Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
ANALISIS BAHAYA PELAPUKAN KAYU PADA PERUMAHAN DI PULAU JAWA
TRISNA PRIADI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Analisis Bahaya Pelapukan Kayu pada Perumahan di Pulau Jawa adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Agustus 2011
Trisna Priadi NRP E 061040011
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
ABSTRACT TRISNA PRIADI. Wood Decay Hazard Analyses of Residential Buildings in Java Island. Under direction of DODI NANDIKA, KURNIA SOFYAN, ACHMAD, and ARIF BUDI WITARTO. Wood decay in residential buildings can lead to economic loss and risk human safety. This research was aimed to determine wood decay hazard in Java Island, Indonesia. It was based on the analyses of climate factors, fungal decay as well as building characteristics in the island. The hazard class of wood decay in Java was analysed based on Scheffer’s method using seven years (2002-2008) climatic data. In addition, a field survey was conducted to evaluate wood decay occurance in 500 houses distributed in 10 cities representing various temperature and humidity conditions. Identification and growth test of decay fungi frequently attacking houses were also conducted. Laboratory examination and field test on the decay of sengon and kamper woods were carried out to evaluate the impact of fungal attack on the basic properties of wood. It was found that approximately 47% and 40% cities in Java were classified as very high and high decay hazard, respectively. About 87% houses were severely attacked by decay fungi. Precipitation was the most influencing climatic factor on the wood decay in house construction. The fungi preferred to attack wooden components of houses intermittently wetted either by rain or water uses. Ganoderma applanatum and Schizophyllum commune were the most important decay fungi for residential buildings in Java. The decay fungi have caused the degradation of residential buildings with economic loss in the amount of over Rp 411 billion/year. Keywords: wood decay hazard, decay fungi, residential buildings, Java Island
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
RINGKASAN TRISNA PRIADI. Analisis Bahaya Pelapukan Kayu pada Perumahan di Pulau Jawa. Dibimbing oleh DODI NANDIKA, KURNIA SOFYAN, ACHMAD, dan ARIF BUDI WITARTO. Dengan jumlah penduduk 136.563.000 jiwa, Pulau Jawa merupakan pulau yang terbanyak dan terpadat penduduknya di Nusantara. Sebagian besar penduduknya tinggal di rumah-rumah yang beresiko tinggi terserang jamur pelapuk kayu karena banyak menggunakan kayu yang tidak awet (non durable species), selain itu juga karena berada di daerah beriklim tropis yang sangat kondusif bagi pertumbuhan jamur pelapuk. Namun hingga kini belum ada informasi ilmiah yang mengungkapkan kelas bahaya pelapukan kayu maupun dampaknya secara teknis dan ekonomis pada perumahan di Pulau Jawa yang sesungguhnya sangat diperlukan sebagai pertimbangan bagi para arsitek, perusahaan konstruksi, instansi pemerintah terkait dan masyarakat umum dalam mengendalikan serangan jamur pelapuk pada bangunan. Suatu penelitian telah dilakukan untuk mengetahui tingkat bahaya pelapukan kayu pada perumahan di Pulau Jawa berdasarkan analisis terhadap kondisi iklim, potensi jamur pelapuk kayu, dan karakteristik bangunan perumahan di Pulau Jawa. Analisis potensi ancaman pelapukan kayu di Pulau Jawa dilakukan berdasarkan metode Scheffer (1971) yaitu dengan menentukan indeks pelapukan berdasarkan data iklim dari tahun 2002 hingga tahun 2008 yang kemudian digunakan sebagai dasar pembuatan peta bahaya pelapukan kayu di Pulau Jawa. Survey pelapukan kayu dilakukan pada 500 bangunan rumah yang ditentukan secara purposive sampling di sepuluh kota dan kabupaten yang mewakili variasi suhu dan kelembaban di Pulau Jawa, yaitu di Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Tegal, Serang, Bogor, Subang, Gresik, Malang, dan Lembang. Data volume kayu yang terserang jamur pelapuk dianalisis secara statistik deskriptif. Nilai kerugian akibat pelapukan kayu dihitung berdasarkan biaya bahan dan upah perbaikannya. Identifikasi jamur pelapuk yang sering menyerang perumahan dilakukan berdasarkan ciri morfologisnya mengacu pada Emberger (2006) dan Hutchings (2010) serta secara molekuler berdasasrkan metode Afrida et al. (2008). Sifat oksidasi jamur pelapuk diuji dengan media guaiacol berdasarkan metode Nishida et al. (1988). Sementara itu kecepatan pertumbuhan jamur pelapuk diuji pada variasi suhu 20 oC, 25 oC , 30 oC, 35 oC, 40 oC, 45 oC dan 50 oC, serta variasi pH 4,26, 5,02, 5,40, 6,08 dan 7,09 pada media potato dextrose agar. Dampak serangan jamur pelapuk pada struktur kayu sengon (Paraserianthes falcataria) dan pinus (Pinus insularis) diamati secara mikroskopik berdasarkan metode Suhirman (1987) setelah pengumpanan terhadap jamur pelapuk Schizophyllum commune dan Ganoderma applanatum selama 12 minggu. Pengamatan ultramikroskopik juga dilakukan terhadap kayu yang terserang jamur pelapuk menggunakan low vacuum scanning electron JSM-5310LV dengan pelapisan platinum pada contoh uji kayu sebagaimana dijelaskan oleh Jansen et al. (2008). Dampak serangan jamur pelapuk terhadap sifat kimia kayu dianalisis melalui penentuan kadar selulosa dan lignin media serbuk kayu terdegradasi jamur
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
pelapuk berdasarkan Standar TAPPI T 20 om-88 dan Standar TAPPI T 13 wd-74. Dampak serangan jamur pelapuk terhadap sifat fisis kayu dianalisis berdasarkan metode Huang et al. (2004), sedangkan dampak terhadap sifat mekanis kayu dianalisis berdasarkan Schrip dan Wolcott (2004) setelah pengumpanan selama 12 minggu. Contoh uji kayu kamper (Dryobalanops sp.), pinus, dan sengon digunakan untuk uji penurunan berat, uji berat jenis (BJ), dan uji modulus lentur (MOE), dan modulus patah (MOR). BJ kayu ditentukan secara gravimeteri, sedangkan pengujian MOE dan MOR kayu menggunakan universal testing machine INSTRON. Selain itu, uji lapang pelapukan kayu dilakukan selama 12 minggu di Jakarta, Semarang, Tegal, Serang, Bogor, Malang, dan di Lembang. Dalam hal ini, pengumpanan contoh uji kayu sengon dan kamper didasarkan atas metode Rapp et al (2001) pada ketinggian satu meter dari tanah permukaan tanah. Evaluasi degradasi kayu yang terjadi didasarkan pada nilai MOE dan MOR-nya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ancaman pelapukan kayu pada bangunan rumah di Pulau Jawa sangat tinggi. Hal ini tercermin dari kenyataan bahwa sebagian besar kota dan kabupaten di Pulau Jawa tergolong kelas bahaya pelapukan sangat tinggi (47%) dan kelas bahaya pelapukan tinggi (40%). Daerah lainnya tergolong kelas bahaya pelapukan sedang, sedangkan daerah yang tergolong kelas bahaya pelapukan rendah tidak ada. Kelas bahaya pelapukan sangat tinggi berada di wilayah Barat dan Selatan Jawa Barat, Banten, dan DKI Jakarta; Jawa Tengah bagian Utara dan Timur; serta sebagian kecil wilayah Selatan Jawa Timur. Sementara itu Bogor, Malang, Jakarta, dan Semarang merupakan daerah yang tergolong kelas bahaya pelapukan sangat tinggi. Daerah yang tergolong kelas bahaya pelapukan tinggi diantaranya adalah Tasikmalaya dan Gresik, sedangkan yang tergolong kelas bahaya pelapukan sedang diantaranya adalah Indramayu dan Pati. Pelapukan kayu pada bangunan rumah merupakan masalah yang serius terbukti dari hasil survey bahwa sekitar 87% rumah mengalami kerusakan oleh jamur pelapuk. Serangan jamur pelapuk terjadi pada berbagai komponen rumah yang sering mengalami pembasahan. Komponen rumah yang paling banyak diserang jamur pelapuk adalah lisplang dan rangka atap, terutama pada bagian yang cat pelindungnya terkelupas, pada bagian sambungan, dan pada bagian ujung komponen. Masuknya air ke dalam struktur bangunan terutama disebabkan oleh sistem atap dan saluran air yang rusak dan tidak berfungsi dengan baik. Pelapukan kayu pada perumahan telah membebani masyarakat luas karena sangat merugikan, misalnya di Tegal senilai Rp0,4 milyar/tahun, di Bogor Rp3,7 milyar/tahun dan di Semarang Rp7,7 milyar/tahun, bahkan dalam lingkup Pulau Jawa kerugian tersebut mencapai lebih dari Rp411,2 milyar/tahun. Nilai tersebut belum mencakup kerugian tidak langsung akibat tidak berfungsinya bangunan karena pelapukan dan proses perbaikannya. G. applanatum dan S. commune merupakan jenis jamur pelapuk yang paling sering menyerang bangunan rumah di Pulau Jawa, tumbuh optimum pada suhu 37 o C dan 29 oC, sedangkan pH optimumnya masing-masing 4,6 dan 4,8. Kedua jenis jamur tersebut mengakibatkan pelapukan simultan sehingga kayu menjadi keropos dan mengalami penurunan kadar selulosa kayu yang lebih cepat dibandingkan ligninnya. Mekanisme invasi jamur pelapuk ke dalam kayu berawal
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
dari perkecambahan spora menjadi hifa-hifa yang masuk ke dalam kayu pada arah longitudinal terutama melalui sel pembuluh (kayu daun lebar) atau saluran interseluler (kayu daun jarum). Pergerakan hifa pada arah lateral terutama terjadi melalui sel jari-jari, sedangkan pergerakannya antar sel kayu melalui noktah pada dinding sel pembuluh, sel jari-jari, dan sel parenkim lainnya. Hifa jamur masuk ke dalam sel kayu paling cepat melalui noktah dengan mendegradasi membran tipis secara fisik maupun enzimatik. Hifa yang masuk ke dalam lumen, tumbuh dan mendegradasi dinding sel dari dalam. Banyaknya sel kayu yang terdegradasi mengakibatkan terbentuknya rongga-rongga terutama di sekitar sel-sel parenkim. Terbukti bahwa G. applanatum lebih destruktif dalam menyebabkan kehilangan masa kayu (12,6%) daripada S. commune (6,7%) selama 12 minggu inkubasi. Penurunan sifat mekanis (MOE dan MOR) kayu oleh kedua jamur tersebut juga cukup besar yaitu lebih dari 14%. Hasil peelitian juga menunjukkan bahwa seluruh kayu yang diumpankan di lapangan mengalami pelapukan. Hasil uji beda rata-rata Tukey menunjukkan bahwa kayu yang diumpankan di Bogor mengalami degradasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang diumpankan di daerah lainnya. Nilai koefisien determinasi dalam hubungan indeks pelapukan daerah dengan MOE dan MOR kayu cukup tinggi (> 0,80). Nilai korelasi MOE kamper, MOE sengon, MOR kamper, dan MOR sengon dengan indeks pelapukan lebih tinggi daripada nilai korelasi dengan masing-masing faktor iklim. Selain itu, degradasi kayu yang dinyatakan dengan nilai MOE dan MOR berkorelasi lebih kuat dengan jumlah hari hujan per bulan dibandingkan dengan faktor iklim lainnya. Pemerintah perlu meningkatkan sosialisasi bahaya pelapukan kayu pada bangunan rumah dalam rangka meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap upaya pengendalian pelapukan kayu terutama di daerah yang tergolong kelas bahaya pelapukan tinggi. Sudah saatnya peraturan konstruksi kayu diterapkan secara lebih serius terutama di daerah yang tergolong kelas bahaya pelapukan sangat tinggi dan tinggi. Pemerintah juga harus mendorong pengembangan dan penerapan teknologi pengawetan yang tepat guna dan ramah lingkungan. Selain itu, peta kelas bahaya pelapukan kayu di Jawa dapat menjadi acuan bagi perumusan kebijakan pemerintah dalam pembangunan perumahan berbasis kondisi wilayah. Dengan demikian penggunaan kayu diharapkan dapat lebih efisien dan umur pakai komponen kayu bangunan dapat ditingkatan. Kata kunci: bahaya pelapukan kayu, jamur pelapuk, bangunan rumah, Pulau Jawa
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam betuk apa pun tanpa izin IPB.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
ANALISIS BAHAYA PELAPUKAN KAYU PADA PERUMAHAN DI PULAU JAWA
TRISNA PRIADI
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu dan Pengetahuan Kehutanan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Anita Firmanti (Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman, Kementerian Pekerjaan Umum) Dr. Ir. Bonny PW Soekarno (Staf Pengajar Departemen Proteksi Tanaman, Institut Pertanian Bogor) Penguji pada Ujian Terbuka : Dr. Ir. Iskandar Saleh, MCP. MA (Sekretaris Kementerian Negara Perumahan Rakyat) Dr. Ir. Naresworo Nugroho, MS (Staf Pengajar Departemen Hasil Hutan, Institut Pertanian Bogor)
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
Judul Disertasi: Nama NRP
: :
Analisis Bahaya Pelapukan Kayu pada Perumahan di Pulau Jawa Trisna Priadi E. 061040011
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. H. Dodi Nandika, MS Ketua
Prof. Dr. Ir. H. Kurnia Sofyan
Dr. Ir. H. Achmad, MS
Anggota
Anggota
Dr. Arief Budi Witarto, M.Eng Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Prof. Dr. Ir. Fauzi Febrianto, MS
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr
Tanggal Ujian :
Tanggal Lulus:
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga rangkaian penelitian dan karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Karya ilmiah berjudul Analisis Bahaya Pelapukan Kayu pada Perumahan di Pulau Jawa ini, selain didasarkan atas penelitian lapang yang dilakukan di sejumlah daerah di Pulau Jawa, juga didasarkan atas penelitian skala laboratorium di Institut Pertanian Bogor dan di Hokkaido University. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Dodi Nandika, MS, Bapak Prof. Dr. Ir. Kurnia Sofyan, Bapak Dr. Ir. Achmad, MS, dan Bapak Dr. Arief Budi Witarto, M.Eng selaku pembimbing atas arahan dan motivasi yang diberikan selama proses studi doktor.
Ucapan terima kasih juga penulis
sampaikan kepada Dirjen Pendidikan Tinggi atas pemberian Beasiswa Program Pascasarjana (BPPS) dan dukungan bagi program sandwich ke Hokkaido University.
Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Yutaka
Tamai, PhD yang telah memberikan bimbingan dan fasilitas penelitian di Hokkaido University. Penghargaan yang tinggi penulis sampaikan juga kepada Ibu Dr. Ir. Anita Firmanti, MT dan Bapak Dr. Ir. Bonny PW Soekarno sebagai penguji luar komisi dalam ujian tertutup serta Dr. Ir. Iskandar Saleh, MCP. MA dan Dr. Ir. Naresworo Nugroho, MS sebagai penguji luar komisi dalam ujian terbuka. Ungkapan terima kasih disampaikan kepada ayahanda Adang Hermawan (alm), ibunda Entin Surtiati, istri tercinta Nunun Nurlaila, anak-anak permata hati Maryam Hanifah Mardliyyah, Muhammad Shiddiq Abdussalam, dan Asma Taqiyyah serta seluruh keluarga dan sahabat atas segala dukungan, kesabaran, kasih sayangnya dan do’anya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2011 Trisna Priadi
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sukabumi pada tanggal 25 April 1967 dari ayah Drs. Adang Hermawan dan ibu Entin Surtiati. Penulis merupakan anak ke enam dari sepuluh bersaudara. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor (IPB), lulus pada tahun 1990. Penulis melanjutkan studi di School of Engineering, University of Tasmania dan menamatkannya pada tahun 2002. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada Program Studi Ilmu dan Pengetahuan Kehutanan diperoleh pada tahun 2004 dengan Beasiswa Program Pascasarjana (BPPS), Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan Nasional. Penulis bekerja sebagai dosen di Fakultas Kehutanan IPB sejak tahun 1994. Bidang pengajaran dan penelitian yang ditekuni pada mulanya adalah struktur dan sifat kayu, namun kemudian penulis lebih banyak mendalami bidang biodeteriorasi dan peningkatan mutu kayu khususnya melalui pengeringan dan pengawetan kayu. Selama mengikuti program S3, penulis juga menjadi anggota MAPEKI (Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia) yang setiap tahun menyelenggarakan seminar nasional. Karya ilmiah berjudul Above Ground Degradation of Woods in Some Cities in Java telah dipresentasikan dalam The 2nd International Symposium of Indonesian Wood Research Society (IwoRS) di Bali pada bulan November 2010. Sebuah artikel telah diterbitkan dengan judul Biodeteriorasi Komponen Kayu Rumah di Beberapa Daerah yang Berbeda Suhu dan Kelembabannya dalam Jurnal Teknologi Hasil Hutan. Artikel lain berjudul Perubahan Sifat Kimia Kayu Sengon dan Pinus oleh Jamur Pelapuk Schizophyllum commune dan Ganoderma applanatum dalam Jurnal Nusa Sylva. Kedua jurnal tersebut terbit pada tahun 2010. Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
DAFTAR ISI Halaman I.
PENDAHULUAN ................................................................................. 1 Latar Belakang .................................................................................... 1 Rumusan Permasalahan ...................................................................... 3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................ 3
II.
TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 4 Kayu sebagai Bahan Bangunan ............................................................ 4 Bahaya Pelapukan Kayu pada Bangunan Rumah ................................ 6 Deteriorasi Kayu oleh Jamur Pelapuk .................................................. 8 Diagnosis Pelapukan Kayu ............................................................... 16
III.
BAHAN DAN METODE .................................................................... 18 Analisis Kelas Bahaya Pelapukan Kayu di Pulau Jawa ...................... 18 Survey Pelapukan Kayu pada Bangunan Rumah ................................ 19 Identifikasi Jenis dan Karakteristik Jamur Penyebab Pelapukan Pada Bangunan Rumah ....................................................................... 22 Analisis Dampak Degradasi Kayu oleh Jamur Pelapuk ...................... 29
IV.
KELAS BAHAYA PELAPUKAN KAYU DI PULAU JAWA ............ 37
V.
FREKUENSI DAN INTENSITAS SERANGAN JAMUR PELAPUK PADA BANGUNAN RUMAH SERTA KERUGIAN YANG DITIMBULKANNYA.............................................................. 44
VI.
JENIS DAN KARAKTERISTIK JAMUR PENYEBAB PELAPUKAN PADA BANGUNAN RUMAH ..................................... 56 Identifikasi Jamur Pelapuk Kayu ....................................................... 56 Uji Oksidasi Jamur Pelapuk Kayu ...................................................... 65 Pertumbuhan Jamur Pelapuk pada Berbagai Suhu Inkubasi ................ 67 Pertumbuhan Jamur Pelapuk pada Berbagai pH Media ...................... 69
VII. DAMPAK SERANGAN JAMUR PELAPUK TERHADAP SIFATSIFAT KAYU ...................................................................................... 71 Pengaruh Serangan Jamur Pelapuk terhadap Struktur Anatomi Kayu ........ .......................................................................................... 71 Pengaruh Serangan Jamur Pelapuk terhadap Sifat Kimia Kayu ....... ... 80 Pengaruh Serangan Jamur Pelapuk terhadap Berat Kayu ....... ............. 84 Pengaruh Serangan Jamur Pelapuk terhadap Berat Jenis Kayu ....... .... 87 Pengaruh Serangan Jamur Pelapuk terhadap Modulus Lentur dan Modulus Patah Kayu ....... ................................................................... 88 Uji Lapang Pelapukan Kayu ............................................................... 90
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
xiv Halaman VIII. PEMBAHASAN UMUM ..................................................................... 96 IX. KESIMPULAN..................................................................................... 105 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................ 107 LAMPIRAN ...................................................................................... 115
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
DAFTAR TABEL Halaman 1 Kriteria kelas bahaya pelapukan kayu...................................................... 18 2 Klasifikasi pelapukan kayu berdasarkan karakteristik yang nampak pada kayu .............................................................................................. 21 3 Siklus pemanasan dalam PCR ................................................................ 26 4 Kelas kecepatan pertumbuhan miselium jamur pelapuk kayu pada media PDA ............................................................................................ 29 5 Klasifikasi tingkat deteriorasi kayu oleh jamur pelapuk berdasarkan persentase kehilangan beratnya .............................................................. 33
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Pengujian sifat mekanis kayu yang telah diumpankan terhadap jamur pelapuk kayu ............................................................................... 35
2
Susunan contoh uji kayu kamper dan sengon pada pengujian lapangan pelapukan kayu tidak menyentuh tanah ................................. 36
3
Peta kelas bahaya pelapukan kayu di Pulau Jawa .................................. 39
4
Persentase rumah terserang jamur pelapuk di 10 daerah survey ............ 44
5
Persentase komponen lapuk pada bangunan rumah .............................. 45
6
Pengelupasan cat dan serangan jamur pada lisplang ............................ 46
7
Genting yang bergeser menyebabkan pembasahan lisplang dan memicu pelapukan kayu ...................................................................... 48
8
Volume kerusakan kayu oleh jamur pelapuk pada berbagai kelas umur bangunan rumah ......................................................................... 50
9
Persentase jenis pelapukan kayu pada bangunan rumah ........................ 51
10
Kerugian ekonomi per unit rumah akibat pelapukan kayu .................... 53
11
Kerugian ekonomi akibat pelapukan kayu pada bangunan rumah di sepuluh kota di Pulau Jawa ............................................................... 54
12
Isolat jamur DE, SC, dan PB pada media PDA (potato dextrose agar) .................................................................................................... 57
13
Hifa jamur DE, SC, dan PB................................................................... 58
14
Pertumbuhan miselia jamur PB, SC dan DE pada media serbuk kayu sengon dan pinus ......................................................................... 59
15
Tubuh buah jamur SC pada kayu sengon, lamela pada permukaan bagian bawah tubuh buah, dan jejak spora ............................................ 61
16
Tubuh buah jamur DE pada rangka plafon dan pori-pori pada permukaan bagian bawah tubuh buah .................................................. 62
17
Tubuh buah jamur PB pada kusen pintu, penampang irisan melintang tubuh buah, dan pori-pori pada permukaan bagian bawah tubuh buah ................................................................................ 63
18
Hasil gel electrophoresis produk PCR dari rDNA jamur PB, jamur SC dan jamur DE ................................................................................ 65
19
Pewarnaan yang terjadi pada media guaiacol setelah diinokulasi jamur DE, jamur SC, dan jamur PB ...................................................... 66
20
Pertumbuhan diameter miselia jamur pelapuk S. commune dan G. applanatum pada berbagai suhu inkubasi ............................................. 67
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
xvii 21
Pertumbuhan miselia jamur pelapuk S. commune pada media PDA (pH7) hingga 10 hari inkubasi dan setelah 34 hari inkubasi ......... 69
22
Pertumbuhan diameter miselia jamur pelapuk S. commune dan G. applanatum pada berbagai pH media ................................................... 70
23
Hifa (h) jamur pelapuk G. applanatum dalam saluran interseluler (i) dan sel jari-jari (j) kayu pinus serta dalam sel pembuluh kayu sengon ................................................................................................ 71
24
Hifa (h) jamur pelapuk S. commune dalam saluran interseluler (i) dan sel jari-jari (j) kayu pinus serta dalam sel pembuluh (p) kayu sengon ............................................................................................... 72
25
Noktah sederhana (a) menghubungkan dua sel parenkim; noktah halaman (b) menghubungkan rongga antar dua sel trakeid; dan noktah setengah halaman (c) menghubungkan sel trakeid dengan sel parenkim ........................................................................................ 74
26
Bagian noktah pada dinding sel kayu pinus yang terdegradasi oleh jamur pelapuk G. applanatum .............................................................. 76
27
Bagian noktah pada dinding sel kayu pinus yang terdegradasi oleh jamur pelapuk S. commune.................................................................... 77
28
Bagian noktah pada dinding sel kayu sengon yang terdegradasi oleh jamur pelapuk G. applanatum ...................................................... 77
29
Rongga-rongga (r) yang terbentuk oleh jamur pelapuk G. applanatum pada kayu sengon (a) dan pinus (b) . .................................. 78
30
Rongga-rongga (r) yang terbentuk oleh jamur pelapuk S. commune pada kayu sengon (a) dan pinus (b) . ..................................... 79
31
Perubahan warna media serbuk kayu setelah diinokulasi dengan jamur G. applanatum (GS) dan S. commune (SS) selama dua minggu (S=kontrol) .............................................................................. 80
32
Kadar selulosa dan lignin media serbuk kayu pinus (a) dan sengon (b) setelah 12 minggu uji biodeteriorasi dengan jamur pelapuk G. applanatum dan S. commune ................................................................ 81
33
Kolonisasi jamur G. applanatum (a) dan S. commune (b) pada contoh uji kayu ..................................................................................... 84
34
Penurunan berat kering kayu kamper (a), pinus (b), dan sengon (c) oleh jamur pelapuk G. applanatum dan S. commune ....................... 85
35
Berat jenis kayu kamper, pinus, dan sengon setelah pengumpanan terhadap jamur pelapuk G. applanatum dan S. commune ....................... 87
36
MOE (modulus lentur) kayu kamper, pinus, dan sengon setelah pengumpanan terhadap jamur pelapuk G. applanatum dan S. commune ............................................................................................. 89
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
xviii 37
MOR (modulus patah) kayu kamper, pinus, dan sengon setelah pengumpanan terhadap jamur pelapuk G. applanatum dan S. commune .............................................................................................. 90
38
Pengaruh indeks pelapukan daerah terhadap modulus lentur (MOE) kayu dalam uji lapang pelapukan . ............................................ 92
39
Pengaruh indeks pelapukan daerah terhadap modulus patah (MOR) kayu dalam uji lapang pelapukan . ............................................ 93
40
Pewarnaan pada kayu kamper (K) dan sengon (S) dalam uji lapangan pelapukan ............................................................................. 94
41
Diagram keterkaitan empat faktor resiko pelapukan kayu pada bangunan rumah .................................................................................. 98
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Suhu udara, kelembaban udara, curah hujan bulanan, dan jumlah hari hujan bulanan di kabupaten/ kota di Pulau Jawa ........................... 116
2
Indeks pelapukan dan kelas bahaya pelapukan di kabupaten/ kota di Pulau Jawa ...................................................................................... 118
3
Lembar survey biodeteriorasi pada bangunan rumah contoh ............... 120
4
Tally sheet diagnosa biodeteriorasi pada bangunan rumah contoh ...... 122
5
Contoh perhitungan kerugian ekonomi akibat serangan jamur pelapuk pada rumah contoh ................................................................ 123
6
Perbandingan volume asam sitrat 0,1 M dan sodium fospat 0,2 M dalam pengaturan pH media PDA ....................................................... 124
7
Jumlah bangunan rumah terserang jamur pelapuk di sepuluh daerah di Pulau Jawa........................................................................... 125
8
PCR Sequences dari tiga spesimen jamur yang diisolasi dari komponen bangunan yang lapuk ......................................................... 126
9
Electropherogram hasil sequensing jamur DE dengan ITS1F .............. 128
10
Electropherogram hasil sequensing jamur DE dengan ITS4B .............. 129
11
Electropherogram hasil sequensing jamur PB dengan ITS1F............... 130
12
Electropherogram hasil sequensing jamur PB dengan ITS4B .............. 131
13
Electropherogram hasil sequensing jamur SC dengan ITS1F............... 132
14
Electropherogram hasil sequensing jamur SC dengan ITS4B .............. 133
15
Diameter dan pertumbuhan miselium S. commune dan G. applanatum pada media PDA dalam variasi suhu ................................ 134
16
Diameter dan pertumbuhan miselium S. commune dan G. applanatum pada media PDA dalam variasi pH .................................. 135
17
Analisis ragam kadar lignin dan selulosa media serbuk kayu dalam uji biodeteriorasi oleh jamur pelapuk. ....................................... 136
18
Analisis ragam penurunan berat kayu dalam uji biodeteriorasi oleh jamur pelapuk ............................................................................. 138
19
Analisis ragam berat jenis kayu dalam uji biodeteriorasi oleh jamur pelapuk kayu ............................................................................. 140
20
Analisis ragam pengaruh serangan jamur pelapuk terhadap modulus lentur (MOE) dan modulus patah (MOR) kayu ..................... 141
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
xx Halaman 21
Analisis ragam dan uji korelasi indeks pelapukan daerah dengan nilai modulus lentur (MOE) dan modulus patah (MOR) sebagai indikator degradasi kayu dalam uji lapang pelapukan kayu ................. 143
22
Hubungan beberapa unsur iklim dengan modulus lentur (MOE) dan modulus patah (MOR) kayu dalam uji lapang biodeteriorasi kayu .................................................................................................... 145
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Pulau Jawa merupakan pulau kelima terbesar dan terpadat penduduknya di Indonesia. Luas daratannya 129.438,28 km2 dengan jumlah penduduk mencapai 136.563.142 jiwa atau 57,5% dari jumlah penduduk Indonesia. Pulau ini juga merupakan
yang
terpadat
penduduknya
(1.055
jiwa/km2)
dengan
laju
pertumbuhan 1,19% per tahun (Badan Pusat Statistik 2010a). Dengan demikian pada tahun 2025 jumlah penduduknya diperkirakan mencapai 163 juta jiwa. Secara ekonomis posisi Pulau Jawa juga sangat strategis karena sebagian besar industri dan simpul-simpul perdagangan terletak di pulau ini. Bahkan kotakota besar, termasuk ibu kota negara terletak di Pulau Jawa. Dengan perkataan lain, Pulau Jawa merupakan pusat perekonomian terbesar di Indonesia. Pada triwulan kedua tahun 2010 kontribusi terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) dari Pulau Jawa mencapai 57,5% (Badan Pusat Statistik 2010b). Ketersediaan infrastruktur di Pulau Jawa juga relatif paling baik di Indonesia. Demikian juga pendapatan perkapitanya. Pada tahun 2008 nilai investasi dalam negeri dan luar negeri di pulau ini berturut-turut mencapai 12,2 triliun rupiah dan 13,6 milyar dollar Amerika atau sekitar 60% dan 91% dari total investasi di Indonesia. Tingginya laju pembangunan di Pulau Jawa juga tercermin dari indeks pembangunan manusia (IPM). Di keenam propinsi di Pulau Jawa yaitu Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Jawa Timur, IPM rata-ratanya berkisar antara 69,3 sampai 76,6, lebih baik dibandingkan dengan IPM di pulau-pulau lainnya di Indonesia (Badan Pusat Statistik 2009). Seiring dengan tingginya populasi penduduk, pertumbuhan ekonomi dan geliat pembangunannya, kebutuhan perumahan di Pulau Jawa juga sangat besar dan terus meningkat secara signifikan (3,5% per tahun) (Pusat Penelitian dan Pengembangan Pemukiman 2009).
Pada tahun 2008 di Pulau Jawa terdapat
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
2 sekitar 32,1 juta unit rumah (Badan Pusat Statistik 2008), kemudian meningkat menjadi 32,9 juta unit rumah pada tahun 2010. Bahkan pada tahun 2025 di Pulau Jawa diperkirakan terdapat sekitar 39,4 juta unit rumah. Besarnya populasi rumah tersebut sejalan dengan besarnya nilai pembangunan konstruksi dan instalasi di Pulau Jawa yang mencapai 59,4 triliun rupiah atau sekitar 62% dari nilai konstruksi dan instalasi di Indonesia. Pembangunan perumahan, gedung dan berbagai konstruksi lainnya tidak terlepas dari penggunaan bahan kayu yang pada kenyataannya di pasaran sekarang ini lebih didominasi oleh jenis kayu yang tidak awet (non-durable species). Selain itu penggunaan kayu dari pohon-pohon berumur muda sejak dua puluh tahun terakhir ini semakin memperburuk kerentanan bangunan rumah terhadap ancaman pelapukan kayu (wood decay). Padahal pelapukan dapat menyebabkan penurunan kemampuan kayu dalam menahan beban pada struktur bangunan rumah. Bangunan dapat menjadi tidak stabil bahkan mengalami kerusakan. Hal ini membahayakan bagi keselamatan penghuni bangunan tersebut.
Secara
ekonomis pelapukan kayu pada bangunan rumah juga merugikan, karena masyarakat harus mengeluarkan biaya perbaikan dan biaya tidak langsung terkait dengan kerusakan struktur bangunan. Biaya perbaikan kerusakan akibat jamur pelapuk kering di Inggris setidaknya 156 juta pound sterling per tahun (Schmidt 2007). Di Amerika Serikat, untuk perbaikan bangunan-bangunan yang lapuk oleh jamur menggunakan 10% produksi kayu tahunannya (Lyon 1991). Adapun di wilayah bekas Jerman Timur pelapukan kayu pada rumah-rumah tua senilai 1,5 milyar Euro (Huckfeldt 2003a). Selain menimbulkan kerugian ekonomis, secara tidak langsung pelapukan kayu pada perumahan juga menimbulkan beban ekologis karena umur pakai kayu bangunan menjadi relatif pendek sehingga konsumsi kayu dari hutan menjadi relatif tinggi. Hal ini dapat memperburuk laju deforestasi yang menimbulkan masalah lingkungan dan dampak lainnya.
Oleh karena itu pencegahan dan
pengendalian pelapukan kayu pada bangunan rumah perlu mendapat perhatian, termasuk pengetahuan dan landasan ilmiah tentang potensi terjadinya pelapukan kayu.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
3 Rumusan Permasalahan Ditinjau dari aspek demografis, sosial, ekonomi, dan politis bahkan pertahanan dan keamanan, Pulau Jawa dapat dikatakan merupakan daerah paling strategis di Indonesia. Tingginya populasi dan pertumbuhan penduduk, tingginya pertumbuhan permukiman, serta besarnya konsumsi kayu bangunan di Pulau Jawa menyebabkan perhatian akan pengendalian pelapukan kayu bangunan rumah di Pulau Jawa sangat penting dan strategis. Ancaman pelapukan kayu yang tinggi tersebut didukung oleh iklim tropis yang hangat dan lembab serta keberadaan aneka jenis mikroorganisme penyebab pelapukan kayu bangunan. Secara teknis pelapukan mengakibatkan struktur bangunan menjadi tidak kokoh dan membahayakan bagi penghuninya.
Masyarakat juga mengalami
kerugian karena harus memperbaiki kerusakan rumahnya akibat pelapukan. Selain itu pelapukan kayu pada bangunan rumah juga menambah beban ekologis karena umur pakai kayu menjadi pendek dan konsumsi kayu dari hutan menjadi tinggi.
Sementara itu pengetahuan tentang potensi pelapukan kayu pada
bangunan rumah di Indonesia sangat langka, khususnya tentang kelas bahaya pelapukan (decay hazard class).
Padahal informasi tersebut sangat penting
sebagai salah satu landasan ilmiah bagi perumusan kebijakan pemerintah dalam pengendalian pelapukan kayu pada bangunan rumah di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa.
Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan mengungkapkan tingkat bahaya pelapukan kayu pada bangunan perumahan di Pulau Jawa berdasarkan analisis terhadap kondisi iklim/ cuaca, potensi jamur pelapuk kayu, dan karakteristik bangunan perumahan di Pulau Jawa. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi landasan ilmiah bagi perumusan kebijakan pemerintah dalam pengendalian pelapukan pada bangunan perumahan. Keberhasilan dalam pengendalian pelapukan kayu bangunan akan berkontribusi terhadap peningkatan efisiensi dan efektivitas pemanfaatan kayu di masa datang.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Kayu sebagai Bahan Bangunan Isu green building (bangunan ramah lingkungan) kini semakin meningkat terutama di negara-negara maju. Dalam sebuah survey di Kanada tahun 2004, sekitar 48,7% responden meyakini bahwa produk kayu merupakan pilihan yang paling ramah lingkungan dibandingkan produk dari baja dan beton, karena kayu dapat diperbaharui dan didaur ulang serta dapat mengurangi gas karbon. Setiap tahun manusia melepaskan 8 miliyar ton kubik karbon ke udara dalam penggunaan energi hariannya. Pepohonan dan lautan menyerap sebagian besar karbondioksida tersebut.
Ketika pohon ditebang karbon tersimpan selama
penggunaanya sebagi rumah, bangunan, furniture, dan sebagainya. Sekitar 216 m2 bangunan berangka kayu menyimpan 28,5 ton CO2 yang setara dengan emisi mobil kecil selama lebih dari tujuh tahun. Pengolahan kayu juga relatif rendah penggunaan energinya. Kayu juga merupakan isolator panas yang lebih baik daripada baja dan beton sehingga dapat menghemat energi pemanasan dan ventilasi dalam bangunan. Selain itu bangunan kayu paling kecil resikonya dari bencana gempa dan badai dibandingkan dengan bangunan dari bahan lainnya (The Canadian Wood Council 2010). Konstruksi kayu teruji baik dalam stabilitas dan keamanan dalam simulasi 7,5 skala gempa selama 40 detik (American Wood Council 2009). Pengerjaan kayu membutuhkan energi yang lebih sedikit dibandingkan dengan bahan bangunan lainnya.
Pembuatan rangka bangunan dari kayu
menggunakan 17% dan 16% energi yang lebih kecil dibandingkan dengan konstruksi dari bahan baja dan beton. Berarti penggunaan kayu memiliki 26%31% lebih kecil potensi pemanasan global. Emisi polutan udara dari konstruksi kayu juga 14% dan 23% lebih rendah dibandingkan penggunaan bahan baja dan beton. Emisi polutan air dari konstruksi bahan baja 300% lebih tinggi daripada
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
5 bahan kayu, sedangkan konstruksi beton menimbulkan 51% lebih banyak limbah padat daripada konstruksi kayu (Oregon State University 2004). Sebagai bahan alami, kayu memiliki karakteristik yang harus difahami agar penggunaannya
dapat
secara
rasional.
Sifat-sifat
unggul kayu
telah
menjadikannya sebagai bahan yang senantiasa diminati masyarakat dan semakin tinggi permintaannya di pasaran. Holley (2009) menjelaskan bahwa walaupun metal, beton, dan plastik banyak menggantikan penggunaan kayu, tapi kekuatan, sifat isolasi, daya guna, kemudahan pengerjaan, dan keindahan alaminya masih menjadikan kayu sebagai bahan bangunan pilihan. Oleh karena itu setengah dari produksi kayu di Amerika Serikat dijadikan kayu gergajian terutama untuk bangunan dan banyak juga untuk perabot rumah. Kayu adalah bahan yang relatif ringan tapi sangat kuat sebagai bahan bangunan. Balok kayu besar lebih tahan dalam kebakaran, karena lapisan arang yang terbentuk melindungi bagian dalamnya sehingga memperlambat penurunan kekuatannya.
Selain itu kayu juga dapat terurai alami (FWC 2005).
Kayu
merupakan bahan bangunan yang paling banyak digunakan di Amerika Serikat karena karakteristiknya yang cocok untuk berbagai penggunaan.
Tapi hal
terpentingnya adalah kayu merupakan bahan alam yang bisa diperbaharui. Dengan manajemen hutan dan praktek pemanenan secara lestari, sumber kayu akan tersedia selamanya (Falk 2009). Sebagai bahan baku, kayu memiliki kelemahan, diantaranya adalah dapat terbakar, dapat menyusut, dan adanya variasi sifat dalam jenis yang sama, bahkan dalam batang pohon yang sama (Aghayere & Vigil 2007). Namun kelemahan kayu yang terpenting yaitu dalam kondisi tertentu kayu terdegradasi oleh organisme sebagai bagian dari siklus biologis (Schmidt 2006). Penggunaan kayu awet atau diawetkan serta teknik pemeliharaan yang baik menjadikan bangunan kayu dapat memiliki umur pakai yang lama hingga berabad-abad. Sebagai contoh adalah Todaiji Temple di Nara, Jepang merupakan bangunan kayu terbesar yang berdiri sejak tahun 752. Di sisi lain penggunaan bahan dan unsur-unsur alami seperti kayu dan sinar matahari dapat berpengaruh positif terhadap produktivitas pekerja dan pemulihan kesehatan pasien.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
6 Kehangatan dan sifat alami kayu memberi kesan lingkungan yang tenang. Oleh karena itu The Thunder Bay Regional Health Sciences Centre, Kanada, membangun 18.600 m2 koridor utama yang terbuat dari kayu dengan pengaturan cahaya siang secara alami dari matahari (The Canadian Wood Council 2010). Volume kayu yang dibutuhkan untuk konstruksi rumah bergantung pada tipe dan ukuran bangunan rumah tersebut.
Berdasarkan Keputusan Menteri
Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor 403/KPTS/M/2002, konstruksi rumah beton yang dindingnya dari batu bata, merupakan konstruksi dengan penggunaan bahan kayu paling minimal dibanding konstruksi rumah kayu. Konsumsi kayu untuk sebuah rumah beton minimal adalah 4 m3 kayu gergajian.
Dengan
pertumbuhan penduduk Pulau Jawa 1,19% per tahun, maka kebutuhan rumah setiap tahunnya lebih dari 400.000 unit rumah. Berarti kebutuhan kayu untuk konstruksi rumah di Pulau Jawa setiap tahunnya lebih dari 1,6 juta m3.
Bahaya Pelapukan Kayu pada Bangunan Rumah Menurut The American Heritage (2009), istilah decay atau rot (lapuk) diartikan sebagai kerusakan atau penguraian bahan organik sebagai akibat aktivitas bakteri atau jamur. Sedangkan istilah hazard (bahaya), menurut Agius (2009) dalam Oxford Dictionary sama dengan risk, chance, bad consequences, loss, dan expose to mischance. Tapi dalam bidang kesehatan lingkungan dan tempat tinggal istilah hazard bukan sinonim risk, tapi merupakan penentu penting bagi risk. Hazard merupakan potensi yang dapat menyebabkan kerusakan atau kecelakaan, sedangkan risk adalah kemungkinan terjadinya kerusakan atau kecelakaan tersebut. Sebagai contoh, potasium dikromat merupakan bahan kimia karsinogenik yang sangat beracun. Bahan ini digunakan untuk analisis kandungan alkohol melalui pernafasan. Untuk keperluan ini bahan tersebut disimpan dalam tabung sehingga walaupun bahan tersebut sangat berbahaya (highly hazardous substance), tidak menimbulkan resiko (risk) bagi penggunanya. Iklim memiliki pengaruh yang penting terhadap kecepatan pelapukan kayu dan umur pakai kayu.
Di Amerika Serikat daerah yang memiliki bahaya
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
7 pelapukan tinggi adalah wilayah Tenggara yang memiliki curah hujan tinggi, suhu yang hangat dan lembab.
