengan rata‐rata kandungan C‐organik yang lebih tinggi dari standar pupuk organik yang dikeluarkan dari Standar Mutu Pupuk Organik, No.28/Permentan/OT.140/2/2009 yaitu lebih besar dari 12 (Islam, 2011). Pemanfaatan bioslurry di daerah Lembang sudah dilakukan oleh beberapa peternak. Misalnya, di Kampung Areng ‐ Cibodas, beberapa peternak telah melakukan pemanfaatan bio‐slurry dan digunakan sebagai pupuk, dengan cara dikompos, digunakan sebagai pupuk cair ataupun dikeringkan. Beberapa peternak yang juga petani sudah merasakan hasil panen yang lebih optimal dan ada beberapa peternak yang sudah memasarkan bioslurry ke petani lain. Petani lain tertarik membeli, karena melihat hasil panen dan adanya pengurangan penggunaan pupuk kimia di lahan pertanian. Namun, tidak semua peternak dapat memanfaatkan bioslurry karena tidak memiliki waktu maupun tidak adanya pasar yang dapat menjangkau pasar mereka. Ketidakadaan pasar merupakan dampak dari kurang mampunya peternak menjual atau tidak maunya petani untuk membeli pupuk hasil bioslurry karena kemudahan memperoleh pupuk dengan harga murah. Pemerintah saat ini memberikan pupuk organik (bersubsidi) yang dapat dibeli dengan harga Rp 500/kg. Sebagai gambaran, pupuk bioslurry yang diolah dengan pengomosan cacing (vermikompos) di Kampung Areng dijual peternak dengan harga Rp 1.000/kg. Perbedaan harga ini menyebabkan peternak enggan mengolah bioslurry. Bioslurry yang berbentuk cair juga sulit untuk dikeringkan karena kadar air yang tinggi. Memang banyak peternak yang
9
akhirnya membuang bioslurry ke ladang rumput mereka, namun tidak sedikit yang tetap mengalirkan ke sungai. Dari hasil wawancara dengan Ketua Aliansi Organik Indonesia menyatakan bahwa keengganan penggunaan bioslurry juga disebabkan karena petani di daerah Lembang adalah petani sayur yang membutuhkan kadar NPK tinggi pada tanah untuk bisa mendapatkan sayur berkualitas baik. Selain itu, sayur yang dipanen dalam jangka waktu pendek (2‐3 bulan) membuat petani sayur tidak mau beresiko untuk mengorbankan produksi sayur jika pupuk yang digunakannya tidak dapat menghasilkan produksi sayur yang baik. Data dari BIRU (Beyene, 2011, BIRU, 2012) menunjukkan bahwa penggunaan bioslurry banyak digunakan untuk tanaman industri dan perkebunan, seperti tebu, kopi, dan jagung. Penggunaan bioslurry memberikan hasil produksi yang baik. Hasil wawancara dengan seorang koordinator wilayah KPSBU di Batu Lonceng (dekat Bukit Tunggul) menunjukkan adanya potensi penggunaan bioslurry untuk perkebunan kopi di sekitarnya, meskipun saat ini belum dilakukan. Bioslurry adalah produk organik hasil fermentasi anaerob yang terjadi dalam sebuah reaktor biogas dan keluar dengan mekanisme hidrolik (Vinh, 2010). Gambar 2.2 menunjukkan contoh hasil bioslurry yang sudah ditampung dari reaktor biogas.
Gambar 2.2: Bioslurry hasil tampungan dari reaktor biogas Bioslurry memiliki berbagai keuntungan sebagai berikut (Vinh, 2010): a)
Memperbaiki kualitas tanah
Bioslurry, dalam penggunaan jangka panjang, dapat memperbaiki kualitas tanah karena dapat meningkatkan kemampuan produksi tanah, meingngkatkan aktivitas organisme mikro dalam tanah, memperkaya proses pengomposan oleh tanah, menjaga kesuburan tanah, meningkatkan daya serap tanah, mengurangi kekerasan tanah, mengurangi resiko erosi karena air dan angin. b)
Meningkatkan hasil panen
10
Institute of Soil and Agricultural Chemical di Vietnam telah melakukan pengujian pada pertanian kol, dan dengan menggunakan 60m3 bioslurry pada lahan 1 hektar dapat meningkatkan produksi sebesar 24%. Selain itu, terjadi pengurangan penggunaan pestisida sebesar 50% times. Penelitian yang serupa di India (Vinh, 2010)menunjukkan bioslurry dapat meningkatkan produksi buncis sebesar 19%, kacang kedelai sebesar 12% dan jagung sebesar 32%. c)
Mengurangi penyakit dan serangga
Penggunaan bioslurry terbukti mengurangi 30‐100% terjadinya penyakit pada tanaman sayur dan serangga. Beberapa penelitian lain menunjukkan bahwa kompos dari bioslurry juga dapat meningkatkan produksi, seperti jagung (91%) dan gandum sebesar 56% (Beyene, 2011). Selain itu, berbagai laporan BIRU menyatakan bahwa penggunaan bioslurry dalam bentuk kompos maupun cair dapat meningkatkan kualitas panen jagung maupun tebu dan beberapa produk hortikultura (BIRU, 2012).
2.3 PEMETAAN BISNIS/USAHA Pengertian bisnis menurut Brown and Petrello (1976) menyatakan bahwa “business is an institution which produces goods and services demanded by people”. Artinya bisnis adalah suatu lembaga yang menghasilkan barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat. Pendapat lainnya mengenai bisnis dikemukakan oleh Griffin dan Ebert (1996) bahwa bisnis merupakan suatru organisasi yang menyediakan barang atau jasa yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan. Memperhatikan dua pendapat di atas maka definisi tersebut memfokuskan pada aspek‐ aspek : a. b. c. d.
Kegiatan individu dan kelompok. Penciptaan nilai. Penciptaan barang dan jasa. Keuntungan melalui transaksi.
Pemetaan bisnis dilakukan untuk menemukan peluang bisnis dan potensi yang bisa dimanfaatkan dan untuk mengetahui seberapa besar potensi bisnis yang ada dan berapa lama suatu bisnis bisa bertahan. Analisa komprehensif yang dilakukan oleh seorang wirausaha dapat menemukan peluang atau potensi tertentu dari suatu bisnis. Oleh karena itu, pemetaan potensi suatu bisnis sangat penting bagi seorang wirausaha agar usahanya bisa meraih sukses. Peta peluang usaha yang berhasil akan diidentifikasikan oleh pengalaman dan pendekatan terhadap faktor manusia.
Ciri‐ciri bisnis yang potensial (Hendro, 2011), adalah: 1. 2. 3.
Bisnis yang dibangun adalah bisnis yang potensial atau memilki bilai jual yang tinggi. Tidak menjadikan bisnis itu hanya sebagai ambisi pribadi semata tetapi sifatnya nyata. Bisnis tersebut mempunyai waktu bertahan yang lama dipasar.
11
4. 5. 6.
Tidak menghabiskan modal (uang ) karena investasi yang terlalu besar. Tidak bersifat momentum (kejadian sesaat) atau bersifat musiman. Bisa ditingkatkan skalanya menjadi skala industri.
Menurut Heskett (1992), kekuatan peluang usaha yang mengacu pada penawaran dan permintaan yaitu : 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Meningkatnya sistem distribusi. Adanya deregulasi. Bekurangnya hambatan perdagangan. Peningkatan teknologi informasi. Perkembangan pasar modal. Mengidentifikasi peta peluang usaha.
Contoh identifikasi peta peluang usaha dalam sektor agribisnis, di dalamnya terdapat lahan pertanian, komponen‐komponen yang menunjang pertanian (alat‐alat, obat‐obatan, benih dan lain lain), petani, dan pengelola lainannya. Terdapat dua komponen cara mengevaluasi peta peluang usaha tersebut, yaitu peluang usaha yang diharapkan, dan peluang sumber daya yang tersedia. Peluang usaha yang diharapkan dimaksudnya bahwa kegiatan usaha yang dilakukan sesuai dengan tujuan awal dilakukannya kegiatan usaha tersebut. Sedangkan, peluang sumber daya yang tersedia berarti bahwa terdapat sumber‐sumber daya yang memadai untuk menjalankan usaha tersebut demi terpenuhinya tujuan usaha. Menurut Stevenson (1983), terdapat 6 dimensi dalam identifikasi peta peluang usaha atau bisnis : 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Orientasi strategi terhadap usahanya. Komitmen terhadap peluang usaha yang ada. Komitmen terhadap sumber daya usaha. Pengawasan terhadap sumber daya usaha. Melaksanakan konsep manajemen usaha. Adanya kebijakan balas jasa.
Kriteria lainnya untuk mengidentifikasi dan menilai peluang usaha serta memanfaaatkannya, yaitu : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Kondisi industri dan pasar. Lamanya masa peluang produk. Tujuan pribadi dan kompetensi yang dimiliki wirausaha. Tim manajemen. Modal, teknologi, dan sumber daya lain yang dibutuhkan. Kondisi lingkungan. Studi kelayakan dan rencana usaha.
12
ROADM MAP PENELITIAN Penelitiaan ini merup pakan penelitian lintas KBI K (Komuniitas Bidang ilmu) dalam disiplin ilmu Teknik Industri,, mencakup KBI Manajem men Industri,, Manufaktur dan Teknologi Informasi.
• Sustainable manufaccturing system
• Manajem men Rantai Paasok • Transpo ortasi dan usi, Distribu Invento ory, Production ng Plannin
Teknologi Informasi
• Manufactu uring System De esign
Manajemen Industri
Manufaktur
Gambarr berikut menunjukkan subset s area yang berhub bungan denggan bidang p penelitian in ni, terkait dengan masing‐massing kajian KBI. K Meskipu un penerapaannya bukan n di industri manufakturr, namun naan keilmuan manajem men rantai pasok, p desain sistem ram mah lingkun ngan dan pemodelan penggun proses bisnis b yang dimiliki oleh h masing‐masing bidangg keilmuan sesuai untu uk diterapkaan dalam penelitiaan ini (Lihat G Gambar 2.3)).
• Business process modellingg and analysis nce performan • Simulasii proses b bisnis
Gambar 2.3: SSubset Roadmap Penelitiian Jurusan TTeknik Industri
13
B BAB III. M METODE PEENELITIAN N n untuk mengidentifikassi permasalaahan kesenjangan supply dan demand dari Penelitiaan bertujuan kotoran sapi ini dan pemanfaataannya untuk pupuk organik yang tep pat sasaran, ssalah satunyya adalah mengideentifikasi keb butuhan Tahura dalam pemanfaatann bioslurry sebagai pupu uk organik ini. Penelitiaan awal sud dah dilakukan untuk meengidentifikaasi karakterisstik peternak sapi perah (Hibah Penelitiaan Internal LLPPM Semestter Ganjil 20 012/2013) daan Identifikassi Pengembaangan Potenssi Tahura (Program m Tripartiet UNPAR, Balaai Tahura dan n YSLH). Berdasarkan hasil tersebut, t penelitian ini akan dikem mbangkan untuk u mendu ukung pemaandaafan limbah b biogas (biosllurry) untuk pupuk organ ni. Sesuai de engan tujuan n yang ingin dicapai, tahaap‐tahap dari pen nelitian ini daapat dilihat p pada Gambarr 3.1. Penelitia an awal: Penelitian terdahulu M Masterplan Pe engembangan n Tahura Djuana
Analisis SWOT atas kondisi bio oslurry di daerah Le embang (Maribaaya) Studi Banding dengan di Jawaa Tengah Group Discussio on Focus G Wawancara W Pemetaa an dan identifikkasi karakteristtik usaha di Ta ahura
Pemetaaan rantai nilai Wawancara W Workshop W
Luara an : model bisnis untu uk pemanfaa atan bioslu urry
Luaran: pu ublikasi terakreditasi
pada a
jurnal
na asional
Gambar 3 3.1: Metode Penelitian
14
BAB IV. PEMETAAN DAN ANALISIS IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK USAHA DI TAHURA IR. H. DJUANDA
Masyarakat sekitar Tahura sudah memanfaatkan lahan Tahura sebagai sumber penghasilan
atau sebagai pekerjaan sampingan mereka. Beberapa usaha yang dilakukan merupakan usaha yang sudah dilakukan turun menurun dari keluarga dan terdapat juga usaha yang terkait dengan budi daya Tahura. Secara umum, pemanfaatan Tahura sebagai bidang usaha dapat dibagi dalam dua kategori, yaitu usaha jual beli dan jasa dan usaha budi daya.
4.1 PROFIL USAHA JUAL BELI DAN JASA
Terdapat enam jenis usaha yang dilakukan di Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda, yaitu
pedagang makanan, pedagang souvenir, tukang ojeg, pemandu, penyewa senter, dan penyewa kuda. Keenam kelompok usaha tersebut tersebar di beberapa tempat, antara lain di parkiran utama, daerah gerbang masuk sampai jalan menuju goa jepang, goa Jepang, jalan menuju goa belanda, goa Belanda, sekitar kantor pengelola, dan ada juga yang berkeliling. Kegiatan usaha masyarakat sekitar biasanya dilakukan pada hari Sabtu dan Minggu, hal ini dikarenakan tingkat keramaian pengunjung Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda pada hari tersebut lebih ramai dibanding hari biasa. Pada hari biasa, hanya beberapa saja yang melakukan kegiatan usahanya.
Identifikasi dan analisis karakteristik Pencarian data dan informasi dilakukan dengan
menyebarkan kuesioner kepada para pengusaha di Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda. Kuesioner disampaikan dalam bentuk wawancara, dimana pewawancara memberikan pertanyaan yang ada di dalam kuesioner, kemudian jawaban dari responden dicatat oleh pewawancara pada kertas kuesioner. Kuesioner terdiri dari 5 bagian, yaitu bagian 1 berisi tentang profil pengusaha, bagian 2 mengenai keberlanjutan usaha, bagian 3 berisi evaluasi kemampuan usaha, bagian 4 berisi evaluasi sifat pengusaha, bagian 5 berisi evaluasi kesempatan usaha, dan ditambah dengan pertanyaan mengenai alasan dan kesulitan yang dihadapi pengusaha dalam melakukan usahanya.
