ANALISIS DAMPAK NON-TARIFF MEASURES (NTMs) TERHADAP EKSPOR IKAN TUNA INDONESIA KE NEGARA TUJUAN UTAMA
OKTAVINA WIDYA KRISTRIANA
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Dampak NonTariff Measures (NTMs) Terhadap Ekspor Ikan Tuna Indonesia ke Negara Tujuan Utama adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, April 2015 Oktavina Widya Kristriana NIM H14110033
ABSTRAK OKTAVINA WIDYA KRISTRIANA. Analisis Dampak Non Tariff Measures (NTMs) Terhadap Ekspor Tuna Indonesia ke Negara Tujuan Utama. Dibimbing oleh WIWIEK RINDAYATI. Dewasa ini, perdagangan internasional mengalami hambatan baik tarif maupun non tarif. Negara- negara pelaku perdagangan cenderung memberlakukan tindakan non tarif (NTM). Kebijakan NTM yang paling banyak diberlakukan adalah Sanitary and Phitosanitary (SPS) dan Technical Barrier to Trade (TBT). Salah satu ekspor potensial Indonesia yang menghadapi hambatan NTM yaitu komoditi ikan tuna. Beberapa negara tujuan utama ekspor ikan tuna antara lain China, Jepang, Thailand, Amerika Serikat, Korea Selatan, Singapura, dan Vietnam. Penelitian ini bertujuan menganalisis kinerja ekspor serta dampak NTM terhadap ekspor komoditi tuna Indonesia. Metode yang digunakan yakni pendekatan inventory (coverage ratio dan frequency index) dan model gravity. Hasil pendekatan inventory menunjukkan Amerika Serikat sebagai negara yang memberlakukan NTM terbanyak dan kelompok komoditi tuna yang paling banyak terkena NTM adalah tuna beku. Hasil estimasi menunjukkan SPS dan TBT berpengaruh nyata terhadap ekspor ikan tuna dengan koefisien positif sebesar 0,011 dan 0,015. Kata kunci: ikan tuna, model gravity, NTM, SPS, dan TBT
ABSTRACT OKTAVINA WIDYA KRISTRIANA. Impact Analysis of The Major Destination Countries’ Non Tariff Measures (NTM) on The Indonesian Tuna Exports. Supervised by WIWIEK RINDAYATI Currently, International trading is hampered in both tariff and non-tariff. Non-Tariff Measures (NTM) is likely applied by some major trading countries. Sanitary and Phytosanitary (SPS) and Technical Barrier to Trade (TBT) are the most widely applied NTM policy. Tuna commodities is one of Indonesian potential exports facing NTM barriers. Some of Indonesian tuna export major destinations are China, Japan, Thailand, United States, South Korea, Singapore, and Vietnam. This study aims to analyze the export performance and NTM impact on the Indonesian tuna export commodities. The methods used are descriptive analysis through inventory approach (coverage ratio and frequency index) and gravity model. The results show that United States as a country imposing highest NTM and frozen tuna as the most affected commodity group by NTM effects. The estimation results SPS and TBT affect tuna fish exports with positive coefficient of each 0,011 and 0,015 Keywords: gravity model, NTM, SPS, TBT, and tuna fish.
ANALISIS DAMPAK NON-TARIFF MEASURES (NTMs) TERHADAP EKSPOR IKAN TUNA INDONESIA KE NEGARA TUJUAN UTAMA
OKTAVINA WIDYA KRISTRIANA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan karunianya sehingga skripsi yang berjudul Analisis Dampak Non- Tariff Measures (NTMs) Terhadap Ekspor Ikan Tuna Indonesia ke Negara Tujuan Utama ini dapat diselesaikan. Penyusunan tulisan ini sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan program Strata-1 pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang telah membantu dalam proses penyelesaian tugas akhir ini. Ucapan terima kasih disampaikan kepada: 1. Dr. Ir. Wiwiek Rindayati, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan baik secara teknis, teoritis, dan moril selama proses penyelesaian skripsi sehingga dapat diselesaikan dengan baik. 2. Dr. Alla Asmara, S.Pt, M.Si dan Dr. Eka Puspitawati selaku penguji atas kritik dan masukan yang diberikan untuk perbaikan skripsi ini. 3. Orang tua dan keluarga penulis Tri Imam H. (Ayah) dan Kristintien Mulyani (Ibu), dan Yusril W. Mahendra (Adik) atas doa dan dukungan baik secara moril maupun materil yang diberikan kepada penulis dalam proses penyelesaian tugas akhir ini. 4. Ibu Darmiati Dahar alumni Pasca Sarjana Ilmu Ekonomi FEM IPB yang telah memberikan ilmu dan bantuan mengenai informasi Non-Tariff Measures (NTMs) kepada penulis. 5. Teman- teman satu bimbingan yaitu Annisa Meidianty, Dian Rahmadhani, Khairunnisa, dan Selamet Widodo yang senantiasa mendukung dan saling membantu dalam penyusunan skripsi. Sahabat- sahabat terbaik yaitu Chintia A.M, Anggun Tina, Indah Hardiyanti, Seftiyana, Aurora Fathyaa, Octavianne D. M, Ika Fauziah, Rusy Laytifah M, Latifa Dinna P, Danu Pramudia, Dani Arwan, dan Kemal Akbar, sebagai partner bertukar pikiran dalam berbagai hal dan juga berbagi semangat. Keluarga Power Rangers Astri Septiani, Khairunnisa M, Diana F.L, Asma Zakiyah, Desy S, Soleha, Puti H, Nurul Hikmah, Panny W, yang senantiasa berbagi keceriaan dan doa. 6. Teman- teman Ilmu Ekonomi FEM IPB Angkatan 48 yang telah sama- sama berproses dalam dunia kampus dan berbagi pengalaman selama hampir empat tahun. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, April 2015 Oktavina Widya Kristriana
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
viii
DAFTAR GAMBAR
viii
DAFTAR LAMPIRAN
ix
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
4
Tujuan Penelitian
6
Manfaat Penelitian
6
Ruang Lingkup Penelitian
6
TINJAUAN PUSTAKA
7
METODE PENELITIAN
14
Jenis dan Sumber Data
14
Metode Analisis
14
HASIL DAN PEMBAHASAN
17
Gambaran Umum Subsektor Perikanan dan Industri Ikan Tuna Indonesia
17
Kinerja Perdagangan Komoditi Ikan Tuna Indonesia
18
Pemberlakuan Non Tariff Measures (NTM) pada Komoditi Ikan Tuna Indonesia
21
Dampak NTMs Pada Ekspor Komoditi Tuna Indonesia ke Negara Tujuan Utama
27
SIMPULAN DAN SARAN
32
Simpulan
32
Saran
32
DAFTAR PUSTAKA
33
LAMPIRAN
35
RIWAYAT HIDUP
42
DAFTAR TABEL
1 2
Tabel 1 Nilai PDB menurut lapangan usaha tahun 2011- 2013 2 Tabel 2 Volume dan nilai ekspor hasil perikanan menurut komoditas utama dan negara tujuan 2011-2012 3 3 Tabel 3 Jenis dan sumber data 14 4 Tabel 4 Produksi perikanan tangkap di laut menurut komoditas utama 2008-2013 18 5 Tabel 5 Perkembangan ekspor ikan tuna segar Indonesia tahun 2009-2013 ke negara tujuan utama 19 6 Tabel 6 Perkembangan ekspor ikan tuna beku Indonesia tahun 2009-2013 ke negara tujuan utama 19 7 Tabel 7 Perkembangan ekspor ikan tuna olahan Indonesia tahun 20092013 ke negara tujuan utama 20 8 Tabel 8 Jumlah NTMs SPS dan TBT yang diberlakukan pada komoditi ikan tuna di negara tujuan utama tahun 2002- 2013 21 9 Tabel 9 Hasil Uji Chow dan Hausman 28 28 10 Tabel 10 Hasil estimasi model dampak SPS dan TBT
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Gambar 1 Kontribusi perikanan terhadap PDB sektor pertanian 2013 Gambar 2 Klasifikasi baru NTM Gambar 3 Kerangka Pemikiran Gambar 4 PDB sektor pertanian atas dasar harga berlaku 2008-2013 Gambar 5 Nilai ekspor ikan tuna Indonesia ke negara tujuan utama tahun 2013 (000 USD) Gambar 6 Frequency index SPS pada ekspor komoditi tuna ke negara tujuan utama tahun 2009- 2013 Gambar 7 Frequency index TBT pada ekspor komoditi tuna ke negara tujuan utama tahun 2009- 2013 Gambar 8 Frequency index SPS pada ekspor komoditi tuna ke negara tujuan utama tahun 2013 berdasarkan kelompok komoditi Gambar 9 Frequency index TBT pada ekspor komoditi tuna ke negara tujuan utama tahun 2013 berdasarkan kelompok komoditi Gambar 10 Coverage ratio SPS pada ekspor komoditi tuna ke negara tujuan utama tahun 2009- 2013 Gambar 11 Coverage ratio TBT pada ekspor komoditi tuna ke negara tujuan utama tahun 2009- 2013 Gambar 12 Coverage ratio SPS pada ekspor komoditi tuna ke negara tujuan utama tahun 2013 berdasarkan kelompok komoditi Gambar 13 Coverage ratio TBT pada ekspor komoditi tuna ke negara tujuan utama tahun 2013 berdasarkan kelompok komoditi
2 9 13 17 20 22 23 24 24 25 26 26 27
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Lampiran 1 Cakupan Kode HS Ikan Tuna Lampiran 2 Cakupan Kode HS Ikan Tuna Lampiran 3 Neraca perdagangan tuna Indonesia ke negara- negara tujuan utama tahun 2009- 2013 (000 USD) Lampiran 4 Neraca perdagangan tuna Indonesia ke negara- negara tujuan utama berdasarkan kelompok komoditi tahun 2010- 2013 (000 USD) Lampiran 5 Cross sections effect Lampiran 6 Hasil uji normalitas Lampiran 7 Hasil uji multikolinearitas Lampiran 8 Hasil uji heteroskedastisitas Lampiran 9 Klasifikasi SPS dan TBT
35 35 36 37 37 38 38 38 40
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Ekspor merupakan mesin penggerak bagi percepatan pertumbuhan ekonomi. Dalam rangka mencapai pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, ekspor merupakan salah satu bagian penting yang harus diperhatikan kelangsungannya. Peranan ekspor menjadi semakin penting seiring dengan perubahan strategi industrialisasi dari industri substitusi impor menuju industri promosi ekspor. Perdagangan yang dilakukan dalam rangka mendorong pertumbuhan ekspor mengalami hambatan baik tarif maupun non tarif. World Trade Organization (WTO) telah menetapkan tingkat tarif yang diberlakukan untuk komoditas di seluruh dunia, baik untuk negara maju maupun berkembang. Melalui perjanjian preferensi dalam perdagangan global, berbagai macam bentuk tarif telah semakin berkurang. Adanya batasan tarif ini membuat negara memberlakukan tindakan non tarif (non tariff measures/ NTMs) sebagai bentuk proteksi pada produsen domestik dalam menghadapi persaingan impor dengan produk asing (Dahar 2014). Dewasa ini terdapat dua kecenderungan dalam sektor pertanian, yaitu peningkatan konsumsi masyarakat dan persoalan mengenai keaslian produk serta komposisinya. Masyarakat akan lebih memperhatikan keamanan produk serta keberlanjutan lingkungan dalam sebuah proses produksi sehingga nantinya akan berdampak pada keputusan konsumen untuk membeli sebuah produk pertanian. Akan tetapi keputusan membeli tentu saja tidak dapat ditentukan oleh masyarakat sendiri, sehingga dalam hal ini, peran non tariff measures menjadi sangat penting (Boza 2013). Tujuan diberlakukannya NTMs yakni melakukan tindakan untuk melindungi manusia, hewan, dan tumbuhan pada suatu negara dari penyakit, serta untuk menjamin kesejahteraan nasional yang berkelanjutan dengan memperbaiki kegagalan pasar. Saini (2009) mendefinisikan NTMs sebagai tindakan selain tarif yang berkaitan dengan aktivitas administratif negara dan mempengaruhi harga, kuantitas, struktur dan/ atau arah dari arus perdagangan internasional berupa barang atau jasa serta sumberdaya yang digunakan untuk memproduksi produk atau jasa tersebut. UNCTAD mengklasifikasikan NTMs secara mendetail, dimana klasifikasi tersebut merupakan taksonomi dari semua langkah tindakan yang dianggap relevan dalam perdagangan internasional saat ini (Rahmaniar 2013). Secara garis besar, regulasi teknis dibagi menjadi dua kategori besar, yakni sanitary or phytosanitary (SPS) dan technical barriers to trade (TBT). Kedua regulasi ini dimaksudkan sebagai bentuk proteksi terhadap manusia, hewan atau tumbuhan pada suatu negara dari penyakit, dan juga mencakup segala macam regulasi teknis, standar, serta prosedurnya (UNCTAD 2013). Indonesia merupakan salah satu negara anggota yang tergabung dalam sebuah organisasi yang disebut World Trade Organization (WTO). Dengan menjadi anggota WTO, berarti Indonesia harus bersedia membuka pasar dalam negeri bagi negara lain dan menerima segala konsekuensi perdagangan bebas. Kebijakan perdagangan internasional setiap negara berbeda antara negara satu dengan yang lainnya, sehingga sebagai negara pengekspor, Indonesia berusaha untuk memenuhi
2 persayaratan kebijakan yang diberlakukan oleh negara pengimpor serta memaksimalkan potensi ekspornya dalam rangka mendorong surplus neraca perdagangan nasional Tabel 1 Nilai PDB menurut lapangan usaha tahun 2011- 2013
Lapangan Usaha
Atas Dasar Harga Berlaku (triliun rupiah) 2011
Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan
2012
1 091.4 1 193.5
2013
Atas Dasar Harga Konstan 2000 (triliun rupiah) 2011
2012
2013
1 311.0
315.0
328.3
339.9
970.8
1 020.8
190.1
193.1
195.7
1 806.1 1 972.5
2 152.6
633.8
670.2
707.5
877.0
Listrik, Gas, dan Air Bersih
55.9
62.2
70.1
18.9
20.1
21.2
Bangunan Perdagangan, Hotel, dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan
753.6
844.1
907.3
159.1
170.9
182.1
1 023.7 1 148.7
1 301.5
437.5
473.1
501.2
Jasa- jasa
491.3
549.1
636.9
241.3
265.4
292.4
535.2
598.5
683.0
236.2
253.0
272.1
785.0
890.0
1 000.8
232.7
244.8
258.2
Produk Domestik Bruto (PDB)
7 419.2 8 229.4
9 048.0 2 464.6 2 618.9 2 770.3
PDB Tanpa Migas Sumber: BPS 2013
6 785.9 7 588.3
8 416.0 2 322.7 2 481.8 2 637.0
Terdapat sembilan sektor utama pilar perekonomian nasional, dimana sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan merupakan satu dari sembilan sektor utama penopang perekonomian Indonesia. Tabel 1 memperlihatkan kinerja sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan terhadap nilai PDB yang mengalami tren peningkatan sepanjang tahun 2011- 2013. Nilai PDB sektor pertanian, peternakan, kehutanan atas dasar harga konstan meningkat dari 315 triliun rupiah pada tahun 2011 menjadi 328,3 triliun rupiah pada 2012 dan 339.9 triliun rupiah pada 2013. Tanaman Perkebunan 13% Peternakan dan Hasilhasilnya 12%
Kehutanan 4% Perikanan 21%
Tanaman Bahan Makanan 50%
Sumber: Dirjen Kelautan dan Perikanan, 2013 Gambar 1 Kontribusi perikanan terhadap PDB sektor pertanian 2013
3