Di wilayah Timur Laut pelapukan agak lambat,
sedangkan di wilayah Barat Daya bahaya pelapukan rendah karena cuacanya sangat kering (FPL 2000). Keberadaan air dan suhu merupakan faktor penting dalam proses pelapukan kayu. Sebagaimana yang dilaporkan oleh Gonzales et al.(2008) dari hasil uji pelapukan kayu aspen (Populus tremuloides) di hutan kering dan hutan lembab Utara (Alaska dan Minnesota), di daerah iklim temperate (iklim sedang) (Washington dan Idaho) dan daerah tropis (Puerto Rico). Kayu aspen paling cepat lapuk di daerah tropis, sedangkan yang paling lambat di daerah temperate. Daerah tropis lebih hangat dan lebih lembab dibandingkan dengan daerah temperate.
Masa kayu tersisa lebih tinggi di daerah Utara yang kering
dibandingkan daerah yang lembab. Ini juga menunjukkan pengaruh kelembaban udara terhadap pelapukan kayu. Luas areal hutan percobaan tidak berpengaruh terhadap pelapukan kayu. Selain itu tidak ada perbedaan laju pelapukan kayu aspen di pinggir dan di tengah hutan. Di daerah beriklim hangat dan lembab, komponen kayu pada umumnya lebih rawan terhadap pelapukan daripada di daerah yang dingin dan kering. Oleh arena itu perlindungan komponen kayu perlu lebih kuat di daerah lembab daripada di daerah kering. Menurut Lyon (1991), untuk mengganti kayu yang lapuk oleh jamur di Amerika Serikat dibutuhkan hampir 10% produksi kayu tahunan di Amerika Serikat. Kumi-Woode (1996) memetakan potensi bahaya pelapukan (decay hazard) kayu yang dipasang tanpa menyentuh tanah di berbagai zona ekologi di Ghana. Potensi bahaya pelapukan kayu di Ghana bervariasi dari kelas bahaya sedang hingga kelas bahaya sangat tinggi.
Wilayah bagian Barat memiliki potensi
pelapukan lebih tinggi dari wilayah bagian Timur. Sedangkan bagian Selatan berpotensi pelapukan lebih tinggi dibanding daerah Utara.
Curah hujan dan
kelembaban udara lebih mempengaruhi indeks pelapukan dibanding faktor suhu. Leicester (2001) memetakan kelas bahaya pelapukan kayu yang menyentuh tanah berdasarkan indeks iklim di Australia. Indeks iklim tersebut
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
8 merupakan fungsi dari curah hujan dan suhu rata-rata tahunan.
Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa Australia terbagi menjadi empat zona bahaya pelapukan. Zona A yang paling rendah potensi pelapukannya berada di bagian tengah benua. Semakin ke tepi benua potensi pelapukan kayu semakin besar. Zona D yang paling tinggi potensi bahaya pelapukannya berada di tepi benua bagian Utara hingga Timur. Kondisi permukaan kayu yang basah dibutuhkan oleh spora jamur agar bisa berkecambah menjadi hifa. Selanjutnya pertumbuhan hifa pada kayu bergantung pada kadar air kayu dan suhu.
Setiap jenis jamur membutuhkan kondisi
pertumbuhan yang dapat berbeda satu sama lain. Tapi secara umum di bawah suhu 5 oC jamur dorman, sedangkan di atas 65 oC jamur pada umumnya mati dalam beberapa jam. Pertumbuhan jamur juga sangat lambat pada kadar air kayu di bawah titik jenuh serat. Batas terendah kadar air kayu untuk pertumbuhan jamur adalah 19%, sedangkan batas tertingginya adalah ketika 80% rongga sel kayu terisi air.
Kondisi lainnya yang mempengaruhi kecepatan pertumbuhan
jamur adalah pH, ketersediaan nitrogen dan ketiadaan oksigen (Leicester 2001).
Deteriorasi Kayu oleh Jamur Pelapuk Biodeteriorasi didefinisikan sebagai kerusakan bahan yang disebabkan oleh organisme hidup (Allaby 2004). Jamur adalah salah satu organisme yang dapat mendepolimerisasi selulosa dan hemiselulosa menjadi senyawa gula sederhana oleh enzim yang dikeluarkannya yang kemudian diserap dan digunakan dalam metabolisme jamur.
Selain sebagai sumber makanan bagi jamur, kayu juga
merupakan substrat yang diperlukan untuk media tumbuh dan berkembang biak bagi jamur. Kayu merupakan bahan higroskopik yang bisa menyerap air dari sekitarnya.
Dalam konstruksi, kayu yang sering terkena air hujan langsung,
rembesan air, atau terkena tempiasnya, sering menjadi media tumbuh jamur yang baik. Kondisi menjadi lebih rawan bila kayu yang digunakan tergolong tidak awet dan tidak diberi perlakuan yang dapat meningkatkan ketahanannya dari serangan mikroorganisma, seperti perlakuan pengawetan dengan bahan kimia (Harris 2001).
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
9 Secara umum kolonisasi kayu oleh organisme terjadi secara dinamis oleh bakteri, jamur pewarna dan pelapuk lunak, kemudian Basidiomycetes. Urutan kolonisasi ini dalam kayu yang tidak diawetkan bisa terjadi dalam masa 70 hari. Adapun pelapukan yang terlihat memerlukan waktu lebih lama, yaitu sekitar 6 bulan pada kayu gubal yang tidak menyentuh tanah.
Waktu lama tersebut
terutama disebabkan oleh berkurangnya nutrisi yang diperlukan karena dipakai organisme lain.
Selain itu ada juga efek antagonis organisme lain, misalnya
Actinomycetes dan eubacteria. Kemampuan Actinomycetes, Ascomycetes dan bakteri mengawali serangan pada kayu juga disebabkan kemampuannya dalam mendetoksifikasi ekstraktif atau bahan pengawet (Nicholas & Crawford 2003). Menurut Harris (2001), kerusakan kayu oleh jamur pelapuk bisa semakin berat karena dapat mengundang serangan serangga perusak kayu.
Banyak
serangga yang tertarik menyerang kayu berkadar air tinggi, contohnya adalah rayap tanah. Hal lain yang disukai jamur adalah kondisi lembab dan hangat. Oleh karena itu sarang rayap yang kondisinya hangat dan lembab sangat ideal untuk pertumbuhan jamur yang menjadi sumber protein dan vitamin bagi koloni rayap. Sementara itu akumulasi kotoran rayap dalam sarang membantu pertumbuhan jamur. Serangan jamur mengakibatkan kayu mengalami perubahan warna, struktur, komposisi kimia dan sifat kayu (Harris 2001). Jamur yang menyerang kayu di dalam dan di sekitar bangunan umumnya dikelompokkan menjadi pelapuk kering dan pelapuk basah.
Jamur basah yang sering menyerang kayu adalah jamur
berkantung (Coniophora puteana), dan jamur berpori putih atau jamur pertambangan (Fibroporia vailantii).
Contoh jamur pelapuk basah lainnya
Amyloporia xantha, Poria placenta, Phellinus contiguus, Donkioporia expansa, Pleurotus ostreatus, Asterostroma spp, Paxillus pnuoides (Watt 1999). Pelapuk basah sering ditemukan pada sambungan eksternal, terutama pada rangka jendela bawah, tiang pintu ataupun kayu yang berhubungan dengan tanah, pada pintu garasi yang terkena air hujan, bahkan kayu pada atap yang terkena rembesan hujan. Pada kayu yang terserang terkadang tampak miselium berwarna hitam. Tubuh buah pelapuk basah jarang muncul di dalam bangunan, melainkan
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
10 di bagian ekstrenal.
Biasanya lebih kecil daripada pelapuk kering, berwarna
cokelat dan tipis melekat pada kayu yang terserang. Komponen yang terserang pelapuk basah harus segera diganti dengan kayu yang diawetkan (Glover 2006). Jamur pelapuk kering dapat menyalurkan air dari tempat lain sehingga bisa menyerang kayu kering. Kayu yang diserangnya menjadi kering pada pelapukan lanjut. Di awal serangan kayu menjadi kusam, kemudian menjadi cokelat. Pada akhir pelapukan kayu mengalami retak-retak melintang serat, penyusutan berlebihan, dan mudah hancur.
Hifa biasanya tidak tampak pada permukaan
kayu, hanya pada kondisi tertentu terlihat miselium. Hifa yang dimilikinya dapat panjang sekali (10–20 m), dinamakan rhizomorph. Hifa ini dapat menembus batu-bata, tembok dan dibalik plester yang lembab untuk mencari sumber kayu (Harris 2001). Jamur jamur pelapuk kering, Serpula lacrimans (Schumach. Ex Fr. Gray) merupakan jamur pelapuk yang terpenting yang menyerang bangunan di Eropa bagian Utara dan Tengah, juga di Jepang dan Australia. Selain kemampuannya yang kuat mendegradasi kayu, jamur ini juga dapat berpindah dari satu kayu ke kayu lainnya melewati permukaan bahan tanpa nutrisi (Singh 2002). Serangan pelapuk kering sering terjadi pada lantai, dibelakang panel dinding atau di dalam ruang atap yang udaranya hangat dan lembab karena ventilasi yang buruk. Miselium lapuk kering yang berwarna putih dapat menjalar ke manamana, selain itu juga memiliki rhizomorf yang dapat mengangkut air dari kayu lembab melalui daerah kering.
Penanggulangannya tidak cukup dengan
penggantian komponen terserang dengan kayu yang diawetkan, tapi juga harus disertai pengendalian bagian lain yang berhubungan dan mendukung lapuk tersebut (Glover 2006). Istilah pelapuk kering dan pelapuk basah sebenarnya kurang tepat, karena semua jamur pelapuk membutuhkan kadar air kayu di atas 20%. Berdasarkan sifat degradasinya pada kayu, jamur pelapuk kayu digolongkan menjadi pelapuk putih dan pelapuk cokelat. Ada juga yang disebut pelapuk lunak tapi tingkat perusakannya lebih ringan.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
11 Pelapukan Kayu oleh Jamur Pelapuk Putih Jamur pelapuk putih banyak berasal dari Basidiomycetes dan jarang dari Ascomycetes. Beberapa jamur pelapuk putih yang penting diantaranya adalah Armilaria melea, Donkioporia expansa, Fomes fomentraius, Heterobasidion annosum,
Meripilus
giganteus,
Phellinus
pini,
Polyporus
squamosus,
Schizophyllum commune, Stereum sanguinolentum, Trametes versicolor (Schmidt 2006). Jamur pelapuk putih sering menyerang bagian gubal dan teras dari kayu daun lebar (Wong et al. 2004). Jamur pelapuk putih lebih banyak menyerang kayu daun lebar daripada kayu daun jarum. Pada pelapukan lanjut kayu tampak seperti spong atau massa berserabut dengan kantung-kantung atau garis-garis putih di antara bagian kayu yang masih utuh (Harris 2001). Selain itu ciri serangan jamur pelapuk putih adalah tidak ada retak melintang serat. Kayu yang terserang jamur pelapuk putih mengalami penurunan kekuatan secara bertahap hingga pada akhirnya berbentuk spong. Serangan jamur pelapuk ini mengakibatkan kehilangan berat kayu, karena ada bagian dinding sel yang hilang. Secara umum kayu lapuk putih tidak terlihat mengalami penyusutan dan collapse. Bentuk kayu relatif tidak berubah walau pada pelapukan lanjut. Luna et al. (2004) menjelaskan bahwa setelah inkubasi selama 75 dan 150 hari, penurunan berat kayu poplar oleh Pycnoporus sanguineus dan Ganoderma lucidum relatif sama (50-60%), tapi pengamatan dengan mikroskop menunjukkan perbedaan pola pelapukan.
Serangan P. sanguineus merupakan delignifikasi
selektif, sedangkan serangan G. lucidum merupakan kombinasi pelapukan simultan dan delignifikasi selektif. Dalam delignifikasi selektif, terjadi pemisahan antar sel, sedangkan dalam pelapukan simultan, terjadi erosi, penipisan dinding sel, pelubangan, erosi noktah, dan erosi saluran-saluran. Beberapa jamur pelapuk putih lebih dulu menyerang hemiselulosa dan lignin, tapi ada juga yang menyerang semua komponen dinding sel dengan kecepatan yang sama (Ridout 2004). Sebagai contoh, Trametes versicolor dan Phanerochaete chrysosporium lebih menyerang lignin daripada selulosa.
P.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
12 chrysosporium juga menyerang lignin dan hemiselulosa dalam kecepatan yang sama (Huang et al. 2004). Proses dekomposisi kayu terjadi secara hidrolisis dan oksidasi sehingga ikatan kimia terpecah melalui dehidrogenasi oleh oksigen.
Jamur pelapuk
memiliki enzim selulase (endoselulase dan eksoselulase), hemiselulase, Bglukosidase, oksidase, dan enzim perusak lignin, yang digunakan secara simultan untuk menguraikan polimer kayu (Harris 2001). Pendegradasi polisakarida, selulase dan hemiselulase memfasilitasi reaksi hidrolisis dan oksidasi. monomer sakarida.
Selulase menghidrolisis polimer selulosa menjadi
Dalam hal ini terjadi reaksi sinergis, eksoselulase
menghidrolisis selulosa kristalin menjadi selobiosa, sedangkan endoselulase menghidrolisis selulosa amorf menjadi oligosakarida. Selobiosa diubah menjadi glukosa oleh glukohidrolase yang merupakan bentuk hidrolisis dari Bglukosidase. Adapun enzim oksidase mereduksi selulosa menjadi selobiosa dan glukosa. Enzim oksidase ini berperan dalam mencegah akumulasi hasil akhir hidrolisis, yang dapat menghentikan reaksi kimia dan menurunkan ketersediaan monomer glukosa sebagai nutrisi utamanya (Harris 2001). Hemiselulosa yang terbentuk dari xylan, manan, dan galaktan harus diuraikan dengan enzim xylanase, manase, dan galaktanase. Degradasi lignin terjadi oleh mekanisme radikal pengoksidasi, melibatkan lignin peroksidase (ligninase) dan hidrogen peroksida (Harris 2001). Kolonisasi antar sel kayu oleh hifa pelapuk putih terutama terjadi melalui noktah dan melalui lubang yang dibuatnya. Setelah hifa masuk ke dalam lumen, terjadi degradasi lapisan S3, S2, dan S1. Pada akhirnya dinding primer dan lamela tengah juga dirusak sehingga sel-sel kayu terpisah (Harris 2001). Hal ini dikuatkan oleh Bowyer et al. (2003) bahwa pelapuk putih mengikis dinding sel dari lumen ke luar dinding sel, sehingga menjadi tipis, tapi kayu tidak menyusut, retak ataupun collapse. Bentuk kayu relatif tetap, tapi menjadi masa serabut terurai dan berongga-rongga.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
13 Pelapukan Kayu oleh Jamur Pelapuk Cokelat Jamur pelapuk yang banyak menyerang bangunan di Finlandia adalah Serpula lacrimans, Poria/Antrodia sp. dan Coniophora puteana yang semuanya tergolong jamur pelapuk cokelat (Venalainen et al. 2002). Di Malaysia serangan jamur pelapuk cokelat jarang ditemui pada kayu daun lebar, kecuali dalam pohon berdiri, berupa lapuk hati (Wong et al. 2004). Beberapa jamur pelapuk cokelat memiliki struktur seperti akar dinamakan rhizomorphs yang berfungsi sebagai pipa penyalur air sehingga bisa menyerang kayu yang relatif kering. Dengan demikian jamur ini dinamakan juga jamur pelapuk kering (dry rot fungus). Dua jamur pelapuk cokelat yang penting di Amerika adalah pelapuk basah (Coniophora cerebella) dan pelapuk kering (Merulius lacrimans). Terdapat lebih dari 100 jenis jamur pelapuk cokelat yang pada umumnya dari subdivisi Basidiomycetes. Sebagai contoh yang umum di Amerika Utara adalah: cellular fungus, scaly lentinus, Oligoporus placenta, Gloephyllum trabeum, maze gill, dan jamur pelapuk kering (Meruliporia incrasata) (Harris 2001).
Sedangkan di Inggris menurut Watt (1999), jamur
pelapuk cokelat penting yang menyerang produk kayu adalah jamur pelapuk kering (Serpula lacrymans), jamur berkantung (Coniophora puteana), dan jamur berpori putih atau jamur pertambangan (Fibroporia vaillanti). Ridout (2004) menyatakan bahwa jamur pelapuk cokelat dapat masuk ke dalam kayu, sehingga terkadang bagian luar kayu tampak masih baik. Jamur tumbuh dalam rongga-rongga kayu. Enzim yang dihasilkannya menyebabkan depolimerisasi dinding sel sekunder secara cepat.
Hal ini menyebabkan
penurunan kekuatan drastis diawal pelapukan. Pelapukan kayu oleh jamur pelapuk cokelat menyebabkan kerusakan struktur secara cepat. Oleh karena itu lapuk cokelat perlu dideteksi secara dini sehingga tindakan penanggulangan dapat dilakukan untuk menghentikan pertumbuhan jamur sebelum kerusakan struktur. Walaupun di awal serangan pelapukan ini tidak menunjukkan kerusakan yang terlihat, perubahan kimia akibat kerja enzim menimbulkan penurunan kekuatan yang nyata (Clausen & Kartal
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
14 2003).
Pelapuk cokelat dapat mengkonsumsi hingga 2/3 total bahan kayu
(Bowyer et al. 2003). Jamur pelapuk cokelat lebih menyerang selulosa dan hemiselulosa, tapi tidak mampu mengurai lignin, kecuali sekedar memodifikasinya (menurunkan kandungan metoksil dan meningkatkan kelarutannya).
Matriks lignin cokelat
yang rapuh disisakan sehingga ketika kering terjadi retakan dan membentuk kubus-kubus.
Jamur pelapuk cokelat umumnya menyerang kayu daun jarum
(Ridout 2004). Huang et al. (2004) juga melaporkan bahwa Coniophora puteana lebih melapukkan selulosa dan hemiselulosa daripada lignin.
Selulosa dalam dinding
sel kayu dirusak secara acak sejak tahap awal pelapukan, sehingga kekuatan kayu berkurang secara nyata . Jamur pelapuk cokelat tidak punya exo-1,4-glucanase (enzim penghidrolisis kristal selulosa atau selulosa alam). Selain itu ukuran rongga-rongga dinding sel kayu terlalu kecil untuk dapat dilewati secara bebas oleh enzim jamur pelapuk cokelat. Polisakarida dalam dinding sel kayu dapat terdegradasi dengan mudah pada jarak tertentu dari hifa jamur pelapuk cokelat. Berarti jamur pelapuk cokelat dapat menghasilkan agen ekstraseluler berbobot molekul rendah yang dapat berdifusi ke dalam dinding sel kayu dan mengawali proses degradasi. (Kim et al. 2002).
Haris (2001) juga menjelaskan bahwa enzim pendegradasi dinding sel
terlalu besar untuk berpenetrasi pada dinding sel kayu. Maka digunakan radikal bebas pengoksidasi dalam mekanisme awal deteriorasi oleh jamur pelapuk cokelat sehingga enzim kemudian bisa memasuki sel (Harris 2001). Belum bisa dipastikan apakah hidrogen peroksida (H2O2) dihasilkan oleh semua jenis jamur pelapuk cokelat. Hasil lokalisasi sitokimia H2O2 menggunakan pewarnaan cerium chloride (CeCl3) sehingga terbentuk cerium perhydroxide dan pengamatan dengan mikroskop elektron transmisi (TEM) menunjukkan bahwa H2O2 terdapat dalam hifa-hifa jamur dan berdifusi ke dalam sel-sel kayu sejak awal pelapukan. H2O2 berperan penting dalam degradasi awal selulosa oleh jamur pelapuk cokelat (Tyromyces palustris dan Coniophora puteana) (Kim et al. 2002).
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
15 Produksi asam oksalat memberi kemampuan pada jamur dalam mengkolonisasi dan mendegradasi kayu yang diawetkan. Toleransi merupakan kemampuan relatif suatu organisme untuk tumbuh dan hidup ketika mendapat faktor lingkungan yang tidak sesuai atau racun. Asam oksalat berperan dalam mekanisme toleransi terhadap tembaga. Jamur yang toleran terhadap tembaga dapat digunakan untuk remediasi kayu yang diawetkan. Dalam suatu percobaan selama 2 minggu pengumpanan kayu Southern yellow pine yang diawetkan dengan ammonical copper citrate (CC), terdapat 11 jamur pelapuk cokelat yang tergolong toleran atau tahan terhadap tembaga, sedangkan empat jamur pelapuk cokelat lainnya tergolong sensitif dengan kehilangan berat kayu yang diawetkan yang rendah dan produksi asam oksalat yang relatif rendah (Green & Clausen 2003). Pada degradasi lanjut oleh jamur pelapuk cokelat, dinding sel kayu collapse, terjadi retakan pada dinding sekunder (S2). Urutan kehilangan lapisan dinding sel adalah S2, S1, dan S3, sedangkan rangka lignin ditinggalkan. Jamur pelapuk cokelat lebih umum menyerang kayu daun jarum, tapi dapat juga menyerang kayu daun lebar (Harris 2001).
Pelapukan Kayu oleh Jamur Pelapuk Lunak Lapuk lunak pada kayu disebabkan oleh jamur yang tergolong Ascomycota atau Deuteromycota yang sering menyerang kayu dalam kondisi basah (Watt 1999). Chaetomium merupakan jamur pelapuk lunak kayu yang cukup sering ditemukan dalam ruangan yang lembab. Pertumbuhan miseliumnya cepat dengan warna awal putih kapas, setelah dewasa jadi abu-abu. pertumbuhannya 25–35 oC. (Stachybotrys,
Trichoderma,
Suhu optimum
Jamur ini dapat tumbuh bersama jamur lainnya Acremonium,
dll.)
mengurai
selulosa
dan
hemiselulosa (Thiagarajan 2006). Jamur pelapuk lunak memiliki toleransi yang lebih tinggi pada konsentrasi oksigen rendah daripada Basidiomycetes. Maka dari itu jamur pelapuk lunak sering menyerang menara pendingin dan produk-produk lain yang berkadar air tinggi (Nicholas & Crawford 2003).
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
16 Jamur pelapuk lunak mengakibatkan pelunakan pada bagian permukaan kayu, namun dapat dihilangkan dengan penyerutan atau pengamplasan. Kekuatan kayu tidak terlalu banyak berkurang kecuali keteguhan permukaannya. Selain itu terjadi pewarnaan sehingga kayu menjadi hitam, hijau, oranye, dll. Ketika kering, permukaan kayu menjadi retak dan rapuh. Baik kayu daun jarum maupun kayu daun lebar dapat diserang jamur pelapuk lunak ini, terutama bila kayu dalam kondisi basah (Harris 2001). Walaupun tidak seberat kerusakan lapuk putih dan lapuk cokelat, jamur pelapuk lunak sering menimbulkan masalah. Secara mikroskopik, serangan yang ditimbulkan jamur pelapuk lunak pada kayu ditandai dengan pembentukan rongga-rongga dalam dinding sekunder atau pengikisan dinding sel, kecuali lamela tengah yang ditinggalkan (Watt 1999). Erosi dinding sel kayu bermula dari dalam lumen, kemudian terbentuk ronggarongga pada lapisan S2. Awal serangan jamur pelapuk lunak melalui sel jari-jari, parenkim aksial dan pembuluh.
Ciri khas serangan jamur pelapuk lunak ini
adalah terbentuknya rongga-rongga berujung runcing di sekitar hifa (Harris 2001).
Diagnosis Pelapukan Kayu Untuk memahami proses pelapukan kayu oleh jamur, perlu dikembangkan metode diagnosis pelapukan kayu yang terdiri dari pendeteksian dini pelapukan dan pengukuran tingkat pelapukan secara cepat, mudah dan akurat. Untuk itu berbagai metode pengujian baik di laboratorium maupun di lapangan dikembangkan untuk diaplikasikan lebih luas, misalnya untuk pengujian keawetan alami kayu, teknik pengujian efikasi pengawet ataupun untuk pengenalan karakteristik pelapukan berbagai jenis jamur pelapuk kayu. Ciri kunci dalam menentukan adanya pertumbuhan jamur adalah munculnya miselium, penampilan kayu lapuk dan adanya tubuh buah. Kondisi lingkungan dalam bangunan, kualitas kayu dan penggunaan bangunan menentukan karakteristik pelapukan yang terjadi dalam bangunan. Oleh karena itu survey dan pemeriksaan berkala bangunan dari pelapukan sangat penting untuk mencegah
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
17 kerusakan bangunan yang dapat menyebabkan terganggunya kegunaan bangunan atau kecelakaan manusia (Singh 2002). Metode observasi visual dalam pelapukan kayu sering digunakan dalam penelitian lapangan.
Namun, metode ini agak subjektif dan tidak dapat
mendeteksi pelapukan secara dini (Nicholas & Crawford 2003). Selain itu ada juga penilaian berdasarkan penurunan berat kayu. Cara ini banyak digunakan dalam uji pelapukan di laboratorium, misalnya soil block test. Hasilnya cukup baik, tapi ketelitiannya dapat terganggu dengan variasi kadar air, hilangnya ekstraktif, dan pertambahan masa oleh koloni jamur. Metode ini juga tidak bisa mendeteksi pelapukan awal. Bila penurunan berat kurang dari 2% sering kali tidak nyata secara statistik.
Bahkan pada kasus pelapukan kayu oleh jamur
pelapuk cokelat, penurunan berat ini relatif kecil dibanding penurunan kekuatan kayu (Nicholas & Crawford 2003). Evaluasi tingkat pelapukan berdasarkan pengujian sifat mekanis kayu dapat mengevaluasi pelapukan dini. Pengujian sifat mekanis kayu tersebut merupakan metode yang paling baik mendeteksi pelapukan yang terjadi baik dalam uji lapangan ataupun laboratorium, misalnya dengan keteguhan tekan, keteguhan lentur dan torsion strength (Nicholas & Crawford 2003). Jurgensen et al. (2003) melaporkan bahwa dalam uji lapang, tingkat pelapukan kayu berkorelasi lebih baik dengan nilai kekuatan tekan radial kayu daripada dengan penurunan berat kayu. Berdasarkan laporan Clausen dan Kartal (2003) nilai keteguhan tekan dan MOE (modulus lentur) kayu berkurang 21% dan 13% dalam waktu inkubasi 2 minggu. Kayu yang diinkubasi jamur selama 4 minggu berkurang MOE dan MOR nya sebesar 9% dan 19%. Adapun nilai kehilangan berat kayu dalam soil block test/ cake pan test tidak teliti tapi nyata (18%). Metode lain yang bisa mendeteksi pelapukan kayu tahap awal adalah konduktifitas listrik (moisture meter atau shigometer), deteksi akustik (emisi akustik atau stress-wave timer), analisis kimia dan deteksi laboratorium (Clausen & Kartal 2003).
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
BAB III BAHAN DAN METODE Analisis Kelas Bahaya Pelapukan Kayu di Pulau Jawa Pendugaan potensi/ancaman pelapukan mengacu pada metode Scheffer (1971), yaitu dengan penentuan indeks pelapukan (IP) dengan rumus: Des
T 2D 3 IP
Jan
17
Keterangan: T: suhu rata-rata bulanan (oC) D: jumlah rata-rata hari dalam satu bulan dengan curah hujan tidak kurang dari 0,25 mm
Dalam penentuan indeks pelapukan ini menggunakan data iklim dari tahun 2002 sampai 2008 yang diperoleh dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika.
Berdasarkan indeks pelapukan tersebut kelas bahaya pelapukan
berbagai daerah ditentukan sebagaimana kriteria pada Tabel 1 dan disusun petanya. Pembuatan peta menggunakan Program ArcView GIS 3.3 dengan peta dasar Pulau Jawa yang diperoleh dari Bakosurtanal. Tabel 1 Kriteria kelas bahaya pelapukan kayu Indeks Pelapukan < 35 35-65 66-100 > 100
Kelas Bahaya Pelapukan (Decay Hazard Class) rendah sedang/ menengah tinggi sangat tinggi
Sumber: Scheffer (1971)
Indeks pelapukan yang kurang dari 35 menunjukkan kelas bahaya pelapukan rendah atau kondisi yang paling tidak sesuai untuk pelapukan. Daerah yang berindeks pelapukan 35 hingga 64 (kelas bahaya pelapukan sedang) merupakan kondisi yang agak mendukung pelapukan kayu.
Untuk indeks
pelapukan 66 hingga 100 menunjukkan daerah yang mendukung terjadinya pelapukan kayu.
Sedangkan
indeks pelapukan lebih tinggi dari 100 adalah
kondisi yang sangat mendukung terjadinya pelapukan kayu.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
19 Survey Pelapukan Kayu pada Bangunan Rumah Survey dilakukan pada 500 rumah yang tersebar di kota dan kabupaten yang mewakili variasi iklim (suhu dan kelembaban) di Pulau Jawa.
Hasil cluster
analyses (analisis gerombol) data iklim menggunakan program Minitab 14 diperoleh 10 kelompok kota dan kabupaten yang kemudian diambil satu daerah secara acak dari masing-masing kelompok tersebut untuk dijadikan daerah survey, yaitu Lembang, Malang, Gresik, Subang, Bogor, Serang, Tegal, Yogyakarta, Semarang, dan Jakarta Utara. Survey di setiap daerah tersebut dilakukan terhadap 50 bangunan rumah yang ditentukan secara purposive sampling (Teddie & Tashakkori 2009). Dalam penelitian ini aspek yang diteliti adalah kerusakan yang disebabkan oleh jamur pelapuk pada berbagai komponen kayu bangunan rumah. Komponen yang diobservasi adalah kusen jendela, kusen pintu, daun jendela, daun pintu, lisplang, plafon, tiang, rangka atap dan komponen bangunan lainnya yang menggunakan kayu. Bangunan rumah yang disurvey diklasifikasikan ke dalam empat kelas umur, yaitu : 0-10 tahun; 11-20 tahun; 21-30 tahun; dan lebih dari 30 tahun. Pengamatan, pengukuran dan dokumentasi dilakukan terhadap objek pelapukan komponen bangunan rumah. Dalam kegiatan tersebut digunakan peta daerah-daerah penelitian, lembar survey dan tally sheet (Lampiran 3 dan 4). Selain itu digunakan juga meteran, palu, lampu senter untuk memeriksa kerusakan kayu pada bangunan, kamera dan alat dokumentasi lainnya. Observasi pelapukan kayu pada bangunan rumah juga mencakup diagnosis terhadap faktor-faktor pendukung terjadinya serangan jamur pelapuk kayu tersebut. Pelapukan kayu oleh jamur diklasifikasikan menjadi lapuk putih, lapuk coklat dan lapuk lunak berdasarkan deskripsi dari Eaton dan Hale (1993) dalam Tabel 2. Wawancara terhadap penghuni dilakukan untuk melengkapi dan mendukung data pengamatan yang diperoleh.
Dalam wawancara diperoleh data kondisi
lingkungan masing-masing bangunan, komponen bangunan yang diserang jamur pelapuk, sejarah bangunan, tahun renovasi bangunan, jenis kayu, harga kayu,
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
20 upah perbaikan kerusakan dan sebagainya.
Volume kayu lapuk di setiap
komponen bangunan rumah dihitung dan dianalisis statistik deskriptif. Perhitungan kerugian ekonomi akibat pelapukan pada bangunan rumah ditentukan berdasarkan nilai bahan kayu pengganti dan biaya upah kerja perbaikan. Ukuran dan volume setiap komponen kayu lapuk diukur sehingga bisa ditentukan ukuran dan volume kebutuhan bahan kayu untuk mengganti komponen kayu yang lapuk tersebut. Kemudian banyaknya bahan kayu yang dibutuhkan dikalikan dengan harga bahan kayu tersebut sehingga diperoleh total biaya bahan. Harga kayu yang digunakan untuk mengkonversi kerusakan ke dalam nilai kerugian berdasarkan jenis kayu yang digunakan di rumah tersebut. Apabila tidak diketahui jenis kayu yang digunakan sebagai bahan bangunan maka menggunakan harga kayu borneo yang banyak digunakan masyarakat dan banyak tersedia di pasaran. Selain itu biaya upah perbaikan dihitung berdasarkan jumlah hari kerja yang diperlukan untuk memperbaiki komponen bangunan yang lapuk dikalikan dengan nilai upah harian tukang. Selanjutnya, total nilai kerugian pelapukan dihitung sebagai jumlah total biaya bahan kayu yang diperlukan dengan biaya upah perbaikan (Remran 1993; Herdiansyah 2007). Secara ringkas perhitungan kerugian tersebut dirumuskan sebagai berikut:
K H i X i UY Keterangan: K = Nilai kerugian (Rp) H = Harga sortimen kayu gergajian (Rp/sortimen) X = Jumlah sortimen kayu yang diperlukan (sortimen) i = Jenis sortimen (papan 2 x 20; balok 6 x 12, atau yang lainnya) U = Upah harian tukang kayu (Rp 50.000,-/ hari) Y = Jumlah hari kerja (hari) Contoh perhitungan nilai kerugian ekonomi disajikan pada Lampiran 5. Nilai kerugian pada suatu banguanan rumah adalah penjumlahan dari nilai kerugian seluruh komponen bangunan tersebut. Nilai yang diperoleh merupakan kerugian ekonomi minimal yang disebabkan oleh serangan jamur.
Dengan
memasukkan faktor umur bangunan maka ditentukan juga nilai kerugian per
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
21 rumah per tahun. Prediksi kerugian ekonomi akibat serangan jamur pelapuk di setiap daerah diperhitungkan berdasarkan data jumlah rumah di masing-masing daerah tersebut. Tabel 2 Klasifikasi pelapukan kayu berdasarkan karakteristik yang nampak pada kayu Kriteria Warna kayu Tingkat dini
Tingkat lanjut
Lapuk Putih Menjadi lebih pucat atau lebih muda warnanya Banyak garis dan noda coklat
Permukaan kayu jadi lunak, terjadi penyusutan Adanya serabutserabut lepas sejajar serat karena pemisahan di lamela tengah; menjadi seperti pulp
Kondisi
Lapuk Coklat Menjadi lebih gelap: coklat kemerahan hingga coklat gelap Berupa lapuk bagian-bagian kecil/ kantong atau berupa lapuk dalam, dengan permukaan kayu tampak bagus ketika kering Ketika basah, kayu menjadi lunak hingga kedalaman tertentu
Ketika kering, terjadi retakan yang dalam melintang dan sejajar serat pada kayu ketika kering, disebabkan penyusutan (cuboidal cracks). Kayu mudah hancur menjadi tepung dengan cubitan jari
Kayu daun lebar lebih rawan daripada kayu daun jarum
Lapuk Lunak Menjadi lebih gelap
Ketika basah, permukaan kayu jadi lunak dan gelap warnanya, tapi di bawahnya kayu masih utuh. Ketika kering permukaan kayu mengalami retak dangkal melintang dan sejajar serat
Terjadi pada kondisi pertumbuhan Basidiomycetes terhambat, seperti pada kadar air tinggi, aerasi rendah, kayu diawetkan, suhu dan kadar nitrogen yang relatif tingi
Sumber : Eaton dan Hale (1993)
Identifikasi Jenis dan Uji Karakteristik Jamur Penyebab Pelapukan pada Bangunan Rumah Isolasi dan Pemeliharaan Jamur Pelapuk Kayu Untuk mempelajari karakteristik degradasi kayu oleh jamur pelapuk, diisolasi jamur pelapuk yang sering ditemukan menyerang komponen kayu bangunan rumah selama survey, yaitu spesimen jamur DE, PB dan SC. Isolasi dilakukan dari tubuh buah (basidiokarp) jamur pelapuk sehingga bisa dibandingkan dan dipastikan bahwa isolat adalah sama dengan yang di lapangan. Setelah dilakukan pembelahan bagian basidiokarp berdaging, sepotong kecil jaringan dari dalam basidiokarp diambil dan dipindahkan dengan pinset ke media
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
22 PDA (Potato Dextrose Agar). Isolasi jamur dan pemurniannya dilakukan dengan metode yang dijelaskan Shivas dan Beasley (2005). Dalam pembuatan tiap liter media PDA dipergunakan bahan-bahan berikut: potongan kentang (200 g), agaragar (15 g), dekstrosa (20 g), dan antibiotik kloramfenikol (250 mg/l). Inkubasi dilakukan pada suhu ruang (28 oC) sehingga tumbuh miseliumnya. Kemudian dilakukan pemurnian dengan memisahkan organisme target dari organisme lainnya. Organisme target adalah jamur pelapuk yang pada umumnya termasuk dalam Basidiomycota. Isolat terus dipelihara sebagai bahan penelitian. Untuk meyakinkan bahwa isolat sama dengan jamur yang diisolasi dari lapang, maka isolat ditumbuhkan pada media baglog sehingga tumbuh tubuh buahnya. Dengan demikian tubuh buah isolat bisa dibandingkan dengan tubuh buah yang di lapang. Media baglog terdiri dari 82,5% serbuk gergaji kayu sengon atau pinus, 15% dedak, 1,5% gips atau kalsium sulfat, 1% kapur atau kalsium karbonat dan air secukupnya (Herliyana 2007). Tiap kantong plastik berisi ± 200 gram media dan disterilisasi dalam autoklaf pada tekanan 15 psi, suhu 121 oC, selama 15 menit.
Setiap media diinokulasi dengan isolat dari PDA lalu
diinkubasikan pada suhu ruang. Kegiatan isolasi dan penumbuhan tubuh buah jamur pelapuk ini dilakukan di Laboratorium Penyakit Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Sedangkan identifikasi berdasarkan ciri-ciri morfologis dilakukan pada struktur somatik dan reproduktif ketiga jenis jamur dilakukan di Laboratorium Struktur dan Anatomi Kayu, Fakultas Kehutanan. Tahapan selanjutnya, yaitu identifikasi molekuler dilakukan di Laboratory of Forest Resource Biology, Graduate School of Agriculture, Hokkaido University, Jepang.
Identifikasi Jamur Pelapuk Kayu Berdasarkan Ciri Morfologis Sebelum dilakukan berbagai pengujian dilakukan prakultur jamur. Kegiatan prakultur jamur uji dilakukan untuk memperoleh isolat murni yang siap digunakan dalam pengujian. Tiga isolat jamur pelapuk bangunan rumah dengan kode SC, DE dan PB, ditumbuhkan pada media PDA (Potato Dextrose Agar ) selama tujuh hari.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
23 Kecepatan tumbuh miselium ditentukan pada media PDA dengan pH 5,6 dan suhu 30 oC.
Kecepatan pertumbuhan (cm/hari) dihitung sebagai hasil
pembagian diameter miselium (cm) dengan waktu inkubasi (hari). Adapun tipe pertumbuhan miselium ditentukan berdasarkan kriteria Stamets (2000), yaitu: 1
Linier: terdiri dari garis-garis memanjang radial secar homogen, seperti pada Lentinula edodes, Pleurotus ostreatus (pertumbuhan awal)
2
Rhizomorfik (ropey): terdiri dari jalinan benang-benang terpilin dalam diameter berbeda, contohnya pada Agaricus brunnescens.
3
Cottony (tomentose): seperti kapas, aerial. Miselia rizomorfik yang sudah tua sering jadi cottony, contohnya pada Pleurotus sp.
4
Zonate: miselium cottony yang membentuk lingkaran-lingkaran konsentrik (tebal-tipis), seperti pada Ganoderma sp.
5
Matted (Oppressed): miselium padat, sulit dibelah, biasanya kultur yang sudah lama, contoh pada G. lucidum
6
Powdered: miselia terurai jika kena angin, contohnya pada Polyporus sulphureus.
7
Bentuk Unik: hyphal agregat Untuk pengamatan struktur somatik jamur, miselium dari kultur PDA
diambil dengan jarum dan diuraikan pada bagian tengah gelas objek steril. Setetes air steril diberikan pada hifa tersebut, kemudian kaca penutup diletakkan dibagian atasnya dan diatur posisinya secara perlahan sehingga tidak ada gelembung udara yang terjebak di bawah gelas penutup. Selanjutnya hifa diamati dibawah mikroskop cahaya dengan pembesaran 400 dan 1000 kali.
Untuk
pembesaran 1000 kali di atas kaca penutupnya diberi immersion oil. Pengamatan juga dilakukan pada struktur reproduktif, yaitu basidiokarp jamur. Bentuk, warna dan ukuran tubuh buah dicatat. Demikian pula halnya dengan bentuk, ukuran dan jumlah pori per mm2 yang dimiliki tubuh buah jamur tersebut. Untuk mengamati spora dibuat jejak spora dengan meletakkan tubuh buah di atas kertas putih dan hitam di dalam cawan petri. Kapas lembab steril diletakkan juga di dalam cawan petri. Setelah diinkubasikan selama 24 jam, spora berjatuhan pada kertas dan terlihat kontras pada salah satu kertas yang digunakan
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
24 (putih atau hitam). Selanjutnya spora diamati dengan mikroskop stereo. Data morfologi struktur somatik dan reproduktif jamur yang diuji digunakan untuk menentukan jenisnya mengacu pada Emberger (2006) dan Hutchings (2010).
Identifikasi Jamur dengan Metode Molekuler Identifikasi molekuler terhadap jamur pelapuk dapat dilakukan walaupun tidak ditemukan tubuh buahnya (Schmidt & Moreth 2003). Identifikasi molekuler juga mengatasi subjektivitas yang sering terjadi pada identifikasi secara berdasarkan ciri-ciri morfologis. Identifikasi molekuler jamur pelapuk dilakukan dalam lima tahapan sebagaimana diuraikan dalam Afrida et al. (2008), yaitu ekstraksi DNA, Polymerase Chain Reaction Amplification, Agarose Gel Electrophoresis, purifikasi produk PCR, dan DNA sequencing. Ekstraksi DNA. Miselia ketiga spesimen jamur diambil dari prakultur PDA, diinokulasikan, dan diinkubasikan pada suhu 25 oC selama 7 hari pada 20 ml media PDB (Potato Dextrose Broth).
Medium PDB terdiri dari tepung
kentang 4 g/l dan dextrose 20 g/l: Difco dalam labu Erlenmeyer. Media yang dihasilkan memiliki pH 5,1 ± 0,2.
Ketiga kultur jamur dari media PDB
selanjutnya dipanen dengan filtrasi menggunakan bahan penyaring Miracloth, Calbiocem. Bahan penyaring dan kertas saring disterilasi sebelum digunakan. Miselia dari ketiga jamur dibilas dengan air steril dan dikeringkan pada kertas saring.
Miselium kering dari setiap jamur dibagi tiga untuk ulangan dan
ditempatkan dalam tabung Efendorf dan disimpan dalam freezer. Setelah meja kerja dan peralatan disterilkan dengan etanol 70%, pastle penghomogen dipasang pada mesin pemutar.
Kemudian 300 µl “larutan I”
ditambahkan ke miselium beku dan dihaluskan dengan pastle.
Lalu 150 µl
“larutan II” ditambahkan diikuti 10 menit vortex dan inkubasi pada 50 oC selama 10 menit pada blok pemanas. Setelah merata, 100 µl “larutan III-A” ditambahkan dengan pipet yang dipotong ujungnya. “Larutan III-B” ditambahkan, diikuti 1-2 detik vortex dan inkubasi dalam es selama 10 menit. Sampel lysate disentrifugasi pada 14000 xg, 4 oC selama 10 menit. Supernatan dipindahkan ke microtube dengan pipet berujung terpotong. Etanol (2x volume) ditambahkan dan diikuti
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
25 dengan vortex. Lalu campuran disentrifugasi pada 6000 xg, suhu ruang (20 oC) selama 5 menit.