Penyebaran dan pengumpulan kuesioner dilakukan pada tanggal 28 September 2013
sampai 26 Oktober 2013. Penyebaran kuesioner dilakukan pada pengusaha‐pengusaha kecil di area pintu masuk 1, 2, dan 3 hingga goa Belanda. Jumlah responden yang didapat sebanyak 105 orang. Profil Pedagang dan Pengusaha Jasa di Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda
Setelah melakukan mengumpulkan hasil kuesioner, dilakukan rekapitulasi data dari hasil
kuesioner tersebut. Rekapitulasi data pada bagian 1 terdiri dari usia pengusaha, jenis kelamin,
15
pendidikan terakhir, jumlah tanggungan keluarga, jenis usaha yang dijalankan, lokasi usaha, lama menjalankan usaha, pengeluaran per bulan, pelatihan yang pernah diikuti, dan pekerjaan lain responden selain di Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda. Usia Responden
Usia responden dibagi menjadi lima kelompok usia. Kelompok usia pertama, pengusaha
yang berusia kurang atau sama dengan 20 tahun. Kelompok usia kedua, usia antara 21‐30 tahun. Kelompok usia ketiga, usia antara 31‐40 tahun. Kelompok usia keempat, usia antara 41‐50 tahun. Kelompok usia kelima, diatas usia 50 tahun. Dari 105 orang responden, 7 orang diantaranya berusia kurang dari 20 tahun, 11 orang diantaranya berusia 21‐30 tahun, 30 orang diantaranya berusia 31‐40 tahun, 34 orang diantaranya berusia 41‐50 tahun dan 23 orang diantaranya lebih dari 50 tahun. Tabel IV.1 merupakan hasil rekapitulasi data usia responden. Tabel IV.1 Rekapitulasi Data Usia Responden
<=20 Tahun
Jumlah Responden 7
Persentase (%) 6,7
2
21‐30 Tahun
11
10,5
3
31‐40 Tahun
30
28,6
4
41‐50 Tahun
34
32,4
5
>50 Tahun
23
21,9
105
100,0
No
Usia
1
Total
Jenis Kelamin
Dari 105 orang responden, 69 orang berjenis kelamin laki‐laki dan yang berjenis kelamin
perempuan sebanyak 36 orang. Hal ini menunjukkan kebanyakan responden berjenis kelamin laki‐ laki. Tabel IV.2 merupakan hasil rekapitulasi data jenis kelamin responden. Tabel IV.2 Rekapitulasi Data Jenis Kelamin Responden
Laki‐Laki
Jumlah Responden 69
Persentase (%) 65,7
Perempuan
36
34,3
Total
105
100,0
No
Jenis Kelamin
1 2
Pendidikan Terakhir Responden
Pendidikan terakhir responden dibagi menjadi 5 bagian, yaitu responden yang tidak
sekolah, responden yang hanya bersekolah sampai SD, responden yang hanya bersekolah sampai
16
SMP, responden yang hanya bersekolah sampai SMA/SMK/STM, dan responden yang bersekolah sampai perguruan tinggi. Dari 105 orang responden, 51 orang diantaranya adalah lulusan SD dan tidak sekolah, 39 orang diantaranya adalah lulusan SMP, dan 15 orang diantaranya adalah lulusan SMA/SMK/STM. Hal ini menunjukkan bahwa kebanyakan responden memiliki pendidikan terakhir SD dan tidak sekolah. Tabel IV.3 merupakan hasil rekapitulasi data pendidikan terakhir responden. Tabel IV.3 Rekapitulasi Data Pendidikan Terakhir Responden
Tidak sekolah dan SD
Jumlah Responden 51
Persentase (%) 48,6
2
SMP
39
37,1
3
SMA/SMK/STM
15
14,3
105
100,0
No
Pendidikan Terakhir
1
Total
Jumlah Tanggungan Keluarga Jumlah tanggungan keluarga dibagi menjadi 2 bagian, yaitu responden yang memiliki tanggungan keluarga kurang atau sama dengan 4 orang dan responden yang memiliki tanggungan keluarga lebih dari 4 orang. Dari 105 orang responden, 77 orang diantaranya memiliki tanggungan kurang atau sama dengan 4 orang dan 28 orang diantaranya memiliki tanggungan lebih dari 4 orang. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki tanggungan kurang dari 4 orang. Tabel IV.4 merupakan rekapitulasi data jumlah tanggungan responden. Tabel IV.4 Rekapitulasi Data Jumlah Tanggungan Keluarga
<= 4 Orang
Jumlah Responden 77
Persentase (%) 73,3
> 4 Orang
28
26,7
105
100,0
No
Tanggungan
1 2
Total
Lokasi Usaha
Lokasi usaha responden dibagi menjadi 7 lokasi, yaitu di parkiran utama, di gerbang masuk‐
sebelum goa Jepang, di goa Jepang, di jalan menuju goa Belanda, di goa Belanda, di sekitar kantor pengelolaan Tahura, dan responden yang berkeliling. Dari 105 orang yang diteliti, 18 orang diantaranya berlokasi di parkiran utama, 13 orang diantaranya berlokasi di gerbang masuk‐sebelum goa jepang, 28 orang diantaranya berlokasi di goa jepang, 5 orang diantaranya berlokasi di jalan menuju goa belanda, 27 orang diantaranya berlokasi di goa belanda, 8 orang diantaranya berlokasi di sekitar kantor pengelolaan Tahura dan 6 orang diantaranya berkeliling. Hal ini menunjukkan bahwa lokasi usaha yang paling banyak ditempati responden adalah di goa jepang, berbeda 1 jumlah
17
dengan yang berlokasi di goa Belanda. Tabel IV.5 merupakan rekapitulasi data lokasi usaha responden. Tabel IV.5 Rekapitulasi Data Lokasi Usaha Jumlah Persentase Responden (%) 18 17,1
No
Lokasi Usaha
1
Parkiran Utama
2
Gerbang Masuk‐Sebelum Goa Jepang
13
12,4
3
Goa Jepang
28
26,7
4
Jalan Menuju Goa Belanda
5
4,8
5
Goa Belanda
27
25,7
6
Sekitar Kantor Pengelolaan Tahura
8
7,6
7
Keliling
6
5,7
105
100,0
Total
Lama Menjalankan Usaha
Lama menjalankan usaha responden dibagi menjadi 3 bagian. Yang pertama, lama usaha
yang dijalankan selama 0‐5 tahun, yang kedua adalah lama usaha yang sudah dijalankan selama 6‐10 tahun, dan yang ketiga lama usaha yang sudah dijalankan lebih dari 10 tahun. Dari 105 orang responden, 42 orang diantaranya sudah menjalankan usahanya kurang atau sama dengan 5 tahun, 24 orang diantaranya sudah menjalankan usahanya selama 6‐10 tahun, dan 39 orang diantaranya sudah menjalankan usahanya selama lebih dari 10 tahun. Hal ini menunjukkan kebanyakan responden sudah menjalankan usahanya di Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda selama 0‐5 tahun. Tabel IV.6 merupakan rekapitulasi data lama menjalankan usaha. Tabel IV.6 Rekapitulasi Data Lama Menjalankan Usaha
0‐5 Tahun
Jumlah Responden 42
Persentase (%) 40,0
2
6‐10 Tahun
24
22,9
3
>10 Tahun
39
37,1
105
100,0
No
Lama Usaha
1
Total
Pelatihan yang Pernah Diikuti Pelatihan yang pernah diikuti responden dibagi menjadi 3 jenis. Jenis pelatihan pertama adalah pelatihan di suatu bidang keahlian. Jenis pelatihan kedua adalah pelatihan yang berhubungan dengan kewirausahaan. Jenis pelatihan ketiga adalah pelatihan yang berhungan dengan lingkungan dan Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda. Dari 105 orang responden, 20 orang diantaranya pernah mengikuti pelatihan bidang keahlian. Pada pelatihan bidang kewirausahaan, dari 105 orang responden, 4 orang diantaranya pernah mengikuti. Pada pelatihan bidang lingkungan dan Taman
18
Hutan Raya Ir. H. Djuanda, dari 105 orang responedn, 15 diantaranya pernah mengikuti. Tabel IV.7 merupakan rekapitulasi data pelatihan yang pernah diikuti. Tabel IV.7 Rekapitulasi Data Pelatihan yang Pernah Diikuti Jumlah Responden Tidak Pernah Pernah Mengikuti Mengikuti 20 85
Persentase (%) Tidak Pernah Pernah Mengikuti Mengikuti 19 81
No
Pelatihan
Total
1
Keahlian
2
Kewirausahaan
4
101
4
96
100
3
Lingkungan
15
90
14
86
100
100
Pekerjaan atau Usaha Lain Pekerjaan atau usaha lain yang dilakukan responden dibagi menjadi 2 jenis. Jenis pertama adalah usaha lain responden yang masih dilakukan di daerah Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda. Jenis yang kedua adalah pekerjaan lain responden yang dilakukan diluar daerah Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda. Dari 105 orang responden, 37 orang diantaranya memiliki pekerjaan atau usaha yang lain, sedangkan 68 orang lainnya tidak memiliki pekerjaan atau usaha yang lain. Tabel IV.8 merupakan rekapitulasi data responden yang memiliki atau tidak memiliki pekerjaan atau usaha lain. Tabel IV.8 Rekapitulasi Data Pekerjaan atau Usaha lain Responden
Ya
Jumlah Responden 37
Persentase (%) 35,2
Tidak
68
64,8
105
100,0
No
Pekerjaan atau Usaha Lain
1 2
Total
Dari 37 orang responden yang memiliki pekerjaan atau usaha lain, 11 orang diantaranya termasuk jenis pertama, dimana ke‐11 responden tersebut memiliki usaha lain di daerah Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda, 23 orang diantaranya termasuk jenis kedua, dimana ke‐23 responden tersebut memiliki pekerjaan lain diluar daerah Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda, dan 3 orang diantaranya termasuk di kedua jenis pekerjaan atau usaha lain, dimana ke‐3 responden tersebut memiliki usaha lain di daerah Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda dan memiliki pekerjaan lain diluar daerah Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda. Gambar IV.1 merupakan diagram venn pekerjaan atau usaha lain dari responden. Dari 26 orang responden yang memiliki pekerjaan lain diluar daerah Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda, 13 orang diantaranya menjadikan usaha yang dilakukan di Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda ini sebagai usaha sampingan saja, sedangkan 13 orang lainnya menjadikan usaha yang dilakukan di Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda sebagai sumber penghasilan utama mereka.
19
Gambar IV.1 Diagram Venn Pekerjaan atau Usaha Lain Responden
Bekerja dengan Orang Lain dalam 6 Bulan Terakhir Dari 105 orang yang diteliti, 76 orang diantaranya menyatakan tidak pernah bekerja dengan orang lain dalam 6 bulan terakhir dan 29 orang diantaranya menyatakan pernah bekerja dengan orang lain dalam 6 bulan terakhir. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden tidak pernah bekerja dengan orang lain dalam 6 bulan terakhir. Tabel IV.9 merupakan rekapitulasi data apakah responden pernah bekerja dengan orang lain dalam 6 bulan terakhir. Tabel IV.9 Rekapitulasi Data Bekerja dengan Orang Lain dalam 6 Bulan Terakhir
1
Pernah Bekerja dengan Orang Lain dalam Bulan Terakhir Ya
Jumlah Responden 29
Persentase (%) 27,6
2
Tidak
76
27,4
105
100,0
No
Total
4.2 KEBERLANJUTAN USAHA DAN PEMETAAN KEMAMPUAN USAHA JUAL BELI DAN JASA
Bagian kuesioner kedua adalah keberlanjutan usaha. Bagian kuesioner keberlanjutan usaha
ini digunakan untuk mengukur sejauh mana keberlanjutan usaha yang dilakukan oleh pengusaha di Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda. Hal‐hal yang dibahas pada bagian kuesioner keberlanjutan usaha ini adalah dengan siapa responden memulai usaha, mempekerjakan pekerja upahan, penghasilan per bulan, rencana pengembangan usaha, dan rencana memulai usaha baru di kawasan Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda. Berikut rekapitulasi data dari bagian kuesioner keberlanjutan usaha.
20
Dengan Siapa Responden Memulai Usaha Bagian ini digunakan untuk mengetahui dengan siapa responden memulai usaha di Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda. Bagian ini dibagi menjadi 4, yang pertama responden yang memulai usahanya sendiri, yang kedua responden yang memulai usahanya dengan orang tua atau dapat dikatakan sebagai usaha turunan, yang ketiga responden yang memulai usahanya dengan kerabat dekat, dan yang keempat responden yang memulai usahanya dengan komunitas. Dari 105 orang responden, 63 orang diantaranya memulai usahanya sendiri, 17 orang diantaranya memulai usahanya dengan orang tua, 16 orang diantaranya memulai usahanya dengan kerabat dekat, dan 9 orang diantaranya memulai usahanya dengan komunitas. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden memulai usahanya sendiri. Mempekerjakan Pekerja Upahan Bagian ini digunakan untuk melihat apakah responden menggunakan pekerja upahan atau tidak saat menjalankan usahanya. Dari 105 orang responden, 101 orang diantaranya tidak mempekerjakan pekerja upahan, dan 4 orang diantaranya mempekerjakan pekerja upahan. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden tidak mempekerjakan pekerja upahan dalam menjalankan usahanya. Tabel IV.10 merupakan rekapitulasi data mempekerjakan pekerja upahan. Tabel IV.10 Rekapitulasi Data Mempekerjakan Pekerja Upahan No
Mempekerjakan Pekerja Upahan atau Tidak
1
Tidak Mempekerjakan Pekerja Upahan
2
Mempekerjakan Pekerja Upahan Total
Jumlah Persentase Responden (%) 101 96,2 4
3,8
105
100,0
Rencana Pengembangan Usaha Bagian rencana pengembangan usaha digunakan untuk mengetahui apakah responden memiliki rencana untuk mengembangkan usahanya. Dari 105 orang responden, 76 orang diantaranya tidak memiliki rencana untuk mengembangkan usahanya (72%) dan 29 orang diantaranya memiliki rencana untuk mengembangkan usahanya (28%. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden tidak memiliki rencana pengembangan untuk usahanya. Rencana Memulai Usaha Baru Bagian rencana memulai usaha baru digunakan untuk melihat apakah responden memiliki rencana untuk memulai usaha baru. Hal ini nantinya dikaitkan dengan inovasi responden dalam menciptakan suatu usaha yang baru. Setara dengan hasil sebelumnya, dari 105 orang responden, 75
21
orang diantaranya tidak memiliki rencana untuk memulai usaha yang baru (71%) dan 30 orang diantaranya memiliki rencana untuk memulai usaha yang baru (29%). Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden tidak memiliki rencana untuk membuka suatu usaha yang baru di kawasan Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda. Evaluasi Kemampuan Usaha
Bagian kuesioner ketiga adalah evaluasi kemampuan usaha. Bagian kuesioner evaluasi
kemampuan usaha ini digunakan untuk mengukur sejauh mana kemampuan usaha yang dimiliki oleh pengusaha di Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda. Pada bagian ini, pengusaha dievaluasi berdasarkan 20 kemampuan usaha, kemudian pengusaha menilai diri mereka masing‐masing menggunakan 5 skala evaluasi. Tabel IV.10 dan Tabel IV.11 merupakan tabel evaluasi kemampuan usaha dan tabel skala evaluasi yang digunakan. Tabel IV.10 Evaluasi Kemampuan Usaha No.