Gambar 1 menunjukkan kontribusi masing- masing subsektor dalam PDB sektor pertanian. Kontribusi terbesar yakni tanaman bahan makanan (tabama) sebesar 50% dan disusul oleh subsektor perikanan sebesar 21%. Dalam periode 2009-2012, capaian PDB sub sektor perikanan berdasarkan harga berlaku mengalami peningkatan rata- rata sebesar 13.07%, dan pada periode yang sama PDB nasional mengalami peningkatan sebesar 13.95%. Dirjen Kelautan dan Perikanan (2013) mencatat bahwa pada tahun 2013, volume ekspor hasil perikanan sebesar 802 ribu ton dengan nilai total USD 2.6 milyar. Salah satu komoditas penyumbang nilai ekpor terbesar yaitu ikan tuna, dengan nilai USD 515 juta. Tabel 2 Volume dan nilai ekspor hasil perikanan menurut komoditas utama dan negara tujuan 2011-2012 Tahun Negara Tujuan Jepang Udang Tuna/ Cakalang Kepiting Lainnya Amerika Serikat Udang Tuna/ Cakalang Kepiting Lainnya China Udang Tuna/ Cakalang Kepiting Lainnya Negara Lainnya Udang Tuna/ Cakalang Kepiting Lainnya Total Udang Tuna/ Cakalang Ikan lainnya Kepiting Lainnya Sumber: KKP 2012
2011 2012 Volume Nilai Volume Nilai (ton) (USD 000) (ton) (USD 000) 123 830 806 060 118 732 842 118 37 897 427 301 33 521 372 825 44 604 174 060 38 526 171 203 1 149 12 892 383 2 763 5 601 23 611 2 900 27 414 126 931 1 070 484 133 476 1 147 191 70 059 615 055 62 194 500 307 15 062 71 374 14 545 91 357 10 016 198 319 4 976 91 236 4 032 14 614 29 376 298 299 242 397 220 998 295 486 284 664 5 920 25 432 6 136 39 804 711 1 518 6 640 5 684 4 379 16 033 6 950 41 622 110 961 93 549 147 176 116 041 563 858 963 626 594 304 1 133 795 27 527 97 652 43 858 279 302 51 263 154 159 113 645 358 242 6 386 23 756 14 642 181 477 79 593 184 346 105 847 1 896 1 159 349 3 521 091 1 229 114 3 853 658 158 062 1 309 674 162 068 1304 149 141 774 498 591 201 159 749 992 618 294 1 075 401 538 723 965 062 23 089 262 321 28 212 329 724 218 130 375 105 298 952 504 731
Perubahan 2011/2012 Volume Nilai % % -4.12 4.47 -11.55 -12.75 -13.63 -1.64 -66.67 -78.57 -48.22 16.11 5.16 7.17 -11.23 -18.66 -3.43 28.00 -50.32 -54.00 628.57 1941.19 21.90 28.81 3.65 56.51 833.90 274.44 58.71 159.60 32.64 24.04 5.40 17.66 59.33 186.02 121.69 132.39 129.28 663.92 32.99 -98.99 6.02 9.44 2.53 -0.42 41.89 50.42 -12.87 -10.26 22.19 25.69 37.05 34.56
Dari empat komoditas terbesar sektor perikanan, tabel 2 memperlihatkan potensi nilai ekspor tuna ke beberapa negara tujuan utama seperti Jepang, China,
4 dan Amerika Serikat. Perubahan nilai komoditas tuna untuk semua negara kecuali Jepang menunjukkan angka yang positif dengan persentase terbesar jika dibandingkan dengan komoditas lain. Persentase nilai perubahan terbesar pada tahun 2011-2012 adalah ekspor ke China yang mencapai 274.44%. Ikan tuna merupakan salah satu dari sepuluh komoditas potensial Indonesia (Kemendag 2015). Beberapa negara tujuan utama ekspor ikan tuna antara lain China, Jepang, Thailand, Amerika Serikat, Korea Selatan, Singapura, dan Vietnam. Adanya pertumbuhan nilai ekspor yang positif ke negara tujuan utama serta pasar yang terus berkembang di negara- negara tersebut memberikan peluang besar bagi Indonesia untuk meningkatkan volume ekspor ikan tunanya. Peluang ini pun semakin diperkuat dengan keanggotaan Indonesia dalam berbagai asosiasi dunia berkaitan dengan ikan tuna, diantaranya Komisi Perikanan Wilayah Pasifik Barat dan Tengah (Western and Central Pacific Fisheries Commission/ WCPFC), Komisi untuk Konservasi Tuna Sirip Biru (Commisssion for the the Conservation of Southern Bluefin Tuna/ CCSBT) dan Komisi Tuna Samudera Hindia (Indian Ocean Tuna Commission/ IOTC). Keanggotaan Indonesia dalam berbagai asosiasi tersebut semakin memperkuat posisi tawar Indonesia sebagai eksportir tuna di pasar dunia. Maraknya isu non tarif seperti SPS dan TBT yang telah banyak ditetapkan oleh negara pengimpor sebagai bentuk proteksi dapat menjadi hambatan bagi ekspor tuna Indonesia. Akan tetapi, peranan asosiasi tuna domestik seperti Asosiasi Tuna Longline Indonesia (ATLI), Asosiasi Tuna Indonesia (ASTUIN), Asosiasi Perikanan Pole and Line and Hand Line (AP2HI), serta Komisi Tuna Indonesia (KTI) agaknya menjadi salah satu kunci penting dalam industri tuna dalam menghadapi isu tersebut, yakni dalam rangka menekan biaya perdagangan sekaligus mendorong daya saing tuna Indonesia melalui peningkatan standar mutu dan kualitas. Adanya dukungan asosiasi dalam rangka menghadapi kebijakan non tarif pada komoditi tuna Indonesia membuat hal ini menjadi menarik untuk diteliti, yakni dengan menganalisis apakah dampak kebijakan non tariff tetap menjadi hambatan atau justru menciptakan peluang baru bagi komoditi ikan tuna Indonesia. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan menghasilkan implikasi kebijakan sebagai upaya dalam rangka meningkatkan kinerja ekspor ikan tuna Indonesia ke negaranegara tujuan utama.
Perumusan Masalah Perdagangan internasional yang dilakukan oleh negara- negara di seluruh dunia seharusnya dapat dilakukan secara leluasa sehingga menguntungkan dua belah pihak yang melakukan perdagangan. Berbagai macam bentuk perjanjian preferensial baik regional maupun bilateral dilakukan semata untuk dapat mengurangi tingkat tarif demi mempermudah arus ekspor dan impor. Dengan tetap memperhatikan standar- standar tertentu untuk menjamin keamanan dan kualitas produk, NTMs merupakan satu bentuk pengawasan perdagangan yang mulai banyak diterapkan di negara- negara pelaku perdagangan internasional. Sebuah studi dilakukan oleh OECD berfokus pada NTMs yang berlaku di negara- negara berkembang. Hasil penelitian menunjukkan rasio frekuensi dari kuantitas dan tindakan pengendalian harga yang cenderung lebih tinggi di negara- negara dengan tingkat pendapatan perkapita dan keterbukaan lebih rendah (Rahmaniar 2013).
5 Terlepas dari tujuan penerapan kebijakan perdagangan sebagai proteksi atau mengatasi kegagalan pasar, NTMs diperkirakan memiliki efek distorsi pada perdagangan internasional. Kebijakan non tarif yang ditetapkan oleh negara- negara pengimpor komoditas justru memberikan hambatan baru dalam perdagangan internasional dan membatasi akses pasar menggantikan kebijakan tarif pada periode sebelumnya. Hal ini dijelaskan melalui studi yang dilakukan oleh International Trade Centre (2010). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanpa intensi proteksi sekalipun, NTMs dapat meningkatkan biaya perdagangan, mengalihkan perhatian manajerial, serta menekan eksportir kecil terutama pada negara berkembang dimana akses hukum dan informasi regulasi cenderung sulit dilakukan. Adanya regulasi teknis dan standar produk misalnya, dapat meningkatkan biaya perdagangan melalui dua cara. Pertama, meningkatkan beban biaya tetap bagi eksportir yang harus menyesuaikan produk dengan standar dan regulasi yang diberlakukan oleh negara pengimpor. Kedua, prosedur penilaian kesesuaian seperti pengujian untuk menunjukkan bahwa suatu produk telah sesuai dengan regulasi teknis juga dapat menjadi biaya tambahan. Sanitary and Phytosanytary (SPS) dan Technical Barrier to Trade (TBT) merupakan dua bentuk penerapan NTMs yang paling banyak diberlakukan untuk subsektor perikanan khususnya komoditas tuna. UNCTAD (2013) menyatakan SPS dan TBT sebagai kebijakan non tarif yang paling banyak diberlakukan oleh seluruh negara di dunia, dengan nilai permberlakuan regulasi 15- 30% dari komoditas yang diperdagangkan. Hal ini menjadi penting untuk diperhatikan oleh negara pengekspor dalam mencapai kualitas dan keamanan produk untuk memenuhi ketentuan- ketentuan tersebut dan memperluas akses pasar di negara tujuan ekspor. Berdasarkan data Dirjen Kelautan dan Perikanan (2014) total produksi perikanan Indonesia tahun 2013 mencapai 11.06 juta ton dengan total nilai sebesar Rp 126 triliun. Sub sektor perikanan tangkap mengalami pertumbuhan sebesar 3.53% dalam kurun waktu lima tahun terakhir, dan didominasi oleh komoditas tuna dan cakalang masing masing 269.5 ton dan 381 ton. Total volume ekspor hasil perikanan Indonesia pada tahun 2013 tumbuh sebesar 3.51%. Komoditas tuna, tongkol, dan cakalang (TTC) merupakan salah satu penyumbang terbesar nilai hasil ekspor perikanan dengan nilai USD 515 juta. Angka pertumbuhan baik dalam segi nilai ekspor maupun produksi menunjukkan potensi ekspor yang besar untuk komoditas ikan tuna. Akan tetapi, penerapan hambatan non tariff pada komoditas tuna oleh negara pengimpor NTMs mengharuskan Indonesia untuk memperhatikan persyaratan yang harus dipenuhi dan secara tidak langsung berdampak bagi peningkatan biaya perdagangan komoditas tersebut. Peranan berbagai asosiasi tuna Indonesia seperti ATLI, ASTUIN, AP2HI, dan KTI menjadi penting. Keanggotaan nelayan serta eksportir tuna Indonesia dalam asosiasi- asosiasi tersebut merupakan salah satu upaya menekan biaya perdagangan yang harus ditanggung dalam memenuhi persyaratan dan standar yang diberlakukan oleh negara- negara pengimpor, terlebih karena masing- masing negara memiliki standar yang berbeda- beda sehingga biaya yang dibutuhkan akan menjadi lebih besar. Penerapan SPS dan TBT oleh negara tujuan utama ekspor yang berpotensi menjadi hambatan perdagangan perlu dikaji lebih lanjut, sehingga terdapat beberapa permasalahan untuk diteliti yakni sebagai berikut: 1. Bagaimana kinerja ekspor ikan tuna Indonesia?
6 2. Bagaimana pemberlakuan NTMs pada komoditas ikan tuna di negaranegara tujuan ekspor? 3. Bagaimana dampak NTMs pada ekspor ikan tuna Indonesia? Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan permasalahan pada uraian sebelumnya, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu: 1. Mendeskripsikan kinerja ekspor komoditas ikan tuna Indonesia. 2. Mendeskripsikan pemberlakuan NTMs pada ekspor komoditas ikan tuna Indonesia di negara- negara tujuan utama. 3. Menganalisis dan mengestimasi dampak pemberlakuan NTMs terhadap kinerja ekspor komoditas ikan tuna Indonesia. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharpkan dapat memberi manfaat antara lain: 1. Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi serta pertimbangan untuk mengambil kebijakan dalam rangka mendorong potensi ekspor komoditas ikan tuna Indonesia. 2. Bagi pelaku sektor perikanan khususnya untuk komoditas ikan tuna, penelitian ini diharapkan dapat memberi gambaran untuk meningkatkan kinerja ekspor komoditas ikan tuna. 3. Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat memberi pengetahuan baik secara umum maupun khusus mengenai kebijakan perdagangan Non Tariff Measures (NTMs), serta mengetahui dampak NTMs terhadap arus ekspor pada komoditas ikan tuna Indonesia. Hasil dari penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan bahan referensi untuk penelitian lanjutan. 4. Bagi penulis, penelitian ini diharapkan dapat memperdalam ilmu pengetahuan dan wawasan penulis tentang kebijakan perdagangan Non Tariff Measures (NTMs), serta mengetahui dampak NTMs terhadap arus ekspor komoditas ikan tuna Indonesia. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini mencakup arus ekspor perdagangan Indonesia dengan negara negara tujuan ekspor (China, Jepang, Thailand, Amerika Serikat, Korea Selatan, Vietnam, dan Singapura). Penelitian ini membahas mengenai kinerja ekspor dan dampak pemberlakuan NTMs (SPS dan TBT) pada komoditi ikan tuna Indonesia. Komoditas yang digunakan berdasarkan HS 96 pengelompokan 6 digit yakni 030231, 030232, 030233, 030239, 030240, dan 030250 untuk tuna segar, 030341, 030342, 030343, dan 030349 untuk tuna beku, serta 160414 untuk tuna olahan (Lampiran 1). Metode pada penelitian ini menggunakan model data panel dengan pendekatan gravity. Data yang digunakan untuk analisis pada penelitian ini dengan periode tahun 2009- 2013.
7
TINJAUAN PUSTAKA Landasan Teori Teori Perdagangan Internasional Perdagangan dan pertukaran secara ekonomi dapat didefinisikan sebagai proses tukar- menukar yang didasarkan atas kehendak sukarela. Suatu perdagangan akan terjadi apabila pihak- pihak pelaku perdagangan mendapatkan manfaat atau keuntungan. Demikian pula dengan perdagangan internasional. Dalam arti sempit, perdagangan internasional merupakan suatu gugusan masalah yang timbul sehubungan dengan pertukaran komoditas antar negara. Apabila tidak ada perdagangan internasional maka masing- masing negara harus mengkonsumsi hasil produksinya sendiri (Salvatore 1997). Kebijakan Perdagangan Internasional Kebijakan perdagangan internasional merupakan tindakan atau kebijaksanaan ekonomi pemerintah yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi komposisi, arah, serta bentuk dari perdagangan internasional (Nopirin, 1999). Instrumen- instrumen kebijakan perdagangan internasional yaitu: 1. Kebijakan perdagangan internasional Meliputi tindakan pemerintah terhadap current account dari neraca pembayaran internasional, khususnya ekspor dan impor barang dan jasa. 2. Kebijakan pembayaran internasional Meliputi tindakan pemerintah terhadap capital account dalam neraca pembayaran internasional. 3. Kebijakan bantuan luar negeri Meliputi tindakan pemerintah berhubungan dengan bantuan (grants), pinjaman (loans), bantuan yang bertujuan untuk membantu rehabilitasi serta pembangunan, dan bantuan militer terhadap negara lain. Non Tariff Measures (NTMs) Semenjak berakhirnya Perang Dunia II, khususnya pada sektor manufaktur, pemerintah berbagai negara memiliki kecenderungan untuk melindungi industriindustri domestik dengan memberlakukan berbagai macam hambatan non tariff (Salvatore 1997). Berdasarkan hasil perundingan GATT pada putaran Uruguay, terdapat beberapa kesepakatan mengenai jenis- jenis hambatan non tarif, antara lain: 1. Kuota Impor Kuota impor digunakan untuk melindungi sektor industri tertentu. Pada negara maju, hambatan ini umumnya digunakan untuk melindungi sektor pertanian, sementara pada negara berkembang digunakan untuk melindungi sektor manufaktur. 2. Subsidi Ekspor Subsidi ekspor diberikan oleh negara kepada perusahaan- persuahaan untuk meningkatkan ekspor. Bentuk subsidi berupa pinjaman ekspor sebenarnya telah disepakati untuk dilarang dalam perdagangan internasional. Peningkatan pemberian subsidi yang berlebihan dapat
8
3.