Setelah supernatan dibuang, 1 ml etanol 70% ditambahkan
diikuti vortex. Campuran disentrifugasi lagi pada 6000 xg, suhu ruang selama 1 menit.
Setelah supernatan dibuang, endapan dikeringkan pada suhu ruang.
Selanjutnya, 50 µl TE buffer dan 1 µl RNaseA ditambahkan ke dalam endapan dan dicampur merata. Kemudian campuran diinkubasi pada 37 oC selama 30 Larutan DNA yang terekstrak dari sampel (template DNA solution)
menit.
disimpan pada suhu -20 oC. Polymerase Chain Reaction (PCR) Amplification.
Pasangan forward
primer ITS1F (5’-CTT GGT CAT TTA GAG GAA GTA A-3’) dan reverse primer ITS4B (5’-CAG GAG ACT TGT ACA CGG TCC AG-3’) yang merupakan primer spesifik untuk Basidiomycetes digunakan dalam amplifikasi Internal Transcribed Spacer (ITS) dari DNA jamur. Pertama, semua reagent beku dibiarkan mencair kemudian disentrifugasi dengan singkat.
“Master mix”
dipersiapkan dalam microtube steril (yang didinginkan dalam es). “Master mix” (untuk satu reaksi) terdiri dari: 1) Sterilized water
26,5 µl
2) Tuning buffer
10 µl
3) G-Taq buffer
5 µl
4) Forward primer (ITS1F)
1 µl
5) Reverse primer (ITS4B)
1 µl
6) dNTP
4 µl
7) G-Taq polymerase 8) Template DNA solution Volume total
0,5 µl 2 µl 50 µl
Ketujuh bahan pertama dicampurkan dan dipindahkan ke dalam tabung PCR.
Untuk mempersiapkan “master mix” lebih dari satu reaksi, sejumlah
volume yang sama dipipet terpisah ke dalam tabung-tabung PCR dan jumlah ketujuh bahan dikali dengan N (= jumlah reaksi yang akan dijalankan + 1 reaski tambahan).
Template DNA ditambahkan ke masing-masing tabung yang
mengandung “master mix”, kecuali untuk sampel negatif, “master mix” diberi air
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
26 steril. Semua larutan dicampur merata dalam masing-masing tabung PCR untuk menghasilkan campuran reaksi yang homogen. Kemudian proses PCR segera dimulai berdasarkan siklus pemanasan PCR (Tabel 3). Tabel 3 Siklus pemanasan dalam PCR Temperatur (oC) 94 94
Durasi (menit) 3 1
50
1
30
72
3
30
72 8
10 Selamanya
1 ∞
Siklus 1 30
Tujuan Denaturasi fragmen DNA panjang (>1Kb) Denaturasi – pemisahan dua DNA strands dan membuka daerah sasaran Annealing – ke 2 primers dihibridisasikan ke sekuens target dalam 3 arah pada suhu dibawah 5-10 dari M.P. nya Extension – heat stable Taq DNA polymerase mereplikasi DNA strands baru dalam arah 5’ ke 3’ Pemanjangan akhir Penyimpanan
Agarose Gel Electrophoresis. Dalam 100 ml Conical flask, 0,3 g agarose S ditambah 30 ml 0,5xTBE.
Bahan tersebut diaduk hingga tercampur dan
dipanaskan dengan microwave selama 1 menit untuk melarutkan agarose. Flask didinginkan selama 5 menit hingga 60oC sehingga bisa dipegang tangan. Gel dituangkan perlahan ke dalam gel tray. Tip steril digunakan untuk mendorong gelembung jauh ke samping. Sisir yang sesuai disisipkan ke dalam gel untuk membuat beberapa sumur. Gel dibiarkan mengeras selama paling tidak 30–60 menit. Gel dipasang dalam electrophoresis chamber. Sekitar 300 ml 0,5xTBE buffer dituangkan ke dalam chamber sehingga gel terendam 2-5 mm dari permukaan. Chamber ditutup, listrik dinyalakan dan gel dijalankan awal selama 5-30 menit. Beberapa tetes 1 µl loading buffer dibuat pada selembar parafilm. Kemudian 5 µl sampel atau marker ditambahkan ke setiap tetesan loading buffer. Sumur-sumur diisi pertama kali dengan marker diikuti negative dan sampelsampelnya. Chamber kemudian ditutup, listrik dinyalakan pada 100 V. Elekroda menghasilkan gas/ gelembung-gelembung. Pemantauan dilakukan pada pewarna marker. Elektroforesis dihentikan ketika bromophenol blue bergerak ¾ panjang gel (± 40 menit).
Setelah listrik dimatikan, gel diwarnai dalam ruang gelap
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
27 dengan larutan 1 µg/ml ethidiumbromide. Pita-pita DNA yang telah diamplifikasi harus terlihat dalam UV light-box. Purifikasi Produk PCR Sebelum Sequencing. Pertama, 150 µl buffer PB ditambahkan ke dalam 30 µl sampel dan dicampur. Campuran dipindahkan ke spin column dan disentrifugasi selama 1 menit. Cairannya dibuang, spin column dimasukkan lagi ke tabung yang sama. Buffer NW (700 µl) ditambahkan dan disentrifugasi selama 2 menit pada 10.000xg, suhu ruang.
Spin column
dipindahkan ke dalam tabung 1,5 ml yang baru. Buffer EB (50 µl) diberikan ke tengah membran dalam spin column, dibiarkan tegak selama 1 menit, dan disentrifugasi lagi selama 1 menit. Akhirnya, produk PCR yang sudah murni (larutan template DNA untuk sequencing) dapat disimpan pada suhu –20 oC. Sejumlah peralatan disterilisasi dengan autoklaf sebelum digunakan, seperti: mortar dan pestle, microtube (1,5 ml), spatula, micropipette tip 1000 µl (biru), 200 µl (kuning), dan 10 µl (bening). Air steril juga disiapkan sekitar 100 ml. DNA Sequencing. Primer-primer digunakan untuk reaksi siklus sequencing dengan ABI Big Dye Terminator Cycle Sequencing Ready Reaction Kit (applied Biosystem). Sequence dideteksi menggunakan ABI auto Sequencer 3730 (applied Biosystem), dan diatur menggunakan CLUSTAL W. Sequence yang dihasilkan dibandingkan dengan sequence database dalam DDBJ (DNA Data Bank of Japan) menggunakan BLAST (Basic Local Alignment Tool) Program (Zhang et al. 2000).
Uji Oksidasi Jamur Pelapuk Kayu Uji oksidasi jamur dilakukan dengan metode yang diuraikan Nishida et al. (1988), yaitu dengan menggunakan guaiacol C6H4(OH)(OCH3). Media guaiacol dibuat dari serbuk kayu (0,2 %), guaiacol (0,01 %), dan agar (1,6 %). INA AGAR BA-10 (20%) 20% ber-pH 7 ± 0,5 dan mengandung SO4 (max 1,0 %), Cu (max 0,4%), dan Fe (100 ppm). Guaicol yang digunakan adalah Guaiacol (FW 124,14), Cica-Reagent, Kanto-Chemical Co INC.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
28 Untuk membuat 200 ml media guaiacol, disiapkan 0,4 g serbuk kayu (Shorea laevis; 80 mesh), 20 µl guaiacol, 3,2 g agar and air destilata. Campuran media diaduk setelah sterilisasi dalam autoklaf (121 oC; 15 menit). Campuran dituangkan ke dalam cawan petri steril (20 ml/ cawan petri) dalam clean bench. Inokulum jamur (Ø 6 mm) dipindahkan ke media guaiacol yang telah memadat, kemudian diinkubasikan pada 25 oC. Media diamati selama beberapa hari. Pewarnaan coklat pada media mengindikasikan terjadinya oksidasi oleh jamur pelapuk putih, sedangkan jamur pelapuk coklat tidak menghasilkan pewarnaan tesebut.
Pengaruh Suhu dan pH terhadap Pertumbuhan Jamur Pelapuk Kayu Jamur pelapuk yang telah diisolasi dari tubuh buahnya ditumbuhkan pada media PDA (potato dextrose agar) dan disimpan pada suhu 4 oC. Prakultur jamur-jamur tersebut dibuat pada media PDA dan diinkubasikan pada suhu 25 oC selama tujuh hari. Isolat diambil dari prakultur tersebut untuk uji pertumbuhan dalam variasi suhu dan pH media PDA. Inkubasi dilakukan dalam Eyela Multi Thermo Incubator MTI-202 yang bisa mengkondisikan lima kondisi suhu inkubasi. Variasi suhu yang digunakan adalah 20 oC, 25 oC , 30 oC, 35 oC, 40 oC, 45 oC dan 50 oC. Untuk membuat media denga pH bervariasi digunakan citric acid phosphate buffer. Media yang dihasilkan memiliki pH 4,26, 5,02, 5,40, 6,08 dan 7,09. Citric acid phosphate buffer dibuat dari 0,1 M citric acid (19,21 g/L; MW 192,1) dan 0,2 M Na2PO4 (35,6 g/L; MW178) dalam volume berbeda sesuai pH yang diperlukan. Sebagai contoh, untuk membuat 100 ml media PDA dengan pH 4,2, ke dalam 29,4 ml 0,1 M citric acid (CA) ditambah dengan 20,6 ml 0,2 M sodium phosphate (SP) dan tepung 39/10 g PDA. Air steril ditambahkan sehingga volume total menjadi 100 ml. Lampiran 6 menunjukkan volume CA dan SP untuk membuat berbagai pH pada 100 ml media PDA. Suhu inkubasi pada uji pertumbuhan pada variasi pH adalah 35oC. Diameter miselium pada media PDA diukur setiap hari selama inkubasi. Kecepatan pertumbuhan miselium pada kultur PDA dianalisis secara grafis dan
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
29 statistik.
Kecepatan pertumbuhan miselium jamur juga diklasifikasikan
berdasarkan deskripsi dari US Department of Agriculture (1942) dalam Technical Bulletin No 785 yang dipakai untuk jamur penyebab pelapukan pada pohon Oak sebagaimana disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Kelas kecepatan pertumbuhan miselium jamur pelapuk kayu pada media PDA Kelas Pertumbuhan Jamur Cepat Agak cepat Sedang Lambat Sangat lambat
Kecepatan Pertumbuhan Diameter Miselium Jamur > 9 cm/ 7 hari > 9 cm/ 14 hari ; ≤ 9 cm/ 7 hari 6-9 cm/ 14 hari 2-5 cm/ 14 hari < 2 cm/ 14 hari
> 1.29 cm/hari 0,65–1,29 cm/hari 0,37–0,64 cm/hari 0,14–0,36 cm/hari < 0,14 cm/hari
Sumber : US Department of Agriculture (1942)
Analisis Dampak Degradasi Kayu oleh Jamur Pelapuk Persiapan Bahan Uji Dampak Serangan Jamur Pelapuk pada Sifat-sifat Kayu Dalam eksperimen ini digunakan kayu pinus (Pinus insularis), sengon (Paraserianthes falcataria), dan kamper (Dryobalanops spp). Berbagai ukuran contoh uji kayu dibuat diantaranya adalah untuk penentuan berat jenis berukuran 20 mm x 20 mm x 20 mm, untuk nilai penurunan berat 10 mm x 10 mm x 5 mm (Huang et al. 2004), untuk uji modulus lentur atau modulus of elasticity (MOE) dan modulus patah atau modulus of rupture (MOR) berukuran 10 mm x 10 mm x 150 mm dan untuk pengamatan struktur anatomi 5 mm x 5 mm x 40 mm. Untuk analisis kandungan selulosa dan lignin digunakan serbuk kayu berukuran 40-60 mesh. Media serbuk kayu sengon dan pinus disiapkan dalam plastik baglog (± 250 g) dengan komposisi bahan: 82,5% serbuk kayu, 15% dedak, 1,5% gips, 1,0% kapur dengan kadar air 40%-60%. Campuran bahan tersebut disterilkan dengan autoklaf pada suhu 121 oC, bertekanan 15 psi, selama 15 menit. Media untuk penumbuhan jamur S. commune dan G. applanatum (Pers.) Pat. adalah PDA yang dibuat dari ekstrak 200 g potongan kentang, 20 g dekstrosa,
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
30 20 g agar, 250 mg chloramfenicol, dan 1000 ml aquades. Media PDA yang sudah homogen disterilkan dalam autoklaf pada tekanan 15 psi, suhu 121 oC, selama 15 menit.
Setelah media dingin dan memadat diinokulasi dengan jamur dan
diinkubasikan pada suhu ruang (27 oC) (Gunawan et al. 2004). Bibit kedua jenis jamur dibuat pada media jagung. Butiran kasar jagung giling dibersihkan dan direbus.
Selanjutnya dimasukkan kedalam botol dan
disterilisasi dalam autoklaf. Media jagung yang telah dingin diinokulasi dengan isolat jamur dari kultur PDA dan diinkubasikan pada suhu ruang (27 oC) hingga miselia tumbuh merata pada media jagung.
Pengaruh Serangan Jamur Pelapuk terhadap Struktur Anatomi Kayu Contoh uji kayu sengon dan pinus untuk pengamatan struktur anatomi dibasahkan dengan perendaman dalam air suling selama 24 jam dan disterilisasi dalam autoklaf pada suhu 121 oC, tekanan 15 psi, selama 15 menit, termasuk contoh uji kontrol. Contoh uji yang telah disterilkan diletakkan pada kultur jamur S. commune dan G. applanatum dalam bejana uji secara steril dan diinkubasikan pada suhu 27 oC dengan RH 70% selama 2, 4, 8 dan 12 minggu (kecuali contoh uji kontrol). Ulangan pengujian untuk tiap perlakuan adalah tiga. Prosedur pengamatan mikroskopik menggunakan metode dari Suhirman (1987).
Contoh uji direndam dalam gliserol untuk memudahkan penyayatan
dengan sledge microtome dengan ketebalan 20 µm. Pewarnaan dilakukan dengan safranin 1% kemudian lactophenol. Selanjutnya contoh uji dicuci air, alkohol 30%, alkohol 70% dan alkohol murni.
Dalam pengamatan struktur anatomi
dengan mikroskop cahaya, dinding sel berlignin terlihat berwarna merah, sedangkan miselium berwarna biru jernih. Pengamatan kerusakan anatomi kayu oleh jamur pelapuk dilakukan juga dengan menggunakan mikroskop stereo dengan perbesaran 50x dan 100x. Pada pengamatan dengan stereo mikroskop ini, contoh uji kayu sebelumnya disayat dengan mikrotom. Pada lensa okuler mikroskop stereo dilengkapi dengan skala pengukuran sehingga bisa langsung melakukan pengukuran dimensi objek yang diamati.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
31 Untuk pengamatan kerusakan dinding sel kayu secara ultramikroskopik digunakan JSM-5310LV scanning microscope yang merupakan Low Vacuum Scanning Electron Microscope (LV-SEM). Contoh uji kayu yang akan diamati permukaannya diratakan dengan mikrotom.
Kemudian contoh uji dibuat
berukuran 5 mm x 5 mm x 2 mm dan ditempelkan pada stub dengan SEM paste. Setelah penempelan kayu menjadi kuat, selanjutnya dilapisi dengan platinum, sehingga siap diamati dengan LV-SEM dengan pembesaran 2000x.
Pengaruh Serangan Jamur Pelapuk terhadap Sifat Kimia Kayu Media serbuk kayu sengon dan pinus yang telah disterilkan, diinokulasi dengan jamur S. commune dan G. applanatum. Kemudian diinkubasikan pada suhu ruang 27 oC, RH 70% selama 2, 4, 8, dan 12 minggu, kecuali kontrol. Kemudian media serbuk ditentukan kadar lignin dan selulosanya. Data yang diperoleh dibandingkan dengan media kontrol. Media serbuk kayu yang akan dianalisa kadar lignin dan selulosanya terlebih dahulu ditentukan kadar airnya dan diekstraksi sehingga bebas ekstraktif. Penentuan kadar air serbuk berdasarkan standar TAPPI T 246 om-88. Serbuk kayu (± 2 gram) diletakkan dalam cawan porselin yang sudah diketahui berat keringnya, lalu dioven pada suhu 103±2 oC selama ± 3 jam. Kadar air dihitung dari selisih berat serbuk sebelum dan setelah pengovenan, dinyatakan dalam persen dari berat kering serbuk. Penyiapan serbuk bebas ekstraktif dilakukan sesuai standar TAPPI T 264 cm-97. Serbuk kayu ditimbang sebanyak ± 10 gram dan dibungkus dengan kertas saring yang sudah diketahui berat keringnya.
Bungkusan serbuk diekstraksi
dalam tabung soxhlet menggunakan etanol 95% selama 4 jam.
Ekstraksi
dilanjutkan dengan 300 ml alkohol-benzen (1:2) selama 6-8 jam yang diakhiri dengan penghisapan pelarut dan pencucian dengan 50 ml etanol dan penghisapan lagi. Serbuk kayu dipindahkan ke dalam gelas piala 1000 ml dan diencerkan dengan 400 ml air panas di atas penangas air bersuhu 100 oC selama 3 jam. Kemudian serbuk disaring dengan kertas saring, dicuci dengan 100 ml air panas dan 50 ml alkohol. Serbuk dikering-udarakan lalu dipindahkan ke dalam gelas
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
32 piala dan ditutup gelas arloji. Kadar ekstraktif dihitung dari selisih berat kering serbuk sebelum dan setelah ekstraksi, dinyatakan dalam persen dari berat kering serbuk sebelum ekstraksi. Penentuan kadar lignin berdasarkan Standar TAPPI T 13 wd-74. Serbuk kayu bebas ekstraktif yang diketahui kadar airnya ditimbang (± 1 gram). Serbuk kayu dalam gelas piala ditambahkan 15 ml 72% H2SO4 dingin (12-15 oC) sambil diaduk (≥ 1 menit) tiap 15 menit selama 2 jam. Suhu dipertahankan pada 20±1 oC dengan es di sekeliling gelas. Serbuk dicuci dengan akuades panas (300 ml) dalam labu erlenmeyer dan diencerkan dengan akuades panas hingga konsentrasi 3% atau hingga volume total 575 ml.
Selanjutnya bahan dididihkan di atas
o
waterbath dengan suhu ±100 C selama 4 jam dengan menjaga volume tetap (dengan penambahan akuades panas sewaktu-waktu).
Selanjutnya dilakukan
penyaringan dengan kertas saring yang diketahui berat keringnya dan pencucian dengan air panas hingga bebas asam (±500 ml). Kemudian contoh uji dioven (103 ± 2 oC) dan ditimbang. Kadar lignin dinyatakan dalam persen dari berat kering kayu bebas zat ekstraktif. Penentuan kadar selulosa berdasarkan Standar TAPPI T203om-88. Serbuk kayu bebas ekstraktif ditimbang sekitara ± 2,5 gram. Akuades panas (± 250 ml) ditambahkan pada serbuk dalam labu Erlenmeyer dan dipanaskan di atas waterbath pada suhu 80 oC selama 4 jam. Serbuk kayu disaring dengan kertas saring dan dikering-udarakan. Serbuk dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer, ditambahkan HNO3 3,5% 125 ml dan dipanaskan di atas waterbath pada suhu 80 o
C selama 12 jam. Selanjutnya disaring lagi dan dikering udarakan. Serbuk
dimasukkan ke dalam Erlenmeyer, ditambahkan 125 ml campuran NaOH:Na2SO3 (20 gr : 20 gr dalam 1 liter), dan dipanaskan di atas waterbath pada suhu 50 oC selama 2 jam. Kemudian disaring dengan kertas saring yang diketahui berat keringnya; ditambahkan 50 ml NaClO2 10% dan dicuci dengan akuades panas hingga serbuk berwarna putih. Selanjutnya serbuk diberi 100 ml CH3COOH 10% dan dicuci dengan akuades panas hingga bebas asam. Serbuk selulosa dalam kertas saring dioven pada suhu 103±2 oC sampai berat konstan. Kadar selulosa dinyatakan dalam persen dari berat kering serbuk bebas zat ekstraktif.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
33 Pengaruh Serangan Jamur Pelapuk terhadap Sifat Fisis dan Mekanis Kayu Contoh uji penurunan berat (PB) ditentukan berat kering awalnya dengan pengovenan pada suhu 60 oC selama 48 jam. Selanjutnya bersamaan dengan contoh uji lainnya yaitu contoh uji berat jenis (BJ) dan contoh uji mekanis (MOE dan MOR) dibasahkan dengan perendaman dalam air suling selama 24 jam dan disterilisasi dalam autoklaf pada suhu 121 oC, tekanan 15 psi, selama 15 menit. Isolat jamur S. commune dan G. applanatum diinokulasikan pada media PDA dalam bejana uji secara aseptik dan diinkubasi pada suhu ruang (27 oC) sampai pertumbuhan miselium merata. Lalu contoh uji PB, BJ dan contoh uji mekanis yang telah disterilkan diletakkan pada kultur jamur dalam bejana uji secara aseptik dan diinkubasikan pada suhu ruang (27 oC dan RH 70%) selama 2, 4, 8 dan 12 minggu (kecuali contoh uji kontrol). Ulangan pengujian untuk tiap perlakuan dan kontrol adalah 5. Pada akhir pengujian, seluruh contoh uji PB dibersihkan dari miselia yang melekat. Contoh uji ditentukan berat kering oven-nya (pada suhu 60 oC, ± 48 jam) sehingga bisa dihitung nilai penurunan beratnya (PB).
Sedangkan
pengklasifikasian tingkat deteriorasinya didasarkan pada kriteria pada Tabel 5.
PB
BK 1 BK 2 100 % BK 1
Keterangan: PB = penurunan berat contoh uji (%) BK1 = berat kering contoh uji sebelum pengumpanan (g) BK2 = berat kering contoh uji setelah pengumpanan (g)
Tabel 5 Klasifikasi tingkat deteriorasi kayu oleh jamur pelapuk berdasarkan persentase kehilangan beratnya Kelas Keterangan Deteriorasi I lapuk sangat berat II lapuk berat
Penuruanan Berat (%) > 30 11-30
III
lapuk sedang
5-10
IV
lapuk ringan
<5
V
tidak lapuk
Sumber : BSN (2005)
kecil atau tidak berarti
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
34 Contoh uji BJ setelah dibersihkan dari miselia beserta contoh uji kontrol dijenuhkan air dengan perendaman dalam air suling disertai pemvakuman sehingga semua kayu tenggelam.
Volume basah (VB) contoh uji ditentukan
secara gravimetri. Kemudian contoh uji BJ dikering-tanurkan (103 ± 2 oC; 48 jam) dan ditimbang BKT-nya, sehingga dapat dihitung nilai BJ-nya dengan rumus berikut:.
BJ
Keterangan: BJ = BKT = VB = standar =
BKT / VB
s tan dar
berat jenis kayu berat kering tanur (g) volume basah kayu (cm3) kerapatan standar (air pada suhu 4 oC, 1 atm) = 1 g/cm3)
Contoh uji mekanis yang terlah diumpankan pada jamur uji dibersihkan, lalu bersamaan dengan contoh uji kontrol dikeringkan pada suhu 40 oC selama 48 jam. Uji modulus lentur (MOE) dan modulus patah (MOR) menggunakan mesin mesin UTM INSTRON (Gambar 1). MOE dan MOR dihitung dengan rumus berikut:
MOE
PL 3 4 Ybh
Keterangan: MOE = Pmax = b = P = Y =
3
;
MOR
MOR = modulus lentur (kg/cm2); beban maksimum (kg); L = lebar contoh uji (cm); h = selisih beban dibawah batas proporsi (kg) selisih defleksi dibawah batas proporsi (cm)
3 P max L 2 bh 2 modulus patah (kg/cm2) jarak sangga (cm) tebal contoh uji (cm)
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
35 Seluruh data nilai penurunan berat, BJ, MOE dan MOR yang diperoleh dianalisis secara statistik dengan general linear model menggunakan program SPPS Statistics 17.0. Untuk hasil analisis ragam yang nyata dilanjutkan dengan uji beda rata-rata.
Gambar 1
Pengujian sifat mekanis kayu yang telah diumpankan terhadap jamur pelapuk kayu.
Uji Lapang Pelapukan Kayu Uji lapang pelapukan kayu dilakukan di tujuh daerah yang mewakili keragaman suhu dan kelembaban kota atau kabupaten di Pulau Jawa. Pemilihan daerah dilakukan secara acak setelah dilakukan analisis gerombol (cluster analyses) dari 64 stasiun iklim yang ada di Pulau Jawa. Ketujuh daerah tersebut adalah Jakarta, Semarang, Tegal, Serang, Bogor, Malang, dan Lembang. Dalam uji pelapukan ini, susunan pengumpanan kayu menggunakan metode Rapp et al (2001) (Gambar 2) dengan modifikasi ukuran contoh uji untuk pengujian sifat mekanis kayu. Sifat mekanis yang diuji adalah modulus lentur
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
36 atau modulus of elasticity (MOE) dan modulus patah atau modulus of rupture (MOR). Kayu sengon (Paraserianthes falcataria) dan kamper (Dryobalanops sp) berukuran 10 mm x 10 mm x 150 mm diumpankan di lapangan dalam wadah seng. Wadah tersebut ditempatkan pada ketinggian lebih dari 1 m dari tanah. Jumlah ulangan contoh uji tiap jenis, tiap perlakuan dan kontrol adalah 16 buah. Masa uji lapang ini adalah 12 minggu.
Gambar 2
Susunan contoh uji kayu kamper (a) dan sengon (b) pada pengjian lapangan pelapukan kayu tidak menyentuh tanah.
Pengujian sifat mekanis kayu dilakukan setelah kayu dari uji lapang pelapukan dikeringkan pada suhu 60 oC selama dua hari. Uji sifat mekanis kayu dilakukan dengan menggunakan Universal Testing Machine (UTM) INSTRON. Data indikator tingkat pelapukan (nilai MOE dan MOR) kayu dianalisis regresi untuk melihat hubungannya dengan indeks pelapukan daerah. Pengolahan data dilakukan menggunakan program SPSS 17.0.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
BAB IV KELAS BAHAYA PELAPUKAN KAYU DI PULAU JAWA Pulau Jawa yang terdiri dari 33 kota dan 84 kabupaten sangat dipengaruhi iklim tropis. Sebagian besar daerah-daerah di Pulau Jawa bersuhu hangat dan lembab. Berdasarkan data dari Badan Meteorologi dan Geofisika, suhu rata-rata kota dan kabupaten di Pulau Jawa berkisar antara 20-29 oC, kelembabannya 65%87%, sedangkan curah hujannya adalah 88-354 mm/bulan.
Kondisi tersebut
sangat mendukung kehidupan jamur pelapuk kayu, karena jamur dapat tumbuh dengan baik pada suhu 20-32 oC (Bowyer et al. 2003). Iklim merupakan faktor penting yang mempengaruhi perbedaan kecepatan relatif pelapukan kayu antar daerah. Hasil pengolahan data iklim dari berbagai stasiun klimatologi diperoleh indeks pelapukan dan kelas bahaya pelapukan kayu untuk setiap kota dan kabupaten di Pulau Jawa berdasarkan rumusan Scheffer (1971). Secara umum menunjukkan bahwa sebagian besar daerah di Pulau Jawa rawan pelapukan kayu. Sekitar 47% kota dan kabupaten di Pulau Jawa termasuk kelas bahaya pelapukan sangat tinggi, sedangkan 40% nya termasuk kelas bahya pelapukan tinggi.
Hanya sebagian kecil kota dan kabupaten di Jawa yang
termasuk kelas bahaya pelapukan sedang, bahkan tidak ada kota maupun kabupaten yang termasuk kelas bahaya pelapukan rendah. Berbeda dengan di Pulau Jawa, di Amerika Serikat (USA) yang paling luas adalah daerah kelas bahaya pelapukan rendah, yaitu sekitar 51% dari total wilayah USA, terutama di wilayah Barat Daya. Kelas bahaya pelapukan sedang berada di wilayah Timur Laut dan bagian tengah agak Barat yang luasnya 35% dari total wilayah USA. Kelas bahaya pelapukan tinggi hanya 12% wilayah USA, yaitu di bagian Tenggara. Adapun kelas bahya pelapukan sangat tinggi hanya ada di negara bagian Florida, seperti di Lakeland dan Miami (FPL 2000). Peta bahaya pelapukan kayu juga dibuat di Australia tapi untuk penggunaan kayu menyentuh tanah. Australia terbagi menjadi empat zona, yaitu zona A yang paling rendah tingkat bahaya pelapukannya berada di bagian tengah benua Australia hingga zona D yang paling tinggi tingkat bahaya pelapukannya, yaitu di pinggiran Timur
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
38 Laut dan Utara dari Australia. Zona A yang kering mencakup wilayah paling luas yaitu sekitar 41% benua Australia. Zona B, C dan D luasnya berurutan adalah 22%, 21% dan 16% (Leicester et al. 2003). Kondisi yang agak serupa dengan di Pulau Jawa adalah di Ghana yang beriklim tropis sebagaimana dilaporkan oleh Kumi-Woode (1996), yaitu terdapat daerah bahaya pelapukan sangat tinggi yang cukup luas, sekitar 30% total luas negara yaitu di bagian Barat Daya. Daerah yang termasuk kelas bahaya pelapukan tinggi dan sedang hampir sama luasnya. Sedangkan daerah kelas bahaya pelapukan yang rendah tidak ada. Di Pulau Jawa, kelas bahaya pelapukan sangat tinggi meliputi sebagian besar wilayah Propinsi Banten, seluruh wilayah Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, dan separuh wilayah Jawa Barat terutama di bagian Barat dan Selatan. Di Jawa Tengah, kelas bahaya pelapukan sangat tinggi mencakup beberapa kota dan kabupaten di wilayah Barat dan Utara, seperti Cilacap, Banyumas, Tegal, Pekalongan, Semarang, dan Demak. Sebagian besar wilayah Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta juga termasuk kelas bahaya pelapukan sangat tinggi. Adapun di Jawa Timur daerah bahaya pelapukan sangat tinggi terutama di wilayah bagian Selatan, seperti Pacitan, Trenggalek, Tulung Agung, Malang, Jember dan Banyuwangi (Gambar 3). Kelas bahaya pelapukan tinggi di Propinsi Banten hanya terdapat di kota dan kabupaten Tangerang. Di Jawa Barat, kelas bahaya pelapukan tinggi terutama di wilayah Timur, seperti kota dan kabupaten Cirebon, Tasikmalaya dan Ciamis. Selain itu juga di wilayah Utara seperti kota dan kabupaten Bekasi, Subang, dan Sumedang. Di Jawa Tengah kelas bahaya pelapukan tinggi berada di wilayah Timur seperti Wonogiri, Karang Anyar, Boyolali, Rembang dan Jepara, tapi ada juga beberapa daerah di wilayah tengah dan Selatan yaitu Purbalingga, Banjar Negara, Wonosobo, Kebumen dan Purworejo. Kabupaten Kulon Progo di DI Yogyakarta juga termasuk kelas bahaya pelapukan tinggi.
Kelas bahaya
pelapukan tinggi di Propinsi Jawa Timur pada umumnya berada di wilayah Utara, seperti Ngawi, Tuban, Gresik, hingga Pasuruan. Beberapa daerah di Selatan juga ada yang termasuk kelas bahaya pelapukan tinggi yaitu Blitar dan Lumajang.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
39
104°50'
105°40'
106°30'
107°20'
108°10'
109°00'
109°50'
110°40'
111°30'
112°20'
113°10'
5°00'
114°00'
5°00'
N
Pulau Sumatera
W LAUT JAWA
40
5°50'
#
Serang
Provinsi BANTEN
E S
Kepulauan Seribu 0
40
80
120
160 Kilometers 5°50'
Kepuluan Karimun Jawa [ %
DKI JAKARTA # Bogor
#
Subang #
Indramayu Jepara #
Cirebon
Sumedang Bandung
#
#
#
Kuningan
Sukabumi
# #
#
Tegal
#
Banyumas
Salatiga #
Magelang
#
Surakarta
#
Provinsi Surabaya JAWA TIMUR
#
Madiun
Pasuruan
#
DI YOGYAKARTA
#
Ponorogo
#
# #
Blitar
Malang
Situbondo
#
Probolinggo
Kediri
Trenggalek
SAMUDERA INDONESIA
7°30'
#
#
#
Keterangan :
Pulau Madura
Gresik
Bojonegoro
Sragen #
#
Kebumen Pulau Nusa Kambangan
#
Tuban #
#
7°30'
#
Blora
Semarang
#
Tasikmalaya
6°40'
#
#
Pekalongan
Provinsi JAWA TENGAH
#
Provinsi Garut JAWA BARAT
# #Kudus Rembang
#
#
6°40'
8°20'
114°50'
Lumajang #
#
Bondowoso #
Jember #
#
Banyuwangi
Pulau Bali
8°20'
Bahaya Pelapukan Sangat Tinggi Bahaya Pelapukan Tinggi Bahaya Pelapukan Sedang
9°10'
9°10'
Skala 1: 250.000 104°50'
105°40'
106°30'
107°20'
108°10'
109°00'
109°50'
110°40'
111°30'
Gambar 3 Peta kelas bahaya pelapukan kayu di Pulau Jawa
112°20'
113°10'
114°00'
114°50'
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
41 Kelas bahaya pelapukan sedang lebih banyak di wilayah Timur Pulau Jawa. Di Jawa Barat hanya ada dua di wilayah Utara, yaitu Karawang dan Indramayu. Di Jawa Tengah juga hanya daerah Kudus dan Pati di wilayah Utara. Sedangkan di Jawa Timur agak banyak terutama di wilayah tengah dan Timur, seperti Magetan, Madiun, Kediri, Mojokerto, Probolinggo, dan Situbondo.
Indeks
pelapukan daerah-daerah tersebut berkisar antara 35-65 sebagaiamana dapat dilihat pada Lampiran 2. Variasi kelas bahaya pelapukan kayu ini sangat berkaitan dengan curah hujan berbagai daerah di Pulau Jawa. Daerah-daerah yang tergolong kelas bahaya pelapukan sangat tinggi memiliki 8 hingga 13 hari hujan bulanan. Daerah-daerah yang tergolong kelas bahaya pelapukan tinggi memiliki 7 hingga 9 hari hujan bulanan, sedangkan di daerah kelas bahaya pelapukan sedang berkisar antara 5 hingga 7 hari hujan per bulannya. Secara umum bagian Timur Pulau Jawa curah hujannya relatif lebih rendah dibandingkan dengan bagian Barat. Oleh karena itu di Jawa Barat lebih banyak daerah kelas bahaya pelapukan sangat tinggi dan kelas bahaya pelapukan tinggi dibandingkan di Jawa Timur. Banyaknya pegunungan di sepanjang Pulau Jawa juga berpengaruh terhadap variasi curah hujan antar daerah. Daerah di sekitar gunung cenderung tinggi curah hujannya dan tinggi pula potensi ancaman pelapukannya, seperti di antaranya Bogor, Bandung, Garut, Banyumas, Pekalongan, Temanggung, Magelang, Sleman, Malang, dan Jember. Hasil penelitian Forest Products Laboratory (2007) menunjukkan bahwa umur pakai kayu tidak awet yang tidak menyentuh tanah di daerah bahaya pelapukan sedang bisa mencapai umur pakai 13 tahun, sedangkan di daerah bahaya pelapukan tinggi umur pakainya kurang dari 7 tahun. Umur pakai kayu tidak menyentuh tanah di daerah kelas bahaya pelapukan sangat tinggi diyakini lebih singkat daripada di daerah kelas bahaya pelapukan tinggi. Bila dalam waktu hanya 3 atau 4 tahun harus dilakukan penggantian komponen kayu bangunan, tentu secara ekonomi sangat memberatkan bagi masyarakat. Selain itu konsumsi kayu menjadi tinggi.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
42 Diantara mikroorganisme yang menyerang kayu, jamurlah yang paling merusak karena dapat mengakibatkan kerusakan struktur.
Hasil kajian ini
membuktikan bahwa potensi pelapukan kayu bangunan di Jawa lebih membahayakan dibandingkan dengan di daerah subtropis. Degradasi kayu oleh jamur pelapuk bersifat enzimatik, sehingga tanpa disadari oleh penghuni rumah, kekuatan kayu menurun drastis dan tidak mampu memikul beban sesuai dengan rancangannya.
Apabila terjadi penambahan beban pada komponen tersebut,
misalnya ketika ada orang naik memeriksa atap ataupun terjadi gempa, maka struktur bangunan dapat ambruk yang berawal dari titik terlemah, yaitu komponen yang lapuk.
Apalagi bila pelapukan sudah sedemikian parah sehingga kayu
menjadi rapuh maka akan berakibat fatal. Peta bahaya pelapukan yang disajikan di sini ditujukan untuk komponen kayu yang tidak bersentuhan dengan tanah. Dalam hal penggunaan kayu yang bersentuhan dengan tanah seperti tiang dan tangga, nilai tingkat pelapukannya akan lebih tinggi, sehingga perlu ada penyesuaian dengan kondisi penggunaan. Hal ini karena tanah merupakan sumber kelembaban dan sumber mikroorganisme sehingga lebih mudah menginfeksi dan mendegradasi kayu. Seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk, kebutuhan kayu untuk perumahan di Pulau Jawa semakin tinggi. Namun pada kenyataannya semakin banyak kayu yang dipergunakan masyarakat dari golongan tidak awet. Hal ini disebabkan oleh semakin tingginya harga kayu komersial yang awet alami seperti jati, merbau, bangkirai, sonokeling dan kamper. Kayu sengon, manii, mangium, durian dan berbagai jenis kayu lainnya yang banyak dihasilkan dari kebun dan hutan rakyat harganya lebih terjangkau namun keawetannya rendah sehingga bisa meningkatkan resiko pelapukan kayu pada bangunan. Di Pulau Jawa yang merupakan pulau terpadat penduduknya di Indonesia ini pelapukan kayu menjadi permasalahan serius karena sekitar 32,9 juta unit rumah yang mengkonsumsi kayu gergajian tidak kurang dari 131,6 juta m3 pada umumnya berada dalam ancaman atau bahaya pelapukan kelas tinggi bahkan sangat tinggi.
Di tengah permasalahan kemiskinan yang masih menghantui
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
43 masyarakat di Pulau Jawa maka tentunya masalah pelapukan kayu pada perumahan akan semakin membebani kehidupan masyarakat sehingga perlu dikendalikan dengan baik.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
BAB V FREKUENSI DAN INTENSITAS SERANGAN JAMUR PELAPUK PADA BANGUNAN RUMAH SERTA KERUGIAN YANG DITIMBULKANNYA Hasil penelitian menunjukkan bahwa serangan jamur pelapuk rata-rata terjadi pada 87% rumah di kota dan kabupaten yang diteliti (Lampiran 7). Jumlah rumah terserang jamur pelapuk kayu yang terbanyak di Kota Bogor, sedangkan yang terendah di Kota Tegal. Walaupun demikian jumlah rumah terserang jamur pelapuk di Kota Tegal masih di atas 70% (Gambar 4).
Variasi intensitas
pelapukan di berbagai daerah tersebut terkait dengan perbedaan iklimnya. Sebagaimana dijelaskan oleh Singh (2004) bahwa lingkungan menjadi faktor yang menentukan terjadinya pelapukan kayu, terutama faktor suhu, kelembaban dan kurangnya ventilasi dalam bangunan.
Gambar 4
Persentase rumah terserang jamur pelapuk di 10 daerah survey.
Kondisi tingkat serangan jamur tersebut menunjukkan bahwa pelapukan kayu merupakan masalah yang cukup berat membebani masyarakat luas di berbagai kota dan kabupaten di Pulau Jawa. Dengan demikian masalah ini perlu mendapat
perhatian
serius
dari
masyarakat
dan
pemerintah
dalam
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
45 penanggulangannya. Selain itu, penelitian dan diseminasi pengetahuan tentang pelapukan kayu pada bangunan perlu digiatkan untuk menopang strategi yang efektif dan ekonomis dalam pencegahan maupun penanggulanagn serangan jamur pelapuk kayu pada bangunan perumahan.
Gambar 5 Persentase komponen lapuk pada bangunan rumah.
Pada umumnya, komponen rumah yang paling banyak diserang jamur pelapuk adalah lisplang dan rangka atap dengan volume rata-rata per rumah masing-masing 7.032 cm3 dan 5.942 cm3 atau 37% dan 32% dari total pelapukan sebesar 18.869 cm3 kayu per rumah (Gambar 5). Komponen rumah lainnya yang diserang jamur pelapuk pada umumnya adalah yang terkena pembasahan air atau hujan seperti bagian tiang, dinding, jendela dan pintu yang di luar dan di kamar mandi. Pembasahan ini sangat menentukan pertumbuhan jamur pelapuk yang akhirnya akan berpengaruh terhadap tingkat pelapukan kayu. Komponen kayu bangunan yang tidak terkena pembasahan pada umumnya berkadar air sekitar 16% sehingga jamur pelapuk tidak dapat tumbuh, sebagaimana menurut Nicholas dan Crawford (2003) bahwa kadar air kayu yang optimal untuk pertumbuhan jamur pelapuk Basidiomycetes berkisar antara 40%–80 %. Tapi apabila kadar air kayu melebihi kisaran nilai tersebut, aerasi dalam kayu juga berkurang dan dapat menurunkan pertumbuhan jamur.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
46 Lisplang merupakan komponen rumah yang terkena pengaruh langsung iklim, pembasahan hujan dan pemanasan matahari. Retakan kayu kerap terjadi pada komponen ini yang didahului dengan proses pengelupasan lapisan cat pelindung sehingga komponen kayu bangunan menjadi terbuka (Gambar 6). Kondisi tersebut memperbesar peluang serangan dan pertumbuhan jamur pelapuk pada lisplang. Selain itu pola dan posisi lisplang sangat penting dan pengaruhnya besar terhadap tingkat pembasahan. Lisplang yang berjarak cukup jauh dari ujung genting (> 7 cm) dan dipasang membentuk sudut 30o dari bidang vertikal relatif tidak banyak terbasahi air limpasan atap.
b a
Gambar 6 Pengelupasan cat (a) dan serangan jamur (b) pada lisplang. Rangka atap sering kali mengalami pembasahan yang terutama disebabkan oleh kerusakan atau tidak berfungsinya sistem atap dengan baik. Bila masalah ini diperbaiki secara dini, pembasahan komponen kayu tidak berlangsung terus sehingga komponen kayu dapat kering kembali. Tapi akibat kelalaian dalam perawatan bangunan tersebut menyebabkan pembasahan kayu berulang dan berlangsung lama, sehingga mendukung pertumbuhan jamur.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
47 Kayu kualitas bagus seperti jati dan kamper akan diserang jamur juga yaitu apabila mengalami pembasahan dalam waktu lama. Bagian teras kayu awet pun dapat diserang jamur ketika terkena air dalam waktu cukup lama (Ridout 2007). Zat ekstraktif yang menjadi pelindung alami dalam kayu awet khususnya pada bagian teras dapat terlarut dalam air atau bahan pelarut lainnya. Oleh karena itu ketika kayu awet mengalami pembasahan karena sering dan lama terkena air, selain warnanya berubah, sifat keawetannya juga berkurang disebabkan sebagian zat ekstraktifnya larut dan terbawa air. Kondisi tersebut akan terus berlanjut sehingga memungkinkan jamur pelapuk untuk tumbuh pada kayu dan mendegradasinya. Proses pelapukan kayu dipengaruhi oleh sinar matahari, hujan, kelembaban, dan angin (Watt 1999).