Kemampuan
No.
Kemampuan
1
Mencapai tujuan
11
Sabar
2
Komunikasi dengan orang lain
12
Keinginan kuat memiliki uang
3
Komunikasi dengan pekerja
13
Sistematis
4
Menerima ketidakpastian
14
Menciptakan ide baru
5
Kesehatan fisik
15
Kebutuhan untuk memimpin
6
Tingkat energi
16
Tekun
7
Kemauan untuk menghadapi risiko
17
Percaya diri
8
Keyakinan pada diri sendiri
18
Mengambil inisiatif
9
Berinovasi
19
Bersaing
10
Memimpin secara efektif
20
Pengetahuan yang luas
Tabel IV.11 Skala Evaluasi Kuesioner Skala Evaluasi 1
Sangat Buruk
2
Buruk
3
Rata‐Rata
4
Baik
5
Sangat Baik
Penilaian
Pengelompokan Kemampuan Usaha
Pada bagian evaluasi kemampuan usaha, 20 kemampuan usaha yang dievaluasi, dibagi lagi
menjadi 7 kelompok. Jumlah pembagian kemampuan usaha menjadi 7 kelompok berdasarkan hasil
22
dari uji faktor ke‐20 kemampuan usaha tersebut menggunakan software SPSS dengan metode Principal Component Analysis. Tabel IV.12 merupakan tabel hasil uji faktor dari kemampuan usaha dan gambar IV.2 merupakan gambar scree plot dari hasil uji faktor kemampuan usaha. Tabel IV.12 Hasil Uji Faktor Kemampuan Usaha Initial Eigenvalues Component
Total
Extraction Sums of Squared Loadings
% of Variance
Cumulative %
Total
% of Variance
Cumulative %
1
4.437
22.184
22.184
4.437
22.184
22.184
2
2.110
10.549
32.733
2.110
10.549
32.733
3
1.473
7.367
40.100
1.473
7.367
40.100
4
1.433
7.163
47.264
1.433
7.163
47.264
5
1.301
6.505
53.769
1.301
6.505
53.769
6
1.245
6.224
59.992
1.245
6.224
59.992
7
1.096
5.479
65.471
1.096
8
.916
4.578
70.049
9
.858
4.292
74.341
10
.792
3.960
78.301
11
.734
3.669
81.970
12
.599
2.994
84.964
13
.516
2.578
87.542
14
.501
2.506
90.049
15
.460
2.301
92.350
16
.420
2.098
94.448
17
.405
2.026
96.474
18
.304
1.522
97.996
19
.230
1.151
99.147
20
.171
.853
100.000
5.479
65.471
Extraction Method: Principal Component Analysis.
Pada gambar IV.2, dapat dilihat nomor komponen saat eigen value di angka 1, berada pada nomor komponen 7. Hal ini menunjukkan ke‐20 kemampuan usaha dapat dibagi menjadi 7 kelompok. Ke‐20 kemampuan usaha dapat dibagi menjadi 7 kelompok berdasarkan matriks komponen hasil uji faktor kemampuan usaha, akan tetapi matriks komponen yang dihasilkan tidak terbagi di 7 kelompok yang sudah ditentukan. Pembagian berdasarkan matirks komponen ditentukan dengan melihat di komponen berapa nilai tertinggi dari tiap kemampuan usaha. Kemampuan usaha yang memiliki nilai tertinggi di komponen yang sama dapat disatukan menjadi satu kelompok. Pada hasil matriks komponen kemampuan usaha ini, nilai tertinggi di tiap kemampuan usaha tidak menyebar di 7 komponen, sehingga pengelompokan kemampuan usaha dikelompokan berdasarkan kemiripan atau kesamaan antar ke‐20 kemampuan usaha dan kesesuaian dengan matriks komponen. Bila nilai kemampuan usaha pada kelompok yang akan dipindahkan bernilai negatif atau jauh dari nilai
23
tertingginya, maka kemampuan usaha tersebut tidak dapat dipindahkan.
Gambar IV.2 Scree Plot Hasil Uji Faktor Kemampuan Usaha
Berdasarkan kemiripan atau kesamaan dan kesesuaian dengan matriks komponen, meskipun ada 7 faktor yang dibentuk, namun akhirnya hanya ada 5 kelompok kemampuan usaha yang terbentuk. Tabel IV.13 menunjukkan pengelompokan sekaligus nilai kesesuaian dalam faktor tersebut. Tabel IV.14 mengategorikan 5 kelompok didasarkan pada atribut pembentuknya. Tabel IV.13 Hasil Matriks Komponen Kemampuan Usaha Kemampuan Usaha
Component 1
2
3
4
5
6
7
1
.246
.282
‐.035
‐.227
.487
.551
.073
2
.228
.658
‐.058
.368
.075
‐.204
.191
3
.306
.448
‐.223
.411
‐.095
‐.256
.364
4
.358
.395
.159
‐.292
.249
‐.203
‐.154
5
.418
.478
.295
‐.368
‐.394
‐.097
.015
6
.623
.278
.241
‐.158
‐.505
‐.039
‐.133
7
.516
‐.346
.137
‐.294
‐.095
‐.293
‐.166
8
.558
‐.493
.331
‐.009
.108
‐.047
‐.055
9
.624
‐.257
‐.181
‐.352
.075
‐.016
.211
10
.510
.055
‐.060
.188
.203
.144
‐.309
11
.241
‐.130
.474
.182
.350
‐.315
.297
12
.386
‐.198
.184
.144
‐.336
.399
.393
24
Kemampuan Usaha
Component 1
2
3
4
5
6
7
13
.605
‐.254
14
.617
‐.023
‐.229
.166
‐.026
‐.216
.132
‐.421
‐.321
.098
.001
.266
15
.506
‐.203
‐.347
.002
.122
.088
.055
16
.470
‐.223
.461
.304
.198
.065
.130
17
.365
‐.173
.054
.502
‐.255
.306
‐.308
18
.505
.172
‐.107
.192
.283
‐.252
‐.490
19
.519
.463
.153
‐.013
.068
.446
‐.052
20
.474
‐.136
‐.475
.137
‐.247
.005
‐.143
Extraction Method: Principal Component Analysis.
Tabel IV.14 Hasil Pengelompokan Kemampuan Usaha No. Kelompok
Penggabungan
Kesehatan fisik (5) Tingkat energi (6) Kemauan untuk menghadapi risiko (7) Keyakinan pada diri sendiri (8) 1
Kemampuan Fisik dan Mental
Berinovasi (9) Memimpin secara efektif (10) Sistematis (13) Menciptakan ide baru (14) Kebutuhan untuk memimpin (15) Pengetahuan yang luas (20)
2
Kemampuan Komunikasi dan Memperkirakan
3
Kemampuan Persistensi
4
Kemampuan Memberanikan Diri
5
Kemampuan Berorientasi Pada Tujuan
Komunikasi dengan orang lain (2) Komunikasi dengan pekerja (3) Menerima ketidakpastian (4) Sabar (11) Tekun (16) Percaya diri (17) Mengambil inisiatif (18) Mencapai tujuan (1) Keinginan kuat memiliki uang (12) Bersaing (19)
Rekapitulasi Data Evaluasi Kemampuan Usaha
Setelah melakukan pengelompokan kemampuan usaha, dilakukan rekapitulasi data dari
kelima pengelompokan kemampuan usaha. Rekapitulasi data kelima kelompok berdasarkan nilai rata‐rata dari hasil evaluasi tiap kemampuan usaha yang digabungkan ke dalam satu kelompok.
25
Kemampuan Fisik dan Mental Kemampuan fisik dan mental digunakan untuk melihat seberapa besar kemampuan fisik dan mental responden. Kemampuan fisik dan mental ini merupakan nilai rata‐rata dari hasil penilaian diri masing‐masing responden terhadap tingkat energi, kesehatan fisik, kemauan untuk menghadapi risiko, keyakinan pada diri sendiri, berinovasi, memimpin secara efektif, sistematis, keinginan menciptakan ide baru, kebutuhan untuk memimpin, dan pengetahuan yang luas. Dari 105 orang responden, rata‐rata kemampuan fisik dan mental sebesar 3,55 dari 5. Kemampuan Komunikasi Dan Memperkirakan Kemampuan komunikasi dan memperkirakan digunakan untuk melihat seberapa besar kemampuan responden dalam komunikasi dan memperkirakan sesuatu. Kemampuan komunikasi dan memperkirakan ini merupakan nilai rata‐rata dari hasil penilaian diri masing‐masing responden terhadap kemampuan komunikasi dengan orang lain, komunikasi dengan pekerja, dan menerima ketidakpastian. Dari 105 orang responden, rata‐rata kemampuan komunikasi dan memperkirakan sebesar 3,71 dari skala 5. Kemampuan Persistensi Kemampuan persistensi digunakan untuk melihat seberapa besar kemampuan responden dalam mempertahankan kekonsistenan. Kemampuan persistensi ini merupakan nilai rata‐rata dari hasil penilaian diri masing‐masing responden terhadap kemampuan sabar dan tekun. Dari 105 orang responden, rata‐rata kemampuan persistensi sebesar 4,2 dari skala 5. Kemampuan Memberanikan Diri Bagian kemampuan memberanikan diri digunakan untuk melihat seberapa besar kemampuan responden dalam memberanikan diri. Kemampuan memberanikan diri ini merupakan nilai rata‐rata dari hasil penilaian diri masing‐masing responden terhadap kemampuan percaya diri dan mengambil inisiatif. Dari 105 orang responden, rata‐rata kemampuan persistensi sebesar 3,91 dari skala 5. Kemampuan Berorientasi Pada Masa Depan Kemampuan berorientasi pada masa depan digunakan untuk melihat seberapa besar kemampuan responden dalam berorientasi pada masa depan. Kemampuan berorientasi pada masa depan ini merupakan nilai rata‐rata dari hasil penilaian diri masing‐masing responden terhadap kemampuan mencapai tujuan, keinginan kuat memiliki nilai, dan bersaing. Dari 105 orang responden, rata‐rata kemampuan berorientasi pada masa depan sebesar 3,88 dari skala 5.
26
Gambarr IV.3 menunjukkan penilaian evaluassi kemampuaan usaha seccara keseluru uhan.
3,89 Berorientasi pada tujuan
4,21
3,91 Memberanikan diri
Komunikasi dan memperkirakan
Persistensi
3,55 Fisik dan mental
5,00 0 4,00 0 3,00 0 2,00 0 1,00 0 0,00 0
3,72
G Gambar IV.3 E Evaluasi Kemaampuan Usaha
4.3 PRO OFIL USAH HA BUDI DA AYA Tahura mem mfasilitasi berbagai usahaa budidaya d di lokasi untu uk dimanfaattkan oleh maasyarakat sekitar. Ada tiga usaaha budi dayya yang difasilitasi, yaitu pembibitan dan pesemaaian, budi daaya lebah d pengomposan. Nam mun untuk pengomposa p n karena madu dan n, saat ini usaha ini tidak berjalan kurangn nya minat dan keterbatassan sumber daya. Oleh kkarena itu, p pemetaan usaha budi dayya hanya difokuskkan pada usaaha pembibittan dan peseemaian dan lebah madu. Pemetaan dilakukan d kepada seluruh pengusaha aktif di du ua usaha ini. Terdapat 21 2 orang pengusaaha budidaya, dengan komposisi k 16 6 orang pen ngusaha pem mbibitan dan n persemaian, dan 5 orang pengusaha p budidaya lebah madu. Terdapat T 2 orang o pengu usaha dari antara 16 pe engusaha pembibiitan dan persemaian yaang juga meengelola usaha budidayaa lebah mad du. Jadi kese eluruhan terdapatt 7 orang ressponden pen ngusaha budidaya lebah madu. Usaha P Pembibitan d dan Persemaaian Tanamaan Usaha pem mbibitan daan persemaiian yang dilakukan di kawasan Taahura Djuan nda oleh masyaraakat sekitar hutan berm mula pada tahun t 1998.. Bapak Enccep adalah salah salah seorang perintis usaha pem mbibitan daan persemaian tersebu ut. Seiring dengan berrkembangnyya usaha pembibiitan dan perrsemaian, seemakin banyyak masyarakat yang inggin ikut sertta dalam pembibitan dan perrsemaian tersebut, sehiingga kemud dian terbentuk kelompo ok pembibittan dan perrsemaian Aneka B Bibit Tahura D Djuanda.
27
Usaha persemaian dan pembibitan yang dikelola kelompok Aneka Bibit berdiri di atas lahan sebesar 2000 meter persegi yang merupakan tanah milik Tahura Djuanda. Terdapat 95 jenis tanaman yang tercatat telah dikembangkan oleh kelompok usaha Aneka Bibit ini, di antaranya alkasia, albasia, baros, binar, bintaro, bungur, caringin, cemara, jakaranda, kenari, ki damar, ki honje, mahoni, rasamala, trembesi dan berbagai bibit tanaman buah. . Data jenis tanaman seperti yang dtunjukkan pada Tabel IV.14 sementara lokasi pembibitan dan pesemaian dapat dilihat pada gambar IV.4.
