ANALISIS DAMPAK EKONOMI DARI ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN KE NON PERTANIAN TERHADAP KETAHANAN PANGAN DI KABUPATEN BOGOR
SARAH NUR AMALIA
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Dampak Ekonomi dari Alih Fungsi Lahan Pertanian ke Non Pertanian Terhadap Ketahanan Pangan di Kabupaten Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skirpsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juli 2014
Sarah Nur Amalia NIM H44090043
ABSTRAK SARAH NUR AMALIA. Analisis Dampak Ekonomi dari Alih Fungsi Lahan Pertanian ke Non Pertanian Terhadap Ketahanan Pangan di Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh RIZAL BAHTIAR.
Peningkatan jumlah penduduk di Kabupaten Bogor terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Searah dengan peningkatan jumlah penduduk juga terjadi peningkatan kebutuhan pangan. Selain itu, yang terjadi sekarang ini adalah perubahan transformasi struktur ekonomi ke arah manufaktur dan industri, yang menyebabkan permintaan akan lahan bangunan yang semakin meningkat pula. Pemenuhan kebutuhan pemukiman dan lahan terbangun untuk industri dan manufaktur mengindikasikan terjadinya alih fungsi lahan sawah yang ada di Kabupaten Bogor. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi laju alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non pertanian di Kabupaten Bogor, menganalisis faktor–faktor apa saja yang berpengaruh terhadap alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non pertanian di Kabupaten Bogor dan dampak ekonomi dari alih fungsi lahan terhadap pendapatan petani dan produksi pangan di Kabupaten Bogor, serta untuk menganalisis langkah pengendalian alih fungsi lahan yang harus diterapkan dalam bentuk kebijakan pemerintahan. Laju alih fungsi lahan pertanian di Kabupaten Bogor dari
tahun 2002-2011 sebesar 0,10 persen dengan rata-rata laju alih fungsi lahan sebesar 0,01 persen per tahun. Faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian khususnya lahan sawah di tingkat wilayah dipengaruhi oleh kepadatan penduduk dan produktivitas padi sawah. Faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian di tingkat petani dipengaruhi oleh luas lahan, jumlah anggota keluarga, dan jumlah tanggungan. Adanya alih fungsi lahan menyebabkan perubahan rata-rata pendapatan total petani sebelum dan sesudah alih fungsi lahan mengalami perubahan sebesar Rp 52.176 per bulannya. Selain pendapatan, akibat alih fungsi lahan juga menyebabkan penurunan produksi padi. Rata- rata kehilangan produksi padi per hektar lahan sawah yang teralihfungsikan sebesar 2.878,96 ton per tahun, sedangkan kehilangan rata-rata nilai produksi yaitu sebesar Rp 7.771.656.534,60 per tahun dalam bentuk gabah dan sebesar Rp 8.518.512.570,00 per tahun dalam bentuk beras. Hasil perhitungan perkiraan perubahan luas dan ketahanan pangan di Kabupaten Bogor yaitu produksi beras di Kabupaten Bogor belum dapat memenuhi kebutuhan berasnya semenjak tahun 2002 hingga tahun 2011. Kata Kunci : Alih Fungsi Lahan Pertanian, Dampak Ekonomi, Kabupaten Bogor
ABSTRACT SARAH NUR AMALIA. Analysis The Economic Effect of Agricultural Land Conversion in Bogor Regency. Supervised by RIZAL BAHTIAR. Population growth in Bogor Regency increasing year by year. Along with population growth, there is also increasing food needs that related to agricultural sector. Currently, changes to the transformation of the economic development towards the direction of industrial development and manufacturing. In addition, increasing population growth requires residential development. This case, indicated agricultural land conversion. The aims of the study were to know the rate of agricultural land conversion in Bogor Regency, to find out the factors which affect, and to analyze the economic effect and an appropriate policy in the control of agricultural land conversion. Agricultural land conversion in Bogor Regency has been fluctuated year by year. The average of land conversion in Bogor Regency was 0,01 percent per year or 7,1 hectar per year. On this study showed that the increasing density of society and the paddy productivity were affected to the agricultural land conversion. Meanwhile, the agricultural land conversion will affect change of the farmer‟s total income before and after land conversion amount of Rp 52.176 in month. The average income before the conversion amount of Rp 1.931.157 and the average income amount of Rp 2.878,96. Beside the farmer‟s total income, the agricultural land conversion also caused the reducing of paddy production. The average loss of paddy production per hectare converted land was 2.878,96 tons per year, while the average loss production value was Rp 7.771.656.534,60 in paddy forms and Rp 8.518.512.570,00 in rice forms. The estimation result of food security in Bogor Regency showed that rice production has not adequated the needs of rice in 20022011. Keywords : Agricultural land conversion, Bogor Regency, Effect
ANALISIS DAMPAK EKONOMI DARI ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN KE NON PERTANIAN TERHADAP KETAHANAN PANGAN DI KABUPATEN BOGOR
SARAH NUR AMALIA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ekonomi Sumber Daya dan Lingkungan
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Judul Skripsi : Analisis Dampak Ekonomi dari Alih Fungsi Lahan Pertanian ke Non Pertanian Terhadap Ketahanan Pangan di Kabupaten Bogor. Nama
: Sarah Nur Amalia
NIM
: H44090043
Disetujui oleh
Rizal Bahtiar, S.Pi, M.Si Pembimbing
Diketahui oleh
Dr. Ir.Aceng Hidayat, MT Ketua Departemen
Tanggal lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul “Analisis Dampak Ekonomi dari Alih Fungsi Lahan Pertanian ke Non Pertanian Terhadap Ketahanan Pangan Di Kabupaten Bogor”. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Rizal Bahtiar, S.Pi, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan serta arahan kepada penulis. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Ir. Nindyantoro, M.Sp dan Ibu Fitria Dewi Raswatie, S.P, M.Si selaku dosen penguji atas saran dan masukannya dalam penulisan karya ilmiah ini. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor, Dinas Kehutanan dan Pertanian Kabupaten Bogor, Dinas Catatan Sipil Kabupaten Bogor serta dinas terkait lainnya dan kepada Bapak Agus, Bapak Asep, Bapak Mustar serta para kelompok tani di Kecamatan Ciampea yang telah membantu dalam pengumpulan data dalam penelitian. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada nenek buyut (Siti Romlah), ayah (Maliyanto), ibu (Salbiah), adik (Siska Nur Hidayah dan Maulana Syahreza Pahlevi) serta seluruh pihak keluarga yang selalu memberi semangat, doa dan mendampingi dalam pembuatan karya ilmiah ini serta teman-teman BOS 46, Keluarga Wisma Ayu, Keluarga BEM TPB 46, BEM FEM Sinergi, BEM FEM Progresif, BEM KM KUN, ESL 46, ODOJ 570, Edukasi Gizi dan para Relawan Turun Tangan atas doa dan dukungannya serta tak terlupa terima kasih pula kepada Korean Exchange Bank, BUMN, serta Dikti selaku pihak yang telah memberikan beasiswa kepada penulis selama proses belajar di IPB ini. Penulis menyadari terdapat banyak kekurangan dalam karya ilmiah ini dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari teman-teman agar karya ilmiah ini dapat menjadi lebih baik. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Juli 2014
Sarah Nur Amalia
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .................................................................................... xiii DAFTAR GAMBAR ............................................................................... xiv DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................ xiv I.
II.
PENDAHULUAN .....................................................................................
1
1.1. 1.2. 1.3. 1.4. 1.5.
Latar Belakang .................................................................................... Perumusan Masalah ............................................................................ Tujuan Penelitian ................................................................................ Manfaat Penelitian .............................................................................. Ruang Lingkup Penelitian ..................................................................
1 5 6 6 7
TINJAUAN PUSTAKA ...........................................................................
9
2.1. 2.2. 2.3. 2.4. 2.5. 2.6.
Tinjauan Umum Tentang Lahan Pertanian ......................................... Alih Fungsi Lahan Pertanian .............................................................. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Pertanian ...... Dampak Alih Fungsi Lahan Pertanian ke Non Pertanian ................... Produktivitas Lahan ............................................................................ Reforma Agraria (Landreform) dan Landasan Hukum Kebijakan Alih Fungsi Lahan .............................................................................. 2.7. Ketahanan Pangan .............................................................................. 2.8. Penelitian Terdahulu ...........................................................................
9 10 11 13 14 14 17 18
III. KERANGKA PEMIKIRAN ................................................................... 23 IV. METODE PENELITIAN ........................................................................ 27 4.1. 4.2. 4.3. 4.4.
V.
Waktu dan Lokasi Penelitian .............................................................. Jenis dan Sumber Data ....................................................................... Metode Pengambilan Sampel ............................................................. Analisis Data....................................................................................... 4.4.1. Analisis Deskriptif .................................................................... 4.4.2. Analisis Laju Alih Fungsi Lahan .............................................. 4.4.3. Analisis Faktor .......................................................................... 4.4.3.1. Analisis Regresi Linier Berganda ............................... 4.4.3.2. Analisis Regresi Logistik ............................................ 4.4.4. Analisis Hilangnya Penerimaan Petani ..................................... 4.4.5. Analisis Estimasi Dampak Produksi .........................................
27 27 28 28 29 29 30 30 35 37 38
GAMBARAN UMUM ............................................................................ 41 5.1. Kondisi Geografis Kabupaten Bogor ................................................ 5.2. Kependudukan Kabupaten Bogor ....................................................... 5.3. Keadaan Lahan di Kabupaten Bogor .................................................. 5.4. Pertanian di Kabupaten Bogor ............................................................ 5.5. Gambaran Umum Kecamatan Ciampea ............................................ 5.2.1. Sebaran Usia Responden .........................................................
41 42 43 44 45 47
5.2.2. Pendidikan Formal Responden ............................................... 48 5.2.3. Lama Menetap di lokasi ......................................................... 48 5.2.4. Luas Lahan yang dimiliki ....................................................... 49 VI. HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................. 51 6.1. Perkembangan dan Laju Alih Fungsi Lahan Sawah di Kabupaten Bogor.................................................................................................. 6.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan di Tingkat Wilayah Kabupaten Bogor ................................................................. 6.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan di Tingkat Petani di Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor ............................. 6.4. Dampak Alih Fungsi Lahan Terhadap Pendapatan Petani Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor ............................................. 6.5. Perkiraan Perubahan Luas Sawah dan Dampak Terhadap Ketahanan Pangan di Kabupaten Bogor ............................................ 6.6. Dampak Alih Fungsi Lahan Produksi dan Nilai Produksi Padi di Kabupaten Bogor ............................................................................... 6.7. Implikasi Kebijakan dalam Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah di Kabupaten Bogor ...........................................................................
51 54 58 61 62 66 68
VII. SIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 73 7.1. Simpulan ............................................................................................ 73 7.2. Saran .................................................................................................. 74 DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 75 LAMPIRAN ............................................................................................. 79 RIWAYAT HIDUP ................................................................................. 92
DAFTAR TABEL Nomor 1.
Halaman
Nilai PDRB Indonesia pada Tahun 2009–2011 Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Berlaku dan Harga Konstan 2000 ...................
1
Penduduk 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Utama 2008-2012 ...................................................................
3
3.
Jumlah Penduduk Kabupaten Bogor Tahun 2004-2010 .........................
4
4.
Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin di Kabupaten Bogor ......
4
5.
Penelitian Terdahulu ...............................................................................
19
6.
Matriks Metode Analisis Data ...............................................................
28
7.
Jumlah Penduduk Kabupaten Bogor dari Tahun 2002-2011 ..................
42
8.
Luas Pemanfaatan Lahan dalam Bidang Pertanian di Kabupaten Bogor Tahun 2012 ............................................................................... ..
43
Luas Pemanfaatan Lahan Kering di Kabupaten Bogor ...........................
44
10. Rata-rata Hasil per ahektar Tananaman padi Sawah di Masing-Masing Kecamatan di Kabupaten Bogor Tahun 2009-2011 ................................
45
11. Data Kependudukan Desa di Kecamatan Ciampea .................................
46
2.
9.
12. Mata Pencaharian Masyarakat di Kecamatan Ciampea Tahun 2012 ...... 47 13. Luas Lahan Kepemilikan Berdasarkan Rata-rata Luas Lahan ................
49
14. Luas dan Laju Alih Fungsi Lahan Sawah di Kabupaten Bogor Tahun 2002-2011 ...............................................................................................
53
15. Rata-rata Luas Alih Fungsi Lahan Menurut jenis Lahan Sawah di Kabupaten Bogor Selama Periode 2002-2011 (dalam Hektar) ...............
54
16. Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Sawah di Tingkat Wilayah Kabupaten Bogor .........................................
55
17. Hasil Estimasi Faktor-faktor Internal yang Mempengaruhi Petani untuk menjual Lahan Sawah ...................................................................
59
18. Perbandingan Rata-rata Pendapatan Petani Sebelum dan Sesudah Terjadinya Alih Fungsi Lahan ................................................................
61
19. Perubahan Luas Masing-Masing Sawah Berdasarkan Tipe Irigasinya di Kabupaten Bogor (dalam Hektar) ....................................................... 63 20. Produksi Padi Untuk Masing-masing Tipe Sawah Berdasarkan Irigasinya di kabupaten Bogor (dalam ton) .............................................
64
21. Produksi Beras Untuk Masing-masing Tipe Sawah Berdasarkan Irigasinya di kabupaten Bogor (dalam ton) .............................................
65
22. Perbandingan Produksi dan Kebutuhan Beras dengan Konsumsi Beras Perkapita Tetap di Kabupaten Bogor ......................................................
65
23. Dampak Terhadap Produksi Padi dan Nilai Produksi Padi yang Hilang Akibat Alih Fungsi Lahan Sawah di Kabupaten Bogor Tahun 20022011 ........................................................................................................ 67 24. Dampak Terhadap Surplus Produksi Padi dan Nilai Produksi Padi Akibat Pembukaan Lahan Sawah Baru di Kabupaten Bogor Tahun 2002-2011 ...............................................................................................
68
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1.
Skema Kerangka Pemikiran ................................................................... 25
2.
Karakteristik Responden Kecamatan Ciampea Berdasarkan Usia pada Tahun 2013 ............................................................................................. 48
3.
Karakteristik Responden Kecamatan Ciampea Berdasarkan Tingkat Pendidikan pada Tahun 2013 ................................................................. 48
4.
Karakteristik Responden Kecamatan Ciampea Berdasarkan Lama Menetap pada Tahun 2013 ..................................................................... 49
5.
Luas Lahan Sawah Kabupaten Bogor Tahun 2002-2011 ....................... 49
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1.
Kuesioner Penelitian ............................................................................... 80
2.
Peta Tata ruang Wilayah Kabupaten Bogor ........................................... 83
3.
Peta Kecamatan Ciampea ....................................................................... 84
4.
Hasil Regresi Linear Berganda ............................................................... 85
5.
Hasil Regresi Logistik ............................................................................ 87
6.
Harga Gabah Kering Giling dan Harga Beras Eceran di Provinsi Jawa Barat Tahun 2002-2011 .......................................................................... 89
7.
Total Pendapatan Petani Sebelum dan Sesudah Alih Fungsi Lahan ...... 90
1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sensus penduduk tahun 2010 menunjukkan jumlah penduduk Indonesia mencapai 237,6 juta jiwa atau bertambah 32,5 juta jiwa sejak tahun 2000. Pertambahan jumlah penduduk Indonesia memperlihatkan kecenderungan peningkatan setiap tahunnya. Sejalan dengan pertambahan penduduk, terjadi pula peningkatan kebutuhan pangan. Saat ini yang menjadi salah satu agenda global ialah ketahanan pangan dan kemiskinan. Kegagalan riil pencapaian ketahanan pangan akan diidentikkan dengan kemiskinan dan kondisi rawan pangan. Hal ini menyebabkan ketersediaan pangan sangat memerlukan penanganan yang serius dan terencana. Masalah yang paling pokok dalam menangani ketersediaan pangan akan sangat tergantung pada bagaimana kebijakan nasional di sektor pertanian. Sektor pertanian telah memberikan sumbangsih besar dalam pertumbuhan ekonomi nasional, seperti peningkatan ketahanan nasional, penyerapan tenaga kerja, peningkatan pendapatan masyarakat, peningkatan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB), perolehan devisa melaui ekspor–impor, dan penekanan inflasi. Sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan merupakan sektor kedua setelah industri pengolahan yang memberikan kontribusi besar terhadap peningkatan PDRB Indonesia. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini. Tabel 1. Nilai PDRB Indonesia pada tahun 2009–2011 Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Berlaku dan Harga Konstan 2000. Atas dasar harga berlaku (triliun rupiah) 2010 2011
Lapangan Usaha Pertanian, peternakan, kehutanan, perikanan Pertambangan dan penggalian Industri pengolahan Listrik, gas dan air bersih Bangunan Perdagangan, hotel, restoran Pengangkutan dan komunikasi Keuangan, persewaaan, jasa perusahaan Jasa – jasa Produk Domestik Bruto (PDB) PDB Tanpa Migas
Atas dasar harga konstan 2000 (triliun rupiah) 2010
2011
304,7 186,6 597,1 18,1 150,0 400,5 218 221,0 217,8 2.313,8 2.171
313,7 189,2 634,2 18,9 160,1 437,2 241,3 236,1 232,5 2.463,2 2.321,8
dan 985,40 718,1 1.595,8 49,1 660,9 882,5 423,2 466,6 654,7 6.436,3 5.936,2
Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor (2010)
1.093,5 886,3 1.803,5 55,7 756,5 1.022,1 491,2 535,0 783,3 7.427,1 6.794,4
2 Pada Tabel 1 di atas dapat dilihat besaran kontribusi yang diberikan oleh sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan terhadap peningkatan PDRB Indonesia. Berdasarkan harga berlaku sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan menyumbang nilai PDRB pada tahun 2010 sebesar Rp 985,40 triliun dan meningkat sebesar Rp 54,10 triliun menjadi Rp 1.039,50 triliun di tahun 2011. Sedangkan berdasarkan harga konstan sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan menyumbang nilai PDRB pada tahun 2010 sebesar Rp 304,70 triliun dan meningkat sebesar Rp 9,00 triliun menjadi Rp 313,70 triliun di tahun 2011. Hal ini menunjukkan bahwa sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan masih menyumbangkan PDRB terbesar dibandingkan sektor lain terhadap pembangunan di Indonesia. Sektor pertanian juga masih memberikan kontribusi terbesar dibandingkan sektor–sektor lain di Indonesia dalam penyediaan lapangan pekerjaan. Dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel tersebut menunjukkan data penduduk usia 15 tahun ke atas yang bekerja menurut lapangan pekerjaan utama pada tahun 2008-2012. Terlihat penyerapan tenaga kerja pada sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, perburuan, dan perikanan masih terbesar dibandingkan dengan sektor–sektor lain. Adanya transformasi struktur ekonomi yang terjadi, mengakibatkan berkurangnya kontribusi lapangan pekerjaan pada sektor pertanian terhadap output dan kemampuannya menyerap angkatan kerja. Hal tersebut menyebabkan semakin besarnya alih fungsi lahan pertanian menjadi penggunaan lahan non pertanian. Kebanyakan lahan yang dialihfungsikan adalah lahan-lahan pertanian karena land rent (sewa lahan) pertanian umumnya relatif lebih kecil dibandingkan dengan non pertanian. Menurut Barlowe (1978) land rent merupakan nilai ekonomi yang diperoleh oleh suatu bidang lahan bila lahan tersebut digunakan untuk kegiatan proses produksi. Salah satu faktor yang mempengaruhi nilai sewa lahan tersebut adalah lokasi lahan, karena mempengaruhi jarak dari lahan dengan pusat pasar. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan fenomena alih fungsi lahan pertanian ini merupakan dampak dari transformasi struktur ekonomi dari pertanian ke industri atau demografi dari pedesaan ke perkotaan, yang pada akhirnya mendorong transformasi sumberdaya lahan dari pertanian ke non pertanian. Dampak alih fungsi lahan menyebabkan tenaga kerja di bidang
3 pertanian, perkebunan, dan kehutanan menjadi berkurang, terlebih lagi semakin banyaknya pertambahan penduduk maka alih fungsi lahan pertanian untuk pemukiman akan semakin meningkat. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia (2010), dalam waktu 10 tahun terakhir terdapat alih fungsi lahan sawah seluas 80.000 ha per tahun menjadi lahan non pertanian seperti industri dan perumahan, sehingga menyebabkan adanya pengurangan terhadap lahan pertanian. Besaran kontribusi terhadap lapangan pekerjaan yang diberikan oleh sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan terhadap peningkatan PDRB Indonesia dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Penduduk 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Utama 2008-2012 (dalam Jiwa) No 1.
2. 3. 4. 5. 6.
7.
8.
9.
10.