Dalam penelitian inipun terbukti bahwa hujan dan
pemanasan oleh sinar matahari pada komponen kayu bangunan mendukung terjadinya pelapukan kayu. Dengan pemanasan sinar matahari dan hujan dalam waktu lama, cat pelindung kayu dapat terkelupas sehingga kayu menjadi terbuka bagi serangan jamur pelapuk.
Dengan berkurangnya pertahanan alami kayu
berupa kandungan ekstraktif serta terbukanya cat pelindung, maka akan mudah terjadi pembasahan kayu sehingga kadar airnya melebihi 20%. Dengan demikian jamur pelapuk memungkinkan tumbuh dan mendegradasi kayu. Data lapangan menunjukkan bahwa 55% pembasahan komponen kayu bangunan disebabkan oleh kerusakan pada sistem atap dan dinding sebagai sistem pelindung. Sebagai contoh diantaranya adalah atap seng yang berkarat dan bocor atau adanya genting yang bergeser atau pecah yang tidak diperbaiki menyebabkan air hujan masuk ke dalam struktur bangunan dan membasahi kayu di bawahnya (Gambar 7). Selain itu dinding yang retak-retak juga menyebabkan air hujan masuk dan menjadikannya lembab.
Sehingga komponen kayu pada dinding
tersebut akan meningkat kadar airnya. Ketahanan bangunan dari biodeteriorasi sering terkendala keterbatasan bahan dan biaya untuk mendapatkan kesempurnaan rancangan, konstruksi, pemeliharaan dan ventilasi (Allsopp et al. 2004). Hasil survey menunjukkan bahwa sekitar 45% pembasahan komponen kayu disebabkan permasalahan desain
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
48 konstruksi. Banyak atap yang tidak melindungi struktur bangunan dengan baik sehingga terjadi pembasahan air hujan langsung pada jendela dan pintu. Pembasahan juga terjadi karena pantulan air hujan dari lantai yang terlalu dekat dengan pintu. Banyak juga atap yang ukuran dan kemiringanya tidak sempurna melindungi komponen kayu bangunan. Sebagaimana dijelaskan BPPPP (2006) bahwa kemiringan atap genting sebaiknya 30o karena sudut kemiringan yang terlau kecil dapat menimbulkan masuknya air ke dalam bangunan.
a b
Gambar 7
Genting yang bergeser (a) menyebabkan pembasahan lisplang dan memicu pelapukan kayu (b).
Di daerah yang bercurah hujan tinggi overhang atap perlu disesuaikan lebih lebar sehingga komponen kayu dibawahnya benar-benar terlindung dari pembasahan hujan.
Bagian sambungan bangunan pada atap maupun dinding
perlu perlindungan yang baik dari air hujan dan aliranya, karena bagian ini sering menjadi tempat infiltrasi air ke dalam struktur bangunan.
Selain itu sistem
drainase atap dan kapasitas talang penyalur air di atap tidak sedikit yang bermasalah sehingga terjadi genangan air di atap bahkan mengalir ke bagian struktur bangunan yang tidak dikehendaki dan menyebabkan pelapukan kayu komponen bangunan.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
49 Selain karena air hujan, pembasahan kayu juga terjadi karena penggunaan air rumah tangga di dapur, tempat mencuci dan kamar mandi. Air kondensasi uap yang dihasilkan dari kegiatan memasak atau proses pengeringan pakaian dalam ruang yang ventilasinya buruk dapat terakumulasi dan membasahi komponen dinding dan kusen jendela. Pembasahan juga terjadi dari tanah terutama jika komponen kayu menyentuh tanah. Ada juga rumah yang lantai dan dindingnya senantiasa lembab sehingga kayu yang menempel pada bagian tersebut menjadi lembab dan rawan serangan jamur kayu. Hal ini terjadi karena drainase air pada tapak bangunan yang tidak benar ditambah lagi dengan sirkulasi udara yang tidak baik. Kasus lain di Semarang terdapat daerah yang sering mengalami pasang air laut (rob) sebagai faktor pembasah dinding, tiang dan pintu yang kemudian banyak menyebabkan terjadinya pelapukan kayu. Berdasarkan data dan fakta lapangan tersebut bahwa perencanaan bangunan dan pemeliharaannya sangat menentukan resiko pelapukan pada kayu. Komponen konstruksi dari kayu yang tidak dikeringkan lebih rawan pelapukan karena di dalamnya telah tersedia air yang bisa menumbuhkan jamur. Selain itu, lapisan cat pada kayu yang tidak kering dapat menggelembung dan lebih cepat terkelupas sehingga terbuka bagi pembasahan dan pertumbuhan jamur. Oleh karena itu penggunaan kayu yang telah dikeringkan sangat dianjurkan untuk konstruksi bangunan rumah. Sambungan dan ujung komponen bangunan sering menjadi bagian yang paling cepat mengalami pelapukan. Sambungan menyediakan celah yang dapat menampung air yang cukup memasok pembasahan kayu dalam waktu lama. Evaporasi air dari bagian ini lebih lambat dibanding permukaan lainnya. Sehingga dengan hujan sedikit saja dapat menyebabkan air cepat masuk ke dalam celah sambungan dan menjadi sumber air yang sangat mendukung pertumbuhan jamur. Demikian pula bagian ujung kayu cenderung lebih basah dari permukaan lainnya, karena air lebih mudah masuk pada arah longitudinal kayu. Masalah ini terjadi pada berbagai komponen bangunan terutama pada lisplang. Oleh karena itu bagian sambungan dan ujung kayu perlu pendempulan yang sempurna, pemberian bahan penolak air dan pengecatan yang berkala sehingga aman dari pelapukan.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
50 Serangan jamur pelapuk mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap kekuatan komponen bangunan dalam memikul beban struktur. Sehingga bila dibiarkan dapat membahayakan bagi penghuni rumah dari keruntuhan komponen atap yang lapuk diserang jamur. Saluran air atau talang yang tersumbat dapat menyebabkan air mengalir ke daerah yang tidak semestinya, sehingga membasahi bagian kayu dan memicu terjadinya pelapukan. Dengan demikian pemeriksaan dan pemeliharaan bangunan terutama struktur atap dan saluran air semestinya dilakukan secara berkala.
Gambar 8 Volume kerusakan kayu oleh jamur pelapuk pada berbagai kelas umur rumah. Gambar 8 mendeskripsikan rata-rata volume kerusakan kayu oleh jamur pelapuk per bangunan rumah yang berbeda kelas umurnya. Kerusakan komponen kayu bangunan rumah oleh jamur pelapuk cenderung lebih tinggi pada bangunan berumur lebih tua.
Hal ini menunjukkan akumulasi biodeteriorasi dan
mengindikasikan tidak ada upaya pengendalian yang nyata terhadap serangan organisme perusak pada kayu. Untuk mendapatkan masa pakai yang lama, masyarakat umumnya mengandalkan penggunaan kayu awet seperti jati dan kamper. Namun banyak diantaranya kini kesulitan mendapatkannya karena bagi sebagian besar masyarakat harganya tidak terjangkau. Dalam survey ini juga tidak ditemukan
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
51 masyarakat yang menggunakan kayu yang telah diawetkan secara memadai untuk rumahnya. Ada di antara masyarakat yang memperbaiki pelapukan kayu dengan menambal secara sederhana dengan semen atau dempul atau menunggu hingga komponen tersebut harus diganti.
Jelas cara tersebut tidak menghentikan
serangan organisme perusak Serangan jamur demikian sering ditemukan, hal ini terkait dengan penyebaran jamur dengan spora yang datang tanpa disadari penghuni rumah terbawa angin, air ataupun terbawa organisme sehingga menempel pada komponen kayu rumah.
Ketika kadar air kayu tinggi dan faktor lingkungan
lainnya tidak menghambat, maka jamurpun tumbuh dan mendegradasi kayu.
Gambar 9 Persentase jenis pelapukan kayu pada bangunan rumah.
Hasil survey kerusakan komponen bangunan rumah diberbagai daerah menunjukkan bahwa kasus kerusakan oleh jamur pelapuk putih paling banyak (47%) (Gambar 9).
Sementara itu menurut Deacon (2004), jamur terpenting
dalam pelapukan kayu softwood yang digunakan pada konstruksi di atas tanah di Amerika Serikat adalah jamur pelapuk coklat.
Walaupun demikian, jamur
pelapuk coklat hanya mencakup 6% dari seluruh jamur pelapuk kayu. Warna kayu yang menjadi lebih pucat pada serangan pelapuk putih disebabkan terdegradasinya komponen lignin disamping selulosa pada kayu.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
52 Terdegradasinya lignin yang merupakan bahan perekat dan pengeras kayu dan mendominasi bagian lamela tengah yang menjadi pengikat antar sel-sel kayu, menyebabkan kayu menjadi susut, lunak dan berserabut.
Sebagaimana yang
diungkapkan Harris (2001) bahwa pada tahap lanjut jamur pelapuk putih menyebabkan kayu tampak seperti spong atau massa berserabut dengan kantungkantung atau garis-garis putih di antara bagian kayu yang masih utuh. Jamur pelapuk putih umumnya lebih banyak menyerang kayu daun lebar daripada kayu daun jarum. Dalam serangan pelapuk coklat, komponen lignin relatif tidak terdegradasi sehingga dimensi dan warna kayu cenderung tetap karena sel-sel kayu masih terikat oleh lamela tengah yang banyak mengandung lignin. Serpihan balok-balok tampak khas mencirikan lapuk coklat pada kayu sebagai akibat retakan sejajar dan melintang kayu. Karena selulosa banyak terdegradasi, kekuatan kayu pada lapuk coklat menurun drastis sehingga bila serpihan balok pada kayu tersebut ditekan atau diremas, akan mudah menjadi tepung. Nilai kerugian per rumah dalam setiap tahunnya yang di Semarang, Malang, Bogor, dan Lembang relatif tinggi dengan nilai masing-masing Rp18.700, Rp17.000, Rp15.500, dan Rp15.000 (Gambar 10). Bogor dan Lembang yang kelembabannya paling tinggi dibandingkan dengan daerah lainnya, yaitu berurutan 83,9% dan 84,7% cenderung tinggi nilai kerugiannya. Tapi Semarang yang kelembaban rata-ratanya tidak terlalu tinggi, 75,0%, nilai rata-rata kerugiannya melebihi Bogor dan Malang. Hal ini mengindikasikan ada faktor selain iklim yang turut menentukan intensitas pelapukan kayu pada bangunan rumah. Perilaku penghuni terhadap bangunan, desain konstruksi bangunan, jenis dan perlakuan kayu yang digunakan, dapat mempengaruhi ketahanan bangunan rumah dari serangan jamur pelapuk.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
53
Gambar 10 Kerugian ekonomis per unit rumah akibat pelapukan kayu. Dalam survey yang dilakukan, masyarakat pada umumnya tidak melakukan perlindungan kayu secara memadai.
Diantaranya ada juga yang melakukan
pengawetan kayu secara tradisional dengan perendaman kayu dalam air kolam selama berbulan-bulan atau dengan melabur kayu dengan ter atau oli bekas. Tapi persiapan yang lama tersebut sudah kurang diminati masyarakat. Hal yang lebih penting adalah banyak masyarakat yang kurang kesadarannya dalam pemeliharan bangunan rumahnya, terutama pada sistem atap dan talang air, sehingga tidak ada penanggulangan masuknya air ke dalam struktur rumah secara dini. Hal ini besar pengaruhnya terhadap pelapukan kayu bangunan. Alasan ekonomi banyak digunakan masyarakat sehingga menunda-nunda perbaikan kebocoran atap tersebut dan mencukupkan tindakan dengan menadah kebocoran di dalam rumah. Walaupun nilai kerugian per rumah tampak kecil, tapi dalam skala daerah nilai kerugian tersebut adalah besar sebagaimana disajikan dalam Gambar 11, karena jumlah bangunan rumah di masing-masing daerah adalah sangat besar dan cenderung mengalami peningkatan.
Di Bogor kerugian akibat pelapukan
bangunan rumah adalah Rp3,7 milyar/tahun; di Malang Rp3,9 milyar/tahun; sedangkan di Semarang adalah Rp7,7 milar/tahun. Dalam perhitungan kerugian
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
54 ini belum termasuk kerugian terganggunya waktu dan aktivitas untuk perbaikan rumah yang rusak; belum juga terhitung resiko keamanan, kesehatan dan kenyamanan penghuni akibat kerusakan bagian struktur bangunan rumahnya.
Gambar 11 Kerugian ekonomis akibat pelapukan kayu pada bangunan rumah di sepuluh kota di Pulau Jawa. Jumlah rumah di Indonesia tahun 2008 adalah 54,7 juta, 58,6% nya berada di Pulau Jawa, atau sekitar 32,1 juta unit rumah (Badan Pusat Statistik 2009). Berdasasrkan hasil sensus pada tahun 2010 jumlah bangunan rumah terdapat sekitar 32,9 juta unit rumah di Pulau Jawa. Dengan rata-rata kerugian akibat pelapukan per rumah sebesar Rp12.500 /tahun, maka kerugian akibat jamur pelapuk pada bangunan rumah di Pulau Jawa diperkirakan sekurang-kurangnya mencapai Rp411,2 milyar/tahun. Di Inggris biaya perbaikan kayu bangunan pada tahun 1997 yang rusak oleh jamur pelapuk adalah £3 juta per minggu (Schmidt 2007), atau sekitar Rp208 milyar/tahun. Sekarang nilai kerugian tersebut bisa jadi lebih besar. Kerugian akibat jamur pelapuk di Pulau Jawa tampak besar. Hal ini diantaranya terkait dengan iklim tropis yang hangat dan lembab, lebih mendukung aktivitas jamur pelapuk sepanjang tahun dibandingkan di daerah beriklim sedang yang memiliki empat musim. Pertumbuhan jamur tidak sama di keempat musim tersebut. Pada musim dingin pertumbuhan jamur kayu lebih lambat dibandingkan dengan di
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
55 musim semi. Selain itu Mueller et al. (2004) menyatakan bahwa keragaman jenis jamur di daerah tropis lebih tinggi daripada di daerah iklim sedang. Selain kerugian ekonomi, pelapukan komponen kayu bangunan rumah juga dapat membahayakan keselamatan penghuninya.
Kerusakan kayu oleh jamur
pelapuk terkadang tidak tampak hancur seperti terserang rayap, tapi sesungguhnya kekuatan kayu tersebut berkurang secara nyata. Sebagaimana yang dilaporkan oleh Clausen dan Kartal (2003) bahwa pelapukan kayu oleh jamur menyebabkan perubahan kimia kayu akibat kerja enzim-enzim sehingga terjaadi penurunan kekuatan yang nyata. Jamur pelapuk selain mengubah sifat-sifat kayu, dapat berpengaruh juga terhadap kesehatan manusia. Salah satu contoh kasusnya di USA yaitu terdapat penyakit paru-paru (khususnya pada bayi) yang penyebabnya adalah dari pertumbuhan jamur Stachybotrys chartarum (S. Atra). Spora jamur dalam jumlah besar juga dapat memicu alergi, seperti alergi rhinitis (radang selaput lendir hidung) atau yang menyebabkan asma (Allsopp et al. 2004). Flannigan et al. (2001) melaporkan bahwa Ganoderma, Fomes, Armillaria, Piptoporus dapat menyebabkan alergi pernafasan.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
BAB VI JENIS DAN KARAKTERISTIK JAMUR PENYEBAB PELAPUKAN PADA BANGUNAN RUMAH Identifikasi Jamur Pelapuk Kayu Jamur pelapuk yang banyak menyerang bangunan rumah diisolasi dan diberi kode DE, SC dan PB. Jamur DE diisolasi dari komponen kayu plafon bangunan yang terlindung dari sinar matahari, tapi sesekali terkena rembesan air dari atap yang bocor bila sedang turun hujan. Jamur SC diambil dari komponen kayu yang terkena hujan dan sinar matahari langsung.
Adapun jamur PB diisolasi dari
komponen tiang pintu kamar mandi yang tidak terkena hujan dan sinar matahari langsung, tapi sering terkena percikan air pemakaian di kamar mandi. Ketiga jamur pelapuk kayu berhasil ditumbuhkan pada media PDA dan media baglog yang mengandung serbuk kayu. Tubuh buah jamur DE berwarna abu-abu dengan pinggiran berwarna putih. Pada permukaan basiodikarp yang menghadap ke bawah terdiri dari banyak pori yang merupakan ujung dari tabung-tabung himenium tempat keluar spora. Tubuh buah jamur PB selain warna abu-abu dan putih ada juga bagian berwarna hitamnya. Pada permukaan putih dan abu-abu terdiri dari banyak pori. Jamur SC berbentuk seperti kipas. Permukaan atas berbulu, pinggirannya melengkung ke bawah. Di bagian bawah tudung terdiri dari banyak lamela yang menggulung memanjang radial seperti insang. Pada media PDA, miselia ketiga jamur uji pada mulanya berwarna putih (Gambar 12). Setelah sekitar 3 minggu pada kultur SC, selain hamparan miselium putih terdapat bagian yang kuning dan spot coklat. Pada kultur DE, diantara miselium yang putih terdapat bagian penebalan miselium berwarna kuning tidak merata. Adapun kultur PB warnanya merata putih dan tebal. Berdasarkan ciri-ciri tipe miselium yang diuraikan Stamets (2000), miselium jamur DE dan PB termasuk tipe linier, yaitu terdiri dari garis-garis memanjang radial yang homogen, kecuali pada miselium PB ada sebagian garis-
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
57 garis yang menebal. Adapun miselium SC termasuk pseudo-rizomorfik, yaitu seperti jalinan benang-benang terpilin halus.
Gambar 12 Isolat jamur DE, SC dan PB pada media PDA (potato dextrose agar).
Pada miselium yang sudah menua terjadi perubahan warna. Miselium DE menjadi tipe appressed berwarna coklat dan terdapat agregat-agregat cairan berwarna coklat kemerahan yang merupakan metabolit yang dihasilkan jamur tersebut. Miselium jamur PB setelah 12 minggu menjadi bertipe appressed tapi putih dengan sedikit bercak-bercak coklat dan hitam; sedangkan miselium SC menjadi tipe cottony berwarna putih dengan banyak spot-spot berwarna coklat kemerahan.
Hal ini sesuai dengan yang disampaikan Stamets (2000) bahwa
sebagian besar jamur saprofit pada mulanya memiliki miselium warna putih. Warna miselium dapat berubah ketika miselium tersebut dewasa.
Seperti
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
58 Ganoderma lucidum¸miselium muda berwarna putih, setelah dewasa menjadi kuning. Hasil pengukuran kecepatan tumbuh miselium jamur DE, PB dan SC pada media PDA dengan pH 5,6 dan suhu 30 oC menunjukkan bahwa pertumbuhan miselium jamur PB adalah yang paling cepat, sedangkan miselium jamur SC adalah yang paling lambat. Nilai rata-rata kecepatan tumbuh diameter miselium jamur DE, PB dan SC berurutan adalah 1,27 cm/hari, 1,45 cm/hari dan 1,05 cm/hari (Lampiran 15).
Gambar 13 Hifa jamur DE, SC, dan PB (C = clamp connection S = sekat hifa). Hasil pengamatan struktur somatik jamur DE, SC dan PB (Gambar 13) menunjukkan bahwa ketiga jamur tersebut memiliki hifa septat (bersekat). Menurut Schmidt (2006) septat (jamak dari septum) merupakan merupakan pembatas diantara 2 sel hifa jamur tingkat tinggi. Hifa septat biasa terdapat pada jamur kayu Ascomycetes dan Basidiomycetes. Pada septum tersebut terdapat pori sehingga sitoplasma dari kedua sel hifa tersebut bisa terhubung.
Pada
Ascomycetes pori tersebut bertipe sederhana, sedangkan pada Basidiomycetes bertipe dolipore.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
59 Clamp connection (sambungan apit) juga ditemukan pada miselia jamur DE, SC dan PB. Menurut Watanabe (2002) bahwa keberadaan hifa septat dan clamp connection merupakan ciri penting Basidiomycetes. Hifa jamur SC relatif lebih besar dibandingkan dengan hifa jamur DE dan PB. Diameter hifa jamur SC adalah 1,3-2,0 µm. Adapun hifa jamur DE dan PB rata-rata berdiameter antara 0,9-1,7 µm dan 1,0-1,6 µm. Menurut Schmidt (2006) diameter hifa bervariasi antar jenis jamur. Pada Phellinus pini ada hifa mikro berdiameter 0,1-0,4 µm. Sedangkan pada Serpula laacrimans hifa vegetaifnya berdiameter 2-7 µm, tapi juga memiliki hifa pembuluh berdiameter 60 µm.
Gambar 14
Pertumbuhan miselia (m) jamur PB, SC dan DE pada media serbuk kayu sengon (a) dan pinus (b).
Selama proses inkubasi, pertumbuhan ketiga jamur DE, SC dan PB tampak dari luar baglog dengan semakin luasnya miselium putih meliputi media serbuk kayu (Gambar 14). Miselium ketiga jamur tersebut sudah meliputi permukaan media baglog (± 200 gram) dalam 2 minggu inkubasi. Setelah 4 minggu inkubasi, miselium jamur SC mengalami penebalan dan membentuk noda-noda berwarna
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
60 coklat di antara putihnya warna miselium. Setelah 12 minggu inkubasi noda-noda tersebut menjadi hitam. Miselium jamur DE dan PB tumbuh putih merata, tapi setelah 8 minggu inkubasi warna miselium jamur DE menjadi kekuningan, sedangkan miselium jamur PB tetap putih hingga 12 minggu inkubasi. Pertumbuhan miselium kedua jamur tampak lebih tebal pada media serbuk kayu sengon. Ini menunjukkan media serbuk sengon lebih disukai kedua jamur tersebut daripada media serbuk pinus yang dikenal memiliki kandungan resin dan ekstraktif pinosylvin yang bersifat racun. Selain itu miselium jamur PB relatif lebih tebal dibandingkan miselim jamur DE Ketiga spesimen jamur uji dapat ditumbuhkan pada media baglog serbuk kayu pinus dan sengon 200 g. Dalam waktu satu bulan tubuh buahnya sudah tumbuh, kecuali tubuh buah jamur SC pada media serbuk sengon belum tumbuh hingga minggu ke-12. Tubuh buah jamur PB tumbuh pada seluruh media baglog sengon dan pinus. Tubuh buah jamur DE tumbuh pada 90% media serbuk sengon dan 63% media serbuk pinus. Adapun tubuh buah jamur SC tumbuh pada semua media serbuk pinus. Pembentukan tubuh buah selain dipengaruhi oleh faktor lingkungan, juga oleh faktor nutrisi pada substrat media. Sebagaimana dinyatakan oleh Chang dan Miles (2004) bahwa pertumbuhan tubuh buah Schizophyllum commune dapat terpacu dengan penghilangan atau kehabisan nutrisi. Pertumbuhan tubuh buah juga dapat diinduksi dengan memotong miselium vegetatif, sehingga tubuh buah tumbuh pada potongan tersebut. Selain itu terkadang tubuh buah jamur juga terbentuk pada tepi petri dish. Bentuk tubuh buah jamur SC yang tumbuh pada baglog serupa dengan yang ditemukan di lapangan yaitu seperti kulit berbentuk menyerupai kipas (Gambar 15), tapi ukurannya 1,5 kali lebih besar dari yang ditemukan di lapangan. Lebar tubuh buah SC pada baglog adalah 1-3 cm. Bagian atasnya berwarna abu-abu dan berbulu.
Bagian bawahnya memiliki lamela seperti insang dengan belahan
longitudinal yang menggulung ke dalam. Pada tubuh buah tidak terlihat adanya
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
61 stipe (tangkai) khusus, kecuali pengecilan tubuh buah langsung membentuk seperti tangkai; dagingnya relatif tipis lunak (yang muda) hingga keras (yang kering).
Gambar 15 Tubuh buah jamur SC pada kayu sengon (a), lamela pada permukaan bawah tubuh buah (b), dan jejak spora (c).
Jejak spora jamur SC yang dihasilkan berwarna putih kekuningan. Spora merupakan struktur reproduktif yang penting bagi jamur pelapuk kayu karena peranannya dalam reproduksi. Spora dari tubuh buah jamur dapat tersebar ke berbagai tempat dengan bantuan angin, serangga, hujan, dsb. Ketika menempel pada kayu, spora
mengeluarkan enzim yang
mendegradasi kayu dan
mengeluarkan hifa yang mengambil nutrisi dari dinding sel dan isi dari lumen (Harris 2001). Basidiokarp (tubuh buah) jamur DE (Gambar 16) dan jamur PB (Gambar 17) yang diisolasi tidak bertangkai dan keras. Permukaan tubuh buah jamur DE berwarna abu-abu, coklat, hitam dan putih (di lapangan), sedangkan jamur PB berwarna hitam dan putih.
Tubuh buah jamur PB yang tumbuh pada media
baglog warnanya coklat tua hingga hitam, lebih gelap dibanding tubuh buah DE yang coklat muda. Bagian konteks tubuh buah kedua jamur tersebut berwarna coklat. Menurut Flood et al. (2000), konteks Ganoderma berbeda-beda warnanya,
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
62 mulai dari putih hingga coklat tua. Warna konteks ini dapat berubah dalam lingkungan yang berbeda.
Gambar 16 Tubuh buah jamur DE (a) pada rangka plafon dan pori-pori pada permukaan bagian bawah tubuh buah (b). Himenofor jamur PB dan jamur DE berbentuk tabung dan tersusun dalam beberapa lapisan. Konteks berwarna coklat dengan tekstur seperti gabus. Ujungujung himenofor membentuk lubang-lubang pori dengan jarak cukup rapat pada permukaan bawah tubuh buah kedua jamur. Pori pada tubuh buah jamur DE berdiameter rata-rata 73,98 µm, sedangkan pada jamur PB diameter porinya adalah 91,93 µm. Berdasarkan kerapatan porinya jamur DE lebih tinggi, yaitu 55 pori/mm2, adapun jamur PB adalah 49 pori/mm2.
Pori-pori tersebut tempat
keluarnya spora-spora yang siap menjadi individu jamur baru. Bentuk spora yang dihasilkan jamur DE dan jamur PB relatif sama, bulat lonjong; permukaannya tidak rata; warnanya coklat muda hingga coklat tua. Pada jamur SC spora yang dihasilkan juga berbentuk bulat lonjong, tapi warnanya putih. Berdasarkan karakteristik anatomi dan morfologis jamur SC tersebut banyak kesamaan dengan jamur Schizophyllum commune. morfologis yang diuraikan oleh
Sebagaimana
ciri-ciri
Emberger (2006) bahwa jamur S. commune
termasuk dalam kelompok yang memiliki gill (bentuk seperti insang). Bagian
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
63 bawah basidiokarp terdiri dari lempengan radial atau gill. Fungi ini berdaging dengan gill mudah dipisahkan dari bagian lainnya. Basidiokarpnya sessile atau bertangkai lateral. Tepi gill (lempengannya) rata. Selain itu basidiokarpnya tidak hitam dan tidak terlalu kecil, mudah dilihat. Jejak sporanya berwarna putih atau abu-abu, sedangkan tudungnya tampak jelas atau agak berambut. Ukuran tubuh buah kecil (lebar 1-3 cm), bertudung keputihan, abu-abu hingga kecoklatan. Lipatan-lipatan seperti insang (gill) terbelah memanjang (tidak berkerut).
Gambar 17 Tubuh buah jamur PB pada kusen pintu (a), penampang irisan melintang tubuh buah (b), dan pori-pori pada permukaan bagian bawah tubuh buah (c). Adapun jamur DE dan jamur PB walaupun diisolasi dari tubuh buah yang bentuknya relatif berbeda dari segi ukuran dan warna, tapi dalam pengkulturan di laboratorium menunjukkan beberapa kemiripan secara morfologis, baik dalam tipe miselia, hifa dan tubuh buah yang ditumbuhkan pada media baglog serbuk kayu.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
64 Berdasarkan kunci identifikasi ciri morfologis dari Emberger (2006) untuk jamur DE dan jamur PB sama-sama termasuk pada kategori bentuk jamur poroid (berpori). Pori-pori tersebut merupakan ujung dari tabung-tabung yang dinding dalamnya menjadi tempat pembentukan spora. Ukuran pori-pori tersebut cukup kecil, yaitu 5-7 pori/mm garis, bentuknya bundar atau membentuk sudut. Basidiokarpnya keras seperti kayu dan ketika dipotong melintang menunjukkan lebih dari satu lapisan (lebih dari satu tahun pertumbuhan). Selain itu, bagian dalamnya
(konteks)
berwarna
coklat
kekuningan
atau
coklat
gelap.
Basidiokarpnya datar dengan permukaan atas tertutup kerak, sedangkan permukaan bawahnya berpori dan berwarna putih yang bila tergores menjadi coklat tua. Basidiokarpnya sering ditemukan pada berbagai jenis kayu daun lebar yang hidup ataupun telah mati. Ciri-ciri tersebut menunjukan jenis jamur G. applanatum. Dalam proses identifikasi molekuler jamur pelapuk, amplifikasi PCR (Polymerase Chain Reaction) berhasil dilakukan sehingga pita-pita DNA (Deoxyribonucleic Acid) dari ketiga jamur yang diuji (jamur DE, jamur SC, dan jamur PB) dapat dilihat melalui agarose gel electrophoersis (Gambar 18). Pitapita DNA dari ketiga spesimen jamur tersebut terpisah berdasarkan ukurannya yang berada diantara 800-900 bp. PCR sequence dan electropherogram ketiga jamur yang diuji dapat dilihat pada Lampiran 8 sampai 14. Hasil perbandingan ITS sequence ketiga jamur dengan DDBJ database (Zhang et al. 2000), terbukti bahwa jamur SC menunjukkan 99% identitas Schizophyllum commune (nomor akses Genbank: EF155505.1). menunjukkan
93%
Adapun jamur DE dan jamur PB sama-sama
identitas
Ganoderma
lipsiense
(nomor
akses
Genbank:EF060006.1). Menurut The BayScience Foundation (2009), G. lipsiense adalah nama lain dari G. applanatum, termasuk family Ganodermataceae, ordo Polyporales, class Basidiomycetes, phylum Basidiomycota. Menurut Niemela dan Miettinen (2008), G. applanatum merupakan pelapuk serius pada pohonpohon di taman dan hutan serta sering ditemukan pada tunggak pohon bekas tebangan.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
65
Gambar 18 Hasil gel electrophoresis produk PCR dari rDNA jamur PB, jamur SC dan jamur DE (M = marker). S. commune termasuk family Schizophyllaceae, ordo Agaricales, class Homobasidiomycetes, phylum basidiomycota (UniProt Consortium 2010).
S.
commune merupakan penyebab penyakit pada pohon meranti merah (Shorea smithiana) (Erwin et al. 2008). Menurut Kuo (2003) juga S. commune tumbuh pada kayu dan kadang kadang bersifat parasit pada pohon. S. commune tumbuh secara soliter tapi lebih sering berkelompok atau kluster pada log, ataupun kayu gergajian. Dalam keadaan kering bisa bertahan hingga datang kelembaban untuk tumbuh lagi. Menurut Adejoye et al. (2007), S. commune merupakan salah satu jamur yang dapat di makan, sumber protein, vitamin, lemak dan mineral di Nigeria.
Namun pertumbuhannya secara alami hanya pada musim hujan,
sehingga perlu dibudidayakan.
Uji Oksidasi Jamur Pelapuk Kayu Hasil uji oksidasi
jamur
pelapuk
menggunakan
memperlihatkan reaksi enzimatik yang cukup cepat.
media guaiacol
Media guaiacol yang
diinokulasi jamur G. applanatum, kode jamur PB dan DE sama-sama mengalami pewarnaan menjadi coklat (Gambar 19). Setelah 2 dan 8 hari inkubasi, diameter
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
66 zona berwarna merah-cokelat pada media guaiacol tersebut sekitar 2 cm dan 5 cm. Ini juga sesuai dengan hasil identifikasi molekuler spesimen jamur DE dan PB, membuktikan bahwa kedua spesimen jamur tersebut merupakan pelapuk putih yang memiliki kemampuan mendegradasi komponen lignin dalam kayu. Flood et al. (2000) juga mengungkapkan bahwa Ganoderma merupakan jamur Basidiomycetes yang menyebabkan lapuk putih pada kayu daun lebar. Selain sebagai penyebab penyakit tumbuhan, Ganoderma juga telah lama digunakan sebagai obat tradisional di Cina, Jepang, dan Korea.
(a)
(b)
(c)
Gambar 19 Pewarnaan yang terjadi pada media guaiacol setelah diinokulasi jamur DE (a), jamur SC (b), dan jamur PB (c). Sedangkan jamur S. commune (kode jamur uji SC) tidak menunjukkan pewarnaan atau bereaksi negatif hingga hari ke 8 inkubasi.
Sementara itu
miseliumnya tampak tumbuh tipis dengan diameter 5 cm.
Diduga dalam
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
67 pengujian guaicol ini S. commune hanya sedikit mengeluarkan laccase. Walaupun tidak menunjukkan perubahan warna, jamur S. commune merupakan jamur pelapuk putih, sebagaimana dinyatakan oleh Ghosh et al. (2005), Hirai et al (2008), dan Tsujiyama & Minami (2005).
Pertumbuhan Jamur Pelapuk pada Berbagai Suhu Inkubasi Selain makanan dan oksigen, lingkungan yang hangat dan lembab dibutuhkan jamur untuk pertumbuhannya (Harris 2001).
Hasil eksperimen
menunjukkan bahwa jamur Schizophyllum commune dan Ganoderma applanatum memiliki suhu optimum yang berbeda dalam pertumbuhannya. Suhu optimum pertumbuhan kedua jamur uji dalam eksperimen ini lebih tinggi dari 25 oC (Gambar 20).
Gambar 20 Pertumbuhan diameter miselia jamur pelapuk S.commune dan G. applanatum pada berbagai suhu inkubasi. Pertumbuhan miselia jamur S. commune dan G. applanatum pada media PDA memberikan respon cukup baik. Suhu optimum pertumbuhan jamur G. applanatum pada media PDA adalah antara 35 oC dan 40 oC, atau tepatnya adalah pada suhu 37 oC. Pada suhu tersebut pertumbuhan diameter miseliumnya sebesar 1,99 cm/hari, termasuk pertumbuhan yang cepat, sedangkan pada suhu 25 oC
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
68 pertumbuhannya agak cepat yaitu 1,24 cm/hari. Data pertumbuhan miselium pada berbagai suhu disajikan pada Lampiran 15.
Sebagai perbandingan adalah
pertumbuhan jamur G. boninense yang lebih lambat yaitu 0,9 cm/hari pada suhu optimumnya 30 oC (Abadi 1987), sedangkan pertumbuhan G. australe sebesar 0,6 cm/hari (Yeh & Chen 1990). Jamur S. commune tumbuh optimum antara suhu 25 oC dan 30 oC, atau tepatnya pada suhu 29 oC dengan kecepatan tumbuh diameter miselium 1,07 cm/hari, sedangkan pada suhu 25 oC adalah 0,96 cm/hari.
Hal itu berarti
pertumbuhan jamur S. commune pada suhu ruang dan suhu optimumnya termasuk klasifikasi agak cepat.
Sementara itu berdasarkan percobaan Adejoye et al.
(2007) suhu optimum pertumbuhan S. commune pada media PDA yang diperkaya dengan pepton adalah 25 oC. Pertumbuhan jamur pelapuk kayu pada umumnya lebih cepat dalam keadaan hangat daripada dalam keadaan dingin.
Suhu optimum untuk
pertumbuhan bervariasi antar jenis jamur, tapi pada umumnya jamur tumbuh baik pada suhu 12-40 oC. Adapun suhu optimum untuk jamur pelapuk yang digunakan dalam pengujian laboratorium berkisar antara 28–36 oC (Nicholas & Crawford 2003). Penelitian yang dilakukan oleh Harris (2001) menunjukkan bahwa suhu optimum pertumbuhan jamur adalah 20–25
o
C.
Di atas 30
o
C aktivitas
pertumbuhan jamur menurun bahkan di bawah 0 oC dan di atas 40 oC pada umumnya jamur pelapuk mati. Pertumbuhan jamur S. commune pada berbagai suhu lebih lambat dibandingkan dengan jamur G. applanatum. Berdasarkan kelas pertumbuhannya pada suhu ruang (25 oC) jamur G.applanatum tergolong cepat, sedangkan jamur S. commune tergolong agak cepat. Pada suhu 45 oC pertumbuhan jamur S. commune terhenti, sedangkan pertumbuhan jamur G. applanatum baru terhenti pada suhu 50 o
C. Dengan demikian untuk tujuan pengendalian serangan kedua jamur pelapuk
ini pada kayu diperlukan suhu sekitar 60 oC.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
69 Pertumbuhan Jamur Pelapuk pada Berbagai pH Media Hasil pengujian menunjukkan bahwa kecepatan tumbuh miselia jamur S. commune dan G. applanatum bervariasi dalam pengaruh pH yang berbeda. Pada media ber-pH 7, jamur G. applanatum tidak menunjukkan pertumbuhan (perluasan miselium), sedangkan jamur S. commune memperlihatkan respon pertumbuhan setelah lebih dari 10 hari inkubasi (Gambar 21).
Hal ini
menunjukkan kemampuan adaptasi jamur S. commune pada pH yang lebih tinggi dibanding jamur G. applanatum.
(a)
(b)
Gambar 21 Pertumbuhan miselia jamur pelapuk S. commune pada media PDA (pH 7) hingga 10 hari inkubasi (a) dan setelah 34 hari inkubasi (b). Pada Gambar 22 diperlihatkan bahwa jamur S. commune dan G. applanatum membutuhkan kondisi asam untuk tumbuh dengan baik. Bowyer et al. (2003) juga mengungkapkan bahwa jamur lebih suka kondisi asam yaitu pada pH 4-6. Pada pH 5,4 atau lebih tinggi, kecepatan pertumbuhan jamur S. commune dan G. applanatum cenderung menurun. Selain itu, jamur S. commune juga cenderung menurun kecepatannya pada pH kurang dari 4,3. Nilai pH optimum untuk kedua jamur uji hampir sama, yaitu antara pH 4,3 dan 5,0.
Hasil perhitungan regresi, pH optimum G. applanatum adalah 4,6,
sedangkan untuk S. commune adalah 4,8. Kecepatan pertumbuhan diameternya
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
70 pada pH optimum dan suhu 35 oC masing-masing adalah 1,82 cm/hari (G. applanatum) dan 1,16 cm/hari (S. commune).
Data pertumbuhan diameter
miselium jamur dalam variasi pH disajikan pada Lampiran 16. Sebagai perbandingan ternyata bahwa nilai pH optimum G. boninense adalah 4.0 dengan kecepatan pertumbuhan 0,7 cm/hari.
Pertumbuhannya
terhambat pada pH 2,5 dan 8,0 (Abadi 1987). Adapun pH optimum S. commune yang diperoleh dalam penelitian ini lebih rendah daripada yang dilaporkan Adejoye et al (2007) yaitu 5,5.
Gambar 22 Pertumbuhan diameter miselia jamur S. commune dan G. applanatum pada berbagai pH media.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
BAB VII DAMPAK SERANGAN JAMUR PELAPUK TERHADAP SIFAT-SIFAT KAYU Pengaruh Serangan Jamur Pelapuk terhadap Struktur Anatomi Kayu Kayu memiliki struktur kompleks dan dapat menyimpan air yang sangat penting bagi kelangsungan hidup organisme perusak kayu. Selain itu, ronggarongganya dapat memfasilitasi aktivitas dan pergerakan organisme perusak serta hifa-hifa jamur dalam kayu. Dengan demikian kayu bukan hanya menjadi bahan makanan organisme perusak, tapi juga sebagai media yang mendukung dan melindungi organisme tersebut dalam melangsungkan kehidupannya.
Gambar 23
Hifa (h) jamur pelapuk G. applanatum dalam saluran interseluler (i) dan sel jari-jari (j) kayu pinus serta dalam sel pembuluh (p) kayu sengon (perbesaran 450 x).
Hasil pengamatan mikroskopis pada preparat slide mikrotom kayu sengon dan pinus yang digunakan dalam uji pelapukan menujukkan keberadaan hifa-hifa jamur dalam sel jari-jari, sel pembuluh kayu sengon dan dalam saluran interseluler kayu pinus (Gambar 23 dan 24). Artinya sel jari-jari, sel pembuluh dan saluran interseluler tersebut menjadi awal akses utama serangan jamur pelapuk ke dalam kayu daun lebar maupun kayu daun jarum. Dengan demikian proporsi, ukuran,
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
72 distribusi dan orientasi sel-sel dan saluran interseluler tersebut akan menentukan tingkat kolonisasi jamur dalam kayu.
Gambar 24
Hifa (h) jamur pelapuk S. commune dalam saluran interseluler (i) dan sel jari-jari (j) kayu pinus serta dalam sel pembuluh (p) kayu sengon (perbesaran 450 x).
Jamur G. applantum dan S. commune mampu menembus ke bagian dalam jaringan kayu dengan kecepatan invasi yang berbeda.
Jamur G. applanatum
sendiri bergerak relatif lebih cepat dalam mengkolonisasi jaringan kayu dibandingkan dengan jamur S. commune.
