Analisi Kasus Terhambatnya Pemberian Royalti Kepada Inventor Atas Hasil Alih Teknologi Kegiatan Litbang Ragil Yoga Edi, SH., LL.M Prof. Dr. Bambang Subiyanto, M.Agr
I.
Pendahuluan Komersialisasi hak kekayaan intelektual (HKI) sebagai bentuk alih teknologi hasil-hasil kegiatan penelitian pada lembaga litbang milik publik masih terhambat oleh kebijakan pemerintah tentang pengelolaan anggaran. Kendala utama yang dirasakan adalah belum adanya kebijakan operasional yang memungkinkan pemberian insentif atau penghargaan kepada inventor dari hasil komersialisasi HKI yang dihasilkannya. Dalam praktik di berbagai negara insentif atau penghargaan tersebut dimanifestasikan dalam bentuk penyerahan sebagian royalti yang diperoleh dari hasil alih teknologi HKI. Di Indonesia, pendapatan berupa royalti yang diperoleh dari alih teknologi HKI yang dihasilkan oleh lembaga litbang dan perguruan tinggi milik pemerintah hanya dimungkinkan penggunaannya untuk berbagai kegiatan yang terikat dengan ketentuan pembelanjaan negara dimana ketentuan tersebut belum memberikan ruang bagi inventor untuk memperoleh haknya atas sebagian dari royalti yang telah dihasilkan tersebut. Lemahnya perhatian dan penghargaan terhadap kontribusi inventor semacam ini memberikan preseden negatif bagi produktivitas HKI dan berpotensi melemahkan motivasi dan kreativitas inventor untuk terus menghasilkkan kekayaan intelektual yang bermanfaat bagi masyarakat.1 Pada lembaga-lembaga litbang pemerintah, ketiadaan kebijakan pemberian insentif bagi para inventor menyebabkan munculnya berbagai tindakan indisipliner, antara lain beralihnya peneliti yang berpotensi ke institusi lain yang dianggap lebih memberikan jaminan hak dan insentif yang memadai atas kontribusinya terhadap institusi. Kondisi ini juga mengakibatkan maraknya tindaan-tindakan komersialisasi ilegal dalam bentuk illegal spin off dan illegal licensing oleh para inventor yang masih berstatus sebagai pegawai institusi litbang yang bersangkutan. Tindakan Illegal spin off merupakan aktivitas yang dilakuan oleh inventor atau pegawai suatu institusi yang mendirikan perusahaan untuk melaksanakan HKI milik institusi tanpa persetujuan yang sah dari institusi yang bersangkutan. Sedangkan Illegal licensing adalah pemberian izin oleh inventor kepada pihak lain untuk melaksanakan HKI milik institusi tanpa memperoleh kewenangan yang sah dari institusinya. Meskipun tampak hanya sebagai tindakan indisipliner, tindakantindakan tersebut di atas sangat berpotensi menimbulkan kerugian negara dalam bentuk beralihnya pendapatan hasil pemanfaatan aset publik ke tangan individu-individu secara ilegal. Disamping itu, meluasnya tindakantindakan tersebut akan berdampak pada melemahnya daya saing pada institusi-institusi litbang yang pada akhirnya menjadi kontra produktif dengan upaya mewujudkan sistem inovasi nasional (SIN) untuk mendorong 1
Toivanen dan Vaananen, Return to Inventors, Governance and the Economic Eficiency System (GESY), 2010.
