ANALISIS BIOMASSA DAN CADANGAN KARBON BAMBU TALI (Gigantochloa apus Kurz.) DI HUTAN RAKYAT DESA SIRPANG SIGODANG KECAMATAN PANEI, KABUPATEN SIMALUNGUN ANALYSIS OF BIOMASS AND CARBON STOCK OF TALI BAMBOO PLANTS (Gigantochloa apus Kurz.) IN FOREST COMMUNITY OF SIRPANG SIGODANG VILLAGE, PANEI SUBDISTRICT, SIMALUNGUN DISTRICT
Sihol Marito Malaua*, Muhdib, Irawati Azharb Studi Kehutanan, Fakultas Kehutanan, Universitas Sumatera Utara, Jl. Tri Dharma Ujung No.1 Kampus USU Medan 20155(*Penulis korespondensi, Email:
[email protected] ) bStaff Pengajar Program Studi Kehutanan, Fakultas Kehutanan, Universitas Sumatera Utara, Medan 20155
aProgram
ABSTRACT
Forests absorb CO2 during photosynthesis and store it as organic matter in biomass plants, as well as bamboo plantations. This study aimed to : (1) analysis biomass and carbon stock (2) obtain a model Allometric estimation of carbon stocks in vegetation potential of oil palm plantations in North Sumatra; (3) obtain the potential carbon stocks in forest conversion to bamboo plantations in North Sumatra. This research was conducted in Forest Community Sirpang Sigodang Village, Subdistrict, Simalungun District. The research was carried out in two stages, namely the first stage were to data in the field and the second stage was analyze of carbon biomass and plant in the laboratory. Parameters measured in the field was wet weight, whereas in the laboratory is measured moisture content, volatile matter content, ash content and carbon content. Carbon plants in the plot were determined using allometric models bamboo carbon rods. Models the relationship between plant biomass or carbon rods with dimensions created with a method that describes the relationship Allometric biomass or carbon mass per plant as a function of the diameter. The results showed that the best model of allometric equations for estimating biomass and carbon mass of bamboo plantations was W= 81.324+22.411D+1.710D2 and C=45.979+12.792D+0.973D2 (W=biomass; C=carbon mass; D= diameter), resulting in biomass and carbon mass of tali bamboo plants respectively were 10.91 ton/ha and 5.49 ton C/ha. Keywords: Bambu tali (Gigantochloa apus Kurz)., Community Forest, biomass analisys, carbon stock, Sirpang Sigodang Village. PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia memiliki banyak cadangan karbon yang tersimpan dalam bentuk biomassa pada hutan. Biomassa hutan dapat hilang atau berkurang karena adanya proses deforestasi dan degradasi hutan. Kontribusi emisi akibat dari deforestasi dan degradasi hutan tersebut diperkirakan 65% dari emisi karbon nasional (Krisnawati et al., 2010). Oleh karena itu Indonesia berupaya untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) ke atmosfer, sebagai bentuk keseriusan Indonesia untuk mengurangi GRK tersebut antara lain adalah terselenggaranya Conference of Parties (COP) ke -13 di Bali tahun 2007 dan berhasil merumuskan rencana aksi Bali (Bali Action Plan). REDD+ memberikan insentif dan ganti rugi kepada pengelola hutan untuk mengurangi deforestasi dan degradasi berupa imbalan jasa lingkungan/Payments for Ecosystem Services (PES). Penerapan sistem PES ini memiliki hambatan yakni adalah kepastian pengunaan lahan untuk mendukung REDD+, pemantauan, pelaporan, pembuktian yang tidak memadai, kemampuan administrasi yang tidak memadai dan tata kelola yang buruk (Angelsen, et al., 2012). Permasalahan penerapan REDD+ pada tingkat nasional dan regional di antaranya adalah kepastian pengunaan lahan, tata batas kawasan hutan yang belum jelas, dan lembaga/kelompok pengelola hutan (Angelsen, et al., 2012). Salah satu pendekatan
yang memungkinkan untuk mengantisipasi permasalahan tersebut yakni penerapan REDD+ pada hutan rakyat. Menurut Peraturan Pemerintah No 6 Tahun 2007 tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan serta manfaat hutan pada pasal 1 butir 22 menyebutkan bahwa hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah. Bentuk hutan hak yang umum dikenal adalah hutan rakyat, hutan rakyat diusahakan oleh rakyat pada lahan miliknya, sehingga memiliki kepastian luasan, dan penebangan dilakukan sesuai kehendak pemilik lahan. Kedudukan hutan rakyat telah dijamin kepastian lahan dan relatif mudah dalam mengevaluasi dan memonitoring kondisi tegakan, sehingga memiliki peranan penting dalam pengembangan jasa lingkungan terutama dalam mengurangi deforestasi dan degradasi hutan. Kondisi hutan rakyat di atas memudahkan pelaksana program REDD+ dalam mengukur, memonitoring, dan mengevaluasi perubahan struktur karbon hutan sebagai demonstration activities. Asycarya (2009) mengemukakan bahwa hutan rakyat dapat masuk pasar karbon baik pasar karbon sukarela maupun pasar karbon yang bersifat wajib atau antar negara mengikuti mekanisme REDD+. Minimnya perhatian pemerintah terhadap pengembangan hutan rakyat. Bukti minimnya perhatian tersebut adalah penempatan wilayah pembangunan hutan rakyat masih ditempatkan pada lahan-lahan marjinal. Oleh karena itu pemilihan vegetasi yang mudah
tumbuh menjadi alternatif pembangunan hutan rakyat, misalnya menanam jenis tanaman bambu. Bambu tali (Gigantochloa apus Kurz.) banyak ditanam oleh masyarakat karena jenis bambu yang memiliki banyak manfaat seperti bahan bangunan, perabot rumah tangga dan memiliki nilai ekonomi yang baik, selain itu juga bambu mudah dan cepat pertumbuhannya, dan baik untuk menghambat aliran permukaan saat hujan turun. Manfaat bambu sebagai penyerap karbon belum banyak dibicarakan padahal menurut Sutiyono (2010), bambu memiliki daya serap karbondioksida (CO2) yang besar. Bambu tali selain memiliki jumlah dan manfaat yang banyak juga tergolong dalam tanaman C4. Golongan tanaman C4 dikelompokkan berdasarkan kecepatan dan banyak mengikat karbon di udara. Untuk mengetahui kandungan karbon dalam bambu dibutuhkan penelitian dengan melakukan pengukuran langsung di lapangan agar mendapat model yang baik digunakan untuk menduga potensi karbon yang tersimpan pada hutan rakyat bambu tali, dan peluangnya dalam penerapan REDD+ di Indonesia. Dari pernyataan di atas maka dilakukan penelitian dengan judul “Analisis Biomassa dan Cadangan Karbon Bambu Tali (Gigantochloa apus Kurz.) di Hutan Rakyat Desa Sirpang Sigodang Kecamatan Panei, Kabupaten Simalungun”. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis biomassa dan massa karbon bambu tali di Hutan Rakyat Desa Sirpang Sigodang, Kecamatan Panei Kabupaten Simalungun, menentukan persamaan allometrik terbaik biomassa dan karbon bambu tali serta memperoleh potensi biomassa dan karbon pada tanaman bambu di Hutan Rakyat Desa Sirpang Sigodang Kecamatan Panei, Kabupaten Simalungun.
METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari sampai dengan bulan April 2015. Penelitian dilaksanakan di Hutan Rakyat Desa Sirpang Sigodang, Kecamatan Panei, Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara. Analisis karbon dilakukan di Laboratorium Kimia Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor (IPB). Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah pita ukur, gergaji, parang, tali rafia, timbangan dacin, gunting tanaman, kamera digital, kalkulator, alat tulis menulis, microsoft office excel 2007 dan software IBM SPSS statistic Version 22 for windows. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi tegakan bambu tali (Gigantochloa apus Kurz.) di Hutan Rakyat Desa Sirpang Sigodang, Kecamatan Panei, Kabupaten Simalungun, contoh uji bambu yang terdiri dari batang, ranting dan daun. Bahan pendukung terdiri dari kantong plastik dan label nama.
Metode Penelitian Biomassa tegakan ada 2, yaitu bagian di atas tanah dan bagian dalam tanah (akar). Pada penelitian ini, pengukuran biomassa tegakan dilakukan pada bagian di atas tanah. Pengukuran biomassa tanaman dapat dilakukan dengan cara: 1. Tanpa melakukan perusakan (metode nondestructive), jika jenis tanaman yang diukur sudah diketahui rumus allometriknya. 2. Melakukan perusakan (metode destructive). Metode ini dilakukan oleh peneliti untuk tujuan pengembangan rumus allometrik, terutama pada jenis-jenis tegakan yang mempunyai pola percabangan spesifik yang belum diketahui persamaan allometriknya secara umum. Pengembangan allometrik dilakukan dengan menebang tanaman dan mengukur diameter, panjang dan berat massanya. (Hairiah, 2011). Pada penelitian ini, pengukuran biomassa bambu tali (Gigantochloa apus Kurz.) dilakukan dengan metode destructive. Prosedur Penelitian Prosedur penelitian ini meliputi pengumpulan data dan informasi yang dibutuhkan, serta menganalisis sesuai kebutuhan. Tahapan kegiatannya sebagai berikut: 1. Pengumpulan Data A. Data Primer Data primer adalah data yang diperoleh dari lapangan. Data tersebut antara lain data tinggi, diameter setiap tegakan contoh dan berat basah masing-masing fraksi tegakan bambu tebang untuk selanjutnya dianalisis dan diperoleh model allometrik terbaik, serta pengumpulan data hasil analisis bahan uji di laboratorium. B. Data Sekunder Data yang telah ada sebelumnya, baik data yang dikeluarkan instansi terkait, penelitian sebelumnya, maupun literatur pendukung lainnya. 2. Analisis Data di Lapangan Pengukuran Plot untuk Penebangan Bambu Pengukuran parameter tegakan yang penting dilakukan pada setiap petak contoh penelitian (PCP) dengan metode jalur berpetak. Setiap PCP dibuat dengan ukuran 20 m x 20 m dengan jarak antar petak contoh 10 m x 10 m (Kiyoshi, 2002). Adapun petak ukur yang dibuat sebanyak 1 baris, sehingga banyaknya petak contoh penelitian (PCP) adalah 3 petak. Penempatan lokasi petak ukur dilakukan dengan cara random sampling. 1. Buat 3 plot berukuran masing-masing 20 m x 20 m yang letaknya berselang-seling (random) dengan jalur utama berada tepat di tengah.
2. Lakukan inventarisasi tegakan bambu dewasa tiap plot dengan mengukur tinggi dan DBH serta dicatat dalam tally sheet. 3. Dari tiap-tiap plot diambil 3 tegakan bambu dewasa yaitu bambu tali (Gigantochloa apus Kurz.) sebagai sampel tebang yang akan digunakan untuk analisa laboratorium kemudian diambil data DBH, berat basah tegakan, dan tinggi total. 4. Pengukuran tinggi total tanaman bambu terpilih juga dilakukan setelah pohon contoh rebah. Tinggi total merupakan panjang total pohon contoh yang telah rebah hingga ujung tajuk ditambah panjang tunggak yang tersisa di tanah. Pemilahan Bagian Batang dan Penimbangan Berat Basah 1. Sebelum dilakukan pembagian fraksi tegakan, terlebih dahulu dilakukan penimbangan terhadap berat total batang, ranting dan daun. 2. Pembagian fraksi tegakan contoh dilakukan untuk memisahkan bagian-bagian biomassa batang, ranting dan daun yang bertujuan agar analisa laboratorium lebih terwakili. 3. Sampel batang, ranting dan daun diambil pada bagian ujung pangkal, tengah, dan ujung atas. Masing-masing sampel batang tiap tegakan tebang dibuat 3 ulangan. Dimana tiap ulangan diambil sebanyak 200 gram. 3. Pengumpulan Data dan Pengolahan Data di Laboratorium Pengukuran Kadar Air Contoh uji kadar air batang dibuat dengan ukuran 2 cm x 2 cm x 2 cm. Sedangkan contoh uji dari bagian ranting dan daun diambil masing-masing ± 300g. Cara pengukuran kadar air contoh uji adalah sebagai berikut : 1. Contoh uji ditimbang berat basahnya. 2. Contoh uji dikeringkan dalam tanur suhu 103 ± 2oC sampai tercapai berat konstan, kemudian dimasukkan ke dalam eksikator dan ditimbang berat keringnya. 3. Penurunan berat contoh uji yang dinyatakan dalam persen terhadap berat kering tanur ialah kadar air contoh uji. Menurut Haygreen dan Bowyer (1989), nilai kadar air dapat dihitung dengan menggunakan rumus:
KA (%)
BA - BKT 100 % BA
Keterangan : KA = kadar air Bo = berat awal contoh uji BKT = berat kering tanur (oven) dari contoh uji Besarnya biomassa dapat diketahui dengan menggunakan perhitungan berat kering. Menurut Haygreen dan Bowyer (1989), berat kering dapat dihitung dengan menggunakan rumus:
BK
BB KA 1 (% ) 100
Keterangan : BK = berat kering/biomassa (kg) BB = berat basah (kg) KA = persen kadar air (%). Besarnya massa karbon dapat diketahui dengan menggunakan perhitungan massa karbon. Menurut Haygreen dan Bowyer (1989), massa karbon dapat dihitung dengan menggunakan rumus:
C
BK (% FC) 100