Hal ini terkait dengan sifat
pertumbuhan jamur yang berlainan antar jenis yang berbeda. Kemampuan hidup berbagai jenis jamur pelapuk dalam keterbatasan air dan nutrisi dalam kayu juga dapat berlainan. Mekanisme serangan jamur pelapuk pada kayu diawali ketika spora dari sumber infeksi menempel pada kayu dan berkecambah membentuk hifa-hifa jamur yang kemudian bercabang-cabang membentuk miselium yang melekat pada permukaan kayu. Hifa-hifa jamur kemudian masuk melalui sel jari-jari yang merupakan jalan paling mudah bagi hifa jamur untuk mendegradasi kayu. Selain itu, jari-jari merupakan sel-sel parenkim yang mengandung zat-zat makanan bagi
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
73 jamur, sebagaimana diungkapkan Bowyer et al. (2003) bahwa gula dan pati terdapat dalam lumen sel dan parenkim jari-jari kayu. Zat-zat tersebut merupakan nutrisi yang mudah dikonsumsi oleh jamur dalam jumlah terbatas. Sel jari-jari juga merupakan jalan yang mudah dilewati oleh hifa-hifa jamur karena secara alami sel jari-jari juga berfungsi sebagai sarana transportasi. Sel jari-jari yang tersusun seperti susunan batu bata pada bangunan, berfungsi dalam sintesis, penyimpanan, transport lateral bahan biokimia dan air (Rowell 2005). Selain itu sel parenkim jari-jari berdinding tipis sehingga relatif mudah terdegradasi dan ditembus oleh hifa jamur. Dalam kayu daun lebar, sel-sel jari-jari yang menjadi sarana pergerakan jamur ini, memiliki ukuran yang lebih bervariasi dan lebih besar daripada dalam kayu daun jarum (Butterfield 2006), bahkan proporsi sel jari-jari dalam kayu daun lebar pada umumnya 30% lebih banyak daripada dalam kayu daun jarum (Ridout 2004). Dengan demikian akses hifa-hifa jamur pada arah radial dalam kayu daun lebar secara fisik relatif lebih besar dibandingkan dengan dalam kayu daun jarum. Selain itu, sel jari jari yang berorientasi pada arah radial menjadikan bidang tangensial kayu lebih terbuka dibandingkan dengan bidang radial sebagai jalan invasi hifa-hifa jamur ke dalam kayu. Pada arah longitudinal, jalan termudah bagi jamur dalam menginvasi ke dalam kayu daun lebar adalah melalui sel pembuluh, sedangkan pada kayu daun jarum melalui saluran interseluler. Kemudahan itu terjadi karena pergerakan air dalam kayu daun lebar terjadi melalui sel-sel pembuluh yang ujungnya bersambungan satu sama lain. Pada dinding ujung sel-sel pembuluh ini terdapat bidang perforasi sehingga bisa dilewati air (Ridout 2004).
Selain itu, sel
pembuluh memiliki ukuran cukup besar untuk dimasuki hifa yaitu antara 50-200 µm bahkan bisa lebih dari 300 µm (Rowell 2005), sementara diameter hifa pada umumnya antara 1-30 µm (Walker & White 2005). Sel pembuluh dan saluran interseluler yang berorientasi pada arah longitudinal menjadikan bidang lintang kayu pada umumnya lebih banyak terbuka bagi akses spora dan hifa jamur sehingga bisa menempel dan masuk ke dalam jaringan kayu. Bidang lintang kayu juga lebih tinggi permeabilitasnya dibandingkan dengan bidang radial dan tangensial, sehingga air dan kelembaban dapat cepat masuk ke dalam kayu pada arah longitudinal secara kapiler dan menjadikan bagian dalam kayu kondusif bagi
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
74 pertumbuhan dan pergerakan hifa-hifa jamur. Di dalam sel pembuluh, hifa-hifa jamur tidak mendapatkan cukup bahan yang bisa dikonsumsi karena saluran pembuluh memiliki dinding sel sekunder tebal dan mengalami lignifikasi serta tidak mengandung sitoplasma (Zwieniecki & Holbrook 2000), akan tetapi hifahifa jamur juga dapat bergerak ke sel-sel lainnya melewati noktah, sehingga terjalin akses pergerakan hifa dalam kayu baik pada arah longitudinal maupun arah lateral.
Gambar 25
Noktah sederhana (a) menghubungkan dua sel parenkim; noktah halaman (b) menghubungkan rongga antar dua sel trakeid; dan noktah setengah halaman (c) menghubungkan sel trakeid dengan sel parenkim (Bowyer et al. 2003).
Noktah merupakan celah di antara dinding sekunder sel kayu. Umumnya noktah berpasangan di antara dua sel yang berhubungan (Gambar 25). Ada dua tipe noktah, yaitu noktah halaman (bordered pits) dan noktah sederhana (simple pits). Noktah sederhana menghubungkan antar sel-sel parenkim seperti antar sel jari-jari, sedangkan noktah halaman pada umumnya terdapat pada dinding sel-sel trakeid kayu daun jarum dan sel-sel serabut kayu daun lebar. Noktah halaman yang menghubungkan antar sel-sel trakeid memiliki membran. Membran tersebut terdiri atas pasangan dinding primer dan lamela tengah. Bagian luarnya disebut margo yang terdegradasi secara alami dan memungkinkan air melewatinya. Adapun bagian tengahnya tetap utuh membentuk torus (Butterfield 2006). Selain
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
75 kedua tipe noktah tersebut ada juga noktah setengah halaman (half-bordered pits) yang menghubungkan sel trakeid dengan sel jari jari atau sel parenkim aksial (Fujita & Harada 2001). Pada dinding saluran pembuluh juga terdapat banyak noktah setengah halaman yang menghubungkannya dengan parenkim aksial dan parenkim jari-jari di sekitarnya (Bowyer et al. 2003). Kondisi struktur kayu seperti itu mempermudah bagi hifa-hifa jamur untuk menginvasi dan masuk ke bagian dalam kayu. Untuk mendapatkan sumber nutrisi yang lebih banyak terutama selulosa dalam dinding sel kayu, jamur pelapuk terhalang oleh lamela tengah dan dinding primer yang kaya lignin. Jalan yang relatif mudah bagi jamur untuk dapat masuk ke dalam sel kayu pada umumnya melewati noktah terutama pada awal serangan dengan terlebih dahulu mendegradasinya secara enzimatik dan secara fisik oleh hifa yang sangat halus (Ø 1 µm). Secara alami, noktah pada dinding sel dapat dilewati air dalam proses fisiologi pohon terutama pada bagian margo yang lebih permeabel. Bahkan dalam kayu daun jarum, pergerakan air melalui sel-sel trakeid yang memiliki banyak noktah halaman (bordered pit) (Butterfield 2006). Dengan terdegradasinya noktah pada dinding sel serabut dan trakeid maka air lebih mudah masuk ke dalam sel kayu secara kapiler.
Oleh karena itu kayu-kayu yang
terserang jamur pelapuk cenderung lebih tinggi kadar airnya daripada kayu yang utuh. Setelah berhasil masuk ke dalam rongga, hifa tumbuh dan menempel pada dinding sekunder. Maka terjadilah degradasi dinding sel kayu mulai dari dinding lumen sel (dari dalam rongga sel). Dinding sekunder sel kayu yang kaya selulosa terdegradasi terutama yang disekitar hifa sehingga terbentuk alur-alur erosi dan menyebabkan penipisan dinding sel kayu dari dalam (lumen) ke luar dinding sel (Schwarze et al. 2000 ). Degradasi dinding sel kayu ini terjadi secara enzimatik yang spesifik bagi setiap jenis jamur sehingga laju degradasi yang terjadi juga dapat berlainan antar jenis jamur.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
76 Scanning electron micrograph (5kV) menunjukkan bahwa torus dalam noktah halaman sel kayu Pinus insularis telah terdegradasi jamur G. applanatum dalam 4 minggu inkubasi, sedangkan jumlah tori terdegradasi semakin banyak dalam inkubasi 12 minggu (Gambar 26).
Adapun noktah-noktah yang
terdegradasi jamur S. commune setelah pengumpanan 4 minggu pada dinding sel kayu pinus relatif sedikit. Baru kemudian setelah 12 minggu inkubasi terjadi banyak noktah yang terdegradasi (Gambar 27). Ini membuktikan bahwa jamur S. commune lebih lambat dalam mendegradasi kayu pinus dibandingkan dengan jamur G. applanatum.
Gambar 26 Bagian noktah pada dinding sel kayu pinus yang terdegradasi (d) oleh jamur pelapuk G. applanatum (perbesaran 2000 x). Pada kayu sengon, kerusakan noktah juga terjadi oleh jamur G. applanatum (Gambar 28). Sementara itu studi yang dilakukan oleh Green dan Clausen (1999) selama 3 minggu inkubasi ditemukan bahwa jamur pelapuk putih menghidrolisis semua membran noktah halaman, sedangkan jamur pelapuk coklat hanya merusak torus, melemahkan dan merobek membran noktah. Kedua jenis jamur sama-sama memiliki kapasitas menghidrolisis pektin, merusak membran noktah dan meningkatkan permeabilitas kayu selama kolonisasi sehingga lebih mudah menyerap air.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
77
Gambar 27
Bagian noktah pada dinding sel kayu pinus yang terdegradasi (d) oleh jamur pelapuk S. commune (perbesaran 2000 x).
Gambar 28 Bagian noktah pada dinding sel kayu sengon (t) yang terdegradasi jamur pelapuk G. applanatum (perbesaran 2000 x).
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
78 Hasil pengamatan dengan mikroskop stereo pada kayu pinus dan sengon setelah uji pelapukan terhadap jamur G. applanatum dan S. commune menunjukkan terbentuknya lubang dan rongga-rongga yang dapat dilihat dengan mikroskop stereo (Gambar 29 dan 30). Rongga-rongga yang tampak pada bidang radial terutama disebabkan degradasi sel jari-jari dan sel-sel kayu di sekitarnya yang semakin lama semakin luas. Pada kayu pinus, lubang-lubang besar juga terjadi karena sel-sel trakeid di sekitar saluran interseluler terdegradasi sehingga memperbesar saluran tersebut. Adapun pada kayu sengon, lubang-lubang besar terjadi karena degradasi sel-sel parenkim aksial dan sel-sel serabut di sekitar saluran pembuluh. Banyaknya rongga-rongga dan lubang yang terbentuk dapat berpengaruh pada kekuatan kayu.
Gambar 29 Rongga-rongga (r) yang terbentuk oleh jamur pelapuk G. applanatum pada kayu sengon (a) dan pinus (b). Masa inkubasi semakin lama, proses dedgradasi semakin keras sehingga terjadi kerusakan struktur sel.
Pada kayu yang diinkubasi selama 8 dan 12
minggu lebih banyak terbentuk lubang dibandingkan dengan yang diinkubasi selama 4 minggu. Kayu uji menjadi lebih berongga-rongga setelah inkubasi 8 minggu terutama yang diserang jamur G. applanatum.
Pola degradasi kayu
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
79 sengon dan pinus oleh jamur G. applanatum dan S. commune tersebut merupakan tipe pelapukan simultan.
Gambar 30 Rongga-rongga (r) yang terbentuk oleh jamur pelapuk S. commune pada kayu sengon (a) dan pinus (b). Miselium yang tumbuh dalam lumen sel dapat membentuk lubang-lubang dan mendegradasi dinding sel secara progresif (Bowyer 2003). Levin dan Castro (1998) juga menemukan pola degradasi yang serupa pada kayu populus yang diserang oleh jamur pelapuk putih Trametes trogii, yaitu kayu menjadi beronggarongga serta porous seperti spong, sedangkan pada kayu salix meninggalkan selsel pembuluh sehingga kayu menjadi stringy (terdiri atas banyak benang). Adapun Luna et al. (2004) mengungkapkan bahwa serangan jamur G. lucidum menyebabkan kombinasi delignifikasi selektif dan pelapukan simultan.
Ciri
utama delignifikasi selektif adalah terjadinya pemisahan antar sel-sel kayu, sedangkan pelapukan simultan ditandai dengan erosi dan penipisan dinding sel kayu serta terbentuknya rongga-rongga pada kayu.
Dengan demikian jamur
penyebab pelapukan simultan dapat menurunkan masa dan kekuatan kayu lebih besar dibandingkan dengan jamur penyebab delignifikasi selektif. Schwarze et al. (2000) telah membuktikan bahwa kayu beech yang lapuk simultan oleh jamur
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
80 Fomes fomentarius mengalami penurunan nilai keteguhan pukul lebih besar daripada yang mengalami delignifikasi selektif oleh G. pfeifferi. Pada pelapukan lebih lanjut banyak dinding sel yang menipis bahkan habis terdegradasi sehingga terjadi peningkatan volume rongga dalam kayu dan kekuatannya menurun drastis.
Bila kayu tersebut mengering, akan mudah
mengalami collapse dan perubahan bentuk.
Pengaruh Serangan Jamur Pelapuk terhadap Sifat Kimia Kayu Selulosa, hemiselulosa dan lignin adalah komponen kayu yang menjadi sumber nutrisi jamur pelapuk dengan terlebih dahulu diuraikan menjadi molekulmolekul sederhana dengan bantuan metabolit yang dihasilkan pada ujung dan sisi hifa (Bowyer et al. 2003). Hasil uji biodeteriorasi media serbuk kayu pinus dan sengon oleh jamur G. applanatum dan S. commune menunjukkan terjadinya gejala lapuk putih. Hal ini terbukti dengan perubahan warna media serbuk kayu dalam baglog dari coklat menjadi lebih pucat (coklat muda). Perubahan warna tersebut sudah tampak dalam masa inkubasi 2 minggu (Gambar 31) dan merupakan indikasi terjadinya degradasi lignin dalam kayu pinus dan sengon oleh jamur G. applanatum dan S. commune.
Gambar 31 Perubahan warna media serbuk kayu setelah diinokulasi dengan jamur pelapuk G. applanatum (GS) dan S. commune (SS) selama dua minggu (S=kontrol).
Penelitian ini menujukkan bahwa proporsi kandungan selulosa dalam kayu sengon lebih tinggi daripada dalam kayu pinus (Gambar 32). Walker (2006) juga
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
81 mengungkapkan bahwa kadar selulosa dalam kayu daun lebar pada umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan dalam kayu daun jarum. Hasil analisis kimia membuktikan bahwa telah terjadi perubahan komposisi kimia media serbuk kayu sengon dan pinus setelah uji biodeteriorasi dengan jamur G. applanatum dan S. commune. Kadar selulosa media serbuk kayu menurun cukup besar setelah uji biodeteriorasi, sedangkan proporsi kandungan ligninnya tidak banyak berubah. Hal ini menunjukkan laju degradasi selulosa oleh kedua jamur tersebut lebih tinggi daripada degradasi lignin. Penurunan kadar selulosa yang lebih tinggi daripada lignin ini merupakan ciri lapuk putih simultan. Adapun dalam lapuk putih selektif (delignifikasi selektif), lignin terdegradasi lebih banyak daripada selulosa, terutama dalam tahap awal pelapukan (Schwarze et al. 2000).
(b) (a) Gambar 32 Kadar selulosa dan lignin serbuk kayu pinus (a) dan sengon (b) setelah 12 minggu uji biodeteriorasi dengan jamur pelapuk G. applanatum dan S. commune.
Penurunan kadar selulosa yang lebih besar dibandingkan dengan lignin ini menunjukkan bahwa sudah terjadi degradasi berat dalam dinding sekunder sel-sel kayu. Hal ini mengingat bahwa sebagian besar selulosa dalam sel serabut kayu daun lebar atau dalam sel trakeid kayu daun jarum berada pada dinding sekunder. Selulosa, hemiselulosa dan lignin berada pada setiap lapisan dinding sel, tapi proporsi selulosa tertinggi adalah di bagian tengah lapisan S2 dinding sekunder. Adapun proporsi lignin tertinggi adalah di lamela tengah.
Proporsi lignin
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
82 dibandingkan dengan komponen kimia lainnya semakin berkurang pada lapisan S1, S2, dan S3 (Bowyer et al. 2003). Pada uji biodeteriorasi ternyata jenis jamur berpengaruh nyata terhadap komposisi selulosa dan lignin dalam kayu (Lampiran 17). Total kadar selulosa dan lignin kayu sengon dalam uji dengan jamur G. applanatum relatif lebih rendah dibandingkan dengan yang diumpankan terhadap jamur S. commune, sedangkan pada kayu pinus total kadar selulosa dan ligninnya lebih rendah pada media serbuk kayu yang diumpankan terhadap S. commune. Hal ini menunjukkan bahwa degradasi kayu sengon oleh jamur G. applanatum lebih besar daripada oleh jamur S. commune. Hasil penelitian Dill dan Kraeplin (1986) juga membuktikan bahwa G. applanatum dapat menimbulkan delignifikasi ekstensif dan penguraian sel-sel serabut dalam kayu. Kayu yang terserang jamur pelapuk pada umumnya lebih lunak bila ditekan dengan kuku atau benda keras dan bila dicungkil dengan benda tajam serabutserabutnya mudah putus.
Adapun kayu utuh bila dicungkil benda tajam
serabutnya tidah mudah putus.
Menurut Senese (2010) selulosa merupakan
komponen utama pada dinding sel kayu yang memberikan kekuatan pada kayu. Selulosa lebih berperan dalam kekuatan tarik aksial, sedangkan hemiselulosa dan lignin lebih menentukan elastisitas dan kekuatan tekan kayu (Ridout 2004). Oleh karena itu perubahan dalam komponen utama kayu ini akan merubah kemampuan struktural kayu.
Degradasi selulosa dan lignin kayu akibat serangan jamur
pelapuk pada struktur bangunan sangat berbahaya.
Sebagai contoh, dalam
struktur balok lentur yang biasa dipakai pada bagian dasar kuda-kuda atap, apabila terjadi pelapukan, maka kondisi balok menjadi kritis, karena bagian bawah balok lentur mengalami tegangan tarik, sedangkan pada bagian atasnya mengalami tegangan tekan sejajar serat. Penurunan kadar selulosa oleh kedua jenis jamur pada kayu sengon lebih besar dibandingkan dengan yang terjadi pada kayu pinus.
Kandungan dan
komposisi lignin berperan penting dalam ketahanan kayu dari pelapukan. Pada Gambar 32 tampak bahwa proporsi lignin dalam kayu pinus lebih tinggi daripada dalam kayu sengon. Ridout (2004) juga melaporkan bahwa jamur pelapuk putih
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
83 lebih banyak menyerang jenis kayu daun lebar, karena banyak pelapuk putih kesulitan mendegradasi lignin dalam kayu daun jarum yang jenis dan kuantitasnya berbeda dengan kayu daun lebar. Karakteristik lignin pinus yang merupakan kayu daun jarum berbeda dengan lignin pada sengon yang merupakan kayu daun lebar. Penyusun utama lignin dalam kayu daun jarum adalah unit fenilpropan dengan satu metoksil (guaiasil, G), sedangkan penyusun utama lignin dalam kayu daun lebar adalah unit fenilpropan dengan dua metoksil (siringil, S) dan guaiasil (Martinez et al. 2005). Kandungan lignin siringil berkaitan dengan kerentanan kayu dari serangan jamur pelapuk. Kayu yang tinggi kadar lignin siringilnya yaitu kayu red maple, lebih cepat terdegradasi jamur Trametes versicolor daripada kayu boxelder yang rendah kadar liginin siringilnya. Padahal kedua jenis kayu tersebut memiliki komposisi kimia dan sifat anatomi yang agak sama (John et al. 1994). Selain lignin, perlindungan alami yang dimiliki kayu dari serangan organisme perusak adalah zat ekstraktif. Sebagaimana diungkapkan oleh Rowell et al. (2005) bahwa ekstraktif dalam kayu daun lebar maupun kayu daun jarum dapat menyebabkan kayu awet. Zat ekstraktif terdiri atas lemak, asam lemak, fenol, terpena, steroid, asam resin, rosin, lilin, dan senyawa organic lainnya. Menurut Harris (2001) jenis dan kadar ekstraktif menentukan daya tahan kayu dari pelapukan.
Methanol merupakan ekstraktif kayu yang dapat menahan
serangan jamur dan bisa digunakan sebagai bahan pengawet. Ekstraktif penahan pelapukan lainnya adalah tanin terlarut, courmarin, alkaloid, terpenoid, dan steroid, semuanya merupakan produk metabolit sekunder. Selain itu Harju et al. (2003) melaporkan bahwa kayu Scot pine (Pinus sylvestris L) yang tahan dari serangan jamur Coniophora puteana memiliki kandungan ekstraktif fenolik lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak tahan.
Begitupula Venalainen et al.
(2002) melaporkan bahwa keawetan kayu Scots pine dari jamur pelapuk terutama dipengaruhi oleh konsentrasi pinosylvin dan monometil eter yang merupakan senyawa fenolik yang tergolong stilbena.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
84 Pengaruh Serangan Jamur Pelapuk terhadap Berat Kayu Jamur G. applanatum dan S. commune merupakan jamur pelapuk putih yang mampu mendegradasi dinding sel kayu yang terdiri atas selulosa, hemiselulosa dan lignin menjadi gula sederhana secara enzimatik yang kemudian diserapnya. Dengan demikian, semakin banyak masa kayu yang terurai mengakibatkan penurunan berat kayu yang semakin tinggi dan menujukkan kemampuan mendegradasi jamur yang semakin tinggi.
(a)
(b)
Gambar 33 Kolonisasi jamur G. applanatum (a) dan S. commune (b) pada contoh uji kayu. Jamur G. applanatum dapat secara cepat menyelimuti ketiga jenis kayu uji (kamper, pinus dan sengon), sedangkan S. commune hanya menutup sebagian permukaan kayu uji (Gambar 33). Penurunan berat terjadi pada ketiga contoh uji kayu oleh jamur G. applanatum dan S. commune. Penurunan berat kayu uji tersebut semakin tinggi dengan semakin lamanya masa inkubasi, sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 34. Dalam konstruksi kayu di lapangan kehilangan masa kayu tersebut bisa lebih lambat daripada yang terjadi dalam eksperimen ini, karena di alam banyak mikroorganisme lain yang dapat menjadi penghambat pertumbuhannnya, atau karena
kondisi
lingkungannya
yang
tidak
selamanya
pertumbuhannya, terutama adalah ketersediaan air pada kayunya.
mendukung
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
85
(a)
(b)
(c) Gambar 34 Penurunan berat kering kayu kamper (a), pinus (b), dan sengon (c) oleh jamur pelapuk G. applanatum dan S. commune. Pada Gambar 35 juga terlihat bahwa kehilangan berat kayu sengon, kamper dan pinus yang disebabkan oleh jamur G. applanatum lebih besar dibandingkan dengan yang diakibatkan oleh jamur S. commune. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan jamur G. applanatum dalam mendegradasi kayu lebih tinggi dibandingkan dengan jamur S. commune.
Bahkan pada kayu sengon, G.
applanatum menyebabkan kehilangan berat kayu hampir dua kali yang diakibatkan S. commune, yaitu rata-rata masing-masing 12,6% dan 6,7% selama
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
86 12 minggu inkubasi. Dengan demikian kehadiran jamur G. applanatum dalam konstruksi harus lebih diwaspadai dan segera dikendalikan serangannya. Nsolomo (2000) dalam penelitiannya juga membuktikan bahwa G. australe dan S. commune merupakan jamur pelapuk putih yang mengakibatkan penurunan berat kayu Ocotea sebesar 16% dan 2% selama empat bulan inkubasi. Degradasi kayu oleh G. australe ternyata nilainya lebih besar dibandingkan dengan degradasi oleh S. commune. Di antara ketiga jenis kayu terbukti secara statistik bahwa kayu sengon paling tinggi penurunan beratnya, disusul kemudian oleh kayu kamper dan yang terkecil penurunan beratnya adalah kayu pinus (Lampiran 18).
Hal ini
menunjukkan bahwa kayu sengon paling tidak tahan dari serangan jamur pelapuk yang digunakan dalam penelitian ini.
Sengon yang dikenal jenis kayu cepat
tumbuh (fast growing species) sebagian besar terdiri atas kayu gubal dan tidak memiliki ekstraktif bersifat racun yang dapat melindunginya dari serangan jamur pelapuk. Lapuk berat (lebih dari 10% penurunan berat kayu) oleh G. applanatum hanya terjadi pada kayu sengon, yang sudah terjadi dalam masa inkubasi 8 minggu. Kayu kamper dan pinus mengalami lapuk sedang disebabkan oleh jamur G. applanatum pada masa inkubasi berurutan 8 dan 12 minggu. Dalam penelitian ini jamur S. commune tidak menimbulkan lapuk berat walaupun pada kayu seperti sengon yang termasuk paling tidak awet. Variasi ketahanan kayu dari serangan jamur pelapuk ini terutama dipengaruhi oleh kandungan zat ekstraktifnya sebagaimana diungkapkan oleh Butterfield (2006) bahwa akumulasi zat ekstraktif jenis polifenol dalam kayu teras menyebabkan penurunan kadar air dan dapat memperlambat pelapukan oleh jamur. Celimene et al. (1999) juga melaporkan bahwa pinosilvin yang diekstrak dari kayu Pinus banksiana dan Pinus resinosa, dapat menahan pertumbuhan jamur pelapuk putih. Ekstrak kayu kamper (Dryobalanops aromatica) banyak mengandung terpena dan asam lemak. Terpena dan polifenol merupakan senyawa antimikroba yang sering terdapat dalam kayu.
Beberapa triterpen yang
teridentifikasi dengan HPLC (High Performance Liquid Chromatographhy)
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
87 dalam kayu kamper adalah kapurone, dryobalanone, dipterocarpol, dan terpinihidrat, dengan proporsi yang bervariasi antar daerah pertumbuhan dan umur pohon (Ali et al. 1990).
Pengaruh Serangan Jamur Pelapuk terhadap Berat Jenis Kayu Berat jenis (BJ) merupakan indikator kepadatan masa kayu. Kayu dengan BJ tinggi pada umumnya memiliki dinding sel yang tebal.
Kayu yang telah
diumpankan pada jamur pelapuk dan mengalami penurunan berat, berat jenisnya tampak tidak banyak berbeda dengan kayu kontrol (Gambar 35). Hasil analisis statistik juga menunjukkan bahwa jamur G. applanatum maupun S. commune tidak berpengaruh nyata pada berat jenis (BJ) kayu (Lampiran 19).
Gambar 35 Berat jenis kayu kamper, pinus, dan sengon setelah pengumpanan terhadap jamur pelapuk G. applanatum dan S. commune. Perubahan BJ kayu yang tidak nyata ini dapat disebabkan oleh peristiwa collapse sel-sel kayu sehingga terjadi penurunan volume kayu yang tidak normal. Dinding sel kayu yang menipis dan menurun kekuatannya dapat mengalami collapse, sehingga dinding sel melipat ke dalam. Sebagaimana dilaporkan oleh
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
88 Erwin et al. (2008) bahwa dinding sel kayu dapat mengalami penipisan akibat serangan jamur pelapuk putih khususnya S. commune. Perbedaan BJ antar jenis kayu pada umumnya merupakan sifat bawaan masing-masing jenis kayu. BJ kayu kamper yang lebih tinggi daripada BJ kayu sengon mengindikasikan bahwa dinding sel kayu kamper lebih tebal daripada dinding sel kayu sengon. Hal ini juga menentukan ketahanan relatif kayu kamper yang lebih tinggi daripada kayu sengon ketika diserang jamur pelapuk.
Pengaruh Serangan Jamur Pelapuk terhadap Modulus Lentur dan Modulus Patah Kayu Hasil pengolahan data sifat mekanis modulus lentur (MOE) dan modulus patah (MOR) kayu dalam uji pelapukan terhadap jamur G. applanatum dan S. commune menunjukkan bahwa nilai MOE dan MOR kayu menurun setelah pengumpanan pada jamur pelapuk G. applanatum dan S. commune. Penurunan sifat mekanis kayu terjadi karena hifa-hifa jamur yang masuk ke dalam kayu dengan enzim yang dihasilkannya telah merusak sel-sel kayu sehingga terbentuk rongga-rongga dalam kayu.
Dengan demikian terjadi pelemahan kekokohan
struktur kayu seiring dengan semakin luasnya serangan jamur di dalam kayu. Secara statistik terbukti adanya perbedaan yang nyata pada nilai mekanis kayu yang diumpankan terhadap jamur dengan nilai kontrolnya (Lampiran 20). Pada umumnya nilai rata-rata penurunan sifat mekanis kayu oleh jamur G. applanatum cenderung lebih besar daripada oleh S. commune (Gambar 36 dan 37).
Selama 12 minggu inkubasi penurunan MOE kayu kamper oleh G.
applanatum dan S. commune adalah 17% dan 14%; penurunan MOR-nya berturut-turut adalah 22% dan 14%. Hal ini menujukkan bahwa daya rusak jamur G. applanatum pada kayu kamper lebih tinggi dibandingkan dengan jamur S. commune. Nilai penurunan sifat mekanis oleh kedua pelapuk putih ini cukup besar. Dalam struktur rangka bangunan, penurunan kekuatan kayu ini bisa kritis karena walaupun tidak seluruh bagian batang lapuk terserang jamur, tapi bagian
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
89 tersebut menjadi titik lemah sehingga dapat menjadi titik awal terjadinya kerusakan dan ketidak-stabilan struktur rangka bangunan.
Gambar 36
MOE (modulus lentur) kayu kamper, pinus, dan sengon setelah pengumpanan terhadap jamur pelapuk G. applanatum dan S. commune.
Pilihan jenis kayu menentukan berapa lama struktur kayu bisa bertahan dari serangan jamur pelapuk. Pada Gambar 36 dan 37 tampak bahwa nilai MOE dan MOR kayu sengon adalah paling rendah dibandingkan dengan kayu pinus dan kamper. Dalam penelitian ini, rata-rata penurunan kekuatan oleh jamur pelapuk selama 12 minggu inkubasi yang terjadi pada kayu sengon juga adalah yang paling besar yaitu 35% dan 46% untuk MOE dan MOR nya. Sedangkan pada kamper penurunan MOE dan MOR nya adalah 16% dan 18%. Pada kayu pinus penurunan MOE dan MOR nya adalah 22% dan 34%. Perbedaan ini terkait dengan variasi kandungan ekstraktif sesuai dengan yang diungkapkan Butterfield (2006) bahwa zat ekstraktif penting dalam memperlambat pelapukan kayu oleh jamur, contohnya resin pada kayu daun jarum yang merupakan campuran bahan organik yang kompleks.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
90
Gambar 37
MOR (modulus patah) kayu kamper, pinus, dan sengon setelah pengumpanan terhadap jamur pelapuk G. applanatum dan S. commune.
Uji Lapang Pelapukan Kayu Hasil uji lapang pelapukan kayu tidak menyentuh tanah di berbagai daerah pada umumnya menunjukkan penurunan kekuatan kayu.
Dalam hal ini nilai
modulus lentur (MOE) dan modulus patah (MOR) kayu yang dipaparkan terhadap lingkungan selama 12 minggu lebih rendah dibandingkan dengan kayu kontrol baik sengon maupun kamper. Hal ini menunjukkan telah terjadinya degradasi kayu selama uji lapangan tersebut.
Proses pelapukan pada umumnya terjadi
secara dinamis oleh berbagai organisme.
Sebagaimana diungkapkan oleh
Nicholas dan Crawford (2003) bahwa bakteri, Actinomycetes dan Ascomycetes sering mendahului serangan pada kayu sebelum serangan jamur pelapuk Basidiomycetes yang lebih agresif dalam mendegradasi kayu. Semakin tinggi indeks pelapukan (IP) daerah, maka nilai MOE dan MOR kayu yang diumpankan di daerah tersebut cenderung semakin rendah. Sebagai contoh di Bogor yang IP nya tinggi (157) nilai MOE dan MOR kayunya rata-rata
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
91 83.018,1 kg/cm2 dan 1.139,0 kg/cm2 untuk kamper, sedangkan untuk kayu sengon 28.235,5 kg/cm2 dan 325,6 kg/cm2. Adapun di Bekasi yang IP-nya 65, nilai MOE dan MOR kayu kamper setelah uji lapang pelapukan adalah 103.919,5 kg/cm2 dan 1.321,9 kg/cm2, sedangkan untuk kayu sengonnya 47.561,0 kg/cm2 dan 550,4 kg/cm2. Secara statistik terdapat korelasi yang kuat antara indeks pelapukan (IP) daerah dan degradasi yang terjadi pada kayu yang diumpankan di daerah tersebut yang dinyatakan dengan nilai MOE dan MOR-nya. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa indeks pelapukan berpengaruh sangat nyata terhadap modulus lentur dan modulus patah kayu kamper dan sengon. Hasil uji korelasi dan analisis ragam indeks pelapukan (IP) dengan sifat mekanis kayu tersaji dalam Lampiran 21. Korelasi IP dengan sifat mekanis kayu tersebut ternyata lebih kuat dibandingkan dengan korelasi antara masing-masing faktor iklim dengan sifat mekanis kayu.
Gambar 38 dan 39 mencerminkan
hubungan indeks pelapukan dengan nilai MOE dan MOR kedua jenis kayu. Pada indeks pelapukan di bawah 35 yang menunjukkan kelas bahaya pelapukan sedang, nilai MOE dan MOR kayu setelah uji pelapukan tampak tidak berbeda dengan kontrolnya.
Hal ini menunjukkan bahwa dalam masa uji
pelapukan tidak menyentuh tanah selama 12 minggu di daerah kelas bahaya pelapukan sedang, sifat mekanis kayu belum menurun. Dengan demikian untuk mendeteksi degradasi kayu berdasarkan sifat mekanis di daerah kelas bahaya sedang perlu waktu yang lebih lama dari 12 minggu. Faktor suhu tidak menunjukkan korelasi yang baik dengan sifat mekanis kayu sebagai indikator degradasi kayu, mungkin karena perbedaan suhu antar kota ataupun kabupaten di Jawa relatif tidak besar, yang terendah 20 oC (Lembang) yang tertinggi 28 oC (Jakarta Utara).
Secara umum jamur memiliki rentang
toleransi suhu yang cukup lebar untuk hidupnya, sebagaimana dijelaskan Nicholas dan Crawford (2003), bahwa jamur tumbuh pada suhu 12-40 oC. Menurut Rao (2005) jamur pelapuk juga pada umumnya tumbuh dalam kondisi yang cukup lembab dan suhu yang relatif tinggi, yaitu pada kelembaban 95% dan suhu 20-40 o
C. Tapi menurut Bowyer et al. (2003) pertumbuhan jamur agak lambat pada
suhu di atas 35 oC dan pada umumnya terhenti pada suhu lebih dari 38 oC. Di
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
92 daerah iklim sedang yang memiliki empat musim, suhu di bawah 12oC atau di atas 40oC bisa sering terjadi. Sehingga wajar serangan jamur pelapuk pada komponen bangunan di Indonesia relatif lebih tinggi dibandingkan dengan di negara-negara lain yang beriklim sedang.
--- Kontrol Gambar 38 Pengaruh indeks pelapukan daerah terhadap modulus lentur (MOE) kayu dalam uji lapang pelapukan. Kelembaban udara relatif rendah korelasinya dibandingkan dengan curah hujan dengan nilai mekanis kayu setelah uji pelapukan. Bahkan secara statistik diantara faktor-faktor cuaca yang paling kuat korelasinya dengan degradasi kayu uji adalah curah hujan. Kelembaban udara di Lembang lebih tinggi dibandingkan dengan di Bogor, sedangkan degradasi kayunya lebih tinggi yang diumpankan di Bogor. Kelembaban di Lembang adalah 84,7%, di Bogor 83,9%. Dibandingkan dengan nilai mekanis kayu yang diuji pelapukan di Bogor (tersebut di atas), kayu yang diuji pelapukan di Lembang lebih tinggi MOE dan MOR nya, yaitu 92.984,9 kg/cm2 dan 1.203,1 kg/cm2 untuk kamper, sedangkan pada kayu sengon 34.240,9 kg/cm2 dan 397,6 kg/cm2. Di Bogor volume curah hujan dan jumlah hari hujan bulanannya, yaitu 346 mm dan 13 hari hujan per bulan. Sedangkan di Lembang 141 mm dan 12 hari hujan per bulan. Hal ini sesuai dengan penjelasan Leicester et al. (2003) bahwa laju pelapukan yang terjadi dipengaruhi oleh jenis kayu,
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
93 indeks iklim (berdasarkan suhu dan curah hujan) serta waktu tenggang awal pelapukan.
--- Kontrol Gambar 39 Pengaruh indeks pelapukan daerah terhadap modulus patah (MOR) kayu dalam uji lapang pelapukan. Nilai mekanis kayu dalam uji pelapukan ini lebih kuat berkorelasi dengan jumlah hari hujan yang lebih dari 0.25 mm per bulan dibandingkan dengan curah hujan rata-rata bulanan. Kondisi tersebut juga tampak pada grafik hubungan faktor-faktor cuaca dengan degradasi kayu yang dinyatakan dengan variasi nilai MOE dan MOR kayu (Lampiran 22). Sebagai contoh, dua daerah yang memiliki volume curah hujan bulanan yang sama bisa berbeda jumlah hari hujannya. Bila volume curah hujan hariannya tinggi, maka jumlah hari hujannya akan lebih sedikit dibandingkan dengan yang volume curah hujan hariannya relatif rendah. Dalam hal ini kontinyuitas pembasahan dan ketersediaan air bagi pertumbuhan jamur lebih terjamin pada frekwensi hujan yang tinggi.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
94
Gambar 40 Pewarnaan pada kayu kamper (K) dan sengon (S) dalam uji lapang pelapukan. Dalam uji pelapukan tanpa menyentuh tanah ini terjadi serangan jamur pewarna terlihat dengan munculnya pewarnaan pada kayu yang diumpankan (Gambar 40). Secara visual serangan jamur pelapuk belum dapat dilihat dalam masa pengumpanan 12 minggu ini. Walau demikian tumbuhnya jamur pewarna pada kayu dapat menjadi petunjuk ke arah pelapukan kayu, karena proses pelapukan pada umumnya terjadi secara dinamis oleh sejumlah mikroorganisme. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Nicholas dan Crawford (2003) bahwa kolonisasi kayu oleh mikroorganisme terjadi secara dinamis yaitu oleh bakteri, jamur pewarna dan pelapuk lunak, kemudian Basidiomycetes. Proses suksesi kolonisasi ini dalam kayu yang tidak diawetkan bisa terjadi dalam 70 hari-an. Proses biodeteriorasi dalam uji lapangan ini banyak dipengaruhi oleh faktor cuaca. Pembasahan kayu oleh air hujan menjadikan kadar air kayu naik dan dapat ditumbuhi jamur. Selain itu, radiasi ultraviolet dari sinar matahari dapat menyebabkan degradasi lignin pada permukaan kayu walaupun sangat kecil dan dalam waktu yang lama.
Sebagaimana dijelaskan oleh Kutz (2005) bahwa
ultraviolet dari cahaya matahari dapat mengoksidasi komponen lignin pada kayu. Kerusakan yang tampak pada kayu akibat fotodegradasi adalah perubahan warna dan retak-retak. Padahal lignin merupakan komponen kimia pelindung dalam kayu. Demikian pula halnya dengan pemanasan sinar matahari dan pembasahan air hujan yang berulang kali dalam waktu lama dapat menyebabkan perubahan dimensi dan retakan kayu. Pembasahan air hujan yang berulang kali juga dapat menyebabkan pencucian ekstraktif kayu secara bertahap.
Sehingga ekstraktif
dalam kayu kamper yang menjadikannya awet, lama kelamaan mengalami pencucian dan berkurang sifat proteksinya dari serangan organisme perusak.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
95 Di Pulau Jawa banyak daerah yang memiliki curah hujan rata-rata bulanan yang tinggi, sehingga memiliki potensi pelapukan kayu yang tinggi. Pembasahan menyebabkan kayu lebih disukai jamur dan sangat mendukung untuk pertumbuhannya. Kayu pada kondisi pemakaian atau pada keadaan kering udara berkadar air sekitar 16%, sehingga jamur pelapuk akan sulit tumbuh. Hal ini sebagaimana dijelaskan Nicholas dan Crawford (2003) bahwa untuk mendukung terjadinya pelapukan kayu dibutuhkan kadar air minimal pada titik jenuh serat (28–30)%.
Air sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan jamur pelapuk, yaitu
sebagai pelarut dalam proses metabolisme, pengangkutan metabolit, enzim dan organel, sebagai pengisi penting kerangka dan sebagai kekuatan pendorong pertumbuhan. Dalam uji pelapukan lapangan ini juga terbukti bahwa dibandingkan dengan kayu kamper, kayu sengon menunjukkan penurunan sifat mekanis yang lebih besar, terutama nilai modulus patahnya (MOR) karena keawetan kayu sengon lebih rendah daripada kayu kamper. Sehingga kayu sengon lebih cepat terdegradasi oleh organisme perusak dibandingkan dengan kayu kamper. Kayu kamper dan sengon digunakan dalam pengujian ini mewakili kayu awet dan kayu tidak awet yang banyak digunakan masyarakat dalam konstruksi rumah. Menurut Martawijaya et al. (1989) kayu kamper termasuk kelas awet II, sedangkan kayu sengon termasuk kelas awet IV. Walupun termasuk katagori awet, kayu kamper juga terdegradasi yang ditandai dengan nilai mekanis (MOE dan MOR) lebih rendah dari kontrolnya.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
BAB VII DAMPAK SERANGAN JAMUR PELAPUK TERHADAP SIFAT-SIFAT KAYU Pengaruh Serangan Jamur Pelapuk terhadap Struktur Anatomi Kayu Kayu memiliki struktur kompleks dan dapat menyimpan air yang sangat penting bagi kelangsungan hidup organisme perusak kayu. Selain itu, ronggarongganya dapat memfasilitasi aktivitas dan pergerakan organisme perusak serta hifa-hifa jamur dalam kayu. Dengan demikian kayu bukan hanya menjadi bahan makanan organisme perusak, tapi juga sebagai media yang mendukung dan melindungi organisme tersebut dalam melangsungkan kehidupannya.
Gambar 23
Hifa (h) jamur pelapuk G. applanatum dalam saluran interseluler (i) dan sel jari-jari (j) kayu pinus serta dalam sel pembuluh (p) kayu sengon (perbesaran 450 x).
Hasil pengamatan mikroskopis pada preparat slide mikrotom kayu sengon dan pinus yang digunakan dalam uji pelapukan menujukkan keberadaan hifa-hifa jamur dalam sel jari-jari, sel pembuluh kayu sengon dan dalam saluran interseluler kayu pinus (Gambar 23 dan 24). Artinya sel jari-jari, sel pembuluh dan saluran interseluler tersebut menjadi awal akses utama serangan jamur pelapuk ke dalam kayu daun lebar maupun kayu daun jarum. Dengan demikian proporsi, ukuran,
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
72 distribusi dan orientasi sel-sel dan saluran interseluler tersebut akan menentukan tingkat kolonisasi jamur dalam kayu.
Gambar 24
Hifa (h) jamur pelapuk S. commune dalam saluran interseluler (i) dan sel jari-jari (j) kayu pinus serta dalam sel pembuluh (p) kayu sengon (perbesaran 450 x).
Jamur G. applantum dan S. commune mampu menembus ke bagian dalam jaringan kayu dengan kecepatan invasi yang berbeda.
Jamur G. applanatum
sendiri bergerak relatif lebih cepat dalam mengkolonisasi jaringan kayu dibandingkan dengan jamur S. commune.