kontribusi IPTEK terhadap pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian, diperlukan suatu kebijakan yang memadai sehingga pengelolaan aset publik berupa HKI dan hasil kegiatan litbang dapat memberikan dampak yang besar bagi pembangunan ekonomi. Tulisan ini bertujuan untuk menemukan faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terhambatnya upaya pemberian insentif kepada inventor dalam bentuk pemberian sebagian royalti hasil alih teknologi HKI dan kegiatan litbang. Untuk itu, penelitian ini memfokuskan diri pada pertanyaanpertanyaan tentang faktor apa yang menyebabkan pemberian royalti kepada inventor tidak dapat dilaksanakan dan kebijakan apa yang dapat diambil sebagai alternatif landasan hukum agar pemberian royalti kepada inventor dapat dilaksanakan. Dalam mencari jawaban atas permasalahan tersebut di atas, tulisan ini menggunakan penelitian kualitatif dengan pendekatan studi dokumen.2 Untuk memperoleh kesimpulan, data dan informasi yang diperoleh dari berbagai dokumen yang terkait dengan topik penelitian maka tulisan ini mengambil teknik analisis deskriptif. II. Komersialisasi Litbang: Sejarah dan Implementasinya Bayh-Dole Act 1980 Wacana tentang kebijakan alih teknologi pada lembaga litbang dan perguruan tinggi milik pemerintah tidak dapat dilepaskan dari sejarah modernisasi kebijakan alih teknologi di Amerika Serikat pada tahun 1980. Pada akhir dekade tahun 1970, kondisi kegiatan litbang di Amerika serikat yang telah mencapai keemasan pasca Perang Dunia II dirasakan mulai mengalami penurunan. Hal ini ditandai dengan rendahnya jumlah teknologi yang berhasil dikomersialisasikan dimana dari 28.000 paten milik pemerintah hanya kurang dari 5% yang berhasil dilisensikan. Bahkan lembaga litbang dan perguruan tinggi bergengsi hanya dapat melisensikan teknologi dengan skala yang sangat terbatas dan proses alih teknologi yang terapkan pun sangat rumit. Selain itu, jumlah paten yang dihasilkan oleh lembaga litbang yang dibiayai oleh Pemerintah juga mengalami penurunan dan kebanyakan dari paten tersebut sama sekali tidak dapat dilisensikan.3 Birokrasi Pemerintah yang terlalu mengekang aktivitas litbang dan diabaikannya kebijakan alih teknologi menjadi penyebab utama kegagalan tersebut. Penguasaan Pemerintah atas paten yang dibiayai oleh negara cenderung menempatkan paten menjadi public domain sehingga tidak lagi memiliki nilai untuk dikomersialkan. Selain itu, aturan perolehan lisensi sangat rumit serta ketiadaan insentif telah menyebabkan inventor dan pelaku usaha enggan mengambil risiko untuk mengembangkan lebih jauh teknologi hasil litbang. Akibatnya, negara harus menanggung beban finansial atas kegiatan litbang yang tidak menghasilkan nilai tambah serta lebih jauh lagi yakni terhambatnya proses inovasi yang pada akhirnya berdampak pada menurunnya daya saing negara. Sebagai respon atas kondisi litbang yang tidak menguntungkan tersebut, sejak tahun 1969 Departemen Kesehatan, Pendidikan dan Kesejahteraan Amerika serikat (HEW) secara berkala menggelar pertemuan2
Cresswell, John W., Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches, Sage Publication, 2003. 3 Bayhdole25 Inc. 2006
pertemuan yang mengangkat isu yang menyuarakan pentingnya perubahan fundamental dalam skema alih teknologi pada lembaga litbang dan lembaga tinggi Pemerintah. Usaha HEW yang cukup panjang membuahkan hasil, dimana pada tahun 1978, isu tersebut telah menarik perhatian Kongres Amerika Serikat. Dalam sidang pembahasan, dua orang Senator bernama Birch Bayh dan Robert Dole berhasil meyakinkan Kongres dengan mengangkat paradigma baru alih teknologi yang dikaitkan peningkatan daya saing ekonomi. Pada Sidang Kongres yang ke 95, Birch Bayh dan Robert Dole memperkenalkan konsep University Small Business and Patent Act yang kemudian dikenal dengan Bayh-Dole Act. Pada tahun 1980, Bayh-dole Act disahakan oleh Pemerintah Amerika Serikat dan menjadi kebijakan litbang paling berpengaruh hingga saat ini. Pada prinsipnya, Bayh-Dole Act 1980 berisi tentang penyerahan penguasaan HKI kepada lembaga litbang dan perguruan tinggi dengan tujuan: mendorong pemanfaatan hasil penelitian; mendorong pertautan antara kegiatan komersial dengan non-profit; dan meningkatkan komersialisasi dan aplikasi invensi bagi masyarakat. Ketentuan tersebut meliputi hak lembaga litbang dan perguruan tinggi untuk mendirikan perusahaan berbasis litbang dan mengatur perolehan pendapatan untuk membangun kompetensi dan meningkatkan kesejahteraan anggotanya. Sebagai hasil dari kebijakan tersebut, aktivitas alih teknologi meningkat tajam dan berdampak langsung bagi perekonomian yang terlihat dari total nilai produktivitas faktor. Perolehan paten selama kurun waktu tahun 1982 hingga tahun 2000 meningkat dari 500 menjadi 3.800 paten. Gambar 1 mengilustrasikan peningkatan jumlah paten milik universitas di Amerika Serikat.
