ANALISIS PENGARUH NON-TARIFF MEASURES TERHADAP EKSPOR KOMODITI CRUDE PALM OIL (CPO) INDONESIA KE NEGARA TUJUAN EKSPOR UTAMA
AYU RENITA SARI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Pengaruh NonTariff Measures terhadap Ekspor Komoditi Crude Palm Oil (CPO) Indonesia ke Negara Tujuan Ekspor Utama adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2015 Ayu Renita Sari NRP H151120231
RINGKASAN AYU RENITA SARI. Analisis Pengaruh Non-Tariff Measures terhadap Ekspor Komoditi Crude Palm Oil (CPO) Indonesia ke Negara Tujuan Ekspor Utama. Dibimbing oleh DEDI BUDIMAN HAKIM dan LUKYTAWATI ANGGRAENI. Sejak berdirinya World Trade Organization (WTO) pada tahun 1995 dan adanya liberalisasi dalam perdagangan, terjadi penurunan tarif bahkan sampai dengan nol persen. Hal ini membuat negara-negara anggota melakukan tindakan/kebijakan non tarif (non-tariff measures/NTM). Salah satu tujuannya adalah sebagai proteksi pada produsen domestik dalam menghadapi persaingan impor dengan produk asing. Penerapan NTM akan berdampak pada penurunan ekspor negara-negara yang melakukan perdagangan. Sektor pertanian yang memiliki keunggulan dan potensial di Indonesia khususnya subsektor perkebunan adalah komoditi kelapa sawit yang kemudian diolah menjadi crude palm oil (CPO). Kelapa sawit dianggap sebagai tanaman penghasil minyak (CPO) yang paling efisien dan sangat produktif dibandingkan dengan tanaman penghasil minyak lainnya. Adanya ekspansi lahan secara besar-besaran dan muncul kampanye negatif dari LSM (lembaga sosial masyarakat) lingkungan hidup internasional yang menyoroti isu pelanggaran lingkungan dan isu produk yang mengganggu kesehatan, kemudian diformulasikan menjadi suatu regulasi yang sifatnya menghambat perdagangan. Selain itu dalam beberapa tahun belakangan ini tren nilai ekspor CPO cenderung mengalami penurunan dan di beberapa negara tujuan ekspor menunjukkan nilai yang negatif. Banyak negara terutama negara maju yang memproteksi industri domestiknya dengan memberlakukan kebijakan NTM yang dapat menghambat masuknya suatu produk ke negara tujuan ekspor. Akibatnya, industri CPO terkena dampak dari implementasi NTM dan akan kesulitan melakukan ekspansi atau mengalami penurunan daya saing jika hambatan tersebut tidak dihilangkan. Penelitian ini menyajikan gambaran mengenai arus perdagangan ekspor komoditi CPO Indonesia dan implementasi NTM di negara tujuan ekspor utamanya. Tujuan utama penelitian ini untuk menganalisis pengaruh NTM terhadap arus perdagangan ekspor komoditi CPO Indonesia ke negara tujuan ekspor utama. Analisis Revealed Comparative Advantage (RCA) digunakan untuk mengestimasi daya saing CPO, pemberlakuan NTM dengan binary variable, serta analisis ekonometrika digunakan untuk mengestimasi model gravity dengan data panel. Data yang digunakan adalah data sekunder. Data panel yang digunakan dalam penelitian ini merupakan time series tahunan 2003 – 2013 dan cross section dua puluh negara tujuan ekspor utama CPO Indonesia. NTM yang akan diestimasi pada penelitian ini dikhususkan pada sanitary and phytosanitary (SPS) dan technical barriers to trade (TBT) serta instrumen trade remedy (antidumping, subsidy, dan safeguard). Hasil estimasi nilai RCA seluruhnya menunjukkan bahwa komoditi CPO Indonesia ke negara tujuan ekspor utama memiliki keunggulan komparatif. Indonesia sebagai salah satu penghasil hasil bumi terbesar dunia menjadi salah satu pemasok utama dalam memenuhi kebutuhan mereka terhadap komoditi CPO.
Pemberlakuan NTM (incidence of NTM) masing-masing adalah sebanyak 34 kebijakan untuk SPS, 102 kebijakan untuk TBT, serta 4 kebijakan untuk trade remedy. Kebijakan SPS yang banyak diberlakukan antara lain terkait dengan labeling dan packaging yang berhubungan langsung dengan food safety requirements, food additives, dan terkait certification. Kebijakan TBT yang banyak diberlakukan antara lain berkaitan dengan food standard, labeling (terkait informasi nutrisi), conformity assessment, dan quality requirements. Sementara itu pada penerapan NTM jenis trade remedy yang banyak diberlakukan adalah dumping. Negara tujuan ekspor yang paling banyak memberlakukan NTM untuk komoditi CPO Indonesia adalah Amerika Serikat. Hasil empiris menunjukkan bahwa secara keseluruhan NTM dari negaranegara tujuan ekspor utamanya menghambat arus perdagangan ekspor komoditi CPO Indonesia, tetapi pengaruhnya tidak signifikan. Namun jika NTM didisagregasi berdasarkan jenisnya berupa SPS, TBT dan trade remedy, hasilnya menunjukkan bahwa peningkatan jumlah kebijakan SPS dan trade remedy tidak menghambat arus ekspor komoditi CPO Indonesia, sedangkan peningkatan jumlah kebijakan TBT akan menghambat arus ekspor komoditi CPO Indonesia. Pemerintah harus lebih concern dengan kebijakan TBT yang lebih banyak menghambat ekspor komoditi CPO Indonesia dengan memperhatikan standar dan persyaratan teknis lainnya untuk meningkatkan ekspor komoditi CPO Indonesia. Kata Kunci : ekspor, non-tariff measures (NTM), sanitary and phytosanitary (SPS), trade barriers to trade (TBT), trade remedy, crude palm oil (CPO)
SUMMARY AYU RENITA SARI. Analysis of Non-Tariff Measures on Export of Indonesian Crude Palm Oil (CPO) to the Main Export Destinations. Supervised by DEDI BUDIMAN HAKIM and LUKYTAWATI ANGGRAENI. Since the establishment of the World Trade Organization (WTO) in 1995 and liberalization exist, a tariff has decline even up to zero percent. It makes the member states shifted to non-tariff measures/NTM. The main purpose is to protect the domestic producers in the face of import competition with foreign products. The impact of NTM is reducing or losing the potential export trade between countries. The agricultural sector which has advantages and potential in Indonesia especially subsector of plantation is palm oil then processed into crude palm oil (CPO). Palm oil is considered as oil-producing plant called CPO which is the most efficient and highly productive compared to other oil-producing plants. The largescale land expansion and the rise of negative campaigns from NGOs (nongovernment organizations) which focusing to the international environmental issues and concern with health issues, are formulated into a regulation that inhibiting trade. In recent years, trend shows that the export value of CPO tend to decrease and in some export destinations indicates a negative value. Many countries especially developed countries had protected their domestic industries by imposing the NTM that could impede a product to entry the export destinations. Consequently, the CPO industry affected by the implementation of NTM and would be difficult to expand or lose the competitiveness if these barriers are not removed. This study provides an overview of the export trade flow of Indonesian CPO and the implementation of NTM in the main export destinations. The main objective of this study is to analyze the effect of NTM on export trade flow of Indonesian CPO to the main export destinations. Analysis of Revealed Comparative Advantage (RCA) is used to estimate the competitiveness of CPO, the incidence of NTM with binary variables, also the econometric analysis is used to estimate gravity models with panel data. The data used is secondary data. Panel data used in this study is an annual time series 2003 - 2013 and the cross section of twenty major export destinations of Indonesia's CPO. NTM that have to be estimated in this study is devoted to the sanitary and phytosanitary (SPS) and technical barriers to trade (TBT) also trade remedy instruments (anti-dumping, subsidy, and safeguard). The estimation results show that the entirely value RCA of Indonesian CPO to main export destination countries have a comparative advantage. Indonesia as one of the world's largest producer of agricultural products is also one of the major suppliers to meet their needs for CPO. In calculating the imposition of NTM (incidence of NTM) found that there are 34 measures for SPS, 102 measures for TBT, and 4 measures for trade remedy. SPS measures that enforced are related to labeling and packaging in direct contact with food safety requirements, food additives, and certification. TBT measures that enforced are related to food standards, labeling (information related to nutrition), conformity assessment, and quality requirements. Meanwhile, trade remedy that mostly
imposed is dumping. The most imposing export destination country of NTM for Indonesian CPO is the United States. The empirical results show that the overall NTM of main export destination countries impede the export trade flow of Indonesian CPO, but the effect is not significant. However, if NTM are disaggregated into SPS, TBT and trade remedy, the results showed that the increase in SPS measures and trade remedy did not impede the export trade flow of Indonesian CPO, while the increase in TBT measures would impede the export trade flow of Indonesian CPO. The government should be more concerned with policy TBT measures which more impede Indonesian CPO exports by focusing to the standards and other technical requirements to improve and expand the export of Indonesian CPO.
Keywords: export, non-tariff measures (NTM), sanitary and phytosanitary (SPS), trade barriers to trade (TBT), trade remedy, crude palm oil (CPO)
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ANALISIS PENGARUH NON-TARIFF MEASURES TERHADAP EKSPOR KOMODITI CRUDE PALM OIL (CPO) INDONESIA KE NEGARA TUJUAN EKSPOR UTAMA
AYU RENITA SARI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Yeti Lis Purnamadewi, M.Sc.Agr
Judul Tesis : Analisis Pengaruh Non-Tariff Measures terhadap Ekspor Komoditi Crude Palm Oil (CPO) Indonesia ke Negara Tujuan Ekspor Utama Nama : Ayu Renita Sari NIM : H151120231
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Dedi Budiman Hakim, M.Ec Ketua
Dr Lukytawati Anggraeni, SP, M.Si Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir R. Nunung Nuryartono, M.Si
Dr Ir Dahrul Syah, MSc.Agr
Tanggal Ujian: 28 Januari 2015
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah kebijakan perdagangan internasional dengan judul Analisis Pengaruh Non-Tariff Measures terhadap Ekspor Komoditi Crude Palm Oil (CPO) Indonesia ke Negara Tujuan Ekspor Utama, dan disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan penelitian ini. Apresiasi dan ucapan terima kasih penulis sampaikan secara khusus kepada: 1. Dr Ir Dedi Budiman Hakim, M.Ec selaku ketua komisi pembimbing dan Dr Lukytawati Anggraeni, SP, M.Si selaku anggota komisi pembimbing, yang telah meluangkan waktu dan kesabaran untuk memberikan bimbingan, arahan, dan masukan yang bermanfaat dalam penyusunan tesis ini. 2. Dr Ir Yeti Lis Purnamadewi, MSc.Agr sebagai penguji utama dan Dr Ir Wiwiek Rindayati, M.Si sebagai penguji dari Komisi Akademik yang telah memberikan masukan untuk kesempurnaan thesis ini. 3. Dr Ir Nunung Nuryartoro, M.Si selaku Ketua Program Studi beserta jajarannya selaku pengelola Program Studi Ilmu Ekonomi SPs IPB dan semua dosen yang telah mengajar penulis. 4. Dr Ir Sri Mulatsih, MSc.Agr sebagai Pimpinan Redaksi Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Pembangunan, Departemen Ilmu Ekonomi FEM. 5. Biro Organisasi dan Kepegawaian (Roganpeg) Kementerian Perdagangan Republik Indonesia yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan Program Magister pada Program Studi Ilmu Ekonomi di Sekolah Pascasarjana (SPs) IPB. 6. Bapak Oke Nurwan, Bapak Donny Tamtama, Bapak Sugih Rahmansyah, dan rekan-rekan di Direktorat Pengamanan Perdagangan Kementerian Perdagangan Republik Indonesia yang telah memberikan saran dan masukan yang bermanfaat dalam penyusunan tesis ini. 7. Teman-teman kuliah kelas khusus IPB-Kemendag Batch-1 atas segala bantuannya selama penulis menyelesaikan pendidikan di IPB. 8. Orang tua dan keluarga besar penulis yang senantiasa mendoakan sehingga penulis mampu menyelesaikan pendidikan ini. Kepada suami tercinta Reiza Nova Pratama dan anak tercinta Marqueezava Rafaelo Alfathian Gaffar atas segala doa, kasih sayang, dukungan, dan kesabaran yang telah diberikan. Besar harapan penulis bahwa tesis ini dapat memberikan kontribusi dalam proses pembangunan dan bermanfaat untuk pengembangan penelitian di masa mendatang. Bogor, Februari 2015 Ayu Renita Sari
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian 2 TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Teori dan Konsep Tinjauan Empiris Kerangka Pemikiran Penelitian Hipotesis Penelitian 3 METODE Jenis dan Sumber Data Metode Analisis Analisis Revealed Comparative Advantage (RCA) Binary Variable Analisis Data Panel Model Gravity Spesifikasi Model Definisi Operasional 4 GAMBARAN UMUM Perdagangan Komoditi CPO Indonesia Identifikasi Tingkat Daya Saing CPO Indonesia Non-Tariff Measures pada Komoditi CPO Indonesia 5 HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Data Panel Model Gravity Faktor-faktor yang Mempengaruhi Arus Perdagangan Ekspor CPO Indonesia Dampak Non-Tariff Measures terhadap Arus Perdagangan Ekspor CPO Indonesia ke Negara Tujuan Ekspor Utama 6 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Implikasi Kebijakan Saran Penelitian Lanjutan
1 1 6 9 9 9 10 10 19 20 21 22 22 22 23 23 24 31 33 34 34 37 40 45 45
DAFTAR PUSTAKA
61
LAMPIRAN
66
RIWAYAT HIDUP
72
46 50 59 59 59 60
DAFTAR TABEL 1 2 3 4
Negara-negara Tujuan Ekspor Utama Komoditi CPO Indonesia Klasifikasi Non-Tariff Measures UNCTAD Jenis dan Sumber Data yang Digunakan Hasil Nilai RCA Komoditi CPO Indonesia ke Negara Tujuan Ekspor Utamanya 5 Non-Tariff Measures yang Diberlakukan pada Komoditi CPO Indonesia di Negara Tujuan Ekspor Utamanya Tahun 2003-2013 6 Hasil Estimasi Dampak Non-Tariff Measures (koefisien parameter dengan GLS) Periode 2003-2013
5 14 22 38 43 47
DAFTAR GAMBAR 1 Nilai Ekspor Terbesar Sepuluh Kelompok Hasil Industri Periode 20072011 2 Ekspor Komoditi CPO Indonesia dan Turunannya ke Dunia 3 Perbandingan Tarif dan Ad Valorem Equivalents dari non-tariff measures yang Dikenakan terhadap Negara Pengekspor 4 Kurva Perdagangan Internasional 5 Dampak Kebijakan Pembatasan Impor terhadap Welfare 6 Klasifikasi Non-Tariff Measures berupa Core dan Non Core Measures 7 Klasifikasi Baru Non-Tariff Measures 8 Kerangka Pemikiran 9 Neraca Perdagangan Sektor Pertanian Periode 2008-2013 10 Neraca Perdagangan Sub Sektor Perkebunan Periode 2008-2013 11 Neraca Perdagangan Komoditi CPO Indonesia Periode 2008-2013
2 4 4 9 13 15 15 21 34 35 36
DAFTAR LAMPIRAN 1 Hasil Estimasi 2 Uji Asumsi Dasar 3 Penerapan Non-Tariff Measures terhadap Komoditi CPO Indonesia Tahun 2003-2013 oleh Negara Tujuan Ekspor Utamanya
67 68 70
1
1
PENDAHULUAN Latar Belakang
Liberalisasi perdagangan akan meningkatkan efisiensi penggunaan sumberdaya domestik dan meningkatkan akses pasar ke negara lain, sehingga suatu negara akan berusaha membuka dirinya terhadap perdagangan dengan negara lainnya (Stephenson 1994). Selain itu, perdagangan dapat memberikan keuntungan bagi negara-negara yang terlibat didalamnya karena negara tersebut akan berspesialisasi untuk menghasilkan komoditi secara efisien (Salvatore 1997). Liberalisasi melalui rangkaian kerjasama bilateral, regional maupun multilateral merupakan kondisi yang tidak dapat dihindari lagi. Tingginya kuantitas perjanjian liberalisasi memberikan indikasi setiap negara sangat tergantung dengan negara tetangganya baik di tingkat bilateral, regional maupun multilateral. Liberalisasi ini harus dilakukan Indonesia jika ingin terlibat dalam lingkup perdagangan internasional. Hal ini menyebabkan integrasi perdagangan global dengan ketahanan ekonomi nasional menjadi salah satu pokok strategis pembangunan perdagangan (Departemen Perdagangan 2010). Perdagangan antar negara-negara di dunia yang semula menyepakati mengenai sistem tarif dalam sistem perdagangan internasional yang diwujudkan dalam General Agreement on Tariff and Trade (GATT) pada tahun 1947 menemukan perumusan yang lebih kompleks seiring dengan perkembangan jaman. Pada tahun 1995 dalam Putaran Uruguay (Uruguay Round) yang membahas mengenai implementasi praktek perdagangan dunia, para negara yang tergabung dalam kesepakatan GATT menyepakati berdirinya suatu organisasi yaitu World Trade Organization (WTO) yang akan mewadahi negara anggotanya dalam menghadapi berbagai tantangan yang dihadapi dalam lingkup perdagangan internasional. Sejak berdirinya World Trade Organization (WTO) pada tahun 1995, kesepakatan-kesepakatan yang dihasilkan di dalam forum tersebut telah menyebabkan turunnya hambatan tarif diantara negara-negara anggota WTO secara signifikan. Negara-negara anggota WTO sepakat untuk menurunkan bea masuk terhadap produk-produk impor yang masuk ke negara mereka bahkan sampai dengan nol persen.Namun demikian, penurunan bea masuk ini ternyata tidak serta merta menghilangkan hambatan dalam perdagangan dan memberikan kelancaran arus barang di antara negara-negara tersebut. Hal ini disebabkan masing-masing negara anggota WTO masih berupaya melindungi pasar dalam negerinya dan menghindari persaingan dengan produk impor. Upaya perlindungan tersebut diterjemahkan ke dalam berbagai kebijakan banyak diantaranya justru menjadi hambatan perdagangan baru (Kementerian Perdagangan 2013). Dalam pengertian luas, hambatan perdagangan dapat diartikan sebagai suatu bentuk tindakan (measure) yang mempengaruhi dan membatasi aliran bebas barang dan jasa di dalam perdagangan internasional. Dalam pengertian yang lebih sempit, hambatan perdagangan merupakan suatu bentuk tindakan (measure) yang diterapkan oleh suatu negara atau organisasi publik yang tidak sesuai dengan aturan-aturan internasional. Dalam praktek perdagangan internasional, terdapat berbagai hambatan dalam perdagangan yang dapat dibagi menjadi dua kelompok, hambatan tarif dan hambatan non tarif. Namun karena adanya batasan tarif yang
2
diberlakukan dalam perdagangan, membuat negara untuk melakukan tindakan/kebijakan non tarif. Salah satu tujuan dari kebijakan non tarif atau nontarif measures (NTM) adalah sebagai proteksi pada produsen domestik dalam menghadapi persaingan impor dengan produk asing. Penerapan non-tarif measures akan berdampak pada penurunan ekspor negara-negara yang melakukan perdagangan, sehingga akan mengurangi volume perdagangan serta akan menimbulkan potensial ekspor yang hilang. Penggunaan non-tarif measures oleh negara-negara di dunia meningkat tajam seiring dengan banyaknya kerjasama ekonomi di bidang liberalisasi tarif. Menurut International Trade Centre/ITC (2013) menyatakan bahwanon-tarif measures mendapat perhatian khusus dari eksportir dan importir di negara berkembang. Hal ini disebabkan non-tarif measures merupakan hambatan utama dalam perdagangan internasional dan dapat mencegah akses pasar. Sebagai perusahaan eksportir penting untuk mencari akses ke pasar luar negeri, dan sebagai perusahaan importir produk penting juga mematuhi berbagai persyaratan dalam perdagangan termasuk regulasi teknis, standar produk, dan prosedur kepabeanan. Pemerintah Indonesia telah meratifikasi pembentukan WTO melalui UU No. 7 tahun 1994. Dalam ratifikasi ini, Indonesia memiliki kewajiban untuk memenuhi semua perjanjian yang terkandung di dalamnya, termasuk Perjanjian Pertanian atau Agreement on Agriculture (AoA) yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari dokumen WTO. Perjanjian pertanian yang dibentuk oleh WTO ini semakin menunjukkan fokus dunia terhadap sektor pertanian. Karena sifatnya yang strategis, sejak awal sektor pertanian telah menjadi perhatian utama dalam negosiasi perdagangan WTO (Departemen Luar Negeri 2003). Perdagangan pertanian yang banyak dilakukan oleh negara baik ekspor maupun impor, mengharuskan setiap negara mempunyai daya saing dan proteksi pada sektor pertanian. Indonesia mempunyai keunggulan dan potensi sebagai negara agraris dengan banyaknya masyarakat yang bekerja pada sektor pertanian. Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan perekonomian di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang cukup besar yaitu sekitar 14.43% pada tahun 2013 dan menempati urutan kedua setelah sektor industri pengolahan (industri non migas) (BPS 2014). Pada saat krisis ekonomi, sektor pertanian merupakan sektor yang cukup kuat menghadapi goncangan ekonomi dan ternyata dapat diandalkan dalam pemulihan perekonomian nasional.
Sumber: Kementerian Perindustrian RI, 2014 Gambar 1 Nilai Ekspor Terbesar Sepuluh Kelompok Hasil Industri Periode 20072011
3
Sektor pertanian yang menjadi keunggulan Indonesia adalah subsektor perkebunan. Kontribusi subsektor perkebunan terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) sektor pertanian yaitu sebesar 1.93% pada tahun 2013 atau merupakan urutan ketiga di sektor pertanian setelah sub sektor tanaman bahan makanan dan perikanan (BPS 2014). Selain itu subsektor perkebunan juga merupakan penyedia bahan baku bagi sektor industri, penyerap tenaga kerja dan penghasil devisa. Salah satu komoditi produk pertanian yang berasal dari sub sektor perkebunan adalah kelapa sawit. Buah kelapa sawit terdiri dari daging dan biji. Daging kelapa sawit akan diolah menjadi minyak kelapa sawit mentah atau crude palm oil (CPO), sedangkan bijinya akan diolah menjadi minyak inti sawit atau palm kernel oil (PKO). Pengolahan tersebut dilakukan dalam beberapa tahap yaitu penimbangan, sortasi, pengumpulan buah, perebusan (sterilisasi), penebahan, pelumatan, penempaan, pengutipan minyak, pemurnian minyak dan penyimpanan minyak mentah berupa CPO. Oleh karena itu, CPO termasuk ke dalam produk pengolahan kelapa sawit. Selama bertahun-tahun, produksi minyak sawit global dan rantai pasokan telah dikembangkan, memasok minyak sawit dan turunannya ke berbagai industri dan konsumen (van Gelder 2004). Terdapat peningkatan permintaan secara signifikan dari waktu ke waktu, jumlah besar minyak sawit dikonsumsi di seluruh dunia, didistribusikan di seluruh dunia untuk berbagai produsen sebagai bahan untuk produk konsumen yang tak terhitung jumlahnya, seperti produk makanan, deterjen dan kosmetik, bahan kimia serta pakan ternak. CPO merupakan salah satu komoditi hasil perkebunan yang mempunyai peran cukup penting dalam kegiatan perekonomian di Indonesia dan merupakan salah satu komoditi ekspor Indonesia yang cukup penting sebagai penghasil devisa negara di luar minyak dan gas. Selain itu, peranannya membantu perekonomian Indonesia cenderung meningkat dari tahun ke tahun dilihat dari perkembangan ekspor minyak sawit. Pada produksi perkebunan besar di Indonesia menurut jenis tanaman, minyak sawit menempati urutan pertama yaitu sebesar 15 420.67 ton pada tahun 2012, diikuti dengan biji sawit, gula tebu dan karet kering (BPS 2014). Saat ini Indonesia merupakan negara produsen sekaligus eksportir CPO terbesar di dunia (USDA 2013). Pengembangan CPO berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi yang ditunjukkan oleh perkembangan investasi, output dan devisa. Industri berbasis kelapa sawit berkontribusi signifikan terhadap kesejahteraan dalam hal pendapatan dan aset. Sekitar Rp 5 juta – 11 juta atau lebih dari 63% pendapatan rumah tangga berasal dari usaha kelapa sawit. Peran dalam pengentasan kemiskinan tercermin dari jumlah penduduk miskin yang kurang dari 10% dari masyarakat yang mengusahakan kepala sawit (Susila 2004a; Oladipo 2008; World Growth 2009). Sektor ini juga berperan dalam menyediakan kesempatan kerja lebih dari 3.5 juta orang, menghasilkan devisa, menyediakan bahan baku kebutuhan industri minyak goreng nasional (sekitar 5 juta ton) (GAPKI 2010).
Nilai dalam ribu US $
4
20.000.000,00 18.000.000,00 16.000.000,00 14.000.000,00 12.000.000,00 10.000.000,00 8.000.000,00 6.000.000,00 4.000.000,00 2.000.000,00 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Sumber: UN COMTRADE, 2014 Gambar 2 Ekspor Komoditi CPO Indonesia dan Turunannya ke Dunia Pada Gambar 2 dapat diketahui bahwa nilai ekspor CPO Indonesia ratarata mengalami kenaikan setiap tahunnya, namun pada tahun 2009 dan 2013 mengalami penurunan. Menurut data Kementerian Pertanian, sepanjang tahun 2013 ini terjadi penurunan harga CPO yang disebabkan menurunnya permintaan secara global akibat dari melambatnya pertumbuhan ekonomi di beberapa negara, penurunan nilai tukar dan adanya beberapa kebijakan baru yang berpotensi menghambat di negara tujuan ekspor.