Hal ini terkait dengan sifat
pertumbuhan jamur yang berlainan antar jenis yang berbeda. Kemampuan hidup berbagai jenis jamur pelapuk dalam keterbatasan air dan nutrisi dalam kayu juga dapat berlainan. Mekanisme serangan jamur pelapuk pada kayu diawali ketika spora dari sumber infeksi menempel pada kayu dan berkecambah membentuk hifa-hifa jamur yang kemudian bercabang-cabang membentuk miselium yang melekat pada permukaan kayu. Hifa-hifa jamur kemudian masuk melalui sel jari-jari yang merupakan jalan paling mudah bagi hifa jamur untuk mendegradasi kayu. Selain itu, jari-jari merupakan sel-sel parenkim yang mengandung zat-zat makanan bagi
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
73 jamur, sebagaimana diungkapkan Bowyer et al. (2003) bahwa gula dan pati terdapat dalam lumen sel dan parenkim jari-jari kayu. Zat-zat tersebut merupakan nutrisi yang mudah dikonsumsi oleh jamur dalam jumlah terbatas. Sel jari-jari juga merupakan jalan yang mudah dilewati oleh hifa-hifa jamur karena secara alami sel jari-jari juga berfungsi sebagai sarana transportasi. Sel jari-jari yang tersusun seperti susunan batu bata pada bangunan, berfungsi dalam sintesis, penyimpanan, transport lateral bahan biokimia dan air (Rowell 2005). Selain itu sel parenkim jari-jari berdinding tipis sehingga relatif mudah terdegradasi dan ditembus oleh hifa jamur. Dalam kayu daun lebar, sel-sel jari-jari yang menjadi sarana pergerakan jamur ini, memiliki ukuran yang lebih bervariasi dan lebih besar daripada dalam kayu daun jarum (Butterfield 2006), bahkan proporsi sel jari-jari dalam kayu daun lebar pada umumnya 30% lebih banyak daripada dalam kayu daun jarum (Ridout 2004). Dengan demikian akses hifa-hifa jamur pada arah radial dalam kayu daun lebar secara fisik relatif lebih besar dibandingkan dengan dalam kayu daun jarum. Selain itu, sel jari jari yang berorientasi pada arah radial menjadikan bidang tangensial kayu lebih terbuka dibandingkan dengan bidang radial sebagai jalan invasi hifa-hifa jamur ke dalam kayu. Pada arah longitudinal, jalan termudah bagi jamur dalam menginvasi ke dalam kayu daun lebar adalah melalui sel pembuluh, sedangkan pada kayu daun jarum melalui saluran interseluler. Kemudahan itu terjadi karena pergerakan air dalam kayu daun lebar terjadi melalui sel-sel pembuluh yang ujungnya bersambungan satu sama lain. Pada dinding ujung sel-sel pembuluh ini terdapat bidang perforasi sehingga bisa dilewati air (Ridout 2004).
Selain itu, sel
pembuluh memiliki ukuran cukup besar untuk dimasuki hifa yaitu antara 50-200 µm bahkan bisa lebih dari 300 µm (Rowell 2005), sementara diameter hifa pada umumnya antara 1-30 µm (Walker & White 2005). Sel pembuluh dan saluran interseluler yang berorientasi pada arah longitudinal menjadikan bidang lintang kayu pada umumnya lebih banyak terbuka bagi akses spora dan hifa jamur sehingga bisa menempel dan masuk ke dalam jaringan kayu. Bidang lintang kayu juga lebih tinggi permeabilitasnya dibandingkan dengan bidang radial dan tangensial, sehingga air dan kelembaban dapat cepat masuk ke dalam kayu pada arah longitudinal secara kapiler dan menjadikan bagian dalam kayu kondusif bagi
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
74 pertumbuhan dan pergerakan hifa-hifa jamur. Di dalam sel pembuluh, hifa-hifa jamur tidak mendapatkan cukup bahan yang bisa dikonsumsi karena saluran pembuluh memiliki dinding sel sekunder tebal dan mengalami lignifikasi serta tidak mengandung sitoplasma (Zwieniecki & Holbrook 2000), akan tetapi hifahifa jamur juga dapat bergerak ke sel-sel lainnya melewati noktah, sehingga terjalin akses pergerakan hifa dalam kayu baik pada arah longitudinal maupun arah lateral.
Gambar 25
Noktah sederhana (a) menghubungkan dua sel parenkim; noktah halaman (b) menghubungkan rongga antar dua sel trakeid; dan noktah setengah halaman (c) menghubungkan sel trakeid dengan sel parenkim (Bowyer et al. 2003).
Noktah merupakan celah di antara dinding sekunder sel kayu. Umumnya noktah berpasangan di antara dua sel yang berhubungan (Gambar 25). Ada dua tipe noktah, yaitu noktah halaman (bordered pits) dan noktah sederhana (simple pits). Noktah sederhana menghubungkan antar sel-sel parenkim seperti antar sel jari-jari, sedangkan noktah halaman pada umumnya terdapat pada dinding sel-sel trakeid kayu daun jarum dan sel-sel serabut kayu daun lebar. Noktah halaman yang menghubungkan antar sel-sel trakeid memiliki membran. Membran tersebut terdiri atas pasangan dinding primer dan lamela tengah. Bagian luarnya disebut margo yang terdegradasi secara alami dan memungkinkan air melewatinya. Adapun bagian tengahnya tetap utuh membentuk torus (Butterfield 2006). Selain
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
75 kedua tipe noktah tersebut ada juga noktah setengah halaman (half-bordered pits) yang menghubungkan sel trakeid dengan sel jari jari atau sel parenkim aksial (Fujita & Harada 2001). Pada dinding saluran pembuluh juga terdapat banyak noktah setengah halaman yang menghubungkannya dengan parenkim aksial dan parenkim jari-jari di sekitarnya (Bowyer et al. 2003). Kondisi struktur kayu seperti itu mempermudah bagi hifa-hifa jamur untuk menginvasi dan masuk ke bagian dalam kayu. Untuk mendapatkan sumber nutrisi yang lebih banyak terutama selulosa dalam dinding sel kayu, jamur pelapuk terhalang oleh lamela tengah dan dinding primer yang kaya lignin. Jalan yang relatif mudah bagi jamur untuk dapat masuk ke dalam sel kayu pada umumnya melewati noktah terutama pada awal serangan dengan terlebih dahulu mendegradasinya secara enzimatik dan secara fisik oleh hifa yang sangat halus (Ø 1 µm). Secara alami, noktah pada dinding sel dapat dilewati air dalam proses fisiologi pohon terutama pada bagian margo yang lebih permeabel. Bahkan dalam kayu daun jarum, pergerakan air melalui sel-sel trakeid yang memiliki banyak noktah halaman (bordered pit) (Butterfield 2006). Dengan terdegradasinya noktah pada dinding sel serabut dan trakeid maka air lebih mudah masuk ke dalam sel kayu secara kapiler.
Oleh karena itu kayu-kayu yang
terserang jamur pelapuk cenderung lebih tinggi kadar airnya daripada kayu yang utuh. Setelah berhasil masuk ke dalam rongga, hifa tumbuh dan menempel pada dinding sekunder. Maka terjadilah degradasi dinding sel kayu mulai dari dinding lumen sel (dari dalam rongga sel). Dinding sekunder sel kayu yang kaya selulosa terdegradasi terutama yang disekitar hifa sehingga terbentuk alur-alur erosi dan menyebabkan penipisan dinding sel kayu dari dalam (lumen) ke luar dinding sel (Schwarze et al. 2000 ). Degradasi dinding sel kayu ini terjadi secara enzimatik yang spesifik bagi setiap jenis jamur sehingga laju degradasi yang terjadi juga dapat berlainan antar jenis jamur.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
76 Scanning electron micrograph (5kV) menunjukkan bahwa torus dalam noktah halaman sel kayu Pinus insularis telah terdegradasi jamur G. applanatum dalam 4 minggu inkubasi, sedangkan jumlah tori terdegradasi semakin banyak dalam inkubasi 12 minggu (Gambar 26).
Adapun noktah-noktah yang
terdegradasi jamur S. commune setelah pengumpanan 4 minggu pada dinding sel kayu pinus relatif sedikit. Baru kemudian setelah 12 minggu inkubasi terjadi banyak noktah yang terdegradasi (Gambar 27). Ini membuktikan bahwa jamur S. commune lebih lambat dalam mendegradasi kayu pinus dibandingkan dengan jamur G. applanatum.
Gambar 26 Bagian noktah pada dinding sel kayu pinus yang terdegradasi (d) oleh jamur pelapuk G. applanatum (perbesaran 2000 x). Pada kayu sengon, kerusakan noktah juga terjadi oleh jamur G. applanatum (Gambar 28). Sementara itu studi yang dilakukan oleh Green dan Clausen (1999) selama 3 minggu inkubasi ditemukan bahwa jamur pelapuk putih menghidrolisis semua membran noktah halaman, sedangkan jamur pelapuk coklat hanya merusak torus, melemahkan dan merobek membran noktah. Kedua jenis jamur sama-sama memiliki kapasitas menghidrolisis pektin, merusak membran noktah dan meningkatkan permeabilitas kayu selama kolonisasi sehingga lebih mudah menyerap air.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
77
Gambar 27
Bagian noktah pada dinding sel kayu pinus yang terdegradasi (d) oleh jamur pelapuk S. commune (perbesaran 2000 x).
Gambar 28 Bagian noktah pada dinding sel kayu sengon (t) yang terdegradasi jamur pelapuk G. applanatum (perbesaran 2000 x).
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
78 Hasil pengamatan dengan mikroskop stereo pada kayu pinus dan sengon setelah uji pelapukan terhadap jamur G. applanatum dan S. commune menunjukkan terbentuknya lubang dan rongga-rongga yang dapat dilihat dengan mikroskop stereo (Gambar 29 dan 30). Rongga-rongga yang tampak pada bidang radial terutama disebabkan degradasi sel jari-jari dan sel-sel kayu di sekitarnya yang semakin lama semakin luas. Pada kayu pinus, lubang-lubang besar juga terjadi karena sel-sel trakeid di sekitar saluran interseluler terdegradasi sehingga memperbesar saluran tersebut. Adapun pada kayu sengon, lubang-lubang besar terjadi karena degradasi sel-sel parenkim aksial dan sel-sel serabut di sekitar saluran pembuluh. Banyaknya rongga-rongga dan lubang yang terbentuk dapat berpengaruh pada kekuatan kayu.
Gambar 29 Rongga-rongga (r) yang terbentuk oleh jamur pelapuk G. applanatum pada kayu sengon (a) dan pinus (b). Masa inkubasi semakin lama, proses dedgradasi semakin keras sehingga terjadi kerusakan struktur sel.
Pada kayu yang diinkubasi selama 8 dan 12
minggu lebih banyak terbentuk lubang dibandingkan dengan yang diinkubasi selama 4 minggu. Kayu uji menjadi lebih berongga-rongga setelah inkubasi 8 minggu terutama yang diserang jamur G. applanatum.
Pola degradasi kayu
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
79 sengon dan pinus oleh jamur G. applanatum dan S. commune tersebut merupakan tipe pelapukan simultan.
Gambar 30 Rongga-rongga (r) yang terbentuk oleh jamur pelapuk S. commune pada kayu sengon (a) dan pinus (b). Miselium yang tumbuh dalam lumen sel dapat membentuk lubang-lubang dan mendegradasi dinding sel secara progresif (Bowyer 2003). Levin dan Castro (1998) juga menemukan pola degradasi yang serupa pada kayu populus yang diserang oleh jamur pelapuk putih Trametes trogii, yaitu kayu menjadi beronggarongga serta porous seperti spong, sedangkan pada kayu salix meninggalkan selsel pembuluh sehingga kayu menjadi stringy (terdiri atas banyak benang). Adapun Luna et al. (2004) mengungkapkan bahwa serangan jamur G. lucidum menyebabkan kombinasi delignifikasi selektif dan pelapukan simultan.
Ciri
utama delignifikasi selektif adalah terjadinya pemisahan antar sel-sel kayu, sedangkan pelapukan simultan ditandai dengan erosi dan penipisan dinding sel kayu serta terbentuknya rongga-rongga pada kayu.
Dengan demikian jamur
penyebab pelapukan simultan dapat menurunkan masa dan kekuatan kayu lebih besar dibandingkan dengan jamur penyebab delignifikasi selektif. Schwarze et al. (2000) telah membuktikan bahwa kayu beech yang lapuk simultan oleh jamur
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
80 Fomes fomentarius mengalami penurunan nilai keteguhan pukul lebih besar daripada yang mengalami delignifikasi selektif oleh G. pfeifferi. Pada pelapukan lebih lanjut banyak dinding sel yang menipis bahkan habis terdegradasi sehingga terjadi peningkatan volume rongga dalam kayu dan kekuatannya menurun drastis.
Bila kayu tersebut mengering, akan mudah
mengalami collapse dan perubahan bentuk.
Pengaruh Serangan Jamur Pelapuk terhadap Sifat Kimia Kayu Selulosa, hemiselulosa dan lignin adalah komponen kayu yang menjadi sumber nutrisi jamur pelapuk dengan terlebih dahulu diuraikan menjadi molekulmolekul sederhana dengan bantuan metabolit yang dihasilkan pada ujung dan sisi hifa (Bowyer et al. 2003). Hasil uji biodeteriorasi media serbuk kayu pinus dan sengon oleh jamur G. applanatum dan S. commune menunjukkan terjadinya gejala lapuk putih. Hal ini terbukti dengan perubahan warna media serbuk kayu dalam baglog dari coklat menjadi lebih pucat (coklat muda). Perubahan warna tersebut sudah tampak dalam masa inkubasi 2 minggu (Gambar 31) dan merupakan indikasi terjadinya degradasi lignin dalam kayu pinus dan sengon oleh jamur G. applanatum dan S. commune.
Gambar 31 Perubahan warna media serbuk kayu setelah diinokulasi dengan jamur pelapuk G. applanatum (GS) dan S. commune (SS) selama dua minggu (S=kontrol).
Penelitian ini menujukkan bahwa proporsi kandungan selulosa dalam kayu sengon lebih tinggi daripada dalam kayu pinus (Gambar 32). Walker (2006) juga
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
81 mengungkapkan bahwa kadar selulosa dalam kayu daun lebar pada umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan dalam kayu daun jarum. Hasil analisis kimia membuktikan bahwa telah terjadi perubahan komposisi kimia media serbuk kayu sengon dan pinus setelah uji biodeteriorasi dengan jamur G. applanatum dan S. commune. Kadar selulosa media serbuk kayu menurun cukup besar setelah uji biodeteriorasi, sedangkan proporsi kandungan ligninnya tidak banyak berubah. Hal ini menunjukkan laju degradasi selulosa oleh kedua jamur tersebut lebih tinggi daripada degradasi lignin. Penurunan kadar selulosa yang lebih tinggi daripada lignin ini merupakan ciri lapuk putih simultan. Adapun dalam lapuk putih selektif (delignifikasi selektif), lignin terdegradasi lebih banyak daripada selulosa, terutama dalam tahap awal pelapukan (Schwarze et al. 2000).
(b) (a) Gambar 32 Kadar selulosa dan lignin serbuk kayu pinus (a) dan sengon (b) setelah 12 minggu uji biodeteriorasi dengan jamur pelapuk G. applanatum dan S. commune.
Penurunan kadar selulosa yang lebih besar dibandingkan dengan lignin ini menunjukkan bahwa sudah terjadi degradasi berat dalam dinding sekunder sel-sel kayu. Hal ini mengingat bahwa sebagian besar selulosa dalam sel serabut kayu daun lebar atau dalam sel trakeid kayu daun jarum berada pada dinding sekunder. Selulosa, hemiselulosa dan lignin berada pada setiap lapisan dinding sel, tapi proporsi selulosa tertinggi adalah di bagian tengah lapisan S2 dinding sekunder. Adapun proporsi lignin tertinggi adalah di lamela tengah.
Proporsi lignin
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
82 dibandingkan dengan komponen kimia lainnya semakin berkurang pada lapisan S1, S2, dan S3 (Bowyer et al. 2003). Pada uji biodeteriorasi ternyata jenis jamur berpengaruh nyata terhadap komposisi selulosa dan lignin dalam kayu (Lampiran 17). Total kadar selulosa dan lignin kayu sengon dalam uji dengan jamur G. applanatum relatif lebih rendah dibandingkan dengan yang diumpankan terhadap jamur S. commune, sedangkan pada kayu pinus total kadar selulosa dan ligninnya lebih rendah pada media serbuk kayu yang diumpankan terhadap S. commune. Hal ini menunjukkan bahwa degradasi kayu sengon oleh jamur G. applanatum lebih besar daripada oleh jamur S. commune. Hasil penelitian Dill dan Kraeplin (1986) juga membuktikan bahwa G. applanatum dapat menimbulkan delignifikasi ekstensif dan penguraian sel-sel serabut dalam kayu. Kayu yang terserang jamur pelapuk pada umumnya lebih lunak bila ditekan dengan kuku atau benda keras dan bila dicungkil dengan benda tajam serabutserabutnya mudah putus.
Adapun kayu utuh bila dicungkil benda tajam
serabutnya tidah mudah putus.
Menurut Senese (2010) selulosa merupakan
komponen utama pada dinding sel kayu yang memberikan kekuatan pada kayu. Selulosa lebih berperan dalam kekuatan tarik aksial, sedangkan hemiselulosa dan lignin lebih menentukan elastisitas dan kekuatan tekan kayu (Ridout 2004). Oleh karena itu perubahan dalam komponen utama kayu ini akan merubah kemampuan struktural kayu.
Degradasi selulosa dan lignin kayu akibat serangan jamur
pelapuk pada struktur bangunan sangat berbahaya.
Sebagai contoh, dalam
struktur balok lentur yang biasa dipakai pada bagian dasar kuda-kuda atap, apabila terjadi pelapukan, maka kondisi balok menjadi kritis, karena bagian bawah balok lentur mengalami tegangan tarik, sedangkan pada bagian atasnya mengalami tegangan tekan sejajar serat. Penurunan kadar selulosa oleh kedua jenis jamur pada kayu sengon lebih besar dibandingkan dengan yang terjadi pada kayu pinus.
Kandungan dan
komposisi lignin berperan penting dalam ketahanan kayu dari pelapukan. Pada Gambar 32 tampak bahwa proporsi lignin dalam kayu pinus lebih tinggi daripada dalam kayu sengon. Ridout (2004) juga melaporkan bahwa jamur pelapuk putih
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
83 lebih banyak menyerang jenis kayu daun lebar, karena banyak pelapuk putih kesulitan mendegradasi lignin dalam kayu daun jarum yang jenis dan kuantitasnya berbeda dengan kayu daun lebar. Karakteristik lignin pinus yang merupakan kayu daun jarum berbeda dengan lignin pada sengon yang merupakan kayu daun lebar. Penyusun utama lignin dalam kayu daun jarum adalah unit fenilpropan dengan satu metoksil (guaiasil, G), sedangkan penyusun utama lignin dalam kayu daun lebar adalah unit fenilpropan dengan dua metoksil (siringil, S) dan guaiasil (Martinez et al. 2005). Kandungan lignin siringil berkaitan dengan kerentanan kayu dari serangan jamur pelapuk. Kayu yang tinggi kadar lignin siringilnya yaitu kayu red maple, lebih cepat terdegradasi jamur Trametes versicolor daripada kayu boxelder yang rendah kadar liginin siringilnya. Padahal kedua jenis kayu tersebut memiliki komposisi kimia dan sifat anatomi yang agak sama (John et al. 1994). Selain lignin, perlindungan alami yang dimiliki kayu dari serangan organisme perusak adalah zat ekstraktif. Sebagaimana diungkapkan oleh Rowell et al. (2005) bahwa ekstraktif dalam kayu daun lebar maupun kayu daun jarum dapat menyebabkan kayu awet. Zat ekstraktif terdiri atas lemak, asam lemak, fenol, terpena, steroid, asam resin, rosin, lilin, dan senyawa organic lainnya. Menurut Harris (2001) jenis dan kadar ekstraktif menentukan daya tahan kayu dari pelapukan.
Methanol merupakan ekstraktif kayu yang dapat menahan
serangan jamur dan bisa digunakan sebagai bahan pengawet. Ekstraktif penahan pelapukan lainnya adalah tanin terlarut, courmarin, alkaloid, terpenoid, dan steroid, semuanya merupakan produk metabolit sekunder. Selain itu Harju et al. (2003) melaporkan bahwa kayu Scot pine (Pinus sylvestris L) yang tahan dari serangan jamur Coniophora puteana memiliki kandungan ekstraktif fenolik lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak tahan.
Begitupula Venalainen et al.
(2002) melaporkan bahwa keawetan kayu Scots pine dari jamur pelapuk terutama dipengaruhi oleh konsentrasi pinosylvin dan monometil eter yang merupakan senyawa fenolik yang tergolong stilbena.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
84 Pengaruh Serangan Jamur Pelapuk terhadap Berat Kayu Jamur G. applanatum dan S. commune merupakan jamur pelapuk putih yang mampu mendegradasi dinding sel kayu yang terdiri atas selulosa, hemiselulosa dan lignin menjadi gula sederhana secara enzimatik yang kemudian diserapnya. Dengan demikian, semakin banyak masa kayu yang terurai mengakibatkan penurunan berat kayu yang semakin tinggi dan menujukkan kemampuan mendegradasi jamur yang semakin tinggi.
(a)
(b)
Gambar 33 Kolonisasi jamur G. applanatum (a) dan S. commune (b) pada contoh uji kayu. Jamur G. applanatum dapat secara cepat menyelimuti ketiga jenis kayu uji (kamper, pinus dan sengon), sedangkan S. commune hanya menutup sebagian permukaan kayu uji (Gambar 33). Penurunan berat terjadi pada ketiga contoh uji kayu oleh jamur G. applanatum dan S. commune. Penurunan berat kayu uji tersebut semakin tinggi dengan semakin lamanya masa inkubasi, sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 34. Dalam konstruksi kayu di lapangan kehilangan masa kayu tersebut bisa lebih lambat daripada yang terjadi dalam eksperimen ini, karena di alam banyak mikroorganisme lain yang dapat menjadi penghambat pertumbuhannnya, atau karena
kondisi
lingkungannya
yang
tidak
selamanya
pertumbuhannya, terutama adalah ketersediaan air pada kayunya.
mendukung
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
85
(a)
(b)
(c) Gambar 34 Penurunan berat kering kayu kamper (a), pinus (b), dan sengon (c) oleh jamur pelapuk G. applanatum dan S. commune. Pada Gambar 35 juga terlihat bahwa kehilangan berat kayu sengon, kamper dan pinus yang disebabkan oleh jamur G. applanatum lebih besar dibandingkan dengan yang diakibatkan oleh jamur S. commune. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan jamur G. applanatum dalam mendegradasi kayu lebih tinggi dibandingkan dengan jamur S. commune.
Bahkan pada kayu sengon, G.
applanatum menyebabkan kehilangan berat kayu hampir dua kali yang diakibatkan S. commune, yaitu rata-rata masing-masing 12,6% dan 6,7% selama
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
86 12 minggu inkubasi. Dengan demikian kehadiran jamur G. applanatum dalam konstruksi harus lebih diwaspadai dan segera dikendalikan serangannya. Nsolomo (2000) dalam penelitiannya juga membuktikan bahwa G. australe dan S. commune merupakan jamur pelapuk putih yang mengakibatkan penurunan berat kayu Ocotea sebesar 16% dan 2% selama empat bulan inkubasi. Degradasi kayu oleh G. australe ternyata nilainya lebih besar dibandingkan dengan degradasi oleh S. commune. Di antara ketiga jenis kayu terbukti secara statistik bahwa kayu sengon paling tinggi penurunan beratnya, disusul kemudian oleh kayu kamper dan yang terkecil penurunan beratnya adalah kayu pinus (Lampiran 18).
Hal ini
menunjukkan bahwa kayu sengon paling tidak tahan dari serangan jamur pelapuk yang digunakan dalam penelitian ini.
Sengon yang dikenal jenis kayu cepat
tumbuh (fast growing species) sebagian besar terdiri atas kayu gubal dan tidak memiliki ekstraktif bersifat racun yang dapat melindunginya dari serangan jamur pelapuk. Lapuk berat (lebih dari 10% penurunan berat kayu) oleh G. applanatum hanya terjadi pada kayu sengon, yang sudah terjadi dalam masa inkubasi 8 minggu. Kayu kamper dan pinus mengalami lapuk sedang disebabkan oleh jamur G. applanatum pada masa inkubasi berurutan 8 dan 12 minggu. Dalam penelitian ini jamur S. commune tidak menimbulkan lapuk berat walaupun pada kayu seperti sengon yang termasuk paling tidak awet. Variasi ketahanan kayu dari serangan jamur pelapuk ini terutama dipengaruhi oleh kandungan zat ekstraktifnya sebagaimana diungkapkan oleh Butterfield (2006) bahwa akumulasi zat ekstraktif jenis polifenol dalam kayu teras menyebabkan penurunan kadar air dan dapat memperlambat pelapukan oleh jamur. Celimene et al. (1999) juga melaporkan bahwa pinosilvin yang diekstrak dari kayu Pinus banksiana dan Pinus resinosa, dapat menahan pertumbuhan jamur pelapuk putih. Ekstrak kayu kamper (Dryobalanops aromatica) banyak mengandung terpena dan asam lemak. Terpena dan polifenol merupakan senyawa antimikroba yang sering terdapat dalam kayu.
Beberapa triterpen yang
teridentifikasi dengan HPLC (High Performance Liquid Chromatographhy)
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
87 dalam kayu kamper adalah kapurone, dryobalanone, dipterocarpol, dan terpinihidrat, dengan proporsi yang bervariasi antar daerah pertumbuhan dan umur pohon (Ali et al. 1990).
Pengaruh Serangan Jamur Pelapuk terhadap Berat Jenis Kayu Berat jenis (BJ) merupakan indikator kepadatan masa kayu. Kayu dengan BJ tinggi pada umumnya memiliki dinding sel yang tebal.
Kayu yang telah
diumpankan pada jamur pelapuk dan mengalami penurunan berat, berat jenisnya tampak tidak banyak berbeda dengan kayu kontrol (Gambar 35). Hasil analisis statistik juga menunjukkan bahwa jamur G. applanatum maupun S. commune tidak berpengaruh nyata pada berat jenis (BJ) kayu (Lampiran 19).
Gambar 35 Berat jenis kayu kamper, pinus, dan sengon setelah pengumpanan terhadap jamur pelapuk G. applanatum dan S. commune. Perubahan BJ kayu yang tidak nyata ini dapat disebabkan oleh peristiwa collapse sel-sel kayu sehingga terjadi penurunan volume kayu yang tidak normal. Dinding sel kayu yang menipis dan menurun kekuatannya dapat mengalami collapse, sehingga dinding sel melipat ke dalam. Sebagaimana dilaporkan oleh
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
88 Erwin et al. (2008) bahwa dinding sel kayu dapat mengalami penipisan akibat serangan jamur pelapuk putih khususnya S. commune. Perbedaan BJ antar jenis kayu pada umumnya merupakan sifat bawaan masing-masing jenis kayu. BJ kayu kamper yang lebih tinggi daripada BJ kayu sengon mengindikasikan bahwa dinding sel kayu kamper lebih tebal daripada dinding sel kayu sengon. Hal ini juga menentukan ketahanan relatif kayu kamper yang lebih tinggi daripada kayu sengon ketika diserang jamur pelapuk.
Pengaruh Serangan Jamur Pelapuk terhadap Modulus Lentur dan Modulus Patah Kayu Hasil pengolahan data sifat mekanis modulus lentur (MOE) dan modulus patah (MOR) kayu dalam uji pelapukan terhadap jamur G. applanatum dan S. commune menunjukkan bahwa nilai MOE dan MOR kayu menurun setelah pengumpanan pada jamur pelapuk G. applanatum dan S. commune. Penurunan sifat mekanis kayu terjadi karena hifa-hifa jamur yang masuk ke dalam kayu dengan enzim yang dihasilkannya telah merusak sel-sel kayu sehingga terbentuk rongga-rongga dalam kayu.
Dengan demikian terjadi pelemahan kekokohan
struktur kayu seiring dengan semakin luasnya serangan jamur di dalam kayu. Secara statistik terbukti adanya perbedaan yang nyata pada nilai mekanis kayu yang diumpankan terhadap jamur dengan nilai kontrolnya (Lampiran 20). Pada umumnya nilai rata-rata penurunan sifat mekanis kayu oleh jamur G. applanatum cenderung lebih besar daripada oleh S. commune (Gambar 36 dan 37).
Selama 12 minggu inkubasi penurunan MOE kayu kamper oleh G.
applanatum dan S. commune adalah 17% dan 14%; penurunan MOR-nya berturut-turut adalah 22% dan 14%. Hal ini menujukkan bahwa daya rusak jamur G. applanatum pada kayu kamper lebih tinggi dibandingkan dengan jamur S. commune. Nilai penurunan sifat mekanis oleh kedua pelapuk putih ini cukup besar. Dalam struktur rangka bangunan, penurunan kekuatan kayu ini bisa kritis karena walaupun tidak seluruh bagian batang lapuk terserang jamur, tapi bagian
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
89 tersebut menjadi titik lemah sehingga dapat menjadi titik awal terjadinya kerusakan dan ketidak-stabilan struktur rangka bangunan.
Gambar 36
MOE (modulus lentur) kayu kamper, pinus, dan sengon setelah pengumpanan terhadap jamur pelapuk G. applanatum dan S. commune.
Pilihan jenis kayu menentukan berapa lama struktur kayu bisa bertahan dari serangan jamur pelapuk. Pada Gambar 36 dan 37 tampak bahwa nilai MOE dan MOR kayu sengon adalah paling rendah dibandingkan dengan kayu pinus dan kamper. Dalam penelitian ini, rata-rata penurunan kekuatan oleh jamur pelapuk selama 12 minggu inkubasi yang terjadi pada kayu sengon juga adalah yang paling besar yaitu 35% dan 46% untuk MOE dan MOR nya. Sedangkan pada kamper penurunan MOE dan MOR nya adalah 16% dan 18%. Pada kayu pinus penurunan MOE dan MOR nya adalah 22% dan 34%. Perbedaan ini terkait dengan variasi kandungan ekstraktif sesuai dengan yang diungkapkan Butterfield (2006) bahwa zat ekstraktif penting dalam memperlambat pelapukan kayu oleh jamur, contohnya resin pada kayu daun jarum yang merupakan campuran bahan organik yang kompleks.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
90
Gambar 37
MOR (modulus patah) kayu kamper, pinus, dan sengon setelah pengumpanan terhadap jamur pelapuk G. applanatum dan S. commune.
Uji Lapang Pelapukan Kayu Hasil uji lapang pelapukan kayu tidak menyentuh tanah di berbagai daerah pada umumnya menunjukkan penurunan kekuatan kayu.
Dalam hal ini nilai
modulus lentur (MOE) dan modulus patah (MOR) kayu yang dipaparkan terhadap lingkungan selama 12 minggu lebih rendah dibandingkan dengan kayu kontrol baik sengon maupun kamper. Hal ini menunjukkan telah terjadinya degradasi kayu selama uji lapangan tersebut.
Proses pelapukan pada umumnya terjadi
secara dinamis oleh berbagai organisme.
Sebagaimana diungkapkan oleh
Nicholas dan Crawford (2003) bahwa bakteri, Actinomycetes dan Ascomycetes sering mendahului serangan pada kayu sebelum serangan jamur pelapuk Basidiomycetes yang lebih agresif dalam mendegradasi kayu. Semakin tinggi indeks pelapukan (IP) daerah, maka nilai MOE dan MOR kayu yang diumpankan di daerah tersebut cenderung semakin rendah. Sebagai contoh di Bogor yang IP nya tinggi (157) nilai MOE dan MOR kayunya rata-rata
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
91 83.018,1 kg/cm2 dan 1.139,0 kg/cm2 untuk kamper, sedangkan untuk kayu sengon 28.235,5 kg/cm2 dan 325,6 kg/cm2. Adapun di Bekasi yang IP-nya 65, nilai MOE dan MOR kayu kamper setelah uji lapang pelapukan adalah 103.919,5 kg/cm2 dan 1.321,9 kg/cm2, sedangkan untuk kayu sengonnya 47.561,0 kg/cm2 dan 550,4 kg/cm2. Secara statistik terdapat korelasi yang kuat antara indeks pelapukan (IP) daerah dan degradasi yang terjadi pada kayu yang diumpankan di daerah tersebut yang dinyatakan dengan nilai MOE dan MOR-nya. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa indeks pelapukan berpengaruh sangat nyata terhadap modulus lentur dan modulus patah kayu kamper dan sengon. Hasil uji korelasi dan analisis ragam indeks pelapukan (IP) dengan sifat mekanis kayu tersaji dalam Lampiran 21. Korelasi IP dengan sifat mekanis kayu tersebut ternyata lebih kuat dibandingkan dengan korelasi antara masing-masing faktor iklim dengan sifat mekanis kayu.
Gambar 38 dan 39 mencerminkan
hubungan indeks pelapukan dengan nilai MOE dan MOR kedua jenis kayu. Pada indeks pelapukan di bawah 35 yang menunjukkan kelas bahaya pelapukan sedang, nilai MOE dan MOR kayu setelah uji pelapukan tampak tidak berbeda dengan kontrolnya.
Hal ini menunjukkan bahwa dalam masa uji
pelapukan tidak menyentuh tanah selama 12 minggu di daerah kelas bahaya pelapukan sedang, sifat mekanis kayu belum menurun. Dengan demikian untuk mendeteksi degradasi kayu berdasarkan sifat mekanis di daerah kelas bahaya sedang perlu waktu yang lebih lama dari 12 minggu. Faktor suhu tidak menunjukkan korelasi yang baik dengan sifat mekanis kayu sebagai indikator degradasi kayu, mungkin karena perbedaan suhu antar kota ataupun kabupaten di Jawa relatif tidak besar, yang terendah 20 oC (Lembang) yang tertinggi 28 oC (Jakarta Utara).
Secara umum jamur memiliki rentang
toleransi suhu yang cukup lebar untuk hidupnya, sebagaimana dijelaskan Nicholas dan Crawford (2003), bahwa jamur tumbuh pada suhu 12-40 oC. Menurut Rao (2005) jamur pelapuk juga pada umumnya tumbuh dalam kondisi yang cukup lembab dan suhu yang relatif tinggi, yaitu pada kelembaban 95% dan suhu 20-40 o
C. Tapi menurut Bowyer et al. (2003) pertumbuhan jamur agak lambat pada
suhu di atas 35 oC dan pada umumnya terhenti pada suhu lebih dari 38 oC. Di
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
92 daerah iklim sedang yang memiliki empat musim, suhu di bawah 12oC atau di atas 40oC bisa sering terjadi. Sehingga wajar serangan jamur pelapuk pada komponen bangunan di Indonesia relatif lebih tinggi dibandingkan dengan di negara-negara lain yang beriklim sedang.
--- Kontrol Gambar 38 Pengaruh indeks pelapukan daerah terhadap modulus lentur (MOE) kayu dalam uji lapang pelapukan. Kelembaban udara relatif rendah korelasinya dibandingkan dengan curah hujan dengan nilai mekanis kayu setelah uji pelapukan. Bahkan secara statistik diantara faktor-faktor cuaca yang paling kuat korelasinya dengan degradasi kayu uji adalah curah hujan. Kelembaban udara di Lembang lebih tinggi dibandingkan dengan di Bogor, sedangkan degradasi kayunya lebih tinggi yang diumpankan di Bogor. Kelembaban di Lembang adalah 84,7%, di Bogor 83,9%. Dibandingkan dengan nilai mekanis kayu yang diuji pelapukan di Bogor (tersebut di atas), kayu yang diuji pelapukan di Lembang lebih tinggi MOE dan MOR nya, yaitu 92.984,9 kg/cm2 dan 1.203,1 kg/cm2 untuk kamper, sedangkan pada kayu sengon 34.240,9 kg/cm2 dan 397,6 kg/cm2. Di Bogor volume curah hujan dan jumlah hari hujan bulanannya, yaitu 346 mm dan 13 hari hujan per bulan. Sedangkan di Lembang 141 mm dan 12 hari hujan per bulan. Hal ini sesuai dengan penjelasan Leicester et al. (2003) bahwa laju pelapukan yang terjadi dipengaruhi oleh jenis kayu,
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
93 indeks iklim (berdasarkan suhu dan curah hujan) serta waktu tenggang awal pelapukan.
--- Kontrol Gambar 39 Pengaruh indeks pelapukan daerah terhadap modulus patah (MOR) kayu dalam uji lapang pelapukan. Nilai mekanis kayu dalam uji pelapukan ini lebih kuat berkorelasi dengan jumlah hari hujan yang lebih dari 0.25 mm per bulan dibandingkan dengan curah hujan rata-rata bulanan. Kondisi tersebut juga tampak pada grafik hubungan faktor-faktor cuaca dengan degradasi kayu yang dinyatakan dengan variasi nilai MOE dan MOR kayu (Lampiran 22). Sebagai contoh, dua daerah yang memiliki volume curah hujan bulanan yang sama bisa berbeda jumlah hari hujannya. Bila volume curah hujan hariannya tinggi, maka jumlah hari hujannya akan lebih sedikit dibandingkan dengan yang volume curah hujan hariannya relatif rendah. Dalam hal ini kontinyuitas pembasahan dan ketersediaan air bagi pertumbuhan jamur lebih terjamin pada frekwensi hujan yang tinggi.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
94
Gambar 40 Pewarnaan pada kayu kamper (K) dan sengon (S) dalam uji lapang pelapukan. Dalam uji pelapukan tanpa menyentuh tanah ini terjadi serangan jamur pewarna terlihat dengan munculnya pewarnaan pada kayu yang diumpankan (Gambar 40). Secara visual serangan jamur pelapuk belum dapat dilihat dalam masa pengumpanan 12 minggu ini. Walau demikian tumbuhnya jamur pewarna pada kayu dapat menjadi petunjuk ke arah pelapukan kayu, karena proses pelapukan pada umumnya terjadi secara dinamis oleh sejumlah mikroorganisme. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Nicholas dan Crawford (2003) bahwa kolonisasi kayu oleh mikroorganisme terjadi secara dinamis yaitu oleh bakteri, jamur pewarna dan pelapuk lunak, kemudian Basidiomycetes. Proses suksesi kolonisasi ini dalam kayu yang tidak diawetkan bisa terjadi dalam 70 hari-an. Proses biodeteriorasi dalam uji lapangan ini banyak dipengaruhi oleh faktor cuaca. Pembasahan kayu oleh air hujan menjadikan kadar air kayu naik dan dapat ditumbuhi jamur. Selain itu, radiasi ultraviolet dari sinar matahari dapat menyebabkan degradasi lignin pada permukaan kayu walaupun sangat kecil dan dalam waktu yang lama.
Sebagaimana dijelaskan oleh Kutz (2005) bahwa
ultraviolet dari cahaya matahari dapat mengoksidasi komponen lignin pada kayu. Kerusakan yang tampak pada kayu akibat fotodegradasi adalah perubahan warna dan retak-retak. Padahal lignin merupakan komponen kimia pelindung dalam kayu. Demikian pula halnya dengan pemanasan sinar matahari dan pembasahan air hujan yang berulang kali dalam waktu lama dapat menyebabkan perubahan dimensi dan retakan kayu. Pembasahan air hujan yang berulang kali juga dapat menyebabkan pencucian ekstraktif kayu secara bertahap.
Sehingga ekstraktif
dalam kayu kamper yang menjadikannya awet, lama kelamaan mengalami pencucian dan berkurang sifat proteksinya dari serangan organisme perusak.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
95 Di Pulau Jawa banyak daerah yang memiliki curah hujan rata-rata bulanan yang tinggi, sehingga memiliki potensi pelapukan kayu yang tinggi. Pembasahan menyebabkan kayu lebih disukai jamur dan sangat mendukung untuk pertumbuhannya. Kayu pada kondisi pemakaian atau pada keadaan kering udara berkadar air sekitar 16%, sehingga jamur pelapuk akan sulit tumbuh. Hal ini sebagaimana dijelaskan Nicholas dan Crawford (2003) bahwa untuk mendukung terjadinya pelapukan kayu dibutuhkan kadar air minimal pada titik jenuh serat (28–30)%.
Air sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan jamur pelapuk, yaitu
sebagai pelarut dalam proses metabolisme, pengangkutan metabolit, enzim dan organel, sebagai pengisi penting kerangka dan sebagai kekuatan pendorong pertumbuhan. Dalam uji pelapukan lapangan ini juga terbukti bahwa dibandingkan dengan kayu kamper, kayu sengon menunjukkan penurunan sifat mekanis yang lebih besar, terutama nilai modulus patahnya (MOR) karena keawetan kayu sengon lebih rendah daripada kayu kamper. Sehingga kayu sengon lebih cepat terdegradasi oleh organisme perusak dibandingkan dengan kayu kamper. Kayu kamper dan sengon digunakan dalam pengujian ini mewakili kayu awet dan kayu tidak awet yang banyak digunakan masyarakat dalam konstruksi rumah. Menurut Martawijaya et al. (1989) kayu kamper termasuk kelas awet II, sedangkan kayu sengon termasuk kelas awet IV. Walupun termasuk katagori awet, kayu kamper juga terdegradasi yang ditandai dengan nilai mekanis (MOE dan MOR) lebih rendah dari kontrolnya.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
BAB VIII PEMBAHASAN UMUM Biodeteriorasi kayu mengakibatkan penurunan mutu dan tidak efisiennya penggunaan kayu.
Selain itu umur pakai kayu menjadi lebih pendek dan
berakibat konsumsi kayu menjadi meningkat, yang secara tidak langsung dapat mengganggu kelestarian hutan.
Salah satu bentuk perhatian terhadap bahaya
pelapukan ini seperti di Amerika, Australia, dan beberapa negara lainnya adalah telah dibuatnya peta kelas bahaya pelapukan. Peta bahaya pelapukan tersebut diperlukan sebagai pertimbangan bagi para arsitek, perusahaan konstruksi, instansi pemerintah terkait dan masyarakat umum dalam memilih jenis kayu dan tindakan pengawetan serta melakukan langkah-langkah penanggulangan serangan jamur pelapuk pada bangunan untuk memaksimumkan masa pakainya. Dalam Bab IV diuraikan mengenai peta bahaya pelapukan kayu di Pulau Jawa berdasarkan indeks pelapukan Scheffer (1971) yang telah dihasilkan dalam penelitian ini. Pada umumnya kota dan kabupaten di Pulau Jawa termasuk kelas bahaya pelapukan sangat tinggi dan tinggi dengan persentase masing-masing 47% dan 40%, sisanya termasuk kelas bahaya pelapukan sedang. Banyak kota-kota penting di Pulau Jawa yang pada umumnya padat penduduk, berada dalam kelas bahaya pelapukan sangat tinggi. Rumah-rumah di DKI Jakarta yang merupakan daerah terpadat penduduknya yaitu 14.440 jiwa/km2 (BPS 2010a) juga berada dalam kelas bahaya pelapukan kayu sangat tinggi.
Sebagai ibukota negara
Republik Indonesia dan pusat bisnis, pada kenyataannya tidak hanya bangunan rumah penduduk yang terancaman pelapukan kayu, tapi juga berbagai gedung pemerintahan, perkantoran, pertokoan dan infrastruktur pendukung lainnya yang tidak terlepas dari penggunaan kayu.