4.
5.
6.
7.
menimbulkan daya saing yang berlebihan pula sehingga dapat menjadi ancaman bagi kelangsungan perdagangan internasional. Antisipasi untuk bentuk kecurangan ini yakni dengan menetapkan pajak atau tariff pada produk yang diduga memperoleh subsidi ekspor dari pemerintahnya. Sari 2014). Pembatasan Ekspor Secara Sukarela Tindakan pembatasan ekspor secara sukarela merupakan implikasi dari adanya pemaksaan untuk pengurangan ekspor yang dilakukan bersamaan dengan hambatan perdagangan yang lebih keras oleh suatu negara pengimpor. Tujuannya yakni untuk melindungi sektor tertentu yang menurun karena adanya produk impor. Selain pembatasan produk impor, langkah lain yang dapat ditempuh untuk menghindari ancaman produk impor yakni dengan memaksa negara pengekspor untuk membayar kompensasi sebagai akibat dari dampak yangditimbulkan pada industri domestik negara tujuan ekspor (World Trade Organization 2013). Hambatan Birokrasi Pemerintah suatu negara memberlakukan kontrol ketat terhadap standar kesehatan, keamanan, dan prosedur kepabeanan. Tindakan ini dinilai efisien untuk membatasi impor. Akan tetapi, pada praktiknya pemerintah ingin membatasi impor tanpa mengumumkannya secara formal sehingga seringkali menimbulkan hambatan dalam perdagangan internasional. Kartel Internasional Kartel merupakan bentuk sebuah organisasi produsen tertentu yang anggotanya terdiri dari beberapa negara. Tujuan pembentukan kartel yakni untuk membatasi output serta mengendalikan kegiatan ekspor sehingga dapat digunakan untuk memaksimalkan keuntungan bagi negara- negara tertentu. Praktik kartel menjadi merugikan bagi negara onsumen karena harus membeli produk yang terbayas dengan harga relatif mahal. Tindakan Anti- Dumping Tindakan anti-dumping merupakan langkah yang dilakukan pemerintah sebagai respon terhadap adanya pengaduan serta keluhan produsen domestik karena perusahaan asing tertentu menjual komoditasnya dengan harga dibawah biaya produksi atau lebih murah dibandingkan harga pasar negara asalnya. Dumping secara umum diartikan sebagai diskriminasi harga secara internasional. Keadaan tersebut terjadi ketika harga komoditas yang dijual di negara importir lebih rendah dibandingkan harga komoditas di pasar domestik negara eksportir. Dalam jangka panjang, dumping dapat menyebabkan kerugian pada negara tujuan ekspor, sebab tidak selamanya negara pengekspor akan memberikan harga murah pada negara tujuan ekspor. Setelah negara tujuan ekspor bergantung pada komoditas negara pengekspor, maka negara pengekspor akan menaikkan harga komoditasnya. Sanitasi dan Fitosanitasi Salah satu hasil kesepakatan negara- negara WTO dalam Kongres WTO putaran Doha tahun 2001 yaitu peraturan pemerintah suatu negara dalam menjaga kemanan makanan, kesehatan hewan dan tumbuhan (sanitary and phytosanitary). Tujuannya adalah untuk melindungi hak- hak konsumen akan produk yang dikonsumsi dan juga untuk melindungi produk- produk
9 yang dihasilkan oleh produsen domestik. Implikasi dari ukuran standar kualitas yang lebih tinggi akan mampu mendorong negara lain untuk meningkatkan kualitas produknya sehingga memiliki daya saing yang lebih tinggi di negara tujuan ekspornya. 8. Standar Lingkungan Isu standar lingkungan yang semakin gencar dibahas dan telah diberlakukan oleh negara- negara maju berdampak pada perdagangan negara- negara berkembang. Standar lingkungan yang diberlakukan oleh negara maju dikhatarikan menjadi hambatan perdagangan terutama dalam segi kinerja ekspor bagi negara- negara berkembang. Bagi negara maju, standar lingkungan seringkali digunakan untuk tujuan tidak langsung yaitu untuk melindungi industri- industri dalam negerinya (Verbruggen et al. 1995). Non tariff measures (NTMs) sendiri didefinisikan sebagai kebijakankebijakan selain tariff yang secara potensial memiliki pengaruh ekonomi perdagangan komoditas internasional dengan mengubah kuantitas perdagangan atau harga atau keduanya (UNCTAD 2013). Secara garis besar, klasifikasi NTMs terbagi menjadi import measures dan export measures (gambar 2). Pada import measures terbagi menjadi dua bagian yakni technical measures dan non technical measures, sementara untuk export measures hanya memiliki satu klasifikasi yaitu export related measures.
Sumber : UNCTAD 2013
Gambar 2 Klasifikasi baru NTM
10
Pada perkembangannya, kebijakan non tariff pada perdagangan internasional telah mengalami kemajuan sehingga dilakukan perubahan dalam metodologi, klasifikasi, penghitungan, dan pengumpulan data NTMs. Pada tahun 2006, UNCTAD membentuk Multi Agency Team Support dalam rangka menyusun dan memperbaharui klasifikasi NTMs. Modifikasi dalam penyusunan NTMs dilakukan dengan dengan penambahan beberapa cabang klasifikasi yang merefleksikan kondisi perdagangan internasional saat ini. Sanitary and Phytosanitary (SPS) dan Technical Barriers to Trade (TBT) Sanitary and Phytosanitary (SPS) dan Technical Barriers to Trade (TBT) merupakan bagian dari technical measures. Kedua kebijakan ini dimaksudkan sebagai tindakan perlindungan terhadap manusia, hewan, dan tumbuhan, serta mencakup berbagai regulasi teknis dan prosedur penilaian kesesuaian. Penggunaan SPS secara spesifik banyak diberlakukan pada sektor pertanian dan produk yang berasal dari hewan. Cadot (2012) menjelaskan SPS sebagai kebijakan yang diaplikasikan untuk melindungi kehidupan manusia atau hewan dari zat- zat lain, kontaminasi, racun, atau organisme penyebab penyakit dalam makanan; untuk melindungi kehidupan manusia dari penyakit bawaan baik hewan maupun tumbuhan; untuk mencegah atau membatasi kerusakan negara dari masuknya hama; dan untuk melindungi biodiversitas. Penggunaan TBT diterapkan secara lebih luas pada berbagai sektor dan berkaitan pada regulasi teknis dan prosedur penilaian kesesuaian. Definisi TBT menurut UNCTAD (2013) yaitu tindakan yang mengacu pada regulasi teknis, dan prosedur penilaian kesesuaian dengan peraturan teknis dan standar, termasuk langkah- langkah yang tercakup dalam perjanjian SPS. Regulasi teknis merupakan dokumen yang menetapkan mengenai karakteristik produk atau yang terkait dengan proses produksi serta ketentuan administratif. Hal ini juga mencakup symbol, pengemasan, atau pelabelan seperti yang digunakan pada produk, proses, maupun cara produksi. Sedangkan prosedur penilaian kesesuaian adalah prosedur yang digunakan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk menentukan bahwa persayaratan telah relevan atau memenujhi standar dalam peraturan teknis. Pendekatan Inventory Pendekatan inventory adalah inventarisasi kebijakan- kebijakan non tarif oleh setiap negara, dilakukan dengan menghitung frequency index dan coverage ratio pada periode waktu yang yang disesuaikan dengan ketersediaan data. Keduanya merupakan indikator agregat yang paling sederhana dalam mengukur pemberlakuan NTMs pada suatu negara. Frequency index merupakan share total tariff pada satu a tau lebih NTMs yang diberlakukan, sementara coverage ratio merupakan persentase dari perdagangan suatu produk yang dikenakan NTMs pada negara pengimpor. Coverage ratio memberikan ukuran pentingnya NTMs impor secara keseluruhan. Model Gravity Alat analisis yang digunakan untuk menganalisa perdagangan bilateral antarnegara adalah model data panel dengan pendekatan gravity. Model ini
11 merupakan adaptasi dari model gravitasi yang dikemukakan oleh Sir Isaac Newton, dan kemudian berkembang sesuai dengan kebutuhannya dalam berbagai disiplin ilmu. Pada disiplin ilmu ekomomi, model ini diperkenalkan dan dikembangkan oleh Jan Timbergen pada 1962 dan digunakan sebagai alat analisis perdagangan internasional antarnegara. Pada konteks perdagangan, model gravity menyatakan bahwa intensitas perdagangan antarnegara akan berhubungan secara positif dengan pendapatan nasional masing- masing negara, dan berhubungan terbalik dengan jarak antar keduanya (Yuniarti 2007). Dahar (2014) menjelaskan persamaan gravitasi dapat dianggap sebagai semacam representasi singkat penawaran dan permintaan. Jika i adalah negara asal, maka Mi mewakili jumlah total yang bersedia dipasok ke semua pelanggan, sementara Mj mewakili “wedge” yang memberlakukan biaya perdagangan dan menghasilkan arus keseimbangan perdagangan yang lebih rendah. Secara matematis, seperti yang dikemukakan oleh Anderson (2011), gravity model dinyatakan dengan persamaan berikut: 𝐹𝑖𝑗 = 𝑅𝑗
𝑀𝑖𝑀𝑗 𝐷𝑖 𝜃 𝑗
Anderson juga menjelaskan bahwa dari perkalian persamaan gravitasi dapat diperoleh logaritma natural sehingga didapatkan hubungan linier antara arus perdagangan dan ukuran ekonomi dan jarak: Ln Fij = α ln Mij + β ln Mj – θ ln Dij + ρ ln Rj + ϵij Disertakannya error term ϵij menjelaskan bahwa persamaan dapat diestimasi oleh regresi kuadrat terkecil biasa (ordinary least square) sehingga diharapkan dapat diperoleh estimasi dengan α= β = ρ = 1.
Tinjauan Penelitian Terdahulu Studi yang dilakukan oleh Rastikaranty (2008) mengenai pengaruh kebijakan tarif dan non tariff Uni Eropa terhadap ekspor tuna Indonesia menggunakan model regresi berganda dengan dummy intersep. Hasil penelitian menunjukkan hasil bahwa kebijakan hambatan tarif berpengaruh nyata dan bersifat inelastis, sementaa kebijakan hambatan non tarif tidak berpengaruh nyata terhadap model. Tidak adanya pengaruh signifikan ini didukung oleh fakta bahwa Indonesia diijinkan untuk teris melakukan ekspor ke Uni Eropa namun harus diimbangi dengan penyetaraan standar. Penelitian yang dilakukan oleh Fasarella et al mengenai dampak sanitary dan standar teknis pada ekspor daging unggas Brazil pada 2011. Model yang digunakan adalah gravity menggunakan beberapa variabel yakni GDP perkapita negara pengimpor, bilateral tarif, serta lima dummy NTM meliputi dummy untuk tindakan terkait proses, dummy untuk tindakan terkait dengan pelabelan, dummy untuk tindakan terkait dengan pengawasan dan karantina, serta dummy tindakan terkait penilaian kesesuaian. Hasil penelitian menujukkan bahwa pemberlakuan NTM terkait dengan penilaian kesesuaian menunjukkan pengaruh yang signifikan dan negatif, NTM terkait tindakan pelabelan dan pengemasan menunjukkan hasil
12 positif dan signifikan, sementara NTM terkait tindakan pengawasan dan karantina menunjukkan pengaruh yang positif dan signifikan. Pada tahun 2014, Dahar melakukan penelitian mengenai analisis dampak kebijakan non-tarif terhadap kinerja ekspor hortikultura Indonesia di negara ASEAN +3. Hasil penelitian menunjukkan variabel yang berpengaruh terhadap kinerja ekspor antara lain GDP perkapita negara pengimpor, populasi negara pengimpor, serta jarak ekonomi. Kebijakan non tariff berupa SPS dan TBT yang diukur dengan pendekatan variabel coverage ratio dan frequency index menujukkan pegaruh signifikan dengan koefisien negatif. Penelitian yang dilakukan oleh Devadason (2009) mengenai NTM di ASEAN yang dipertanyakan sebagai hambatan perdagangan intra regional. Model yang digunakan digunakan adalah gravity dengan variabel export coverage ratio (ECR) yang diadaptasi dari pendekatan inventory untuk menangkap coverage ratio dari subjek perdagangan yang terkena NTM pada hubungan perdagangan intra-regional ASEAN. Komoditi yang diteliti mencakup 97 produk dalam HS dua digit, sehingga dimasukkan variabel dummy untuk sektor pertanian dan industri sebagai pembeda efek perdagangan antara kedua pasar tersebut. Hasil penelitian ternyata menunjukkan bahwa ECR memiliki dampak yang positif baik pada produk pertanian maupun industri. Akan tetapi, bagi beberapa negara seperti Cambodia, Laos, Myanmar, dan Vietnam, NTM dapat menjadi hambatan apabila permasalahan internal dalam industri domestic tidak bisa diatasi dengan baik oleh pemerintah setempat. Fontagne et al (2005) mengestimasi dampak SPS dan TBT pada perdagangan internasional menggunakan model gravity. Negara yang diteliti meliputi negara maju (developing country/ DC), negara berkembang (least developed country/ LDC), dan negara- negara OECD (Organization of Economic Co-operation and Development). Hasil penelitian menunjukkan bahwa SPS dan TBT memiliki dampak negatif dan signifikan pada negara- negara maju, dampak positif dan signifikan pada negara- negara berkembang meskipun dengan elastisitas yang kecil, sedangkan untuk negara- negara OECD tidak memiliki dampak signifikan. Penelitian yang dilakukan oleh Bratt (2014) mengestimasi mengenai dampak bilateral non-tariff measures pada 85 negara menggunakan gravity model yang mencakup variabel keunggulan komparatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara keseluruhan NTM memiliki dampak negatif. Bagi negara eksportir berpendapatan rendah, NTM yang diberlakukan oleh negara pengimpor berendapatan tinggi cenderung memiliki dampak yang lebih besar dibandingkan dengan NTM oleh negara berkembang yang diberlakukan pada eksportir negara maju.