Sumber: International Trade Centre, 2012 Gambar 3 Perbandingan Tarif dan Ad Valorem Equivalents dari non-tariff measures yang Dikenakan terhadap Negara Pengekspor Gambar 3 menunjukkan bahwa penerapan non-tariff measures lebih banyak diterapkan pada sektor pertanian daripada sektor manufaktur, baik di negara-negara high income, middle income maupun low income. Dari World Trade Report (2012) diperoleh hasil penelitian yang menunjukkan bahwa technical barriers to trade dan sanitary and phytosanitary measures berdampak positif terhadap perdagangan bagi sektor yang berteknologi tinggi tetapi
5
berdampak negatif terhadap sektor pertanian. Dalam beberapa tahun terakhir komoditi CPO Indonesia mendapatkan perlakuan yang diskriminatif dari beberapa negara maju yang berdampak merugikan kepentingan Indonesia. Pangsa pasar terbesar komoditi kelapa sawit Indonesia adalah di India, Uni Eropa dan Cina. Tabel 1 Negara-negara Tujuan Ekspor Utama Komoditi CPO Indonesia (Nilai dalam US$) No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Negara tujuan ekspor India Uni Eropa Cina Malaysia Singapura Banglades Pakistan Mesir Ukraina Iran Rusia Myanmar Afrika Selatan Turki Vietnam Tanzania Arab Saudi Brazil Jordania Amerika Serikat Sri Lanka
ribu
2009
2010
2011
2012
2013
3,339,967 1,861,006 1,628,648 719,443 392,602 527,923 139,938 325,373 199,660 141,327 24,820 77,921 88,245 40,836 129,306 77,614 152,671 61,894 25,767
4,340,215 2,171,735 1,866,513 1,210,757 565,577 626,734 81,160 409,238 300,103 277,439 201,496 129,303 147,033 49,005 160,477 95,050 27,659 128,330 12,253
5,256,449 2,154,473 2,109,518 1,602,954 782,521 885,753 296,846 841,271 338,750 326,556 321,656 147,148 166,857 81,022 160,808 259,675 63,856 177,676 5,709
4,838,414 2,372,884 2,599,993 1,320,836 905,281 706,137 714,274 462,601 346,489 191,035 303,164 112,360 194,833 208,628 130,423 180,043 212,494 147,521 16,263
4,281,590 2,577,549 1,794,127 372,765 650,147 501,770 814,450 563,799 443,265 251,454 306,570 252,329 183,971 215,288 74,034 125,065 185,164 148,092 11,990
Trend (%) 20092013 6.24 7.68 5.39 -11.56 15.94 0.18 76.78 13.00 18.99 8.10 72.22 24.73 19.13 61.18 -12.39 17.27 27.44 20.73 -11.72
Trend (%) 20112013 -9.75 9.38 -7.78 -51.78 -8.85 -24.73 65.64 -18.14 14.39 -12.25 -2.37 30.95 5.00 63.01 -32.15 -30.60 70.29 -8.70 44.92
Trend (%) 20122013 -11.51 8.63 -30.99 -71.78 -28.18 -28.94 14.02 21.88 27.93 31.63 1.12 124.57 -5.58 3.19 -43.24 -30.54 -12.86 0.39 -26.27
67,265
32,899
33,015
38,548
297,440
36.77
200.15
671.61
3,673
9,707
29,622
10,624
23,092
45.75
-11.71
117.36
Sumber: TRADE MAP, diolah 2014 Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa data yang diperoleh dari trademap tercatat nilai ekspor komoditi kelapa sawit Indonesia ke India pada tahun 2013 mencapai nilai US$ 4.2 milyar atau merupakan negara tujuan utama ekspor pertama, kemudian diikuti oleh Uni Eropa, Cina, Malaysia, dan negara tujuan ekspor lainnya. Tren nilai ekspor dari beberapa tahun belakangan ini cenderung mengalami penurunan dan di beberapa negara tujuan ekspor menunjukkan nilai yang negatif. Salah satu penyebabnya yaitu saat ini banyak negara terutama negara maju yang memproteksi industri domestiknya dengan memberlakukan kebijakan atau regulasi non-tariff measures yang berpeluang untuk menjadi nontariff barrier yang dapat menghambat masuknya suatu produk ke negara tujuan ekspor. Oleh karena itu, upaya menembus pasar ekspor CPO pun masih mengalami hambatan dari negara tujuan ekspornya. Hal ini perlu dicermati karena komoditi CPO dan industri turunannya sangat potensial untuk terus tumbuh dan memiliki keunggulan komparatif bila dibandingkan dengan komoditas minyak nabati sejenis yang tidak hanya digunakan untuk bahan pangan tetapi juga untuk bahan bakar ramah lingkungan. Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Fadhil Hasan menjelaskan perdagangan komoditi ekspor ini menghadapi berbagai hambatan di beberapa negara tujuan ekspor, terutama dikaitkan dengan isu lingkungan, kesehatan dan HAM. Salah satunya yang sampai saat ini masih terus menjadi isu terhangat adalah dari Uni Eropa yang berpotensi
6
sangat merugikan kepentingan perdagangan Indonesia. Akibatnya, industri CPO akan kesulitan melakukan ekspansi dan atau mengalami penurunan daya saing jika hambatan tersebut tidak dihilangkan. Hambatan CPO Indonesia antara lain yaitu kampanye negatif, tarif antidumping terhadap biodiesel di Eropa, pelabelan makanan di Eropa, dan rencana tarif bea masuk khusus seperti yang diterapkan Perancis tahun 2013. Pemerintah harus fokus menghadapi hal ini karena seluruh negara Eropa menjadi tujuan ekspor CPO terbesar kedua Indonesia setelah India1. Tema kampanye anti-sawit yang semakin diperkuat dengan adanya tekanan yang diberikan kepada pelaku industri CPO, masih dikaitkan dengan isu perubahan iklim maupun kerusakan lingkungan secara umum. Hambatan tersebut semakin terstruktur dan sistematis, baik berupa regulasi atau kebijakan yang bersifat non-tariff measures dan mengarah pada technical barrier to trade (TBT), sanitary and phytosanitary (SPS), serta trade remedy (antidumping, subsidy, dan safeguard) maupun bersifat praktis melalui upaya penggalangan opini negatif terhadap peredaran dan penggunaannya. Hambatan-hambatan tersebut dibuat dengan berbagai alasan yang seringkali tidak berdasar bahkan terlihat sangat protektif dan diskriminatif terutama terhadap produk pesaing lokal (rapeseeds, sunflower, dan sebagainya). Rangkaian kampanye anti-sawit ini akan semakin sistematik yang tidak saja dilakukan oleh Non Government Organization (NGO) saja melainkan oleh group consumer tertentu dan beberapa negara di Uni Eropa serta diikuti juga oleh Amerika Serikat. Adanya peningkatan pemberlakukan standar baru dalam perdagangan CPO dan penerapan aturan yang berbentuk nontariff measures kemudian dapat berpeluang menjadi non-tariff barrier. Perumusan Masalah Cikal bakal kelapa sawit di Indonesia dimulai pada tahun 1848 saat empat bibit dibawa dari Afrika ke Kebun Raya Bogor kemudian dipindahkan ke Deli/Sumatera dan dikembangkan tahun 1911 oleh pedagang Belanda. Terjadi ekspansi besar-besaran perkebunan kelapa sawit di Indonesia dilakukan pada masa pemerintahan Presiden Suharto tahun 1990-an, perluasan perkebunan kelapa sawit ini berlanjut hingga pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Rencana Pembangunan Nasional Tahunan disusun berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM/2010-2014) yang fokus sektoral tahunannya disesuaikan dengan rencana besar pemerintah dalam bidang pertanian, yaitu kelapa sawit2. Kelapa sawit dianggap sebagai tanaman penghasil minyak (CPO) yang paling efisien dan sangat produktif dibandingkan dengan tanaman penghasil minyak lainnya. Menurut Hai (2004), kelapa sawit hanya membutuhkan 0.3 ha untuk menghasilkan 1 ton minyak sementara kedelai, bunga matahari dan rapeseed membutuhkan 2.17 ha, 1.52 ha dan 0.75 ha untuk menghasilkan jumlah yang sama. Kelapa sawit menghasilkan tujuh kali hasil minyak per hektar lebih tinggi dari kedelai, lima kali lebih tinggi dari bunga matahari dan 2.5 kali lebih 1
[GAPKI] Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia. 2014. Diplomasi Kelapa Sawit [Internet]. Kompas 14 Februari 2014; [diunduh 6 Mei 2014]. Tersedia pada: http://www.gapki.or.id/Page/NewsDetail?guid=8f33e88c-f7f5-49b2-ab468de6f349cb59 2
Prasaja H. 2010. Kebijakan Pangan: Menyempitnya Lahan Pangan Dan Dilema Perluasan Perkebunan Sawit Besar [Internet]. Serikat Petani Indonesia, 10 Desember 2010; [diunduh 2 September 2013]. Tersedia pada: http://www.spi.or.id/?p=3047
7
tinggi dari rapeseed. Dengan keunggulan komparatif ini, CPO juga sedang dipromosikan sebagai salah satu masukan penting untuk produksi biodiesel, dan dengan demikian merupakan sumber energi alternatif untuk bahan bakar fosil (Hai 2004). Di dalam Masterplan Perluasan dan Pengembangan Ekonomi Indonesia (MP3EI), pemerintah mengatakan telah menyusun rencana pembangunan jangka panjang industri CPO Indonesia yang memfokuskan pembangunan di empat wilayah: Dumai, Sei Mangkai, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur. Empat wilayah ini akan menjadi backbone industri perkebunan CPO dan produk turunannya. Di wilayah-wilayah itu akan dibangun pelabuhan-pelabuhan yang dibutuhkan agar CPO yang telah diolah dapat terjaga kualitasnya. Disisi lain, dunia usaha menyambut pesan Presiden RI agar Menteri Perdagangan memperhatikan CPOsebagai tulang punggung ekspor, sehingga diplomasi dan kampanye positif untuk memperluas ekspor CPO perlu diperkuat. Menjelang tahun 2015 seluruh negara anggota Eropa telah menyatakan hanya akan menerima CPO yang memiliki sertifikasi sustainable dan pasar CPO di Cina diprediksi mengecil seiring dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi Cina3. Crude palm oil (CPO) merupakan komoditas yang mempunyai nilai strategis. Salah satunya karena CPO merupakan bahan baku pembuatan minyak makan, sementara minyak makan merupakan salah satu dari sembilan kebutuhan pokok bangsa Indonesia. Permintaan pada minyak makan di dalam dan di luar negeri yang kuat dan terus meningkat merupakan indikasi pentingnya peranan komoditas CPO dalam perekonomian bangsa. Kebutuhan minyak nabati dan lemak dunia juga terus meningkat sebagai akibat dari pertumbuhan penduduk dan peningkatan pendapatan domestik bruto, agar kebutuhan tersebut terpenuhi maka pemerintah mendorong peningkatan pengusahaan kebun kelapa sawit (Pahan 2008). Industri CPO menjadi salah satu tulang punggung perekonomian Indonesia, dimana sekitar 4.5% GDP Indonesia pada 2012 berasal dari komoditas ini. Dengan permintaan global dan domestik yang terus meningkat yang ditunjukkan dengan tren kenaikan permintaan CPO untuk bahan bakar nabati selain fungsi tradisionalnya untuk bahan pangan, sehingga diperlukan praktik agribisnis yang berkelanjutan4. Namun, akibat adanya ekspansi besar-besaran tersebut kemudian muncul kampanye negatif dari LSM (lembaga sosial masyarakat) lingkungan hidup internasional, yang menyoroti isu pelanggaran lingkungan. Pada tahun 1990-an lalu CPO juga diterpa oleh isu produk yang mengganggu kesehatan karena diduga mengandung lemak jenuh dan kolesterol tinggi. Menurut GAPKI (2010) para LSM tersebut tak sadar telah ditunggangi oleh para produsen minyak nabati pesaing minyak sawit seperti minyak bunga matahari, minyak kedelai, rapeseed oil, dan sebagainya yang khawatir karena kelapa sawit lebih efisien. Produkproduk minyak nabati pesaing kelapa sawit tak mampu berkompetisi dengan produk minyak sawit. Pada tahun 2010 volume perdagangan CPO di dunia mencapai 34% dari volume dunia, padahal di era tahun 1990-an pasarnya hanya 3
Wisnu D. 2013. Tugas Besar Sawit Indonesia [Internet]. Koran SINDO, 4 Desember 2013; [diunduh 20 Desember 2013]. Tersedia pada: http://economy.okezone.com/read/2013/12/04/279/906917/tugas-besar-sawit-indonesia
4
Ruzuar A. 2014. ICOPE 2014: Konferensi Internasional Pengelolaan Sawit Bertanggung Jawab [Internet]. WWF; [diunduh 26 November 2013]. Tersedia pada: http://www.wwf.or.id/?31242/ICOPE-2014-Konferensi-InternasionalPengelolaan-Sawit-Bertanggung-Jawab
8
10%. Pangsa produksi kelapa sawit telah mencapai 34% di seluruh dunia, sementara soyabean (minyak kedelai) 30.1% selebihnya untuk produk minyak nabati lainnya seperti sunflower, cotton, rapeseed oil, groundnut, coconut, casto, dan sesame. Sedangkan dari sisi areal, luas area lahan CPO hanya 4.5% sedangkan soybean 40.5%. Dengan adanya ekspansi besar-besaran dan munculnya kampanye negatif tersebut maka diformulasikan menjadi suatu regulasi yang sifatnya menghambat perdagangan. Selain itu dalam beberapa tahun belakangan ini tren nilai ekspor CPO cenderung mengalami penurunan dan di beberapa negara tujuan ekspor menunjukkan nilai yang negatif. Banyak negara terutama negara maju yang memproteksi industri domestiknya dengan memberlakukan kebijakan atau regulasi non-tariff measures yang berpeluang untuk menjadi non-tariff barrier yang dapat menghambat masuknya suatu produk ke negara tujuan ekspor. Oleh karena itu, upaya menembus pasar ekspor CPO pun masih mengalami hambatan dari negara tujuan ekspor khususnya non-tariff measures yang berpotensi akan merugikan kepentingan perdagangan Indonesia. Akibatnya, industri CPO akan kesulitan melakukan ekspansi dan atau mengalami penurunan daya saing jika hambatan tersebut tidak dihilangkan. Penggunaan jenis non-tariff measures seperti technical barriers to trade (TBT) dan sanitary and phitosanitary (SPS) memiliki dampak perdagangan yang paling banyak diakui ataupun diterapkan oleh negara-negara maju. United Nations Conference on Trade Development/UNCTAD (2013) mengemukakan bahwa TBT dan SPS paling banyak diberlakukan oleh seluruh negara di dunia. Bentuk penerapan hambatan perdagangan lainnya yang dipergunakan oleh negara-negara WTO dalam rangka melindungi industri dalam negerinya adalah instrumen trade remedy berupa antidumping, subsidy dan tindakan safeguard. Langkah ini dinilai perlu dilakukan sebagai upaya strategi penyesuaian harga ekspor suatu barang sesuai dengan harga normal di dalam negeri, serta melakukan tindakan pengamanan untuk mencegah ancaman kerugian serius industri di dalam negeri. Penerapan instrumen trade remedy menjadi salah satu obat penyembuhan/pemulihan terhadap industri dalam negeri yang mengalami kemunduran sebagai akibat dari kekalahan dalam persaingan dagang dengan para kompetiter dari negara-negara pengekspor yang diantaranya disebabkan oleh praktek penjualan harga produk dibawah harga di dalam negeri (dumping), penjualan produk yang mengandung subsidi dari pemerintahnya (subsidy), serta melonjaknya produk impor di dalam negeri (safeguard) (Barutu 2007). Hambatan-hambatan yang diterapkan oleh negara-negara tujuan ekspor produk CPO mengharuskan Indonesia sebagai negara pengekspor memperhatikan persyaratan yang harus dipenuhi. Oleh karena itu, dampak dari non-tariff measures pada komoditi CPO menjadi penting dan memberikan ruang bagi peneliti untuk mengkaji lebih lanjut terkait permasalahan berikut ini: 1. Bagaimana daya saing komoditi CPO Indonesia terhadap negaranegara tujuan ekspor utamanya? 2. Bagaimana pemberlakuan non-tariff measures terhadap komoditi CPO di negara-negara tujuan ekspor utamanya? 3. Bagaimana dampak pemberlakuan non-tariff measures terhadap kinerja ekspor komoditi CPO dan produk turunannya?
9
Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan permasalahan pada uraian sebelumnya, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Menganalisis daya saing komoditi CPO Indonesia terhadap negaranegara tujuan ekspor utamanya. 2. Menganalisis pemberlakuan non-tariff measures terhadap komoditi CPO di negara-negara tujuan ekspor utamanya. 3. Menganalisis dan mengestimasi dampak pemberlakuan non-tariff measures terhadap ekspor komoditi CPO dan produk turunannya. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini antara lain yaitu: 1. Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan atau pertimbangan dalam pembuatan strategi pengembangan industri CPO nasional dan kebijakan perdagangan dalam bentuk non-tariff measures. 2. Bagi perusahaan, penelitian ini diharapkan bisa menjadi masukan dan pertimbangan dalam menentukan strategi kebijakan perusahaan dalam pengembangan industri CPO. 3. Penelitian ini juga diharapkan sebagai referensi bagi penelitian berikutnya. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup dari penelitian ini yaitu daya saing dan arus ekspor perdagangan Indonesia dengan 20 (dua puluh) negara mitra dagang tujuan ekspor utamanya yaitu India, Uni Eropa, Cina, Malaysia, Singapura, Banglades, Pakistan, Mesir, Ukraina, Rusia, Myanmar, Afrika Selatan, Turki, Vietnam, Tanzania, Arab Saudi, Brazil, Jordania, Amerika Serikat dan Srilanka. Iran dikecualikan karena belum masuk menjadi anggota WTO. Pada penelitian ini dikhususkan pada komoditi CPO dengan kode HS 1511 (4 digit). Periode waktu yang akan digunakan adalah tahun 2003-2013, karena CPO dinilai memiliki kinerja yang paling baik dan pangsa pasarnya terus meningkat dari sekitar 10% pada tahun 1970-an menjadi sekitar 28% pada tahun 2000-an. Oleh karena itu, CPO di pasar dunia memiliki daya saing untuk menggeser peran minyak nabati lainnya (Susila 1998; Basiron 2002). Non-tariff measures yang akan diestimasi pada penelitian ini dikhususkan pada Sanitary and Phytosanitary (SPS) dan Technical Barriers to Trade (TBT) untuk technical measures karena paling banyak digunakan oleh seluruh negara di dunia, serta instrumen trade remedy (antidumping, subsidy, dan safeguard) untuk non technical measures karena berdasarkan data di WTO bahwa antidumping juga paling banyak digunakan khususnya oleh negara-negara maju.
10
2 TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Teori dan Konsep Teori Perdagangan Internasional Perdagangan merupakan suatu proses pertukaran barang dan jasa yang dilakukan atas dasar suka sama suka, untuk memperoleh barang yang dibutuhkan. Dalam era globalisasi, perdagangan tidak hanya dilakukan dalam satu negara saja, bahkan dunia sudah memasuki perdagangan bebas. Hampir tidak ada satu negarapun yang tidak melakukan hubungan dengan negara lain (Dumairy 1997). Dalam perdagangan domestik para pelaku ekonomi bertujuan untuk memperoleh keuntungan dari aktivitas ekonomi yang dilakukannya. Demikian halnya dengan perdagangan internasional dimana setiap negara yang melakukan perdagangan bertujuan mencari keuntungan dari perdagangan tersebut. Selain motif mencari keuntungan, Krugman dan Obstfeld (2003) berpendapat bahwa pada dasarnya perdagangan internasional terjadi karena dua alasan utama, yaitu: a. Negara-negara berdagang karena mereka berbeda satu sama lain dan mereka akan mendapatkan keuntungan secara relatif dengan berdagang daripada dalam kondisi autarki (tertutup); b. Negara-negara berdagang dengan tujuan mencari skala ekonomi sehingga mencapai efisiensi produksi barang dan jasa. Px/ Py
Px/ Py
Panel A Pasar di Negara 1 untuk komoditi X
Panel C Pasar di Negara 2 untuk komoditi X Sx
P
A ”
P
Px/ Py
Panel B Hubungan Perdagangan Internasional dalam komoditi X
A ’
3
Sx
3
E *
Ekspor
S B’
E’
P B
2
E
B *
Impor D
P 1
A
Dx
A * X
X
X 0
Dx
0
0
Sumber: Salvatore, 1997 Gambar 4 Kurva Perdagangan Internasional Proses perdagangan internasional dari sisi keseimbangan parsial sehingga tercipta harga komoditi ekuilibrium dapat dijelaskan pada Gambar 4. Panel A memperlihatkan bahwa dengan adanya perdagangan internasional, negara 1 akan mengadakan konsumsi di titik A berdasarkan harga relatif komoditi X sebesar P1. Negara 2 akan berkonsumsi di titik A’ berdasarkan harga relatif P3. Setelah hubungan perdagangan berlangsung diantara kedua negara tersebut, harga relatif komoditi X akan berkisar antara P1 dan P3 seandainya kedua negara tersebut cukup besar kekuatan ekonominya. Apabila harga yang berlaku di atas P1, maka negara 1 akan memasok atau penawaran komoditi X lebih banyak daripada tingkat permintaan (konsumsi) domestik.
11
Kelebihan penawaran itu selanjutnya akan diekspor (lihat panel A) ke negara 2. Di lain pihak jika harga yang berlaku lebih kecil dari P3, maka negara 2 akan mengalami peningkatan permintaan sehingga tingkatnya lebih tinggi daripada penawaran domestiknya. Hal ini akan mendorong negara 2 untuk mengimpor kekurangan kebutuhannya atas komoditi X itu dari negara 1 (lihat panel C). Negara 1 mengalami kelebihan penawaran komoditi X (Panel A) karena Px/Py lebih besar dari P1, sehingga kurva penawaran ekspornya atau S mengalami peningkatan (Panel B). Dilain pihak, karena Px/Py lebih rendah dari P3, maka negara 2 mengalami kelebihan permintaan untuk komoditi X (Panel C) dan ini mengakibatkan permintaan impor negara 2 terhadap komoditi X atau D, mengalami kenaikan (Panel B). Panel B juga menunjukkan bahwa hanya pada tingkat harga P2 maka kuantitas impor komoditi X yang diminta oleh negara 2 akan persis sama dengan kuantitas ekspor yang ditawarkan oleh negara 1. P2 merupakan Px/Py atau harga relatif ekuilibrium setelah berlangsungnya perdagangan diantara kedua negara tersebut. Tapi jika Px/Py lebih besar dari P2 maka akan terdapat kelebihan penawaran ekspor komoditi X dan hal ini akan menurunkan harga relatifnya atau Px/Py, sehingga pada akhirnya harga itu akan bergerak mendekati atau sama dengan P2. Sebaliknya jika Px/Py lebih kecil daripada P2, maka akan tercipta kelebihan permintaan impor komoditi X yang selanjutnya akan menaikkan Px/Py sehingga akan sama dengan P2. Titik E adalah titik pertemuan antara jumlah barang yang diekspor dan jumlah barang yang diimpor, atau jumlah barang yang diperjualbelikan dalam perdagangan internasional. Konsep perdagangan bebas untuk pertama kali diperkenalkan oleh AdamSmith pada awal abad ke-19 dengan teori keunggulan absolut (absolute comparative). Teori Adam Smith kemudian disempurnakan oleh David Ricardo (1817) dengan model keunggulan komparatif (The Theory of Comparative Advantage). David Ricardo mengatakan bahwa keunggulan komparatif akan tercapai jika suatu negara mampu memproduksi barang dan jasa dengan biaya pengorbanan yang lebih murah daripada negara lain (Salvatore 2007). Perdagangan antara dua negara akan menguntungkan kedua belah pihak jika masing-masing negara memproduksi dan mengekspor produk yang keunggulan komparatifnya dikuasai. Teori klasik Ricardo tersebut selanjutnya dikembangkan oleh Heckscher-Ohlin (H-O) dengan The Theory of Factor Proportions (1949 – 1977). Model H-O mengatakan bahwa walaupun tingkat teknologi yang dimiliki sama, perdagangan internasional akan tetap terjadi bila ada perbedaan kepemilikan faktor produksi (factor endowment) diantara masing-masing negara. Satu negara dengan kepemilikan kapital berlebih akan berspesialisasi dan mengekspor komoditi padat kapital (capital-intensive goods), dan sebaliknya negara dengan kepemilikan tenaga kerja berlebih akan memproduksi dan mengekspor komoditi padat tenaga kerja (labor-intensive goods). Konsep Hambatan Perdagangan Para ekonom berpendapat bahwa perdagangan internasional adalah perdagangan yang baik, tetapi perdagangan bebas merupakan perdagangan yang terbaik. Perdagangan bebas (free trade) akan dapat memaksimalkan output dunia dan keuntungan bagi setiap negara yang terlibat di dalamnya. Namun kenyataannya hampir setiap negara masih menerapkan berbagai bentuk hambatan terhadap berlangsungnya perdagangan internasional secara bebas, adapun bentuk
12
hambatan perdagangan tersebut antara lain berupa hambatan tarif dan non tarif. Tarif adalah pungutan bea masuk yang dikenakan atasbarang impor yang masuk untuk dipakai atau dikonsumsi habis di dalam negeri (Hady 2004). Dengan kata lain, tarif merupakan pajak atau cukai yang dikenakan untuk suatu komoditi yang diperdagangkan lintas batas teritorial. Hambatan non tarif (non-tariff barrier) adalah suatu regulasi perdagangan selain tarif atau otoritas kebijakan untuk memproteksi negaranya dengan mengeluarkan batasan-batasan didalam perdagangan internasional (Sarfati 1998). Bentuk hambatan non tarif yang sering digunakan adalah kuota impor, pembatasan ekspor secara sukarela dan tindakan antidumping. Praktek perdagangan yang terjadi pada saat ini, pemerintah melakukan intervensi dalam perdagangan internasional dengan menggunakan instrumen kebijakan lainnya yang lebih kompleks yaitu kebijakan yang menyembunyikan motif proteksi. Instrumen kebijakan yang menonjol antara lain pemberian subsidi ekspor, pembatasan impor, konsep pengekangan ekspor secara sukarela (voluntary export restrain), dan persyaratan kandungan lokal (local contain requirement). Berbagai proteksi perdagangan non tarif ini dapat diturunkan menjadi serangkaian negosiasi perdagangan multilateral. Perkembangan hambatan non tarif ini kemudian memberikan ruang bagi WTO untuk mendisiplinkan penggunaaanya. WTO kemudian mendefinisikan kebijakan- kebijakan perdagangan non tarif dengan istilah non-tariff measures (NTM). Hambatan perdagangan non tarif atau proteksionisme baru semakin menonjol dan menjadi lebih penting dibanding tarif, sehingga ancamannya terhadap arus perdagangan internasional secara bebas juga lebih membahayakan (Salvatore 1997). Dampak Kebijakan Hambatan Non Tarif Kebijakan hambatan non tarif yang diberlakukan di hampir semua negara digunakan untuk melindungi sektor tertentu. Di negara maju, umumnya melindungi produk-produk pertanian dan negara berkembang melindungi produkproduk hasil manufaktur. Hambatan seperti kuota sering dimanfaatkan untuk memperbaiki neraca pembayaran pembayaran yang defisit. Pemberlakuan hambatan non tarif akan meningkatkan harga produk. Sehingga pada dasarnya proteksi terhadap perdagangan tersebut akan menguntungkan bagi produsen namun merugikan bagi konsumen dan pada akhirnya akan merugikan perekonomian secara keseluruhan (Salvatore 1997). Pembatasan impor dengan menerapkan kebijakan-kebijakan perdagangan akan mempengaruhi welfare. Wall (1999) mendeskripsikan dampak pembatasan impor dalam analisis keseimbangan parsial dengan mengilustrasikan supply dan demand suatu negara seperti terlihat dalam Gambar 5. Jika terjadi perdagangan bebas, barang yang diimpor akan berada pada harga dunia yaitu Pw. Negara akan mengkonsumsi sebesar QD0 dan produksi sebesar QS0. Jumlah yang akan diimpor dari negara lain sebesar QD0-QS0. Ketika ada proteksi impor maka harga akan meningkat menjadi PM. Sehingga negara tersebut akan produksi sebesar QS1 dan jumlah impor akan berkurang menjadi QD1-QS1. Konsumen akan dirugikan karena menanggung harga yang lebih mahal dan produsen diuntungkan dengan peningkatan produksi dengan harga tinggi. Surplus konsumen akan berkurang sebesar area A+B+C+D. Area A
13
merupakan surplus konsumen yang ditranfer ke produsen. Area B dan D adalah dead weight loss (DWL) yang merupakan kerugian perekonomian. Area C tidak merepresentasikan penerimaan pemerintah dari tarif karena pembatasan impor bukan berasal dari kebijakan tarif melainkan kebijakan non tarif. Area ini diukur sebagai quota rent. Jika tidak ada peningkatan pemerintah yang berasal dari quota rent ini maka quota rent akan didapat oleh produsen negara lain. Sehingga C direpresentasikan sebagai net welfare loss to economy. Penerimaan dapat meningkat melalui penjualan lisensi kuota. Sehingga dengan menggunakan θ yang mencerminkan share dari quota rent maka total net welfare loss dari pembatasan impor sebesar B+D+(1- θ)C.
Sumber : Wall, 1999 Gambar 5 Dampak Kebijakan Pembatasan Impor terhadap Welfare Non-Tariff Measures UNCTAD mulai mengumpulkan dan mengklasifikasikan non-tariff barriers (NTB) berdasarkan Coding System of Trade Control Measures (TCMCS). Coding system ini kemudian mengklasifikasikan tariffs, para-tariffs, dan non-tariff measures (NTM) ke dalam 100 sub kategori sejak tahun 1994. Coding system ini kemudian digunakan untuk membangun database NTM yang disebut database Trade Analysis and Information System (TRAINS). Kerja sama yang dilakukan oleh UNCTAD dan World Bank telah mengembangkan TRAINS menjadi system yang dapat diakses oleh peneliti-peneliti di dunia melalui aplikasi software yang disebut World Integrated Trade Solution (WITS). Berdasarkan kategori klasifikasi utama oleh UNCTAD yang dapat dibedakan antara inti non-tariff measures seperti tingkat tarif kuota dan pajak ekspor, dan langkah-langkah tradisional lainnya, maka fokus utama non-tariff measures adalah kebijakan perdagangan.
14
Tabel 2 Klasifikasi Non-Tariff MeasuresUNCTAD Kode 3000
4000
5000
6000
7000
8000
Deskripsi Price Control Measures 3100 Administrative Pricing 3200 Voluntary Export Price Restraint 3300 Variable Charges 3400 Antidumping Measures 3500 Countervailing Measures 3900 Price Control Measures N.E.S. Finance Measures 4100 Advance Payment Requirements 4200 Multiple Exchange Rates 4300 Restrictive Official Foreign Exchange Allocation 4500 Regulations Concerning Terms of Payment for Import 4600 Transfer Delays, Queuing 4900 Finance Measures N.E.S. Automatic Licensing Measures 5100 Automatic License 5200 Import Monitoring 5700 Surrender Requirement 5900 Automatic Licensing Measures N.E.S. Quantity Control Measures 6100 Non-Automatic Licensing 6200 Quotas 6300 Prohibitions 6600 Export Restraint Arrangements 6700 Enterprise-Spesific Restrictions 6900 Quantity Control Measures N.E.S. Monopolistic Measures 7100 Single Channel for Imports 7200 Compulsory National Services 7900 Monopolistic Measures N.E.S. Technical Measures 8100 Technical Regulations 8200 Pre-Shipment Inspection 8300 Special Customs Formalities 8400 Return Obligation 8900 Technical Measures N.E.S.