Demikian pula halnya di kota Bogor,
Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya dan berbagai kota besar dan penting lainnya, memiliki potensi pelapukan kayu sangat tinggi. Indeks pelapukan Scheffer yang digunakan sebagai dasar klasifikasi bahaya pelapukan sendiri ternyata memiliki korelasi yang baik dengan degradasi kayu yang terjadi dalam uji lapang pelapukan kayu tidak menyentuh tanah di sejumlah
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
97 kota dan kabupaten di Pulau Jawa. Sementara itu di antara unsur-unsur iklim, faktor jumlah hari hujan bulanan memiliki korelasi yang paling baik dengan tingkat degradasi kayu di berbagai daerah percobaan. Dengan demikian peta bahaya pelapukan yang telah dibuat tersebut sangat layak untuk dipakai di lapangan. Pelapukan kayu oleh jamur merupakan masalah bangunan yang menjadi beban masyarakat luas dan sangat merugikan.
Rata-rata sekitar 87% rumah-
rumah di kota dan kabupaten di Pulau Jawa mengalami masalah pelapukan. Nilai kerugian ekonomi akibat pelapukan bangunan rumah dalam skala daerah cukup besar yaitu dari Rp400 juta/tahun (di Tegal) hingga lebih dari Rp7 milyar/tahun (di Semarang). Dalam lingkup Pulau Jawa kerugian tersebut diperhitungkan tidak kurang dari Rp411,2 milyar/tahun. Berdasarkan laju pertumbuhan penduduknya, diperkirakan pada tahun 2025 Pulau Jawa akan dihuni oleh sekitar 163 juta penduduk yang menghuni sekitar 39,4 juta bangunan rumah.
Volume kayu
gergajian yang terpapar lingkungan sebagai komponen bangunan rumah pada tahun 2010 sekurang-kurangnya adalah 131,9 juta m3, maka pada tahun 2025 volume kayu gergajian tersebut sebanyak 157,6 juta m3.
Bila tidak ada
peningkatan manajemen dan teknik perlindungan bangunan rumah secara nyata oleh masyarakat maka kerugian ekonomi akibat pelapukan kayu pada bangunan rumah di Jawa pada tahun 2025 bisa lebih dari Rp492,5 milyar/tahun. Selain faktor iklim, resiko pelapukan kayu pada bangunan rumah juga ditentukan oleh faktor posisi dan kondisi komponen kayu pada bangunan sebagaimana diilustrasikan dalam Gambar 42. Lisplang dan rangka atap adalah komponen rumah yang paling banyak ditemukan mengalami serangan jamur pelapuk.
Hal
ini terjadi karena komponen rumah tersebut paling sering
mengalami pembasahan dari air hujan baik secara langsung maupun tidak langsung, seperti karena adanya rembesan atau kebocoran air dari atap rumah yang rusak atau karena tidak berfungsi dengan baik. Pembasahan komponen kayu bangunan rumah merupakan pemicu utama terjadinya pelapukan berbagai komponen kayu pada bangunan rumah.
Sekitar 55% kasus pembasahan
komponen kayu bangunan rumah disebabkan oleh kerusakan sistem atap, salah
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
98 satu contoh sederhananya adalah genting pecah atau bergeser.
Selain itu
pembasahan komponen bangunan banyak juga disebabkan oleh masalah desain dan kualitas pembangunan rumahnya terutama pada sistem atap, dinding dan lantainya. Atap dan talang harus dirancang agar efektif membuang air hujan jauh dari fondasi menuju saluran drainase sehingga tidak ada komponen kayu bangunan yang mengalami pembasahan secara terus menerus oleh air hujan.
Gambar 41 Diagram keterkaitan empat faktor resiko pelapukan kayu pada bangunan rumah. Sambungan kayu pada lisplang, kusen jendela, dan rangka atap sering kali menjadi awal serangan jamur pelapuk, karena air lebih mudah masuk dan tertampung di dalamnya sehingga kadar air kayu disekitarnya menjadi lebih tinggi daripada di bagian lainnya. Serangan jamur pelapuk juga sering berawal pada ujung komponen yang merupakan bidang lintang kayu. Pada arah longitudinal air lebih cepat terserap dan masuk ke dalam kayu. Oleh karena itu bagian sambungan
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
99 dan ujung kayu harus diberi pendempulan yang sempurna disertai bahan penolak air dan coating (penutupan) dengan cat. Pada bagian eksterior lainnya, serangan jamur pelapuk diawali dengan rusaknya cat pelindung dan retakan kayu sehingga air hujan dapat membasahi kayu.
Dengan demikian, aplikasi berkala
perlindungan kayu pada komponen eksterior dengan cat perlu dilakukan sebelum cat mengalami kerusakan atau terkelupas. Selain air hujan, sumber air pembasahan kayu juga terjadi dari air penggunaan rumah tangga, dari kondensasi uap dalam ruang yang ventilasinya kurang baik, ataupun dari tanah terutama jika komponen kayu menyentuh tanah. Oleh karena itu ventilasi udara di ruang yang banyak menghasilkan uap seperti di dapur, tempat mencuci dan kamar mandi harus diatur dengan baik. Drainase tapak bangunan yang tidak baik juga dapat menjadi sumber pembasahan pada komponen kayu bangunan. Air yang tergenang di bawah bangunan dapat naik membasahi lantai dan dinding secara kapiler sehingga kayu yang bersentuhan dengannya menjadi basah dan ruanganpun cenderung lembab. Community
Development
Department
of Burbank
(2004)
Menurut
tanah
yang
berhubungan langsung dengan bangunan harus miring minimal 2%. Jarak saluran air dari bangunan sebaiknya tidak kurang dari 1,5 m. Fakta lapangan menunjukkan bahwa banyaknya penggunaan kayu tidak awet oleh masyarakat juga menyebabkan serangan jamur pelapuk sangat tinggi. Pada kayu awet dan terlindung oleh cat, perkecambahan spora jamur agak tertahan sampai terjadinya kerusakan cat dan berkurangnya kandungan ekstraktif kayu awet karena pengaruh cuaca, tercuci oleh air hujan, dan terkena sinar matahari. Kayu tidak awet tersebut berasal dari pohon-pohon berumur muda yang berasal dari hutan rakyat dan hutan tanaman seperti sengon dan manii. Hal ini karena semakin tingginya harga kayu komersial yang awet yang sehingga penduduk lebih memilih kayu-kayu yang terjangkau harganya walaupun kurang awet. Intensitas pelapukan kayu pada bangunan rumah juga ditentukan oleh perilaku manusia dalam teknik dan manajemen pemeliharaan bangunan. Kekurang-pedulian
masyarakat
dalam
pemeliharaan
bangunan
banyak
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
100 dilatarbelakangi dengan masalah ekonomi. Selain itu juga banyak yang tidak memahami dampak luas pelapukan kayu pada bangunan.
Dengan semakin
tingginya jumlah dan kepadatan penduduk, maka masalah pelapukan bangunan rumah ini bisa semakin besar. Hal sederhana yang penting dilakukan dalam pemeliharaan bangunan diantaranya adalah inspeksi berkala yang dilakukan terutama pada awal musim hujan.
Dengan demikian penetrasi air dan
pembasahan komponen bangunan bisa terdeteksi dan ditanggulangi secara dini. Potensi jamur pelapuk di berbagai daerah di Pulau Jawa juga menentukan resiko pelapukan kayu pada bangunan rumah.
Perkecambahan spora jamur
pelapuk pada kayu basah yaitu berkadar air lebih dari 20%, merupakan awal mekanisme serangan jamur pelapuk pada bangunan. Hifa-hifa yang terbentuk dapat mengeluarkan enzim pengurai kayu dan menyerap nutrisi dari substrat. Hifa mengalami pertumbuhan, pembelahan sel dan percabangan ke berbagai arah sehingga membentuk koloni yang kemudian diameternya cenderung bertambah yang disebut miselium. Pada kayu basah sering juga ditemukan jamur pewarna dan kapang yang bisa menginfeksi kayu lebih awal sebagai pengkoloni primer, sedangkan jamur pelapuk menjadi pengkoloni sekundernya.
Meskipun pada
kondisi tertentu jamur pelapuk juga dapat menjadi pengkoloni primer. Bersamaan dengan kolonisasi jamur, kayu mengalami degradasi sebagai akibat reaksi enzimatik oleh jamur pelapuk dalam mendapatkan makanannya. Selama air cukup tersedia dan faktor lingkungan lainnya mendukung, biodeteriorasi kayu semakin masuk ke dalam kayu dan meluas, bahkan dapat terjadi invasi miselium ke komponen bangunan lainnya dan menurunkan daya dukung struktur komponen bangunan tersebut.
Untuk menjaga kelangsungan
hidupnya, jamur pelapuk juga bereproduksi dengan menghasilkan tubuh buah yang pada perkembangannya akan mengeluarkan spora-spora yang bisa terbawa angin, aliran air atau serangga ke tempat lain yang sesuai untuk berkecambah menjadi individu baru. Tahapan pembentukan struktur reproduksi jamur berupa tubuh buah pada umumnya terjadi setelah pelapukan kayu berlangsung dalam waktu berbulan-bulan.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
101 G. applanatum dan S. commune adalah jamur pelapuk yang sering menyerang bangunan rumah-rumah di Pulau Jawa. Hasil uji pertumbuhan kedua jamur tersebut menunjukkan bahwa suhu optimum pertumbuhan jamur G. applantum dan S. commune adalah 37 oC dan 29 oC. Pertumbuhannya terhenti pada suhu 45 oC (S. commune) dan 50 oC (G. applanatum). Kedua jamur tersebut juga lebih menyukai kondisi media yang asam. Pertumbuhan optimumnya terjadi pada pH 4,8 (S. commune) dan 4,6 (G. applanatum). Pada pH 7 pertumbuhan S. commune sangat lambat, sedangkan G. applanatum tidak tumbuh. Data respon jamur terhadap suhu dan pH tersebut bisa digunakan sebagai pertimbangan dalam pengendalian pertumbuhan kedua jamur kayu tersebut. S. commune dan G. applanatum merupakan jamur pelapuk putih yang dapat mengakibatkan pelapukan simultan pada kayu. Hal ini ditunjang dengan fakta terjadinya kerusakan kayu oleh kedua jenis jamur tersebut, yaitu terbentuknya banyak lubang dan rongga-rongga dalam kayu. Indikasi pelapukan simultan juga terbukti dari hasil analisis kimia yang menunjukkan bahwa kedua jenis jamur menimbulkan degradasi komponen selulosa yang lebih tinggi daripada degradasi komponen lignin dan hemiselulosa. Gejala delignifikasi kayu oleh kedua jamur tersebut juga tampak dalam pemucatan warna media serbuk kayu dari coklat menjadi coklat muda. Hasil analisis mikroskopik dan ultramikroskopik telah mengungkap mekanisme invasi jamur G. applanatum dan S. commune ke dalam kayu. Pada bidang lintang kayu, spora-spora jamur lebih mudah menempel karena pada umumnya lebih banyak rongga dan lebih kasar.
Spora-spora berkecambah
membentuk hifa-hifa yang dengan mudah masuk ke dalam kayu pada arah longitudinal terutama melalui sel pembuluh (pada kayu daun lebar) atau saluran interseluler (pada kayu daun jarum). Hifa-hifa jamur juga dapat masuk ke dalam kayu dan bergerak pada arah radial melalui sel jari-jari. Pergerakan hifa secara lateral juga terjadi melalui noktah-noktah pada dinding sel pembuluh, sel jari-jari, dan sel parenkim lainnya. Untuk mendapatkan selulosa yang banyak terkandung dalam dinding sel kayu, hifa-hifa jamur harus melalui rintangan lamela tengah dan dinding primer yang kaya kandungan lignin. Jalur yang relatif mudah dilewati
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
102 terutama pada tahap awal serangan ke dalam sel kayu adalah melalui noktah dengan mendegradasi membran tipis secara enzimatik bahkan secara fisik oleh hifa-hifa jamur yang halus. Hifa-hifa yang masuk ke dalam lumen, tumbuh dan mendegradasi dinding sel dari dalam secara lebih mudah. Karena hifa jamur banyak yang masuk ke dalam jari-jari, sel pembuluh dan saluran interseluler, maka sel-sel kayu disekitarnya banyak terdegradasi sehingga terbentuk ronggarongga dalam kayu yang menjadikan kayu keropos dan mengalami penurunan kekuatan. Berdasarkan fakta degradasi sifat-sifat kayu yang terjadi, tampak bahwa G. applanatum lebih destruktif daripada S. commune. G. applanatum menyebabkan kehilangan masa kayu lebih banyak yaitu rata-rata untuk kayu pinus, kamper dan sengon selama 12 minggu adalah 5,4%, 7,9%, dan 12,6%, sedangkan S. commune mengakibatkan penurunan berat rata-rata 3,7%, 4,2%, dan 6,7%. Degradasi kayu juga terbukti dengan penurunan sifat mekanis kayu.
G. applanatum dan S.
commune mengakibatkan penurunan sifat mekanis kayu yang cukup besar selama 12 minggu yaitu lebih dari 14% baik untuk modulus lentur maupun modulus patah. Walaupun degradasi kayu dalam pemakaian yang berukuran besar tidak secepat itu, tapi serangan jamur pelapuk ini dapat menurunkan fungsi struktural komponen bangunan rumah dan membahayakan bagi penghuninya. Dengan mencermati mekanisme serangan jamur pelapuk tersebut serta dampaknya terhadap bangunan, maka pengendalian pelapukan kayu pada bangunan perlu mendapat perhatian yang serius. Upaya menghilangkan sumber infeksi jamur berupa kayu lapuk di dalam dan di sekitar bangunan adalah langkah preventif yang baik. Pertumbuhan kapang dan jamur pewarna pada kayu perlu diwaspadai karena menjadi indikasi lingkungan yang mendukung pertumbuhan jamur dan bisa disusul dengan pertumbuhan jamur pelapuk. Kemunculan tubuh buah jamur pelapuk menunjukkan serangan jamur sudah pada tahap lanjut. Pada kondisi tersebut, walaupun tidak terlihat dipermukaan, hifa jamur telah menjalar jauh dari sekitar tubuh buah, sehingga dalam perbaikannya, bagian kayu yang dibuang setidaknya berjarak 50 cm dari bagian yang lapuk.
Selain itu kayu
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
103 pengganti harus diawetkan dan dikeringkan untuk mencegah infeksi baru dari hifa yang tertinggal dalam kayu yang masih utuh. Penggunaan kayu dalam fungsi eksterior tanpa menyentuh tanah di Bogor, Serang, Jakarta, Bandung, Semarang, Malang, Surabaya dan kota atau kabupaten lainnya yang tergolong daerah kelas bahaya pelapukan tinggi dan sangat tinggi, harus mendapat perlakuan pengawetan dengan penetrasi dan retensi yang tinggi, misalnya dengan teknik tekanan sebagaimana yang juga direkomendasikan oleh FPL (2000). Hal ini diantaranya adalah untuk mempertahankan bahan pengawet agar tidak mudah tercuci oleh hujan dan bisa melindungi kayu dari serangan jamur pelapuk. Adapun di daerah kelas bahaya pelapukan sedang, pengawetan kayu untuk penggunaan eksterior yang tidak menyentuh tanah cukup dengan teknik rendaman. Alternatif lainnya agar umur pakai kayu cukup panjang adalah dengan menggunakan kayu yang awet alami (kelas awet I atau II). Demikian pula halnya dalam penggunaan kayu yang sering terkena air seperti pintu kamar mandi, maka kayu harus diawetkan, serta diberi bahan penolak air (water repellent) dan cat yang sesuai agar kayu relatif aman dari serangan jamur. Rangka atap yang jarang terperiksa, sebaiknya diawetkan juga terutama yang berpotensi mengalami pembasahan, seperti dekat talang air. Hal ini untuk mencegah pembasahan kayu. Walaupun rembesan air kecil ataupun air dari kondensasi, bila terakumulasi bisa cukup memicu pertumbuhan jamur pelapuk. Dengan demikian dapat menekan biaya perbaikan dan penggantian komponen bangunan yang lapuk terserang jamur. Dalam bangunan sebaiknya digunakan kayu kering dan harus menjaganya tetap kering (kadar air < 20%) serta terhindar dari pembasahan.
Komponen
konstruksi dari kayu yang tidak dikeringkan sangat rawan dari serangan jamur. Selain itu cat pelindungnya akan lebih cepat terkelupas dan ukurannya bisa mengalami perubahan sehingga dapat menurunkan kualitas struktur bangunan. Hal yang sangat penting juga adalah peraturan pemerintah tentang pengawetan kayu bahan konstruksi dengan teknik tekanan terutama di daerahdaerah yang tergolong kelas bahaya pelapukan tinggi dan sangat tinggi perlu dilaksanakan secara serius. Pengawetan tersebut diutamakan pada kayu yang
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
104 digunakan pada komponen bangunan yang terkena pengaruh cuaca (hujan dan sinar matahari) langsung, komponen yang sering terkena air dan komponen kayu yang menyentuh tanah.
Pengontrolan lapangan pelaksanaan peraturan dapat
diprioritaskan kepada para pengusaha bangunan perumahan.
Pemerintah dan
perusahaan swasta perlu mendorong kegiatan dan usaha pengawetan dan pengeringan kayu serta memasyarakatkan produk-produk bahan pengawet kayu yang sudah terstandarisasi dan murah terutama di kota ataupun kabupaten yang masih berkembang. Pemerintah perlu mengatur peredaran dan penggunaan bahan pengawet kayu yang memudahkan dan melindungi masyarakat. Pemerintah perlu meningkatkan sosialisasi bahaya pelapukan kayu pada bangunan rumah dalam rangka meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap upaya pengendalian pelapukan kayu terutama di daerah yang tergolong kelas bahaya pelapukan tinggi.
Masyarakat perlu memahami cara bijaksana dalam
menggunakan kayu bahan konstruksi, perlu menyadari pentingnya pengeringan dan pengawetan kayu bahan konstruksi serta lebih memperhatikan pemeliharaan bangunan.
Langkah-langkah pencegahan dan penanggulangan dini pelapukan
harus lebih diutamakan, selain biaya dapat lebih murah, juga bisa terhindar dari resiko kerusakan struktur bangunan.
Pemerintah juga perlu mendorong
tersedianya tenaga-tenaga terampil dan bersertifikat di bidang pengawetan dan pengeringan kayu. Sudah saatnya peraturan konstruksi kayu diterapkan secara lebih serius terutama di daerah yang tergolong kelas bahaya pelapukan tinggi. Selain itu, pemerintah juga harus mendorong peningkatan teknologi pengawetan yang tepat guna dan ramah lingkungan. Sebagai contoh menurut Clausen dan Yang (2006) bahan pengawet kayu dalam ruangan harus tidak membahayakan bagi penghuni, tidak volatil, tidak berbau dan dapat memberikan perlindungan yang lama pada kayu walau dalam kondisi lembab.
Diantara contohnya adalah biosida multi
komponen berbahan dasar borat. Teknologi perlindungan kayu non kimia juga perlu dikembangkan, diantaranya seperti yang dilakukan Leithoff dan Peek (2001) yaitu dengan pemanasan diatas 200 oC yang terbukti meningkatkan ketahanan bambu dari jamur pelapuk Basidiomycetes dan jamur pelapuk lunak.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
KESIMPULAN Ancaman pelapukan kayu pada bangunan rumah di Pulau Jawa sangat tinggi. Hal ini tercermin dari 47% kota dan kabupaten tergolong kelas bahaya pelapukan sangat tinggi dan 40% tergolong kelas bahaya pelapukan tinggi. Bogor, Serang, Semarang dan Malang adalah daerah yang tergolong kelas bahaya pelapukan sangat tinggi, sedangkan Tangerang, Subang, Surakarta, dan Gresik tergolong kelas bahaya pelapukan tinggi. Pelapukan kayu pada bangunan rumah merupakan masalah yang serius mengingat 87% rumah mengalami serangan jamur pelapuk. Tingginya ancaman pelapukan kayu di Jawa ini dipengaruhi oleh iklim terutama jumlah hari hujan bulanan, yaitu minimal 7 hari hujan per bulan. Pelapukan kayu pada bangunan perumahan telah menjadi beban masyarakat banyak. Kerugian ekonomi akibat serangan jamur pelapuk kayu pada bangunan rumah di berbagai kota dan kabupaten yang diteliti berkisar antara Rp 0,4-7,7 milyar/tahun, bahkan di Pulau Jawa nilai kerugiannya menjadi sangat besar, yaitu lebih dari Rp411 milyar/tahun. Dampak ekonomi dari pelapukan kayu bangunan rumah ini akan semakin besar seiring dengan pertumbuhan penduduk dan diperkiran pada tahun 2025 akan bernilai Rp492,5 milyar/tahun. Selain faktor iklim, keawetan dan kondisi kayu pada bangunan menentukan tingginya resiko pelapukan, karena hal tersebut berkaitan dengan keterbukaan komponen bangunan terhadap pengaruh iklim dan pembasahan.
Selain itu,
buruknya perawatan bangunan rumah di kalangan masyarakat luas menjadikan masalah pelapukan kayu ini cenderung semakin parah. Resiko pelapukan kayu juga dipengaruhi oleh potensi jamur pelapuk yang ada.
Ganoderma applanatum dan Schizophylum commune merupakan jamur
terpenting yang banyak menyerang bangunan rumah di Pulau Jawa. Keduanya mengakibatkan pelapukan simultan sehingga kayu menjadi keropos dan hilang kekuatannya (lebih dari 14%). Hal ini dapat menjadikan struktur bangunan jadi tidak stabil dan berpotensi membahayakan penghuninya. Peta kelas bahaya pelapukan kayu di Jawa dapat menjadi acuan bagi perumusan kebijakan pemerintah dalam pembangunan perumahan berbasis
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
106 kondisi wilayah. Dengan demikian penggunaan kayu dapat lebih efisien karena umur pakai komponen kayu bangunan dapat ditingkatan.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
DAFTAR PUSTAKA Abadi AL. 1987. Biologi Ganoderma boninense Pat. pada kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) dan Pengaruh Beberapa Mikroba Tanah Antagonistik terhadap Pertumbuhannya [disertasi]. Bogor: Institit Pertanian Bogor. Adejoye OD, Toyo BCA, Ogunjobi AA, Afolabi OO. 2007. Physicochemical studies on Schizophyllum commune (Fries) a Nigerian edible fungus. World Applied Science Journal 2(1):73-76. Afrida S, Tamai Y, Watanabe T, Osaki M. 2008. Screening of white rot fungi for biobleaching of Acacia oxygen-delignified kraft pulp. World J Mirobiol Biotechnol. DOI 10.1007/s11274-008-9932-y. Aghayere AO, Vigil J. 2007. Structural Wood Design. A Practice-oriented Approach Using The ASD Method. New Jersey: John Wiley & Sons Inc. Agius R. 2009. Hazard and Risk. Di dalam : Agius R. Health, Environment & Work. http://www.agius.com/hew/resource/hazard.htm. [16 Mei 2007]. Ali RM, Koh MP, Michael M. 1990. Quantification of some components of the extractives of Dryobalanops aromatica obtained from different sources. Di dalam: Journal of Tropical Forest Science 3(4): 367-371. Allaby M. 2004. A Dictionary of Ecology. Encyclopedia.com. http://www. encyclopedia.com/doc/1O14-biodeterioration.html [11 April 2010]. Allsopp D, Seal KJ, Gaylarde CC. 2004. Introduction to Biodeterioration. Ed ke-2. Cambridge: Cambridge University Press. [AWC] American Wood Council. 2009. Wood performs well in earthquake simulation. News Release and Briefs 2009. Leesburg: American Wood Council. www.awc.org/../NewsReleases2009.html [23 September 2010]. [BPPPP] Bagian Proyek Perbaikan Perumahan dan Permukiman. 2006. Rumah dan Lingkungan Permukiman Sehat. Departemen Pekerjaan Umum Jawa Barat. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2008. Statistik Potensi Desa Indonesia 2008. Jakarta: BPS [BPS] Badan Pusat Statistik. 2009. Statistik Indonesia 2009. Jakarta: BPS [BPS] Badan Pusat Statistik. 2010a. Hasil Sensus Penduduk 2010. Data Agregat per Propinsi. Jakarta: BPS. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2010b. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Triwulan II-2010. Berita Resmi Statistik 52(08):1-8 Bowyer JL, Shmulsky R, Haygreen JG. 2003. Forest Products and Wood Science. An Introduction. Ed ke-4. Iowa: Blackwell Publishing Company. Butterfield B. 2006. The Structure of Wood. Form and Function. Di dalam : Walker JCF, editor. Primary Wood Processing. Principles and Practice. Dordrecht: Springer.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
108 Celimene CC, Micales JA, Ferge L, Young RA. 1999. Efficacy of Pinosylvins against White-Rot and Brown-Rot Fungi. www.fpl.fs.fed.us/documnts/ pdf1999/celim99a.pdf [25 Juni 2007]. Chang S, Miles PG. 2004. Mushrooms. Cultivational Value, Medicinal Effects, and Environmental Impact. Ed ke-2. Florida:CRC Press. Clausen CA, Kartal SN. 2003. Accelerated detection of brown-rot decay: Comparison of soil block test, chemical analysis, mechanical properties and immunodetection. Forest Products Journal 53 (11/12):90-94. Clausen CA, Yang V. 2006. Protecting wood from mould, decay, and termites with multi-component biocide systems. International Biodeterioration & Biodegradation 59(1):20-24. Community Development Department of Burbank. 2004. Decay and Termite Protection for Wood Framing Members. City of Burbank. www.burbankca. org/building/Brochures%20and%20Handouts/termite.pdf [11 June 2007]. Deacon J. 2004. The Microbial World: Armillaria mellea and Other Wood-decay Fungi. http://helios.bto.ed.ac.uk/bto/microbes/armill.htm [24 September 2004]. Dill I, Kraepelin G. 1986. Palo Podrido: Model for extensive delignification of wood by Ganoderma applanatum. Applied and Environmental Microbiology 52(6):1305-1312. Eaton RA, Hale MDC. 1993. Wood : Decay, Pestas and Protection. London: Chapman & Hall. Emberger G. 2006. Key to Shapes. Messiah College. http://www.messiah.edu/ Oakes/fungi_on_wood/shape%20key.htm [7 Mei 2010]. Erwin, Takemoto S, Hwang WJ, Takeuchi M, Itoh T, Imamura Y. 2008. Anatomical characterization of decayed wood in standing light red meranti and identification of the fungi isolated from the decayed area. J Wood Science 54:233-241. DOI 10.1007/s10086-008-0947-7. Falk RH. 2009. Wood as a sustainable building materal. Forest Products Journal 59(9):6-12. Flannigan B, Samson RA, Miller JD. 2001. Microorganisms In Home and Indoor Work Environments: Diversity, Health Impacts, Investigation and Control. London: Taylor & Francis Group. Flood J, Bridge PD, Holderness M. 2000. Ganoderma Disease of Perennial Crop. New York: CABI Publishing. Fujita M, Harada H. 2001. Ultrastructure and Formation of Wood Cell Wall. Di dalam: Hon DN, Shiraishi N, editor. Wood and Cellulosic Chemistry. Ed ke-2. New York: Marcel Dekker, Inc. [FPL] Forest Products Laboratory. 2000. Climate Effect on Durability of Wood. Madison: FPL. http://www.toolbase.org/Building-Systems/Landscaping/ wood-climate-effect [16 April 2010].
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
109 [FPL] Forest Products Laboratory. 2007. Relative Durability of Untreated Wood in Above-Ground Applications. TechLine. www.fpl.fs.fed.us/durability-ofuntreated-wood-above-ground.pdf [19 Mei 2010]. [FWC] Florida Wood Council. 2005. Wood’s Advantages a Comprehensive List. Florida: FWC. http://www.newfloridahome.org/id40.html [17 April 2010] Ghosh S, Sachan A, Mitra A. 2005. Degradation of ferulic acid by white rot fungus Schizophyllum commune. World Journal of Microbiology & Biotechnology 21:385-388. DOI 10.1007/s11274-004-3621-2. Glover P. 2006. Building Survey. Ed ke-6. Oxford: Butterworth-Heinemann. Gonzales G, Gould WA, Hudak AT, Hollingsworth TN. 2008. Decay of aspen (Populus tremuloides Michx.) wood in moist and dry boreal, temperate and tropical forest fragments. AMBIO; A Journal of the Human Environment 37(7):588-597. http://ambio.allenpress.com/perlserv/?request=get-document &doi=10.1579%2F0044-7447-37.7.588&ct=1 [16 April 2010]. Green F, Clausen CA. 1999. Production of polygalacturonase and increase of longitudinal gas permeability in Southern pine by brown-rot and white-rot fungi. Holzforschung 53:563-568. Green F, Clausen CA. 2003. Copper tolerance of brown-rot fungi: time course of oxalic acid production. International Biodeterioration & Biodegradation 51:145-149. Gunawan AW, Dharmaputra OS, Rahayu G. 2004. Cendawan dalam Praktik Laboratorium. Bogor: IPB Press. Harris SY. 2001. Building Pathology: Deterioration, Diagnostics, and Intervention. New York : John Wiley & Sons, Inc. Harju AM, Venalainen M, Anttonen S, Viitanen H, Kainulainen P, Saranpaa P, Vapaavuori E. 2003. Chemical factors affecting the brown-rot decay resistance of scots pine heartwood. Trees 17:263-268. DOI 10.1007/s00468-002-0233-z. Herdiansyah R. 2007. Analisis Kerusakan Bangunan Sekolah Dasar Negeri oleh Faktor Biologis di Kota Bogor [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Herliyana E. 2007. Potensi Lignolitik Jamur Pelapuk Kayu Kelompok Pleurotus [disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Hirai H, Kashima Y, Hayashi K, Sugiura T, Yamagishi K, Kawagishi H, Nishida T. 2008. Efficient expression of laccase gene from white-rot fungus Schizophyllum commune in transgenic tobacco plant. FEMS Microbiology Letters 286 (1):130-135. Holley D. 2009. Wood-The Perfect Building Material. Investigating the Role of Wood in Building and Construction. Suite101.com. http://ethnobotany. suite101.com/article.cfm/wood_the_perfect_building_material [17 April 2010].
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
110 Huang Z, Maher K, Amartey S. 2004. Analysing the Chemical Changes in Wood Brought about by Decay Fungi. http://www.fprc.co.uk/PDF/ICWSE% 202004-Paper%201.pdf [16 November 2005]. Huckfeldt T. 2003a. Biologische Charakterisierung von Hausfäulepilzen (Biological characterisation of house-rot fungi). http://www.bfafh.de/aktuell/pdf/ lwl27/lwl27_185.pdf [12 Januari 2010]. Hutchings M. 2010. Visual Fungi. http://www.mushrooms.org.uk/displaysubcat. asp?action=genus [6 Mei 2010]. John RO, Highley TL, Miller RB. 1994. Influence of lignin type on the decay of woody angiospermae by Trametes versicolor. Di dalam: Llewellyn GC, Dashek WV, O’Rear CE, editor. Biodeterioration Research 4: Mycotoxins, Wood Decay, Plant Stress, Biocorrosion, and General Biodeterioration. Proceedings of 4th meeting of the Pan American Biodeterioration Society, 1991 August 20-25. New York: Plenum Press: 357-374. Jurgensen M, Laks P, Reed D, Collins A. 2003. Chemical, Physical and Biological Factors Affecting Wood Decomposition in Forest Soils. IRG/WP 0320281. IRG Secretariat. Stockholm. Sweden. Kim YS, Wi SG, Lee KH, Singh AP. 2002. Cytochemical localization of hydrogen peroxide production during wood decay by brown-rot Jamur Tyromyces palustris and Coniophora puteana. Holzforschung 56 (1): 7-12. Kumi-Woode, BG. 1996. Natural Decay Resistance of Some Ghanian Timbers and Wood Decay Hazard Potential for Ghana [thesis]. Canada:Lakehead University. Kuo M. 2003. Schizophyllum commune. MushroomExpert. http://www. mushroomexpert.com/schizophyllum_commune.html [11 Januari 2010]. Kutz M. 2005. Environmental Degradation of Materials. Norwich: William Andrew, Inc. Leicester RH. 2001. Engineered durability for timber construction. Progress in Structural Engineering and Materials 3: 216-227 Leicester RH., Wang CH et al. 2003. An engineering model for the decay of timber in ground contact. 34th Annual Conference of the International Research Group on Wood Preservation. Leithoff H, Peek RD. 2001. Heat treatment of bamboo. IRG/WP 01-40216. Paper presented in 32nd Annual Meeting in Nara, Japan 20-25th May 2001. www.irg-wp.com/Documents/IRG_01-40216.pdf [11 Juni 2007]. Levin L, Castro MA. 1998. Anatomical study of the decay caused by the whiterot fungus Trametes trogii (apphyllophorales) in wood of salix and populous. IAWA Journal 19(2):169-180. Luna ML, Murace MA, Keil GD, Otaño ME. 2004. Patterns of decay claused by Pycnoporus sanguineus and Gnoderma lucidum (aphyllophorales) in poplar wood. IAWA Journal 25(2):425-433.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
111 Lyon WF. 1991. Wood Rot. Ohio State University Extension Fact Sheet. http:// ohioline.osu.edu/hyg-fact/3000/3300.html [16 Januari 2010]. Martawijaya A, Kartasujana I, Mandang YI, Prawira SA, Kadir K. 1989. Atlas Kayu Indonesia. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Martinez AT, Speranza M, Ruiz-Duenas FJ, Ferreira P, Camarero S, Guillen F, Martinez MJ, Gutierrez A, del Rio JC. 2005. Biodeterioration of lignocellulosics: microbial, chemical, and enzimatic aspects of the fungal attack of lignin. Internationan Microbiology 8:195-204. Mueller GM, Bills GF, Foster MS. 2004. Biodiversity of Fungi: Inventory and Monitoring Methods. Amsterdam: Academic Press. New Zealand Timber Preservation Council Incorporated. 2004. Hazard Class Descriptioin. http://www.nztpc.co.nz/contact.php [15 Mei 2007]. Nicholas DD, Crawford D. 2003. Concepts in the Development of New Accelerated Test Methods for Wood Decay. American Chemical Society. www. fpl.fs.fed.us/documnts/pdf2003/nicho03a.pdf [24 Mei 2007]. Niemela T, Miettinen O. 2008. The identity of Ganoderma applanatum (Basidiomycota). Taxon 57(3):963-966. Nishida T, Kashino Y, Mimura A, Takahara Y. 1988. Lignin biodeterioration by wood-rotting fungi I. Screening of lignin-degrading fungi. Mokuzai Gakkaishi 34(6):530-536. Nsolomo VR, Venn K, Solheim H. 2000. The ability of some fungi to cause decay in the East African camphor tree, Octoea usambarensis. Mycological Research 104(12):1473-1479. Oregon State University. 2004. Study Endorses Wood As 'Green' Building Material. ScienceDaily. http://www.sciencedaily.com/releases/2004/09/ 040922071817.htm [21 September 2010]. [Puskim] Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman. 2009. RISHA (Rumah Instan Sederhana Sehat). Bandung: Puslitbang Permukiman. http:// puskim.pu.go.id/produk-litbang/teknologi-terapan/risha-rumah-instansederhana-sehat [24 April 2010]. Rao J. 2005. Fungi. Classification. Montreal:CRDBER. http://alcor.concordia. ca/~raojw/crd/essay/essay000077.html [7 Februari 2008]. Rapp AO, Augusta U, Peek RD. 2001. Facts and ideas of testing wood above ground. COST E22. Reinbek. Hamburg. Remran. 1993. Kerugian Ekonomi Akibat Serangan Rayap pada Bangunan Perumahan di Pulau Batam [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Ridout B. 2004. Timber Decay in Buildings: The Conservation Approach to Treatment. London: Spon Press. Ridout B. 2007. Timber Decay and Its Treatment. http://www.uk-dampproofing-and-timber-treatment.com [11 Juni 2007].
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
112 Rowell RM, editor. 2005. Handbook of Wood Chemistry and Wood Composites. Florida: CRC Press. Rowell RM, Pettersen R, Han JS, Rowell JS, Tshabalala MA. 2005. Cell Wall Chemistry. Di dalam: Rowell RM, editor. Wood Chemistry and Wood Composites. Florida:CRC Press. Scheffer TC. 1971. A climate index for estimating potential for decay in wood structure above ground. Forest Products Journal 21(10): 25-31. Schmidt O. 2006. Wood and Tree Fungi. Biology, Damage, Protection, and Use. Berlin: Springer. Schmidt O. 2007. Indoor wood-decay basidiomycetes: damage, causal fungi, physiology, identification and characterization, prevention and control. Mycol Progress 6:261-279. Schmidt O, Moreth U. 2003. Molecular identity of species and isolates of internal pore fungi Antrodia spp. And Oligoporus placenta. Holzforschung 57(2):120-126 Schwarze FWMR, Engels J, Mattheck. 2000. Fungal Strategies of Wood Decay in Trees. Berlin: Springer-Verlag. Senese F. 2010. What is Cellulose? General Chemistry Online. Frostburg: Frostburg State University. http://antoine.frostburg.edu/chem/senese/101/ consumer/faq/what-is-cellulose.shtml [17 April 2010]. Shivas R, Beasley D. 2005. Management of Plant Pathogen Collections. Department of Agriculture, Fisheries and Forestry. Canberra: Commonwealth of Australia. Singh J. 2002. Designing Out Timber Deterioration. Environmentally Sustainable Conservation Solutions. Disajikan dalam Timber in The Built Heritage Confrence 17-18 Oktober 2002. Edinburgh. Scotland. http://www. ebssurvey.co.uk/docs/Designing%20out%20timber%20deterioration.pdf [18 Desember 2007]. Singh J. 2004. Timber Decay. Cathedral Communications. http://www.building conservation.com/articles/envmon/envmon.htm [26 Juli 20076]. Stamets P. 2000. Growing Gourmet and Medicinal Mushrooms. Ed ke-3. California: Ten Speed Press. Suhirman. 1987. Observation, isolation and characterization of fungi inhabiting test stakes of five timber species in ground contact. Buletin Penelitian Kehutanan 3(2): 119-134. Teddie C, Tashakkori A. 2009. Foundations of Mixed Methods Research. Integrating Quantitative and Qualitative Approach in the Social and Behavioral Sciences. California:SAGE Publications, Inc. The American Heritage. 2009. Dictionary of the English Language. Ed ke-4. Boston:Houghton Mifflin Company. http://www.thefreedictionary.com/ decay [16 April 2010].
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
113 The BayScience Foundation, Inc. 2009. Ganoderma applanatum. http:// zipcodezoo.com/Fungi/G/Ganoderma_applanatum/ [11 Januari 2010]. The Canadian Wood Council. 2010. Quick Facts Sustainable Building Series 111. Ontario: The Canadian Wood Council. http://www.cwc.ca/. [20 September 2010] Thiagarajan S. 2006. Fungi of the month IV: Chaetomium species. The Environmental Reporter. file://localhost/G:/S3 desertasi/LR-bahan/Chaetomium. htm [24 Mei 2007]. Tsujiyama S, Minami M. 2005. Production of phenol-oxidizing enzymes in the interaction between white-rot fungi. Mycoscience 46:268-271. DOI 10.1007/s10267-005-0243-y. US Department of Agriculture. 1942. Fungi causing decay of living oaks. Technical Bulletin 785:1-43. UniProt Consortium. 2010. Species Schizophyllum commune (bracket fungus). http://www.uniprot.org/taxonomy/5334 [11 Januari 2010]. Venalainen M, Harju AM, Kainulainen P, Viitanen H, Nikulainen H. 2002. Variation in the decay resistance and its relationship with other wood characteristics in Scots pines. Ann For Sci 60:409-417. Walker GM, White NA. 2005. Introduction to Fungal Physiology. Di dalam: Kavanagh K, editor. Fungi Biology and Application. Chichester: John Willey & Sons Ltd. Walker JCF. 2006. Basic Wood Chemistry and Cell Wall Ultrastructure. Di dalam: Walker JCF, editor. Primary Wood Processing. Principles and Practice. Ed ke-2. Dordrecht: Springer. Watanabe T. 2002. Pictoral Atlas of Soil and Seed Fungi. Morphologies of Culture Fungi and Key to Species. Ed ke-2. Florida: CRC Press. Watt SD. 1999. Building Pathology, Principles and Practice. Oxford: Blackwell Science Ltd. Wong AHH, Morsing N, Henriksen KH, Ujang S. 2004. Above ground microbial decay test of biocide treated and untreated wood exposed to Danish and humid tropical climates. IRG/WP 04-20306. Yeh ZY, Chen ZC. 1990. Preliminary investigations of Ganoderma australe (Subgen. Elfvingia) in Taiwan. Taiwania 35(2):127-141 Zhang Z, Schwartz S, Wagner L, Miller W. 2000. A greedy algorithm for aligning DNA sequences. J Comput Biol 7(1-2):203-214. Zwieniecki MA, Holbrook NM. 2000. Bordered pit structure and vessel wall surface properties, implications for embolism repair. Plant Physiol 123(3): 1015-1020. American Society of Plant Physiologists. http://www.ncbi.nlm. nih.gov/pmc/articles/PMC59064/ [3 Mei 2020].