Lapangan Pekerjaan Utama Pertanian, Perkebunan, Kehutanan, Perburuan dan Perikanan Pertambangan dan Penggalian Industri Listrik, Gas dan Air Konstruksi Perdagangan, Rumah Makan dan Jasa Transportasi, Pergudangan dan Komunikasi Lembaga Keuangan, Real Estate, Usaha Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa Kemasyarakatan, Sosial, dan Perorangan Lainnya Total
2008
2009
2010
2011
2012
41.331.706
41.611.840
41.494.941
39.328.915
38.882.134
1.070.540
1.155.233
1.254.501
1.465.376
1.601.019
12.549.376
12.839.800
13.824.251
14.542.081
15.367.242
201.114
223.054
234.070
239.636
248.927
5.438.965
5.486.817
5.592.897
6.339.811
6.791.662
21.221.744
21.947.823
22.492.176
23.396.537
23.155.798
6.179.503
6.177.985
5.619.022
5.078.822
4.998.260
1.459.985
1.486.596
1.739.486
2.633.362
2.662.216
13.099.817
14.001.515
15.956.423
16.645.859
17.100.896
102.552.750
104.870.663
108.207.767
109.670.399
110.808.154
Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor (2012)
Ketersediaan lahan pertanian di Indonesia semakin sempit terutama lahan sawah sehingga upaya peningkatan produksi padi untuk memenuhi kebutuhan pangan semakin bermasalah. Alih fungsi lahan yang terjadi terutama di daerah Jawa sebagai gudang pangan nasional menyebabkan gangguan yang serius dalam
4 pengadaan pangan nasional. Alih fungsi lahan sawah yang tidak terkendali akan dapat menyebabkan penurunan kapasitas penyerapan tenaga kerja pertanian Permasalahan alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non pertanian saat ini, sering terjadi dibeberapa wilayah di Indonesia terutama di Pulau Jawa, yang merupakan kota–kota pusat pertumbuhan ekonomi dan industri. Semakin besarnya aktivitas perekonomian di suatu wilayah akan menyebabkan tingginya sikap kompetitif untuk penggunaan lahan. Salah satu daerah dengan aktivitas perekonomian yang terus berkembang adalah Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Daerah Kabupaten Bogor, saat ini masih banyak didominasi oleh lahan pertanian, baik lahan sawah maupun lahan perkebunan. Namun perkembangan ekonomi ini diikuti pula dengan peningkatan pertumbuhan penduduk setiap tahunnya. Pertumbuhan penduduk Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Tabel 3 dan Tabel 4, berikut ini. Tabel 3. Jumlah Penduduk Kabupaten Bogor Tahun 2004-2010 Tahun 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Jumlah Penduduk (Jiwa) 3.438.055 3.700.207 4.215.436 4.251.838 4.340.520 4.477.344 4.345.915
Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor, berbagai terbitan
Tabel 3 tersebut menunjukkan pertumbuhan penduduk secara keseluruhan pertumbuhan penduduk di Kabupaten Bogor tahun 2004-2010. Terlihat peningkatan jumlah penduduk yang signifikan dari tahun 2004 hingga tahun 2010. Pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat, menyebabkan kebutuhan tempat tinggal serta sarana dan prasarana sehari-hari yang akan meningkat. Sehingga lahan yang sifatnya relatif tetap dengan kebutuhan serta permintaan yang tidak terbatas, mengakibatkan adanya alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian. Hal tersebut mengakibatkan, jumlah lahan pertanian akan mengalami penurunan yang signifikan dari tahun ke tahun. Pengendalian alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian sangat penting dalam pembangunan yang berkelanjutan. Salah satu langkah berani yang disampaikan pemerintah dalam paket Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan
5 Kehutanan (RPPK) adalah dimunculkannya wacana pengadaan lahan pertanian abadi pada bulan juni 2005. Lahan pertanian pangan abadi adalah suatu kebijakan yang mengatur mengenai tata guna lahan, khususnya bertujuan untuk melindungi pengalihfungsian lahan pertanian untuk keperluan yang lainnya. Pemerintah menargetkan pencapaian 15 juta ha lahan sawah ditambah dengan 15 juta ha lahan tegalan, yang hanya diperbolehkan digunakan untuk lahan pertanian, dan tidak diijinkan dialihfungsikan untuk penggunaan yang lainnya. Memang tidak mudah untuk mewujudkan lahan pertanian pangan abadi, namun berbagai upaya konstruktif harus dilakukan pemerintah untuk mewujudkan hal tersebut. Target pencapaian luasan lahan pertanian pangan abadi seluas 15 juta hektar memerlukan upaya yang kuat. Semangat ini sebenarnya mecerminkan adanya aspek reformasi agraria (land reform). Sehingga pengendalian alih fungsi lahan pertanian sangat erat dengan reforma agraria ini. 1.2 Perumusan Masalah Faktor–faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya alih fungsi lahan yaitu adanya pertumbuhan jumlah penduduk, pertumbuhan ekonomi yang semakin berkembang serta adanya intervensi pemerintah melalui Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Keadaan Kabupaten Bogor dengan pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi yang semakin berkembang mengarah pada alih fungsi lahan yang terus meluas. Alih fungsi lahan tersebut terjadi karena kebutuhan masyarakat yang semakin bertambah tiap tahunnya, tuntutan hidup untuk memperoleh kondisi yang lebih baik serta masalah property right dalam penggunaan lahan yang tidak jelas. Permasalahan alih fungsi lahan ini memang tidak dapat dihindari dalam proses pembangunan, namun sangat perlu pengendalian yang tepat. Peningkatan kebutuhan lahan terjadi akibat adanya peningkatan aktivitas ekonomi masyarakat, peningkatan jumlah penduduk setiap tahunnya serta kebutuhan penduduk tersebut secara langsung dan tidak langsung telah menyebabkan terjadinya pengurangan luas lahan pertanian. Alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian yang terjadi di Kabupaten Bogor akan menimbulkan berbagai dampak seperti penurunan hasil produksi pertanian dan daya serap tenaga kerja sehingga akan berpengaruh terhadap keberlanjutan hidup
6 petani. Kehilangannya lapangan pekerjaan pada petani, menyebabkan penurunan pendapatan bagi rumah tangga petani itu sendiri, sehingga terjadi kemiskinan dan penurunan kesejahteraan petani serta penurunan pada hasil produksi pertanian. Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut, dapat dirumuskan permasalahan-permasalahan sebagai berikut : 1. Seberapa besar laju alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non pertanian di Kabupaten Bogor? 2. Faktor–faktor apa saja yang berpengaruh terhadap alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non pertanian di Kabupaten Bogor? 3. Bagaimana dampak ekonomi dari alih fungsi lahan terhadap pendapatan petani dan produksi padi di Kabupaten Bogor? 4. Bagaimana langkah pengendalian alih fungsi lahan yang harus diterapkan dalam bentuk kebijakan pemerintahan? 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pentingnya memproteksi aset dan mengendalikan alih fungsi lahan yang ada di Indonesia. Selain itu, dalam penelitian ini juga terdapat tujuan khusus sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi laju alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non pertanian di Kabupaten Bogor. 2. Menganalisis faktor–faktor apa saja yang berpengaruh terhadap alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non pertanian di Kabupaten Bogor. 3. Menganalisis dampak ekonomi dari alih fungsi lahan terhadap pendapatan petani dan produksi pangan di Kabupaten Bogor. 4. Menganalisis langkah pengendalian alih fungsi lahan yang harus diterapkan dalam bentuk kebijakan pemerintahan. 1.4 Manfaat Penelitian 1. Bagi peneliti, diharapkan peneliti dapat menjadi sarana dalam mengaplikasikan ilmu pengetahuan bidang keilmuan ekonomi pertanian sumberdaya dan lingkungan yang dipelajari selama menjalani perkuliahan di Institut Pertanian Bogor.
7 2. Bagi pemerintah daerah maupun pusat, informasi ini dapat menjadi acuan dalam pembuatan kebijakan pembangunan infrastruktur yang sejalan dengan pembangunan pertanian serta untuk mengendalikan alih fungsi lahan yang terjadi di Kabupaten Bogor. 3. Bagi civitas akademi, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi yang digunakan untuk penelitian selanjutnya. 1.5 Ruang Lingkup Penelitian Dalam penelitian yang berjudul diperlukan batasan penelitian agar lebih fokus dalam penelitian. Adapun pembatasan penelitian dari penelitian ini adalah : 1. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. 2. Alih fungsi lahan pertanian yang terjadi berupa lahan non sawah di Kabupaten Bogor. 3. Faktor–faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan dilihat dari faktor eksternal dan faktor internal di wilayah tersebut. 4. Pendapatan yang diperhitungkan dilihat dari perubahan pendapatan rumah tangga dari petani sebelum dan sesudah kegiatan alih fungsi lahan pertanian khususnya lahan sawah. 5. Hasil produksi pertanian yang diperhitungkan dari hasil produksi lahan sawah di Kabupaten Bogor dari sebelum dan sesudah kegiatan alih fungsi lahan pertanian.
8
9
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Tinjauan Umum Tentang Lahan Pertanian
Hampir seluruh sektor pembangunan fisik memerlukan lahan seperti sektor pertanian, kehutanan, perumahan, industri, pertambangan dan transportasi. Tanah berarti bumi, sedangkan lahan merupakan tanah yang sudah ada peruntukan dan umumnya ada pemiliknya. Luas lahan dipengaruhi oleh pendapatan individu. Utomo et al. (1992) menyatakan bahwa lahan sebagai modal alami utama yang melandasi kegiatan kehidupan, memiliki dua fungsi dasar, yaitu: 1. Fungsi kegiatan budidaya, memiliki makna suatu kawasan yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai penggunaan, seperti pemukiman, perkebunan, perkotaan maupun pedesaan, hutan produksi, dan lain-lain. 2. Fungsi lindung, memiliki makna suatu kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utamanya untuk melindungi kelestarian lingkungan hidup yang ada, yang mencakup sumberdaya alam, sumberdaya buatan, nilai sejarah, dan budaya bangsa yang bisa menunjang pemanfaatan budidaya. Fungsi lahan bagi pertanian adalah mengukur hasil gabah dan jerami yang dihasilkan untuk suatu luas tertentu, adapun fungsi lahan pertanian yang berpengaruh lebih luas adalah menjaga ketahanan pangan, menjaga kestabilan hidrologis Daerah Aliran Sungai (DAS), menurunkan erosi, menyerap tenaga kerja, memberikan keunikan dan daya tarik pedesaan serta mempertahankan nilainilai budaya. Fungsi lahan bagi para stakeholder memiliki arti penting masingmasing. Fungsi lahan bagi masyarakat, lahan sebagai tempat tinggal dan sumber mata pencaharian. Bagi petani, lahan sebagai sumber memproduksi makanan dan keberlangsungan
hidup.
Bagi
pihak
swasta,
lahan
ialah
aset
untuk
mengakumulasikan modal. Bagi pemerintah, lahan merupakan kedaulatan suatu negara dan untuk kesejahteraan rakyat. Menurut Yoshida (1994) dan Kenkyu (1996) bahwa dari aspek lingkungan, keberadaan lahan pertanian dapat berkontribusi dalam lima manfaat, yaitu: pencegahan banjir, pengendali keseimbangan tata air, pencegahan erosi, pengurangan pencemaran lingkungan yang berasal dari limbah rumah tangga, dan mencegah pencemaran udara yang berasal dari gas buangan. Menurut Sumaryanto
10 dan Tahlim (2005), manfaat lahan pertanian dapat dibagi menjadi dua kategori. Pertama, use value. Manfaat ini dihasilkan dari hasil eksploitasi atau kegiatan usahatani yang dilakukan pada sumber daya lahan pertanian. Kedua, non use value, berbagai manfaat yang dapat tercipta dengan sendirinya walaupun bukan merupakan tujuan dari eksploitasi dari pemilik lahan pertanian. 2.2 Alih Fungsi Lahan Pertanian Lahan sebagai salah satu faktor produksi merupakan pabrik hasil-hasil pertanian yang menjadi tempat proses produksi dan hasil produksi diperoleh. Dalam pertanian terutama di negara berkembang termasuk Indonesia, faktor produksi tanah mempunyai kedudukan yang sangat penting. Bagi petani, lahan juga mempunyai arti yang sangat penting. Dari lahan sawah lah mereka dapat mempertahankan hidup bersama keluarganya, melalui kegiatan bercocok tanam dan beternak. Karena lahan merupakan faktor - faktor produksi dalam berusaha tani, maka keadaan status penguasaan terhadap lahan menjadi sangat penting. Ini berkaitan dengan keputusan jenis komoditas apakah yang mau diusahakan dan juga berkaitan dengan besar kecilnya bagian yang akan diperoleh dari usahatani yang diusahakan. Jika dikaitkan dengan proses pembangunan pada dasarnya pertumbuhan ekonomi dalam suatu wilayah akan mendorong terjadinya peningkatan permintaan akan lahan untuk berbagai kebutuhan termasuk kebutuhan pertanian, industri jasa dan kegiatan lainnya. Oleh karena persediaan lahan tidak berubah dalam suatu wilayah maka dengan perubahan struktur ekonomi yang terjadi seperti yang terlihat terutama dalam wilayah perkotaan, perubahan tersebut telah menggeser peranan sektor pertanian ke sektor industri yang juga membutuhkan lahan untuk kegiatannya. Dalam keadaan demikian lahan-lahan pertanian akan mendapat tekanan permintaan untuk penggunaan lahan bagi kepentingan kegiatan di luar pertanian (Anwar 1993). Menurut Kustiawan (1997) alih fungsi lahan secara umum menyangkut transformasi dalam pengalokasian sumberdaya lahan dari satu penggunaan ke penggunaan lainnya. Alih fungsi lahan biasanya terjadi di wilayah sekitar perkotaan yang dimaksudkan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan
11 membangun sektor–sektor industri dan jasa. Sebagai sumberdaya alam, lahan merupakan wadah dan faktor produksi strategis bagi kegiatan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia. Perubahan pola penggunaan lahan pada dasarnya bersifat permanen dan juga dapat bersifat sementara (Utomo, 1992). Jika lahan sawah beririgasi teknis berubah menjadi kawasan pemukiman atau industri, maka alih fungsi lahan bersifat permanen. Akan tetapi, jika sawah tersebut berubah menjadi perkebunan tebu, maka alih fungsi lahan tersebut bersifat sementara, karena pada tahun–tahun yang akan datang dapat dijadikan sawah kembali. Alih fungsi lahan permanen biasanya lebih besar dampaknya dari pada alih fungsi lahan sementara. Perkembangan sektor pertanian pada umumnya terjadi pada wilayahwilayah yang berlahan subur. Pada wilayah-wilayah inilah berkembang pusatpusat pemukiman penduduk sehingga menuntut pemerintah daerah setempat untuk membangun fasilitas-fasilitas umum dan prasarana-prasarana di wilayah tersebut. Adanya pusat pemukiman penduduk, ketersediaan prasarana dan sarana yang berdasarkan pertimbangan faktor-faktor lokasi dengan pemukiman sebagai tenaga kerja, maka penggunaan lahan untuk penggunaan non pertanian seperti industri cenderung untuk berkembang di wilayah ini (Nuryati, 1995). 2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Sawah Sejalan dengan peningkatan pembangunan pertumbuhan ekonomi, maka laju penggunaan lahan akan semakin meningkat. Meningkatnya permintaan akan lahan mendorong terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian. Menurut Pakpahan et al (1993), faktor–faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan sawah ke penggunaan non pertanian dapat dibedakan menjadi dua yaitu faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan sawah di tingkat wilayah yaitu faktor yang tidak langsung mempengaruhi keputusan petani untuk melakukan alih fungsi lahan dan faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan sawah di tingkat petani yaitu faktor-faktor yang secara langsung mempengaruhi keputusan petani melakukan alih fungsi lahan. Menurut Hayat (2002), faktor-faktor yang diduga mempengaruhi alih fungsi lahan sawah di tingkat wilayah dengan metode kuadrat terkecil biasa (OLS)
12 dengan menggunakan pendekatan dua variabel, variabel tak bebas yaitu, penurunan jumlah luas lahan dan variabel bebas yaitu, kepadatan penduduk, produktivitas padi sawah, persentase luas lahan sawah, kontribusi sektor non pertanian, pertambahan jalan aspal dan proporsi jumlah tenaga kerja sektor non pertanian. Menurut Winoto (2005) faktor-faktor yang mendorong terjadinya alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian antara lain : 1. Faktor kependudukan, yaitu peningkatan dan penyebaran penduduk di suatu wilayah. Pesatnya peningkatan jumlah penduduk telah meningkatkan permintaan tanah. Selain itu, peningkatan taraf hidup masyarakat juga turut berperan menciptakan tambahan permintaan lahan. 2. Faktor ekonomi, yaitu tingginya land rent yang diperoleh aktifitas sektor non pertanian dibandingkan dengan sektor pertanian. Rendahnya insentif untuk bertani disebabkan tingginya biaya produksi, sementara harga hasil pertanian relatif rendah dan berfluktuasi. Selain itu karena faktor kebutuhan keluarga petani yang semakin mendesak menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan. 3. Faktor sosial budaya, antara lain keberadaan hukum waris yang menyebabkan terfragmentasinya tanah pertanian, sehingga tidak memenuhi batas minimun skala ekonomi usaha yang menguntungkan. 4. Perilaku myopic, yaitu mencari keuntungan jangka pendek namun kurang memperhatikan jangka panjang dan kepentingan nasional secara keseluruhan. Hal ini tercermin dari rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang cenderung mendorong alih fungsi tanah pertanian untuk penggunaan tanah non pertanian. 5. Lemahnya sistem perundang-undangan dan penegakan hukum dari peraturan yang ada. Menurut Utomo (1992) secara umum masalah alih fungsi dalam penggunaan lahan terjadi antara lain karena pola pemanfaatan lahan masih sektoral, delineasi antar kawasan belum jelas, koordinasi pemanfaatan ruang masih lemah, dan pelaksanaan UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) masih lemah dan penegakkan hukum yang masih lemah.
13 2.4 Dampak Alih Fungsi Lahan Pertanian ke Non Pertanian Menurut Widjanarko et all (2006) dampak negatif akibat alih fungsi lahan, antara lain : 1. Berkurangnya luas sawah yang mengakibatkan turunnya produksi padi, yang mengganggu tercapainya swasembada pangan. 2. Berkurangnya luas sawah yang mengakibatkan bergesernya lapangan kerja dari sektor pertanian ke non pertanian, apabila tenaga kerja lokal yang ada tidak terserap seluruhnya justru akan meninggikan angka penygangguran. Dampak sosial ini akan berkembang dengan meningkatnya kecemburuan sosial masyarakat setempat terhadap pendatang yang pada gilirannya berpotensi meningkatkan konflik sosial. 3. Investasi pemerintah dalam pengadaan prasarana dan sarana pegairan menjadi tidak optimal pemanfaatannya. 4. Kegagalan investor dalam melaksanakan pembangunan perumahan maupun industri sebagai dampak krisis ekonomi atau karena kesalahan perhitungan mengakibatkan tidak termanfaatkannya tanah yang telah diperoleh sehingga meningkatkan luas lahan tidur yang pada gilirannya akan menimbulkan konflik sosial seperti penjarahan tanah. 5. Berkurangnya ekosistem sawah terutama di jalur pantai utara Pulau Jawa yang terbaik dan telah terbentuk puluhan tahun, sedangkan pencetakan sawah baru yang sangat besar biayanya di luar Pulau Jawa seperti Kalimantan Tengah, tidak memuaskan hasilnya. Menurut Firman (2005) alih fungsi lahan yang terjadi menimbulkan dampak langsung maupun tidak langsung. Dampak langsung yang diakibatkan oleh alih fungsi lahan berupa hilangnya lahan pertanian subur, hilangnya investasi dalam infrastruktur irigasi, kerusakan natural lanskap, dan masalah lingkungan. Sedangkan dampak tidak langsung yang ditimbulkan berupa inflasi penduduk dari wilayah perkotaan ke wilayah tepi kota. Menurut Sibolak (1995), pengalihan fungsi lahan ke penggunaan lain, secara otomatis mengubah besaran maupun jenis manfaat yang dapat di terima dari penggunaan lahan tersebut. Kerugian akibat alih fungsi lahan petanian ke non pertanian terutama adalah hilangnya „peluang‟ memproduksi hasil pertanian di
14 lahan sawah yang besarnya berbanding lurus dengan luas lahan yang teralihfungsikan. Kerugiannya antara lain penurunan produksi pertanian dan nilainya, pendapatan usahatani, kesempatan kerja pada kegiatan usahatani, kehilangan manfaat investasi dari lahan teralihfungsikan. 2.5 Produktivitas lahan Produktivitas dapat diartikan sebagai suatu keluaran dari setiap produk persatuan (baik satuan total maupun tambahan) terhadap setiap masukan atau faktor produksi tertentu, misalnya sebagai hasil per satuan benih, tenaga kerja, atau air selain terhadap satuan luas lahan (Hildebran, 1987). Produktivitas
lahan
sawah
menentukan
pendapatan
petani
dari
usahataninya. Semakin rendah produktivitas lahan sawah, maka produk yang dihasilkan oleh lahan sawah tersebut semakin rendah. Rendahnya pendapatan petani yang diakibatkan oleh rendahnya produktivitas lahan sawah akan menyebabkan petani memutuskan untuk mengalihfungsikan lahan sawahnya dan beralih ke sektor non pertanian. Hal ini dikarenakan pekerjaan di sektor non pertanian dipandang dapat mengahasilkan pendapatan yang lebih tinggi daripada pendapatan yang diperoleh dari hasil lahan sawah yang mempunyai produktivitas rendah (Utama, 2006). 2.6 Reforma Agraria (Land Reform) dan Landasan Hukum Kebijakan Alih Fungsi Lahan Pengertian reformasi agraria secara luas mencakup pengaturan hubungan manusia dan lahan, termasuk redistribusi pemilikan lahan, konservasi, dan kelembagaan yang mengatur hubungan manusia dan lahan (Norton, 2004). Pada dasarnya tujuan yang ingin dicapai oleh adanya kebijaksanaan adalah pemerataan kesempatan yang menyangkut pemanfaatan lahan bagi warga masyarakat sehingga masyarakat dapat meningkatkan kesejahteraannya. Atas dasar tersebut tujuan kebijaksanaan pertanahan dapat meliputi : 1. Pemerataan pemilikan dan penggarapan lahan. Pemilikan dicegah untuk tidak terpusat pada segelintir orang, yang menyebabkan menurunnya produktivitas lahan. Program landreform merupakan usaha meningkatkan produktivitas, usaha distribusi penguasaan lahan serta usaha mengubah landless menjadi
15 pemilik lahan. Dengan demikian, pemerataan ini akan memperbaiki distribusi pendapatan masyarakat. 2. Penentuan luas penguasaan lahan yang memungkinkan pemiliknya dapat memaksimumkan manfaatnya (skala usaha). 3. Pengaturan hubungan pemilik‐penggarap (UU bagi hasil, dan lain‐lain). 4. Penyebaran informasi/peraturan yang menyangkut pertanahan kepada masyarakat. 5. Pengaturan tentang konservasi/pelestarian sumberdaya lahan. 6. Pengaturan penggunaan lahan secara tepat (untuk pertanian, industri, pemukiman, hutan lindung, dan lain‐lain). Adapun tujuan dari landreform adalah : (1) penyebaran/pemerataan pemilikan lahan sehingga terjadi pemerataan pendapatan, (2) peningkatan produktivitas pertanian, dan (3) peningkatan pendapatan nasional. Berdasarkan pengertian dan tujuan dari landreform, dapat dikemukakan beberapa keuntungan dari landreform, yaitu : 1. Pendapatan petani meningkat sehingga daya belinya juga meningkat. Peningkatan pendapatan tersebut diharapkan dapat merubah status buruh tani menjadi pemilik tanah. 2. Industri berkembang. 3. Secara multiplier akan meningkatkan Gross National Product (GNP). Hal‐hal di atas perlu menjadi perhatian karena kondisi pengusaan lahan di Indonesia yang diperuntukkan sebagai lahan pertanian mengalami penurunan luasan yang banyak akibat adanya alih fungsi lahan. Secara konseptual, agraria terdiri dari dua aspek utama yang berbeda, yaitu aspek “penguasaan dan pemilikan” dan aspek “penggunaan dan pemanfaatan”. Hal ini misalnya terlihat secara tegas dalam batasan tentang reforma agraria yang terdapat dalam TAP MRP No. 9 tahun 2001 pasal 2, yang menyebutkan bahwa: “pembaharuan agraria mencakup satu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya agraria”. Aspek penguasaan dan pemilikan jelas berbeda dengan aspek penggunaan dan pemanfaatan. Karena yang pertama berkenaan dengan bagaimana relasi hukum manusia dengan tanah, sedangkan yang kedua berkenaan
16 dengan bagaimana tanah (dan sumber daya agraria lain) digunakan dan dimanfaatkan sebagai sumber daya ekonomi. Undang-Undang Peraturan Agraria (UUPA) No. 5 tahun 1960 dan amandemen UU tersebut yang sudah sejak tahun 2003 yang telah dimasukkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) menempatkan aspek penguasaan jauh lebih penting dari pada aspek penggunaan. Landasan hukum dari kebijakan alih fungsi lahan pertanian selain UUPA antara lain: 1. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan pada pasal 50, yang menyebutkan bahwa segala bentuk perizinan yang mengakibatbatkan alih fungsi lahan pertanian pangan berkelanjutan batal demi hukum, kecuali untuk kepentingan umum. 2. Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang terutama pada pasal 37, yang menyebutkan bahwa izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dibatalkan oleh pemerintah dan pemerintah daerah menurut kewenangan masing-masing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 3. Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2004 tentang penatagunaan tanah terutama pasal 13, yang menjelaskan penggunaan dan pemanfaatan tanah di kawasan lindung atau kawasan budidaya harus sesuai dengan fungsi kawasan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). 4. Peraturan Pemerintah Nomor 36 tanun 1998 tentang penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar, dimana pada pasal 11 dijelaskan tanah yang diperoleh dasar penggunaannya oleh orang perseorangan yang tidak menggunakan tanah tersebut sesuai dengan keadaannya atau menurut sifat dan tujuan pemberian haknya, atau tidak memeliharanya dengan baik, atau tidak mengambil langkah-langkah pengelolaan bukan karena tidak mampu dari segi ekonomi, maka kepala kantor pertanahan mengusulkan kepada kepala kantor wilayah aar pemegang hak diberi peringatan agar dalam waktu tertentu sudah menggunakan tanahnya sesuai keadaan atau menurut sifat dan tujuan pemberian haknya. 5. Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 2 tahun 1999 tentang izin lokasi penguasaan dan teknis tata guna tanah dimana pada pasal 6 disebutkan izin
17 lokasi diberikan berdasarkan pertimbangan mengenai aspek penguasaan tanah dan teknis tata guna tanah yang meliputi keadaan hak serta penguasaan tanah yang bersangkutan, penilaian fisik wilayah, penggunaan tanah, serta kemampuan tanah. Menurut Widjanarko et al (2006) ada tiga kebijakan nasional yang berpengaruh langsung terhadap alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian adalah: 1. Kebijakan privatisasi pembangunan kawasan industri sesuai Keputusan Presiden Nomor 53 tahun 1989 yang telah memberikan keleluasaan kepada pihak swasta untuk melakukan investasi dalam pembangunan kawasan industri dan memilih lokasinya sesuai dengan mekanisme pasar. 2. Kebijakan pembangunan pemukiman skala besar dan kota baru. Kebijakan pemerintah ini sangat berpengaruh terhadap alih fungsi lahan, karena memunculkan spekulan yang mendorong minat petani menjual lahannya. 3. Kebijakan deregulasi dalam hal penanaman modal dan perizinan sesuai Paket Kebijaksanaan Oktober Nomor 23 Tahun 1993 memberikan kemudahan dan penyederhanaan dalam pemrosesan perizinan lokasi. Kebijakan tersebut menyebabkan peningkatan dalam permohonan izin lokasi untuk kawasan industri, pemukiman, maupun wisata. 2.7 Ketahanan Pangan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari: (1) tersedianya pangan secara cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya; (2) aman; (3) merata; dan (4) terjangkau. Dari definisi pada undang-undang tersebut, ketahanan pangan dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Terpenuhinya pangan dengan kondisi ketersediaan yang cukup, yaitu pangan dalam jumlah yang cukup dan dengan kualitas atau gizi yang memadai dalam setiap rumah tangga di Indonesia. Ketersediaan pangan ini harus mencukupi jumlah satuan kalori yang dibutuhkan untuk kehidupan yang aktif dan sehat 2. Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang aman, diartikan sebagai bebas dari cemaran biologis, kimia, atau benda lain yang dapat mengganggu atau merusak
18 kesehatan manusia. Hal tersebut juga termasuk aman dari kaidah agama atau kepercayaan masing-masing. 3. Terpenuhinya pangan secara merata, diartikan dengan pangan yang aman dan berkualitas tadi harus tersebar merata untuk mencukupi kebutuhan jumlah kalori setiap rumah tangga di Indonesia. 4. Terpenuhinya pangan dengan kondisi terjangkau, yaitu pangan yang aman dan berkualitas tadi harus dapat dibeli dengan harga yang terjangkau oleh semua kalangan masyarakat Indonesia. 2.8 Penelitian Terdahulu Penelitian terdahulu merupakan kumpulan dari penelitian-penelitian yang sudah dilakukan mengenai laju alih fungsi lahan di suatu wilayah, pengaruh faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian, dampak ekonomi ketahanan pangan di suatu wilayah. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah terletak pada tambahasan pembahasan mengenai kebijkan terkait alih fungsi lahan serta penelusuran tentang kesejahteraan petani. Tabel 5 merupakan kumpulan dari penelitian terdahulu.