Sumber: UNCTAD 2005 Dari Tabel 2 dapat diketahui bahwa klasifikasi non-tariff measures berdasarkan UNCTAD dibagi menjadi enam kategori utama yaitu price control measures; finance measures; automatic licensing measures; quantity control measures; monopolistic measure; dan technical measures. Kemudian klasifikasi non-tariff measures yang disusun oleh UNCTAD terbagi menjadi dua bagian utama yaitu core measures dan non core measures. Core measures berkaitan dengan tujuan untuk melindungi produsen domestik, sedangkan non core measures bertujuan untuk melindungi konsumen domestik. Klasifikasi core dan non core measures dapat dilihat pada Gambar 6.
15
Sumber : Basu et al, 2009 Gambar 6 Klasifikasi Non-Tariff Measures berupa Core dan Non Core Measures Kebijakan non tarif dalam perdagangan internasional di era globalisasi telah mengalami perkembangan dan terjadi sesuai dengan kondisi beberapa tahun terakhir dalam membuat metodologi klasifikasi, penghitungan dan pengumpulan data non-tariff measures. Oleh karena itu, pada tahun 2006 dibentuk tim yang diberi nama Multi-Agency Support Team (MAST) oleh Sekretariat General Established the Group of Eminent Persons on Non-Tariff Barriers (GNTB) untuk menyusun dan memperbaiki klasifikasi, penghitungan dan pengumpulan data nontariff measures. Definisi dari non-tariff measures (NTM) yang ditetapkan menurut UNCTAD (2013) adalah kebijakan-kebijakan selain tarif yang secara potensial dapat memiliki pengaruh ekonomi pada perdagangan komoditi internasional, dengan mengubah kuantitas perdagangan atau harga atau keduanya.
Sumber: UNCTAD, 2013 Gambar 7 Klasifikasi Baru Non-Tariff Measures
16
Pada Gambar 7 terdapat penambahan beberapa cabang baru dari klasifikasi non-tariff measures yang secara garis besar dibagi menjadi 2 (dua) bagian pokok yaitu import measures (berupa technical measures dan non technical measures) dan export measures (berupa export related measures). Untuk technical measures terdiri dari sanitary and phytosanitary measures, technical barriers to trade, dan pre-shipment inspection and other formalities. Sedangkan untuk non technical measures terdiri dari contingent trade-protective measures, non-automatic licensing; quota; prohibitions and quantity-control measures other than for SPS or TBT reasons, price-control measures including additional taxes and charges, finance measures, measures affecting competition, trade-related investment measures, distribution restrictions, restrictions on postsales services, subsidies, government procurement restrictions, intellectual property, dan rules of origin. Klasifikasi baru dari non-tariff measures ini terlihat perbedaannya dengan klasifikasi non-tariff measures sebelumnya yaitu penambahan beberapa jenis nontariff measures yang lebih spesifik khususnya yang terkait dengan non technical measures, serta adanya penambahan dasar klasifikasi terkait export measures. Sanitary and Phytosanitary (SPS) dan Technical Barriers to Trade (TBT) Sanitary and Phytosanitary (SPS) dan Technical Barriers to Trade (TBT) merupakan bagian dari technical measures. Kebijakan SPS termasuk peraturan dan pembatasan dengan tujuan untuk melindungi manusia, hewan atau tumbuhan hidup atau kesehatan. Sementara untuk TBT membahas mengenai semua peraturan teknis lainnya, standar dan prosedur penilaian kesesuaian yang diberlakukan bukan dengan tujuan perdagangan. Menurut UNCTAD (2013) definisi dari sanitary and phytosanitary measures merupakan tindakan-tindakan yang diterapkan untuk melindungi kehidupan manusia atau hewan dari risiko yang timbul dari adanya zat adiktif, pencemaran, racun atau organisme penyebab penyakit yang terdapat dalam makanan mereka. Bertujuan untuk melindungi manusia, tumbuhan hidup atau hewan dari hewan yang membawa penyakit; untuk melindungi hewan atau tanaman dari hama, penyakit atau organisme penyebab penyakit. Selain itu, untuk mencegah atau membatasi kerusakan lainnya terhadap suatu negara dari masuknya, pembentukan atau penyebaran hama, dan melindungi keanekaragaman hayati. Hal ini termasuk tindakan yang diambil untuk melindungi kesehatan dari ikan dan fauna liar, serta hutan dan tumbuhan liar. MenurutAgreement on the Application of Sanitary and Phytosanitary Measures (SPS Agreement), setiap negara anggota WTO diberi kewenangan untuk menerapkan tindakan (measures) dalam rangka melindung kesehatan dan kehidupan manusia, hewan atau tumbuhan, dalam bentuk: (1) melindungi kehidupan dan kesehatan hewan dan tumbuhan di dalam wilayah negara anggota dari berbagai resiko yang muncul akibat masuk, berkembang atau menyebarnya hama, penyakit, serta penyakit yang dibawa oleh organisme tertentu; (2) untuk melindungi kehidupan dan kesehatan manusia atau hewan di dalam wilayah negara anggota dari berbagai resiko yang muncul dari adanya zat aditif, kontaminan, racun atau organisme penyebab penyakit yang ada pada makanan, minuman atau bahan makanan lainnya; (3) untuk melindungi kehidupan atau kesehatan manusia di wilayan negara anggota dari berbagai resiko yang muncul
17
dari penyakit yang dibawa oleh hewan, tumbuhan atau produk turunannya, atau akibat dari masuk, berkembang atau menyebarnya hama; serta (4) untuk mencegah atau membatasi kerusakan di dalam wilayah negara anggota akibat dari masuk, berkembang dan menyebarnya hama. Berbagai tindakan ini disebut dengan Sanitary and Phytosanitary Measures (SPS measures). Dalam prakteknya, SPS Measures dapat berbentuk: seluruh ketentuan, regulasi persyaratan dan prosedur terkait yang relevan, termasuk antara lain adalah kriteria produk akhir (end-product); metode proses dan produksi; prosedur pengujian, inspeksi, sertifikasi dan persetujuan; penanganan karantina; pengawasan terhadap metode statistik, prosedur sampling dan metode penilain resiko yang relevan; serta persyaratan pengemasan dan pelabelan yang secara langsung terkait dengan keamanan makanan. Sesuai dengan SPS Agreement, dalam pelaksanaannya negara anggota WTO harus mengikuti sejumlah aturan ketika menerapkan dan melakukan tindakan SPS, yaitu prinsip ilmiah (scientific), prinsip ekuivalensi, harus sesuai dengan standar internasional, prinsip transparansi, prinsip kesesuaian (conformity), minimalisasi dampak terhadap perdagangan dan regionalisasi penyakit hewan dan tumbuhan. Jika penerapan dan pelaksanaan tindakan SPS tidak berdasarkan bukti-bukti ilmiah dan tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah disebutkan, maka tindakan tersebut dalam dianggap sebagai bentuk hambatan perdagangan. Sedangkan menurut UNCTAD (2013) definisi technical barriers to trade (TBT) adalah tindakan yang mengacu pada regulasi teknis, dan prosedur penilaian kesesuaian dengan peraturan teknis dan standar, termasuk langkah-langkah yang tercakup dalam perjanjian SPS. Regulasi teknis merupakan dokumen yang menetapkan karakteristik produk atau yang terkait dengan proses dan cara produksinya, termasuk yang berlaku dalam ketentuan administratif. Hal ini juga dapat mencakup simbol, pengemasan, penandaan atau pelabelan seperti yang digunakan pada produk, proses atau cara produksi. Prosedur penilaian kesesuaian adalah prosedur yang digunakan, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk menentukan bahwa persyaratan relevan dalam peraturan teknis atau memenuhi standar, yang mungkin mencakup antara lain prosedur pengambilan sampel, pengujian dan inspeksi, evaluasi, dan sebagainya. Menurut Agreement on Technical Barriers to Trade (TBT Agreement), setiap negara anggota World Trade Organization (WTO) diberi kewenangan untuk memformulasikan dan menerapkan regulasi teknis, menetapkan standar dan membangun sistem penilaian kesesuaian (conformity assessment system) dalam rangka melindungi kepentingan nasional atau kawasan, melindungi kesehatan dan kehidupan manusia, hewan dan tumbuhan, melindungi lingkungan, menghindari tindakan penipuan, dan menjamin kualitas produk yang diimpor. Tindakan tersebut biasa disebut dengan TBT Measures.TBT Agreement mempunyai sejumlah prinsip dalam penerapannya, yaitu meminimalkan dampak terhadap perdagangan, prinsip-prinsip non-diskriminasi, sesuai dengan standar internasional, kesamaan (equivalency) dari regulasi teknis, kesepahaman terhadap CAP serta prinsip transparansi. Penggunaan SPS dan TBT ini dilihat sebagai bentuk proteksionisme yang terselubung. Meningkatnya notifikasi SPS dan TBT serta potensi penggunaannya sebagai cara proteksionis dapat menjadi sumber sengketa perdagangan antar
18
negara. Sengketa yang banyak terjadi terdapat pada ketentuan SPS dibandingkan dengan ketentuan TBT.
Trade Remedy (antidumping, subsidy, dan safeguard) Antidumping, subsidy, dan safeguard merupakan bagian dari non technical measures (termasuk ke dalam contingent trade-protective measures) sekaligus tiga instrumen kebijakan pengamanan perdagangan yang diakui oleh negara-negara anggota WTO dan mereka diperkenankan untuk menggunakan instrumen tersebut untuk melindungi industri dalam negerinya dari persaingan curang yang dapat menghancurkan dan merusak tatanan sistem perdagangan yang fair (Barutu 2007). Tindakan antidumping diberlakukan terhadap tindakan menjual suatu barang di pasar luar negeri dengan harga yang lebih rendah dari harga di pasar domestik, dimana selanjutnya pemerintah negara pengimpor dapat mengenakan bea masuk antidumping untuk menutupi kerugian sebagai dampak dari dumping tersebut. Demikian pula mengenai tindakan subsidy, dimana produk dijual dengan harga murah karena mendapat subsidi oleh negara pengekspor. Pada prinsipnya tindakan subsidy dilarang jika hal itu dapat menimbulkan persaingan yang tidak sehat dan menimbulkan kerugian bagi negara pengimpor, sehingga negara pengimpor dapat memberlakukan tindakan imbalan (countervailing measures) terhadap produk yang dituduh mendapat subsidi dari negara pengekspor. Kedua instrumen ini baik antidumping maupun subsidy digolongkan sebagai instrumen untuk mencegah terjadinya perdagangan yang curang yang dapat menimbulkan kerugian yang serius (serious injury) terhadap industri dalam negeri (domestic industry) di negara pengimpor. Dalam WTO keberadaan ketentuan antidumping diatur dalam Agreement on Implementation of Article VI of the GATT 1994 yang dikenal dengan nama Antidumping Agreement (ADA). Sedangkan untuk subsidy diatur dalam Agreement on Subsidies and Countervailing Measures. Dalam persetujuan ini diatur cara dan mekanisme untuk melakukan investigasi dan jangka waktu pengenaan antidumping dan countervailing yang bertujuan untuk mengatur agar negara-negara pengguna instrumen ini tidak melakukan praktik penyalahgunaan instrumen tersebut untuk melakukan proteksi yang berlebihan serta tidak perlu yang dapat menimbulkan ketidakpastian dalam perdagangan internasional. WTO mengatur mengenai masalah safeguard dalam Agreement on Safeguard. Safeguard tidak ada kaitannya dengan praktik antidumping dan subsidy, tetapi beredarnya barang impor yang masuk ke pasar domestik telah mengakibatkan terjadinya kerugian (injury) terhadap industri serupa di dalam negeri. Oleh karena itu, perbedaan antara antidumping, antisubsidy dan safeguard terletak pada dasar pertimbangan pengenaan instrumen tersebut. Menurut catatan WTO dari ketiga instrumen ini, tindakan antidumping merupakan tindakan yang paling sering digunakan untuk memberikan perlindungan terhadap industri dalam negeri (Barutu 2007). Zhou et al. (2009) menganalisis kecenderungan tindakan antidumping yang menargetkan wilayah Asia Timur dan menjelaskan faktor-faktor penentu dalam makro ekonomi dari tindakan antidumping Uni Eropa terhadap negara-
19
negara Asia Timur yaitu China, Jepang, Korea, Hong Kong dan Taiwan. Pada periode 1991-2003, negara-negara Asia Timur menyumbang 32% dari jumlah total 394 investigasi/tindakan antidumping yang diprakarsai oleh Uni Eropa. Dalam hal ini, Cina dan Jepang adalah target yang paling populer oleh investigasi antidumping Uni Eropa. Hasil estimasi secara empiris bahwa determinan makro ekonomi (exchange rate, pertumbuhan GDP, dan tingkat pengangguran) secara signifikan mempengaruhi inisiasi antidumping terhadap negara tertentu dalam tahun tertentu. Di samping itu, struktur persaingan yang terus berubah dan lingkungan dalam perdagangan internasional juga memainkan peran dalam mendorong tindakan antidumping, dan negara-negara yang merupakan sumber impor besar bagi Uni Eropa mungkin akan lebih terkena dampak dengan tindakan antidumping tersebut. Tinjauan Empiris Andriamananjara et al. (2003) menganalisis metode estimasi non-tariff measuresprice gapsdan juga menggunakan CGE untuk mengestimasi dampak ekonomi secara keseluruhan (trade, production dan welfare) dari penghapusan non-tariff measures terhadap produk alas kaki, pakaian dan makanan olahan di wilayah regional di dunia seperti Asia Timur, Australia dan New Zealand, Uni Eropa, Mercusor, dan sebagainya. Hasil penelitian tersebut menjelaskan bahwa liberalisasi non-tariff measures mendorong peningkatan yang besar terhadap perdagangan dunia dan meningkatkan global welfare. Disdier et al. (2008) meneliti dampak regulasi dari perdagangan sektor pertanian terkait dengan SPS dan TBT Agreements dengan menggunakan model Gravity. Penelitian ini menggunakan inventory approach untuk mengukur perdagangan di sektor pertanian, dan melihat apakah SPS dan TBT measures mempengaruhi arus perdagangan serta bagaimana dampaknya bagi negara pengekspor. Hasilnya menyimpulkan bahwa SPS dan TBT measures secara signifikan mengurangi ekspor negara-negara berkembang ke negara-negara OECD tapi tidak mempengaruhi arus perdagangan antara negara anggota OECD. Fassarella et al. (2011) mengkaji dampak dari sanitary dan technicalmeasures terhadap ekspor daging unggas asal Brazil. Dengan menggunakan data bilateral antara Brazil dan negara mitra dagang utama periode 1996-2009, hasil dari model gravity dengan estimasi fixed effect model menunjukkan bahwa dampak SPS dan TBT measures terhadap ekspor daging unggas Brazil adalah ambigu. Adanya peraturan teknis dan sanitasi yang berkaitan dengan pelabelan mungkin merangsang perdagangan terhadap produk daging unggas tersebut, sementara itu peraturan terkait penyesuaian muncul untuk mengurangi volume ekspor daging unggas Brazil. Hasil ini menunjukkan pentingnya dalam mempertimbangkan karakteristik yang berbeda serta isi peraturan untuk menganalisis dampak dari SPS dan TBT measures dalam perdagangan. Gonel et al. (2012) meneliti tentang pengaruh standar internasional pada arus ekspor Turki ke negara Uni Eropa. Penelitian ini bertujuan untuk menginvestigasi dampak standar internasional pada arus ekspor Turki ke negara UE. Turki telah secara positif bersama anggota perjanjian Custom Union dengan Uni Eropa dengan tanpa menjadi anggota UE dan perdagangan secara intensif
20
dengan anggota inti persatuan tersebut. Penelitian ini menggunakan data sertifikasi ISO 9000 sebagai pendekatan untuk standar internasional. Penelitian ini mengadopsi model gravity dengan sampel dari negara-negara Uni Eropa 15 (EU15). Penelitian ini menggunakan panel gravity. Hasil dari penelitian ini menyarankan adopsi ISO 9000 di promosi ekspor Turki ke negara mitra dagang Eropa yang mungkin diindikasi dari signal kualitas produk yang tinggi. Fugazza (2013) menganalisis bahwa jumlah pemberlakuan non-tariff measures di dunia terkait regulasi teknis telah meningkat selama dua dekade terakhir ini. Kemudian menjelaskan perbedaan antara TBT dan SPS measures ditemukan untuk menghasilkan efek perdagangan yang berbeda, baik bagi eksporter maupun industri. Metode estimasi yang sering digunakan adalah inventory, price comparison dan quantity impact. Hasil dari penelitian ini dapat membantu mengidentifikasi apakah tindakan (measures) tersebut sah dan masuk akal, atau pada dasarnya telah diimplementasikan hanya untuk tujuan proteksi. Bratt (2014) meneliti tentang dampak non-tariff measures terhadap arus perdagangan dapat berbeda antara masing-masing negara dengan menggunakan prosedur Heckman two-stage dari model gravity yang memasukkan variabel comparative advantage. Variabel tersebut terdiri dari factor endowments dari masing-masing negara mitra dagang dan menghasilkan country-spesific effects dari non-tariff measures. Hasilnya kemudian diubah ke dalam ad-valorem equivalents (AVEs), dan menjelaskan bahwa sejumlah non-tariff measures tidak menghambat perdagangan namun untuk sebagian besar kasus dampaknya secara keseluruhan terhadap perdagangan adalah negatif. Kerangka Pemikiran Negara-negara anggota WTO sepakat untuk menurunkan bea masuk terhadap produk-produk impor yang masuk ke negara mereka bahkan sampai dengan nol persen.Namun demikian, penurunan bea masuk ini ternyata tidak secara langsung menghilangkan hambatan dalam perdagangan dan memberikan kelancaran arus barang di antara negara-negara tersebut. Hal ini disebabkan masing-masing negara anggota WTO masih berupaya melindungi pasar dalam negerinya dan menghindari persaingan dengan produk impor. Upaya perlindungan tersebut diterjemahkan ke dalam berbagai kebijakan, namun banyak diantaranya justru menjadi hambatan perdagangan baru. Karena sifatnya yang strategis, sejak awal sektor pertanian telah menjadi perhatian utama dalam negosiasi perdagangan WTO. Perdagangan pertanian yang banyak dilakukan oleh negara baik ekspor maupun impor, mengharuskan setiap negara mempunyai daya saing dan proteksi pada sektor pertanian.Pada saat krisis ekonomi, sektor pertanian merupakan sektor yang cukup kuat menghadapi goncangan ekonomi dan ternyata dapat diandalkan dalam pemulihan perekonomian nasional. Salah satu sektor pertanian yang menjadi keunggulan Indonesia adalah subsektor perkebunan khususnya komoditi CPO. Namun demikian, perdagangan komoditi ekspor CPO Indonesia menghadapi berbagai hambatan di beberapa negara tujuan ekspor utamanya khususnya non-tariff measures terutama dikaitkan dengan isu lingkungan dan kesehatan yang berpotensi akan merugikan kepentingan perdagangan Indonesia. Jenis non-tariff measures yang paling banyak digunakan khususnya di negara-nagara maju adalah TBT (standar,
21
peraturan teknis lainnya, dan prosedur penilaian kesesuaian) dan SPS (peraturan dan pembatasan dengan tujuan untuk melindungi manusia, hewan atau tumbuhan hidup atau kesehatan), selain itu bentuk penerapan hambatan perdagangan lainnya yang dipergunakan oleh negara-negara WTO dalam rangka melindungi industri dalam negerinya yaitu instrumen trade remedy berupa antidumping, subsidy dan tindakan safeguard. Dalam hal ini yang berkaitan dengan komoditi kelapa sawit dan produk turunannya yang berasal dari Indonesia. Analisis yang digunakan yaitu model gravity dan penelitian ini akan menghasilkan implikasi kebijakan yang terkait dengan perdagangan sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah.
Instrumen kebijakan perdagangan antara Indonesia sebagai negara produsen sekaligus eksportir CPO terbesar di dunia dengan negara-negara tujuan ekspor utama
Kebijakan Perdagangan
Analisis daya saing komoditi CPO
Tarif
Non-tariff measures
Implementasi non-tariff measures pada komoditi CPO Revealed Comparative Advantage (RCA)
SPS, TBT, Trade Remedy
Model Gravity
Dampak non-tariff measures terhadap ekspor CPO
Implikasi Kebijakan Gambar 8 Kerangka Pemikiran Hipotesis Penelitian Hipotesis yang dibuat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. GDP riil suatu negara berhubungan positif dengan arus ekspor.
22
2. Biaya perdagangan antar negara dagang dengan proxy pada jarak berhubungan negatif dengan arus ekspor. Semakin besar biaya perdagangan maka akan mengurangi arus perdagangan kedua negara. 3. Populasi berpengaruh positif dengan arus ekspor. Adanya pertambahan populasi pada negara pengimpor akan meningkatkan jumlah produk yang dapat diekspor karena adanya pertambahan konsumsi di negara tersebut. 4. Nilai tukar riil rupiah terhadap mata uang negara tujuan ekspor berpengaruh positif terhadap arus ekspor Indonesia ke negara tujuan ekspor utamanya. 5. Non-tariff measures (berupa sanitary and phytosanitary (SPS), technical barriers to trade (TBT) dan trade remedy (antidumping, subsidy, safeguard) yang diberlakukan pada suatu produk di suatu negara berhubungan negatif terhadap arus perdagangan ekspor.
3 METODE Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang berasal dari berbagai sumber antara lain WTO, World Bank (World Development Indicators), Trademap, CEPII, Fx Sauder, Kementerian Perdagangan RI, publikasi internasional dan sumber lainnya. Rincian data yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Jenis dan Sumber Data yang Digunakan No
Data
1
Non-tariff measures
2 3 4 5 6 7
GDP Ekspor/Impor Jarak Populasi Nilai Tukar IHK
Sumber WTO dan Kementerian Perdagangan RI WDI TRADE MAP CEPII WDI Fx Sauder WDI
Satuan
Juta US $ Juta US $ Km Jiwa Rp/LCU
Metode Analisis Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pendekatan dengan menggunakan Revealed Comparative Advantage (RCA) untuk analisis daya saing ekspor dan menjawab permasalahan yang pertama. Sedangkan untuk menganalisis pemberlakuan non-tariff measures adalah dengan menggunakan pendekatan dalam menghitung jumlah pemberlakuan non-tariff measures (incidence of non-tariff measures) dan binary variable, serta untuk menjawab permasalahan yang kedua. Selanjutnya untuk menjawab permasalahan ketiga akan dilakukan analisis dampak pemberlakuan non-tariff measures terhadap kinerja
23
ekspor pertanian pada komoditi CPO Indonesia dengan menggunakan data panel model gravity.
Analisis Revealed Comparative Advantage (RCA) Untuk menganalisis tingkat daya saing komoditi CPO Indonesia dengan negara-negara tujuan ekspor utamanya, menggunakan nilai Revealed Comparative Advantage (RCA). Nilai RCA adalah indikator yang bisa menunjukkan perubahan keunggulan komparatif atau perubahan tingkat daya saing industri suatu negara di pasar global (Kuncoro 1997). Nilai RCA juga menunjukkan keunggulan komparatif atau daya saing ekspor dari suatu negara dalam suatu komoditas terhadap dunia (Tambunan 2001). Sehingga secara matematis penelitian ini akan tetap menggunakan rumus RCA dengan modifikasi sebagai berikut: RCA = Dimana: Xpq Xp Wpq Wp
= = = =
(3.1)
Nilai ekspor komoditas q dari Indonesia ke negara p Nilai ekspor total (produk q dan lainnya) dari Indonesia ke negara p Nilai ekspor komoditas q dunia ke negara p Nilai ekspor total dunia ke negara p
Jika nilai RCA suatu negara untuk komoditas tertentu adalah lebih besar dari 1 (satu), maka negara bersangkutan memiliki keunggulan komparatif di atas rata-rata dunia untuk komoditas tersebut. Sebaliknya, bila lebih kecil dari 1 (satu), berarti keunggulan komparatif untuk komoditi tersebut tergolong rendah, di bawah rata-rata dunia. Semakin besar nilai RCA, semakin tinggi pula tingkat keunggulan komparatifnya. Binary Variable Untuk mengevaluasi pemberlakuan non-tariff measures terhadap komoditi CPO di negara-negara tujuan ekspor utamanya, yang berarti mengestimasi dampak non-tariff measures pada level produk maka variabel dummy banyak digunakan dalam penelitian (Demaria et al. 2011). Variabel dummy dalam penelitian ini digunakan untuk non-tariff measures yang berupa SPS, TBT dan trade remedy negara pengimpor j pada negara pengekspor i pada tahun t. Dummy non-tariff measures bernilai 1 jika terdapat setidaknya satu nontariff measures berlaku dan bernilai 0 jika tidak ada non-tariff measures yang berlaku. Dengan menggunakan pendekatan binary variable, hal pertama yang dilakukan adalah menginventarisasi kebijakan-kebijakan non tarif khususnya SPS, TBT dan trade remedy yang dilakukan oleh setiap negara-negara tujuan ekspor utama komoditi CPO Indonesia. Selanjutnya menerapkan binary variable (variabel dummy) pada ketiga jenis non-tariff measures tersebut berdasarkan periode waktu yang disesuaikan dengan ketersediaan data.
24
Hal ini dimungkinkan untuk menggunakan binary variable atau discrete variable yang sering menjadi karakter non-tariff measures dalam pendekatan gravitasi. Oleh karena itu, memasukkan non-tariff measures secara eksplisit ke dalam model akan lebih berguna, bahkan jika hanya sebagai variabel dummy, daripada tidak mengikutsertakan non-tariff measures sebagai alasan untuk errors yang tidak dapat dijelaskan dalam estimasi model (Bellanawithana dan Wijerathne 2009).