Gambar IV.4 Lahan Persemaian dan Pembibitan Tanaman di Tahura Djuanda Tabel IV.14 Daftar Tanaman yang Dikembangkan Kelompok Persemaian dan Pembibitan Tahura Djuanda
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Jenis Tanaman Acret kuning Acret merah Akasia mangium Albasiah Alpukat Angsana Baros Binar Bintangur saulatri Bintaro Bunga saputangan Bungur Caringin Cedar honduras Cemara Meksiko Cemara purba Cempaka Cempedak Cengal Durian Eucalyptus Filicium Flamboyan Ganitri
No 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72
Jenis Tanaman Gmelina Hantap Paray Huni Huru Koneng Jabon Merah Jabon Putih Jakaranda Jambu Air Jambu Jamaika Jati Jatoba Karunung Kayu Manis Kayu putih Kenanga Kenari Kersen Keruing gunung Keruing palahar Ketapang kencana Ketapang Thailand Ki Damar Ki Hoe Ki Honje
28
No 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48
Jenis Tanaman Gayam Ki Sampang Ki Sereh Ki Sirem Ki Terja Koang Kolentang Kosambi Lengsir Mahoni lokal Mahoni Uganda Mangga Manggis Manglid Matoa Meranti tembaga Merbau Mindi Muncang sunan Nangka Nantu Nyamplung Pachira Peuteuy
No 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95
Jenis Tanaman Ki Oray Pinus Pir Pucuk merah Puspa Rasamala Ringing Saga pohon Salam Samolo Saninten Sawo Belanda Sawo kecik Sempur Sentang Sindur Sirsak Sonokeling Sosis Suren Tabe buya Tanjung Trembesi
Berdasarkan hasil wawancara, dari 95 jenis tanaman yang dikembangkan di persemaian
dan pembibitan terdapat dua jenis tanaman yang menjadi ciri khas Tahura Djuanda, yaitu Mahoni Uganda dan Hantap Paray. Kelompok Aneka Bibit yang terdapat di Tahura Djuanda ini merupakan wadah bagi para pengusaha persemaian dan pembibitan yang melakukan usahanya di lahan milik Tahura Djuanda. Keanggotaan pengusaha pada kelompok persemaian ini bersifat sukarela dan terbuka. Setiap pengusaha dalam kelompok mengelola lahan persemaian yang berbeda‐beda tergantung dengan jumlah bibit yang ditanam masing‐masing pengusaha tersebut. Jadi, modal, biaya pengelolaan, dan pendapatan dari hasil panen merupakan milik pribadi sepenuhnya. Kelompok hanya merupakan tempat pengusaha untuk saling berbagi pengetahuan dan saling membantu modal apabila satu dan yang lain ada kesulitan. Menurut hasil wawancara dengan para pengusaha, tidak ada syarat‐syarat khusus yang diperlukan untuk bergabung dengan kelompok pengusaha. Profil Pengusaha Pembibitan dan Persemaian
Pengumpulan data mengenai profil pengusaha dilakukan dengan penyebaran kuesioner
dan wawancara terhadap para pengusaha. Pertanyaan‐pertanyaan yang terkait dengan data profil
29
tersebut yaitu usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, tahun memulai usaha, penghasilan usaha, partner memulai usaha, keikutsertaan dalam pelatihan, dan ada tidaknya pekerjaan lain yang dimiliki pengusaha. Data‐data mengenai pengusaha persemaian dan pembibitan merupakan hasil survey yang dilakukan terhadap 16 orang pengusaha persemaian yang seluruhnya tergabung dalam kelompok pengusaha persemaian dan pembibitan tanaman Aneka Bibit yang berlokasi di Tahura Djuanda. Berikut ini dipaparkan data‐data profil pengusaha dari hasil survey terkait. Berdasarkan gender, terdapat 9 orang pengusaha pembibitan yang berjenis kelamin pria dan 5 orang pengusaha pembibitan yang berjenis kelamin wanita. Berdasarkan usia, sebanyak 9 orang pengusaha berada di rentang usia sangat produktif (15‐49 tahun), 6 orang pengusaha berada di rentang usia produktif (50‐64 tahun)dan 1 orang pengusaha berada di rentang usia kurang produktif
Jumlah Pengusaha
(lebih dari 65 tahun) (Lihat Gambar IV.5). 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
15‐49 tahun; 9
50‐64 tahun; 6
>65 tahun; 1
Usia
Gambar IV.5 Komposisi Usia Pengusaha Pembibitan dan Persemaian
Berdasarkan tingkat pendidikan, seebanyak 8 orang pengusaha menempuh pendidikan
sampai dengan SMP, 6 orang pengusaha menempuh pendidikan terakhir SMA atau sederajat dan 2 orang pengusaha menempuh pendidikan terakhir SD.
Untuk mengevaluasi keberlanjutan usaha, dilakukan klasifikasi pengusaha berdasarkan
lamanya setiap pengusaha menjalankan usaha. Gambar IV.6 menunjukkan diagram batang jumlah pengusaha pembibitan dan persemaian berdasarkan lama usaha. Sebesar 12 orang pengusaha pembibitan dan persemaian di Tahura Djuanda telah menjalankan usaha tersebut selama lebih dari 10 tahun, 3 orang pengusaha telah menjalankan usaha selama kurang lebih 5‐10 tahun, dan terdapat 1 orang pengusaha yang baru menjalankan usaha pembibitan dan persemaian di Tahura Djuanda selama kurang dari 5 tahun.
30
14 > 10 tahun; 12 Jumlah Pengusaha
12 10 8 6 4 2
5‐10 tahun; 3 < 5 tahun; 1
0 Lama Usaha
Gambar IV.6 Lama Usaha Pengusaha Pembibitan dan Persemaian
Dalam menjalankan usaha persemaian dan pembibitan ini, tidak semua pengusaha memulai usahanya secara pribadi. Sebagian besar justru memulai usahanya dengan kelompok Aneka Bibit yang telah terbentuk. Pada Gambar IV.7 dijelaskan bahwa sebesar 12 orang pengusaha memulai usahanya bersama dengan kelompok, 2 orang pengusaha memulai usahanya bersama keluarga, dan 2 orang pengusaha memulai usahanya sendiri tanpa bantuan orang lain. Baru setelah kelompok terbentuk, pengusaha yang awalnya memulai usaha sendiri ataupun dengan keluarga mulai bergabung dengan kelompok pengusaha pembibitan dan persemaian bersama dengan pengusaha yang lain.
14 kelompok; 12 Jumlah Pengusaha
12 10 8 6 4 sendiri; 2
keluarga; 2
2 0 Partner
Gambar IV.7 Partner Memulai Usaha Pengusaha Pembibitan dan Persemaian
Bagi beberapa orang, usaha pembibitan dan pesemaian merupakan usaha yang menjadi usaha utama sementara banyak yang menjadikannya sebagai usaha sampingan. Sebanyak 7 orang
31
pengusaha memiliki pekerjaan lain dan menjadikan usaha pembibitan dan persemaian sebagai pekerjaan sampingan dan 9 orang pengusaha tidak memiliki pekerjaan lain dan menjadikan usaha pembibitan dan persemaian tanaman sebagai sumber penghasilan utama. Proporsi yang sama terlihat untuk keterlibatan para pengusaha ini dalam mengikuti pelatihan‐pelatihan budidaya. Dari 16 orang pengusaha, 7 orang pengusaha pernah mengikuti pelatihan dan 9 sisanya belum pernah mengikuti pelatihan budidaya apapun. Hubungan Antar Karakteristik Pengusaha Pembibitan dan Persemaian
Berdasarkan data‐data yang telah diperoleh sebelumnya, kemudian dilakukan
perbandingan antar karakteristik. Hal ini bertujuan untuk menemukan kecenderungan yang ada pada pengusaha pembibitan dan persemaian di Tahura Djuanda. Karakteristik yang dijadikan pembanding antara lain jenis kelamin dan lama usaha, jenis kelamin dan keikutsertaan mengikuti pelatihan, lama usaha dan tingkat pendidikan, lama usaha dan kepemilikan pekerjaan sampingan, lama usaha dan keikutsertaan mengikuti pelatihan, dan antara partner memulai usaha dan penghasilan usaha. 7 Jumlah Pengusaha
6 5 4 3 2 1 0
< 5 tahun
5‐10 tahun
> 10 tahun
PRIA
1
2
6
WANITA
0
1
6
Gambar IV.7 Perbandingan Jumlah Pengusaha Pembibitan dan Persemaian Berdasarkan Jenis Kelamin dan Lama Usaha
Gambar IV.7 menunjukkan grafik perbandingan jumlah pengusaha pembibitan dan
persemaian dengan jenis kelamin pengusaha dan lama usaha tersebut telah dilakukan. Berdasarkan grafik tersebut dapat diketahui bahwa jumlah pengusaha pria lebih banyak (sejumlah 9 orang) dari pada pengusaha wanita (7 orang).
Dari data pada Gambar IV.7 tidak dapat disimpulkan apakah terdapat hubungan antara
jenis kelamin pengusaha dan lama usaha yang telah dijalankan. Secara umum jumlah pengusaha pria
32
dan wanita relatif seimbang dan lama usaha yang telah dilakukan oleh pengusaha pria maupun wanita juga relatif sama lamanya.
Gambar IV.8menunjukkan perbandingan jumlah pengusaha dengan jenis kelamin dan
keikutsertaan pengusaha dalam pelatihan‐pelatihan yang terkait dengan budidaya. Berdasarkan grafik tersebut dapat diketahui bahwa 6 orang dari 9 orang pengusaha pria pernah mengikuti pelatihan. Sedangkan pengusaha wanita hanya 1 orang dari 7 orang pengusaha yang mengikuti pelatihan. 7 Jumlah Pengusaha
6 5 4 3 2 1 0
Pernah Mengikuti Pelatihan
Tidak Pernah Mengikuti Pelatihan
PRIA
6
3
WANITA
1
6
Gambar IV.8 Perbandingan Jumlah Pengusaha Pembibitan dan Persemaian Berdasarkan Jenis Kelamin dan Keikutsertaan Dalam Pelatihan
Secara umum jumlah pengusaha pria lebih banyak yang pernah mengikuti pelatihan
dibandingkan jumlah pengusaha wanita. Menurut wawancara yang telah dilakukan, hanya sedikit pengusaha wanita yang pernah mengikuti pelatihan disebabkan oleh kesibukan lain yang dimiliki pengusaha wanita yaitu mengurus rumah tangga sehingga merasa tidak sempat untuk mengikuti pelatihan‐pelatihan terkait. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara jenis kelamin dan keikutsertaan dalam mengikuti pelatihan budidaya. Gambar IV.9 menunjukkan grafik perbandingan jumlah pengusaha berdasarkan lama usaha dan tingkat pendidikan. Pada grafik tersebut dijelaskan bahwa jumlah pengusaha terbanyak sebanyak 7 orang dari 16 orang pengusaha yang telah melakukan usaha selama lebih dari 10 tahun menempuh pendidikan terakhir yaitu SMP. Sebanyak 2 orang pengusaha yang juga telah melakukan usaha pembibitan dan persemaian selama lebih dari 10 tahun menempuh pendidikan terakhir setingkat SD dan 2 orang lainnya menempuh pendidikan terakhir setingkat SMA. Dari data tidak dapat disimpulkan apakah terdapat hubungan antara lama usaha dan tingkat pendidikan yang ditempuh pengusaha. Hasil wawancara menyebutkan bahwa pendidikan
33
yang ditempuh oleh pengusaha tidak menjadi tolak ukur atau syarat dalam melakukan usaha pembibitan dan persemaian. 8 7
Jumlah Pengusaha
6 5 4 3 2 1 0
< 5 tahun
5‐10 tahun
> 10 tahun
SD
0
0
2
SMP
0
1
7
SMA/sederajat
1
2
2
Gambar IV.9 Perbandingan Jumlah Pengusaha Pembibitan dan Persemaian Berdasarkan Lama Usaha dan Tingkat Pendidikan
Dari gambar dan penjelasan di atas, tidak dapat disimpulkan apakah terdapat hubungan antara lama usaha dan tingkat pendidikan yang ditempuh pengusaha. Hasil wawancara menyebutkan bahwa pendidikan yang ditempuh oleh pengusaha tidak menjadi tolak ukur atau syarat dalam melakukan usaha pembibitan dan persemaian. Gambar IV.10 menunjukkan perbandingan jumlah pengusaha berdasarkan lama usaha dan kepemilikan pekerjaan sampingan. Grafik tersebut menjelaskan bahwa dari 9 orang pengusaha yang memiliki pekerjaan sampingan, 7 orang diantaranya telah melakukan usaha selama lebih dari sepuluh tahun. Sedangkan dari 7 orang pengusaha yang tidak memiliki pekerjaan sampingan, 5 orang diantaranya telah melakukan usaha lebih dari 10 tahun. Secara umum antara pengusaha yang memiliki pekerjaan sampingan dan pengusaha yang tidak memiliki pekerjaan sama relatif berjumlah sama. Dari data tersebut tidak dapat disimpulkan apakah terdapat hubungan antara lama usaha dan kepemilikan pekerjaan sampingan.
34
Jumlah Pengusaha
8 7 6 5 4 3 2 1 0
< 5 tahun
5‐10 tahun
> 10 tahun
Memiliki Pekerjaan Sampingan
1
1
7
Tidak Memiliki Pekerjaan Sampingan
0
2
5
Gambar IV.10 Perbandingan Jumlah Pengusaha Pembibitan dan Persemaian Berdasarkan Lama Usaha dan Kepemilikan Pekerjaan Sampingan 7 6
Jumlah pengusaha
5 4 3 2 1 0
< 5 tahun
5‐10 tahun
> 10 tahun
Pernah Mengikuti Pelatihan
0
1
6
Tidak Pernah Mengikuti Pelatihan
1
2
6
Gambar IV.11 Perbandingan Jumlah Pengusaha Berdasarkan Lama Usaha dan Keikutsertaan Mengikuti Pelatihan
Gambar IV.11 menunjukkan grafik perbandingan jumlah pengusaha dengan lama usaha keikutsertaan mengikuti pelatihan. Data tersebut menjelaskan bahwa dari 9 orang pengusaha yang tidak pernah mengikuti pelatihan, 6 orang diantaranya telah menjalankan usaha pembibitan dan persemaian selama lebih dari 10 tahun, 2 orang telah menjalankan usaha selama kurun waktu 5‐10 tahun, dan 1 orang sisanya telah menjalankan usaha selama kurang dari 5 tahun. Sedangkan dari 7 orang pengusaha yang pernah mengikuti pelatihan ada 6 orang pengusaha yang telah menjalankan usaha selama lebih dari 10 tahun dan 1 orang sisanya telah menjalankan usaha selama kurang lebih 5‐10 tahun. Dari data pada gambar IV.11 tersebut tidak dapat disimpulkan apakah terdapat hubungan
35
antara lama usaha dan keikutsertaan mengikuti pelatihan. Secara umum pengusaha yang pernah mengikuti pelatihan dan tidak pernah mengikuti pelatihan berjumlah relatif sama.