Kerangka Pemikiran Kerjasama antarnegara pelaku perdagangan internasional dilakukan dalam rangka memperluas akses pasar dan memajukan kesejahteraan antarnegara anggota WTO. Salah satu kebijakan perdagangan internasional yang banyak diberlakukan oleh negara- negara WTO adalah Non- Tariff Measures (NTMs). Kebijakan ini diberlakukan sebagai bentuk proteksi terhadap produsen domestic dalam rangka menghadapi persaingan impor. Implementasi dari NTMs yang paling banyak
13 digunakan yaitu sanitary and phytosanitary (SPS) dan technical barriers to trade (TBT). Salah satu komoditi potensial ekspor Indonesia yang tidak terlepas dari pemberlakuan NTMs adalah Ikan tuna. Jumlah produksi yang memberikan sumbangan besar pada subsektor perikanan serta pertumbuhan nilai ekspor ke beberapa negara tujuan utama yang positif merupakan sebuah peluang besar jika dapat dimanfaatkan dengan maksimal. Penggunaan SPS dan TBT yang banyak diberlakukan pada komoditi ikan tuna oleh negara- negara tujuan utama dimaksudkan sebagai upaya perlindungan terhadap manusia, hewan, dan tumbuhan dari berbagai penyakit, serta sebagai bentuk regulasi teknis dan prosedur penilaian kesesuaian. Pendekatan inventory digunakan untuk menganalisis pemberlakuan SPS dan TBT oleh negara pengimpor pada komoditi ikan tuna Indonesia, sedangkan untuk menganalisis bagaimana dampak dari pemberlakuan kedua kebijakan tersebut menggunakan model gravity. Hasil dari penelitian ini adalah implikasi kebijakan terkait ekspor ikan tuna yang diharapkan dapat menjadi pertimbangan pemerintah. Instrumen Kebijakan Perdagangan Internasional Kebijakan Perdagangan
Hambatan Tarif
Hambatan Non Tarif
Dampak NTM pada ekspor ikan tuna
Pendekatan Inventory (Frequency Index dan Coverage Ratio)
Implementasi Non Tarif (SPS dan TBT) pada ekspor ikan tuna
Model Panel Gravity
Implikasi Kebijakan Gambar 3 Kerangka Pemikiran Hipotesis Hipotesis yang dibuat dalam penelitian ini adalah: 1. GDP per kapita suatu negara berhubungan positif dengan arus ekspor. Pada hubungan bilateral, peningkatan GDP perkapita suatu negara
14
2.
3.
4. 5.
akan meningkatkan permintaan ekspor dan berhubungan positif dengan GDP perkapita partner dagangnya. Populasi negara importir berhubungan positif dengan arus ekspor negara eksportir. Besarnya populasi akan meningkatkan GDP suatu negara dan mendorong permintaan impornya. Jarak ekonomi berpengaruh negatif terhadap hubungan perdagangan antar negara. Semakin besar jarak ekonomi, maka akan semakin kecil arus perdagangan bilateral. Nilai tukar riil berpegaruh positif dengan arus ekspor antarnegara dagang. Penerapan NTMs (SPS dan TBT) oleh negara pengimpor berdampak terhadap arus ekspor.
METODE PENELITIAN Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder timeseries tahun 2011-2013 dengan cross section negara tujuan utama meliputi China, Jepang, Thailand, Amerika Serikat, Korea Selatan, Vietnam, dan Singapura. Data berasal dari berbagai sumber dengan rincian pada tabel 4. Tabel 3 Jenis dan sumber data Jenis Data Non Tariff Measures (NTMs) Populasi GDP perkapita Ekspor dan Impor Ikan Tuna Jarak geografis Nilai tukar IHK
Sumber I- TIP WTO World Bank World Bank WITS CEPII World Bank, OECD World Bank
Satuan jiwa Juta USD Juta USD Km Rp/ USD
Metode Analisis Terdapat dua metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini, yakni analisis deskriptif dengan pendekatan inventory dan analisis data panel dengan model gravity. Pendekatan Inventory Analisis deskriptif digunakan untuk memberikan gambaran umum mengenai kinerja perdagangan ikan tuna dan kebijakan NTMs yang diberlakukan negara-
15 negara tujuan ekspor. Analisis pemberlakuan kebijakan NTMs dilakukan dengan pendekatan inventory yang menggunakan frequency index dan coverage ratio sebagai indikatornya. Fugazza (2013) menjelaskan frequency index hanya digunakan untuk mengukur ada atau tidaknya suatu NTMs, dan merangkum persentase produk dimana satu atau lebih kebijakan NTMs diterapkan. Frequency index menunjukkan persentase dari transaksi impor yang tercakup dalam sejumlah NTMs untuk negara ekspor sedangkan coverage ratio merupakan persentase dari subjek perdagangan yang dikenakan NTMs pada negara pengimpor dan memberikan ukuran pentingnya NTMs impor secara keseluruhan. Kedua indikator tersebut dirumuskan sebagai berikut: (𝐷𝑘𝑡 𝑀𝑘𝑇 ) 𝐹𝑖𝑗𝑡 = [ ] × 100 𝑀𝑘𝑇 𝐶𝑖𝑗𝑡 = [
(𝐷𝑘𝑡 𝑉𝑘𝑇 ) ] × 100 𝑉𝑘𝑇
Dimana: Fijt = Frequency index negara pengekspor i ke negara pengimpor j pada tahun t (%) Dkt = variabel dummy yang menunjukkan ada atau tidaknya satu atau lebih NTM pada produk k pada tahun t MkT = jumlah produk k dengan total tahun dari jumlah yang diimpor Cijt = Coverage ratio negara pengekspor i ke negara pengimpor j pada tahun t (%) VkT = nilai produk k dengan total tahun dari jumlah yang diimpor j = negara pengimpor i = negara pengekspor k = produk yang diimpor t = tahun diberlakukannya NTMs T = total tahun dari jumlah yang diimpor ke negara tujuan Nilai frequency index dan coverage ratio berada pada rentang 0-100. Nilai frequency index yang semakin kecil menunjukkan semakin sedikit penggunaan NTMs oleh suatu negara, begitupun sebaliknya. Nilai coverage ratio yang semakin kecil menunjukkan semakin sedikitnya cakupan produk yang terkena kebijakan NTMs, sementara coverage ratio yang semakin besar menujukkan semakin luasnya cakupan produk yang terkena kebijakan NTMs. Model Gravity Model gravity merupakan alat analisis untuk pendekatan ex-post yang digunakan dalam mengukur dampak NTMs dalam ekspor suatu produk. Variabel independen yang digunakan dalam rancangan model yakni nilai ekspor ikan tuna Indonesia pada negara tujuan utama. Variabel bebasnya mencakup GDP perkapita negara pengimpor, populasi negara pengimpor, jarak ekonomi bilateral antara negara pengekspor dan pengimpor, pemberlakuan NTMs (TBT, dan SBS), dan nilai tukar riil. Periode waktu data yang digunakan dari 2009- 2013.
16 Model yang digunakan dalam penelitian untuk melihat dampak NTMs merujuk pada model gravity mengacu pada model penelitian Fontagne et al (2005). Pada penelitian ini menggunakan pendekatan coverage ratio sebagai variabel bebasnya. Model tersebut dirumuskan sebagai berikut: ln 𝐸𝑋𝑖𝑗𝑡 = 𝛼 + 𝛽1 𝑙𝑛𝐺𝐷𝑃𝐶𝑗𝑡 + 𝛽2 𝑙𝑛𝑃𝑂𝑃𝑗𝑡 + 𝛽3 𝑙𝑛𝐸𝐷𝐼𝑆𝑇𝑖𝑗𝑡 + 𝛽4 𝑙𝑛𝑅𝐸𝑅𝑖𝑗𝑡 + 𝛽5 𝐶𝑅 𝑇𝐵𝑇𝑖𝑗𝑡 + 𝛽6 𝐶𝑅 𝑆𝑃𝑆𝑖𝑗𝑡 + 𝜇𝑖𝑗𝑡 Dimana: EXijt POPijt GDPCjt EDISTijt RERijt CR TBTijt CR SPSijt
= nilai ekspor ikan tuna Indonesia ke negara j pada tahun t (juta US $) = populasi negara pengimpor j pada tahun t (jiwa) = GDP perkapita negara pengimpor j pada tahun t (juta USD) = jarak ekonomi antara negara eksportir j dan Indonesia (km) = nilai tukar riil Indonesia terhadap negara pengimpor j pada tahun t = coverage ratio TBT negara pengimpor j terhadap tuna Indonesia pada tahun t (%) = coverage ratio SPS negara pengimpor j terhadap tuna Indonesia pada tahun t (%)
Definisi Operasional
1. 2. 3. 4.
Definisi operasioanl variabel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: Ekspor (EX) adalah total nilai ekspor komoditi tuna Indonesia ke negara tujuan utama. GDP perkapita (GDPC) merupakan jumlah pendapatan rata- rata dari penduduk suatu negara pada periode tertentu. Populasi (POP) yaitu total jumlah penduduk di negara tujuan ekspor dalam satu tahun. Jarak ekonomi (EDIST) merupakan variabel yang mewakili biaya transportasi, diperoleh dari: 𝐽𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑒𝑘𝑜𝑛𝑜𝑚𝑖 =
𝐽𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑔𝑒𝑜𝑔𝑟𝑎𝑓𝑖𝑠 𝑎𝑛𝑡𝑎𝑟𝑛𝑒𝑔𝑎𝑟𝑎 × 𝐺𝐷𝑃𝐷𝐽 𝐺𝐷𝑃𝑗
5. Real Exchange Rate (RER) merupakan nilai tukar riil negara pengekspor terhadap negara pengimpor yang diperoleh dari: 𝑅𝐸𝑅 = 𝑁𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑡𝑢𝑘𝑎𝑟 𝑛𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑙 ×
𝐼𝐻𝐾 𝑛𝑒𝑔𝑎𝑟𝑎 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑖𝑚𝑝𝑜𝑟 𝐼𝐻𝐾 𝑛𝑒𝑔𝑎𝑟𝑎 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑒𝑠𝑘𝑝𝑜𝑟
6. Coverage Ratio TBT (CR TBT) adalah pemberlakuan NTM berupa TBT yang dihitung dengan nilai impor suatu produk dan diukur dalam satuan persen.
17 7. Coverage Ratio TBT (CR TBT) adalah pemberlakuan NTM berupa TBT yang dihitung dengan nilai impor suatu produk dan diukur dalam satuan persen.
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Subsektor Perikanan dan Industri Ikan Tuna Indonesia Perikanan merupakan salah satu dari empat subsektor dalam sektor pertanian. Subsektor ini memiliki juga memiliki peran penting jika dilihat dengan kontribusinya terhadap PDB. Grafik 1 memperlihatkan subsektor perikanan memiliki kontribusi terbesar kedua setelah kelompok tanaman bahan makanan. Berdasarkan data KKP, pada triwulan III tahun 2013, subsektor ini memberikan kontribusi yang cukup signifikan yaitu sebesar 5.1% dibandingkan dengan share subsektor lainnya.
PDB Harga Konstan 2000 (Milyar Rp)
180,000.00 160,000.00 140,000.00
Tanaman Bahan Makanan
120,000.00
Tanaman Perkebunan
100,000.00 80,000.00
Peternakan dan hasilhasilnya
60,000.00
Kehutanan 40,000.00
Perikanan
20,000.00 -
2009 2010 2011 2012 2013 2014 Tahun
Sumber : BPS 2014 Gambar 4 PDB sektor pertanian atas dasar harga berlaku 2008-2013 Salah satu bagian dari subsektor perikanan yang memiliki peran penting adalah ikan tuna. Tabel 5 memperlihatkan hasil produksi subsektor perikanan selama 2008-2013. Komoditi ikan tuna memiliki kenaikan rata- rata terbesar sepanjang enam tahun terakhir yakni tuna besar (Thunnus spp.) sebesar 6.95%, diikuti dengan cakalang (skipjack tuna) sebesar 5.68%. Jumlah produksi ikan tuna dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan hingga tahun 2012, kemudian mengalami penurunan pada tahun 2013.