19 Tabel 5. Penelitian Terdahulu No. 1.
2.
Pengarang, Tahun dan Judul Neneng Solihah, 2002, Dampak Alih Fungsi Lahan Sawah ke Penggunaan Non Sawah Terhadap Pendapatan Petani di Kabupaten Bogor.
Fanny Anugerah K, 2005, Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah ke Penggunaan Non Pertanian di Kabupaten Tangerang.
Tujuan
Metode
Hasilnya
1. Mengkaji besar alih fungsi lahan sawah dan pola alih fungsi yang terjadi di Kabupaten Bogor. 2. Menganalisis pola alih fungsi lahan sawah di tingkat petani dan aktivitas petani setelah melakukan alih fungsi lahan. 3. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan sawah di tingkat wilayah dan tingkat petani. 4. Menganalisis dampak alih fungsi lahan sawah terhadap pendapatan petani.
1. Tabulasi deskriptif 2. Analisis regresi Linier Berganda. 3. Analisis faktor logit
1. Mengidentifikasi perkembangan dan pola konversi lahan sawah selama sepeluh tahun terakhir di wilayah Kabupaten Tangerang. 2. Mengidentifikasi dampak konversi lahan sawah seiring dengan terjadinya pergeseran struktur ekonomi di Kabupate n Tangerang. 3. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya konversi lahan sawah ke penggunaan non pertanian di Kabupaten Tangerang.
1. Analisis deskriptif 2. Analisis estimasi dampak konversi lahan 3. Metode Location Quotieny (LQ) 4. Analisis surplus pendapatan dan tenaga kerja. 5. Analisis regresi linier berganda.
1. Perubahan lahan sawah di Kabupaten Bogor 1996-2001, secara keseluruhan menurun 2.946 ha atau 491 ha per tahun. 2. Konversi lahan yang terjadi di kabupaten Bogor selama 1998-2001 adalah 19,61% atau 22,9% per tahun sedang non sawah 8,39% atau 2,1% per tahun, dengan kehilangan lahan sawah seluas 76,45 ha untuk non pertanian dan 82,68% untuk perumahan. 3. Faktor–faktor yang mempengaruhi adalah jumlah penduduk, jumlah sarana pendidikan, panjang jalan aspal dan produktivitas lahan sawah. 4. Secara empirik, alih fungsi lahan sawah menurunkan pendapatan petani. 1. Konversi lahan yang terjadi di Kabupaten Tangerang pada tahun 1994-2003 sebesar 5.407 ha dengan laju sebesar 2,44% per tahun. 2. Rata-rata lahan sawah yang terkonversi selama 1994-2003 yaitu sebesar 3.588,11 ton per tahun dan kehilangan nilai produksi sebesar Rp 48.439.427.500. 3. Hasil perhitungan LQ berdasarkan indikator pendapatan menunjukan sektor pertanian merupakan sektor basis dan mampu memberikan nilai surplus.
20 3.
Desi Irnalia Astuti. 2011. Keterkaitan Harga Lahan Terhadap Laju Konversi Lahan Pertanian Di Hulu Sungai Ciliwung Kabupaten Bogor
1. Mengidentifikasi laju konversi lahan di Kecamatan Cisarua. 2. Menganalisis keterkaitan harga lahan terhadap laju konversi lahan pertanian di Kecamatan Cisarua. 3. Mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi penduduk dalam mengkonversi lahan di hulu sungai.
1.
Analisis Keterkaitan Harga Lahan terhadap Laju 2. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan
4.
Irvan Maulana Sadikin, 2009, Analisis Dampak Konversi Lahan Pertanian Terhadap Produksi Padi dan Land Rent (Kasus Perumahan Pakuan Regency, Bogor Barat, Kota Bogor)
1. Menjelaskan faktor-faktor yang mendorong Pemerintah Kota Bogor mengkonversi lahan pertanian menjadi lahan pemukiman. 2. Menjelaskan dan menghitung dampak pembangunan perumahan Pakuan Regency terhadap hilangnya padi dan pemasukan (income) petani dari usahatani padi. 3. Menjelaskan dan menghitung
1. Analisis deskriptif 2. Analisis dampak konversi lahan pertanian 3. Dampak lingkungan 4. Analisis hilangnya produksi padi 5. Analisis hilangnya penerimaan petani 6. Analisis Land rent 7. Analisis faktor-faktor yang
1. Tren laju konversi lahan di Kecamatan Cisarua tahun 2001-2010 terus mengalami peningkatan. Konversi lahan tertinggi terjadi pada tahun 2006, karena ada pertambahan jumlah obyek wisata dan jumlah penduduk. Tingkat konversi lahan untuk pertanian dan untuk pemukiman masing-masing sebesar 2.28 % dan 3.94 %. 2. Harga lahan di tingkat Kecamatan Cisarua pada tahun 2001-2010 berhubungan positif terhadap konversi lahan. Laju konversi semakin tinggi karena kenaikan harga lahan di Kecamatan Cisarua lebih murah dibandingkan dengan daerah asal mayoritas pembeli yaitu Jakarta dimana pembeli memiliki keinginan untuk berinvestasi. 3. Faktor-faktor yang mempengaruhi penduduk pada tingkat rumah tangga dalam mengkonversi lahan adalah harga lahan, jumlah tanggungan, pendapatan, dan luas lahan yang dimiliki saat sebelum menjual. 1. Faktor-faktor yang mendorong peningkatkan kualitas pemukiman yang telah ada, yaitu visi Kota Bogor sebagai kota pemukiman sebelum diubah menjadai kota jasa dan kontribusi terhadap PDRB. 2. Pembangunan perumahan Pakuan Regency menghilangkan akses air irigasi pada lahan pertanian dengan kehilangan jumlah produksi padi
21 perbandingan nilai Land Rent sebelum dan sesuadah dibangunnya perumahan Pakuan Regency. 4. Menjelaskan pengaruh dari faktorfaktor Land Rent terhadap nilai ekonomi lahan (land rent) pada lahan pertanian dan lahan pemukiman perumahan Pakuan Regency.
mempengaruhi Land Rent
3.
5.
6.
Deny Syaiful Hayat, 2002, Analisis Faktor– Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah (Studi Kasus Kabupaten Bogor, Jawa Barat)
Dicky fajar Utama, 2006, Analisis Faktor–Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah ke Penggunaan Non Sawah
1. Mengetahui pola konversi lahan sawah yang terjadi dan mengetahui dampak ekonomi konversi lahan sawah ke penggunaan non pertanian terhadap pembangunan wilayah di kabupaten Dati II di Bogor. 2. Mengetahui proses transformasi perekonomian yang terjadi sebagai implikasi konversi lahan sawah yang terjadai di Kabupaten Bogor. 3. Faktor–faktor apa yang mempengaruhi konversi lahan sawah ke penggunaan non pertanian di Kabupaten Dati II Bogor.
1. Analisis deskriptif 2. Analisis kuantitatif estimasi dampak konversi lahan sawah 3. Metode Location Quotient (LQ). 4. Analisis surplus pendapatan petani dan tenaga kerja. 5. Analisis estimasi pertumbuhan. 6. Analisis regresi linier berganda.
1.
1. Mengetahui besaran dan laju konversi lahaan sawah ke penggunaan non sawah di Kabupaten Cirebon. 2. Mengetahui pola konversi lahan sawah yang terjadi dan mengetahui dampak
1. Analisis Deskriptif 2. Analisis Kuantitatif Estimasi Dampak Konversi Lahan Sawah 3. Analisis Regresi
1.
2.
3.
2.
sebesar 392 ton Gabah Kering Giling (GKG) dan lahan yang terganggu aliran air irigasinya sebesar 22,4 ton GKG dengan jumlah pendapatan yang hilang Rp 1.141.760.000,00 per tahun. Land Rent pemukiman lebih besar 71,68 kali dibandingkan dengan Land Rent pertanian. Variabel luas lahan dan biaya operasional berpengaruh negatif terhadap land rent pertanian dan variabel penerimaan berpengaruh secara negatif oleh variabel luas lahan, biaya operasional dan pajak, sedangkan variabel luas bangunan dan total penerimaan berpengaruh positif. Pada tahun 1991-2000 jumlah lahan yang terkonversi seluas 19.262 ha. Rata–rata luas lahan yang terkonversi adalah 1.926,2 ha per tahun. Pola konversi lahan sawah yang terjadi di Kabupaten bogor terjadi pada jenis lahan sawah irigasi sederhana yaitu 44% dari luas lahan yang terkonversi. Faktor–faktor yang mempengaruhi adalah produktivitas lahan sawah, proporsi lahan sawah beririgasi teknis dan non teknis, kontribusi pertumbuhan PDRB dan pertambahan jalan aspal. Konversi lahan yang terjadi di Kabupaten Cirebon pada tahun 19902004 sebesar 5.872 ha atau sekitar 391,47 ha per tahun. Konversi lahan sawah yang terjadi
22 di Kabupaten Cirebon
ekonomi konversi lahan sawah. 3. Menganalisis faktor–faktor yang berpengaruh terhadap konversi lahan sawah ke penggunaan non sawah di kabupaten Cirebon.
4. Analisis Operasional
mengakibatkan kehilangan peluang produksi padi sebesar 42.209,08 ton dengan nilai sebesar Rp 78.086.798.000 jika diasumsikan harga 1 ton gabah kering giling sebesar Rp 1.850.000. 3. Faktor–faktor yang mempengaruhi adalah kepadatan penduduk, produktivitas lahan sawah, kontribusi PDRB non pertanian dan pertumbuhan panjang jalan aspal.
23
III. KERANGKA PEMIKIRAN Permasalahan pembangunan sektor ekonomi dan pertumbuhan jumlah
penduduk yang terjadi sangat mempengaruhi ketersediaan lahan pertanian yang ada. Pembangunan sektor ekonomi yang ada dalam suatu wilayah, sangat berpengaruh terhadap perubahan penggunaan lahan salah satunya terjadi pada sektor industri. Pertumbuhan sektor industri yang sangat cepat menyebabkan, permintaan akan kebutuhan lahan akan semakin meningkat. Sehingga, lahan yang awalnya berupa lahan pertanian, khususnya sawah kini menjadi lahan yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Selain itu, pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat, menyebabkan kebutuhan tempat tinggal serta sarana dan prasarana sehari-hari akan meningkat pula. Sehingga, lahan yang sifatnya relatif tetap, dengan kebutuhan serta permintaan yang tidak terbatas, mengakibatkan adanya alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian. Semakin sempitnya luas lahan pertanian, khususnya lahan sawah, akan memberikan dampak yang cukup besar terhadap hilangnya jumlah produksi dan nilai produksi padi dan hilangnya nilai pendapatan rumah tangga petani. Dampak yang dirasakan petani akibat terjadinya alih fungsi lahan yaitu, petani yang pada awalnya merupakan petani pemilik lahan, perlahan mereka mulai berubah kedudukkan menjadi petani penggarap dilahan orang lain, buruh tani, penggarap ataupun beralih ke pekerjaan lain, sehingga nilai pendapatan rumah tangga mereka dapat mengalami peningkatan, penurunan atau bahkan lenyap. Hal tersebut menunjukkan adanya transformasi dari sektor pertanian ke sektor non pertanian. Penurunan volume produksi padi akan menghilangkan nilai produksi pertanian dan pendapatan petani. Selain itu, adanya alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian juga berpengaruh terhadap kondisi lingkungan secara fisik. Seperti banjir, kekurangan air, pencemaran air yang akan berpengaruh terhadap kondisi lingkungan masyarakat. Alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian didasari oleh adanya faktorfaktor tertentu, baik faktor yang mempengaruhi di tingkat wilayah maupun faktor yang mempengaruhi di tingkat petani. Faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan di tingkat wilayah, merupakan faktor yang secara tidak langsung mempengaruhi hasil keputusan petani melakukan alih fungsi lahan. Faktor yang
24 mempengaruhi alih fungsi lahan di tingkat petani, merupakan faktor yang secara langsung mempengaruhi petani melakukan alih fungsi lahan. Pengaruh langsung dipengaruhi oleh pengaruh tidak langsung, seperti pertumbuhan penduduk yang akan menyebabkan pertumbuhan pemukiman, perubahan struktur ekonomi ke arah industri dan jasa akan meningkatkan kebutuhan pembangunan sarana transportasi dan lahan untuk industri, serta peningkatan arus urbanisasi akan meningkatkan tekanan penduduk atas lahan dipinggiran kota. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan sawah di tingkat petani adalah kondisi sosial ekonomi petani seperti tingkat pendidikan, pendapatan dan kemampuan ekonomi secara keseluruhan serta pajak tanah, harga tanah dan lokasi tanah. Secara umum, alih fungsi lahan sawah ke penggunaan lain dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Alih fungsi lahan sawah secara langsung umumnya terjadi sebagai akibat dari keputusan pemilik lahan sawah untuk mengalihkan lahan tersebut ke jenis pemanfaatan lain, diantaranya di pengaruhi oleh perubahan struktur ekonomi, pertumbuhan ekonomi, arus urbanisasi dan konsistensi implementasi rencana tata ruang, sedangkan alih fungsi lahan secara tidak langsung terjadi sebagai akibat makin menurunnya kualitas lahan sawah ataupun makin rendahnya income opportunity dari lahan tersebut secara relatif, diantaranya dipengaruhi oleh pertumbuhan pembangunan sarana transportasi, pertumbuhan kebutuhan lahan untuk industri, pertumbuhan sarana pemukiman dan sebaran lahan pertanian. Pengendalian alih fungsi lahan merupakan langkah tinjauan ulang kebijakan pemerintah terkait reforma agraria. Sehingga dari gambaran alih fungsi lahan yang terjadi, pemerintah akan dapat memperhitungkan kompensasi yang harus diberikan untuk mempertahankan lahan pertanian yang ada di Indonesia. Skema faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian beserta dampak terhadap pendapatan petani dan produksi pangan ditampilkan secara sederhana dalam Gambar 1.
25
Pertumbuhan Penduduk
Pembangunan Sektor Ekonomi
Peningkatan Kebutuhan Lahan Industri
Peningkatan Kebutuhan Pemukiman
Peningkatan Usaha Keluarga Non Pertanian
Alih Fungsi Lahan Pertanian
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Pertanian
Dampak
Perubahan Pendapatan Petani
Penurunan Produksi Pangan
Penurunan Kondisi Lingkungan
Analisis Pendapatan Petani dan Alih Kerja
Analisis Produksi Pangan
Analisis Laju Alih Fungsi Lahan Pertanian
Kebijakan Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian ke Non Pertanian Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran
26
27 IV. METODE PENELITIAN 4.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Dari Juli 2013. Pemilihan Kabupaten Bogor sebagai lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive). Lokasi ini dipilih karena di daerah tersebut banyak dibangunan pemukiman dan industri, padahal tata guna lahan di daerah tersebut pada saat ini mayoritas merupakan lahan sawah. Hal ini mengindikasikan terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke pemukiman ataupun industri. Selain itu wilayah ini juga merupakan salah satu daerah di Jawa Barat dengan perkembangan ekonomi yang paling cepat, sehingga memberikan implikasi adanya perubahan tata guna lahan. Studi kasus pada penelitian ini dilakukan di Kecamatan Ciampea yang dipilih karena pada daerah tersebut produktivitas padi per hektarnya dari tahun 2009-2011 terus mengalami penurunan. Hal ini dapat dilihat pada gambaran umum mengenai Kecamatan Ciampea di bab selanjutnya. 4.2 Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian “Analisis Dampak Ekonomi dari Alih Fungsi Lahan Pertanian ke Non Pertanian Terhadap Ketahanan Pangan Di Kabupaten Bogor. ini yaitu data primer dan data sekunder. Data primer digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan di tingkat petani, dampak alih fungsi lahan terhadap pendapatan petani dan dampak alih fungsi lahan terhadap produksi pangan. Data primer diperoleh dari hasil wawancara langsung dengan pemilik lahan baik melalui kuesioner maupun wawancara secara mendalam. Responden yang diambil sebanyak 45 petani. Kecamatan Ciampea ini diambil berdasarkan hasil Location Quotient (dengan nilai lebih dari 1) basis komoditas padi sawah dari data Pemerintah Kabupaten Bogor. Data sekunder digunakan untuk mengetahui laju alih fungsi lahan dan faktor-faktor eksternal dan internal yang mempengaruhi alih fungsi lahan. Jenis data tersebut diperoleh dari: Badan Pusat Statistik Nasional, Badan Pusat Statistik Daerah, Bapeda Kota Bogor dan publikasi beberapa penelitian terdahulu, jurnal, artikel, dan internet.
28 4.3 Metode Pengambilan Sampel Metode pengambilan sampel yang dilakukan pada penelitian ini dilakukan kepada petani pemilik lahan yang mengalami alih fungsi lahan dan tidak mengalami alih fungsi lahan dilakukan secara purposive sampling. Teknik purposive sampling merupakan bentuk dari non-probability sampling method. Penelitian
dilaksanakan
menggunakan
metode
sampling
non-probability
disebabkan oleh jumlah masing-masing populasi yang akan diteliti tidak diketahui secara pasti. 4.4 Analisis Data Analisis data bertujuan untuk menyederhanakan data ke dalam bentuk tabel yang mudah dipahami dan diinterpretasikan. Metode analisis data yang akan dilakukan dapat dilihat dalam tabel di bawah ini: Tabel 6. Matriks Metode Analisis Data No.
Tujuan Penelitian
Sumber Data
Metode Analisis Data
1.
Mengkaji laju alih fungsi
Penelusuran data
Analisis laju alih fungsi
lahan pertanian di
sekunder
lahan
Kabupaten Bogor. 2.
Mengidentifikasi faktor-
Penelusuran data
Analisis deskriptif, Analisis
faktor yang berpengaruh
sekunder dan
regresi linier berganda dan
terhadap alih fungsi lahan
wawancara
Analisis regresi logistik.
pertanian ke penggunaan
menggunakan
non pertanian di Kabupaten kuesioner Bogor. 3.
4.