Usaha Budidaya Lebah Madu
Usaha budidaya lebah madu yang dilakukan di kawasan Tahura Djuanda dimulai pada tahun
2008. Usaha budidaya lebah madu ini merupakan murni inisiatif dari masyarakat sekitar hutan, jadi tidak ada bentuk kerjasama khusus dengan pihak Tahura Djuanda selain pemakaian lahan Tahura yang dikelola masyarakat untuk budidaya. Lebah madu yang dibudidayakan dalam usaha ini adalah jenis lebah madu lokal, yaitu Apis cerana. Pakan utama lebah madu lokal ini adalah sari bunga dari pohon kaliandra yang terdapat di tahura. Sedangkan, produk yang dihasilkan dari budidaya lebah madu ini adalah madu lokal yang dinamakan Madu Subur Kaliandra Djuanda.
Gambar IV.12 Lokasi Budidaya Lebah Madu di Tahura Djuanda
Budidaya lebah madu yang terdapat di kawasan Tahura Djuanda ini dikelola oleh
pengusaha budidaya yang tergabung dalam kelompok budidaya. Gambar IV.12 menunjukkan lokasi budidaya Lebah Madu di Tahura Djuanda.. Sama halnya dengan kelompok usaha pembibitan dan persemaian. keanggotaan kelompok budidaya lebah madu di Tahura Djuanda ini bersifat terbuka. Pada saat penelitian berlangsung, kelompok budidaya lebah madu ini memiliki kurang lebih 40‐50 setup atau kotak lebah. Satu setup lebah dapat menghasilkan 3‐5 kilogram madu yang siap di jual. Dalam satu tahun, budidaya lebah madu dapat dipanen dua hingga tiga kali panen. Pada penelitian ini, data pengusaha diambil dari 7 orang pengusaha budidaya lebah madu. Profil Pengusaha Budidaya Lebah Madu
Berdasarkan penelitian terhadap 7 orang pengusaha budidaya lebah madu, semua
pengusaha berjenis kelamin laki‐laki. Tidak ada perempuan yang terlibat di usaha ini dikarenakan
36
pekerjaan budidaya lebah madu ini cukup berat karena lokasi kandang/setup lebah yang terletak di lereng‐lereng hutan sehingga cukup menyulitkan pekerja.
Pengusaha budidaya lebah madu yang terdapat di Tahura Djuanda ini dapat diklasifikasikan
menurut usia. Di rentang usia produktif (50‐64 tahun), terdapat 1 orang pengusaha. Sedangkan 6 pengusaha lainnya berada di rentang usia sangat produktif (15‐49 tahun).
Berdasarkan tingkat pendidikan terakhir yang ditempuh oleh ketujuh orang pengusaha
lebah madu, sebanyak 6 orang pengusaha lebah madu menempuh pendidikan terakhir SMA atau sederajat, sedangkan 1 orang pengusaha menempuh pendidikan terakhir tingkat SMP. Berdasarkan lama usaha, terdapat 5 orang pengusaha yang memulai usaha di tahun 2008,
sedangkan 2 orang sisanya memulai usaha baru di tahun 2010. Usaha budidaya lebah madu yang dimiliki pengusaha‐pengusaha tersebut berjalan hingga saat ini.
Sebanyak 5 orang pengusaha memulai usahanya bersama dengan kelompok. Sedangkan 1
orang pengusaha memulai usahanya bersama keluarga, dan 1 orang sisanya memulai usaha budidaya lebah madu ini sendiri. Kedua orang pengusaha tersebut merupakan pelopor usaha budidaya lebah madu yang ada di Tahura Djuanda. Seiring berjalannya waktu dan usaha, baru kemudian terbentuk kelompok budidaya lebah madu disertai dengan bertambahnya pengusaha lain yang bergabung dalam kelompok budidaya tersebut.
Gambar III.13 menunjukkan diagram batang jumlah pengusaha budidaya lebah madu yang
memiliki pekerjaan lain selain usaha budidaya dan pengusaha yang tidak memiliki pekerjaan lain. Dari diagram tersebut ditunjukkan bahwa sebanyak 4 orang memiliki pekerjaan lain disamping menjalankan usaha budidaya lebah madu. Sedangkan 3 orang pengusaha tidak memiliki pekerjaan lain. 5 Jumlah Pengusaha
4 4 3
3 2 1 0 Memiliki Pekerjaan Lain
Tidak Memiliki Pekerjaan Lain
Gambar IV.13 Proporsi Pengusaha Budidaya Lebah Madu yang Memiliki Pekerjaan Lain dan Tidak Memiliki Pekerjaan Lain.
37
Seluruh pengusaha lebah madu pernah mengikuti pelatihan budidaya yang terkait dengan
usaha lebah madu ini. Hubungan Antar Karakteristik Pengusaha Budidaya Lebah Madu
Berdasarkan data‐data yang telah diperoleh sebelumnya, kemudian dilakukan
perbandingan antar karakteristik. Hal ini bertujuan untuk menemukan kecenderungan yang ada pada pengusaha budidaya lebah madu di Tahura Djuanda. Karakteristik yang dijadikan pembanding antara lain lama usaha dan tingkat pendidikan, lama usaha dan kepemilikan pekerjaan sampingan, dan antara lama usaha dan keikutsertaan mengikuti pelatihan.
Gambar IV.14 menunjukkan perbandingan jumlah pengusaha budidaya lebah madu
berdasarkan lama usaha dan tingkat pendidikan terakhir yang ditempuh oleh pengusaha. Grafik tersebut menunjukkan jumlah yang lebih besar pada pengusaha yang menempuh tingkat pendidikan SMA atau sederajat, yaitu sebanyak 4 orang pengusaha telah memiliki usaha budidaya lebah madu selama kurun waktu lebih dari 3 tahun sampai dengan 5 tahun usaha, dan 2 orang pengusaha telah memiliki usaha antara satu sampai dengan 3 tahun. Sedangkan 1 orang pengusaha yang menempuh pendidikan terakhir SMP telah memiliki usaha selama kurun waktu lebih dari 3 tahun sampai dengan 5 tahun usaha. 5
Jumlah Pengusaha
4 3 2 1 0
1 s/d <3 tahun
>3 s/d 5 tahun
SMP
0
1
SMA/sederajat
2
4
Gambar IV.14 Perbandingan Jumlah Pengusaha Budidaya Lebah Madu Berdasarkan Lama Usaha dan Tingkat Pendidikan
Gambar IV.15 menunjukkan grafik perbandingan jumlah pengusaha budidaya lebah madu
dengan lama usaha dan pekerjaan sampingan yang dimiliki pengusaha. Grafik tersebut menunjukkan bahwa dari 4 orang pengusaha yang memiliki pekerjaan sampingan, 3 orang diantaranya telah memiliki usaha selama kurun waktu lebih dari 3 tahun dampai dengan 5 tahun usaha, dan 1 orang
38
pengusaha telah memiliki usaha selama 1 tahun sampai 3 tahun usaha. Sedangkan dari 3 orang pengusaha yang tidak memiliki pekerjaan sampingan, 2 orang pengusaha telah memiliki usaha selama kurun waktu lebih dari 3 tahun sampai 5 tahun.
Gambar IV.16 menunjukkan grafik perbandingan jumlah pengusaha budidaya lebah madu
berdasarkan lama usaha dan keikutsertaan pengusaha dalam pelatihan. Berdasarkan grafik tersebut dapat dilihat bahwa dari keseluruhan pengusaha yang pernah mengikuti pelatihan 5 orang diantaranya telah memiliki usaha budidaya lebah madu selama kurun waktu lebih dari tiga tahun sampai dengan lima tahun usaha, sedangkan 2 orang sisanya telah memiliki usaha budidaya selama kurun waktu satu tahun sampai dengan 3 tahun usaha. Jumlah Pengusaha
5 4 3 2 1 0
1 s/d <3 tahun
>3 s/d 5 tahun
Memiliki Pekerjaan Sampingan
1
3
Tidak Memiliki Pekerjaan Sampingan
1
2
Gambar IV.15 Perbandingan Jumlah Pengusaha Berdasarkan Lama Usaha dan Pekerjaan Sampingan yang Dimiliki Pengusaha
Jumlah Pengusaha
6 5 4 3 2 1 0
1 s/d <3 tahun
>3 s/d 5 tahun
Pernah Mengikuti Pelatihan
2
5
Tidak Pernah Mengikuti Pelatihan
0
0
Gambar IV.16 Perbandingan Jumlah Pengusaha Berdasarkan Lama Usaha dan Keikutsertaan Mengikuti Pelatihan
39
Dari data tersebut tidak dapat disimpulkan apakah terdapat hubungan antara lama usaha
dan keikutsertaan pengusaha dalam mengikuti pelatihan. Hal ini disebabkan karena sampai saat ini semua pengusaha yang tergabung dalam kelompok budidaya lebah madu pernah mengikuti pelatihan‐pelatihan budidaya.
4.4 PEMETAAN KEMAMPUAN USAHA BUDIDAYA
Pengumpulan data mengenai faktor‐faktor penilaian usaha budidaya dilakukan dengan
proses wawancara kepada kedua jenis pengusaha. Penilaian menggunakan skala likert atas lima tingkat yang terdiri dari: sangat baik (5), baik (4), cukup baik (3), kurang baik (4), dan tidak baik (1). Penilaian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui usaha apa yang memiliki potensi pengembangan usaha yang lebih besar.
Berdasarkan wawancara awal yang dilakukan, terdapat enam faktor yang dijadikan dasar
penilaian kesempatan, antara lain kecukupan modal usaha, ketersediaan untuk meluangkan waktu usaha, membuat atau menambah produk baru, dukungan usaha, pengetahuan atau kemampuan usaha, dan perkembangan usaha. Pembibitan dan Persemaian
PENGETAHUAN/ KEMAMPUAN 3
KECUKUPAN MODAL 4 3 3,5 3 2 2,5 2 1,5 1 0,5 0
PERKEMBANGAN 3 USAHA
Budidaya Lebah Madu
KETERSEDIAAN UTK 4 MELUANGKAN WAKTU USAHA
3 MEMBUAT/MENAMBA H PRODUK BARU 3 DUKUNGAN
Gambar IV.17 Penilaian Kesempatan Usaha Budidaya
Gambar IV.17 menunjukkan penilaian kesempatan usaha budidaya antara usaha
40
pembibitan dan persemaian dengan budidaya lebah madu yang terdapat di Tahura Djuanda. Grafik tersebut dipetakan dengan menggunakan nilai tengah dari masing‐masing jenis usaha.
Dari grafik di atas, diketahui bahwa kedua jenis usaha budidaya memiliki nilai
kecenderungan yang sama pada faktor‐faktor seperti pengetahuan atau kemampuan usaha yang dimiliki pengusaha, ketersediaan waktu luang yang dimiliki masing‐masing pengusaha, keinginan membuat/menambah produk baru, dukungan usaha dan perkembangan usaha. Sedangkan pada faktor kecukupan modal usaha yang dimiliki, usaha pembibitan dan persemaian memiliki nilai lebih tinggi daripada usaha budidaya lebah madu. Hal ini dapat dikatakan bahwa pengusaha pembibitan dan persemaian cenderung memiliki modal yang cukup dalam usaha budidaya dibandingkan pengusaha budidaya lebah madu. Penilaian Sifat Pengusaha Budidaya (Perbandingan Antara Usaha Pembibitan dan Persemaian dengan Usaha Budidaya Lebah Madu)
Faktor‐faktor yang dijadikan dasar penilaian sifat pengusaha antara lain keberanian,
kemandirian, kepemimpinan, kepercayaan diri, dan fokus usaha. Faktor‐faktor ini didapatkan melalui wawancara yang telah dilakukan pada awal penelitian. Pembibitan dan Persemaian
Budidaya Lebah Madu
KEBERANIAN 4 3 3 2 4 FOKUS 3
4 3 KEMANDIRIAN
1 0
KEPERCAYAAN DIRI 4
3
3
KEPEMIMPINAN
Gambar IV.18 Penilaian Sifat Pengusaha Budidaya
Gambar IV.18 menunjukkan perbandingan penilaian sifat pengusaha antara pengusaha
pembibitan dan persemaian, dan pengusaha budidaya lebah madu yang terdapat di Tahura Djuanda. Grafik tersebut dipetakan dengan menggunakan nilai tengah dari penilaian masing‐masing jenis usaha.
41
Dari grafik tersebut dapat diketahui bahwa pengusaha pembibitan dan persemaian
memiliki kecenderungan sifat usaha lebih baik daripada pengusaha budidaya lebah madu. Hal ini dapat dilihat dari penilaian sifat pengusaha yang lebih tinggi pada pengusaha pembibitan dan persemaian. Seperti pada faktor fokus usaha, kepercayaan diri pengusaha, dan kemandirian pengusaha.
4.5 REKOMENDASI KEBERLANJUTAN USAHA Rekomendasi ini dibuat berdasarkan analisis awal atas wawancara dan survei yang dilakukan kepada dua kategori besar pengusaha di Tahura: Pedagang dan Pengusaha Jasa dan Pengusaha Budidaya Rekomendasi untuk Usaha Dagang dan Jasa Berdasarkan evaluasi atas profil dan karakteristik pengusaha, terdapat beberapa hal yang perlu ditingkatkan untuk menjaga kualitas usaha yang dijalankan oleh para pengusaha.
Dari kemampuan usaha, kemampuan fisik dan mental menjadi fokus utama untuk
ditingkatkan. Dari sifat usaha, sifat keaslian ide menjadi fokus utama untuk ditingkatkan. Dari kesempatan usaha, kesempatan mempunyai modal yang cukup menjadi fokus utama untuk ditingkatkan. Ketiga hal yang menjadi fokus utama untuk ditingkatkan, dilihat dari nilai rata‐rata terkecil pada kemampuan, sifat, dan kesempatan usaha.
Bila dilihat dari profil pengusaha dan keberlanjutan usaha, ada kecenderungan yang terjadi
pada para pengusaha. Kecenderungan tersebut antara lain adalah sebagian besar pengusaha tidak pernah mengikuti pelatihan terutama pelatihan kewirausahaan, selain itu sebagian besar pengusaha tidak mempunyai rencana pengembangan usaha dan rencana memulai usaha baru.