18 Tabel 4 Produksi perikanan tangkap di laut menurut komoditas utama 2008-2013 Tahun Jenis Ikan 2008
2009
2010
2011
2012
2013
Kenaikan Ratarata (%) 200820122013 2013
Produksi Total
4 701 933
4 812 236 5 039 446
5 345 729
5 435 633
5 503 620
3.22
1.25
Ikan
4 221 635
4 327 259 4 540 145
4 713 439
4 821 574
4 657 710
2.03
-3.40
Tuna
194 173
203 269
213 796
241 364
275 778
269 530
6.95
-2.27
Cakalang
296 769
338 034
329 949
372 211
429 024
381 070
5.68
-11.18
Tongkol Ikan Lainnya Binatang Berkulit Keras
421 905
404 283
367 320
415 331
432 138
419 490
0.17
-2.93
3 381 673 3 629 080
3 684 533
3 684 634
3 587 620
1.68
-2.63
3 308 788
304 872
302 601
302 544
343 644
337 439
350 920
3.00
4.00
Udang Binatang berkulit keras lainnya
236 922
236 870
227 326
260 618
263 032
262 020
2.23
-0.38
67 950
65 731
75 218
83 026
74 407
88 900
2.23
19.48
Lainnya
175 426
182 375
196 757
288 646
88 900
494 990
6.13
78.94
Sumber: Dirjen Kelautan dan Perikanan 2014 Usaha penangkapan ikan tuna dimulai pada 1970, setelah PT. Perikanan Samudera Besar (PSB) berdiri. Basis perikanan terkonsentrasi di Benoa Bali, dan terus dikembangkan hingga Sabang Aceh. Pada 1980, armada perikanan beroperasi hampir di seluruh perairan Indonesia, dan terus berkembang seiring dengan dukungan perusahaan- perusahaan nasional, penanaman modal asing (PMA), dan pertumbuhan sarana penunjang lainnya. Kapal yang digunakan sebagai mediapenangkapan berukuran > 100 Gross Tonage (GT) yang dilengkapi dengan unit refrigrasi hingga -50o C dengan lama operasi lebih dari 30 hari/ trip. Khusus untuk produk tuna segar, dikembangkan kapal- kapal berukuran <60 GT dengan lama waktu operasi sekitar dua minggu karena dinilai lebih efisien dan ekonomis untuk menjaga mutu produk tersebut. Basis perikanan untuk industri tuna longlinier skala besar menyebar di daerah Jakarta dan Cilacap, sementara di kawasan timur Indonesia dikembangkan industri pole and linier, pursuiner, dan hand linier yang melibatkan nelayan dalam jumlah besar serta kemitraan dengan pengusaha industri tuna (Hanudi 2005). Pengusaha yang bergerak dalam industri perikanan tuna tergabung dalam organisasiorganisasi seperti Asosiasi Tuna Indonesia (Astuin), Asosiasi Tuna Longline Indonesia (ATLI), Gabungan Pengusaha Perikanan Indonesia (GAPPINDO), dan Komisi Tuna Indonesia (KTI). Kinerja Perdagangan Komoditi Ikan Tuna Indonesia Indonesia memiliki potensi perairan dengan kepemilikan berbagai jenis ikan termasuk tuna. Selain itu, nilai ekonomis tuna yang lebih tinggi dibandingkan produk lainnya menciptakan peluang besar bagi pengembangan kinerja ekspor tuna Indonesia. Jenis tuna yang diperdagangkan dan memiliki potensi dalam pangsa
19 internasional terdiri dari bentuk ikan tuna segar (fresh/chilled), beku (frozen) dan ikan tuna olahan. Ekspor Ikan Tuna Segar (HS 0302.3) Ekspor ikan tuna segar yang digunakan dalam penelitian ini tercakup pada Lampiran 1. Berdasarkan tabel 5, kinerja ekspor ikan tuna segar mengalami tren menurun dilihat dari nilai ekspornya yang terus mengalami pertumbuhan negative sepanjang 2010- 2013, sementara untuk volume ekspor mengalami kenaikan pada tahun 2013 hingga mencapai angka 10.6%. Tabel 5 Perkembangan ekspor ikan tuna segar Indonesia tahun 2009-2013 ke negara tujuan utama Nilai ekspor Tingkat (000 USD) Pertumbuhan (%) 2009 91 986.06 0 2010 103 059.9 12.03865 2011 85 829.35 -16.719 2012 70 758.28 -17.5593 2013 69 941.25 -1.15468 Sumber: UNCOMTRADE 2015 (diolah) Tahun
Volume Ekspor (Kg) 24 562 072 16 577 891 13 933 143 10 865 197 12 017 471
Tingkat Pertumbuhan (%) 0 -32.5061 -15.9535 -22.0191 10.60518
Ekspor Ikan Tuna Beku (HS 0303.4) Kinerja ekspor ikan tuna beku Indonesia memiliki tingkat pertumbuhan yang cukup baik. Tabel 6 memperlihatkan tingkat pertumbuhan ekspor ikan tuna beku baik nilai maupun volume tahun 2009-2013 Tingkat pertumbuhan nilai ekspor pada tahun 2010 mencapai 93.91%, hal ini juga berkaitan dengan pertumbuhan volume ekspor pada tahun tersebut yang mencapai 74.29%. Akan tetapi, pada tahun 2013, baik nilai maupun volume ekspor mengalami penurunan pada tingkat pertumbuhannya. Tabel 6 Perkembangan ekspor ikan tuna beku Indonesia tahun 2009-2013 ke negara tujuan utama Nilai ekspor Tingkat Volume Ekspor Tingkat (000 USD) Pertumbuhan (%) (Kg) Pertumbuhan (%) 2009 54 401.36 0 42 115 439 0 2010 61 166.48 12.43557 35 152 128 -16.5339 2011 93 580.04 52.99237 45 466 840 29.34307 2012 181 469 93.91847 79 246 367 74.29486 2013 149 540 -17.5947 77 127 855 -2.67332 Sumber: UNCOMTRADE 2015 (diolah) Tahun
Ekspor Ikan Tuna Olahan (HS 1604.14) Cakupan HS 6 digit untuk ekspor ikan tuna hanya HS 1600414. Berdasarkan tabel 7, nilai ekspor ikan tuna olahan Indonesia selama tahun 2010-2012 mengalami pertumbuhan positif yang meningkat setiap tahunnya, namun sama seperti kedua komoditas tuna lainnya, pertumbuhan mengalami penurunan baik pada nilai ekspor maupun volume sebesar minus 16.04% dan minus 10.11%.
20
Tabel 7 Perkembangan ekspor ikan tuna olahan Indonesia tahun 2009-2013 ke negara tujuan utama Nilai ekspor Tingkat Volume Ekspor Tingkat (000 USD) Pertumbuhan (%) (Kg) Pertumbuhan (%) 2009 103 125.6 0 27 576 084 0 2010 106 813.4 3.576109 28 142 181 2.052855 2011 122 472.2 14.65991 25 706 945 -8.65333 2012 147 672.9 20.57666 26 540 699 3.243303 2013 123 985.5 -16.0405 23 855 641 -10.1168 Sumber: UNCOMTRADE 2015 (diolah) Tahun
Ekspor Ikan Tuna ke Negara Tujuan Utama Neraca perdagangan komoditas ikan tuna Indonesia ke negara tujuan utama menunjukkan perkembangan kinerja perdagangan yang cukup baik dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini membuktikan ikan tuna sebagai salah satu komoditi potensial untuk mendorong neraca perdagangan nasional. Indonesia sebagai eksportir ikan tuna terbesar kedua setelah Thailand, ditambah dengan potensi perairan yang luas merupakan peluang besar sehingga kinerja ekspornya perlu terus dikembangkan. Ilustrasi gambar 5 memperlihatkan tujuan ekspor utama ikan tuna Indonesia pada tahun 2013 didominasi oleh Jepang dengan total nilai 151 223.6 juta USD, diikuti oleh Thailand sebesar 102 744,769 USD, dan Amerika Serikat sebesar 73406.125 juta USD. Selama lima tahun terakhir, Jepang juga menjadi negara tujuan utama yang mendominasi ekspor ikan tuna Indonesia. Hal ini disebabkan karena konsumsi ikan yang tinggi di negara tersebut sehingga memiliki permintaan impor ikan tuna yang besar. 1389.45 73406.125
1463.445
4832.31
2911.653 151223.607 China Jepang Thailand
102744.769
Amerika Serikat Korea Selatan Singapura Vietnam
Sumber: UNCOMTRADE 2015
Gambar 5 Nilai ekspor ikan tuna Indonesia ke negara tujuan utama tahun 2013 (000 USD) Kinerja ekspor komoditi tuna ditunjukkan oleh neraca perdagangan ikan tuna sepanjang 2009-2013 ke negara- negara tujuan utama (Lampiran 2). Hampir keseluruhan neraca mengalami surplus kecuali pada tahun 2010 dan 2011 untuk
21 negara China, dan pada tahun 2013 untuk tujuan Korea Selatan. Defisit neraca perdagangan untuk negara tujuan Korea Selatan juga merupakan satu- satunya defisit pada tahun 2013, sementara negara lain yakni China, Jepang, Thailand, Amerika Serikat, Vietnam, dan Singapura mengalami surplus. Defisit nilai ekspor ikan tuna untuk negara tujuan Korea Selatan pada tahun 2013 disebabkan karena adanya defisit pada komoditi ikan tuna beku sebesar 5.64 USD dan ikan tuna olahan sebesar 226.08 USD (Lampiran 3). Khusus untuk ikan tuna olahan ke negara Korea Selatan terus mengalami defisit semenjak 2010 dan angka ini terus meningkat, sehingga hal ini juga mempengaruhi pertumbuhan ekspor tuna olahan yang mengalami penurunan. Pada tahun 2013, surplus terbesar ikan tuna olahan yakni ke negara Jepang sebesar 43 674.69 USD. Jepang juga merupakan negara tujuan yang menyumbang surplus terbesar untuk komoditi ikan segar sebesar 66 390.6 USD. Sementara untuk komoditi ikan tuna beku yaitu ke negara tujuan Thailand dengan nilai 68 933.8 USD. Pemberlakuan Non Tariff Measures (NTM) pada Komoditi Ikan Tuna Indonesia Selama beberapa tahun terakhir, non tariff measures telah menjadi isu penting dalam lingkup perdagangan internasional. Adanya kecenderungan perhatian masyarakat mengenai kemanan sebuah produk dan serta proses yang erat kaitannya dengan keberlanjutan lingkungan menjadi salah satu faktor diberlakukannya kebijakan perdagangan internasional berupa NTMs dalam upaya peningkatan kesejahteraan nasional. Terdapat dua kebijakan NTMs yang paling banyak diberlakukan terutama dalam subsektor perikanan, yakni Sanitary and Phitosanitary (SPS) dan Technical Barrier to Trade (TBT). Tabel 8 memperlihatkan jumlah kebijakan SPS dan TBT yang diberlakukan oleh negara tujuan utama ekspor tuna Indonesia selama tahun 2002-2013. Tabel 8 Jumlah NTMs SPS dan TBT yang diberlakukan pada komoditi ikan tuna di negara tujuan utama tahun 2002- 2013 Negara Tujuan China Jepang Amerika Thailand Korea Selatan Vietnam Singapura Total
SPS 51 40 15 44 11 2 0 163
TBT 3 7 66 6 13 0 0 95
Total 54 47 81 50 24 2 0 258
Sumber: WTO 2015
Pada tabel 8 dapat diketahui bahwa hampir semua negara tujuan ekspor komoditi ikan tuna memberlakukan kebijakan SPS dan TBT kecuali Singapura. Mayoritas negara tersebut memberlakukan kebijakan SPS dalam jumlah yang lebih
22 besar dibandingkan TBT. Hanya negara Amerika Serikat yang dominan memberlakukan kebijakan TBT pada impor komoditi tuna. Amerika Serikat juga merupakan negara tujuan utama yang paling banyak memberlakukan NTMs, dengan total 81 kebijakan meliputi 15 kebijakan SPS dan 66 kebijakan TBT. Kebijakan TBT yang paling banyak diberlakukan oleh Amerika Serikat yaitu standar pangan yang mencakup standar proses produksi sebanyak 28 kebijakan, serta pelabelan sebanyak 26 kebijakan. Negara dengan pemberlakuan NTM terbanyak kedua adalah China dengan total 54 kebijakan. Pemberlakuan SPS sebagian besar fokus pada kesehatan manusia dan standar nasional keamanan pangan, sementara ketiga jumlah TBT semuanya diberlakukan untuk kebijakan pelabelan. Thailand memberlakukan 44 kebijakan SPS dan 6 kebijakan TBT. Sebanyak 38 dari 40 kebijakan SPS yang diterapkan berkaitan dengan standar keamanan pangan nasional sekaligus kesehatan manusia. Jepang memberlakukan 47 kebijakan dengan SPS sejumlah 40 kebijakan. Hampir keseluruhan kebijakan SPS yang diberlakukan mencakup aturan mengenai standar nasional keamanan pangan, kesehatan manusia, dan maximum residue limits (MRLs). Komposisi pemberlakuan SPS dan TBT pada negara tujuan utama ekspor tuna Indonesia terdiri dari berbagai macam kebijakan. Kebijakan SPS yang paling banyak diberlakukan yakni mengenai standar nasional keamanan pangan dan kesehatan manusia, sementara untuk TBT umumnya mencakup kebijakan pelabelan. Frequency index dan Coverage ratio Salah satu cara yang digunakan untuk mengukur besaran suatu NTM yang diberlakukan oleh sebuah negara adalah dengan pendekatan inventory. Pendekatan ini merupakan sebuah pengukuran sederhana dengan menggunakan dua indikator yaitu frequency index dan coverage ratio. Frequency index digunakan untuk menghitung ada atau tidaknya pemberlakuan NTM serta persentase dari produk yang menggunakan satu atau lebih NTM. Sedangkan coverage ratio digunakan untuk mengukur persentase dari subjek perdagangan yang terkena NTM pada negara pengimpor (UNCTAD 2013).
100 100 100100 97.75 99.96
Frequency Index SPS (%)
98.58 100
100
82.46 71.82
69.14
80
2009
60
2010
40 20
2011 00 00
00000
000
2012
Singapura Vietnam
2013
0 China
Jepang
Thailand
Amerika Serikat
Korea Selatan
Negara
Sumber: Data setelah diolah 2015
Gambar 6 Frequency index SPS pada ekspor komoditi tuna ke negara tujuan utama tahun 2009- 2013
23 Ekspor komoditi tuna ke negara tujuan utama yang terkena SPS selama 2009- 2013 berdasarkan frequency index menunjukkan angka yang cukup tinggi, yakni berkisar 69% hingga 100%. Gambar 6 menampilkan Jepang, Thailand, dan Amerika Serikat yang konsisten memberlakukan kebijakan SPS pada komoditi tuna selama lima tahun berturut- turut. Penggunaan SPS di Jepang pada tahun 2010 sebesar 69.14% dan terus meningkat hingga mencapai 82.46% pada tahun 2013. Persentase pemberlakuan SPS untuk Thailand cenderung fluktuatif. Penggunaannya mencapai 100% pada tahun 2010, kemudian turun ke angka 76.43%, dan pada 2013 kembali memberlakukan SPS hingga 100%. Pada negara Amerika Serikat, penggunaan SPS mencapai 100% pada tahun 2010, dan berturutturut pada 2012 dan 2013. Sementara untuk Korea Selatan, nilainya berfluktuasi tajam. Hal in diperlihatkan dari penggunaan yang tinggi pada 2009, 2011, dan 2013 sebesar 97.75%, 98.13%, dan 99.96% sangat kontras dengan tahun 2010 dan 2012 dimana tidak diberlakukan SPS sama sekali.
100
Frequency Index TBT (%)
99.12 100 80 60
2009
31.45
40
23.1
2010
31.14 12.58
2011
20 0
00
00000
0
0
00000
Jepang
Thailand
Amerika Serikat
Korea Selatan
00000
00000
0
2012 2013
China
Singapura Vietnam
Negara
Sumber: Data setelah diolah 2015
Gambar 7 Frequency index TBT pada ekspor komoditi tuna ke negara tujuan utama tahun 2009- 2013 Gambar 7 memperlihatkan penggunaan TBT pada negara tujuan ekspor ikan tuna Indonesia. Frequency index ekspor yang terkena TBT umumnya lebih rendah dibandingkan dengan frequency index SPS. Thailand dan Amerika Serikat merupakan dua negara tujuan yang konsisten memberlakukan TBT mulai tahun 2010 hingga 2013. Selama kurun waktu lima tahun, China hanya memberlakukan TBT pada komoditi tuna selama dua tahun, yaitu sebesar 99.18 pada 2010 dan menurun pada 2011 sebesar 98.58. Penggunaan TBT tertinggi yakni pada negara Thailand tahun 2012 yang mencapai 100%. Amerika Serikat, meskipun tidak memberlakuukan TBT sebanyak SPS, namun frequency index menunjukkan angka yang terus meningkat dari 22.67% pada 2010 dan mencapai 31.45% pada 2013. Sementara itu, negara tujuan lainnya seperti Jepang, Korea Selatan, dan Vietnam tidak memberlakukan kebijakan TBT pada komoditi tuna Indonesia.
Frequency Index SPS (%)
24
100
100
100
100
100
80 60 Tuna Segar
40
Tuna Beku 20 0 0 0
0
0
0 0 0
0 0 0
Tuna Olahan
0 China
Jepang
Thailand
Amerika Serikat
Korea Selatan
Singapura Vietnam
Negara
Sumber: Data setelah diolah 2015
Gambar 8 Frequency index SPS pada ekspor komoditi tuna ke negara tujuan utama tahun 2013 berdasarkan kelompok komoditi Komposisi penggunaan NTM berupa SPS pada tahun 2013 dengan melihat nilai frequency index ditampilkan pada gambar 8. Berdasarkan gambar 8, terdapat keseragaman nilai frequency index sebesar 100% untuk negara Jepang, Thailand, Amerika Serikat, dan Korea Selatan. Pada negara Thailand dan Amerika Serikat, kebijakan SPS dikenakan pada ketiga jenis komoditi tuna, yakni tuna segar, tuna beku, dan tuna olahan dengan nilai masing- masing frequency index mencapai 100%. Persentase ini juga berkaitan dengan angka frequency index total SPS untuk komoditi ikan tuna pada tahun 2013 yang juga mencapai 100%. Frequency index untuk negara Jepang dan Korea Selatan juga memiliki kesamaan karakteristik. Keduanya memiliki frequency index sebesar 100% pada jenis tuna segar dan tuna beku. Akan tetapi, meskipun memiliki keseragaman nilai frequency index pada dua jenis komoditi, kedua negara ini memiliki nilai total frequency index SPS yang berbeda.