Sumber: USPTO
Gambar 1. Kontribusi Universitas terhadap Jumlah Paten AS
Sementara itu, nilai pendapatan dari hasil kegiatan alih teknologi meningkat tujuh kali lipat dari $186 juta menjadi $1,26 miliar.4 Bahkan, sebuah survey mengungkapkan bahwa pada periode tahin 1991-1996 lisensi yang dilaksanakan tercatat sebesar 13.087 yang berarti terdapat peningkatan sbesar 75%. Gambar 2 mengilustrasikan lisensi paten dan dampaknya terhadap ekonomi. Hingga saat ini banyak negara yang mengadopsi prinsipprinsip dalam Bayh-Dole Act 1980.
Sumber: www.triplehelixinnovation.com
Gambar 2. Lisensi Paten Universitas di AS tahun 1996-2009
Kerangka Hukum Pemeberian Royalti Pemberian reward dalam bentuk finansial kepada inventor memang bukan satu-satunya upaya yang menentukan keberhasilan pemanfaatan hasil litbang dan peningkatan produktivitas HKI, namun bentuk insentif semacam itu menjadi salah satu faktor yang dapat memotivasi produktivitas para pegawai. Sebuah penelitian mengungkapkan bukti bahwa alasan para inventor menghasilkan temuan yang bermanfaat adalah: mencintai kegiatan penemuan; keinginan untuk memperbaiki teknologi yang ada; dan memperoleh keuntungan finansial dari hasil komersialisasi temuannya.5 Hampir seluruh sistem hukum yang berlaku di dunia mengadopsi konsep pemberian insentif kepada inventor yang menghasilkan kekayaan intelektual yang memberikan dampak ekonomi bagi institusi atau perusahaannya. Di Indonesia konsep tersebut dituangkan dalam Pasal 12 UU No. 14 Tahun 2001 tentang Paten dinyatakan : (3) Inventor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berhak mendapatkan imbalan yang layak dengan memperhatikan manfaat ekonomi yang diperoleh dari Invensi tersebut. 4 5
Lach dan Schankerman, Royalty Sharing and Technology Licensing in Universities, 2003. Toivanen dan Vaananen, op.cit.
(4) Imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dibayarkan: 1. dalam jumlah tertentu dan sekaligus; 2. persentase; 3. gabungan antara jumlah tertentu dan sekaligus dengan hadiah atau bonus; 4. gabungan antara persentase dan hadiah atau bonus; atau 5. bentuk lain yang disepakati para pihak; 6. yang besarnya ditetapkan oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Selain ketentuan tersebut di atas, Pasal 16 (3) UU. No. 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian dan Pengembangan Ilmu pengetahuan dan Teknologi menyatakan: (3) Perguruan tinggi dan lembaga litbang pemerintah berhak menggunakan pendapatan yang diperolehnya dari hasil alih teknologi dan/atau pelayanan jasa ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mengembangkan diri.
Pemberian royalti kepada inventor juga dimungkinkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor. 20 tahun 2005 tentang Alih Teknologi Kekayaan Intelektual serta Hasil kegiatan Penelitian dan Pengembangan oleg Perguruan Tinggi dan Lembaga Penelitian dan pengembangan, khususnya pasal 38 ayat 2 (b), yang selengkapanya menyatakan: Pasal 38 1)
Perguruan tinggi dan lembaga litbang Pemerintah berhak menggunakan pendapatan yang diperolehnya dari hasil alih teknologi kekayaan intelektual serta hasil kegiatan penelitian dan pengembangan untuk mengembangkan diri.