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
LAMPIRAN
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
116 Lampiran 1
Suhu udara, kelembaban udara, curah hujan bulanan, dan jumlah hari hujan bulanan di kabupaten/ kota di Pulau Jawa Jumlah Hari Hujan Bulanan (hari)
Suhu (oC)
RH (%)
Curah Hujan Bulanan (mm)
BANDUNG (LEMBANG)
20
85
141
12
BANJARNEGARA
28
74
169
BANTUL
28
75
BANYUMAS
26
BANYUWANGI
Jumlah Hari Hujan Bulanan (hari)
Suhu (oC)
RH (%)
Curah Hujan Bulanan (mm)
KOTA MALANG
26
77
146
11
7
KOTA MOJOKERTO
26
76
143
7
151
10
KOTA PASURUAN
26
76
102
8
78
241
9
KOTA PROBOLINGGO
26
76
131
6
27
79
122
8
KOTA SUKABUMI
25
87
234
11
BATANG
28
76
132
9
KOTA TASIKMALAYA
26
80
173
7
BATU
26
77
146
11
KUDUS
28
74
171
6
BEKASI
25
79
144
7
KULON PROGO
25
82
179
9
BLORA
28
74
171
10
KUNINGAN
27
77
167
8
BOGOR
26
84
346
13
LAMONGAN
26
76
122
8
BOJONEGORO
26
76
135
7
LEBAK
27
81
124
8
BONDOWOSO
28
75
132
8
LUMAJANG
26
77
130
8
BOYOLALI
27
74
167
8
KAB. MAGELANG
28
74
169
9
BREBES
27
78
179
8
MAGELANG
28
74
169
9
CIAMIS
28
80
163
7
MAGETAN
27
75
131
6
CIANJUR
25
87
146
12
MAJALENGKA
27
77
259
8
CILACAP
27
82
163
10
NGANJUK
26
76
119
6
CILEGON
27
78
178
8
NGAWI
27
75
134
7
CIREBON
27
77
188
7
PACITAN
27
75
174
9
DEMAK
28
74
171
9
PANDEGLANG
25
81
318
11
GARUT
26
80
216
11
PATI
28
74
101
4
27
78
246
9
Kabupaten / Kota
Kabupaten / Kota
GRESIK
25
80
111
7
KAB. PEKALONGAN
GROBOGAN
28
74
146
7
PEKALONGAN
27
78
246
9
GUNUNG KIDUL
28
75
151
10
PEMALANG
26
78
292
10
INDRAMAYU
23
77
88
6
PONOROGO
27
75
127
5
JAKARTA BARAT
28
70
143
10
PURBALINGGA
28
78
169
7
JAKARTA PUSAT
28
70
143
10
PURWAKARTA
24
79
258
12
JAKARTA SELATAN
28
70
143
10
PURWOREJO
26
65
286
8
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
117 Lampiran 1 (Lanjutan)
Kabupaten / Kota
Suhu (oC)
RH (%)
Curah Hujan Bulanan (mm)
Jumlah Hari Hujan Bulanan (hari)
Suhu (oC)
RH (%)
Curah Hujan Bulana n (mm)
Jumlah Hari Hujan Bulana n (hari)
JAKARTA TIMUR
28
70
143
10
REMBANG
28
74
214
8
JAKARTA UTARA
28
70
143
10
SALATIGA
28
74
169
9
JEMBER
28
75
118
9
KAB. SEMARANG
28
75
128
9
JEPARA
28
74
214
8
SEMARANG
28
75
128
9
JOMBANG
26
76
354
7
SERANG
27
81
124
8
KAB. BLITAR
26
77
158
8
SIDOARJO
28
73
131
7
KAB. KEDIRI
27
75
137
5
SITUBONDO
25
79
97
5
KAB. MADIUN
27
75
129
6
SLEMAN
28
75
151
10
KAB. MALANG
26
77
146
11
SRAGEN
27
76
250
9
KAB. MOJOKERTO
26
76
143
7
SUBANG
23
80
233
8
KAB. PASURUAN
26
76
102
8
SUKABUMI
25
87
234
11
KAB. PROBOLINGGO
26
76
131
6
SUKOHARJO
27
76
111
8
KARANGANYAR
27
76
191
8
SUMEDANG
22
78
292
8
KARAWANG
27
80
144
5
SURABAYA
28
73
183
8
KEBUMEN
27
80
286
8
SURAKARTA
23
73
212
9
KENDAL
28
75
174
9
KAB. TANGERANG
28
79
177
8
KEPULAUAN SERIBU
28
70
143
10
TANGERANG
28
79
177
8
KLATEN
29
76
220
8
TASIKMALAYA
26
80
173
7
KOTA BANDUNG
23
77
175
12
KAB. TEGAL
27
78
125
8
KOTA BANJAR
26
80
147
7
TEGAL
27
78
125
8
KOTA BEKASI
25
79
144
7
TEMANGGUNG
28
75
171
9
KOTA BLITAR
26
77
158
8
TRENGGALEK
27
75
160
9
KOTA BOGOR
26
84
346
13
TUBAN
25
80
113
7
KOTA CIMAHI
23
77
167
12
TULUNGAGUNG
27
75
148
9
CIREBON
27
77
188
7
WONOGIRI
27
75
111
8
KOTA DEPOK
29
79
224
11
WONOSOBO
28
75
270
7
KOTA KEDIRI
27
75
137
5
YOGYAKARTA
28
75
151
10
KOTA MADIUN
27
75
129
6
Kabupaten / Kota
Sumber: hasil olahan data iklim dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (2004-2008) Keterangan: RH = kelembaban relatif
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
118 Lampiran 2
Indeks pelapukan dan kelas bahaya pelapukan di kabupaten/ kota di Pulau Jawa IP*
KELAS BAHAYA PELAPUKAN
BANDUNG (LEMBANG)
124
Sangat Tinggi
BANJARNEGARA
73
Tinggi
BANTUL
127
BANYUMAS
IP*
KELAS BAHAYA PELAPUKAN
KOTA MALANG
146
Sangat Tinggi
KOTA MOJOKERTO
58
Sedang
Sangat Tinggi
KOTA PASURUAN
79
Tinggi
104
Sangat Tinggi
KOTA PROBOLINGGO
50
Sedang
BANYUWANGI
104
Sangat Tinggi
KOTA SUKABUMI
130
Sangat Tinggi
BATANG
116
Sangat Tinggi
KOTA TASIKMALAYA
66
Tinggi
BATU
146
Sangat Tinggi
KUDUS
57
Sedang
BEKASI
65
Tinggi
KULON PROGO
97
Tinggi
BLORA
120
Sangat Tinggi
KUNINGAN
88
Tinggi
BOGOR
157
Sangat Tinggi
LAMONGAN
75
Tinggi
BOJONEGORO
71
Tinggi
LEBAK
104
Sangat Tinggi
BONDOWOSO
82
Tinggi
LUMAJANG
86
Tinggi
BOYOLALI
96
Tinggi
KAB. MAGELANG
110
Sangat Tinggi
BREBES
89
Tinggi
MAGELANG
110
Sangat Tinggi
CIAMIS
69
Tinggi
MAGETAN
53
Sedang
CIANJUR
146
Sangat Tinggi
MAJALENGKA
89
Tinggi
CILACAP
121
Sangat Tinggi
NGANJUK
52
Sedang
CILEGON
104
Sangat Tinggi
NGAWI
70
Tinggi
CIREBON
99
Tinggi
PACITAN
112
Sangat Tinggi
DEMAK
110
Sangat Tinggi
PANDEGLANG
104
Sangat Tinggi
GARUT
133
Sangat Tinggi
PATI
37
Sedang
GRESIK
62
Sedang
KAB. PEKALONGAN
114
Sangat Tinggi
GROBOGAN
75
Tinggi
PEKALONGAN
114
Sangat Tinggi
GUNUNG KIDUL
127
Sangat Tinggi
PEMALANG
110
Sangat Tinggi
INDRAMAYU
44
Sedang
PONOROGO
37
Sedang
JAKARTA BARAT
117
Sangat Tinggi
PURBALINGGA
72
Tinggi
JAKARTA PUSAT
117
Sangat Tinggi
PURWAKARTA
140
Sangat Tinggi
JAKARTA SELATAN
117
Sangat Tinggi
PURWOREJO
78
Tinggi
DAERAH
DAERAH
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
119
Lampiran 2 (Lanjutan)
IP*
KELAS BAHAYA PELAPUKAN
JAKARTA TIMUR
117
Sangat Tinggi
JAKARTA UTARA
117
JEMBER
IP*
KELAS BAHAYA PELAPUKAN
REMBANG
96
Tinggi
Sangat Tinggi
SALATIGA
103
Sangat Tinggi
110
Sangat Tinggi
KAB. SEMARANG
111
Sangat Tinggi
JEPARA
96
Tinggi
SEMARANG
111
Sangat Tinggi
JOMBANG
67
Tinggi
SERANG
104
Sangat Tinggi
KAB. BLITAR
91
Tinggi
SIDOARJO
64
Sedang
KAB. KEDIRI
43
Sedang
SITUBONDO
35
Sedang
KAB. MADIUN
45
Sedang
SLEMAN
127
Sangat Tinggi
KAB. MALANG
146
Sangat Tinggi
SRAGEN
106
Sangat Tinggi
KAB. MOJOKERTO
58
Sedang
SUBANG
79
Tinggi
KAB. PASURUAN
79
Tinggi
SUKABUMI
130
Sangat Tinggi
KAB. PROBOLINGGO
50
Sedang
SUKOHARJO
90
Tinggi
KARANGANYAR
88
Tinggi
SUMEDANG
69
Tinggi
KARAWANG
42
Sedang
SURABAYA
103
Sangat Tinggi
KEBUMEN
82
Tinggi
SURAKARTA
89
Tinggi
KENDAL
110
Sangat Tinggi
KAB. TANGERANG
82
Tinggi
KEPULAUAN SERIBU
117
Sangat Tinggi
TANGERANG
82
Tinggi
KLATEN
95
Tinggi
TASIKMALAYA
66
Tinggi
KOTA BANDUNG
136
Sangat Tinggi
KAB. TEGAL
104
Sangat Tinggi
KOTA BANJAR
66
Tinggi
TEGAL
104
Sangat Tinggi
KOTA BEKASI
65
Tinggi
TEMANGGUNG
110
Sangat Tinggi
KOTA BLITAR
91
Tinggi
TRENGGALEK
101
Sangat Tinggi
KOTA BOGOR
157
Sangat Tinggi
TUBAN
64
Sedang
KOTA CIMAHI
136
Sangat Tinggi
TULUNGAGUNG
111
Sangat Tinggi
CIREBON
99
Tinggi
WONOGIRI
90
Tinggi
KOTA DEPOK
150
Sangat Tinggi
WONOSOBO
73
Tinggi
KOTA KEDIRI
43
Sedang
YOGYAKARTA
127
Sangat Tinggi
KOTA MADIUN
45
Sedang
DAERAH
DAERAH
*IP = indeks pelapukan yang diperoleh dari rumus Scheffer (1971) berdasarkan data suhu udara dan curah hujan (Sumber data: Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika).
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
120 Lampiran 3
Lembar survey biodeteriorasi pada bangunan rumah contoh
No. : …………………… A. Lokaasi 1.
Nama daerah :
Desa
2.
Nama pemilik rumah :
…............…
; Kec. ………………
…………………………………..
B. Kondisi Bangunan 1. Berapa kira-kira umur bangunan rumah ini? ......... (tahun dibangun .........) 2. Sebelum rumah ini dibangun digunakan apa lahan ini? sawah
kebun
hutan
lainnya : ....... 3. Bahan apa yang digunakan untuk atap rumah ini? genting
asbes
seng
bahan lain : ... 4. Jenis kayu apa yang digunakan untuk (1) lisplang (2) atap (3) ...... jati
meranti
kayu lain:
?
sengon
…………
5. Bahan apa yang digunakan untuk lantai rumah ini? keramik/ tegel
kayu
semen
tanah
bahan lain : .........
C. Kondisi Pelapukan 1. Pada bagian rumah mana terjadi pelapukan? Luar rumah: lisplang
plafon
pintu
pagar
dinding lainnya: ........
tiang
jendela
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
121 Dalam rumah: pintu
lantai
rangka atap
tangga
lainnya: ........
2. Apakah pada bagian lapuk tersebut sering terkena air? selalu
sering
jarang
tidak pernah
3. Apa penyebab pembasahannya? penggunaan disengaja
konstruksi
atap rusak/ talang bocor
sebab lain: ....... 4. Bagaimana penyinaran matahari pada bagian yang lapuk? selalu gelap
tidak terkena sinar matahari langsung
terkena sinar matahari langsung 5. Apakah bagian lapuk berhubungan langsung dengan tanah?
------TERIMA KASIH------
ya
tidak
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
Lampiran 4
NO.
TIPE RUMAH (P/SP/K)
Tally sheet diagnosis biodeteriorasi pada bangunan rumah contoh
KOMPONEN TERSERANG
JENIS KAYU
PERSEN KAYU LAPUK
UKURAN KOMPONEN
MC (%)
RH (%)
T ( C) o
NO. FOTO
NILAI BAHAN LAPUK
NILAI KERUSAKAN BANGUNAN
ORG. (JL//JW /RT/ ...)
KETERANGAN
122
Keterangan: P = rumah permanen; SP = rumah semi permanen; K = rumah kayu; MC= kada air kayu; RH = kelembaban relatif udara; T = suhu udara; JL = jamur pelapuk; JW = jamur pewrana; RT = rayap tanah.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
123 Lampiran 5
Contoh perhitungan kerugian ekonomi akibat serangan jamur pelapuk pada rumah contoh
Contoh kasus pelapukan: kusen pintu meranti berukuran 55 x 12 x 6 cm. Biaya bahan: Bila tidak ada komponen lain yang menggunakan ukuran sortimen tersebut maka biaya bahan dihitung pembelian satu balok utuh. Bila ada komponen lain yang menggunakan ukuran sortimen yang sama maka dijumlahkan kebutuhannya. Maka biaya bahan adalah jumlah seluruh kebutuhan sortimen yang harus dibeli. Dengan demikian biaya bahan adalah harga balok 6 cm x 12 cm x 400 cm, yaitu Rp90.000,-. Biaya upah: Misal untuk perbaikan komponen kayu yang lapuk tersebut diperlukan 1 HOK (hari orang kerja), dengan upah harian Rp 50.000,-. Bila perlu lebih dari satu hari, biaya upah adalah jumlah hari kerja dikali upah harian Rp 50.000,-. Nilai kerugian akibat pelapukan adalah = biaya bahan + biaya upah. Dalam kasus di sini nilai kerugian adalah Rp 90.000 + Rp 50.000 = Rp 140.000,Secara ringkas perhitungan kerugian dirumuskan sebagai berikut:
K H i X i UY
(Remran 1993; Herdiansyah 2007)
Keterangan: K
=
Nilai kerugian (Rp)
H
=
Harga sortimen kayu gergajian (Rp/sortimen)
X
=
Jumlah sortimen kayu yang diperlukan (sortimen)
i
=
Jenis sortimen (papan 2 x 20; balok 6 x 12, atau yang lainnya)
U
=
Upah harian tukang kayu (Rp 50.000,-/ hari)
Y
=
Jumlah hari kerja (hari)
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
124 Lampiran 6
Perbandingan volume asam sitrat 0,1 M dan sodium fopat 0,2 M dalam pengaturan pH media PDA pH Asam sitrat 0,1 M (ml) Sodium fospat 0,2 M (ml)
2,6
3,0
3,4
3,8
4,2
4,6
44,6
39,8
35,9
32,3
29,4
26,7
5,4*)
10,2*)
14,1*)
17,7*)
20,6*)
23,3*)
pH Asam sitrat 0,1 M (ml)
5,0
5,4
5,8
6,2
6,6
7,0
24,3*)
22,2*)
19,7*)
16,9*)
13,6*)
6,5*)
25,7
27,8
30,3
33,1
36,4
43,6
Sodium fospat 0,2 M (ml)
Catatan: *) Larutan yang ditambahkan ke larutan lain dalam membuat pH buffer
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
125 Lampiran 7
No
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Jumlah bangunan rumah terserang jamur pelapuk di sepuluh daerah di Pulau Jawa
Daerah
Bogor Semarang Lembang Gresik Subang Malang Serang Yogyakarta Jakarta Utara Tegal
Jumlah rumah contoh 50 50 50 50 50 50 50 50 50 50
Jumlah rumah terserang jamur pelapuk 50 46 45 44 44 43 43 43 41 37
Persentase rumah terserang jamur pelapuk 100 92 90 88 88 86 86 86 82 74
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
126 Lampiran 8
PCR Sequences dari tiga spesimen jamur yang diisolasi dari komponen bangunan yang lapuk
DEITS1F GTGGCAACTTCGTTTCGTAGGTGACCTGCGGAAGGATCATTATCGAGTTTTGACTGGGTTGTAGCTGGCCTTCCGAGGCA TGTGCACGCCCTGCTCATCCACTCTACACCTGTGCACTTACTGTGGGTTTCAGACGGTGTAGCGAGCCTTTACGGGTTCG TGAAAGCGTCTGTGCCTGCGTTTATTACAAACTCTTACAAGTAAACGAATGTGTATTGCGATATAACGCATCTATATACA ACTTTCAGCAACGGATCTCTTGGCTCTCGCATCGATGAAGAACGCAGCGAAATGCGATAAGTAATGTGAATTGCAGAATT CAGTGAATCATCGAATCTTTGAACGCACCTTGCGCTCCTTGGTATTCCGAGGAGCATGCCTGTTTGAGTGTCATGAAATC TTCAACCTATAAACCTTTGCGGGTTTGTAGGCTTGGATTTGGAGGCTTGTCGGCCTAACGGTCGGCTCCTCTTAAATGCA TTAGCTTGATTCCTTGCGGATCGGCTCTCGGTGTGATAATTGTCTACGCCGCGACCGTGAAGCGTTTGGCGAGCTTCTAA TCGTCTCTTATGAGACAACACATTGACCTCTGACCTCAAATCAGGTAGGACTACCCGCTGAACTTAAGCATATCAATAAG CGGAGGAAAAGAAACTAACAAGGATTCCCCTAGTAACTGCGAGTGAAGCGGGAAAAGCTCAAATTTAAAATCTGGCGGTC TTTGGCCGTCCGAGTTGTAGTCTGGAGAAGTGCTTTCCGCGCTGGACCGTGTAAAGTTCTCCTGA DEITS4B GCCCGGGGGACTTCTCAGACTACACTCGGACGGCCAAAGACCGCCAGATTTTAAATTTGAGCTTTTCCCGCTTCACTCGC AGTTACTAGGGGAATCCTTGTTAGTTTCTTTTCCTCCGCTTATTGATATGCTTAAGTTCAGCGGGTAGTCCTACCTGATT TGAGGTCAGAGGTCAATGTGTTGTCTCATAAGAGACGATTAGAAGCTCGCCAAACGCTTCACGGTCGCGGCGTAGACAAT TATCACACCGAGAGCCGATCCGCAAGGAATCAAGCTAATGCATTTAAGAGGAGCCGACCGTTAGGCCGACAAGCCTCCAA ATCCAAGCCTACAAACCCGCAAAGGTTTATAGGTTGAAGATTTCATGACACTCAAACAGGCATGCTCCTCGGAATACCAA GGAGCGCAAGGTGCGTTCAAAGATTCGATGATTCACTGAATTCTGCAATTCACATTACTTATCGCATTTCGCTGCGTTCT TCATCGATGCGAGAGCCAAGAGATCCGTTGCTGAAAGTTGTATATAGATGCGTTATATCGCAATACACATTCATTTACTT GTAAGAGTTTGTAATAAACGCAGGCACAGACGCTTTCACGAACCCGTAAAGGCTCGCTACACCGTCTGAAACCCACAGTA AGTGCACAGGTGTAGAGTGGATGAGCAGGGCGTGCACATGCCTCGGAAGGCCAGCTACAACCCAGTCAAAACTCGATAAT GATCCTTCCGCAGGTTCACCTACGGAAACCTTGTTACGACTTTTACTTCCTCAAAA PolyBITS1F GGGAAATTCGTTTCGTAGGTGACCTGCGGAAGGATCATTATCGAGTTTTGACTGGGTTGTAGCTGGCCTTCCGAGGCATG TGCACGCCCTGCTCATCCACTCTACACCTGTGCACTTACTGTGGGTTTCAGACGGTGTAGCGAGCCTTTACGGGTTCGTG AAAGCGTCTGTGCCTGCGTTTATTACAAACTCTTACAAGTAAATGAATGTGTATTGCGATATAACGCATCTATATACAAC TTTCAGCAACGGATCTCTTGGCTCTCGCATCGATGAAGAACGCAGCGAAATGCGATAAGTAATGTGAATTGCAGAATTCA GTGAATCATCGAATCTTTGAACGCACCTTGCGCTCCTTGGTATTCCGAGGAGCATGCCTGTTTGAGTGTCATGAAATCTT CAACCTATAAACCTTTGCGGGTTTGTAGGCTTGGATTTGGAGGCTTGTCGGCCTAACGGTCGGCTCCTCTTAAATGCATT AGCTTGATTCCTTGCGGATCGGCTCTCGGTGTGATAATTGTCTACGCCGCGACCGTGAAGCGTTTGGCGAGCTTCTAATC GTCTCTTATGAGACAACACATTGACCTCTGACCTCAAATCAGGTAGGACTACCCGCTGAACTTAAGCATATCAATAAGCG GAGGAAAAGAAACTAACAAGGATTCCCCTAGTAACTGCGAGTGAAGCGGGAAAAGCTCAAATTTAAAATCTGGCGGTCTT TGGCCGTCCGAGTTGTAGTCTGGAGAAGTGCTTTCCGCGCTGGACCGTGAAAAATTTCTCTGGAA Poly BITS4B CCCGGTAGCTTCTCAGACTACAACTCGGACGGCCAAAGACCGCCAGATTTTAAATTTGAGCTTTTCCCGCTTCACTCGCA GTTACTAGGGGAATCCTTGTTAGTTTCTTTTCCTCCGCTTATTGATATGCTTAAGTTCAGCGGGTAGTCCTACCTGATTT GAGGTCAGAGGTCAATGTGTTGTCTCATAAGAGACGATTAGAAGCTCGCCAAACGCTTCACGGTCGCGGCGTAGACAATT ATCACACCGAGAGCCGATCCGCAAGGAATCAAGCTAATGCATTTAAGAGGAGCCGACCGTTAGGCCGACAAGCCTCCAAA TCCAAGCCTACAAACCCGCAAAGGTTTATAGGTTGAAGATTTCATGACACTCAAACAGGCATGCTCCTCGGAATACCAAG GAGCGCAAGGTGCGTTCAAAGATTCGATGATTCACTGAATTCTGCAATTCACATTACTTATCGCATTTCGCTGCGTTCTT CATCGATGCGAGAGCCAAGAGATCCGTTGCTGAAAGTTGTATATAGATGCGTTATATCGCAATACACATTCATTTACTTG TAAGAGTTTGTAATAAACGCAGGCACAGACGCTTTCACGAACCCGTAAAGGCTCGCTACACCGTCTGAAACCCACAGTAA GTGCACAGGTGTAGAGTGGATGAGCAGGGCGTGCACATGCCTCGGAAGGCCAGCTACAACCCAGTCAAAACTCGATAATG ATCCTTCCGCAGGTTCACCTACGGAAACCTTGTTACGACTTTTACTTCTCAAA
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
127 SCITS1F GGAACTTCGTTTCGTAGGTGACCTGCGGAAGGATCATTAACGAATCAAACAAGTTCATCTTGTTCTGATCCTGTGCACCT TATGTAGTCCCAAAGCCTTCACGGGCGGCGGTCGACTACGTCTACCTCACACCTTAAAGTATGTTAACGAATGTAATCAT GGTCTTGACAGACCCTAAAAAGTTAATACAACTTTCGACAACGGATCTCTTGGCTCTCGCATCGATGAAGAACGCAGCGA AATGCGATAAGTAATGTGAATTGCAGAATTCAGTGAATCATCGAATCTTTGAACGCACCTTGCGCCCTTTGGTATTCCGA GGGGCATGCCTGTTTGAGTGTCATTAAATACCATCAACCCTCTTTTGACTTCGGTCTCGAGAGTGGCTTGGAAGTGGAGG TCTGCTGGAGCCTAACGGAGCCAGCTCCTCTTAAATGTATTAGCGGATTTCCCTTGCGGGATCGCGTCTCCGATGTGATA ATTTCTACGTCGTTGACCATCTCGGGGCTGACCTAGTCAGTTTCAATTGGAGTCTGCTTCTAACCGTCTCTTGACCGAGA CTAGCGACTTGTGCGCTAACTTTTGACTTGACCTCAAATCAGGTAGGACTACCCGCTGAACTTAAGCATATCAATAAGCG GAGGAAAAGAAACTAACAAGGATTCCCCTAGTAACTGCGAGTGAAGCGGGAAAAGCTCAAATTTAAAATCTGGCGGTCTC CGGCCGTCCGAGTTGTAATTTAGAGAAGCGTTATCCGTGCTGGACTGCAAA
SCITS4B GCCGATTACCTTCTCTAATTACACTCGGACGGCCGGAGACCGCCAGATTTTAAATTTGAGCTTTTCCCGCTTCACTCGCA GTTACTAGGGGAATCCTTGTTAGTTTCTTTTCCTCCGCTTATTGATATGCTTAAGTTCAGCGGGTAGTCCTACCTGATTT GAGGTCAAGTCAAAAGTTAGCGCACAAGTCGCTAGTCTCGGTCAAGAGACGGTTGGAAGCAGACTCCTATTGAAACTGAC TAGGTCAGCCCCGAGATGGTCAACGACGTAGAAATTATCACATCGGAGACGCGATCCCGCAAGGGAAATCCGCTAATACA TTTAAGAGGAGCTGGCTCCGTTAGGCTCCAGCAGACCTCCACTTCCAAGCCACTCTCGAGACCGAAGTCAAAAGAGGGTT GATGGTATTTAATGACACTCAAACAGGCATGCCCCTCGGAATACCAAAGGGCGCAAGGTGCGTTCAAAGATTCGATGATT CACTGAATTCTGCAATTCACATTACTTATCGCATTTCGCTGCGTTCTTCATCGATGCGAGAGCCAAGAGATCCGTTGTCG AAAGTTGTATTAACTTTTTAGGGTCTGTCAAGACCATGATTACATTCGTTAACATACTTTAAGGTGTGAGGTAGACGTAG TCGACCGCCGCCCGTGAAGGCTTTGGGACTACATAAGGTGCACAGGATCAGAACAAGATGAACTTGTTTGATTCGTTAAT GATCCTTCCGCAGGTTCACCTACGGAAACCTTGTTACGACTTTTACTTCTCAA
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
128 Lampiran 9
Electropherogram hasil sequensing jamur DE dengan ITS1F
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
129 Lampiran 10 Electropherogram hasil sequensing jamur DE dengan ITS4B
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
130 Lampiran 11 Electropherogram hasil sequensing jamur PB dengan ITS1F
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
131 Lampiran 12 Electropherogram hasil sequensing jamur PB dengan ITS4B
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
132 Lampiran 13 Electropherogram hasil sequensing jamur SC dengan ITS1F
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
133 Lampiran 14 Electropherogram hasil sequensing jamur SC dengan ITS4B
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
134 Lampiran 15 Diameter dan pertumbuhan miselium S. commune dan G. applanatum pada media PDA dalam variasi suhu Temperatur (oC) Inkubasi (hari)
Diameter DE (cm)
Rataan DE Pertumbuhan DE (cm/hari) Inkubasi (hari)
Diameter SC, S. commune (cm)
Rataan SC Pertumbuhan SC (cm/hari) Inkubasi (hari)
Diameter PB, G. applanatum (cm)
Rataan PB Pertumbuhan PB (cm/hari)
20 7 6,70 6,58 6,60 6,65 6,20 6,55 0,85 7
25 7
8,15 7,93 8,04 1,06 7 7,70 7,88 7,45 6,70 6,88 7,32 0,96 5 7,10 6,70 6,60
30 5 6,78 6,65 7,00 7,03 7,28 6,95 1,27 6 6,85 6,83 7,05
6,60 7,13 6,60 6,58 6,73 6,91 0,88 1,05 7 5 7,80 7,80 7,60 8,00 7,20 7,85 6,58 7,78 6,65 7,17 6,80 7,86 0,94 1,24 1,45
35 4 7,55 7,40 7,10 5,40 6,23 6,74 1,53 6 5,48 4,95 6,65
5,69 0,85 3 6,20 6,50 6,15 6,25
40 4 7,55 7,55 7,43 7,25 6,95 7,35 1,69 7 6,90 6,28 5,90 4,28 5,84 0,75 3 6,35 6,75 6,38
6,28 6,49 1,89 1,96
45 4 0,98 1,50 1,13 0,75 1,09 0,12 7 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 2 0,80 1,15 1,15 0,60 1,18 0,98 0,19
50 7 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 7 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 7 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
135 Lampiran 16 Diameter dan pertumbuhan miselium S. commune dan G. applanatum pada media PDA dalam variasi pH pH Inkubasi (hari)
Diameter S. commune (cm)
Rataan (cm) Pertumbuhan (cm/hari) Inkubasi (hari)
Diameter G. applanatum (cm)
Rataan (cm) Pertumbuhan (cm/hari)
4,26 7 6,075 7,55 7,7 8,1
7,36 0,97 4 7,83 7,85 7,60 7,60 7,90
5,02 5 6,98 6,18 6,23 6,75 6,38 5,45 6,33 1,15 4 7,33 7,35 7,60 7,60 7,78
7,76 1,79
7,53 1,73
5,40 7 7,225 7,575
7,40 0,97 4 6,88 6,90
6,08 7 3,875 3,7
3,79 0,46 7 7,35 6,75 6,65
6,50 6,76 1,54
6,92 0,90
7,09 7 0 0 0 0
0,00 0 7 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
136 Lampiran 17 Analisis ragam kadar lignin dan selulosa media serbuk kayu dalam uji biodeteriorasi oleh jamur pelapuk. Type III Sum Source
Dependent Variable of Squares
Mean df
Square
F
Sig.
a
19
21.406
5.306 .000
Corrected
Kadar Lignin (%)
Model
Kadar Selulosa (%)
2020.157
b
19
106.324
76.191 .000
Intercept
Kadar Lignin (%)
21488.648
1
21488.648
5326.469 .000
Kadar Selulosa (%)
63256.572
1
63256.572 45329.024 .000
Kadar Lignin (%)
24.757
1
24.757
6.137 .022
Kadar Selulosa (%)
54.639
1
54.639
39.154 .000
Kadar Lignin (%)
174.369
1
174.369
43.221 .000
Kadar Selulosa (%)
109.687
1
109.687
78.600 .000
Kadar Lignin (%)
113.988
4
28.497
7.064 .001
Kadar Selulosa (%)
880.605
4
220.151
157.758 .000
25.807
1
25.807
6.397 .020
138.980
1
138.980
99.592 .000
42.251
4
10.563
2.618 .066
569.421
4
142.355
102.010 .000
Fungi
Kayu
Inkubasi
Fungi * Kayu
Kadar Lignin (%) Kadar Selulosa (%)
406.712
Fungi *
Kadar Lignin (%)
Inkubasi
Kadar Selulosa (%)
Kayu *
Kadar Lignin (%)
10.104
4
2.526
.626 .649
Inkubasi
Kadar Selulosa (%)
95.231
4
23.808
17.060 .000
15.437
4
3.859
.957 .453
171.593
4
42.898
30.741 .000
Fungi * Kayu * Kadar Lignin (%) Inkubasi
Kadar Selulosa (%)
Error
Kadar Lignin (%)
80.686
20
4.034
Kadar Selulosa (%)
27.910
20
1.395
Kadar Lignin (%)
21976.046
40
Kadar Selulosa (%)
65304.638
40
487.398
39
2048.067
39
Total
Corrected
Kadar Lignin (%)
Total
Kadar Selulosa (%)
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
137 Uji beda rata-rata (post hoc tests) kadar lignin dan selulosa kayu Kadar Lignin (%) Subset
Inkubasi
Tukey a,,b,,c
HSD
(minggu)
N
1
2
3
0
8
21,0400
4
8
21,3429
21,3429
8
8
23,9600
23,9600
23,9600
2
8
24,2221
24,2221
12
8
25,3246
Sig.
.059
.064
.659
Kadar Selulosa (%) Subset
Inkubasi
Tukey a,,b,,c
HSD
(minggu)
N
1
12
8
34,9200
8
8
36,0323
2
8
4
8
0
8
Sig.
2
3
4
38,3729 41,5199 47,9900 .358
1.000
1.000
1.000
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
138 Lampiran 18 Analisis ragam penurunan berat kayu dalam uji biodeteriorasi oleh jamur pelapuk Uji Pengaruh antar Subjek Dependent Variable:Penurunan Berat (%) Type III Sum of Mean Source Squares df Square Corrected Model Intercept Fungi Kayu Inkubasi Fungi * Kayu Fungi * Inkubasi Kayu * Inkubasi Fungi * Kayu * Inkubasi Error Total Corrected Total
702.947a 2505.331 209.923 171.603 118.241 115.481 18.022 46.796 22.882
23 1 1 2 3 2 3 6 6
30.563 2505.331 209.923 85.802 39.414 57.741 6.007 7.799 3.814
257.191 3465.469 960.138
72 96 95
3.572
F 8.556 701.361 58.768 24.020 11.034 16.164 1.682 2.183 1.068
Uji Beda Rata-rata (Post Hoc Tests) Penurunan Berat Kayu Penurunan Berat (%) kayu oleh G. applanatum Subset Tukey a,,b HSD
Kayu Pinus
N 16
1 4,2219
Kamper
16
5,6331
Sengon
16
Sig.
2
9,9069 ,135
1,000
Penurunan Berat (%) kayu oleh G. applanatum
Tukey a,,b HSD
Subset
Inkubasi (minggu) 2
N 12
1 5,2583
4
12
5,2817
8
12
7,1658
12
12
Sig.
2
7,1658 8,6433
,117
,298
Sig. .000 .000 .000 .000 .000 .000 .179 .054 .390
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
139
Penurunan Berat (%) kayu oleh S. commune Subset Tukey HSDa,,b
Kayu Pinus
N 16
1 3,1031
Sengon
16
3,8663
Kamper
16
3,9200
Sig.
,389
Penurunan Berat (%) kayu oleh S. commune
Tukey a,,b HSD
Subset
Inkubasi (minggu) 2
N 12
1 2,2875
2
8
12
3,6375
3,6375
4
12
3,7358
3,7358
12
12
Sig.
4,8583 ,192
,329
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
140 Lampiran 19 Analisis ragam berat jenis kayu dalam uji biodeteriorasi oleh jamur pelapuk kayu Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Berat Jenis Type III Sum Source Corrected Model Intercept Fungi Kayu Inkubasi Fungi * Kayu Fungi * Inkubasi Kayu * Inkubasi Fungi * Kayu * Inkubasi Error Total Corrected Total
Tukey HSDa,,b
of Squares df Mean Square a 3.818 29 .132 28.558 1 28.558 3.267E-5 1 3.267E-5 3.651 2 1.825 .064 4 .016 .002 2 .001 .006 4 .002 .090 8 .011 .005 8 .001 .182 120 .002 32.558 150 4.000 149
F 86.843 18837.742 .022 1204.080 10.596 .504 1.035 7.432 .410
Sig. .000 .000 .884 .000 .000 .605 .392 .000 .913
Uji beda rata-rata (Post Hoc Tests) berat jenis kayu Berat Jenis Kayu Subset Jenis Kayu N 1 2 3 Sengon 50 ,2240 Pinus 50 ,4906 Kamper 50 ,5944 Sig. 1.000 1.000 1.000 Berat Jenis Kayu
a,,b
Tukey HSD
Inkubasi (minggu) 2 0 4 8 12 Sig.
Subset N 30 30 30 30 30
1 ,3977
1.000
2 ,4340 ,4460 ,4467 ,4573 .145
3
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
141 Lampiran 20 Analisis ragam pengaruh serangan jamur pelapuk terhadap modulus lentur (MOE) dan modulus patah (MOR) kayu
Source Corrected Model Intercept Jamur Kayu Inkubasi Jamur * Kayu Jamur * Inkubasi Kayu * Inkubasi Jamur * Kayu * Inkubasi Error Total Corrected Total
Dependent Variable MOE (kg/m2) MOR (kg/m2) MOE (kg/m2) MOR (kg/m2) MOE (kg/m2) MOR (kg/m2) MOE (kg/m2) MOR (kg/m2) MOE (kg/m2) MOR (kg/m2) MOE (kg/m2) MOR (kg/m2) MOE (kg/m2) MOR (kg/m2) MOE (kg/m2) MOR (kg/m2) MOE (kg/m2) MOR (kg/m2) MOE (kg/m2) MOR (kg/m2) MOE (kg/m2) MOR (kg/m2) MOE (kg/m2) MOR (kg/m2)
Type III Sum of Squares 1.495E11 2.829E7 8.752E11 1.410E8 8.552E7 28791.937 1.380E11 2.370E7 8.599E9 3870012.746 4.684E8 48439.396 7.208E8 38195.768 5.311E8 469115.776 1.189E9 134804.502 4.192E10 6252629.368 1.067E12 1.755E8 1.915E11 3.454E7
df 29 29 1 1 1 1 2 2 4 4 2 2 4 4 8 8 8 8 120 120 150 150 149 149
Mean Square 5.157E9 975359.834 8.752E11 1.410E8 8.552E7 28791.937 6.898E10 1.185E7 2.150E9 967503.187 2.342E8 24219.698 1.802E8 9548.942 6.639E7 58639.472 1.487E8 16850.563 3.493E8 52105.245
F 14.763 18.719 2505.410 2705.197 .245 .553 197.469 227.387 6.155 18.568 .670 .465 .516 .183 .190 1.125 .426 .323
Sig. .000 .000 .000 .000 .622 .459 .000 .000 .000 .000 .513 .629 .724 .947 .992 .351 .904 .956
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
142 Uji beda rata-rata (post hoc tests) MOE dan MOR kayu 2 MOE (kg/m ) Subset Tukey a,,b,,c HSD
Kayu Sengon
N 50
Pinus
50
Kamper
50
1 34218.1916
2
3
90673.6948 104257.7430
Sig.
1.000
1.000
1.000
2
MOR (kg/m ) Subset a,,b,,c
Tukey HSD
Kayu Sengon
N 50
1 407.9110
Pinus
50
1227.2204
Kamper
50
1273.0120
Sig.
1.000
2
.576
2
MOE (kg/m )
a,,b,,c
Tukey HSD
Subset
Inkubasi (minggu) 8
N 30
1 70366.6800
12
30
71311.2837
4
30
72627.1743
3
30
76718.8857
0
30
2
90892.0253
Sig.
.682
1.000
2
MOR (kg/m )
a,,b,,c
Tukey HSD
Subset
Inkubasi (minggu) 8
N 30
1 855.3650
4
30
870.6550
12
30
900.9493
3
30
933.8410
0
30
Sig.
2
1286.0953 .672
1.000
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
143 Lampiran 21 Analisis ragam dan uji korelasi indeks pelapukan daerah dengan nilai modulus lentur (MOE) dan modulus patah (MOR) sebagai indikator degradasi kayu dalam uji lapang pelapukan kayu Analisis ragam pengaruh indeks pelapukan (IP) terhadap sifat mekanis kayu Dependent
Type III Sum of
Source
Variable
Corrected
MOE_K
2.636E9
6
4.394E8
5.337
.001
Model
MOR_K
145589.619b
6
24264.937
3.151
.014
MOE_S
1.664E9
6
2.773E8
8.036
.000
MOR_S
d
6
38555.095
4.202
.003
MOE_K
3.833E11
1
3.833E11
4656.348
.000
MOR_K
6.427E7
1
6.427E7
8345.508
.000
MOE_S
6.127E10
1
6.127E10
1775.459
.000
MOR_S
9861028.595
1
9861028.595
1074.621
.000
MOE_K
2.636E9
6
4.394E8
5.337
.001
MOR_K
145589.619
6
24264.937
3.151
.014
MOE_S
1.664E9
6
2.773E8
8.036
.000
MOR_S
231330.571
6
38555.095
4.202
.003
MOE_K
2.881E9
35
8.233E7
MOR_K
269559.167
35
7701.690
MOE_S
1.208E9
35
3.451E7
MOR_S
321169.833
35
9176.281
MOE_K
3.889E11
42
MOR_K
6.469E7
42
MOE_S
6.414E10
42
MOR_S
1.041E7
42
Corrected
MOE_K
5.518E9
41
Total
MOR_K
415148.786
41
MOE_S
2.872E9
41
MOR_S
552500.405
41
Intercept
IP
Error
Total
Squares
df
231330.571
Mean Square
F
Sig.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
144 Uji korelasi Pearson antar faktor-faktor iklim, indeks pelapukan dengan nilai mekanis kayu Suhu
Kelembaban
JHH
CHB
IP
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
MOE_K .178 .258 42 -.372* .015 42 ** -.578 .000 42 ** -.430 .005 42 -.644** .000 42
MOR_K .157 .319 42 -.336* .030 42 ** -.511 .001 42 * -.388 .011 42 -.567** .000 42
MOE_S .191 .226 42 -.381* .013 42 ** -.641 .000 42 ** -.477 .001 42 -.724** .000 42
MOR_S .085 .591 42 -.297 .056 42 ** -.512 .001 42 ** -.553 .000 42 -.585** .000 42
Keterangan: JHH = Jumlah hari hujan bulanan; CHB = Curah hujan bulanan; IP = Indeks pelapukan; MOE = Modulus lentur; MOR = Modulus patah; K = Kayu kamper; S = Kayu sengon **) Korelasi nyata pada tingkat tingkat nyata 0.01. *) Korelasi nyata pada tingkat nyata 0.05.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
145 Lampiran 22 Hubungan beberapa unsur iklim dengan modulus lentur (MOE) dan modulus patah (MOR) kayu dalam uji lapang biodeteriorasi kayu
100.000,0
1.200,0
80.000,0 60.000,0
MOR (Kg/cm2)
1.400,0
MOE (Kg/cm2 )
120.000,0
y = -546,4x2 + 9326,x + 56124 R² = 0,810
40.000,0
Sengon
600,0 400,0
0,0 5
7
9
11
Jumlah Hari Hujan Per Bulan
13
Kamper 5
15
15
40.000,0
800,0 600,0 400,0
y = -72,74x2 + 10996x - 37758 R² = 0,216
y = -1,388x 2 + 208,7x - 7346, R² = 0,291
200,0
0,0
0,0
72
74
Sengon
76
78
80
82
84
Kamper
70
86
1.400,0
100.000,0
1.200,0
80.000,0
74
MOR (Kg/cm2)
60.000,0 40.000,0
78
80
82
84
86
800,0 600,0 400,0
y = 292,8x2 - 13616x + 18961 R² = 0,287
y = 4,146x2 - 186,6x + 2472, R² = 0,317
200,0
0,0
76
Kelembaban Relatif (%)
y = 2,302x2 - 106,7x + 2418, R² = 0,229
1.000,0
y = 298,0x2 - 14145x + 25723 R² = 0,197
20.000,0
72
Sengon
Kelembaban Relatif (%)
120.000,0
MOE (Kg/cm2 )
13
y = -0,905x 2 + 137,7x - 3995, R² = 0,304
1.000,0
MOR (Kg/cm2)
MOE (Kg/cm2 )
+ 16073x - 51498 R² = 0,328
Kamper 70
0,0
20
22
24
Sengon
26
28
30
Kamper
20
1.200,0
60.000,0
MOR (Kg/cm2 )
1.400,0
100.000,0 80.000,0
y = -0,177x2 + 26,47x + 93967 R² = 0,870
40.000,0 20.000,0
y = 0,119x2 - 95,37x + 46790 R² = 0,567
1.000,0
24
26
28
30
Suhu (oC)
y = 0,000x2 - 0,800x + 1316, R² = 0,742
800,0 600,0 400,0 200,0
0,0
Kamper 5 Sengon
22
Sengon
Suhu (oC)
120.000,0
MOE (Kg/cm2 )
11
1.200,0
y = -105,6x2
60.000,0
Kamper
9
Jumlah Hari Hujan Per Bulan
1.400,0
100.000,0
20.000,0
7
Sengon
120.000,0
80.000,0
y = 1,184x2 - 65,12x + 980,4 R² = 0,924
200,0
0,0
Kamper
800,0
y = 74,32x2 - 3687,x + 64808 R² = 0,877
20.000,0
y = -1,498x2 + 11,22x + 1259, R² = 0,905
1.000,0
y = 0,004x2 - 2,843x + 754,3 R² = 0,589
0,0 105
205
305
Curah Hujan Bulanan (mm)
405
Kamper 5 Sengon
55
105
155
205
255
Curah Hujan Bulanan (mm)
305
355