Menganalisis dampak alih
Penelusuran data
Analisis hilangnya
fungsi lahan terhadap
sekunder dan
penerimaan petani, Analisis
pendapatan petani dan
wawancara
hilangnya produksi padi.
produksi pangan di
menggunakan
Kabupaten Bogor.
kuesioner
Menganalisis langkah
Penelusuran data
Analisis kebijakan apa saja
pengendalian alih fungsi
sekunder
yang sudah diterapkan.
lahan yang harus diterapkan dalam bentuk kebijakan pemerintahan
29 Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Pengolahan dan analisis data dilakukan secara manual dan menggunakan komputer dengan program microsoft office excel 2007, Eviews 7 dan SPSS 18. 4.4.1
Analisis deskriptif
Analisis deskriptif merupakan metode yang sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dengan interpretasi yang tepat mengenai masalah-masalah yang ada dalam masyarakat, tata cara yang berlaku, serta situasi-situasi tertentu termasuk tentang hubungan, kegiatan, sikap, pandangan, serta proses yang sedang berlangsung dan pengaruh dari satu fenomena (Withney, 1960). Data yang diperoleh akan diolah dengan langkah-langkah sebagai berikut : 1. Penulisan data dan informasi diperoleh selama penelitian dengan tujuan untuk mengevaluasi data. Hal ini dilakukan untuk menghindari kesalahan yang terjadi selama pengamatan. 2. Merumuskan data yang diperoleh ke dalam bentuk tabel untuk menghindari kesimpangsiuran interpretasi serta sekaligus untuk mempermudah interpretasi data. 3. Menghubungkan hasil penelitian yang diperoleh dengan kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian, dengan tujuan mencari arti atau memberi interpretasi yang lebih luas dari data yang diperoleh. Dengan menggunakan analisis deskriptif akan diperoleh gambaran mengenai faktor-faktor lahan pertanian ke penggunaan non pertanian, dampaknya terhadap pendapatan petani dan produksi pangan di Kabupaten Bogor. 4.4.2 Analisis Laju Alih Fungsi Lahan Laju alih fungsi lahan dapat ditentukan dengan cara menghitung laju alih fungsi secara parsial dan kontinu (Sutandi 2009) dalam Astuti (2011). Laju alih fungsi lahan secara parsial dapat dijelaskan secara berikut : 𝑉=
𝐿𝑡 − 𝐿𝑡−1 𝐿𝑡−1
× 100% .............................................................................(4.1)
Dimana : V
= Laju Alih Fungsi lahan (%)
Lt
= Luas lahan sawah saat ini/ tahun ke-t (ha)
Lt-1
= Luas lahan sawah tahun sebelumnya (ha)
30 Laju alih fungsi lahan (%) dapat ditentukan dengan nilai selisih luas lahan pada tahun ke-t dengan luas lahan tahun sebelumnya, dibagi dengan luas lahan tahun sebelumnya, kemudian dikalikan dengan 100%. Hal ini dapat dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya sehingga dapat diperoleh hasil laju alih fungsi setiap tahun. 4.4.3 Analisis Faktor Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non pertanian digunakan dua analisis yaitu analisis regresi linier berganda dan analisis regeresi logistik. Analisis regresi linier berganda digunakan untuk mengetahui faktor-faktor eksternal di tingkat wilayah yang berpengaruh terhadap alih fungsi lahan pertanian. Sedangkan analisis regresi logistik digunakan untuk mengetahui faktor-faktor internal di tingkat petani yang berpengaruh terhadap keputusan petani dalam mengalihfungsikan lahan sawah yang ada. 4.4.3.1. Analisis Regresi Linier Berganda Dalam mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi penurunan lahan akibat alih fungsi lahan pertanian digunakan model analisis regresi linier berganda. Analisis regresi adalah hubungan secara linier antara dua atau lebih variabel peubah bebas atau independent (X) dengan variabel peubah tak bebas atau dependent (Y). Hipotesis faktor-faktor dari tingkat wilayah yang mempengaruhi alih fungsi lahan adalah sebagai berikut: 1. Laju pertumbuhan penduduk (persen) Laju pertumbuhan penduduk mempengaruhi permintaan terhadap lahan, seperti untuk pemukiman, sarana dan prasarana serta fasilitas umum lainnya. Jumlah penduduk yang semakin meningkat akan meningkatan permintaan terhadap lahan sehingga mendorong penurunan luas lahan pertanian akibat alih fungsi lahan pertanian yang semakin tinggi. 2. Luas lahan bangunan dan jumlah industri (unit) Peningkatan luas lahan bangunan dan jumlah industri mendorong meningkatnya permintaan terhadap lahan. Semakin tinggi pertambahan luas
31 lahan bangunan dan jumlah industri maka semakin tinggi penurunan luas lahan sawah akibat alih fungsi lahan sawah yang terjadi. 3. Produktivitas lahan pertanian (ton/ha) Semakin rendah produktivitas lahan pertanian, maka akan meningkatkan penurunan luas lahan sawah akibat adanya alih fungsi lahan karena lahan dianggap memilik opportunity cost. Persamaan model regresi linier berganda antara peubah-peubah diatas dapat dirumuskan sebagai berikut : Y = α + β1X1 + β2X2 + β3X3 + β4X4 + ε .................................................(4.2) Tanda yang diharapkan : βi > 0 Dimana : Y
= Penurunan lahan pertanian akibat alih fungsi lahan
α
= Intersep
Xi
= Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi alih fungsi lahan
βi
= Koefisien regresi
ε
= Erorr Term
Metode Analisis Linier Berganda merupakan metode analisis yang didasarkan pada Metode Ordinary Least Square (OLS). Konsep dari metode Least Square adalah menduga koefisisen regresi (β) dengan meminimumkan kesalahan (error). Ordinary Least Square (OLS) memiliki beberapa sifat : (1) tidak bias dengan penaksiran varian yang minimum baik linear maupun bukan, (2) konsisten yaitu dengan meningkatnya ukuran sample secara tidak terbatas, penaksir mengarah ke nilai populasi sebenarnya, dan (3) β0 dan β1 terdistribusi secara normal (Gujarati 2002). Langkah awal yang dapat dilakukan dalam pengujian ini adalah dengan pengujian ketelitian dan kemampuan model regresi. Pengujian model regresi diperlukan dalam penelitian ini. Terdapat tiga pengujian, yaitu uji koefisien determinasi (R-squared), Uji F, dan Uji t. 1. Uji Koefisien Determinasi (R-square) Nilai R-squared mencerminkan seberapa besar keragaman dari variable dependen yang dapat diterangkan oleh variabel independen. R-squared dapat
32 menjelaskan kemampuan variabel bebas secara bersamaan dalam menjelaskan variasi dari peubah tak bebas. Nilai R-squared memiliki besaran yang positif yaitu 0< R-squared < 1. Jika nilai R-squared bernilai nol maka artinya keragaman variabel dependen tidak dapat dijelaskan oleh variabel independennya. Sebaliknya, jika nilai R-squared bernilai satu maka keragaman dari variabel dependen secara keseluruhan dapat diterangkan oleh variabel independennya secara sempurna (Gujarati, 2002). Rumus R-squared dapat dilihat sebagai berikut. 𝑅2 =
𝐸𝑆𝑆 𝑇𝑆𝑆
................................................................................................(4.4)
Dimana : ESS = Explained of Sum Squared TSS = Total Sum of Squared 2. Uji t Uji t dilakukan untuk menghitung koefisien regresi masing-masing variabel independen sehingga dapat diketahui pengaruh variabel independen terhadap variabel dependennya. Prosedur dalam pengujian Uji t oleh Gujarati (2002) : H0 : β1 = 0 H0 : β1 ≠ 0 𝑡=
𝑏−𝛽 𝑡 𝑆𝑒𝛽
.................................................................................................(4.5)
Dimana : b
= Parameter dugaan
β1
= Parameter hipotesis
Seβ
= Standar error parameter β
Jika t
hitung (n-k)
< t
tabel α/2,
maka H0 diterima, artinya variabel (Xi) tidak
berpengaruh nyata terhadap (Y). Namun, jika t hitung (n-k) > t tabel α/2, maka H0 ditolak, artinya variabel (Xi) berpengaruh nyata terhadap (Y). 3. Uji F Uji F dilakukan untuk mengetahui pengaruh variabel independen atau bebas (Xi) secara bersama-sama terhadap variabel dependen atau tidak bebas (Y). Adapun prosedur yang digunakan dalam uji F (Gujarati 2002): H0 = β1 = β2 = β3 = ..... = βi = 0 H1 = minimal ada satu βi ≠ 0
33 𝐽𝐾𝐾 /(𝑘−1)
𝐹ℎ𝑖𝑡 = 𝐽𝐾𝐺 /(𝑛 −𝑘) ......................................................................................(4.6) Dimana : JKR
= Jumlah Kuadrat Regresi
JKG
= Jumlah Kuadrat Galat
k
= Jumlah variabel terhadap intersep
n
= Jumlah pengamatan/sampel Apabila F
hitung
< F
tabel
maka H0 diterima dan H1 ditolak yang berarti
bahwa variabel bebas (Xi) tidak berpengaruh nyata terhadap variabel tidak bebas (Y). Apabila F hitung > F tabel maka H0 diterima dan H1 diterima yang berarti bahwa variabel bebas (Xi) berpengaruh nyata terhadap variabel tidak bebas (Y). Model yang dihasilkan dari regresi linear berganda haruslah baik, sehingga harus memenuhi kriteria BLUE (Best Linear Unbiased Estimator). BLUE dapat dicapai bila memenuhi asumsi klasik. Uji asumsi klasik merupakan pengujian pada model yang telah berbentuk linear untuk mendapatkan model yang baik. Setelah model diregresikan kemudian dilakukan uji penyimpangan asumsi. a. Uji Normalitas Uji normalitas bertujuan untuk melihat model tersebut baik atau tidak. Model yang baik jika mempunyai distribusi normal atau hampir normal. Uji yang dapat digunakan adalah Uji Kolmogorov-Smirnov. Hipotesis pada uji Kolmogorov-Smirnov adalah sebagai berikut : H0 : Error term terdistribusi normal H1 : Error term tidak terdistribusi normal Dengan kriteria uji : Jika P-value < α maka tolak H0 Jika P-value > α maka terima H0 Kelebihan dari uji ini adalah sederhana dan tidak menimbulkan perbedaan persepsi di antara satu pengamat dengan pengamat lain. Penerapan pada uji Kolmogrov-Smirnov adalah jika signifikansi di atas 5 persen berarti tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara data yang di uji dengan data baku. b. Uji Autokorelasi Autokerelasi adalah adanya korelasi antara variabel itu sendiri, pada pengamatan berbeda waktu dan individu yang terjadi dapat data time series.
34 Terdapat beberapa cara yang dapat digunakan untuk mendeteksi ada tidaknya autokorelasi. Salah satunya adalah Uji Durbin Watson (DW-test). Besarnya nilai statistik DW dapat diperoleh dengan rumus (Nachrowi et all. 2002): 𝑑=
𝑁 2 𝑡=2 (𝑢 𝑡 − 𝑢 𝑡−1 ) 𝑁 𝑢2 𝑡−1 𝑡
..................................................................................(4.7)
Dimana : d
= Statistik Durbin-Watson
ut dan ut-1
= Gangguan estimasi
Pengambilan keputusannya : - Jika nilai DW terletak antara batas atau upper bound (du) dan (4-du), maka koefisien autokorelasi sama dengan nol, berarti tidak ada autkorelasi positif. - Jika nilai DW lebih rendah dari pada batas bawah atau lowne bound (dl), maka koefisien autokorelasi lebih besar daripada nol, berarti ada autokorelasi positif. - Jika nilai DW lebih besar daripada (4-dl), maka koefisien autokorelasi lebih kecil daripada nol, berarti ada autokorelasi positif. - Jika nilai DW lebih kecil daripada (4-dl), maka koefisien autokorelasi lebih besar daripada nol, berarti ada autokorelasi negatif. - Jika nilai DW terletak diantara batas atas (du) dan batas bawah (dl) atau DW terletak antara (4-du) dan (4-dl), maka hasilnya tidak dapat disimpulkan. c. Uji Multikolinearitas Jika suatu model regrasi berganda terdapat hubungan linear sempurna antar peubah bebas dalam model tersebut, maka dapat dikatakan model tersebut mengalami multikolinearitas. Terjadinya multikolinearitas menyebabkan Rsquared tinggi namun tidak banyak variabel yang signifikan dari uji t. Uji Varian Invaction Factor (VIF) merupakan salah satu cara yang digunakan dalam metode ini. Hanya melihat apakah nilai VIF untuk masing-masing variabel lebih besar dari 10 atau tidak. Bila nilai VIF lebih besar dari 10 maka model tersebut mengalami multikolinearitas. Sebaliknya, jika VIF lebih kecil dari 10 maka model tersebut
tidak
mengalami
multikolinearitas.
Jika
model
mengandung
multikolinearitas, mengatasinya adalah dengan cara mengubah semua variabel bebas yang berpengaruh menjadi Ln.
35 d. Uji Heteroskedastisitas Menurut Juanda (2009), heteroskedastisitas terjadi jika ragam sisaan tidak sama untuk tiap pengamatan ke-i dari peubah-peubah bebas dalam model regresi yang biasanya terjadi dalam data cross section. Salah satu cara dalam mendeteksi heteroskedastisitas adalah dengan transformasi terhadap peubah respon dengan tujuan untuk menjadikan ragam homogeni pada peubah respon hasil transformasi tersebut. Selain itu, dapat juga dilakukan dengan uji glejser yang dilakukan dengan meregresikan varibel-variabel bebas terhadap nilai residualnya (Gujarati 2006). Jika nilai signifikan dari hasil uji Glejster lebih besar dari α maka tidak terdapat heteroskedastisitas dan sebaliknya. 4.4.3.2. Analisis Regresi Logistik Analisis regresi logistik digunakan untuk mengestimasi faktor-faktor yang mempengaruhi petani dalam pengalihfungsian lahan sawah. Menurut Nachrowi et all (2002), model logit adalah model non linear, baik dalam parameter maupun dalam variabel. Model logit diturunkan berdasarkan fungsi peluang logistik yang dapat di spesifikasikan sebagai berikut (Juanda 2009) : 1
𝑃𝑖 = 𝐹 𝑍𝑖 = 𝐹 𝛼 + 𝛽𝑋𝑖 = 1+𝑒 −𝑧 =
1 1+𝑒 −(𝛼 +𝛽 𝑋 𝑖 )
..................................(4.8)
Dimana e mempresentasikan bilangan dasar logaritma natural (e=2.718). Dengan aljabar biasa, persamaan dapat di tunjukkan menjadi : 𝑒𝑧 =
𝑃𝑖 1−𝑃𝑖
.................................................................................................(4.9)
Peubah Pi / 1 - Pi dalam persamaan diatas disebut sebagai odds, yaitu rasio peluang terjadinya pilihan 1 terhadap peluang terjadinya pilihan 0 alternatif. Parameter model estimasi logit harus diestimasi dengan metode maximum likelihood (ML). Dengan persamaan logaritma natural, maka : 𝑃
𝑃
𝑍𝑖 = ln 1−𝑃𝑖 → ln 1−𝑃𝑖 = 𝑍𝑖 = 𝛼 + 𝛽𝑋𝑖 ..................................................(4.10) 𝑖
𝑖
Persamaan model regresi logistik untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan adalah sebagai berikut : 𝑃
ln 1−𝑃𝑖 = 𝑍 = 𝛼 + 𝛽1 𝑋1 + 𝛽2 𝑋2 + 𝛽3 𝑋3 + 𝛽4 𝑋4 + 𝛽5 𝑋5 + 𝛽6 𝑋6 + 𝜀 ..(4.11) 𝑖
Dimana: Z
= Peluang alih fungsi lahan (1) dan tidak alih fungsi lahan (0)
36 α
= Intersep
Xi
= Faktor –faktor yang diduga mempengaruhi keputusan alih fungsi lahan
βi
= Koefisien regresi
ε
= Error Term Hipotesis faktor-faktor internal yang mempengaruhi tingkat alih fungsi
lahan adalah sebagai berikut: 1. Pendapatan Semakin kecil pendapatan yang diperoleh petani, maka semakin tinggi keinginan petani untuk melakukan alih fungsi lahan. 2. Jumlah Keluarga (Orang) Semakin banyak jumlah tanggungan anggota keluarga, maka akan semakin banyak pula kebutuhan yang harus ditanggapi, sehingga tekanan untuk melakukan alih fungsi lahan akan meningkat. 3. Hasil Panen (ton/ha) Semakin tinggi hasil panen akan memberikan tingkat pengembalian yang besar, sehingga akan mendorong petani untuk mempertahankan lahannya. Alih fungsi lahan yang terjadi akan menurun. 4. Harga Pupuk (Rp/kg) Semakin meningkat harga pupuk, maka petani akan lebih memilih melakukan alih fungsi lahan daripada mempertahankan lahannya dengan harga pupuk yang tinggi. 5. Harga Benih (Rp/kg) Harga benih yang tinggi, akan mengakibatkan petani lebih memilih untuk menngalifungsikan lahannya, sehingga alih fungsi lahan akan mengalami peningkatan. 6. Harga Tanah di Sekitar (Rp/ha) Harga lahan di suatu wilayah akan mempengaruhi keputusan petani dalam melakukan alih fungsi lahan. Semakin tinggi harga lahan, semakin tinggi tingkat alih fungsi lahan di wilayah tersebut. 7. Ketersediaan Irigasi (Dummy) Ada atau tidaknya irigasi mempengaruhi petani dalam mempertahankan lahannya. Jika tidak adanya irigasi, maka petani akan lebih memilih melakukan
37 alih fungsi lahan dibandingkan mempertahankan lahannya. Agar diperoleh hasil analisis regresi logit yang baik perlu dilakukan pengujian untuk melihat model logit yang dihasilkan keseluruhan dapat menjelaskan keputusan pilihan secara kualitatif. Pengujian parameter yang dilakukan dengan menguji semua secara keseluruhan dan menguji masing – masing parameter secara terpisah. Statistik uji yang digunakan adalah sebagai berikut : a.
Odds Ratio Odds merupakan rasio peluang kejadian terjadinya sukses (y=1) terhadap
peluang kejadian terjadinya gagal (y=0) (Nachrowi et all, 2002). Odds ratio sering digunakan sebagai suatu ukuran asosiasi yang sering ditemukan dalam epidemologi. Pada dasarnya odds ratio digunakan untuk melihat hubungan antara peubah bebas dan peubah terikat dalam model logit. Odds ratio dapat 𝑃(𝑋 )
didefinisikan sebagai berikut : 1−𝑃(𝑋𝑖 ) dimana P menyatakan peluang terjadinya 𝑖
peristiwa (Z=1) dan 1-P menyatakan peluang tidak terjadinya peristiwa. b.
Likelihood Ratio Likelihood Ratio merupakan rasio kemungkinan maksimum yang
digunakan untuk menguji peranan variabel secara serentak (Hosmer dan Lemeshow 2002). Statistik uji yang dapat menunjukkan nilai Likelihood Ratio adalah Uji G dengan rumus seperti: 𝑙
𝐺 = −2 ln( 𝑙0 ) .......................................................................................(4.12) 𝑖
Dimana l0 merupakan nilai likelihood tanpa variabel penjelas dan li merupakan nilai likelihood model penuh. Statistik uji G akan mengikuti sebaran chi-square dengan derajat bebas α. Kriteria keputusan yang diambil adalah jika G > chi-square maka H0 ditolak. Jika H0 ditolak maka dapat disimpulkan bahwa minimal ada βj ≠ 0, dengan pengertian lain, model regresi logistik dapat menjelaskan atau memprediksi pilihan individu pengamatan. 4.4.4 Analisis Hilangnya Penerimaan Petani Alih fungsi lahan sawah berdampak pada perubahan penerimaan yang didapatkan petani dari usaha tani yang dilakukan. Menurut Utama (2006), penerimaan petani yang lahan pertaniannya teralihfungsikan dihitung berdasarkan
38 produksi padi yang hilang dikalikan dengan harga padi yang berlaku. Sehingga dapat dirumuskan sebagai berikut : NQ1 = PR x QR.........................................................................................(4.13) Dimana : NQ1
= Penerimaan petani yang hilang dari lahan sawah yang teralihfungsi (Rp)
PR
= Harga padi (Rp)
QR
= Produksi padi yang hilang (ton) Penerimaan yang hilang dari petani yang lahan pertaniannya terganggu
dihitung berdasarkan pada selisih penerimaan antara usahatani yang dilakukan sebelum lahan pertanian tersebut terganggu dan setelah lahan pertanian tersebut terganggu. Sehingga dapat dirumuskan sebagai berikut : 𝑁𝑄𝑍 = 𝑃𝑅 𝑥𝑄𝑅 −
𝑃𝑉 𝑥𝑄𝑉𝑗 , .....................................................................(4.14)
Dimana : NQZ
= Selisih penerimaan usahatani sebelum dan sesudah adanya alih fungsi
lahan (Rp) QR
= Produksi padi yang hilang (ton)
QVj
= Produksi perkebunan (ton)
PR
= Harga padi (Rp)
PV
= Harga komoditi perkebunan (Rp) Penerimaan sari usahatani padi sebagai dampak alih fungsi lahan
merupakan penjumlahan dari penerimaan yang hilang pada lahan yang teralihfungsikan dan selisih penerimaan antara usahatani padi dan usahatani perkebunan. Dapat dirumuskan : NQT = NQ1 + NQ2 ...............................................................................(4.15) Dimana NQT merupakan hilangnya penerimaan total sebagai dampak alih fungsi lahan. 4.4.5
Analisis Estimasi Dampak Produksi
Salah satu dampak dari alih fungsi lahan pertanian adalah hilangnya kesempatan memproduksi pangan dari lahan pertanian yang teralihfungsikan dan lahan pertanian yang terganggu di sekitar lahan pertanian yang teralihfungsikan. Model dapat dituliskan sebagai berikut : 𝑄 = 𝑆1 𝑥 𝐻 + (𝑆2 𝑥𝐻 ) ......................................................................(4.16)
39 Dimana : Q
= Produksi padi per tahun yang hilang (ton)
S1
= Luas lahan yang teralihfungsikan (ha)
S2
= Luas lahan yang terganggu sehingga tidak dapat menghasilkan produksi padi (ha) = Produktifitas lahan rata – rata pada kawasan lahan yang teralihfungsikan
𝐻
(ton/ha) Produktifitas lahan pertanian rata – rata di peroleh dari rata – rata produktifitas lahan seluruh responden dengan fungsi sebagai berikut : 𝐻=
𝑄 𝑆
𝑛
...................................................................................................(4.17)
Dimana : 𝑄 𝑆
= Jumlah produktifitas lahan pertanian dari seluruh responden yang melakukan usahatani (ton/ha)
n
= Jumlah responden yang menjadi sampel pengamatan
40
41 V. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 5.1 Kondisi Geografis Kabupaten Bogor Kabupaten Bogor merupakan salah satu wilayah yang berbatasan langsung dengan ibu kota RI (DKI Jakarta) dan secara geografis mempunyai luas sekitar 2.301,95 Km2 terletak antara 6o19‟ – 6o47‟ lintang selatan dan 106o1‟-107o103‟ bujur timur. Batas-batas Wilayah ini adalah: -
Sebelah utara berbatasan dengan Kota Depok
-
Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Lebak.
-
Sebelah barat daya berbatasan dengan Kabupaten Tangerang.
-
Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Purwakarta
-
Sebelah timur laut berbatasan dengan Kabupaten Bekasi.
-
Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Sukabumi.
-
Sebelah tenggara berbatasan dengan Kabupaten Cianjur. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2012, Kabupaten Bogor terdiri
dari 40 kecamatan, 17 kelurahan, 413 desa, 3.882 Rukun Warga (RW) dan 15.561 Rukun Tangga (RT). Dari jumlah tersebut, mayoritas desa yakni 235 desa berada pada ketinggian sekitar kurang dari 500 meter terhadap permukaan laut, sedangkan 145 desa berada di antara 500 - 700 meter dari permukaan laut dan sisanya 50 desa berada di atas ketinggian lebih dari 700 meter dari permukaan laut. Dilihat dari aksesibilitas perhubungan, Kabupaten Bogor merupakan daerah strategis karena menghubungkan antara Ibu Kota Jakarta dan Kota Bogor. Dalam hal pembangunan regional Jabodetabek, Kabupaten Bogor berfungsi sebagai daerah penyangga DKI Jakarta. Kabupaten Bogor dibagi menjadi tiga wilayah pembangunan, yaitu wilayah pembangunan barat, tengah dan timur. Pembagian perwilayahan pembangunan merupakan dasar penyusunan rencana strategis wilayah Kabupaten Bogor. Maksud dan tujuan perwilayahan pembangunan adalah untuk meningkatkan pertumbuhan wilayah secara seimbang antar kawasan dengan memanfaatkan sumber daya secara optimal dan berkesinambungan. Pembangunan wilayah barat meliputi 13 kecamatan, yaitu Kecamatan Jasinga, Parung Panjang, Tenjo, Cigudeg, Sukajaya, Nanggung, Leuwiliang, Leuwisadeng, Tenjolaya, Cibungbulang,
42 Ciampea, Pamijahan dan Kecamatan Rumpin, dengan luas wilayah sekitar 128.750 Ha. Pembangunan wilayah tengah meliputi 20 kecamatan, yaitu Kecamatan Gunung Sindur, Parung, Ciseeng, Kemang, Rancabungur, Bojonggede, Tajurhalang, Cibinong, Sukaraja, Dramaga, Cijeruk, Cigombong, Caringin, Ciawi, Megamendung, Cisarua, Citeureup, Babakan Madang, Ciomas dan kecamatan Tamansari, dengan luas wilayah sekitar 87.552 Ha. Pembangunan wilayah timur meliputi
tujuh
kecamatan,
yaitu
Kecamatan
Gunung
Putri,
Cileungsi,
Klapanunggal, Jonggol, Sukamakmur, Tanjungsari dan Kecamatan Cariu. 5.2 Kependudukan Kabupaten Bogor Kabupaten Bogor merupakan salah satu daerah perlintasan utama menuju DKI Jakarta dan daerah bertumbuh kembangnya kawasan industri manufaktur. Sehinggan permasalahan pembangunan seringkali menjadi beban. Terutama pertumbuhan jumlah penduduk yang cukup pesat. Berdasarkan hasil data dari Dinas Kependudukan, Catatan Sipil dan Keluarga Berencana Tahun 2011, jumlah penduduk Kabupaten Bogor sebesar 4.353.591 juta jiwa. Jumlah tersebut mendiami wilayah seluas 2.997,13 km2, sehingga secara rata-rata kepadatan penduduk di Kabupaten Bogor adalah 1.453 jiwa per km2. Jumlah penduduk Kabupaten Bogor terus mengalami peningkatan. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 7 berikut ini. Tabel 7. Jumlah Penduduk Kabupaten Bogor dari Tahun 2002-2011 Tahun
Jumlah Penduduk (Jiwa)
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
3.249.781 3.399.036 3.438.055 3.700.207 4.215.436 4.251.838 4.340.520 4.477.344 4.771.932 4.353.591
Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor, berbagai terbitan
Kepadatan Penduduk (Jiwa/Km2) 1.354 1.423 1.439 1.549 1.582 1.596 1.629 1.681 1.998 1.453
43 5.3 Keadaan Lahan di Kabupaten Bogor Penggunaan lahan pertanian dibedakan menjadi lahan untuk sawah irigasi teknis, sawah irigasi setengah teknis, pengairan sederhana, pengairan non PU, lahan kering yang terdiri dari tegalan dan ladang. Luas penggunaan lahan tersebut mengalami penurunan dari tahun 2002 hingga tahun 2011. Wilayah Kabupaten Bogor pada tahun 2011 memiliki luas lahan sawah sebesar 299.428 Hektar. Terdiri dari lahan sawah sebesar hektar 48.185 (17,94%) dan lahan kering sebesar 251.243 hektar (82,06%). Luas lahan penggunaaan sawah di Kabupaten Bogor mengalami perubahan, yaitu sebesar 48.256 hektar pada tahun 2002 menjadi 48.185 hektar pada tahun 2011 (Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor 2012). Adapun luas lahan yang dimanfaatkan dalam bidang pertanian : Tabel 8. Luas Pemanfaatan Lahan dalam Bidang Pertanian di Kabupaten Bogor Tahun 2012 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Jenis Pemanfaatan Pengairan Teknis Pengairan ½ Teknis Pengairan Sederhana Pengairan Non PU Tadah Hujan Lebak/Polder Lahan Kering Jumlah
Jumlah (Ha) 2.506 9.644 14.451 11.635 9.949 48.185
Sumber : Dinas Pertanian Kabupaten Bogor 2012
Selain penggunaan lahan dalam pertanian, Kabupaten Bogor juga memanfaatkan lahan kering untuk berbagai macam bangunan, hutan dan perkebunan. Penggunaan lahan kering sebagai bangunan, hutan rakyat serta perkebunan mengalami peningkatan yang cukup besar dibandingkan penggunaan lahan sawah setiap tahunnya. Hal ini dikarenakan adanya pertumbuhan jumlah penduduk yang cukup besar dan usaha perkebunan yang semakin menyeruak. Berikut ini adalah luasan lahan kering berdasarkan pemanfaatannya di wilayah Kabupaten Bogor.