Keterangan : C = massa karbon BK = berat kering/biomassa (kg) FC = fixed carbon (%) Penentuan Kadar Zat Terbang Prinsip penetapan kadar zat terbang adalah menguapkan bahan yang tidak termasuk air dengan menggunakan energi panas. Setiap bagian tanaman mendapat ulangan sebanyak tiga kali. Prosedur penentuan zat terbang yang digunakan berdasarkan American Society for Testing Material (ASTM) D 5832-98 adalah sebagai berikut : Sampel dari tiap bagian batang dipotong menjadi bagian-bagian kecil sebesar batang korek api, sedangkan sampel bagian daun dicincang, sampel kemudian dioven pada suhu 950 ⁰C selama 2 menit. Kemudian cawan berisi contoh uji tersebut didinginkan dalam desikator dan selanjutnya ditimbang. Kadar zat terbang dinyatakan dalam persen dengan rumus sebagai berikut :
Kadar zat terbang
A B x 100 % A
Keterangan : A = berat kering tanur pada suhu 105oC B = berat contoh uji dikurangi berat berat cawan dan sisa contoh uji berat cawan dan sisa contoh uji pada suhu 950oC Penentuan Kadar Abu Prinsip penetapan kadar abu adalah penentuan jumlah abu yang tertinggal (mineral yang tidak dapat menguap) dengan membakar serbuk menjadi abu dengan menggunakan energi panas. Setiap bagian tanaman mendapat ulangan sebanyak tiga kali. Prosedur penentuan kadar abu yang digunakan berdasarkan ASTM D 2866-94 adalah sebagai berikut : Sisa contoh uji dari penentuan kadar zat terbang dimasukan ke dalam tanur listrik bersuhu 750 oC selama 6 jam. Selanjutnya cawan dikeluarkan dari tanur, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang sampai beratnya tetap. Kadar abu dinyatakan dalam persen dengan rumus sebagai berikut : Kadar abu =
Penentuan Kadar Karbon Penentuan kadar karbon dilakukan dengan penentuan kadar karbon yang digunakan berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) 06-3730- 1995 adalah sebagai berikut: Penentuan kadar karbon terikat (fixed carbon) ditentukan berdasarkan rumus berikut ini: Kadar karbon terikat arang (%) = 100 % - kadar zat terbang arang- kadar abu Model Allometrik Bambu yang ditebang secara destructive sampling sebanyak 9 batang diukur diameternya dan panjangnya sebagai tinggi batang bambu. Hasil pengukuran diameter dan tinggi tersebut dibuat model dengan menggunakan software IBM SPSS statistic Version 22 for windows. Model Pendugaan Biomassa Bambu dan Karbon Bambu Pendugaan biomassa bambu dilakukan dengan tahapan seperti model hubungan antara biomassa bambu dan dimensi bambu (diameter dan tinggi) dibuat dengan menggunakan persamaan regresi allometrik dan persamaan polynomial yang menggambarkan biomassa sebagai fungsi dari diameter dan tinggi. Penyusunan dan analisa persamaan allometrik ini dibuat dengan menggunakan program software IBM SPSS statistic Version 22 for windows. Adapun bentuk analisis regresi allometrik dan persamaan polynomial adalah sebagai berikut : Ŷ = ß0+ ß1D+ ß2D2 Ŷ = ß0Dß1 Ŷ = ß0+ ß1D2H Ŷ = ß0 Dß1Hß2 Keterangan : Ŷ = taksiran nilai biomassa atau karbon bambu tali (kg/batang) D = diameter batang (dbh) (cm)
H = tinggi batang (m) ß0, ß1, ß2 = konstanta (parameter) regresi Persamaan regresi terbaik akan dipilih dari model-model hipotetik di atas dengan menggunakan berbagai kriteria statistik, yakni goodness of fit, koefisien determinasi (R2), analisis sisaan serta pertimbangan kepraktisan untuk pemakaian. Analisis Data Metode analisis data yang digunakan adalah: 1. Analisis deskriptif dan penyajian data dalam bentuk tabel atau gambar 2. Uji perbedaan kadar karbon dilakukan dengan menggunakan software IBM SPSS statistic Version 22 for windows. Adapun parameter yang diuji adalah perbedaan kadar karbon rata-rata setiap bagian tegakan yaitu pada bagian batang, ranting dan daun. Analisis perbedaan kadar karbon pada bagianbagian tanaman dilakukan analisis statistik dengan uji beda rata-rata menggunakan 54 uji one way anova, yaitu berdasarkan Tukey HSD.
HASIL DAN PEMBAHASAN Inventarisasi bambu tali dewasa di lapangan yang dilakukan dengan cara random sampling. Tujuan dari inventarisasi tersebut adalah untuk mendapatkan potensi kandungan biomassa dan massa karbon pada tegakan bambu tali (Gigantochloa apus Kurz.) di Hutan Rakyat Desa Sirpang Sigodang yang ditanami jenis bambu tali seluas 2,5 ha dengan intensitas sampling (IS) sebesar 5% maka diperoleh jumlah plot yang sebanyak 3 plot masing-masing berukuran 20 m x 20 m. Masingmasing plot diambil 3 bambu tali dewasa dimana pengambilan sampel bambunya menggunakan metode destructive sampling sehingga diperoleh 9 sampel tebang yang diteliti dimana batang, ranting dan daun dipisahkan dan masing-masing bagian dibuat menjadi 3 ulangan (umumnya 3 ulangan sudah cukup memadai).
Tabel 1. Hasil inventarisasi bambu tali dewasa (Gigantochloa apus Kurz.) di Hutan Rakyat Desa Sirpang Sigodang No. Plot Total Rumpun Total Batang/Plot 1
8
50
2
8
47
3
10
59
Total
26
156
Rata-rata
8,7
52
Berdasarkan Tabel 1. dapat dilihat bahwa jumlah tegakan bambu tali dewasa terbesar terdapat pada plot 3 yakni sebesar 59 batang dengan jumlah 10 rumpun kemudian diikuti dengan plot 1 dengan jumlah 50 batang bambu tali dewasa dengan jumlah 8 rumpun dan plot 2 dengan jumlah 47 batang bambu tali dewasa dengan jumlah 8 rumpun.
Berat Basah Tanaman Contoh Berdasarkan hasil pengukuran berat komponen penyusun bambu tali (Gigantochloa apus Kurz.) dalam kondisi segar yang meliputi batang, ranting dan daun diperoleh rata-rata berat keseluruhan 13,64 kg per bambu tali. Batang bambu tali merupakan komponen
terbesar yakni 9,69 kg (71,04%) dari total berat basah
tanaman.