Analisis Ekonometrik Data Panel Model Gravity Analisis Data Panel Data panel adalah data yang memiliki dimensi ruang dan waktu, yakni kombinasi antara data cross section yang sama diobservasi menurut waktu atau time series (Gujarati 2004). Jika setiap unit cross section memiliki jumlah observasi time series yang sama maka disebut sebagai balanced panel. Sebaliknya, jika jumlah observasi berbeda untuk setiap unit cross section maka disebut unbalanced panel. Keunggulan dari penggunaan data panel dalam analisis ekonometrik antara lain: (i) mampu mengontrol heterogenitas individu; (ii) memberikan informasi yang lebih banyak dan beragam, meminimalkan masalah kolinieritas (collinearity), meningkatkan jumlah derajat bebas dan lebih efisien; (iii) lebih baik dalam studi dynamics of adjustment; (iv) lebih baik dalam mengidentifikasi dan mengukur efek yang tidak dapat dideteksi oleh data cross section atau time series murni; dan (v) dapat digunakan untuk mengonstruksi dan menguji model perilaku yang lebih kompleks dibandingkan data cross section atau time series murni (Baltagi 2005). Namun demikian, analisis data panel juga memiliki beberapa kelemahan dan keterbatasan dalam penggunaannya, khususnya apabila data panel dikumpulkan atau diperoleh dengan metode survei. Permasalahan tersebut antara lain: (i) relatif besarnya data panel karena melibatkan komponen cross section dan time series menimbulkan masalah desain survei, pengumpulan dan manajemen data, di antaranya coverage, nonresponse, kemampuan daya ingat responden (recall), frekuensi, dan waktu wawancara; (ii) distorsi kesalahan pengamatan (measurement error) yang umumnya terjadi karena kegagalan respon, seperti pertanyaan yang tidak jelas, ketidaktepatan informasi, dan lain-lain; (iii) masalah selektivitas, yakni selfselectivity, nonresponse, attrition (jumlah responden yang terus berkurang pada survei lanjutan); dan (iv) cross section dependence yang dapat mengakibatkan kesimpulan-kesimpulan yang tidak tepat (missleading inference). Data Panel Statis Data panel dapat didefinisikan sebagai observasi berulang pada setiap unit cross section yang sama, yang memiliki karakteristik di mana jumlah unit cross section lebih dari 1 (N>1) dan unit time series juga lebih dari satu (T>1). Jika unit cross section sama dengan 1 (N=1) dan unit time series banyak (T>1) maka dikenal dengan struktur data time series murni atau sebaliknya jika unit
25
cross section banyak1 (N>1) dan unit time series sama dengan satu (T=1) maka dikenal dengan struktur data cross section murni. Misalkan 𝑦𝑖𝑡 merupakan nilai peubah tak bebas (dependent variable), maka 𝑖 menyatakan unit cross section yang dapat berupa individu, rumah tangga, perusahaan, wilayah, negara atau yang lainnya (𝑖 = 1,2,…, 𝑁) dan 𝑡 menyatakan waktu dalam bulan, triwulan, tahun atau yang lainnya (𝑡 = 1,2,…, 𝑇). Jika 𝐾 menyatakan jumlah peubah penjelas (independent variable) yang masing-masing diberi indeks antara 1, 2,…,K maka notasi 𝑋𝑖𝑡′ menyatakan nilai variabel penjelas ke-j untuk unit ke-i pada waktu ke-t. Untuk mempermudah dalam mengorganisir data panel maka dapat dituliskan ke dalam bentuk matriks sebagai berikut: 1 2 K yi1 i1 i1 i1 i1 yi2 1 2 K … i2 i2 i2 ; = [ i2 ] (3.2) yi = [ ] ; i = i yi
K i [ 1i3 2i3 i ] dimana 𝜀𝑖 menyatakan gangguan acak (error term) untuk unit ke- 𝑖 pada waktu ke𝑡. Struktur data dengan jumlah peubah bebas sebanyak K variabel. Penulisan notasi matrik dalam persamaan (3.1) dapat disederhanakan dalam bentuk: y1 1 1 y2 2 y = [ ] ; = [ 2] ; = [ ] (3.3)
yN N 𝑦 adalah matriks berukuran NTx1, 𝑋 adalah martiks berukuran NTxK dan 𝜀 adalah matriks berukuran NTx1. Model standar regresi data panel linier dapat dituliskan sebagai: yit = it atau y= (3.4) it merupakan matriks berukuran NT x1 yang dapat diekspresikan sebagai: 1
=
2
(3.5)
[ N] Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk mengestimasi parameter dalam model regresi data panel statis, yakni pooled least square estimator (PLS), metode efek tetap (fixed effects model) dan metode efek random (random effects model). Metode yang paling sederhana digunakan adalah pooled least square (PLS) atau dikenal sebagai metode least square yang umumnya digunakan pada model cross section dan time series murni. Dalam bentuk umum persamaan regresi data panel 𝑦𝑖𝑡 = 𝑋𝑖𝑡′ 𝛽 + 𝜀𝑖𝑡, maka pada one way error component model, komponen error atau gangguan acak dispesifikasikan dalam bentuk: (3.6) it = i uit Untuk two way error components model, komponen error atau gangguan acak dispesifikasikan dalam bentuk: uit (3.7) it = i t Error term dalam pendekatan one way error component model hanya mencakup komponen error dari efek individu (𝛼𝑖). Pada two way error components model, komponen error term juga mencakup atau memasukkan efek dari waktu (𝛾𝑡). Perbedaan antara fixed effects model (FEM) dan random effects model (REM)
26
terletak pada ada atau tidaknya korelasi antara 𝛼𝑖 dan 𝛾𝑡 dengan 𝑋𝑖𝑡. Untuk menentukan metode yang sesuai untuk digunakan (FEM atau REM) dapat dilakukan dengan menggunakan uji Hausman. Fixed Effect Model (FEM) Sebagian aplikasi empiris data panel umumnya melibatkan memasukkan asumsi mengenai efek individu. Apabila 𝛼𝑖(efek individu) pada persamaan (3.6) diperlakukan sebagai parameter tetap atau konstanta dan nilainya bervariasi untuk setiap individu ke-i (i= 1, 2,…, N), maka model ini disebut sebagai Fixed Effects Model (FEM). Pendekatan FEM mengasumsikan efek individu dan peubah penjelas (variabel bebas) memiliki korelasi atau memiliki pola yang sifatnya tidak acak. Asumsi ini membuat komponen error dari efek individu dan waktu dapat menjadi bagian dari intersep. Pada umumnya pendekatan FEM terjadi ketika jumlah individu N relatif kecil dan periode waktu T relatif besar. Secara umum persamaan FEM dapat diekspresikan dalam persamaan berikut: Untuk one way error component model: yit = i uit (3.8) it Untuk two way error component model: (3.9) yit = i t uit it
dengan asumsi bahwa uit iid o, 2u ). Pendugaan parameter dalam metode FEM dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan sebagai berikut:
a. Pendekatan Pooled Least Square (PLS) Pendekatan PLS dilakukan dengan menggunakan data gabungan (pooled) antara N unit cross section dan T unit time series sehingga akan diperoleh NxT observasi. Untuk one way error component model dalam persamaan𝑦𝑖𝑡 = 𝛼𝑖 + 𝑋𝑖𝑡𝛽 + 𝑢𝑖𝑡 dengan 𝛼𝑖 bersifat konstan untuk semua observasi atau 𝛼𝑖 = 𝛼, maka estimasi parameter dapat diekspresikan sebagai: ̂=
1 N 1 N
̅ ∑N ̅) i=1 ∑t=1( it - )(yit -y ̅ ̅ ∑N i=1 ∑t=1( it - )( it - )
=
∑N i=1 ∑t=1 ̃ it yit 2 ∑N i=1 ∑t=1 ̃ it
(3.10)
̂=y̅ - ̅ ̂ (3.11) dimana: ̃ it = it - ̅ ; ỹ it =yit -y̅ dan N N 1 1 ̅= y ̅ = ∑ ∑ ; ∑ ∑ yit it N N i=1 t=1 i=1 t=1 Penggabungan data cross section dan time series akan meningkatkan derajad bebas, sehingga hasil estimasi akan lebih efisien, yakni dengan varian: var (u ) var ̂)= ∑N ∑ it 2 (3.12) i=1
t=1 ̃ it
Namun demikian, pendekatan PLS memiliki kelemahan yakni menghasilkan dugaan parameter (𝛽̂ ) yang bias. Parameter tersebut bias, karena tidak dapat membedakan observasi yang berbeda pada periode yang sama atau tidak dapat membedakan observasi yang sama pada periode yang berbeda.
27
b. Pendekatan Within Group (WG) Pendekatan ini digunakan untuk mengatasi bias pada metode PLS, menggunakan data deviasi dari rata-rata individu. Jika didefinisikan: N 1 ̅ ̅ = ; = ∑ ∑ it i i it it yit =yit y̅ i ;
1
y̅ i = ∑
i=1 N i=1
∑
t=1
t=1
yit = i it uit ; y̅i = i ̅ i u̅i maka akan diperoleh persamaan: yit -y̅ i =( i - ̅ i ) ( it - ̅ i ) (uit -u̅i ) atau yit = it uit Penduga untuk parameter 𝛽 diformulasikan sebagai: ̂
G
∑N ∑
( it - ̅ t )(yit -y̅ t ) ̅ ̅ i=1 t=1 it - t )( it - t )
= ∑Ni=1∑ t=1(
=
∑N i=1 ∑t=1 it yit ∑N i=1 ∑t=1 it
2
yit
(3.13) (3.14)
Berdasarkan persamaan (3.12) terlihat bahwa FEM dengan pendekatan within group tidak memiliki intersep. Kelebihan pendekatan WG adalah mampu menghasilkan dugaan parameter yang tidak bias, namun memiliki kelemahan yakni menghasilkan varian yang lebih besar dari pendekatan PLS sehingga dugaan WG menjadi tidak efisien. c. Pendekatan Least Square Dummy Variable (LSDV) Pendekatan LSDV memiliki tujuan untuk dapat merepresentasikan perbedaan intersep melalui peubah dummy. Pendekatan ini dapat diilustrasikan dengan menambahkan peubah dummy 𝑑𝑔𝑖𝑡 = 1 dengan nilai 𝑔 = 𝑖 ke dalam persamaan (3.7) sehingga dapat dituliskan menjadi: yit = 1 d1it 2 d2it … N dNit it uit (3.15) Dengan menggunakan metode OLS parameter dalam persamaan (3.15) dapat diestimasi sehingga diperoleh dugaan parameter 𝛽𝐿𝑆𝐷𝑉. Kelebihan pendekatan LSDV adalah mampu menghasilkan dugaan parameter 𝛽 yang tidak bias dan efisien, meskipun memiliki kelemahan jika jumlah unit observasinya besar. Pengujian terhadap signifikansi dari intersep dapat dilakukan menggunakan uji F dengan hipotesis sebagai berikut: H0: 𝛼1 = 𝛼2 = = 𝛼𝑁 H1: minimal ada satu dari 𝛼𝑖 yang tidak sama Hipotesis tersebut dapat digunakan untuk menguji penggunaan metode yang terbaik antara PLS dan LSDV. Statistik uji yang digunakan adalah: F=
2 D
1-
- 2p N -N-k 2 D
*
N-1
+
(3.16)
dimana: 2 : koefisien determinasi LSDV D 2 : koefisien determinasi LSDV p k : jumlah variabel Jika F-hitung > F-tabel maka keputusan untuk menolak H0 adalah signifikan, sehingga dapat disimpulkan bahwa minimal ada satu nilai dugaan koefisien dari 𝛼𝑖 yang tidak sama dan LSDV merupakan metode
28
estimasi yang sesuai. Sebaliknya jika penolakan H0 tidak signifikan maka PLS merupakan metode yang lebih sesuai. d. Pendekatan Two way Error Component Fixed Effect Model Hal yang mendasari pendekatan Two Way Error Component FEM adalah adanya fakta bahwa fixed effects tidak hanya bersumber dari variasi antar individu tetapi juga berasal dari variasi antar waktu atau time effect. Model dasar yang digunakan adalah persamaan yit = i t uit dimana t it merepresentasikan variasi antar waktu. Dengan mengasumsikan pengaruh individu (𝛼𝑖) dan pengaruh waktu (𝛾𝑡) berbeda, maka dengan menambahkan peubah dummy sebanyak 𝑑𝑠𝑖𝑡 = 1 (𝑠 uit akan = 𝑡) dan 𝑑𝑔𝑖𝑡 = 1 (𝑔 = 𝑖) ke dalam persamaan yit = i t it diperoleh persamaan: yit = 1 d1it 2 d2it … N dNit g1 1it g2 2it … g it it uit (3.17) Penambahan sejumlah dummy variable ke dalam persamaan tersebut akan menyebabkan masalah dalam penggunaan two way fixed effect yakni berkurangnya derajat bebas, sehingga akan mengurangi efisiensi dari parameter yang diestimasi. Random Effect Model (REM) Pendekatan REM muncul dengan asumsi efek individu (𝛼𝑖) dan peubah bebas tidak memiliki korelasi atau 𝛼𝑖diperlakukan sebagai parameter random. Asumsi tersebut membuat komponen eror dari efek individu maupun efek waktu dimasukkan ke dalam error. Pendekatan REM umumnya digunakan bila unit cross section N relatif besar dan unit time series T relatif kecil. Secara umum bentuk model REM dapat diekspresikan dalam persamaan berikut: One way error component model : yit = i uit i (3.18) it Two way error component model : yit = i t it uit i (3.19) Beberapa asumsi yang digunakan dalam REM adalah sebagai berikut: E(uit it )=0 (3.20) 2 2 E(uit it )= u (3.21) E( it it )=0 (3.22) 2 2 E( it it )= untuk semua i, t (3.23) E(uit j )=0 untuk semua i, t, j (3.24) E(uit ujs )=0 untuk semua i ≠ j atau t ≠ s (3.25) E( i j )=0 untuk semua i ≠ j (3.26) dimana: i = i untuk one way error component model untuk two way error component model i= i t Asumsi yang terpenting diantara semua asumsi dalam REM adalah nilai harapan dari 𝑥𝑖𝑡untuk setiap 𝜏𝑖adalah nol atau 𝐸(𝜏𝑖 𝑥𝑖𝑡) = 0. Asumsi ini menjadi penting karena berguna untuk pemilihan metode yang sesuai apakah fixed atau random effects biasanya dihitung dengan metode Generalized Least Square (GLS). Penentuan ini dilakukan melalui pengujian terhadap asumsi ada tidaknya korelasi antara regresor dan efek individu. Untuk menguji asumsi ini dapat digunakan uji Hausman.Hipotesis dalam pengujian dirumuskan sebagai berikut :
29
H0 :E( it it )=0 atau REM adalah model yang tepat H1 :E( it it )≠0 atau FEM adalah model yang tepat Dasar pengambilan keputusan yntuk menolak H0 menggunakan statistik Hausman dan dibandingkan dengan nilai Chi square tabel. Statistik Hausman dirumuskan dengan: -1
H=( E - FE ) ( FE - E ) ( E - FE ) 2 k) (3.27) dimana: M adalah matriks kovarians β dan k adalah degrees of freedom. 2 Jika nilai H > χ tabel, keputusan untuk menolak H0 adalah signifikan, sehingga model yang digunakan adalah model fixed effects (FEM). Sebaliknya, jika keputusan menolak H0 tidak signifikan maka penggunaan model REM lebih sesuai. Analisis Data Panel Model Gravity Model Gravity pertama kali dikembangkan oleh Tinbergen (1962) dan Poyhonen (1963) dan diaplikasikan pada perdagangan internasional untuk menjelaskan aliran perdagangan bilateral oleh mitra dagang pada GDP dan jarak geografi antar negara. Nama model ini diambil dari bentuk dasarnya yang mampu memprediksi perdagangan berdasarkan pada jarak antar negara dan interaksi antara besarnya ukuran perekonomian antar negara. Hal ini mengikuti prinsip dari hukum gravitasi Newton yang juga memperhitungkan jarak dan ukuran fisik antara dua obyek. Model gravitasi adalah salah satu alat analisis yang dapat digunakan untuk mengestimasi berapa besarnya nilai barang yang keluar dan masuk di suatu wilayah. Model gravity merepresentasikan bahwa volume ekspor antara kedua negara mitra dagang merupakan increasing function dari GDP kedua negara tersebut dan decreasing function dari jarak diantara kedua negara tersebut. Dalam banyak derivasi teoritikal seperti yang dikemukakan oleh Anderson (1979), Bergstrand (1985), dan Bergstrand, Baier (2003), gravity model menjelaskan volume perdagangan antar dua negara i dan j dari sisi pendapatan, populasi dan biaya transportasi negara-negara tersebut. Dalam gravity model sederhana, perdagangan antara negara i dan negara j bersifat proporsional terhadap ukuran ekonomi dan berbanding terbalik dengan jarak, yang menjadi proksi bagi biaya transportasi diantara kedua negara. Secara umum dapat digambarkan seperti berikut: ij =
i j
Dij
(3.28)
Dimana: ij = Ekspor Y = Pendapatan Nasional (GDP); Yi adalah GDP untuk negara i dan Yj untuk negara j Dij = Jarak geografis antara kedua negara Model gravity kemudian dikembangkan lagi oleh Wall (1999) dengan mengestimasi menggunakan data panel, dimana model fixed effect dalam penelitiannya tersebut digunakan untuk mengestimasi dampak pembatasan impor terhadap ekspor dengan menambahkan indikator trade policy. Model gravity yang diperluas tersebut dituliskan sebagai berikut : ln ij = 𝛽 ln ln - ln Dij 𝑇 𝜀 (3.29) Dimana:
30
X = Ekspor Y = Pendapatan Nasional (GDP) D = Jarak Ekonomi T = Trade Policy Index i = negara pengekspor j = negara pengimpor t = tahun yang akan menjadi model rujukan untuk penelitian. Areethamsirikul (2006) dalam penelitiannya mengenai dampak perluasan ASEAN terhadap perdagangan intra-ASEAN menggunakan model gravity, memasukkan parameter ekonomi yang mencakup Gross Domestic Product (GDP) dan GDP per capita. Sedangkan parameter non-ekonomi yang digunakan adalah jarak, perbatasan bersama, bahasa nasional, dan keanggotaan dalam kelompok perdagangan regional. Parameter non-ekonomi dalam model gravity biasanya bersifat saling mengisi dan melengkapi, dan pada umumnya mencerminkan indikator sosial-politik, hal inilah yang membedakan model gravity dari modelmodel ekonomi lainnya. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian menggunakan analisis data panel dengan model gravity. Analisis ekonometrika dengan regresi data panel gravitasi digunakan untuk melihat keterkaitan bagaimana dampak SPS, TBT dan trade remedy terhadap arus perdagangan ekspor komoditi CPO antara Indonesia dengan negara tujuan ekspor utamanya. Rancangan model yang diajukan menggunakan beberapa variabel bebas (independen) yaitu GDP riil negara pengimpor, jarak ekonomi antara negara pengekspor dengan pengimpor, populasi negara pengimpor, nilai tukar riil, dan dummy non-tariff measures (SPS, TBT dan trade remedy). Variabel terikatnya (dependen) adalah nilai ekspor Indonesia pada negara tujuan ekspor utamanya. Periode waktu yang dianalisis dalam penelitian ini yaitu tahun 2003-2013.
Pengujian asumsi Dalam gravity model dari perdagangan bilateral, diperlukan pengujian asumsi pada data panel untuk mengetahui estimasi bias. Jika model yang terpilih berdasarkan uji Hausman adalah REM maka estimasi dari model diasumsikan best linier unbiased estimator (BLUE) dan tidak perlu dilakukan pengujian terhadap tiga asumsi utama model BLUE (non-multicolinierity, homoskedasticity, dan nonautocorelation). Hal ini dikarenakan dua alasan, yaitu: (i) sifat data panel adalah bebas dari gejala multikolinieritas; dan (ii) REM adalah model generalized least square (GLS), dan estimasi dengan menggunakan GLS secara otomatis sudah terbebas dari gejala autokorelasi, bahkan terbebas dari gejala heteroskedastisitas yang disebabkan variansi sisaannya konstan (Gujarati 2004). Jika model yang terpilih adalah FEM maka perlu dilakukan pengujian terhadap asumsi sisaan, sebagai berikut: a.
Uji Heteroskedastisitas Asumsi pertama yang harus dipenuhi dalam persamaan regresi adalah bahwa taksiran parameter dalam model regresi bersifat BLUE maka varian (ui) harus sama dengan 2 (konstan), atau semua residual atau error memiliki varian yang sama. Kondisi itu disebut dengan homoskedastisitas. Apabila varian tidak konstan atau berubah-ubah disebut dengan heteroskedastisitas. Untuk mendeteksi
31
adanya heteroskedastisitas dapat menggunakan metode Breusch-Pagan Test. Jika nilai probabilitas (Prob>chi2) lebih besar dari (0.05) maka dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi heteroskedastisitas. Hipotesis dari uji heteroskedastisitas: H0 : Homoskedastisitas H1 : Heteroskedastisitas Hipotesis nol akan ditolak bila (Prob>chi2) < atau nilai chi2 > nilai kritis t-tabel. b.
Uji Autokorelasi Autokorelasi adalah korelasi yang terjadi antar observasi dalam satu peubah atau korelasi antara error masa yang lalu dengan error pada saat ini. Uji autokorelasi yang dilakukan tergantung pada jenis data dan sifat model yang digunakan. Autokorelasi dapat memengaruhi efisiensi dari penduganya. Untuk melakukan uji autokorelasi pada data panel dapat menggunakan Wooldridge test. Jika nilai probabilitas (Prob>F) lebih besar dari (0.05) maka dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi autokorelasi. Hipotesis dari uji autokorelasi: H0 : tidak ada autokorelasi H1 : ada autokorelasi Hipotesis nol akan ditolak bila (Prob>F) < . Pengujian Parameter Model Pengujian parameter model bertujuan untuk mengetahui kelayakan model dan apakah koefisien yang diestimasi telah sesuai dengan teori atau hipotesis. Pengujian parameter meliputi koefisien determinasi (R2), uji koefisien regresi secara menyeluruh (F-test/uji F) dan uji koefisien regresi secara parsial (uji t). a.
Uji-F
Uji-F digunakan untuk melakukan uji hipotesis koefisien (slope) regresi atau parameter model secara menyeluruh/bersamaan. Kriteria pengujiannya adalah jika nilai F observasi > F tabel atau nilai probabilitas F-statistic < taraf nyata ), maka keputusan menolak H0 signifikan. Dengan menolak H0 berarti minimal ada satu peubah bebas yang berpengaruh nyata terhadap peubah tak bebas. b.
Uji-t Setelah melakukan uji koefisien regresi secara keseluruhan, maka langkah selanjutnya adalah menguji koefisien regresi secara parsial menggunakan uji-t. Hipotesis pada uji-t adalah : H0: i = 0 Vs H1: i ≠ 0. Keputusan dalam pengujian ini dilakukan dengan membandingkan nilai t-hitung dengan t-tabel atau dengan melihat nilai probabilitas dari t-hitung. Jika nilai t-hitung > t-tabel atau jika nilai probabilitas t < =0,05 maka keputusan menolak H0 adalah signifikan. Kesimpulannya adalah peubah bebas secara parsial signifikan mempengaruhi peubah tak bebas. c.
2
Koefisien Determinasi (R ) Koefisien determinasi (Goodness of Fit) merupakan suatu ukuran yang penting dalam regresi, karena dapat menginformasikan baik atau tidaknya model regresi hasil estimasi. Nilai R2 mencerminkan seberapa besar variasi dari peubah
32
bebas Y dapat diterangkan oleh peubah tak bebas X. Jika R2= 0, maka variasi dari Y tidak dapat diterangkan oleh X sama sekali, namun jika R2= 1 maka variasi dari Y secara keseluruhan dapat diterangkan oleh X. Semakin tinggi nilai koefisien determinasi maka model akan semakin baik. Spesifikasi Model Dampak non-tariff measures akan dilihat melalui SPS, TBT dan trade remedy dalam model. Model yang digunakan dalam penelitian ini merujuk pada model gravity yang dibuat oleh Disdier et al. (2008) dan Fassarella et al. (2011) serta dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan penelitian ini. Pada penelitian ini digunakan model dengan variabel untuk mengukur dampak non-tariff measures yaitu dengan pendekatan pada binary variable. Dari model tersebut dapat dilihat bagaimana dampak non-tariff measures baik SPS, TBT dan trade remedy pada suatu produk. Sehingga secara ekonometrika model tersebut menjadi: Model 1: 𝐸𝑋
Model 2: 𝐸𝑋
Dimana: ln_EXijt ln_GDPjt ln_distanceijt ln_populationjt ln_realerijt ntmijt
dum_spsijt
dum_tbtijt
𝛼
𝛼
𝛼 𝛼
𝐷
𝛼 𝐷 𝛼 𝛼 𝑑𝑢 𝑡
𝛼
𝛼
𝑑𝑖𝑠𝑡 𝛼 𝑡 𝑑𝑖𝑠𝑡 𝛼 𝑑𝑢 𝑠 𝑠 𝜀
𝛼
𝑢 𝑡𝑖
𝜀 𝛼 𝑢 𝑡𝑖 𝛼 𝑑𝑢 𝑡 𝑡
= Ekspor negara i ke negara j pada tahun t (juta $US), dalam log natural (ln); = GDP riil negara pengimpor j pada tahun t (juta $US), dalam log natural (ln); = Jarak ekonomi antara negara eksportir i dan importir j, dalam log natural (ln); = Populasi negara pengimpor j pada tahun t (jiwa), dalam log natural (ln); = Nilai tukar riil negara pengekspor i terhadap negara pengimpor j pada tahun (Rp/LCU), dalam log natural (ln); = Variabel dummy untuk non-tariff measures yang berupa SPS, TBT dan trade remedies negara pengimpor j pada negara pengekspor i pada tahun t. Bernilai 1 jika terdapat salah satu nontariff measures, dan bernilai 0 jika sebaliknya; = Variabel dummy untuk non-tariff measures yang berupa kebijakan SPS negara pengimpor j pada negara pengekspor i pada tahun t. Bernilai 1 jika terdapat non-tariff measures jenis SPS, dan bernilai 0 jika sebaliknya; = Variabel dummy untuk non-tariff measures yang
33
dum_trijt
=
i j
= =
𝛼 𝛼 𝛼 ,𝛼 𝛼 ,𝛼 𝛼 𝛼 𝛼 𝜀
= = =
berupa kebijakan TBT negara pengimpor j pada negara pengekspor i pada tahun t. Bernilai 1 jika terdapat non-tariff measures jenis TBT, dan bernilai 0 jika sebaliknya; Variabel dummy untuk non-tariff measures yang berupa kebijakan trade remedy negara pengimpor j pada negara pengekspor i pada tahun t. Bernilai 1 jika terdapat non-tariff measures jenis trade remedy, dan bernilai 0 jika sebaliknya; Indonesia (negara pengekspor) 20 (dua puluh) negara tujuan ekspor utama (negara pengimpor utama) Konstanta / intersep Parameter yang diestimasi Error term
Metode pengolahan data dan analisis regresi data panel dengan gravity model untuk kebutuhan analisis dalam penelitian ini menggunakan software Stata 12. Definisi Operasional Definisi operasional variabel yang digunakan dalam model penelitian ini antara lain: 1. Ekspor (EXijt) merupakan ekspor bilateral komoditi CPO negara i ke negara j dalam satu tahun yang diukur dalam juta US$. 2. GDP riil (GDPjt) yaitu jumlah pendapatan dari penduduk suatu negara j pada suatu periode tertentu tyang diukur menggunakan harga konstan. 3. Jarak Ekonomi (distanceijt) merupakan pengukuran jarak antar ibukota (pusat ekonomi) di negara i dan j pada tahun ke-t. Jarak geografis digunakan sebagai proksi untuk biaya transportasi dan komunikasi, serta waktu pengiriman yang dibutuhkan oleh suatu negara dalam melakukan ekspor dan impor. Penghitungan jarak ekonomi adalah sebagai berikut: (
𝑔
𝑔
𝑖𝑠 𝑋 ( 𝐷 ⁄ 𝐷
))
4. Populasi (populationjt) merupakan total jumlah penduduk di negara tujuan ekspor j (negara pengimpor) dalam satu tahun, dinyatakan dalam satuan jiwa. 5. Real Exchange Rate (realerijt) merupakan nilai tukar riil negara pengekspor dan negara pengimpor pada tahun ke-t yang diperoleh dari : 𝐾𝑢 𝑠
(
𝐾 𝐾
𝑔 𝑔
𝑖
) 𝑋 (𝑁𝑖 𝑖 𝑡𝑢
𝑖
𝑔
𝑖
𝑔
)
6. Non-tariff measures (ntmijt) merupakan variabel dummy dari non-tariff measures yang berupa SPS, TBT dan trade remedy negara pengimpor j pada negara pengekspor i pada tahun t. 7. Dummy SPS (dum_spsijt) merupakan variabel dummy yang menjelaskan pemberlakuan non-tariff measures jenis SPS. Bernilai 1 jika diberlakukan minimal satu kebijakan SPS, dan bernilai 0 jika sebaliknya.
34
8. Dummy TBT (dum_tbtijt) merupakan variabel dummy yang menjelaskan pemberlakuan non-tariff measures jenis TBT. Bernilai 1 jika diberlakukan minimal satu kebijakan TBT, dan bernilai 0 jika sebaliknya. 9. Dummy Trade Remedy (dum_trijt) merupakan variabel dummy yang menjelaskan pemberlakuan non-tariff measures jenis Trade Remedy. Bernilai 1 jika diberlakukan minimal satu kebijakan trade remedy, dan bernilai 0 jika sebaliknya.
4 GAMBARAN UMUM Perdagangan Komoditi CPO Indonesia Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan perekonomian di Indonesia, hal ini dapat dilihat dari kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang cukup besar yaitu sekitar 14.43% pada tahun 2013 atau merupakan urutan kedua setelah sektor industri pengolahan. Sektor pertanian terbagi menjadi empat sub sektor, yaitu sub sektor tanaman pangan, holtikultura, perikanan dan peternakan, sub sektor perkebunan, sub sektor tanaman bahan penyegar dan rempah-rempah, serta sub sektor kehutanan. Salah satu sub sektor yang cukup besar potensinya adalah sub sektor perkebunan. Meskipun kontribusi sub sektor perkebunan dalam PDB belum terlalu besar yaitu sekitar 1.93% pada tahun 2013 atau merupakan urutan ketiga di sektor pertanian setelah sub sektor tanaman bahan makanan dan perikanan, namun sub sektor ini merupakan penyedia bahan baku untuk sektor industri, penyerap tenaga kerja dan penghasil devisa. Neraca perdagangan pada sub sektor pertanian disajikanpada Gambar 9.