44 Tabel 9. Luas Pemanfaatan Lahan Kering di Kabupaten Bogor No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Jenis Pemanfaatan Pekarangan/Lahan untuk Bangunan dan Sekitarnya Tegal Kebun Ladang/Huma Penggembalaan/Padang Rumput Rawa yang tidak ditanami Tambak Kolam/Tebat/Empang Lahan Kering sementara tidak diusahakan Hutan Rakyat Hutan Negara Perkebunan Lain-lain Jumlah
Jumlah (Ha) 41.115 58.383 3.233 899 76 2.144 1.491 21.564 79.437 21.239 21.662 251.243
Sumber : Dinas Pertanian Kabupaten Bogor 2012
5.4 Pertanian di Kabupaten Bogor Sektor pertanian mencakup tanaman pangan, perikanan, perkebunan, peternakan, dan kehutanan. Pada sektor ini sumber data dari masing masing instansi terkait di antaranya Dinas Pertanian, Dinas Peternakan dan Perikanan dan Perum Perhutani. Sektor pertanian di Kabupaten Bogor memegang peranan yang sangat penting, mengingat luasnya lahan pertanian yang dimiliki dan juga sebagian besar desa di Kabupaten Bogor masih tergolong Desa Pedesaan yang menitikberatkan pada sektor pertanian terutama komoditas padi. Luas lahan yang digunakan untuk sawah tahun 2011 seluas 48.185 ha. Adapun Produksi padi sawah tahun 2011 sebanyak 519.676 ton dan padi gogo/ladang 7.092 ton. Produktivitas padi yang tinggi dapat dijadikan benteng Ketahanan Pangan di Kabupaten Bogor. Umumnya padi sawah menyebar di wilayah tengah dan utara, dimana sudah tersedia irigasi, seperti di kecamatan Rumpin, Cigudeg, Sukajaya, Pamijahan, Cibungbulang, Ciampea, Caringin, Jonggol, Sukamakmur dan Cariu. Berikut rata-rata hasil per hektar tanaman padi sawah dari masing-masing kecamatan tersebut.
45 Tabel 10. Rata-rata Hasil per Hektar Tanaman Padi Sawah di Masing-masing Kecamatan Tahun 2009-2011 (Ton/ha) No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Kecamatan Pamijahan Cibungbulang Ciampea Caringin Sukamakmur Cariu Jonggol Rumpin Cigudeg Sukajaya
2009 2,87 3,98 20,34 2,66 5,70 5,49 2,46 3,95 5,86 7,99
2010 6,40 6,46 6,20 6,28 6,25 6,05 6,22 6,10 6,22 6,15
2011 6,40 6,44 6,24 6,29 6,30 6,26 6,26 6,05 6,22 6,11
Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor 2012
Salah satu sumber peningkatan perbaikan gizi masyarakat yaitu dengan tersedianya makanan yang bergizi baik, salah satunya dengan tersedianya produksi ikan di Kabupaten Bogor. Produksi ikan kolam air sawah tahun 2011 sebanyak 201,65 ton, kolam air tenang 50.277,34 ton, kolam air deras 5.561,75 ton, ikan dari karamba 37,14 ton, benih 1.378.014,51 ekor dan ikan hias 156.618,82 ekor. Peternakan di Kabupaten Bogor memiliki andil yang sangat penting mengingat banyaknya jumlah peternakan yang masih dikelola secara tradisionalnamun memiliki hasil yang baik, sehingga jika mutunya ditingkatkan dapat dijadikan produk unggulan. Jenis ternak terdiri dari ternak besar, ternak kecil dan unggas yang menghasilkan produksi dalam bentuk daging, susu dan telur. Produksi daging (daging sapi, kerbau, kambing, domba, ayam dan itik) tahun 2011 sebesar 100.146.282 kg, susu 11.198.708 liter dan produksi telur (ayam dan itik) 42.830.167 butir. 5.5 Gambaran Umum Kecamatan Ciampea Kecamatan Ciampea merupakan salah satu kecamatan yang termasuk daerah pengembangan pembangunan wilayah barat Kabupaten Bogor, yang mempunyai luas wilayah ± 55,63 Km2 yang terdiri dari 13 desa meliputi 108 Rukun Warga (RW) dan 457 Rukun Tetangga (RT) dengan jumlah penduduk berdasarkan statistik tahun 2012 adalah 149.568 jiwa dengan laki-laki sebanyak 77.177 jiwa dan perempuan sebanyak 72.391 jiwa.
46 Tabel 11. Data Kependudukan Desa di Kecamatan Ciampea : No.
Nama Desa
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Benteng Bojong Jengkol Bojong Rangkas Ciampea Ciampea Udik Cibanteng Cibadak Cibuntu Cicadas Cihideung Ilir Cihideung Udik Cinangka Tegal Waru Jumlah
Jumlah RT 39 34 41 31 27 45 39 26 30 25 48 42 40
RW 7 11 9 7 9 8 7 7 9 5 15 9 6
457
108
Jumlah Penduduk 12.517 9.211 11.925 11.401 7.724 16.763 11.649 8.164 10.702 10.185 14.077 12.740 12.510 149.568
Sumber : Laporan Tahunan Kecamatan Ciampea 2012
Kecamatan Ciampea secara administratif mempunyai batas-batas wilayah sebagai berikut : -
Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Ranca Bungur dan Kemang
-
Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Tenjolaya
-
Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Cibungbulang
-
Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Dramaga Secara topografi, bentuk dan kontur wilayah Kecamatan Ciampea terdiri
atas dataran sampai berombak sekitar 45 persen dan berombak sampai berbukit sekitar 55 persen. Ketinggian wilayah berada di antara 300 m di atas permukaan laut. Suhu udara yang terjadi di Kecamatan Ciampea sekitar antara 20o – 30oC. Banyaknya hari hujan antara 15 – 31 dan banyaknya curah hujan antara 79 – 491 mm, hari hujan rata-rata pertahun sekitar 22 hari dan banyaknya curah hujan sekitar 278 mm/t. Curah hujan merupakan salah satu faktor yang dapat memberikan gambaran penting tentang penentuan lahan atau kesesuaian lahan terutama peruntukan wilayah pertanian, jenis tanaman, dan pola cocok tanam. Jarak dari Ibu Kota Kabupaten Bogor di Cibinong ± 29 Km. Berdasarkan mata pencaharian mayoritas masyarakat di Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor
47 bekerja sebagai pedagang, pengrajin dan petani. Jumlah jiwa masing-masing profesi dapat dilihat pada Tabel 12, berikut ini. Tabel 12. Mata Pencarihan Masyarakat di Kecamatan Ciampea Tahun 2012 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Mata Pencaharian (Profesi) Petani Pengusaha Pengrajin Buruh Industri Pertukangan Buruh Pertambangan Pengemudi/Jasa Pedagang TNI/Polri Pegawai Negeri Sipil Pensiunan/Purnawirawan Lain-lain
Jumlah Jiwa 8.978 4.672 9.737 2.442 1.194 5.857 563 10.871 180 944 406 1.963
Sumber : Laporan Tahunan Kecamatan Ciampea 2012
Kegiatan pertanian di Kecamatan Ciampea terdiri dari pertanian tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, dan perikanan. Pertanian tanaman pangan dan peternakan merupakan sektor komoditi andalan bagi penduduk Kecamatan Ciampea yang diarahkan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani dalam meningkatkan produksi pangan baik kualitas maupun kuantitas. 5.6.1 Sebaran Usia Responden Responden yang diwawancarai dalam penelitian ini sebanyak 45 orang yang berasal dari dua wilayah yaitu Desa Tegal Waru dan Desa Cicadas masingmasing sebanyak 30 dan 15 responden. Responden memiliki tingkat usia yang bervariasi. Kisaran usia tersebut dimulai dari 28 hingga 74 tahun. Dominics (2009) menyatakan bahwa kategori usia dibagi tiga, yaitu usia muda (0 – 35 tahun), usia paruh baya (35 – 58 tahun), dan usia tua (>58 tahun). Tingkat paruh baya pada Desa Tegal Waru mendominasi yaitu sebesar 67% dan usia tua sebesar 33%. Sedangkan pada Desa Cicadas, tingkat usia paruh baya sangat mendominasi yaitu sebesar 73%, tingkat usia tua sebesar 13% dan usia muda sebesar 14%. Rata-rata petani adalah laki-laki yang menjadi kepala rumah tangga.
48
Sebaran Usia di Desa Tegal Waru
Sebaran Usia Desa Cicadas 0-35 14%
>58 13%
>58 33%
35-58 67%
35-58 73%
Sumber : Data Primer (diolah)
Gambar 2. Karakteristik Responden di Kecamatan Ciampea Berdasarkan Umur pada Tahun 2013 5.6.2 Pendidikan Formal Responden Tingkat pendidikan responden di kedua wilayah berbeda. Di Tegal Waru, responden yang tidak bersekolah sebanyak 7%, berpendidikan SD sebanyak 72%, berpendidikan SMP dan SMA masing-masing sebanyak 14% dan 7%. Sementara itu di Desa Pondok Cicadas, responden yang tidak bersekolah sebanyak 5%, berpendidikan SD sebanyak 60%, berpendidikan SMP dan SMA masing-masing sebanyak 20% dan 15%. Berdasarkan tingkat pendidikan tersebut dapat dilihat bahwa Desa Cicadas memiliki tingkat pendidikan yang lebih baik. Persentase tingkat pendidikan dapat dilihat pada Gambar 3. Tingkat Pendidikan di Desa Tegal Waru SMA SMP 7% 14%
TS 7%
Tingkat Pendidikan Desa Cicadas SMA 20%
SMP 20%
SD 72%
TS 7%
SD 53%
Sumber : Data Primer (diolah)
Gambar 3. Karakteristik Responden di Kecamatan Ciampea Berdasarkan Tingkat Pendidikan pada Tahun 2013 5.6.3 Lama Menetap di Lokasi Responden sebagian besar merupakan penduduk asli yang sudah sejak lahir tinggal di kedua wilayah tersebut. Responden di Desa Tegal Waru lama menetap
49 sekitar 30 sampai 65 tahun lamanya sedangkan di Desa Cicadas responden menetap selama 20 sampai 65 tahun lamanya. Persentase responden yang paling dominan di Desa Tegal Waru yaitu yang lama menetapnya sekitar 51-60 tahun yaitu sebanyak 47%. Sedangkan persentase responden yang paling terkecil di Cicadas yaitu yang lama menetapnya lebih dari 60 tahun yaitu sebanyak 6%. Persentase lama menetap dapat dilihat pada Gambar 4 berikut ini. Lama Menetap di Desa Tegal Waru >60 13%
Lama Menetap di Desa Cicadas >60 6%
0-30 3% 31-40 7% 41-50 30%
0-30 13%
51-60 27%
31-40 27%
51-60 47%
41-50 27%
Sumber : Data Primer (diolah)
Gambar 4. Karakteristik Responden di Kecamatan Ciampea Berdasarkan Lama Menetap Tahun 2013 5.6.4 Luas Lahan yang Dimiliki Luas lahan yang dimiliki oleh responden saat menjual lahan sangat bervariasi. Kisaran lahan yang dimilki responden Desa Tegal Waru mulai dari 0,2 hektar sampai dengan 4 hektar dengan rata-rata sebesar 1,015 hektar. Sedangkan luas lahan yang dimiliki responden di Desa Cicadas berkisar dari 0,1 hektar hingga 1,2 hektar dengan luas rata-rata kepemilikan luas lahan sebesar 0,455 hektar. Sebanyak 70% responden di Desa Tegal Waru memiliki lahan di bawah luas lahan rata-ratanya 1,015 hektar. Sedangkan sebanyak 66,67% responden di Desa Cicadas memiliki lahan dibawah luas lahan rata-ratanya yaitu 0,416 hektar. Tabel 13. Luas Lahan Kepemilikan Berdasarkan Rata-Rata Luas Lahan
Diatas Rata-Rata Dibawah Rata-Rata Total
Desa Tegal Waru Jumlah (orang) % 9 30 21 70 30 100
Sumber : Data Primer (diolah)
Desa Cicadas Jumlah (orang) % 5 43,33 10 66,67 15 100
50
51 VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Perkembangan dan Laju Alih Fungsi Lahan Pertanian di Kabupaten Bogor Periode 2002 - 2011 Perkembangan suatu wilayah selalu beririsan dengan pertumbuhan ekonomi serta peningkatan jumlah penduduk di wilayah tersebut. Secara teori, semakin pesatnya jumlah penduduk suatu wilayah maka permintaan sumber daya lahan pun akan semakin meningkat. Namun pada kenyataannya ketersediaan lahan saat ini sangat terbatas. Bahkan akhir-akhir ini di beberapa wilayah di Indonesia terjadi bentrokan warga akibat penggusuran lahan dan kepemilikkan lahan yang tidak jelas. Hal demikian merupakan salah satu dasar terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke lahan non pertanian yang terjadi akhir-akhir ini. Wilayah Kabupaten Bogor termasuk wilayah yang hingga saat ini terus menerus meningkatkan pertumbuhan ekonomi wilayahnya. Penurunan luas lahan sawah yang terjadi di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Gambar 5 berikut ini.
Luas Lahan Sawah (Ha)
49.000
48.500 48.000 Luas Lahan Sawah
47.500
47.000 46.500
Tahun Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor, berbagai terbitan (diolah)
Gambar 5. Luas Lahan Sawah Kabupaten Bogor Tahun 2002-2011 Gambar tersebut menunjukkan luas lahan sawah yang relatif menurun dari tahun 2005-2007 dan tahun 2008-2011, sedangkan sebelumnya mengalami peningkatan ditahun 2004 dan 2008. Terlihat adanya fluktuasi pergerakan luas lahan sawah dari tahun ke tahun. Fluktuasi tersebut mengindikasikan terjadinya
52 alih fungsi lahan pertanian atau adanya pembukaan lahan pertanian baru. Pembukaan lahan baru tersebut terlihat pada laju luas lahan sawah yang mengalami peningkatan. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bogor pembukaan lahan sawah baru tersebut merupakan hasil pembukaan dari lahan kering seperti kebun, tanah kosong dan hutan Menurut Sumaryo dan Tahlim (2005), ada dua pola alih fungsi lahan pertanian. Pertama, alih fungsi lahan yang dilakukan secara langsung oleh pemilik lahan yang bersangkutan atau petani, seperti membuat rumah untuk keluarganya atau gudang untuk penyimpanan. Kedua, alih fungsi lahan pertanian yang diawali dengan alih penguasaan lahan. Pemilik lahan pertanian menjual lahan mereka kepada pihak lain yang akan memanfaatkannya untuk usaha non pertanian. Pemilik lahan secara tidak langsung dianggap mengalihfungsikan lahan pertanian tersebut. Pada studi kasus yang dilakukan di Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, umumnya petani tidak mengalihfungsikan lahan secara langsung. Sebagian besar masyarakat membatasi wilayah sawah yang berbatasan dengan pemukiman dengan menggunakan parit atau pagar pepohonan. Sehingga lahan pertanian tidak banyak yang dialihkan menjadi lahan non pertanian. Penelitian ini menggunakan data sekunder time series selama 10 tahun dari tahun 2002-2011 untuk melihat perkembangan laju alih fungsi lahan ditingkat wilayah Kabupaten Bogor. Alih fungsi lahan sawah di Kabupaten Bogor selama periode 2002-2011 mengalami pergerakan dari tahun ke tahun. Secara umum lahan sawah di Kabupaten Bogor selama sepuluh tahun terakhir berkurang sebesar 71 hektar atau sekitar 7,1 hektar per tahun. Alih fungsi lahan tersebut menyebabkan luas sawah di Kabupaten Bogor berubah dari luas 48.256 hektar pada tahun 2002 menjadi 48.185 hektar pada akhir tahun 2011. Laju penyusutan luas sawah tiap tahunnya dapat dilihat pada Tabel 14.
53 Tabel 14. Luas dan Laju Alih Fungsi Lahan Sawah di Kabupaten Bogor Tahun 2002-2011 Tahun
Luas Lahan Sawah (Ha)
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
48.256 48.177 47.503 48.598 48.425 48.321 48.849 48.766 48.484 48.185 Total Rata-rata
Pembukaan Lahan Sawah Baru (Ha) 0 0 0 1095 0 0 528 0 0 0 1623 162,3
Luas Lahan Sawah Teralihfungsikan (Ha) 0 79 674 0 173 104 0 83 282 299 1694 169,4
Laju Penyusutan Luas Lahan Sawah (%) -0,16 -1,40 2,31 -0,36 -0,21 1,09 -0,17 -0,58 -0,62 -0,10 -0,01
Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor, berrbagai terbitan (diolah)
Berdasarkan Tabel 14 di atas nilai laju penyusutan luas sawah yang bertanda negatif menggambarkan adanya penyusutan luas lahan sawah akibat alih fungsi lahan. Nilai yang bertanda positif menggambarkan adanya pencetakan sawah baru. Luas penyusutan lahan sawah selama sepuluh tahun terakhir di Kabupaten Bogor yaitu sekitar -0,10 persen atau sebesar 1.694 hektar. Artinya selama sepuluh tahun terakhir lahan sawah telah menyusut sebesar 0,10 persen. Penurunan luas lahan dimulai pada tahun 2003 dimana lahan berkurang sebanyak 79 hektar dari 48.256 hektar menjadi 48.177 hektar. Pada tahun tersebut luas sawah menyusut sebesar 0,16 persen, hal ini menandakan adanya alih fungsi lahan pertanian di Kabupaten Bogor. Alih fungsi lahan yang terbesar terjadi pada akhir tahun 2004 dengan luas sebesar 674 hektar atau menyusut sebesar 1,40 persen. Namun, pada tahun 2005 dan 2008 luas lahan sawah sempat bertambah masing-masing sebesar 1095 hektar dan 528 hektar atau meningkat sebesar 2,31 persen dan 1,09 persen, karena adanya pembukaan lahan sawah baru. Pembukaan lahan sawah baru ini karena adanya lahan kering kosong yang tidak digunakan pemiliknya sehingga lahan kosong tersebut dimanfaatkan oleh warga setempat untuk dijadikan sawah. Selain laju alih fungsi lahan secara keseluruhan terdapat pula laju alih fungsi lahan
54 berdasarkan jenis sawah yang dimiliki Kabupaten Bogor. Tabel 15 Berikut ini merupakan nilai rata-rata laju alih fungsi lahan menurut jenis sawah. Tabel 15. Rata–rata Luas Alih Fungsi Lahan Menurut Jenis Lahan Sawah di Kabupaten Bogor Selama Periode 2002–2011 (dalam Hektar) Sawah Sawah Sawah Sawah Jenis Sawah Irigasi Irigasi ½ Irigasi Tadah Total Teknis Teknis Sederhana Hujan Jumlah lahan sawah -1.992 1.850 1.791 768 2.417 Rata–rata per tahun -199,2 185 179 76,8 241,7 Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor, berbagai terbitan (diolah)
Pada Tabel 15 diatas nilai luas lahan sawah yang bertanda negatif menunjukkan luas lahan sawah yang mengalami alih fungsi lahan. Sedangkan nilai luas lahan yang bertanda positif sebaliknya mengalami peningkatan atau adanya pembukaan lahan sawah baru. Berdasarkan pola alih fungsi lahan sawah diatas, maka lahan sawah yang teralihfungsikan yaitu sawah jenis irigasi teknis sebesar 1.992 hektar atau 199,2 hektar per tahun, sedangkan jenis sawah lainnya mengalami peningkatan luas lahan masing-masing yaitu sawah irigasi ½ teknis sebesar 1.850 hektar atau 185 hektar per tahun, sawah tadah hujan sebesar 1791 hektar atau 179,1 hektar per tahun, dan sawah irigasi sederhana sebesar 768 hektar atau 76,8 hektar per tahun. 6.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan di Tingkat Wilayah Kabupaten Bogor Alih fungsi lahan pertanian di tingkat wilayah Kabupaten Bogor pada tahun 2002-2011 dipengaruhi oleh beberapa faktor. Variabel tak bebas (dependent) yang digunakan yaitu luas lahan sawah. Sedangkan variabel bebas (independent) atau faktor-faktor yang diduga mempengaruhi perubahan luas lahan sawah tersebut yaitu kepadatan penduduk, produktivitas padi, dan luas bangunan di Kabupaten Bogor. Analisis dalam penentuan faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian di tingkat wilayah yaitu menggunakan analisis linier berganda. Data yang digunakan dalam membuat model tersebut merupakan data time series dari tahun 2002-2011. Data tersebut diolah menggunakan software Eviews 7.