Dari hal‐hal yang sudah dijelaskan diatas, rekomendasi yang dapat diberikan adalah
mengadakan kegiatan pelatihan, terutama pelatihan kewirausahaan, dengan materi pelatihan sebagai berikut: 1. Pengetahuan dasar kewirausahaan dan kepemimpinan, untuk meningkatkan kemampuan fisik dan mental para pengusaha. 2. Penggalian ide‐ide dalam usaha, untuk meningkatkan sifat keaslian ide. 3. Cara memaksimalkan modal yang ada, untuk meningkatkan kesempatan dalam mempunyai modal yang cukup. Pelatihan dilakukan secara berkala dan bisa diaplikasikan oleh para pengusaha dan nantinya diharapkan dapat meningkatkan kualitas pengusaha dalam menjalankan usahanya.
42
Rekomendasi lain yang dapat diberikan adalah mengusulkan para pengusaha untuk
membuat rencana usaha pada setiap usaha yang dilakukan. Tujuannya agar para pengusaha menjalankan usahanya berdasarkan rencana usaha tersebut, sebagai bahan evaluasi usahanya, dan mengarahkan pengusaha untuk melakukan pengembangan usaha dan menciptakan ide usaha yang baru. Rekomendasi untuk Usaha Budidaya Untuk usaha pembibitan dan pesemaian, hal‐hal yang menjadi kekuatan usaha budidaya pembibitan dan persemaian di Tahura Djuanda, antara lain: 1. Usaha pembibitan dan persemaian memiliki koleksi tanaman yang sangat beragam. Saat ini lebih dari 90 jenis tanaman telah dibudidayakan dalam kelompok usaha pembibitan dan persemaian tersebut. 2. Usaha budidaya terletak pada wilayah dengan iklim yang mendukung usaha pembibitan dan persemaian tersebut. 3. Menurut para pengusaha, harga jual tanaman yang mereka budidayakan memiliki harga yang lebih murah dibanding pesaingnya. 4. Permintaan pasar akan tanaman yang dibudidayakan pengusaha cukup tinggi dikarenakan program pemerintah yaitu program reboisasi hutan dan adanya program penanaman satu miliar pohon.
Di samping kekuatan yang dimiliki usaha budidaya pembibitan dan persemaian tersebut,
hal‐hal yang menjadi kelemahan usaha budidaya pembibitan dan persemaian di Tahura Djuanda, antara lain: 1. Terbatasnya modal dan ketersediaan lahan tanam yang menjadi tempat budidaya pembibitan dan persemaian tanaman sehingga pengusaha merasa sulit dalam mengembangkan usaha sehubungan dengan keinginan dalam menambah jenis tanaman baru ataupun sekedar memenuhi variasi permintaan pasar. 2. Belum terbentuk kelompok budidaya yang berbadan hukum, sehingga pengusaha merasa sulit dalam mencari dukungan eksternal dari lembaga‐lembaga resmi seperti dukungan modal dan fasillitas ataupun dukungan dalam pelatihan‐pelatihan yang terkait dengan budidaya, maupun dukungan dalam mencari modal usaha. 3. Tenaga kerja yang sedikit karena keterbatasan modal sehingga pengusaha sulit mempekerjakan karyawan untuk membantu mengelola persemaian. Berdasarkan kelemahan dan kekuatan di atas, maka untuk mempertahankan keberlanjutan usaha, disarankan untuk:
43
- Mengadakan pelatihan‐pelatihan atau pengenalan tentang jenis‐jenis tanaman baru agar budidaya tanaman tetap terjaga dan tidak hanya untuk 95 tanaman yang saat ini sudah dibudidayakan. - Pengadaan teknik promosi usaha yang baik, hal ini ditekankan karena adanya permintaan pasar yang besar dan harga yang ditawarkan dari Aneka Bibit relatif rendah. - Pengadaan kerjasama kepada pemerintah terkait program reboisasi dan program penanaman satu miliar pohon agar usaha ini memiliki permintaan yang lebih stabil dan mudah diperkirakan.
Untuk usaha budidaya lebah madu di Tahura Djuanda, terdapat beberapa kekuatan antara
lain: 1. Pengusaha budidaya lebah madu di Tahura Djuanda membudidayakan jenis lebah lokal Apis cerena yang terkenal memiliki kualitas madu yang baik. Hal ini disebabkan oleh pakan lebah yang alami yaitu sari bunga dari tanaman jenis kaliandra. 2. Lahan budidaya yang menjadi tempat budidaya yaitu kawasan hutan raya ini memiliki iklim yang mendukung perkembangan budidaya lebah madu sekaligus pakan alami yang tersebar di seluruh kawasan hutan. 3. Permintaan pasar akan penjualan madu hasil budidaya pengusaha cukup baik. Hal ini berarti bahwa pengusaha lebah madu tidak mengalami kesulitan dalam penjualan madu hasil budidaya tersebut.
Selain kekuatan yang dimiliki usaha budidaya lebah madu di atas, kelemahan yang juga
dimiliki oleh usaha tersebut, antara lain: 1. Jumlah pengusaha yang berminat terhadap usaha budidaya lebah madu masih sedikit. 2. Kurangnya dukungan eksternal dari lembaga‐lembaga terkait mengenai modal dan fasilitas sehingga menyulitkan pengusaha dalam mengembangkan usaha seperti menambah produk hasil budidaya. 3. Belum adanya teknik promosi penjualan madu yang memadai. 4. Kemungkinan akan adanya lebah madu jenis lain yang dibudidayakan oleh kelompok pengusaha lain dalam satu kawasan yang sama, dalam hal ini budidaya yang juga berada di Tahura Djuanda, akan mengancam keberadaan koloni lebah yang dibudidayakan oleh pengusaha ini.
Untuk mempertahankan keberlanjutan usaha, direkomendasikan hal‐hal berikut:
1.
Menjalin kerjasama dengan lembaga terkait misalnya koperasi.
2.
Penyuluhan mengenai rencana usaha budidaya lebah madu yang baik.
3.
Menambah produk hasil budidaya.
44
BAB V. PEMETAAN MODEL PEMANFAATAN PUPUK DAN BIOSLURRY Pada bagian ini digambarkan pemetaan model pemanfaatan pupuk dan bioslurry yang dapat dilakukan oleh Tahura. Pengomposan yang pernah dijalankan di Tahura dapat diaktifkan kembali dengan mengadopsi salah satu model yang ada. Perbandingan model pemanfaatan yang telah dilakukan di Jawa Barat dan di Jawa Tengah diberikan sekaligus dengan analisis kelemahan dan kekuatan dari masing‐masing model usaha tersebut.
V.1 JAWA BARAT ‐ LEMBANG Gambaran umum
Gambar V.1 Lokasi petani sapi perah di area Lembang Kecamatan Lembang, salah satu kecamatan di Kabupaten Bandung Barat (KBB) adalah salah satu sentra peternakan sapi perah di Propinsi Jawa Barat. Dalam menjalankan usahanya, para peternak sebagian besar bermitra dan menjadi anggota KPSBU (Koperasi Peternak Susu Bandung Utara). KPSBU memegang peranan penting terutama terkait penerimaan susu, perdagangan susu, penyediaan makanan ternak atau biasa disebut MAKO (Makanan Koperasi), pembibitan, dan kesehatan hewan. Sekarang ini di KPSBU tercatat populasi sapi perah sebanyak 17.400 ekor (data tahun 2011 sebanyak 20.800 ekor) dengan jumlah peternak aktif sekitar 5.500 orang (dari total 7.000an peternak), tersebar di 10 desa (Kecamatan Lembang terdiri dari 16 desa). Populasi terbesar (lebih dari 2.000 ekor) secara berurutan adalah Desa Cikahuripan, Sukajaya, Cibogo, dan Jayagiri. Penyebaran populasi sapi seperti terlihat dipeta: bulat merah populasi (> 2.000 ekor), bulat biru (lebih dari seribu dan kurang dari 1.500 ekor), dan bulat hijau (kurang dari seribu ekor), seperti terlihat di Gambar V.1 di atas. Hivos bekerjasama dengan KPSBU dengan bantuan kredit dari Rabo Bank melalui program BIRU (Biogas Rumah) sejak 2010 memfasilitasi para peternak yang berminat membangun dan memanfaatkan biogas. Data pada bulan Januari 2013, terdapat 720 reaktor yang sudah dibangun
45
tersebarr di wilayah Lembang. Saat S ini, pem merintah Pro opinsi Jawa Barat melallui Dinas ESDM juga mendorong pemban ngunan reakktor biogas d di berbagai d desa peternaak, di antaraanya di Desa Cibodas dan Dessa Suntenjayya: 82 reakto or biogas di Cibodas (terrmasuk Kam mpung Arengg) dan 100 re eaktor di Suntenjaaya (termasu uk Kampung Asrama).
Model Usaha Pem manfaatan B Bioslurry A. Kompos kascingg (vermicom mpost) Studi kasus: Ibu EEti Rohaeti d dan Pak Ohim m A.1 Ranttai nilai bisn nis Dari hassil wawancaara dipetakan rantai nilai model ussaha Ibu Eti Rohaeti daan Pak Ohim m, kedua peternak tersebut teelah memprroses bio‐slurry dengan ccacing (diseb but kascing aatau vermico ompost). Diagram m 1 di halamaan berikut menunjukkan rantai nilai b bisnis kascingg. ntai tersebut di atas, terlihat bahwa rantai yang ada masih sangat sederhana. Dukun ngan dari Dari ran lembagaa dan pemaangku lain belum b ada. Hanya darii Program BIRU B yang p pernah mem mberikan sosialisaasi manfaat b bio‐slurry untuk pertaniaan dan sedikit ujicoba di ttanaman. Peemahaman p pasar dan pengenaalan masih b belum dilakukkan. Kedua p pelaku pebisnis bio‐slurryy belum melakukan penggambilan dari reaaktor peternak lain, Ibu Eti Rohaetii termasuk “pioneer” dalam peman nfaatan bio‐‐slurry di Kampun ng Areng seedangkan Paak Ohim (baaru berjalan n 4 bulan) meniru langgkah dengan n proses tersebutt (Gambar V..2).
Gaambar V.2 M Model Usaha Vermicompo ost Ibu Eti R Rohaeti adalaah peternak yang memp punyai satu e ekor sapi dew wasa betina dan satu eko or pedet. Suami isstri ini memp punyai reakto or ukuran 6 m3. Ketika p program BIRU U mensosialiisasikan man nfaat dari
46
bio‐slurrry, mereka mencoba m meembuat kom mpos kascingg (kompos dari d bio‐slurrry yang difermentasi dengan bantuan caccing) sejak taahun 2011 u untuk penggu unaan sendirri, yaitu untu uk pemupukkan lahan pertaniaannya seluass 1.000 m2 (terlihat padaa gambar rantai bisnis d diperlihatkan n dengan garris warna merah). Tiga bulan ssetelah pengggunaan kom mpos kascingg, para tetangga melihat hasil produkksi suami mbeli kascing yang dibuaat oleh mereeka. istri ini lebih baik, daan mulai mem K Areng yang memiliki 2 sapi dewasa dan memiliki reakto or biogas Pak Ohim adalah peeternak di Kp. berukuran 6 m3 sejak Septem mber 2012. Sejak mem miliki reaktorr biogas, Paak Ohim me elakukan urry dengan pengompossan kascing. Hal ini dilaku ukan dengan n melihat dan belajar pemanfaaatan bio‐slu dari Ibu Eti. Pak Ohim menggunakan lahan ssebesar 30 m m2 untuk meemproduksi kompos kascing. Pak Ohim tid dak memiliki lahan garap p milik sendirri sehingga fo okus Pak Ohim hanyalah beternak. del bisnis A.2 Mod Proses b bisnis dari peemanfaatan bio‐slurry m menjadi komp pos dengan cacing melip puti beberap pa proses 3 sebagai berikut ‐ peerhitungan jumlah j prod duksi didasarrkan pada ukuran u reakttor 6 m yan ng dapat pung 40‐60 kg kotoran sapi/hari. Total T waktu pengomposan sejak keluar dari slurry s pit menamp adalah 1 10 hari (Lihatt Gambar V.2 2). Bio-sslurry Sluurry basah Slurry keering Air + kotorann sapi Kascing K Tempaat/alat produkksi
Waktu produksi
R Reaktor biogas Slurry pit
1 hari
b Jumlahh produk 550 kg air + 50 100 kg bioslurry k kotoran sappi kg (perhitungan kasar)
Laahan terrbuka/tertutup
Tanah teertutup menganduung cacing
2 hari h
3 hari
1000 kg
20 kg (20% dari 20kgg bio-slurry, 80% kandungan air)
5 haari
G Gambar V.3 P Proses bisniss vermicomp post
47
Hasil kompos kascing (masih dengan cacing yang melakukan pengomposan) dapat dilihat dalam Gambar 4 di atas. Saat ini, dalam sebulan Ibu Eti bisa dihasilkan sekitar 20 karung kascing (1 karung = 30 kg) berarti sekitar 600 kg. Untuk Ibu Eti yang dijual ke petani lain hanya 300 kg saja, setengahnya digunakan untuk lahan pertanian sendiri. Sedangkan Pak Ohim semua produk kascingnya dijual (600 kg) dengan harga jual produk kascing adalah Rp 1.000/kg. Ibu Eti dan Pak Ohim memanfaatkan lahan kosong di belakang rumah untuk pengomoposan. Ibu Eti memiliki lahan seluas 35 m2 untuk dibuat lini‐lini pengomposan kascing seperti terlihat pada foto di atas (Gambar V.3). Berikut ini adalah analisis SWOT dari usaha kompos kascing bio‐slurry. Tabel V.1 Analisis SWOT Vermicompost
S
O
Proses pengomposan yang lebih cepat (total 10 hari dibanding kompos yang biasanya memakan waktu 1 bulan) Proses pengomposan yang tidak terlalu tergantung cuaca (dapat dilakukan pada kondisi panas ataupun hujan)
Peluang memasok kelompok petani mitra supplier sayuran
Mempunyai lahan tertutup/ternaungi yang layak
W
T
Pengomposan terbatasi oleh luas lahan yang tersedia (35 m2) Material bio-slurry hanya terbatas dari reaktor sendiri
Adanya pupuk organik lainnya (misal, kotoran ayam) Adanya pupuk kimia dan organik bersubsidi yang mudah diakses petani Belum ada standardisasi produk kascing bio-slurry
Kepemilikan sapi sedikit, sebagai peternak faktor ini terkadang mengurangi semangat beternak (kasus Ibu Eti)
B. Pupuk bio‐slurry kering Studi kasus: Pak Admin B.1 Rantai nilai bisnis Untuk Pak Admin produk bio‐slurry yang dijual adalah dalam bentuk kering setelah dipisah (dari pit slurry) kemudian ditumpuk dan diangin‐angin (selama 2 minggu). Rantai nilai bisnisnya adalah (Gambar V.4).