2)
Pendapatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat langsung digunakan untuk: a) meningkatkan anggaran penelitian dan pengembangan yang diperlukan untuk menguasai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dan mengembangkan invensi; b) memberikan insentif yang diperlukan untuk meningkatkan motivasi dan kemampuan invensi di lingkungannya; c) memperkuat kemampuan pengelolaan dan alih teknologi kekayaan intelektual serta hasil kegiatan penelitian dan pengembangan; d) melakukan investasi untuk memperkuat sumber daya ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimiliki; e) meningkatkan kualitas dan memperluas jangkauan alih teknologi kekayaan intelektual serta hasil kegiatan penelitian dan pengembangan dan pelayanan jasa ilmu pengetahuan dan teknologi; dan f) memperluas jaringan kerja dengan lembaga-lembaga lain yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya, baik di dalam maupun luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ketentuan-ketentuan tersebut di atas menunjukkan bahwa sistem hukum nasional Indonesia memberian jaminan dan pengakuan atas kontribusi inventor sebagai aktor penentu dalam memberikan nilai tambah bagi institusinya. Para inventor atau pegawai yang memberikan kontribusi intelektual pada perusahaan atau institusi selayaknya memperoleh perhatian yang memadai sebagai bagian dari pengelolaan aset berupa sumber daya manusia.6 Meskipun peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia secara konstitutif memberikan legitimasi bagi inventor untuk memperoleh royalti, namun dalam praktiknya mekanisme ini belum dapat diimplementasikan. III. Analisis Kekangan Kebijakan antar Kewenangan Di Indonesia, ketentuan mengenai pemberian sebagian royalti hasil alih teknologi HKI kepada inventor merupakan objek yang tidak hanya berada dalam ranah kebijakan publik, malainkan juga berada dalam ranah administrasi negara yang bersifat implementatif. Dengan kata lain, pemberian sebagian royalti hasil alih teknologi HKI kepada inventor merupakan kebijakan yang tidak secara langsung dapat dijalankan melainan memerlukan instrumen operasional lain yang memungkinkannya untuk diimplementasikan. Sebagai implikasinya, jika secara administratif belum ada kebijakan yang mengatur tentang pemberian sebagian royalti hasil alih teknologi HKI kepada inventor, maka pemberian royalti tersebut tidak dapat dilaksanakan. Sebelum membahas lebih lanjut mengenai persoalan-persoalan tersebut di atas, perlu kiranya diketahui karakteristik HKI yang dihasilkan oleh institusi-institusi pemerintah di Indonesia. Karakteristik mana secara tegas mengindikasikan adanya perbedaan yang fundamental antara model pengelolaan HKI milik publik yang dianut oleh Bayh Dole Act 1980 dengan pengelolaan HKI di Indonesia. Menurut Bayh-Dole Act 1980 penguasaan seluruh HKI yang dihasilkan oleh perguruan tinggi dan lembaga litbang pemerintah diserahkan sepenuhnya kepada institusi yang bersangkutan sehingga institusi tersebut memiliki keleluasaan untuk mengusahakan komersialisasi HKI dan menerima manfaat ekonomi secara langsung. Sebaliknya, menurut sistem hukum yang berlaku di Indonesia HKI yang dihasilkan oleh institusi milik Pemerintah dikuasai oleh negara tanpa adanya kebijakan yang memberikan pengalihan penguasaan tersebut kepada institusi yang bersangkutan. Penguasaan HKI oleh negara tercermin dalam ketentuan yang terdapat pada undang-undang HKI mengatur tentang hubungan antara pencipta/inventor dengan institusinya. Bahkan ketentuan tentang kepemilikan HKI yang dihasilkan oleh pencipta/inventor yang bekerja di lingkungan institusi pemerintah diatur dengan ketentuan yang lebih rinci lagi dengan istilah hubungan kedinasan. Sebagai salah satunya adalah Pasal 12 ayat (1 dan 2) Undang-undang No. 14 tahun 2001 tentang Paten, yang menyatakan: Pasal 12 6
Bahaudin, Brainware management: Generasi Kelima Menejemen Manusia, Elex media Komputindo, 2003.
(1) Pihak yang berhak memperoleh Paten atas suatu Invensi yang dihasilkan dalam suatu hubungan kerja adalah pihak yang memberikan pekerjaan tersebut, kecuali diperjanjikan lain. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku terhadap Invensi yang dihasilkan baik oleh karyawan maupun pekerja yang menggunakan data dan/atau sarana yang tersedia dalam pekerjaannya sekalipun perjanjian tersebut tidak mengharuskannya untuk menghasilkan Invensi.