Tabel 2. Berat basah bambu tali (Gigantochloa apus Kurz.) No. Plot Sampel Tebang H (m) DBH (cm)
Berat Basah (kg) Batang Ranting+Daun 1 15,5 7,86 12,2 4,3 1 2 12,5 7,03 8,4 4 3 13,75 6,59 10 3,7 4 14,25 6,42 9 3,9 2 5 12,45 5,77 10 4,2 6 12,25 6,85 9,6 3,8 7 13,25 6,59 9,5 4 3 8 14,25 6,43 9,5 3,8 9 13,5 6,43 9 3,9 Total 121,7 59,97 87,2 35,6 Rata-Rata 13,52 6,66 9,69 3,96 Keterangan : DBH = Diameter at Breast Height (Diameter Setinggi Dada) Selanjutnya berat basah ranting dan daun sebesar 3,96 kg (29,03%). Hal ini sesuai dengan pernyataan Dransfield dan Widjaja (1995) yang menyatakan bahwa batang bambu tali memiliki komponen-komponen kimia di antaranya holoselulosa 52,1-54%, pentosan 19,1-19,3%, lignin 24,8-25,8%, kadar abu 2,7-2,9%, silika 1,8-5,2% zat ekstraktif sebesar 5,2 %. Berdasarkan Tabel 2 menunjukkan bahwa berat basah masing-masing tanaman bambu tali dan masingmasing bagiannya berbeda-beda. Perbedaan tersebut disebabkan komposisi penyusun tiap bagian tanaman tersebut. Pada bagian batang lebih banyak diisi oleh selulosa, hemiselulosa, lignin dan zat ekstraktif dibandingkan dengan ranting dan daun. Berat basah tertinggi terdapat pada bambu 1 (satu) dengan diameter 7,86 cm yaitu sebesar 16,5 kg.
16,5 12,4 13,7 12,9 14,2 13,4 13,5 13,3 12,9 122,8 13,64
Sedangkan berat basah terendah terdapat pada bambu 2 (dua) dengan diameter 7,03 cm yaitu sebesar 12,4 kg. Bagian-bagian tanaman bambu tali, berat basah tertinggi terdapat pada batang, kemudian ranting dan daun. Kadar Air Tanaman Contoh Dalam proses pertumbuhannya tanaman memerlukan air yang berfungsi sebagai proses pengangkutan hara dan mineral ke seluruh bagian tubuh tanaman. Kadar air merupakan persentase jumlah air yang terkandung dalam suatu tanaman. Kadar air merupakan berat air yang dinyatakan dalam persen air terhadap berat kering tanur (BKT). Contoh uji yang digunakan dalam keadaan basah, dengan KA lebih dari 20%. Hasil pengujian kadar air bambu tali (Gigantochloa apus Kurz.) disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Kadar air (%) pada setiap bagian tanaman berdasarkan petak contoh penelitian No Plot Sampel Tebang Kadar Air (%) Batang 1 50,77 1 2 84,43 3 66,72 4 86,04 2 5 73,69 6 86,62 7 68,29 3 8 87,85 9 70,03 Total 774,48 Rata-Rata 86,05 Berdasarkan hasil pengujian di laboratorium menunjukan bahwa terdapat variasi kadar air berdasarkan bagian tegakan. Bagian batang bambu tali (Gigantochloa apus Kurz.) merupakan bagian tegakan yang paling tinggi kadar airnya, yakni dengan nilai yang
Total Berat Basah (kg)
Ranting+Daun 45,02 47,92 43,33 42,93 43,55 45,2 38,87 27,58 35,58 400,02 44,44
berkisar antara 50-88%, sedangkan kadar air terendah terdapat pada bagian ranting dan daun sebesar 27-48%. Tingginya kadar air batang bambu didukung oleh sel parenkim yang terdapat pada bambu, sekitar 50-60% parenkim, serat 40% (Liese, 1992b). Kadar air mempengaruhi pemanfaatan bambu, penentuan kadar
air dilakukan dengan cara yang sama pada penentuan kadar air kayu (Xiaobing, 2007). Kadar air bambu berbeda tergantung: 1) Spesies bambu: spesies yang berbeda memiliki jumlah yang berbeda dari parenkim sel yang berkorelasi dengan kapasitas memegang air (Liese, et al., 1961). 2) Bagian batang: pangkal memiliki kadar air lebih tinggi dibanding bagian atas. Bagian dalam dari penampang batang memiliki kadar air yang lebih tinggi daripada bagian luar. 3) Node atau ruas:
node memiliki kadar air yang lebih rendah dibanding ruas (hingga 25%). 4. Musim: pada akhir musim hujan jauh lebih tinggi daripada akhir musim kemarau; 5) Umur batang: batang yang muda memiliki kadar air yang lebih tinggi dan lebih seragam daripada yang dewasa (Dunkelberg, 1985). Setelah panen kadar air bambu dapat dipengaruhi oleh kelembapan dan kekeringan lingkungan (Xiaobing, 2007).
Kadar Karbon Tanaman Contoh Karbon merupakan salah satu bahan organik penyusun zat suatu tanaman. Hasil pengukuran kadar karbon disajikan pada Tabel 4. Kadar karbon rata-rata pada bagian bambu tertinggi terdapat pada bagian batang yaitu sebesar 65,14%, sedangkan kadar karbon rata-rata terendah adalah pada ranting dan daun sebesar 21,09%. Besarnya kadar karbon tergantung pada kadar abu dan zat terbang dimana semakin tinggi kadar zat terbang dan kadar abu maka kadar karbon
juga semakin rendah. Hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Suprihatno, et al., (2012) di areal tanaman bambu Kebun Kayangan, PT. Salim Ivomas Pratama, Desa Balam Sempurna, Kecamatan Bagan Sinembah, Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau terhadap bambu belangke (Gigantochloa pruriens) yang menyatakan bahwa rata-rata kadar karbon tertinggi terdapat pada bagian batang dengan kisaran 50,68– 54.87% (rata-rata 53.84%).