55 Hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi lahan pertanian di tingkat wilayah Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Tabel 16 di bawah ini. Tabel 16. Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Pertanian di Tingkat Wilayah Kabupaten Bogor Variabel Intersep Kepadatan Penduduk (X1) Produktivitas (X2) Luas Bangunan (X3) R-squared Adjusted R-squared Log Likelihood
Koefisien 11,38109
t-statistik 23,46203
-0,107466 0,237015 -0,20011 0,710233 0,565350 34,40385
-2,150102 3,680963 -0,457798 F-statistic Prob(F-statistic) Durbin – Watson stat
Probabilitas 0,0000
VIF
0,0751*) 0,0103*) 0,6632 4,902098 0,047056 2.334277
1,774828 2,044927 1,436319
Sumber : Data sekunder (diolah) Keterangan : *) Nyata pada taraf 10%
Hasil estimasi menunjukkan bahwa model yang digunakan dalam penelitian ini adalah baik. Berdasarkan Tabel 16 di atas diperoleh koefisien determinasi (R-squared) sebesar 0,710233. Artinya keragaman yang mampu dijelaskan oleh faktor-faktor penjelas dalam model sebesar 71,02 persen sedangkan sisanya 29,08 persen dijelaskan oleh faktor-faktor di luar model. Adjusted R-squared yang diperoleh sebesar 55,53 persen. Nilai peluang uji Fstatistic (Prob f-statistic) yang diperoleh sebesar 0,047056 atau sebesar 4,7 persen yang lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan yaitu 10 persen, hal ini berarti bahwa minimal ada satu variabel bebas (independent) yang mempengaruhi variabel tak bebasnya (dependent). Hasil estiamasi model yang dihasilkan dari regresi linear berganda tersebut cukup baik, karena memenuhi kriteria BLUE (Best Linear Unbiased Estimator). BLUE dapat dicapai bila memenuhi asumsi klasik, yaitu model tidak memiliki sifat multikolinearitas, normalitas, autokorelasi, dan heterokedastisitas. Hasil uji asumsi klasik ini dapat dilihat pada Lampiran 4. Signifikan atau tidaknya pengaruh setiap variabel tak bebas terhadap variabel bebas dapat dilihat dari probabilitas setiap variabel bebas dari model tersebut. Apabila nilai probabilitas lebih kecil dari nilai taraf nyata maka variabel bebas tersebut dapat dinyatakan signifikan. Berdasarkan model di atas, variabel bebas yang berpengaruh secara signifikan terhadap perubahan luas lahan sawah, yaitu kepadatan penduduk dan produktivitas padi yang berpengaruh nyata pada taraf α = 10 persen. Sedangkan
56 luas bangunan tidak berpengaruh nyata terhadap luas lahan sawah. Pembuktian multikolinearitas dapat ditunjukkan dengan memperhatikan nilai Variance Inflaction Factors (VIF) dengan kriteria, apabila nilai VIF yang dihasilkan kurang dari 10, maka dapat disimpulkan bahwa di dalam model tidak terdapat multikolinearitas. Dengan menggunakan metode pengubahan variabel bebas ke dalam Ln maka model ini tidak terdapat multikolinearitas. Berdasarkan hasil permodelan di atas, kepadatan penduduk, produktivitas padi sawah, dan luas lahan bangunan memiliki VIF kurang dari 10 atau berkisar antara 0-5 sehingga variabel bebas
dalam
model
tersebut
dapat
disimpulkan
bebas
dari
masalah
multikolinearitas. Pembuktian autokorelasi dapat dilihat dari nilai breuschGodfrey Serial Correlation LM Test. Berdasarkan hasil pengolahan data tersebut diperoleh nilai Prob. chi-square sebesar 0,3315 atau sebesar 33,15 persen. Nilai tersebut lebih besar dari taraf nyata yang digunakan yaitu 10 persen atau 0,1 (0,3315 > 0,1) sehingga menunjukkan bahwa model tersebut bebas dari masalah autokorelasi. Asumsi normalitas ditunjukkan dengan melihat nilai probabilitas pada histogram of normality test. Berdasarkan model tersebut nilai probabilitas yang diperoleh sebesar 0,811070 atau sebesar 81,10 persen. Nilai tersebut lebih besar dari taraf nyata yang digunakan yaitu 10 persen (0,8110 > 0,1), sehingga dapat disimpulkan bahwa pada model ini residual menyebar secara normal atau tidak terjadi permasalahan normalitas. Pada model ini juga tidak ditemukan masalah heteroskedastisitas, karena dari hasil uji Glejser diperoleh nilai Prob. chisquare sebesar 0,7063 atau 70,63 persen. Nilai tersebut lebih besar dari taraf nyata yang digunakan yaitu 10 persen (0,7063 > 0,1), sehingga pada model ini tidak ditemukan masalah heteroskedastisitas. Model hasil estimasi regresi faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian tingkat wilayah di Kabupaten Bogor, adalah sebagai berikut : LnY = 11,38109 - 0,107466 LnX1 + 0,237015 LnX2 - 0,20011 LnX3 Berdasarkan hasil estimasi nilai probabilitas dari variabel kepadatan penduduk lebih kecil dari taraf nyata 10 persen (0,07 < 0,1). Hal ini berarti bahwa kepadatan penduduk berpengaruh nyata terhadap perubahan luas lahan sawah. Koefisien variabel yang bernilai -0,107466 pada tabel menjelaskan bahwa, setiap kenaikan 10 persen kepadatan penduduk maka luas lahan sawah akan berkurang
57 atau beralih fungsi sebesar 1,07 persen (ceteris paribus). Model estimasi ini sesuai dengan hipotesis yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa, kepadatan penduduk berkorelasi negatif dengan luas lahan sawah. Kepadatan penduduk yang tinggi mengindikasikan adanya pertumbuhan penduduk yang terus meningkat. Peningkatan pertumbuhan jumlah penduduk berakibat pada naiknya permintaan lahan untuk pemukiman. Selain pemukiman, penduduk juga membutuhkan penunjang berupa sarana dan prasarana seperti, infrastruktur, sekolah, rumah sakit dan sebagainya. Hal tersebut akan mempengaruhi permintaan akan lahan. Lahan yang jumlahnya sangat terbatas menjadi kendala dalam mengatasi permasalahan tersebut sehingga mulai banyaknya lahan sawah yang dilirik untuk dialihfungsikan menjadi lahan pemukiman. Hal ini mengindikasikan adanya pengalihfungsian lahan dari pertanian ke non pertanian Hasil estimasi nilai probabilitas dari variabel produktivitas padi sawah memiliki hubungan yang positif. Produktivitas padi sawah juga berpengaruh nyata terhadap luas lahan sawa dengan nilai probabilitas sebesar 0,0103 lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan yaitu 10 persen (0,0103 < 0,1). Sedangkan nilai koefisien produktivitas padi sawah adalah sebesar 0,237015. Hal ini berarti bahwa peningkatan produktivitas padi sawah sebesar 10 persen akan mengakibatkan luas lahan sawah bertambah sebesar 2,3 persen (ceteris paribus). Keterkaitan searah atau hubungan positif yang terjadi antara produktivitas padi sawah terhadap luas lahan sawah sesuai dengan hipotesis awal. Produktivitas lahan yang semakin meningkat akan mempertahankan luasan lahan sawah yang ada. Hal ini mengindikasikan bahwa, alih fungsi lahan sawah terjadi pada lahan sawah yang memiliki produktivitas rendah. Produktivitas yang rendah disebabkan adanya beberapa faktor seperti tekstur tanah yang sulit ditanami, irigasi yang kurang baik, ataupun penggunaan zat kimia yang berlebihan. Sehingga pemilik lahan lebih tertarik untuk menjual lahan sawahnya ke investor yang akan lebih menguntungkan dari pada usaha tani sendiri. Hal terserbut mengindikasikan pula adanya alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian. Hasil estimasi koefisien luas lahan bangunan berpengaruh negatif terhadap luas lahan sawah. Namun tidak berpengaruh nyata dimana nilai probabilitas luas
58 lahan bangunan lebih besar dari taraf nyata 10 persen (0,6632 > 0,1). Hal ini tidak sesuai dengan hipotesis yang menyatakan bahwa luas lahan bangunan akan berpengaruh terhadap luas lahan sawah. 6.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan di Tingkat Petani di Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor Alih fungsi lahan Kabupaten Bogor ini tidak hanya dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berasal dari tingkat wilayah saja, namun juga terdapat faktorfaktor yang berasal dari internal petani itu sendiri. Sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya bahwa pengalihfungsian lahan diawali dengan penjualan lahan dari petani ke investor. Faktor ini dianalisis untuk melihat apa penyebab petani menjual lahan tersebut kepada investor sehingga lahan tersebut dialihfungsikan. Studi kasus mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan di tingkat petani di Kabupaten Bogor ini dilakukan di Kecamatan Ciampea. Sebanyak 45 responden dalam penelitian ini merupakan petani pemilik penggarap. Sebanyak 30 orang merupakan petani yang telah menjual sebagian lahannya kepada investor, sedangkan 15 orang merupakan petani yang tidak mau atau belum menjual lahannya kepada investor. Adapun variabel bebas yang diduga mempengaruhi keputusan petani dalam menjual lahannya adalah lama menetap di lokasi, banyaknya tanggungan, jumlah anggota keluarga, luas lahan, dan proporsi pendapatan. Variabel terikat yang digunakan terdapat dua kemungkinan. Bagi responden yang telah menjual lahan sawahnya diberi nilai 1 (Y=1) dan bagi responden yang tidak atau belum menjual lahan sawahnya diberi nilai 0 (Y=0). Hasil pengolahan data dengan menggunakan analisis regresi logistik disajikan pada Tabel 17.
59 Tabel 17. Hasil Estimasi Faktor-Faktor Internal yang Mempengaruhi Petani untuk Menjual Lahan Pertanian Koef
Sig.
Exp (β)
Konstanta
-5,592
0,325
0,004
-
Lama Tinggal (X1)
0,338
0,201
1,402
Berpengaruh tidak nyata
Lama Bertani (X2)
-0,291
0,321
0,784
Berpengaruh tidak nyata
Jumlah AK (X3)
-1,291
0,024 *)
0,275
Berpengaruh nyata *
Proporsi Pendapatan (X4)
0,049
0,125
1,050
Berpengaruh tidak nyata
Luas Lahan (X5)
2,686
0,042 *)
14,680
Berpengaruh nyata *
Jumlah AK yang Bekerja (X6)
0,713
0,213
2,041
Berpengaruh tidak nyata
Variabel
Keterangan
Sumber : Data Primer (diolah) Keterangan : *) nyata pada taraf 5%
Berdasarkan hasil analisis regresi logistik tersebut diperoleh nilai Sig pada Omnimbus test sebesar 0,000. Nilai tersebut lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan yaitu 5 persen (0,000 < 0,05), artinya variabel bebas yang digunakan secara bersama-sama berpengaruh terhadap keputusan petani untuk menjual lahan. Dari hasil analisis juga didapat nilai Cox & Snell R Square sebesar 0,495 dan Nagelkerke R Square sebesar 0,688. Nilai Nagelkerke R Square yang lebih besar dari Cox & Snell R Square menunjukan kemampuan keenam variabel bebas dalam menjelaskan varian alih fungsi lahan yaitu sebesar 68,8 persen dan terdapat 32,2 persen faktor lain di luar model yang menjelaskan variabel terikat. Nilai Sig pada Hosmer and Lemeshow Test yang diperoleh adalah sebesar 0,902. Nilai tersebut lebih besar dari taraf nyata yang digunakan yaitu 5 persen (0,902 > 0,05), artinya model yang dibuat dapat diterima dan pengujian hipotesis dapat dilakukan. Selanjutnya nilai overall percentage pada classification table yang diperoleh sebesar 91,1 persen. Hal ini menunjukan bahwa model yang dihasilkan adalah baik. Berdasarkan Tabel 17 dapat terlihat bahwa dari enam variabel bebas yang diduga berpengaruh terhadap keputusan petani untuk menjual lahan ternyata hanya dua variabel yang berpengaruh signifikan. Variabel yang berpengaruh signifikan terhadap keputusan petani tersebut adalah jumlah anggota keluarga dan luas lahan. Signifikan atau tidaknya pengaruh suatu variabel dilihat dari nilai Sig yang ada pada Tabel 17 yang lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan yaitu 5
60 persen. Model yang diperoleh dari hasil regresi logistik pada Tabel 17 adalah sebagai berikut: Z = -5,592 – 1,291X3 + 2,686X5 Variabel jumlah banyaknya anggota keluarga memiliki nilai Sig. sebesar 0,024. Nilai tersebut berarti bahwa jumlah tanggungan berpengaruh nyata terhadap peluang terjadinya penjualan lahan oleh petani pada taraf nyata 5 persen (0,024 < 0,05). Koefisien hasil yang diperoleh bertanda negatif (-1,291) dan nilai Exp (β) atau odds ratio yang diperoleh sebesar 0,275. Hal ini berarti bahwa jika banyaknya anggota keluarga petani bertambah satu orang, maka peluang petani untuk menjual lahan lebih kecil 0,275 kali dibandingkan untuk tidak menjual lahan. Semakin banyak jumlah anggota keluarga petani maka semakin rendah peluang petani tersebut untuk menjual lahan. Jumlah anggota keluarga yang semakin banyak membuat petani berpikir untuk lebih mempertahankan lahan sawah tersebut untuk memenuhi kebutuhan keluarga dibandingkan untuk dijual. Hal ini disebabkan karena mereka sudah terbiasa hidup bertani untuk membiayai kebutuhan hidupnya. Terlebih jika ada anggota keluarga yang mempunyai pekerjaan dan penghasilan yang jauh lebih besar maka petani akan terus mempertahankan lahan sawah tersebut. Variabel luas lahan memiliki nilai Sig. sebesar 0,042. Nilai tersebut berarti bahwa luas lahan berpengaruh nyata terhadap peluang terjadinya penjualan lahan oleh petani pada taraf nyata 5 persen (0,042 < 0,05). Koefisien hasil yang diperoleh bertanda positif (2,686) dan nilai Exp (β) atau odds ratio
yang
diperoleh sebesar 14,680. Hal ini berarti bahwa jika luas lahan yang dimiliki petani bertambah satu hektar, maka peluang petani untuk menjual lahan lebih besar 14,680 kali dibandingkan untuk tidak menjual lahan. Semakin besar luas lahan yang dimiliki petani maka semakin tinggi peluang petani tersebut untuk menjual lahan. Hal ini menunjukkan adanya keterkaitan erat antara luas lahan yang dimiliki dengan alih fungsi lahan yang terjadi.
61 6.4 Dampak Alih Fungsi Lahan Terhadap Pendapatan Petani Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor Alih fungsi lahan yang terjadi di Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor akan menyebabkan berkurangnya total pendapatan petani. Hal ini disebabkan adanya penurunan hasil panen dari lahan yang dimiliki. Dalam studi kasus kali ini, petani di lokasi penelitian ini masih banyak yang mempertahankan komoditas padi sebagai produksi utama. Hal ini disebabkan karena wialyah ini cocok untuk produksi padi. Saat ini petani yang telah menjual lahan juga masih menggarap lahannya sehingga belum begitu terlihat terhadap pendapatan dari alih fungsi lahan tersebut. Hal ini menunjukkan dampak alih fungsi lahan terhadap pendapatan petani belum mempunyai pengaruh yang signifikan. Alih fungsi lahan dapat mengubah struktur mata pencaharian dalam satu keluarga. Perubahan mata pencaharian akan mempengaruhi pendapatan yang diperoleh saat ini. Pendapatan petani pada dasarnya dibagi menjadi dua macam, yaitu pendapatan usaha tani dan pendapatan diluar usaha tani (non usaha tani). Pendapatan usaha tani merupakan pendapatan yang diterima dari sektor pertanian, sedangkan pendapatan non usaha tani adalah pendapatan yang diperoleh dari luar sektor pertanian. Pendapatan yang diperoleh responden sebelum dan sesudah mengalihfungsikan lahannya dapat dilihat pada Tabel 18. berikut ini. Tabel 18. Perbandingan Rata-Rata Per Bulan Pendapatan Petani Sebelum dan Sesudah Terjadinya Alih Fungsi Lahan
Rata-rata Pendapatan Responden Sebelum Alih Fungsi Sesudah Alih Fungsi Perubahan
Usaha Tani
Non Usaha Tani
Rata-rata Pendapatan Total Responden Rupiah %
Rupiah
%
Rupiah
%
735.038
42,64
1.196.119
57,36
1.931.157
100
691.026
28,28
1.292.307
71,72
1.983.333
100
-44.012
96.187
52.176
Sumber : Data Primer (diolah)
Berdasarkan Tabel 18 di atas, terdapat perubahan pendapatan total responden (dari usaha tani dan non usaha tani) sebelum dan sesudah alih fungsi lahan dari Rp 1.931.157 menjadi Rp 1.983.333. Hal ini menunjukkan terjadinya
62 perubahan pendapatan total yang diperoleh responden sebelum dan sesudah alih fungsi lahan yaitu sebesar Rp 52.176. Pendapatan rata-rata yang diperoleh dari usaha tani mengalami penurunan setelah adanya alih fungsi lahan yaitu sebesar Rp 44.012. Sedangkan pendapatan rata-rata dari non usaha tani mengalami peningkatan yaitu sebesar Rp 96.187. Tabel 18 menunjukkan bahwa pendapatan petani baik yang diperoleh dari usaha tani maupun non usaha tani mengalami perubahan sebelum dan setelah melakukan alih fungsi lahan. Sebelum melakukan alih fungsi lahan, sebesar 42,64 persen pendapatan diperoleh dari usaha tani dan 57,36 persen pendapatan diperoleh dari luar usaha tani. Setelah melakukan alih fungsi lahan, sebesar 28,28 persen pendapatan diperoleh dari usaha tani dan 71,72 persen pendapatan diperoleh dari luar usaha tani. Hal ini menunjukkan adanya pergeseran struktur pendapatan petani dari pertanian ke non pertanian dimana pendapatan diluar usaha tani mengalami peningkatan setelah adanya alih fungsi lahan. 6.5 Perkiraan Perubahan Luas Sawah dan Dampak Terhadap Ketahanan Pangan di Kabupaten Bogor Alih fungsi lahan akan berakibat pada ketahanan pangan pada suatu wilayah. Semakin banyaknya alih fungsi lahan yang terjadi akan semakin sulit ketahanan pangan diwujudkan. Ketahanan pangan yang terancam akan berdampak pada stabilitas pembangunan ekonomi di wilayah tersebut. Sehingga pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat akan terganggu. Penilitian ini menghitung perkiraan dampak alih fungsi lahan terhadap ketahanan pangan di Kabupaten Bogor sebagai berikut. Menurut tipe irigasi lahan sawah di Kabupaten Bogor dibedakan menjadi lahan untuk sawah irigasi teknis, sawah irigasi setengah teknis, pengairan sederhana PU, pengairan non PU dan pengairan tadah hujan. Pada Tabel 19, dapat dilihat luas masing-masing sawah berdasarkan tipe irigasinya yang ada di Kabupaten Bogor.
63 Tabel 19. Perubahan Luas Masing-Masing Sawah Berdasarkan Tipe Irigasinya di Kabupaten Bogor (dalam Hektar)
Tahun
Luas Total Sawah
Sawah Irigasi Teknis
Sawah Irigasi Setengah Teknis
Sawah Irigasi Sederhana PU
Sawah Irigasi Sederhana Non PU
Sawah Tadah Hujan
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
48.256 48.177 47.503 48.598 48.425 48.321 48.849 48.766 48.484 48.185
4.211 4.106 3.819 4.542 4.436 4.182 3.967 3.819 2.173 2.506
7.794 6.402 8.033 4.746 7.095 7.942 8.481 8.033 9.904 9.644
12.660 14.441 11.979 12.281 13.494 13.948 13.203 7.996 14.833 14.451
14.410 14.919 14.205 15.427 12.763 12.483 13.548 19.451 12.421 11.635
9.181 8.309 9.467 11.602 10.637 9.766 9.650 9.467 9.153 9.949
Sumber : Badan Pusat Statistika Kabupaten Bogor, berbagai terbitan
Sawah irigasi teknis merupakan sawah yang bersumber pengairannya berasal dari sungai, artinya selalu tersedia sepanjang tahun. Oleh karena itu, pola tanam pada sawah teknis ini lebih fleksibel dibandingkan dengan sawah lainnya. Ciri sawah jenis ini dalam pola tanamnya sebagian besar selalu padi -padi. Sawah irigasi setengah teknis merupakan sawah yang sumber pengairannya dari sungai, namun ketersediaan airnya tidak seperti sawah irigasi teknis, biasanya air tidak cukup tersedia sepanjang tahun. Pola tanam pada sawah ini biasanya padi palawija atau palawija - padi. Sawah irigasi sederhana pedesaan merupakan sawah yang sumber pengairannya berasal dari sumber-sumber air yang terdapat di lembah-lembah bukit yang ada di sekitar sawah yang bersangkutan. Prasarana irigasi seperti saluran, bendungan dibuat oleh pemerintah desa dan petani setempat, serta bendungan irigasi umumnya tidak permanen. Pola tanam pada sawah pengairan pedesaan ini biasanya padi - padi, dan padi - palawija, atau padi - bera. Petani yang melakukan padi - padi biasanya terbatas di daerah-daerah yang berdekatan degan sumber air saja, sedangkan yang jauh biasanya hanya ditanami padi sekali saja pada musim hujan dan pada musim kemarau dibiarkan bera. Sawah tadah hujan merupakan sawah yang sumber pengairannya bergantung pada ada atau tidaknya curah hujan. Sawah jenis ini biasanya terdapat di daerah-daerah yang topografinya tinggi dan berada di lereng-lereng gunung yang tidak memungkinkan
64 dibuat saluran irigasi. Oleh karena itu, pada sawah semacam ini pola tanamnya adalah padi - bera, padi - palawija, dan palawija - padi. Musim tanam padi untuk sawah jenis irigasi teknis, setengah teknis, sederhana PU dan sederhana non PU ini sebanyak 3 kali dalam setahun. Sedangkan untuk musim tanam padi sawah tadah hujan ini hanya 1 kali saja selama setahun. Berikut ini dapa dilihat produksi padi untuk masing-masing tipe sawah berdasarkan irigasinya. Tabel 20. Produksi Padi Untuk Masing-Masing Tipe Sawah Berdasarkan Irigasinya di Kabupaten Bogor (dalam Ton)
Tahun
Sawah Irigasi Teknis
Sawah Irigasi Setengah Teknis
Sawah Irigasi Sederhana PU
Sawah Irigasi Sederhana Non PU
Sawah Tadah Hujan
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
40.450,07 31.825,70 35.852,76 38.513,63 36.739,88 41.520,98 38.997,67 39.624,61 24.331,96 27.027,25
74.867,69 49.622,04 75.413,78 40.243,44 58.762,28 78.852,14 83.372,63 83.347,61 110.899,10 104.010,7
121.609,56 111.932,51 112.458,81 104.136,05 111.760,14 138.482,70 129.792,34 829.63,71 166.091,11 155.854,27
138.419,73 115.637,50 133.356,49 130.812,38 105.705,84 123.937,45 133.183,87 201.816,79 139.083,97 125.483,66
88.190,95 64.403,24 88.876,16 98.378,51 88.097,86 96.961,72 94.864,50 98.226,29 102.489,85 107.300,13
Produksi Padi Total 463.538 373.421 445.958 412.084 401.066 479.755 480.211 505.979 542.895 519.676
Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor, berbagai terbitan (diolah)
Terjadinya alih fungsi lahan pertanian di Kabupaten Bogor yang terus menerus berlanjut akan mengancam ketahanan pangan di wilayah tersebut.. Ketahanan pangan yang terancam akan berdampak pada stabilitas dan struktur pembangunan ekonomi wilayah tersebut. Perkiraan dampak ketahanan pangan ini dilakukan dengan membandingkan jumlah beras yang dapat diproduksi dengan jumlah beras yang dibutuhkan masyarakat dari tahun 2002-2011. Jumlah produksi beras didapat dengan mengkonversi gabah ke beras sebesar 62,74 persen (BPS,2012). Berikut ini dapat dilihat besarnya produksi beras untuk masingmasing tipe sawah berdasarkan irigasinya.