Neraca Perdagangan Pada Sektor Pertanian
Nilai dalam US $
40.000.000.000 30.000.000.000 20.000.000.000 10.000.000.000 0 2008
2009
2010
2011
2012
-10.000.000.000 Tanaman Pangan, Holtikultura, Perikanan dan Peternakan Perkebunan Tanaman Bahan Penyegar dan Rempah-rempah Kehutanan
Sumber: BPS, 2013 Gambar 9 Neraca Perdagangan Sektor Pertanian Periode 2008 – 2013
2013
35
Sub sektor perkebunan merupakan andalan nasional dalam neraca perdagangan sektor pertanian. Hal ini karena sub sektor perkebunan selalu mengalami surplus dan dapat menutupi defisit yang dialami oleh sub sektor lainnya. Surplus neraca perdagangan sektor pertanian terjadi karena lebih dari 90% berasal dari nilai ekspor komoditas sub sektor perkebunan dengan persentase impor yang lebih kecil, sebaliknya untuk sub sektor tanaman pangan, holtikultura, perikanan dan peternakan persentase nilai impor jauh lebih tinggi dibandingkan ekspornya sehingga mengalami defisit neraca perdagangan. Neraca perdagangan pada sub sektor perkebunan dapat dilihat pada Gambar 10. Surplus neraca nilai perdagangan sub sektor perkebunan pada tahun 2008 mencapai US$ 14.5 milyar dan pada tahun 2009 naik menjadi US$ 20.6 milyar, tapi mengalami penurunan pada tahun 2010 menjadi US$ 15.6 milyar. Namun pada tahun-tahun berikutnya surplus neraca nilai perdagangan sub sektor perkebunan terus mengalami peningkatan hingga menjadi US$ 32.4 milyar di tahun 2012, kemudian turun lagi pada tahun 2013 menjadi US$ 27.9 milyar dengan rata-rata pertumbuhan per tahun meningkat sebesar 14.25%. Sementara neraca nilai perdagangan sub sektor tanaman pangan, hortikultura dan peternakan selalu mengalami defisit, dan selama periode 2008 – 2013 besarnya defisit sub sektor tanaman pangan, hortikultura dan peternakan cenderung meningkat. Pada tahun 2012-2013 defisit pada sub sektor tanaman pangan, hortikultura dan peternakan adalah sebesar -40.07% (BPS 2013). Neraca Perdagangan Sub Sektor Perkebunan
Nilai dalam US $
35.000.000.000 30.000.000.000 25.000.000.000 20.000.000.000 15.000.000.000 10.000.000.000 5.000.000.000 0 2008
2009 Ekspor
2010 Impor
2011
2012
2013
Neraca
Sumber: BPS, 2013 Gambar 10 Neraca Perdagangan Sub Sektor Perkebunan Periode 2008 – 2013 Kinerja perdagangan suatu komoditas dapat dilihat dari besarnya ekspor, impor dan neraca perdagangan. Selama periode tahun 2008 –2013, nilai neraca perdagangan untuk komoditi CPO selalu mengalami surplus yang berarti nilai ekspor CPO lebih besar dibandingkan dengan nilai impornya. Selama periode tahun 2009-2013, pertumbuhan neraca perdagangan kelapa sawit dari sisi nilai mengalami peningkatan surplus sebesar 12.49% per tahun. Sektor perkebunan telah menjadi sumber penghasil devisa bagi Indonesia dengan CPO sebagai salah satu komoditas andalannya. Hal ini menjadikan CPO merupakan peringkat
36
pertama pada sektor perkebunan sebagai penghasil devisa. Disamping itu, komoditas CPO juga memberikan kontribusi lapangan kerja bagi keluarga petani, sektor industri, sektor jasa dan sektor-sektor lainnya dalam jumlah yang cukup besar. Neraca perdagangan komoditi CPO Indonesia dapat dilihat pada Gambar 11. Crude palm oil (CPO) yang berasal dari kelapa sawit merupakan salah satu komoditi hasil perkebunan yang mempunyai peran cukup penting dalam kegiatan perekonomian di Indonesia. CPO juga salah satu komoditas ekspor Indonesia yang cukup penting sebagai penghasil devisa negara sesudah minyak dan gas. Indonesia saat ini merupakan negara produsen dan eksportir kelapa sawit terbesar di dunia. Selain peluang ekspor yang semakin terbuka, pasar minyak sawit (CPO) dan minyak inti sawit (PKO) di dalam negeri masih cukup besar. Pasar potensial yang menyerap pemasaran CPO dan PKO adalah industri fraksinasi/rafinasi (terutama industri minyak goreng), lemak khusus (cocoa butter substitute), margarine/shortening, oleochemical dan sabun mandi (BPS 2005). Berdasarkan angka sementara Ditjen Perkebunan, pada tahun 2008 lahan perkebunan CPO Indonesia tercatat seluas 7.33 juta hektar, meningkat menjadi 10.13% juta hektar pada tahun 2012. Pada tahun 2013, luas areal perkebunan kelapa sawit masih terus meningkat sebesar 4.47% dari tahun 2012 menjadi 10.59 juta hektar dan di tahun 2014 diperkirakan meningkat sebesar 2.49% menjadi 10.85 juta hektar. Sementara itu, perkembangan produksi kelapa sawit meningkat sejalan dengan luas areal yaitu sekitar 3.38 sampai dengan 10.25% dari tahun 2008-2014, sebagian besar ditujukan untuk ekspor (BPS 2013). Neraca Perdagangan Komoditi CPO Indonesia
Nilai dalam US $
20.000.000.000 15.000.000.000 10.000.000.000 5.000.000.000 0 2008
2009 Ekspor
2010 Impor
2011
2012
2013
Neraca
Sumber: BPS, 2013 Gambar 11 Neraca Perdagangan Komoditi CPO Indonesia Periode 2008 – 2013 Produksi kelapa sawit Indonesia sebagian besar diekspor ke mancanegara dan sisanya dipasarkan di dalam negeri. Ekspor kelapa sawit Indonesia dikelompokkan menjadi 4 (empat) jenis berdasarkan kode HS (Harmonized System), yaitu: Kode HS 1511 10000 = Crude Palm Oil Kode HS 1511 90000 = Other Palm Oil Kode HS 1513 21000 = Crude Oil of Palm Kernel
37
Kode HS 1513 29000 = Other Palm Kernel Oil Dari keempat jenis produk kelapa sawit tersebut yang paling besar volume ekspornya pada tahun 2013 adalah Other Palm Oil (HS 1511 90000) sebesar 62.97% dari total ekspor, diikuti oleh ekspor Crude Palm Oil (HS 1511 100000) sebesar 29.63%, kemudian Other Palm Kernel Oil (HS 1513 29000) sebesar 5.37%, serta Crude Oil of Palm Kernel (HS 1513 21000) sebesar 2.03%. Menurut data BPS (2013), ekspor produk kelapa sawit dan turunannya akan terus mengalami kenaikan, baik volume maupun nilainya. Tujuan negara komoditas ini, antara lain India, Uni Eropa, China, Malaysia, Singapura, Pakistan dan negara tujuan ekspor lainnya. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) memproyeksikan bahwa total volume ekspor minyak sawit akan tumbuh 11.11% menjadi 20 juta ton sepanjang 2013. Dari jumlah tersebut, seberat 12 juta ton atau 60% total ekspor merupakan produk olahan, seperti olefin dan biofuel. Adapun sisanya, sebanyak 8 juta tonatau 40% total ekspor adalah minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO). Apabila ditinjau negara tujuan ekspor CPO Indonesia pada tahun 2013, maka dominan ditujukan ke 10 (sepuluh) negara tujuan ekspor utama. India, Uni Eropa dan Cina merupakan 3 (tiga) negara tujuan utama ekspor kelapa sawit Indonesia tahun 2013 yang mencapai 27.03%, 16.27% dan 11.32% dari total ekspor kelapa sawit Indonesia dengan nilai ekspor sebesar US$ 4.2 milyar, US$ 2.5 milyar dan US$ 1.8 milyar. Berikutnya adalah ke Pakistan dengan total ekspor sebesar 5.14% (US$ 814.4 juta), 4.10% ke Singapura (US$ 650.1 juta), 3.56% ke Mesir (US$ 563.8 juta), 3.17% keBangladesh (US$ 501.7 juta), 2.80% ke Ukraina (US$ 443.2 juta), 2.35% ke Malaysia (US$ 372.7 juta), dan 1.94% ke Rusia (US$ 306.5 juta) (TRADEMAP 2014). Volume ekspor minyak sawit olahan tahun 2013 telah meningkat tajam dibandingkan dengan pertumbuhan ekspor CPO. Namun, ekspor CPO memiliki prospek yang sangat cerah karena adanya peningkatan konsumsi produk berbahan baku CPO yang sejalan dengan pertumbuhan produk diberbagai negara di dunia. Untuk perkembangan konsumsi CPO dunia dari tahun ke tahun terus menunjukkan tren meningkat. India dan Cina dengan Indonesia merupakan negara yang paling banyak menyerap CPO dunia. Selain itu, negara Uni Eropa juga termasuk konsumen besar CPO. Permasalahan dari perdagangan CPO di dunia yaitu terjadinya fluktuasi harga yang cenderung dipengaruhi oleh isu-isu yang dibuat oleh negara penghasil produk subtitusi (pesaing CPO), yaitu negara-negara penghasil minyak dari kacang kedelai dan jagung yang umumnya merupakan negara-negara di Eropa dan Amerika (negara maju) (Kementerian Perdagangan 2013). Kebijakan non tarif yang banyak diterapkan oleh negara pengimpor (khususnya negara maju) tidak hanya berupa kebijakan SPS, TBT dan trade remedy, tetapi berupa isu-isu negatif seperti produk yang tidak higienis, tidak baik bagi kesehatan karena dapat mengakibatkan penyakit tertentu, pengrusakan ekosistem hutan termasuk isu pemusnahan orang utan merupakan isu yang diangkat untuk menjatuhkan harga CPO dunia. Selain itu, isu pemanasan global dan meningkatnya kebutuhan energi dunia saat ini juga memicu penggunaan bahan bakar alternatif selain bahan bakar fosil yaitu dengan bahan bakar biodiesel, yang tidak terlepas dari minyak sawit atau CPO sebagai bahan baku utamanya.
38
Pengembangan agribisnis kelapa sawit masih cukup terbuka bagi Indonesia, terutama karena ketersediaan sumberdaya alam/lahan, tenaga kerja, teknologi maupun tenaga ahli. Dengan posisi sebagai produsen sekaligus eksportir terbesar utama di dunia, Indonesia perlu memanfaatkan peluang ini dengan sebaik-baiknya mulai dari perencanaan sampai dengan upaya menjaga agar tetap bertahan pada posisi sebagai country leader dan market leader. Identifikasi Tingkat Daya Saing CPO Kinerja perdagangan Indonesia dapat diindikasikan melalui keunggulan komparatif suatu komoditi. Analisis kinerja perdagangan atau kinerja ekspor Indonesia ini bertujuan untuk mengidentifikasi daya saing komoditi CPO Indonesia di negara tujuan ekspor utamanya. Keunggulan komparatif merupakan salah satu faktor penentu daya saing suatu komoditi di pasar tujuan ekspor. Analisis keunggulan komparatif ini digunakan karena nilai ekspor yang tinggi bukan merupakan suatu acuan utama apakah komoditi tersebut memiliki performa yang baik di pasar tujuan. Untuk memperkuat argumen tingkat kinerja ekspor komoditi CPO, penelitian ini menggunakan analisis pendekatan nilai RCA sebagai pengukur daya saing ekspor CPO Indonesia terhadap negara-negara tujuan ekspor utamanya. Analisis daya saing komoditi CPO Indonesia ke negara-negara tujuan ekspor utamanya dilakukan dengan menggunakan pendekatan RCA. Metode ini digunakan atas dasar suatu konsep bahwa perdagangan antar wilayah sebenarnya menunjukkan keunggulan komparatif yang dimiliki oleh suatu wilayah. Variabel yang diukur yaitu kinerja ekspor komoditi CPO Indonesia ke negara tujuan ekspor utamanya terhadap total ekspor Indonesia ke negara tujuan ekspor utamanya yang kemudian dibandingkan dengan pangsa pasar komoditi CPO dunia ke negara tujuan ekspor utamanya terhadap total ekspor dalam perdagangan dunia ke negara tujuan ekspor utama atau negara mitra dagang. Pada Tabel 4 dapat diliat bahwa nilai RCA yang diperoleh menggambarkan kinerja komoditi CPO Indonesia ke negara tujuan ekspor utamanya dengan kisaran nilai antara nol sampai tak hingga. Jika nilai RCA lebih dari satu maka dianggap memiliki kinerja ekspor yang baik dan sebaliknya. Komoditi dengan nilai RCA lebih dari satu dapat dikatakan memiliki daya saing atau memiliki keunggulan komparatif. RCA dapat didefinisikan bahwa jika pangsa komoditi CPO Indonesia ke negara tujuan ekspor utamanya di dalam total ekspor suatu negara lebih besar dibandingkan pangsa pasar ekspor komoditi tersebut di dalam total ekspor komoditi dunia, diharapkan negara tersebut memiliki keunggulan komparatif dalam ekspor komoditi tersebut. Tabel 4 Hasil Nilai RCA Komoditi CPO Indonesia ke Negara Tujuan Ekspor Utamanya Hasil Nilai RCA Rata-rata Negara Tujuan No Ekspor 2009 2010 2011 2012 2013 2010 - 2013 1 India 34.17 34.09 27.04 23.98 21.98 26.77 2 Uni Eropa 120.55 114.47 85.00 91.86 103.92 98.81 3 Cina 33.75 35.25 24.17 33.57 31.55 31.13 4 Malaysia 18.45 19.63 14.11 13.51 13.00 15.06 5 Singapura 39.04 33.63 20.37 22.87 29.79 26.67 6 Banglades 20.67 20.88 19.63 20.55 19.43 20.12
39
7 Pakistan 5.33 2.67 8 Mesir 45.54 46.88 9 Ukraina 116.44 136.70 10 Rusia 27.84 113.64 11 Myanmar 11.30 12 Afrika Selatan 51.09 57.92 13 Turki 32.07 26.59 14 Vietnam 17.95 14.64 15 Tanzania 44.29 33.31 16 Arab Saudi 51.22 7.08 17 Brazil 96.79 121.41 18 Jordania 57.37 40.15 19 Amerika Serikat 13.85 5.47 20 Sri Lanka 3.98 5.91 Sumber: TRADE MAP, diolah 2014
5.87 43.57 208.02 141.37 10.39 28.28 30.00 11.10 35.43 11.16 94.12 11.75 3.53 9.65
10.63 71.51 292.56 146.16 8.15 28.72 81.98 10.97 35.98 35.31 96.08 39.46 5.50 8.28
13.67 54.60 253.62 150.95 16.15 48.56 70.64 9.67 42.19 55.42 116.21 32.01 35.74 14.27
8.21 54.14 222.72 138.03 11.50 40.87 52.31 11.60 36.73 27.24 106.95 30.85 12.56 9.53
Hasil estimasi nilai RCA komoditi CPO Indonesia ke negara tujuan ekspor utamanya yang seluruhnya menunjukkan nilai lebih dari satu. Artinya komoditi CPO Indonesia memiliki daya saing yang baik di pasar dunia. Daya saing yang baik ini merupakan nilai lebih Indonesia dalam memajukan perekonomiannya, karena komoditi CPO ini termasuk ke dalam kelompok komoditi utama Indonesia yang mendapatkan perhatian lebih dari Pemerintah dalam pengembangan ekspornya bagi Indonesia. Meskipun nilai-nilai RCA yang tergolong besar dengan klasifikasi yang lebih dari 1 (satu) terpenuhi oleh hampir di seluruh negara tujuan ekspor utama di 4 tahun terakhir yaitu 2010-2013, namun terlihat hasilnya yang beragam. Masingmasing negara memiliki karakter tersendiri berdasarkan nilai RCA-nya. Sebagai contoh negara yang memiliki nilai rata-rata RCA tertinggi yang lebih dari dan hampir mendekati 100 yaitu Ukraina (222.72), Rusia (138.03), Brazil (106.95) dan Uni Eropa (98.81) menunjukkan bahwa komoditi CPO memiliki tingkat daya saing yang sangat besar dibandingkan dengan dunia. Sedangkan rata-rata RCA terendah tapi nilainya masih lebih dari 1 (satu) yaitu pada negara Srilanka (9.53) dan Pakistan (8.21). Keadaan ini sangat memungkinkan jika dilihat bahwa komoditi CPO merupakan salah satu komoditi unggulan ekspor Indonesia, dimana Indonesia mendominasi produksi komoditi ini dan sebagai produsen sekaligus eksportir terbesar di dunia. Share ekspor CPO Indonesia ke dunia adalah sebesar 47.3% (TRADE MAP 2014). Jika dilihat nilai RCA antara tahun 2010-2013 di beberapa tujuan ekspor utamanya seperti India, Malaysia, Banglades dan Vietnam mengalami penurunan. Namun, nilai RCA juga terlihat berfluktuatif antara tahun 2010-2013. Hal itu terjadi di negara Uni Eropa, Cina, Singapura, Mesir, Ukraina, Myanmar, Afrika Selatan, Turki, Brazil, Jordania, Amerika Serikat dan Srilanka. Terjadinya penurunan dan fluktuasinya nilai RCA tersebut diindikasikan adanya non-tariff measures yang diterapkan oleh negara pengimpor terhadap komoditi CPO Indonesia, tetapi tidak terlepas juga dari kondisi masing-masing perekonomian negara pengimpornya. Sangat memungkinkan pula besarnya nilai RCA karena adanya kesepakatan khusus antara Indonesia dengan negara-negara tujuan ekspor utamanya tersebut mengenai pemenuhan kebutuhan terhadap komoditi ini di pasar
40
masing-masing negara tujuan ekspor utamanya. Misalnya saja Uni Eropa, karena adanya kesepakatan khusus antara Indonesia dengan negara-negara Uni Eropa mengenai pemenuhan kebutuhan akan komoditi CPO ini di pasar Uni Eropa, sehingga meskipun dalam kondisi krisis sekalipun pada tahun 2008-2009, namun aliran perdagangan Indonesia dan Uni Eropa terhadap komoditi ini cenderung stabil dengan tren yang meningkat (Kementerian Perdagangan 2012). Terdapat perjanjian dagang atau Preferential Trade Agreement (PTA) antara Indonesia dengan negara mitra dagangnya, salah satunya adalah Indonesia dengan Pakistan. CPO Indonesia mendapat keringanan bea masuk impor hingga 0% dan Pakistan mendapatkan keringanan bea masuk impor terhadap Jeruk Kinnow Pakistan hingga 0%. Selain itu, saat ini Kementerian Perdagangan RI sedang menimbang melakukan preferential trade agreement (PTA) dengan Turki. Melalui Turki, pemasaran CPO dan produk turunannya bisa diperluas ke negaranegara di Asia Tengah serta negara-negara lain seperti Irak, Iran, dan Suriah. Hal tersebut sekaligus upaya meningkatkan daya saing dengan Malaysia yang sudah terlebih dahulu melakukan PTA dengan Turki5. Turki diperlukan untuk menjadi pintu gerbang pengembangan pasar ke Eropa dan Asia Barat untuk produk CPO, selain itu juga akan dibicarakan Comprehensive Trade and Economic Partnership (CTEP) melalui tiga pilar yaitu Free Trade Arrangement, Capacity Building dan Trade and Investment Facilitation antara Indonesia dengan Turki. Selain itu terdapat pula Comprehensive Partnership antara Indonesia dan Amerika Serikat, kerjasama bilateral antara Indonesia dan Malaysia dengan adanya nota kesepahaman (MoU) bidang pertanian, serta kerjasama bilateral antara beberapa negara mitra dagang lainnya seperti Uni Eropa yang merupakan salah satu kekuatan perdagangan utama di dunia dengan komitmen multilateral yang kuat. Pasar tunggal Uni Eropa, yang merupakan seperangkat peraturan dagang, cukai dan prosedur bersama yang berlaku di seluruh 28 negara anggota, menjadikan Uni Eropa sebagai suatu pasar yang sangat menarik bagi negaranegara lain. Sementara itu, Indonesia termasuk dalam pelaku ekonomi terbesar di Asia Tenggara dan salah satu mitra penting bagi Uni Eropa baik dalam perdagangan maupun investasi. Jalan terjal CPO Indonesia untuk mendominasi pasar Eropa sedikit demi sedikit mulai terbuka bersamaan dengan respon positif dari Benua Biru terhadap diplomasi dagang RI untuk mengonvergensikan sertifikat Indonesian Sustainable Palm Oil(ISPO) dengan Roundtable Sustainable Palm Oil(RSPO)6. Komoditi CPO merupakan primary goods yang dibutuhkan bagi negaranegara mitra dagang dalam industri-industrinya. Hal ini sesuai dengan penelitian Oktaviani (2008) yang menunjukkan komoditi yang tergolong primary goods memiliki daya saing tinggi dengan nilai RCA yang lebih dari satu. Tentu saja Indonesia sebagai salah satu penghasil hasil bumi terbesar dunia menjadi salah satu pemasok utama dalam memenuhi kebutuhan mereka terhadap komoditi CPO. Keadaan ini menjadikan Indonesia memiliki daya saing yang tinggi di pasar dunia. Sehingga diharapkan pemerintah mampu menentukan kebijakan yang dapat 5
Lutfi M. 2014. Ekspor CPO Diperluas Melalui Dua Negara Penghubung [Internet]. Metrotvnews, 9 Juni 2014; [diunduh 27 September 2014]. Tersedia pada:http://ekonomi.metrotvnews.com/read/2014/06/07/250020/ekspor-cpo-diperluasmelalui-dua-negara-penghubung 6 Herlinda WD. 2014. Peluang RI Rajai Pasar CPO Eropa Mulai Terbuka [Internet]. Bisnis Indonesia, 11 Juni 2014; [diunduh 27 September 2014]. Tersedia pada: http://industri.bisnis.com/read/20140611/12/235175/peluang-ri-rajai-pasarcpo-eropa-mulai-terbuka
41
menjadikan Indonesia sebagai negara yang sangat dibutuhkan oleh negara-negara tujuan ekspor utamanya dan negara mitra dagang lainnya. Non-Tariff Measures pada Komoditi CPO Indonesia Kinerja ekspor Indonesia saat ini terancam oleh kebijakan hambatan nontarif (non-tariff measures) yang diterapkan oleh sejumlah negara, terutama negara-negara maju. Hal tersebut mengakibatkan ekspor beberapa produk unggulan dari Indonesia ke beberapa negara pun terancam terganjal. Produk unggulan yang seringkali mendapatkan masalah ekspor tersebut diantaranya adalah produk kelapa sawit (CPO) dan produk perikanan. Kebijakan hambatan non-tariff tersebut menjadi penghambat perdagangan teknis7. Peningkatan regulasi dalam makanan dan produk pertanian menyebabkan lebih banyak menggunakan non-tariff measures karena lebih banyak negara mengikuti standar makanan Codex Alimentarius. Dengan demikian, perdagangan pertanian lebih dipengaruhi oleh non-tariff measures relatif terhadap produk nonpertanian (WTO 2012). Salah satu alasannya adalah bahwa WTO memungkinkan negara-negara anggotanya untuk mengadopsi perlindungan yang tepat untuk manusia, tanaman dan hewan di bawah peraturan SPS dan TBT. Negara-negara anggotanya bahkan diperbolehkan untuk mengatur langkah-langkah yang lebih ketat jika terbukti secara ilmiah terdapat ancaman dan risiko tersebut (WTO 2012). Namun, proteksionisme tampaknya meningkat oleh kenyataan bahwa tidak ada standar internasional terkait keamanan pangan, hewan dan tumbuhan untuk sebagian besar produk makanan dan pertanian yang diperdagangkan di seluruh dunia. Oleh karena itu, banyak negara mengembangkan standar sendiri yang berbeda dari satu wilayah/region ke wilayah/region lain dan satu negara dengan negara yang lainnya. Beberapa non-tariff measures yang paling sering digunakan dalam bentuk SPS dan TBT termasuk dalam perjanjian yang diizinkan penggunaannya. Bentuk penerapan hambatan perdagangan lainnya yang dipergunakan oleh negara-negara WTO dalam rangka melindungi industri dalam negerinya adalah instrumen trade remedy berupa antidumping, subsidy dan tindakan safeguard. Kebijakan SPS termasuk peraturan dan pembatasan dengan tujuan untuk melindungi manusia, hewan atau tumbuhan hidup atau kesehatan. Menurut UNCTAD (2013) definisi dari sanitary and phytosanitary measures merupakan tindakan-tindakan yang diterapkan untuk melindungi kehidupan manusia atau hewan dari risiko yang timbul dari adanya zat adiktif, pencemaran, racun atau organisme penyebab penyakit yang terdapat dalam makanan mereka. Bertujuan untuk melindungi manusia, tumbuhan hidup atau hewan dari hewan yang membawa penyakit; untuk melindungi hewan atau tanaman dari hama, penyakit atau organisme penyebab penyakit. Dalam prakteknya, SPS Measures dapat berbentuk: seluruh ketentuan, regulasi persyaratan dan prosedur terkait yang relevan, termasuk antara lain
7
Siregar M. 2010. Hambatan Non-Tarif Ganjal Ekspor Indonesia [Internet]. Kontan, 9 Agustus 2010; [diunduh 14 Juni 2014]. Tersedia pada: http://industri.kontan.co.id/news/hambatan-non-tarif-ganjal-ekspor-indonesia-1
42
adalah kriteria produk akhir (end-product); metode proses dan produksi; prosedur pengujian, inspeksi, sertifikasi dan persetujuan; penanganan karantina; pengawasan terhadap metode statistik, prosedur sampling dan metode penilaian resiko yang relevan; serta persyaratan pengemasan dan pelabelan yang secara langsung terkait dengan keamanan makanan. Sesuai dengan SPS Agreement, dalam pelaksanaannya negara anggota WTO harus mengikuti sejumlah aturan ketika menerapkan dan melakukan tindakan SPS, yaitu prinsip ilmiah (scientific), prinsip ekuivalensi, harus sesuai dengan standar internasional, prinsip transparansi, prinsip kesesuaian (conformity), minimalisasi dampak terhadap perdagangan dan regionalisasi penyakit hewan dan tumbuhan. Jika penerapan dan pelaksanaan tindakan SPS tidak berdasarkan bukti-bukti ilmiah dan tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah disebutkan, maka tindakan tersebut dalam dianggap sebagai bentuk hambatan perdagangan. Sementara untuk TBT membahas mengenai semua peraturan teknis lainnya, standar dan prosedur penilaian kesesuaian yang diberlakukan dengan tujuan non-trade. UNCTAD (2013) mendefinisikan technical barriers to trade (TBT) adalah tindakan yang mengacu pada regulasi teknis, dan prosedur penilaian kesesuaian dengan peraturan teknis dan standar, termasuk langkah-langkah yang tercakup dalam perjanjian SPS. Regulasi teknis merupakan dokumen yang menetapkan karakteristik produk atau yang terkait dengan proses dan cara produksinya, termasuk yang berlaku dalam ketentuan administratif. Hal ini juga dapat mencakup simbol, pengemasan, penandaan atau pelabelan seperti yang digunakan pada produk, proses atau cara produksi. Prosedur penilaian kesesuaian adalah prosedur yang digunakan, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk menentukan bahwa persyaratan relevan dalam peraturan teknis atau memenuhi standar, yang mungkin mencakup antara lain prosedur pengambilan sampel, pengujian dan inspeksi, evaluasi, dan sebagainya. Menurut Agreement on Technical Barriers to Trade (TBT Agreement), setiap negara anggota World Trade Organization (WTO) diberi kewenangan untuk memformulasikan dan menerapkan regulasi teknis, menetapkan standar dan membangun sistem penilaian kesesuaian (conformity assessment system) dalam rangka melindungi kepentingan nasional atau kawasan, melindungi kesehatan dan kehidupan manusia, hewan dan tumbuhan, melindungi lingkungan, menghindari tindakan penipuan, dan menjamin kualitas produk yang diimpor. Tindakan tersebut biasa disebut dengan TBT Measures. TBT Agreement mempunyai sejumlah prinsip dalam penerapannya, yaitu meminimalkan dampak terhadap perdagangan, prinsip-prinsip non-diskriminasi, sesuai dengan standar internasional, kesamaan (equivalency) dari regulasi teknis, kesepahaman serta prinsip transparansi. Penggunaan SPS dan TBT ini dilihat sebagai bentuk proteksionisme yang terselubung. Meningkatnya notifikasi SPS dan TBT dan potensi penggunaannya dalam cara proteksionis yang dapat menjadi sumber sengketa perdagangan antar negara. Trade remedy yang terdiri dari antidumping, subsidy, dan safeguard merupakan tiga instrumen kebijakan pengamanan perdagangan yang diakui oleh negara-negara anggota WTO dan mereka diperkenankan untuk menggunakan instrumen tersebut untuk melindungi industri dalam negerinya dari persaingan
43
curang yang dapat menghancurkan dan merusak tatanan sistem perdagangan yang fair (Barutu 2007). Tindakan antidumping diberlakukan terhadap tindakan menjual suatu barang di pasar luar negeri dengan harga yang lebih rendah dari harga di pasar domestik, dimana selanjutnya pemerintah negara pengimpor dapat mengenakan bea masuk antidumping untuk menutupi kerugian sebagai dampak dari dumping tersebut. Sedangkan tindakan subsidy terjadi dimana produk dijual dengan harga murah karena mendapat subsidi oleh negara pengekspor. Pada prinsipnya tindakan subsidy dilarang jika hal itu dapat menimbulkan persaingan yang tidak sehat dan menimbulkan kerugian bagi negara pengimpor, sehingga negara pengimpor dapat memberlakukan tindakan imbalan (countervailing measures) terhadap produk yang dituduh mendapat subsidi dari negara pengekspor. Tindakan safeguard tidak ada kaitannya dengan praktik antidumping dan subsidy, tetapi beredarnya barang impor yang masuk ke pasar domestik telah mengakibatkan terjadinya kerugian (injury) terhadap industri serupa di dalam negeri. Oleh karena itu, perbedaan antara antidumping, antisubsidy dan safeguard terletak pada dasar pertimbangan pengenaan instrumen tersebut. Kondisi saat ini di pasar dunia, industri kelapa sawit (CPO) harus bersaing dengan industri minyak nabati negara lain dan menghadapi isu negatif terhadap kesehatan dan lingkungan, seperti deforestasi, kepunahan biodiversitas, emisi karbon, serta perubahan iklim sebagai bentuk hambatan perdagangan nontariff yang efektif. Sementara di sisi lain, orentasi produksi minyak kelapa sawit nasional masih didominasi untuk pasar ekspor 8 . Hambatan-hambatan yang diterapkan oleh negara-negara tujuan ekspor produk CPO mengharuskan Indonesia sebagai negara pengekspor memperhatikan persyaratan yang harus dipenuhi. Incidence of non-tariff measures Pada bagian ini akan dilakukan analisis pemberlakuan non-tariff measures terhadap komoditi CPO Indonesia pada negara tujuan ekspor utamanya dengan pendekatan dalam menghitung jumlah pemberlakuan non-tariff measures (incidence of non-tariff measures). Incidence of non-tariff measures menyajikan sebaran penggunaan non-tariff measures baik berdasarkan negara tujuan ekspor, komoditas, dan jenis non-tariff measures. Tabel 5 Non-Tariff Measures yang Diberlakukan pada Komoditi CPO Indonesia di Negara Tujuan Ekspor Utamanya tahun 2003-2013 No. 1 2 3 4 5 6 8
Negara Tujuan Ekspor India Uni Eropa Cina Malaysia Singapura Bangladesh
SPS
TBT
11 6 -
8 7 2 -
Trade Remedy Dumping Subsidy Safeguard 2 1 -
Jumlah 0 22 13 2 0 0
Suswono. 2014. Industri Minyak Kelapa Sawit Rentan Guncangan Serapan Ekspor [Internet]. Tajuk, 11 September 2014; [diunduh 27 September 2014]. Tersedia pada: http://tajuk.co/news/industri-minyak-kelapa-sawit-rentan-guncanganserapan-ekspor
44
7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Pakistan Mesir Ukraina Rusia Myanmar Afrika Selatan Turki Vietnam Tanzania Arab Saudi Brazil Jordania Amerika Serikat Sri Lanka Jumlah
1 6 2 8 34
26 1 2 20 3 33 102
2
1
1 1
26 0 0 0 0 2 2 1 0 26 5 0 41 0 140
Sumber: WTO dan Direktorat Pengamanan Perdagangan (Kemendag RI), diolah 2014 Perdagangan komoditi ekspor CPO Indonesia menghadapi berbagai hambatan di beberapa negara tujuan ekspor khususnya non-tariff measures yang dikaitkan dengan isu kesehatan, lingkungan, dan standar yang berpotensi akan merugikan kepentingan perdagangan Indonesia. Non-tariff measures tersebut berupa sanitary and phytosanitary (SPS), technical barriers to trade (TBT) dan trade remedy (antidumping, subsidy, dan safeguard) yang disajikan pada Tabel 5 dengan jumlah pemberlakuan masing-masing sebanyak 34 kebijakan untuk SPS, 102 kebijakan untuk TBT, serta 4 kebijakan untuk trade remedy. Pada Tabel 5 dapat diketahui bahwa dari 20 (dua puluh) negara tujuan ekspor utama komoditi CPO Indonesia, terdapat 10 (sepuluh) negara tujuan ekspor utama yang mengenakan kebijakan-kebijakan non-tariff measures khususnya SPS, TBT dan trade remedy. Sisanya sebanyak 10 (sepuluh) negara tujuan ekspor utamanya tidak mengenakan kebijakan non-tariff measures, negaranegara tersebut adalah India, Singapura, Banglades, Mesir, Ukraina, Rusia, Myanmar, Tanzania, Jordania dan Srilanka. India tidak memberlakukan baik SPS, TBT dan trade remedy, namun pada tahun 2002 pernah mengenakan tindakan safeguard terhadap produk CPO Indonesia dan kasusnya sudah dihentikan pada tanggal 24 Januari 2003. Singapura dan Banglades juga tidak memberlakukan baik SPS, TBT dan trade remedy, meskipun nilai ekspor CPO Indonesia ke kedua negara tersebut mengalami penurunan tapi bukan karena adanya penerapan non-tariff measures. Hal ini dikarenakan kedua negara tersebut memperoleh CPO tidak hanya dari Indonesia saja tapi juga impor dari Malaysia, sehingga impor dari Indonesia berkurang. Sementara itu untuk Mesir, Ukraina, Rusia, Myanmar dan Srilanka juga tidak memberlakukan baik SPS, TBT dan trade remedy, hal ini pula yang menjadi alasan negara tujuan ekspor CPO Indonesia ditujukan ke negara-negara tersebut yang dibuktikan dengan meningkatnya pertumbuhan ekspor CPO pada tahun 2012-2013. Kebijakan SPS yang banyak diberlakukan antara lain terkait dengan labeling dan packaging yang berhubungan langsung dengan food safety requirements, food additives, dan terkait certification. Kebijakan TBT yang
45
banyak diberlakukan antara lain berkaitan dengan food standard, labeling (terkait informasi nutrisi), conformity assessment, dan quality requirements. Sementara itu pada penerapan non-tariff measures jenis trade remedy yang banyak diberlakukan adalah dumping. Negara tujuan ekspor yang paling banyak memberlakukan non-tariff measures untuk komoditi CPO Indonesia adalah Amerika Serikat sebanyak 41 kebijakan, dengan SPS sebanyak 8 kebijakan (terkait dengan food safety, humanhealth, labeling dan packaging) dan TBT sebanyak 33 kebijakan (terkait dengan food standard, labeling, dan nutrition information). Kemudian negara yang memberlakukan non-tariff measures terbanyak selanjutnya yaitu Pakistan, Arab Saudi dan Uni Eropa dengan masing-masing sebanyak 26 kebijakan, 26 kebijakan dan 22 kebijakan. Pakistan menerapkan non-tariff measures berupa TBT sebanyak 26 kebijakan terkait dengan food standard. Arab Saudi memberlakukan non-tariff measures dengan SPS sebanyak 6 kebijakan (terkait dengan food safety, human health, certification, control and inspection, labeling dan packaging) dan TBT sebanyak 20 kebijakan (terkait dengan food standard, quality requirement dan labeling). Sedangkan Uni Eropa menerapkan non-tariff measures dengan SPS sebanyak 11 kebijakan (terkait dengan food safety, human health, contaminant dan food additives), TBT sebanyak 8 kebijakan (terkait dengan food standard, labeling, dan nutrition information) dan trade remedy sebanyak 3 kebijakan (berupa 2 kebijakan antidumping dan 1 kebijakan subsidy).