Tabel 4. Kadar karbon setiap bagian tanaman berdasarkan petak contoh penelitian (%) No Plot Sampel Tebang Kadar Karbon (%) Batang 62,94 1 62,88 1 2 65,95 3 64,90 4 66,14 2 5 65,95 6 66,46 7 66,31 3 8 64,76 9 Total Rata-Rata
586,29 65,14
Ranting+Daun 21,04 21,04 21,15 21,64 21,23 20,55 20,96 21,15 21,01 189,77 21,09
Tingginya kadar karbon pada bagian batang dari unsur karbon. Kadar karbon bagian batang penting karena batang memiliki zat penyusun kayu lebih banyak dalam menduga potensi karbon tegakan dan banyak dan pada saat penyebaran hasil proses fotosintesis, digunakan sebagai dasar perhitungan dalam pendugaan batang mampu menyimpan lebih banyak polisakarida karbon. dibanding bagian tanaman lainnya. Karbohidrat atau polisakarida dalam tumbuh-tumbuhan mempengaruhi Uji Beda Rata-Rata Berdasarkan Uji One Way Anova besarnya kadar karbon yang tersimpan di dalam jaringan Pada penelitian ini, uji beda rata-rata dilakukan tumbuhan karena polisakarida dalam tubuh-tumbuhan untuk mengetahui perbedaan kadar karbon pada setiap mengandung 50% karbon, 44% oksigen, dan 6% bagian tanaman. Dapat dilihat hasil yang diperoleh untuk hidrogen (Sitompul dan Bambang, 1995). uji rata-rata kadar karbon pada setiap bagian tanaman Bambu secara umum tersusun oleh selulosa, bambu tali (Gigantochloa apus Kurz.) pada Tabel 5. lignin dan bahan ekstraktif yang sebagian besar disusun Tabel 5. Hasil uji beda rata-rata kadar karbon pada setiap bagian Bambu Tali (Gigantochloa apus Kurz.) berdasarkan uji One Way Anova (Tukey HSD) Beda Rata-Rata Signifikasi Batang -44,05824 0,000* Ranting+ Daun Tukey HSD Ranting+ Daun 44,05824 0,000* Batang Keterangan : * : Berbeda Nyata (P<0,05) pada Selang Kepercayaan 95%
Berdasarkan Tabel 5 dapat dilihat bahwa antar kadar karbon batang dengan ranting dan daun bambu tali dewasa berbeda nyata dengan signifikansi P<0,005 pada selang kepercayaan 95%. Hasil pengujian beda nyata ini menunjukkan bahwa kadar karbon pada setiap bagian tanaman tidak sama. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 5 bahwa terdapat perbedaan yang cukup nyata antara rata-rata kadar karbon bagian batang dengan ranting dan daun, yaitu 65,14% dengan 21,09%.
Analisis Biomassa dan Massa Karbon Tanaman Contoh Biomassa Biomassa merupakan jumlah total dari bahan organik hidup yang dinyatakan dalam berat kering oven per satuan luas (Brown, 1997). Selanjutnya menurut Jenkins, et al., (2003), biomassa dapat digunakan sebagai dasar dalam perhitungan kegiatan pengelolaan hutan, karena hutan dapat dianggap sebagai sumber dan sink karbon. Potensi biomassa suatu hutan dipengaruhi oleh faktor iklim seperti curah hujan, umur tegakan, sejarah perkembangan vegetasi, komposisi dan struktur tegakan.
Tabel 6. Biomassa pada setiap bagian tanaman berdasarkan petak contoh penelitian Sampel Batang Ranting+Daun No. Plot Tebang BB (kg) BK (kg) BB (kg) BK (kg) 1 12,2 8,09 4,3 2,97 1 2 8,4 4,55 4 2,7 3 10 6 3,7 2,58 4 9 4,84 3,9 2,73 5 2 10 5,76 4,2 2,93 6 9,6 5,14 3,8 2,62 7 9,5 5,64 4 2,88 8 3 9,5 5,06 3,8 2,98 9 9 5,29 3,9 2,88 Rataan 5,6 2,81 Berdasarkan Tabel 6, bagian bambu yang memiliki komponen terbesar penyusun biomassa yaitu batang sebesar 5,6 kg dan terendah pada ranting dan daun sebesar 2,81 kg. Kandungan biomassa batang berkaitan erat dengan hasil produksi tanaman yang didapat melalui proses fotosintesis yang umumnya disimpan pada batang, karena batang pada umumnya memiliki zat penyusun yang lebih banyak dibandingkan dengan bagian tanaman yang lain. Zat penyusun tersebut menyebabkan bagian rongga sel pada batang akan menjadi lebih besar. Sedangkan daun umumnya
Total Biomassa (kg/btg) 11,06 7,26 8,58 7,57 8,68 7,76 8,52 8,04 8,17 8,4
tersusun oleh banyak rongga stomata yang menyebabkan struktur daun menjadi kurang padat, sehingga kurang berat. Menurut White dan Plaskett (1991) kisaran biomassa pada daun adalah sekitar 36%. Massa Karbon Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan massa karbon pada setiap bagian tegakan. Massa karbon terbesar terdapat pada batang sebesar 3,64 kg dan yang terendah adalah ranting dan daun sebesar 0,59 kg.
Tabel 7. Kandungan massa karbon pada setiap bagian tanaman berdasarkan petak contoh penelitian No. Plot 1
2
3 Rataan
Sampel Tebang 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Massa Karbon (kg) Batang Ranting+Daun 5,09 0,62 2,86 0,57 3,96 0,55 3,14 0,59 3,81 0,62 3,39 0,54 3,75 0,6 3,35 0,63 3,43 0,6 3,64 0,59
Total Massa Karbon (kg) 5,72 3,43 4,5 3,73 4,43 3,93 4,36 3,98 4,03 4,23
Massa karbon pada batang erat kaitannya dengan tingginya potensi biomassa batang dibandingkan dengan bagian tanaman lainnya. Peningkatan ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa semakin besar biomassa maka akan semakin besar pula massa karbon. Merujuk pada data kadar air komponen tanaman yang tersaji pada Tabel 3, dapat dinyatakan bahwa semakin tinggi kadar air akan menghasilkan persentasi biomassa yang semakin rendah atau dengan kata lain kadar air berbanding terbalik dengan persentasi biomassa. Model Allometrik Model allometrik merupakan model yang menghubungkan dimensi-dimensi dari tanaman dengan nilai biomassa tanaman. Setiap tanaman yang berbeda akan memiliki pola yang berbeda untuk membentuk model allometrik ini. Pengambilan sampel tanaman bambu tali (Gigantochloa apus Kurz.) yang dilakukan secara dekstruktif dengan menebang bambu tali dewasa berdasarkan data biomassa 9 contoh tegakan bambu tali
telah menghasilkan persamaan allometrik biomassa dan massa karbon bambu tali. Persamaan yang diperoleh tersebut merupakan hubungan antara biomassa atau massa karbon pada tiap bagian-bagian bambu tali dengan diameter ataupun tinggi total bambu tali. Model pendugaan biomassa dan massa karbon ini menggunakan pendekatan diameter, dan tinggi total sehingga diperoleh suatu model terpilih. Persamaan terpilih tersebut selanjutnya dibandingkan dengan persamaan-persamaan lain yang menggunakan beberapa variabel bebas yang berbeda. Model terbaik dari suatu persamaan yang menggunakan suatu variabel bebas tertentu akan dipilih untuk menduga biomassa dan massa karbon bambu tali. Model allometrik yang berhasil dibangun untuk menduga biomassa dan massa karbon bambu tali di Hutan Rakyat Desa Sirpang Sigodang, Kecamatan Panei, Kabupaten Simalungun disajikan pada Tabe l8 dan Tabel 9.