Frequency Index TBT (%)
100
100
100 80 60
Tuna Segar
40 20
Tuna Beku Tuna Olahan 0 0 0
0 0 0
0 0
China
Jepang
Thailand
0
0 0 0
Amerika Serikat
Korea Selatan
0 0 0
0 0 0
0 Singapura Vietnam
Negara
Sumber: Data setelah diolah 2015
Gambar 9 Frequency index TBT pada ekspor komoditi tuna ke negara tujuan utama tahun 2013 berdasarkan kelompok komoditi
25
Coverage Ratio SPS (%)
Pada gambar 9, ditampilkan pula komposisi penggunaan NTM yakni TBT pada tahun 2013. Berkaitan dengan gambar 7, dimana pada tahun 2013 hanya Thailand dan Amerika Serikat yang memberlakukan kebijakan TBT, maka hanya dua negara tersebut yang nilainya tertera pada gambar 7. Jepang hanya menggunakan TBT untuk jenis tuna olahan, sedangkan Amerika memberlakukan kebijakan TBT pada jenis tuna segar dan tuna beku. Indikator lain yang digunakan dalam pedekatan inventory adalah coverage ratio. Nilai coverage ratio yang semakin besar memperlihatkan besarnya cakupan produk impor yang terkena dampak NTM di negara yang bersangkutan. Berbeda dengan nilai frequency index SPS yang cenderung tinggi, coverage ratio ekspor ikan tuna Indonesia ke negara tujuan utama memiliki nilai yang beragam. Berdasarkan gambar 10, terdapat tiga negara yang konsisten memberlakukan SPS selama 2009-2013, yaitu Amerika Serikat, Jepang, dan Thailand. Nilai coverage ratio Amerika Serikat tertinggi pada 2010 mencapai 65.24%. Akan tetapi nilai ini menurun menjadi 64.00% pada 2013. Pada 2012, Thailand memiliki nilai sebesar 46.77% dan mengalami peningkatan pada 2013 sebesar 5.51% menjadi 52.28%. Korea Selatan hanya memberlakukan SPS pada tahun 2009, 2011, dan 2013. Sedangkan China hanya memberlakukan kebijakan SPS pada 2011 dengan nilai yang terhitung rendah yakni 2.19%.
65.24 64
70
58.39 52.28
60
44.21
50
2009
40 26.92
30
2011
13.07
20 10
2010
23.94
2012
2.19 0
0 0
00000
000
0 China
Jepang
Thailand
Amerika Serikat
Korea Selatan
2013
Singapura Vietnam
Negara
Sumber: Data setelah diolah 2015
Gambar 10 Coverage ratio SPS pada ekspor komoditi tuna ke negara tujuan utama tahun 2009- 2013 Persentase cakupan komoditi tuna Indonesia yang terkena dampak TBT sepanjang 2009-2013 disajikan pada gambar 11. Amerika Serikat memiliki coverage ratio TBT sebesar 20.23% pada 2009, dan nilai ini terus mengalami peningkatan hingga mencapai 28.86% pada 2013. Pada tahun 2012, Thailand memiliki nilai coverage ratio yang sangat tinggi mencapai 44,81%. Hal ini disebabkan karena nilai ekspor tuna ke Thailand pada tahun tersebut yang cukup tinggi dibandingkan dengan tahun sebelum atau setelahnya. Sedangkan untuk negara Jepang, Korea Selatan, dan Vietnam tidak memberlakukan NTMs TBT dalam kurun lima tahun tersebut.
Coverage Ratio TBT (%)
26
50
44.81
40 28.86 23.7
30
2009 2010
20 10
14.5 2.19
2011 2012
0
00000
0
0
00000
Amerika Serikat
Korea Selatan
00000
00000
0 China
Jepang
Thailand
2013
Singapura Vietnam
Negara
Sumber: Data setelah diolah 2015
Gambar 11 Coverage ratio TBT pada ekspor komoditi tuna ke negara tujuan utama tahun 2009- 2013 Adanya keragaman pada nilai coverage ratio SPS secara spesifik ditunjukkan oleh gambar 12. Tuna beku merupakan jenis produk yang memiliki keragaman nilai pada negara Jepang, Thailand, Amerika Serikat, dan Korea Selatan. Penggunaan SPS dengan cakupan terbanyak yakni negara Amerika Serikat dengan coverage ratio mencapai 100% untuk jenis tuna segar dan tuna olahan, dan 42.45% untuk tuna beku. Thailand juga memiliki coverage ratio mencapai 100% untuk jenis tuna segar dan olahan, sementara nilai untuk tuna beku sebesar 34.72%. Jepang dan Korea Selatan sama- sama tidak memberlakukan SPS pada jenis tuna olahan dan memiliki cakupan hingga 100% untuk jenis tuna segar. Akan tetapi, keduanya memiliki perbedaan coverage ratio pada jenis tuna beku dimana Jepang memiliki persentase 43.25%, lebih tinggi dibandingkan Korea Selatan yang hanya sebesar 11.13%. Perbedaan nilai ini juga didasarkan pada adanya perbedaan nilai impor untuk jenis tuna beku pada kedua negara tersebut.
Coverage Ratio SPS (%)
100
100 100
100 100
100
100 80 60
43.25
Tuna Segar
40
Tuna Beku 12.13 0
20 0 0 0
0
Tuna Olahan 0 0 0
0 0 0
0 China
Jepang
Thailand
Amerika Serikat
Korea Selatan
Singapura Vietnam
Negara
Sumber: Data setelah diolah 2015
Gambar 12 Coverage ratio SPS pada ekspor komoditi tuna ke negara tujuan utama tahun 2013 berdasarkan kelompok komoditi
27
Coverage Ratio TBT (%)
100 100 100 80 60
42.45
Tuna Segar
40 20
Tuna Beku 0 0 0
0 0 0
China
Jepang
0 0
0
0 0 0
Thailand Amerika Serikat
Korea Selatan
0 0 0
0 0 0
Tuna Olahan
0 Singapura Vietnam
Negara
Sumber: Data setelah diolah 2015
Gambar 13 Coverage ratio TBT pada ekspor komoditi tuna ke negara tujuan utama tahun 2013 berdasarkan kelompok komoditi Berdasarkan gambar- gambar yang telah disajikan dapat diketahui bahwa selama kurun waktu 2009-2013, setiap negara tujuan ekspor memberlakukan NTMs kecuali negara Singapura dan Belanda. Kebijakan SPS diberlakukan oleh hampir semua negara tujuan tersebut, sementara kebijakan TBT hanya diberlakukan oleh Thailand dan Amerika Serikat pada jenis produk tertentu. Selain itu, Amerika Serikat juga merupakan negara dengan pemberlakuan NTMs tertinggi baik dalam nilai frequency index maupun coverage ratio. Tuna segar merupakan jenis yang paling banyak terkena NTMs, dengan frequency index mencapai 100% pada semua negara tujuan yang memberlakukan kebijakan SPS dan TBT. Sedangkan kelompok yang paling sedikit terkena NTMs adalah jenis tuna olahan. Persentase frequency index memperlihatkan tingginya frekuensi pemberlakuan NTMs di negara tujuan ekspor utama tuna Indonesia. Berkaitan dengan itu, maka Indonesia dituntut untuk dapat meningkatkan kualitas dan daya saing komoditi tuna. Upaya ini perlu dilakukan dalam rangka memenuhi kebijakan- kebijakan tersebut sehingga dapat bersaing dengan negara lain terutama eksportir tuna dan memaksimalkan potensi ekspor ikan tuna Indonesia.
Dampak NTMs Pada Ekspor Komoditi Tuna Indonesia ke Negara Tujuan Utama Pada bagian ini dibahas mengenai dampak NTMs (SPS dan TBT) terhadap kinerja ekspor komoditi ikan tuna Indonesia. Analisis dampak diawali dengan pembahasan mengenai pengujian model gravity untuk menghasilkan model yang layak dan estimasi yang bersifat BLUE (Best Linier Unbiased Estimator), kemudian menganalisis faktor- faktor yang mempengaruhi ekspor tuna Indonesiia. Tahap yang terakhir yakni menganalisis dampak SPS dan TBT sesuai dengan model yang telah diperoleh.
28 Pengujian Model Tahap awal metode data panel adalah mengestimasi model untuk mendapatkan model yang dapat menjelaskan faktor- faktor yang memengaruhi ekspor ikan tuna Indonesia. Estimasi dilakukan melalui tiga pendekatan model, yaitu Pooled Least Square (PLS), Fixed Effect Model (FEM), dan Random Effect Model (REM). Penentuan model terbaik dilakukan melalui uji Chow dan uji Hausman yang ditunjukkan oleh tabel 10. Tabel 9 Hasil Uji Chow dan Hausman Uji Model Terbaik Uji Chow Uji Hausman
Nilai Probabilitas 0.0000 0.0000
Hasil Hipotesis Tolak H0, maka FEM Tolak H0, maka FEM
Berdasarkan tabel 10, hasil uji Chow menunjukkan nilai probabilitas 0,0000 kurang dari taraf nyata 5% sehingga cukup bukti untuk melakukan penolakan H0. Model FEM lebih baik digunakan daripada model PLS. Hasil estimasi uji Hausman juga memiliki probabilitas 0,0000 yang kurang dari taraf nyata 5% sehingga cukup bukti untuk menolak H0. Model FEM lebih baik digunakan dibandingkan model REM. Adapun hasil estimasi dari pendekatan model FEM dapat dilihat pada tabel 11. Tabel 10 Hasil estimasi model dampak SPS dan TBT Variabel C GDP perkapita Populasi Jarak Ekonomi Nilai Tukar riil CR SPS CR TBT R-squared Prob(F-statistic) Keterangan: *)signifikan pada taraf nyata 5%
Koefisien 468.5537 2.363025 -25.9055 -0.9882 0.049087 0.011215 0.015269
Prob. 0.0000 0.0007* 0.0000* 0.0089* 0.8623 0.0048* 0.0136* 0.989646 0.000000
Berdasarkan hasil estimasi pada tabel 11, didapatkan nilai R-squared sebesar 98.9%. Nilai ini menunjukkan bahwa 98.9% perubahan nilai ekspor tuna Indonesia dapat dijelaskan oleh variabel GDP perkapita negara pengimpor, populasi negara pengimpor, jarak ekonomi antara Indonesia dengan negara pengimpor, coverage ratio SPS, dan coverage ratio TBT, sedangkan sisanya sebesar 1.1% dijelaskan oleh faktor lain diluar model. Uji- F statistic digunakan untuk mengetahui apakah variabel eksogen secara bersama- sama berpengaruh nyata terhadap variabel endogen pada taraf nyata 5%. Hasil estimasi pada tabel 11 menunjukkan nilai probabilitas F-statistic sebesar 0.0000 kurang dari taraf nyata 5% sehingga dapat disimpulkan bahwa ada setidaknya satu variabel eksogen yang berpengaruh signifikan terhadap nilai ekspor tuna Indonesia.
29 Uji-t statistic digunakan untuk mengetahui apakan koefisien masing- masing variabel eksogen memberikan pengaruh nyata terhadap variabel endogennya. Hasil estimasi pada tabel 11 menunjukkan bawa variabel eksogen yakni GDP perkapita negara pengimpor, populasi negara pengimpor, jarak ekonomi antara Indonesia dengan negara pengimpor, coverage ratio SPS, dan coverage ratio TBT memiliki nilai probabilitas kurang taraf nyata dari 5%. Hal ini berarti bahwa variabel eksogen tersebut secara individu berpengaruh signifikan terhadap nilai ekspor tuna Indonesia. Uji normalitas (Lampiran 5) dilakukan untuk mendeteksi apakah error term berdistribusi normal atau tidak, dilihat dari nilai probabilitas Jarque Bera yang lebih besar dari taraf nyata 5%. Berdasarkan hasil estimasi nilai probabilitas Jarque Bera sebesar 0.24 sehingga dapat disimpulkan bahwa error telah terdistribusi secara normal dalam model. Uji multikolinearitas (Lampiran 6) pada model menunjukkan bahwa nilai korelasi parsial antar peubah eksogen lebih kecil dari 0.8 (Spearmen’s Rho Correlation), atau nilai peubah eksogen tidak melebihi nilai R-squared, sehingga dapat disimpulkan tidak terjadi multikolinearitas. Statistik Durbin Watson pada lampiran 8 menunjukkan nilai 2.38. Nilai tersebut terletak diantara 1.54 dan 2.46 yaitu pada daerah tidak ada autokorelasi sehingga dapat disimpulkan model tidak mengandung gejala autokorelasi. Pada lampiran 8, Sum Square Residual Weighted Statistics sebesar 2.83 lebih kecil dibandingkan dengan Sum Square Residual Unweighted Statistics sebesar 3.52. Dengan demikian, model terindikasi masalah heteroskedastisitas sehingga diberikan perlakuan cross section weighting dan coefficient of covariance white cross section untuk mengatasinya. Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Ekspor Komoditi Tuna Indonesia Berdasarkan hasil estimasi pada tabel 11, diketahui bahwa terdapat beberapa faktor yang berpengaruh nyata terhadap ekspor komoditi tuna Indonesia. Faktorfaktor tersebut yakni GDP perkapita negara pengimpor, populasi negara pengimpor, jarak ekonomi, dan NTMs berupa SPS dan TBT yang diukur dengan variabel coverage ratio. Hasil model menunjukkan bahwa kebijakan SPS dan TBT yang diberlakukan pada komoditi tuna berpengaruh positif pada ekspor tuna Indonesia. Sedangkan variabel nilai tukar riil tidak berpengaruh nyata pada ekspor komoditi tuna Indonesia. GDP perkapita merepresentasikan ukuran daya beli masyarakat di suatu negara terhadap barang dan jasa. Hasil estimasi menunjukkan variabel GDP perkapita negara pengimpor berpengaruh signifikan terhadap taraf nyata 5% dengen koefisien sebesar 2,363. Hal ini berarti bahwa peningkatan GDP perkapita negara pengimpor sebesar 1% akan meningkatkan ekspor komoditi tuna Indonesia sebesar 2.363%, ceteris paribus. Berdasarkan teori ekonomi, maka GDP perkapita negara pengimpor memiliki hubungan positif dengan perdagangan bilateral. Peningkatan GDP perkapita negara pengimpor menyebabkan peningkatan peningkatan kapasitas absorsi sehingga terjadi peningkatan impor. Hasil pada model sesuai dengan hipotesis dan teori ekonomi tersebut. Populasi negara pengimpor pada model berpengaruh signifikan pada taraf nyata 5% dengan nilai koefisien yang negatif. Hal ini mengindikasikan bahwa penurunan 1% pada populasi negara pengimpor akan meningkatkan ekspor sebesar
30 25.9%, ceteris paribus. Kondisi ini berlawanan dengan hipotesis dan teori ekonomi yang menjelaskan bahwa populasi negara pengimpor berpengaruh positif terhadap ekspor komoditi tuna Indonesia. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini sejalan dengan Tilova (2013) yang memperoleh nilai populasi negara pengimpor signifikan dengan koefisien yang negatif. Ketidaksesuaian ini diduga karena komoditi ikan tuna lebih banyak digunakan untuk bahan baku industri pengolahan dibandingkan dengan konsumsi masyarakat secara langsung. Negara pengimpor yang sebagian besar merupakan eksportir tuna olahan dengan pangsa besar seperti China, Vietnam, dan Thailand mengolah tuna Indonesia untuk kemudian diekspor kembali ke negara lain. Selain itu, adanya komoditi substitusi seperti ikan salmon juga diduga menjadi penyebab koefisien negatif ini. Khusus bagi negara tujuan Jepang, terdapat pula dugaan penurunan tingkat konsumsi sebagai akibat perubahan komposisi penduduk yang lebih didominasi oleh usia dewasa dan lanjut usia. Hal ini memberikan pengaruh besar bagi variabel populasi dalam penelitian karena posisi Jepang sebagai tujuan ekspor tuna Indonesia yang paling besar selama kurun 2009-2013. Jarak ekonomi mengindikasikan biaya ekspor (biaya transportasi) yang harus dikeluarkan pada saat terjadi perdagangan. Hasil estimasi yang diperoleh menunjukkan bahwa variabel jarak ekonomi berpengaruh signifikan pada taraf nyata 5% dengan koefisien negatif sebesar 0.988. Nilai tersebut berarti bahwa semakin jauh jarak Indonesia dengan negara tujuan ekspor sebesar 1%, maka akan terjadi penurunan nilai ekspor komoditi tuna Indonesia sebesar 0.988%, ceteris paribus. Nilai koefisien dengan tanda yang negatif tersebut sesuai dengan hipotesis dan juga teori gravity dimana jarak mempengaruhi interaksi antara dua objek. Semakin jauh jarak Indonesia dengan negara tujuan, maka semakin besar biaya trasnportasi untuk perdagangan komoditi tuna Indonesia. Peningkatan pada biaya transportasi kemudian akan menyebabkan penurunan nilai ekspor komoditi tuna Indonesia ke negara tujuan utama. Hasil estimasi menunjukkan bahwa nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara pengimpor yang diteliti tidak berpengaruh nyata terhadap ekspor komoditi tuna Indonesia. Hasil ini sejalan dengan Dahar (2014) yang memperoleh nilai tukar riil tidak signifikan dan berakibat tidak adanya pengaruh terhadap ekspor. Nilai yang diperoleh pada model menunjukkan koefisien positif, namun memiliki probabilitas yang lebih besar dari taraf nyata 5% sehingga tidak berpengaruh nyata terhadap ekspor tuna Indonesia. Hal ini disebabkan karena negara tujuan utama yang diteliti sebagian besar merupakan golongan negara high income. Pendapatan yang tinggi menyebabkan daya beli masyarakat tidak terlalu terpengaruh oleh fluktuasi nilai tukar. Estimasi pada model menunjukkan hasil sesuai hipotesis awal penelitian yang menyatakan bahwa kebijakan non tariff berpengaruh terhadap ekspor komoditi tuna Indonesia. Dampak kebijakan NTMs pada model menggunakan pendekatan coverage ratio SPS dan TBT. Variabel coverage ratio baik SPS maupun TBT pada model menunjukkan pengaruh nyata pada taraf 5%. Keduanya menunjukkan koefisien positif dengan nilai masing- masing sebesar 0.011 dan 0.015. Hal ini berarti ketika terjadi peningkatan pada coverage ratio SPS dan TBT sebesar 1%, maka akan menyebabkan peningkatan nilai ekspor tuna Indonesia sebesar 0.011% dan 0.015%.