48
Gambar V.4 Mo odel usaha B Bio‐slurry kerring awancara dilakukan d bulan Januarri’13) ini P Pak Admin berhenti Namun sudah duaa bulan (wa n untuk prosses pengerin ngan sebesarr 20 m2). dikarenaakan tempatt naungan pengeringan rusak (lahan Sedangkkan BCL (Barudak Cicalu ung Lemban ng), bisa dikkatakan sebaagai “re‐selleer”, membe eli dalam keadaan n padat dan n menjual ke petani di d seputar Cicalung. Pak Admin ssendiri sekaarang ini mempun nyai 2 ekor ssapi dewasa dan 1 ekor p pedet dengan n ukuran reaaktor 6m3. del bisnis B.2 Mod Pak Adm min tidak melakukan prosses kascing, akan tetapi d disimpan unttuk dikeringkkan sebelum m dijual di 2 tempat tternaungi seelama 14 harri. Lahan unttuk proses pengeringan ssebesar 20 m m . Bio‐slurryy didapat dari pit sslurry sendirri dengan ukuran reaktorr 6 m3. Pak A Admin rata‐rata perbulan nnya bisa me enjual 35 karung bio‐slurry deengan hargaa per karungg Rp 7.000 (1 ( karung ukkuran 40 kgg). Namun te erkadang dalam seebulan tidakk menjual bio o‐slurry (jika musim hujaan, karena bio‐slurry tidaak kering). Su udah dua bulan in ni proses pen ngeringan bio‐slurry terhambat kare ena naungan n untuk pen ngeringan me engalami kerusakaan. Gambar V.6 berikut ini adalah an nalisis SWOT dari usaha p pengeringan bio‐slurry. WOT Bio‐slurrry kering Tabel V.2 Analisis SW
S
O
Tidaak menggangguu waktu kerja sebagai peternak, kareena mudahnya proses pengerringan bio-slurrry Mem mpunyai lahan tertutup/ternnaungi yang laayak (messki sekarang dalam d kondisi rusak r karena angin) a
Peluang memasok kelompook petani Kampung Cicalung Lem mbang (Cicalunng adalaha senttra sayuran)
Hargga jual yang murah m dibandinng harga pupukk lain
W
T
Lahaan pengeringann terbatasi oleeh luas lahan yang terseedia (20 m2) Matterial bio-slurrry hanya terbaatas dari reaktoor senddiri
Adanya A pupukk organik lainnnya (misal, kottoran ayam) Adanya A pupukk kimia dan orrganik bersubssidi yang mudah m diaksess petani Belum ada staandardisasi prooduk kering biio-slurry
49
C. Kompos bio‐slurry Studi kasus: rumaah kompos B Batu Lonceng C.1 Ranttai nilai bisnis Batu Lonceng dan Kampung K Asrama di Dessa Suntenjayya adalah deesa peternakk yang dekatt dengan hulu sun ngai Cikapundung. Di Battu Lonceng, ttepatnya di P Patrol telah dibuat rumaah kompos kkelompok peternak, dimana peternak dap pat membaw wa kotoran sapinya s ke teempat ini yaang selanjutn nya akan diolah menjadi m kom mpos. Rumaah kompos ini dibangun di lahan KPSBU dan didanai ole eh Dinas Peternakan Propinsii Jawa Barat. Rumah kom mpos di Batu u Loceng barru didirikan 3 bulan (wa awancara an bulan Jan nuari’13) dengan bangunan yang su udah represeentatif (luass sekitar 600 0 m2). Di dilakuka lokasi in ni sudah adaa mesin penccacah, mesin n pembuat granul, g penggayak dan m motor gerobaak (untuk mengangkut kotoran sapi). Rum mah kompos ini dikelola atas nama kelompok peternak. Akaan tetapi masarkan seeperti terlihaat pada petaa berikut, sejauh ini inisiasi ini belum berjjalan sampaai tahap mem pemasaran digambaarkan dengan garis putu us‐putus), se ehingga rantaai nilainya m masih terputus di sisi ntah) sudah d dilakukan (Gaambar V.5). pembelii, meski dari segi dukungan (pemerin
mbar V.5 Mo odel usaha kkompos komunal Gam Untuk garis putus‐putus karena proses itu b belum dilaku ukan, proses pengompossan kotoran sapi pun masih daalam taraf ujji coba. bisnis Model b Proses p pengomposan di rumah kkompos terlihat dari Gam mbar V.6 berikut.
50
Kotoran sapi basah
Kotoran sapi yang berkurang kadar airnya + starter/ mikroorganisme (EM4)
Kompos setengah jadi
Kompos
Tempat/alat produksi
Penampungan Bak di luar tapi pemyimpanan terlindung
Bak penyimpanan
Melalui proses penyaringan dan granul.
Waktu produksi
7 hari
7 hari
Siap digunakan
Jumlah pasokan kotoran per hari
10 hari
2.000 – 2.500 kg/hari Gambar V.6 Proses bisnis kompos komunal
Sekarang ini para peternak sebagian sudah mengirim kotoran ke rumah kompos, ada sekitar 40 – 50 karung perharinya (1 karung = 50 kg), berarti sekitar 2 – 2,5 ton/hari. Sudah ada proses pengomposan, namun belum diolah menjadi produk akhir menjadi serbuk atau granul. Dengan pasokan kotoran yang melimpah, tempat naungan diperluas. Menurut para peternak, mereka berharap kompos mereka nantinya bisa dijual ke pasar. Sejauh ini, sudah ada beberapa petani besar dan atau pemasok pupuk ke perkebunan dan kehutanan datang menanyakan apakah produk akhir sudah ada dan bisa dijual. Akan tetapi rumah kompos dan kelompok belum berani merespon permintaan tersebut. Mereka masih ujicoba untuk produksi pengomposan. Rencana kedepannya akan memaksimalkan produk bio‐slurry untuk pengomposan, sudah melakukan kerjasama dengan kelompok di Kp. Asrama. Seperti diketahui, di Kp. Asrama ada tempat pemisahan bio‐slurry (airnya dipisah) bantuan dari Program BIRU (lihat gambar di bawah ini). Melalui ketua kelompok Pak Daseng, mereka siap untuk memasok bio‐slurry ke rumah kompos Batu Loceng. Jika reaktor bantuan pemerintah sudah berjalan berarti di Desa Suntenjaya ada sekitar 113‐an reaktor, berarti setiap harinya ada pasokan 5,7 ton bio‐slurry cair. Akan tetapi ada kendala utama lainnya yaitu cara pengangkutan bio‐slurry cair dari reaktor peternak ke rumah kompos. Diperlukan tempat (mirip ember) untuk mengangkutnya, berbeda dengan kotoran yang bisa dimasukkan ke dalam karung. Meskipun dekat dengan petani, namun peternak di Kp Asrama, berbeda dengan di Kp Areng, bukan petani dan belum memiliki hubungan usaha dengan para petani. Hal ini menyebabkan bio‐slurry ataupun kotoran sapi yang dihasilkan belum didistribusikan kepada petani. Analisis SWOT di bawah ini merupakan analisis SWOT untuk rumah kompos di Batu Lonceng.
51
Tabel V.3 Analisis SWOT Kompos Komunal
S
O
Kapasitas rumah kompos yang besar serta lahan yang luas.
Dekat dengan peternak di Batu Lonceng dan Kp Asrama, sehingga supply kotoran sapi tinggi Peternak memiliki kesadaran tinggi untuk tidak membuang kotoran sapi ke sungai namun dikirim ke rumah kompos ini Dimungkinkannya supply bio-slurry
Adanya peralatan yang memadai untuk membuat kompos
W Terbatasnya alat transportasi untuk mengambil kotoran sapi dari peternak Proses kompos tradisional (dengan molase bukan dengan cacing) membuat proses pengomposan cenderung memakan waktu yang lama
T
Belum terbentuknya jalur distribusi ke petani Bertambahnya reaktor biogas di Lembang yang dapat mengurangi supply kotoran sapi (namun menjadi kesempatan untuk mengolah bio-slurry)
V.2 JAWA TENGAH Gambaran umum Untuk wilayah Program BIRU di Jawa Tengah, pembangunan reaktor biogas tersebar di beberapa Kabupaten (Boyolali, Karanganyar, Sukoharjo, Semarang, Klaten) dan bahkan masuk ke wilayah Yogyakarta (Gunung Kidul dan Bantul). Sejauh ini sudah terbangun sekitar 800 reaktor. Yang menarik untuk kasus di Jawa Tengah, bahan baku untuk reaktor biogas tidak hanya dari kotoran sapi perah (seperti di Jawa Barat dan Jawa Tengah). Bahan baku biogas juga dari kotoran sapi potong dan pembesaran (sekitar 80% reaktor yang ada), bahkan dari kotoran babi. Hanya di daerah Boyolali penggunaan kotoran sapi perah. Untuk pembiayan pembangunan reaktor pun hampir 85% dilakukan secara tunai, tidak ada pembiayan kredit seperti di daerah Porgram BIRU lainnya, sehingga di satu kecamatan paling banyak ada 5 reaktor saja. Paliing banyak kerumunan reaktor yaitu di Kecamatan Getasan (Semarang) sekitar 100 reaktor, bandingkan dengan Kec. Lembang (Jawa Barat) atau Kec. Jabung (Malang) dimana satu kecamatan terdapat lebih dari 300 reaktor. Fakta lain juga memperlihatkan bisnis bio‐slurry di Jawa Tengah ini lebih memanfaatkan bio‐slurry sebagai bahan campuran pembibitan dan pupuk atau pestisida cair.
Bisnis bio‐slurry Jawa Tengah A. Log jamur tiram Studi kasus: Pak Suharso (Karanganyar, Desa Kaliboto, Kec Mojo Gedang) A.1 Rantai nilai bisnis Pak Suharso selain peternak penggemukan juga petani jamur tiram. Selain itu beliau juga membuat log jamur untuk bahan baku budidaya jamur tiram. Pak Suharso memanfaatkan bio‐slurry kering (dari reaktor ukuran 6 m3) untuk campuran log jamur. Ide ini muncul ketika beliau membaca manfaat
52
bio‐slurrry di sebuah h majalah dan d juga info ormasi dari Program BIIRU Solo (Jaawa Tengah)). Secara sederhana rantai bisnis log Pakk Suharso dengan d mem manfaatkan bio‐slurry b keering adalah h sebagai berikut ((Gambar V.7 7).
Gambar V.7 7 Model Usah ha Log Tiram m m log dari Pak Suharso S mem mberikan reespon positiff berupa Sejauh ini para pettani yang membeli buhan mycelllium dan hasil produksi jjamur menin ngkat (kisaran 15%). pertumb A.2 Mod del bisnis
Gambar V.8 Log TTiram ni memerlukkan tingkat kehati‐hatian yang tingggi, karena jika ada hal yang kuran ng dalam Bisnis in proses pembuatann p nya maka logg tidak akan ditumbuhi mycellium. Gambar G V.8 menunjukkaan usaha log tiram m yang dilaku ukan Pak Suh harso dan Gaa,bar V.9 me enunjukkan p proses bisnisnnya. Pencam mpuran meedia
Fermentaasi (3-5 harri)
Pengemasann
Peengukusan
Pem mbibitan
Gambar V.9 9 Proses Bisn nis Log Tiram m Media yyang digunakkan dalam pembuatan lo og jamur tiraam dengan menggunakaan bioslurry memiliki komposisi sebagai berikut: 10‐30% limb bah gergaji kayu sengon putih
53
15‐20% bioslurry kering 3‐4% gamping halus/dolomit 3‐4% gipsum 10‐15% katul 40‐50% air Menurut Pak Suharso, biaya pembuatan log jamur tiram adalah Rp 850 per log (ukuran 1,3 ‐ 1,4 kg). Harga jual per log adalah Rp 1.800. Keuntungan penggunaan bio‐slurry Mengurangi 5% penggunaan katul (yang harga belinya Rp 2.000‐3.000/kg) Dengan penggunaan bio‐slurry kering maka bisa mengurangi penggunaan katul hingga 5%. Selain itu bisa mempercepat pertumbuhan mycellium hanya memerlukan 3 hari saja (jika tidak menggunakan bios‐lurry diperlukan 6 hari). Berikut ini adalah analisis SWOT dari usaha pembuatan log tiram dari bio‐slurry. Tabel V.4 Analisis SWOT Log Tiram
S
O
Ketersediaan lahan usaha Pemilik (Pak Suharso) telah memiliki pengalaman usaha yang panjang (lebih dari 5 tahun)
Besarnya permintaan pasar
W
T
Kecemasan produsen akan tidak diterimanya produk jika diketahui mengandung bio-slurry, maka produsen tidak membagikan informasi media log tiram ke umum (bersifat rahasia) Keterbatasan akses terhadap bahan baku dari luar(kayu sengon putih) Bio-slurry masih mengandalkan milik sendiri, sehingga terbataskan dengan jumlah bio-slurry yang bisa digunakan.
Persepsi pasar akan log yang dibuat dari bio-slurry Harga jamur tiram yang fluktuatif menyebabkan ketidakstabilan permintaan akan log jamur tiram
B. Pupuk dan pestisida bio‐slurry cair Studi kasus: Pak Nugroho/ Paguyuban Petani Organik Karanganyar (Karanganyar, Desa Ngadiluwih, Kec Matesih) dan Pak Suparjono/Jono Farm (Sukoharjo, Desa Gentan, Kec Bendosari) B.1 Rantai nilai bisnis Kedua orang di tempat yang berbeda ini mengembangkan pupuk dan pestisida organik dengan salah satu bahan baku campurannya adalah cairan dari bio‐slurry. Keduanya memiliki reaktor ukuran 6 m3 dan sama‐sama memiliki 2 ekor sapi penggemukan. Pak Suparjono selain itu memelihara kambing
54
(sekaran ng 5 ekor). Jika dipetakan n rantai nilainya adalah ssebagai berikkut (Gambar V.10).