65 Tabel 21. Produksi Beras Untuk Masing-Masing Tipe Sawah Berdasarkan Irigasinya di Kabupaten Bogor (dalam Ton)
Tahun
Sawah Irigasi Teknis
Sawah Irigasi Setengah Teknis
Sawah Irigasi Sederhana PU
Sawah Irigasi Sederhana Non PU
Sawah Tadah Hujan
2002 25.378,37 46.971,99 76.297,84 86.844,54 55.331,00 2003 19.967,44 31.132,87 70.226,46 72.550,97 40.406,60 2004 22.494,02 47.314,60 70.556,66 83.667,86 55.760,90 2005 24.163,45 25.248,73 65.334,96 82.071,68 61.722,67 2006 23.050,60 36.867,45 70.118,31 66.319,84 55.272,60 2007 26.050,26 49.471,83 86.884,05 77.758,36 60.833,78 2008 24.467,14 52.307,99 81.431,71 83.559,56 59.517,99 2009 24.860,48 52.292,29 52.051,43 126.619,85 61.627,17 2010 15.265,87 69.578,10 104.205,56 87.260,66 64.302,13 2011 16.956,90 65.256,31 97.782,97 78.728,45 67.320,10 Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor , berbagai terbitan (diolah)
Produksi Beras Total 290.823,74 234.284,34 279.794,05 258.541,50 251.628,81 300.998,29 301.284,38 317.451,22 340.612,32 326.044,72
Selain itu, untuk melihat ketahanan pangan yang ada di Kabupaten Bogor, perhitungan selanjutnya dilakukan dengan mencari kebutuhan beras yang diperlukan. Kebutuhan beras ini didapat dari jumlah penduduk dikalikan jumlah konsumsi beras per kapita. dengan konsumsi beras (BPS, 2002) diasumsikan tetap yaitu 139,15 kg per jiwa. Ketahanan pangan dapat dilihat dari selisih produksi beras yang diperoleh dengan kebutuhan beras yang diperlukan selama satu tahun. Kemudian dapat dilihat juga persentase pemenuhannya dengan membagi produksi beras dengan kebutuhan berasnya. Berdasarkan asumsi tersebut maka beriku ini merupakan hasil perhitungan perkiraan ketahanan pangan di Kabupaten Bogor selama periode 2002-2011. Tabel 22. Perbandingan Produksi dan Kebutuhan Beras dengan Konsumsi Beras Perkapita Tetap di Kabupaten Bogor Luas Jumlah Produksi Kebutuhan Selisih Beras Sawah Penduduk Beras (Ton) Beras (Ton) (Ton) (Ha) (Jiwa) 2002 48.256 3.249.781 290.823,74 452.207,03 -161.383,28 2003 48.177 3.399.036 234.284,34 472.975,86 -238.691,52 2004 47.503 3.438.055 279.794,05 478.405,35 -198.611,30 2005 48.598 3.700.207 258.541,50 514.883,80 -256.342,30 2006 48.425 4.215.436 251.628,81 586.577,92 -334.949,11 2007 48.321 4.251.838 300.998,29 591.643,26 -290.644,97 2008 48.849 4.340.520 301.284,38 603.983,36 -302.698,98 2009 48.766 4.477.344 317.451,22 623.022,42 -305.571,19 2010 48.484 4.345.915 340.612,32 604.734,07 -264.121,75 2011 48.185 4.353.591 326.044,72 605.802,19 -279.757,47 Sumber : Badan Pusat Statistika Kabupaten Bogor, berbagai terbitan (diolah) Tahun
Persentase Pemenuhan Beras (%) 64,31% 49,53% 58,48% 50,21% 42,90% 50,87% 49,88% 50,95% 56,32% 53,82%
66 Berdasarkan asumsi yang dipergunakan, Tabel 22 menjelaskan bahwa semenjak tahun 2002 produksi beras di Kabupaten Bogor terlihat tidak dapat memenuhi kebutuhan beras masyarakatnya secara keseluruhan. Hal tersebut ditunjukkan oleh bagian persentase pemenuhan beras (persen) yang belum mencapai 100 persen dan terlihat kebutuhan beras yang ada lebih besar dari produksi berasnya. Kejadian ini masih berlangsung hingga tahun 2011. Selama ini, Kabupaten Bogor termasuk Bulog sub dirve Cianjur dimana pasokan beras yang ada di Bulog Kabupaten Bogor berasal dari daerah Cianjur. Hal ini sangat membantu dalam pemenuhan kebutuhan beras di Kabupaten Bogor. 6.6 Dampak Alih Fungsi Lahan Terhadap Produksi dan Nilai Produksi Padi di Kabupaten Bogor Alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian akan berakibat langsung terhadap jumlah produksi padi dan nilai dari produksi padi yang dihasilkan dari wilayah tersebut. Menurut Pakpahan et al (1993), jumlah produksi padi yang hilang merupakan dampak adanya alih fungsi lahan sawah yang dipengaruhi antara lain oleh luas panen yang hilang, produktifitas lahan sawah, dan pola tanam yang diterapkan. Luas panen merupakan jumlah luasan sawah yang digarap atau berhasil panen dalam satu tahun. Asumsi pada penelitian ini petani menggarap seluruh lahan sawah yang hilang tersebut dan tidak ada gagal panen. Selanjutnya, diasumsikan pula pola tanam dalam satu tahun untuk seluruh lahan dipanen tiga kali. Artinya luas panen yang hilang tersebut tiga kali lipat dari luas lahan sawah yang teralihfungsikan. Produktivitas lahan sawah merupakan hasil panen per hektar lahan sawah. Produktivitas untuk seluruh tipe atau jenis sawah pada penelitian ini disumsikan sama, sehingga tidak ada pembedaan tipe irigasi dan jenis padi yang ditanam. Perhitungan mengenai produksi dan nilai produksi yang hilang dapat dilihat pada Tabel 23 berikut ini.
67 Tabel 23. Dampak Terhadap Produksi Padi dan Nilai Produksi Padi yang Hilang Akibat Alih Fungsi Lahan Sawah di Kabupaten Bogor Tahun 20022011 Produktivitas Tahun Padi Sawah (ton/ha) 2002 5,29 2003 5,18 2004 5,25 2005 5,37 2006 5,40 2007 5,74 2008 5,91 2009 6,15 2010 6,19 2011 6,23 Total Rata-rata
Luas Lahan Teralih -fungsikan (ha) 0 -79 -674 0 -173 -104 0 -83 -282 -299 -1694 -169,4
Produksi Padi yang Hilang (ton)
Nilai Produksi Padi yang Hilang (Rp)
0 -1.227,90 -10.611,46 0 -2.803,12 -1.789,32 0 -1.531,85 -5.236,74 -5.589,21 -28.789,60 -2878,96
0 -2.026.030.050,00 -18.039.475.200,00 0 -6.587.329.650,00 -5.033.357.160,00 0 -4.947.869.040,00 -19.072.207.080,00 -22.010.297.166,00 -77.716.565.346,00 -7.771.656.534,60
Nilai Produksi Beras yang Hilang (Rp) 0 -2.466.765.014,12 -19.799.784.168,35 0 -8.126.845.772,83 -6.364.129.197,19 0 -5.190.800.831,52 -19.700.041.933,30 -23.536.758.782,72 -85.185.125.700,02 -8.518.512.570,00
Sumber : Badan Pusat Statistika Kabupaten Bogor, berbagai terbitan (diolah)
Berdasarkan Tabel 23 diatas dan asumsi-asumsi yang telah disebutkan sebelumnya, total produksi padi yang hilang selama sepuluh tahun terakhir di Kabupaten Bogor adalah sebesar 28.789,6 ton. Nilai produksi padi diestimasi menggunakan harga gabah kering giling (GKG) yang berlaku di Provinsi Jawa Barat pada masing-masing tahun tersebut (Lampiran 6). Jumlah produksi padi yang hilang dikalikan dengan harga pembelian pemerintahnya. Seperti data pada tahun 2004, jika harga GKG Rp 1.700 per Kg atau Rp 1.700.000 per ton, maka nilai produksi padi yang hilang adalah 10.611,46 ton x Rp 1.700.000 per ton = Rp 18.039.475.200. Selanjutnya, nilai produksi beras yang hilang dapat diestimasi menggunakan harga beras dikalikan dengan jumlah produksi padi yang hilang dikali dengan besaran konversi gabah ke beras sebesar 62,74 persen. Seperti pada tahun 2004 jika harga beras Rp 2.974 per Kg atau Rp 2.974.000 per ton, maka nilai produksi beras yang hilang adalah 10.611,46 ton x 62,74% x Rp 2.974.000 per ton = Rp 19.799.784.168,35. Rata-rata nilai produksi padi yang hilang per tahunnya adalah sebesar Rp 7.771.656.534,60 sedangkan rata-rata nilai produksi beras yang hilang per tahunnya adalah sebesar Rp 8.518.512.570,00.
68 Pada tahun 2005 dan 2008 luas lahan sawah di Kabupaten Bogor sempat mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan adanya indikasi pembukaan lahan sawah baru dari lahan kering yang ada. Pembukaan lahan ini dilakukan untuk menanggulangi pengalihfungsian lahan yang terjadi. Hal ini menyebabkan adanya surplus produksi padi pada tahun-tahun tersebut. Dengan asumsi yang sama, perhitungan mengenai surplus tersebut dapat dilihat pada Tabel 24. Tabel 24. Dampak Terhadap Surplus Produksi Padi dan Nilai Produksi Padi Akibat Pembukaan Lahan Sawah Baru di Kabupaten Bogor Tahun 2002-2011 Produktivitas Tahun Padi Sawah (ton/ha) 2002 5,29 2003 5,18 2004 5,25 2005 5,37 2006 5,40 2007 5,74 2008 5,91 2009 6,15 2010 6,19 2011 6,23 Total
Pembukaan sawah Baru (ha)
Surplus Produksi Padi (ton)
Surplus Nilai Produksi Padi (Rp)
Surplus Nilai Produksi Beras (Rp)
0 0 0 1.095 0 0 528 0 0 0
0 0 0 17.627,31 0 0 9.356,69 0 0 0
0 0 0 33.491.889.000,00 0 0 28.509.828.336,00 0 0 0
0 0 0 37.402.803.862,31 0 0 29.909.616.930,86 0 0 0
1.623
26.984
62.001.717.336,00
67.312.420.793,17
Sumber : Badan Pusat Statistika Kabupaten Bogor, berbagai terbitan (diolah)
Berdasarkan Tabel 24, total surplus produksi padi akibat pembukaan lahan sawah baru sebesar 26.984 ton atau dengan nilai sekitar 62 milyar. Surplus ini tidak menutupi produksi padi yang hilang pada tahun-tahun sebelumnya, karena total pembukaan lahan hanya sebesar 1.623 hektar sedangkan total alih fungsi lahan sebesar 1.694 hektar. Produksi padi pada sepuluh tahun terakhir masih hilang sekitar 1.805,6 ton atau bernilai sekitar Rp 15.714.848.010,00. Nilai tersebut diperoleh dari selisih produksi yang hilang dan surplus produksi. 6.7 Implikasi Kebijakan dalam Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah di Kabupaten Bogor Implikasi atau keterlibatan kebijakan dalam pengendalian alih fungsi lahan pertanian sangat penting dilakukan. Baik kebijakan yang berasal dari pemerintahan pusat maupun daerah. Menurut Widjanarko et al (2006) ada tiga
69 kebijakan nasional yang berpengaruh langsung terhadap alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian adalah: 1. Kebijakan privatisasi pembangunan kawasan industri sesuai Keputusan Presiden Nomor 53 tahun 1989 yang telah memberikan keleluasaan kepada pihak swasta untuk melakukan investasi dalam pembangunan kawasan industri dan memilih lokasinya sesuai dengan mekanisme pasar. 2. Kebijakan pembangunan pemukiman skala besar dan kota baru. Kebijakan pemerintah ini sangat berpengaruh terhadap alih fungsi lahan, karena memunculkan spekulan yang mendorong minat petani menjual lahannya. 3. Kebijakan deregulasi dalam hal penanaman modal dan perizinan sesuai Paket Kebijaksanaan Oktober Nomor 23 Tahun 1993 memberikan kemudahan dan penyederhanaan dalam pemrosesan perizinan lokasi. Kebijakan tersebut menyebabkan peningkatan dalam permohonan izin lokasi untuk kawasan industri, pemukiman, maupun wisata. Permasalahan alih fungsi lahan pertanian ini merupakan masalah serius yang harus ditangani cepat oleh pemerintah. Sehingga perlunya sinergisitas dari segala pihak dalam melaksanakan kebijakan tersebut. Selain kebijakan yang disebutkan di atas, terdapat pula kebijakan lahan abadi dari pencanangan reforma agraria Indonesia. Kebijakan lahan abadi merupakan salah satu bagian dari Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK). Dalam RPPK, program pembukaan lahan pertanian dalam lima tahun ke depan diarahkan ke dalam tiga bentuk, yaitu : 1. Pemanfaatan lahan terlantar (lahan alang-alang dan semak belukar) dengan mengembangkan tanaman semusim maupun tahunan, terutama di daerah transmigrasi. 2. Pengendalian alih fungsi lahan pertanian. Mempertahankan lahan irigasi yang telah menghabiskan investasi besar dalam pencetakkan dan pembangunan jaringan irigasinya. 3. Perluasan areal sawah dan lahan kering terutama di luar Jawa. Kabupaten Bogor merupakan daerah yang perekonomiannya berdaya saing dengan titik berat pada revitalisasi pertanian, sehingga dibutuhkan langkah kebijakan dalam menyukseskan revitalisasi pertanian tersebut. Penekanan dengan
70 penganekaragaman konsumsi pangan merupakan salah satu kebijakan yang wajib diterapkan oleh suatu daerah. Berbagai strategi yang terkait dengan upaya penganekaragaman konsumsi pangan antara lain adalah (1) Diversifikasi usaha rumah tangga diarahkan untuk meningkatkan pendapatan produsen, terutama petani, peternak, dan nelayan kecil melalui pengembangan usahatani terpadu; (2) Diversifikasi usaha atau produksi pangan dan diversifikasi konsumsi pangan melalui pengembangan diversifikasi usahatani terpadu bidang pangan, perkebunan, peternakan, perikanan; (3) Pengembangan pangan lokal sesuai dengan kearifan dan kekhasan daerah untuk meningkatkan diversifikasi pangan lokal; (4) Pengembangan sumberdaya manusia di bidang pangan dan gizi dilakukan melalui pendidikan, pelatihan dan penyuluhan secara komprehensif. Studi kasus dalam penelitian di Kecamatan Ciampea ini memperlihatkan bahwa sebenarnya pendapatan petani di daerah tersebut cukup menghasilkan pendapatan. Hasil perhitungan menyatakan rata-rata kepemilikan lahan yang ada di Kecamatan Ciampea adalah sebesar 1 hektar dengan pendapatan sebesar Rp 4.056.738 per musim tanam. Nilai tersebut memang belum memenuhi kriteria hasil yang tinggi (bekisar Rp 6.000.000-Rp 7.000.000). Hal ini dikarenakan karena produktivitas dari lahan sawah yang masih rendah. Masalah tersebut dapat ditanggulangi dengan kebijakan pemberian teknologi memadai secara merata untuk petani-petani di daerah tersebut. Peran pemerintah sangat dibutuhkan untuk hal ini. Selain itu, fenomena petani miskin yang ada di Indonesia ini tidak hanya disebabkan dari hal-hal internal penanaman saja namun juga pola pikir para petani. Selama ini, pada masa menunggu hasil panen masih tidak banyak petani yang memanfaatkan waktunya untuk hal-hal yang lain, padahal bisa saja digunakan untuk berdagang ataupun pekerjaan lainnya. Sehingga pendapatan para petani pun akan meningkat pula. Petani belum banyak juga yang menyadari pentingnya arti pendidikan sehingga masih banyak anak-anak petani yang memiliki kualitas pendidikan yang rendah. Padahal pendidikan anak merupakan investasi untuk perubahan nasib mereka yang lebih baik di masa yang akan datang. Dalam kaitannya dengan alih fungsi lahan ini kebijakan yang tepat selain menekan konsumsi beras masyarakat adalah dengan menekan laju pertumbuhan penduduk dengan program Keluarga Berencana (KB), pembukaan lahan sawah
71 baru, dan penerapan System of Rice Intensification (S.R.I.). Dinas Pertanian dan Kehutanan
(Distanhut)
Kabupaten
Bogor
semenjak
tahun
2012
telah
melaksanakan program atau kegiatan dalam memenuhi kebutuhan pangan masyarakatnya. Upaya intensifikasi menjadi pilihan utama untuk usaha peningkatan produksi dan produktivitas pangan. Beberapa kegiatan yang dilakukan mulai dari on farm sampai off farm. Kegiatan on farm berupa penyediaan sarana dan prasarana produksi, sedangkan off farm berupa penyediaan peralatan pasca panen sehingga produk pertanian memiliki nilai tambah. Beberapa fasilitas sarana dan prasarana yang diberikan Distanhut kepada petani yaitu melalui kegiatan pengembangan pembenihan/pembibitan padi dan pengembangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) yang dikenal dengan nama Gerakan Peningkatan Produksi Padi Berbasis Masyarakat (GP3M). Pola yang diterapkan pada kegiatan pengembangan PTT padi ini menggunakan pola yarnen (bayar saat panen). Kegiatan ini ditunjang dengan peralatan usaha tani seperti traktor, bagan warna daun, caplak, gasrok, alat pengendalian hama, penyuluhan tentang pengendalian hama hingga alat pasca panen, pengolahan dan pemasaran hasil pertanian. Selain itu, adanya program peningkatan produksi beras nasional (P2BN) dari Kementrian Pertanian, membuat berbagai daerah di Indonesia berkompetisi untuk mencapai peningkatan produksi beras sebesar 5 persen. Seperti halnya Kabupaten Bogor pada tahun 2013 berhasil meningkatkan produksi beras hingga 7,3 persen melebihi target tersebut. Keberhasilan tersebut didapat dari adanya peningkatan produksi dan produktiviitas, peningkatan adopsi teknologi, pencapaian target kecukupan pangan dan peningkatan pendapatan dengan melakukan perluasan area tanam serta perbaikan irigasi. Hal tersebut menandakan betapa penting dan berpengaruhnya kebijakan pemerintah dalam memajukan pertanian Indonesia.
72
73 VII. SIMPULAN DAN SARAN 7.1
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan, sebagai berikut: 1. Laju alih fungsi lahan pertanian di Kabupaten Bogor dari tahun 2002-2011 sebesar 0,10 persen dengan rata-rata laju alih fungsi lahan sebesar 0,01 persen per tahun. 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian khususnya lahan sawah di tingkat wilayah dipengaruhi oleh kepadatan penduduk dan produktivitas padi sawah. Faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian di tingkat petani dipengaruhi oleh luas lahan, jumlah anggota keluarga, dan jumlah tanggungan. 3. Adanya alih fungsi lahan menyebabkan perubahan rata-rata pendapatan total petani sebelum dan sesudah alih fungsi lahan mengalami penurunan sebesar Rp 52.176 per bulannya. Selain pendapatan, akibat alih fungsi lahan juga menyebabkan penurunan produksi padi. Rata- rata kehilangan produksi padi per hektar lahan sawah yang teralihfungsikan sebesar 2.878,96 ton per tahun, sedangkan
kehilangan
7.771.656.534,60
per
rata-rata tahun
nilai
dalam
produksi
bentuk
gabah
yaitu dan
sebesar
Rp
sebesar
Rp
8.518.512.570,00 per tahun dalam bentuk beras. Hasil perhitungan perkiraan perubahan luas dan ketahanan pangan di Kabupaten Bogor yaitu produksi beras di Kabupaten Bogor belum dapat memenuhi kebutuhan berasnya semenjak tahun 2002 hingga tahun 2011 dengan pemenuhan kebutuhan beras hanya berkisar 43-64 persen saja. Lahan sawah dengan tipe irigasi sederhana non PU adalah tipe sawah yang memberikan persentase pemenuhan kebutuhan beras paling besar dibandingkan tipe sawah lainnya. 4. Kebijakan terkait pengendalian alih fungsi lahan sawah sudah dilakukan baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah Kabupaten Bogor. Programprogram yang dilakukan seperti upaya intensifikasi yang terus digalakkan, program pengembangan tanaman terpadu (PTT) serta program kompetitif yang dilakukan Kementerian Pertanian yaitu program peningkatan produksi beras nasional (P2BN)
74 7.2 Berdasarkan
hasil
penelitian
Saran dan
pembahasan,
beberapa
saran
direkomendasikan sebagai bahan pertimbangan, sebagai berikut: 1. Perlu adanya ketegasan dan sanksi yang berlaku dalam pelaksanaan kebijakan pemerintah daerah terkait perizinan pembangunan pemukiman ataupun industri di lahan pertanian. 2. Pertumbuhan penduduk di Kabupaten Bogor harus ditekan, karena salah satu hal yang berpengaruh dalam alih fungsi lahan pertanian adalah permintaan pemukiman akibat tingginya laju kepadatan penduduk. Pertumbuhan penduduk dapat ditekan melalui pelaksanaan serta penegasan program Keluarga Berencana (KB) yang dicanangkan pemerintah. 3. Perlu dilakukan penyuluhan berkala kepada petani tiap desa mengenai program Pertanian Tanaman Terpadu (PTT), penerapan System of Rice Intensification (S.R.I), dan penerapan program peningkatan produksi beras nasional (P2BN) dari Kementerian Pertanian. 4. Perlu adanya teknologi terbarukan yang diimplementasikan di pertanian pedesaan agar produktivitas yang dihasilkan meningkat. Selain itu, perlu adanya pendampingan penggunaan teknologi tersebut agar petani paham dalam menggunakan teknologi yang ada. 5. Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai luas wilayah pertanian yang dialihfungsikan dan penetapan wilayah pertanian minimum (lahan pertanian abadi), agar produksi beras masih dapat mencukupi kebutuhan di wilayah tersebut.
75 DAFTAR PUSTAKA
Anitasary R F. 2008. Pelaksanaan Alih Fungsi Tanah Pertanian Untuk Pembangunan Perumahan Di Kota Semarang. Tesis. Universitas Diponegoro, Semarang. Anugrah F. 2005. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah ke Pengguna non Pertanian di Kabupaten Tangerang. Skripsi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Astuti DI. 2011. Keterkaitan Harga Lahan Terhadap Laju Konversi Lahan Pertanian di Hulu Sungai Ciliwung Kabupaten Bogor. Skripsi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Badan Pusat Statistik. 2011. Indonesia Dalam Angka Tahun 2011. BPS. Jakarta. _________________. 2012. Indonesia Dalam Angka Tahun 2012. BPS. Jakarta. _________________. 2002. Provinsi Jawa Barat Dalam Angka Tahun 2002. BPS. Provinsi Jawa Barat. _________________. 2003. Provinsi Jawa Barat Dalam Angka Tahun 2003. BPS. Provinsi Jawa Barat. _________________. 2004. Provinsi Jawa Barat Dalam Angka Tahun 2004. BPS. Provinsi Jawa Barat. _________________. 2005. Provinsi Jawa Barat Dalam Angka Tahun 2005. BPS. Provinsi Jawa Barat. _________________. 2006. Provinsi Jawa Barat Dalam Angka Tahun 2006. BPS. Provinsi Jawa Barat. _________________. 2007. Provinsi Jawa Barat Dalam Angka Tahun 2007. BPS. Provinsi Jawa Barat. _________________. 2008. Provinsi Jawa Barat Dalam Angka Tahun 2008. BPS. Provinsi Jawa Barat. _________________. 2009. Provinsi Jawa Barat Dalam Angka Tahun 2009. BPS. Provinsi Jawa Barat. _________________. 2010. Provinsi Jawa Barat Dalam Angka Tahun 2010. BPS. Provinsi Jawa Barat.