31 Analisis Dampak NTMs Pada Ekspor Komoditi Tuna Indonesia ke Negara Tujuan Utama Pemberlakuan NTMs pada suatu negara dilandasi oleh berbagai alasan baik dari segi ekonomi, lingkungan, maupun kesehatan. Hal ini semata dilakukan sebagai bentuk proteksi sehingga dapat menjamin taraf hidup masyarakat dan berdampak pada peningkatan tingkat kemakmuran dan kesejahteraan sebuah negara. SPS dan TBT merupakan kebijakan impor yang paling banyak diberlakukan pada berbagai sektor oleh negara- negara anggota WTO, tidak terkecuali Indonesia. Pemberlakuan NTMs khususnya SPS dan TBT dilakukan sebagai tindakan proteksi perdagangan pada suatu negara. SPS merupakan kebijakan yang diaplikasikan untuk melindungi kehidupan manusia, hewan, atau tumbuhan, serta kesehatan dan lingkungan. Sedangkan TBT diterapkan untuk menangani regulasi teknis dan prosedur penilaian kesesuaian (UNCTAD 2013). Peraturan WTO membolehkan pemberlakuan SPS dan TBT pada suatu negara jika didasari dengan alasan penting berkaitan dengan perlindungan, kesehatan, dan keamanan baik untuk manusia, hewan, tanaman, serta lingkungan hidup. Selain itu, kebijakan juga diterapkan untuk peningkatan kualitas, pengemasan, pelabelan, dan standar suatu produk. Variabel coverage ratio SPS maupun TBT pada model menujukkan pengaruh nyata pada taraf 5% dengan nilai masing- masing sebesar 0.011 dan 0.015. Hal ini berarti bahwa kebijakan SPS dan TBT mempengaruhi nilai ekspor komoditi tuna Indonesia meskipun memiliki nilai elastisitas yang kecil. Koefisien positif pada dua variabel tersebut memperlihatkan bahwa ternyata kebijakan SPS dan TBT tidak selalu memiliki dampak negatif pada perdagangan. Hasil koefisien coverage ratio SPS yang positif sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Crivelli (2012). Dampak positif ini dapat dijelaskan oleh fakta bahwa penerapan kebijakan SPS menyediakan informasi mengenai keamanan produk pada konsumen. Jika kebijakan SPS lebih banyak berpengaruh pada kepercayaan konsumen mengenai kualitas produk impor dibandingkan dengan penambahan pada biaya perdagangan, maka akan meningkatkan pangsa pasar produsen. Pangsa pasar yang meningkat ini kemudian akan berdampak pada peningkatan volume perdagangan bagi para eksportir yang berhasil mengatasi biaya tetap ketika memasuki pasar. Koefisien positif pada TBT juga sejalan dengan penelitian Shah (2014). Adanya regulasi teknis telah mendorong pertukaran barang dengan meningkatkan kompatibilitas dan kegunaan produk. Selain itu, kebijakan TBT membantu meningkatkan kesejahteraan konsumen melalui implementasi standar kemanan dan keamanan pangan. Studi yang dilakukan oleh Chen et al (2008) memberikan hasil bahwa standar kualitas dan pelabelan memiliki dampak positif pada volume dan cakupan ekspor, sementara prosedur sertifikasi memberikan dampak yang berlawanan. Adanya dampak positif disebabkan karena peningkatan standar kualitas telah mengurangi ketidakpastian dan meningkatkan willingness to pay konsumen. Selain itu, adanya standar juga memastikan kompabilitas sebuah produk dan mengurangi kegagalan koordinasi antar produsen. Di lain sisi, adanya keperluan pengecekan serta prosedur sertifikasi justru berpengaruh pada peningkatan biaya yang harus ditanggung oleh produsen.
32 Pentingnya peran NTMs diketahui melalui dampak nyatanya terhadap perdagangan internasional. Hasil model yang menunjukkan dampak positif pada kedua kebijakan tersebut membuktikan bahwa Indonesia telah mampu untuk memenuhi standar dan aturan yang diberlakukan oleh negara tujuan utama pada impor tuna Indonesia. Hal ini diduga berkaitan dengan peranan asosiasi- asosiasi perikanan tuna sebagai salah satu wadah dalam pengembangan industri tuna Indonesia. Adanya organisasi-organisasi seperti ASTUIN, ATLI, dan AP2HI ini telah berhasil menyediakan fasilitas (seperti armada dan unit-unit pasca penangkapan ikan) dan modal yang mampu mendukung kemudahan akses bagi para eksportir tuna, sehingga mampu untuk menekan biaya perdagangan yang meningkat akibat pemenuhan standar sesuai ketentuan yang diberlakukan oleh negara- negara pengimpor tuna Indonesia. Selain itu, peran aktif Indonesia dalam berbagai asosiasi tuna internasional turut mempengaruhi kuatnya posisi tawar dan pangsa pasar tuna pada perdagangan internasional sehingga mampu bersaing dan unggul sebagai salah satu eksportir tuna terbesar di dunia.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan uraian yang telah disajikan pada bagian sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Kinerja perdagangan ikan tuna Indonesia selama tahun 2009-2013 menunjukkan kondisi yang cukup baik, dilihat dari neraca perdagangan Indonesia yang positif meskipun terjadi penurunan pada tahun 2013. Tuna beku merupakan kelompok komoditi tuna yang paling banyak diekspor. Arus ekspor komoditi terbesar adalah ke Jepang. 2. Non-tariff measures berupa sanitary and phitosanitary (SPS) dan technical barrier to trade (TBT) yang dikenakan oleh negara tujuan utama diberlakukan pada seluruh kelompok komoditi tuna. Berdasarkan nilai coverage ratio dan frequency index, tuna segar menjadi kelompok komoditi yang paling banyak terkena NTMs. Kebijakan NTMs yang lebih banyak diberlakukan adalah SPS, dan Amerika Serikat merupakan negara tujuan utama yang paling banyak memberlakukan NTMs (SPS dan TBT). 3. GDP perkapita negara pengimpor, populasi negara pengimpor, dan jarak ekonomi merupakan faktor yang dapat mempengaruhi ekspor tuna Indonesia. Nilai tukar riil tidak memberikan pengaruh signifikan. SPS dan TBT yang diukur dengan pendekatan coverage ratio memiliki pengaruh nyata yang positif terhadap ekspor tuna Indonesia ke negara- negara tujuan utama dengan koefisien masing- masing sebesar 0.011 dan 0.015. Saran Adanya pengaruh positif kebijakan SPS dan TBT pada komoditi tuna membuktikan bahwa Indonesia sebagai pengekspor telah mampu memenuhi
33 persayaratan dan standar yang diberlakukan oleh negara partner dagang. Akan tetapi, pemerintah perlu memberikan dukungan secara penuh kepada pelaku usaha komoditi tuna untuk memaksimalkan potensi ekspor yang menurun pada tahuun 2013. Dukungan ini bisa diberikan melalui fasilitasi serta sosialisasi efektif untuk meningkatkan mutu dan volume produksi tuna Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA Apsari, Winanti. 2011. Analisis Permintaan Ekspor Ikan Tuna Segar Indonesia di Pasar Internasional. [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Bora B, Kuwahara A, Laird S. 2002. Quantification of Non-Tariff Measures: Policy Issues In International Trade and Commodities. Geneva: UNCTAD. Bratt, Michael. 2014. Estimating The Bilateral Impact of Non Tariff Measures (NTMs). [Working Paper 2014]. Geneva: Universite de Geneve. Cahya, Indry Nilam. 2010. Analisis Daya Saing Ikan Tuna Indonesia di Pasar Internasional. [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Cadot O, Malouche M, Saez S. 2012. Streamlining Non Tariff Measures: A Toolkit for Policy Makers. Washington, D.C: The World Bank. Carrere, Celine. 2009. Notes on Detecting The Effects of Non Tariff Measures. Geneva: CERDI. [CEPII] Centre d’Etudes Prospectives et d’Informations Internationales. Data jarak geografis [internet]. [diunduh 2015 Maret 15]. Tersedia pada: http://www.cepii.fr/distance/dist_cepii.zip Criveli P, Groschl J. 2012. The Impact of Sanitary and Phytosanitary Measures on Market Entry and Trade Flows. [Working Paper 2012]. Geneva: Universite de Geneve. Dahar, Darmiati. 2014. Analisis Dampak Kebijakan Non Tarif Terhadap Kinerja Ekspor Hortikultura Indonesia ke Negara- negara ASEAN +3. [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Devadason, Evelyn S. 2011. Non Tariff Measures in ASEAN: Barriers to IntraRegional Trade?. Kuala Lumpur: University of Malaya. Disdier A-C, Lionel F, Mondher M. 2007. The Impact of Regulations on Agricultural Trade: Evidence From SPS and TBT Agreements. [Working Paper]. American Agricultural Economics Association. Doi: 10.1111/j.14678276.2007.01127.x Fassarella LM., Souza M.J.P., Burnquist H.L. 2011. Impact of Sanitary and Technical Measures on Brazilian Exports of Poultry Meat. Pennsylvania: Agricultural and Applied Economics Association. Fontagne L., Mimouni M., Pasteels J-M. 2005. Estimating The Impact of Environmental SPS and TBT on International Trade. Geneva: International Trade Center (UNCTAD-WTO). Fridhowati, Nila. 2013. Danpak Non Tariff Measures (NTM) ASEAN Terhadap Arus Perdagangan Sektor Elektronika Indonesia. [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Fugazza, Marco. 2013. The Economical Behind Non Tariff Measures: Theoritical Insights and Empirical Evidence. Geneva: UNCTAD.
34 Gourdon, Julien. 2014. CEPII NTM- MAP: A Tool for Assesting The Economic Impact of Non Tariff Measures. [Working Paper]. Paris: CEPII. [KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2014. Kelautan dan Perikanan Dalam Angka 2013. [Buletin]. [diunduh 2015 Februari 22]. Tersedia pada: http://www.statistik.kkp.go.id [KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2013. Statistik Ekspor Hasil Perikanan Menurut Negara Tujuan 2012. [Buletin]. [diunduh 2015 Februari 22]. Tersedia pada: http://www.statistik.kkp.go.id Natalia D., Nurozy. 2012. Kinerja Daya Saing Produk Perikanan Indonesia di Pasar Global. Jakarta: Kementerian Perdagangan. Rastikarany, Hikmah. 2008. Analisis Pengaruh Kebijakan Tarif dan Non Tarif Uni Eropa Terhadap Ekspor Tuna Indonesia. [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Salvatore, Dominick. 1997. Ekonomi Internasional. Ed ke-5. Munandar H, penerjemah; Sumiharti Y, editor. Jakarta: Penerbit Erlangga. Terjemahan dari International Economics, Ed ke-5. Sari, Kartika Rahma. 2014. Daya Saing, Hambatan Non Tarif, dan Faktor- faktor yang Memengaruhi Ekspor Kayu Lapis Indonesia ke Negara Tujuan Ekspor. [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Shah A, S.M. Ali. 2014. The Impact of Technical Barrier to Trade on Pakistan Industry. Pakistan Science Journal Vol. 66. Pakistan. Tilova, Reni. 2012. Analisis Faktor- Faktor yang Memengaruhi Permintaan Batu Bara Indonesia di Empat Negara Tujuan Ekspor Terbesar. [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. [UNCTAD] United Nations Conference on Trade and Development. 2015. Data populasi penduduk 2002- 2012 [internet]. [diunduh 2015 Januari 25]. Tersedia pada: http://www.unctadstat.unctad.org [WITS] World Integrated Trade Solution. 2015. Data Ekspor- Impor Ikan Tuna Indonesia ke negara tujuan utama 2002- 2013 [internet]. [terhubung berkala]. Tersedia pada: http://www.wits.worldbank.org [WTO] World Trade Organization. 2015. Data NTM komoditi tuna pada negara tujuan utama [internet]. [terhubung berkala]. Tersedia pada: http://www.itip.wto.org [WORLDBANK]. 2015. Data IHK 2002- 2013 [internet]. [diunduh 2015 Januari 25]. Tersedia pada: http://www.data.worldbank.org [WORLDBANK]. 2015. Data GDP Perkapita 2002- 2013 [internet]. [diunduh 2015 Januari 25]. Tersedia pada: http://www.data.worldbank.org [WORLDBANK]. 2015. Data Nilai Tukar Nominal 2002- 2013 [internet]. [diunduh 2015 Januari 25]. Tersedia pada: http://www.data.worldbank.org Yuniarti, Dini. 2007. Analisis Determinan Perdagangan Bilateral Indonesia Pendekatan Gravity Model. Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol. 12. Yogyakarta: Universitas Ahmad Dahlan.