G Gambar V.10 0 Model Usaha Pupuk dan Pestisida B Bio‐slurry Cair B.2 Model bisnis pembuatannya pun sangaat sederhanaa yaitu: Proses p Menggambil cairan n (dengan peemisahan di pit slurry) ke emudian ditaampung dalaam drum uku uran 120 L Ditam mbahkan buaah‐buahan atau daun‐daunan yang sesuai dengan “kearifan lokal”, artinyya bahan terseebut bisa membunuh ham ma (untuk peestisida) dan bisa meninggkatkan kadaar untuk pertu umbuhan (un ntuk pupuk) Kemu udian ditutup p dan didiam mkan selama 2 minggu Selan njutnya hasil proses tadi ditampung d dalam wadah h (jerigen) Model b bisnis dapat d digambarkan n sebagai berrikut:
Pem misahan cairan bio‐slurry
Peencampuran biio‐slurry cairr deengan tetes teebu, urin dan n r ragi (+daun‐ daunan)
Fermentassi (7 hari) denggan pengadukan setiap hari
Penggu unaan pupukk cair konsentrat denggan penambaahan air
G Gambar V.11 1 Proses Bisn nis Pupuk dan Pestisida B Bio‐slurry Caiir Biaya prroduksi yangg muncul darri satu drum tersebut dip perkirakan haanya Rp 50.0 000 untuk pe embelian tetes tebu dan bahaan campuran n lain. Namun dari bahan n pembuat m mikroorganissme untuk caampuran fermenttasi adalah buah‐buahan dan daun‐daunan tersed dia di seputaar rumah. Untuk Pak Nugroho menjual perr 1,5 L adalah Rp 15.000 0 dan Pak Suparjono per 1 L dijual Rp p 10.000. n bisnis ini P Pak Nugroho o sudah men njual 3 drum (sekitar 360 0 L) artinya perbulan Selama menjalankan terjual 120 1 L. Sedan ngkan Pak Suparjono S su udah menjuaal 2 drum (ssekitar 240 L) atau perb bulannya terjual kkisaran 80 L. Berikut iini adalah an nalisis SWOT dari usaha p penjualan pu upuk dan pesstisida cair bio‐slurry.
55
Tabel V.5 Analisis SWOT Usaha Pupuk dan Pestisida Bio‐slurry Cair
S
O
Kemudahan proses pembuatan
Ketersediaan pasar yang besar Dukungan lembaga sekitar dalam pengembangan usaha ini
Ketersediaan bahan baku Waktu pengerjaan yang cepat (bukan kegiatan yang labour intensive) Harga jual yang rendah Kreativitas dan pemahaman akan campuran bahan baku yang baik
W
T
Niat menjual/usaha masih kecil Belum luasnya networking untuk usaha Niat yang tidak berkelanjutan (baru buat jika ada yang minta/pesan)
Banyaknya pesaing dalam usaha pupuk dan pestisida cair Meski pasar besar, akses terhadap pasar masih terbatas.
56
KESIMPULAN Para pelaku usaha di Tahura Djuanda menjadikan kesempatan di Tahura sebagai sumber penghasilan, baik sumber utama maupun sumber pencarian sampingan. Untuk usaha jual beli (dagang) dan pengusaha jasa, keberlanjutan usaha yang terjadi saat ini didominasi oleh dua kondisi yang berbeda. Sebagian usaha sedang berada di fase baru memulai usaha dan sebagian lagi mengalami stagnasi. Para pengusaha, pada fase manapun cenderung tidak mempunyai rencana pengembangan usaha dan rencana memulai usaha baru. Dilihat dari kemampuan usaha, para pengusaha mempunyai permasalahan pada kemampuan fisik dan mental, sifat keaslian ide, dan kesempatan mempunyai modal yang cukup. Oleh karena itu, untuk usaha ini direkomendasikan agar ada keberlanjutan usaha, perlu dilakukan kegiatan pelatihan secara berkala, terutama pelatihan kewirausahaan, dengan materi pelatihan sebagai berikut: a. Pengetahuan dasar kewirausahaan dan kepemimpinan. b. Penggalian ide‐ide dalam usaha. c. Cara memaksimalkan modal yang ada. serta mengusulkan para pengusaha untuk membuat rencana usaha pada setiap usaha yang dilakukan.
Untuk usaha budidaya, di Tahura Djuanda terdapat potensi yang besar. Berdasarkan
pemetaan usaha yang telah dilakukan melalui perbandingan antar karakteristik dan penilaian mengenai kesempatan dan sifat pengusaha, dapat disimpulkan bahwa usaha pembibitan dan persemaian memiliki potensi usaha lebih besar dibandingkan dengan usaha budidaya lebah madu. Dari pemetaan kekuatan dan kelemahan usaha budidaya, maka diberikan rekomendasi untuk keberlanjutan usaha. Untuk usaha pembibitan dan persemaian perlu ada pelatihan‐pelatihan atau pengenalan tentang jenis‐jenis tanaman baru, pengadaan teknik promosi usaha yang baik dan kerjasama dengan pemerintah terkait program reboisasi dan program penanaman satu miliar pohon. Untuk usaha budidaya lebah madu direkomendasikan agar ada kerjasama dengan lembaga terkait misalnya koperasi dan penyuluhan mengenai rencana usaha budidaya lebah madu yang baik.
Untuk pengembangan usaha pengomposan yang saat ini tidak berjalan dengan baik,
beberapa model usaha diberikan, dimana terdapat model usaha bisnis bio‐slurry vermicompost, bio‐ slurry kering atau kompos kotoran yang dicampur bio‐slurry yang dilakukan di daerah Lembang. Selain itu di Jawa Tengah telah dikembangkan usaha pembuatan log tiram dengan menggunakan bio‐slurry dan pupuk organik dan pestisida cair dari bio‐slurry.
57
DAFTAR PUSTAKA BEYENE, G. E. 2011. Bio‐Slurry – Is It a Fertilizer in The Making? Available: http://www.snvworld.org/sites/www.snvworld.org/files/publications/et_bioslurry_‐ _is_it_a_fertiliser_in_the_making.pdf [Accessed 24/12/2012]. BIRU. 2012. Annual Report 2011 Indonesia Domestic Biogas Programme. Available: www.snvworld.org/.../annual_report_2011_idbp_indonesia_2012.pdf [Accessed 29 February 2012]. BIRU.
Model Instalasi Biogas Indonesia: Panduan Konstruksi. sfiles.biru.or.id/uploads/files/1279108490.pdf [Accessed 31/12/2012].
Available:
ISLAM, F. 2011. Linking Bio‐energy, Bio‐slurry and Composting. Bangladesh: SNV. TIM PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT 2011. Buku I: Konsep Masterplan Pengembangan Tahura Ir. H. Djuanda tahun 2014‐2048. Bandung: LPPM UNPAR. VINH, N. Q. 2010. Utilization of Liquid Bio‐Slurry as Fertilizer For Green Mustards and Lettuces in Dong Nai Province. Ho Chi Minh City: MINISTRY OF AGRICULTURE AND RURAL DEVELOPMENT.
58
LAMPIRAN A: SURVEI PENGUSAHA DI TAHURA IR. H. DJUANDA Survei usaha di TAHURA Ir. H. Djuanda Pengantar: Survei ini dibuat untuk diisi oleh guide dan penyewa senter, pedagang, tukang ojeg dan tukang parkir. Pewawancara harus mencari orang yang memiliki usaha di area Tahura Ir. H. Djuanda. Sebelum mewawancara, pewawancara diminta untuk menanyakan kesediaan responden dengan pengantar sebagai berikut: Selamat pagi Bapak/Ibu, Saya (SEBUT NAMA) dari Teknik Industri UNPAR akan melakukan survei mengenai pengembangan usaha di Tahura Ir. H. Djuanda. Survei ini merupakan bagian dari kerja sama antara UNPAR dengan Balai Tahura, dimana Ibu Jasmiaty adalah penanggung jawab dari Balai Tahura. Jika Bapak/Ibu tidak keberatan, kami akan menanyakan beberapa hal mengenai profil Bapak/Ibu, keberlanjutan usaha, kemampuan, sifat dan kesempatan usaha. Waktu wawancara akan berkisar antara 15‐20 menit. (Pewawancara menanyakan apakah yang bersangkutan bersedia untuk diwawancara. Jika tidak, silakan mencari pengusaha lain)
BAGIAN 1 - PROFIL PENGUSAHA
Nama: _____________________ Usia: ______ tahun Jenis kelamin: Laki‐laki / Perempuan (lingkari jawaban) Pendidikan terakhir: _________ Jumlah tanggungan keluarga: ___________ orang Jenis usaha: ___________________ Lokasi usaha: _____________________ (tuliskan letak spesifik usaha di Tahura Djuanda) Lama usaha: ______ tahun Pengeluaran per bulan: _______________ Pelatihan yang pernah diikuti: (boleh lebih dari 1 jawaban) 1. __________________________________ 2. __________________________________ 3. __________________________________ 4. __________________________________ Apakah ada usaha atau pekerjaan lain? Ya/Tidak (lingkari jawaban)
59
Jika jawabannya ya, - Usaha ataupekerjaan apa? - Usaha ataupekerjaanmana yang menjadisumberutamapenghasilananda? Apakah anda pernah bekerja (pada orang lain) dalam 6 bulan terakhir? Ya/Tidak (lingkari jawaban) 1.
BAGIAN 2 – KEBERLANJUTAN USAHA DengansiapaBapak/Ibumemulaiusahaini? a. Sendiri b. Orang tua c. Kerabatdekat d. Lainnya ……………………………………
2.
Berapa modal usaha yang Bapak/Ibukeluarkanuntukusahaini?
3.
DengansiapaBapak/Ibumenjalankanusahaini? (bolehlebihdari 1 jawaban) a. Keluarga b. Pekerjaupahan c. Lainnya ……………………………………
4.
Jikapertanyaannomor 3 jawabannya (b), berapaupah yang Bapak/Ibuberikan?
5.
BerapapendapatanBapak/Ibuper bulandariusahaini?
6.
ApakahBapak/Ibumemilikirencanapengembangan usahaini? Ya/Tidak (lingkarijawaban)
7.
Jikapertanyaannomor 6 jawabannyaya, rencanaapa yang Bapak/Ibuinginlakukan?
8.
ApakahBapak/Ibumemilikirencanauntukmembukasuatuusaha yang baru di kawasan Tahura Ir. H. Djuanda? Ya/Tidak (lingkarijawaban)
9.
Jikapertanyaannomor 8 jawabannyaya, rencanabaruapa yang Bapak/Ibuinginlakukan?
BAGIAN 3 – EVALUASI KEMAMPUAN USAHA Pewawancara: jelaskan kepada responden hal berikut: Bapak/Ibu, sekarang saya akan menanyakan penilaian Bapak/Ibu mengenai kemampuan Bapak/Ibu dalam menjalankan usaha ini. Silakan Bapak/Ibu memberi penilaian antara 1 – 5 terhadap kemampuan tersebut, dimana 5 adalah sangat baik, 4 adalah baik, 3 adalah rata‐rata, 2 adalah buruk, dan 1 adalah sangat buruk.
60
Skala Evaluasi NO.
Kemampuan
Sangat baik
Baik
Rata‐rata
Buruk
Sangat buruk
5
4
3
2
1
1
Mencapai tujuan
2
Komunikasi dengan orang lain
3
Komunikasi dengan pekerja
4
Menerima ketidakpastian
Kesehatan fisik
Tingkat energi
7
Kemauan untuk menghadapi risiko
8
Keyakinan pada diri sendiri
9
Berinovasi
10
Memimpin secara efektif
Sabar
12
Keinginan kuat memiliki uang
13
Sistematis
14
Menciptakan ide baru
15
Kebutuhan untuk memimpin
Tekun
17
Percaya diri
18
Mengambil inisiatif
19
Bersaing
20
Pengetahuan yang luas
5 6
11
16
BAGIAN 4 – EVALUASI SIFAT PENGUSAHA Pewawancara: jelaskan kepada responden hal berikut: Bapak/Ibu, sekarang saya akan menanyakan penilaian Bapak/Ibu mengenai sifat Bapak/Ibu dalam menjalankan usaha ini. Silakan Bapak/Ibu memberi penilaian antara 1 – 5 terhadap sifat tersebut, dimana 5 adalah sangat baik, 4 adalah baik, 3 adalah rata‐rata, 2 adalah buruk, dan 1 adalah sangat buruk. Skala Evaluasi NO.
Sifat‐Sifat
Sangat baik
Baik
Rata‐rata
Buruk
Sangat buruk
5
4
3
2
1
Percaya Diri
Fokus pada tugas dan hasil
3
Berani mengambil resiko
4
Kepemimpinan
1 2
61
Skala Evaluasi NO.
Sifat‐Sifat
Sangat baik
Baik
Rata‐rata
Buruk
Sangat buruk
5
4
3
2
1
5
Keaslian ide
6
Berorientasi ke masa depan
BAGIAN 5 – EVALUASI KESEMPATAN USAHA
Pewawancara: jelaskan kepada responden hal berikut: Bapak/Ibu, sekarang saya akan menanyakan penilaian Bapak/Ibu mengenai kesempatan usaha yang Bapak/Ibu miliki. Silakan Bapak/Ibu memberi penilaian antara 1 – 5 terhadap hal tersebut, dimana 5 adalah sangat baik, 4 adalah baik, 3 adalah rata‐rata, 2 adalah buruk, dan 1 adalah sangat buruk. Skala Evaluasi NO.
Kesempatan
Sangat baik
Baik
Rata‐ rata
Buruk
Sangat buruk
5
4
3
2
1
1
Mempunyai modal yang cukup
2
Mempunyai waktu untuk menjalankan usaha
3
4
Mempunyai hubungan usaha dengan pihak lain Lingkungan yang mendukung untuk usaha
5
Memiliki dukungan dari keluarga
Mempunyai pengetahuan dan kemampuan untuk usaha Selama melakukan usaha di Tahura Ir. H. Djuanda:
6
1. Hal‐hal yang membuat Bapak/Ibu bertahan dalam melakukan usaha: 1. 2. 3. 2. Hal‐hal yang menyulitkan Bapak/Ibu untuk mengembangkan usaha: 1. 2. 3. Terima kasih atas waktu yangtelah Bapak/Ibu luangkan. Apakah Bapak/Ibu masih bersedia untuk diwawancara lebih lanjut? Ya/Tidak (lingkari jawaban) Jika Ya, nomor telepon yang dapat dikontak: __________________________
62
63