Pasal tersebut menegaskan bahwa kepemilikan HKI, yang dalam hal ini paten, yang dihasilkan inventor yang bekerja untuk suatu institusi adalah milik institusi yang bersangkutan. Hal ini ipso facto berlaku pula bagi HKI yang dihasilkan oleh pegawai di lingkungan institusi pemerintah maka HKI tersebut menjadi milik Pemerintah yang kepemilikannya dipegang oleh institusi Pemerintah yang bersangkutan. Karakteristik lain yang membedakan HKI yang dihasilkan di lingkungan institusi pemerintah dengan HKI lainnya adalah melekatnya unsur publik, yakni adanya penggunaan dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk menghasilkan HKI tersebut. Hal ini berlaku bagi setiap inventor yang tidak terikat dalam hubungan kedinasan dengan institusi Pemerintah, ketika HKI yang dihasilkannya bersumber dari dana APBN, maka HKI tersebut akan menjadi milik pemerintah sepanjang tidak diperjanjikan lain. Sebagai konsekuensi dari karakteristik publik tersebut maka pengelolaan, pemanfaatan dan pengelolaan hasil komersialisasi HKI tersebut harus dikelola sebagai Pendapat Negara Bukan Pajak (PNBP) yang mekanismenya tunduk pada ketentuan APBN. Pasal 5 Undang-undang No. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan negara Bukan Pajak (PNBP) yaitu: Pasal 5 Seluruh Penerimaan Negara Bukan Pajak dikelola dalam sistem Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Pada titik inilah kebijakan pemberian royalti kepada inventor atas komersialisasi HKI milik Pemerintah tidak dapat dilaksanakan. Bagi HKI dengan karakteristik publik, meskipun peraturan perundang-undangan HKI memberikan ruang bagi inventor untuk memperoleh hak dari sebagian royalti hasil alih teknologi, namun dalam praktiknya mekanisme administrasi negara tidak memiliki prosedur yang memungkinkan diberikannya sebagian pendapatan hasil alih teknologi kepada inventor. Berdasarkan Pasal 5 UU No. 20 Tahun 1997 di atas, sistem APBN menghendaki bahwa setiap pemasukan, termasuk pendapatan royalti hasil alih teknologi HKI, harus segera disetorkan ke rekening negara sebagai PNBP. Untuk menggunakan pendapat tersebut, maka setiap institusi Pemerintah harus membuat Rancangan Anggara Biaya (RAB) dengan mata anggaran (akun) belanja yang telah ditetapkan menurut sistem APBN. Sayangnya, tidak satupun akun pembelanjaan menurut sistem APBN yang menyebutkan jenis mata anggaran belanja berupa pembagian royalti alih teknologi hasil alih teknologi kepada inventor. Dalam praktiknya, penerbitan
akun dapat dilakukan dengan mengajukan surat pengusulan penerbitan akun untuk dimintakan persetujuan kepada Menteri Keuangan. Akan tetapi untuk menerbitkan akun belanja berupa pemberian sebagian royalti hasil alih teknologi HKI kepada inventor memiliki beberapa kendala, diantaranya: pertama, akun bersifat nasional, sementara ketentuan mengenai jumlah pembagian royalti kepada inventor bersifat institusional dan jumlahnya berbeda-beda antara satu institusi dengan institusi lainnya. Kedua, karena bersifat umum, maka akun pembelanjaan biasanya memiliki jumlah nominal yang tetap. Sementara pembagian sebagian royalti hasil alih teknologi HKI kepada inventor biasanya tidak memiliki nilai yang tetap melainkan hanya berupa prosentase yang nilai nominalnya tergantung dari besarnya royalti yang diperoleh. Hingga saat ini belum kebijakan yang diambil oleh Pemerintah untuk mengatasi persoalan tersebut. Akibatnya kegiatan alih teknologi saat ini masih terkekang oleh kebijakan penggunaan anggaran negara yang terlalu ketat sehingga justru kontra produktif dengan maksud dan tujuan diselenggarakannya kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Institusi yang menyelenggarakan kegiatan litbang memilik mencari jalan aman dengan menahan HKI yang dimilikinya daripada harus terjerat dalam berbagai kasus karena dianggap menyalahgunakan anggaran. Lebih