Tabel 8. Model allometrik untuk menduga biomassa setiap bagian tanaman dan total biomassa dari setiap bagian bambu tali (gigantochloa apus Kurz.) Bagian Model Allometrik S P R-Sq (%) W = 69,106-19,654+1,509D2
0,63450
0,016*
74,7
W=
-1,444D1,057
0,90920
0,104
33,2
W=
2,357+0,005D2H
0,75294
0,024*
54,2
-4,778D0,641H0,451
0,85793
0,132
49
12,218-2,757-0,200D2
0,14073
0,277
34,8
0,16135
0,953
0,1
W = 2,686+0,000D2H
0,15852
0,629
3,5
W= 2,252 D-0,080H0,081
0,15199
0,439
2,4
W = 81,324-22,411D+1,710 D2 W = 1,404 D1,050
0,62203 0,99524
0,013* 0,134
76,3 29,1
W = 5,043+0,006D2H
0,82184
0,029*
51,7
W= -2,525 D0,561H0,532 0,91567 Keterangan: W = Biomassa (kg) D = Diameter Setinggi Dada (Dbh) (cm) H = Tinggi Total (cm) P = Signifikansi R-sq = Koefisien Determinasi S = Standard Error * = Berbeda nyata (P 0,01-0,05) pada selang kepercayaan 95%
0,136
48,6
Batang
W=
W=
W = 2,848 Ranting+Daun
Total Tanaman
D-0,006
Model allometrik biomassa dibangun untuk melakukan penaksiran besar biomassa setiap bagian tanaman dan total biomassa dari setiap bagian bambu tali (Gigantochloa apus Kurz.). Model ini menghubungkan antara biomassa batang, ranting dan daun dengan diameter setinggi dada (Dbh), dan tinggi (H).
Model allometrik kandungan karbon dibangun untuk melakukan penaksiran besar kandungan karbon setiap bagian tanaman dan total kandungan karbon dari setiap bagian bambu tali (Gigantochloa apus Kurz.). Model ini menghubungkan antara kandungan karbon batang, ranting dan daun dengan diameter setinggi dada (Dbh), dan tinggi (H).
Tabel 9. Model allometrik untuk menduga kandungan karbon setiap bagian tanaman dan total biomassa dari setiap bagian bambu tali (gigantochloa apus Kurz.) R-Sq Bagian Model Allometrik S P (%)
Batang
Ranting+Daun
C= 43,182-12,150+0,927D2
0,43892
0,038*
66,5
C= -0,142D0,568
0,59271
0,168
25,3
C= 1,821+0,003D2H
0,50812
0,048*
45,1
C= -2,258D0,304H0,286
0,56382
0,195
42
C = 2,797-0,642D+0,046D2
0,03085
0,240
37,9
C = 0,631D-0,006
0,03605
0,799
1
C = 0,570+3,578E-5D2H
0,03581
0,697
2,3
C = 0,465D-0,027H0,022
0,03084
0,239
37,9
C= 45,979-12,792D+0,973D2
0,42911
0,034*
67,6
0,489D0,562
0,60934
0,182
23,9
C = 2,391+0,003D2H
0,52020
0,050*
44,5
C = -1,793D0,278H0,309
0,57116
0,189
42,7
C= Total Tanaman Keterangan: W H R-sq S *
= Biomassa (kg) D = Diameter Setinggi Dada (Dbh) (cm) = Tinggi Total (cm) P = Signifikansi = Koefisien Determinasi = Standard Error = Berbeda nyata (P 0,01-0,05) pada selang kepercayaan 95%
Berdasarkan Tabel 8 dan Tabel 9, model allometrik biomassa dan kandungan karbon yang telah dibentuk mengikuti fungsi logaritma dan regresi linier sederhana dengan menggunakan peubah bebas diameter (D), diameter kuadrat (D2). Pemilihan model allometrik terbaik dilakukan pengujian beberapa model, model allometrik yang terbaik adalah yang memenuhi syarat statistik dengan standard error (s) terkecil, P<0,05 dan nilai koefisien determinasi yang disesuaikan (R2Square). Dari persamaan allometrik yang telah dibuat (Tabel 8), diketahui bahwa hubungan antara W (biomassa) dengan D (diameter) memiliki tingkat yang lebih baik dibandingkan dengan hubungan allometrik antara W dengan D dan H. Pemilihan model allometrik terbaik dilakukan dengan menguji beberapa model. Berdasarkan kriteria statistik, model allometrik W= ß0+ ß1D+ ß2D2 adalah model yang terpilih untuk biomassa total tanaman, dapat dilihat pada tabel 8 bahwa W=81,32422,411D+1,710D2 memiliki performansi paling baik yang menghasilkan standard error (s) terkecil yaitu 0,62203 dan R-Square terbesar yaitu 76,3%, ini menandakan bahwa model tersebut memiliki kebaikan dalam pendugaan biomassa total tanaman. Hal ini dapat diartikan bahwa 76,3% keragaman biomassa bambu tali (Gigantochloa apus Kurz.) dapat dijelaskan oleh pengaruh peubah bebas diameter sedangkan sisanya sebesar 23,7 % dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Seperti halnya persamaan pada biomassa, persamaan massa karbon memiliki nilai P<0,05 sehingga seluruh persamaan atau model dapat diterima (P<0,05) karena peubah bebasnya memiliki pengaruh yang sangat nyata terhadap perubahan massa karbon
bambu tali (Gigantochloa apus Kurz.). Persamaan terbaik massa karbon adalah C=45,97912,792D+0,973D2 yang menghasilkan standard error (s) terkecil yaitu 0,42911 dan R-Square terbesar yaitu 67,6%. Selain pertimbangan dari nilai statistik tersebut dalam pemilihan model terbaik harus mempertimbangkan pula faktor kepraktisan, keefesienan dan kemudahan dalam pengumpulan data-data peubah bebas model dalam persamaan. Dengan melakukan berbagai pertimbangan, maka peubah bebas diameter tanaman merupakan pilihan yang baik dan mudah untuk menentukan biomassa dan kandungan karbon tanaman. Persamaan alometrik menggunakan variabel bebas diameter dan tinggi pohon didapatkan pada semua bagian pohon. Namun demikian, pada praktiknya di lapangan, jika ketersediaan data tinggi pohon tidak dapat dipenuhi, maka sebaiknya pendugaan biomassa dan massa karbon tegakan cukup menggunakan variabel bebas diameter pohon saja. Pengukuran diameter lebih mudah dan akurat di lapangan jika dibandingkan dengan pengukuran variabel tinggi. Umumnya pengukuran tinggi lebih sulit dilakukan, dimana kemungkinan terjadinya kesalahan sangat besar dengan kerapatan vegetasi yang tinggi. Simon (1993) menyatakan ada beberapa faktor yang dapat mengakibatkan kesalahan dalam kegiatan pengukuran tinggi tegakan, yaitu : 1. Kesalahan melihat puncak tegakan dikarenakan kondisi tegakan yang rapat sehingga puncak tegakan tidak terlihat. 2. Tegakan yang akan diukur posisinya miring atau condong. Kesalahan ini dapat diminimumkan dengan
membuat garis tegak lurus terhadap arah condong dan melakukan pengukuran dari garis tersebut. 3. Jarak antara pengukur dengan tegakan tidak horizontal, biasanya terjadi pada kondisi lapangan yang miring > 15%. Selain persamaan regresi yang telah terbentuk, juga harus adanya pertimbangan mengenai kenormalan dari nilai sisaan terpenuhi sebagai salah satu asumsi model regresi tersebut dapat dipergunakan secara baik. Oleh sebab itu, perlu dilihat apakah nilai sisaan tersebut
menyebar normal atau tidak. Uji visual kenormalan sisaan persamaan dapat dilihat pada Gambar 1. Nilai sisaan dikatakan menyebar secara normal apabila antara nilai sisaan dengan probability normal-nya membentuk pola garis linier melalui pusat sumbu. Gambar 1 dapat terlihat bahwa pola penyebaran data yang dihasilkan membentuk garis lurus, maka syarat data sisaan yang menyebar secara normal terpenuhi.