5 HASIL DAN PEMBAHASAN Pada bagian ini akan membahas dan menjawab permasalahan ketiga. Analisis dampak SPS, TBT dan trade remedy ini dimulai dengan membahas mengenai pengujian model gravity. Hal ini dilakukan agar memperoleh model yang layak dan estimasi yang bersifat BLUE (Best Linier Unbiased Estimator), kemudian menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor CPO Indonesia. Terakhir menganalisis dampak SPS, TBT dan trade remedy sesuai dengan model yang telah diperoleh. Pengujian Data Panel Model Gravity Metode analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis gravity model. Dalam penelitian ini, untuk memperoleh model yang cocok maka dilakukan uji kelayakan dan kecocokan model (goodness of fit). Untuk memperoleh estimasi yang bersifat BLUE maka dilakukan juga pengujian asumsi dasar.Hasil estimasi koefisien-koefisien variabel persamaan yang menggunakan gravity model tersebut dilakukan dengan program software Stata 12 dan menggunakan metode panel data seperti yang telah diuraikan pada metode penelitian. Hasil Estimasi Model Data Panel Analisis pengaruh non-tariff measures terhadap arus perdagangan ekspor komoditi Crude Palm Oil (CPO) Indonesia ke negara tujuan ekspor utama
46
menggunakan panel data statis pada gravity model dari tahun 2003-2013. Hasil uji chow menunjukkan bahwa Fixed Effect Model (FEM) lebih baik daripada Pooled Least Square (PLS), hal ini dilihat dari nilai statistik uji chow sebesar 9.13 (Prob>F=0.000). Uji Breusch Pagan LM memberikan hasil bahwa Random Effect Model (REM) lebih baik dari PLS dengan nilai statistik sebesar 49.89 (Prob>chibar2=0.000). Berdasarkan kedua pengujian tersebut, maka dilakukan uji hausman untuk menentukan model FE atau RE yang akan digunakan pada penelitian ini. Hasil uji hausman menunjukkan bahwa FEM lebih baik dari REM dengan nilai statistik sebesar 50.51 (Prob>Chi Square=0.000) sehingga model yang digunakan adalah Fixed Effect Model. Uji Kelayakan dan Kecocokan Model (Goodness of fit) Uji kelayakan model menunjukkan bahwa nilai probability (F-Statistic) pada model yang digunakan adalah 0.000 seperti yang terlihat pada lampiran 1 sehingga dapat disimpulkan bahwa minimal terdapat satu variabel bebas yang mempengaruhi variabel tidak bebas. Uji kecocokan model (goodness of fit) ditunjukkan pada nilai koefisien determinasi (R2). Model menunjukkan nilai R2 sebesar 0.40 yang berarti variasi variabel bebas berupa GDP riil, jarak ekonomi, populasi, real exchange rate, dan dummy non-tariff measures mampu menjelaskan variabel tak bebas (nilai ekspor) sebesar 40%, sedangkan sisanya dijelaskan oleh faktor-faktor lainnya diluar model. Uji Asumsi Dasar Untuk memperoleh estimasi yang bersifat BLUE (Best Linier Unbiased Estimator) maka dilakukan uji asumsi dasar meliputi multikolinearitas, heteroskedastisitas, dan autokorelasi. Untuk mengetahui ada tidaknya multikolinearitas antar variabel bebas dan variabel tidak bebas salah satu caranya adalah dengan melihat nilai Correlation Matrix antar variabel bebas dan tidak bebas. Berdasarkan hasil analisis yang dapat dilihat pada Lampiran 2, diperoleh nilai Correlation matrix antar masing-masing variabel bebas dan variabel tidak bebas sebesar lebih dari 0.75. Sehingga dengan demikian dapat disimpulkan bahwa antar variabel yang diteliti terjadi multikolinearitas. Uji heteroskedastisitas dilihat dari hasil Modified Wald Test. Model mengalami heteroskedastisitas yang ditunjukkan dengan nilai (Prob>chi2=0.000) lebih kecil dari (0.05). Kemudian pada uji autokorelasi dapat dilihat dari hasil Wooldridge test. Model mengandung autokorelasi yang ditunjukkan dengan nilai (prob>F=0.000) lebih kecil dari (0.05). Untuk mengatasi masalah pada model, maka digunakan model panel data dengan General Least Square (GLS) untuk mengatasi pelanggaran asumsi tersebut. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Arus Perdagangan Ekspor CPO Indonesia Berdasarkan hasil pengujian Model 1 dan Model 2 diperoleh informasi bahwa arus perdagangan ekspor komoditi crude palm oil (CPO) Indonesia dipengaruhi oleh GDP negara pengimpor, jarak ekonomi, populasi, nilai tukar riil, dan dummy non-tariff measures (kebijakan non tarif). Model 1 memberikan informasi bahwa non-tariff measures mempengaruhi arus perdagangan ekspor
47
CPO Indonesia. Variabel dummy non-tariff measures digunakan sebagai variabel yang dapat menangkap pengaruh dari arus perdagangan ekspor komoditi CPO Indonesia. Berdasarkan hasil estimasi pada Model 1 yang dilakukan dalam penelitian ini, dummy non-tariff measures memberikan pengaruh yang tidak signifikan terhadap arus perdagangan ekspor Indonesia pada komoditi CPO. Tetapi nilai koefisien pada dummy non-tariff measures bernilai -0.06, tanda negatif pada dummy non-tariff measures mengindikasikan adanya hambatan non tarif pada arus perdagangan ekspor CPO Indonesia yang berpengaruh pada turunnya nilai ekspor. Namun jika didisagregasi menjadi tiga berdasarkan jenis non-tariff measures (Model 2) berupa kebijakan SPS, TBT dan trade remedy maka informasi yang diperoleh adalah kebijakan TBT yang berkaitan dengan regulasi teknis dan standar berdampak negatif, sedangkan kebijakan SPS yang berkaitan dengan persyaratan prosedur tentang kesehatan dan keselamatan berdampak positif terhadap arus perdagangan ekspor komoditi CPO. Begitu pula dengan kebijakan trade remedy (antidumping, subsidy, safeguard) berdampak positif terhadap arus perdagangan ekspor komoditi CPO Indonesia seperti terlihat pada Tabel 6. Ketiga dummy non-tariff measures tersebut memberikan pengaruh yang signifikan terhadap arus perdagangan ekspor Indonesia pada komoditi CPO. Analisis lebih lanjut mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi arus perdagangan ekspor komoditi CPO Indonesia akan dijelaskan ke dalam beberapa sub bagian. Kemudian dampak non-tariff measures terhadap arus perdagangan ekspor komoditi CPO Indonesia ke negara tujuan ekspor utamanya akan dijelaskan pada bagian selanjutnya. Tabel 6 Hasil estimasi dampak non-tariff measures (koefisien parameter dengan GLS) periode 2003-2013 Model 1 Model 2 Variabel Bebas Koefisien Prob. Koefisien Prob. C (konstanta) -38.51*** 0.000 -38.09*** 0.000 ln_gdp (GDP riil negara 1.31*** 0.000 1.32*** 0.000 pengimpor) ln_distance (jarak ekonomi) -1.59*** 0.000 -1.60*** 0.000 ln_population (populasi negara 1.08*** 0.000 1.05*** 0.000 pengimpor) ln_realer (nilai tukar riil) 0.27*** 0.000 0.28*** 0.000 ntm (dummy non-tariff measures berupa kebijakan SPS, TBT dan trade remedy, nilai 1 jika ada -0.06 0.244 salah satu non-tariff measures dan nilai 0 sebaliknya) dum_sps (dummy non-tariff measures berupa kebijakan SPS, 0.34** 0.010 nilai 1 jika ada SPS dan nilai 0 sebaliknya) dum_tbt (dummy non-tariff measures berupa kebijakan TBT, -0.41*** 0.000 nilai 1 jika ada TBT dan nilai 0
48
sebaliknya) dum_tr (dummy non-tariff measures berupa kebijakan trade remedy (antidumping, subsidy, 1.14*** 0.000 atau safeguard), nilai 1 jika ada trade remedy dan nilai 0 sebaliknya) Keterangan: 1) Variabel tak bebas = ln_export (ekspor CPO Indonesia ke negara mitra dagang utama) 2) Tingkat signifikansi pada taraf nyata: *** = 1% dan ** = 5% GDP Riil Negara Pengimpor GDP riil negara tujuan ekspor (negara pengimpor) memiliki hubungan yang positif terhadap arus perdagangan ekspor CPO Indonesia. Pengaruhnya positif dengan taraf nyata sebesar 1% dan dengan nilai koefisien sebesar 1.32. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa jika terjadi peningkatan GDP riil negara tujuan ekspor (negara pengimpor) sebesar 1% maka pengaruhnya akan meningkatkan ekspor CPO Indonesia sebesar 1.32%, ceteris paribus. Peningkatan pendapatan yang terjadi pada negara tujuan ekspor (negara pengimpor) akan meningkatkan permintaan ekspor CPO Indonesia. Hal ini menyimpulkan bahwa kenaikan yang terjadi pada pendapatan suatu negara akan berdampak positif terhadap kenaikan permintaan akan barang komoditas ekspor. Hasil penelitian ini sejalan dengan temuan yang dilakukan oleh Bellanawithana dan Wijerathne (2009). Jarak Ekonomi (Distance) Biaya ekspor (biaya transportasi) dalam penelitian ini diukur dengan nilai jarak ekonomi suatu negara. Jarak ekonomi merupakan salah satu syarat yang cukup penting pada gravity model dan besarnya jarak ekonomi akan mempengaruhi arus perdagangan ekspor secara negatif. Hasil estimasi yang diperoleh model menunjukkan bahwa variabel distance berpengaruh signifikan terhadap ekspor dengan taraf nyata 1% dan besaran nilai koefisiennya yaitu 1.60. Koefisien tersebut bernilai negatif sehingga sesuai dengan teori ataupun hipotesis pada penelitian ini. Nilai koefisien dengan tanda negatif tersebut mengindikasikan bahwa apabila jarak dengan negara tujuan ekspor lebih jauh 1% maka akan terjadi penurunan ekspor CPO sebesar 1.60%, ceteris paribus. Hal ini sesuai dengan teori gravity dimana jarak mempengaruhi interaksi antara dua objek. Semakin jauh jarak negara tujuan dengan Indonesia maka semakin besar biaya transportasi untuk perdagangan CPO dari Indonesia. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Bellanawithana dan Wijerathne (2009), yang menjelaskan bahwa koefisien jarak yang bernilai negatif mengindikasikan semakin besar jarak antar negara akan meningkatkan biaya transportasi sehingga dapat menurunkan perdagangan. Populasi Negara Pengimpor
49
Nilai koefisien variabel populasi negara tujuan ekspor (negara pengimpor) sebesar 1.05. Hal ini mengindikasikan jika populasi negara pengimpor meningkat 1% maka nilai ekspor CPO akan meningkat sebesar 1.05%, ceteris paribus. Kondisi ini sesuai dengan hipotesis penelitian yang menjelaskan bahwa populasi negara pengimpor berpengaruh positif pada ekspor CPO Indonesia. Tanda pada koefisien populasi dengan ekspor CPO mengindikasikan adanya kaitan yang erat antara populasi dengan ekspor CPO Indonesia dengan negara tujuan ekspor utamanya. Populasi negara pengimpor berpengaruh signifikan pada taraf nyata 1% terhadap aliran perdagangan ekspor CPO Indonesia. Adanya pertambahan populasi pada negara pengimpor akan meningkatkan jumlah CPO yang dapat diekspor karena adanya pertambahan konsumsi di negara tersebut, ceteris paribus. Populasi yang bertambah berbanding lurus dengan pertambahan konsumsi suatu produk pada suatu negara. Konsumsi yang meningkat di negara pengimpor akan meningkatkan jumlah produk CPO yang diimpor. Dengan demikian, Indonesia sebagai negara pengekspor dapat meningkatkan jumlah ekspornya di negara pengimpor tersebut. Besarnya populasi pada suatu negara menunjukkan potensi pasar yang besar bagi negara pengekspor. Populasi menjadi suatu indikasi untuk meningkatkan jumlah ekspor, sehingga dapat berpengaruh positif. Negara-negara dengan populasi yang besar dapat menjadi sebagai suatu potensi pasar bagi Indonesia untuk dapat lebih dikembangkan, misalnya seperti India, Uni Eropa dan Cina yang merupakan negara tujuan ekspor terbesar untuk komoditi CPO Indonesia serta memiliki populasi jumlah penduduk yang terus bertambah setiap tahunnya. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Zarzoso dan Lehmann (2003) yang menyatakan bahwa koefisien positif pada variabel populasi negara pengimpor menunjukkan ukuran suatu negara berhubungan langsung dengan perdagangan, yang berarti bigger countries memiliki kapasitas yang lebih besar untuk menyerap impor daripada smaller countries. Nilai Tukar Riil (Real Exchange Rate) Hasil estimasi yang diperoleh model menunjukkan bahwa variabel realer (nilai tukar riil) berpengaruh signifikan terhadap ekspor dengan taraf nyata 1% dan besaran nilai koefisiennya yaitu 0.28. Hal tersebut berarti jika terjadi peningkatan nilai tukar riil sebesar 1% maka akan meningkatkan arus perdagangan ekspor sebesar 0.28%, ceteris paribus. Nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara pengimpor CPO yang diteliti memberikan pengaruh yang nyata terhadap ekspor CPO Indonesia. Nilai tukar riil meningkat atau mata uang negara pengekspor terdepresiasi maka akan mengakibatkan harga produk di negara pengekspor menjadi lebih murah sehingga mendorong permintaan produk dari negara lain. Arus perdagangan ekspor akan meningkat karena permintaan produk CPO meningkat. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Zarzoso dan Lehmann (2003) yang menyatakan bahwa terjadinya depresiasi mata uang di negara pengekspor dapat menaikkan ekspor. Dummy kebijakan non tarif (non-tariff measures)
50
Efek untuk non-tariff measures tidak dapat dipastikan karena dapat bermakna ambigu (dapat memiliki efek negatif dan efek positif). Non-tariff measures dapat menghambat perdagangan karena meningkatnya biaya kepatuhan (conformity assessment reqirements) bagi produsen, tetapi juga dapat meningkatkan permintaan karena mengurangi biaya informasi bagi konsumen (Fugazza 2013). Hasil estimasi Model 1 menunjukkan bahwa hipotesis awal yang menyatakan adanya pengaruh negatif non-tariff measures terhadap arus perdagangan ekspor CPO telah terbukti tapi tidak berpengaruh secara signifikan. Penggunaan non-tariff measures untuk melakukan proteksi perdagangan suatu negara mempengaruhi arus perdagangan ekspor CPO Indonesia walaupun tidak signifikan. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan (BP2KP Kementerian Perdagangan RI) bahwa hasil analisis dampak non-tariff measures terhadap ekspor produk utama Indonesia dengan menggunakan model gravity atas produk utama, diketahui ikan dan karet merupakan produk yang signifikan terkena dampak non-tariff measures. Sementara itu, produk seperti minyak nabati, kayu dan produk olahan, elektronika, kakao, tekstil, alas kaki, kopi serta furnitur tidak terkena dampak non-tariff measures secara signifikan9. Hasil estimasi Model 2 menunjukkan bahwa non-tariff measures mempengaruhi arus perdagangan ekspor CPO Indonesia secara signifikan dengan memisahkan variabel jenis non-tariff measures menjadi tiga yaitu SPS, TBT dan trade remedy. Namun, menariknya hasil estimasi pada Model 2 memperlihatkan bahwa hanya TBT yang menyatakan adanya pengaruh negatif terhadap arus perdagangan ekspor CPO Indonesia, sedangkan SPS dan trade remedy menyatakan adanya pengaruh positif. Pengaruh non-tariff measures akan dijelaskan secara lebih rinci di bagian selanjutnya. Dampak non-tariff measures terhadap Arus Perdagangan Ekspor CPO Indonesia ke Negara Tujuan Ekspor Utama Jenis non-tariff measures berupa kebijakan SPS dan TBT memiliki keistimewaan implikasi yang penting dalam perdagangan, namun diakui adanya hak negara anggota untuk mengadopsi peraturan yang berpotensi mempengaruhi perdagangan internasional. Kebijakan ini memberlakukan tiga jenis disiplin dalam peraturan tersebut. Ketiga jenis displin dalam peraturan tersebut adalah (1) pada proses adopsi kebijakan dan implementasinya; (2) pada proporsionalitasnya dalam mencapai tujuan yang diharapkan; dan (3) sesuai dengan kebutuhannya (UNCTAD 2013). Bentuk dari non-tariff measures lainnya yang juga diadopsi oleh negara anggota adalah instrumen pemulihan perdagangan (trade remedy) yang terdiri dari Anti Dumping Agreement (antidumping), Agreement on Subsidies (subsidy) dan Countervailing Measures (safeguard). Ketiga instrumen pengamanan perdagangan WTO tersebut dalam kondisi tertentu dapat dimanfaatkan oleh anggotanya (termasuk Indonesia) untuk melindungi industri barang sejenis dalam 9
Ardia H. 2014. RI Kehilangan Pendapatan Ekspor US$535 Juta [Internet]. Bisnis.com, 4 Juni 2014; [diunduh 15 November 2014]. Tersedia pada: http://industri.bisnis.com/read/20140604/12/233121/ri-kehilangan-pendapatanekspor-us535-juta
51
negeri dari akibat masuknya barang impor yang mengandung dumping, subsidy atau lonjakan impor (safeguard). Namun demikian, dalam perkembangannya banyak negara anggota WTO yang menggunakan ketiga instrumen tersebut sebagai alat proteksi untuk melindungi industri dalam negeri mereka terhadap masuknya barang sejenis dari negara lain (barang impor). Bagi Indonesia hal ini merupakan salah satu masalah yang akan menghambat kepentingan upaya peningkatan akses pasar ke negara mitra dagang. Efek dari non-tariff measures sering menjadi ambigu dan sensitif secara politis. Di satu sisi, peraturan atau regulasi yang sering diperlukan untuk mengurangi market failures, tapi di sisi lain peraturan domestik mungkin dikenakan hanya untuk menghambat impor pesaing asing (Beghin 2008). Analisis teoritis tidak memberikan kesimpulan yang pasti tentang efek keseluruhan terkait dengan regulasi, selanjutnya dibutuhkan bukti lain dan kemudian beralih ke analisis empiris. Mengevaluasi dampak non-tariff measures tersebut tidak sederhana dan membutuhkan estimasi yang tidak mudah (Dee dan Ferrantino 2005). Pengaruh non-tariff measures pada kebijakan SPS berpengaruh signifikan pada taraf nyata 5% namun koefisiennya bernilai positif yaitu 0.34, sedangkan pada kebijakan TBT berpengaruh signifikan pada taraf nyata 1% dengan nilai koefisien sebesar -0.41, serta pada kebijakan trade remedy juga berpengaruh signifikan pada taraf nyata 1% namun koefisiennya bernilai positif yaitu 1.41. Oleh karena itu, kebijakan yang lebih dominan mempengaruhi arus perdagangan ekspor komoditi CPO adalah kebijakan TBT. Kebijakan SPS (Sanitary and Phytosanitary Measures) Non-tariff measures berupa kebijakan SPS yang diberlakukan di negara tujuan ekspor (negara pengimpor) komoditi CPO Indonesia meliputi labeling dan packaging yang berkaitan langsung dengan food safety requirements, food additives, serta terkait certification. Berdasarkan hasil estimasi memperlihatkan bahwa peningkatan cakupan non-tariff measures dalam kebijakan SPS sebesar 1% akan meningkatkan arus perdagangan ekspor sebesar 0.34%, ceteris paribus. Dapat juga diartikan bahwa penggunaan kebijakan SPS tidak selalu menghambat perdagangan, tetapi ternyata dapat meningkatkan arus perdagangan ekspor. Indikator yang digunakan untuk mengukur penggunaan kebijakan SPS adalah dummy variable (binary variable) dari penggunaan tiga jenis non-tariff measures tersebut. Berdasarkan hasil estimasi tersebut terdapat efek ganda SPS dan TBT di bidang pertanian yaitu dapat tidak berdampak pada perdagangan atau bahkan memfasilitasi perdagangan dengan membawa informasi dari produk impor, dengan asumsi bahwa eksportir dapat mengatasi persyaratan teknis terkait dan dokumen; tetapi SPS atau TBT juga bisa menjadi hambatan dalam perdagangan ketika negara-negara tidak dapat memenuhi standar (Disdier, Fontagne dan Mimouni 2008). Hal ini memperkuat kesimpulan bahwa tidak semua SPS dan TBT di bidang pertanian adalah perangkat proteksionis. Pengaruh positif kebijakan SPS terhadap arus perdagangan ekspor berlawanan dengan hipotesis yang ditentukan pada awal penelitian. Namun, hasil pengujian ini sejalan dengan penelitian Fasarella, Souza dan Burnquist (2011) yang menyatakan bahwa kebijakan SPS (berupa labeling dan
52
pelarangan/karantina) meningkatkan arus perdagangan ekspor Brazil pada produk daging unggas. Fenomena ini juga terjadi pada perdagangan ekspor komoditi CPO Indonesia. Peningkatan kebijakan SPS yang didalamnya merupakan kebijakan terkait dengan persyaratan prosedur yang bertujuan untuk melindungi kesehatan dan kehidupan makhluk hidup termasuk prosedur pengujian, sertifikasi, karantina, labeling dan packaging yang berhubungan langsung dengan food safety, dapat meningkatkan arus perdagangan ekspor. Kebijakan SPS termasuk peraturan dan pembatasan dengan tujuan untuk melindungi kesehatan dan kehidupan manusia, hewan atau tumbuhan hidup. Oleh karena itu, dalam prakteknya SPS dapat berbentuk berupa seluruh ketentuan, regulasi persyaratan dan prosedur terkait yang relevan, termasuk antara lain adalah kriteria produk akhir (end-product); metode proses dan produksi; prosedur pengujian, inspeksi, sertifikasi dan persetujuan; penanganan karantina; pengawasan terhadap metode statistik, prosedur sampling dan metode penilaian resiko yang relevan; serta persyaratan pengemasan dan pelabelan yang secara langsung terkait dengan keamanan makanan (food safety). Terkait dengan pengaruh kebijakan SPS terhadap arus perdagangan ekspor CPO Indonesia, maka dapat dijelaskan bahwa kebijakan SPS merupakan kebijakan yang mengangkat aspek kesehatan serta keselamatan dan saat ini telah menjadi concern tidak hanya bagi negara maju tapi juga negara berkembang. Ketika negara mitra dagang (negara pengimpor) Indonesia menerapkan kebijakan dalam bentuk sanitary and phytosanitary measures yang meliputi sertifikasi, pengujian, labeling serta packaging yang berkaitan dengan kesehatan dan keamanan makanan maka eksportir Indonesia terdorong untuk menghasilkan produk yang sesuai dengan persyaratan dan prosedur yang relevan. Hal ini juga sesuai dengan penelitian Bellanawithana dan Wijerathne (2009) terkait perdagangan pada sektor pertanian di Asia Selatan yang menjelaskan bahwa nontariff measures akan lebih ketat 1% di negara pengimpor dan akan meningkatkan nilai perdagangan ekspor pertanian sebesar 5.3%. Alasannya karena dengan nontariff measures yang ketat akan meningkatkan kualitas produk dan meskipun dapat meningkatkan harga, namun akhirnya akan membantu eksportir untuk mendapatkan keunggulan kompetitif. Semakin besarnya cakupan produk yang sudah sesuai dengan persyaratan SPS negara pengimpor maka produk ekspor asal Indonesia semakin diterima di pasar negara lain. Meskipun kebijakan seperti ini dapat meningkatkan harga, namun konsumen akan lebih percaya dengan kualitas produk ekspor Indonesia. Selain itu negara pengimpor bukan merupakan penghasil dari komoditi CPO. CPO juga tidak dikonsumsi secara langsung sebagaimana misalnya produk ikan atau daging dan harus mengalami proses pengolahan lagi (intermediate good). CPO mempunyai rantai pengolahan yang panjang sebelum menjadi ingredients produk jadi, hal ini yang menjadikan CPO sebagai bahan baku yang dibutuhkan untuk berbagai macam produk manufaktur (end user) khususnya di banyak negara maju dan negara berkembang. Oleh karena itu, kebijakan SPS tidak dapat menghalangi ekspor CPO dari Indonesia sebagai produsen sekaligus eksportir terbesar di dunia. Jika dilihat pada pemberlakuan non-tariff measures khususnya kebijakan SPS yang diterapkan oleh negara tujuan ekspor komoditi CPO Indonesia, mengindikasikan bahwa jumlah kebijakan SPS lebih sedikit daripada kebijakan
53