76 _________________. 2011. Provinsi Jawa Barat Dalam Angka Tahun 2011. BPS. Provinsi Jawa Barat. _________________. 2012. Provinsi Jawa Barat Dalam Angka Tahun 2012. BPS. Provinsi Jawa Barat. _________________. 2002. Kabupaten Bogor Dalam Angka Tahun 2002. BPS. Kabupaten Bogor. _________________. 2003. Kabupaten Bogor Dalam Angka Tahun 2003. BPS. Kabupaten Bogor. _________________. 2004. Kabupaten Bogor Dalam Angka Tahun 2004. BPS. Kabupaten Bogor. _________________. 2005. Kabupaten Bogor Dalam Angka Tahun 2005. BPS. Kabupaten Bogor. _________________. 2006. Kabupaten Bogor Dalam Angka Tahun 2006. BPS. Kabupaten Bogor. _________________. 2007. Kabupaten Bogor Dalam Angka Tahun 2007. BPS. Kabupaten Bogor. _________________. 2008. Kabupaten Bogor Dalam Angka Tahun 2008. BPS. Kabupaten Bogor. _________________. 2009. Kabupaten Bogor Dalam Angka Tahun 2009. BPS. Kabupaten Bogor. _________________. 2010. Kabupaten Bogor Dalam Angka Tahun 2010. BPS. Kabupaten Bogor. _________________. 2011. Kabupaten Bogor Dalam Angka Tahun 2011. BPS. Kabupaten Bogor. _________________. 2012. Kabupaten Bogor Dalam Angka Tahun 2012. BPS. Kabupaten Bogor. Gujarati D. 2002 Basic Economics. Mc Graw Hill, Singapore. Hayat. 2002. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah (Studi Kasus: Kabupaten Bogor, Jawa Barat). Skripsi Sarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
77 Hildebrand, P. E., 1987. Sistem Bertanam Tumpang Gilir ; Segi Ekonomi dan Agronomi Ekofarming. Penyunting Joachim Metzner & N. Daldjoeni. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta : 401 – 420 Juanda B. 2009. Ekonometrika Permodelan dan Pendugaan. IPB Press, Bogor. Kustiawan A. 1997. Konversi Lahan di Pantai Utara Jawa. Prisma No 1 Tahun XXVII Januari 1197. LP3ES, Jakarta. Lutviansari A. 2007. Analisis Terhadap Konsep Kebijakan “Lahan Abadi” Di Indonesia Dalam Rangka Reforma Agraria (Agrarian Reform). Nachrowi ND, Hardius U. 2002. Penggunaan Teknik Ekonometrika. Rajawali Pers, Jakarta. Nazir M. 1988. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia, Jakarta. Pakpahan A, Sumaryanto, Syafaat. 1993. Analisis Kebijakan Konversi Lahan Sawah ke Penggunaan non Pertanian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Ruswandi A. 2005. Dampak Konversi Lahan Pertanian Terhadap Perubahan Kesejahteraan Petani dan Perkembangan Wilayah. Tesis. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sadikin. 2009.Analisis Dampak Konversi Lahan Pertanian Terhadap Produksi Padi dan Land Rent (Kasus Perumahan Pakuan Regency, Bogor Barat, Kota Bogor). Skripsi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sibolak.1995. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan dan Penawaran Komoditi Padi Serta Kecenderungan Konversi Lahan Sawah (Studi Kasus di Kabupaten Karawang, Propinsi Jawa Barat). Skripsi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Situmeang M. 1998. Pola Hubungan antara Perubahan Penggunaan Lahan Dengan Transformasi Struktur Ekonomi. Skripsi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sogo Kenkyu. 1998. An Economic Evolution Of External Economies From Agriculture by the Replecement Cost Method. National Research Institute of Agricultural Economics, MAFF. Japan.
78 Solihah N. 2002. Dampak Alih Fungsi Lahan Sawah ke Penggunaan non Sawah Terhadap Pendapatan Petani di Kabupaten Bogor. Skripsi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Subali A. 2005. Pengaruh Konversi Lahan Terhadap Pola Nafkah Rumahtangga Petani. (Studi Kasus; Desa Batujajar, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor). Skripsi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sumaryanto, Tahlim S. 2005. Pemahaman Dampak Negatif Konversi Lahan Sawah Sebagai Landasan Perumusan Strategi Pengendaliannya. Prosiding seminar penanganan konversi lahan dan pencapaian pertanian abadi. Satyawan Et al. Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan LPPM-Institut Pertanian Bogor, Bogor. Utama. 2006. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah ke Penggunaan Non Sawah di Kabupaten Cirebon. Skripsi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Utomo et al. 1992. Alih Fungsi Lahan: Tinjauan Analisis dalam Makalah Seminar Pembangunan dan Pengendaian Alih Fungsi Lahan. Universitas Lampung, Lampung. Whitney, Frederick. 1960. The Elements of Research. New York: Prentice-Hall, Inc. Widjanarko. 2006. Aspek Pertanahan dalam Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian (Sawah). Prosiding seminar Nasional Multifungsi Lahan Sawah. Pusat Penelitian dan Pengembangan BPN, Jakarta. Yoshida, K. 1994. An Economic Evaluation Of Multifunctional Roles Of Agricultural and Rural areas in Japan. Ministry Of Agricultural Forestry and Fisheries. Japan.
79
LAMPIRAN
80 Lampiran 1. Kuesioner Penelitian INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN Jl. Kamper level 5 wing 5 Kampus IPB Dramaga Bogor (16680) KUESIONER PENELITIAN Hari/Tanggal : ................... Nama Responden
: ...................................................................................
Alamat Responden
: ...................................................................................
............................................................................................... Nomor Telepon/HP
: ...................................................................................
Kuesioner ini digunakan sebagai acuan dalam mengumpulkan data yang dibutuhkan dalam skripsi “Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konversi Lahan Pertanian Serta Dampak Ekonomi Di Kabupaten Bogor” oleh Sarah Nur Amalia, Mahasiswi Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB. Saya mohon partisipasi Bapak/Ibu/Saudara/i untuk mengisi kuesioner ini dengan objektif, lengkap, dan teliti. Kerahasiaan informasai yang Bapak/Ibu/Saudara/i berikan terjamin dan tidak untuk dipublikasikan, serta tidak terkait dengan kepentingan politik pihak manapun. Atas perhatian dan partisipasinya saya ucapkan terima kasih. A. Karakteristik Responden 1. Jenis Kelamin
: L/P
2. Usia
: ................... tahun
3. Status
: Belum Menikah/Menikah
4. Pendidikan Terakhir : a. Tidak Sekolah b. SD/Sederajat
d. SMA/Sederajat e. Perguruan Tinggi/Sederajat
c. SMP/Sederajat Sampai dengan kelas/tingkat ................................... 5. Pekerjaan
: a. Wirausaha
d. Pedagang
b. PNS/Swata e. Buruh c. Petani
f. ................................
81 6. Lamanya tinggal di lokasi
: ...................................................tahun.
B. Faktor-Faktor Pengaruh Konversi Lahan Tingkat Pendapatan 7. Jumlah anggota keluarga
: ............................................................ orang
8. Jumlah tanggungan
: .............................................................orang
9. Berapa jumlah anggota keluarga yang sudah bekerja? 10. Apakah anggota keluarga yang sudah bekerja ikut membantu dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga? A. Ya
b. Tidak
11. Berapa total pendapatan rumah tangga dalam sebulan? Rp ................/bulan 12. Apakah ada hubungan dalam pendapatan dan alasan anda menjual lahan? a. Ya, alasan ................................................................................................ b. Tidak, alasan ........................................................................................... Lahan 13. Apakah status lahan yang dimiliki? a. Sewa
b. Milik
c. Gadai
14. Berapa luas lahan yang dimiliki? ............(ha) 15. Apakah ada bagian dari lahan yang dikonversi? A. Ya b. Tidak 16. Berapa persentase lahan yang dikonversi dari lahan yang dimiliki?..........% 17. Berapa harga lahan per m2 saat anda menjual lahan anda? Rp ............../ m2 18. Apakah harga jual rendah/ lebih tinggi dari harga yang diharapkan? 19. Berapa total pendapatan rumah tangga sebelum mengkonversi lahan? Rp .. 20. Apa alasan menjual lahan? Hasil Panen 21. Sebelum terjadi konversi N o. 1 . 2 .
Jenis Tanaman
Hasil (kg/ha)
Harga (Rp/kg)
82 22. Setelah terjadi konversi N
Jenis Tanaman
o.
Harga (Rp/kg)
Hasil (kg/ha)
1 . 23. Harga Benih : Rp....................../kg 24. Harga Pupuk : Rp....................../kg 25. Harga Tanah : Rp....................../m 26. Pengairan yang digunakan : a. Tadah hujan
b. Irigasi
27. Berapa jarak pengairan dengan lahan sawah ........................... km 28. Berapa harga setiap pengairan sawah? Rp ............../m3 Faktor Lainnya 29. Apakah ada dari tetangga yang memiliki lahan pertanian di sekitar lahan yang mengkonversi lahan pertaniannya? A. Ya
b. Tidak
30. Berapa orang? 31. Apakah ada pengusaha di bidang non pertanian yang mempengaruhi agar mengkonversi lahan? 32. Apakah kebijakan pemerintah daerah mempengaruhi terjadinya konversi lahan pertanian? 33. Apakah bentuk kebijakan pemerintah tersebut?
C. Kesejahteraan Keluarga Responden
N No.
Indikator Kesejahteraan
Keterangan
3
Dinding rumah
a.
3
Lantai rumah
a. Tanah b. Semen/keramik
Perabotan (elektronik)
a. b. c. d. e. f. g.
Pengeluaran konsumsi per
3 hari
1. 2. 3.
3 4.
Televisi Radio tape Kulkas Kipas angin AC Computer Telepon
c. > Rp
83
3
Kendaraan
h. i. j. k. a.
Telepon seluler Parabola Rice Cooker Setrika Tidak punya b. Motor c. Mobil
5. 3 6.
Pendidikan anak
1. Anak pertama : 2. Anak kedua : 3. Anak ketiga : 4. 5.
Lampiran 2. Peta Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor
Sumber: Situs Resmi Kabupaten Bogor // www.bogorkab.go.id
84 Lampiran 3. Peta Kecamatan Ciampea
Sumber : Laporan Tahunan Kecamatan Ciampea Tahun 2013
85 Lampiran 4. Hasil Estimasi Regresi Linear Berganda : Faktor-faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Tingkat Wilayah Dependent Variable: LN_LS Method: Least Squares Sample: 2002 2011 Included observations: 10 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LN_KEPADATAN LN_PVS LN_BANG C
-0.107466 0.237015 -0.020011 11.38109
0.049982 0.064389 0.043711 0.485085
-2.150102 3.680963 -0.457798 23.46203
0.0751 0.0103 0.6632 0.0000
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.710233 0.565350 0.010013 0.000602 34.40385 4.902098 0.047056
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
10.79085 0.015187 -6.080769 -5.959735 -6.213543 2.334277
Variance Inflation Factors Sample: 2002 2011 Included observations: 10 Variable
Coefficient Variance
Uncentered VIF
Centered VIF
LN_KEPADATAN LN_PVS LN_BANG C
0.002498 0.004146 0.001911 0.235308
13441.90 1243.558 21325.10 23471.56
1.774828 2.044927 1.436319 NA
4
Series: Residuals Sample 2002 2011 Observations 10 3
2
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
-4.09e-15 -0.000926 0.012019 -0.013511 0.008175 0.037126 2.000196
Jarque-Bera Probability
0.418801 0.811070
1
0 -0.015
-0.010
-0.005
0.000
0.005
0.010
0.015
86
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic Obs*R-squared
0.566801 2.208201
Prob. F(2,4) Prob. Chi-Square(2)
0.6071 0.3315
Test Equation: Dependent Variable: RESID Method: Least Squares Sample: 2002 2011 Included observations: 10 Presample missing value lagged residuals set to zero. Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LN_KEPADATAN LN_PVS LN_BANG C RESID(-1) RESID(-2)
0.007674 0.005260 -0.022568 0.172552 -0.430998 -0.477614
0.054857 0.069877 0.052095 0.548958 0.509685 0.536956
0.139896 0.075279 -0.433207 0.314327 -0.845617 -0.889485
0.8955 0.9436 0.6872 0.7690 0.4454 0.4240
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.220820 -0.753155 0.010825 0.000469 35.65141 0.226720 0.932451
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
-4.09E-15 0.008175 -5.930282 -5.748731 -6.129443 2.024755
Heteroskedasticity Test: Breusch-Pagan-Godfrey F-statistic Obs*R-squared Scaled explained SS
0.418048 1.728866 0.311257
Prob. F(3,6) Prob. Chi-Square(3) Prob. Chi-Square(3)
0.7467 0.6305 0.9579
Test Equation: Dependent Variable: RESID^2 Method: Least Squares Sample: 2002 2011 Included observations: 10 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LN_KEPADATAN LN_PVS
0.001884 2.72E-05 -0.000239
0.003422 0.000353 0.000454
0.550678 0.077152 -0.525692
0.6017 0.9410 0.6180
87 LN_BANG R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
-0.000152 0.172887 -0.240670 7.06E-05 2.99E-08 83.94517 0.418048 0.746719
0.000308
-0.493711
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
0.6391 6.02E-05 6.34E-05 -15.98903 -15.86800 -16.12181 1.595886
Heteroskedasticity Test: Glejser F-statistic Obs*R-squared Scaled explained SS
0.324722 1.396819 0.700310
Prob. F(3,6) Prob. Chi-Square(3) Prob. Chi-Square(3)
0.8080 0.7063 0.8731
Test Equation: Dependent Variable: ARESID Method: Least Squares Sample: 2002 2011 Included observations: 10 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LN_KEPADATAN LN_PVS LN_BANG
0.167747 -0.003536 -0.008476 -0.011403
0.247929 0.025546 0.032910 0.022341
0.676594 -0.138420 -0.257558 -0.510425
0.5239 0.8944 0.8054 0.6280
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.139682 -0.290477 0.005117 0.000157 41.11566 0.324722 0.807978
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
0.006472 0.004505 -7.423132 -7.302098 -7.555906 1.750500
Lampiran 5. Hasil Estimasi Regresi Logistik : Faktor-faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan di Tingkat Petani Dependent Variable Encoding Original Value Internal Value Tidak Teralihfungsikan Teralihfungsikan
0 1
88
Step 1
Lama Tinggal Lama Bertani Jumlah AK Pendapatan Luas Lahan Jumlah AK Bekerja Constant
Variables in the Equation S.E Wald df ,264 1,632 1
B ,338
Sig ,201
Exp(B) 1,402
-,291 -1,291 ,049 2,686 ,713
,293 ,573 ,032 1,322 ,573
,987 5,071 2,357 4,132 1,550
1 1 1 1 1
,321 ,024 ,125 ,042 ,213
,748 ,275 1,050 14,680 2,041
-5,592
5,682
,968
1
,325
,004
Omnibus Tests of Model Coefficients Chi-square df Sig. Step 1 Step 30,763 6 ,000 Block Model
Step 1
30,763 30,763
6 6
,000 ,000
Model Summary -2 Log Cox & Snell likelihood R Square Nagelkerke R Square a 26,523 ,495 ,688 Hosmer and Lemeshow Test Step Chi-square df Sig. 1 2,810 7 ,902 Classification Tablea Observed
Step 1
Alih Tidak Alih Fungsi Fungsi Alih Fungsi Overall Percentage
Predicted Alih Fungsi Tidak Alih Alih Fungsi Fungsi 11 4 0 30
Percentage Correct 73,3 100,0 91,1
89 Correlation Matrix
Step 1
Constant 1,000
Lama Tinggal -,832
Lama Bertani ,658
Jumlah AK -,126
Penda patan ,025
Luas Lahan -,505
Lama Tinggal
-,832
1,000
-,954
-,211
,130
,583
-,033
Lama Bertani Jumlah AK
,658 -,126
-,954 -,211
1,000 ,228
,228 1,000
-,140 -,626
-,555 -,277
-,078 -,480
Pendapatan
,025
,130
-,140
-,626
1,000
,101
,039
LuasLahan Jumlah AK Bekerja
-,505 ,285
,583 -,033
-,555 -,078
-,277 -,480
,101 ,039
1,000 -,070
-,070 1,000
Constant
Lampiran 6. Harga Gabah Kering Giling dan Harga Beras Eceran di Provinsi Jawa Barat Tahun 2002-2011 Tahun 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Harga Gabah (Rp/Kg) 1.519 1.650 1.700 1.900 2.350 2.813 3.047 3.230 3.642 3.938
Harga Beras (Rp/ Kg) 3.240 3.202 2.974 3.382 4.621 5.669 5.095 5.401 5.996 6.712
Sumber: Badan Pusat Statistika Provinsi Jawa Barat, berbagai Terbitan
Jumlah AK Bekerja ,285
90
Lampiran 7. Total Pendapatan Petani Sebelum dan Sesudah Alih Fungsi Lahan Pendapatan sebelum Alih Fungsi lahan No
Usaha Tani
Non Usaha Tani
Pendapatan Sesudah Alih Fungsi Lahan Total Pendapatan
Usaha Tani
Non Usaha Tani
Total Pendapatan
1
Rp
736.433
Rp
579.458
Rp
1.500.000
Rp
736.433
Rp
2.263.567
Rp
3.000.000
2
Rp
686.333
Rp
4.142.083
Rp
5.000.000
Rp
686.333
Rp
5.313.667
Rp
6.000.000
3
Rp
326.467
Rp
1.591.917
Rp
2.000.000
Rp
326.467
Rp
2.673.533
Rp
3.000.000
4
Rp
686.333
Rp
1.142.083
Rp
2.000.000
Rp
686.333
Rp
2.313.667
Rp
3.000.000
5
Rp
686.333
Rp
142.083
Rp
1.000.000
Rp
686.333
Rp
813.667
Rp
1.500.000
6
Rp
600.542
Rp
2.142.083
Rp
3.000.000
Rp
600.542
Rp
3.399.458
Rp
4.000.000
7
Rp
139.000
Rp
3.826.250
Rp
4.000.000
Rp
139.000
Rp
4.861.000
Rp
5.000.000
8
Rp
473.000
Rp
3.408.750
Rp
4.000.000
Rp
473.000
Rp
4.527.000
Rp
5.000.000
9 10
Rp Rp
732.667 359.867
Rp Rp
2.084.167 550.167
Rp Rp
3.000.000 1.000.000
Rp Rp
732.667 359.867
Rp Rp
3.267.333 890.133
Rp Rp
4.000.000 1.250.000
11
Rp
1.014.417
Rp
550.833
Rp
2.000.000
Rp
1.014.417
Rp
1.485.583
Rp
2.500.000
12
Rp
139.000
Rp
826.250
Rp
1.000.000
Rp
139.000
Rp
1.361.000
Rp
1.500.000
13
Rp
1.038.667
Rp
(298.333)
Rp
1.000.000
Rp
1.038.667
Rp
961.333
Rp
2.000.000
14
Rp
92.667
Rp
1.384.167
Rp
1.500.000
Rp
92.667
Rp
1.907.333
Rp
2.000.000
15
Rp
348.833
Rp
1.501.667
Rp
2.000.000
Rp
348.833
Rp
2.151.167
Rp
2.500.000
16
Rp
539.800
Rp
1.325.250
Rp
2.000.000
Rp
539.800
Rp
2.460.200
Rp
3.000.000
17
Rp
139.000
Rp
3.826.250
Rp
4.000.000
Rp
139.000
Rp
5.861.000
Rp
6.000.000
18
Rp
2.426.400
Rp
(2.033.000)
Rp
1.000.000
Rp
2.426.400
Rp
Rp
2.000.000
19
Rp
652.933
Rp
1.183.833
Rp
2.000.000
Rp
652.933
Rp
3.347.067
Rp
4.000.000
20
Rp
473.000
Rp
1.408.750
Rp
2.000.000
Rp
473.000
Rp
2.527.000
Rp
3.000.000
21
Rp
989.917
Rp
85.833
Rp
1.500.000
Rp
989.917
Rp
1.010.083
Rp
2.000.000
(426.400)
91
22
Rp
598.000
Rp
23
Rp
1.753.000
Rp
24
Rp
832.867
25
Rp
26 27
2.003.333
Rp
3.000.000
Rp
598.000
Rp
3.402.000
Rp
4.000.000
(691.250)
Rp
1.500.000
Rp
1.753.000
Rp
747.000
Rp
2.500.000
Rp
958.917
Rp
2.000.000
Rp
832.867
Rp
4.167.133
Rp
5.000.000
1.372.667
Rp
784.167
Rp
2.500.000
Rp
1.372.667
Rp
2.127.333
Rp
3.500.000
Rp
308.292
Rp
1.559.583
Rp
2.000.000
Rp
308.292
Rp
2.191.708
Rp
2.500.000
Rp
1.054.958
Rp
2.492.917
Rp
4.000.000
Rp
1.054.958
Rp
4.945.042
Rp
6.000.000
28
Rp
359.867
Rp
550.167
Rp
1.000.000
Rp
359.867
Rp
1.140.133
Rp
1.500.000
29
Rp
92.667
Rp
884.167
Rp
1.000.000
Rp
92.667
Rp
1.407.333
Rp
1.500.000
30
Rp
629.767
Rp
100.333
Rp
1.000.000
Rp
629.767
Rp
870.233
Rp
1.500.000
31
Rp
173.000
Rp
253.000
Rp
460.833
Rp
173.000
Rp
(253.000)
Rp
(80.000)
32
Rp
2.076.000
Rp
3.036.000
Rp
4.580.000
Rp
2.076.000
Rp
(3.036.000)
Rp
(960.000)
33
Rp
865.000
Rp
1.265.000
Rp
1.804.167
Rp
865.000
Rp
(1.265.000)
Rp
(400.000)
34
Rp
173.000
Rp
253.000
Rp
460.833
Rp
173.000
Rp
(253.000)
Rp
(80.000)
35
Rp
519.000
Rp
759.000
Rp
1.132.500
Rp
519.000
Rp
(759.000)
Rp
(240.000)
36
Rp
1.297.500
Rp
1.897.500
Rp
2.631.250
Rp
1.297.500
Rp
(1.897.500)
Rp
(600.000)
37
Rp
346.000
Rp
506.000
Rp
546.667
Rp
346.000
Rp
(506.000)
Rp
(160.000)
38
Rp
173.000
Rp
253.000
Rp
360.833
Rp
173.000
Rp
(253.000)
Rp
(80.000)
39
Rp
346.000
Rp
506.000
Rp
521.667
Rp
346.000
Rp
(506.000)
Rp
(160.000)
40
Rp
865.000
Rp
1.265.000
Rp
1.804.167
Rp
865.000
Rp
(1.265.000)
Rp
(400.000)
41
Rp
173.000
Rp
253.000
Rp
460.833
Rp
173.000
Rp
(253.000)
Rp
(80.000)
42
Rp
692.000
Rp
1.012.000
Rp
1.343.333
Rp
692.000
Rp
(1.012.000)
Rp
(320.000)
43
Rp
692.000
Rp
1.012.000
Rp
1.093.333
Rp
692.000
Rp
(1.012.000)
Rp
(320.000)
44
Rp
1.903.000
Rp
2.783.000
Rp
4.069.167
Rp
1.903.000
Rp
(2.783.000)
Rp
(880.000)
45 Total Rataan
Rp Rp Rp
519.000 31.096.192 691.026
Rp Rp Rp
759.000 53.825.375 1.196.119
Rp Rp Rp
1.132.500 86.902.083 1.931.157
Rp Rp Rp
519.000 31.096.192 691.026
Rp Rp Rp
(759.000) 58.153.808 1.292.307
Rp Rp Rp
(240.000) 89.250.000 1.983.333
92
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 2 Januari 1992 sebagai anak sulung dari pasangan Maliyanto dan Salbiah. Penulis merupakan putri pertama dari tiga bersaudara. Penulis memulai pendidikan dasar di Sekolah Dasar Negeri 03 Jakarta, lulus pada tahun 2003. Melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Pertama Negeri 95 Jakarta, lulus pada tahun 2006. Kemudian melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri 13 Bogor, dan lulus tahun 2009. Pada tahun 2009, penulis melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi yaitu Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis diterima sebagai mahasiswa program studi mayor Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan (ESL), Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM). Selama menjadi mahasiswa, penulis juga aktif berorganisasi sebagai Sekretaris Kementerian Badan Pengendali Internal BEM KM IPB 2012, Direktur Biro Human Resources Development (HRD) BEM FEM Progresif 2011, Sekretaris Departemen Politik dan Advokasi BEM FEM Sinergi 2010, dan Staf Departemen Budaya Olahraga dan Seni BEM TPB 2009. Selain berorganisasi penulis juga aktif mengikuti berbagai kegiatan pelatihan, seminar, konferensi serta kepanitiaan baik di luar kampus maupun di dalam kampus. Saat ini penulis bergabung dalam beberapa komunitas seperti Edukasi Gizi yaitu komunitas pemuda yang peduli terhadap pangan dan gizi negeri serta Relawan Turun Tangan yaitu komunitas anak muda peduli politik dan perkembangan negeri.
17