Gambar 1. Visualisasi plot uji kenormalan sisaan model allometrik terpilih biomassa dan massa karbon bambu tali Model allometrik terbaik yang terpilih pada penelitian ini kemudian dikelola dan dihitung berdasarkan dimensi tanaman hasil inventarisasi untuk mendapatkan data potensi biomassa dan cadangan karbon (Tabel 8 dan
Tabel 9). Setelah hasil perhitungan untuk total biomassa dan cadangan karbon dalam satuan kg/rumpun diperoleh, maka hasil yang didapat dikonversi dalam satuan ton/ha.
Tabel 10. Potensi biomassa dan cadangan karbon bambu tali (Gigantochloa apus Kurz.) No. Plot Biomassa (kg/rumpun) Cadangan Karbon (kg/rumpun) 1
16,35
8,22
2
15,04
7,55
3
18,94
9,55
Total
50,33
25,32
Rata-rata
16,77
8,44
Berdasarkan Tabel 10. biomassa bambu dalam satu rumpun adalah 15,04-18,94 kg/rumpun (rata-rata 16,77 kg/rumpun). Cadangan karbon bambu dalam satu
rumpun adalah 7,55 – 9,55 kg/rumpun (rata-rata 8,44 kg/rumpun).
Tabel 11. Potensi biomassa dan cadangan karbon bambu tali (Gigantochloa apus Kurz.) No. Plot
Total Biomassa
Total Biomassa
Total Massa Karbon
Total Massa Karbon
(Kg)
(Ton/Ha)
(Kg)
(Ton C/Ha)
1 2
425,26 390,97
10,63 9,77
213,74 196,36
5,34 4,91
3
492,53
12,31
248,29
6,21
Total
1308,76
32,72
658,39
16,46
Rata-Rata
436,25
10,91
219,46
5,49
Rata-rata biomassa yang diperoleh pada penelitian ini adalah 10,91 ton/ha, sedangkan rata-rata massa karbon yang diperoleh adalah 5,49 ton C/ha. Hasil penelitian ini lebih rendah namun tidak berbeda jauh dengan hasil penelitian Suprihatno, et al., (2012) mengenai analisis biomassa dan cadangan karbon tanaman bambu belangke (Gigantochloa pruriens) di areal tanaman bambu Kebun Kayangan, PT. Salim Ivomas Pratama di Desa Balam Sempurna Kecamatan
Bagan Sinembah Kabupaten Rokan Hilir Provinsi Riau yang memperoleh rata-rata biomassa sebesar 26,30 ton/ha dan rata-rata massa karbon sebesar 14,08 ton/ha. Rendahnya cadangan karbon total rata-rata yang diperoleh dibandingkan dengan penelitian disebabkan struktur dan perawakan bambu yang diteliti amat berbeda dengan struktur dan perawakan bambu yang dilakukan oleh mereka. Jenis bambu yang digunakan mempunyai diameter yang lebih besar dan lebih tinggi.
Tabel 12. Perbandingan hasil penelitian dengan tanaman lain Tegakan Cadangan Karbon (ton C/ha) Sengon 220,92 (Paraserianthes falcataria) Sawit (Elaeis guineensis) 94,953 Bambu Belangke 14,08 (Gigantochloa pruriens) Cadangan karbon yang diperoleh dari tegakan bambu tali menunjukkan hasil yang lebih rendah dibandingkan dengan cadangan karbon hutan tropis. Studi dari proyek Alternatives to Slash-and-Burn (ASB) di Sumatera memperoleh cadangan karbon pada hutan primer mencapai 300 ton/ha. Hutan di Indonesia diperkirakan mempunyai cadangan karbon berkisar antara 161-300 ton/ha, (Murdiyarso et al, 1995). Cadangan karbon di hutan tropik Asia berkisar antara 40-250 ton/ha untuk vegetasi dan 50-120 ton/ha untuk tanah. Pada studi invetarisasi gas rumah kaca, IPCC merekomendasikan suatu nilai cadangan karbon 138 ton/ha (atau 250 ton/ha dalam berat kering biomassa) untuk hutan basah di Asia, (Hairiah dkk., 2007). Liese, (1987) menyatakan bahwa biomassa bambu di atas permukaan tanah yang telah diteliti dari beberapa jenis tanah antara 50 dan 100 ton/ha. Ada perbedaan yang cukup besar dalam hasil tergantung pada jenis dan kondisi pertumbuhan. Hasil berkelanjutan secara umum dapat diasumsikan berjumlah 5-12 ton/ha/tahun karbon berdasarkan biomassa kering dari bambu yang ditanam, hasil akan lebih tinggi pada tanah yang baik dan pengelolaan yang tepat dan dengan pemupukan.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Kadar karbon pada setiap bagian bambu tali yaitu pada batang sebesar 65,14%, ranting dan daun sebesar 21,09%. 2. Persamaan allometrik terbaik yang berhasil dibangun untuk menduga potensi biomassa bambu tali yaitu W=81,324-22,411D+1,710 D2 sedangkan model penduga massa karbon total bambu tali adalah C=45,979-12,792D+0,973D2. 3. Potensi biomassa dan cadangan karbon bambu tali di Hutan Rakyat Desa Sirpang Sigodang, Kecamatan Panei, Kabupaten Simalungun sebesar 10,91 ton/ha dan 5,49 ton C/ha.
Sumber Irundu (2013) Lubis, A R (2011) Suprihatno et al. (2012)
Saran Perlu dilakukan uji validasi persamaan untuk mendapatkan keabsahan model allometrik yang digunakan.