TBT. Negara yang paling banyak menerapkan kebijakan SPS tersebut adalah Uni Eropa sebanyak 11 kebijakan dan Amerika Serikat sebanyak 8 kebijakan. Sementara negara lainnya yaitu Cina sebanyak 6 kebijakan, Arab Saudi sebanyak 6 kebijakan, Brazil sebanyak 2 kebijakan dan Afrika Selatan sebanyak 1 kebijakan. Uni Eropa menjelang tahun 2015 telah menyatakan bahwa hanya akan menerima CPO yang memiliki sertifikasi sustainable. Respons positif yang telah diperoleh dari Uni Eropa terhadap diplomasi dagang Indonesia untuk mengonvergensikan sertifikat ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) dengan RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil). Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi mengatakan ketentuan dalam sertifikat IndonesianSustainable Palm Oil (ISPO) mencerminkan bahwa Indonesia adalah satu-satunya negara yang paling siap didunia untuk memproduksi minyak sawit yang ramah lingkungan. Delegasi Indonesia berhasil meyakinkan Uni Eropa bahwa Indonesia adalah satu-satunya negara yang mampu menghasilkan sustainable CPO sesuai kapasitas yang dibutuhkan kawasan tersebut. Dari 8.5-9.7 juta ton produksi certified sustainable palm oil (CSPO) di dunia, sekitar 4.5 juta ton di antaranya diproduksi Indonesia.Angka itu memang relatif kecil dibandingkan total produsi CPO Indonesia yang mencapai 30 juta ton. Tapi tetap saja, angka produksi CSPO Indonesia itu adalah yang terbesar di dunia. Ekspor CPO Indonesia ke Uni Eropa adalah sekitar 3 juta ton, sehingga jika Uni Eropa menerapkan konvergensi tersebut maka Indonesia bersedia untuk ekspor. Berbeda dengan ISPO yang mandatori, RSPO bersifat sukarela. Indonesia mewajibkan perkebunan kelapa sawit di dalam negeri untuk mengantongi ISPO selambat-lambatnya akhir 2014. Melalui ISPO, target jangka menengah untuk mengekspor 100% CSPO diyakini dapat terwujud dalam jangka pendek. Konvergensi ISPO dan RSPO dimungkinkan karena hanya 10% dari indikator ISPO yang belum tercakup di dalam RSPO. Sementara itu, sebanyak 25% dari indikator RSPO belum tercakup dalam ISPO. Berdasarkan pertimbangan tersebut, diharapkan produk yang telah memenuhi persyaratan ISPO juga dapat memenuhi persyaratan RSPO tanpa harus mengulang proses sertifikasi dari awal. Perlu ditingkatkan standar dari indikator-indikator pada ISPO, RSPO atau jenis sertifikasi lainnya yang semuanya itu diharapkan dapat mendukung baik produksi maupun ekspor minyak sawit berkelanjutan10. Amerika Serikat meskipun menerapkan kebijakan SPS tapi dapat dilihat pada nilai ekspornya yang cenderung meningkat trennya, bahkan pada tahun 2013 nilai ekspor CPO Indonesia ke Amerika Serikat melonjak tajam. Kenaikan permintaan dari Amerika Serikat karena adanya stimulus pendanaan sebesar USD 60 juta dari pemerintah untuk industri biodiesel yang disalurkan melalui Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA)11. Berdasarkan Demikian pula terjadi peningkatan nilai ekspor CPO Indonesia ke Brazil setiap tahunnya. Negara lainnya yang menerapkan kebijakan SPS yaitu Cina, dapat dijelaskan bahwa terjadi fluktuasi pada nilai ekspor CPO Indonesia ke Cina tetapi selama periode 10
Herlinda WD. 2014. Peluang RI Rajai Pasar CPO Eropa Mulai Terbuka [Internet]. Bisnis.com, 11 Juni 2014; [diunduh 27 September 2014]. Tersedia pada: http://industri.bisnis.com/read/20140611/12/235175/peluang-ri-rajai-pasar-cpo-eropamulai-terbuka 11
Hasan F. 2014. April 2014: Ekspor CPO ke Amerika Serikat Naik 84% [Internet]. Agrofarm, 16 Mei 2014; [diunduh 14 Juni 2014]. Tersedia pada: http://www.agrofarm.co.id/m/sawit/520/april-2014-ekspor-cpo-ke-amerika-serikat-naik84/#.VCY2G8mV0kl
54
2009-2013 trennya cenderung positif. Namun pada tahun 2013 nilainya menurun karena pasar CPO di Cina diprediksi mengecil seiring dengan perlambatan pertumbuhan ekonominya12. Negara selanjutnya yang menerapkan kebijakan SPS adalah Arab Saudi dan Afrika Selatan, dapat dijelaskan juga bahwa nilai ekspor CPO Indonesia ke pasar Arab Saudi dan Afrika Selatan mengalami fluktuasi. Tetapi selama periode 2009-2013 trennya cenderung positif. Contoh kasus yang terkait dengan kebijakan SPS adalah AQSIQ (General Administration of Quality Supervision, Inspection and Quarantine) Republik Rakyat Tiongkok (RRT/Cina) telah menemukan produk makanan asal Indonesia (refined palm oil) yang tidak memenuhi syarat yang diekspor ke Cina pada bulan September 2011. Produk tersebut telah dimusnahkan karena mengandung acid sebesar 0.25-0.29 mgKOH/g dan jumlah peroxide sebesar 6.49 mmol/kg sesuai ketentuan yang berlaku. Diharapkan pihak/instansi terkait dapat mengambil langkah-langkah efektif dan memperketat pengawasan sehingga dapat menjamin keamanan mutu makanan yang diekspor ke RRT. Kemudian pada tanggal 22 Mei 2012, AQSIQ juga menerbitkan 2012 (No.80) Decree on Requirements for Transport Containers for Importing Bulky Vegetable Oils. Regulasi tersebut mengatur tentang persyaratan bahan yang digunakan untuk membuat wadah pengiriman minyak nabati, daftar bahan yang dilarang dimuat dan dikapalkan, dan larangan untuk menggunakan wadah yang telah digunakan untuk dua kali pengiriman. Regulasi tersebut mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2013 (Direktorat Pengamanan Perdagangan 2012). Penerapan kebijakan SPS terutama pada labeling dan packaging yang berkaitan langsung dengan food safety, food additives, serta certification hendaknya tidak dianggap sebagai hambatan perdagangan saja namun perlu dijadikan motivasi oleh setiap negara terutama Indonesia untuk menghasilkan produk yang berkualitas dan berdaya saing tinggi. Oleh karena itu, dapat disimpulkan dari beberapa alasan tersebut bahwa kebijakan SPS yang diterapkan di negara-negara tujuan ekspor utamanya (negara pengimpor) tidak menghambat dan dapat meningkatkan arus perdagangan ekspor CPO Indonesia. Kebijakan TBT (Technical Barriers to Trade Measures) Non-tariff measures berupa kebijakan TBT yang diberlakukan di negara tujuan ekspor (negara pengimpor) komoditi CPO Indonesia meliputi food standard, labeling (terkait informasi nutrisi), conformity assessment, dan quality requirements. Berdasarkan hasil estimasi menjelaskan bahwa peningkatan cakupan non-tariff measures dalam kebijakan TBT sebesar 1% akan menurunkan arus perdagangan ekspor sebesar 0.41%, ceteris paribus. Indikator yang digunakan untuk mengukur penggunaan kebijakan TBT adalah dummy variable (binary variable) dari penggunaan tiga jenis non-tariff measures tersebut. Pengaruh negatif kebijakan TBTterhadap arus perdagangan ekspor sesuai dengan hipotesis yang ditentukan pada awal penelitian. Penelitian oleh Moenius (2006) menjelaskan bahwa standar khusus (kebijakan TBT) dari negara pengimpor secara negatif mempengaruhi arus perdagangan pada sektor pertanian. Hasil pengujian ini juga sejalan dengan penelitian Fasarella, Souza dan Burnquist (2011) yang menyatakan bahwa kebijakan TBT (berupa technical measures yang khususnya terkait dengan conformity assessment procedur) akan menurunkan arus 12
Wisnu D. 2013. Tugas Besar Sawit Indonesia [Internet]. Koran SINDO, 4 Desember 2013; [diunduh 20 Desember 2013]. Tersedia pada: http://economy.okezone.com/read/2013/12/04/279/906917/tugas-besar-sawit-indonesia
55
perdagangan ekspor Brazil pada produk daging unggas. Fenomena ini juga terjadi pada perdagangan ekspor komoditi CPO Indonesia. Peningkatan kebijakan TBTyang didalamnya merupakan kebijakan terkait dengan regulasi teknis, dan prosedur penilaian kesesuaian (conformity assessment procedur) dengan peraturan teknis dan standar, termasuk langkah-langkah yang tercakup dalam perjanjian SPS, dapatmenurunkan arus perdagangan ekspor. Regulasi teknis merupakan dokumen yang menetapkan karakteristik produk atau yang terkait dengan proses dan cara produksinya, termasuk yang berlaku dalam ketentuan administratif. Hal ini juga dapat mencakup simbol, pengemasan, penandaan atau pelabelan seperti yang digunakan pada produk, proses atau cara produksi. Prosedur penilaian kesesuaian (conformity assessment) adalah prosedur yang digunakan baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk menentukan bahwa persyaratan relevan dalam peraturan teknis atau memenuhi standar, yang mencakup antara lain prosedur pengambilan sampel, pengujian dan inspeksi, evaluasi, dan sebagainya. Standar merupakan dokumen yang disetujui oleh badan berwenang, yang menyediakan aturan, panduan atau karakteristik suatu produk tertentu serta proses dan metode produksi terkait. Dokumen-dokumen tersebut biasanya digunakan secara berulang. Standar dapat dibagi menjadi dua kelompok, yang pertama adalah suka rela (voluntary). Dalam penerapannya beberapa negara mengklasifikasikan standar ke dalam standar wajib (mandatory standard) dan standar yang direkomendasikan (recomendatory standard). Bentuk dari standar wajib mempunyai kesamaan dengan regulasi teknis. Bentuk standar yang kedua adalah comparative conformity. Contoh dari penerapan standar ini adalah ketika suatu negara yang menerapkan standar yang tinggi yang sulit bagi produk impor untuk dipenuhi. Akibatnya, standar ini akan mempengaruhi pilihan konsumen (consumers’ preferences) yang pada gilirannya akan menjadi hambatan perdagangan (Kementerian Perdagangan RI 2012). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Chen et al. (2006) juga menjelaskan bahwa conformity assessment procedure secara signifikan menghambat perdagangan dan prosedur pengujian merupakan hal yang memberatkan bagi perusahaan di sektor pertanian. Penilaian kesesuaian (conformity assessment) mengacu pada pengujian, inspeksi dan sertifikasi, serta pernyataan kesesuaian dari pemasok. Hal tersebut diperlukan untuk mencapai tujuan penting dari suatu kebijakan, salah satunya yaitu perlindungan kesehatan dan keamanan konsumen. Pengujian, inspeksi dan sertifikasi sesuai dengan regulasi TBT akan memerlukan biaya, karena biaya ini diperlukan untuk memastikan kepatuhan terhadap standar yang telah ditetapkan. Jika dilihat pada pemberlakuan non-tariff measures khususnya kebijakan TBT yang diterapkan oleh negara tujuan ekspor komoditi CPO Indonesia, mengindikasikan bahwa jumlah kebijakan TBT lebih banyak diterapkan daripada kebijakan SPS dan trade remedy. Negara yang paling banyak menerapkan kebijakan TBT tersebut adalah Amerika Serikat sebanyak 33 kebijakan, Pakistan sebanyak 26 kebijakan dan Arab Saudi sebanyak 20 kebijakan. Sementara negara lainnya yaitu Uni Eropa sebanyak 8 kebijakan, Cina sebanyak 7 kebijakan, Brazil sebanyak 3 kebijakan, Malaysia dan Turki masing-masing sebanyak 2 kebijakan serta Afrika Selatan sebanyak 1 kebijakan.
56
Regulasi terkait food standard Amerika Serikat mengacu pada The Food and Drug Administration (FDA) yang bertanggung jawab untuk memastikan bahwa produk makanan yang dijual di Amerika Serikat aman, sehat dan diberi label dengan benar. Hal ini berlaku untuk produk makanan yang diproduksi di dalam negeri, maupun produk makanan yang berasal dari negara-negara asing. Federal Food, Drug, and Cosmetik Act (FD & C Act) serta Undang-Undang terkait Kemasan dan Pelabelan adalah regulasi pemerintah Amerika Serikat yang mengatur produk makanan di bawah yurisdiksi FDA. The Nutrition Labeling and Education Act (NLEA) yang merupakan amandemen dari FD & C Act, mengharuskan sebagian besar produk makanan untuk mencantumkan label nutrisi dan label klaim kandungan gizi serta pesan kesehatan tertentu untuk memenuhi persyaratan tertentu. Produk CPO Indonesia yang diekspor ke Amerika Serikat termasuk salah satu bahan baku bagi industri produk makanan dan kosmetik Amerika Serikat. Meskipun produk CPO Indonesia belum pernah ditolak atau ditahan, tapi perlu menjadi perhatian agar CPO Indonesia harus dapat memenuhi standar mereka. CPO Indonesia juga bersaing dengan minyak nabati kedelai yang berasal dari Amerika Serikat, sehingga Amerika Serikat menerapkan standar sebagai bentuk proteksi atas produk kedelai mereka. Selain itu juga terdapat regulasi yang berpotensi menghambat ekspor komoditi CPO Indonesia seperti misalnya Notice of Data Availability (NODA) oleh Amerika Serikat. NODA dikeluarkan oleh Environmental Protection Agency (EPA) pada bulan Desember 2011. Secara singkat isi dari NODA adalah analisis terhadap emisi Greenhouse Gas (GHG) dari palm oil yang digunakan sebagai bahan baku produk biodiesel dan renewable diesel berdasarkan program Renewable Fuel Standard (RFS). Hasil analisis EPA menyatakan bahwa biodiesel dan renewable diesel yang berbahan baku palm oil tidak memenuhi ketentuan minimum 20% ambang batas pengurangan emisi GHG (palm oil hanya berada pada level 11-17%) yang dipersyaratkan agar dapat dimasukkan ke dalam kategori bahan bakar terbarukan (renewable fuel) sesuai dengan program RFS. Meskipun masih berupa draft, namun jika NODA diangkat menjadi regulasi, hal ini berpotensi menjadi hambatan dalam perdagangan bagi produk palm oil yang akan masuk ke pasar Amerika Serikat dan tidak sesuai dengan ketentuan yang ada di dalam pasal-pasal WTO/GATT Agreement, antara lain: Artikel I:1 dari GATT mengenai prinsip Most Favored Nation. Apa yang dilakukan oleh EPA dapat dianggap sebagai de facto discrimination; Artikel III:4 dari GATT mengenai National Treatment; dan Artikel XI dari GATT mengenai import ban. Selain ketentuan WTO/GATT, NODA juga memiliki ketidaksesuaian dengan ketentuan di dalam TBT Agreement, antara lain pada: Artikel 2.1 mengenai like product; Artikel 2.2 mengenai unnecessary obstacles to international trade; dan Artikel 2.4 mengenai relevant international standards (Direktorat Pengamanan Perdagangan 2012). Bentuk regulasi lain yang menghambat ekspor komoditi CPO Indonesia yaitu Renewable Energy Directive (RED) yang diterapkan oleh Uni Eropa sejak tanggal 23 April 2009. Beberapa pokok kebijakan RED tersebut adalah: a.) Seluruh anggota Uni Eropa diwajibkan untuk menggunakan 10% kebutuhan bahan bakar di sektor transportasi dari energi hayati yang dapat diperbaharui, termasuk di dalamnya biofuel, hidrogen dan green electricity, pada tahun 2020. Hal ini dimaksudkan sebagai upaya mengurangi kandungan emisi gas buang
57
kendaraan bermotor yang berdampak kepada emisi gas rumah kaca; b.) Adanya kriteria keberlangsungan (sustainability) untuk biofuel, RED mewajibkan seluruh anggota Uni Eropa untuk memastikan bahwa biofuel yang digunakan mempunyai sedikitnya 35% penghematan emisi karbon dibandingkan dengan bahan bakar fosil. Angka ini meningkat hingga 50% pada tahun 2017 dan 60% pada tahun 2018. Sektor industri di Indonesia yang terkena dampak dari penerapan kebijakan RED tersebut adalah industri CPO yang merupakan bahan baku utama produksi biofuel, khususnya biodiesel. Ketentuan penghematan emisi karbon untuk CPO sebesar 35% sangat sulit untuk dicapai. Sebagai catatan, penghematan emisi karbon produk CPO Indonesia saat ini hanya sebesar 19%, jauh dari standar sustainability yang ditetapkan oleh Uni Eropa. Kebijakan ini dapat dianggap sebagai diskriminasi terhadap produk biofuel asal Indonesia di pasar Uni Eropa. Untuk itu Indonesia meminta klarifikasi mengenai metode penghitungan penghematan emisi karbon tersebut. Pada tanggal 5-6 Oktober 2010 Malaysia dan Indonesia mengadakan pertemuan Sub Working Group on Palm Oil ke-12 di Penang, Malaysia. Kedua negara sepakat terkait hal yang tidak konsisten terdapat di dalam ketentuan RED dengan aturan WTO, khususnya Agreement of Technical Barriers to Trade (TBT) and GATT 1947, Artikel I, III, XI dan XX. Dalam pertemuan tersebut juga disepakati pembentukan Technical Group yang berisi ahli di bidang hukum, ekonomi dan teknis guna mempelajari isu-isu dan implikasi ketentuan RED. Saat ini Komisi Eropa telah mengeluarkan proposal untuk mengamandemen Regulasi EU-RED, dimana salah satu poin yang akan diamandemen adalah peningkatan minimum gas rumah kaca dari 35% menjadi 60% bagi pabrik yang mulai beroperasi pada tanggal 1 Juli 2014 (Direktorat Pengamanan Perdagangan 2012). Contoh kasus lainnya dari Inggris (salah satu negara anggota Uni Eropa) yang telah menerbitkan pernyataan nasional mengenai palm oil dan dijelaskan didalamnya bahwa sebagian besar produsen di Inggris telah berkomitmen pada tahun 2015 akan menggunakan sustainable palm oil. Definisi dan informasi mengenai hal tersebut ada di website Department for Environment, Food and Rural Affairs (DEFRA) yang dipublikasikan pada bulan Oktober 2012. Dalam website DEFRA disebutkan bahwa Inggris ingin mencapai 100% certified sustainable palm oil pada akhir tahun 2015. The EU law on food labeling memperbolehkan perusahaan/pelaku usaha untuk mencantumkan label dengan nama generic vegetable oil. Aturan tersebut telah dirubah dan berdasarkan aturan tersebut, label harus mencantumkan nama spesifik vegetable oil yang dipergunakan dalam vegetable oil, bisa sunflower atau rapeseed dalam proporsi yang bermacam-macam. Aturan tersebut dikeluarkan di akhir tahun 2011 dan menjadi wajib di akhir tahun 2014 (Direktorat Pengamanan Perdagangan 2012). Salah satu regulasi dari Pakistan terkait standar untuk produk makanan halal ditujukan untuk semua produk pada sektor makanan yang masuk ke Pakistan. Regulasi tersebut adalah PS 3733: 2010 Pakistan Standards for Halal Food Management Systems: Requirements for any organization in the food chain dan PS 4992:2010 Pakistan Standard for General Criteria for the operation of halal Certification Bodies, termasuk didalamnya terkait processing, handling, storage, distribution, packaging dan labeling untuk produk makanan yang diekspor ke Pakistan termasuk CPO sebagai bahan baku untuk berbagai produk makanan. Pakistan sebagai salah satu negara tujuan ekspor komoditi CPO Indonesia
58
menerapkan regulasi tersebut agar dapat dipenuhi oleh para importer sesuai dengan standar Pakistan. Contoh kasus dari Cina melalui AQSIQ Shi Jian 2012 (No. 229) mengeluarkan notifikasi mengenai Further Enhancing Supervision of Vegetable Oil Import Inspection pada tanggal 14 Mei 2012. Dalam tersebut dinyatakan bahwa importir bertanggung jawab terhadap kualitas dan keamanan minyak nabati (vegetable oils) yang diimpor. Secara spesifik, importir harus memberikan jaminan bahwa minyak nabati yang diimpor telah memenuhi persyaratan di dalam undang-undang standar Pemerintah Cina dengan memiliki dokumen yang relevan yang menyatakan bahwa produk yang diimpor telah memenuhi standar Cina, membuat catatan impor dan penjualan yang dapat dilacak, serta mempekerjakan pegawai yang mengenal baik regulasi mengenai kualitas dan keamanan Cina. Pemerintah Cina telah memberlakukan standar yang lebih ketat terhadap impor produk CPO Indonesia mulai Januari 2013 terutama terkait dengan acid value (Direktorat Pengamanan Perdagangan 2012). Produk CPO (olein) yang tidak memenuhi ketentuan ini akan dikembalikan karena CPO harus di-refined menjadi edible oil sebelum diimpor. Hal ini tidak saja menambah biaya impor tapi juga akan mempengaruhi impor bagi yang tidak mempunyai kemampuan refining. Regulasi ini sebenarnya merupakan ketentuan lama (berlaku sejak 2009) dan pemerintah Cina telah memberikan kesempatan kepada para eksportir untuk menyesuaikannya. Nampaknya pemerintah Cina tidak lagi bisa mentolelir hal ini, dan dibuktikan terdapat sekitar 45 000 ton produk impor CPO Indonesia yang dikembalikan. Regulasi ini tidak dapat dirubah, dan berlaku untuk semua impor dari negara manapun. Maka dihimbau agar perusahaan lebih memperhatikan kualitas dan pengawasan agar sesuai dengan standar dan peraturan di negara tujuan ekspor (Direktorat Pengamanan Perdagangan 2012). Oleh karena itu, dapat disimpulkan dari beberapa alasan tersebut bahwa kebijakan TBT yang diterapkan di negara-negara tujuan ekspor utamanya (negara pengimpor) tersebut menghambat dan dapat menurunkan arus perdagangan ekspor CPO Indonesia.
Kebijakan Trade Remedy (Antidumping, Subsidy, Safeguard) Non-tariff measures berupa kebijakan trade remedy yang diberlakukan di negara tujuan ekspor (negara pengimpor) komoditi CPO Indonesia meliputi antidumping, subsidy, dan safeguard. Peningkatan cakupan non-tariff measures dalam kebijakan trade remedy sebesar 1% akan meningkatkan arus perdagangan ekspor sebesar1.14%, ceteris paribus. Penggunaan kebijakan trade remedy ternyata tidak secara langsung menghambat perdagangan dan dapat meningkatkan arus perdagangan ekspor. Indikator yang digunakan untuk mengukur penggunaan kebijakan trade remedy adalah dummy variable (binary variable) dari penggunaan tiga jenis non-tariff measures tersebut. Pengaruh positif kebijakan trade remedy terhadap arus perdagangan ekspor berlawanan dengan hipotesis yang ditentukan pada awal penelitian. Bukti pengenaan trade remedy harus berbasis unfair trade, namun kenyataannya banyak
59
yang tidak berbasis scientific evidence melainkan alasan politis karena proteksi. Kecenderungan penggunaan non-tariff measures pada trade remedy terjadi pada spesifik produk (produk hilir dari industri kelapa sawit dan turunannya), sedangkan CPO merupakan produk hulu. Bentuk produk hilir dari komoditi CPO adalah dapat berupa fatty alcohol dan biodiesel, sehingga tidak secara langsung mempengaruhi (menurunkan) ekspor CPO ke negara mitra dagangnya. Contoh kasus terkait adalah kasus dumping dan subsidy atas produk biodiesel asal Indonesia ke Uni Eropa. European Biodiesel Bord (EBB) mendapat tekanan kuat dari produsen utama biofuel di Uni Eropa (Jerman, Perancis dan Italia) untuk mencermati lonjakkan impor produk biofuel dari Indonesia dan Argentina yang sangat mengganggu pangsa pasar mereka dan telah mendominasi pasar impor biofuel Uni Eropa. Selain itu pada tahun 2011 terjadi lonjakan impor biodiesel ke Belanda dari 41 958.4 ton pada tahun 2010 menjadi 155 465.6 ton pada tahun 2011 atau meningkat sebesar 270.52%, market share volume Indonesia ke Belanda naik dari 2.68% menjadi 9.34% pada tahun 2011. Besar kemungkinan lonjakan impor dan market share Indonesia ke Belanda menjadi pemicu inisiasi rencana tuduhan dumping. Setelah dilakukan penyelidikan maka pada awal bulan Desember 2013 Komisi Eropa memutuskan bahwa pelaku usaha Indonesia telah melakukan praktek dumping. Oleh karena itu dikenakan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) dengan kisaran 8.8% hingga 20.5% 76.94€ s/d 178.85€) per ton (Direktorat Pengamanan Perdagangan 2013). Alasan lain yang mendukung bahwa trade remedy tidak selalu menghambat perdagangan karena negara pengimpor yang mengenakan tuduhan dumping atau subsidy atau safeguard tidak serta merta menghentikan kebutuhannya atas komoditi tersebut. Karena pada dasarnya mereka akan selalu membutuhkan CPO Indonesia untuk kebutuhannya, baik kebutuhan untuk industrinya maupun terkait food security dan energy security (tren penggunaan energi terbarukan). Selain itu dampaknya terhadap perdagangan tidak dihentikan karena akhir dari pengenaan tuduhan trade remedy tersebut yaitu berupa pengenaan bea masuk yang sifatnya hanya sementara (berkisar antara 4 sampai 5 tahun), kemudian setelah tahun pengenaan tersebut telah selesai maka dapat tetap melanjutkan perdagangannya (Oke Nurwan 31 Oktober 2014, komunikasi langsung). 6 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan uraian yang telah disajikan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Analisis kinerja perdagangan ekspor Indonesia bertujuan untuk mengidentifikasi daya saing komoditi CPO Indonesia di negara tujuan ekspor utamanya, dan dapat diindikasikan melalui keunggulan komparatif suatu komoditi dengan menggunakan pendekatan nilai RCA. Hasil RCA memperlihatkan bahwa seluruhnya menunjukkan nilai yang lebih dari satu. Artinya komoditi CPO Indonesia memiliki daya saing yang baik di pasar dunia. Kondisi ini sangat memungkinkan karena CPO merupakan salah satu komoditi unggulan ekspor Indonesia, dimana Indonesia mendominasi
60
2.