35
LAMPIRAN Lampiran 1 Cakupan Kode HS Ikan Tuna 0302 Fish,Kode freshHS or chilled, excluding fish fillets and other fish meat Lampiran 2 Cakupan Ikan Tuna 030231 Tunas (of the genus Thunnus) skipjack or stripe- belied bonito (Euthynnus (Katsuwonus) pelamis), excluding livers and roes Albacore or longfinned tunas (Thunnus alalunga) 030232 Tunas (of the genus Thunnus) skipjack or stripe- belied bonito (Euthynnus (Katsuwonus) pelamis), excluding livers and roes Yellowfin tunas (Thunnus albacares) 030233 Tunas (of the genus Thunnus) skipjack or stripe- belied bonito (Euthynnus (Katsuwonus) pelamis), excluding livers and roes Skipjack or stripe- bellied bonito 030239 Tunas (of the genus Thunnus) skipjack or stripe- belied bonito (Euthynnus (Katsuwonus) pelamis), excluding livers and roes Other 030240 Tunas (of the genus Thunnus) skipjack or stripe- belied bonito (Euthynnus (Katsuwonus) pelamis), excluding livers and roes Herrings (Clupea harengus, Clupea pallasii), excluding livers and roes 030250 Tunas (of the genus Thunnus) skipjack or stripe- belied bonito (Euthynnus (Katsuwonus) pelamis), excluding livers and roes Cod (Gadus morhua, Gadus ogac, Gadus microcephalus), excluding livers and roes 0303 Fish, frozen, excluding fish fillets and other fish meat 030341 Tunas (of the genus Thunnus) skipjack or stripe- belied bonito (Euthynnus (Katsuwonus) pelamis), excluding livers and roes Albacore or longfinned tunas (Thunnus alalunga) 030242 Tunas (of the genus Thunnus) skipjack or stripe- belied bonito (Euthynnus (Katsuwonus) pelamis), excluding livers and roes Yellowfin tunas (Thunnus albacares) 030243 Tunas (of the genus Thunnus) skipjack or stripe- belied bonito (Euthynnus (Katsuwonus) pelamis), excluding livers and roes Skipjack or stripe- bellied bonito 030349 Tunas (of the genus Thunnus) skipjack or stripe- belied bonito (Euthynnus (Katsuwonus) pelamis), excluding livers and roes Other 1604 Prepared or preserved fish; caviar and caviar substitues prepared from fish eggs 160414 Fish, whole pr in pieces, but not minced Tunas, skipjack, and bonito (Sarda spp)
36 Lampiran 3 Neraca perdagangan tuna Indonesia ke negara- negara tujuan utama tahun 2009- 2013 (000 USD) Negara Tujuan China
Jepang
Thailand
Amerika Serikat
Korea Selatan
Vietnam
Singapura
Tahun
Ekspor
Impor
2009 2010 2011 2012 2013 2009 2010 2011 2012 2013 2009 2010 2011 2012 2013 2009 2010 2011 2012 2013 2009 2010 2011 2012 2013 2009 2010 2011 2012 2013 2009 2010 2011 2012 2013
2 411.01 1 220.60 1 523.21 5 684.32 2 911.65 130 813.28 159 927.99 174 059.81 171 203.43 151 223.61 24 783.09 16 293.55 36 618.83 111 471.01 102 744.77 71 382.85 75 763.17 71 519.46 91 619.96 73 406.13 1 503.72 2 103.69 3 076.24 5 181.82 1 389.45 9 830.67 8 940.72 7 688.55 7 704.51 4 832.31 4 459.90 4 409.24 1 825.08 1 534.37 1 463.45
1 388.99 3 597.75 8 805.47 607.23 0.00 6 762.34 7 956.15 17 701.44 10 713.49 5 125.99 3 563.49 7 847.32 6 194.48 2 529.82 1 149.06 748.86 122.02 740.91 0.00 106.40 45.97 158.71 131.36 154.05 1 506.83 35.86 85.68 58.40 91.52 0.00 227.74 63.18 12.94 0.01 0.00
Sumber : UNCOMTRADE 2015 (diolah)
Neraca Perdagangan 1 022.01 -2 377.16 -7 282.26 5 077.10 2 911.65 124 050.94 151 971.84 156 358.37 160 489.95 146 097.62 21 219.60 8 446.24 30 424.35 108 941.20 101 595.71 70 633.99 75 641.15 70 778.55 91 619.96 73 299.73 1 457.76 1 944.98 2 944.88 5 027.78 -1 17.38 9 794.81 8 855.04 7 630.15 7 612.99 4 832.31 4 232.16 4 346.07 1 812.14 1 534.36 1 463.45
37 Lampiran 4 Neraca perdagangan tuna Indonesia ke negara- negara tujuan utama berdasarkan kelompok komoditi tahun 2010- 2013 (000 USD) Negara Tujuan China
Kelompok Komoditi
822.66
Beku
152.30
2010 149.32
47.05
2011
2012
2013
416.16
192.80
26.85
-2 474.57 -7 571.26
5 370.14
2 718.70
-485.85
166.10
-51.91
-127.15
Segar
74 080.88
93 207.11 73 746.83 61 602.90 66 390.58
Beku
4 702.77
14 288.02 26 796.88 39 455.25 36 032.36
4 5267.29
44 476.72 55 814.66 59 431.80 43 674.69
Olahan Thailand
2009
Segar Olahan
Jepang
Tahun
Segar
1 814.13
Beku
1 3417.48
-32.21 13 321.76 76 341.89 68 933.83
Olahan
5 987.99
8 361.89 16 452.94 31 876.90 32 555.42
Amerika
Segar
7 984.85
5 778.36
Serikat
Beku
16 104.15
17 660.02 18 740.34 37 249.05 30 342.20
Olahan
46 545
52 202.77 45 788.94 49 333.63 40 304.07
Korea
Segar
757.07
347.75
174.58
371.39
114.35
Selatan
Beku
695.121
1 627.48
2 736.85
4 788.86
-5.64
Vietnam
Olahan Segar
5.56 4 712.36
-30.25 1 135.87
33.44 2 179.38
-132.47 1 543.81
-226.09 95.26
Beku
4 929.42
7 352.57
5 426.67
5 822.56
4 737.05
153.03
366.60
24.09
246.61
0
Singapura Segar
1 641.36
735.10
307.46
279.47
433.52
Beku
2 325.49
3 369.48
1 329.52
995.90
746.96
241.48
175.15
258.98
282.95
Olahan
116.56
Olahan 265.30 Sumber: UNCOMTRADE 2015 (diolah)
649.65
6 249.27
722.40
5 037.28
106.47
2 653.45
Lampiran 5 Cross sections effect
1 2 3 4 5 6 7
CROSSID China Jepang Thailand Amerika Serikat Singapura Vietnam Korea Selatan
Effect 70.42180 7.789999 -8.833161 31.74261 -83.75004 -1.488277 -15.88294
38 Lampiran 6 Hasil uji normalitas 12
Series: Standardized Residuals Sample 2009 2013 Observations 35
10
8
6
4
2
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
-1.38e-15 0.018326 0.680095 -0.636502 0.312517 -0.178171 3.206735
Jarque-Bera Probability
0.247506 0.883598
0 -0.6
-0.4
-0.2
-0.0
0.2
0.4
0.6
Lampiran 7 Hasil uji multikolinearitas LN_GDPC
LN_POP
LN_EDIST
LN_RER
CR_SPS
CR_TBT
LN_GDPC 1.000000 LN_POP -0.189064 LN_EDIST 0.385210 LN_RER -0.762787 CR_SPS 0.520259 CR_TBT 0.197933
-0.189064 1.000000 0.727630 -0.044842 0.254420 0.165489
0.385210 0.727630 1.000000 -0.391253 0.589119 0.258836
-0.762787 -0.044842 -0.391253 1.000000 -0.234286 -0.343277
0.520259 0.254420 0.589119 -0.234286 1.000000 0.492881
0.197933 0.165489 0.258836 -0.343277 0.492881 1.000000
Lampiran 8 Hasil uji heteroskedastisitas Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.989646 0.983999 0.359009 175.2399 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
15.17451 10.30654 2.835527 2.387804
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.966855 3.522088
Mean dependent var Durbin-Watson stat
9.449890 2.470422
39 Lampiran 8 Penetapan Model Terbaik Dependent Variable: LN_EX_VALUE Method: Panel EGLS (Cross-section weights) Date: 04/09/15 Time: 15:54 Sample: 2009 2013 Periods included: 5 Cross-sections included: 7 Total panel (balanced) observations: 35 Linear estimation after one-step weighting matrix White cross-section standard errors & covariance (d.f. corrected) WARNING: estimated coefficient covariance matrix is of reduced rank Variable Coefficient Std. Error t-Statistic C LN_GDPC LN_POP LN_EDIST LN_RER CR_SPS CR_TBT
468.5537 51.80104 2.363025 0.595618 -25.90553 3.073017 -0.988198 0.344470 0.049087 0.279623 0.011215 0.003573 0.015269 0.005692 Effects Specification
9.045256 3.967351 -8.429999 -2.868747 0.175549 3.139128 2.682679
Prob. 0.0000 0.0007 0.0000 0.0089 0.8623 0.0048 0.0136
Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.989646 Mean dependent var 0.983999 S.D. dependent var 0.359009 Sum squared resid 175.2399 Durbin-Watson stat 0.000000 Unweighted Statistics
15.17451 10.30654 2.835527 2.387804
R-squared Sum squared resid
0.966855 3.522088
9.449890 2.470422
Mean dependent var Durbin-Watson stat
40 Lampiran 9 Klasifikasi SPS dan TBT A. Sanitary and Phytosanitary Measures A1. Prohibitions/ restrictions of imports for SPS reasons A11. Temporary geographic prohibitions for SPS reasons A12. Geographical restrictions on eligibility A13. Systems approach A14. Special authorization requirement for SPS reasons A15. Registration requirements for importers A19. Prohibitions/ restrictions of imports for SPS reasons, not elsewhere specified (n.e.s) A2. Tolerance limits for residues and restricted use of substances A21. Tolerance limits for residues of or contamination by certain (nonmicrobiological) substances A22. Restricted use of certain substances in foods and feeds and their contact materials A3. Labelling, marking, and packaging requirements A31. Labelling requirements A32. Marking requirements A33. Packaging requirements A4. Hygienic requirements A41. Microbiological criteria of the final product A42. Hygienic practices during production A49. Hygienic requirements, n.e.s A5. Treatment for elimination of plant and animal pests and disease-causing organisms in the final product (e.g. post-harvest treatment) A51. Cold/ heat treatment A52. Irradiation A53. Fumigation A59. Treatment for elimination of pant and animal pests and diseasecausing organisms in the final product, n.e.s A6. Other requirements on production or post-production process A61. Plant-growth processes A62. Animal-raising or catching processes A63. Food and feed processing A64. Storage and transport conditions A69. Other requirements on production or post-production processes, n.e.s A8. Conformity assessment related to SPS A81. Product registration requirement A82. Testing requirement A83. Certification requirement A84. Inspection requirement A85. Tracecability requirement A851. Origin of materials and parts A852. Processing history A853. Distribution and location of products after delivery A859. Traceability requirements, n.e.s
41 A86. Quarantine requirement A89. Conformity assessment related to PS, n.e.s B. Technical Barriers to Trade B1. Prohibitons/ restrictions of imports for objectives set out I the TBT agreement B11. Prohibition for TBT reasons B14. Authorization requirement for TBT reasons B15. Registration requirement for TBT reasons B19. Prohibitions/ restrictions of imports for objectives set out in the TBT agreement, n.e.s B2. Tolerance limits for residues and restricted use of substances B21. Tolerance limits for residues of or contamination by certain substances B22. Restricted use of certain substances B3. Labeling, marking, and packaging requirements B31. Labelling requirements B32. Marking requirements B33. Packaging requirements B4. Production or post-production requirements B41. TBT regulations on production processes B42. TBT regulations on transport and storage B49. Production or post-production requirements, n.e.s B6. Product identity requirement B7. Product- quality or performance requirements B8. Conformity assessment related to TBT B81. Product registration requirement B82. Testing requirement B83. Certification requirement B84. Inspection requirement B85. Traceability information requirement B851. Origin of materials and parts B852. Processing history B859. Traceability requirements, n.e.s B89. Conformity assessment related to TBT, n.e.s B9. TBT measures, n.e.s
42
RIWAYAT HIDUP
Penulis memiliki nama lengkap Oktavina Widya Kristriana, lahir di Magelang pada tanggal 1 Oktober 1992. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara, dari pasangan Tri Imam H. dan Kristintien M. Penulis mengawali pendidikan di TK YPI pada tahun 1999, kemudian melanjutkan pendidikan sekolah dasar selama enam tahun di SDN Jatinegara Kaum 01 Pagi Jakarta Timur. Pada tahun 2005 hingga 2008, penulis melanjutkan pendidikan sekolah menengah pertama di SMPN 92 Jakarta. Selanjutnya, penulis menempuh pendidikan sekolah menengah atas di SMAN 12 Jakarta selama 2008 hingga 2011. Pada tahun 2011, penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Ilmu Ekonomi Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur undangan SNMPTN. Selain mengikuti kegiatan akademik, penulis juga mengikuti berbagai kegiatan non-akademik. Selama menempuh pendidikan di SMA penulis aktif menjadi pengurus OSIS SMAN 12 sebagai anggota bidang Sastra, Seni, dan Budaya selama periode 2008-2009 dan Bendahara Umum selama periode 20092010. Selain itu, penulis juga menjadi pengurus ROHIS SMAN 12 selama dua periode yaitu 2009-2010 sebagai Ketua Divisi Putri bidang Hubungan Masyarakat dan Informasi Islam dan 2010-2011 sebagai anggota divisi INTEL. Setelah menempuh pendidikan di bangku perkuliahan, penulis aktif dalam kegiatan jasa sketsa dan karikatur. Selain itu, penulis juga memiliki beberapa prestasi selama bangku kuliah. Penulis menjadi juara favorit lomba cerpen dan karyanya dimasukkan ke dalam buku kompilasi cerpen SJFF 2012 oleh penerbit Matahari. Pada tahun 2013- 2014, penulis mengikuti PKM-M dan berhasil lolos menjadi salah satu peserta PIMNAS 27 pada tahun 2014.