buruk lagi, banyak pula institusi yang melakukan kegiatan alih teknologi secara sembunyi-sembunyi bahkan masih dalam posisi memanfaatkan fasilitas milik negara. Pendirian BLU dan Penyiasatan Tarif Untuk menghindari kebuntuan implementasi, sementara desakan untuk melaksanakan alih teknologi agar HKI yang dihasilkan dapat dimanfaatkan semakin kuat, maka komersialisasi HKI dilakukan dengan pendekatan institusional. Pendekatan institusional tersebut dilakukan dengan cara mendirikan Badan Layanan Umum (BLU) sebagai platform kegiatan komersialisasi litbang. Dipilihnya BLU sebagai platform institusional disebabkan oleh karakteristik BLU yang lebih fleksibel dalam menggunakan dana PNBP meskipun harus tetap berada dalam korodor APBN. Fleksibiltitas tersebut adalah: pertama, BLU memungkinkan penggunaan dana PNBP hasil kegiatan litbang dan alih teknologi secara langsung pasca diperoleh tanpa harus terlebih dahulu menyetorkannya ke kas negara. Kedua, BLU memberian peluang untuk diterbitkannya akun baru melalui Surat Keputusan Menteri Keuangan mengenai Satuan Biaya Khusus. Hal ini dianggap dapat digunakan karena ketiadaaan akun royalti dalam sistem pembelanjaan APBN. Meskipun BLU dianggap mampu menjadii alternatif yang dapat menaungi kegiatan alih teknologi HKI dan memberikan royalti kepada inevntor, dalam praktiknya belum ada contoh kasus yang menunjukkan efektivitas BLU dalam mengimplementasikan pemberian royalti kepada inventor. Dalam praktiknya, diketahui bahwa BLU belum menjadi platform yang cukup ideal dalam mengimplementasikan kegiatan komersialisasi HKI. Hal ini disebabkan karena beberapa alasan: pertama, pendirian BLU memerlukan prosedur yang cukup panjang dengan persyaratan yang cukup rumit untuk dipenuhi. Perlu waktu dan tenaga yang dibutuhkan untuk
menggunakan cara ini. Kedua, diperlukan bukti adanya kegiatan dan pemasukan yang memadai dan berkelanjutan untuk memenuhi persyaratan pendirian BLU. Sementara kegiatan alih tenologi tidak dapat dipastikan volume dan nilainya. Nilai alih teknologi biasanya berdasarkan kesepakatan dan penggunanya tidak dapat dipastikan. Ketiga, pendirian BLU tidak serta merta memberikan jaminan bahwa penerbitan Akun Pembelanjaan berupa pembagian royalti kepada inventor dapat diterima oleh Menteri Keuangan. Harmonisasi Kebijakan Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa persoalan pemberian sebagian royalti hasil alih teknologi kegiatan litbang kepada inventor tunduk pada domain kewenangan yang berbeda. Dalam tataran kebijakan, pemberian insentif tersebut berada pada domain kewenangan Kementerian Riset dan Teknologi, sementara dalam tataran operasional kebijakan tersebut berada pada rahan administrasi publik yang menjadi domain Kementerian Keuangan. Belum adanya kebijakan yang bersifat operasional sehingga mekanisme pemberian royalti kepada inventor tidak dapat dilakukan mengindikasikan bahwa peran Kementerian Keuangan menjadi kata kunci dalam rangka mewujudkan kebijakan pemberian insentif dalam kegiatan litbang. Dengan kata lain, kebijakan tersebut memerlukan harmonisasi dengan kebijakan operasional yang berada pada kewenangan lembaga pemerintah lainnya. Untuk mendorong harmonisasi kebijakan tersebut maka diperlukan koordinasi lintas kewengan untuk membahas urgensi pemberian sebagian royalti hasil alih teknologi kepada inventor dari perspektif maing-masing. Koordinasi seperti penyelenggaran rapat pembahasan yang melibatkan pihak-pihak terkait saat ini sudah dilaksanakan dengan kesimpulan bahwa ketidakharmonisan kebijakan lebih disebabkan adanya persepsi yang berbeda tentang royalti. Selain itu, kebijakan operasional yang diperlukan untuk memberikan insentif pada inventor sebagian royalti hasil komersialisasi HKI tidak semata-mata berupa akun pembelanjaan royalti. Lebih dari sekedar akun, kebijakan pemberian