3.
produksi komoditi ini tidak hanya sebagai produsen tapi sekaligus eksportir terbesar di dunia. Jenis non-tariff measures yang digunakan yaitu sanitary and phytosanitray (SPS), technical barriers to trade (TBT) dan trade remedy (antidumping, subsidy, safeguard) yang dikenakan oleh negara-negara tujuan ekspor utamanya pada komoditi CPO Indonesia. Negara-negara tujuan ekspor utamanya yang memberlakukan non-tariff measures paling banyak adalah Amerika Serikat. Non-tariff measures yang lebih banyak diterapkan oleh negara-negara tujuan ekspor utamanya adalah kebijakan TBT. Negara yang tidak memberlakukan non-tariff measures yaitu India, Singapura, Banglades, Mesir, Ukraina, Rusia, Myanmar, Tanzania, Jordania dan Srilanka. GDP riil negara pengimpor, jarak ekonomi, populasi negara pengimpor, nilai tukar riil dan dummy non-tariff measures merupakan faktor yang dapat mempengaruhi arus perdagangan ekspor komoditi CPO Indonesia. Secara keseluruhan non-tariff measures dari negara-negara tujuan ekspor utamanya menghambat arus perdagangan ekspor komoditi CPO Indonesia, tetapi pengaruhnya tidak nyata. Namun jika non-tariff measures didisagregasi berdasarkan jenisnya berupa SPS, TBT dan trade remedy, hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh non-tariff measures pada kebijakan SPS nyata pada level signifikansi 5% namun koefisiennya bernilai positif yaitu 0.34, sedangkan pada kebijakan TBT nyata pada level signifikansi 1% dengan nilai koefisien sebesar -0.41, serta pada kebijakan trade remedy juga nyata pada level signifikansi 1% namun koefisiennya bernilai positif yaitu 1.41. Oleh karena itu, kebijakan yang lebih dominan mempengaruhi arus perdagangan ekspor komoditi CPO Indonesia adalah kebijakan TBT. Implikasi Kebijakan
Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh, maka beberapa hal yang dapat disarankan bagi pemerintah yaitu: 1. Upaya kerjasama Indonesia dengan negara-negara pengimpor lainnya sebaiknya terus ditingkatkan, mengingat tingkat daya saing komoditi CPO yang sangat tinggi dibandingkan dunia. Oleh karena itu, perlunya pemerintah melakukan hubungan kerjasama baik bilateral, regional maupun multilateral yang nantinya dapat meningkatkan akses pasar ekspor Indonesia. Dalam kerjasama regional, Indonesia sebagai salah satu negara anggota ASEAN dapat dijadikan basis industri CPO di kawasan tersebut. 2. Upaya untuk mematuhi dan beradaptasi dengan persyaratan/ketentuan SPS, TBT, dan trade remedy dari masing-masing negara pengimpor. Hal ini disebabkan kebijakan SPS, TBT dan trade remedy tidak dapat dihilangkan. Oleh karena itu, penting bagi Pemerintah untuk melakukan diseminasi kepada pelaku usaha (baik eksportir maupun importir) khususnya di daerahdaerah terkait hambatan perdagangan dan membantu cara mengatasinya. 3. Perlu adanya upaya penanganan yang komprehensif terhadap hambatan perdagangan khususnya non-tariff measures dari negara mitra dagang. Kementerian Perdagangan dan Kementerian terkait lainnya dapat melakukan negosiasi di tingkat bilateral, regional maupun multilateral, serta memfasilitasi dunia usaha dalam menyelesaikan dan mencari solusi
61
4.
5.
permasalahan hambatan perdagangan tersebut. Jika dianggap perlu dan menyangkut kepentingan nasional dapat dibawa ke Badan Penyelesaian Sengketa (DSB) WTO untuk mencari solusi dari hambatan tersebut agar akses pasar ekspor tidak terhambat di negara mitra dagang. Pemerintah harus lebih concern dengan kebijakan TBT yang lebih banyak menghambat ekspor komoditi CPO Indonesia dengan memperhatikan standar dan persyaratan teknis lainnya. Pemerintah juga perlu menyediakan fasilitas pengujian standarisasi dengan biaya yang relatif terjangkau untuk meningkatkan ekspor komoditi CPO Indonesia. Kementerian terkait dapat berkoordinasi dengan BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) dan BSN (Badan Standarisasi Nasional) terkait dengan standar dan persyaratan teknis lainnya. Saat ini Indonesia telah memiliki sertifikasi untuk komoditi CPO yang dikenal dengan Indonesian Sustainability Palm Oil (ISPO). Pemerintah Indonesia perlu gencar memperkenalkan ISPO ke negara-negara mitra dagang, karena ISPO merupakan bentuk nyata dari kebijakan Pemerintah Indonesia yang berkomitmen terhadap sustainable CPO. Saran Penelitian Lanjutan
Dari model yang digunakan dalam penelitian ini, dapat dikembangkan model lebih lanjut guna memperoleh hasil yang lebih baik. Saran peneliti lebih lanjut adalah: 1. Penambahan variabel dalam perhitungan dari proksi pengaruh non-tariff measures dan dapat dilakukan pada komoditi lainnya untuk melihat pengaruhnya dari sisi komoditi/produk. Untuk penelitian selanjutnya dapat dikembangkan juga model analisis yang mempertimbangkan model Computable General Equilibrium untuk melihat dampak ekonomi secara makro maupun mikro. 2. Model pada penelitian ini membagi penggunaan jenis non-tariff measures menjadi tiga yaitu SPS, TBT dan trade remedy dengan menggunakan pendekatan binary variable (variabel dummy). Penelitian lebih lanjut dapat menambah jenis non-tariff measures lainnya dan juga dapat dilakukan dengan metode pendekatan lain yang tersedia, sehingga dapat diperoleh perbandingan dari metode-metode yang digunakan sebelumnya. Penelitian ini dapat dikaji lebih luas lagi dengan melakukan analisis dampak 3. non-tariff measures terhadap negara selain Indonesia, atau bahkan membandingkan penerapan non-tariff measures dari negara maju dengan non-tariff measures dari negara berkembang.
DAFTAR PUSTAKA Anderson JE. 1979. A Theoretical Foundation for The Gravity Equation. American Economic Review, 106-113. Andriamananjara S, Ferrantino M, Tsigas M. 2003. Alternative Approaches in Estimating the Economic Effects of Non-Tariff Measures: Result from Newly
62
Quantified Measures. Office of Economics Working Paper, United States International Trade Commission No. 2003-12-C. Washington DC, USA. Anggit R, Suyastiri NM, Suprihanti A. 2012. Analisis Daya Saing Crude Palm Oil (CPO) Indonesia di Pasar Internasional. Jurnal. SEPA: Vol. 9 No.1:125-133. Areethamsirikul S. 2006. The Impact of ASEAN Enlargement Intra-ASEAN Trade: Gravity Mode Approach. The Indonesian Quarterly, 34(2):176-192. Badan Pusat Statistik [BPS]. 2013. Statistik Kelapa Sawit Indonesia. Publikasi BPS. Jakarta.http://www.bps.go.id/hasil_publikasi/stat_kelapa_sawit_2012/index3.p hp?pub=Statistik%20Kelapa%20sawit%20Indonesia%202012. [diakses 25 Mei 2014] ______________________. 2014. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia. Berita Resmi Statistik BPSNo. 16/02/Th. XVII, 5 Februari 2014. Jakarta. Baltagi BH. 2005. Econometric Analysis of Panel Data, 3rd Edition. Chicester: John Wiley & Sons, Ltd. Barutu C. 2007. Ketentuan Antidumping, Subsidi dan Tindakan Pengamanan (Safeguard) dalam GATT dan WTO. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Basri F, Haris M. 2010. Dasar-dasar Ekonomi Internasional Pengenalan dan Aplikasi Metode Kuantitatif. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Basiron Y. 2002. Palm Oil and Its Global Supply and Demand Prospects. Palm Oil Industry Economic Journal. 2 (1): 1 – 10. Basu SR. 2009. Non-Tariff Measures: Results from Firm Surveys and Official Sources. Presentation to the UNESCAP/UNCTAD/WTO-OMC Research Workshop on Rising Non-Tariff Protectionism and Crisis Recovery, Macau, 14 December 2009. http://www.unescap.org/tid/projects/ntp_s3_sudip.pdf Basu SR, Kuwahara H, Dumesnil F. 2012. Evolution of Non-Tariff Measures: Emerging Cases from Selected Developing Countries. Policy Issues in International Trade and Commodities Study Series No.52. UNCTAD: Geneva. Beghin JC. 2008. Non-Tariff Barriers. In: Darlauf S and Blume L, eds. The New Palgrave Dictionary of Economics. Second Edition. New York: Palgrave Macmillan Ltd. 126-129. Bellanawithana A, Wijerathne B, Weerahewa J. 2009. Impacts of Non-Tariff Measures (NTMs) on Agricultural Exports: A Gravity Modeling Approach. Asia – Pacific Trade Economists Conference. University of Peradeniya, Srilanka: ESCAP. Bergstrand JH. 1985. The Gravity Equation in International Trade-some microeconomic Foundations and Empirical Evidence. Review of Economics and Statistics, 67, 474-481. Bergstrand JH, Baier LS. 2003. Endogenous Free Trade Agreements and the Gravity Equation. Department of Finance and Business Economics, April. Bora B, Kuwahara A, Laird S. 2002. Quantification of Non-Tariff Measures. Policy Issues in International Trade and Commodities. UNCTAD: Geneva. Bown CP. 2009. The Global Resort to Antidumping, Safeguards, and other Trade Remedies amidst the Economic Crisis. Policy Research Working Paper 5051. Bratt M. 2014. Estimating the Bilateral Impact of Non-Tariff Measures (NTMs). Working Paper Series 14-01-1. Geneva, Switzerland.
63
Buletin Kerjasama Perdagangan Internasional. 2011. Buletin Nomor: KPI/BUL/005/2011. Direktorat Jenderal Kerjasama Perdagangan Internasional, Kementerian Perdagangan RI. Chen MX, Otsuki T, Wilson JS. 2006. Do Standards Matter for Export Success?. World Bank Policy Research Working Paper 3809, January 2006. Dee P, Ferrantino MJ. 2005. Quantitative Measures for Assessing the Effect of Non-Tariff Measures and Trade Facilitation. World Scientific Ltd. for APEC. Singapore. Demaria F, Rau ML, Schlueter S. 2011. NTMs and gravity-type models: state of the art and analysis of the literature. NTM Impact Working Paper 11/01. European Commission 7th Framework Programme. Departemen Luar Negeri. 2003. Sekilas World Trade Organization. Jakarta: Direktorat Perdagangan dan Perindustrian Multilateral, Direktorat Jenderal Multilateral Ekonomi Keuangan dan Pembangunan. Departemen Perdagangan. 2010. Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Kerjasama Perdagangan Internasional 2005 – 2009. Departemen Perdagangan. Direktorat Pengamanan Perdagangan. 2012. Perkembangan dan Profil Kasus. Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan RI. Disdier AC, Fontagne L, Mimouni M. 2008. The Impact of Regulations on Agricultural Trade: Evidence from SPS and TBT Agreements. American Journal of Agricultural Economics 90(2):336-350. Dumairy. 1997. Perekonomian Indonesia. Jakarta: Erlangga. Fassarella LM, de Souza MJP, Burnquist HL. 2011. Impact of Sanitary and Technical Measures on Brazilian Exports of Poultry Meat. Selected Paper prepared for presentation at the Agricultural & Applied Economics Association’s 2011 AAEA & NAREA Joint Annual Meeting July 24-26, 2011. Pittsburgh, Pennsylvania. Firdaus M. 2011. Aplikasi Ekonometrika untuk Data Panel dan Time Series. Bogor : IPB Press. Fugazza M. 2013. The Economics behind Non-Tariff Measures: Theoretical Insights and Empirical Evidence. Policy Issues in International Trade and Commodities Study Series No.57. UNCTAD: Geneva. GAPKI [Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia]. 2010. Industri Kelapa Sawit Indonesia menghadapi Isu Perubahan Iklim. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia, Jakarta. Gonel F, Terregrossa NT, Dinc T. 2012. The Effect of International Standards on Turkish Export Flows to the EU Countries. Journal. Department of Economics, Yildiz Technical University, Turkey. http://www.etsg.org/ETSG2013/Papers/228.pdf. [diakses 2 Mei 2014] Gujarati D. 2004. Basic Econometrics, 4th Edition. The McGraw-Hill Companies. Hady H. 2004. Ekonomi Internasional: Teori dan Kebijakan Keuangan Internasional. Jakarta: Ghalia Indonesia. Hai TC. 2004. Selling the green palm oil advantage?. Oil Palm Industry Economic Journal, Vol. 4 (1), pp. 22-31. Head K. 2003. Gravity for Beginners. University of Columbia. Canada. [ITC] International Trade Centre. 2012. Non-Tariff Measures: A Key Issue in Evolving Trade Policy. International Trade Forum Magazine October 01, 2012.
64
http://www.tradeforum.org/article/Non-tariff-measures-A-key-issue-inevolving-trade-policy/. [diakses 18 Mei 2014] Kementerian Perdagangan RI. 2013. Warta Ekspor Kementerian Perdagangan. Nomor: Ditjen PEN/MJL/004/1/2013 Januari. Direktorat Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional, Kementerian Perdagangan. Kementerian Perdagangan RI. 2012. Warta Hambatan Perdagangan. Edisi 001/2012. Direktorat Pengamanan Perdagangan, Kementerian Perdagangan. Kien NT. 2009. Gravity Model by Panel Data Approach: An Empirical Application with Implications for the ASEAN Free Trade Area. ASEAN Economic Bulletin, Vol 26, No. 3. Krugman, Obstfeld. 2003. International Economics Theory and Policy. Massachusetts : An imprint of Addison Wesley Longman, Inc. Kuncoro M. 1997. Ekonomi Pembagunan: Teori, Masalah dan Kebijakan. Unit Penerbit dan Percetakan, Akademi Manajemen Perusahaan YKPN Lindert PH, Kindleberger CP, Abdullah B. 1993. Ekonomi Internasional edisi kedelapan. Jakarta: Erlangga. Moenius J. 2006. Do National Standards Hinder or Promote Trade in Electrical Products?. IEC Centenary Challenge. https://www.iec.ch/academia/papers/moenius.pdf Moenius J. 2006. The Good, the Bad and the Ambiguous: Standards and Trade in Agriculture Products. Paper presented at IATRC Summer Symposium “Food Regulation and Trade: Institutional Framework, Concepts of Analysis and Empirical Evidence”. Bonn. Germany, 28-30 May. Nandang S. 2007. Memperkuat Sistem Hukum Remedi Perdagangan, Melindungi Industri Dalam Negeri.Jurnal Hukum No. 2, Volume 14, April 2007: 230 – 246. Nguyen BX. 2010. The Determinants of Vietnamese Export Flows: Static and Dynamic Panel Gravity Approaches. International Graduate School of Social Sciences. Yokohama National University. International Journal of Economics and Finance. http://ccsenet.org/journal/index.php/ijef/article/view/4853/5926. [diakses 2 Mei 2014] Oktaviani R. 2008. Consultancy and Training Services to Develop Quantitative Analytical Tools and Framework for Assessing Investment and Trade Competitiveness. Department Of Economics FEM IPB in collaboration with BAPPENAS and Partnership Governance Reform. Pahan I. 2008. Panduan Lengkap Kelapa Sawit. Jakarta: Penebar Swadaya. Poyhonen P. 1963. A Tentative Model for the Volume of Trade Between Countries. Weltwirtschaftliches Archive. Vol 90: 93-100. Salvatore D. 1997. International Economics. New Jersey: Prentice Hall- Gale. Sarfati G. 1998. European Industrial Policy as a Non-Tariff Barrier. European Integration Online Papers (EIoP), Vol. 2, No. 2, May 13, 1998. Saqib M, Taneja N. 2005. Non- ariff Barriers and India’s E ports: he Case of ASEAN and Sri Lanka. Working Paper No. 165. Indian Council for Research on International Economics Relations. Stephenson SM. 1994. The Uruguay Round and Its Benefit to Indonesia. Ministry of Trade, Republic of Indonesia, Jakarta. Subhani MI, Osman MA, Khokhar R. 2010. Determinants and Barriers to Bilateral Trade a Study on Developing Economies. MPRA Paper No. 26179.
65
Susila WR. 1998. Daya Saing dan Efisiensi Penggunaan Sumberdaya Minyak Sawit Mentah (CPO) Indonesia. Jurnal Agribisnis, 2(2): 16-30. Tambunan T. 2001. Perdagangan Internasional dan Neraca Pembayaran - Teori dan Temuan Empiris. Jakarta: PT Pustaka LP3ES Indonesia. Tinbergen J. 1962. Shaping the World Economy–Suggestions for an International Economic Policy, The Twentieth Century Fund. TRADEMAP. 2014. List of importing markets for a product exported by Indonesia, Product: 1511 Palm oil & its fraction. http://www.trademap.org/Country_SelProductCountry_TS.aspx [terhubung berkala]. [UNCTAD] United Nations Conference on Trade Development. 2005. Report on the Experts Meeting on Methodologies, Classification, Quantification, and Development Impacts of Non-Tariff Barriers.TD/B/COM.1/EM.27/3. New York and Geneva. [UNCTAD] United Nations Conference on Trade Development. 2010. Non-Tariff Measures: Evidence from Selected Developing Countries and Future Research Agenda. UNCTAD/DITC/TAB/2009/3. New York and Geneva. http://www.unctad.org/en/docs/ditctab20093_en.pdf. [diakses 17 Februari 2014] [UNCTAD] United Nations Conference on Trade Development. 2013. Non-Tariff Measures to Trade: Economic and Policy Issues for Developing Countries. Switzerland. Geneva. [USDA] United States Departement of Agriculture. 2013. Indonesia: Long-Term Prospects for U.S. Agricultural Exports. International Agricultural Trade http://www.fas.usda.gov/data/indonesia-long-term-prospects-usReports. agricultural-exports. [diakses 17 Februari 2014] Van Gelder JW. 2004. Greasy palms: European buyers of Indonesian palm oil. http://www.foe.co.uk/resource/reports/greasy_palms_buyers.pdf. [diakses 10 September 2013] Wall H. 1999. Using the Gravity Model to Estimate the Costs of Protection. Federal Reserve Bank of St. Louis Review. Jan:33-40. [WTO] World Trade Organization. 2013. Non-Tariff Measures Data. http://itip.wto.org/goods/Forms/TableView.aspx?mode=modify&action=search. [terhubung berkala]. World Trade Report. 2012. The Trade Effects of Non-Tariff Measures and Service Measures.http://www.wto.org/english/res_e/booksp_e/anrep_e/world_trade_re port12_e.pdf. [diakses 2 Juni 2014] Zarzoso IM, Lehmann FN. 2003. Augmented Gravity Model: An Empirical Application to Mercosur-European Union Trade Flows. Journal of Applied Economics, Vol. VI, No. 2 (Nov 2003), 291-316. Zhou W, Cuyvers L. 2009. What Explains EU´s Antidumping Actions Against East Asian Countries?. International Conference on Applied Economics – ICOAE.
66
LAMPIRAN
67
Lampiran 1 Hasil Estimasi Model 1 Fixed-effects GLS regression Group variable: negara
Number of obs = Number of groups = Time periods =
209 19 11
R-sq: within = 0.4011 between = 0.0223 overall = 0.0053
ln_export ln_gdp ln_distance ln_population ln_realer dum_ntm _cons sigma_u sigma_e rho
Coef. 1.31927 -1.597383 1.086494 .2704954 -.0653401 -38.50956 8.657903 .99962053 .98684491
Std. Err. .0332194 .0479722 .0711109 .0193706 .0561375 1.189187
z 39.71 -33.30 15.28 13.96 -1.16 -32.38
Wald chi2(5) = 11742.65 Prob > chi2 = 0.0000 P>|t| [95% Conf. Interval] 0.000 1.254161 1.384379 0.000 -1.691407 -1.503359 0.000 .9471194 1.225869 0.000 .2325297 .3084611 0.244 -.1753675 .0446873 0.000 -40.84032 -36.1788
(fraction of variance due to u_i)
Model 2 Fixed-effects GLS regression Group variable: negara
Number of obs = Number of groups = Time periods =
209 19 11
R-sq: within = 0.4040 between = 0.0254 overall= 0.0066
ln_export ln_gdp ln_distance ln_population ln_realer dum_sps dum_tbt dum_tr _cons sigma_u sigma_e rho
Coef. 1.324762 -1.604976 1.053921 .2818204 .3367166 -.4062136 1.144646 -38.09706 8.8827148 1.0026238 .98741983
Std. Err. .1397693 .1707891 .0826717 .0425829 .1315832 .1098393 .220804 3.998334
z 9.48 -9.40 12.75 6.62 2.56 -3.70 5.18 -9.53
Wald chi2(7) = 711.78 Prob > chi2 = 0.0000 P>|t| [95% Conf. Interval] 0.000 1.050819 1.598704 0.000 -1.939716 -1.270235 0.000 .891887 1.215954 0.000 .1983594 .3652814 0.010 .0788184 .5946149 0.000 -.6214947 -.1909325 0.000 .711878 1.577414 0.000 -45.93365 -30.26047
(fraction of variance due to u_i)
68
Lampiran 2 Uji Asumsi Dasar a. Uji Multikolinearitas Model 1 ln_export ln_gdp ln_distance ln_populat~n ln_realer dum_ntm
ln_exp~t 1.0000 0.2702 0.1033 0.3716 0.0253 0.0459
ln_gdp ln_dis~e
ln_pop~n
ln_rea~r
dum_ntm
1.0000 0.9455 0.6920 0.4623 0.5628
1.0000 -0.0839 0.3270
1.0000 0.3054
1.0000
1.0000 0.7108 0.4630 0.5673
Model 2 ln_export ln_gdp ln_distance ln_populat~n ln_realer dum_sps dum_tbt dum_tr
ln_exp~t 1.0000 0.2702 0.1033 0.3716 0.0253 0.1025 -0.0586 0.1208
ln_gdp ln_dis~e
ln_pop~n
ln_rea~r
dum_sps dum_tbt
dum_tr
1.0000 0.9455 0.6920 0.4623 0.4127 0.4375 0.1447
1.0000 -0.0839 0.2826 0.2172 0.0993
1.0000 0.2304 0.2698 -0.0231
1.0000 0.3607 -0.0370
1.0000
1.0000 0.7108 0.4630 0.4168 0.4495 0.1229
b. Uji Autokorelasi Model 1 Wooldridge test for autocorrelation in panel data H0: no first-order autocorrelation F( 1, 18) = 30.274 Prob > F = 0.0000 Model 2 Wooldridge test for autocorrelation in panel data H0: no first-order autocorrelation F( 1, 18) = 30.473 Prob > F = 0.0000
1.0000 -0.0494
69
c. Uji Heteroskedastisitas Model 1 Modified Wald test for groupwise heteroskedasticity in fixed effect regression model H0: sigma (i)^2 = sigma^2 for all i chi2 (19) = 9106.12 Prob>chi2 = 0.0000
Model 2 Modified Wald test for groupwise heteroskedasticity in fixed effect regression model H0: sigma (i)^2 = sigma^2 for all i chi2 (19) = 8041.15 Prob>chi2 = 0.0000
70
Lampiran 3 Penerapan Non-Tariff Measures terhadap Komoditi CPO Indonesia Tahun 2003-2013 oleh Negara Tujuan Ekspor Utamanya Negara Tujuan Ekspor Utama
Trade Remedy SPS
TBT Dumping
India
-
-
Uni Eropa
Food safety, human health, contaminant, food additives
Cina
-
Subsidy
Safeguard
-
-
Food standard, Biodiesel (Inisiasi labeling, nutrition 29 Agustus 2012; information Dikenakan BMAD pada Desember 2013). Fatty Alcohols (Inisiasi 13 Agustus 2010; Dikenakan BMAD 11 November 2011; Re Opening Case 28 Februari 2013).
Biodiesel (Inisiasi 10 November 2012; Kasus dihentikan 14 Oktober 2013).
-
Food additives, food safety, labeling, contaminant, packaging, human health
Food standard, labeling
-
-
-
Malaysia
Food safety, human health
Food standard, conformity assessment, labeling
-
-
-
Singapura
-
-
-
-
-
Banglades
-
-
-
-
-
Pakistan
-
Food standard
-
-
-
Mesir
-
-
-
-
-
Ukraina
-
-
-
-
-
71
Rusia
-
-
-
-
-
Myanmar
-
-
-
-
-
Afrika Selatan
-
Labeling
-
-
-
Turki
-
Food standard, quality requirements
-
-
-
Vietnam
-
-
-
-
Vegetable Oil (Inisiasi 26 Desember 2012; Dikenakan BMTPS sebesar 5%).
Tanzania
-
-
-
-
-
Arab Saudi
Food safety, human health, certification, control & inspection, labeling, packaging
Food standard, quality requirement, labeling
-
-
-
Brazil
Food safety, human health
Food standard
-
-
-
Jordania
-
-
-
-
-
Amerika Serikat
Food safety, human health, labeling, packaging
Food standard, labeling, nutrition information
-
-
-
Srilanka
-
-
-
-
-
Sumber: WTO dan Direktorat Pengamanan Perdagangan (Kemendag RI), diolah 2014
72
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Ayu Renita Sari lahir pada tanggal 7 April 1984 di Jakarta. Penulis anak kedua dari tiga bersaudara, dari pasangan Bambang Djati Santoso dan Nani Muryati Tedjokoesoemo. Penulis menamatkan sekolah dasar pada SD Negeri Rawa Tembaga I Bekasi Barat, kemudian melanjutkan ke SLTP Negeri 3 Bekasi dan lulus tahun 1999. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMU Lab School Rawamangun Jakarta dan lulus pada tahun 2002. Pada tahun 2002 penulis melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi di Universitas Trisakti jurusan Ekonomi Manajemen dan lulus pada tahun 2006. Setelah lulus pada tahun yang sama penulis bekerja di PT. Mitra Adiperkasa sebagai staf bagian keuangan selama 1 tahun, kemudian menikah dengan Reiza Nova Pratama pada tahun 2007 dan dikaruniai seorang anak yang bernama Marqueezava Rafaelo Alfathian Gaffar. Pada tahun 2010 penulis diterima sebagai CPNS di Kementerian Perdagangan RI dan resmi menjadi PNS pada tahun 2011. Tahun 2012, penulis memperoleh beasiswa S2 kerjasama antara Kementerian Perdagangan RI dan IPB pada program Pascasarjana Ilmu Ekonomi FEM IPB.