DAFTAR PUSTAKA Akhdiyat, Soendjoto, M.A dan Kurdiansyah. 1998. Populasi Primata dan Keanekaragaman Jenis Satwa di Pulau Kaget. Kalimantan Selatan. Kalimantan Scientae (50) : 1-9. Alrasyid. 1990. Pemilihan Jenis Tanaman Penghijauan untuk Pembangunan Hutan Rakyat. Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta. Arief, A. 2001. Hutan dan Kehutanan. Cetakan Kelima. Kanisius. Yogyakarta. Asycarya. D., 2009. Hutan Rakyat Lestari Membantu Kurangi Dampak Perubahan Iklim.: Press Release LEI. Jakarta. Angelsen, A., Brockhaus, M., Sunderlin, W.D., dan Verchot, L.V., 2012. Analysing REDD+: Challenges and Choices. CIFOR, Bogor, Indonesia. [ASTM]. American Society for Testing Material. 1990a. ASTM D 2866-94. Standard Test Method For Total ash Content of Activated Carbon. Philadelphia. [ASTM]. American Society for Testing Material. 1990b. ASTM D 5832-98. Standard Test Method For Total ash Content of Activated Carbon. Philadelphia. Brown S. 1997. Estimating Biomass and Biomass Change of Tropical Forest. A Primer. Forestry Paper (134): 10-13.
Cairns, Michael A., Sandra Brown, Eileen H. Helmer, Greg A. Baumgardner.1997. Root Biomass Allocation in The World's Upland Forests. Oecologia (1997) 111:1 -11. Cesylia L. 2009. Cadangan Karbon pada Pertanaman Karet (Hevea brasiliensis) di perkebunan karet Bojong Datar PTP Nusantara VIII Kabupaten Pandeglang Banten [tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Cintron, G., dan Y. S. Novelli. 1984. Methods for studying mangrove structure. The mangrove ecosystem: research methods. UNESCO, Paris, France. Darusman, D dan Suharjito, D. 1997. Kehutanan Masyarakat: Beragam Pola Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 1999. Panduan Kehutanan Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan Perkebunan. Jakarta. Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Tengah. 2008. Portal Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Tengah. Dransfield S, E A Widjaja (Editors). 1995. Plant Resources of South East Asia (PROSEA) No. 7: Bamboos. Backhuys Publisher Leiden. Erwinsyah. 2012. Improvement of Palm Wood Properties Using Bioresin. Disertation. Dresden University of Technology. Germany. pp 1-8. Gardner, T. and R.Engelman. 1999. Forest Future: Population, Consumption and Wood Resources. Population Action International, Washington D.C. Guswinda. 2013. Pendugaan Cadangan Karbon pada Tegakan Kelapa Sawit (Elaeis guineensis jacq.) Umur 15 Tahun di Perkebunan Kelapa Sawit Putri Hijau, Besitang. Sumatera Utara. Hairiah, K., Sitompul, S.M., Noordwijk, M.V, dan Palm, C., 2001. Methods for Sampling Carbon stocks Above and Below Ground. ASB lecture Note 4B. International Center For Research In Agroforestry. Bogor. Hamburg sp. 2000. Simple Rules for Measuring Changes in Ecosystem Carbon in Forestry-Offset Projects. Mitigation and Strategies for Global Change. 5:25-3. Haygreen JG and Bowyer J L. 1989. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu. (ID): Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Huberman. 1959. Bamboo Silviculture. FAO Rome. Italy. 8p. Idris AA, Firmanti A, dan Purwito. 1980. Penelitian Bambu Untuk Bahan Bangunan. Makalah Seminar Strategi Penelitian Bambu Indonesia. Bogor. Jenkins, David J. A. 2003. National-Scale Biomass Estimation for United State Tree Species. USA. Forest Science 49 (1): 12-35. Kiyoshi, M. 2002. Measurementof Biomass in Forest. JICA Jepang. Kusmana C, Abe, A Watanabe. 1992. An Estimation of Above Ground Tree Biomass Of mangrove Forest in east Sumatra, Indonesia. Bogor: IPB. Liese, W. 1980. Anatomy of Bamboo. Dalam : Bamboo Research in Asia Proceeding of a Workshop Held in Singapore, 28-30 May 1980. Hal. 161164. MacDicken, K.G., 1997. A Guide to Monitoring Carbon Storage in Forestry and Agroforestry Projects. Winrock International, Arlington. VA, USA. 87pp. Onrizal. 2004. Model Penduga Biomassa dan Karbon Tegakan Hutan Kerangas di Taman Nasional Danau Sentarum, Kalimantan Barat [Tesis]. Bogor:Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Rahayu, E. dan N. Berlian. 1995. Jenis dan Prospek Bisnis Bambu. Penebar Swadaya. Jakarta. 89 hal. Sharma SN, Mehra ML. 1970. Variation of Bamboo (Dendocalamus strictu) and its Possible Influence on The Trend of The Shrinkage Moisture Content Characteristic. Forest Research Institute. Dehra Dun. Simon, H. 1993. Metode Inventore Hutan, Edisi Kedua. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Sitompul SM, Bambang G. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Standar Nasional Indonesia. 1995. SNI 06-3730-1995. Arang Aktif Teknis. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional. Suharjito, D. 2007. Hutan Rakyat di Jawa: Perannya dalam Perekonomian Desa. Fakultas Kehutanan. IPB. Bogor.
Suprihatno, B. Rasoel, H., dan Bintal, A. 2012. Analisis Biomassa dan Cadangan Karbon Tanaman Bambu Belangke (Gigantochloa pruriens). Journal of Environmental Science 6(1). Sutiyono, Hendromono, M. Wardhani, dan I. Sukardi. 1992. Teknik Budidaya Tanaman Bambu. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan. Bogor. 13 Hal. Sutiyono. 2010. Bambu Untuk Mengurangi Karbon Dioksida.http://sains.kompas.com/read/2010/02/ 02/08250530/Bambu.untuk.Mengurangi.Karbon. Dioksida. Kamis, 18 Desember 2014. Tamolang FN, Lopez FR, Semara SA, Casin RF, Espiloy TB. 1980. Properties and Utilization of Philipines Erect Bamboos. Ottawa (US): International Development Research Centre. Uchimura, E. 1981. Site Condition of Growth and Methods of Multiplication on Bamboo Research in Asia. P 151-160. Proc. Of Workshop 28-30 May 1980. Singapore. Undang-Undang Kehutanan No 41 tahun 1999 Tentang Kehutanan.
Van Noordwijk, 1997. Functional Branch Analysis to derive alometrik equations of trees. In: Murdyarso D, Van Noordwijk M and Suyamto D A (eds.) Modelling global change impactson the soil environment. IC-SEA Report 6: 77-79. White LP, Plaskett LG. 1991. Biomass as Fuel. A Subsidary of Harcourt Brace Jovanovich. New York: Publisher. Whitten, A.J., Damanik, J. dan Hisyam, N., 1984, The Ecological of Sumatra,Yogyakarta:GadjahMada University Press. Whitmore TC. 1985. Tropical Rain Forest of the Far east. Oxford University. Whitten, A.J., Damanik, J. dan Hisyam, N., 1984, The Ecological of Sumatra, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Xiaobing Yu, 2007. Bamboo: Structure and Culture. Vol. 43, hal. 2179-21. Yap F. K. H. 1997. Bambu Sebagai Bahan Bangunan. Lembaga Penyelidikan Bahan Bangunan. Bandung.