insentif tersebut memerlukan izin penggunaan yang diterbitkan oleh Menteri Keuangan. Izin penggunaan yang dimaksud adalah izin penggunaan atas dana PNBP yang bersumber dari royalty alih teknologi HKI untuk diberikan sebagian kepada inventor. Mengingat nilai nominal pemberian sebagian royalti kepada inventor di setiap lembaga litbang dan perguruan tinggi berbeda-beda, maka akun yang digunakan dapat berupa keputusan pimpinan tertinggi lembaga litbang atau perguruan tinggi. IV. Simpulan dan Rekomendasi Dari apa yang telah diuraikan di atas maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: Terhambatnya pemberian sebagian royalti hasil alih teknologi HKI kepada inventor disebabkan karena ketiadaan kebijakan yang bersifat implementatif yaitu belum adanya akun pembelanjaan berupa pembagian royalti kepada inventor. Agar pemberian royalti kepada inventor dapat terealisasikan, diperlukan akun pembelanjaan berupa pembagian royalti hasil alih teknologi
atau dokumen yang berisi tentang izin pengggunaan PNBP yang dikeluarkan oleh Menteri Keuangan. Tanpa izin penggunaan ini, pemberian royalti tidak dapat dilaksanakan. Pendirian BLU sebagai sarana untuk melaksanakan kegiatan alih teknologi belum menjamin bahwa mekanisme pemberian sebagian royalti kepada inventor dapat dilaksanakan. Meskipun mekanisme BLU dapat memberi imbalan yang relatif lebih baik kepada inventor, namun mekanisme tersebut belum menjadi solusi bagi operasionalisasi kebijakan insentif kepada inventor. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, maka diusulkan beberapa rekomendasi yang dapat diajukan adalah: Membuat proposal untuk menerbitkan Keputusan Menteri Keuangan yang berisi tentang akun pembelanjaan berupa pembagian royalti hasil alih teknologi atau penerbitan izin penggunaan dana PNBP untuk keperluan pemberian royalti kepada inventor. Membentuk tim konsultasi yang membahas hal ini secara khusus dengan pihak Kementrian Keuangan khususnya unit kerja yang terkait.[]
DAFTAR PUSTAKA
Anthony D’amanto dan Dorris Estelle Long, International Intellectual Property Law, Kluwer Law International, London, 1997. Catherine C. Langlois, To Share or to Hoard? Inventor Commitment and the Strategic Incentive to Share Knowledge, 2005. Gordon V. Smith dan Russel L. Parr, Intellectual Property, Licensing and Joint Venture Profit Strategies, John Willey Law Publication, Canada, Edisi Kedua, 1998. John Howkins, The Creative Economy, How People Make Money from Ideas, Penguin Press, England 2002. Lewis C. Lee and J. Scott Davidson, Managing Intellecutal Property, John Willey Law Publication, Canada, 1993 Otto Toivanen dan Lotta Vaananen, Return to Inventors, Governance and the Efficency of Economic Systems (GESY), 2010. Robert C. Megantz, How to License Technology, John Willey Law Publication, Canada, 1996. Richard Jensen dan Marie Thursby, Proofs and Prototypes for Sale: The Licensing of University Invenstions, the American Economic Review, Vol. 91, No. 1, hlm. 240-259, 2001. Saul Lach dan Mark Schankerman, Royalty Sharing and Technology Liscensing in Universities, JEL No. 031, 034, L3, LOl, 2003. Taufik Bahaudin, Brainware Management, Generasi Kelima Manajemen Manusia, Elex Media Komputindo, Jakarta, 2003. The Bayh Dole Act at 25, BayhDole25 Inc, New York, 2006. Undang-undang No. 20 Tahun 1997 Tentang Pendapata Negara Bukan Pajak. Undang-undang No. 14 Tahun 2001 Tentang Paten. Undang-undang No. 18 Tahun 2002 Tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Undang-undang No. 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara.
Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2005 Tentang Alih Teknologi Hak Kekayaan Intelektual serta Hasil Kegiatan Penelitian dan Pengembangan oleh Perguruan Tinggi dan Lembaga Litbang. Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Badan Layan Umum.